You are on page 1of 38

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Soraya Alamudi

NIM : 030.11.277

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti


Periode Kepaniteraan : 10 Oktober-17 desember

Judul Case : Benign Prostate Hyperplasia

Pembimbing : dr. Tri Endah Suprabawati,Sp.U

Jakarta, November 2016

Pembimbing,

dr. Tri Endah Suprabawati,Sp.U


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan
izin-Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan kasus
ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi Asih
Jakarta.

Penyusun mengucapkan terimakasih kepada dr. Tri Endah, Sp.U yang telah
membimbing penyusun dalam mengerjakan laporan kasus ini, serta kepada seluruh dokter yang
telah membimbing penyusun selama di kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Bedah di RSUD Budhi
Asih Jakarta. Dan juga ucapan terima kasih kepada teman-teman seperjuangan di kepaniteraan
ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun.

Penyusun sadar laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, masih banyak
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat
penyusun harapkan. Akhir kata, penyusun mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat
berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, November 2016

Soraya Alamudi
BAB I

PENDAHULUAN

Benign Prostat Hiperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai
pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini dilihat dari
frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerika secara umum dan di Indonesia secara khusus.
Di dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah sebanyak 30 juta. Jika dilihat secara
epidemiologinya, insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita
penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60
hingga 70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persentasenya
mencapai hingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih. Kanker prostat, juga merupakan salah satu penyakit prostat yang
lazim terjadi dan lebih ganas dibanding BPH, yang hanya melibatkan pembesaran jinak
daripada prostat. Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50
dan pada usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di
Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah
sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas,
saluran pencernaan dan hati. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat oleh karena sebenarnya
yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan
prostat yang asli ke perifer.1 Berdasarkan data yang ada, sedikitnya gejala yang timbul pada
BPH berhubungan dengan umur, pada umur 55 tahun 25% gejala berkaitan dengan obtruksi
yaitu susah untuk buang air kecil. Pada umur 75 tahun, 50% laki- laki mengeluh kekuatan dan
pancaran urine berkurang. 2
BAB II

LAPORAN KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
CASE

Nama Mahasiswa : Soraya Alamudi

NIM : 030.011.277

Dokter Pembimbing : dr.Tri Endah Sp.U

IDENTITAS PASIEN

Nama Lengkap : Tn. B Jenis Kelamin : Laki-laki


Umur : 57 tahun Suku Bangsa : Betawi
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh Pendidikan : -
Alamat : Prumpung Tanggal Masuk RS : 6 November 2016
Tengah

A. ANAMNESIS

Diambil dari autoanamnesis, tanggal 7 November 2016 pukul 12.00 WIB

Keluhan Utama :

Kesulitan berkemih sejak 2 tahun yang lalu


Riwayat Penyakit Sekarang :

Os datang ke Poli Bedah Urologi RSUD Budhi Asih bulan Agustus 2016 dengan
keluhan kesulitan berkemih yang dirasakan berulang kurang lebih 2 tahun yang lalu, OS
mengaku perlu mengejan lebih keras dalam berkemih, sering merasa belum tuntas saat
berkemih, hanya beberapa tetes serta memerlukan waktu yang lama, terkadang malam hari
terbangun untuk berkemih beberapa kali. OS juga mengeluhkan perasaan seperti anyang-
anyangan sejak 3 bulan yang lalu. Semakin lama gejala yang dialami os memberat. Os sudah
sering berobat dan konsumsi obat harnal ocas namun os mengatakan selama 2 bulan ini Os
menggunakan kateter dan rutin kontrol ke poli bila kateter dilepas os tidak bias BAK. Os
direncanakan untuk dilakukan operasi TURP.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Os mengaku sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya kurang lebih 2 tahun
yang lalu, os minum obat harnal ocas rutin dan sering menggunakan kateter. Bila terpasang
kateter keluhan os berkurang. Os menderita diabetes mellitus sejak 5 tahun yang lalu, riwayat
penyakit ginjal, jantung, hipertensi, asthma disangkal oleh os.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat diabetes mellitus, penyakit ginjal, asthma, hipertensi pada keluarga disangkal os.

Riwayat Kebiasaan :

Os mengaku tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol. Os juga mengatakan sudah


berhenti merokok.

B. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Kesan Sakit : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos mentis

Kesan Gizi : gizi cukup


Tanda Vital

Tekanan darah : 130 / 80 mmHg

Tekanan nadi : 68 x/menit

Suhu : 36,5˚C

Frekwensi nafas : 20 x/menit

Status Generalis

Kepala : normocephali , distribusi rambut merata

Mata : pupil bulat isokor, conjungtiva anemis (- / -) , sclera ikterik (- /-) ,

reflex cahaya langsung (+ /+) , reflex cahaya tidak langsung (+ / +)

Hidung : simetris, deformitas (-), septum deviasi (-) , secret (-)

Telinga : normotia, liang telinga lapang, reflex cahaya membran timpani (+/+), secret (-
/-)

Mulut : simetris, kering (+) , sianosis (-),

tonsil T1-T1,tenang. Faring hiperemi.

Leher : trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba, KGB tidak teraba pembesaran
Thorax :

Inspeksi :

Depan : Bentuk thorax normal, simetris, potongan melintang


berbentuk elips

Samping : Tidak tampak kifosis, tidak tampak lordosis, gibbus


(-)

Belakang : Tidak tampak skoliosis, gibbus (-)


Warna kulit dinding dada hitam, tidak ikterik, tidak anemis, tidak
sianosis, tidak pucat, dilatasi vena (-), tidak tampak effloresensi
yang bermakna

Tulang sternum normal,mendatar, tidak cekung, tidak menonjol

Tulang iga normal, tidak terlalu melebar, tidak terlalu


menyempit

Sela iga normal, tidak menyempit, tidak melebar, tidak ada


retraksi

Bantuan otot pernafasan (-)

Tidak tampak adanya pulsasi abnormal

tampak pulsasi iktus kordis pada ICS 5

Gerak pernafasan dinding dada simetris, tidak ada bagian yang


tertinggal, tipe pernafasan abdomino-torakal

Palpasi : Pergerakan nafas kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian

yang tertinggal

Vocal fremitus kanan = kiri

Ictus cordis setinggi ICS 5 1cm medial linea midclavicularis

kiri

Perkusi :

Depan : Sonor pada kedua lapang paru

Batas paru - hepar setinggi ICS 5 linea midclavicularis


kanan dengan suara redup
Batas paru - jantung kanan setinggi ICS 3 – ICS 5 linea
sternalis kanan dengan suara redup

Batas bawah paru – lambung setinggi ICS 8 linea


axillaris anterior dengan suara timpani

Batas paru – jantung kiri setinggi ICS 5 3cm medial line


midclavicularis kiri dengan suara redup

Batas atas jantung setinggi ICS 3 linea parasternalis kiri

Margin of isthmus kronig sonor 3 jari pemeriksa simetris


pada kanan dan kiri.

Auskultasi :

Paru : Suara nafas vesikuler, ronchi (-/-), wheezing(-/-)

Jantung : Irama teratur, frekuensi 100 x/menit

BJ I-II regular, BJ III & IV (-), Opening snap (-), ejection


sound (-), sistolik click (-)

Murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Bentuk abdomen mendatar dan simetris, gerak dinding perut

simetris, tidak ada yang tertinggal, dinding perut mengembang saat


inspirasi dan mengempis saat ekspirasi, tipe pernafasan abdomino-
torakal, tidak tampak gerak peristaltik usus.

Auskultasi : Bising usus 5x/menit.

Perkusi : Perkusi orientasi pada 4 kuadran abdomen timpani.


Palpasi :- dinding perut : nyeri tekan epigastrium (-)

- Hati : tidak teraba


- Limpa : tidak teraba
- Ginjal : Ballotement (-), nyeri ketok CVA (-)
 Shifting dullness (-)

Ekstremitas

 Atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)


 Bawah : akral hangat (+/+), oedem (-/-)

Pemeriksaan Rectal Toucher (dilakukan pada tanggal 7 November 2016)

- Tonus sfingter ani baik


- Mukosa rectum licin
- Feses (-), lendir (-), darah (-), massa (-), nyeri (-)
- Prostat teraba membesar dan kenyal, simetris antar lobus kanan dan kiri, tidak teraba
nodul-nodul, nyeri (-). linea mediana tidak teraba.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 06 November 2016

Hematologi Hasil Satuan Nilai Normal


Leukosit 9,6 Ribu/µl 3,8 – 10,6
Eritrosit 5,1 Juta/ µl 4,4 – 5,9
Hemoglobin 14,3 g/dl 13,2 – 17,3
Hematokrit 45 % 40 – 52
Trombosit 424 Ribu/µl 150 - 440
MCV 86,5 fL 80 – 100
MCH 27,9 pg 26 – 34
MCHC 32,2 g/dL 32 – 36
RDW 11,8 % < 14
Kimia Klinik

Elektolit Serum Hasil Satuan Nilai Normal


Natrium (Na) 140 mmol/L 135 - 155
Kalium (K) 4,3 mmol/L 3,6 - 5,5
Klorida(Cl) 108 mmol/L 98 - 109
Ginjal
Ureum 16 mg/dL 17 – 49
Kreatinin 1,18 mg/dL < 1,2

Faal Hemostasis

Waktu Perdarahan 2.30 Menit 1-6


Waktu Pembekuan 12.00 Menit 5 - 15

Metabolisme Karbohidrat

Glukosa darah 239* Mg/dL <110


sewaktu
USG Abdomen

 Hepar : besar dan bentuk normal, permukaan regular. Echostruktur parenkim


homogeny. Pembuluh darah normal dan saluran bilier normal. tak tampak SOL /
kalsifikasi.

