Professional Documents
Culture Documents
“VERNAKULER”
NAMA KELOMPOK :
1. SAMUEL B. GRIMU
2. REGINA D. DARO
3. FLORA G. CHRISTIEN
4. PRILYANTO Y. DJARANJOERA
5. DIONISIUS D. SASI
6. JUNELD U. P. TUSI
7. MOZINHO A. L. PAREIRA
8. HERMAN R. N. R. UN
9. HENSON DILLAK
2.1 SOSIAL BUDAYA
Flores berasal dari Bahasa Portugis "Copa de Flores" yang berarti " Tanjung Bunga".
Yang diberikan pertama kali oleh S.M.Cabot untukpulau paling timur dari pulau. Nama
"Copa de Flores" ini secara resmi dipakai oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik
Brouwer sejak pada tahun 1636. " Tanjung Bunga" atau "Copa de Flores" sudah dipakai
hampir empat abad. Melalui sebuah studi yang cukup panjang dan mendalam Orinbao (1969)
nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang menghuni pulau ini terdiri dari berbagai
kelompok suku. Masing-masing suku menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata
sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989;
Taum, 1997b). Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, suku di Flores (Keraf, 1978;
Fernandez, 1996) adalah sebagai berikut:
Suku Manggarai - Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai,
Rajong, dan Mbaen);
Suku Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha,
Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio);
Suku Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang);
Suku Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan
Lamaholot Tengah);
Suku Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan).
Masyarakat Manggarai merupakan bagian dari enam kelompok etnis di Pulau Flores
seperti diuraikan di atas. Manggarai adalah bagian dari Manggarai-Riung. Dalam masyarakat
tradisional Manggarai terdiri dari 38 kedaluan (hameente), yakni: Ruteng, Rahong, Ndoso,
Kolang, Lelak, Wotong, Todo, Pongkir, Pocoleok, Sita, Torokgolo, Ronggakoe, Kepo,
Manus, Rimu, Welak, Pacar, Reho, Bari, Pasat, Nggalak, Ruis, Reo, Cibal, Lambaleda,
Congkar, Biting, Pota, Rembong, Rajong, Ngoo, Mburak, Kempo, Boleng, Matawae, Lo'o
dan Bajo. Dari setiap kedaluan terdapat mitos atau kisah kuno mengenai asal usul leluhurnya
dengan banyak kesamaan, yaitu bagaimana nenek moyangnya datang dari laut/seberang,
bagaimana nenek moyangnya turun dari gunung, menyebar dan mengembangkan hidup dan
kehidupan purbanya serta titisannya.
Manggarai Sampai Abad XIX Seperti daerah lain di NTT, juga mendapat pengaruh
pengembaraan dari orang-orang dari seberang, seperti Cina, Jawa, Bugis, Makasar, Belanda
dan sebagainya.
Pada tahun 1722, Sultan Goa dan Bima berunding. Hasil perundingan, daerah Manggarai
diserahkan kepada Sultan Bima sebagai mas kawin. Sementara itu, di Manggarai muncul
pertentangan antara Cibal dan Todo. Tak pelak, meletus pertempuran di Reok dan Rampas
Rongot atau dikenal dengan Perang Rongot, yang dimenangkan Cibal. Pertentangan antara
Cibal dan Todo, kemudian melahirkan Perang Weol I, Perang Weol II dan Perang Bea Loli
(Wudi). Selain Kesultanan Goa dan Bima, Kerajaan lain yang pernah berkuasa di Manggarai
adalah Kerajaan Cibal, Kerajaan Lambaleda, Kerajaan Todo, Kerajaan Tana Dena dan
Kerajaan Bajo
Pengaruh Belanda ada sejak adanya 3 kali ekspedisi Belanda ke Manggarai, yaitu tahun
1850,1890, dan tahun 1905. Pengaruh Belanda di Manggarai terutama pada didirikannya
sekolah-sekolah dan agama Katolik.
Batas Desa:
Titik koordinat:
Mata pencarian:
Petani : 432 KK
Pedagang : 45 KK
PNS : 8 KK
Buruh : 43 KK
TNI/POLRI : 2 KK
Fasilitas:
Posyandu 1 unit
Pustu 1 unit
Pendidikan masyarakat:
SD : 398 JIWA
SMP : 125 JIWA
SMA : 85 JIWA
D2/D3/S1 : 15 JIWA
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang telah
bertumbuh sejak dahulu. Keberadaan kampung adat di Indonesia masih belum banyak
diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam
bidang adat dan tradisi, dan merupakan satu kesatuan wilayah dimana para anggotanya secara
bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan tradisi yang ditata oleh suatu system
budaya.(surpha dalam Pitana 1994:139). Salah satu hal yang menjadi identitas sebuah
kampung adat adalah arsitektur vernakulernya. Arsitektur vernakular merupakan arsitektur
yang tumbuh dan berkembang dari rakyat, lahir dari masyarakat etnik, dan berakar pada
tradisi etnik tersebut.
