Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kecepatan arus merupakan salah satu faktor penentu kemelimpahan dan keanekaragaman
makrozoobentos. Pada perairan yang relatif tenang dan banyak ditumbuhi tumbuhan air biasanya
banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan perairan dengan arus kuat atau jeram banyak
ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta dan Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Organisme yang ada di dasar sungai bergantung kepada sifat dasar sungainya. Dasar
sungai tergantung kepada kecepatan arus air jika aliran sungai deras, maka dasar sungai
mengandung kerikil dan pasir. Jika arus hampir diam, maka dasar sungai adalah lumpur
(Sastrawidjaya, 1991).
2.4.2 Temperatur Air
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran temperatur air merupakan
hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di air serta
semua aktivitas biologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur.
Menurut hukum Van’ Hoffs kenaikan temperatur sebesar 100 C (hanya pada kisaran temperatur
yang masih ditolerir) akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat.
Akibat meningkatnya laju metabolisme, akan menyebabkan konsumsi oksigen meningkat. Pola
temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,
pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor
kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brehm dan Meijering,
1990 dalam Barus, 2004).
Temperatur air pada suatu perairan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan dan
distribusi makroinvertebrata air. Pada umumnya temperatur di atas 300C dapat menekan populasi
makroinvertebrata air (Odum, 1994). Welch (1980) menyatakan bahwa hewan makroinvertebrata
air pada masa perkembangan awal sangat rentan terhadap temperatur tinggi dan pada tingkatan
tertentu dapat mempercepat siklus hidup sehingga lebih cepat dewasa. James dan Evison (1979)
menyatakan bahwa temperatur yang tinggi menyebabkan semakin rendahnya kelarutan oksigen
yang menyebabkan sulitnya organisme akuatik dalam melakukan respirasi karena rendahnya
kadar oksigen terlarut.
2.4.3 Penetrasi Cahaya
Kemampuan penetrasi cahaya sampai dengan kedalaman tertentu juga akan
mempengaruhi distribusi dan intensitas fotosintesis tumbuhan air dibadan perairan (Brower et
al., 1990). Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan
penetrasi cahaya secara mencolok. Sehingga menurunkan aktifitas fotosintesis fitoplankton dan
alga, akibatnya menurunkan produktivitas perairan.
Muatan padatan tersuspensi dan kekeruhan, menurut Sandy (1985) sangat dipengaruhi oleh
musim. Pada waktu musim penghujan kandungan lumpur relatif lebih tinggi karena besaran laju
erosi yang terjadi; sedangkan pada musim kemarau tingkat kekeruhan air sungai dipengaruhi
oleh laju aliran air yang terbatas menoreh hasil-hasil endapan sungai.
Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus dasar perairan jika
konsentrasi bahan tersuspensi atau zat terlarut tinggi. Berkurangnya cahaya matahari disebabkan
karena banyaknya faktor antara lain adanya bahan yang tidak larut seperti debu, tanah liat
maupun mikroorganisme air yang mengakibatkan air menjadi keruh.
2.4.4 Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis
dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan
ke luar dari permukaan air. Vegetasi yang ada disepanjang aliran air juga dapat mempengaruhi
intensitas cahaya yang masuk ke mengabsorbsi cahaya matahari. Efek ini terutama akan terlihat
pada daerah hulu yang aliran airnya umumnya masih kecil dan sempit.
Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan
mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Larva dari Baetis rhodani akan
bereaksi terhadap perubahan intensitas cahaya, dimana jika intensitas cahaya matahari
berkurang, hewan ini akan ke luar dari tempat perlindungannya yang terdapat pada bagian bawah
dari bebatuan didasar perairan, bergerak menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makanan
(Barus, 2004).
2.4.5 DO (Disolved Oxygen)
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem air,
yaitu untuk respirasi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat
dipengaruhi temperatur, dimana kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada temperatur 00 C
sebesar 14,16 mg/l O2, kelarutan ini akan menurun jika temperatur air meningkat (Barus, 2004).
Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di antara 5,45 – 7,00 mg/l cukup bagi
proses kehidupan biota perairan. Barus (2004), menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di
perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/l, makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat
pencemaran ekosistem tersebut.
