You are on page 1of 43

REFERAT

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Pembimbing :

dr. David Idrial, Sp. OT

Penyusun :

Angie Beatrice W

030.11.032

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 19 OKTOBER 2015 - 26 DESEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Bedah

periode 19 Oktober 2015 - 26 Desember 2015

di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Disusun oleh:

Angie Beatrice W

030.11.032

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta, .... Desember 2015

Pembimbing

dr. David Idrial, Sp. OT

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................. 3
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
TUBERKULOSIS...................................................................................................... 5
2.1 Definisi ................................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi ....................................................................................... 5
2.3 Klasifikasi ............................................................................................ 5
2.4 Patogenesis .......................................................................................... 8
2.5 Diagnosis ............................................................................................. 11
2.6 Tatalaksana .......................................................................................... 17
SPONDILITIS TUBERKULOSIS ............................................................................ 20
3.1 Definisi ................................................................................................ 20
3.2 Epidemiologi ....................................................................................... 20
3.3 Patogenesis .......................................................................................... 21
3.4 Klasifikasi ............................................................................................ 24
3.5 Diagnosis ............................................................................................. 27
3.6 Diagnosis banding ............................................................................... 30
3.7 Tatalaksana .......................................................................................... 32
3.8 Komplikasi .......................................................................................... 35
KESIMPULAN .......................................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 38

3
PENDAHULUAN

TB (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan dunia


kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya
jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara
dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO) melaporkan
dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian
TB dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua
dekade terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada
tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini, beban global akibat TB
masih tetap besar.(2) Sesseorang dikatakan suspek TB apabila terdapat gejala atau tanda
sugestif TB (WHO pada tahun 2013 merevisi istilah “suspek TB” menjadi “terduga TB”).(2)
TB dibagi menjadi beberapa klasifikasi dimana, salah satunya ialah berdasarkan lokasi
anatomisnya yang dibagi menjadi TB paru dan TB ekstraparu.(1,2)
TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru dan dapat
mengenai organ mana saja seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran
genitourinaria, kulit, sendi dan tulang. Salah satu manifestasi tuberkulosis tulang dan sendi
yang paling sering, yaitu spondilitis TB.(2) Spondilitis TB pertama kali dideskripsikan oleh
Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan alat
gerak bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan
basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga
(4)
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas Terapi konservatif yang diberikan pada
pasien spondilitis TB sebenarnya memberikan hasil yang baik, namun pada kasus tertentu
perlu tindakan operatif dan rehabilitasi sebelum atau setelah penderita menjalani tindakan
operatif. (4)

4
TUBERKULOSIS

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis kompleks.(1)

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan
penting di dunia kesehatan hingga saat ini. Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan
WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun
2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus
TB terjadi di Asia tenggara, yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia. Laporan WHO tahun
2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu
625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.(1) Diperkirakan
pada tahun 2011 insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi
HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB.(2)
Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20%
kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di
dunia terjadi di negara berkembang.(2) World Health Organization (WHO) melaporkan dalam
Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan bermakna dalam pengendalian TB
dengan menurunnya angka penemuan kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade
terakhir ini. Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada tahun
2010-2011.(2) Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati urutan
keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara dengan beban
tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target Millenium Development
Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada
tahun 2006.(2)

2.3 Klasifikasi (2)


Diagnosis TB dengan klinis atau bakteriologis dapat diklasifikasikan berdasarkan:

a. Lokasi anatomi penyakit;


b. Riwayat pengobatan sebelumnya;

5
c. Hasil bakteriologis dan uji resistensi OAT;
d. Status HIV.

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi


 TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau trakeobronkial. Pasien
yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus diklasifikasikan sebagai kasus TB
paru.
 TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti
pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan
tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu dapat ditegakkan secara klinis atau
histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi bakteriologis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


 Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau riwayat
mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
 Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan
hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :

o Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini
ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang benar-benar
kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).

o Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah


mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

o Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan atau
lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut atau
dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan.
(Pada revisi guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini direvisi menjadi pasien
dengan perjalanan pengobatan tidak dapat dilacak (lost to follow up) yaitu
pasien yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan).
Klasifikasi berikut ini baru ditambahkan pada revisi guideline WHO tahun 2013 yaitu:
kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya pernah

6
mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak
didokumentasikan.
o Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03) lain untuk
melanjutkan pengobatan. (Klasifikasi ini tidak lagi terdapat dalam revisi guideline
WHO tahun 2013).
o Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang
tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi obat


Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk
mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan
apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi M. tuberculosis berdasarkan biakan atau
metode diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF).
Pada wilayah dengan laboratorium jaminan mutu eksternal, kasus TB paru dikatakan
apusan dahak positif berdasarkan terdapatnya paling sedikit hasil pemeriksaan apusan
dahak BTA positif pada satu spesimen pada saat mulai pengobatan. Pada daerah tanpa
laboratorium dengan jaminan mutu eksternal maka definisi kasus TB apusan dahak positif
bila paling sedikit terdapat dua spesimen pada pemeriksaan apusan dahak adalah BTA
positif.

Kasus TB paru apusan negatif adalah


1. Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk M.
tuberculosis
2. Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini:
 keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB lengkap; DAN
 temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif dan:
 terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis;
ATAU
 bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di
daerah dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik
spektrum luas (di luar OAT dan fluorokuinolon dan aminoglikosida).

d. Klasifikasi berdasarkan status HIV


 Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau klinis
yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan

7
diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register
HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
 Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau klinis
yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan
diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari harus disesuaikan
klasifikasinya.
 Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti
dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif
dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.

2.4 Patogenesis (1)


a. Tuberkulosis primer
Kuman tuberkulosis masuk melalui saluran napas kemudian bersarang di jaringan
paru dan membentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang atau afek primer. Sarang
primer ini dapat timbul di bagian paru mana saja, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari
sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru


sebelahnya atau tertelan

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan


daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis

8
milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga
dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal,
anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan :

d. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada


anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau

e. Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

b. Tuberkulosis postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai nama
yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus
superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni
kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
 meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas

 memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.

9
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

 bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan penyembuhannya(1)

2.5 Diagnosis (1)


Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya

o Gejala klinik
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik :
1. Gejala respiratorik
- batuk ≥ 2 minggu

10
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses
penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama
terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
- demam
- malaise
- keringat malam
- anoreksia
- berat badan menurun

3. Gejala tuberkulosis ekstraparu


Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

o Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang ditemukan tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada awal
perkembangan penyakit umumnya sulit menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya
terletak di lobus superior, daerah apeks dan segmen posterior serta daerah apeks lobus
inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, dan ronki basah.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan suara pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

11
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher dan kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi
“cold abscess”.

Gambar 2. Paru : apeks lobus superior dan apeks lobus inferior (1)

o Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk
biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):

 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)


 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung
dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang ≥ 6 cm dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek /difiksasi sebelum dikirim ke
laboratorium.

12
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
/BAL, urin, feses dan jaringan biopsi / termasuk BJH) dapat dilakukan dengan
cara
 Mikroskopik
 Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluorosens : pewarnaan auramin-rhodamin
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif = BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif = ulang BTA 3 kali, kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif = BTA positif
 bila 3 kali negatif = BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis & Lung Disease) :

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang : negatif


 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : tulis jumlah kuman
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++ (3+)

o Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto thorax PA. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular

13
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed lung) :


 Destroyed lung menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat. Gambaran
radiologinya terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktivitas lesi hanya dari gambaran radiolog.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :

 Lesi minimal : sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela
iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V), serta tidak dijumpai kaviti
 Lesi luas : bila proses lebih luas dari lesi minimal.

o Pemeriksaan Penunjang lain


1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan
pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi
hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif
dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit
dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.

