You are on page 1of 5

Budaya "Hoax" dan Peningkatan

Kebodohan Kita
https://www.kompasiana.com/syahirulalimuzer/budaya-hoax-dan-peningkatan-kebodohan-
kita_586c8806d59373e30f190c7a
4 Januari 2017, Syahirul Alimuzer
Seakan telah menjadi sebuah fakta sosial, penyebaran dan kegemaran masyarakat terhadap berita palsu
yang belum tentu memiliki kebenaran justru menjadi konsumsi dan kebiasaan sehari-hari sehingga
kegiatan “saling sebar” berita palsu (hoax) telah membudaya menjadi bagian dari “gaya hidup” yang
dijalankan baik dengan paksaan (coercion) atau tidak.

Sebuah fakta sosial umumnya ditengarai oleh suatu sikap masyarakat yang terbentuk secara berkala,
dimana setiap individu bersama-sama “memaksa” individu lainnya untuk berbuat secara sama sesuai
dengan suatu kebiasaan masyarakat. Paling tidak, jika melihat kepada tren pengguna internet di Indonesia
yang mencapai 132,7 juta orang, maka kurang lebih 50 persen penduduk Indonesia rentan terpapar
penyebaran berita palsu yang dilakukan secara viral dan berantai terutama yang disebar secara massif
melalui media sosial.

Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan, tahun 2016 yang baru saja lewat, merupakan tahun di mana
maraknya berita-berita palsu yang tersebar sedemikian rupa, menjadi viral di media sosial dan kemudian
membentuk opini dan mengubah mindset banyak orang dalam menerima dan mengolah sebuah informasi.
Yang lebih mengherankan, konten berita palsu yang sedemikian massif kemudian “dibiarkan” dan tanpa
sadar telah meningkatkan kebodohan dalam masyarakat.

Jika dulu konten-konten hoax lebih banyak muncul dari informasi seputar investasi dan kesehatan, kini
hoax lebih banyak tersebar untuk konten-konten agama dan politik. Kita mungkin tahu dan sadar, betapa
mudahnya kita membenci atau mendukung seseorang atau kelompok lain hanya karena sebuah berita
yang di-hoax tanpa melakukan proses klarifikasi terlebih dahulu. S

aya kira, isu-isu seputar agama dan politik belakangan menjadi konsumsi pemberitaan yang paling
menarik sehingga mudah sekali bagi siapapun dengan latar belakang tertentu membuat berita palsu dan
menyebarkannya.

Yang agak lebih mengherankan adalah bahwa sebagian banyak berita hoax yang menyangkut isu-isu
agama (Islam) yang kemudian menjadi viral di media sosial dianggap sebagai sebuah ajang dakwah bagi
sekelompok orang. Mereka beranggapan, menyebarkan berita tertentu yang padahal belum sepenuhnya
teruji dan terklarifikasi kebenarannya justru disebarkan dan dianggap sebagai bagian dakwah menurut
mereka.

Padahal, ajaran Islam sendiri telah mengultimatum secara tegas, bahwa pembuat berita palsu dan mereka
yang menyebarkannya masuk dalam kategori “fahisyah” atau perbuatan tercela yang secara nalar maupun
nurani dinilai memicu keburukan atau kerusakan.

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) tentang perbuatan yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Tuhan
Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui,” (QS Annuur: 19).

Konten berita yang dibumbui hoax mungkin akan lebih banyak lagi ketika menyangkut isu-isu politik.
Hampir semua pejabat negara, politisi, tokoh agama bahkan presiden sekalipun nampaknya sudah
menjadi bulan-bulanan berita hoax, baik yang beredar di media sosial atau aplikasi grup percakapan
dengan memanfaatkan teknologi jaringan internet.

Informasi yang bernuansa viral justru semakin sulit dibendung penyebarannya sehingga banyak yang
kesulitan atau keengganan melakukan konfirmasi menyeluruh terhadap konten pembawa berita-berita
palsu tersebut.

Melek (literasi) terhadap informasi yang tersebar di berbagai media nampaknya cukup sulit diwujudkan
karena memang rata-rata masyarakat Indonesia tidak seluruhnya mengenyam pendidikan tinggi secara
merata. Mudahnya tersebar dan menyebarkan konten yang disisipi hoax lebih diakibatkan oleh rendahnya
tingkat pendidikan para penyebar konten hoax tersebut.

Tentu kita pun akan terheran-heran dengan sebagian orang yang memiliki keinginan yang sangat kuat
agar berita-berita palsu ini justru bisa tersebar secara luas dan membentuk opini dalam masyarakat.
Menerima sebuah informasi tanpa filter dan kemudian menyebarkannya ke pihak lain tanpa didahului
oleh check and recheck justru adalah sebuah kebodohan dan kita terjebak dalam praktek menanamkan
pembodohan kepada masyarakat.

