You are on page 1of 45

Ketika Agama Tidak Sejalan dengan

Budaya: Suatu Refleksi terhadap


Perubahan Identitas Agama
8 Januari 2013 02:20 Diperbarui: 24 Juni 2015 18:23 8397 1 2

Berbicara mengenai Budaya dan Agama, keduanya merupakan satu proses yang berjalan
seturut perjalanan waktu yang ada. Budaya lahir dari perjalanan panjang umat manusia di
dunia ini, membentuk suatu system budaya dan menghasilkan karya yang bersifat kebendaan
atau dalam bentuk ajaran hidup dan sudah dijalankan oleh generasi muda dalam suatu budaya
dan dimasukkan dalam bentuk kearfian lokal suatu masyarakat. Sementara menurut
sejarahnya, Agama juga tidak lepas dari suatu budaya dimana Agama itu lahir dan
berkembang. Misalnya, agama islam lahir di tanah Arab, dan hingga saat ini cirri khas dari
budaya Arab sangat kental dalam ajaran iman agama Islam, baik itu dalam tulisan di kitab
suci dan dalam tata cara peribadatan umat muslim (misalnya: shalat, berzikir, dll).

Dalam suatu budaya tertentu yang di dalamnya terdapat perbedaan ajaran dengan ajaran
agama, maka keduanya tidak akan dapat berjalan bersama. Ada kalanya ajaran dalam budaya
tidak dapat diterima dalam ajaran agama tertentu. Dalam hal ini akan memunculkan
pertenantangan. Manakah yang benar? Jika dirunut ke belakang, yang lebih dulu muncul di
dunia ini adalah kebudayaan, setelah itu muncul agama. Pertanyaannya, apakah sebenarnya
dari arti Agama tersebut? Apakah seperti di dalam konteks Undang-Undang negara kita
bahwa suatu agama hanya menunjuk kepada suatu agama tertentu yang diakui oleh negara?
Siapa sebenarnya yang membuat agama itu dan apa latar belakang Agama itu muncul?

Berbicara mengenai agama, maka kita akan berbicara mengenai iman atau keyakinan. Iman
hadir dalam bentuk spiritualitas yang menyalakan iman yang kita pegang. Dalam perjalanan
umat manusia yang sudah berjalan cukup lama. Kebudayaan merupakan suatu proses yang
berjalan secara dinamis seturut perubahan waktu yang ada, entah perubahan itu berrsifat
lambat atau malah berjalan secara revolusif. Kebudayaan sebagai salah satu hasil karya
manusia mulai dari jaman dahulu hadir sebagai identitas yang menjadikan seseorang dari
latar belakang budaya tertentu menjadi lebih khusus disbanding dengan orang lain yang
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda.

Mau tidak mau, suka atau tidak suka, agama senantiasa mengalami kontroversi dengan
kebudayaan. Memang tidak semuanya bersifat demikian. Kita contohkan dalam ajaran
Agama tertentu, bahwa menggunakan atau memakai peralatan athasil karya dari budaya
merupakan suatau kedosaan di hadapan Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa dan
bagaimana sebenarnya peranan agama itu dalam suatu kebudayaan. Agama merupakan suatu
identitas. Budaya juga merupakan demikian. Dalam prakteknya, banyak orang yang
mengalami gonta ganti agama/keyakinan. Apa latar belakang sehingga mererka
melakukannya? Apakah karena ada tawaran ini dan itu, termasuk tawaran jabatan? Apakah
karena adanya ketidakcocokan dalam hidupnya terhadap agama yang dianut sehingga
berusaha pindah Agama? Apakah karena adanya perkawinan beda Agama sehingga salah
satu dari pasangan mengikuti keyakinan pasangannya? Semua jawaban itu tergantung kepada
individu yang menjalani proses pindah agama/keyakinan.

Mari kita bandingkan lagi dengan hal ini. Apakah seseorang dapat mengubah identitas
budayanya. Contohnya saya yang berlatar belakang budaya Karo, apakah saya dapat menjadi
orang dari suku lain? Saya mempunyai marga sebagai salah satu ciri khusus dari budaya yang
mempunyai marga dan diturunkan kepada generasi selanjutnya. Pernahkah kita menganti
kesukuan kita dan mengubah latar belakang kita menjadi suku lain. Memang ada saja dalam
suatu budaya bahwa terjadinya ketidakjelasan identitas budaya disebabkan oleh bermacam
alasan. Contohnya di jaman dahulu, ada klanya seseorang yang ingin mendapatkan pekerjaan
atau jabatan harus meniadakan marganya karena instansi yang bersangkutan tidak
memperbolehkan seseorang yang mempunyai marga duduk di instansi terkait dengan suatu
jabatan tertentu. Ada saja kasus di dunia pendidikan bahwa seorang anak dari suku yang
mempunyai marga tidak dicantumkan nama marganya di dalam ijazah, karena sejak berada di
bangku Sekolah Dasar si anak itu tidak dicantumkan marganya. Sehingga dalam perjalanan
studinya, marga itu harus ditiadakan supaya adanya kesamaan identitas mulai dari Sekolah
Dasar hingga Perguruan Tinggi. Namun si anak itu mau tak mau, suka atau tidak suka, dia itu
tetap bermarga dan berasal dari salah satu suku yang ada dan merupakan identitas khusus
dalam hidupnya.

Bagaimana dengan agama? Ketika seseorang pindah keyakinan, maka keyakinannya yang
dahulu berlalu begitu saja. Jika dahulu dia beragama X dan sekarang beragama Y, maka
identitas X itu sudah ditiadakan dan itu sah. Sekarang dia mempunyai identitas Y dan
diterima oleh masyarakat dan sah menurut hukum. Apakah segampang itu untuk pindah
keyakinan? Dimanakah fungsi dari agama tersebut? Apakah agama hanya sebagai identitas
suka atau tidak suka? Atau Agama hanya sebagai jalan untuk mendapatkan obsesi kita, entah
karena kita ingin mempunyai istri yang banyak maka kita beralih keyakinan karena di dalam
agama terdahulu tidak diperbolehkanmempunyai istri/suami lebih dari satu.

Ketika timbulnya pertentangan antara kearifan lokal dalam hal ini ajaran budaya terhadap
ajaran agama, terkadang agama dianggap sebagai salah satu perusak nilai budaya. Terkadang
ada nilai budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama (dalam hal ini contohnya untuk
jumlah mahar dalam suatu perkawinan, ajaran hidup dari suatu budaya, dll). Apakah suatu
agama terkadang bersifat tidak netral dengan budaya lain, ketika masyarakat dari suku lain
masuk dalam suatu agama? Contohnya agama X tidak pernah dapat berjalan seiringan dengan
umatnya dari latar belakang suatu budaya tertentu? Maka segala adat istiadat dari suatu
budaya dipandang sebagai suatu keharaman di dalam agama itu.
KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM
DI INDONESIA

3 Votes

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setidaknya ada dua segi yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam


pemikiran Islam. Segi yang pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun
hadis, secara redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad saw. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi perbedaan-
perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak faktor yang dapat
mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut, antara lain, adalah sejarah
(pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang diserap, kondisi dan lingkungan
hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.

Pemikiran Islam meliputi bidang yang sangat luas, tidak hanya menyangkut bidang agama,
tapi juga selainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat Al-Qur’an memang meliputi berbagai
hal. Ayat- ayatnya senantiasa memberikan inspirasi terhadap bidang-bidang yang amat luas
tersebut, bahkan terhadap semua bidang kehidupan manusia. Tentu, karena luasnya bidang
kehidupan manusia, dan karena Al-Qur’an bersifat inspiratif terhadapnya, maka dalam
lingkungan pemikiran Islam, perbedaan-perbedaan pendapat merupakan fenomena yang akan
terus berkelanjutan.

Sangat mungkin guna mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, kalangan pakar Muslim


mengambil inisiatif dan menempuh langkah-langkah ilmiah dengan memilah-milah teks
wahyu (ajaran Islam) kepada teks (ajaran) yang sudah sangat jelas dan pasti pengertiannya–
sehingga peluang interpretasi terhadapnya tidak lagi dimungkinkan–dan teks (ajaran) yang
peluang interpretasi terhadapnya senantiasa terbuka. Atau, pemilahan ajaran Islam kepada
ajaran yang bersifat ushuliyah (ushul al-din/pokok-pokok agama) dan yang bersifat furu’iyah
(masalah furu’/cabang). Dari pemikiran serupa itu, kita mengenal istilah qath’iy al-dalalah
dan zhanniy al-dalalah, demikian pula istilah ijma’ (konsensus/sesuatu yang telah disepakati
para ulama), dalam lingkungan pakar ilmu ushul fikhi. Para pakar ushul fikhi juga membuat
pengelompokan ayat-ayat Al-Qur’an dilihat dari segi jelas-tidaknya makna ayat-ayat tersebut.

Pengelompokan tersebut, mulai dari yang terlemah sampai yang terkuat kejelasan maknanya,
berturut-turut mereka sebut al-zhahir, al-nash, al-mufassar, dan al-muhkam. Dengan
pengelompokan demikian, pakar ushul fikhi membangun suatu piramida Zahir-Muhkam.
Artinya, lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk dalam kelompok al-zhahir, karena berada pada
bagian terbawah dari piramida, adalah yang terlemah kejelasan maknanya dibanding dengan
tiga yang lainnya. Sedang lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk dalam kelompok al-muhkam,
karena ditempatkan pada bagian teratas dari piramida, adalah yang terkuat kejelasan
maknanya dibanding dengn tiga yang lainnya.

Birr al-walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), al-‘adl(keadilan), ‘ibadah Allah
wahdah (beribadat kepada Allah semata), dan lain-lain adalah sedikit contoh yang sering kali
dikemukakan sebagai kandungan makna dari nash-nash yang muhkam. Sekalipun ayat-ayat
muhkam dapat dikatakan mengandung ide-ide universal yang dapat dipahami, namun
ternyata ulama tidak selalu sepakat tentang ayat mana saja yang muhkam. Satu atau beberapa
ayat dapat dipandang sebagai ayat muhkam oleh ulama tertentu, namun ulama lainnya tidak
memandangnya sebagai ayat muhkam.

Seiring dengan itu, hal serupa terjadi pada hal-hal yang dinilai sebagai qath’iy al-dalalah atau
merupakan ijma oleh ulama lainnya. Sehingga, apa yang dipandang sudah qath’iy, boleh jadi
ia menjadi zhanniy pada pandangan tertentu. Begitu pula, apa yang dinyatakan sebagai ijma,
ternyata ketika tiba pada suatu masa, para ulama pada masa tersebut tidak bersepakat dengan
yang dipandang ijma tersebut.. Dalam khazanah pemikiran Islam, kenyataan-kenyataan
demikian dapat ditemukan dan bukan merupakan sesuatu yang asing. Apa yang telah
dikemukakan di atas telah menjadi khazanah kekayaan umat Islam, yang pada masa sekarang,
berinteraksi dengan corak pemikiran Islam yang tidak lagi sepenuhnya persis sama dengan
khazanah pemikiran masa-masa sebelumnya.

1.2 Batasan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang awal perkembangan pemikiran Islam
sampai bentuk-bentuk pemikiran islam yang kontroversional.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi Ujian Akhir Semester


2. Menambah wawasan tentang Pemikiran Islam di Indonesia

3. Memberikan pengetahuan kepada pembaca agar tidak terseret kedalam pemikiran islam
yang melenceng

1.4 Metode Penelitian

Studi Pustaka

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Batasan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

1.4 Sistematika Penulisan

BAB II KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

2.1 Perkembangan Pemikiran Islam

2.2 Neo-Modernisme dan Fundamentalisme

2.3 Kontroversi Sekularisme Islam

2.4 Pemikiran Islam Liberal

BAB III PENUTUP

1.1 Kesimpulan

1.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

2.1 Perkembangan Pemikiran Islam

2.1.1 Epistemologi
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar
dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah
dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal
dengan epistemologis.

Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan
dengan term knowledge: logos: dan account. Epistemologi atau theory of knowledge ini
sering diuraikan sebagai is that branch of philosophy which concerned with nature and scope
of knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge1.

Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan
tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa
ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan
sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan2. Secara umum
epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan
burhani3 :

1. Epistemologi Bayani

Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul
fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu
cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak
pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks,
atau penalaran yang berpijak pada teks4.

1. Epistemologi Irfani

Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah
kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan
pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan
diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa
diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual,
daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi
ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora
dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite5.
1 DW. Hamlyn, 1972, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards, The Encyclopaedia
of Philosophy, MacMillan Publishisng Co,Inc, and The Pree Press, New York, hlm. 9.

2 R. Harre, 1978, The Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University


Press, London, hlm. 5.

3 Muhammad Abid al-Jabiri, 1990, Bunyat Aqli al-Arabi. Dirosat Ta’liiliyyat Naqdiyyai
Linadhmi al-Ma;rifah fi al-Soqofah al-Arrobiyyat, Markas al-Wahdah al-Rabiah, Beirut, hlm.
556.

4 Ibid. hlm. 556.

5 Ibid. hlm. 252.

6 Ibid. hlm. 383-384.

7. QS al Baqarah, hlm. 269.

8. Asmuni, 1996, hlm. 90-91.

1. Epistemologi Burhani

Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu


pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih]. Epistemologi burhani ini
dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah.
Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge by intellect].
Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles6. Karena epistemologi ini lebih berpijak
pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Ketiga, kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi


dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang
pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal
ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap
tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan
Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang
menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan
oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas
rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga
mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran
[fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat
menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah.
Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua
pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an
dinilai sebagai khairan katsiran7. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat
mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.

Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat
Islam untuk memberikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.

2.2.2. Awal Perkembangan Pemikiran Islam

Proses pembentukan pemikiran itu diawali dengan peritiwa-peristiwa, misalnya ada


persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya.
Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang
terjadi asimulasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat
kaitannya dengan sejarah Islam.

Pertama, akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang
Shiffin [antara Ali dan Muawiyah] dan perang Jamal [antara Ali dan Aisyah]. Adanya kasus
perang ini menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarji. Pergolakan politik itu
diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang
Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir. Menetapkan Ali sebagai kafir sangat
ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut Syi’ah, sehingga terjadilah
pertentangan hebat antara sesama muslim. Dalam setiap kemelut yang tidak menyenangkan
itu, muncul sekelompok muslim yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan
diri dengan selisih pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin
menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya; namun dalam itu sempat pula mereka
mengeluarkan faktanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nashnya,
ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka itu kelompok Murji’ah.

Kedua, akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke
Sudan, Ethiopia dan seterusnya, ke Timur sampai India dan seterusnya. Dan ke Utara sampai
ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya berdampak pada
penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini
dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang
ditaklukkan. Salah satu budaya tau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi
oleh Islam adalah tradisi Yunani dan Hellenistiknya yang bersifat spekulatif. Perembesan
budaya ini disamping karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari
tradisi spekulatif Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah
intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.

Ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat
modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi.
Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah baru yang
memerlukan pemecahan8.

Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan
pemikiran dalam Islam, di samping tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang
menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al
Qur’an yang baik secara langsung maupun tidak mendesak manusia untuk berpikir, merenung
atau bernalar.

2.2 Neo-Modernisme dan Fundamentalisme

Neo-modernisme adalah corak pemikiran baru yang di motori oleh Fazlur Rahman.
Ungkapan yang paling monumental dari Fazlur Rahman adalah “pemisahan Islam normatif
danIslam historis”, Islam normatif menurut beliau adalah al-Quran dan Hadits yang bersifat
dinamisdan humanis, sedangkan Islam historis adalah ajaran-ajaran Islam yang telah
bercampur-aduk dengan pemikiran atau interpretasi manusia. Paradigma berpikir ini memang
tidak tumbuh dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi oleh sosio-kultural yang mengitari di
mana Fazlur Rahman hidup (Pakistan dan Amerika).

Paradigma berpikir ini lahir sebagai counter terhadap pemikiran Islam yang eksklusif, corak
utama dalam pemikiran ini antara lain:

1. Pemahaman Islam secara menyeluruh dan utuh,


2. pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits harus lah sistematis, rasional dan komperhensip
3. penolakan formalisme agama dan pemanfaatan agama untuk tujuan politik.

Oposisi biner neo-modernisme adalah fundamentalisme. Corak pemikiran


fundamentalism antara lain:

1. Memahami agama secara literlek,


2. kaku terhadap perubahan,
3. pemahaman parsial terhadap agama.

Ahmad Abdul Aziz, penulis buku “Neo-Modernisme Islam Di Indonesia”,mengklasifikasikan


Nurcholis Madjid sebagai seorang yang mempunyai corak pemikiran neo-modernisme.

2.3 Kontroversi Sekularisme Islam

Kontroversi yang muncul dengan sangat populer telah menimbulkan polemik besar yang
cukup berkepanjangan dikalangan intelektual Muslim di belahan dunia Islam. Akibat polemik
tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederet tokoh intelektual pendukungnya.
Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras
sekularisasi yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua disebut kelompok
reformis, suatu kelompok yang menolak sekularisasi sebagai suatu paham tertutup yang anti
agama. Menurut kelompok reformis ini, sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan
masyarakat dari kehidupan magis dan takhayul dengan melakukan desakralisasialam.
Polemik sekularisasi dalam dunia Islam juga tidak luput melanda Indonesia yang notabene
merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan sederetan intelektual
muslim, baik yang pro terhadap sekularisasi, maupun yang menolak sekularisasi, satu-sama
lain berbeda pandangan dalam mendifinisikan sekularisasi.

Nurcholis Madjid misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan


sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating
develofment). Proses perkembangan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan
agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai Islam, yakni mana yang
transsendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu sekularisasi menjadi keharusan bagi
umat Islam.

Sementara itu, cendekiawan Muslim lainnya seperti HM. Rasyidi misalnya, Secara umum
pandangan HM. Rasyidi tentang sekularisasi merupakan tanggapan bahkan kecaman yang
paling ekstrem kepada pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid. Menurut Rasyidi, belum
ada dalam sejarah bahwa istilah sekularisme atau sekularisasi tidak mengandung prinsip
pemisahan antara persoalan dunia dengan agama. Sekularisasi, menurut Rasyidi, bisa
membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya (sekularisasi
dan sekularisme) harus dihilangkan. Memang benar pemikiran baru bisa menimbulkan
dampak positif untuk membebaskan umat dari kebodohan, namun penggunaan istilah
sekularisasi cukup mengecewakan banyak pihak, karena istilah itu sendiri tidak berlaku
dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku dalam kehidupan Kristen Barat. Karenanya,
sekularisasi berhubungan erat dengan sekularisme, sebab sekularisasi berarti penerapan
sekularisme.

1. Definisi Sekularisme

Istilah secular (bahasa inggris: secularism) bermakna dunia, alam, atau realita. Dalam bahasa
Arab, istilah secular disebut al-almaniyyah. Sedangkan dalam bahasa latin, istilah secular
berasal dari kata soeculum yang berarti “alam’ dan diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani
menjadi oeon, yang berarti masa atau sekala waktu.

Terdapat 2 periode sekularisme. Pertama, intepretasi sekularisme yang berarti pemisahan


agama dan gereja dari urusan-urusan kemasyarakatan dan politik. Juga pembersihan dogma
ketuhanan gereja katholik, serta memurnikan diri dari hal-hal yang bersifat rasional.
Terminology sekularisme semacam ini muncul pada awalyang dipahami oleh para filsof dan
pemikir barat, seperti Hobbes, Locke, Leibnitz, Rosseau, dan Lessince.

Kedua, pada periode ini sekularisme tidak hanya sekedar dipahami seperti pada periode
pertama, tetapi lebih dari itu, mereka ingin mengubur agama, menghilangkan peranannya
dalam menata sebuah pranata kehidupan. Dengan kata lain, kaum secular ingin menghapus
agama dari atas muka bumi secara total.

1. Sekularisme Islam
Jika berbicara sekulerisme dalam konteks pemikiran Islam, tentu tidak akan terlepas dari
terminology dan kesejarahan sekularisme Barat. Di kalangan para pemikir Muslim sendiri
terjadi perbedaan persepsi untuk memahami sekularisme tersebut.

Sa’dah dan Arkoun termasuk kelompok pemikir yang optimistis memandang paham
sekularisme sebagai alternative. Namun, banyak juga pemikir Islam yang pesimistis dengan
paham secular ini, seperti Muhamamad Imarah, Muhammad Yahya, dan Muhammad Mahdi
Syams Al-Din. Keoptimisan dan kepesimisan dalam memandang sekularisme ini lebih
banyak dipengaruhi oleh perbedaan dalam memahami pengertian secular secara terminology.

Menurut Muhammad Imarah, karakteristik pemikiran secular adalah sebagai berikut:

1. Menyamakan nash-nash Islam dengan karya manusia


2. Agama adalah persoalan pribadi yang tidak berkaitan dengan persoalan-persoalan social,
politik, dan ekonomi.
3. Adanya pertentangan antara konsep agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
4. Adanya persepsi bahwa Barat adalah satu-satunya alternative solusi untuk mencapai
kemajuan dan kemodernan.

Secara konsep tradisonal, jelas pemikiran secular ini tidak akan diterima, sebab terlihat ada
upaya untuk menjauhkan nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Meskipun demikian, kita
mengenal beberapa tokoh pemikir islam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan
sekularisme. Mereka adalah Thaha Husain, Salamah Musa, Fuad Zakariya, Farag Fawdah,
Nashr Hamid Abu Zaid, dan di Indonesia adalah Nurcholis Majid.

2.4 Pemikiran Islam Liberal

Pandangan bahwa Islam dengan akidah dan syariahnya harus mengikuti perubahan dan
dinamika sejarah tanpa terkecuali dikenal dengan pemikiran islam liberal. Dalam pemikiran
islam liberal bukan perubahan, zaman, dan sejarah yang harus mengikuti Islam melainkan
sebaliknya. Sebuah contoh kecil saja, keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling
benar harus dihilangkan karena tidak sesuai dengan perubahan zaman atau modernisasi.

Adalah gerakan liberalisasi yang melahirkan pemikiran Islam liberal setelah gerakan ini
berhasil meliberalkan agama-agama yang hidup di Negara-negara barat yang menjadi yang
menjadi korban pertamanya pada abad ke-19 seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama ini
telah lebih dulu diliberalkan. Maka, saatnya Islam sebagai agama yang pemeluknya cukup
banyak di dunia ini diliberalkan juga.

Dalam pemikiran Islam liberal, tidak ada yang pasti, tegas, tetap, qat’i(jelas), semuanya harus
mengikuti perubahan sejarah dan modernisasi baik aqidahnya maupun syariahnya meskipun
semua itu bertentangan dengan agama manapun. Karena dunia kini dikuasai oleh pemikiran
liberalism yang menuntut kebebasan semua hal. Agama jika membatasi kebebasan itu bisa
diubah.

Dengan demikian menurut pemikiran Islam liberal, Islam bukan lagi agama yang paling
benar dan diridhlai Allah S.W.T. sebab keyakinan itu bertentangan dengan paham
liberalisme yang melahirkan paham pluralism bahwa semua agama adalah benar tidak ada
yang salah. Bahkan, menurut paham pluralisme agama-agama yang dianut pada hakikatnya
adalah jalan-jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama, jadi tidak boleh merasa menjadi
agama yang paling benar dan diridhlai Tuhan.

Begitu pula dalam urusan syariah, hukum-hukum yang sudah pasti (qat’i) bisa diubah jika tak
sesuai dengan modernisasi. Contohnya Wisky di Indonesia memang haram, tapi tidak di
Rusia, sebab udara di sana dingin.