14
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan
dapat diperoleh melalui :
 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi)
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy) dengan bronkoskopi
 Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan
ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur
serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan
sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang
didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif.

15
Gambar 3. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa (1)

16
2.6 Terapi
Terdapat 2 fase pengobatan TB, yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4
atau 7 bulan). Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama bulan pertama
pengobatan. Selanjutnya, setiap 1 bulan sekali. Pengobatan untuk pasien TB selain obat anti
tuberkulosis (OAT), boleh diberikan pengobatan suportif lain untuk meningkatkan daya tahan
tubuh atau mengatasi keluhan lain seperti mual.(3)
OAT dikelompokkan berdasarkan 5 golongan, yaitu :
Golongan Obat Obat
Golongan 1 Lini 1 - Isoniazid (H) - Pirazinamid (Z)
- Etambutol (E) - Rifampicin (R)
- Streptomisin (S)
Golongan 2 Lini 2 - Kanamisin (Km) - Amikasin (Am)
- Capreomycin (Cm)
Golongan 3 - Ofloxacin (Ofx) - Moxifloxacin (Mfx)
Gol. Fluoroquinolone - Levofloxacin (Lfx)
Golongan 4 - Etionamid - Para amino salisilat
- Protionamid - Terizidon
- Sikloserin
Golongan 5 - Clofazim - Tioacetazon
Obat yang belum terbukti - Linezolid - Clarithromycin
efikasinya dan tidak - Amoksisilin-klavulanat - Imipenem
dianjurkan oleh WHO

Panduan pemberian OAT di Indonesia yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia antara lain :(3)

1. Kategori I
Kategori ini diberikan untuk pasien baru dengan BTA positif, pasien TB paru BTA (-)
dengan gambaran radiologis (+), pasien TB ekstra paru. Pada kategori I ini, regimen
yang digunakan adalah : 2 RHZE/ 4 RH, 2 RHZE/ 6 HE atau 2 RHZE/ 4 R3H3.

2. Kategori II
Kategori ini diberikan untuk pasien BTA (+) dan pernah diobatti sebelumnya, seperti:
pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien default. Pada kategori II ini, regimen yang
digunakan adalah : 2 RHZES/ 1 RHZE untuk fase intesif selama menunggu hasil uji

17
resistensi. Jika hasil resistensi sudah ada, pengobatan untuk fase lanjutan mengikuti
hasil uji resistensi tersebut. Namun, bila tidak ada hasil uji resistensi, diberikan 5
RHE. Untuk kasus gagal pengobatan, paling baik, sebelum hasil uji resistensi keluar
diberikan OAT lini 2.

3. Kategori anak
2HRZ/ 4HR

4. Penatalaksanaan pasien TB resisten obat


Prinsip pengobatan kasus TB dengan MDR, yaitu minimal konsumsi 4 macam OAT
yang masih efektif, jangan konsumsi obat yang kemungkinan akan menjadi resisten
silang dan membatasi penggunaan obat yang tidak aman. Obat yang digunakan di
Indonesia temasuk OAT lini ke 2, yaiu kanamisin, capreomycin, levofloksasin,
etionamid, sikloserin, dan PAS; serta OAT lini 1, yaitu pirazinamid dan etambutol.
Lama pengobatan minimal 18 bulan, yang terdiri dari tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan selama minimal 6 bulan dan disarankan
untuk rujuk ke spesialis.

Dosis OAT
Dosis (mg) / berat
Dosis Dosis yg dianjurkan
DosisMax badan (kg)
Obat (Mg/Kg
Harian (mg/ Intermitten (mg/ (mg)
BB/Hari) < 40 40-60 >60
kgBB / hari) Kg/BB/kali)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
150
Z 20-30 25 35 750 1000
0
150
E 15-20 15 30 750 1000
0
Sesuai 100
S 15-18 15 15 1000 750
BB 0

18
Dosis untuk panduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Kategori I

Fase intensif Fase lanjutan


2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

19
SPONDILITIS TUBERKULOSA

3.1 Definisi
Spondilitis tuberkulosa (TB) atau yang disebut juga Pott's disease of the spine atau
tuberculous vertebral osteomyelitis(4) adalah infeksi tulang belakang yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang menyerang korpus vertebra dan berpotensi menyebabkan
morbiditas berat.(3,5) Kelainan yang dapat ditimbulkan berupa defisit neurologis dan
deformitas vertebra kifotik permanen yang dikenal sebagai gibbus.(5) Spondilitis TB diketahui
termasuk jenis tuberkulosis muskuloskeletal paling berat yang dapat menyebabkan destruksi
tulang, deformitas, dan paraplegia.(6)

3.2 Epidemiologi
Meski usaha yang besar sudah dilakukan untuk mencapai keadaan terkontrol,
tuberkulosis tetap menjadi beban kesehatan masyarakat di seluruh dunia.(7) Indonesia
menempati posisi setelah India dan Cina sebagai negara dengan jumlah populasi terbesar
yang terinfeksi TB.(5) Kurang lebih sebanyak 20% infeksi TB pulmonal dapat menyebar ke
organ lain (TB ekstrapulmonal), dimana 11% diantaranya merupakan TB osteoartikular dan
setengahnya merupakan infeksi TB spinal.(5,7) Di Belanda pada tahun 1993-2001, prevalensi
spondilitis TB mencapai 3,5% dari seluruh kasus tuberkulosis (0,2-1,1% pada penduduk asli
Eropa dan 2,3-6,3% pada penduduk non Eropa).(6)
Jumlah kejadian spondilitis TB bervariasi di seluruh dunia dan jumlahnya tergantung
dari kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di
negara tersebut.(4) Beberapa penelitian sebelumnya tidak menunjukkan predileksi kejadian
spondilitis TB terhadap jenis kelamin tertentu. Namun, kejadian ini lebih sering ditemukan
pada laki-laki dengan perbandingan terhadap perempuan 1,5-2:1.(6) Saat ini spondilitis TB
masih merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih
menjadi masalah utama.(4)

3.3 Patogenesis
Bakteri Mycobacterium tuberculosis masuk ke tubuh melalui saluran napas atas
secara droplet, atau dapat melalui usus (menelan produk makanan yang terinfeksi) ataupun
secara jarang melalui kulit. Infeksi M. tuberculosis menyebabkan reaksi granulomatosa yang
berhubungan dengan nekrosis jaringan dan juga proses perkijuan (caseation).(8) Tidak semua

20
bakteri yang masuk akan menyebabkan reaksi yang sama pada setiap individu. Perjalanan
dan progresivitas penyakit sebagian besar ditentukan oleh virulensi bakteri tuberkulosis itu
sendiri dan juga mekanisme pertahanan host.(4)

21
Gambar 4. Patofisiologi spondilitis TB

Beberapa faktor yang dianggap berperan dapat mekanisme pertahanan pasien untuk menahan
infeksi bakteri tuberkulosa antara lain :
 Usia dan jenis kelamin
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa
pubertas, serta bayi dan anak yang lebih muda dari kedua jenis kelamin tersebut
memiliki kekebalan yang lemah. Setelah pubertas, daya tahan tubuh mengalami
peningkatan dalam upaya mencegah penyakit menyebar secara hematogen, namun
menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru. Angka kejadian
pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia, tetapi pada wanita cenderung

