You are on page 1of 21

Ujian Tengah Semester

Kebijakan Moneter

Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap


Industri Alas Kaki di Indonesia

Ririe Rachmania 041624353025

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
BAB 1
Pendahuluan

1.1 Latar belakang


Industri alas kaki merupakan salah satu industri yang menjanjikan bagi
pertumbuhan perekonomian Indonesia karena memiliki potensi untuk berkembang lebih
besar dengan melihat adanya pertumbuhan mode dan juga pertumbuhan penduduk
dunia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Peraturan
Presiden No. 7 tahun 2005), Industri alas kaki merupakan salah satu prioritas yang
dikembangkan Pemerintah. Menurut Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
mengatakan bahwa sektor industri alas kaki dalam negeri menduduki peringkat ke-5
sebagai eksportir dunia, dengan 4,4 persen dimana produk alas kaki Indonesia unggul
setelah China, India, Vietnam, dan Brasil. Industri alas kaki, produk kulit, dan pakaian
tercatat berkontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian nasional dengan capaian
produk domestik bruto (PDB) kelompok industri ini meningkat dari Rp31,44 triliun
pada 2015 lalu menjadi sebesar Rp35,14 triliun pada 2016 atau menyumbang sekitar
0,28 persen terhadap penerimaan negara (Nababan, 2017).
Selain untuk memenuhi kebutuhan ekspor, potensi pertumbuhan industri alas
kaki juga dipengaruhi oleh adanya pertumbuhan permintaan dalam negeri, terutama
kelas menengah. Seperti yang ditulis oleh Sony Hendra Permana (2017) dalam bulletin
APBN, berdasarkan survey yang dilakukan Boston Consulting Group, pada tahun 2012
jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 74 juta jiwa dan diperkirakan akan
meningkat sangat besar menjadi 141 juta di tahun 2020. Hal ini menjadi pasar yang
sangat potensial yang dapat dikembangkan oleh Industri sepatu dan alas kaki nasional.
Sebagai sebuah industri yang potensial dan menjadi prioritas, tentunya industri ini
mempengaruhi pendapatan negara. Perkembangan Industri Alas Kaki ini ditunjang
dengan kuantitas eksport yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, seperti
yang ditunjukkan pada tabel 1.1 yang memperlihatkan adanya tren positif dari industri
alas kaki ini.
Year Shoe Export YoY
Growth
2016¹ $4.8 billion +5.6%
2015 $4.5 billion +2.3%
2014 $4.4 billion +13%
2013 $3.9 billion +11%
2012 $3.5 billion +6%
2011 $3.3 billion +32%
2010 $2.5 billion -

Tabel 1.1 Jumlah pertumbuhan jumlah ekspor sepatu dari tahun 2010 – 2016 (Sumber:
kemerindag.co.id)

Menurut Weiss dalam bukunya, Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan


pertumbuhan PDB akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi, dari
ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama kearah ekonomi modern
yang didominasi oleh sektor-sektor non primer, khususnya industri manufaktur
(Widyasari, 2015). Industri alas kaki merupakan bagian dari sektor non-primer yang
terus tumbuh terutama pada jumlah ekspor ke luar negeri. Terdapat enam negara
destinasi utama untuk Industri alas kaki di Indonesia yaitu, USA, Belgia, Jerman,
Inggris, Jepang, dan China. Bahkan di Amerika, 28,2% dari Industri sepatu merupakan
produk ekspor dari Indonesia (Global Business Guide Indonesia, 2016). Namun,
penjualan pada pasar domestic tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekspor.
Berdasarkan Aprisindo, penjualan sepatu di pasar domestik jatuh hingga 20% di tahun
2016. Namun, Kementerian Perindustrian mengatakan bahwa Industri non-primer
seperti Industri alas kaki, produk kulit, dan pakaian menjadi sektor strategis dan
menjadi prioritas untuk terus dikembangkan. Pencapaian tersebut dilihat melalui
capaian PDB kelompok industri alas kaki ini yang naik dari Rp31,44 triliun pada tahun
2015 menjadi Rp35,14 triliun atau 0,28% dari penerimaan negara di tahun 2016 (CNN
Indonesia, 2017).
Industri alas kaki, kulit dan tekstil merupakan industri yang diprioritaskan di
Indonesia karena kontribusinya terhadap PDB negara yang cukup signifikan dan selalu
mengalami kenaikan. Hal itu bisa dilihat di grafik 2.2 yang menunjukkan bahwa
industri alas kaki mengalami pertumbuhan dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi.