Pemikiran Islam liberal dapatlah dikatakan sebagai tantangan sulit yang terkadang tak kasat
mata, sebab pelakunya adalah saudara kita sendiri, yang sering sholat berjamaah dengan kita,
satu majelis taklim, atau kawan sepermainan. Ibarat pepatah Arab “Besi dikalahkan oleh
besi”.

Disamping itu yang membuat tak habis pikir adalah para aktivis pemikiran Islam liberal
justru bukan orang yang belajar Islam kemarin sore, melainkan para pemimpin organisasi
Islam atau pemimpin di lembaga pendidikan Islam, tak jarang juga mantan santri yang
menguasai ilmu agama Islam secara mendalam dan telah belajar di Timur Tengah dan Arab .

Pemikiran Islam liberal mulai memasuki Indonesia sejak tahun 1970. Hal ini bisa diketahui
dari buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia karya Graig Barton, yang menyebutkan paling
tidak ada tiga agenda liberal Islam di Indonesia, yaitu:

1. Pentingnya kontektualitas dalam berijtihad


2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
3. Komitmen terhadap pluralisme agama

Sejak 8 Maret 2001, pemikiran Islam liberal di Indonesia telah dikoordinir menjadi sebuah
jaringan yang dikenal luas dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sekarang
koordinatornya adalah Luthf Assyaukani. JIL aktif sekali mengadakan acara diskusi, bedah
buku, kajian tokoh/karyanya, menerbitkan buku, dan kegiatan lainnya di bawah Novriantoni
Kahar.

Banyak sekali peminatnya terutama dari kalangan dosen, peneliti, mahasiswa, di bilangan
Utan Kayu. Tak jarang pula JIL mengadakan diskusi di kampus-kampus dengan tema seputar
pemikiran Islam liberal atau tema actual lain

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setidaknya ada dua segi yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam


pemikiran Islam. Segi yang pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun
hadis, secara redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad saw. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi perbedaan-
perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak faktor yang dapat
mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut, antara lain, adalah sejarah
(pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang diserap, kondisi dan lingkungan
hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.

Kontroversi pemikiran dalam islam sebenarnya berpijak dari konsep atau gagasan yang telah
dikemukakan oleh para pemikir yang beraneka ragam, terutama di warnai oleh bidang ilmu
atau sudut pandang masing-masing.

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan
Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang
menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan
oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas
rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga
mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran
[fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat
menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah.
Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua
pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an
dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat
mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.

DAFTAR PUSTAKA

www.anneahira.com

e-book. Kumpulan Buku Karya Hartono Ahmad Jaiz

Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Pemikiran dan Peradaban Islam. Diktat FIAI UII

KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM


DI INDONESIA

3 Votes
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Setidaknya ada dua segi yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam


pemikiran Islam. Segi yang pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun
hadis, secara redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad saw. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi perbedaan-
perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak faktor yang dapat
mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut, antara lain, adalah sejarah
(pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang diserap, kondisi dan lingkungan
hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.

Pemikiran Islam meliputi bidang yang sangat luas, tidak hanya menyangkut bidang agama,
tapi juga selainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat Al-Qur’an memang meliputi berbagai
hal. Ayat- ayatnya senantiasa memberikan inspirasi terhadap bidang-bidang yang amat luas
tersebut, bahkan terhadap semua bidang kehidupan manusia. Tentu, karena luasnya bidang
kehidupan manusia, dan karena Al-Qur’an bersifat inspiratif terhadapnya, maka dalam
lingkungan pemikiran Islam, perbedaan-perbedaan pendapat merupakan fenomena yang akan
terus berkelanjutan.

Sangat mungkin guna mengatasi perbedaan-perbedaan tersebut, kalangan pakar Muslim


mengambil inisiatif dan menempuh langkah-langkah ilmiah dengan memilah-milah teks
wahyu (ajaran Islam) kepada teks (ajaran) yang sudah sangat jelas dan pasti pengertiannya–
sehingga peluang interpretasi terhadapnya tidak lagi dimungkinkan–dan teks (ajaran) yang
peluang interpretasi terhadapnya senantiasa terbuka. Atau, pemilahan ajaran Islam kepada
ajaran yang bersifat ushuliyah (ushul al-din/pokok-pokok agama) dan yang bersifat furu’iyah
(masalah furu’/cabang). Dari pemikiran serupa itu, kita mengenal istilah qath’iy al-dalalah
dan zhanniy al-dalalah, demikian pula istilah ijma’ (konsensus/sesuatu yang telah disepakati
para ulama), dalam lingkungan pakar ilmu ushul fikhi. Para pakar ushul fikhi juga membuat
pengelompokan ayat-ayat Al-Qur’an dilihat dari segi jelas-tidaknya makna ayat-ayat tersebut.

Pengelompokan tersebut, mulai dari yang terlemah sampai yang terkuat kejelasan maknanya,
berturut-turut mereka sebut al-zhahir, al-nash, al-mufassar, dan al-muhkam. Dengan
pengelompokan demikian, pakar ushul fikhi membangun suatu piramida Zahir-Muhkam.
Artinya, lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk dalam kelompok al-zhahir, karena berada pada
bagian terbawah dari piramida, adalah yang terlemah kejelasan maknanya dibanding dengan
tiga yang lainnya. Sedang lafaz-lafaz Al-Qur’an yang termasuk dalam kelompok al-muhkam,
karena ditempatkan pada bagian teratas dari piramida, adalah yang terkuat kejelasan
maknanya dibanding dengn tiga yang lainnya.

Birr al-walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua), al-‘adl(keadilan), ‘ibadah Allah
wahdah (beribadat kepada Allah semata), dan lain-lain adalah sedikit contoh yang sering kali
dikemukakan sebagai kandungan makna dari nash-nash yang muhkam. Sekalipun ayat-ayat
muhkam dapat dikatakan mengandung ide-ide universal yang dapat dipahami, namun
ternyata ulama tidak selalu sepakat tentang ayat mana saja yang muhkam. Satu atau beberapa
ayat dapat dipandang sebagai ayat muhkam oleh ulama tertentu, namun ulama lainnya tidak
memandangnya sebagai ayat muhkam.

Seiring dengan itu, hal serupa terjadi pada hal-hal yang dinilai sebagai qath’iy al-dalalah atau
merupakan ijma oleh ulama lainnya. Sehingga, apa yang dipandang sudah qath’iy, boleh jadi
ia menjadi zhanniy pada pandangan tertentu. Begitu pula, apa yang dinyatakan sebagai ijma,
ternyata ketika tiba pada suatu masa, para ulama pada masa tersebut tidak bersepakat dengan
yang dipandang ijma tersebut.. Dalam khazanah pemikiran Islam, kenyataan-kenyataan
demikian dapat ditemukan dan bukan merupakan sesuatu yang asing. Apa yang telah
dikemukakan di atas telah menjadi khazanah kekayaan umat Islam, yang pada masa sekarang,
berinteraksi dengan corak pemikiran Islam yang tidak lagi sepenuhnya persis sama dengan
khazanah pemikiran masa-masa sebelumnya.

1.2 Batasan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang awal perkembangan pemikiran Islam
sampai bentuk-bentuk pemikiran islam yang kontroversional.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memenuhi Ujian Akhir Semester

2. Menambah wawasan tentang Pemikiran Islam di Indonesia

3. Memberikan pengetahuan kepada pembaca agar tidak terseret kedalam pemikiran islam
yang melenceng

1.4 Metode Penelitian

Studi Pustaka

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Batasan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan


1.4 Sistematika Penulisan

BAB II KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

2.1 Perkembangan Pemikiran Islam

2.2 Neo-Modernisme dan Fundamentalisme

2.3 Kontroversi Sekularisme Islam

2.4 Pemikiran Islam Liberal

BAB III PENUTUP

1.1 Kesimpulan

1.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II

KONTROVERSI PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA

2.1 Perkembangan Pemikiran Islam

2.1.1 Epistemologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar
dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah
dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal
dengan epistemologis.

Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani [Greek], episteme yang sepadan
dengan term knowledge: logos: dan account. Epistemologi atau theory of knowledge ini
sering diuraikan sebagai is that branch of philosophy which concerned with nature and scope
of knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge1.

Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan
tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam
mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa
ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistimologis, akan
sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan2. Secara umum
epistimologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani, dan
burhani3 :
1. Epistemologi Bayani

Epistemologi bayani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah wahyu [teks] atau penalaran dari teks. Ilmu-ilmu keislaman seperti hadis, fikih, ushul
fikih, dan lainnya, menggunakan epistemologis ini. Epistemologis bayani merupakan suatu
cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti langsung menganggap teks sebagai
pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak
pada teks ini. Dengan kata lain sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks,
atau penalaran yang berpijak pada teks4.

1. Epistemologi Irfani

Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah
kehendak [irodah]. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan
pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan
diperdebatkan. Epistemologi ini benar-benar sulit dipahami, karena sifatnya yang tidak bisa
diverifikasi dan didemonstrasikan. Epistemologi ini lebih mengandalkan pada rasa individual,
daripada penggambaran dan penjelasan, bahkan ia menolak penalaran. Penganut epistemologi
ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora
dan tamsil, bukan dengan mekanisme bahasa yang definite5.

1 DW. Hamlyn, 1972, “History of Epistemology” dalam Paul Edwards, The Encyclopaedia
of Philosophy, MacMillan Publishisng Co,Inc, and The Pree Press, New York, hlm. 9.

2 R. Harre, 1978, The Philosophies of Science: An Introductory Survey, Oxford University


Press, London, hlm. 5.

3 Muhammad Abid al-Jabiri, 1990, Bunyat Aqli al-Arabi. Dirosat Ta’liiliyyat Naqdiyyai
Linadhmi al-Ma;rifah fi al-Soqofah al-Arrobiyyat, Markas al-Wahdah al-Rabiah, Beirut, hlm.
556.

4 Ibid. hlm. 556.

5 Ibid. hlm. 252.

6 Ibid. hlm. 383-384.


7. QS al Baqarah, hlm. 269.

8. Asmuni, 1996, hlm. 90-91.

1. Epistemologi Burhani

Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu


pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk [tansin dan tahbih]. Epistemologi burhani ini
dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah.
Ibnu kholdun menyebut epistemologi ini dengan ulum al-aqliyyah [knowledge by intellect].
Tokoh pendiri epistemologi ini adalah Aristoteles6. Karena epistemologi ini lebih berpijak
pada tradisi berpikir yunani, maka ciri utamanya adalah penggunaan akal secara maksimal.

Ketiga, kecenderungan epistemologis Islam di atas, secara teologis mendapatkan justifikasi


dari al-Qur’an. Dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang
pengetahuan yang bersumber pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan
berbagai macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas untuk hal
ini. Akan tetapi meski demikian tidak sedikit pula paparan ayat-ayat yang mengungkap
tentang pengetahuan yang bersumber pada intuisi [ hati atau perasaan] terdalam.

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan
Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang
menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan
oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas
rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga
mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran
[fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat
menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah.
Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua
pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an
dinilai sebagai khairan katsiran7. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat
mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
Dalam ungkapan Iqbal bahwa fikr dan dzikr atau ‘aqal dan ‘isyq harus diintegrasikan secara
mantap bila mau membangun peradaban modern yang segar. Sesuatu yang tentunya sangat
diidamkan oleh umat manusia, dan disinilah semestinya peran yang harus dimainkan umat
Islam untuk memberikan kontribusinya bagi peradaban umat manusia secara keseluruhan.

2.2.2. Awal Perkembangan Pemikiran Islam

Proses pembentukan pemikiran itu diawali dengan peritiwa-peristiwa, misalnya ada


persentuhan pendapat, agama, kebudayaan atau peradaban antara satu dengan lainnya.
Persentuhan tersebut terkadang menimbulkan bentrokan atau akulturasi bahkan tidak jarang
terjadi asimulasi. Proses perkembangan pemikiran muslim, terdapat dalam tiga fase dan erat
kaitannya dengan sejarah Islam.