Kadar organik adalah satu hal yang sangat berpengaruh pada kehidupan makrozoobentos,
dimana kadar organik ini adalah sebagai nutrisi bagi makrozoobentos tersebut. Tingginya kadar
organik pada suatu perairan umumnya akan mengakibatkan meningkatnya jumlah populasi
hewan bentos dan sebagai organisme dasar, bentos menyukai substrat yang kaya akan bahan
organik. Maka pada perairan yang kaya bahan organik, umumnya terjadi peningkatan populasi
hewan bentos (Koesbiono, 1979).
Dimana Pi = ukuran individu (atau biomas, dll) yang dimiliki oleh satu spesies.Hill
menunjukkan bahwa urutan 0, 1, dan 2 dari jumlah diversitas. Jumlah Diversitas Hill adalah:
Jumlah 0 : N0 = S dimana S adalah jumlah total spesies
Jumlah 1 : N1 = e H’dimana H adalah indeks Shanon
Jumlah 2 : N2 = 1/λ dimana λ adalah indeks Simpson.
Jumlah diversitas ini dalam unit-unit, jumlah spesies dihitung disebut oleh Hill sebagai
jumlah spesies efektif yang ada dalam sampel. Jumlah spesies efektif ini adalah suatu
hitungan untuk kelimpahan sebanding yang didistribusikan diantara spesies. Lebih jelasnya,
N0 adalah jumlah semua spesies dalam sampel (tanpa memperhatikan kelimpahannya), N2
adalah jumlah spesies yang paling melimpah dan N1 adalah jumlah spesies yang
melimpah (N1 selalu diantara N0 dan N2). Dengan kata lain, jumlah spesies efektif
adalah suatu hitungan dari jumlah spesies dalam sampel dimana tiap spesies dipengaruhi oleh
kelimpahannya. Contoh: sampel dengan 11 spesies dan 100 individu dimana kelimpahan
tersebar sebagai 90, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1, 1. Hanya 1 spesies yang sangat melimpah, diduga
N2 mendekati (N2 = 1,23). N0 = 11 dan N1 = 1,74. Jadi unit Hill,s adalah spesies yang
jumlahnya meningkat : 1) kurang lebar ditempati spesies jarang (disebut N0, jumlah yang paling
rendah, adalah jumlah semua spesies dalam sampel), 2). Nilai lebih rendah dihasilkan dari
N1 dan N2, menunjukkan melimpah dan sangat melimpah dalam sampel.
Kriteria komunitas lingkungan berdasarkan ndeks Keanekaragaman Jenis menurut
Lee et al. (1978) dalam Soegianto (1994) disajikan pada Tabel 1.
Dimana, ni jumlah individu dari satu spesies. Pendugaan jumlah spesies dalam
ukuran sampel random n sebagai jumlah kemungkinan bahwa setiap spesies dimasukkan
dalam sampel . Contoh : pada habitat 20 total 38 spesies(S), total burung 122 (N). pendugaan
jumlah spesies pada ukuran sampel yang bebeda yaitu, E (Sn), pada n = 120, 110, 100 dan
seterusnya. N menggambarkan parameter populasi . Bagaimanapun, Peet (1974) menunjukkan
bahwa untuk 2 komunitas memiliki perbedaan jumlah individu dan kelimpahan relatif,
rarefraction memprediksikan bahwa ke-2 komunitas mempunyai jumlah spesies yang sama
pada ukuran sampel yang kecil. Jadi, ketika menggunakan metode ini , diasumsikan
bahwa komunitas yang dipelajari tidak beda spesiesnya – hubungan individu.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
H’ = - atau H’ =
Pi =
Keterangan :
ni = jumlah individu tiap jenis
N = jumlah individu total
H’ = Indeks keanekaragaman
Ds = 1/D = E =
Atau
Ds =
Keterangan:
Ds = Indeks Simpson
ni = jumlah individu spesies
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
E = Indeks kemerataan
DMG =
Keterangan:
DMG = Indeks Margalef
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
DMN =
Keterangan:
DMN = Indeks Menhinick
N = Jumlah individu
S = Jumlah spesies
BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikum kali ini mengenai Bentos, dilakukan di Sungai Semanggi bertujuan untuk
mengetahui karakteristik dan faktor pembatas bentos berdasarkan keanekaragaman, kondisi, dan
parameter lingkungan fisika dan kimia di Sungai Semanggi, Ciputat. Selain itu, penelitian bentos
kali ini juga untuk mengetahui kondisi Sungai Semanggi karena bentos merupakan organisme
perairan yang keberadaannya dapat dijadikan indikator perubahan kualitas biologi perairan
sungai (Canter dan Hills, 1979).