 Kantong Empedu : besar dan bentuk normal , dinding tipis regular. Tidak tampak batu
maupun sludge.

 Lien : besar dan bentuk normal, echostruktur homogeny. Tak tampak lesi fokal/SOL.
Vena lienalis tidak membesar.

 Pancreas : besar dan bentuk normal, echostruktur parenkim homogen. Duktus


pankreatikus tidak melebar, tak tampak lesi fokal/SOL. Ductus pancreatis tidak
melebar.

 Aorta : bentuk dan caliber normal, tak tampak pembesaran pada KGB para aorta.

 Ginjal kanan : besar dan bentuk normal, permukaan regular. Batas cortex dan medulla
jelas. System pelviocalises normal. Tak tampak batu maupun/SOL.
 Ginjal kiri : besar dan bentuk normal, permukaan regular. Batas cortex dan medulla
jelas. System pelviocalesis normal. Tak tampak batu/ SOL.

 Buli – buli : dengan balon kateter. Besar dan bentuk normal. Dinding tebal ukuran
0.65 cm, irregular. Tak tampak bayangan hyperechoik/posterior aucoustic shadow.

 Prostat : membesar dengan volume 65.87 cm3. Echostruktur parenkim homogeny, tak
tampak lesi atau kalsifikasi.

Kesimpulan :

1. Hypertrofi Prostat
D. RESUME

Os datang ke Poli Bedah Urologi RSUD Budhi Asih bulan Agustus 2016 dengan
keluhan kesulitan berkemih yang dirasakan berulang kurang lebih 2 tahun yang lalu, OS
mengaku perlu mengejan lebih keras dalam berkemih, sering merasa belum tuntas saat
berkemih, hanya beberapa tetes serta memerlukan waktu yang lama, terkadang malam hari
terbangun untuk berkemih beberapa kali. OS juga mengeluhkan perasaan seperti anyang-
anyangan sejak 3 bulan yang lalu. Semakin lama gejala yang dialami os memberat. Os sudah
sering berobat dan konsumsi obat harnal ocas namun os mengatakan selama 2 bulan ini Os
menggunakan kateter dan rutin kontrol ke poli bila kateter dilepas os tidak bias BAK. Os
direncanakan untuk dilakukan operasi TURP.

Os mengaku sudah pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya kurang lebih 2 tahun
yang lalu, os minum obat harnal ocas rutin dan sering menggunakan kateter. Bila terpasang
kateter keluhan os berkurang. Os menderita diabetes mellitus sejak 5 tahun yang lalu, riwayat
penyakit ginjal, jantung, hipertensi, asthma disangkal oleh os. Riwayat diabetes mellitus,
penyakit ginjal, asthma, hipertensi pada keluarga disangkal os.

Os mengaku tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol. Os juga mengatakan


sudah berhenti merokok.

E. DIAGNOSA KERJA

BPH Retensi

F. DIAGNOSIS BANDING

Ca Prostat

Batu Buli
G. PENATALAKSANAAN

Ruang Perawatan

Tanggal 06 November 2016

- Pro TURP
- Ceftriaxone 2gr
- Puasa
Operatif

Direncanakan TURP pada tanggal 07 November 2016

H. PROGNOSIS

 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam
ANALISA KASUS

Prostat : Organ Pria usia > 50 tahun


Laki –laki Hyperplasia
reproduksi pria  Estrogen
prostat pada
57 tahun yang dipengaruhi meningkat 
zona transversal
hormonal proliferasi sel
prostat meningkat

Aliran urine yang


Vesika urinaria terisi
keluar dari vesica Menekan lumen urethra pars
penuh urine 
Tekanan intravesika
urinaria/buli kurang prostatica ke arah medial 
lancar akibat adanya urethra menyempit
urinaria meningkat
obstruksi

Sulit berkemih 
Perlu mengejan saat
Kontraksi kuat buli Hasil USG , distensi BAK, perlu waktu >
terus-menerus untuk buli penuh  nocturia. lama.
melawan tahanan BAK menetes 
diakibatkan tekanan
intra buli tinggi,
namun harus
melewati sumbatan.