Masyarakat kampung Ting percaya bahwa leluhur mereka yang pertama kali datang
ialah War. War sebagai panglima perang datang untuk menjaga perbatasan Ndaluh Ruteng
dan Ndaluh Ciba, kemudian datang seorang panglima mengikuti saudarinya ialah Salang.
War memiliki keturunan ialah Sambung, Sambung dan Salang bekerja untuk membentuk
kampung Ting, berdrilah rumah gendang Tuke pada tahun 1933. Datanglah suku Wontong
dengan tujuan menjual tikar pada masyarakat tuke. Suku wontong yang datang akhirnya
menikah dengan perempuan suku Tuke. Karena semakin banyakya penduduk suku Tuke
memberi tanah kepada orang Wontong untuk membangun rumah gendang kepada suku
wontong yang menikah dan juga kepada orang Leda. Karena banyaknya wabah penyakit dan
orang yang meninggal sehinga mereka pindah ke Satar Ngkeling ( padang burung nuri ) .
Masyarakat percaya orang Tuke membangun rumah gendang baru yaitu Tiong Toko, dengan
menggunakan upacara adat pada tahun 1942. Orang pertama yang membangun Tiong Toko
ialah bapak Linus Pokot, Agus cebet dan Yosep Hama.
A. Suku Tuke
Suku Tuke awalnya berasal dari suku Tuke yang ada di Ruteng, pada saat yang sama
terjadi perang antara raja Todo dan raja Reo sehingga Raja Todo meminta bantuan
kepada orang suku Tuke yang berada di Ndaluh Ruteng untuk membantu melawan
orang Ndaluh Cibal yang berada di bawah kekuasaan Raja Reo. Suku Tuke mengirim
seorang Gelarang ( panglima perang ) yang bernama War untuk menjaga perbatasan.
War mempunyai 4 orang anak ialah Kancak, Tantang, Rahab dan Hana, karena
semakin banyaknya keturunan dari War, akhirnya beberapa orang dari keturunannya
tersebut membangun rumah gendang yaitu Sambung, Ruting dan Salang.
B. Suku Leda
Asal suku Leda lahir dari Ruteng tetapi karena ada perang dan raja masih
membutuhkan kekuatan tambahan dari suku Leda maka Mpo Salang diutus sebagai
panglima perang untuk mempertahankan batas wilayah dari Ndaluh Ruteng tepatnya
bagian atau barat Wae Racang. Secara kebetulan orang suku Leda menikah dengan
orang suku Tuke sehingga Salang bergabung dengan orang suku Tuke. Salang
mempunyai dua orang anak yaitu Lamping dan Nati. Lamping mempunyai keturunan
Labar dan Pandi dan keturunan Nati adalah Mbawi.
C. Suku Wontong
Suku wontong berasal dari Manggarai Barat. Salah satu keturunan suku Wontong
yang bernama Wekang yang berprofesi sebagai pedagang tikar keliling. Wekang
menjual tikar sampai ke pelosok manggarai, salah satu tempat yang membuat dia
bertemu dengan perempuan Tuke adalah kampung adat Ting. Pada kampung adat
Ting ada satu perempuan bernama Wela ( bunga ), akhirnya Wekang dan Wela
menikah dan mempunyai sembilan orang anak, lima laki-laki dan empat perempuan.
Karena semakin banyak keturunan Wontong maka orang Tuke memberikan Tanah
kepada orang Wontong bersama warganya untuk membangun rumah gendang yang
akan mereka tinggali.
D. Tiong Toko
Asal mula rumah gendang Tiong Toko berasal dari gendang Ting Tuke, karena
mereka merupakan satu turunan yang tinggal dalam satu gendang yaitu gendang
Tuke, akan tetapi banyaknya turunan Ting Tuke maka beberapa turunan Ting Tuke
melakukan ritual adat untuk memilih tempat yang dijadikan lahan untuk rumah
gendang dengan mempersembahkan kerbau ( Kaba Weang Golo ). Sekitar tahun 1942
Tiong Toko membangun rumah gendang, dan pendiri rumah gendang tersebut adalah
bapak Linus Pokot, Agus cebet dan Yosep Hama. Arti dari Tiong Toko adalah tempat
yang berisi tulang-tulang yang bergelantungan. Turunan dari Agus Cebet adalah
Romanus Men yang mempunyai anak Petrus Ngabut. Turunan dari Lopo Linus Pokot
adalah Martinus Babur dan mempunyai anak Vincensius Tauk.
