Professional Documents
Culture Documents
Caveats
Fokus perhatian utama dalam evaluasi ED pada pasien dengan Altered Mental State (AMS) antara lain :
Untuk menentukan penyebab reversibel yang mudah terjadi seperti hipoksemia, hiperkarbi, hipo-
glikemi
Untuk membedakan penyebab struktural dengan penyebab toksik metabolic dimana penyebab
yang pertama lebih memerlukan pemeriksaan pencitraan CNS secepatnya, sedangkan penyebab
yang kedua lebih mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan laboratoris.
Menentukan sistem skor yang sering digunakan menurut Glasgow Coma Scale untuk mendefini-
sikan keadaan koma yang terjadi.
Tabel 1 : Petunjuk anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mengacu pada penyebab AMS
Penyebab Non-struktural Penyebab Struktural
Ditemukannya wadah obat yang kosong Keluhan nyeri kepala sebelum terjadinya AMS
Riwayat medis : epilepsy, penyakit hati, diabetes Riwayat tumor otak
Kemungkinan paparan CO
Tidak adanya tanda neurologik fokal Trauma
Tanda asidosis metabolic Adanya tanda neurologik fokal
Tanda antikolinergik Trauma kepala
Evaluasi klinik : fokusnya adalah membedakan penyebab AMS, yaitu struktural atau toksik-metabolik (tabel 1)
Riwayat anamnesa : cari petunjuk melalui heteroanamnesa kepada keluarga pasien, teman, informasi lain dari
petugas ambulan atau paramedic yang berada langsung pada tempat kejadian.
Pemeriksaan : pemeriksaan fisik eksternal singkat untuk mencari tanda kecacatan yang terjadi pada berbagai
proses penyakit. Pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki tetap penting, namun lebih difokuskan pada pen-
carian gejala neurologik.
AMS yang dicurigai karena penyebab structural :
Berikan suplemen Oksigen untuk mempertahankan SpO2 pada kisaran 95%
Mulai pemberian infus dengan aliran lambat
Lakukan CT scan kepala
Turunkan tekanan intracranial jika ada indikasi
1. kontrol ventilasi : kerjakan dengan lebih cepat.
2. Mannitol iv bermanfaat dilakukan dengan konsultasi pada bagian bedah saraf. Dosis 1g/kgBB. BB x 5
mls/KgBB dengan menggunakan larutan manitol 20%.
3. penggunaan steroid masih diperdebatkan.
AMS yang dicurigai karena penyebab toksik-metabolik
Lakukan Gastric Lavage; dilakukan dengan tetap melindungi airway
Gunakan bahan arang aktif pada kasus yang dicurigai overdosis obat. Lihat BAB Prinsip Penanganan
Umum Keracunan.
Periksa temperature rectum dan pertimbangkan adanya heat stroke jika temperature > 40oC dan
mengkonsumsi antikolinergik.
Jika ada kecurigaan meningitis, pertimbangkan pungsi lumbal lebih dini (setelah CT scan kepala). Mulai
pemberian antibiotik berdasarkan data empiris sebelum melakukan tes serta konsul pada bagian
neurologi. Rujuk kepada keadaan meningitis.
Disposition/penempatan
MRS-kan seluruh pasien AMS. Masukkan pasien yang diintubasi atau dengan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil ke dalam ICU.
3
Bagan 1. Bagan Pendekatan Diagnosa Banding Pada Keadaan AMS
Penyebab Penyebab
Struktural toksik/metabolik
Caveats
Manajemen penting pada perdarahan GIT yaitu dapat :
1. Identifikasi adanya syok dan resusitasi.
2. Identifikasi penyebab potensial perdarahan dan usahakan mengembalikan keadaan yang terjadi (misalnya
dengan pemberian antikoagulasi).
3. Identifikasi keadaan fisiologis lain yang terjadi akibat syok (iskemik jantung, renal compromised atau
anemia simptomatik yang membutuhkan transfuse darah).
Selalu waspada terhadap terjadinya aneurisme aorta yang manifestasinya mirip dengan perdarahan GIT.
Selalu lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan apakah frank melena terjadi atau adanya perdarahan
local pada area anal kanal/perianal.
Melena yang terjadi akibat terapi dengan Fe akan berwarna hijau/hitam.
Penyebab umum perdarahjan GIT antara lain:
1. Ulkus peptikum
2. erosi gastric
3. varises GIT bagian atas
4. hemoroid pada GIT bagian bawah
5. malignansi
Manajemen
Perawatan suportif
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
pasien harus ditempatkan pada area critical care
pertahankan airway. Pertimbangkan intubasi jika hematemesis terjadi berlebihan dan pasien tidak
dapat mempertahankan jalan nafasnya sendiri, misalnya pada keadaan depresi mental akibat CVA.
Berikan O2 aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >94%.
Monitoring EKG, tanda vital tiap 5 menit, pule oksimetri.
Lakukan pemerikasaan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya disritmia kardiak.
Pasang 2 atau lebih iv line perifer dengan jarum yang besar (14/16G).
Lab :
1. GXM paling tidak 4 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada EKG.
Infus 1 liter NS secara cepat dan periksa kembali parameter. Lakukan transfusi darah jika tidak ada
perbaikan dengan pemberian fluid challenge.
Masukkan NGT untuk tujuan drainase dan kepentingan diagnostic (serta untuk mencegah terjadinya
aspirasi jika terjadi muntah/vomit) jangan masukkan NGT jika ada kecurigaan varises esophagus.
Pasang kateter untuk monitoring output urin.
Catatan : Peran dari Omeprazole (proton Pump Inhibitor). Bukti terbaru menyebutkan bahwa ada beberapa
keuntungan dalam menurunkan perdfarahan yang terjadi dalam jangka pendek (meningkatkan pH lambung,
5
memungkinkan terjadinya kondisi yang mendukung terbentuknya clot) namun, penelitian yang lebih lanjut
diperlukan untuk mengetahui efek mortalitas dan morbiditasnya. Berikan omeprazole 40 mg secara iv.