Pengukuran faktor fisik dan kimia dalam penelitian keberadaan bentos di Sungai
Semanggi didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut.
Tabel 4.1 Pengukuran faktor abiotik ekosistem perairan Sungai Semanggi
No Pengukuran Hasil
1 pH 6,5
2 Suhu 29,9 °C
3 Turbiditas 15,88 FTU
4 Kecerahan 36,42 cm
5 Kecepatan Arus 0,678 m/s
6 Konduktivitas 0,14 ms
7 Lebar sungai 6,42 m
Tabel diatas merupakan data hasil pengukuran faktor fisik dan kimia. Faktor fisik berupa
temperatur, kecerahan, kekeruhan dan konduktivitas air. Faktor kimia meliputi Derajat
Keasaman (pH) dalam air, faktor fisik dan kimia tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi
hasil penelitian keberadaan bentos di perairan Sungai Semanggi
Hasil pengukuran faktor kimia yang pertama yaitu derajat keasaman air (pH) dilakukan
dengan menggunakan pH-meter dan didapatkan hasil sebesar 6,5. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa air Sungai Semanggi bersifat asam karena pH kurang dari 7. Kandungan pH dalam suatu
perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat
keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan
resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952).
Perairan yang memiliki kadar pH ideal bagi kehidupan organisme akuatik pada umumnya
berkisar antara 7 sampai 8,5. Hasil pengukuran pH air Sungai Semanggi sebesar 6,5 menunjukan
kondisi perairan yang asam dan akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena
akan menyebabkan terjadinya berbagai gangguan seperti gangguan metabolisme dan respirasi
termasuk pada bentos (Barus, 2004).
Pengamatan selanjutnya yaitu pada faktor fisik perairan danau Sungai Semanggi,
yang pertama adalah temperatur air. Hasil pengukuran temperatur air dilakukan dengan
menggunakan termometer didapatkan hasil 29,9 °C. Kondisi temperatur air Sungai Semanggi
menunjukkan kisaran suhu yang cukup tinggi karena pengamatan dilakukan pada saat terik
matahari. Tinggi rendahnya nilai temperatur suatu badan perairan sangat mempengaruhi
kehidupan organisme air termasuk bentos. Tingginya nilai temperatur dapat mempengaruhi
jumlah, jenis, dan persebaran bentos dalam suatu ekosistem. Peningkatan suhu akan
menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah
penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dan udara dan dari proses
fotosintesis (Barus, 2004).
Pengamatan faktor fisik selanjutnya yaitu pada kecerahan air dengan menggunakan
Secchi disk didapatkan hasil pengukuran sebesar 36,42 cm. Hasil tersebut menunjukkan hasil
kecerahan air yang cukup baik. Hal tersebut dikarenakan kondisi pengamatan pada saat siang
hari yang terik sehingga cahaya matahari dapat menembus kekeruhan air. Selain itu, mungkin
disebabkan karena perairan tersebut masih terdapat sedikit liat, lumpur, atau lainnya yang
mengendap yang memisahkan nilai guna dasar perairan yang merupakan daerah habitat
organisme (Subarjanti, 2005).
Pengukuran faktor fisik yang ketiga yaitu pengukuran kekeruhan air dengan
menggunakan turbidimeter didapatkan hasil dengan nilai 15,88 FTU (Formazin Turbidity Unit).