Grafik 1.2 PDB Industri kulit dan alas kaki (Sumber IndoAnalisis Research hingga
Maret 2017)

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia


mencapai angka 5,02%. Angka pertumbuhan ini naik sebesar 0,26% dibandingkan
pertumbuhan tahun 2015 lalu yang sebesar 4,79%. Ini menunjukan bahwa ada
perbaikan dari kinerja ekonomi Indonesia yang memberikan harapan besar pada
pertumbuhan di tahun 2017 ini. Sehingga, pergerakan ekonomi menjadi lebih optimis
dan para pelaku bisnis dapat lebih semangat di tahun 2017. Bila pertumbuhan ekonomi
naik sebesar 0,26%, industri alas kaki dan barang dari kulit tumbuh lebih dari dua
kalinya yaitu naik 4,1%. Dari pertumbuhan hanya 4% di tahun 2015, naik menjadi 8,1%
pada tahun 2016. Secara total, pertumbuhan industri alas kaki dan barang dari kulit naik
sebesar 1,9 triliun rupiah. Dari nilai sebelumnya 23,8 miliar rupiah pada tahun 2015
menjadi 25,8 miliar rupiah pada tahun 2016. Kenaikan ini jelas memberikan harapan
yang besar bagi para pelaku industri alas kaki dan barang dari kulit.
Selain itu, Industri alas kaki memiliki penyerapan kerja dalam jumlah besar karena
pada hakikatnya, industri alas kaki membuka peluang besar karena merupakan industri
padat karya. Industri alas kaki berkaitan erat dengan industri pendukung lainnya,
misalnya: industri kulit sintetis, industri penyamakan kulit, industri karet untuk sol
sepatu, dan industri lem. Menurut Kementerian Perindustrian, IKM alas kaki mampu
menyerap cukup banyak tenaga kerja, dengan karakteristik jumlah pekerja di setiap satu
unit usaha sekitar 1-19 orang. Berdasarkan data BPS pada Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia 15 (KBLI-15), IKM alas kaki tergabung dalam kelompok IKM
penyamakan kulit dan produk kulit. Data tahun 2010, menunjukkan, kelompok usaha
tersebut berjumlah 32.910 unit dengan jumlah penyerapan tenaga kerja mencapai
114.495 orang di seluruh Indonesia (Kemenperin, 2017). Ptenaga kerja pada masing-
masing sektor, sebanyak 51 persen terserap di IKM alas kaki, disusul 46 persen di IKM
produk dari kulit dan sisanya 3 persen di IKM penyamakan kulit.
Berkaitan dengan potensi yang dimiliki industri sepatu, Industri ini masih memiliki
permasalahan mendasar yaitu dimana sebagian besar bahan baku, bahan lain dari
industri alas kami masih harus diimpor. Kebutuhan bahan baku untuk industri kulit
sendiri hanya dapat dipenuhi dari dalam negeri sebesar 36 persen dari kapasitas industri
penyamakan nasional. Tentunya, dibutuhkan suatu kebijakan pemerintah yang
mendukung baik dari sektor hulu maupun hilir, salah satunya adalah kebijakan fiscal.
Kebijakan yang akan mempengaruhi hal tersebut adalah mengenai tata niaga impor dan
peraturan ekspor untuk kulit mentah sebagai bahan baku industri. Kebijakan yang bisa
memberikan kemudahan impor kulit dari seluruh negara dengan memperhatikan aspek
keamanan. Selain itu, perlu juga untuk menganalisis bea keluar ekspor untuk kulit yang
dimana diatur pada Peraturan Menteri Keuangan nomo 40 tahun 2016, sehingga
pengusaha kulit domestik menyalurkan hasilnya pada industri dalam negeri.
Melihat potensi yang dimiliki industri alas kaki, menunjukkan bahwa Pemerintah
seharusnya memiliki kebijakan-kebijakan (moneter dan fiscal) yang mendukung
perkembangan industri, terutama berkaitan dengan meningkatkan ekspor. Pemerintah
sendiri sebenarnya sudah memiliki beberapa kebijakan fiskal untuk mendorong
pertumbuhan industri alas kaki seperti penerapan SNI Wajib, P3DN, dan pengaturan
tata niaga untuk impor produk barang. Selain itu terdapat kebijakan berkenaan dengan
pajak seperti insentif pajak untuk Industri padat karya dan kebijakan pengurangan pajak
PPH 21 untuk meningkatkan produksi Industri Padat Karya.
Kebijakan fiskal diakui banyak bermanfaat dalam meningkatkan perekonomian,
terutama pada saat perekonomian mengalami pelambatan (Hermawan, 2016).
Kebijakan fiskal yang berlandaskan pada pengeluaran pemerintah dan pengenaan pajak
memberikan stimulus terhadap perekonomian suatu negara. Demikian juga dengan
Indonesia, kebijakan fiskal di bawah komando presiden telah melakukan berbagai
kebijakan dalam mengawal perekonomian menuju tingkat keseimbangan dengan
pertumbuhan ekonomi tertinggi. Makalah ini akan membahas dan menganalisis
berbagai kebijakan Pemerintah terutama yang berkaitan dengan fiskal terhadap
perkembangan Industri Alas Kaki di Indonesia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kebijakan Fiskal


Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi untuk mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan
pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi
makro yang otoritas utamanya berada di tangan pemerintah dan diwakili oleh
Kementerian Keuangan. Hal tersebut diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menyebutkan bahwa presiden
memberikan kuasa pengelolaan keuangan dan kekayaan negara kepada Menteri
Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil pemerintah dalam pemilikan kekayaan
negara yang dipisahkan. Kebijakan fiskal memiliki berbagai tujuan dalam
menggerakkan aktivitas ekonomi negara, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi,
kestabilan harga,pemerataan pendapatan.
Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar
pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini didasarkan atas
pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang terhadap tingkat bunga kecil
sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak. Kebijakan fiskal yang ekspansif akan
menggeser kurva IS kekanan sehingga output meningkat. Sedangkan ekspansi moneter
dengan penambahan jumlah uang beredar pada kurva IS yang tetap tidak akan
berpengaruh terhadap output. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih
efektif dibandingkan dengan kebijakan moneter.
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada
ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan
meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya, kenaikan
pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara
umum. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai
kebijakan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin,
2000). Kebijakan fiskal merupakan pilihan pemerintah terkait tingkat pengeluaran dan
pajak. Kebijakan Fiskal juga merupakan sarana untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi yang pada akhirnya mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Menurut
Nopirin (2000), kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran pengeluaran
pemerintah atau perpajakkan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan
permintaan agregat. Indikator yang biasa dipakai adalah budget deficit yakni selisih
antara pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan
terutama dari pajak.
Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Dalam
menjalankan kebijakan fiskal, pemeirntah ingin mempengaruhi jalannya perekonomian
dan berusaha mencapai keadaan yang diinginkan pemerintah. Dengan melalui
kebijakan fiskal, Pemerintah dapat mempengaruhi tingkat pendapatan nasional, dapat
mempengaruhi kesempatan kerja, dapat mempengaruhi tinggi rendahnya investasi
nasional, dan dapat mempengaruhi distribusi penghasilan nasional. Tujuan yang
hendak dicapai adalah mengurangi gejolak atau naik turunnya kegiatan ekonomi dari
waktu ke waktu dan bertujuan untuk menciptakan suatu tingkat kegiatan ekonomi
dengan tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi serta terhindar dari masalah
inflasi, sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi yang diharapkan

2.2 Dampak Kebijakan Fiskal pada sektor Industri


Salah satu variabel tolok ukur kemajuan suatu negara adalah pertumbuhan
perekonomian. Jika perekonomian suatu negara stabil maka dapat dikatakan negara
tersebut maju, sebaliknya jika keadaan perekonomian suatu negara terpuruk maka
negara tersebut belum dapat dikatakan sebagai negara maju. Dalam beberapa tahun
terakhir, kondisi ekonomi nasional sedang dihadapkan pada berbagai tantangan yang
cukup berat karena volatilitas dan uncertainty perekonomian global. Menghadapi hal
tersebut, Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki strategi yang tepat untuk
mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi. Selain kebijakan moneter, kebijakan
fiskal juga memiliki peranan penting dalam menstabilkan kondisi ekonomi dan
menciptakan kegiatan ekonomi domestik untuk lebih baik. Kebijakan fiskal memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian seperti yang diungkapkan oleh
Keynes (Yunanto, 2015). Menurut Surjaningsih (dalam Yunanto, 2015) mengatakan
bahwa kebijakan fiskal akan berinteraksi dengan kebijakan moneter untuk mengelola
stabilitas makro ekonomi. Kebijakan fiskal umumnya merepresentasikan pilihan-
pilihan pemerintah dalam menentukan besarnya jumlah pengeluaran atau belanja dan
jumlah pendapatan, yang secara eksplisit digunakan untuk mempengaruhi
perekonomian (Subiyantoro,2004).
Pilihan-pilihan tersebut diketahui sebagai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Namun terkadang dalam praktiknya, APBN digunakan untuk
keperluan yang kurang produktif. Selain APBN, kebijakan fiskal juga mengatur
bagaimana menggunakan instrument pajak secara optimal. Selama ini, pajak dilihat
sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan negara. Padahal, di
beberapa negara maju seperti Amerika, China pajak bukan menjadi satu-satunya
pendapatan utama negara. Pemberian insentif pajak seperti pengurangan tarif PPh, tax
holidays (income yang tidak dikenakan PPh untuk suatu periode tertentu), investment
allowances dan tax credits (pengurangan pajak didasarkan atas jumlah investasi)
terbukti mendongkrak pendapatan negara.
Salah satu yang harus diberikan perhatian adalah sektor industri dan
infrastruktur yang merupakan elemen penting dalam pertumbuhan ekonomi dan juga
berkaitan pada stabilitas perekonomian domestik. Untuk mewujudkan proses
pembangunan ekonomi diperlukan pertumbuhan eknomi yang berkelanjutan salah
satunya dala proses peningkatan produksi barang dan jasa, salah satunya adalah
industri manufaktur. Menurut Perpres mengenai Kebijakan Industri Nasional, terdapat
beberapa industri yang menjadi prioritas di tahun 2015-2019 yaitu Industri pangan,
Industri Farmasi Kosmetik dan Alat Kesehatan, Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki dan
Aneka; Industri Alat Transportasi; Industri Elektronika dan Telematika (ICT); Industri
Pembangkit Energi; Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong dan Jasa
Industri; Industri Hulu Agro; Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam;
dan Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara.
Peran sektor Industri sendiri merupakan sektor yang dapat mempengaruhi
perkembangan pendapatan negara pada saat ini. Industrialisasi telah menjadi sebuah
usaha bagi industri untuk memenuhi permintaan yang semakin bertambah, sehingga
perusahaan-perusahaan akan menambah produksinya dan menyebabkan pendapatan
nasional riil menjadi meningkat pula. Sehingga penting pula untuk mengetahui
seberapa besar anggaran APBN yang dianggarkan untuk pengembangan Industri
manufaktur dengan beberapa industri yang menjadi prioritas, salah satunya adalah
industri alas kaki. Industri alas kaki sendiri memberikan kontribusi PDB yang cukup
besar yaitu Rp35,14 triliun dengan menjadi lima besar eksportir terbesar di dunia.
Sehingga melihat potensi ini, kebijakan Pemerintah diperlukan untuk mendukung agar
industri Alas Kaki di Indonesia menjadi lebih baik dan terus meningkat.