Pemeriksaan Spesifik
Cari adanya luka bekas operasi aneurisma aorta abdominalis sebelumnya; perdarahan GIT yang terjadi
mungkin akibat adanya fistula aortoenterik. Jika kecurigaan terbukti ada, maka konsulkan pada bagian
bedah umum dan TKV.
Jika ada kecurigaan varises esophagus pertimbangkan penggunaan somatostatin 250µg bolus iv, kemudian
diikuti dengan infus iv 250 µg/jam (sukses diberikan pada 85-90% pasien). Jika somatostatin tidak berhasil
menghentikan perdarahan, serta ada resiko sebelum endoskopi dapat dilakukan, maka insersi Sengstaken-
Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Insersi alat ini hanya dapat dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.
Disposition/penempatan
Konsultasi MRS pada bagian bedah umum atau bagian Gastroenterologi tergantung pada kebijakan tiap in-
stitusi.
6
3. Bleeding ( Perdarahan ), Vaginal, Abnormal
Caveats
Riwayat anamnesa yang teliti sangatlah penting untuk assessment perdarahan vaginal yang abnormal. Ha-
rus meliputi riwayat menstruasi yang lengkap (termasuk HPHT), riwayat medis dan obat-obatan, riwayat
obstetric dan riwayat seksual (termasuk penggunaan kontrasepsi pengatur kelahiran). Adanya gejala nyeri,
lokasinya, durasinya, onset dan tingkat keparahan juga harus diperiksa.
Kehamilan harus dieksklusi pada pasien usia subur.
Juga penting untuk mengeksklusi perdarahan yang terjadi diluar vagina, misalnya perdarahan saluran
kemih atau dari usus besar.
Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab perdarahan per vaginam abnormal yang bersifat emergency
Lihat tabel 2 untuk mengetahui penyebab penting lain yang mengancam nyawa namun tidak
segera/immediate
1. Kehamilan Ektopik
2. Abortus inkomplit (mungkin juga septic) dan abortus inevitabel
3. Plasenta previa
4. Abruptio plasenta
5. Perdarahan post partum (1-5 merupakan komplikasi kehamilan)
6. Trauma vagina
7. Menorrhagi pada pasien yang tidak hamil
8. Perdarahan dari tumor pada traktus genitalis bagian bawah (misalnya carcinoma cervix atau
endometrial)
Tabel 2 : Penyebab Penting Perdarahan Vaginal yang Abnormal Serta Mengancam Nyawa namun tidak Imme-
diate/segera
1. Terkait Kehamilan
Abortus imminen (Threatened miscarriage)
Missed abortion
Gestational trophoblastic disease (jarang terjadi)
Show (dapat terjadi pada kehamilan normal sebelum persalinan)
Lochia (timbul normalnya setelah persalinan)
2. Tidak terkait Kehamilan
Perdarahan pada gadis pre-pubertas
Perdarahan vaginal irregular
Perdarahan vaginal yang memanjang (prolonged)
Perdarahan post coital
Perdarahan intermenstrual
Perdarahan post menopause
7
Manajemen
Pastikan stabilitas tanda vital. Infus intra vena untuk menggantikan volume yang hilang harus segera dilakukan
jika pasien tidak stabil. Bahan specimen untuk pemeriksaan FBC, GXM dan kehamilan harus didapatkan.
Jika terdapat perdarahan yang berat, berikan suplementasi oksigen, monitoring pulse oksimetri, dan blood pres-
sure.
Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari riwayat anamnesa serta memeriksa kain/pakaian yang digunakan.
Resusitasi umum harus dilakukan sementara menunggu pemeriksaan dari para spesialis.
Pasien dengan perdarahan pada awal kehamilan harus diperiksa dengan USG untuk mengetahui viabilitas fetal
dan lokalisasinya. Namun, apabila ada tanda-tanda perdarahan intrabadomen (misalnya rupture kehamilan ekto-
pik), diindikasikan untuk melakukan resusitasi diikuti dengan pembedahan segera. Lihat BAB kehamilan ek-
topik untuk lebih detailnya.
Pada pasien yang hamil dimana uterusnya teraba melalui abdomen, Doptone dapat dilakukan untuk mengetahui
viabilitas fetal.
Pasien dengan perdarahan antepartum harus dirujuk segera pada kamar bersalin. Pemeriksaan koagulasi harus
dilakukan. Namun kadangkala sulit untuk membedakan show dengan perdarahan antepartum. Jika meragukan
pasien harus dikirim ke kamar bersalin.
- Keluhan subyektive mungkinberarti sesuatu, dari penglihatan kabur pada salah satu lapang pandang pada
satu sisi mata, sampai buta total.
- Aturan mayor dari dokter EM adalah mengenalihilangnya penglihatan dan penyebabnya. Sudah diketahui
bahwa sejumlah pilihan terapi di ED terbatas.
- Anggap keluhan hilangnya penglihatan adalah benar sampai terbukti sebaliknya, kirim ke bagian mata un-
tuk dilakukan pemeriksaan lanjut.
- Pada kasus cidera mata korosif, segera lakukan irigasi dengan saline sebelum ambulan datang membawa
pasien ke rumah sakit.
MANAGEMEN
- pasien seharusnya dirawat di critical case sampai keluhan penglihatan yang menurun membaik. Periksa
tajam penglihatan di triase.
- Anamnesa : ini penting untuk mendefinisikan apa arti kehilangan penglihatan bagi pasien:
1. apakah unilateral atau bilateral? Bilateral menunjukkan kelainandi optik chiasma.
2. apakah kelainan ada di lapangan pandang tertentu atau semua? Kehilangan penglihatan lapang pan-
dang tertentu menunjukkan problem retina segmental tertentu.
3. apakah kehilangan penglihatan tiba-tiba atau mendadak? Kehilangan penglihatan kronis progresif
diduga katarak atau makular degenerasi.
4. apakah ada gejala awal flashes of light (retinal tear) atau floaters (vitreus haemorrhages)?