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kekeruhan air Sungai Semanggi tergolong baik dalam
kualitas standar karena tingkat kekeruhannya belum mencapai 1000 FTU. Jika tingkat
kekeruhannya telah mencapai 1000 FTU menunjukan kondisi perairan telah banyak tercemar
oleh sampah-sampah organik maupun anorganik. Kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi
cahaya yang masuk. Penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organismee fotosintetik
dan juga mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada
organisme tertentu (Barus, 2001).
Pengukuran faktor fisik yang terakhir adalah pengukuran konduktivitas air dengan
menggunakan conductivity-meter didapatkan hasil senilai 0,14 ms. Hal tersebut menunjukan
baiknya kualitas air Sungai Semanggi karena garam-garam yang terlarut di dalam air sungai
Semanggi cukup besar dan memiliki potensi sebagai penghantar arus listrik yang baik. Hasil ini
dipengaruhi oleh kecerahan yaitu semakin besar nilai konduktivitas maka semakin tinggi pula
tingkat kecerahan. Hal ini juga bisa disebabkan proses dekomposisi bahan organik menyebabkan
pelepasan senyawa anorganik yang akan memperkaya kandungan ion dalam perairan sehingga
meningkatkan konduktivitas.
Hasil pengukuran lebar sungai sebesar 6,42 m dipengaruhi juga oleh kecepatan arus
sungai. Semakin lebar sungai dapat menurunkan kecepatan arus sungai. Kecepatan arus sebesar
0,678 m/s menunjukkan bahwa arus yang terdapat di Sungai Semanggi tersebut cukup deras.
Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian antara bagian hilir dan hulu (topografi)
badan air, dimana semakin tinggi perbedaan ketinggian (elevasi) tersebut maka arus semakin
kuat. Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen) dan juga akan
mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kecepatan arus merupakan salah satu faktor
penentu kemelimpahan dan keanekaragaman makrozoobentos. Perairan yang relatif tenang dan
banyak ditumbuhi tumbuhan air biasanya banyak ditemukan kelompok Molusca sedangkan
perairan dengan arus kuat atau jeram banyak ditemukan makrozoobentos dari kelompok Insekta
dan Hirudinae (Koesbiono, 1979).
Sampel diambil menggunakan Eckmann grab, kemudian diidentifikasi di Pusat
Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan
hasil 10 jenis bentos antara lain Pila sp., Melanoides punctata, Hirudinea sp., Cacing Sutra,
Belamya sp., Thiara scabia, Melanoides macculata, Parathelpus sp., Artentome sp. dan Syncera
sp. Perhitungan menggunakan berbagai indeks keanekaragaman dan kemerataan didapatkan hasil
sebagai berikut.
Grafik 1 merupakan hasil analisis pengamatan dengan menggunakan indeks Shannon
Wiener. Berdasarkan grafik 1, terlihat nilai indeks keanekaragaman tertinggi pada titik ke-5 yaitu
1,466 dan terendah pada titik ke-1 yaitu 0,476. Hal ini menunjukkan nilai keanekaragamannya
tergolong rendah rendah karena H’<1 adalah="adalah" banyak="banyak" batu="batu"
bentos="bentos" cacing="cacing" dan="dan" dapat="dapat" di="di" dikarenakan="dikarenakan"
dipengaruhi="dipengaruhi" diperairan="diperairan" disebabkan="disebabkan"
ditemukan="ditemukan" hasil="hasil" jenis="jenis" kandungan="kandungan" karena="karena"
keanekaragaman="keanekaragaman" lainnya="lainnya" lebih="lebih" lingkungan="lingkungan"
lumpur.="lumpur." oksigen.="oksigen." oleh="oleh" organisme="organisme"
parameter="parameter" perbedaan="perbedaan" ph="ph" rendahnya="rendahnya"
sehingga="sehingga" semanggi="semanggi" seperti="seperti" span="span" substrat="substrat"
suhu="suhu" sungai="sungai" sutra="sutra" tersebut="tersebut"> dan jenis bentos Melanoides
punctata.
Indeks kemerataan (E) pada grafik 1 memperlihatkan hasil kemerataan tertinggi pada titik
ke-5 yaitu sebesar 0,91 dan yang terendah pada titik ke-1 yaitu sebesar 0,34. Indeks kemerataan
yang tinggi mendekati 1 menunjukkan persebaran atau pemerataan individu bentos tersebar
secara merata pada wilayah tersebut. Hal ini dikarenakan dari jumlah masing-masing spesies
yang ditemukan pada wilayah tersebut, jumlahnya tidak ada yang mendominasi antara satu
spesies dengan jumlah spesies lainnya.
Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat diketahui bahwa kualitas perairan
Sungai Semanggi tergolong buruk (0,81-1,60). Terbukti dengan ditemukannya banyak sampah
dan kotoran pada saat pengamatan. Sampah yang terbawa arus sungai dapat menyebabkan
kekeruhan sungai meningkat dan akan mengganggu kehidupan organisme bentos yang ada.
Grafik 2 merupakan hasil analisis indeks keanekaragaman dan kemerataan dengan
menngunakan indeks Simpson. Berdasarkan grafik 2, diketahui bahwa nilai indeks
keanekaragaman (Ds) tertinggi pada titik ke-5 yaitu 0,78 dan terendah pada titik ke-1 yaitu
0,196. Sedangkan indeks Simpson E tertinggi pada titik 5 yaitu 1,02 dan terendah pada titik 1
yaitu 0,3205.
Indeks Simpson memberikan kemungkinan acak dari data yang dianalisis dari sebuah
komunitas besar tak berhingga milik spesies yang berbeda. Berdasarkan indeks keanekaragaman
nilai tertinggi pada titik ke-5 termasuk kategori sangat rendah (<1 0="0" 1988="1988"
analisis="analisis" berada="berada" berdasarkan="berdasarkan" dapat="dapat" data="data"
diketahui="diketahui" e="e" hasil="hasil" kategori="kategori" ke-1="ke-1" ke-5="ke-5"
kedalam="kedalam" komunitas="komunitas" kondisi="kondisi" lingkungan="lingkungan"
pada="pada" rebs="rebs" sedangkan="sedangkan" span="span" stabil="stabil"
termasuk="termasuk" tersebut="tersebut" tertekan="tertekan" titik="titik">
Grafik 3. Indeks Margalef, Menhinick, dan Fisher alpha pada Setiap Titik
Grafik 3 merupakan hasil analisis indeks diversitas bentos dengan menggunakan indeks
Menhinick, Margalef, dan Fisher. Indeks Margalef dan Menhinick adalah indeks untuk
mengukur kekayaan spesies berdasarkan ukuran sampel. Berdasarkan grafik diatas, dapat
diketahui nilai indeks Menhinick tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,443 dan terendah pada titik ke-
1 yaitu 0,603. Sedangkan indeks Margalef tertinggi pada titik ke-5 yaitu 1,6 dan terendah pada
titik ke-1 yaitu 0,79. Berdasarkan hasil perhitungan nilai tertinggi kedua indeks berada pada titik
ke-5. Sedangkan nilai indeks keanekaragaman Fisher tertinggi pada titik 4 yaitu 5,85 dan
terendah pada titik 1 yaitu 1,0335. Berdasarkan grafik 3, dapat diketahui bahwa titik 4 memeliki
keanekaragaman yang tinggi tinggi (>2,0) sedangkan titik 1 termasuk kriteria rendah (<1 ee="ee"
i="i">et al. ,
1978 dalam Sugiarto, 2007 ).
Grafik 4. Indeks Keanekaragaman Hill N1 dan N2 pada setiap titik
1. Faktor yang mempengaruhi kelimpahan bentos di suatu perairan adalah suhu, pH, kadar
oksigen terlarut, temperatur dan kecerahan.
2. Jenis bentos yang di temukan di setiap titik pengamatan di sungai Semanggi adalah jenis Pila
sp. Melanoides macculata, dan Melanoides punctata.
3. Keakekaragaman bentos di perairan sungai Semanggi termasuk buruk
4. Kualitas air di perairan sungai Semanggi termasuk tercemar sedang.
5. Substrat di perairan sungai Semanggi adalah berlumpur dan lumpur berpasir.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, S. 2008. Pertumbuhan Mikroalgae (nitzchia closterium) dengan Perlakuan pupuk. Balai Besar
Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan Perikanan Jakarta
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.USU Press. Medan.
