You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan uterus terjadi pada 15% perempuan dengan ≥ 3 kali abortus


spontan. Kelainan anatomik ini diklasifikasikan sebagai kelainan kongenital dan
kelainan yang didapat (acquired). Di samping kemungkinan kehilangan
kehamilan, malformasi uterus juga merupakan faktor predisposisi terjadinya
infertilitas, persalinan prematur, dan presentasi abnormal janin.

Insiden kelainan kongenital uterus pada populasi dan pada perempuan


dengan kehilangan kehamilan berulang berkisar antara 0,6 – 10 % atau sekitar 1
% pada populasi dan 3 % pada perempuan dengan kehilangan kehamilan berulang
dan riwayat reproduksi jelek. Cukup banyak kelainan nonobstruksi uterus yang
tidak memberikan gejala dan hanya ditemukan pada saat evaluasi yang dilakukan
karena kehilangan kehamilan berulang, kelainan haid yang menetap, atau
infertilitas.

Perkembangan duktus Mulleri. Diferensiasi seksual terjadi pada awal


kehidupan janin. Sampai dengan usia janin 6 minggu, sistem genitalia, yaitu
duktus mesonefrik (Wolffian) dan paramesonefrik (Mullerian). Duktus Mulleri
berasal dari invaginasi soelomik dari mesonefros, yang pembentukkannya
diperkirakan dipacu oleh duktus mesonefrik. Pada embrio perempuan, oleh karena
tidak terbentuknya testis, testosteron dan mullerian-inhibiting substance, duktus
Wolfii mulai melakukan degenerasi dan membuat pematangan duktus Mulleri.
Duktus Mulleri berkembang ke arah ekor dan tertutup pada daerah perritoneal fold
yang kemudian akan berkembang menjadi ligamentum latum dari uterus, dimana
ovarium (mesovarium), tuba Fallopii (mesosalping), dan uterus (mesometrium)
melekat. Duktus Mulleri saling berhubungan dan mulai menyatu. Pada kehamilan
9 minggu, septum yang memisahkan bagian menyatu mulai diserap, membentuk
suatu saluran dengan lumen tunggal yang disebut dengan kanalis uterovaginal.
Saluran ini yang di kemudian hari akan membentuk uterus dan bagian atas dari
vagina, dimana bagian kranial dari duktus Mulleri yang tidak menyatu

1
membentuk tuba Fallopii. Bagian bawah vagina dibentuk oleh tuberositas
sinovaginal dari sinus urogenitalis untuk membentuk seluruh traktus reproduksi
perempuan.

Kelainan duktus Mulleri terjadi karena kegagalan elongasi lengkap kedua


duktus, fusi, kanalisasi dan resorbsi sekat duktus Mulleri, yang dapat terjadi pada
setiap tingkat proses perkembangan. Etiologi kelainan ini sampai sekarang masih
belum diketahui

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam upaya untuk membedakan kelainan yang terjadi pada duktus


Mulleri, Buttram dan Gibbons pada tahun 1979 menggolongkan kelainan sesuai
dengan morfologi klinik. Pembagian ini kemudian dimodifikasi oleh American
fetility Society (pada saat ini dikenal sebagai American Society For Reproductive
Medicine) yang pada saat ini diterima sebagai pembagian kelainan duktus Mulleri
yang paling banyak dianut

Kelas I : Agenesis atau hipoplasia duktus Mulleri

Kelas I I : Uterus Unikornis (Uterus Unicornuatus)

Kelas III : Uterus Didelfis

Kelas IV : Uterus Bikornis

Kelas V : Uterus Septus

Kelas VI : Uterus Arkuatus

Kelas VII : Diethylstilbestrol (DES)- exposed uterus

Septum Uterus (Uterus Septus)

Septum uterus adalah akibat dari tidak terjadinya atau penyerapan yang
tidak lengkap septum uterovaginal yang mengikuti penyatuan duktus Mulleri.
Keadaan ini merupakan kelainan kongenital uterus yang paling banyak (55%)
dijumpai dari seluruh kelainan uterus yang terjadi. Septum terjadi dari jaringan
fibromuskular yang paling sedikit dimulai atau terjadi pada fundus uteri atau
dapat memanjang sampai membagi kavum uteri atas dua bagian sampai dengan
ostium uteri. Septum dapat pula berbentuk segmental sehingga membentuk
dinding yang tidak sempurna pada kavum uteri. Septum uterus mengakibatkan
keadaan yang paling jelek dari kelainan duktus Mulleri. Angka kejadian abortus
spontan berkisar antara 65% dari semua kehamilan yang terjadi dengan kelainan

3
ini. Raga dan kawan-kawan melaporkan kejadian 25,5% abortus pada awal masa
kehamilan (<13 minggu) dan 6,2 % keguguran akhir masa awal kehamilan pada
perempuan dengan septum uterus.

