You are on page 1of 16

KERATITIS

A. Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan
mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun.
B. Etiologi dan faktor pencetus
Penyebab keratitis bermacam-macam yaitu bakteri, virus dan jamur. Selain itu penyebab
lain yang merupakan faktor predisposes adalah kekeringan pada mata, pajanan terhadap cahaya
yang sangat terang, benda asing yang masuk ke mata, reaksi alergi atau mata yang terlalu sensitif
terhadap kosmetik mata, debu, polusi atau bahan iritatif lain, trauma dan penggunaan lensa
kontak yang kurang baik .
C. Tanda dan Gejala Umum
Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea. Infiltrat dapat ada di
seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan pengobatan keratitis. Pada peradangan
yang dalam, penyembuhan berakhir dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat
berupa nebula, makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:
 Keluar air mata yang berlebihan
Nyeri
Penurunan tajam penglihatan
Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
Mata merah
Sensitif terhadap cahaya
D. Klasifikasi
Berdasarkan lapisan yang terkena:
a. Keratitis Pungtata
i. Keratitis Pungtata Superfisial : Infiltrat halus berbintik pada permukaan
kornea. Disebabkan oleh dry eyes, lensa kontak, sinar UV, trauma kimia
ringan, blefaritis, dll
ii. Keratitis Pungtata Subepitel : Infiltrat terkumpul di membran bowman,
Terjadi bilateral, Bersifat kronis
b. Keratitis Marginal : Infiltrat terkumpul di tepi kornea sejajar dengan limbus, Bila
tidak diobati dapat menjadi ulkus kornea, Sering terjadi rekurensi
c. Keratitis Interstisial : Keratitis yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam, Terjadi
karena alergi atau infeksi ke dalam stroma kornea, Disertai neovaskularisasi,
Seluruh kornea keruh sehingga iris sulit dilihat, Terdapat injeksi siliar disertai
serbukan pembuluh ke dalam (salmon patch)

E. Patofisiologi Gejala
Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak segera datang,
seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Maka badan kornea,
wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai
makrofag, baru kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan
tampak sebagai injeksi perikornea. Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear,
sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak
licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbulah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan
menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang dapat
menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea merupakan
fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada pembuluh iris. Fotofobia,
yang berat pada kebanyakan penyakit kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berair
mata dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea, umumnya tidak ada tahi mata kecuali
pada ulkus bakteri purulen.
Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi
kornea umumnya agak mengaburkan penglihatan, terutama kalau letaknya di pusat
Berdasarkan etiologi :
I. KERATITIS BAKTERIALIS
A. Definisi
Keratitis bakteri adalah gangguan penglihatan yang mengancam. Ciri-ciri khusus keratitis
bakteri adalah perjalanannya yang cepat. Destruksi corneal lengkap bisa terjadi dalam 24 – 48
jam oleh beberapa agen bakteri yang virulen. Ulkus kornea, pembentukan abses stroma, edema
kornea dan inflamasi segmen anterior adalah karakteristik dari penyakit ini.
B. Etiologi
Grup bakteri yang paling banyak menyebabkan keratitis bakteri adalah Streptococcus,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae (meliputi Klebsiella, Enterobacter, Serratia, and Proteus) dan
golongan Staphylococcus. Lebih dari 20 kasus keratitis jamur (terutama candidiasis) terjadi
komplikasi koinfeksi bakteri.4
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi dalam
beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan bakteri oportunistik (mis.,
Streptococcus alfa-hemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia,
dan M fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus kornea indolen yang cenderung menyebar
perlahan dan superficial.
C. Patofisiologi
Awal dari keratitis bakteri adalah adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau
masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan
menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor
sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada
struktur fimbriasi dan struktur non fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama
stadium inisiasi, epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel
inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan nekrosis lamella
stroma.
Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di bilik posterior, menyalurkan sel-
sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan adanya hypopyon. Toksin bakteri yang lain dan
enzim (meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea yang
nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinik dari keratitis bacterial yaito:
 Nyeri sedang - berat
 Fotofobia
 Blefarospasme
 Ulkus kornea , infiltrat
 Penglihatan terganggu
 Lakrimasi
 Sekret purulen

