You are on page 1of 25

MAKALAH

SISTEM KARDIOVASKULER

PENYAKIT KATUP PULMONAL, PENYAKIT VENTRIKEL


DAN ATRIUM SEPTAL DEFEK

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Farmakologi

Dosen Pengajar : Magdarita Riwu, S.Farm.,M.Farm., Apt

Disusun oleh

Kelompok 6

1. Norbert Riko Savio Monekaka ( 1608010021 )


2. Maria Chrisanti Mau Meta ( 1608010038 )
3. Ronaldo Agustov Ndolu ( 1608010048 )

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2018
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Jantung adalah organ berongga dan berotot yang berukuran seperti kepalan tangan
manusia dan beratnya 250 – 300 gr. Kemudian, jantung ini terletak di bagian
mediastinum tepatnya di belakang sternum, diantara costa II – costa VI, dan diantara
T5 – T8.
Jantung juga terbungkus oleh pembungkus jantung (perikardium) yang terbagi
menjadi 2 yaitu :
a. Perikardium fibrosa yaitu lapisan pembungkus jantung yang paling luar yang
sifatnya kuat dan tidak elastis,
b. Perikardium serosa yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu : Lamina parietalis (luar) dan
lamina visceralis (dalam).
Diantara dua lapisan perikardium ini terdapat ruang atau cavum yang mengandung
cairan sekitar 10-15 ml. Cairan ini berfungsi untuk mengurangi gesekan selama otot
jantung berkontraksi.
Secara fisiologis, jantung itu terdiri dari 2 bagian besar yaitu atrium yang berfungsi
untuk menampung/menerima darah dan ventrikel yang berfungsi untuk memompa.
Atrium dan ventrikel masing – masing terbagi menjadi 2 bagian lagi yaitu :
a. Atrium kanan yang berfungsi untuk menerima darah kaya CO2 yang berasal dari
V.Cava Superior yang membawa darah dari otak dan ekstermitas atas dan juga
V.Cava Inferior yang membawa darah dari ekstremitas bawah dan organ – organ
yang berada di bawah jantung.
b. Atrium kiri yang berfungsi unuk menerima darah kaya O2 yang berasal dari
V.Pulmonalis yang mempunyai 4 percabangan yaitu V. Pulmonalis Dextra
Superior, V.Pulmonalis Dextra Inferior, V.Pulmonalis Sinistra Superior dan
V.Pulmonalis Sinistra Inferior.
c. Ventrikel kanan berfungsi untuk memompa darah kaya CO2 masuk ke paru – paru
melalui A.Pulmonalis Dextra maupun A.Pulmonalis Sinistra.
d. Ventrikel kiri berfungsi untuk memompa darah kaya O2 ke seluruh tubuh melalui
arteri besar yaitu Aorta.

SIRKULASI DARAH
Kemudian, jantung juga memiliki 2 katup yang bertujuan untuk mencegah terjadinya
aliran darah balik. Ke dua katup tersebut adalah
a. Katup atrioventrikularis yakni katup yang terletak diantara atrium dan
ventrikel. Katup ini terbagi 2 : katup trikuspid diantara ventrikel kanan dan
atrium kanan, dan katup bikuspid diantara ventrikel kiri dan atrium kiri.
b. Katup semilunar adalah katup diantara paru – paru, aorta dengan ventrikel,
katupnya terbagi menjadi 2 : katup pulmonalis diantara ventrikel kanan
dengan paru – paru, katup aorta diantara ventrikel kiri dengan aorta.
STRUKTUR KATUP AUSKULTASI BUNYI KATUP
Pembuluh darah yang menyuplai oksigen, nutrisi ke jantung serta membawa
karbon dioksida dan sisa nutrisi dari jantung adala A.Coronaria dan V.Cordis. Arteri
coronaria adalah arteri yang berasal dari percabangan Aorta Ascendes lalu terbagi
menjadi 2 yaitu :
a. Arteri Coronaria Dextra berfungsi untuk memberi nutrisi ke jantung bagian
kanan serta arteri ini berasal dari sinus aorta anterior dari ascendens aorta.
Arteri ini akan bercabang menjadi 6 bagian yaitu :
a) R. Coni arteriosi
b) R. Nodi sinuatrialis
c) R. Marginalis dextra (cabang paling besar)
d) R. Posterolateralis dextra
e) R. Nodi atrioventrikularis
f) R. Interventrikularis posterior

b. Arteri Coronaria Sinistra berfungsi untuk memberi nutrisi ke jantung kiri dan
berasal dari sinus aorta posterior dari ascendens aorta. Arteri ini terbagi mejadi
2 cabang besar yaitu :
a) R. Interventricularis anterior
b) R. Circumflexus
Lalu untuk V.Cordis terbagi menjadi 3 cabang dan semuanya bermuara ke sulcus
coronarius. Ke 3 cabang tersebut yaitu :
a. Vena Cordis Magna mengangkut sisa nutrisi dari jantung bagian kiri,
b. Vena Cordis Parva mengangkut sisa nutrisi dari jantung bagian kanan,
c. Vena Cordis Media mengangkut sisa nutrisi dari belakang jantung.
B. KELAINAN JANTUNG