Angka persalinan prematur meningkat sampai 21% dan kemungkinan


untuk tidak terjadi berkisar antara 32 %. Bagaimana mekanisme septum uterus
menyebabkan terjadinya keguguran tidak sepenuhnya diketahui. Pendapat
konvensional adalah karena septum yang pada umunya avaskular dan keadaan
kegagalan vaskularisasi ini akan menyebabkan gangguan pada perkembangan
desidua dan plasenta. Septum uteri dapat menghambat pertumbuhan janin dengan
mengurangi kapasitas endometrium, sehingga terjadi keguguran pada trimester
kedua dan persalinan prematur.

Fedele dan kawan-kawan menggunakan elektron mikroskop untuk


membandingkan contoh biopsi endometrial dan dinding lateral uterus pada fase
preovulatori. Di dapatkan adanya gangguan perkembangan pada septal
endometrium yang menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap hormon steroid.

4
Keadaan ini kemungkinan terdapat defek lokal yang mengakibatkan gangguan
perkembangan terjadinya keguguran pada trimester pertama.

Intervensi bedah dianjurkan apabila septum uterus ditemukan berkaitan


dengan riwayat reproduksi yang kurang baik. Fedele dan kawan-kawan
melakukan penilaian terhadap hasil reproduksi setelah dilakukan metroplasti
histeroskopik pada 31 perempuan dengan infertilitas dan 71 perempuan dengan
riwayat keguguran dan melaporkan angka kumulatif terjadinya kehamilan sebesar
89% setelah 36 bulan pada kasus dengan septum total serta 80% pada kasus
dengan septum parsial. Kejadian keguguran berkisar antara 15%. Homer dan
kawan-kawan menilai hasil reproduksi sebelum dan setelah metroplasti
histeroskopik secara serial dan mendapatkan penurunan dramatis angka
keguguran dari 88% menjadi hanya 15%.

Insisi septum dengan histeroskopi pada saat ini menjadi pengobatan


terpilih untuk septum uterus. Teknik ini dilakukan dengan melakukan insisi
septum di antara dinding anterior dan posterior uterus dengan menggunakan
gunting mikro, electrosurgery, atau fiberoptic laser energy. Secara teoritis
penggunaan gunting lebih baik dari pada laser karena tidak ada risiko kerusakan
perdarahan miometrium karena panas, yang dapat mengakibatkan terjadinya
sinekhia intrauterin. Septum yang tebal lebih mudah dipisahkan dengan
menggunakan gunting dan walaupun laser memiliki keunggulan dalam waktu dan
hemostasis yang lebih baik, teknik ini mahal dan pada umumnya lebih sulit untuk
dimanipulasi.

Metroplasti transabdominal tidak dikerjakan lagi karena tingginya risiko


komplikasi termasuk penurunan volume kavum uteri pascaoperasi, terjadinya
perlekatan intrauterin pada rongga panggul, serta oklusi tuba.

Bimbingan dengan laparoskopi seing digunakan pada saat melakukan


metroplasti histeroskopik untuk menurunkan risiko perforasi uterus. Laparoskopi
juga memungkinkan operator untuk membedakan septum uterus dan uterus

5
bikornis. Bimbingan dengan ultrasonografi hanya dianjurkan apabila terdapat
kontraindikasi untuk melakukan laparoskopi.

6
BAB III
LAPORAN KASUS

Tanggal Pemeriksaan : 21-11-2017


Ruangan : IGD RSU Anutapura Palu
Jam : 10.00 WITA

IDENTITAS
Nama : Ny. YR Nama Suami : Tn. N
Umur : 26 tahun Umur : 29 tahun
Alamat : Jl.Kesadaran Alamat : Jl.Kesadaran
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : perawat
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : S1 Pendidikan : S1

ANAMNESIS
GI P0A0
Usia Kehamilan : 37 minggu
HPHT : 21 -02-2017
Menarche : 12 tahun
TP : 28-11-2017
Perkawinan : 1,7 tahun

Keluhan Utama : Janin kurang bergerak

Riwwayat Sekarang : Pasien rujukan dari praktek dr.Abd.Faris,SP.OG


(K) dengan GI P0A0 37 minggu + letak sungsang masuk dengan keluhan ± 1
minggu pergerakan janin berkurang, nyeri perut (-), mual (-), Muntah (-),PPV (-),
air (-), lendir (-), Pusing (-), sakit kepala (-), BAB normal dan BAK (+).
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), asma (-),
penyakit jantung (-), alergi (-).