5. apakah ada nyeri? Kehilangan penglihatan yang mendadak dengan nyeri bisanya oleh karena
penyebab dari pembuluh darah.
6. bila jelas, dimana lokasinya? Nyeri retrobulbar diasosiasikan sebagai neuritis optic.
7. apakah ada riwayat serupa sebelunya yang membaik spontan? Kemungkinan suatu oklusi vaskuler ,
mungkin dari atherosclerosis plaque.
8. adakah riwayat trauma? Hal ini meningkatkan ablasio retina , perdarahan vitreus atau subluksasi lensa.
9. adakah riwayat minum toxin? Methanol, salisilat dan quinine dapat mengganggu penglihatan
10. adakah riwayat trauma korosif pada mata? Ini dapat mengakibatkan kerusakan signifikan pada bola
mata. Asam menyebabkan nekrosis koagulasi biasanya superficial, dimana alkalis menyebabkan
nekrosis lebih dalam, mengakibatkan ulcerasi kornea.
Pemeriksaan(spesifik)
1. kartu snellen atau hand-held ; pasien harus harus membaca 50% tulisan dalam suatu barisan dikatakan
itulah tajam penglihatannya
2. jika pasientidak menggunakan snellen chard, nilai kemampuan menghitung jari, mendeteksi
pergerakan tangan atau penerimaan cahaya.
3. pinhole cover akan memperbaiki kesalahan refraksi untuk membantu melihat apakah ini disebabkan
penurunan tajam penglihatan.
Inspeksi : point penting apakah mengindikasikan patologis meliputi
1. opasitas kornea dari infeksi atau proses infiltrasi
2. iridodonesisgerakan goncangan pada iris) mungkin muncul trauma subluksasi lensa
3. kesulitan visualisasi dari retina : mungkin disebabkan oleh katarak, darah dalam vitreus atau ablasio re-
tina.
4. reaksi pupil : chek respon terhadap cahaya dan akomodasi
5. chek marcus gunn pupil indikasi defeck pada afferent atau chiasma seperti disfungsi retina atau saraf
optik
ophthalmoscopy; jarang diperlukan dilatasi pupil dg midriatikum. Kontraindikasi pada glaucoma sudut tertutup
atau perlu monitor untuk perubahan pupil pada pasien trauma kepala.
1. check defeck retinal; catat posisi
2. check oklusi arteri atau vena retina central, ablasio retina, hipertensi atau diabetes retinopathy, papilloede-
ma atau papillitis
9
check lapang penglihatan dan extraoculer movement
pemeriksaan (tambahan)
- slit lamp examination: chek flare dan cells, posterior keratitis precipitates, dan/atau hipema anterior
- tonometri dilakukan setelah local anestes, untuk mengukur tekanan intraokuler, tekanan abnormal bila lebih
dari 20 mmHg.
- Disposisi; kosultasi segera bag mata jika terdapat penurunan penglihatanatau indeks tinggi dugaan ke-
hilangan penglihatan.
10
5. Breathlessness, Akut
Caveats
Ketika menghadapi pasien yang menderita henti nafas yang akut, selalu pertimbangkan penyebab yang
dapat diatasi segera (dalam beberapa detik atau menit).
1. Obstruksi jalan nafas atas akut : dengan maneuver Heimlich atau Magill’s forceps
2. Tension pneumothorax akut : thoracostomy dengan jarum, diikuti dengan insersi chest tube.
3. Gagal nafas akut : intubasi endotrakeal.
Penyebab umum henti nafas tertera pada tabel 1
Ingat bahwa hiperventilasi psikogenik merupakan diagnosa eksklusi.
Secara umum, sangatlah bermanfaat untuk membagi penyebab henti nafas yaitu pasien tanpa kelainan paru
(istilah hiperventilasi) atau pasien dengan kelainan paru.
Ingat bahwa tidak semua pasien wheezing menderita asma atau cold.
Pertimbangkan diagnosis dari kondisi lain seperti asma kardiak, anafilaksis, dan aspirasi.
Lihat tanda dan gejala gagal jantung, misalnya orthopnoea, edema pedis dan peningkatan tekanan vena
jugularis, untuk membedakan asma kardiak dengan asma respiratori.
Tidak semua pasien takipneu dengan krepitasi menyeluruh disebabkan oleh edema pulmonary. Mungkin
pasien mengalami pneumonia atau bronkiektasis.
Tips khusus untuk Dokter Umum :
Berikan oksigen dan akses intravena pada pasien henti nafas yang
harus dirujuk ke ED.
Kirim pasien dengan ambulan jika ada kecurigaan keadaan patol-
ogis yang serius.
Manajemen
Gunakan pendekatan ABC dan resusitasi secepatnya: kebanyakan pasien dispneu akan membutuhkan eval-
uasi pada area intermediate atau area high acuity.
Anamnesa yang baik akan membantu menentukan diagnosis. Misalnya factor yang menyebabkan eksaser-
basi atau factor yang memperingan, juga gejala apa saja yang terkait, akan sangat membantu. Mungkin saja
11
tidak didapatkan adanya riwayat terpapar allergen atau racun, namun tetap saja pertimbangkan kemung-
kinan anafilaksis dan keracunan.
Selalu aplikasikan pulse oksimetri dan monitoring laju nafas.
Pemeriksaan dapat dipandu dengan anamnesa serta dapat meliputi EKG, FBC, BGS, GDA dan CXR.
Penempatan pasien tergantung pada diagnosis dan keadaan klinis pasien.
1. Pasien dengan gagal jantung ringan bukan disebabkan oleh infark miokard dan secara klinis masih me-
rasa nyaman tanpa adanya takikardi atau bukti adanya edema pulmonal pada CXR dapat ditangani dan
dirujuk ke spesialis jantung sebagai pasien rawat jalan. Lihat bab Gagal Jantung.
2. pasien dengan hyperventilation syndrome mungkin memerlukan bantuan pekerja social medis atau
dirujuk pada psikiatrik, terutama jika terjadi berulang kali. Lihat bab hiperventilasi.