Boyd, C E. 1988.Water Quality in Warmwater Fish Pound FourthPrinting. Auburn University
Agricultural Experiment Station. Alabama.
Effendie, H. 2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Dayadan Lingkungan Perairan.
Kanisius. Yogyakarta.
Fardiaz, S. 1992.Polusi Air dan Udara. Kanisus. Yogyakarta.
Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali.
Biodiversitas, (7): 67-72.
Gosling, E. 2003. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News
Books, Blackwell Publishing. Great Britain. 455p
Hutabarat, S dan Evans, M., 1985.Pengantar Oseanografi. VC Press. Jakarta.
Lingga, Pinus. 1999.Ikan Mas Kolam Air Deras. Penebar Swadaya. Jakarta.
Mahanal, S. 2008.Pengembangan Perangkat Pembelajaran Deteksi Kualitas Sungai dengan Indikator
Biologi Berbasis Konstruktivistik untuk Memberdayakan Berpikir Kritis dan Sikap Siswa SMA
terhadap Ekosistem Sungai di Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang:Program Pasca
sarjana Universitas Negeri Malang.
Nybakken, JW. 1992. Biologi Laut satu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT Gramedia.
Nybakken, JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Nybakken, JW. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta. PT. Gramedia.
Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. Saunder Com. Philadelphia 125 pp.
Pescod. 1973.Investigation of Rational Effluent and StreamStandar for Tropical Countries. Asean
institute of Technologi. Bangkok.
Prihantini, N. B. 2005. Pertumbuhan Chlorella spp. dalam medium ekstrak tauge(MET) dalam variasi
pH awal. Vol 9: 1-6 diakses pada Sabtu, 14 April2012 pkl 20:06
Setiadi, Dede. 1989. Dasar-dasar Ekologi.IPB Press. Bogor.
Soeseno, S. 1970.Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB. Bogor.
Sumich, J. L., 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed. McGraw-Hill. New York.
pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 - 329
Suripin.2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air.Yogyakarta. Andi Yogyakarta.
Suin NM. 2002. Metoda Ekologi. Universitas Andalas.Padang.
Wardoyo, S. T. H. 1981.Kriteria Kualitas Air untuk KeperluanPertanian dan Perikanan. Training
Analisa dampak lingkunganPPLH, UNDP- PUS DPSL. IPB. Bogor.
Welch, P. S. 1952.Limnology . McGraw-Hill Book Company. New York.
Wetzel, RG. And GE. Likens. 1995.Limnology Analysis. SpringerVerlag. New York.
Wibisono, M.S. 2004. Pengantar Ilmu Kelautan Edisi 2. UI Press. Jakarta.
Wirakusumah, Sambas. 2003. Dasar-dasar Ekologi. UI Press. Jakarta.
I. PENDAHULUAN
Air adalah suatu zat pelarut yang bersifat yang sangat berdaya guna,yang mampu melarutkan
zat-zat lain dalam jumlah besar dari pada zat cair lainnya. Sifat-sifat ini dapat dilihat dari banyak
unsur-unsur pokok yang terdapat dalam air laut (Hutabarat, S & S.M. Evans. 2005)
dimana habitat itu tinggal, maka akan menyebabkan jumlah jenis dari kelimpahan organisme
yang hidup di dalamnya berbeda-beda. Walaupun mempunyai lingkungan hidup yang berbeda-
beda, tetapi pada masing-masing habitat tersebut terdapat interaksi antara faktor biotik dan
abiotik.
Perairan umum adalah bagian permukaan bumi yang secara permanen atau berkala
digenangi oleh air baik air tawar, air payau, maupun air laut, mulai dari garis pasang surut
terendah ke arah daratan dan badan air tersebut terbentuk secara alami ataupun buatan (UU No.
7, 2004).