22
menurun dengan cepat setelah usia anak-anak. Puncak usia terjadinya infeksi pada
wanita berkisar antara 40-50 tahun, sementara pria dapat mencapat usia 60 tahun.(4)
 Nutrisi
Kondisi malnutrisi akan menurunkan resistensi terhadap penyakit baik pada anak
maupun dewasa.(4)
 Faktor toksik
Rokok dan minuman beralkohol rentan mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Sama hal nya dengan konsumsi obat-obatan yang mengandung kortikosteroid ataupun
imunosupresan lain.(4)
 Penyakit
Penyakit-penyakit infeksi seperti HIV, diabetes, leukemia, meningkatkan risiko
terkena penyakit tuberkulosa akibat sistem imun yang cenderung rendah.(4)
 Sosioekonomi rendah
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang tidak kondusif. Seperti
pemukiman yang padat, kondisi kerja yang buruk, ventilasi dan pencahayaan yang
minim akan meningkatkan risiko berkembangnya bakteri tuberkulosis.(4)

Awal mula lesi yang masuk dan terbentuk di saluran napas, kemudian disertai dengan
penyebaran ke nodus limfatikus regional menyebabkan limfangitis regional disebut sebagai
kompleks primer. Biasanya basil-basil kuman ini akan terfiksasi di dalam nodus limfatikus
dan tidak menyebabkan keluhan klinis, namun terkadang sebagai respon terhadap
penumpukan kuman terjadi pembesaran kelenjar di leher. Kompleks primer ini memiliki 2
sekuel penting : (1) Basil kuman di dalam nodus akan sembuh atau terkalsifikasi, dan basil-
basil kuman ini dapat bertahan dalam waktu yang lama. (2) Tubuh yang terinfeksi telah
tersensitisasi dengan toksin dan timbul keadaan reinfeksi. Kemudian apabila resistensi
terhadap infeksi awal rendah, akan terjadi penyebaran secara hematogen yang menyebabkan
terjadinya TB milier, meningitis TB ataupun lesi multipel TB. Seringkali, penyebaran secara
hematogen timbul beberapa bulan-tahun kemudian atau disaat sistem imunitas tubuh
menurun. Sebagian fokus dapat berkembang menjadi lesi destruktif yang disebut lesi tersier.
Pada lesi tersier ini, sebanyak 5% tulang dan sendi terkena dampak dari tuberkulosis.
Predileksi terjadinya pada korpus vertebra dan sendi-sendi sinovial besar.(8) Bakteri
M. tuberkulosis ini dapat tetap berada dalam kondisi dorman di vertebra untuk waktu panjang
sebelum menimbulkan manifestasi klinis.(6) Ketika basil-basil sudah memiliki tempat 'pijakan'
di vertebra, reaksi inflamasi kronik pun akan timbul.(8) Sekali terendap di suatu tempat,

23
organisme ditangkap oleh sel mononuklear. Sel mononuklear kemudian menyatu ke dalam
sel epiteloid dan tuberkulum terbentuk saat limfosit membentuk cincin di sekitar sekelompok
sel epiteloid. Kemudian terbentuk perkijuan di pusat tuberkel tersebut.(6) Hal ini ditandai
dengan lesi mikroskopik dengan karakteristik tuberkulous granuloma atau tuberkel. Tuberkel
adalah kumpulan sel epiteloid dan sel raksasa multinodular yang dikelilingi oleh area
nekrosis dengan sel-sel bulat (terutama limfosit) di sekitar perifernya.(6,8)
Lesi spondilitis tuberkulosis berawal dari suatu tuberkel kecil yang berkembang
lambat dan bersifat osteolisis lokal, awalnya pada tulang subkhondral di bagian superior atau
inferior anterior dari korpus vertebra. Proses infeksi Mycobacterium tuberculosa akan
mengaktifkan chaperonin 10 yang merupakan suatu stimulator poten proses resorpsi tulang
sehingga terjadi destruksi korpus vertebra bagian anterior.(18) Reaksi inflamasi dengan
pembentukan jaringan granulasi, bisa membuat perluasan dengan destruksi bertahap,
demineralisasi progresif, destruksi tulang dan akhirnya destruksi tulang rawan yang membuat
penyempitan celah diskus.(6) Selain itu peningkatan proses inflamasi tubuh, mengakibatkan
eksudasi dan pencairan kemudian terbentuklah cold abscess. Cold abscess terdiri dari serum,
leukosit, perkijuan, debris tulang dan basil.(6) Spondilitis TB paling sering mengenai
perbatasan vertebra torakalis dan lumbalis, terutama di T8-L3 dan paling jarang pada vertebra
C1-2.
Biasanya infeksi dimulai dari korpus vertebra pada bagian sentral, sisi intervertebra
(paradiskus), atau bagian anterior. Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra
dikenal 3 bentuk spondilitis, yaitu : (1) Paradiskus, infeksi ini terjadi pada daerah yang
bersebelahan dengan diskus intervertebralis (di bawah lig. longitudinal anterior) dan
terbanyak terjadi pada regio lumbal. (2) Sentral, infeksi ini terjadi pada bagian sentral dari
korpus vertebra, lebih sering menimbulkan kolaps vertebra dibandingkan deformitas spinal.
Banyak terjadi di regio torakal. (3) Anterior, infeksi ini terjadi akibat penyebaran
perkontinuitatum dari vertebra diatas dan dibawahnya.

24
Gambar 5. Vertebra lumbalis IV serta ligamen yang melingkupinya (14)

Destruksi awal yang terletak di sentral korpus vertebra sering terjadi pada anak-anak,
sedangkan pada orang dewasa lebih sering terjadi di paradiskus.(9) Penyebaran ke diskus
intervertebralis akibat perluasan secara perkontinuatum melewati subligamen menuju
perluasan infeksi hingga jaringan lunak dan membentuk abses. Kolaps beberapa vertebra
akibat proses destruksi tulang akan membentuk formasi gibbus. Komplikasi neurologis
terjadi karena kompresi medulla spinalis.(6) Komplikasi neurologis yang sering timbul ialah
paraplegi dan sering disebut sebagai Pott's Paraplegy. Reaksi tubuh setelah terserang bakteri
tuberkulosis ini dibagi menjadi 5 stadium, yaitu : (6)
 Stadium 1 (Implantasi)
Stadium awal saat virulensi bakteri lebih tinggi dibandingkan mekanisme pertahanan
host. Pada umumnya stadium ini terjadi di daerah torakal atau torakolumbal atau di
beberapa level.
 Stadium 2 (Destruksi awal)
Terjadi 3-6 minggu setelah implantasi. Pada stadium ini sudah mengenai diskus
intervertebralis.
 Stadium 3 (Destruksi lanjut dan kolaps)

25
Terjadi 8-12 minggu setelah stadium kedua. Apabila stadium ini tidak ditangani
makan akan terjadi destruksi hebat dan kolaps dengan pembentukan perkijuan dan pus
(cold abscess)
 Stadium 4 (Gangguan neurologis)
Pada stadium ini terjadi komplikasi neurologis yang dapat berupa gangguan motoris,
sensoris dan otonom.
 Stadium 5 (Deformitas dan akibat)
Stadium terakhir ini biasanya terjadi 3-5 tahun setelah stadium pertama dimulai.
Kifosis atau gibbus tetap ada, bahkan setelah diobati.