Mulai terapi sesuai penyebab henti nafas akut yang telah teridentifikasi.
12
BAB 6
ANAK DENGAN KELUHAN NYERI PERUT
Durasi rasa sakit sangat menentukan, karena diagnosis sakit perut pada tindakan bedah lebih jarang terjadi
pada sakit perut yang kronis
Adanya panas menunjukkan adanya proses infeksi atau peritonitis
Pada anak usia kurang dari 5tahun, penyebab rasa sakitnya adalah organik
Kemungkinan terjadinya sakit perut karena sebab fungsional pada anak yang lebih besar
Pengetahuan mengenai usia anak sangat penting, pendekatan diagnosis juga tergantung usia anak
Bila ditemukan adanya muntah bilus atau muntah menetap yang disertai dengan keluhan sakit perut harus
diwaspadai adanya obstruksi mekanik sampai dibuktikan tidak.
MANAJEMEN
Hampir seluruh pasien anak dengan keluhan nyeri abdomen dapat ditempatkan diruangan rawat jalan
Lakukan pemeriksaan ABC dan pindahkan ke ruangan intermediate atau ruangan critical untuk
mendapatkan oksigen, monitor tanda vital dan oksimetri, berikan infus cairan kristaloid melalui vena
perifer.
ANAMNESA
Hasil anamnesa keseluruhan mungkin tidak menunjukkan hal yang spesifik
Karakter dari rasa nyeri penting untuk membedakan proses yang sedang terjadi
Onset
Onset yang mendadak menunjukkan kemungkinan terjadi perforasi, intususepsi, torsio atau kehamilan
ektopik.
Nyeri yang onsetnya perlahan atau tersembunyi terjadi pada appendiksitis, pankreatitis dan
cholesistitis.
Nyeri kolik khas pada iritasi organ berongga atau obstruksi.
Nyeri kronis yang hebat lebih berhubungan dengan inflamatory bowel disease.
13
Lokasi nyeri pada saat onset
Nyeri daerah periumbilikal menunjukkan adanya proses patologi pada usus keci atau diproksimal
kolon.
Nyeri epigastrium menunjukkan proses di proksimal traktus gastrointestinal termasuk pankreas.
Nyeri di daerah hipogastrik berhubungan dengan penyakit dikolon distalis, patologi proses dipelvis,
termasuk hernia inkarserata.
Nyeri yang menjalar ke bahu menunjukkan adanya iritasi pada diafragma.
INVESTIGASI
Investigasi sangat penting pada pasien dengan diagnosis yang tidak jelas, pada anamnesa yang
menunjukkan kemungkinan penyebab dari kasus bedah dan adanya gejala iritasi peritoneum.
1. Pemeriksaan darah lengkap : sangat berguna untuk mengetahui adanya proses infeksi atau adanya
kehilangan darah. Perhatikan adanya peningkatan sel darah putih dapat terjadi pada setiap kondisi
intraabdomen atau panas badan, interpretasi mungkin sulit.
14
2. Ureum/elektrolit/creatinin dan kadar gula darah : sangat berguna pada pasien yang membutuhkan
cairan resusitasi intravena seperti pada obstruksi usus, peritonitis atau gastroenteritis.
3. Pemeriksaan lainnya : pemeriksaan fungsi hati dan amilase dapat dilakukan bila ada indikasi secara
klinis.
4. Urinalisis : indikasi untuk dilakukan pada pasien dengan nyeri perut semua usia, bila ada pyuria,
hematuria dan ketonuria ± glikosuria.
5. Pemeriksaan kehamilan melalui urin : diindikasikan pada remaja putri dengan kemungkinan kehamilan
berdasarkan siklus menstruasi dan riwayat kehidupan seksualnya.
6. Pemeriksaan foto rontgen abdomen : memberikan hasil yang penting bila dilakukan pada :
a. Riwayat pembedahan perut
b. Tertelan benda asing
c. Suara usus yang tidak normal
d. Tanda-tanda iritasi peritoneum
DISPOSISI
Semua anak dengan kemungkinan kasus bedah memerlukan konsultasi ke bagian bedah segera
Keputusan pemerintah memerintahkan semua anak dengan tanda dan gejala yang meragukan
sebaiknya dirawat di ruah sakit. Bila orang tua tetap menginginkan anak dirawat dirumah maka harus
disertakan nasehat dari dokter.
16
7. SESAK NAPAS PADA ANAK
Caveats
Ingat ABC : jangan terlambat mentransfer anak dengan sesak napas akut ke critical area dengan anamnesa
dari orang tua.
Anak dengan sesak napas yang tidak menangis menunjukkan adanya bahaya terjadinya henti napas: trans-
fer ke critical area.
Anak yang menangis kuat menunjukkan fungsi paru masih baik.
Anak dengan sesak napas dapat dalam keadaan nyeri hebat dari kolik bilier (kista koledokus), akut
abdomen (peritonitis, intususepsi). Setiap anak yang mengalami nyeri dapat sesak napas!
Anak yang sesak dengan pemeriksaan thorax normal dan ronteng thorax normal dapat terjadi akibat DKA
(tipikal air hunger, peningkatan gula darah perifer, keton pada nafas dan urine).
Auskultasi pada dada anak harus ditenangkan dulu untuk menghindari kesalahan hasil pemeriksaan akibat
teriakan anak.
Saat auskultasi dada, perhatikan udara masuk, tidak hanya crackles dan wheezing: penurunan udara masuk
pada satu lobus mungkin satu-satunya tanda untuk diagnosis konsolidasi lobaris sebelum timbul crackles
local dan suara bronchial, adanya efusi pleura atau pneumothorak.
Aspirin atau overdosis obat dapat terjadi sesak napas akibat asidosis metabolic
Selalu pertimbangkan penyebab jantung seperti gagal jantung akibat penyakit jantung bawaan, myokarditus
atau supra ventricular takikardi (SVT).
