You are on page 1of 11

Pembahasan

A. Permasalahan dalam Ranah Pendidikan


1. Masalah Pemerataan Pendidkan

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa


dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapa menyediakan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia untuk
memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidkan adalah persoalan
bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga
pendidkan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.

Masalah pemerataan timbul apabila masih banyak warga negara khususnya


anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga
pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa
awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidkan itu telah dinyatakan di dalam
undang-undang No. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Pada Bab XI, Pasal 17b berbunyi:

Tiap-tiap wargaa negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk
diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk
pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu dipenuhi.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10


Ayat 1, menyatakan: ‘’ Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan
yang sudah 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya.
‘’Ayat 2 menyatakan: ‘’Belajar di sekolah agama yang telah mendapat
pengakuan dari menteri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.’’

Landasan yuridis pemerataan pendidikan tersebut penting sekali


artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna
mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan. Bagaimana gambaran
dunia pendidkan kita pada masa jajahan dengan masa sesudah kemerdekaan
dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 di bawah ini:

Tabel I
Keadaan Sekolah dan Murid Tahun 1940
Dan 1955 di Indonesia

Sekolah Tahun Tahun Murid Tahun Tahun


39/40 54/55 39/40 54/55
STK - 511 STK - 34.433
SR 18091 33112 SR 221.990 7.409.361
SMP 114 3593 SMP 21875 533.246
SMA 31 228 SMA 4501 109.188
ST 5 Fak 62 Univ ST 1693 25.387
Sumber: Umar Tirta Raharja 1980: 75 (Dikutip dari ‘’development of education
in indonesia’’ oleh Hutasoit).

Tabel 2
Jumlah Murid SD
(dalam jutaan)

Akhir Akhir Akhir Akhir Akhir


Tahun 54/46 60/61 69/70
Rep. I Rep. II Rep. III Rep. IV Rep. V
Jumlah
Murid 2, 532 11,587 13,05 13,6 11,03 29,11 30,08 30,05

Keterangan:

a) Gross enroment rate


b) Mulai Repelita II, Jumlah Murid SD dan MI
c) Perkiraan
Sumber:

1) Dep. P & K, Lima Repelita Pendidikan dan Kebudayaan.


2) BAPENAS, Data-data dasar dan Sarana-sarana Pokok Pepelita v.
3) Worl Bank, Indonesia Basic Education Study.

Sumber: Tilaar H.A.R, 1992: 29.

Jumlah sekolah murid pada masa 10 tahun sesudah kemerdekaan (tahun 1955)
dibandingkan dengan pada masa sebelum kemerdekaan (tahun 1939/1940) mengalami
peingkatan cukup pesat. Murid SD mengalami kenaikan 33 kali, murid SMP dan
SMA 24 kali, perguruan tinggi 14 kali (lihat Tabel 1). Angka-angka tersebut
menunjukan besarnya dorogan masyarakat untuk memperoleh kesempatan menikmati
pedidikan yang selama masa penjajahan tidak terlayani, juga karena adanya perhatian
pemerintah untuk mengembangan pendidikan. Kemudian pada akhir Repelita I jumlah
murid SD mengalami perkembangan pesat, yaitu pada saat tahun sesudah proklamasi
(lihat Tabel 2).

Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab jika


anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka
memeiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga
mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui berbagai media masa dan
sumber belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berberan sebagai produsen
maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi
penghambat derap pembanguna.

Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung didalam upaya
pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan
pendidkan terpenuhi, mulai deperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan,
mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Hal ini akan dibicarakan
pada butir tentang masalah mutu.

Khusus untuk pendidka formal atau pendidkan persekolahan yang berjenjang


tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masig maupun kebijaksanaan
memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur dengan
memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi yang selalu
ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan seksama.

Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh


kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena
kepada seluruh warga negara perlu diberikan bekal dasar yang sama. Pada jenjang
pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidkan tinggi, kebijakan
pemerataan didasarkan atas pertimbangan kualitatif, dan relevansi, yaitu minat dan
kemampuan anak, keperluan tenaga kerja, dan keperluan pengembangan masyarakat,
kebudayaan, ilmu, dan teknologi. Agar tercapai keseimbangan antara faktor minat
dengan kesempatan memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang seluas-
luaasnya mengenai bidang-bidang pekerjaan dan keahlihan dan persyaratan yang
dibutuhkan dalam pembangunan, utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.

