You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kulit merupakan organ tubuh paling besar yang melapisi seluruh
bagiantubuh, membungkus daging dan organ-organ yang ada di dalamnya.
Kulit memiliki fungsi melindungi bagian tubuh dari berbagai
macamgangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi
melalui sejumlahmekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk
secara terus menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel kulit ari yang sudah
mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat
serta pembentukan pigmenmelanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar
ultra violet matahari. Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat
mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada
tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi
terhadap suatu obat.
Obat adalah bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan,
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya
obat dapat menimbulkan reaksiyang tidak diharapkan yang disebut reaksi
simpang obat. Reaksi simpang obat dapat mengenai banyak organ antara
lain paru, ginjal, hati dan sumsum tulang, tetapi reaksi kulit merupakan
manifestasi yang tersering. Reaksi tersebut dapat berupa reaksi yang dapat
diduga (predictable) dan yang tidak dapat diduga (unpredictable). Reaksi
simpang obat yang dapat diduga (predictable) terjadi pada semua individu,
biasanya berhubungan dengan dosis dan merupakan farmakologi obat yang
telah diketahui. Reaksi ini meliputi 80% dari seluruh efek simpang obat
termasuk diantaranya efek samping dan overdosis (kelebihan dosis). Rekasi
simpang yang tidak dapat diduga (unpredictable) hanya terjadi pada orang
yang rentan, tidak tergantung pada dosis dan tidak berhubungan dengan efek
farmakologis obat, termasuk diantaranya reaksi alergi obat. Reaksi alergi
obat pada kulit disebut erupsi alergi obat. Erupsi obat alergi itu sendiri ialah
reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat dengan cara sistemik.
Pemberian dengan cara sistemik di sini berarti obat tersebut masuk
melalui mulut, hidung, rectum, vagina dan dengan suntikan atau infus.
Sedangkan reaksi alergi yang disebabkan oleh penggunaan obat dengan cara
topikal, yaitu obat yang digunakan pada permukaan tubuh mempunyai
istilah sendiri yang disebut dermatitis kontak alergi. Tidak semua obat dapat
mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan obat yang 1%
hingga 3% dari seluruh pemakaian akan mengalami erupsi obat alergi atau
erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu : obat anti inflamasi non steroid
(OAINS), antibiotik : misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamide dan
obat-obat antikonvulsan.
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul
tergolong ‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut
memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan mengakibatkan kematian.
Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (TEN)
adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Epidemiologi dari erupsi obat
ini belum didapatkan angka yang tepat tetapi berdasarkan data yang berasal
dari rumah sakit, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik obat dan laporan
dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total
pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping
pemakaian obat-obatan.
Hasil survey prospektif sistematik yang dilakukan oleh Boston
Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit
yang timbul terhadap pemberian obat adalah sekitar 2,7% dari 48.000 pasien
yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 sampai 1993.
Sekitar 3% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit ternyata
mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan. Selain itu, data
di Amerika Serikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap
tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius.
Untuk itu perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini
memberikan manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada
umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya
reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana
yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan
prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan alergi obat.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
a. Mengetahui pengertian alergi obat.
b. Mengetahui penyebab alergi obat.
c. Mengetahui patofisiologi alergi obat.
d. Menjelaskan manifestasi alergi obat.
e. Mengetahui klasifikasi alergi obat.
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada alergi obat.
g. Mengetahui penatalaksanaan pasien alergi obat.

BAB II
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik
pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian
obat yang biasanya sistemik. ( Nur Arif, 2013 )
Erupsi obat alergik (EOA) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
ditandai oleh satu atau lebih makula yang berbatas jelas, berbentuk bulat
atau oval dengan ukuran lesi bervariasidari beberapa milimeter sampai
beberapa sentimeter. Gambaran yang khas dari EOA adalah
kecenderungannya untuk berulang di tempat lesi yang sama bila terpapar
kembali dengan obat yang sama. ( Amin Huda, 2008 )

B. ETIOLOGI
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut
waktu, tempat dan jenis penelitian yang dilaporkan. Tingginya angka
kejadian alergi obat tampak berhubungan erat dengan kekerapan pemakaian
obat tersebut. Diduga risiko terjadinya reaksi alergi sekitar 1 – 3% terhadap
sebagian besar jenis obat. Pada umumnya laporan tentang obat tersering
penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon.
Obat lain yang sering pula dilaporkan adalah analgetik lain (asam
mefenamat), antikonvulsan (dilantin, mesantoin, tridion), sedatif (terutama
luminal) dan trankuilizer (fenotiazin, fenergan, klorpromazin, meprobamat).
Tetapi, alergi obat dengan gejala klinis berat paling sering dihubungkan
dengan penisilin dan sulfa.