Gambar 2. Keratitis bacterial


E. Terapi
Pengobatan antibiotik dapat diberikan pada keratitis bacterial dini. Biasanya pengobatan
dengan dasar berikut:
II. KERATITIS VIRUS
1. Keratitis Herpes Simplek
A. Definisi
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling sering
ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai dengan adanya
infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada mata, virus herpes simplek
dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita keratitis herpes simpleks. Penularan dapat
terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang
mengandung virus.
B. Manifestasi klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan.
lnfeksi primer herpes simplek primer pada mata jarang ditemukan ditandai oleh adanya demam,
malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans, bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi
keratitis epitelial. Kira-kira 94-99% kasus bersifat unilateral, walaupun pada 40% atau lebih
dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopik. Bentuk ini umumnya dapat sembuh
sendiri, tanpa menimbulkan kerusakan pada mata yang berarti. Terapi antivirus topikal dapat
dipakai unutk profilaksis agar kornea tidak terkena dan sebagai terapi untuk penyakit kornea.
Infeksi primer dapat terjadi pada setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan-5 tahun atau
16-25 tahun. Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke
atas.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.
Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus, dan ganglion siliaris berperan
sebagai penyimpan virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri
berperan sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks. Beberapa kondisi yang berperan
terjadinya infeksi kambuhan antara lain: demam, infeksi saluran nafas bagian atas, stres
emosional, pemaparan sinar matahari atau angin, haid, renjatan anafilaksis, dan kondisi
imunosupresi.
Walaupun diobati, kira-kira 25% pasien akan kambuh pada tahun pertama, dan
meningkat menjadi 33% pada tahun kedua. Peneliti lain bahkan melaporkan angka yang lebih
besar yaitu 46,57% keratitis herpes simpleks kambuh dalam kurun waktu 4 bulan setelah infeksi
primer. Penelitian di Yogyakarta mendapatkan angka kekambuhan hanya 11,5% dalam kurun
waktu 6 bulan pengamatan setelah penyembuhan. Perbedaan angka-angka tersebut
dimungkinkan oleh perbedaan cara pengobatan.
Kebanyakan infeksi HSV pada kornea disebabkan HSV tipe 1 namun beberapa kasus
pada bayi dan dewasa dilaporkan disebabkan HSV tipe 2. Lesi kornea kedua jenis ini tidak dapat
dibedakan.
a. Gejala Klinis
Gejala utama umumnya iritasi, fotofobia, mata berair. Bila kornea bagian pusat yang
terkena terjadi sedikit gangguan penglihatan. Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal
infeksi, gejala mungkin minimal dan pasien mungkin tidak datang berobat. Sering ada riwayat
lepuh – lepuh, demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang – kadang
merupakan satu – satunya gejala infeksi herpes rekurens.5
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel,
berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap
keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster
oftalmikus,keratitis akibat pemaparan dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati
bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak
adanya foto-fobia.3
b. Lesi
Keratitis herpes simplek juga dapat dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan
bersamaan dengan uveitis atau kerato uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis
pungtata yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian
sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Lesi bentuk dendritik merupakan
gambaran yang khas pada kornea, memiliki percabangan linear khas dengan tepian kabur,
memiliki bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein memudahkan melihat dendrit,
namun sayangnya keratitis herpes dapat juga menyerupai banyak infeksi kornea yang lain dan
harus dimasukkan dalam diagnosis diferensial.5
Ada juga bentuk lain yaitu bentuk ulserasi geografik yaitu sebentuk penyakit dendritik
menahun yang lesi dendritiknya berbentuk lebih lebar hat ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran ulkus
menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus. Tepian ulkus tidak kabur.
Sensasi kornea, seperti halnya penyakit dendritik, menurun. Lesi epitel kornea lain yang dapat
ditimbulkan HSV adalah keratitis epitelial ”blotchy”, keratitis epitelial stelata, dan keratitis
filamentosa. Namun semua ini umumnya bersifat sementara dan sering menjadi dendritik khas
dalam satu dua hari.5