Perkembangan upaya pemerataan pendidkan berlangsug terus menerus dari


pelita ke pelita. Dari Pelita III sampai dengan Pelita V landasanya sedah dipancang
dalam Tap MPR dan ketetapan lainnya. Dalam Pelita III titik berat diletakan pada
perluasan pendidikan khususnya pada tingkat SD. Dalam realisasinya, pada saat itu
dicanangkan kebijaksanaan pemerintah yang disebut delapan jalur pemetaan. Salah
satu butirnya (butir 2) adalah: Pemeretaan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan. Dalam Pelita IV, titik berat diletakkan pada peningkatan mutu
dan perluasan pendidkan dasar ser a perluasan kesempatan belajar pada tigkat
pendidikan menegah (Tap MPR RI No. II/MPR/1983), kemudian pada Pelita V titik
berat pembangun pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu dan setiap jenjang
dan jenis menengah dalam rangka perluasan wajib belajar untuk pendidkan menengah
tingkat pertama. (Tap MPR RI No. II/MPR/1988.) Di dalam Bab III tentang Hak
Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan, Pasal 5 dinyatakan: ‘’Setiap warga
negara memperoleh pendidkan.’’ Bahkan pada pasal 7 mengenai hak tersebut
ditegaskan sebagai berikut: ‘’Penerimaan seseorang pesrta didik dalam suatu satuan
pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakak jenis kelamin, agama, suku,
ras, kedudukan sosial, dan tingkatan kemapuan ekonomi, dan dengan tetap
mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkuatan.’’ Dan pada Pasal 8
Ayat 1 dikatakan lebih lanjut, bahwa warga egara yang memiliki kelainan fisik
dan/atau mental berhak memperoleh pendidikan luar biasa. Dan ayat 2 menyatakan
bahwa warga negara yang memiliki kemampuan dan kecedasan luar biasa berhak
memperoleh perhatian khusus.

Khusus melalui jalur pendidikan luar sekolah usaha pemerataan pendidikan


mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu
perkembangan iptek yang menawarkan berbagai macam alternatif, dan dianutnya
konsep pendidkan hanya sampai pada usia tertentu dan tidak terbatas hanya pada
penyediaan sekolah.

Perkembangan iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidkan


yang dapat memperluasan pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari segi waktu
belajarnya bervariasi dari beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunannya;
melalui proses tatap muka, media massa ataukah jarak jauh; isinya berupa paket
terbatas ataukan himpunan sejumlah paket; sumber belajarnya manusia, barang cetak
elektronik, sampai pada lingkungan alam.

2. Masalah Mutu Pendidikan

Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil belum mencapai taraf seperti


yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenaga terhap calon luaran, dengan sistem sertifikasi.
Selanjutnya jika luaran tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh
lembaga pemakai konsumen tenaga dengan sistem tes kerja (performance test).
Lazimnya sesudah itu masih dilakukan pelatihan/pemagangan bagi calon untuk
penyesuaian dengan tuntunan persyaratan kerja di lapangan.

Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kuliatas keluarannya. Jika
tujuan pendidkan nasional dijadikan kriteria, maka pernyataannya adalah; Apakah
keluaran dari suatu sistem pendidikan menjadi pribadi yang bertakwa, mandiri, dan
berkarya, anggota masyarakat yang sosial dan bertanggung jawab, warga negara yang
cinta kepada tanah air dan memiliki kesetiakawaan sosial. Dengankata lain apakah
keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat
membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran seperti tu
disebut nurturant effect. Meskipun disadari bahawa pada hakikatnya produk dengan
ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil dari sestem pendidkan sendiri. Tetapi jika
terhadap produk seperti itu sistem pendidkan dianggap mempunyai andil yang cukup,
yang tetap mejadi persolan ialah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidak
mudah. Berhubungan dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika
orang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan dengan
hasil belajar yang dikenal sebagai hasil EBTA, E btanas, atau hasi Sipenmaru,
UMPTN (yang biasa disebut instructional effect), karena ini yang mudah diukur.
Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu dipandang sebagai gambaran tentang hasil
pendidikan.

Padahal hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses
belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan
terjadinya hasil belajar yang bermutu. Jika terjadi belajar yang tidak optimal
menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil
belajar tersebut adalah semu. Ini berarti bahwa pokok permasalahan mutu pendidikan
lebih terletak pada masalah pemrosesan pendidikan. Selanjutnya kelancaran
pemrosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang teridiri dari
peserta didik, tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, bahkan uga
masyarakat sekitar. Seberapa besar dukungan tersebut diberikan oleh komponenen
pendidikan, sangat tergantung kepada kualitas komponen dan kerja samanya serta
mobilitas komponen yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan. Sebagi contoh,
misalnya komponen sarana pembelajaran yang lengkap tetapi tidak didukung oleh
guru-guru yang terampil maka sumbangan sarana tersebut pada pencapaian tujuan
tidak akan optimal. Tentang hal ini sudah dipaparkan secukupnya pada butir terdahulu
yaitu tentang sistem pendidikan.