Tips khusus
Letakkan anak yang sesak napas dalam posisi nyaman, jangan memaksanya untuk berbaring.
Jika anak ketakutan karena pemberian masker oksigen, berikan pada ibunya untuk memegang
masker dari jarak dekat dari muka anak.
Pertanyaan pada orang tua atau pengasuh
Onset sesak
1. apakan sesak terjadi tiba-tiba saat bermain dengan mainan atau saat makan ?
2. Anak sesak saat muntah: muntah dan sianosis curiga aspirasi.
3. Muntah, nyeri dada dan sesak curiga pneumonia lobus bawah.
4. Muntah, sesak dan wheezing mungkin mengindikasikan sticky phlegm seperti bronkitisa.
Paparan anggota keluarga dari PTB, pneumonia atau infeksi dada, atau virus
Riwayat asma atau wheezing sebelumnya.
Pemeriksaan
Catatan:
1. gagal jantung, seperti bronchitis, dengan wheezing; suara jantung mungkin sulit didengar.
2. retraksi kepala mungkin dengan tanda iritasi meningen, lihat tanda peningkatan tekanan intrakranial pada
anak yang gelisah, sesak atau apneu.
3. gagal to thrive mungkin dengan refluks gastroesofageal, fistula trakeoesofageal, kistik fibrosis, atau
imunokompromised.
Tanda terpenting untuk menilai status mental: indicator awal hipoksemia atau hiperkarbia. Waspada irita-
bilitas, gelisah, ketidakmampuan mengenal orang tua dan tidak ada respon social.
Lihat sianosi sentral, transfer ke critical care area dan beri 100% oksigen dengan masker.
Tanda distress pernafasan: sianosis, retraksi kepala, penggunaan otot pernafasan asesorius, trakeal tug, re-
traksi, grunting atau nafas cuping hidung, stridor. Transfer ke critical care dan beri 100% oksigen dengan
masker.
Hitung frekuensi pernafasan
Tanda penyakit saluran napas atas atau bawah?
1. Obstruksi saluran napas atas : ngorok dan stridor
2. Grunting menunjukkan patologis pada alveoli perlu PEEP untuk membersihkan alveoli seperti pada
konsolidasi dari pneumonia, atau edema paru, atau sepsis
Observasi dada untuk tanda ekspansi yang tidak sama; palpasi posisi trakea; emfisema subcutan; resonansi
vokal paling baik dievaluasi dengan meminta anak mengulang nama karakter kartun kesukaannya.
Lengkapi pemeriksaan system THT.
17
Penatalaksanaan
Pertimbangan rontgen dada
1. diagnosis klinis harus ditegakkan sebelumnya
2. pada bayi sesak dimana sulit dimana sulit menilai pemeriksaan paru sebaik jantung.
3. tidak semua pasien asma memerlukan roentgen dada tapi berguna untuk menyingkirkan aspirasi benda as-
ing, pneumonia dan atelektasis
4. diindikasikan pada wheezing yang pertama kali disertai trias klinis panas, batuk dan sesak
5. mungkin berbahaya mengirim anak untuk rontgen dada dari pada roentgen dilakukan di critical care area,
misalnya pada croup dan epiglotitis.
Caveats
- Kirim bila ada anak yang menangis terus menerus dan menolak untuk didiamkan.
- Harus sadar bahwa situasi ini penuh dengan kecemasan, sejak pengasuh tidak dapat menenangkan sampai
dibawa ke IRD dan terlihat putus asa.
- Hindari pemberian obat sedatif: Jangan mengabulkan permintaan orang tua untuk beberapa pengobatan.
Menangis adalah gejala dari suatu masalah dan memberikan obat sedatif pada anak akan menghilangkan
penyebab utamanya.
Penanganan
Apakah anak dalam keadaan sakit?
- Kondisi perut
1. Intususepsi akut: tidak berhenti menangis, muntah dan menolak diberi makan.
Catatan: lakukan pemeriksaan dubur untuk melihat adanya darah atau faeces yang lembek dan
kemerahan
2. Volvulus: perut yang tegang
3. Obstruksi hernia inguinalis ( bayi laki dan perempuan ): ingat untuk melihat lipat paha dan meraba
testis untuk mengetahui torsio testis.
4. Kolik ureter, kolik bilier atau UTI akut: adanya lekosit, darah atau nitrit pada pemeriksaan urin dipstik
- Kondisi kepala, mata, THT
1. Otitis media akut: hati-hati pada membran timpani yang kelihatan normal pada bayi yang menangis.
2. Periksa oropharing untuk luka bakar, herpangina atau gingivostomatitis dengan ulkus dimulut.
3. Periksa adanya abrasi kornea
4. Periksa kepala untuk melihat fontanel yang menonjol ( untuk anak < 15 sampai 18 bulan )
- Kondisi ekstremitas
1. Lilitan : kaki, jari-jari atau bahkan penis dapat strangulasi karena sarung tang-
an, selimut atau rambut siibu.
2. Cedera tulang panjang: pikirkan cedera yang bukan karena kecelakaan.
3. Osteomielitis: periksa tanda-tanda sakit, bengkak, kemerahan pada ekstremitas.
- Sakit dada ( jarang, tapi mungkin )
1. Iskemi jantung: penyakit Kawasaki atau perikarditis
2. SVT bisa tampak pada saat menangis dengan perfusi yang jelek; ingat untuk menghitung denyut nadi.
- Pertimbangkan iritasi meningeal
1. Anak yang menangis dengan nada tinggi.
2. Tampak kepala yang tertarik, fontanel yang cembung, mengantuk, kaku kuduk
- Pertimbangkan sindroma bayi yang menggigil: Bisa dicurigai jika bayi pucat,
mengantuk dengan tidak adanya tanda-tanda cedera fisik dan atau perdarahan retina
Disposisi
Rawat anak ke rumah sakit: Keadaan ini harus diwaspadai sejak terlihat tanda-tanda pengasuh sering
tertidur karena terlalu lelah akibat tidak dapat mengatasi bayi yang tak henti-hentinya menangis. Keadaan
ini memungkinkan pengasuh tertidur. Keadaan ini juga dapat mengetahui lebih lanjut faktor penyebabnya,
sebagai contoh kemungkinan cedera yang bukan karena kecelakaan.