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi spondilitis TB telah ditentukan oleh beberapa pihak guna untuk
menentukan deskripsi derajat keparahan penyakit, prognosis dan tatalaksana.(10) Progresivitas
derajat keparahan defisit neurologis ditentukan oleh kompresi medula spinalis yang dibagi
menjadi beberapa stadium berdasarkan keterlibatan motorik. Klasifikasi ini disebut sebagai
classification of tuberculous paraplegia atau klasifikasi Pott's paraplegia (Tuli SM,
2004).(10,11)

Gambar 6. Klasifikasi Pott's paraplegia (10)

Selanjutnya, klasifikasi lainnya yang dibuat dengan tujuan sebagai practical guide
terhadap terapi untuk spondilitis TB. Klasifikasi ini didasarkan pada tujuh kriteria klinis dan
radiologis seperti : pembentukan abses, degerasi diskus, kolaps vertebra, kifosis, angulasi
sagital, instabilitas dan manifestasi neurologis. Dengan klasifikasi ini, spondilitis TB terbagi
menjadi 3 tipe (I, II, III) dan dikenal sebagai klasifikasi Gulhane Askeri Tip Akademisi
(Gulhane Military Medical Academy - GATA).(5,10,12)

26
Gambar 7. Klasifikasi spondilitis TB berdasarkan GATA (10)

Untuk menilai derajat keparahan, memantau perbaikan klinis dan memprediksi


prognosis pasien spondilitis TB dengan cedera medula spinalis, dapat digunakan klasifikasi
American Spinal Injury Association (ASIA) impairment scale.(10) Skala ini sudah digunakan
sejak lama sebagai indikator klinis untuk menilai derajat keparahan hilangnya kemampuan
neurologis. Pertama kali di populerkan oleh Frankel pada tahun 1970 dengan penilaian pasien
dibagi kedalam 5 kategori : (a) tidak berfungsi sama sekali, (b) hanya sensoris, (c)
kemampuan sensoris dan motoris masih ada, (d) kemampuan motoris dapat digunakan, (e)
normal. Namun pada praktiknya, skala ASIA ini terdapat beberapa perbedaan dengan
aslinya.(13)

27
Gambar 8. ASIA impairment scale (13)

Gambar 9. Klasifikasi ASIA pada spondilitis TB (10)

3.5 Diagnosis
3.5.1 Anamnesis
Pada pasien dengan kecurigaan spondilitis TB biasanya datang dengan
keluhan awal nyeri pungung tidak spesifik.(2,10) Keluhan ini sering membuat tegaknya
diagnosis dini menjadi sulit. Maka itu, setiap pasien TB paru dengan keluhan nyeri punggung

28
harus dicurigai spondilitis TB sebelum dapat terbukti sebaliknya.(10) Nyeri pada punggung ini
dapat atau tanpa disertai dengan benjolan yang terasa nyeri.(15) Nyeri punggung dapat bersifat
terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.(4) Apabila
terdapat lesi pada torakal bagian atas, nyeri akan lebih dominan terasa pada bagian dada atau
interkostal, sedangkan lesi pada torakal bagian bawah akan menunjukkan nyeri ke daerah
perut. Nyeri hilang dengan beristirahat dan untuk mengurangi rasa nyeri nya, pasien akan
menahan punggungnya sehingga tampak kaku.(4) Riwayat TB paru atau riwayat gejala-gejala
klasik juga dapat ditemukan seperti demam intermiten lama terutama sore dan malam hari,
diaforesis nokturnal, batuk lama ( >3 minggu) dapat disertai dahak atau darah, dan penurunan
berat badan sampai cachexia jika TB paru belum dapat ditegakkan sebelumnya.(4,10,15) Perlu
diingat bahwa hanya sekitar 50% pasien dengan spondilitis TB yang foto toraksnya sesuai
dengan TB sehingga dapat menutup diagnosis.(2) Pada pasien anak, terlihat lesu dan lemas
yang ditandai dengan menurunnya keinginan bermain di luar rumah.(4) Paraparesis juga
merupakan gejala yang biasanya menjadi keluhan utama yang membawa pasien datang
mencari pengobatan. Gejala neurologis lain yang dapat timbul seperti rasa kebas, baal,
gangguan miksi dan defekasi (fungsi anorektal).(10)

3.5.2 Pemeriksaan fisik


Secara umum, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya fokus infeksi TB
di paru maupun di tempat lain. Pemeriksaan fisik generalis dapat ditemukan pernapasan
cepat, suara ronkhi sebagai akibat dari infiltrat serta suara napas amforik yang ataupun
bronkial yang berasal dari kavitas dengan predileksi di apeks paru.(10) Selain itu, salah satu
tanda khas spondilitis TB ialah ditemukan adanya deformitas yang dapat berupa : kifosis (
gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, subluksasi, spondliolistesis, dan dislokasi. (4)
Peningkatan frekensi napas disebabkan akibat adanya hambatan pengembangan volume paru
oleh tulang belakang yang kifosis.(10) Alignment vertebra juga perlu diperhatikan karena
infeksi spondilitis TB dapat menyebar dan membentuk abses paravertebra yang dapat teraba,
bahkan terlihat dari luar punggung berupa benjolan/pembengkakan. Permukaan kulit juga
perlu diperiksa dengan untuk mencari muara sinus/fistel hingga regio gluteal dan di bawah
inguinal (trigonum femorale). Pemeriksaan neurologis yang teliti juga sangat penting untuk
menunjang diagnosis dini spondilitis TB. Pada pemeriksaan neurologis, dapat ditemukan
gangguan fungsi motorik, sensorik dan autonom.(10) Kelumpuhan berupa kelumpuhan UMN,
namun pada presentasi awal akan didapatkan paralisis flaksid, baru setelahnya akan muncul
spastisitas sera refleks patologis positif. Kelumpuhan LMN juga mungkin terjadi jika radiks
spinalis anterior ikut terkompresi. Apabila kelumpuhan sudah lama, maka otot dapat atrofi

29
dan biasanya terjadi scara bilateral. Sensibilitas tiap dermatom perlu diperiksa untuk raba,
nyeri dan suhu yang kemudian akan dibandingkan dengan ekstremitas atas. Serta
pemeriksaan proprioseptif (gerak, arah, rasa getar dan diskriminasi dua titik) pada ekstremitas
bawah. Evaluasi sekresi keringat rutin juga dilakukan untuk menilai fungsi autonom.(10)
Bila infeksi melibatkan area servikal, maka pasien akan kesulitan untuk
menolehkan kepala dan mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi. Rigiditas pada leher
dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Jika
terdapat abses yang besar, dapat mendorong trakea ke sternal notch sehingga akan
menyebabkan disfagia, stridor respiratoar dan tetraparesis apabila sampai menyebabkan
kompresi medula spinalis. Infeksi pada regio torakal akan membuat punggung tampak kaku.
Rigiditas juga terlihat saat akan membalikkan tubuhnya dimana pasien akan menggerakkan
kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Dan saat mengambil sesuatu dari lantai,
ia menekuk lututnya sementara mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). Pola
jalan menggambarkan juga rigiditas protektif dari tulang belakang dimana langkah menjadi
pendek untuk menghindari nyeri pada bagian punggung.(4)

Gambar 9 . Contoh anak dengan Coin Test (+)

3.5.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang dapat dimulai dengan pemeriksaan laboratorium
dengan melakukan pemeriksaan laju endap darah (LED) dan ditemukan hasil yang meningkat
dari 20-100 mm/jam, namun gambaran ini tidak spesifik.(4,10) Tes mantoux yang positif dapat
timbul pada kondisi akibat terkena pemaparan dahulu maupun yang baru terjadi oleh
mycobacterium. Hasil yang negatif dapat ditemukan pada 20% kasus pada keadaan
tuberkulosis berat, atau pada pasien dengan imunodefisiensi serta malnutrisi. Pemeriksaan
cairan serebropinal dapat ditemukan abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

