Professional Documents
Culture Documents
Tiap-tiap wargaa negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk
pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.
Tabel I
Keadaan Sekolah dan Murid Tahun 1940
Dan 1955 di Indonesia
Tabel 2
Jumlah Murid SD
(dalam jutaan)
Keterangan:
Jumlah sekolah murid pada masa 10 tahun sesudah kemerdekaan (tahun 1955)
dibandingkan dengan pada masa sebelum kemerdekaan (tahun 1939/1940) mengalami
peingkatan cukup pesat. Murid SD mengalami kenaikan 33 kali, murid SMP dan
SMA 24 kali, perguruan tinggi 14 kali (lihat Tabel 1). Angka-angka tersebut
menunjukan besarnya dorogan masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati
pedidikan yang selama masa penjajahan tidak terlayani, juga karena adanya perhatian
pemerintah untuk mengembangan pendidikan. Kemudian pada akhir Repelita I jumlah
murid SD mengalami perkembangan pesat, yaitu pada saat tahun sesudah proklamasi
(lihat Tabel 2).
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung didalam upaya
pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan
pendidkan terpenuhi, mulai deperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan,
mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan
pada butir tentang masalah mutu.
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kuliatas keluarannya. Jika
tujuan pendidkan nasional dijadikan kriteria, maka pernyataannya adalah; Apakah
keluaran dari suatu sistem pendidikan menjadi pribadi yang bertakwa, mandiri, dan
berkarya, anggota masyarakat yang sosial dan bertanggung jawab, warga negara yang
cinta kepada tanah air dan memiliki kesetiakawaan sosial. Dengankata lain apakah
keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran seperti tu
disebut nurturant effect. Meskipun disadari bahawa pada hakikatnya produk dengan
ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sestem pendidkan sendiri. Tetapi jika
terhadap produk seperti itu sistem pendidkan dianggap mempunyai andil yang cukup,
yang tetap mejadi persolan ialah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidak
mudah. Berhubungan dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika
orang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan
hasil belajar yang dikenal sebagai hasil EBTA, E btanas, atau hasi Sipenmaru,
UMPTN (yang biasa disebut instructional effect), karena ini yang mudah diukur.
Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran tentang hasil
pendidikan.
Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses
belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan
terjadinya hasil belajar yang bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal
menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil
belajar tersebut adalah semu. Ini berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan
lebih terletak pada masalah pemrosesan pendidikan. Selanjutnya kelancaran
pemrosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang teridiri dari
peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, bahkan uga
masyarakat sekitar. Seberapa besar dukungan tersebut diberikan oleh komponenen
pendidikan, sangat tergantung kepada kualitas komponen dan kerja samanya serta
mobilitas komponen yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Sebagi contoh,
misalnya komponen sarana pembelajaran yang lengkap tetapi tidak didukung oleh
guru-guru yang terampil maka sumbangan sarana tersebut pada pencapaian tujuan
tidak akan optimal. Tentang hal ini sudah dipaparkan secukupnya pada butir terdahulu
yaitu tentang sistem pendidikan.
Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan
pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang
membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah
relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak
siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan
di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan
pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau
bahkan tidak siap untuk bekerja
Namun kita tidak boleh lengah, masih banyak pendidikan yang belum
mencapai tujuannya. Ini diindikasikan dengan banyaknya kerusakan moral di
kalangan pelajar, seperti beredarnya video- video porno yang bisa diakses melalui
ponsel. Ini akibat dari bebasnya pengawasan dan akses informasi yang masuk kepada
masyarakat, tanpa ada kontrol dari pihak yang terkait.
Korupsi dan kolusi serta nepotisme masih banyak kita temui dalam birokrasi
pendidikan, sehingga menimbulkan konflik dikalangan internal dan berpotensi untuk
menimbulkan konflik perpecahan. Pendidikan juga masih banyak yang kita lihat
belum berpihak pada rakyat umum. Di kalangan masyarakat mahalnya pendidikan
membuat mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makan,
sandang dan papan. Belum tercapainya tujuan pendidikan diakibatkan oleh:
Untuk meminimalisasi hal ini, maka ada upaya yang bisa dilakukan, antara
lain, perbaikan kurikulum pendidikan secara menyeluruh, misalnya dengan
melakukan pendidikan alternatif tambahan diluar kurikulum. Perbaikan sistem
pengajaran dan pendidikan, penguatan keteladanan, penguatan nilai agama dalam
kehidupan.