PENYAKIT KATUP PULMONAL

1. PATOFISIOLOGI PENYAKIT KATUP PULMONAL

Stenosis pulmonal dengan septum ventrikuler intake bisa disebabkan oleh stenosis
vaskuler, infundibular, atau keduanya. Obstruksi infundibular disebabkan oleh jaringan
fibrosa yang seakan mengikat atau oleh hipertrofi otot. Secara normal lubang katup pulmo
0,5 cm dan akan membesar seiring pertumbuhan badan. Sebagai akibat stenosis derajat
ringan, sedang dan berat terjadi perbedaan tekanan fase sistole antara ventrikel kanan dan
A.pulmonalis, puncak perbedaan tekanan sistolik bisa mencapai 150-240 mmHg atau bisa
lebih tinggi lagi walaupun jarang. Gangguan hemodinamik biasanya terjadi kalau obstruksi
katup pulmo sudah mencapai 60% atau lebih. Pasien dengan perbedaan tekanan puncak pada
saat istirahat kurang dari 50 mmHg termasuk stenosis ringan, antara 50 – 100 mmHg
termasuk stenosis sedang dan diatas 100 mmHg termasuk stenosis berat. Pada stenosis berat
ventrikel mengalami gagal jantung sehingga isi sekuncup turun walaupun pada saat istirahat.
Keadaan ini diikuti dengan kenaikan baik tekanan akhir distole ventrikel dan tekanan rata-
rata atrium kanan. Sebaliknya pada pasien dengan stenosis ringan dan sedang tekanan sistole
ventrikel kanan bisa tidak berubah dengan pertumbuhan anak bertahun-tahun. Ini
menunjukkan lubang daun katup ikut membesar dengan pertumbuhan anak. Tekanan atrium
kanan yang tinggi dapat menimbulkan gejala dan tanda bendungan vena sistemik pada saat
yang sama akan mengakibatkan foramen ovale terbuka dan terjadi aliran darah shunting dari
atrium kanan ke atrium kiri. Hal ini akan mengakibatkan unsaturation arteri dan sianosis.
Pada stenosis pulmonal berat sianosis dapat pula terjadi tanpa adanya pintasan tersebut. Hal
ini disebabkan oleh aliran darah perifer menurun akibat rendahnya isi semenit. Dalam hal ini
saturasi arteri normal. Pada saat yang sama terjadi fibrosis endokardium ventrikel kanan dan
menyebabkan gagal jantung kanan dan kenaikan tekanan diastolik.
Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi valvular yang sekunder pada
pasien dengan hipertensi pulmonal kronik akibat stenosis mitral rematik (dengan bising
graham steel), penyakit jantung pulmonal dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi
pulmonal fungsional ini diperkirakan terjadi akibat dilatasi cincin katup pulmonal. Walaupun
jarang regurgitasi pulmonal dapat pula terjadi pada kelainan kongenital tersendiri,
endokarditis infeksiosa yang mengenai katup pulmonal dan penyakit jantung reumatik. Pada
regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri ppulmonalis dan ventrikel kanan pada
kahir fase diastolik sama atau mendekati sama. Regurgitasi pulmonal akibat kelainan
kongenital (primer) biasanya tanpa disertai hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik
dengan nada rendah dan sifatnya crescendo-decrescendo. Sebaliknya pada pasien regurgitasi
pulmonal sekunder (dengan hipertensi pulmonal) sifat bising diastolik yang terjadi
mempunyai nada tinggi, meniup dan decrescendo. Pada pasien yang muda, isolated
pulmonary regurgitation ini biasanya masih bisa ditoleransi dengan baik tanpa hipertensi
pulmonal.

2. ETIOLOGI PENYAKIT KATUP PULMONAL


Stenosis pulmonal dapat disebabkan oleh kelainan kongenital maupun didapat. Kelainan
didapat diantaranya disebabakan oleh reumatik jantung, tuberkulosis, malignant, circinoid,
tumor endokarditis, miksoma dan sarkoma. Kelainan sejak lahir merupakan kelainan yang
paling banyak pada stenosis pulmonalis. Kelainan sejak lahir diantaranya :
a) Tidak terbentuknya katup pulmonal. Kelainan ini bisa merupakan kelainan tersendiri,
akan tetapi lebih sering disertai dengan defek septum ventrikel dan sumbatan jalan
keluar ventrikel kanan. Disini dapat terjadi regurgitasi pulmonal.
b) Artresia pulmonal dengan septum ventrikel yang intake. Disini katup pulmonal tidak
sempurna dan hanya berupa jaringan fibrosa, ruang ventrikel kanan biasanya kecil
sedangkan dindingnya hipertrofi. Pada kelainan ini selalu ada komunikasi atrium
kanan dan kiri sehingga kalau terjadi aliran balik dari atrium kanan ke kiri akan terjadi
sianosis.
c) Stenosis pulmonal dengan septum ventrikel yang intake. Kelainan ini lebih sering
terjadi dibanding dengan dua kelainan diatas. Pada bentuk yang ringan merupakan
fusi sebagian dua atau tiga daun katup. Pada kasus yang berat komisura hampir tidak
terbentuk dengan katup membentuk diafragma kuba dengan lubang kecil ditengah.
d) Defek septum ventrikel dengan obstruksi jalan keluar ventrikel kanan. Defek septum
ventrikel dapat mengalami hal tersebut baik di tingkat subvalvular maupun valvular.
Kadang-kadang didapatkan hipertrofi krista supraventrikularis atau stenosis pulmonal.
e) Tetralogi fallot. Disini defek septum ventrikel biasanya terletak dibawah krista
supraventrikularis. Sumbatan jalan keluar ventrikel kanan biasanya disebabkan oleh
sempitnya infundibulum disertai dengan hipertrofi otot. Sebagai tambahan mungkin
didapatkan stenosis katup pulmonal, hipoplasi anulus pulmonalis, atau kontriksi pada
tempat arteri pulmonalis kanan atau kiri berpangkal.
f) Transportasi arteri besar yang sempurna. Aorta berpangkal pada ventrikel kanan
sedangkan arteri pulmonalis berpangkal ventrikel kiri. Kelainan ini dapat disertai
dengan malformasi jantung yang lain misalnya stenosis pulmonal, koartasio aorta, dan
adanya hanya satu ventrikel.
Regurgitasi pulmonal biasanya disebabkan oleh dilatasi cincin katup sebagai akibat
hipertensi pulmonal, (oleh sebab apapun), atau dilatasi arteri pulmonal baik idiopatik atau
akibat kelainan jaringan ikat seperti pada sindrom marfan yang kedua sebagai akibat
endokarditis infeksi dan yang paling jarang adalah iatrogenik dan dapat juga akibat tindakan
operatif dari stenosis pulmonal ataupun tetralogi fallot. Hal ini yang bisa juga mengakibatkan
regurgitasi pulmonal antara lain karsinoid, akibat tindakan kateterisasi jantung, luwes dan
trauma dada.