BAK sering merasa


belum tuntas.

Bisa terjadi fatigue &


kelemahan saraf untuk
m.detrusor akibat faktor usia
 fase dekompensasi v.u 
retensi urine akut  os sering
dipasang kateter
1. Laki-laki usia 57 tahun
Salah satu organ reproduksi pria adalah prostat. Pria berusia diatas 50 tahun akan
mengalami gangguan hormonal, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen relatif
tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat. Telah diketahui
bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat

dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel
prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel- sel baru akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang
telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
Sehingga beberapa pria usia mengalami BPH.

2. Pembesaran Prostat
Proliferasi sel-sel prostat mengarah ke bagian medial yang tersering adalah zona
transversalis. Pertumbuhan ini menyebabkan lumen urethra pars prostatika menyempit, bila
terus-menerus maka menyebabkan obstruksi pada urethra. Sehingga aliran urine keluar
terhambat atau mengalami obstruksi. Tekanan intravesika urinaria meningkat akibat buli terisi
penuh oleh urin. Hal ini menyebabkan timbulnya gejala.

3. Gejala-gejala
Beberapa gejala pada os yang diakibatkan obstruksi :

 Sulit berkemih  os perlu mengejan saat berkemih dan memerlukan waktu yang lebih
lama.

 Urine sering menetes  diakibatkan tekanan intravesika yang tinggi, aliran urine harus
melewati sumbatan prostat. Otot-otot buli lambat laun akan terjadi gangguan. Sehingga
lemah menahan urin dalam buli untuk keluar  hal ini disebut overflow incontinence.

 Sering merasa belum tuntas saat berkemih  akibat obstruksi pada urethtra prostatika,
urine masih tersisa dalam vesika urinaria.
Beberapa gejala pada os akibat tekanan vesika urinaria yang tinggi :

 Nocturia  merupakan gejala iritasi pada BPH, yang diakibatkan residual urine pada
buli dan os dalam keadaan tidur  rangsangan untuk miksi (+), namun ada sumbatan
pada uretra  os sering terbangun berkalai-kali (> 3 kali) untuk berkemih.

 Dari pemeriksaan USG , distensi buli penuh akibat sumbatan pada uretra prostatika
tekanan intravesika tinggi. Kontraksi kuat buli terus-menerus untuk melawan tahanan /
untuk mengeluarkan urin  bisa terjadi fatigue & kelemahan saraf untuk m.detrusor
(dapat diakibatkan faktor usia)  vesiko urinaria mengalami fase dekompensasi 
retensi urine akut  sehingga os tidak dapat berkemih  os sering dipasang kateter.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Hiperplasia prostat jinak (BPH), juga dikenal sebagai hipertrofi prostat jinak, adalah
pertumbuhan berlebihan dari sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat
sel-sel prostat memperbanyak diri melebihi kondisi normal, yang biasanya dialami laki-laki
berusia diatas 50 tahun. BPH merupakan diagnosis histologis ditandai oleh proliferasi dari
elemen seluler prostat, akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar dapat hasil dari proliferasi
epitel dan stroma, gangguan kematian sel terprogram (apoptosis), atau keduanya. BPH
melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel dari prostat timbul di zona transisi periurethral dan
kelenjar hiperplasia yang diduga hasil pembesaran prostat yang dapat membatasi aliran urin
dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria dan
hormon tergantung pada produksi testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). 2

ANATOMI,HISTOLOGI DAN FISIOLOGI PROSTAT

ANATOMI

Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular berbentuk konus terbalik yang
terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior.
beratnya kurang lebih 20 gram dengan ukuran 4 x 3 x 2.5 cm.1
Menurut McNeal (1972), prostat memiliki zona perifer, zona sentral, zona transisional,
zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra. Segmen uretra yang melintasi kelenjar prostat
adalah uretra prostat. Menurut klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior,
posterior, median,lateral kanan, dan kiri lateral. Lobus anterior terletak di depan uretra pars
prostatika, tidak ada jaringan kelenjar. Lobus medius terletak diantara uretra pars prostatika
dan duktus ejakulatorius, ada banyak jaringan kelenjar. Lobus posterior terletak di belakang
uretra dan di bawah duktus ejakulatorius, ada jaringan kelenjar. Lobus dekstra dan sinistra
terletak disamping kanan dan kiri uretra pars prostatika, ada banyak jaringan kelenjar.