2.3 Industri Alas Kaki di Indonesia


Industri alas kaki merupakan salah satu industri yang tentunya menjanjikan
bagi Indonesia di masa yang akan datang untuk menunjang perekonomian Indonesia.
Pemerintah saat ini fokus untuk menggalakkan ekspor dalam sektor non migas maka
industri alas kaki menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan. Sesuai
perkembangan zaman, dimana perdagangan bebas lebih mengisyaratkan kemunculan
liberasi khususnya dibidang perekonomian menuntut pemerintah Indonesia dalam hal
ini Departemen perindustrian yang mempunyai otoritas untuk memberikan kontribusi
terhadap perkembangan industri dan perdagangan dalam hal ini khususnya Alas kaki
agar dapat eksis menghadapi pasar bebas dan mampu berkompetisi di era perdagangan
bebas.
Industri sepatu di Indonesia sangat berkembang di beberapa dekade terakhir.
Terhitung dari toko kecil hingga pabrik besar yang membuat sepatu dengan merek
terkenal di dunia. Industri Alas Kaki di Indonesia sendiri mengalami kenaikan dan
penurunan. Produksi massal Industri Alas Kaki dimulai pada tahun 1970 dimana sejak
saat itu Industri terus bergerak. Menurut Kemerindag (2012),pada tahun 1990
Indonesia telah melakukan ekspansi untuk ekspor produk-produk alas kaki dan
menjadi salah satu eksporter terbesar di dunia. Hal ini ditunjang beberapa faktor yaitu
buruh yang murah dan juga kebijakan pemerintah yang suportif. Salah satu perusahaan
sepatu dari Ceko yaitu Bata, membuka pabriknya di Indonesia sekitar 1950-an dan
masih menjadi salah satu merek yang terbaik di Indonesia.
Pada tahun 1988, Industri Alas Kaki di Indonesia didukung dengan
pembentukan Aprisindo (Asosiasi Persepatuan Indonesia) dimana menyuarakan
kebutuhan-kebutuhan industri dan memfasilitasi para pelaku industri dengan
pemangku kebijakan. Aprisindo merupakan salah satu asosiasi industri alas kaki atau
sepatu di Indonesia. Aprisindo berdiri pada tanggal 7 Juli 1988, dalam rapat yang
dilaksanakan oleh 23 perusahaan yang bergerak di bidang industri sepatu yang berasal
dari Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan untuk membentuk suatu wadah
organisasi bersama atau asosiasi yang kemudian dinamakan Asosiasi Persepatuan
Indonesia atau disingkat Aprisindo Maksud didirikannya Aprisindo adalah untuk
meningkatkan industri sepatu dan kerja sama antara Asosiasi dan anggota-anggotanya
dalam peningkatan target atau sasaran ekspor sepatu Indonesia dengan membentuk tiga
kerangka operasional yaitu bidang teknologi dan sumber daya manusia, hukum dan
legal, serta marketing dan pengembangan usaha.
Industri Alas Kaki di Indonesia mulai mengalami perkembangan yang pesat
pada tahun 1990 hingga 2000. Industri Alas Kaki di Indonesia bisa jadi salah satu yang
terbaik di dunia karena industri ini berorientasi pada ekspor. Indonesia dapat ekspor
sebanya 20 kali lipat daripada sepatu yang impor. Industri ini memiliki banyak pelaku
bisnis dari toko-toko yang kecil hingga pabrik yang besar dengan merek yang terkenal.
Beberapa merek terkenal seperti Bata, Ecco, Nike, dan masih banyak lagi memutuskan
untuk mendirikan pabrik di Indonesia.
Selain pabrik-pabrik besar, Industri Alas Kaki di Indonesia juga diramaikan
oleh pelaku-pelaku industri kecil yang tersebar di berbagai daerah, yang terkenal
seperti Cibaduyut di Bandung, Tanggulangin di Sidoarjo, Yogyakarta, dan masih
banyak kota-kota lain yang terkenal dengan industri Sepatu Kulit. Pemerintah sendiri
juga memberikan dukungan yang cukup besar pada industri ini, salah satunya dengan
mendirikan BPIPI (Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia) sebagai
komitmen dalam mewujudkan industri Alas Kaki yang terbaik di dunia.
Berdirinya Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI)
diawali dengan ide dari 4 (empat) stakeholder; Deperindag RI, Pemprov Jatim,
Pemkab Sidoarjo, dan Aprisindo (Asosiasi Persepatuan Indonesia) untuk mendirikan
lembaga yg bergerak khusus dibidang persepatuan.Pada tahun 2003, Pemerintah Italia
dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili Dirjen IDKM Departemen Perindustrian
Republik Indonesia pada tanggal 30 Januari 2003 mendirikan Pusat Pelayanan
Persepatuan Indonesia yang diberi nama Indonesian Footwear Service Centre (IFSC).
Lalu pada tahun 2008 , berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian RI nomor 103/M-
IND/PER/12/2008 Indonesian Footwear Service Centre (IFSC) ganti nama menjadi
Balai Pengembangan Perindustrian Persepatuan Indonesia (BPIPI).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dikatakan bahwa
sektor industri alas kaki dalam negeri menduduki peringkat ke-5 sebagai eksportir
dunia, dengan 4,4 persen dimana produk alas kaki Indonesia unggul setelah China,
India, Vietnam, dan Brasil. Industri alas kaki, produk kulit, dan pakaian tercatat
berkontribusi cukup signifikan terhadap perekonomian nasional dengan capaian
produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp35,14 triliun pada 2016 atau menyumbang
sekitar 0,28 persen terhadap penerimaan negara (Nababan, 2017). Industri Alas Kaki
sangat menjanjikan dan harus menjadi perhatian Pemerintah sesuai dengan Perpres
mengenai Kebijakan Industri Nasional, sebagai salah satu industri yang menjadi
prioritas di tahun 2015-2019.
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Potensi Industri Alas Kaki