Perairan umum meliputi sungai, sungai mati (oxbow lake), lebak-lebung (floodplain),
saluran irigasi, kanal, estuaria, danau, situ, waduk, rawa, goba (lagoon), genangan air (telaga,
yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelayakan suatu perairan untuk kegiatan
perikanan.
atau cara pengeloaan yang baik. Cara ini membahayakan kelestarian populasi ikan di perairan
tersebut. Akibat tidak adanya perhitungan sama sekali mengenai populasi ikan pada tahun-tahun
Tujuan diadakan praktikum ini adalah mahasiswa dapat melihat dan mengamati serta mengetahui
bagaimana keadaan perairan yang terdapat di waduk Fakultas Perikanan Universitas Riau dengan
melakukan berbagai penelitian. Sehingga mahasiswa dapat mengetahui kategori-kategori
perairan yang masih baik atau yang sudah tercemar, dan jenis-jenis bentos yang terdapat di
perairan tersebut.
Manfaat diadakannya praktikum ini yaitu setiap mahasiswa dapat langsung terjun kelapangan
serta dapat langsung melihat atau mempraktekkan bagaimana cara meneliti perairan sehingga
dapat diketahui apakah perairan tersebut masih baik atau sudah tercemar.
Air adalah suatu zat pelarut yang bersifat yang sangat berdaya guna,yang mampu
melarutkan zat-zat lain dalam jumlah besar dari pada zat cair lainnya. Sifat-sifat ini dapat dilihat
dari banyak unsur-unsur pokok yang terdapat dalam air laut (Hutabarat, S & S.M. Evans. 2005)
Berdasarkan habitatnya, Aquatic ecosystem atau ekologi perairan terbagi atas 3 jenis
a. Fresh Water Aquatic, yaitu habitat air tawar yang terdiri dari perairan mengalir (lotic) dan
b. Marine Water Aquatic, yaitu habitat air laut yaitu suatu habitat yang menitikberatkan pada pola
hubungan antar jasad dan hubungan antara jasad dengan laut sebagai lingkungannya.
c. Brackhis Water Aquatic, yaitu habitat air payau atau habitat estuaria yaitu suatu habitat yang
dipengaruhi oleh pasang surut air laut. laut tercampur dengan air tawar sehingga sering juga
Bentos mencakup semua organisme yang hidup didasar atau di dalam dasar perairan.
saringan bertingkat atau SIEVE SET. US. 30) dan mikrobentos. Menurut Fachrul (2007)
ukuran bentos diantaranya adalah makrobentos yaitu 1,0 -5,0 mm, mesobentos yaitu 0,1 -1,0 mm
dan mikrobentos yaitu < 0,1 mm. Sedangkan menurut batasan biologis digolongkan menjadi
fitobentos (golongan tumbuhan) dan zoobentos (golongan hewan) (Fajri & Agustina, 2013).
d. Indikator pencemaran
Pengambilan contoh bentos di danau atau sungai yang berarus lemah serta subtrat dasar
yang lunak, umumnya menggunakan Ekcman Grab. Untuk pengambilan bentos di sungai yang
dangkal dan subtrat dasar yang keras / bebatuan digunakan Surber atau Square-Foot Sampler
dan atau bingkai kuadrat. Untuk perairan pantai atau laut yang dangkal yang subtract dasarnya
keras digunakan Petersan Grab atau Smith-Mc Intyre Grab atau Ongel Peel Sampler atau Shipek
Grab. Pengumpulan bentos pada masing-masing lokasi dapat secara acak maupun secara
stratifikasi (Dahuri, 1997). Metode pengambilan sample bentos menurut Suin (2002) dapat
dilakukan dengan :
c. Metode tangkap segera (immediate sampler dengan surbur, pipa paralon, eckman grab, atau
Petersen grab)
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung kelimpahan makrobentos adalah menurut
Dahuri (1997):
Keterangan:
= 0.0-1.0 : rendah, artinya keragaman rendah dengan sebaran individu tidak merata.
’ = 1.0-3.0 : sedang, artinya keragaman sedang dengan sebaran individu sedang.
’ = 3.0 ke atas : tinggi, artinya keragaman tinggi dengan sebaran individu tinggi.
Keragaman jenis dipengaruhi oleh:
1. Kondisi lingkungan (iklim) semakin sesuai kondisi lingkungan kesragaman jenis semakin tinggi
atau semakin kaya jenisnya.