Pertama, akibat adanya pergolakan politik pada masa kekhalifahan Ali, menimbulkan perang
Shiffin [antara Ali dan Muawiyah] dan perang Jamal [antara Ali dan Aisyah]. Adanya kasus
perang ini menjadi faktor utama munculnya golongan Khawarji. Pergolakan politik itu
diruncingkan oleh adanya pendapat Khawarij, bahwa orang-orang yang terlibat dalam perang
Shiffin dan Jamal adalah berdosa besar dan kafir. Menetapkan Ali sebagai kafir sangat
ditentang oleh sekelompok muslim yang selanjutnya disebut Syi’ah, sehingga terjadilah
pertentangan hebat antara sesama muslim. Dalam setiap kemelut yang tidak menyenangkan
itu, muncul sekelompok muslim yang berusaha menjauhkan diri dan tidak ingin melibatkan
diri dengan selisih pendapat tersebut, bahkan ada pula sekelompok muslim yang tidak ingin
menyalahkan orang lain atau kelompok lainnya; namun dalam itu sempat pula mereka
mengeluarkan faktanya bahwa segala hukum perbuatan manusia yang belum jelas nashnya,
ditangguhkan hukumnya sampai diakhirat kelak. Mereka itu kelompok Murji’ah.

Kedua, akibat ekspansi Islam ke Barat sampai ke Spanyol dan Perancis, ke Selatan sampai ke
Sudan, Ethiopia dan seterusnya, ke Timur sampai India dan seterusnya. Dan ke Utara sampai
ke Rusia. Ekspansi yang dilakukan oleh Islam, ternyata tidak hanya berdampak pada
penyebaran ajaran saja, tetapi juga semakin memperkaya khazanah kebudayaan Islam. Hal ini
dikarenakan akulturasi budaya Arab-Islam dengan budaya-budaya lokal daerah yang
ditaklukkan. Salah satu budaya tau tradisi yang pada akhirnya banyak terserap dan teradopsi
oleh Islam adalah tradisi Yunani dan Hellenistiknya yang bersifat spekulatif. Perembesan
budaya ini disamping karena interaksi kaum muslimin dengan orang-orang yang mempelajari
tradisi spekulatif Yunani, juga karena penerjemahan secara besar-besaran khazanah
intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa Abbasiyyah.

Ketiga, akibat adanya perubahan masyarakat dari masyarakat Tradisional menjadi masyarakat
modern, dari pandangan cakrawala berpikir yang regional menjadi yang lebih luas lagi.
Kehidupan pribadi makin lama makin kompleks, menimbulkan masalah-masalah baru yang
memerlukan pemecahan8.

Ketiga faktor di atas memberikan pengaruh kuat bagi pertumbuhan dan perkembangan
pemikiran dalam Islam, di samping tentu saja banyaknya sugesti berupa ayat-ayat yang
menganjurkan tentang pengembangan kemampuan berpikir. Ada banyak ayat dalam al
Qur’an yang baik secara langsung maupun tidak mendesak manusia untuk berpikir, merenung
atau bernalar.

2.2 Neo-Modernisme dan Fundamentalisme


Neo-modernisme adalah corak pemikiran baru yang di motori oleh Fazlur Rahman.
Ungkapan yang paling monumental dari Fazlur Rahman adalah “pemisahan Islam normatif
danIslam historis”, Islam normatif menurut beliau adalah al-Quran dan Hadits yang bersifat
dinamisdan humanis, sedangkan Islam historis adalah ajaran-ajaran Islam yang telah
bercampur-aduk dengan pemikiran atau interpretasi manusia. Paradigma berpikir ini memang
tidak tumbuh dalam ruang hampa, tetapi dipengaruhi oleh sosio-kultural yang mengitari di
mana Fazlur Rahman hidup (Pakistan dan Amerika).

Paradigma berpikir ini lahir sebagai counter terhadap pemikiran Islam yang eksklusif, corak
utama dalam pemikiran ini antara lain:

1. Pemahaman Islam secara menyeluruh dan utuh,


2. pemahaman terhadap al-Quran dan Hadits harus lah sistematis, rasional dan
komperhensip
3. penolakan formalisme agama dan pemanfaatan agama untuk tujuan politik.

Oposisi biner neo-modernisme adalah fundamentalisme. Corak pemikiran


fundamentalism antara lain:

1. Memahami agama secara literlek,


2. kaku terhadap perubahan,
3. pemahaman parsial terhadap agama.

Ahmad Abdul Aziz, penulis buku “Neo-Modernisme Islam Di Indonesia”,mengklasifikasikan


Nurcholis Madjid sebagai seorang yang mempunyai corak pemikiran neo-modernisme.

2.3 Kontroversi Sekularisme Islam

Kontroversi yang muncul dengan sangat populer telah menimbulkan polemik besar yang
cukup berkepanjangan dikalangan intelektual Muslim di belahan dunia Islam. Akibat polemik
tersebut muncul dua kelompok dikotomis dengan sederet tokoh intelektual pendukungnya.
Kelompok pertama disebut kelompok konservatif, suatu kelompok yang menentang keras
sekularisasi yang dianggap identik dengan sekularisme. Kelompok kedua disebut kelompok
reformis, suatu kelompok yang menolak sekularisasi sebagai suatu paham tertutup yang anti
agama. Menurut kelompok reformis ini, sekularisasi diartikan sebagai upaya pembebasan
masyarakat dari kehidupan magis dan takhayul dengan melakukan desakralisasialam.
Polemik sekularisasi dalam dunia Islam juga tidak luput melanda Indonesia yang notabene
merupakan Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dengan sederetan intelektual
muslim, baik yang pro terhadap sekularisasi, maupun yang menolak sekularisasi, satu-sama
lain berbeda pandangan dalam mendifinisikan sekularisasi.

Nurcholis Madjid misalnya, melihat sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan


sekularisme (ideologi), tetapi bentuk perkembangan yang membebaskan (liberating
develofment). Proses perkembangan ini diperlukan umat Islam karena akibat perjalanan
agamanya, mereka tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai Islam, yakni mana yang
transsendental dan mana yang temporal. Oleh karena itu sekularisasi menjadi keharusan bagi
umat Islam.

Sementara itu, cendekiawan Muslim lainnya seperti HM. Rasyidi misalnya, Secara umum
pandangan HM. Rasyidi tentang sekularisasi merupakan tanggapan bahkan kecaman yang
paling ekstrem kepada pemikiran sekularisasi Nurcholish Madjid. Menurut Rasyidi, belum
ada dalam sejarah bahwa istilah sekularisme atau sekularisasi tidak mengandung prinsip
pemisahan antara persoalan dunia dengan agama. Sekularisasi, menurut Rasyidi, bisa
membawa pengaruh merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya (sekularisasi
dan sekularisme) harus dihilangkan. Memang benar pemikiran baru bisa menimbulkan
dampak positif untuk membebaskan umat dari kebodohan, namun penggunaan istilah
sekularisasi cukup mengecewakan banyak pihak, karena istilah itu sendiri tidak berlaku
dalam Islam dan hanya tumbuh dan berlaku dalam kehidupan Kristen Barat. Karenanya,
sekularisasi berhubungan erat dengan sekularisme, sebab sekularisasi berarti penerapan
sekularisme.

1. Definisi Sekularisme

Istilah secular (bahasa inggris: secularism) bermakna dunia, alam, atau realita. Dalam bahasa
Arab, istilah secular disebut al-almaniyyah. Sedangkan dalam bahasa latin, istilah secular
berasal dari kata soeculum yang berarti “alam’ dan diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani
menjadi oeon, yang berarti masa atau sekala waktu.

Terdapat 2 periode sekularisme. Pertama, intepretasi sekularisme yang berarti pemisahan


agama dan gereja dari urusan-urusan kemasyarakatan dan politik. Juga pembersihan dogma
ketuhanan gereja katholik, serta memurnikan diri dari hal-hal yang bersifat rasional.
Terminology sekularisme semacam ini muncul pada awalyang dipahami oleh para filsof dan
pemikir barat, seperti Hobbes, Locke, Leibnitz, Rosseau, dan Lessince.

Kedua, pada periode ini sekularisme tidak hanya sekedar dipahami seperti pada periode
pertama, tetapi lebih dari itu, mereka ingin mengubur agama, menghilangkan peranannya
dalam menata sebuah pranata kehidupan. Dengan kata lain, kaum secular ingin menghapus
agama dari atas muka bumi secara total.

1. Sekularisme Islam

Jika berbicara sekulerisme dalam konteks pemikiran Islam, tentu tidak akan terlepas dari
terminology dan kesejarahan sekularisme Barat. Di kalangan para pemikir Muslim sendiri
terjadi perbedaan persepsi untuk memahami sekularisme tersebut.

Sa’dah dan Arkoun termasuk kelompok pemikir yang optimistis memandang paham
sekularisme sebagai alternative. Namun, banyak juga pemikir Islam yang pesimistis dengan
paham secular ini, seperti Muhamamad Imarah, Muhammad Yahya, dan Muhammad Mahdi
Syams Al-Din. Keoptimisan dan kepesimisan dalam memandang sekularisme ini lebih
banyak dipengaruhi oleh perbedaan dalam memahami pengertian secular secara terminology.

Menurut Muhammad Imarah, karakteristik pemikiran secular adalah sebagai berikut:

1. Menyamakan nash-nash Islam dengan karya manusia


2. Agama adalah persoalan pribadi yang tidak berkaitan dengan persoalan-persoalan
social, politik, dan ekonomi.
3. Adanya pertentangan antara konsep agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
4. Adanya persepsi bahwa Barat adalah satu-satunya alternative solusi untuk mencapai
kemajuan dan kemodernan.
Secara konsep tradisonal, jelas pemikiran secular ini tidak akan diterima, sebab terlihat ada
upaya untuk menjauhkan nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan. Meskipun demikian, kita
mengenal beberapa tokoh pemikir islam yang lebih cenderung menggunakan pendekatan
sekularisme. Mereka adalah Thaha Husain, Salamah Musa, Fuad Zakariya, Farag Fawdah,
Nashr Hamid Abu Zaid, dan di Indonesia adalah Nurcholis Majid.

2.4 Pemikiran Islam Liberal

Pandangan bahwa Islam dengan akidah dan syariahnya harus mengikuti perubahan dan
dinamika sejarah tanpa terkecuali dikenal dengan pemikiran islam liberal. Dalam pemikiran
islam liberal bukan perubahan, zaman, dan sejarah yang harus mengikuti Islam melainkan
sebaliknya. Sebuah contoh kecil saja, keyakinan bahwa Islam adalah agama yang paling
benar harus dihilangkan karena tidak sesuai dengan perubahan zaman atau modernisasi.

Adalah gerakan liberalisasi yang melahirkan pemikiran Islam liberal setelah gerakan ini
berhasil meliberalkan agama-agama yang hidup di Negara-negara barat yang menjadi yang
menjadi korban pertamanya pada abad ke-19 seperti Yahudi dan Nasrani. Kedua agama ini
telah lebih dulu diliberalkan. Maka, saatnya Islam sebagai agama yang pemeluknya cukup
banyak di dunia ini diliberalkan juga.

Dalam pemikiran Islam liberal, tidak ada yang pasti, tegas, tetap, qat’i(jelas), semuanya harus
mengikuti perubahan sejarah dan modernisasi baik aqidahnya maupun syariahnya meskipun
semua itu bertentangan dengan agama manapun. Karena dunia kini dikuasai oleh pemikiran
liberalism yang menuntut kebebasan semua hal. Agama jika membatasi kebebasan itu bisa
diubah.