Industri alas kaki dapat diandalkan sebagai salah satu potensi untuk menanggulangi
masalah pengangguran karena telah banyak menyerap tenaga kerja. Kunci utama dari
permasalahan industri manufaktur semacam industri alas kaki ini adalah daya saing
(competitiveness) yang dimana sebagian besar faktor penyebabnya berasal dari segi
internal (Wicaksono, 2016). Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No.63/M-
IND/PER/7/2011, Kementerian Perindustrian adalah Kementerian yang memiliki
wewenang dalam memina dan merumuskan kebijakan Industri Alas Kaki Indonesia.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan bahwa sektor industri alas kaki
dalam negeri menduduki peringkat ke-5 sebagai eksportir dunia, dengan 4,4 persen
dimana produk alas kaki Indonesia unggul setelah China, India, Vietnam, dan Brasil.
Industri alas kaki, produk kulit, dan pakaian tercatat berkontribusi cukup signifikan
terhadap perekonomian nasional dengan capaian produk domestik bruto (PDB)
kelompok industri ini meningkat dari Rp31,44 triliun pada 2015 lalu menjadi sebesar
Rp35,14 triliun pada 2016 atau menyumbang sekitar 0,28 persen terhadap penerimaan
negara.
Produk alas kaki Indonesia sudah berkembang pesat di negara-negara ASEAN.
Singapura adalah negara tujuan terbesar produk ekspor alas kaki Indonesia karena
Singapura termasuk negara yang sangat mudah melakukan bisnis, maka dari itu
Singapura memilih mengimpor produk alas kaki Indonesia dengan harga yang cukup
terjangkau untuk nantinya dijual kembali di Singapura atau ke negara lain. Secara tidak
langsung Indonesia mendapat keuntungan yang cukup besar karena kerjasamanya
dengan Singapura (Bendesa, 2014). Negara- negara yang menjadi pasar utama dalam
kegiatan ekspor alas kaki Indonesia antara lain Amerika Serikat, Belanda, Belgia,
Jepang, Jerman dan Itali. Namun dari keseluruhan negara tersebut, Amerika Serikat
merupakan negara yang menjadi tujuan utama kegiatan ekspor Indonesia. hal ini lebih
disebabkan karena besarnya kontribusi dari nilai ekspor alas kaki Indonesia yang cukup
tinggi ke negara tersebut dibandingkan nilai ekspor ke negara lainnya.
Melihat potensi pasar global tersebut, seharusnya kesempatan Industri Alas Kaki
nasional semakin terbuka dalam bersaing di pasar global dengan mengikuti kaidah
perdagangan dan ekonomi, yaitu kualitas yang tinggi, harga yang bersaing dengan
penyerahan barang tepat waktu (Wicaksono, 2016). Diperlukan proses industrialisasi
pada industri Alas Kaki nasional dan beberapa hal yang sering muncul yaitu
produktivitas dan kebijakan perdagangan. Isu mengenai produktivitas sendiri harus
diatasi dengan program pengembangan teknologi yang disertai dengan peningkatan
kualitas SDM, adanya efisiensi produksi, serta adanya peningkatan standarisasi
produksi industri alas kaki. Disamping itu juga, perlu sinergi dari hulu ke hilir terutama
dalam penyediaan bahan baku industri.