Pendarahan prostat oleh cabang dari arteri vesikalis inferior, Arteri pudenda interna,
dan Arteri rectalis media. Sedangkan untuk pendarahan vena diatur oleh pleksus venosus
prostaticus.

Prostat memperoleh persarafan otonomik simpatis dan parasimpatis dari pleksus


prostatikus. Pleksus prostatikus menerima masukan serabut parasimpatis dari kora spinalis S2-
4 dan simpatik dari nervus hipogastrikus (T10-L2) . Aliran Limfe dari kelenjar prostat
bermuara pada nodus iliaca internus, sacral,vesikalis, dan iliaca eksternus. 1
HISTOLOGI
Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang mencurahkan
sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini bermuara ke uretra pada
kedua sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini terbenam dalam stroma yang terutama terdiri dari
otot polos yang dipisahkan oleh jaringan ikat kolagen dan serat elastis. Otot membentuk masa
padat dan dibungkus oleh kapsula yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma. Alveoli
dan tubuli kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk ukurannya, alveoli dan
tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen yang lebar, lamina basal kurang
jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau bertingkat dan bervariasi dari
silindris sampai kubus rendah tergantung pada status endokrin dan kegiatan kelenjar.
Sitoplasma mengandung sekret yang berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid. Nukleus
biasanya satu, bulat dan biasanya terletak basal. Nukleoli biasanya terlihat ditengah, bulat dan
kecil.2

FISIOLOGI
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari
vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah
asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja
sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat
dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen Bodies
dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol. 3

EPIDEMIOLOGI

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40
tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai
pubertas, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa
mengalami perubahan hyperplasia.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat jinak. Keadaan ini dialami oleh
50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.1

ETIOLOGI

Etiologi dari BPH masih belum diketahui pasti karena melibatkan banyak faktor dan dikontrol
oleh sistem endokrin. Prostat terdiri dari stroma dan epitel, dimana salah satu atau gabungan
keduanya dapat berkembang menjadi hyperplasia menimbulkan nodul dan gejala yang terkait
dengan BPH. Beberapa studi klinis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah:4,5

1. Teori dehidrotestosteron
Dehidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting dalam pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat oleh enzim 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah berikatan dengan
reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya
terjadi sintesis protein growht factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat

Pada berbagai penilitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitiv terhadap DHT sehingga repliksi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

2. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol,
sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
sel stroma.
3. Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih
panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.

4. Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan
fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis
oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.

Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan masa prostat.

Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang


mengahambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dala menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel
prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan
hormon androgen, sehingga jika hormon ini keadaannya menurun seperti yang terjadi
pada kastrasi menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada
BPH dipostulasikan sebagai ketidak tepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

PATOLOGI
Proses berkembangnya BPH di zona transisional. Suatu proses hiperplastik akibat kenaikan
jumlah sel. Evaluasi mikroskopis mengungkapkan pola pertumbuhan nodular yang terdiri dari
berbagai jumlah stroma dan epitel. Stroma terdiri dari berbagai jumlah kolagen dan otot
polos. Diferensial komponen histologis BPH menjelaskan potensi respon untuk terapi. Jadi
terapi alpha-blocker dapat memberikan respon baik pada pasien dengan BPH yang memiliki
signifikan komponen otot polos, sedangkan BPH yang dominan terdiri dari epitel akan
merespon lebih baik terhadap inhibitor 5-alpha-reductase. Pasien dengan komponen kolagen
dalam stroma yang signifikan mungkin tidak merespon salah satu bentuk terapi
medis. Sayangnya, respon terhadap terapi tertentu tidak dapat diprediksi sebelumnya. Seperti
nodul BPH di zona transisional memperbesar, mereka memadatkan zona luar prostat,
menghasilkan pembentukan kapsul bedah, batas ini memisahkan zona transisi dari zona perifer
dan berfungsi sebagai landasan untuk enuklleasi prostat selama prostatectomi terbuka
sederhana dilakukan untuk BPH. 1

PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urin. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor. Penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Penonjolan serat otot
detrusor dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi. Terjadi
penonjolan mukosa yang kecil yang disebut sakula dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur
pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus. 2,6,7
 Sering BAK (frekuensi)  disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor
atau karena pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga
interval antar miksi menjadi lebih pendek. Frekuensi miksi meningkat
terutama pada malam hari (nokturia)  disebabkan karena tonus sfingter
uretra berkurang selama tidur.

 Sering kebelet ingin BAK (Urgensi)  disebabkan hiperiritabilitas dan


hipersensitivitas buli-buli karena obstruksi infravesika.