Masalah mutu pendidikan juga mencangkup masalah pemerataan mutu. Di


dalam Tap MPR RI 1988 tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembangunan
pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan,
dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan
ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika. (BP-7 Pusat. 1989:
68.) Umumnya kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menujukan bahwa di
daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah
perkotaan. Acuan uasaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem
pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segslsjenis dan jenjang di seluruh
pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai
dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

3. Masalah efisiensi Pendidikan

Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem


pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan
pendidikan. Jika penggunaanya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensi tinggi.
Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.

Beberpa maslah efisiensi pendidikan yang pentig ialah:

a. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan


b. Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan.
c. Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d. Masalah efisienti dalam mefungsikan tenaga.

Masalah ini dapat meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembangan


tenaga.

Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan pada kesenjangan antara


stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa
5 tahun terakhir dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada sekitar 20%
dari kebutuhan tenaga di lapangan. Sedangkan persediaan tenaga yang siap diangkat
(untuk sebagian besar jenis bidang studi, sebab ada bidang studi tertentu yang belum
tersedia tenaganya) lebih besar daripada kebutuhan lapangan. Dengan demikian
berarti lebih 80% tenaga yang tersedia tidak segera difungsikan. Ini berarti
pemubaziran terselubung, karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera
terbayar kembali melalui pengapdian (belum terjadi rate of return). Sebab teaga
kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk berwirausaha.

Masalah penempatan guru, khususnya guru bidang penepatan studi, sering


mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu
sekolah menerima guru baru dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah
studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena jatah pengankatan sehingga pada
sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan
bidang studi di luar kewenangannya, misalnya guru bahasa harus mengajar IPA.
Gejala tersebut membawa ketidakefisien dalam mefungsikan tenaga guru, juga pada
SD, meskipun persediaan tenaga yang dicanangkan secara makro telah mencukupi
kebutuhan, namun mengalami masalah penepatan karena terbatasnya jimlah yang
dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah
terpencil, karena tidak ada intensif yang menarik, demikian pula sulitnya menepatlan
guru wanita.

Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat,


khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan
kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari pelaksanaan di lapangan. Dapat
dikatakan umumnya penanganan pengembangan tenaga pelaksana di lapangan. Dapat
dikatakan umumnya penanganan pengembangan tenaga pelaksa di lapangan (yang
berupa penyuluhan, latihan, lokarya, penyebara buku panduan) sanagt lambat.
Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kuriklum baru memakan
waktu. Akibatnya mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini
proses pendidikan berlangsung kurang efektif dan efisien.

Selanjutnaya terdapat masalah efisensi terhadap saran dan prasarana


pendidikan sebagi akibat kurang matannya perencanaan dan sering uga karena
perubahan kurikulum. Banyak gedung SD inpres (yang mulai dilancarkan
pembangunannya pada akhir Pelita II) karena beberapa sebab dibangun pada lokasi
yang tidak tepat. Akibatnya banyak SD yang kekurangan murid atau yang ruang
belajarnya kosong. Jika kondisi yang seperti ini terdapat banyak kabupaten dan
provinsi, maka terjadinya pemborosan tidak terelakan. Sebab bangunan tidak dapat di
pindahkan, lagi pula daya tahannya pun terbatas.

Gejala lainnya yaitu, diadakannya distribusi sarana pembekalan tanpa


dibarengi dengan pembekalan kemampuan, sikap dan keterampilan, ataupun tandasi
oleh tanpa dikonsep yang jelas. Sejak tahun 1979 telah disebarkan alat peraga untuk
sekolah dasar di antaranya 23.000 set untuk bidang studi IPS, 88.000 set untuk
matematika, dan 25.000 set alat peraga IPA. Sejauh mana alat peraga itu digunakan
ana dampaknya terhadap peningkatan efektifitas belajar, tidak dilakukan pengkajian.

Pembaharuan kurikulum sering membawa akibat tidak dipakainya lagi bauku


paket siswa dan buku pegangan guru beserta perangkat lainnya karena harus diganti
dengan buku-buku baru. Belum lagi terhitung biaya penantaran para pelaksana
pendidikan di lapangan, khususnya bagi guru-guru agar siap melaksanakan kurikulum
baru.

4. Masalah Rerevansi Pendidikan

Masalah ini berkenaan dengan rasio antara tamatan yang dihasilkan satuan
pendidikan dengan yang diharapkan satuan pendidikan di atasnya atau indtitusi yang
membutuhkan tenaga kerja, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Masalah
relevansi terlihat dari banyaknya lulusan dari satuan pendidikan tertentu yang tidak
siap secara kemampuan kognitif dan teknikal untuk melanjutkan ke satuan pendidikan
di atasnya. Masalah relevansi juga dapat diketahui dari banyaknya lulusan dari satuan
pendidikan tertentu, yaitu sekolah kejuruan dan pendidikan tinggi yang belum atau
bahkan tidak siap untuk bekerja

Pentingnya pendidikan sebagai kegiatan yang menentukan kualitas hidup


seseorang atau bangsa sudah menjadi kebutuhan mutlak. Karena itu pendidikan harus
dilakukan secara sadar melalui sebuah kesengajaan yang terencana dan terorganisir
dengan baik. Semua demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Begitu juga
dengan sasaran lain meliputi obyek peserta, sarana dan prasarana penunjang
pendidikan yang lain.