Gambar 3. Lesi dendritik Gambar 4. Lesi geografik


Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster,
pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus
plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.3
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV.
Stroma didaerah pusat yang edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi berarti, dan umumnya
tanpa vaskularisasi. Edemanya mungkin cukup berat untuk membentuk lipatan-lipatan
dimembran descement. Mungkin terdapat endapan keratik tepat dibawah lesi diskiformis itu,
namun dapat pula diseluruh endotel karena sering bersamaan dengan uveitis anterior. Seperti
kebanyakan lesi herpes pada orang imunokompeten, keratitis disciformis normalnya sembuh
sendiri, setelah berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Edema adalah tanda terpenting, dan
penyembuhan dapat terjadi dengan parut dan vaskularisasi minimal.
Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi dan edema fokal yang sering disertai
vaskularisasi, agaknya terutama disebabkan replikasi virus. Kadang-kadang dijumpai adanya
infiltrat marginal atau lebih dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat
polimorfonuklear disertai reaksi antigen antibodi virus herpes simpleks. Penipisan dan perforasi
kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika dipakai kortikosteroid topikal. Jika terdapat
penyakit stroma dengan ulkus epitel, akan sulit dibedakan superinfeksi bakteri atau fungi pada
penyakit herpes. Pada penyakit epitelial harus diteliti benar adanya tanda – tanda khas herpes,
namun unsur bakteri atau fungi dapat saja ada dan dapat pula disebabkan oleh reaksi imun akut,
yang sekali lagi harus mempertimbangkan adanya penyakit virus aktif. Mungkin terlihat
hipopion dengan nekrosis, selain infeksi bakteri atau fungi sekunder.

Gambar 5. Lesi dengan Wessely Gambar 6. Keratitis Diskiformis


Ring
C. Patogenesa
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal Kerusakan
terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan
membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap
virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel
radang ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak
jaringan stroma disekitarnya. Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang
epitelial ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus
dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma kornea
kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Infeksi
okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang
secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.
D. Terapi
Bertujuan menghentikan replikasi virus didalam kornea, sambil memperkecil efek
merusak akibat respon radang.
1. Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epitelial, karena virus berlokasi
di dalam epitel. Debridement juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma kornea. Epitel
sehat melekat erat pada kornea, namun epitel terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement
dilakukan dengan aplikator berujung kapas khusus. Yodium atau eter topikal tidak banyak
manfaat dan dapat menimbulkan keratitis kimiawi. Obat siklopegik seperti atropi 1 % atau
homatropin5% diteteskan kedalam sakus konjugtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumny
adalah 72 jam. Pengobatan tambahan dengan anti virus topikal mempercepat pemulihan epitel.
Terapi obat topikal tanpa debridement epitel pada keratitis epitel memberi keuntungan karena
tidak perlu ditutup, namun ada kemungkinan pasien menghadapi berbagai keracunan obat7
2. Terapi obat
Agen anti virus topikal yang di pakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine,
vidarabine, dan acyclovir. Trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif untuk penyakit stroma
dari pada yang lain. Idoxuridine dan trifluridine sering kali menimbulkan reaksi toxik. Acyclovir
oral ada mamfaatnya untuk pengobatan penyakit herpes mata berat, khususnya pada orang atopik
yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif (eczema herpeticum). Study
multicenter terhadap efektivitas acyclovir untuk pengobatan kerato uveitis herpes simpleks dan
pencegahan penyakit rekurens kini sedang dilaksanakan ( herpes eye disease study).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel kornea,
umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini penggunaan
kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpotensi sangat merusak. Kortikosteroid topikal
dapat juga mempermudah perlunakan kornea, yang meningkatkan risiko perforasi kornea. Jika
memang perlu memakai kortikosteroid topikal karena hebatnya respon peradangan, penting
sekali ditambahkan obat anti virus secukupnya untuk mengendalikan replikasi virus.
3. Bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindentifikasi untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang
mempunyai parut kornea berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit
herpes non aktif. Pasca bedah, infeksi herpes rekurens dapat timbul karena trauma bedah dan
kortikosteroid topikal yang diperlukan untuk mencegah penolakan transplantasi kornea. Juga
sulit dibedakan penolakan transplantasi kornea dari penyakit stroma rekurens
Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau superinfeksi bakteri atau fungi
mungkin memerlukan keratoplasti penetrans darurat. Pelekat jaringan sianokrilat dapat dipakai
secara efektif untuk menutup perfosi kecil dan graft “petak” lamelar berhasil baik pada kasus
tertentu. Keratoplasi lamelar memiliki keuntungan dibanding keratoplasti penetrans karena lebih
kecil kemungkinan terjadi penolakan transparant. Lensa kontak lunak untuk terapi atau tarsorafi
mungkin diperlukan untuk pemulihan defek epitel yang terdapat padakeratitis herpes simplek.
4. Pengendalian mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV
Infeksi HSV rekurens pada mata banyak dijumpai kira – kira sepertiga kasus dalam 2
tahun serangan pertama. Sering dapat ditemukan mekanisme pemicunya. Setelah denga teliti
mewawancarai pasien. Begitu ditemukan, pemicu itu dapat dihindari. Aspirin dapat dipakai
untuk mencegah demam, pajanan berlebihan terhadap sinar matahari atau sinar UV dapat
dihindari. Keadaan – keadaan yang dapat menimbulkan strea psikis dapat dikurangi. Dan aspirin
dapat diminum sebelum menstruasi.
2. Keratitis Virus Varisela Zoster
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan rekuren
(zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster
ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian kelopak. Jarang ada
keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih jarang lagi keratitis epithelial
dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan keratitis disciformis, dengan uveitis yang
lamanya bervariasi.