 Harus menunggu lama / susah untuk memulai kencing (hesitancy) 


Obstruksi intavesika menyebabkan otot detrusor gagal berkontaksi dengan
cukup kuat untuk menegeluarkan urin.

 Pada saat urin keluar terasa panas atau sakit (dysuria)  inflamasi buli.

 Pancarannya miksi lemah  disebabkan otot detrusor gagal berkontraksi


dengan cukup kuat .

 BAK sering berhenti dan lancar lagi terutama bila mengedan (Pancaran
miksi terputus-putus atau intermitency)  disebabkan otot detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup lama untuk melawan tahanan (resistensi) di
uretra sehingga kontraksinya terputus-putus

 Menetes ketika selesai miksi  tidak tuntas nya urin yang harus
dikeluarkan.
Apabila buli-buli menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Karena produksi urin terus terjadi, maka tekanan intravesika terus meningkat.
Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi urin kronik tidak hanya menyebabkan tekanan intravesika
meningkat tetapi juga meningkatkan tekanan pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi.

Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih.
Batu ini menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga
menyebabkan sistitis, dan bila terjadi refluks vesiko-ureter terjadi pielonefritis.
GAMBARAN KLINIS
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih baik bagian atas ataupun
bawah dan keluhan diluar saluran kemih.2,7,8

1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi
dan iritatif. Gejala obstruksi seperti hesitansi (susah memulai miksi), pancaran miksi
lemah, intermitensi (miksi tiba-tiba berhenti dan lancar kembali / terputus-putus), miksi
tidak puas, terminal dribbling ( menetes setelah miksi). Gejala iritatif seperti
frekuensi( anyang-anyang ), nokturi (sering miksi malam hari), urgensi (merasa ingin
miksi yang tidak bisa di tahan), disuria (nyeri saat miksi).

Timbulnya gejala LUTS merupakan kompensasi otot-otot buli untuk


mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot buli mengalami kepayahan/fatique
sehingga jatuh kedalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urin
akut.

Timbulnya dekompensasi buli biasanya didahului oleh beberapa faktor


pencetus, antara lain: (1) volume buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi), dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
(2) massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami prostatitis akut., dan (3) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat
menurunkan kontraksi otot detrusor atau mempersempit leher buli, antara lain:
golongan kolinergik atau adrenergik alfa.

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih bagian bawah,
beberapa ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO
adalah Skor International Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom
Score).

Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan
keluhan miksi (LUTS), diberi nilai dari 0 sampai 5. Dan satu pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup, diberi nilai dari 1 sampai 7
Dari skor I-PSS itu dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1)
ringan: skor 0-7, (2) sedang: skor 8-19, dan (3) berat: skor 20-35.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang


(merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam (merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis).
3. Gejala di luar saluran kemih

Kadang pasien datang ke dokter mengeluhkan adanya hernia inguinalis atau


haemorrhoid. Timbulnya kedua penyakit ini mungkin karena sering mengejan pada saat
miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal.

Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa di
daerah supra simfisis akibat retensi urin. Kadang didapatkan urine yang selalu menetes
tanpa disadari oleh penderita, yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.

Pada pemeriksaan colok dubur diperhatikan

 tonus sfingter ani/refleks


bulbo-cavernosus untuk menyingkirkan kelainan buli neurogenik,

 mukosa dan ampula rektum


 keadaan prostat, antar lain: apakah batas atas teraba, adanya nodul, krepitasi
(adanya batu prostat bila teraba krepitasi), konsistensi prostat, simetri antar
lobus,dan batas prostat.

Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, tidak teraba nodul,
lobus kiri dan kanan simetris. Sedangkan pada Ca prostat menunjukkan konsistensi prostat
keras/teraba nodul,dan mungkin di antara lobus kanan dan kiri asimetris

Colok dubur
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu
miksi, yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik
dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun
antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran maksimal menjadi 15 ml/detik atau kurang.

Derajat BPH berdasarkan Gambaran Klinik

Colok dubur Sisa volume urin


Derajat
Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba
I < 50 ml
(< 1cm pada rectum)

Penonjolan prostate jelas, batas atas dapat


II 50 - 100 m
dicapai (1-2 cm pada rectum)

Batas atas prostat tidak dapat diraba (2-3


III 100 m
cm pada rectum)

IV Prostat teraba > 3cm pada rectum Retensi urin total

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Sedimen urin : kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih
 Kultur urin : mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan
 Pemeriksaan darah
o elektrolit
o ureum
o kreatinin
o gula darah
Untuk mengetahui faal ginjal.
 Prostate Specific Antigen (PSA) > 4 dicurigai adanya keganasan pada prostat.
Dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini
keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
hitung PSAD(Prostat specific Antigen Density) yaitu nilai PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila nilai PSAD ≥ 0,15 maka dilakukan biopsi. Demikian pula jika nilai
PSA > 10 ng/ml dlakukan biopsi