3. FAKTOR RESIKO PENYAKIT KATUP PULMONAL


Karena stenosis katup pulmonal biasanya berkembang sebelum kelahiran, tidak ada
banyak faktor risiko yang diketahui. Namun, kondisi tertentu dapat meningkatkan risiko
Anda mengembangkan stenosis katup pulmonal dikemudian, termasuk :
a) Sindrom carcinoid
b) Demam rematik
c) Sindrom Noonan
4. GEJALA DAN TANDA PENYAKIT KATUP PULMONAL
Penyakit jantung kongenital dengan akibat obstruksi dan regurgitasi umunya gejalanya
sama dengan penyakit jantung valvular didapat. Walaupun demikian pada penyakit jantung
kongenital ada beberapa tanda khas yang harus diperhatikan. Pada kebanyakan remaja
dengan stenosis pulmonal kongenital yang nyata, isi sekuncup pada saat istirahat tetap
normal, akan tetapi kenaikan isi semenit pada saat olahraga mengalami gangguan, sedangkan
pada anak-anak toleransi pada saat olahraga sangat baik. Pada tetralogi fallot (defek septum
ventrikel dan stenosis pulmonal) baik tidaknya toleransi pasien ini tergantung pada besarnya
defek septum ventrikel dan rasio antara tahanan aliran darah yang lewat stenosis pulmonal.
Pada kebanyakan anak dan dewasa lubang pada septum ventrikel biasanya cukup besar dan
tekanan ventrikel kiri dan kanan kira-kira sama. Kalau tahanan jalan keluar ventrikel kanan
tidak terlalu berat, aliran pulmonal bisa dua kali dari aliran sistemik dan saturasi arterial
normal (acyanotic tetralogi fallot). Sebaliknya kalau tahanan jalan keluar ventrikel kanan
berat, aliran pulmonal akan sangat turun dan terjadi pintasan dari kanan ke kiri dengan
unsaturation arterial dan sianosis walaupun dalam keadaan istirahat. Adanya lubang besar
pada septum ventrikel dapat menyebabkan tekanan sistolik ventrikel kanan tidak bisa
melebihi ventrikel kiri. Hal ini melindungi ventrikel kanan terhadap kerja yang berat dan oleh
karenanya gagal jantung jarang terjadi pada anak-anak. Pada tetralogi fallot sering terjadi
sianosis atau sianosis menjadi lebih berat kalau anak menangis. Hal ini disebabkan oleh
kombinasi manuver valsalva, menahan napas dan perangsangan simpatis.
Pasien dewasa dengan stenosis ringan sampai sedang biasanya tidak mempunyai keluhan,
pasien ditemukan karena ada bising sistolik pada pemeriksaan fisik biasa. Bahkan pasien
dengan stenosis pulmonal berat pun kadang tanpa keluhan. Kalau ada keluhan biasanya
berupa dyspnoe d’ effort, rasa lelah yang berlebihan. Kedua keluhan ini sehubungan dengan
kenaikan isi sekuncup yang tidak adekuat pada saat olahraga. Tak ada keluhan ortopnea
karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis pulmonal.
Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang berat. Sinkop bisa terjadi akan tetapi
kematian mendada (seperti pada stenosis aorta) tidak terjadi. Nyeri dada menyerupai angina
pektoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat. Tanda fisis pada stenosis pulmonal
diantaranya terdapat habitus sindrom noonan berupa badan yang pendek dengan dada seperti
perisai dan leher berselaput. Terdapat sianosis pada pasien stenosis pulmonal berat dan defek
septum atrial atau patent foramen ovale. Pulsasi karotis bisa normal atau volumenya sedikit
menurun dengan pulsasi vena jugularis. Teraba getaran (thrill) sistolik pada spasium
interkostal ketiga atau empat linea parasentralis kiri. Teraba impuls ventrikel kanan di
parasternal. Suara ejection, bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung kedua yang pecah
dengan lemahnya komponen pulmonal.
Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan jarang terlihat dengan gagal
jantung tangan atas dasar regurgitasi pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal jantung
kanan ringan kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik yang meniup atau kasar
terdengar di sternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi pulmonal ini terdengar lebih
keras saat inspirasi. Dan kalau bising ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising
graham steel. Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan bising regurgitasi aorta,
sedangkan bising regurgitasi pulmonal organik terdengar dengan nada rendah dan kasar.
Bising diastolik ini disertai dengan bising sistolik. Denyutan ventrikel kanan terasa sepanjang
dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik klik dengan suara dua yang pecah secara fisiologis.

5. PENEGAKAN DIAGNOSA
Biasanya diagnosis stenosis pulmonalis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan fisis
disertai dengan pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi, radiologi dan
ekokardiografi. Kriteria untuk membuat diagnosis, pada stenosis pulmonal baik dengan
ataupun tanpa keluhan terdengar bising sistolik ejeksi sepanjang sternum bagian kiri dan
sering disertai dengan ejection klik pada fase awal sistolik. Pembesaran ventrikel kanan dapat
dideteksi dengan pemeriksaan fisis (pulsasi jantung di parasentral kiri), pemeriksaan
elektrokardiografi, foto rongent dada, dan ekokardiografi.
Diagnosis regurgitasi pulmonal ditegakkan atas dasar pemeriksaan fisis, elektrokardiografi
foto dada, ekokardiografi dan terutama dengan pemeriksaan angiografi pulmonal di mana
didapatkan aliran balik cairan kontras dari arteri pulmonalis ke ventrikel kanan pada fase
diastolik.

6. TATALAKSANA TERAPI PENYAKIT KATUP PULMONAL


Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat dikelola tanpa tindakan operasi titik.
Pada pasien yang membutuhkan tindakan operasi ataupun pencabutan gigi dianjurkan
pemberian antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh sebagian ahli
dianjurkan pengobatan konservatif saja tanpa tindakan valvulatomi, sedangkan sebagian ahli
yang lain menganjurkan valvulotomi. Pada stenosis pulmonal berat dengan gagal jantung
kanan, semua menganjurkan valvulotomi. Pada keadaaan dimana pasein menolak operasi
atau keadaan pasien tidak memungkinkan untuk operasi, dianjurkan pemberian digitalis.
Pemberian diuretika secara hati-hati dapat pula dicoba akan tetapi dapat menurunkan isi
sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang berat.
Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada pemberian profilaksis pada
kegiatan dental atau operasi. Gagal jantung sangat jarang terjadi pada regurgitasi pulmonal
sehingga tidak banyak pengalaman tindakan pengibatan ataupun operasi pada kasus tersebut.

7. SASARAN DAN STRATEGI TERAPI


Sasaran terapi untuk stenosis pulmonal dan regurgitasi pulmonal adalah untuk
mengembalikan fungsi katup pulmonal. Strategi yang digunakan adalah dengan tindakan
operasi tetapi jika pasien menolak untuk melakukan operasi atau keadaannya tidak
memungkinkan maka dapat diberikan obat digitalis.