Dengan demikian menurut pemikiran Islam liberal, Islam bukan lagi agama yang paling
benar dan diridhlai Allah S.W.T. sebab keyakinan itu bertentangan dengan paham
liberalisme yang melahirkan paham pluralism bahwa semua agama adalah benar tidak ada
yang salah. Bahkan, menurut paham pluralisme agama-agama yang dianut pada hakikatnya
adalah jalan-jalan yang berbeda menuju Tuhan yang sama, jadi tidak boleh merasa menjadi
agama yang paling benar dan diridhlai Tuhan.

Begitu pula dalam urusan syariah, hukum-hukum yang sudah pasti (qat’i) bisa diubah jika tak
sesuai dengan modernisasi. Contohnya Wisky di Indonesia memang haram, tapi tidak di
Rusia, sebab udara di sana dingin.

Pemikiran Islam liberal dapatlah dikatakan sebagai tantangan sulit yang terkadang tak kasat
mata, sebab pelakunya adalah saudara kita sendiri, yang sering sholat berjamaah dengan kita,
satu majelis taklim, atau kawan sepermainan. Ibarat pepatah Arab “Besi dikalahkan oleh
besi”.

Disamping itu yang membuat tak habis pikir adalah para aktivis pemikiran Islam liberal
justru bukan orang yang belajar Islam kemarin sore, melainkan para pemimpin organisasi
Islam atau pemimpin di lembaga pendidikan Islam, tak jarang juga mantan santri yang
menguasai ilmu agama Islam secara mendalam dan telah belajar di Timur Tengah dan Arab .

Pemikiran Islam liberal mulai memasuki Indonesia sejak tahun 1970. Hal ini bisa diketahui
dari buku Gagasan Islam Liberal di Indonesia karya Graig Barton, yang menyebutkan paling
tidak ada tiga agenda liberal Islam di Indonesia, yaitu:
1. Pentingnya kontektualitas dalam berijtihad
2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan
3. Komitmen terhadap pluralisme agama

Sejak 8 Maret 2001, pemikiran Islam liberal di Indonesia telah dikoordinir menjadi sebuah
jaringan yang dikenal luas dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL) yang sekarang
koordinatornya adalah Luthf Assyaukani. JIL aktif sekali mengadakan acara diskusi, bedah
buku, kajian tokoh/karyanya, menerbitkan buku, dan kegiatan lainnya di bawah Novriantoni
Kahar.

Banyak sekali peminatnya terutama dari kalangan dosen, peneliti, mahasiswa, di bilangan
Utan Kayu. Tak jarang pula JIL mengadakan diskusi di kampus-kampus dengan tema seputar
pemikiran Islam liberal atau tema actual lain

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setidaknya ada dua segi yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan dalam


pemikiran Islam. Segi yang pertama ialah bahwa wahyu itu sendiri, baik Al-Qur’an maupun
hadis, secara redaksional mengandung kemungkinan dipahami secara berbeda dan sikap Nabi
Muhammad saw. selaku pembawa wahyu yang tidak jarang mentoleransi perbedaan-
perbedaan tersebut. Sedang segi yang kedua, adalah bahwa banyak faktor yang dapat
mempengaruhi cara berpikir seseorang. Faktor-faktor tersebut, antara lain, adalah sejarah
(pengalaman) masa lampau, pendidikan/informasi yang diserap, kondisi dan lingkungan
hidup, dan lain-lain, yang dialami seseorang.

Kontroversi pemikiran dalam islam sebenarnya berpijak dari konsep atau gagasan yang telah
dikemukakan oleh para pemikir yang beraneka ragam, terutama di warnai oleh bidang ilmu
atau sudut pandang masing-masing.

Perpaduan antara pikiran yang brilian yang dipadu dengan hati yang jernih, akan menjadikan
Iptek yang dimunculkan kelak tetap terarah tanpa menimbulkan dehumanisasi yang
menyebabkan manusia teralienasi [terasing] dari lingkungannya. Kegersangan yang dirasakan
oleh manusia modern saat ini, karena Iptek yang mereka munculkan hanya berdasarkan atas
rasionalitas belaka, dan menafikan hati atau perasaan yang mereka miliki. Mereka
menuhankan Iptek atas segalanya, sedang potensi rasa [ jiwa ] mereka abaikan, sehingga
mereka merasa ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Keseimbangan antara pikiran
[fikr] dan rasa [dzikr] ini menjadi penting karena secanggih apapun manusia tidak dapat
menciptakan sesuatu. Keduanya adalah pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah.
Keduanya adalah perwujudan iman seorang muslim. Umat yang berpegang kepada kedua
pilar ini disebut al Qur’an sebagai ulul albab. Mereka, disamping mampu menintegrasikan
kekuatan fikr dan dzikr, juga mampu pula mengembangkan kearifan yang menurut al Qur’an
dinilai sebagai khairan katsiran. Perpaduan antara pikiran dan rasa ini merupakan prasyarat
mutlak dalam membangun peradaban Islam dan dunia yang cemerlang.
DAFTAR PUSTAKA

www.anneahira.com

e-book. Kumpulan Buku Karya Hartono Ahmad Jaiz

Yusran Asmuni, 1996, Dirasah Islamiah II Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan
Pemikiran, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Pemikiran dan Peradaban Islam. Diktat FIAI UII

Latar Belakang Masalah


Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, upacara tradisional sebagai wahana
budaya leluhur bisa dikatakan masih memegang peranan penting dalam kehidupan
masyarakat. Upacara tradisional yang memiliki makna filosofis sampai sekarang masih
dipatuhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat tersebut bahkan takut jika tidak
melaksanakan upacara tradisional akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Salah satu tradisi yang masih berkembang di Kebumen bagian Barat, yaitu Bersih Kubur
yang dikenal dengan nama Sadranan atau besik merupakan salah satu bentuk alkuturasi Islam
dengan kebudayaan Jawa. Tradisi sadranan merupakan tradisi yang sudah dikenal oleh semua
masyarakat terutama masyarakat Jawa, karena sadranan dilakukan di berbagai daerah tak
terkecuali di Kebumen, khususnya bagian barat,
Pandangan hidup orang jawa merupakan perwujudan dari kepercayaan terhadap adi
kodrati (Allah), selain itu masyarakat Jawa juga menghormati nenek moyang yang sudah
meninggal. Sikap hormat tersebut diungkapkan dengan cara mengunjungi makam nenek
moyang untuk minta berkah dan berdoa agar mendapat kemudahan dalam menjalani
lingkaran hidup. Mengunjungi makam biasanya dilakukan sebelum mengadakan salah satu
upacara lingkaran hidup dalam keluarga atau upacara yang berhubungan dengan hari besar
Islam. Dalam masyarakat Jawa mengunjungi makam yang penting ketika Nyadran. Pada
waktu nyadran makam-makam dibersihkan dan ditaburi bunga (nyekar) yang kemudian
dibacakan doa sambil membakar dupa. Masyarakat mengadakan tradisi Nyadran pada
umumnya ketika menjelang puasa, tepatnya sehari sebelum puasa Ramadhan. Selain disebut
dengan tradisi Nyadran, ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan sebutan ruwahan.
Oleh karena tradisi Nyadran yang masih kental dengan tradisi masa praaksara, kami
bermaksud mengangkat tradisi tersebut dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud tradisi Nyadran?
2. Bagiamana prosesi upacara Nyadran?
3. Bagimana makna yang terkandung dalam tradisi Nyadran?
4. Bagaimana eksistensi tradisi Nyadran sampai saat ini?
5. Apa yang menyebabkan kontroversi pada tradisi Nyadran?
6. Bagaimana dampak tradisi Nyadran bagi kehidupan?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam pembahasan ini antara lain:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tradisi zaman praaksara yang masih
dipertahankan.
2. Untuk mengulas kembali apa yang disebut Nyadran itu
3. Untuk memenuhi tugas guru mata pelajaran Sejarah.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nyadran

Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah
tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa
Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah sya’ban. Nyadran adalah suatu
rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya
berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Secara etimologi, nyadran dapat diartikan
sebagai satu bentuk tradisi layaknya kenduri yang menggunakan sarana tertentu yang
biasanya berwujud makanan besekan. Sementara makanan yang biasanya harus ada saat
nyadran adalah berujud ketan, kolak, serta apem.
Sejarawan dari Belanda Zoetmulder dalam bukunya berjudul Kalangwan menjelaskan,
awal mula upacara Sraddha (Nyadran) ditujukan untuk mengenang wafatnya Tribhuwana
Tungga Dewi pada zaman Majapahit. Kegiatan yang dilaksanakan setahun sekali tersebut
dilestarikan secara turun-temurun.
Upacara kenduri itu dimaksudkan untuk menghormati arwah para leluhur keluarga
tertentu. Dalam upacara itu, selain kenduri, biasanya juga dilakukan ziarah kubur dengan
membawa bunga-bungaan, terutama bunga telasih, sebagai lambang masih adanya hubungan
yang akrab dan selalu segar antara si peziarah dan arwah leluhur yang diziarahi.
Dalam perkembangannya upacara Sraddha tidak hanya untuk mengenang wafatnya
Tribhuwana Tungga Dewi saja, tetapi masyakat memanfaatkan waktu tersebut untuk
mengirim doa bagi arwah para leluhurnya. Setelah agama Islam masuk ke Tanah Jawa,
terjadi akulturasi budaya Jawa dan Islam yang masih dapat kita saksikan hingga sekarang.
Akulturasi budaya tersebut menjadi saksi abadi strategi jitu para sunan ‘Wali songo’ terutama
Sunan Kalijaga dalam menyebarkan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat yang sudah
memeluk suatu ajaran tanpa melalui pemaksaan kehendak, apalagi pertumpahan darah.
Sunan Kalijaga yang terkenal sakti mandraguna tetap memilih cara damai untuk
menyebarkan ajaran agama Islam. Strateginya menunjukkan kedalaman berfikirnya dan
kematangan ilmunya yang sangat luar biasa. Agar masyarakat yang sudah lama memeluk
salah satu agama tersebut dapat menerima ajaran agama Islam secara sukarela, Sunan
Kalijaga memasukkan ajaran Islam melalui upacara-upacara ritual yang dilaksanakan
masyarakat, termasuk upacara Sraddha.
Sunan Kalijaga mengemas upacara Sraddha (Nyadran) dalam nuansa islami yang
dijatuhkan setiap bulan Ruwah sebelum bulan Puasa. Kegiatan Nyadran bukan lagi untuk
mengenang wafatnya Tribhuwana Tungga Dewi, tetapi lebih bersifat acara silaturahmi yang
diisi kegiatan bersih-bersih makam, kenduri dengan doa-doa islami dan tausyiah.
Menurut catatan sejarah, tradisi nyadran memiliki kesamaan dengan tradisi craddha yang
ada pada zaman kerajaan Majapahit (1284). Kesamaannya terletak pada kegiatan manusia
berkaitan dengan leluhur yang sudah meninggal, seperti pengorbanan, sesaji, dan ritual
sesembahan yang hakikatnya adalah bentuk penghormatan terhadap yang sudah meninggal.
Secara etimologis, kata craddha berasal dari bahasa Sansekerta “sraddha” yang artinya
keyakinan, percaya atau kepercayaan. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang
sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau
keturunannya.
Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan tanggal
meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup diharuskan
membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu
ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu.
B. Sejarah Nyadran
Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadran bagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada
yang tahu persis mengenai hal ini. Namun, dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang
menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia. Maka, di
sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan
upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam
masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buddha, jauh
sebelum agama Islam masuk.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada
arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa
pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buddha lambat laun
terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa
mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi” para
wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap
orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media syiar agama
Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam Islam
berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan
segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu.
Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar
pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran atau Idul Fitri. Sedangkan, arus kedua
terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan
nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya Idul Fitri. Setidaknya, para perantau akan lebih
memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada saat lebaran.
Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko,
seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik
nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan
anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur
yang dihormati.
C. Pelaksanaan Upacara Nyadran
Tempat-tempat yang digunakan dalam tradisi nyadran biasanya berupa makam
leluhur atau tokoh besar yang banyak berjasa bagi syiar agama. Lazimnya kegiatan nyadran
dilakukan dengan ziarah ke makam-makam leluhur atau orang besar (para tokoh) yang
berpengaruh dalam menyiarkan agama Islam pada masa lalu. Masyarakat di satu daerah
memiliki lokasi ziarah masing-masing.
Waktu pelaksanaan nyadran biasanya dipilih pada tanggal 15, 20 atau 23 Ruwah atau
Sya’ban. Pemilihan tanggal nyadran itu, disamping berdasar kesepakatan, juga berdasar
paham mudhunan dan munggahan, yaitu paham yang meyakini bulan Ruwah sebagai saat
turunnya arwah para leluhur untuk mengunjungi anak cucu di dunia.
Nyadran di Desa Plarangan, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Kebumen biasa
dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 20 Sya’ban setiap tahunnya. Sebagaimana adat
kebiasaan yang telah berlangsung, acara diadakan di dalam area makam. Mulai terbit fajar
telah datang merayap, para peziarah yang terdiri dari masyarakat setempat membawa bakul
dan tenong (rantang) di setiap keluarga yang berisi daharan sak ubo rampe-nya. Nasi, sayur,
ayam ingkung, bakmi, sayur kentang atau krecek merupakan menu yang telah dipersiapkan
sejak jago kluruk pertama terdengar dini hari. Setelah semua keluarga berkumpul, prosesi
penyembilah sapi/kerbau/kambing dilaksanakan. Kemudian, daging tersebut dimasak
menjadi gulai, di mana gulai tersebut selanjutnya dibagikan kepada seluruh keluarga yang
menghadiri prosesi Nyadran tersebut. Kebanyakan di antara para hadirin terdiri atas kaum
laki-laki. Beberapa kaum ibu memang datang, namun bisa dihitung dengan jari. Adapun
anak-anak, baik laki maupun perempuan ada yang sengaja diajak orang tuanya untuk
memperkenalkan tradisi leluhur. Tidak kurang dari seratusan orang memadati sepanjang jalan
makam. Setelah dirasa segenap warga hadir, acara inti diawali dengan tahlilan bersama yang
dipimpin oleh orang yang dituakan / sesepuh kampung.
Selepas pembacaan tahlil, acara dilanjutkan dengan kembul bujono dengan alas daun
pisang utuh yang telah disediakan di tengah kalangan. Nasi putih segera dicecer di tepian
daun pisang. Gulai kambing segera dicuwel, satu per satu dibagi rata. Sayur krecek dan
bakmi segera tertebar menyelimuti nasi putih. Kemudian hadirinpun dipersilakan makan
bersama. Makan dengan cara demikian merupakan perwujudan semangat kebersamaan, rasa
gotong royong dan keguyuban diantara sesama warga. Inilah harta karun paling berharga
yang diwariskan para pendahulu bangsa kepada anak cucunya. Mangan ora mangan sing
penting kumpul.
D. Makna Upacara Nyadran
Tradisi yang hingga saat ini masih berlangsung di masyarakat pedesaan itu mempunyai
makna simbolis, hubungan diri orang Jawa dengan para leluhur, dengan sesama, dan tentu
saja dengan Tuhan. Tradisi Nyadran intinya berupa ziarah kubur pada bulan Syaban (Arab),
atau Ruwah dalam kalender Jawa, menjadi semacam kewajiban bagi orang Jawa. Ziarah
dengan membersihkan makam leluhur, memanjatkan doa permohonan ampun, dan tabur
bunga tersebut adalah simbol bakti dan ungkapan penghormatan serta terima kasih seseorang
terhadap para leluhurnya.
Makna yang terkandung dalam persiapan puasa di bulan Ramadan adalah agar orang
mendapatkan berkah dan ibadahnya diterima Allah. Lewat ritual Nyadran, masyarakat Jawa
melakukan penyucian diri. Mereka mengunjungi makam leluhur, membersihkan batu-batu
nisan dari rumput liar dan ilalang, dan melakukan kendurian. Meski bentuk kegiatan sama,
namun makna Nyadran sangat berbeda dengan ziarah kubur. Perbedaan itu, antara lain karena
waktu pelaksanaan ritual nyadran telah ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memiliki
otoritas di daerah tersebut. Di hampir semua desa, pihak yang berwenang menentukan waktu
nyadran adalah juru kunci, tetua desa, atau sosok yang paling dituakan dalam masyarakat.
Berbeda dengan ziarah kubur, ritual Nyadran dilakukan secara kolektif, melibatkan
seluruh warga desa. Ritual nyadran ini biasanya dilakukan di dua pusat bangunan desa, yaitu
makam dan masjid. Setelah melakukan bersih makam, acara beralih pada kenduri yang
biasanya digelar di masjid atau makam desa. Sebagaimana kenduri pada umumnya,
agendanya adalah berdoa dan makan nasi berkatan, yaitu berupa nasi tumpeng dengan lauk
ingkung ayam, urapan, buah-buahan, serta jajan. Di beberapa desa tradisi ini masih kuat,
masyarakat meletakkan aneka sesaji dalam sebuah tenong, yaitu nampan bulat yang terbuat
dari anyaman bambu, dengan alas daun pisang atau daun jati. Satu tenong dikepung beberapa
orang sekaligus. Ketika acara doa atau tahlilan selesai, maka mereka akan makan beramai-
ramai.
Makna simbolis dari ritual nyadran atau ruwahan itu sangat jelas, bahwa saat memasuki
bulan Ramadhan atau puasa, mereka harus benar-benar bersih, yang antara lain diupayakan
dengan cara harus berbuat baik terhadap sesama, juga lingkungan sosialnya. Melalui
rangkaian tradisi nyadran itulah orang Jawa merasa lengkap dan siap untuk memasuki
ramadhan, bulan suci yang penuh berkah itu. Sebab, bagi orang Jawa, nyadran juga berarti
sebuah upaya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki hubungan baik
dengan masyarakat dan lingkungan, serta menunjukkan bakti kepada para leluhur mereka.
E. Kelestarian Upacara Nyadran
Meski penduduk desa ini telah mengenal peradaban kota dan dunia modern, tetapi mereka
tetap menjaga eksistensi budaya yang ada. Salah satu buktinya adalah Nyadran. Nyadran
adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh penduduk, biasanya di desa, setiap menjelang
bulan ramadhan, tetapi kadang ada pula yang dilakukan di bulan lain. Jadi, upacara adat ini
sangat berkaitan dengan warisan budaya Islam.
Pada hari-H sebagian penduduk desa yang berada di kota besar pulang kampung untuk
mendoakan arwah leluhur mereka. Pada pukul 7 pagi, semua warga desa berbondong-
bondong datang ke lapangan, atau area lain yang terletak di sebelah makam. Bahkan tetangga
desa pun ikut datang ke sana. Mereka datang dengan membawa berbagai makanan, yang
biasanya disertai ingkung, masakan ayam goreng yang masih utuh belum dipotong-potong.
Setelah semua warga berkumpul, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, acara
yang dipimpin oleh sesepuh desa setempat, dimulai. Upacara dilanjutkan dengan pidato
bapak lurah, lalu tahlil dimulai dengan dipimpin bapak kaum atau sering disebut pemuka
agama di desa. Tujuan dari tahlil ini adalah untuk mendoakan arwah leluhur yang telah
meninggal mendahului mereka. Setelah itu mereka beramai-ramai menyantap makanan
mereka. Tak lupa mereka saling berbagi makanan satu sama lain.
F. Kontroversi
Apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa
Plarangan dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Akar dari kontroversi itu sebenarnya
berawal dari campurnya unsur animisme, Hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan
kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan
muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-
perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.
Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-
hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada
hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Rasa syukur boleh
diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang
dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi
haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.
Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan
(akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka
sendiri menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung
bid’ah dan syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru
melihat tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam., pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah
perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal, selain tendensi ekonomi
yang ada dibelakangnya.
Sesaji dalam kenduri merupakan bahasa symbol. Ketan, kolak, dan apem yang menjadi
makanan khas saat Nyadran memiliki makna khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan
(khotan), kolak adalah lambang kebenaran (kolado), dan apem (afwam) sebagai simbol
permintaan maaf (ngapura). Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan
sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem memang selalu hadir dalam setiap
upacara/slametan yang terkait.
Untuk upacara tabur bunga (nyekar) di batu nisan para leluhur, murni kegiatan
masyarakat yang masih terpengaruh ritus agama lamanya. Hal tersebut kala itu memang
masih dibiarkan oleh Sunan Kalijaga, termasuk kenduri, karena jika dilarang, jelas akan
menimbulkan gejolak yang bisa berakhir dengan penolakan ajaran agama Islam.
Kemasan Islami pada tradisi Nyadran pada bulan Ruwah sebenarnya punya tujuan
khusus, menyiapkan fisik dan mental masyarakat guna menghadapi jihad akbar selama bulan
Ramadhan. Nyadran yang berkaitan erat dengan arwah, untuk mengingatkan bahwa setiap
manusia pasti akan mati sebagaimana para leluhurnya. Karena itu masyarakat harus mencari
bekal sebanyak-banyaknya untuk menghadap Allah dengan melaksanakan ajaran agama
Islam sebagaimana sabda Rasulullah, beribadah lah sebaik mungkin seolah engkau akan mati
esok hari. Bulan Puasa merupakan kesempatan emas mengumpulkan bekal dan meningkatkan
ketakwaan kepada Allah SWT.
Masyarakat semakin dimantabkan persiapan lahir batinnya dengan kemasan tradisi
Padusan. Tradisi ini ada benang merahnya dengan kebiasaan orang Jawa ketika akan
melakukan laku prihatin, yakni adus banyu suci perwita sari, sekaligus mengikrarkan niatnya
untuk menjalankan laku prihatin yang ditandai dengan membuang semua kotoran yang
melekat di jiwa dan raga (mandi besar). Dalam konteks budaya Jawa, ibadah puasa selama
bulan Ramadhan termasuk laku prihatin sehingga harus ada ikrar yang ditandai dengan laku
adus banyu suci perwitasari.
Padusan sebagai bukti telah berazam (berkendak) untuk menjalankan ibadah puasa sepenuh
hati. Tekadnya sudah bulat untuk menjalankan perintah Alloh SWT, jihad akbar.? Dalam titik
ini, kaum muslimin dan muslimat sudah dalam posisi puncak siap berjuang sampai mati
sekalipun dalam menghadapi nafsu perutnya, nafsu birahinya dan nafsu-nafsu duniawiah
lainnya yang selalu membutakan hati. Semoga ini bisa menjadi pemahaman bagi kita semua
khususnya umat Islam tentang arti dan makna Nyadran yg selama ini kita lakukan.
Mari kita bersama-sama menjalankan ibadah puasa di bulan penuh hikmah, penuh berkah,
rahmat dan ampunan ini dengan meluruskan niat Lillahita’ala agar kita bisa menjadi
golongan hamba Alloh SWT yang bertakwa.
Alloh SWT Yang Maha Mengetahui tidak hanya sekedar memerintah, namun juga
memberi banyak kemewahan bagi umat-Nya yang ikhlas memenuhi perintah-Nya hingga
harus menahan derita karena desakan-desakan nafsu angkara murkanya. Kemewahan tersebut
diantaranya, pahala orang berpuasa akan diterima langsung oleh Allloh SWT, setiap kebaikan
dari umat-Nya akan dilipatgandakan balasannya dan bonus maha menggiurkan berupa malam
lailatul qodar yang hanya akan diberikan kepada umat-Nya yang dapat menjalankan ibadah
puasa sebagaimana yang diinginkan-Nya.
Karena itu sungguh keliru bila ada orang berpuasa tetapi marah, benci atau berbuat buruk
kepada orang yang tidak berpuasa walaupun hanya dalam hati. Sungguh tersesat bila ada
yang berpuasa memaksakan kehendaknya agar orang lain juga harus berpuasa, atau
memaksakan kehendak agar orang lain menghormati orang yang berpuasa, apalagi sampai
melakukan perbuatan anarki, pengrusakan dan penganiayaan.
Dalam surat Al Baqarah ayat 183 sangat tegas Alloh SWT hanya mewajibkan
menjalankan ibadah puasa bagi pengikut Rasulullah Muhammad SAW yang beriman saja
(almu’minun). Hamba Allah yang beriman sudah memilih untuk melawan arus kelaziman
demi Allahurobbul’alamin. Lapar seharusnya makan, haus seharusnya minum, dihina
seharusnya marah, dipukul seharusnya membalas… tetapi yang seharusnya…seharusnya...
tersebut ditinggalkan semua demi Alloh SWT.
Maka bagi yang menjalankan ibadah puasa tulus iklas Lillahita’ala jelas tidak mungkin
minta untuk dihormati selama manjalankan ibadah puasa, justru sebaliknya merasa kasihan
melihat orang yang tidak berpuasa karena telah menyia-nyiakan kesempatan yang sangat
istimewa ini.
G. Dampak Tradisi Nyadran Bagi Kehidupan
Pada perkembangannya, tradisi nyadran mengalami perluasan makna. Bagi mereka yang
pulang dari rantauan, nyadran dikaitkan dengan sedekah, beramal kepada para fakir miskin,
membangun tempat ibadah, memugar cungkup, dan pagar makam. Kegiatan tersebut sebagai
wujud balas jasa atas pengorbanan leluhur, yang sudah mendidik, membiayai ketika anak-
anak, hingga menjadi orang yang sukses. Bagi perantau yang sukses dan kebetulan diberi
rezeki berlimpah, pulang nyadran dengan beramal merupakan manifestasi hormat dan
penghargaan kepada leluhur.
Pelestarian tradisi nyadran merupakan wujud pelestarian budaya adhiluhung peninggalan
nenek moyak, terdapat sejumlah kearifan dalam prosesi tradisi nyadran yang sangat relevan
dengan konteks kekinian.
Hal ini karena prosesi nyadran tidak hanya sekedar gotong royong membersihkan makam
leluhur, selamatan dengan kenduri, dan membuat kue apem ketan kolak sebagai unsur utama
sesaji. Lebih dari itu, nyadran menjelma menjadi ajang silaturahmi, wahana perekat sosial,
sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme.
Saat pelaksanaan nyadran, kelompok-kelompok keluarga atau trah tertentu, tidak terasa
terkotak-kotak dalam status sosial, kelas, agama, golongan, partai politik, dan sebagainya.
Perbedaan itu lebur, karena mereka berkumpul menjadi satu, berbaur, saling mengasihi,
saling menyayangi satu sama lain.
Jika spirit nyadran itu bila dibawa dalam konteks negara, maka akan menjadikan
Indonesia yang rukun, ayom, ayem dan tenteram.
Ketika Islam datang ke pulau Jawa mulai abad ke-13, banyak tradisi Hindu-Buddha yang
terakulturasi dengan ajaran Islam. Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan
dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15. Proses pengislaman atau pribumisasi ajaran Islam,
berlangsung sukses dan membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya adalah tradisi
sraddha yang menjadi nyadran.
Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran, dari sekadar
berdoa kepada Tuhan, menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan
Sya’ban atau Nisfu Sya’ban. Ini dikaitkan dengan ajaran Islam bahwa bulan Sya’ban yang
datang menjelang Ramadhan, merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.
Oleh karena itu, pelaksanaan ziarah juga dimaksudkan sebagai sarana introspeksi atau
perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah
nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada
sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun
terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa
mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah
satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali
ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap
orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadran pun menjadi media siar agama
Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam
berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.
Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan
segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu.
Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar
pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para
perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri.
Setidaknya, para akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.
Apalagi ketika kemudian tradisi mudik lebaran juga berarti masa perjuangan penuh risiko,
seperti transportasi yang semakin mahal, jalanan macet dan seterusnya. Pada saat mudik
nyadran, biasanya pula orang-orang Jawa di perantauan akan berusaha mengalokasikan
anggaran untuk perbaikan batu nisan atau kompleks makam keluarga, makam para leluhur
yang dihormati.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari uraian diatas dapat disumpulakan bahwa tradisi Nyadran adalah Tradisi yang tidak
harus di tinggalkan karena tradisi nyadran untuk mengajak masyarakat berbaur, besatu, dan
menjalin silaturahim antar sesama manusia, leluhur. Menurut tradisi Nyadran saat ini yang
dilakukan masyarakat adalah tradisi yang dilaksanakan pada zaman Wali Songo selain
mengajak masyarakat untuk sialaturahim tapi juga untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
keagamaan. Sehingga pola pikir manusia tidak menganggapnya sesuatu yang biasa, tetapi
tradisi nyadran adalah sesuatu tradisi yang mempunyai sakral.