19
9. DIARE PADA ANAK
PETUNJUK
Pada anak dengan diare saja, tanpa muntah
Pertimbangkan kemungkinan bahwa diare dan disebabkan oleh:
1. Konstipasi: dapat diraba adanya masa feses pada perut
2. Laxative/ pencahar , antasida atau antibiotik
3. terlalu banyak jus buah yang mengandung sorbitol (contoh jus apel)
Kebanyakan kasus disebabkan oleh infeksi gastrointestinal akut:
1. Viral contoh rotavirus: gejala ISPA diikuti dengan muntah yang tidak kekuningan, kemudian diare cair dan
banyak
2. Infasif – Salmonela, Shigela, Campilobakter jejuni atau E. Coli – kotoran yang mukuid bercampur darah,
panas tinggi, tenesmus, nampak sakit.
3. Toddler`s diare: sering dimulai setelah menderita akut GE tetapi anak nampak sehat tanpa demam,
penurunan berat badan ataupun tenesmus; orang tua prihatin dengan buang air lunak dan berulang, buang
air seperti bubur dengan sayuran yang tidak tercerna
Jangan memberikan resep Lomotil atau Imodium pada anak di bawah 6 tahun sebab obat ini dapat
menyebabkan ileus paralitik
Ajarkan pada orangtua bahwa walaupun dengan pengobatan, beberapa diare diperhatikan: tujuan dari
pengobatan adalah menghindari dehidrasi
PERTANYAAN YANG DIAJUKAN PADA ORANG TUA ATAUPUN ORANG YANG MERAWAT
Bagaimana kebiasaan buang air yang terakhir? Contoh: konstipasi
Apakah makanan yang diberikan pada anak ini? Contoh: berserat, jus yang mengandung sorbitol
Apakah akhir 2 ini anak ini mendapatkan pencahar, antasid ataupun antibiotik?
PENANGANAN:
Kultur feses tidak mendapat tempat di gawat darurat
20
Pemeriksaan urine untuk ketonuria: berguna, terutama pada anak gemuk yang susah untuk melihat tanda
dehidrasi
Urinalisis untuk melihat nitrit/ leukosit: dugaan infeksi saluran kencing
X-ray : BOF jika didapatkan distensi abdomen atau adanya diare dalam darah
Lakukan pemeriksaan gula darah perifer jika didapatkan penurunan kesadaran
Rehidrasi pada anak dengan dehidrasi berat (dehidrasi 10%): kirim ke Pediatri untuk resusitasi cairan
1. Lakukan pemasangan infus
2. Berikan infus kristaloid (normal salin atau cairan Hartman) 20 ml/ kg BB dalam 20-30 menit
3. Laboratorium: Darah lengkap, ureum/elektrolit/kreatinin, glukostik
4. Konsul pediatri dan kirim penderita ke ICU anak
DISPOSISI
1. Masuk RS untuk terapi intra vena
Neonatus atau infant yang masih muda dengan diare yang profus
Anak dengan tanda dehidrasi sedang dan berat dan yang menolak cairan oral
Anak dengan diare kronik yang patologis dengan gagal tumbuh, atau tanda kolitis dan
kemungkinan defisiensi elektrolit dan cairan
2. Pulangkan penderita yang tidak kelihatan toksik dan yang tidak ditemukan adanya keton dalam urin
a. Rehidrasi dengan cairan rehidrasi (Oralit) contoh Servidrat atau sereal nasi
b. Lanjutkan susu ibu jika mungkin
c. Jika durasi diare lebih dari 24 jam, anak dapat deberikan susu bebas laktosa, contoh O-Lac
atau susu formula kedelai atau HNMilupa 25 dalam 48-72 jam
d. Perbolehkan anak makan makanan padat sesegera ditoleransi dan napsu makan kembali;
kebanyakan makanan padat diterima
e. Produk kaolin tidak membantu; Smecta malahan akan berkurang, tetapi tidak dieliminasi
keseluruhan, jumlah dari kotoran 30-40%
f. Toddler`s diare: hindari produk sorbitol dan laktosa, dan kurangi makanan yang mengandung
serat dalam satu minggu
21
10. FEVER PADA ANAK
Titik berat
Panas merupakan respon normal
Panas merupakan gejala, bukan suatu penyakit
Panas akan tetap ada sampai proses penyakit teratasi
Penentuan panas tidak selalu membutuhkan ketepatan
Panas sering merupakan mekanisme pertahanan yang sangat berguna
Panas, terutama yang tidak terlalu tinggi, tidak selalu membutuhkan terapi
Gejala klinis lebih penting daripada tingginya derajat panas
catatan: infeksi bacterial yang serius meliputi: meningitis, pneumonia, sepsis, osteomielitis, UTI, Salmonella
enteritis, Listeria, E. coli, infeksi streptokokus/staphilokokus. Gejala yang timbul: iritabilitas, penurunan aktifitas,
tangisan lemah, nafsu makan berkurang (malas menyusu), diare dan muntah, distensi abdomen, respiratory distress,
hipotermia/hipertermia, perfusi perifer lemah.
< 1 bulan 12 %
1-2 bulan 6%
> 3 bulan 21 X resiko
Disposisi
umur < 3 bulan: perlakukan seperti penanganan sepsis
umur 3-36 bulan;
1. fokus clear cut: tangani seperti kasus clear cut
2. bukan fokus clear cut:
non toksik dan resiko rendah: KRS dengan kontrol 24 jam
toksik atau resiko tinggi: MRS dengan penatalaksanaan sepsis dan antibiotik
catatan; urinalisis dan DL jika panas > 3hari
Kondisi Khusus
1. Lihat telinga apakah ada otitis media akut.
2. Dengarkan paru bagian basal untuk basiler pneomonia.
3. Cek tenggorokan adakah tanda paringitis atau tonsilitis lihat tanda diagnosa dari situ.
4. Cek cekung tidaknya di ubun-ubun (jika umur antara 15 – 18 bulan).
Periksa Perut
1. Adakah ketegangan perut (apendixitis/peritonitis)
2. Hepatomegali (sepsis).
3. Masa (pylorix stenosis/intussuscepsi).
4. Distensi (obstruksi usus/ileus paralitik).
5. Colok dukur untuk mengecek apakah ada darah atau berak kecoklatan untuk intususcepsi.
6. Riwayat trauma kepala :
- Ada pembekakan di permukaan kepala.