3.2 Kebijakan Pemerintah terkait Industri Sepatu


Salah satu contoh kebijakan fiskal yang mendukung penyediaan bahan baku untuk
Industri Alas kaki adalah kenaikan bea ekspor bahan kulit. Pemerintah telah
menerapkan pajak ekspor progresif untuk produk kulit berdasarkan nilai tambahnya di
dalam negeri. Ekspor kulit mentah dikenai pajak 25%, ekspor kulit jenis wet blue
dikenai pajak 15%, sedangkan produk kulit jadi berbahan baku impor dikenai bea
keluar 5%. Sehingga, diharapkan kebijakan ini dapat meningkatkan ketersediaan bahan
baku kulit di Indonesia sehingga memajukan produksi sepatu kulit sehingga dapat
menaikkan ekspor ke pasar global (Kontan, 2016). Meskipun kebijakan tersebut tidak
dirasa signifikan oleh Aprisindo (Kontan, 2016), namun Pemerintah telah memberikan
komitmennya untuk mengatur kebijakan dalam rangka dukungan pada Industri Alas
Kaki agar terus berkembang.
Selain itu salah satu program pemerintah terbesar untuk sektor tersebut adalah Pusat
Layanan Alas Kaki Indonesia (IFSC) di Surabaya. IFSC bertujuan untuk memberikan
layanan kendali mutu, desain, litbang (R&D), konsultasi, dan informasi pasar. Saat ini
IFSC telah berganti nama menjadi BPIPI. Berdirinya Balai Pengembangan Industri
Persepatuan Indonesia (BPIPI) diawali dengan ide dari 4 (empat) stakeholder;
Deperindag RI, Pemprov Jatim, Pemkab Sidoarjo, dan Aprisindo (Asosiasi
Persepatuan Indonesia) untuk mendirikan lembaga yg bergerak khusus dibidang
persepatuan. Bekerjasama dengan Italia, maka didirikan Pusat Pelayanan Persepatuan
Indonesia yang diberi nama Indonesian Footwear Service Centre (IFSC) yang dimana
pada tahun 2008 , berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian RI nomor 103/M-
IND/PER/12/2008 Indonesian Footwear Service Centre (IFSC) ganti nama menjadi
Balai Pengembangan Perindustrian Persepatuan Indonesia (BPIPI).
Baru-baru ini di tahun 2017, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) yang memberikan diskon 50% bagi perusahaan alas kaki dan tekstil yang
membayarkan pajak penghasilan PPh pegawainya. Aturan teknis itu tertera dalam
PMK Nomor 40/PMK.03/2017 tanggal 10 Maret 2017 tentang Tata Cara Pelaporan
dan Penghitungan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Pegawai
dari Pemberi Kerja dengan Kriteria Tertentu. Sementara ketentuan diskon 50%
tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2015 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Pegawai dari Pemberi Kerja
Dengan Kriteria Tertentu, yang terbit pada 17 Oktober 2016. (Kontan, 2017).
Potongan tariff PPh pasal 21 berlaku untuk pengasilan kena pajak (PKP) dengan
jumlah tidak lebih dari Rp 50 juta setahun yang dimana PP tersebut dibuat pemerintah
untuk meningkatkan daya saing industri alas kaki dan TPT yang berorientasi ekspor.
Dalam PP dam PMK terkait, pemerintah menetapkan sejumlah persyaratan bagi
perusahaan pemberi kerja di bidang industri alas kaki, tekstil dan produk tekstil (TPT)
yang berhak atas fasilitas keringanan PPh 21, yakni:

1. Mempekerjakan minimal 2 ribu pegawaoi


2. Menanggung PPh 21 pegawai
3. Melakukan ekspor minimal 50% dari total penjualan tahunan pada tahun
sebelumnya
4. Memiliki perjanjian kerja bersama
5. Mengikutsertakan pegawai dalam BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
6. Tidak sedang menikmati fasilitas keringanan pajak lainnya.

Selain itu terkait dengan bahan baku yang selalu menjadi permasalahan Industri
Alas Kaki, Pemerintah Indonesia membebaskan kewajiban karantina produk kulit jadi
impor melalui Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor
870/KPTS/OT.050/K/6/2017 tentang Daftar Barang Larangan dan/atau Pembatasan
Karantina Pertanian atas Ekspor dan Impor yang dihapus dari Portal INSW (Indonesia
National Single Window). Aturan ini terbit pada 8 Juni 2017 dan mulai berlaku efektif
pada Juli 2017 (Bisnis Indonesia, 2017). Sebelumnya, aturan ini sangat ketat dimana
kebijakan karantina ini dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 1997
tentang Karantina Bahan Baku Kulit, menyebabkan pelaku industri penyamakan kulit
kesulitan untuk mendapatkan bahan baku melalui impor. Impor kulit hanya
diperbolehkan dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku sehingga
harganya sangat mahal dan harga produk hasil olahan industri kulit ikut mahal.
Bandingkan dengan negara-negara pesaing yang dapat mengimpor bahan baku dari
seluruh dunia kemudian hasil olahannya diekspor ke Indonesia. Hal ini menjadi
mengurangi daya saing produk hasil olahan industri kulit domestik