B. Kesan dan Pesan


Kesan kami terhadap tradisi Nyadran, yaitu dengan adanya tradisi ini dapat mengenal
budaya yang di zaman modern ini banyak pemuda yang meninggalkan kebudayaan daerah
yang seharusnya dilestarikan. Kalau bukan kita sendiri, siapa yang akan melestarikan
kebudayaan kita. Tradisi ini juga bisa menambah sikap sosial dengan tetangga dan juga
masyarakat. Tradisi Nyindran ini bermaksud untuk mendoakan orang tua yang telah
meninggal. Kegiatan ini dilakukan sebelum bulan puasa atau bulan Ramadhan yaitu dapat
membersihkan hati agar puasa yang akan dilaksanakan diterima oleh Allah SWT.
Saran kami untuk menjaga kestabilan kepada masyarakat dalam menjalankan tradisi
Nyadran maka setiap menjelang bulan Ramadhan, yaitu Sya'ban atau Ruwah tradisi tersebut
jangan dilupakan, karena itu untuk menjaga kelestarikan yang diperuntukan untuk penduduk
terutama yang beragama Islam. Maka dari itu rasa saling memiliki dan tanggung jawab
diterapkan oleh masyarakat Islam sejak kecil, untuk selalu mengingat dan bersilaturahim
kepada para leluhurnya. Namun hal ini dilakaukan sesuai dengan kepercayaan pribadi
masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Nyadran. (Online), http://id.wikipedia.org/wiki/Nyadran (diakses 11 Mei 2015)


Anonim. 2014. Tugas Sejarah Makalah Tradisi Nyadran. (Online), Error! Hyperlink reference
not valid. (diakses 11 Mei 2015)
Maryuni, Riska. 2013.Kebudayaan Nyadran. (Online), http://sosbud.kompasiana.com/2013/
12/12/kebudayaan-nyadran-618632.html (diakses 11 Mei 2015)
Sista, BNC. Nyadran, Tradisi Bersih Diri Menuju Bulan Suci. (Online) http://kebumennews.
com/3001/nyadran-tradisi-bersih-diri-menuju-bulan-suci/ (diakses 11 Mei 2015)

MAKALAH KONSEP ISLAM TENTANG KEBUDAYAAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antropologi Agama adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mempelajari tentang manusia
yang menyangkut agama dengan pendekatan budaya, atau disebut juga Antropologi Religi. Meskipun
ada yang berpendapat ada perbadaan pengerian antara Antropologi Agama dengan Antropologi
Religi, namun keduanya mengandung arti adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan yang
ghaib. Keduanya juga menyangkut adanya buah pikiran sikap dan perilaku manusia dalam
hubungannya dengan kekuasaan yang tidak nyata.

Buah pikiran dan perilaku manusia tentang keagamaan dan kepercayaannya itu pada
kenyataannya dapat dilihat dalam wujud tingkah laku dalam acara dan upacara-upacara tertentu
menurut tata cara yang ditentukan dalam agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan demikian
Agama tidaklah mendekati agama itu sebagaimana dalam teologi (Ilmu Ketuhanan), yaitu ilmu yang
menyelidiki Wahyu Tuhan.

Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam sejarah dan budaya tidak akan
lengkap tanpa memahami manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas
kemanusiaan yang mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi
sangat diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan
memahami Islam yang telah dipraktikkan, Islam yang menjadi gambaran sesungguhnya dari
keberagamaan manusia.

Kepentingan untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan
dengan wacana posmodernisme yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan sosial
masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah
kerangka "desconstruction theory", mereka bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya
kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya lokal dalam peraturan dunia global.
Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti
antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna yang lain.

Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat dilihat
relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat berguna untuk
membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada
pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi agama. Kajian agama secara empiris dapat
diarahkan ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk
membantu manusia untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus
mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama
yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia maka
pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai sebuah sistem
makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi
manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya. Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone,
karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral maupun estitika mereka."
Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang khusus bagi manusia yang kemudian
mempengaruhi tingkah laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang
realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai ethos telah
membentuk karakter yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran realitas
kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.

Kajian antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam untuk lebih melihat
keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam sebuah
masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-
culture akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan agama dan budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Konsep Islam Tentang Kebudayaan
2. Saling hubungan islam dengan kebudayaan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Islam Tentang Kebudayaan


Dari segi etimologis, kata kebudayaan adalah kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Sansekerta buddhi yang berarti intelek (pengertian). Kata buddhi berubah menjadi budaya
yang berarti “yang diketahui atau akal pikiran”. Budaya berarti pula pikiran, akal budi, kebudayaan,
yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang, beradab, maju (Poerwadarminta,1982:157).
Dari pengertian budaya di atas, dapat diutarakan dengan bahasa lain bahwa kebudayaan
merupakan gambaran dari taraf berpikir manusia. Tinggi-rendahnya taraf berpikir manusia akan
terlihat pada hasil budayanya. Kebudayaan merupakan cetusan isi hati suatu bangsa, golongan, atau
individu. Tinggi-rendahnya, kasar-halusnya pribadi manusia, golongan, atau ras, akan terlihat pada
kebudayaan yang dimiliki sebagai hasil ciptaannya. Maka dapat juga dikatakan bahwa kebudayaan
merupakan orientasi dan pola pikir manusia, golongan, atau bangsa. Kebudayaan merupakan suatu
konsep yang sangat luas ruang lingkupnya. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang timbulnya suatu
kebudayaan itu sendiri. Dawson (1993:57) memberikan empat faktor yang menjadi alasan pokok
yang menentukan corak suatu kebudayaan, yaitu faktor geografis, keturunan atau bangsa, kejiwaan,
dan ekonomi.

Dalam Islam , memang tidak ada suatu rumusan yang kongkret mengenai suatu kebudayaan.
Berkaitan dengan masalah kebudayaan. Islam memberi kerangka asas atau prinsip yang bersifat
hakiki atau esensial. Dengan kata lain, Islam hanya memberikan konsep dasar yang dalam
perwujudannya tergantung pada pemahaman pendukungnya.Dalam keadaan atau waktu yang
berbeda, esensinya diwujudkan oleh aksidensi yang sangat ditentukan oleh aspek ekonomi, politik,
sosial budaya, teknik, seni, dan mungkin juga oleh filsafat.

Ciri-ciri yang membedakan antara kebudayaan Islam dengan budaya lain, diungkapkan oleh
Siba’i bahwa ciri-ciri kebudayaan Islam adalah yang ditegakkan atas dasar aqidah dan tauhid,
berdimensi kemanusiaan murni, diletakkan pada pilar-pilar akhlak mulia, dijiwai oleh semangat ilmu
(Zainal, 1993:60).