2. Pemeriksaan Pencitraan

 Foto polos abdomen : mencari adanya batu opak di saluran kemih. Adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh
terisi urin, yang merupakan tanda dari retensi urin.
 IntraVena Pielografi (IVP)
Untuk mengetahui:

a. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis


b. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh dentasi prostat
(pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
c. penyulit yang terjadi pada buli-buli, yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau
sakulasi buli-buli
 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Dapat dilakukan secara transabdominal dan transrektal (TRUS = Trans Rectal
Ultrasonografi).

1. Ultrasonografi transrektal digunakan untuk :


a. mengetahui besar / volume kelenjar prostat
b. adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna
c. sebagai petunjuk melakukan biopsi aspirasi prostat
d. menentukan jumlah residual urin
e. mencari kelainan lain yang ada di buli-buli
2. Ultrasonografi transabdominal, dapat digunakan untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.
3. Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan, derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :

 Residual urine, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Ditentukan dengan cara
kateterisasi setelah miksi atau dengan USG setelah miksi
 Pancaran urine (uroflowmetri), dengan jalan menghitung jumlah urine dibagi dengan
lamanya miksi per detik (ml/detik), atau dengan alat uroflowmetri.2,9

DIAGNOSIS BANDING

Obstruktif lain kondisi saluran kemih bawah, seperti striktur uretra, kontraktur
kandung kemih , batu buli atau karsinoma prostat, harus di pikirkan ketika mengevaluasi
laki-laki dengan dugaan BPH. Riwayat pada uretra sebelumnya, berupa instrumentasi,
uretritis, atau trauma harus dijelaskan untuk menyingkirkan striktur uretra atau kontraktur
kandung kemih, Hematuria dan nyeri yang umumnya terkait dengan batu saluran
kemih. Karsinoma prostat dapat dideteksi pada rectal toucher atau kadar PSA tinggi (>4) .
Infeksi saluran kemih juga dapat memberikan gejala mirip gejala BPH, dapat diidentifikasi
dengan pemeriksaan kultur urin, tapi infeksi saluran kencing juga dapat menjadi komplikasi
BPH. Gejala yg ada juga terkait dengan karsinoma kandung kemih terutama karsinoma in
situ, biasanya menunjukkan gejala hematuria. Demikian pula pasien dengan neurogenik
gangguan kandung kemih mungkin memiliki banyak tanda-tanda dan gejala BPH, tetapi
riwayat penyakit neurologis, stroke, diabetes mellitus. Selain itu, pemeriksaan mungkin
menunjukkan perineum dan ekstremitas mengalami kekurangan sensasi atau perubahan
pada tonus sfingter rectum atau bulbocavernosus refleks. Simulasi perubahan fungsi usus
(konstipasi) mungkin juga waspada satu kemungkinan asal dari neurologis.1

PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Tujuan pada pasien
hiperplasia prostat adalah untuk memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup,
mengurangi obstruksi intravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal,
mengurangi volume residu urin setelah miksi dan mencegah progresilitas penyakit.1,2,5

1 . Watchfull waiting

Ditujukan pada penderita BPH dengan keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas
sehari-hari. Pasien tidak diberikan terapi apapun hanya diberikan anjuran mengenai hal
yang dapat memperburuk keluhan, seperti jangan minum kopi atau alkohol, batasi
penggunaan obat yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin,
dan jangan menahan kencing terlalu lama.

2. Medikamentosa

Terdapat 3 golongan obat :

 Penghambat receptor adrenergik 


Beberapa golongan obat yang dipakaii adalah prazosin (dua kali sehari), terazosin,
afluzosin dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-obat golongan ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urine.

 Penghambat 5 -reduktase
Bekerja dengan cara menghambat pembentukan dehidrotestosteron dari testosteron
yang dikatalisis oleh enzim 5  reduktase di dalam selsel prostat.

Pemberian finasteride 5 mg mampu memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.

 Fitofarmaka
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai anti estrogen, anti androgen,memperkecil
volume prostat dan lain-lain. Fitoterapi yang banyak dipasarkan ialah Pygeum africanum,
Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan lainnya.
3. Terapi bedah

Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini
adalah pembedahan, karena pemberian obat-obatan membutuhkan waktu yang lama untuk
melihat hasilnya. Indikasi pembedahan adalah bila :2

 Tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa


 Mengalami retensi urin
 Mengalami infeksi saluran kemih yang berulang
 Batu buli,divertikel
 Hematuria
 Gagal ginjal
 Timbul penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah seperti Hernia dan
Hemorroid

Terdapat beberapa macam pembedahan yaitu :

1. Prostatektomi terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik) atau di daerah perineum (dasar
panggul yang meliputi daerah skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini
jarangn digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencapai 50%.
Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan
pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang dari 1%).