3.3 Tantangan Industri Alas Kaki


Beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah seperti: pengenaan Pajak Ekspor
(PE) terhadap kulit mentah dan setengah jadi guna mengamankan pasokan bahan baku
(kulit) untuk industri alas kaki, serta menaikkan tarif bea masuk alas kaki melalui
pengaturan Nomor Pokok Importir Khusus (NPIK) dalam rangka pengamanan dan
pengembangan pasar dalam negeri, tampaknya belum memberikan manfaat yang
signifikan bagi perkembangan industri alas kaki nasional. Belum tuntasnya berbagai
permasalahan internal tersebut di atas, kini para pelaku usaha kecil dan industri rumah
tangga alas kaki juga harus dihadapkan dengan berbagai efek dari kesepakatan
Indonesia dan perdagangan bebas CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement).
CAFTA merupakan salah satu kawasan perdagangan bebas terbatas yang berlaku sejak
tahun 2010. Selain itu juga dipengaruhi oleh AFTA (ASEAN Free Trade Agreement)
yang juga memaksa Industri Alas Kaki meningkatkan daya saing.
Untuk menghadapi perdagangan bebas, hendaknya pemerintah memberlakukan
Konsep Kebijakan Perdagangan Strategis (Strategic Trade Policy) dimana kebijakan
pemerintah untuk menciptakan keunggulan komparatif dalam perdagangan dengan
berbagai cara seperti pemberian subsidi pada kegiatan penelitian dan pengembangan
suatu produk hingga mencapai tingkat efisiensi produksi yang lebih baik sehingga dapat
memberi usulan dalam pembuatan kebijakan perdagangan strategis kepada pemerintah.
Perdagangan strategis akan lebih ditunjang dengan adanya daya saing yang kuat, maka
dalam menangani masalah ini, perlu adanya konsep daya saing. Dimana konsep ini
terdiri dari dua bagian, yaitu konsep keunggulan komparatif dan keunggulan bersaing.
Tentunya kedua bagian konsep ini sangat mendukung dalam permasalahan ini, dimana
persaingan industry alas kaki perlu adanya keunggulan komparatif, yang mana industry
alas kaki perlu mengadakan berbagai inovasi produk, serta tak lupa perlu penerapan
pula konsep keunggulan bersaing, yang akan menjawab bagaimana sebuah produk bisa
menguasai pasar dengan produksi-produksi terbaik dan teknologi terdepan dalam
industrinya
Permasalahan bahan baku juga masih menjadi permasalahan utama. Salah satu
contohnya adalah pada produksi sepatu kulit dimana industri kulit dalam negeri hanya
mampu memasok 30% dari total kebutuhan industri alas kaki (Bisnis Indonesia, 2017).
Hal ini dikarenakan kemampuan produksi hewan potong memang masih sedikit, di lain
sisi untuk aksesori alas kaki juga masih jauh dari cukup untuk menjamin ketersediaanya
karena sebagian besar masih harus mengimpor. Berdasarkan catatan Kemenperin, saat
ini terdapat 396 industri alas kaki besar dan IKM dengan utilisasi pabrikan sebesar
80%. Kementerian menargetkan kapasitas terpakai pada akhir tahun ini dapat mencapai
85%.
Kebijakan yang perlu dilakukan perbaikan salah satunya adalah tata niaga impor
dan peraturan ekspor untuk kulit mentah sebagai bahan baku industri kulit. Industri
kulit, sepatu/alas kaki, dan aneka merupakan industri yang saling terkait. Hasil produksi
industri penyamakan kulit digunakan sebagai bahan baku industri sepatu/ alas kaki dan
industri barang dari kulit lainnya seperti dompet, tas, koper, dan lain-lain. Namun
demikian, bahan baku industri penyamakan kulit yang berupa kulit hewan masih
mengalami permasalahan kontinuitas pasokan baik dari dalam negeri maupun impor.
Saat ini kebutuhan kulit sapi untuk industri di Indonesia mencapai 20 juta
lembar kulit sapi per tahun. Sementara itu pasokan dari dalam negeri hanya sebanyak 5
juta ekor sapi per tahun. Dengan demikian kebutuhan bahan baku yang dapat dipenuhi
dari dalam negeri hanya sebesar 35 persen sehingga pasokan bahan baku kulit perlu
dipenuhi dari impor (Permana, 2017). Di sisi lain, Indonesia juga masih melakukan
ekspor kulit mentah ke negara lain sementara pasokan dari dalam negeri masih kurang.
Sepanjang tahun 2013 saja ekspor kulit sapi mencapai 1,1 juta lembar, kulit kambing
500 ribu lembar, dan kulit domba 450 ribu lembar.
Kebijakan yang diperlukan dapat berupa pemberian kemudahan impor kulit dari
seluruh negara dengan tetap memperhatikan aspek keamanan. Selain itu juga perlu
dilakukan kajian lebih lanjut untuk menaikkan bea keluar ekspor untuk kulit
sebagaimana saat ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40 Tahun 2016.
Dengan adanya kenaikan bea keluar ekspor kulit mentah diharapkan pengusaha kulit
domestik dapat menyalurkan hasilnya ke industri dalam negeri. Dengan demikian
ketergantungan bahan baku terhadap impor, khususnya industri sepatu dan alas kaki
dapat dikurangi. Sehingga dengan ketersediaan bahan baku, tentunya bisa
meningkatkan produksi Alas Kaki dan meningkatkan ekspor dan menguasai pasar
global.
Melihat Industri Alas Kaki memiliki keunggulan komparatif upah buruh murah
namun tingkat daya kerjanya masih lemah sehingga peningkatan kapasitas teknologi
mutlak dibutuhkan demi mengejar efisiensi. Dengan demikian kebijakan yang
mendukung daya saing sangat dibutuhkan industri Alas Kaki sehingga kegiatan ekspor
dapat ditunjang. Jika nilai ekspor suatu negara cenderung meningkat maka akan
mempengaruhi peningkatan penduduk yang bekerja dan peningkatan PDB. Kesempatan
kerja yang tinggi akan menimbulkan pengeluaran yang melebihi kemampuan ekonomi
untuk mengeluarkan barang dan jasa (Ashraf, 2013). Dengan adanya Produk Domestik
Bruto (PDB), maka dapat dilihat seberapa besar peran industri dalam negeri. Sehingga
dengan menempatkan Industri Alas Kaki sebagai prioritas Pemerintah, kebijakan yang
dilakukan Pemerintah seharusnya berkomitmen membuat kebijakan-kebijakan yang
mendukung produktivitas Industri Alas Kaki. Pemerintah hendaknya melakukan
kebijakan yang mendukung pengusaha dalam mempertahankan kualitas dan kuantitas
produk alas kaki Indonesia serta melakukan pengembangan yang lebih inovatif lagi
untuk produk alas kaki Indonesia agar produktivitasnya lebih tinggi sehingga ke
depannya mampu bersaing lebih baik dengan negara-negara ASEAN lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bisnis Indonesia 2017, Industri Alas Kaki Terbelit Pasokan Bahan Baku, diakses dari
http://industri.bisnis.com/read/20170904/257/686941/industri-alas-kaki-terbelit-
pasokan-bahan-baku