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudyaan Islam dapat dipahami
sebagai hasil olah akal, budi, cipta, karya, karsa, dan rasa manusia yang bernafaskan wahyu ilahi dan
sunnah Rasul. Yakni suatu kebudayaan akhlak karimah yang muncul sebagai implementasi Al-Qur’an
dan Al-Hadist dimana keduanya merupakan sumber ajaran agama Islam, sumber norma dan sumber
hukum Islam yang pertama dan utama. Dengan demikian kebudayaan Islam dapat dipilah menjadi
tiga unsur prinsipil, yaitu kebudayaan Islam sebagai hasil cipta karya orang Islam, kebudayaan
tersebut didasarkan pada ajaran Islam, dan merupakan pencerminan dari ajaran Islam.

Ketiga unsur tersebut merupakan kesatuan yang utuh dan tidak dapat terpisah satu dengan
yang lainnya. Dengan demikian, sebagus apapun kebudayaannya, jika itu bukan merupakan produk
kaum Mslimin tidak bisa dikatakan dan diklaim sebagai budaya Islam. Demikian pula sebaliknya,
meskipun budaya tersebut merupakan produk orang-orang Islam, tetapi substansinya sama sekali
tidak mencerminkan norma-norma ajaran Islam. Dengan kata lain, Al-Faruqi (2001) menegaskan
bahwa sesungguhnya kebudayaan Islam adalah “Kebudayaan Al-Qur’an“, karena semuanya berasal
dari rangkaian wahyu Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW pada abad ketujuh. Tanpa wahyu
kebudayaan Islami Islam, filsafat Islam, hukum Islam, masyarakat Islam maupun organisasi politik
atau ekonomi Islam.

Islam, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang
baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang
telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar
umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa
madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan
yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta
mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia,
pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat
menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan
asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.

Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia mempunyai tipikal yang spesifik bila
dibandingkan dengan ajaran Islam di berbagai negara Muslim lainnya. Menurut banyak studi, Islam
di Indonesia adalah Islam yang akomodaatif dan cenderung elastis dalam berkompromi dengan
situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia, terutama situasi sosial politik yang sedang terjadi
pada masa tertentu. Muslim Indonesia pun konon memiliki karakter yang khas, terutama dalam
pergumulannya dengan kebudayaan lokal Indonesia. Disinilah terjadi dialog dan dialektika antara
Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia, sehingga
dikenal sebagai “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” dimaknai sebagai Islam yang berbau
kebudayaan Indonesia. Islam yang bernalar Nusantara, Islam yang menghargai pluralitas, Islam yang
ramah kebudayaan lokal, dan sejenisnya. “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” bukan foto copy
Islam Arab, bukan kloning Islam Timur Tengah, bukan plagiasi Islam Barat, dan bukan pula duplikasi
Islam Eropa.

Meskipun Islam lahir di negeri Arab, tetapi dalam kenyataannya Islam dapat tumbuh dan
berkembang dengan kekhasannya dan pada waktu yang sama sangat berpengaruh di bumi Indonesia
yang sebelumnya diwarnai animisme dan dinamisme, serta agama besar seperti Hindu dan Budha.
Dengan demikian, wajah Islam yang tampil di Indonesia adalah wajah Islam yang khas Indonesia,
wajah Islam yang berkarakter Indonesia, dan Islam yang menyatu dengan kebudayaan masyarakat
Indonesia, tetapi sumbernya tetap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Oleh karena itulah, wajah Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara
Islam dan budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam
kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak monolit, dan tidak simple,
walaupun sumber utamanya tetap pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan
kenyataan negara-negara, modernitas, globalisasi, kebudayaan likal, dan semua wacana
kontemporer yang menghampiri perkembangan zaman dewasa ini.
Tulisan ini ditulis dalam konteks sebagaimana tersebut diatas dalam memandang event
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Dalam realitanya memang terdapat berbagai tradisi umat
Islam dibanyak Negara Muslim seperti Indonesia, Malasyia, Brunai, Mesir, Yaman, Aljazair, Maroko,
dan lain sebagainya yang menimbulkan “kontroversi” dari perspektif hukum tentang boleh atau
tidaknya atau halal atau haramnya untuk mengamalkannya. Di Antara tradisi yang menimbulkan
kontroversi itu Antara lain melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw, peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Muharram, dan lain-lain.
Oleh karena kontroversi-kontroversi yang menyelimuti peringatan-peringatan tersebut,
maka tulisan ini berupaya menjelaskan posisi peringatan Maulid Nabi Saw, perspektif hukum Islam,
akan tetapi tidak bersifat tunggal, namun memberikan horizon pilihan yang memungkinkan kita
untuk bersikap arif dan bijaksana terhadap pihak yang berbeda pahamnya.
Dari riwayat Rasulullah Saw, Islam membiarkan beberapa adat kebiasaan manusia yang tidak
bertentangan dengan syariat dan adab-adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu,
Rasulullah Saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab (pada masa itu) yang ada
sebelum datangnya Islam. Akan tetapi Rasulullah Saw melarang budaya-budaya yang mengandung
unsur syirik, seperti pemujaan terhadap leluhur dan nenek moyang, dan budaya-budaya yang
bertentangan dengan adab-adab Islami.

B. Saling Hubungan Islam dengan kebudayaan


Hubungan Agama dan Kebudayaan Kebudayaan dikenal karena adanya hasil-hasil atau
unsur-unsurnya. Unsur-unsur kebudayaan terus menerus bertambah seiring dengan perkembangan
hidup dan kehidupan.
Manusia mengembangkan kebudayaan; kebudayaan berkembang karena manusia. Manusia
disebut makhluk yang berbudaya, jika ia mampu hidup dalam atau sesuai budayanya. Sebagian
makhluk berbudaya, bukan saja bermakna mempertahankan nilai-nilai budaya masa lalu atau
warisan nenek moyangnya; melainkan termasuk mengembangkan (hasil-hasil) kebudayaan.

Di samping kerangka besar kebudayaan, manusia pada komunitasnya, dalam interaksinya


mempunyai norma, nilai, serta kebiasaan turun temurun yang disebut tradisi. Tradisi biasanya
dipertahankan apa adanya; namun kadangkala mengalami sedikit modifikasi akibat pengaruh luar ke
dalam komunitas yang menjalankan tradisi tersebut. Misalnya pengaruh agama-agama ke dalam
komunitas budaya (dan tradisi) tertentu; banyak unsur-unsur kebudayaan (misalnya puisi-puisi,
bahasa, nyanyian, tarian, seni lukis dan ukir) di isi formula keagamaan sehingga menghasilkan
paduan atau sinkretis antara agama dan kebudayaan. Kebudayaan dan berbudaya, sesuai dengan
pengertiannya, tidak pernah berubah; yang mengalami perubahan dan perkembangan adalah hasil-
hasil atau unsur-unsur kebudayaan.

Namun, ada kecenderungan dalam masyarakat yang memahami bahwa hasil-hasil dan
unsur-unsur budaya dapat berdampak pada perubahan kebudayaan. Perbedaan antara agama dan
budaya tersebut menghasilkan hubungan antara iman-agama dan kebudayaan. Sehingga
memunculkan hubungan (bukan hubungan yang saling mengisi dan membangun) antara agama dan
budaya. Akibatnya, ada beberapa sikap hubungan antara Agama dan Kebudayaan, yaitu:

1. Sikap Radikal: Agama menentang Kebudayaan. Ini merupakan sikap radikal dan ekslusif,
menekankan pertantangan antara Agama dan Kebudayaan. Menurut pandangan ini, semua sikon
masyarakat berlawanan dengan keinginan dan kehendak Agama. Oleh sebab itu, manusia harus
memilih Agama atau Kebudayaan, karena seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan. Dengan
demikian, semua praktek dalam unsur-unsur kebudayaan harus ditolak ketika menjadi umat
beragama.
2. Sikap Akomodasi: Agama Milik Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan keselarasan antara Agama dan
kebudayaan.
3. Sikap Perpaduan: Agama di atas Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan adanya suatu keterikatan
antara Agama dan kebudayaan. Hidup dan kehidupan manusia harus terarah pada tujuan ilahi dan
insani; manusia harus mempunyai dua tujuan sekaligus.
4. Sikap Pambaharuan: Agama Memperbaharui Kebudayaan. Sikap ini menunjukkan bahwa Agama
harus memperbaharui masyarakat dan segala sesuatu yang bertalian di dalamnya. Hal itu bukan
bermakna memperbaiki dan membuat pengertian kebudayaan yang baru; melainkan
memperbaharui hasil kebudayaan.
Oleh sebab itu, jika umat beragama mau mempraktekkan unsur-unsur budaya, maka perlu
memperbaikinya agar tidak bertantangan ajaran-ajaran Agama. Karena perkembangan dan
kemajuan masyarakat, maka setiap saat muncul hasil-hasil kebudayaan yang baru. Oleh sebab itu,
upaya pembaharuan kebudayaan harus terus menerus. Dalam arti, jika masyarakat lokal mendapat
pengaruh hasil kebudayaan dari luar komunitasnya, maka mereka wajib melakukan pembaharuan
agar dapat diterima, cocok, dan tepat ketika mengfungsikan atau menggunakannya. Karena adanya
aneka ragam bentuk hubungan Agama dan Kebudayaan tersebut, maka solusi terbaik adalah perlu
pertimbangan pengambilan keputusan etis-teologis (sesuai ajaran agama). Dan untuk mencapai hal
tersebut tidak mudah

Seperti halnya kebudayaan agama sangat menekankan makna dan signifikasi sebuah
tindakan. Karena itu sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara kebudayaan dan
agama bahkan sulit dipahami kalua perkembangan sebuah kebudayaan dilepaskan dari pengaruh
agama. Sesunguhnya tidak ada satupun kebudayaan yang seluruhnya didasarkan pada agama.
Untuk sebagian kebudayaan juga terus ditantang oleh ilmu pengetahuan, moralitas secular, serta
pemikiran kritis. Meskipun tidak dapat disamakan, agama dan kebudayaan dapat saling
mempengarui. Agama mempengaruhi system kepercayaan serta praktik-praktik kehidupan.
Sebalikny akebudayaan pun dapat mempengaruhi agama, khususnya dalam hal bagaimana agama di
interprestasikan/ bagaimana ritual-ritualnya harus dipraktikkan. Tidak ada agama yang
bebas budaya dan apa yang disebut Sang Illahi tidak akan mendapatkan makna manusiawi yang
tegas tanpa mediasi budaya, dlam masyarakat Indonesia saling mempengarui antara agama dan
kebudayaan sangat terasa. Praktik inkulturasi dalam upacara keagamaan hamper umum dalam
semua agama.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia yang
berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan
berkembang. Hasil akal, budi rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang
bersifat universal berkembang menjadi sebuah peradaban.

Sejarah Islam mencatat bahwa perkembangan kebudayaan dalam Islam diawali dari periode
klasik dan mencapai masa kejayaan pada dinasti Abbassiyah dan kemudian mengalami masa
kemunduran pada abad pertengahan, diantara penyebabnya adalah pada saat itu umat Islam terlena
oleh kemewahan yang bersifat material dan tidak mau melanjutkan tradisi keilmuan yang diwariskan
oleh para ulama besar masa klasik dan pertengahan.

Masjid sebagai pusat pembinaan umat Islam mempunyai dua fungsi pokok, yaitu :

1. sebagai pusat ibadah ritual dan


2. sebagai pusat ibadah sosial. Sebagai pusat ibadah ritual berarti menyangkut hubungan vertikal
(dengan Allah) dan sebagai pusat ibadah sosial artinya hubungan manusia dengan manusia yang
lainnya, hidup saling tolong menolong dan bergotong royong memajukan agama dan bangsa.

Daftar Pustaka

Al Faruqy, ismail R, 2001. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang,
Bandung; Mizan

Asyari, Musa, 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al Qur’an. Yogyakarta; LESFI

Ghazalba, Sidi, 1998. Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta; Pustaka Antara

Nasution, Harun, 1986. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta; Bulan Bintang

Wahyuddin, dkk. 2009. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi. Jakarta; PT
Gramedia.

You might also like