Walaupun, sebenarnya yang lebih berbahaya adalah si penerima konten yang tanpa melakukan tabayyun
terlebih dahulu terhadap informasi yang diterimanya kemudian langsung disebarkan.

Dalam tradisi Islam, pembuat dan penyebar berita palsu (hoax) di sebut sebagai generasi “qiila wa qoola”
yaitu generasi yang gemar turut campur terhadap kabar orang lain, menyampaikan informasi yang tak
diketahui sendiri dan menceritakan semua yang ia dengar tanpa proses peninjauan akurasi data dan fakta.
Memang kita harus akui, bahwa para “muhibbin” (pencinta) berita palsu ini tidak hanya dilatarbelakangi
oleh iklim literasi pendidikan tetapi juga oleh latar belakang lain, seperti ekonomi atau sekedar
bersenang-senang. Dalam dunia internet, kita mengenal sistem pembayaran dengan mengandalkan klik,
dimana perklik kita dihargai sekian rupiah. Dalam sebuah informasi yang saya dapat dari salah satu media
konvensional, harga 100 ribu klik adalah setara dengan Rp 1,3 juta.

Ini tentu menggiurkan, ketika misalnya si pengunggah berita palsu membuat judul berita dengan nada
provokatif agar para pengguna internet tertarik untuk sekedar mengklik laman tersebut. Perihal berita
hoax tidak hanya menyebar di Tanah Air saja, bahkan telah mendunia.

Negara yang literasi pendidikannya tinggi seperti Amerika sekalipun, menurut informasi dari sebuah
lembaga survey Ipsos Public Affairs ternyata 75 persen warganya justru percaya terhadap berita hoax
yang tersebar secara viral. Belum lagi para penyebar berita hoax yang memang dibayar secara profesional
dengan bayaran yang tinggi hanya untuk kepentingan kelompok atau afiliasi politik tertentu.

Saya kira, penyebaran berita palsu atau hoax sudah sangat mengkhawatirkan di negeri ini, bahkan seakan
sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Itu sebabnya, Presiden Joko Widodo pada 29
Desember tahun lalu menggelar rapat terbatas secara khusus guna membahas dan menangkal bahaya
informasi palsu alias hoax yang banyak beredar terutama di media sosial.

Saya kira memang perlu ketegasan soal hukuman yang harus diterima oleh para penyebar hoax tersebut,
karena bagaimanapun mudahnya penyebaran informasi palsu semakin banyak merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara bukannya mencerdaskan atau membangun.

Perbedaan yang tajam dalam masyarakat sehingga membelah dan mengkotak-kotakan masyarakat justru
umumnya dibangun oleh maraknya informasi palsu yang beredar yang justru dianggap “kebenaran” oleh
sebagian masyarakat. Padahal, hanya dengan mengabaikan informasi palsu saja, sebenarnya kita telah
menjadi bagian dalam rangka mencerdaskan masyarakat apalagi kita mampu melakukan counter terhadap
maraknya penyebaran infomasi palsu tersebut dengan membuat konten yang edukatif, memiliki nilai
kebaikan dan jauh dari ujaran-ujaran kebencian atau provokatif.

Para penyebar berita palsu ibarat “nabi-nabi” yang sengaja menyebarkan berita kebohongan untuk
menutupi kebenaran dari ajaran para nabi yang sesungguhnya. Istilah “nabi” dalam terminologi Bahasa
Arab adalah “pembawa berita” dan umumnya berita yang mereka bawa adalah kebenaran dan kebaikan
yang justru akan membawa umat manusia dari “kebodohan” ke alam pemikiran yang mencerdaskan.
Para penyebar hoax bisa saja dikategorikan sebagi “nabi palsu” di abad modern yang kegemarannya
adalah menyebar berita-berita bohong dengan tujuan “membodohi” masyarakat dan yang lebih parah
mengadu domba masyarakat agar mereka kemudian berpaling dari kebenaran yang sesungguhnya.
Sebarkanlah kedamaian dan kebenaran walaupun itu terasa pahit, karena obat yang dirasa getir justru
lambat laun dapat menyembuhkan