Badan Pusat Statistik 2017, diakses dari http://bps.go.id

Balai Perindustrian Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) 2017, diakses dari


http://bpbpi.co.id

CNN Indonesia, Mei 2017, Produk Alas Kaki Indonesia Kuasai Pangsa Pasar ke-5 di
Dunia diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170521212945-92-
216231/produk-alas-kaki-indonesia-kuasai-pangsa-pasar-ke-5-di-dunia/ pada 10
November 2017.

Global Business Guide Indonesia, 26th September 2016, Indonesia’s Footwear Industry: A
Preferred Production Base for Global Brands diakses dari
http://www.gbgindonesia.com/en/manufacturing/article/2016/indonesia_s_footwear
_industry_a_preferred_production_base_for_global_brands_11653.php

Indoanalisis, 2017, Ekspor Impor Industri Alas Kaki dari Kulit di Indonesia, diakses dari
http://indoanalisis.co.id/wp-content/uploads/2017/06/Daftar-Isi-dan-Contoh-isi-
Kinerja-Eskpor-Impor-Industri-Alas-Kaki-dari-Kulit.pdf

Hermawan, Wawan 2016, ‘Analisis Kebijakan Fiskal Dan Implikasinya Kepada


Perekonomian Indonesia: Analisis Keseimbangan Umum,’ QE Journal Vol.05 - No.
02 June 2016 diunduh dari
http://qe journal.unimed.ac.id/journal/index.php/QEJ/article/view/66

Kemenperin, 2017, Nilai Produksi IKM Alas Kaki Ditargetkan Rp 24 Triliun Tahun 2017,
diakses dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/16817/Nilai-Produksi-IKM-Alas-
Kaki-Ditargetkan-Rp-24-Triliun-Tahun-2017

Kementerian Perindustrian, 2011, Peraturan Menteri Perindustrian: Jenis-jenis Industri


dalam Pembinaan Direktorat Jendral dan Badan dilingkungan Kementerian
Perindustrian

Kontan 201, Pemerintah Terbitkan PMK Alas Kaki dan Tekstil diakses dari
http://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-terbitkan-pmk-alas-kaki-dan-tekstil

Nopirin 2000, Pengantar Ilmu Makro dan Mikro, BPFE-UGM, Yogyakarta


Permana, Sony Hendra 2017, ‘Meningkatkan Industri Sepatu/Alas Kaki Nasional’, Bulletin
APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI Edisi 8 Vol. II diunduh dari
http://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-
public-32.pdf

Subiyantoro dan Heru, 2004, Kebijakan Fiskal Pemikiran, Konsep, dan Implementasi,
PT.Kompas Media Nusantara, Jakarta

TREDA 2009, Indonesian Footwear: Step to The World Ministry of Trade Republic
Indonesia, Kementerian Perdagangan.

Wicaksono, Andono 2017, ‘Kebijakan Indonesia dalam Peningkatan Daya Saing Industri
Alas Kaki Menghadapi Acfta’, Skripsi, Universitas Airlangga

Widyasari, Deasy 2015, Analisis Industri Alas Kaki Di Dki Jakarta Tahun 2014 Dengan
Model ‘Porter’s Five Forces’ diunduh dari http://fe.budiluhur.ac.id/wp-
content/uploads/2015/11/5e_Deasy.pdf

Yunanto 2015, Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Sektor Industri, diakses dari
http://www.iseisby.or.id/attachments/article/180/Presentasi%20Yunanto.pdf

You might also like