30
Cairan serebrospinal akan tampak xantokrom, bila dibiarkan pada suhu ruangan akan
menggumpal, pleositosis (dengan dominasi linfosit dan mononuklear), serta kandungan
protein meningkat.
Kultur cairan serebrospinal ditemukan adanya basil tuberkel merupakan konfirmasi yang
absolut namun hal ini tergantung dari pengalaman dan tahap infeksi yang sedang terjadi.(4)
Selain itu pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) juga dapat digunakan utnuk
mendeteksi DNA kuman tuberkulosis. PCR memiliki sensitivitas 80-98% dan spesifisitas
98%.(10)
Radiologi merupakan pemeriksaan yang paling menunjang untuk diagnosis
dini spondilitis TB sampai saat ini. Hal ini dikarenakan pemeriksaan radiologi
memvisualisasikan secara langsung kelainan fisik pada vertebra.(10) Pemeriksaan foto
radiologis sinar-x dapat dengan mudah menentukan diagnosis pada daerah endemik walaupun
pasien biasanya terdiagnosa dalam keadaan terlambat. Sementara itu, pemeriksaan pencitraan
yang lebih lanjut yang berguna pada area non endemik terutama untuk menegakkan diagnosis
secara dini. Pemeriksaan foto radiologis memberikan gambaran bervariasi tergantung tipe
patologi dan kronisitas infeksi. Pemeriksaan foto polos thorax dilakukan pada seluruh pasien
untuk mencari bukti TB paru, karena sekitar 2/3 kasus mempunya foto thorax yang abnormal.
Kemudian, foto seluruh tulang belakang (AP-lateral) juga perlu untuk mencari bukti klinis
TB, namun tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit. Tahap
awal : tampak lesi osteolitik pada bagian anterosuperior korpus vertebra, osteoporosis
regional yang berlanjut sampai penyempitan diskus intervertebralis.(4,10) Sampai pada tahap
lanjut akan tampak erosi korpus vertebra ke arah anterior membentuk scalopping atau
akordion (concertina) sehingga disebut juga concertina collapse.(4,10) Pada fase lanjut,
kerusakan pada bagian anterior akan semakin berat dan membentuk angulasi kifotik (gibbus).
Bayangan opak yang memanjang paravertebral dapat juga terlihat yang merupakan cold
abscess. Namun dengan sinar-X cold abscess kurang terlihat dengan baik.(10)
Pada pasien dengan deformitas gibbus, akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio
tinggi > lebar, bentuk ini dikenal dengan nama long vertebrae atau tall vertebrae. Selain itu
dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak
pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai
bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi
pada saat penyembuhan.(4)
CT scan merupakan pemeriksaan terbaik untuk menentukan derajat
keikutsertaan tulang.(7) Dengan pencitraan Computed Tomography Scan (CT scan),
bermanfaat untuk memvisualisasikan regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit terlihat

31
dengan foto polos. Keterlibatan lengkung saraf posterior (pedikel) tampak lebih baik dengan
CT scan.(4) CT scan dapat memperlihatkan dengan jelas sklerosis tulang, destruksi korpus
vertebra, abses epidural, fragmentasi tulang dan penyempitan kanalis spinalis. Selain itu, CT
scan juga berguna untuk guiding tindakan biopsi perkutan dan menentukan luas kerusakan
jaringan tulang.(10)
Gold standart untuk diagnosis spondilitis TB ialah aspirasi jarum terhadap
abses dan biopsi perkutan tulang belakang dengan dipandu CT scan (CT - guided) atau
fluoroskopi.(2,10) Spesimen kemudian dikirin ke laboratorium untuk pemeriksaan histologis,
kultur dan pewarnaan BTA. Kultur BTA didapatkan positif pada 60-89% kasus.(10) Pada
pemeriksaan radiologisnya, spondilitis TB didapatkan lesi osteolitik murni tanpa keterlibatan
diskus intervertebrals dan dapat terlihat pada beberapa tempat.(2)
Sementara itu, pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) sangat baik
untuk menilai jaringan lunak dimana perubahan sumsum tulang termasuk abses paraspinal
dapat dinilai. MRI aksial dan sagital disarankan untuk mengevaluasi spondilitis TB.(10) MRI
dengan kontras memberikan informasi yang lebih komprehensif termasuk derajat destruksi,
lokasi dan ukuran abses paravertebra atau epidural dan adanya patologi medula spinalis
seperti kompresi.(7) MRI juga mempunyai manfaat untuk membedakan komplikasi yang
bersifat kompresif dengan yang non kompresif. Hal ini penting untuk membantu menentukan
pilihan terapi konservatif atau operatif, serta membantu menilai respon terapi.(4)

3.6 Diagnosis banding

Diagnosis banding spondilitis TB dapat berupa infeksi spondilitis piogenik, infeksi


fungal, bruselosis ataupun sifilis, serta keganasan yang bersifat jinak, ganas, maupun metastasis.
Untuk menegakkan masing-masing diagnosis ini perlu dilakukan biopsi pulasan dan histologis.(7)
Osteomyelitis piogenik atau fungal, secara klinis dan radiologis sulit dibedakan dengan
(3)
spondilitis TB. Osteomyelitis merupakan manifestasi tuberkulosis muskuloskeletal yang paling
jarang ditemui, kurang lebih hanya merepresentatifkan <5% kasus. Gejala klinis seperti nyeri
terlokalisir, pembengkakan jaringan yang biasanya muncul dari rentang hari-bulan, juga demam
'sumeng-sumeng', penurunan berat badan dan lemas. Limfadenopati regional juga seringkali
ditemui. Pada foto polos radiologi, osteomyelitis tuberkulosadapat menyerupai beragam kondisi
lainnya, dan yang paling sering ditemukan adalah lesi kistik soliter dengan sclerotic rim. (7)
Poin penting yang perlu diingat pada spondilitis TB ialah manifestasi klinik berupa
nyeri punggung non spesifik, deformitas angulasi kifotik, kompresi medula spinalis yang
sering menjadi alasan penderita datang berobat.

32
 Spondilitis piogenik
Spondilitis piogenik umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
Streptococcus, dan Pneumococcus. Sampai sekarang, prevalensi spondilitis piogenik
dilaporkan mengalami peningkatan seiring dengan banyaknya penyalahgunaan
antibiotik, tindakan invasif spinal, dan pembedahan spinal. Di sisi lain jumlah kasus
baru spondilitis TB kian berkurang dengan penggunaan OAT. Pada spondilitis
piogenik, vertebra servikal dan lumbal lebih sering terlibat dibandingkan dengan
spondilitis TB yang lebih sering mengenai vertebra torakolumbal lebih dari satu
vertebra. Pemeriksaan penunjang yang tepat dapat membedakan spondilitis TB dan
spondilitis piogenik. Telah dilakukan studi untuk membedakan kedua jenis penyakit
ini dengan MRI. Pada spondilitis TB temuan radiologis MRI mengarah kepada
beberapa hal berikut : 1) gambaran abnormal paraspinal berbatas tegas. 2) dinding
abses tipis dan halus. 3) adanya abses paraspinal dan intraoseus. 4) penyebaran
subligamen lebih dari 2 vertebra. 5) keterlibatan vertebra torakal. 6) ditemukan lesi
multipel. Bila ada temuan radiologis selain ini maka diagnosis infeksi piogenik lebih
mungkin.
 Tumor metastasis spinal
Insiden tertinggi tejadi pada suai >50 tahun. Tumor metastasis spinal mencakup 85%
dari semua tumor tulang yang mengakibatkan kompresi medula spinalis. Neoplasma
yang dapat bermetastasis ke medula spinalis antara lain, tumor payudara, prostat,
paru, limfoma, sarkoma dan mieloma multipel.
 Keganasan primer
Pada anak-anak keganasan seperti neuroblastoma, sarkoma Ewing dan hemangioma
sering menyebabkan kompresi medula spinalis. Keluhan nyeri punggung kronis
progresif yang tidak spesifik inilah yang sulit membedakan spondilitis TB dengan
keganasan. Namun, adanya abses dan fragmen tulang merupakan temuan MRI yang
dapat membedakan spondilitis TB dengan neoplasma.
 Fraktur kompresi
Adanya riwayat trauma dengan kekuatan yang cukup besar, atau individu yang
bersangkutan juga terdapat osteoporosis, usia lanjut ataupun penggunaan steroid
jangka panjang.