- Respon pupil
25
- Fundus
- Parameter neorologi berupa cara jalan dan keseimbangan.
Penatalaksanaan
1. Cek keton urine : pada anak yang gemuk sangat sulit dilihat tanda dehidrasi.
2. Cek nitrit urine/lekosit : jika curiga infeksi ssaluran kencing atas.
3. Foto sinar X :
a. Dada pada anak yang muntah dengan gejala nafas atau nyeri abdominal/ketegangan epigastrium.
b. Ginjal, ureter, kandung kencing jika muntahan empedu atau darah.
c. Kepala jika ada riwayat trauma terutama pada anak-anak.
4. Cek gula darah jika terjadi penurunan kesadaran
a. Anak-anak yang mengantuk dengan kadar gula rendah dan hepatomegali biasanya sepsis atau
sindrom reye’s.
b. Anak-anak yang mengantuk hiperglekemi dan pernafasan berat biasanya diabetis keton asidosis.
5. Rehidrasi pada dehidrasi berat 10%
a. Pasang infus.
b. Beri crystalloid (NS/cairan Hartmann’s) 20 ml/kg selama 20 –30 menit.
c. Laborat : DL, RFT, elektrolit
d. Konsul dokter anak dan bawa ICU anak.
Disposisi
1. Konsul
a. Anak dengan muntah /diare memperlihatkan anoreksia dan dehidrasi dimana tidak mempan
dengan antiemetik/ antispasmodik/sudah terjadi kegagalan pengobatan awal.
b. Anak dengan tanda ketegangan epigastrik dengan dehidrasi ringan tetapi anak kurang bisa mi-
num air dan oralit.
c. Anak dengan riwayat trauma kepala dengan muntah berat dikonsulkan bedah anak.
2. Monitoring :
a. Tanpa atau dengan dehidrasi.
b. Orang tua memberi air atau oralit dalam jumlah kecil tapi sering kira-kira 6 – 8 jam .
c. Sirup prometasi dan antiemetik ringan .
d. Jika karena virus maka timbul gejala 24 – 48 jam rehidrasi sebelum 8 – 12 jam beritahu orang
tuanya.
26
13. Diare dan Muntah
Caveats
Diare dan muntah merupakan keluhan yang sering di IRD dan pada kebanyakan kasus, diare toksigenik
akibat makanan, yang dapat sembuh sendiri dan hanya memerlukan terapi simtomatis dan rehidrasi.
Kesalahan diagnosis yang paling berbahaya pada diagnosis banding diare akut adalah pada kasus bedah ab-
dominal, seperti apendisitis, obstruksi usus, kehamilan ektopik, dsb.
Pada pediatrik, muntah dan diare mungkin memberi gambaran non spesifik untuk berbagai penyakit yaitu
otitis media, infeksi traktus urinarius, asidosis metabolik, peningkatan TIK, racun/obat-obatan, malrotasi
dan invaginasi.
Pada orang tua, hati-hati kemungkinan kolitis iskemia, yang berhubungan dengan tingginya mortalitas.
Bila muntah timbul tanpa diare, harus dicari penyebab non infeksi.
Pada penilaian klinis status umum hidrasi dan nutrisi harus dicatat. Harus disingkirkan penyebab diare dan
muntah dari kasus bedah abdomen dan ekstraintestinal, pasien kemudian dapat diterapi simtomatis.
Penatalaksanaan
Terapi simtomatis
Lihat tabel 1 untuk terapi simtomatis diare dan muntah
Terapi rehidrasi
1. Rehidrasi Intravena (IV)
a. Indikasi: muntah berat; dehidrasi berat; penurunan status mental dan ileus.
b. Harus dipertimbangkan pada pasien dengan dehidrasi ringan yang tidak dapat mentoleransi
cairan secara oral. Keluhan simtomatis akan membaik setelah hidrasi IV 1 – 1,51 cairan
Hartman selama 2 – 4 jam. Pada anak, lihat pemberian cairan pada pediatrik.
c. Penilaian klinis dalam terapi: selain tanda klinis, adanya ketonuria pada urine dapat dipakai
sebagai indikator dehidrasi.
2. Rehidrasi Oral
a. Rehidrasi oral sama efektifnya dengan IV pada pasien yang dapat mentoleransi secara oral.
b. Pemberian dalam jumlah kecil secara berulang.
c. Prinsip: air dan sodium memasuki sel intestinal melalui linking (coupling) satu molekul
organik, glukosa. Cairan oral harus mengandung glukosa untuk menstimulasi absobsi air dan
elektrolit melalui usus kecil. Sodium glukosa ini ini coupled dengan mekanisme absorbsi aktif
yang tidak bekerja akibat toksin enterik.
Pemeriksaan di IRD
Umumnya tidak diperlukan dehidrasi klinis dan dalam waktu yang lama memerlukan pemeriksaan
urea/ elektrolit.
Pemberian antibiotik
Kebanyakan diare toksigenik akibat makanan tidak memerlukan antibiotik.
Durasi diare traveler (E. Coli, Shigella) dapat diperpendek sebagian dengan ciprofloxacin atau bactrim.
Indikasi: diare invasif ditandai demam dan diare berdarah dapat diduga diare bakterial.
Pilihan:
1. Ciprofloxacin merupakan obat pilihan secara empiris. Dosis: 500 mg sehari 2 kali. Durasi: 3 hari (dosis
tunggal dapat digunakan efektif). Kontraindikasi pada pediatri (<18 tahun). Berikan bactrim sebagai
alternatif.