7
Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada riwayat penyakit yang sama dengan
pasien
Riwayat Obstetri : Hamil Sekarang anak pertama
Riwayat ANC : Pasien rutin melakukan pemeriskaan ANC di tempat praktek
sebanyak 4 kali
Riwayat Imunisasi : Lengkap

PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang TD : 120/80 mmHg
Kesadaran : Kompos mentis Nadi : 80x/menit
BB : 64 Kg Respirasi : 20x/menit
TB : 155 cm Suhu : 36,8ºC

1. Kepala – Leher :
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterus (+/+), edema palpebra (-/-),
pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
2. Thorax :
I : Pergerakan thoraks simetris, sikatrik (-)
P : Nyeri tekan (-), massa tumor (-)
P : Sonor pada kedua lapang paru, pekak pada area jantung, batas paru-hepar
SIC VII LMD, batas jantung DBN
A : Bunyi pernapasan vesikular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-. Bunyi jantung I/II
murni reguler
3. Abdomen :
I : Perut cembung (+), striae alba (+), massa (-)
A : peristaltik (+) kesan normal
P : timpani (+)
P : nyeri tekan epigastirum (-)
Pemeriksaan Obstetri :
Leopold I : Tfu = 30 cm
Leopold 2 : Punggung-Kanan

8
Leopold 3 : Pres – bokong
Leopold 4 : belum masuk PAP
TFU : 2 jari dibawah procexus xyphoideus
Kontraksi uterus : baik
Lokia : Rubra (-)
 Genitalia :
Pemeriksaan Dalam (VT) : tidak dilakukan
 Ekstremitas :
Atas :Akral hangat, Edema -/-
Bawah :Akral hangat, Edema -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
 Wbc : 11,1 x 103/mm3
 Hgb : 12,2 gr/dl
 Hct : 38,4 %
 Plt : 156 x 103/l
 Rbc : 4,59 x 106/l
 HbSAg : non-reaktif

RESUME
Berdasarkan anamnesis Pasien Pasien masuk dengan rujukan dari praktek
dr.Abd.Faris,SP.OG (K) dengan GI P0A0 37 minggu + letak sungsang masuk
dengan keluhan ± 1 minggu pergerakan janin berkurang, nyeri perut (-), mual (-),
Muntah (-),PPV (-), air (-), lendir (-), Pusing (-), sakit kepala (-), BAB normal dan
BAK (+).
Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-),
asma (-), penyakit jantung (-), alergi (-).
Dari pemeriksaan fisik : konjungtiva anemis (-/-),TD : 120/80 , nadi 80
x/m, respirasi 20 x/m, Suhu 36,8ºC. Nyeri tekan epigastrium, TFU 2 jari di bawah

9
pusat procesus xypoideus. Dari pemeriksaan laboratorium : wbc 11,1 x 103/L Hgb
12,2 gr/dl, Hct 38,4 %, PLT 156 x 103/L, HbSAg : non-reaktif.

DIAGNOSIS
GI P0A0 usia 26 tahun gravid 37 minggu + letak sungsang + Fetal distress
PENATALAKSANAAN
 IVFD Dex 5% 28 Tpm
 O2 4-5 Lpm

FOLLOW UP
21/11/2017
S : Nyeri perut bagian bawah (-) Pusing (-),sakit kepala (-), mual (-),muntah (-),
Pelepasan darah (-), air (-), lendir (-), BAB (-), BAK (+) kateter, perdarahan
jalan lahir (-)

O : KU : Sakit Sedang/compos mentis


Konjungtiva anemia -/-
Sclera ikterik -/-
Tekanan darah : 110/70mmHg
Nadi : 80x/m
Suhu : 36.8
Pernapasan : 20 x/menit
A : GI P0A0 usia 26 tahun gravid 37 minggu + letak sungsang + Fetal distress
P :
o IVFD RL 20 Tpm
o O2 4-5 Lpm
o Rencana Operasi SC

22/11/2017

S : Nyeri luka operasi (+), Nyeri perut bagian bawah (-)pusing (-), sakit kepala (-
), mual (-),muntah (-), Pelepasan darah (+), air (-), lendir (-), BAB (-), BAK
(+) kateter, perdarahan jalan lahir (-)

10
O : KU : Sakit Sedang/ compos mentis
Konjungtiva anemia -/-
Tekanan darah : 120/80mmHg
Nadi : 84 x/m
Suhu : 36.7
Pernapasan : 20 x/menit