Kebenaran Dakwah dan Berita Hoax


https://romansapena.wordpress.com/2015/05/31/kebenaran-dakwah-dan-berita-hoax/
Andiana Moedasir
HOAX ISLAMI
Beuh, ini apa lagi? Jelas, ini propaganda. Psywar. Entah siapa yang memulai, tujuannya tentu saja
memancing emosi masyarakat internet yang dianggap lebih update daripada mereka yang hanya membaca
media cetak. Harap diingat bahwa berita di internet bisa menyebar dalam hitungan detik, tak peduli
sumbernya asli atau mengada-ada dan tak peduli benar atau tidak.
“Hoax Islami adalah tindakan untuk mengelabui agar orang mempercayai atau menerima sesuatu yang
palsu dan sering tidak masuk akal sebagai sesuatu yang asli dalam kaitannya dengan agama Islam,
biasanya terkait dengan upaya dakwah agama Islam.
Pemeluk agama Islam terbagi dua dalam responnya terhadap metode hoax, yaitu: pro dan kontra. Mereka
yang pro menganggap penggunaan hoax Islam untuk dakwah sebagai wujud dari pengamalan taqiya
(taqiya dianggap sebagai kebohongan putih (white lie) yang boleh dilakukan demi agama). Sedangkan
mereka yang tidak setuju menganggap penggunaan hoax untuk dakwah mencederai citra agama Islam.”
(sumber: Noel) catatan tambahan dariku: taqiyya sendiri biasa digunakan oleh kelompok Syiah, yang
jelas-jelas bukan Islam. Meski agak absurd, tapi penjelasannya mudah dipahami ya tentang Hoax Islami.
Masih dari sumber yang sama, pemilik nama akun Noel menulis, “Hoax Islami sangat cepat sekali
menyebar di forum, grup, situs, dan blog dakwah agama Islam serta blackberry sesama pemeluk agama
Islam, karena itulah hoax Islami mudah dipercaya pemeluk agama Islam. Hoax Islami bahkan juga
disebarluaskan oleh media massa besar yang berlabel Islam, misal, Republika.” Silakan cek beberapa
contoh hoax yang sempat berkembang di dunia maya itu di Kompasiana tersebut.
Banyak cara untuk mendiskreditkan Islam. Artikel di atas sebenarnya juga sudah menjurus untuk

melakukan hal itu kepada ummat muslim. Semangat pula menulisnya Sayangnya, banyak juga dari
ummat ini yang mudah terpancing karena tak langsung mengecek kebenarannya dan justru ikut latah
menyebarkannya. Sayangnya lagi, ada media-media yang cukup besar pun turut menyebarkannya.
Jujur, aku sebagai salah satu pemeluk agama Islam merasa malu. Ada ya, pihak yang cukup terpandang
pun menyebarkan berita bohong tanpa cross check kebenarannya padahal bisa dengan mudah dilakukan.
Apalagi yang memposting terusan berita bohong itu orang yang katanya intelek, cerdas, dan kritis.
Psywar dilakukan oleh umat lain, kaum liberalis, sekular, pluralis, dan sekte lain yang menamakan Islam.
Tapi ya mengapa ummat yang berada dalam barisannya Rasulullah sendiri yang jadi kayak bebek ikut
latah menyebarkan hal bohong? (oke, ini bisa jadi pembahasan tersendiri.)
MENYIKAPI HOAX
Gampang. Sabar dan cek kebenarannya. Tunggu hingga —katakanlah— 30 menit sampai 1 jam ke depan,
karena bakalan ada berita penyeimbangnya. Ya, ketika Twitter belum ada, berita bohon menyebar di milis
tuh menunggu klarifikasinya bisa 1-2 hari. Hihihi….
Jujur sih, aku juga awalnya suka bersemangat untuk menyebarkan sebuah berita. Ketika ketahuan salah /
bohong / palsu, aku langsung menghapus postingan agar tak lagi menyebar atau dianggap fitnah.
Sayangnya, semua yang telanjur tercatat di internet meski kemudian dihapus, sudah menjadi catatan
buruk di buku amalan. Malaikat di bahu kiriku sudah geleng-geleng kepala deh.
Kini, setiap ada berita muncul, aku langsung tanya ke penulis pertama yang terlihat mata, “Is it
confirmed?” Kalau dia sendiri apa kata orang, aku diam. Menunggu. Kalau dia adalah orang pertama
yang ada di lokasi, aku percaya. Minimal, orang itu adalah pihak ketiga (temannya teman atau saudaranya
teman). Kalau sudah mata rantai ke sekian yang tak jelas, mending mengalihkan perhatian ke berita lain
deh.
KESIMPULAN
Dakwah sih wajib. Fardhu ‘ain hukumnya. Tapi tentu saja, bukan dengan cara menyebar berita palsu
apalagi dengan semangat 45 yang tak jelas. Justru nanti akan menjadi bumerang dan membuat barisan
ummat ini dikatakan sebagai pembual dan hobi berbohong. Situ mau? Aku sih ogah.

You might also like