3.7 Tatalaksana
Penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi 2, yaitu penanganan secara
medikamentosa dan intervensi pembedahan.(10) Tujuan dari manajemen spondilitis TB adalah:

33
(a) memberantas kuman TB dengan menggunakan OAT, (b) meningkatkan keadaan umum
pasien, (c) mencegah atau mengoreksi deformitas yang dialami pasien dengan dekompresi
atau stabilisasi, (d) mencegah atau mengatasi komplikasi yang terjadi berupa defisit
neurologis, seperti paraplegi.(5) Prof. Subroto Sapardan pada tahun 1984 mengembangkan
pendekatan tata laksana total spondilitis TB untuk mengatasi beragam masalah spondilitis
tuberculosis pada anak, dewasa maupun orang tua. Khusus pada penderita anak, evaluasi
jangka panjang pendekatan tata laksana total spondilitis tuberkulosis menyisakan beberapa
masalah seperti kelainan postural, disproporsional panjang badan terhadap panjang tungkai,
deformitas tulang belakang dan implant failure. Tata laksana total yang diperkenalkan oleh
Prof. Subroto Sapardan dari Universitas Indonesia tahun 1984 merupakan panduan
penatalaksanaan untuk spondilitis tuberkulosis dengan membagi sepuluh alternatif
pengobatan yang memudahkan seorang ahli bedah memilih jenis tindakan yang sesuai
dengan perkembangan penyakitnya.22 Tatalaksana Total Subroto Sapardan bertujuan
menyembuhkan infeksi, mencapai tulang bela-kang yang stabil dan bebas dari rasa sakit,
tanpa deformitas serta mengembalikan fungsi tulang belakang dan organ yang terlibat
sehingga memungkinkan penderitanya dapat kembali ke kehidupan sosial, keluarga dan
lingkungan kerjanya.(19) Dahulu seperti yang diketahui bersama, Prof. Subroto Supardan telah
mengembangkan metode terapi yang menggabungkan tindakan konservatif dan operatif
berdasarkan masalah yang ada pada masing-masing pasien, metode tersebut terdiri dari 11
protokol yang meliputi : (18)
1. Konservatif dengan obat-obatan
2. Operasi untuk evakuasi abses
3. Hongkong method, debridement anterior dan fusi anterior.
4. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method pada
pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang tidak kaku.
5. Instrumentasi posterior untuk koreksi spontan disertai Hongkong method dan
shortening pada penderita spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang kaku.
6. Hongkong method disertai dengan instrumentasi anterior.
7. Instrumentasi posterior dan debridement melalui costotraversectomy dapat disertai
shoretening pada lamina dan pedikel.
8. Instrumentasi posterior saja pada pasien yang dilakukan total posterior shortening
atau pada pasien yang dilakukan posterolumbar intervertebral fusion. Hal ini
dilakukan pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis di lumbal.

34
9. Hanya dilakukan tindakan posterior debridement, laminectomi, biopsi
transpedikuler dan instrumentasi. Hal ini dilakukan bila tidak ada abses, operasi
anterior dipertimbangkan risikonya lebih besar.
10. Spondilitis yang sudah sembuh dengan kifosis berat (>60°) terutama pada defisit
neurologis dilakukan tindakan posterior dan shortening lamina, pedikel dan korpus.
11. Spondilitis TB dengan deformitas >90° disertai kelumpuhan atau paralisis spastik
dilakukan tindakan dekompresi medula spinalis dan fusi minimal dengan atau tanpa
koreksi.

35
Pada perkembangannya, Tahapan Tatalaksana Total Subroto Sapardan dibagi menjadi 4
tahapan, yaitu : mengidentifikasi dan klarifikasi masalah yang ada, membuat daftar
modalitas operasi mulai dari konservatif sampai invasif, menyesuaikan daftar masalah
dengan pengobatan yang tepat untuk masing-masing pasien, dan memberikan sepuluh pilihan
pengobatan dari sepuluh alternatif yang tersedia. Metode Tata Laksana Total Subroto
Sapardan juga meliputi 10 alternatif, yaitu: (19)
1. Alternatif 1: Metode konservatif dengan obat-obatan dan penyangga tubuh dari luar untuk
keadaan infeksi stadium dini, keadaan umum baik, keluhan minimal dan pasien atau
keluarga yang tidak bersedia dilakukan operasi.
2. Alternatif 2: Operasi untuk evakuasi abses, dilakukan pada kasus infeksi dengan abses
dingin yang besar tetapi dengan lesi tulang yang minimal dengan atau tanpa nyeri.
3. Alternatif 3: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, debridemen dan fusi
untuk kasus infeksi di daerah torakolumbal dengan kifosis minimal (< 10 derajat) dengan
atau tanpa nyeri.
4. Alternatif 4: Operasi dengan pendekatan anterior dan posterior satu tahap, debridemen
dan fusi untuk kasus infeksi dengan tulang belakang yang tidak stabil dan nyeri hebat.
5. Alternatif 5: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi anterior, atau pendekatan
anterior dan posterior satu tahap, debridemen dan fusi spontan untuk kasus infeksi dengan
kifosis yang kaku, dengan atau tanpa nyeri.
6. Alternatif 6: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi
untuk kasus infeksi di daerah torakal.
7. Alternatif 7: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi
untuk kasus infeksi di daerah lumbal disertai kifosis sedang (< 75 derajat).
8. Alternatif 8: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen dan fusi
untuk kasus infeksi di daerah lumbal disertai kifosis moderate (75-89 derajat).
9. Alternatif 9: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen,
distraksi dan fusi untuk kasus infeksi dengan defisit neurologi disertai kifosis berat (> 90
derajat).
10. Alternatif 10: Operasi dengan pendekatan dan instrumentasi posterior, debridemen,
distraksi dan fusi untuk kasus infeksi tanpa kelainan neurologis disertai kifosis berat (> 90
derajat).