Pada zaman dahulu, masyarakat kampung Ting semuanya belum memiliki agama,
mereka percaya kepada para leluhur dan nenek moyang sebagai roh yang menjaga dan
disembah dan karena perasaan takut akan penyakit atau malapetaka, takut tidak
berhasil dalam usaha pertanian,masyarakat senantiasa menyembah roh-roh nenek
moyang agar terhindar dari malapetaka. Untuk menghormati para leluhur masyarakat
melakukan beberapa upacara dan ritual adat dengan memberikan persembahan pada
tempat persembahan yang disebut Compang (mesbah).Agama Khatolik masuk pada
saat bangsa portugis datang ke manggarai , sehingga sampai saat ini seluruh
masyarakat menganut agama Khatolik.
Setiap persembahan pada upacara dan ritual adat yang dilakukan, semuanya akan di
letakkan pada tempat persembahan yaitu Compang, pada tiap rumah gendang di
masing-masing suku memliki Compang yang ada tepat didepan rumah gendang.
Pada rumah adat gendang Tuke
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Rumah adat gendang wontong
Kepercayaan Adat
Pada Setiap rumah adat Gendang mempunyai simbol tanduk kerbau diatas
atap rumah adat. Yang menyimbolkan keagungan, kekuasaan, dan
keperkasaan.
pada rumah adat juga terdapat dua buah bambu yang pada ujungnya di buat
lebar untuk tempat meletakkan persembahan berupa telur (Cakat). hal ini
dipercaya masyarakat agar roh nenek moyang datang dan mengambil segala
penyakit orang yang tinggal di rumah adat tersebut.
Gambar : cakat
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Masyarakat kampung percaya adanya larangan-larangan yang tabu dan tidak
diperbolehkan didesa, dalam hal ini adalah larangan memakan daging babi
Landak , jika dilanggar maka akan terkena penyakit kudis atau penyakit kulit.
Larangan untuk menceritakan cerita atau mimpi buruk saat berkumpul, kecuali
saat makan bersama, supaya menolak kejadian buruk.
Tua Golo merupakan orang yang berasal dari keturunan tertua dari suku tersebut. Tua
Golo mempunyai tugas memimpin rapat yang diadakan oleh masyarakat dan
merangkul masyarakat sekitar rumah Gendang. Dalam suatu upacara adat maupun
rapat yang diadakan dalam rumah Gendang, Tua Golo mempunyai posisi duduk pada
bagian Siri Bongkok. Tugas Tua Golo juga berhubungan dengan kepala desa karena
melalui Tua Golo kepala desa dapat merangkul masyarakat pada desa tersebut.
Tua Teno merupakan Tua yang mempunyai tugas utama yang berhubungan dengan
pembagian tanah. Contoh tugas Tua Teno adalah membagi wilayah yang dimiliki oleh
rumah Gendang pada masyarakat sehingga dapat digunakan oleh masyarakat untuk
membuka kebun. Sebelum pembagian tanah tersebut harus terlebih dahulu
mendapatkan restu dari Tua-Tua pada Gendang tersebut.
Organisasi pemerintah pada desa Satar Ngkeling di kepalai oleh seorang kepala desa
yang dipilih melalui musyawarah. Kepala Desa menjalankan tugasnya dengan
bantuan dari Tua-Tua rumah Gendang karena melalui bantuan Tua-Tua ini kepala
desa dapat dengan mudah merangkul masyarakat dalam desa tersebut.
Dalam masyarakat Satar Ngkiling memiliki prinsip garis keturunan melalui garis
keturunan dari pihak ayah. Anak yang meneruskan atau mengambil alih suatu rumah
Gendang adalah anak pertama dari garis keturunan tertua.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Cara pengukuran
Cara pengukuran masyarakat manggarai yang digunakan untuk membangun
rumah adat pada jaman dahulu sebelum ditemukan alat ukur adalah “pisa pagat” dan
“pisa depa”. Pisa pagatdengan cara hitungan jarak jengkal ibu jari dan jari
kelingking. Sedangkan untuk pisa depa dengan cara merentangkan kedua tangan.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Selain dalam pembangunan rumah adat, dalam pembagian petak-petak sawah atau
lodok yang membentuk jarring laba-laba juga memiliki cara pengukurannya yaitu
dengan menggunakan ibu jari dari masing-masing orang. Hal pertama yang dibuat
dalam pembagian lodok adalah menancapkan sebuah kayu sebagai titik tengah.