PENYAKIT VENTRIKEL SEPTAL DEFECT ( VSD )

1. PATOFISIOLOGI VENTRIKEL SEPTAL DEFECT (VSD)


Ventrikel septal defect adalah kelainan jantung yang ditandai dengan adanya lubang di
septum/dinding pemisah antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan.VSD ini merupakan
kelainan kongenital yang tersering sesudah kelainan aorta bikuspidalis,sekitar 20% (1.5 -2,5
dalam persalinan, tidak ada perbedaan kejadian antara laki-laki dan perempuan). Kemudian,
patofisiologi VSD adalah sebagai berikut :

Penyakit VSD ini, dapat disebabkan oleh 2 jenis faktor yaitu faktor endogen (faktor yang
berasal dari dalam seperti terdapat abnormalitas gen pada bayi yang sampai saat ini belum
diketahui penyebabnya) dan faktor eksogen (faktor yang berasal dari luar seperti ibu hamil
yang terkena infeksi rubella, ibu hamil pecandu alkohol,dsb). Ketika VSD itu terjadi, maka
darah dari ventrikel kiri akan masuk ke ventrikel kanan karena disebabkan oleh 2 hal yaitu
kontraksi ventrikel kiri lebih besar dibandingkan dengan ventrikel kanan serta disebabkan
oleh peningkatan resistensi sistemik dibandingkan dengan resistensi pulmonal. Oleh karena
itu,ketika ventrikel kiri berkontraksi maka darah akan masuk ke dua tempat yaitu ke aorta dan
ventrikel kanan. Lalu karena jumlah darah di ventrikel kanan meningkat maka volume darah
yang akan masuk ke paru – paru akan meningkat pula. Ventrikel Septal Defect ini akan
menyebakan terjadinya penurunan volume sekuncup sehingga terjadilah penurunan nilai
cardiac outputnya yang akan mengakibatkan tubuh tidak menerima darah kaya oksigen dan
nutrisi yang secukupnya sehingga berat badan pasien tidak akan naik. Selain hal tersebut,
VSD juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan ventrikel kanan karena volume darah
yang ada di ventrikel kanan meningkat karena menerima darah dari ventrikel kiri, V.Cava
Superior dan Inferior. Peningkatan tekanan ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi
pulmonal, aliran darah ke paru meningkat, dan hipertropi ventrikel kanan.
a) Hipertensi pulmonal dapat mengakibatkan sesak napas karena volume darah yang
masuk ke paru bertambah sehingga terjadilah edema paru.
b) Peningkatan aliran darah ke paru secara terus menerus akan menyebabkan
terjadinya kerusakan katup pulmonal sehingga akan menimbulkan terbentuknya
jaringan parut/fibrosis di daerah katup pulmonal. Hal ini akan mengakibatkan
tekanan di ventrikel kanan melebihi tekanan di ventrikel kiri sehinggah terjadilah
aliran darah balik ke ventrikel kiri dan menyebabkan tercampurnya oksigen
dengan karbon dioksida yang kemudian akan mengalir ke seluruh tubuh.
c) Hipertropi ventrikel kanan akan menyebabkan beban kerja ventrikel kanan
meningkat pula sehingga dampaknya atrium kanan juga akan mengalami
hipertropi dan akhirnya akan menimbulkan gejala CHF.
2. KLASIFIKASI BERDASARKAN DERAJAT
Klasifikasi derajat besarnya defek terhadap ukuran annulus katup aorta, terbagi menjadi 3
yaitu :
a) VSD kecil dengan ukuran defek lebih kecil dari 1/3 annulus katup aorta, terjadi
gradien yang signifikan antara ventrikel kiri dan kanan (>64 mmHg). Defek
seperti ini disebut restriktif, dengan berbagai variasi aliran dari kiri ke kanan,
tekanan sistol ventrikel kanan dan resistensi pulmonal
b) VSD moderat dengan restriksi, gradien berkisar 36 mmHg, besar defeknya 1/3 –
2/3 annulus katup aorta. Awalnya derajat aliran dari kiri ke kanan bersifat sedang
berat. Resistensi vaskular paru dapat meningkat, tekanan sistolik ventrikel kanan
dapat meningkat walaupun walaupun tidak melampaui tekanan sistemik. Ukuran
atrium dan ventrikel kiri dapat membesar akibat bertambahnya beban volume.
c) VSD besar non restriktif, besar ukuran defeknya > 2/3 annulus katup aorta.
Sebagian besar pasien akan mengalami perubahan vaskular paru yang menetap
dalam waktu 1 atau 2 tahun kehidupan. Dengan waktu terjadi penurunan aliran
dari kiri ke kanan, bahkan terjadi aliran dari kanan ke kiri.
3. KLASIFIKASI BERDASARKAN ETIOLOGI
Klasifikasinya belum ada karena etiologi atau penyebab terjadinya VSD itu sendiri masih
belum diketahui secara pasti (idiopatik) sampai saat ini.
4. FAKTOR RESIKO
Faktor resiko untuk Ventrikel Septal Defect terbagi menjadi 2 faktor yaitu:
a) Faktor endogen adalah faktor yang berasal dari dalam dan maih belum diketahui
penyebabnya (idiopatik). Faktor ini dapat meliputi adanya riwayat keluarga PJB
(penyakit jantung bawaan), serta ada abnormalitas gen pada bayi yang dapat
menimbulkan kerusakan septup tersebut.
b) Faktor eksogen adalah faktor yang berasal dari luar yang bisa menyebabkan
terjadinya kerusakan (lubang) pada dinding pemisah ventrikel.Faktor ini meliputi ibu
hamil yang menderita infeksi rubella yang mana virus rubella ini nantinya akan masuk
ke janin melalui plasenta ibu dan akan menetap serta merusaki organ tubuh janin
tersebut seperti salah satunya di jantung sehingga ketika bayi tersebut lahir, bayi itu
dapat mengidap penyakit jantung bawaan ( VSD), serta terjadi juga pada ibu hamil
yang kecanduan minuman alkohol.
5. GEJALA DAN TANDA
Gejala dan tanda VSD adalah sebagai berikut :
a) Pada defek kecil di septum akan terdengar bunyi bising sistolik dan biasanya
defek kecil ini tidak menggangu pertumbuhan.
b) Pada defek besar akan terdapat sesak napas dan gangguan pertumbuhan oleh
karena meningkatnya aliran pulmonal.
c) Terdapatnya hipertensi pulmonal.
d) Terdapatnya kerusakan katup pulmonal.
e) Peningkatan tekanan vena jugularis (JVP) sebagai akibat kegagalan jantung
bagian kanan.
f) Hepatomegali dan edema tungkai yang juga merupakan akibat gagal jantung
kanan.
g) Hipotensi yang disebabkan oleh volume darah yang dipompa ventrikel kiri tidak
dapat masuk ke seluruh bagian tubuh secara merata.

6. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis VSD dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan penunjang
seperti :
a) Elektrokardiografi
Biasanya dapat ditemukan gelombang melebar P pada atrium kiri yang membesar,
atau gelombang Q dalam dan R tinggi pada daerah lateral. Adanya gelombang R
tinggi di V1 dan perubahan aksis ke kanan menunjukkan hipertrofi ventrikel kanan
dan hipertensi pulmonal.
b) Foto Rontgen dada
Pada VSD kecil ukuran jantung akan terlihat normal, dan VSD moderat atau besar
dapat terlihat pembesaran segmen pulmonal dan kardiomegali.
c) Ekokardiografi
Dapat menentukan lokasi defek, ukuran defek, arah dan gradien aliran, perkiraan
tekanan ventrikel kanan dan pulmonal, gambaran beban volume pada jantung kiri,
keterlibatan katup aorta ataupun katup trikuspid.
d) MRI
Memberikan gambar yang lebih baik terutama VSD dengan lokasi apikal yang sulit
dilihat dengan ekokardiografi. Juga dapat dilakukan besarnya curah jantung, besarnya
pirau, dan evaluasi kelainan yang menyertai seperti pada aorta ascendens dan arkus
aorta.

7. TATALAKSANA TERAPI VSD


Tatalaksana terapi untuk penyakit VSD bertujuan untuk mencegah timbulnya kelainan
vaskular paru yang permanen, mempertahankan fungsi atrium dan ventrikel kiri serta
mencegah terjadinya endokarditis infektif. Penatalaksanaan ini terbagi menjadi :
Tatalaksana Non Farmakologis
1. Tirah baring
Pasien VSD disarankan untuk berbaring saja di tempat tidur dan diharapkan
tidak melakukan aktivitas berat seperti berolahraga karena hal tersebut dapat
memperparah gejala penyakit VSD.
2. Penggunaan oksigen
Penggunaan oksigen mungkin sangat membantu untuk penderita gagal jantung
dengan edema paru-paru, terutama jika terdapat pirau dari kanan ke kiri
dengan hipoksemia kronik. Diberikan oksigen 30-50% dengan kelembaban
tinggi supaya jalan nafas tidak kering dan memudahkan sekresi saluran nafas
keluar. Namun, oksigen tidak mempunyai peran pada pengobatan gagal
jantung kronik.
3. Diet makanan berkalori tinggi
Bayi yang sedang menderita gagal jantung kongestif banyak kekurangan kalori
karena kebutuhan metabolisme bertambah tetapi pemasukan kalori berkurang.
Oleh karena itu, perlu menambah kalori harian. Sebaiknya memakai makanan
berkalori tinggi, bukan makanan dengan volume yang besar karena anak ini
ususnya terganggu. Juga sebaiknya makanannya dalam bentuk yang agak cair untuk
membantu ginjal mempertahankan natrium dan keseimbangan cairan yang cukup.
4. Hindari faktor yang memperberat (demam, anemia, infeksi)
Peningkatan temperatur, seperti yang terjadi saat seorang menderita demam
akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung kadang-kadang dua kali
dari frekuensi denyut normal. Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena
panas meningkatkan permeabilitas membran otot ion yang menghasilkan
peningkatan perangsangan sendiri. Anemia dapat memperburuk gagal jantung,
jika Hb < 7 gr % dan segera berikan transfusi PRC. Antibiotika sering
diberikan sebagai upaya pencegahan terhadap miokarditis/ endokarditis yang
dapat memperparah edema paru. Pemberian antibiotika tersebut boleh
dihentikan jika edema paru sudah teratasi. Selain itu, antibiotika profilaksis
tersebut juga diberikan jika akan dilakukan tindakan-tindakan khusus misalnya
mencabut gigi dan operasi. Jika seorang anak dengan gagal jantung atau kelainan
jantung akan dilakukan operasi, maka tiga hari sebelumnya diberikan
antibiotika profilaksis dan boleh dihentikan tiga hari setelah operasi.
5. Pemantauan hemodinamik yang ketat
Pengamatan dan pencatatan secara teratur terhadap denyut jantung, napas,
nadi, tekanan darah, berat badan, vena jugularis, kelainan paru, derajat edema,
kesadaran dan keseimbangan asam basa.

Tatalaksana Farmakologis
1. Dopamin
Dopamin sering digunakan untuk mengatasi curah jantung yang rendah. Pada

dosis kecil (1-3μg/kg/menit), dopamin menstimulasi reseptor dopaminergik

dan menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis sedang (3-10 μg/kg/menit),