36
A. Medikamentosa
Spondilitis TB dapat diobati sempurna dengan OAT saja apabila terdiagnosis secara
dini, dimana destruksi tulang dan deformitas yang terjadi masih minimal.(10) Terapi
spondilitis TB yang diterapkan berupa multidrug therapy. Umumnya, komposisi OAT
yang digunakan pada TB paru juga dapat digunakan pada TB ekstra paru dengan
durasi yang masih berbeda-beda menurut para ahli.(10) Pada sub bagian bedah
orthopedi FKUI-RSCM, untuk terapi medikamentosa regimen yang biasanya
dipergunakan ialah kombinasi 4 kemoterapi (RHZE) dimana etambutol dan
pirazinamid diberikan dalam 2 bulan pertama, kemudian INH dan rifampisin
diberikan selama 12 bulan.(18) Menurut Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
untuk Tata Laksana Tuberkulosis yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia disebutkan bahwa pengobatan biasanya diberikan selama 9-12
bulan dengan mempertimbangkan penetrasi obat yang lemah ke dalam jaringan tulang
dan jaringan fibrosa serta sulitnya memonitor respons pengobatan.(2) Menurut World
Health Organization (WHO), kemoterapi sebaiknya diberikan setidaknya selama 6
bulan. British Medical Research Council menyarankan untuk spondilitis TB
torakolumbal dilakukan kemoterapi OAT selama 6-9 bulan.(6,10) Sebelumnya,
menurut beberapa ahli dikatakan bahwa terapi pertama pada spondilitis TB adalah

37
dengan kemoterapi OAT.(16) Studi dari Medical Research Council of Great Britain
menemukan bahwa pasien rawat jalan dengan kemoterapi memberikan hasil yang
efektif untuk pasien dengan spinal tuberkulosis uncomplicated.(7,16) Menurut
Pattinson, et al. dari 89 pasien dengan defisit neurologis yang diterapi dengan
kemoterapi saja hasilnya 72% pasien kembali memiliki fungsi neurologis yang normal
dan 84% dapat beraktivitas dengan alat bantu. Durasi kemoterapi untuk kelainan
vertebra masih diperdebatkan hingga saat ini. Biasanya, waktu yang
direkomendasikan untuk melakukan terapi adalah 18 bulan. Namun baru-baru ini
menurut Parthasarathy, et al. menyebutkan bahwa durasi kemoterapi dapat dikurangi
menjadi 9 bulan.(16)
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) telah merumuskan regimen terapi OAT
untuk pasien TB.(10) Untuk kategori I, yaitu kasus baru TB paru kasus baru dengan TB
ekstraparu, termasuk TB spinal, diberikan 2 HRZE (HRZS) fase inisial dilanjutkan
4HR fase lanjutan, atau 2HRZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 4H3R3 fase lanjutan,
atau 2RHZE(HRZS) fase inisial dilanjutkan 6HE fase lanjutan.(2,10) Pemberian
regimen bisa diperpanjang sesuai dengan respons klinis penderita. Sedangkan untuk
kategori II, yaitu kasus gagal pengobatan, relaps, drop-out, diberikan 2RHZES fase
inisial dilanjutkan 5HRE fase lanjutan, atau 2HRZES fase inisial dilanjutkan
5H3R3E3 fase lanjutan.(2,10) Pemberian bisfosfonat intravena bersamaan dengan
kemoterapi OAT telah dicoba pada beberapa pasien dan dikatakan dapat
meningkatkan proses perbaikan tulang. Nerindronat 100 mg pada pemberian pertama,
dan 25 mg setiap bulan berikutnya selama 2 tahun telah diujicobakan dengan hasil
yang memuaskan. Nerindronat disebutkan dapat menghambat aktivitas resorpsi
osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas. Namun, studi ini masih terbatas pada
satu pasien dan perlu dievaluasi lebih lanjut.(10) Terapi medikamentosa dikatakan
gagal jika dalam 3–4 minggu, nyeri dan atau defi sit neurologis masih belum
menunjukkan perbaikan setelah pemberian OAT yang sesuai, dengan atau tanpa
imobilisasi atau tirah baring.(10)

B. Pembedahan
Indikasi tindakan bedah pada pasien spondilitis TB akut adalah : (2,5,17)
o Terjadinya defisit neurologis yang progresif
o Terjadi deformitas vertebra progresif dimana kifosis segmental pada vertebra
melebihi ± 40º secara anteroposterior ataupun lateral

38
o Pengobatan konservatif yang tidak menunjukkan hasil
o Nyeri berat akibat abses atau instabilitas vertebra
o Kesulitan penegakkan diagnosis akibat sulit menentukan diagnosis mikrobiologis dari
mikroskop, kultur ataupun melalui PCR.
Intervensi bedah dilakukan pada pasien dengan skala GATA IB- GATAIII, dengan
satu-satunya kontraindikasi tindakan intervensi ini adalah gagal jantung dan paru.(5) Tindakan
pembedahan secara umumyang dilakukan pada spondilitis TB adalah dekompresi, pemberian
instrumentasi stabilitator dan koreksi kifosis.(6) Sementara pada sumber yang lain, rangkaian
pembedahan pada spondilitis TB meliputi drainase abses, debridemen radikal, penyisipan
tandur tulang, artrodesis/fusi, penyisipan tandur tulang, dengan atau tanpa
instrumentasi/fiksasi baik anterior maupun posterior dan osteotomi.(10)
Dekompresi medula spinalis dilakukan untuk menunjang stabilisasi tulang belakang.
Indikasi tindakan dekompresi ini adalah apabila terjadi kompresi ekstradural akibat jaringan
granulasi dengan komponen cairan yang menekan medula spinalis.(6,17) Instrumentasi
stabilisator diindikasikan pada penyakit panvertebral yang mana dekompresi anterior sudah
melebihi 2 korpus vertebra. Selain itu, tindakan ini juga dilakukan pada pasien dengan kifosis
ringan (30º-35º) untuk mencegah perburukan.(6,17) Instrumentasi posterior seperti implan
Hartshill dengan mengambil lokasi satu segmen diatas dan bawah. Koreksi kifosis dilakukan
pada kifosis berat dengan sudut ≥ 60º atau bila kifosis memicu deformitas dan gangguan
fungsional. Drainase abses dilakukan guna mencegah progresi defisit neurologis serta
mencegah kolaps vertebra akibat cold abscess yang terbentuk dan menekan medula spinalis.
Abses dapaet terbentuk di tingkat manapun sesuai dengan fokus infeksi TB pada vertebra.
Pada tingkat servikal, abses dapat terjadi padarongga retrofaringeal dan segitiga posterior
leher. Untuk abses retrofaringeal dapat dilakukan pendekatan transoral, dan sedangkan pada
segitiga posterior insisi dilakukan pada margo posterior m. sternokleidomastoideus. Abses
pada tingkat torakal, dievakuasi secara kostotransversektomi. Drainase abses lumbar
dilakukan lewat insisi longitudinal dorsolateral. Drainase abses psoas/pelvis dilakukan
melalui segitiga Petit atau insisisi Ludioff.(10)
Debridemen anterior tanpa instrumentasi diseut juga dengan ”Operasi Hongkong”.
Pembedahan ini relatif mudah dan memerlukan waktu yang singkat. Tindakan ini meliputi
debridemen radikal pendekatan anterior, diikuti penyisipan tandur tulang iga otogenik untuk
koreksi deformitas kifosis. Namun, teknik ini tidak dapat digunakan untuk kasus yang
memerlukan rekonstruksi luas/ setidaknya dua tingkat diskus. Tingkat kegagalan fusi dan
migrasi tandur sangat tinggi, sehingga sering pasien memerlukan operasi kedua. Penelitian