Kecerdasan intelektual tak akan berarti, tanpa adanya kecerdasan emosional


yang dimiliki oleh seseorang. Kecerdasan emosional atau lazim disebut EQ,
diantaranya, Memiliki kemampuan mengendalikan diri, sabar, ulet, tabah dan tahan
uji dalam menghadapi berbagai tantangan, toleransi dalam menghadapi berbagai
perbedaan dan konsisten dalam kebaikan.

Pendidikan yang berhasil membuat pribadi yang utuh, bukan hanya


mengutamakan kecerdasan intelektual dan emosional saja, fondasi spiritual juga
faktor kunci untuk keberhasilan. Kecerdasan spiritual, antara lain, hatinya selalu
terkait dengan Yang Maha Pencipta (Allah SWT). Hati dan pikirannya selalu merasa
dekat dan merasa diawasi oleh Allah SWT. Memiliki kesadaran akan adanya akhir
kehidupan dan kembali kepada-Nya. Ada perasaan gundah dan gelisah ketika
melakukan satu maksiat dan secepatnya bertaubat kepada Allah.
Keutuhan pendidikan juga terlihat dari kecerdasan sosial yang dimiliki
seseorang. Kecerdasan ini menunjukkan pada kita seberapa besar, nilai-nilai sosial
diajarkan dalam sebuah pendidikan. Dan bagaimana prakteknya di lapangan saat
seseorang terjun langsung dalam masyarakat. Untuk melihat kecerdasan ini dimiliki
seseorang biasanya ditandai dengan keikhlasannya untuk berusaha memberikan yang
terbaik bagi kepentingan masyarakat. Mampu berempati pada kesulitan orang lain.
Rela berkorban untuk kepentingan bersama, tidak mementingkan golongan, tapi
kepentingan bersama yang lebih besar. Jika orang itu menjadi leader atau pemimpin,
maka karyawan yang dipimpinnya merasa terayomi dan nyaman.

Di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk melahirkan manusia-manusia yang


cerdas, bertanggung jawab, bermoral, berkepribadian luhur, bertaqwa, dan memiliki
keterampilan. Dengan anggaran 20 % dari APBN. Maka tujuan ini bukanlah hal yang
mustahil. Sudah banyak bukti yang mendukung adanya peningkatan pendidikan ini.
Prestasi anak-anak bangsa juga banyak mengharumkan bangsa di berbagai kancah
internasional.

Namun kita tidak boleh lengah, masih banyak pendidikan yang belum
mencapai tujuannya. Ini diindikasikan dengan banyaknya kerusakan moral di
kalangan pelajar, seperti beredarnya video- video porno yang bisa diakses melalui
ponsel. Ini akibat dari bebasnya pengawasan dan akses informasi yang masuk kepada
masyarakat, tanpa ada kontrol dari pihak yang terkait.

Korupsi dan kolusi serta nepotisme masih banyak kita temui dalam birokrasi
pendidikan, sehingga menimbulkan konflik dikalangan internal dan berpotensi untuk
menimbulkan konflik perpecahan. Pendidikan juga masih banyak yang kita lihat
belum berpihak pada rakyat umum. Di kalangan masyarakat mahalnya pendidikan
membuat mereka lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makan,
sandang dan papan. Belum tercapainya tujuan pendidikan diakibatkan oleh:

a. Belum terintegrasinya pendidikan moral (agama) dengan pendidikan


lainnya. Ada sebagian anggapan bahwa pendidikan agama hanya
dilakukan di pesantren, padahal di sekolah umum pendidikan agama
juga diajarkan hanya saja porsinya masih sedikit, sehingga belum
maksimal.
b. Pendidikan etika hanya terbatas pada pengetahuan\Minimnya
keteladanan
c. Sikap hidup yang semakin materialis dan hedonis

Untuk meminimalisasi hal ini, maka ada upaya yang bisa dilakukan, antara
lain, perbaikan kurikulum pendidikan secara menyeluruh, misalnya dengan
melakukan pendidikan alternatif tambahan diluar kurikulum. Perbaikan sistem
pengajaran dan pendidikan, penguatan keteladanan, penguatan nilai agama dalam
kehidupan.

You might also like