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara
nonimunologik dan imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan
reaksi imunologik. Pada mekanisme imunologik, erupsi alergi obat terjadi
pada pemberian obat kepada pasien yang sudah tersensitasi dengan obat
tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan sebagai
antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa
hapten ini harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan,
serum atau protein dari membran sel untuk membentuk antigen yaitu
kompleks hapten protein. Obat dengan berat molekul yang tinggi dapat
berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga mengakibatkan
terjadinya erupsi obat.

D. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang
terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi
imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV).
1. Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat)
Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi
antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi otot polos.
Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a)
Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus
disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien
tidak dapat atau sangat sulit bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d)
Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik dapat terjadi beberapa menit
setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ
dan secara potensial membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai
anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen
spesifik. Akibat aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang
berbentuk granual yang dapat menimbulkan reaksi;
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat
pelepasan mediator.

2. Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena
terbentuknya IgM atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel – sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi
antigen juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia.
Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

3. Tipe III
Reaksi ini disebut reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah
IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu
dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a. Demam
b. Limfadenopati
c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme.
Gejala tersebut sering disertai pruritis
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis,
sindrom lupus eritematosus sistemk serta vaskulitis
f. Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5
hari.

4. Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga
dikenal sebagai Cell Mediated Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini
tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah
disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity
b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits)
c. Reaksi tuberculin
d. Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial,
ensefalomielitis dan hepatitis. Namun, dermatitis merupakan manifestasi
yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru timbul bertahun – tahun
setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat tropikal (sulfa, penisilin atau
antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam
setelah obat dioleskan
.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan
penyebab erupsi obat alergi adalah :
a. Pemeriksaan in vivo
Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat
imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji
kulit harus bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini
manfaatnya sangat terbatas karena baru sedikit sekali determinan antigen
obat yang sudah diketahui dan tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit
hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro molekul seperti insulin,
antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya
dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Uji ini antara lain :
1. Uji Tempel (patch test)
Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis kontak.
Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan
pada kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian.
Uji tempel dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan
vesikular yang serupa dengan reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi
dengan intensitas dan skala lebih ringan.
2. Uji Tusuk (prick/scratch test)
Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I,
dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit dapat
dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus
bersifat non iritatif untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya
merupakan cara yang efektif untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi
manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena pada saat ini baru sedikit
sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan uji kulit hanya
dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera, ekstrak
organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat
mengidentifikasi alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti
pada uji kulit penisilin.
3. Uji Provokasi (exposure test)
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi
merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang
berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan
ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka
uji provokasi merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat
misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif,
kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah
eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.

b. Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi
dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi
jaringan (basofil atau lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan
pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji
komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan
dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi
pada individu tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
F. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Umum
a. Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab
erupsi kulit harus dihentikan segera
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan
untuk mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah
atau relaps setelah berada pada fase pemulihan;
c. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2 – 3
hari, khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada
kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik;
d. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan
keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar
atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya
berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Sistemik
1) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada
kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura,
eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA karena erupsi obat
alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x
10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET
pertama kali adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan
pemberian terapi yang bersifat suportif seperti perawatan luka dan
NET perawatan gizi penderita. Penggunaan glukortikoid untuk
pengobatan SSJ dan masih kontroversial. Pertama kali dilakukan
pemberian intravenous immunoglobulin(IVIG) terbukti dapat
menurunkan progresifitas penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam.
Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak 0.2 – 0.75 g/kg selama 4
hari pertama.
2) Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat
rasa gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan
dengan kortikosteroid.
b. Topikal
Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah
kering atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak
salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½ - 1%
untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu
digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%. Pada bentuk
purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal.
Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan
krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada
eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan
mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut
dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
diberikan sofratulleatau krim sulfadiazin perak.

G. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Umum
Keadaan umumnya bervariasi dari sedang sampai berat. Pada kondisi
yang berat. Tergantung derajat mortilitas erupsi obat. Bila derajat 1
biasanya keadaan umum pasien ringan, derajat 2 dan 3 berat. Keadaan
berat bila terjadinya erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan, pseudomembran klien mengalami kesulitan
bernafas, dan bula antara 10-30% dan telah terjadi infeksi pada kulit,
Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada
hampir seluruh tubuh, mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah.Keadaan umum sedang biasa
bila menunjukkan gejala awal, ruam, gatal, demam, nausea.

b. Pengkajian kesadaran
Pasien dengan erupsi obat pada kondisi yang berat, kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma.
1) Pain : Pada psien derajat 2 lepasnya lapisan epidermis antara 10-
30% . Klien biasanya meringis saat di perintahkan dengan perintah
sederhana karena adanya kerusakan saraf perifer
2) Unresponsive : pada pasien dengan derajat 3 lepasnya lapisan
epidermis lebih dari 30%. Pasien dengan overload SJS dan TEM
dalam keadaan koma

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Klien datang dengan keadaan terdapat trias SJS yaitu terdapat bula,
eritema, dan vesikel pada mata, mukosa bibir, dan kulit.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah terkena atau sedang menjalani pengobatan penyakit Infeksi
virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumonia, Viral: herpes
simplex virus (HSV)1 dan 2, HIV, Morbili, Coxsackie, cat-scratch
fever, influenza, hepatitis B, mumps, lymphogranuloma
venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, Vaccinia rickettsia dan
variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai
penyebab timbulnya sindrom ini pada anak. Alergi obat secara
sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- peuritik ).
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Bila terdapat keluarga alergi obat dan berasal dari ras krustesea
f. Tanda-tanda vital
Pengkajian terhadap adanya demam tinggi, dan adanya takikardi
g. Pengkajian fisik (Head toe toes)
1) Wajah
Eritema, vesikel dan bula
2) Mata
Kelopak mata : Edema dan sulit dibuka.
Konjungtiva : Konjungtivitis kataralis dan purulen
Kornea : Ulkus kornea
Reaksi cahaya : Positif
Lapang penglihatan : Penyempitan lapangan penglihatan
3) Mulut dan leher
Mukosa bibir : Bengkak, kering, warna mukosa merah
Selaput lendir : Stomatitis, afte (vesikel, bula), erosi, perdarahan
Disfagia : Ada
Lidah : Terdapat lesi
Tonsil/pharix : Meradang Ketidakmampuan menelan
4) Paru-paru
Inspeksi Bentuk dada simetris kanan dan kiri, terdapat sumbatan pada
jalan napas, klien tampak sesak, terdengar stridor saat
ekspirasi/inspirasi, retraksi dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan, frekuensi pernafasan > 20 x/menit, reflek bentuk ada,
pernapasan cepat dan dangkal, klien batuk.
Auskultasi Bunyi napas vesikuler, wheezing (+), Ronkhi (+)
5) Kardio vaskuler
Inspeksi edema jaringan
Palpasi frekuensi HR > 100 x/menit, irama regular/ireguler, akral
dingin, kapilar repil > 3 detik
Auskultasi Tekanan darah hipotensi, irama jantung tidak beraturan,
tidak ada bunyi jantung tambahan
6) Abdomen
Inspeksi : mual muntah
Auskultasi : peristaltik usus bisa menurun atau meningkat
7) Genetalia
Vagina : warna secret Anus : pelebaran vena ani/tidak
Mukosa : vesikel, bula, erosi, perdarahan, krusta berwarna merah
8) Ektermitas
Edema, tremor, rom terbatas, akral dingin
h. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
2. Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi
sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3. Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun
yang mengandung IgG, IgM, IgA.

2. Diagnosa Keperawatan Utama


a. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan terpajan
allergen.
b. Hipetermi ( 00007) berhubungan dengan proses inflamasi.
c. Kerusakan integritas kulit ( 00046 ) berhubungan dengan
inflamasi dermal,intradermal sekunder.
d. Kekurangan volume cairan (0027) berhubungan dengan kehilangan
cairan berlebih.
e) Nyeri akut (00132) berhubungan dengan agen cidera biologis
(alergen,ex; obat)

3. Rencana Keperawatan.

You might also like