Gambar 7. Keratitis Herpes Zoster pada cabang N Nasosiliaris

III. KERATITIS FUNGI


A. Etiologi
Keratitis jamur dapat menyebabkan infeksi jamur yang serius pada kornea dan
berdasarkan sejumlah laporan, jamur telah ditemukan menyebabkan 6%-53% kasus keratitis
ulseratif. Lebih dari 70 spesies jamur telah dilaporkan menyebabkan keratitis jamur. Beberapa
spesies yang dapat menyebabkan keratitis jamur yaitu Aspergilus fusarium, Cefalosporium, dan
Candida albicans.4,7
B. Manifestasi Klinik
Reaksi peradangan yang berat pada kornea yang timbul karena infeksi jamur dalam
bentuk mikotoksin, enzim-enzim proteolitik, dan antigen jamur yang larut. Agen-agen ini dapat
menyebabkan nekrosis pada lamella kornea, peradangan akut, respon antigenik dengan formasi
cincin imun, hipopion, dan uveitis yang berat.4
Ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur berfilamen dapat menunjukkan infiltrasi abu-
abu sampai putih dengan permukaan kasar, dan bagian kornea yang tidak meradang tampak
elevasi keatas. Lesi satelit yang timbul terpisah dengan lesi utama dan berhubungan dengan
mikroabses stroma. Plak endotel dapat terlihat paralel terhadap ulkus. Cincin imun dapat
mengelilingi lesi utama, yang merupakan reaksi antara antigen jamur dan respon antibodi tubuh.
Sebagai tambahan, hipopion dan sekret yang purulen dapat juga timbul. Reaksi injeksi
konjungtiva dan kamera okuli anterior dapat cukup parah. Pada keratitis candida biasaya ditandai
dengan lesi berwarna putih kekuningan.6
Untuk menegakkan diagnosis klinik dapat dipakai pedoman berikut4,7 :
1. Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2. Lesi satelit.
3. Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan seperti hifa di
bawah endotel utuh.
4. Plak endotel.
5. Hypopyon, kadang-kadang rekuren.
6. Formasi cincin sekeliling ulkus.
7. Lesi kornea yang indolen.
Gambar 8. Keratitis Aspergilus Gambar 9. Keratitis Candida

C. Diagnosa Laboratorik
Sangat membantu diagnosis pasti, walaupun bila negatif belum menyingkirkan diagnosis
keratomikosis. Yang utama adalah melakukan pemeriksaan kerokan kornea (sebaiknya dengan
spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-
masing ± 20-30%, 50-60%, 60-75% dan 80%. Lebih baik lagi melakukan biopsi jaringan kornea
dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tapi sayang perlu biaya yang
besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope
untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea (metode Nomarski) yang dilaporkan cukup
memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa
D. Terapi
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya preparat komersial yang
tersedia,
• Polyenes termasuk natamycin, nistatin, dan amfoterisin B.
• Azoles (imidazoles dan triazoles) termasuk ketoconazole, Miconazole, flukonazol,
itraconazole, econazole, dan clotrimazole
Steroid topikal adalah kontra indikasi, terutama pada saat terapi awal. Diberikan juga
obat sikloplegik (atropin) guna mencegah sinekia posterior untuk mengurangi uveitis anterior.
Tidak ada pedoman pasti untuk penentuan lamanya terapi; kriteria penyembuhan antara
lain adalah adanya penumpulan (blunting atau rounding-up) dari lesi-lesi ireguler pada tepi
ulkus, menghilangnya lesi satelit dan berkurangnya infiltrasi di stroma di sentral dan juga daerah
sekitar tepi ulkus. Perbaikan klinik biasanya tidak secepat ulkus bakteri atau virus. Adanya defek
epitel yang sulit menutup belum tentu menyatakan bahwa terapi tidak berhasil, bahkan kadang-
kadang terjadi akibat pengobatan yang berlebihan. Jadi pada terapi keratomikosis diperlukan
kesabaran, ketekunan dan ketelitian dari kita semua.