A : P1A0 post SC H-1 atas indikasi letak sungsang + Fetal distress


P :
a. IVFD RL 28 Tpm
b. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
c. Inj. Ketorolac 1 amp/8 jam
d. Inj. Ranitidin 1 amp/ 12 jam
e. Inj. Ondansentron 1 amp/ 8 jam
f. Inj. Dexamethasone 5 mg /12 jam IV
g. Inj. Transamin 1 amp/8 jam
h. Drips Oxytocin 2 amp dalam RL 500 cc habiskan dalam 2 kolf

23/06/2017

S : Nyeri luka operasi (-), nyeri perut bagian bawah (-)pusing (-), sakit kepala (-),
mual (-),muntah (-), Pelepasan darah (-), air (-), lendir (-), BAB (-), BAK (+)
kateter, perdarahan jalan lahir (-)

O : Ku : Sakit Sedang/compos mentis


Konjungtiva anemia -/-
Sclera ikterik (-/-)
TFU Setinggi Pusat
Kontraksi uterus baik
Lokia (+)

11
Asi -/-
Tekanan darah : 130/90mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5
Pernapasan : 20x/menit
A : P1A0 post SC H-2 atas indikasi letak sungsang + Fetal distress
P:
a. IVFD RL 28 Tpm
b. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
c. Inj.Ketorolac 1 amp/8 jam
d. Inj.Ranitidin 1 amp/12 jam

24/06/2017
S : Pandangan kabur (-), Nyeri perut (-),Nyeri luka operasi (+), mual (-), muntah
(-), nyeri ulu hati (-) pusing (-), sakit kepala (-), PPV (+), flatus (+), BAK (+)
kateter, BAB (-).

O: Ku : Sakit Sedang/compos mentis


Konjungtiva anemia -/-
Sclera ikterik (-/-)
TFU Setinggi Pusat
Kontraksi uterus baik
Lokia (+)
Asi -/-
Tekanan darah : 140/90mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5
Pernapasan : 20x/menit
A : P1A0 post SC H-3 atas indikasi letak sungsang + Fetal distress

12
P :
a. Aff infus
b. Cefixime 100 mg 2 x 1
c. Asam Mafenamat 3x1
d. SF 1x1

24/06/2017
S : Pandangan kabur (-), Nyeri perut (-),Nyeri luka operasi (+), mual (-), muntah
(-), nyeri ulu hati (-) pusing (-), sakit kepala (-), PPV (+), flatus (+), BAK (+)
kateter, BAB (-).

O: Ku : Sakit Sedang/compos mentis


Konjungtiva anemia -/-
Sclera ikterik (-/-)
TFU Setinggi Pusat
Kontraksi uterus baik
Lokia (+)
Asi -/-
Tekanan darah : 140/90mmHg
Nadi : 82x/m
Suhu : 36.5
Pernapasan : 20x/menit
A : P1A0 post SC H-4 atas indikasi letak sungsang + Fetal distress
P :
a. Cefixime 100 mg 2 x 1
b. Asam Mafenamat 3x1
c. SF 1x1
d. Berobat Jalan

13
Gambar 1. Septa Uterus

14
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis kelainan kongenital pada uterus yaitu septum
uterus ditegakkan berdasarkan penemuan pasca operasi sectio sesarea.
Insiden kelainan kongenital uterus pada populasi dan pada perempuan
dengan kehilangan kehamilan berulang berkisar antara 0,6 – 10 % atau sekitar 1
% pada populasi dan 3 % pada perempuan dengan kehilangan kehamilan berulang
dan riwayat reproduksi jelek. Cukup banyak kelainan nonobstruksi uterus yang
tidak memberikan gejala dan hanya ditemukan pada saat evaluasi yang dilakukan
karena kehilangan kehamilan berulang, kelainan haid yang menetap, atau
infertilitas.
Pada anamnesis, pasien mengeluhkan adanya pergerakan janin yang
berkurang, pada pemeriksaan penunjang USG didapatkan presentasi janin letak
sungsang, dan pemeriksaan leopold didapatkan presentasi bokong.
Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada Aorta dan Vena Kava
sehingga timbul Hipotensi. Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi
tidur menjadi miring ke kiri atau semilateral. Pasien dibaringkan miring ke kiri,
agar sirkulasi janin dan pembawaan oksigen dari ibu ke janin lebih lancer.
Berikan oksigen sebagai antisipasi terjadinya hipoksia janin.5
Pemeriksaan yang dilakukan pada kasus ini hanya USG namun temuan
septa uterus tidak tampak, sehingga diagnosis septa uterus pada kasus ini
ditemukan ketika pasca sectio sesaria

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. 4th ed. PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo: Jakarta; 2013. P532-37, p554-59.
2. Cunningham FG, et al. Williams obstetric. 24th ed. New York: McGraw Hill;
2014. P728-770.

16

You might also like