dopamin menstimulasi reseptor beta-1, menyebabkan peningkatan


kontraktilitas miokardium, frekuensi denyut jantung dan konduksi. Pada dosis

besar (10-15 μg/kg/menit), dopamin menstimulasi reseptor alfa. Stimulasi

reseptor alfa 1 menyebabkan vasokontriksi arteriol dan venule sehingga SVR


(resistensi sistemik) dan PVR (resistensi pulmonal) meningkat. Stimulasi
reseptor alfa 2 menyebabkan vasodilatasi arteriol dan venule serta depresi
simpatis sehingga terjadi penurunan SVR, PVR dan frekuensi denyut jantung.
2. Isoproterenol (isuprel) memiliki efek inotropik positif pada miokard,
menyebabkan peningkatan curah jantung dan kerja jantung, menurunkan
tekanan diastolik dan tekanan rata-rata sambil meningkatkan tekanan sistolik.
8. SASARAN DAN SRATEGI TERAPI
Pada terapi VSD, strategi yang digunakan dengan melihat manifestasi klinis (gejala dan
tanda) yang dialami pasien VSD. Apabila pasien mengalami gejala sesak napas ketika
beraktivitas maka strategi penanganannya adalah dengan beristirahat atau rehat sejenak serta
memperhatikan derajat keparahan sesak napas pasien, bila sesak napasnya berat maka dapat
diberikan oksigen maupun obat vasodilator. Lalu apabila kondisi pasien mulai membaik,
maka dapat dilanjutkan dengan penjelasan informasi ke pasien mengenai terapi farmakologis
dan non farmakologis untuk ke depannya.
9. EVALUASI
Pasien dengan VSD yang terisolasi umumnya mempunyai hasil prognosis yang bagus.
Anak-anak dengan defek yang kecil akan memiliki kemampuan prognosis jangka panjang
yang baik tanpa adanya operasi, dengan tingkat penutupan spontan yang tinggi selama 2
tahun pertama kehidupan, dan minimal konsekuensi manifestasi klinis sering tidak terjadi.
Namun,penutupan spontan ini jarang terjadi pada defek sedang atau besar serta gejalanya
lebih sering terjadi dibandingkan dengan defek kecil namun gejala tersebut masih bisa
dikontrol dan apabila pasien tersebut dioperasi maka tingkat prognosisnya akan semakin
membaik.

PENYAKIT ATRIUM SEPTAL DEFECT ( ASD )


I. PENGERTIAN ASD
Septum atriorum merupakan sekat memisahkan ruang antara atrium dexter dan atrium
sinister. Fungsi sekat pada jantung yaitu untuk untuk memisahkan penampungan darah bersih
yang menuju ke seluruh tubuh dengan darah kotor yang menuju jantung untuk dikeluarkan
melalui proses respirasi. Jika tidak terdapat sekat, darah kotor dan bersih akan mengalami
suspensi atau percampuran. Padahal darah kotor mengandung sisa dan racun dari tubuh
sedangkan darah bersih mengandung sari makanan yang akan diedarkan ke seluruh tubuh.
Atrial Septal Defect (ASD) atau dalam bahasa indonesianya Defek Septum Atrium (DSA)
merupakan keadaan dimana terjadi defek pada bagian septum antara atrium kanan dan kiri
sehingga terjadi komunikasi langsung antara kedua atrium yang menyebabkan aliran darah
atrium kanan dan kiri bercampur. Septum atrium yang sesungguhnya adalah dalam
lingkungan vosa ovalis. Menurut lokasinya Atrial Septal Defect (ASD) dikelompokan
menjadi :
a) Atrial Septal Defect (ASD) atau Defek Septum Atrium (DSA) sekundum, defek
terjadi pada vosa ovalis meskipun sesungguhnya fosa ovalis merupakan septum
primum. Pada keadaan tertentu diamana defek cukup besar dapat keluar dari lingkaran
vosa ovalis. Umumnya defek bersifat tunggal tetapi pada keadaan tertentu dapat
terjadi beberapa fenetrasi kecil, dan sering disertai dengan aneurima fosa ovalis.

Atrial Septal Defect Jantung Normal


Sekulum
b) Defek septum atrium dengan defek sinus venosus superior, defek terjadi dekat muara
vena kava superior, sehingga terjadi koneksi biatrial. Sering vena pulmonalis dari
paru-paru kanan juga mengalami anomali, dimana vena tersebut bermuara ke vena
kava superior dekat muaranya di atrium. Dapat juga terjadi defek sinus fenosus tipe
vena kava inferior, dengan lokasi dibawah foramen ovale dan bergabung dengan dasar
vena kava inferior.

Defek Septum Atrium Sinus Venosus

c) Defek septum atrium primum, merupakan bagian dari defek septum atrioventrikular
dan pada bagian atas berbatas dengan fosa ovalis sedangkan bagian bawah dengan
katup atrioventrikular.

Defek Septum Primum

II. PATOFISIOLOGI ASD


Defek ostium sekundum derajat tekanan dari kiri ke kanan tergantung pada ukuran defek
dan juga kelenturan relatif ventrikel kanan dan kiri serta tahan vascular relatif pada sirkulasi
pulmonal dan sistemik. Pada defek besar, tekanan besar mengalirkan darah teroksigenasi dari
atrium kiri ken kanan. Darah ini ditambahkan pada aliran balik venosa biasa ke atrium kanan
dan dipompakan biasanya 2-4 kali aliran darah sistemik. Sedikitnya gejala-gejala pada bayi
dengan DSA adalah akibat struktur ventrikel kanan pada awal kehidupan ketika dinding
ototnya tebal dan kurang lentur, sehingga membatasi tekanan dari kiri ke kanan. Ketika bayi
menjadi lebih tua, dinding ventrikel kanan menjadi tipis, sebagai akibat lebih rendahnya
kebutuhan penyebab tekanan aliran darah yang besar melalui sisi kanan jantung
menyebabkan pembesaran atrium dan vetrikel kanan serta dilatasi arteri pulmonalis.
Walaupun aliran darah pulmonal besar, tekanan arteria tetap normal kerena adanya
komunikasi tekanan tinggi antara sirkulasi pulmonal dan sistemik. Tahanan vascular
pulmonal tetap rendah selama anak-anak walaupun ia mungkin bertambah pada masa dewasa.
Vetrikel kiri dan aorta ukurannya normal. Sianosis hanya kadang-kadang terlihat pada orang
dewasa yang mempunyai tanda-tanda penyakit vascular pulmonal. Defek sekat
atrioventrikuler, kelainan dasar pada penderita dengan defek ostium primum adalah
kombinasi tekanan dan kiri ke kanan yang melewati defek atrium dengan insufisiensi mitral
tekanannya biasanya sedang sampai besar. Derajat insufisiensi mitral biasanya normal atau
hanya sedikit bertambah.
Fisiologi lesi ini, karenanya, sangat serupa dengan fisiologi DSA ostium sekundum. Pada
defek sekat AV, tekanan dari kiri ke kanan adalah transatrial maupun transventrikel. Tekanan
tambahan dapat terjadi secara langsung dari vetrikel kiri ke atrium kanan tidak adanya sekat
AV. Hipertensi pulmonal dan kecenderungan awal untuk menaikan tahanan vascular
pulmonal sering terjadi. Insufisiensi katup AV menambah beban dari kanan ke kiri dapat juga
terjadi pada setinggi atrium maupun ventrikel, dan menyebabkan desaturasi arteri ringan
tetapi berarti. Dengan bertambahnya waktu, penyakit vascular pulmonal progresis akan
menambah tekanan dari kanan ke kiri sehingga terjadi sianosis klinis.
JALUR ASD