Biasanya ditancapkan oleh tua teno selaku orang yang diberikan kuasa untuk
mengatur pembagian petak-petak sawah atau dalam Bahasa manggarainya disebut
lodok. Setelah kayu ditancapkan masing-masing orang kemudian menggunakan
ibujari untuk mendapatkan besaran area lodoknya.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Mbaru gong
Mbaru
gendang
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Roka Adalah tempat penyimpanan hasil bumi masyarakat manggarai yang dibuat atau
dianyam dari daun lontar dan kulit batang bambu
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
2.1.3.6 Kesenian
Secara sederhana kesenin dapat diartikan sebagai segala hasrat manusia tehadap
keindahan. Bentuk keindahan yang beraneka ragam timbul dari permainan imajinasi
kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia.
Seni Tari
Tarian Caci
Caci berasal dari kata ca dan ci. Ca berarti satu dan ci berarti uji. Jadi, caci
bermakna ujian satu lawan satu untuk membuktikan siapa yang benar dan salah.
Caci penuh dengan simbolisme terhadap kerbau yang dipercaya sebagai hewan
terkuat dan terganas di daerah Manggarai.Pecut melambangkan kekuatan ayah,
kejantanan pria, dan langit.Perisai melambangkan ibu, rahim, serta dunia. Ketika
cambuk dilecutkan dan mengenai perisai, maka terjadi persatuan antara cambuk
dan perisai.
tarian yang dimainkan saat peresmian kampung baru jadi suguhan kala syukur
panen. Lalu, berkembang menjadi pergelaran hiburan saat acara perkawinan,
menerima pejabat, acaraacara keagamaan, dan kini menyambut tamu-tamu atau
wisatawan.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Seni Musik
Alat Musik
Gong : dibuat dari besi kuningan atau perunggu. Biasanya dibeli bukan
dibuat sendiri oleh masyarakat.
Gendang: permukaan atasnya terbuat dari kulit kambing atau kerbau,
sedangkan tepiannya dibuat dari kayu apa saja yang penting dapat
dilubangi bagian tengahnya
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Seni Kriya
Tenun Songket
Motif:
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Menurut kamus besar bahasa indonesia,adat istiadat merupakan tata kelakuan yang
kekal dan turun temurun dari generasi kegenerasi lain sebagai warisan sehingga kuat
integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Berikut ini terdapat beberapa kelakuan yang turun terumun masih dilaksanakan oleh
masyarakat manggarai,kususnya desa Satar Ngkeling kecamatan wae ri,i,kabupaten
Manggarai.
Upacara penti.
Upacara penti merupakan upacara atau ritual yang biasa dilakukan sebagai
ungkapan syukur atas hasil panen dan juga bentuk perayaan tahun baru bagi orang
manggarai.
Upacara adat ini biasa dilakukan setelah selesai musim panen yaitu sekitar bulan
Juli-september,dan dilakukan sekali dalam setahun.
Upacara ini bersifat umum yang mana semua orang yang termasuk dalam
kampung ting bisa mengundang keluarga-keluarga mereka untuk datang
mengikuti acara upacara penti.
Upacara ini diawali dengan para tua-tua adat dari 4 suku yang ada di kampong
thing melakukan pertemuan untuk membahas tentang acara ini ,dimana akan
dibahas waktu pelaksanaannya dan juga menyiapkan berbagai bahan untuk
persembahan seperti ayam ,babidan sebagainya.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Dan dicompang ini para tua-tua adat akan melakukan persembahan kepada leluhur
mereka.persembahan di depan compang ini bertujuan meminta perlindungan
kepada leluhur mereka agar nantinya upacara adat ini nantinya bisa berjalan dengan
lancar.
o Cangkang
Perkawinan ini dilakukan di luar suku atau bisa perkawinan antar suku.
Dalam bahasa laki pe’ang atau wai pe’ang (anak wanita yang kawin di luar
suku). Orang yang laki pe’ang atau wai pe’ang menjalin hubungan dengan
suku lain. Biasanya dari kalangan keluarga yang mampu membayar belis
o Tungku
Perkawinan untuk mempertahankan hubungan woe nelu, hubungan anak
rona dengan anak wina yang sudah terbentuk akibat perkawinan cangkang.
Laki-laiki dan wanita yang kawin tungku disebut laki one dan wai leleng
one.