2. Semakin baik lingkungannya semakin banyak keragamannya (semakin kaya jenisnya).
3. Adanya pergantian musim dapat mempengaruhi keragaman jenis.
4. Kondisi makanan dapat mempengaruhi keragaman jenis (Fajri & Agustina, 2013).
Suatu komunitas dapat didominasi oleh satu atau lebih jenis. Jenis-jenis yang dominan
ini paling banyak jumlahnya, paling tinggi biomasnya, menempati paling banyak ruang, paling
berperan dalam aliran energi dan siklus hara atau dengan atau dengan kata lain menguasai
Jenis yang dominan ialah jenis-jenis yang dapat menempatkan (memamfaatkan) sumber
daya lingkungan yang ada lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis lain.
Dominan atau tidaknya suatu jenis dalam suatu ekosistem dapat diukur dengan berbagai
cara yaitu:
3. Sering atau tidaknya suatu jenis tersebut dijumpai (Fajri & Agustina, 2013)
Menurut Weber (1973), apabila nilai E mendekati 1 (> 0,5) berarti keseragaman
organisme dalam suatu perairan berada dalam keadaan seimbang berarti tidak terjadi persaingan
baik terhadap tempat maupun makanan. Sebaliknya apabila nilai E mendekati 0 (< 0,5) berarti
keseragaman jenis organisme tidak seimbang, terjadi persaingan baik dari tempat maupun
makanan.
Diketahui:
Log 2 = 3.321928
= -(- 1,474)
= 1,474 (Sedang)
Nilai indeks C = ∑ (ni/N)2 = 0,38 (mendekati 0, sehingga tidak ada yang mendominasi).
4.2. Pembahasan
Dari nilai-nilai indeks keragaman jenis yang kita peroleh dapat menjadi penentu kualitas
lingkungan perairan tempat diambilnya air sampel dan sebaran individu organisme yang ada
Menurut Wilhm dan Dorris (dalam Odum, 1971), perairan mengalami pencemaran ringan
karena nilai H’ antara 1 s/d 3. Menurut Staub et al dalam Wilhm (dalam Odum, 1971), tingkat
Menurut Shannon Weiner (dalam Odum, 1971), perairan memiliki keragaman sedang
dengan sebaran individu sedang karena nilai H’ antara 1,0 s/d 3,0. Dengan demikian perairan
tersebut mengalami tekanan (gangguan) yangs edang atau struktur komunitas organism yang ada
sedang.
Nilai indeks dominasi (C) jenis antara 0-1. Apabila nilai C mendekati nol berarti tidak
ada jenis yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti ada jenis dominan yang
muncul di perairan tersebut Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak terdapat jenis yang
Weber (1973) apabila nilai E mendekati 1 berarti keseragaman organism suatu perairan dalam
keadaan seimbang, tidak terjadi persaingan baik terhadap tempat maupun makanan. Sebaliknya,
apabila niali E mendekati 0 berarti keseragaman jenis organism perairan tersebut tidak seimbang,
5.1. Kesimpulan
Dari hasil pratikum ini didapatkan bahwa waduk Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Riau memiliki sebaran individu sedang (keragamannya sedang) berarti perairan
tersebut mengalami tekanan (gangguan) yang sedang atau struktur komunitas organisme yang
sedang. Selain itu, tidak ada jenis organisme yang mendominasi di waduk serta keseragaman
organisme dalam waduk berada dalam keadaan seimbang berarti tidak terjadi persaingan baik
5.2. Saran
sekeliling maupun di dalam waduk. Mengingat banyak dari sampah-sampah yang terdapat di luar
dapat masuk ke dalam perairan dan berakibat bertambahnya kadar kekeruhan (turbidity) perairan
dan padatan tersuspensi (TSS) perairan tersebut. selain itu diperlukannya tumbuhan yang lebih
banyak di sekitar perairan agar kadar oksigen dapat bertambah di udara, sehingga asupan oksigen
bagi makhluk hidup di dalam, permukaan, dasar air, maupun makhluk hidup di darat sekitar
Fajri & Agustina. 2013. Penuntun Pratikum Ekologi Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Pekanbaru.UR press.pekanbaru
Odum, E. P., 1971. Fundamentals of Ecology. W. B. Saunder Company. Philadelphia. 574 hal.