III. ETIOLOGI
Penyebab Atrial Septal Defect (ASD) belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada
beberapa factor yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya:
1. Faktor genetic
Resiko penyakit jantung kongenital meningkat 2 sampai 6% jika terdapat riwayat
keluarga yang terkena sebelumnya. Selain itu, 5 sampai 8% penderita penyakit
jantung kongenital mempunyai keterkaitan dengan kelainan kromosom.
2. Factor lingkungan
Penyakit jantung kongenital juga dihubungkan dengan lingkungan ibu selama
kehamilan. Seringnya terpapar dengan sinar radioaktif dipercaya dapat menjadi factor
pencetus terjadinya penyakit jantung kongenital pada bayi.
3. Obat-obatan
Meliputi obat-obatan yang dikonsumsi ibu selama masa kehamilan, misalnya litium,
busulfan, reinoids, trimetadion, thalidomide, dan agen antikonsulvan, antihipertensi,
eritromicin dan clomipramin.
4. Kesehatan ibu
Beberapa penyakit yang diderita oleh ibu hamil dapat berakibat pada janinnya,
misalnya diabetes mellitus, feniketouria, lupus eritematosus sistemik, sindrom rubella
congenital.
IV. FAKTOR RESIKO ASD
Faktor resiko pada DSA dapat berupa orang yang memiliki gen mutan tunggal, kelainan
kromosom. Pada kelainan kromosom dapat menyebabkan penyakit jantung kongenital
sebagai bagian suatu kompleks lesi. Berikunya ada factor gen multifaktorial yang dipercaya
merupakan dasar duktus arteriosuspatent. Factor ini juga merupakan dasar bagi factor
kongenital lain, tetapi beberapa bukti yang sekarang ada menunjukan factor lain seperti,
pengaruh gen tunggal yang dimodulasi. Umumnya bila anak pertama mengalami DSA maka
kemungkinan besar anak berikutnya mengalami hal serupa. Resiko penurunan DSA pada
anak jika orang tua terutama ibu sebagai penderita adalah sekitar 10% dengan tipe yang sama
dengan orang tua atau saudara kandungnya. Berikutnya ada factor lingkungan dan meternal
berupa lingkungan janin. Ibu yang meminum garam litium saat hamil dapat memperoleh anak
yang menderita penyakit jantung kongenital, dengan insiden lesi katup mitral dan tricuspid
yang abnormal tinggi, terutama sindrom ebstein. Ibu diabetic atau yang meminum
progesterone saat hamil mungkin mengalami peningkatan resioko untuk mempunyai anak
dengan penyakit jantung kongenital. Sekitar separuh anak dari ibu yang alkoholik menderita
penyakit jantung kongenital. Asam retinoal yang digunakan untuk mengobati jerawat dapat
menyebabkan berbagai tipe lesi jantung kongenital dan terpajan sinar X atau radiasi lainnya
yang dapat menyebabkan mutasi. Lesi viral berupa embriopari rubella sering menyebabkan
stenosis pulmonal perifer, duktus aretriosus paten dan kadang-kadang stenosis katup
pulmonal. Virus lain terutama koksakivirus diduga menyebabkan penyakit jantung kongenital
berdasarkan pertambahan frekuensi titer serum untuk virus tersebut pada ibu yang bayinya
menderita penyakit jantung kongenital.
V. GEJALA DAN TANDA ASD
Defek atrium sekundum lebih sering terjadi pada perenpuan dengan rasio 2 : 1 antara
perempuan dan pria sedangkan pada tipe sinus venosus rasionya 1 : 1. Defek septum atrium
sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimtomatik, dan tidak memberi
gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih sering ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan rutin foto toraks atau ekokardiografi.
Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup
sampai usia lanjut. Oleh karena itu DSA tipe sekundum merupakan kelainan jantung
kongenital yang paling sering ditemukan pada dewasa.
Sesak napas dan rasa capek paling sering ditemukan keluhan awal, demikian pula infeksi
napas yang berulang. Pasien dapat terasa sesak pada aktivitas, dan berdebar-debar akibat
takiaritmia atrium. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan pulsasi ventrikel kanan pada
daerah parasternal kanan, wide fixed splitting bunyi jantung kedua walaupun tidak selalu ada,
bising sistolik tipe ejeksi pada daerah pulmonal pada garis sternal atas, bising mid diastolic
pada daerah tricuspid, dapat menyebar ke apex. Bunyi jantung kedua mengeras di daerah
pulmonal, oleh karena kenaikan tekanan pulmonal, dan perlu diingat bahwa bising bising
yang terjadi pada DSA merupakan bising fungsional akibat adanya beban volume yang besar
pada jantung kanan. Akan ditemukan sianosis bila defek besar atau common atrium, defek
sinus koronarius, kelainan vascular paru, stenosis pulmonal.
VI. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis pada defek septal atrium ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti dan dengan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain ;
1. Elektrokardiografi
Pada penderita defek septal atrium gambaran EKGnya menunjukan aksis ke
kanan, blok bundle kanan, hipertrofi ventrikel kanan, interval PR memanjang,
aksis gelombang P abnormal, aksis ke kanan secara ekstrim biasanya akibat defek
ostium primum.
2. Foto rontgen dada
Pada foto lateral terlihat daerah retrosternal terisi, akibat pembesaran ventrikel
kanan, terapat dilatasi atrium kanan, dan terdapat segmen pulmonal menonjol,
corakan vascular paru prominen.
3. Ekokardiografi
Dengan menggunakan ekokardiografi trastorakal (ETT) dan Doppler berwarna
dapat ditentukan lokasi defek septum, arah pirau, ukuran atrium dan ventrikel
kanan, keterlibatan katub mitral misalnya prolaps yang memang sering terjadi
pada DSA.
4. Kateterisasi jantung
Pemeriksaan ini diperlukan guna :
a. Melihat adanya peningkatan saturasi oksigen di atrium kanan
b. Mengukur rasio besarnya aliran pulmonal dan sistemik
c. Menetapkan tekanan dan resistensi arteri pulmonalis
d. Evaluasi anomali aliran vena pulmonalis
e. Angiografi koroner seleltif pada kelompok umur yang lebih tua, sebelum