2. Prostatektomi Endourologi

a. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir


seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama
kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna. Saat ini tindakan TUR P
merupakan tindakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia.
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan
irigasi (pembilas) agar daerah yang di reseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah cairan yang non ionic, yang dimaksudkan
agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering di pakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan
ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka
pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia
relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan sindroma TURP. Untuk
mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk
tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam.

Komplikasi lain yang mugkin terjadi adalah perdarahan, perforasi, inkontinensi,


disfungsi ereksi, ejakulasi retrograde, dan striktura uretra.

Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)


b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan pada
pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau incisi leher
buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini juga dilakukan
secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti yangg dipakai pada
TURP tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai
dari dekat muara ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai
tampak kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TURP
dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TURP.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)


Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat prostat
yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan dengan
TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan operasi maka
dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk
masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu ablasi
akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi ablasi pada
permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera akan menjadi lebih
lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan
“laser nekrosis” lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi
rongga didalam prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TURP.

4. Tindakan Invasif Minimal

a. Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

b. Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

c. Trans urethral needle ablation (TUNA)

d. Stent urethra dengan prostacath


Meskipun sudah banyak modalitas yang telah di temukan untuk mengobati pembesaran
prostat, sampai saat ini terapi yang memberikan hasil paling memuaskan adalah TUR Prostat.5

PROGNOSIS
Lebih dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10 – 20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5 tahun.8
KESIMPULAN

Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular yang terletak di sebelah inferior buli-
buli, di depan rectum dan membungkus uretra posterior. beratnya kurang lebih 20 gram dengan
ukuran 4 x 3 x 2.5 cm. Menurut klasifikasi Lowsley, prostat terdiri dari 5 lobus: anterior,
posterior, median,lateral kanan, dan lateral kiri. Menurut McNeal (1972), prostat memiliki zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periuretra.
Segmen uretra yang melintasi kelenjar prostat adalah uretra prostat

BPH merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan pada usia sebelum 40
tahun. semua pria yang sehat diatas 40 tahun cenderung untuk menderita hipertrofi prostat,
10% dari mereka disertai dengan gangguan-gangguan miksi kelak dikemudian hari. merupakan
kelainan kedua tersering di klinik urologi setelah batu saluran kemih. Etiologi dari BPH masih
belum diketahui pasti karena melibatkan banyak faktor dan dikontrol oleh system endokrin.

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun.
Tujuan terapi pada hiperplasia prostat adalah: (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi infravesika, (4) mengembalikan fungsi
ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin, dan (6) mencegah
progresifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau
tindakan endourologi yang kurang invasif. 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanagho, Emil A ; McAninch, Jhon W. Benign Prostatic Hyperplasia ; at Smith’s


General Urology. 17 th edition. Mc Graw Hill : Lange ; California.2008, p 348.
2. Purnomo, B. Basuki. Hiperplasia Prostat; Di dalam Dasar-Dasar Urologi. Edisi 2.
Penerbit Sagung Seto : Jakarta. 2009, p 69-85.
3. Scanlon, Valerie C. 2007. Essentials of Anatomy and Physiology 5th Edition.
Philadelphia: F. A. Davis Company.
4. Benign Prostate Hyperplasia, Available at
http://emedicine.medscape.com/article/437359-overview
5. Roehrborn CG and McConnell JD. Etiology, pathophysiology, epidemiology, and
natural history of benign prostatic hyperplasia. In : LR, Novick AC, Partin AW , and
Peters CA (editor). Campbell’s urology. Phyladelphia: Saundes, 2002: 1297-1336.
6. Benign Prostatic Hyperplasia, Available at
http://en.wikipedia.org/wiki/Benign_prostatic_hyperplasia
7. Rahardjo, Djoko. PROSTAT Kelainan-kelainan Jinak, Diagnosis dan Penanganan.
Cetakan Pertama, Penerbit : Subbagian urologi Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.1999. 15-60.
8. Benign Prostatic Hyperplasia, Available at
http://www.urolog.nl/urolog/php/patients.php?doc=bph&lng=en

9. De Jong, Wim ; Sjamsuhidajat R. Prostat; di dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Penerbit EGC: Jakarta , 2004, p 782.

You might also like