Pemuda yang laki one dapat berarti pria yang kawin tungku, juga berarti
perkawinan terjadi di dalam atau di sekitar kampung asalnya.Demikian
pula terhadap wanita yang wai leleng one.
3. Cako
Perkawinan dalam suku sendiri. Biasanya anak laki-laki dari keturunan
adik dan anak perempuan dari keturunan kakak. Disebut juga sebagai
perkawinan cako cama tau. Orang manggarai percaya bahwa tuhan-lah
yang menentukan apakan perkawinan itu direstui atau tidak. Ada bukti
bahwa perkawinan cako tidak direstui, bahwa kedua insan yang menikah
itu mati pada usia muda sebelum memperoleh anak.
Perkawinan cako cama salang artinya perkawinan yang dilangsungkan
dengan sesama anak wina. Dalam konteks ini belis tidak dituntut sesuai
dengan kemampuan kita. Berlaku ungkapan tama beka salang agu beka
weki.
*Maksud atau arti anak wina dan anak rona dalam konteks sosial budaya
manggarai yang disebut anak rona berasal dari keturunan pria atau yang
disebut ata one. Sedangkan anak wina berasal dari keturunan anak
perempuan atau yang disebut ata pe’ang.,Anak wina – anak rona muncul
karena hubungan perkawinan, di mana pihak pria disebut anak wina dan
pihak perempuan disebut anak rona.
o Wuat Wai
Jadi ,Acara wuat wai sebagai suatu langkah awal bagi anak yang melanjutkan
pendidikan di mana acara ini memberikan peneguhan hati bagi anak, dengan
memberikan nasihat, petuah yang sangat berguna bagi anak. Orang tua
memberikan wejangan agar anaknya bisa berhasil. Nasihat yang diberikan
biasanya dari orang tua, orang dipercayakan di suatu kampung, serta satu
orang mewakili masyarakat satu kampung.
Tradisi Caci
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Masyarakat manggarai memilki olahraga yang cukup unik dan tentunya masih
tradisional,orang-orang manggarai menyebutnya Tarian atau tradisi Caci.Olahraga
ini juga sangat menjunjung tinggi sportivitas,sebelum acara ini dimulai akan
diadakan pertunjukan tarian yang bernama Tarian Danding. Tradisi Caci
dilakukan oleh dua kelompok, yang masing-masing terdiri dari delapan pemain.
Setiap peserta mendapat kesempatan pertama sebagai pemukul, dan selanjutnya
bertindak menjadi penangkis serangan.Dalam tradisi ini, mereka akan memakai
cambuk dan tameng dari KulitKerbau asli.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
Upacara Kenduri.
Upacara ini juga merupakan bentuk penghormatan kepada Roh dari arwah mereka
yang sudah meninggal dunia.Masyarakat. Manggarai percaya bahwa arwah orang
yang sudah meninggal hanya berada diluar kampung,dan sewaktu-waktu bisa
kembali.Dari kepercayaan ini,sehingga mereka masih memberikan persembahan
kepada arwah orang yang sudah meniggal ini lewat barang-barang yang biasa
dipakai semasa hidupnya.
Ritual ini melambangkan bahwa pada hari ketiga ,mereka percara bahwa orang
yang sudah meninggal ini akan dilahirkan kembali ,dan mengalami kehidupan
yang baru didunia lain,dan berpisah dari hidup manusia.
Dalam ritual ini,Orang manggarai akan mempersembahkan korban berupa
babi,ayam atau kerbau ,hal tergantung pada kesanggupan atau pun status social
dari orang yang meninggal ini.Meskipun melambangkan Hari Ketiga,namun
upacara ini bisa diadakan setelah orang yang meninggal ini meninggal beberapa
Tahun.
Sumber : Dokumentasi kelompok kerja arsitektur vernakuler angkatan 2015 Universitas Nusa
Cendana
2.1.3.8 Bahasa
Bahasa yang digunakan di Desa satar ngkeling sendiri adalah bahasa manggarai dan
bahasa Indonesia. Sedangkan dalam berbagai prosesi adat digunakan bahasa adat
manggarai. Biasanya bahasa ini diucapkan pada upacara adat,penyambutan dan juga
yang menyampaikan bahasa tersebut hnya sebagian orang, orang tersebut adalah tua
adat (Tua Golo)
Bahasa dalam kaitannya dengan dunia arsitektur adalah dalam hal istilah atau
penyebutan struktur dan konstruksi bangunan serta bagian-bagian dalam rumah.
Misalnya pecaka (teras/lantai), kamar (loang/kilo) lutur(ruang tamu /tempat
berkumpul)