tindakan operasi penutupan DSA.
5. Magnetic resonance imaging
a) Sebagai tambahan dalam menentukan adanya dan lokasi DSA
b) Evaluasi anomaly aliran vena, bila belum bisa dibuktikan dengan
modalitas lain
c) Dapat juga dipakai untuk estimasi Qp/Qs
VII. PENATALAKSANAAN
a. Terapi non farmakologi
Pada dewasa sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk keluhan, umur,
ukuran dan anatomi defek, adanya kelainan yang menyertai, tekanan arteri
pulmonal serta resistensi vascular par. Contohnya adalah Tirah baring yang
mana pasien ASD disarankan untuk berbaring saja di tempat tidur dan
diharapkan tidak melakukan aktivitas berat seperti berolahraga karena hal
tersebut dapat memperparah gejala penyakit ASD.
Indikasi penutupan DSA :
a) Pembesaran jantung pada foto toraks, dilatasi ventrikel kanan, kenaikan tekanan arteri
pulmonalis 50% atau kurang dari tekanan aorta, tanpa mempertimbangkan keluhan.
Prognosis penutupan DSA akan sangat baik dibandingkan dengan pengobatan
medikamentosa. Pada kelompok umur 40 tahun ke atas harus dipertimbangkan
terjadinya aritmia atrial, apalagi bila sebelumnya telah ditemui adanya gangguan
irama. Pada kelompok ini perlu dipertimbangkan ablasi operatif pada saat penutupan
DSA
b) Adanya riwayat iskemik transient atau strok pada DSA atau foramen ovale persisten
Operasi merupakan kontraindikasi bila terjadi kenaikan resistensi vascular paru 7-8 unit,
atau ukuran defek kurang dari 8 mm tanpa adanya keluhan dan pembatasan jantung kanan.
Tindakan penutupan dapat dilakukan dengan operasi terutama untuk defek yang sangat besar
lebih dari 40 mm, atau tipe DSA selain tipe sekundum. Sedangkan untuk DSA sekundum
dengan ukuran defek lebih kecil dari 40 mm harus dipertimbangkan penutupan dengan
kateter dengan menggunakan amplatzar septal accluder. Masih dibutuhkan evaluasi jangka
panjang untuk menentukan kejadian aritmia dan komplikasi tromboemboli.
Pemantauan pasca penutupan DSA :
a) Pada anak-anak tidak bermasalah dan tidak memerlukan pemantauan
b) Pada dewasa atau umur yang lebih lanjut perlu evaluasi periodik, terutama bila saat
operasi telah ada kenaikan tekanan arteri pulmonal, gangguan irama atau disfungsi
ventrikel
c) Profilaksis untuk endokarditis diperlukan pada DSA primum, regurgitasi katup, juga
dianjurkan pemakaian antibiotik selama 6 bulan pada kelompok yang mengalami
penutupan perkutan.
b. Terapi farmakologi
Tatalaksana farmakologi umumnya bersifat sekunder sebagai akibat komplikasi dari
penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain yang menyertai. Dalam hal ini
tujuan terapi farmakologi untuk menghilangkan gejala dan tanda disamping untuk
mempersiapkan operasi. Lama dan cara pemberian obat-obatan tergantung pada jenis
penyakit yang dihadapi. DSA merupakan golongan penyakit jantung bawaan kritis. Terapi
farmako yang digunakan adalah untuk mengurangi tanda dan gejala yang ada. Salah satu
gejala adalah hipoksia tindakan yang harus dilakukan adalah memperhatikan suhu lingkungan
yang netral untuk mengurangi kebutuhan oksigen, kadar hemoglobin dipertahankan dalam
jumlah yang cukup, memberikan cairan parenteral dan mengatasi gangguan asam basa,
memberikan oksigen menurunkan resistensi paru, pemberian prostaglandin paru E1 supaya
duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis permulaan 0,1 µg/kg/menit dan bila sudah
terjadi perbaikan maka dosis dapat diturunkan menjadi 0.05 µg/kg/menit. Obat ini akan
bekerja dalam waktu 10-30 menit sejak pemberian dan efek terapi ditandai dengan adanya
kenaikan. Bila pasien mengalami komplikasi berupa gagal gantung diberikan obat inotropik
seperti digoxin atau obat inotropik lain seperti dobutamin atau dopamine digoxin untuk
neonates misalnya, dipakai dosis 30 µg/kg. Dosis pertama diberikan 8 jam kemudian sebesar
seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8 jam berikutnya sebesar seperempat
dosis. Obat inotropik isoproterenol dengan dosis 0.005-1 µg/kg/menit diberikan bila terdapat
bradikardi, sedangkan bila terdapat takikardi diberikan dobutamin 5-10 µg/kg/menit atau
dobutamin bila laju jantung tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 µg/kg/menit. Digoxin tidak
boleh diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika ada penurunan
fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan intoksikasi digitalis. Vasodilator yang
biasa dipakai adalah katopril dengan dosis 0.1-0.5 µg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.
VIII. SASARAN DAN STRATEGI TERAPI
a) Sasaran terapi
Sasaran terapi medikamentosa dilakukan saat pasien memiliki gejala yang merupakan
bagian dari kontraindikasi pembedahan. Terapi medikamentosa merupakan terapi
sekunder dalam penatalaksanaan DSA.
b) Strategi terapi
Strategi terapi pada pasien DSA adalah operasi. Jika pasien memiliki kontraindikasi
dalam prosedur bedah maka yang dilakukan adalah mengurangi gejala dan tanda
dengan terapi medikamentosa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen, F., & Waschke, J. (2013). Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-Organ
Dalam (23 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.
2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. – Ed. 8. −Jakarta: EGC,
2014
3. Muhammad A Sungkar, A. A. (2014). Penyakit Katup Pulmonal . Dalam Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 (hal. 1200). Jakarta.

4. Ghanie, A. (2014). Defek Septum Atrium. Dalam P. J. Dewasa, Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 1 (hal. 1256). Jakarta.
5. Ghanie, A. (2014). Defek Septum Ventrikel. Dalam P. J. Dewasa, Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1 (hal. 1261). Jakarta.

6. Leksana, E. (2011). Pengelolaan Hemodinamik . 538.

You might also like