39
oleh El-Deen, et al. yang melakukan reseksi anterior radikal, diikuti fusi anterior tanpa fi
ksasi internal yang digantikan denga fiksasi eksternal (plaster jacket) mendapatkan hasil yang
cukup memuaskan. Namun, salah satu kerugiannya adalah durasi mobilisasi pasien yang
lebih lambat dibandingkan dengan fiksasi internal. Meskipun begitu, metode ini bisa
dipertimbangkan sebagai alternatif yang memberikan hasil yang cukup memuaskan. Banyak
laporan penelitian yang mengatakan bahwa debridemen anterior dengan instrumentasi
anterior atau posterior menjanjikan hasil yang baik. Instrumentasi sangat direkomendasikan
pada kasus yang memerlukan debridemen radikal setidaknya dua diskus dan satu badan
vertebra. Dengan tambahan instrumentasi anterior, kemungkinan koreksi kifosis meningkat
hingga 80 persen dan dapat membantu menjaga hasil koreksi tersebut. Penelitan oleh Jain, et
al. menyatakan bahwa tindakan dekompresi anterior sangat dianjurkan pada pasien spondilitis
TB. Pada 38 pasien dengan spondilitis TB, dekompresi anterior, instrumentasi posterior,
dengan atau tanpa koreksi kifosis, dan fusi anterior/posterior dilakukan dalam sekali
pembedahan melalui pendekatan anterolateral ekstrapleural. Pasien dioperasi dari posisi
lateral kiri menggunakan potongan T, pada apeks kifosis.
Pembedahan dengan pendekatan posterior saja dapat digunakan untuk mengangani
pasien spondilitis TB. Pembedahan ini termasuk fusi dan instrumentasi posterior operasi
tunggal tanpa debridemen anterior. Teknik ini banyak bergantung pada pemberian OAT
untuk mengeradikasi lesi spondilitis TB. Teknik ini tidak dapat digunakan pada kasus dengan
defisit neurologis, abses di bagian anterior, atau lesi di banyak tingkat. Osteotomi dan reseksi
kolumna vertebra dilakukan jika deformitas kifotik yang sangat kaku dan tajam, untuk
meningkatkan fleksibilitas vertebra. Osteotomi dapat mengoreksi deformitas kifotik hingga
20–30% pada satu tingkat. Namun, tindakan ini memiliki angka komplikasi yang tinggi
termasuk perdarahan dan gangguan neurologis. Teknik ini dapat dilakukan dari anterior dan
posterior.(10)

3.8 Komplikasi
Setelah pengobatan dilaksanakan, respons klinis paling baik dinilai melalui indikator
klinis seperti nyeri, gejala konstitusional, mobilitas dan tanda neurologis.(2) Komplikasi yang
juga dapat terjadi adalah kifosis berat akibat kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat
sehingga tulang yang mengalami destruksi yang sangat besar. Hal ini juga akan
mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior.(15) Namun, kompresi korda
spinalis sebagai akibat kifosis berat inilah yang akan menimbulkan disabilitas serta disfungsi

40
neurologis.(2,16) Pasien spondilitis TB mempunyai risiko paraparesis atau paraplegia yang
dibagi menjadi: (2)

a. Paraplegia awitan cepat, merupakan fase aktif penyakit vertebra awitannya dalam 2
tahun pertama. Patologi yang terjadi adalah edema inflamasi, jaringan granulasi
tuberkel, abses tuberkel, jaringan perkijuan tuberkel atau yang jarang ditemukan
dalam lesi iskemik korda spinalis.

b. Paraplegia awitan lambat, muncul lebih dari 2 tahun setelah penyakit ditemukan di
kolum vertebra. Komplikasi neurologis dapat berhubungan degan penyakit atau
kompresi mekanik pada korda spinalis. Patologi yang dapat terjadi adalah jaringan
perkijuan, debris tuberkel, gibus internal, stenosis kanalis vertebra atau deformitas
berat. Tingkat keparahan defisit neurologis tergantung pada derajat gangguan motorik.

41
KESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosis berpotensi menyebabkan morbiditas yang cukup serius yaitu


kelumpuhan dan juga deformitas vertebra. Diagnosis dini spondilitis TB masih terbatas dan
pada mayoritas kasus terjadi keterlambatan diagnosis yang menyebabkan perburukan dari
kualitas hidup penderita. Pemeriksaan penunjang yang sampai saat ini masih dianggap paling
baik untuk penegakkan diagnosa adalah dengan MRI, namun jika fasilitas tidak memadai,
CT-scan ataupun foto polos dengan sinar-X. Terdapat gold standart untuk menegakkan
diagnosis spondilitis TB yakni dengan pemeriksaan histologis dan mikrobiologis dari
spesimen yang diambil melalui aspirasi jarum terhadap abses dan biopsi perkutan tulang
belakang dengan dipandu CT scan (CT - guided).
Kemoterapi OAT merupakan terapi awal yang paling baik dan terbukti efektif hingga
saat ini. Terapi invasif seperti pembedahan dilakukan hanya apabila terdapat indikasi-indikasi
tertentu. Namun, akibat diagnosis dini spondilitis TB yang masih sering terlambat makan
pilihan pembedahan tetap dianggap sebagai tatalaksana yang umum. Penatalaksanaan secara
menyeluruh harus dinilai bagi setiap pasien secara individual dan disesuaikan dengan
kemampuan yang ada.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis : Pedoman diagnosis &


penatalaksanaan di Indonesia. PDPI 2006;1-33.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Kemenkes RI 2013;1-6,72-74.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II.
4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
4. Vitriana. Spondilitis Tuberkulosis. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran - RSUP dr. Hasan
Sadikin / Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RSUPN dr.
Ciptomangunkusumo.2002.
5. Faried A, Hidayat I, Yudoyono F, Dahlan RH, Arifin MZ. Spondylitis
tuberculosis in neurosurgery department Bandung Indonesia. JSM Neurosurg
Spine 2015; 3 : 1059.
6. Jacobus DJ. Pott's disease. CDK 2014 ; 41 : 676-83.
7. Shrestha OP, Sitoula P, Hosalkar HS, Banskota AK, Spiegel DA. Bone and joint
tuberculosis. Research Gate 2010;20: 23-8.
8. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley's System of Orthopaedics and
Fracture. 9th ed. London : Hodder Arnold; 2010.
9. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TO, Rudiman R. Buku Ajar Ilmu
Bedah. 3rd ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
10. Zuwanda, Janitra R. Diagnosis dan penatalaksanaan spondilitis tuberkulosis.
CDK 2013; 40: 661-73.
11. Nataprawira HM, Rahim AH, Dewi MM, Ismail Y. Comparation between
operative and conservative therapy in spondylitis tuberculosis in Hasan Sadikin
Hospital Bandung. Maj Kedokt Indon 2010; 60 : 318-22.
12. Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M, Ozturk C, Komurcu M, et al. A new
classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. Intl Orth
2008; 32 : 127-33.
13. Young W. Spinal cord injury levels and classification. Website : SciInfoPages.
Nov 14th 2014. [Cited Nov 18th 2015] . Available at : http://www.sci-info-
pages.com/levels.html
14. Paulsen F, Waschke J. Sobotta : Atlas of Human Anatomy Jilid I. 23th ed. Munich
: Elsevier; 2010.
15. Paramarta IG, Purniti PS, Subnada ID, Astawa P. Spondilitis tuberkulosis. Sari
Pediatri 2008; 10 : 177-83.
16. Spiegel DA, Singh GK, Banskota AK. Tuberculosis of the musculoskeletal
system. Tech in Orth 2005; 20 : 167-78.
17. Jain AK. Tuberculosis of the spine : a fresh look at an old disease. J Bone Joint
Surg 2010; 92-B: 905-13.
18. Asrial M. Perbedaan skala nyeri VAS sebelum dan sesudah operasi spondilitis
tuberkulosis di RS tempat pendidikan FK USU. Departemen Ilmu Bedah FK
USU 2008 : 1-31.
19. Salim R, Kurniawati T, Setiawaty V. Preservasi kolum posterior dengan
menggunakan teknik debridement invasi minimal pada penderita spondilitis
tuberkulosis torakal umur 2 tahun. Media Litbangkes 2015; 25: 9-18.

43

You might also like