Keratitis alergi
Etiologi
• Reaksi hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata,
• biasanya penderita sering menunjukkan gejala alergi terhadap tepung sari rumput-
rumputan
manifestasi klinis
 Bentuk palpebra: cobble stone (pertumbuhan papil yang besar), diliputi sekret mukoid.
 Bentuk limbus: tantras dot (penonjolan berwarna abu-abu, seperti lilin)
 Gatal
 Fotofobia
 Sensasi benda asing
 Mata berair dan blefarospasme
terapi
• Biasanya sembuh sendiri tanpa diobati
• Steroid topikal dan sistemik
• Kompres dingin
• Obat vasokonstriktor
• Cromolyn sodium topikal
• Koagulasi cryo CO2.
• Pembedahan kecil (eksisi).
• Antihistamin umumnya tidak efektif
• Kontraindikasi untuk pemasangan lensa kontak
klasifikasi
• Bentuk klinis
• Keratitis Flikten
• Flikten merupakan benjolan berdiameter 1-3 mm berwarna abuabu pada
lapisan superfisial kornea.
• Epitel diatasnya mudah pecah dan membentuk ulkus.
• Ulkus ini dapat sembuh atau tanpa meninggalkan sikatrik.
• Adapula ulkus yang menjalar dari pinggir ke tengah, dengan pinggir
meninggalkan sikatrik sedangkan bagian tengah nya masih aktif, yang disebut
wander phlyctaen.
• Keadaan ini merupakan proses yang mudah sembuh, tetapi kemudian kambuh
lagi di tempat lain bila penyebabnya masih ada dan dapat menyebabkan
kelainan kornea berbentuk bercak-bercak sikatrik, menyerupai pulaupulau
yang disertai ‘geographic pattern’.
• Keratitis Sika
Merupakan peradangan konjungtiva dan kornea akibat keringnya permukaan
kornea dan konjungtiva.
 Berkurangnya komponen lemak, seperti pada blefaritis
 Berkurangnya airmata, seperti pada syndrome syrogen, setelah memakai obat
diuretik, atropin atau dijumapai pada usia tua.
 Berkurangnya komponen musin, dijumpai pada keadaan avitaminosis A,
penyakit-penyakit yang menyebabkan cacatnya konjungtiva, seperti trauma
kimia, Sindrom Steven Johnson, trakoma.
 Penguapan yang berlebihan seperti pada kehidupan gurun pasir, lagoftalmus,
keratitis neuroparalitika.
 Adanya sikatrik pada kornea.

• Keratitis Neuroparalitik
• Keratitis Numuralis
• Diduga dari virus.
• Pada klinis, tanda-tanda radang tidak jelas, terdapat infiltrat bulat-bulat
subepitelial di kornea, dimana tengahnya lebih jernih, disebut halo (diduga
terjadi karena resorpsi dari infiltrat yang dimulai di tengah).
• Tes fluoresen (-).
• Keratitis ini kalau sembuh meninggalkan sikatrik yang ringan

KOMPLIKASI KERATITIS
• Gangguan refraksi
• Jaringan parut permanent
• Ulkus kornea
• Perforasi kornea
• Glaukoma sekunder

PROGNOSIS KERATITIS
• Keratitis dapat sembuh dengan baik
• ditangani dengan tepat
• tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya.
• Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, tergantung dari:
• Virulensi organisme
• Luas dan lokasi keratitis
• Hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen

You might also like