2. Metronidazole (Flagyl)
Dosis: 800 mg sehari 3 kali. Durasi 5 hari. Indikasi pada dugaan infeksi protozoa (giardiasis atau
amoebiasis).
27
Indikasi perawatan:
Diare invasif memerlukan pemeriksaan feses
Tidak mampu menerima cairan oral
Memastikan diagnosis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
Penatalaksanaan komplikasi: dehidrasi berat, abnormalitas elektrolit.
Anti diare
Lomotil PO 2 tablet 3 x sehari Untuk menurunkan frekuensi diare
(diphenoxylate) Tidak direkomendasikan pada anak <
9 tahun
Imodium PO 2 mg 3 x sehari Catatan: pemberian antidiare
(Loperamide) umumnya tidak direkomendasikan
Activated charcoal PO 1-2 tablet 3x sehari/ prn untuk invasive enteritis yang dapat
meningkatkan resiko invasi
Bismuth subsalicylate Dewasa organisme ke usus. Hindari pada
PO 2 atau 30 ml tiap 1 jam pasien yang sensitif dengan aspirin.
prn
PO Anak
(9-12 th) 1 tab atau 15 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
(6-9 th) 2/3 tab atau 10 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
(3-6 th) 1/3 tab atau 5 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
Antispasmodik/ mo-
tilitas IM 20-40 mg Untuk simtomatis kolik abdomen
Buscopan (hyoscine PO 10 mg 3x sehari yang berhubungan dengan diare
N-butylbromide) Secara umum kontraindikasi pada
enteritis invasif.
28
14. Demam (Fever)
Caveats
Demam dapat disebabkan oleh banyak penyebab yang bervariasi mulai dari sakit ringan, akibat infeksi vi-
rus yang bersifat self limiting hingga septisemia sistemik.
Sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan menangani pasien febrisdengan penyebab infeksi, terutama
pasien anak dan lansia, dimana demam dapat merupakan gejala satu-satunya dari severe sepsis.
Terapi pasien febris yang tidak stabil dengan sepsis berat meliputi maintenance oksigenasi yang adekuat
serta perfusi organ, mendapatkan specimen untuk kultur serta mulai pemberian terapi antibiotik sesuai data
empiris.
Pertimbangkan kemungkinan meningococcaemia pada pasien febris dengan purpuric rash.
Pemeriksaan
Anamnesa melputi berat dan lamanya demam, tanda dan gejala local, penyakit lain yang menyertai, riwayat
melakukan perjalanan, riwayat imunisasi, riwayat kontak, riwayat pengobatan, alergi, penyalahgunaan obat
atau alkohol.
Catatan : jika terdapat riwayat perjalanan maka daerah tujuan sangat penting untuk diketahui karena ada
penyekit tertentu terkait dengan daerah tertentu, misalnya di Thailand, malaria falsiparum sudah resisten ter-
hadap berbagai obat-obatan.
Manajemen
Manajemen pasien febris tergantung pada keadaan pasien apakah pasien stabil dengan penyakit ringan
yang bersifat self-limiting atau tidak stabil dengan penyebab potensial untuk menyebabkan kematian.
Pemeriksaan penunjang (Bisaanya tidak diperlukan pada pasien febris yang stabil)
FBC : termasuk hitung lekosit total, diff count, hitung netrofil absolute, trombosit.
Cek GDA untuk mengetahui adanya komplikasi hiperglikemi seperti KAD, terutama pada seluruh pasien
febris toksik, bahkan pada pasien tanpa riwayat diabetes sebelumnya.
Urine dipstick dan kultur
Blood film untuk mencari parasit malaria
Kultur darah
CXR
Penatalaksanaan
Jika pasien dalam keadaan syok septic, lihat bab Sepsis/septic shock
Terapi simtomatis dengan antipiretik, seperti paracetamol 1g tiap 6 jam atau pemberian NSAID seperti
diklofenac (Voltaren) atau ibuprofen.
Catatan : Diklofenak (Voltaren), meskipun secara umum dapat digunakan sebagai antipiretik, namun tidak di-
indikasikan untuk mengatasi gejala demam yang timbul secara tunggal.
Antibiotik empiris (Ceftriaxone 1 g iv) harus diberikan pada pasien sepsis setelah memperoleh speci-
men untuk pemeriksaan kultur darah.
Pada pasien dengan sepsis neutropeni, Ceftazidime 1 g dengan 1-1,5mg/kgBB Gentamycin harus
diberikan pada pasien. Lihat bab Oncology Emergencies
Untuk sepsis intraabdominal, ampicillin iv 500mg bersama dengan gentamycin 80mg iv dan metroni-
dazole 500mg iv atau Ceftriaxone 1 g dengan metronidazole 500mg harus mulai diberikan.
Penempatan
MRS-kan pasien febris yang tidak stabil pada medical department (High Dependency Unit atau ICU)
Jika ada sepsis netropenik, MRS kan pada bagian High Dependency Oncology Ward.
Jika berpotensi untuk dilakukan operasi akibat sepsis intraabdominal, masukkan pada bagian Bedah.
Rujuk pasien yang dicurigai menderita Dengue Fever pada Medical SOC untuk FBC ulang. Lihat Bab
Dengue fever.
30
15……………………
15. Pusing (Giddiness)
Francis Lee- Shirley Oei
Penting
Walaupun perbedaan jelas antara vertigo dan non spesifik pusing atau rasa melayang
berguna dalam menentukan suatu diagnosa, banyak penderita tidak dapat
menceritakan dengan tepat yang mereka rasakan
Vertigo condong menunjukkan masalah di telinga atau otak sedangkan pusing yang
tidak spesifik mempunyai banyak penyebab.
Perasaan melayang sebagai gejala seringkali lebih berbahaya dan penanganannya
seperti pada sinkop/ presinkop
Penting, pada saat pertama kali, harus dipastikan bahwa penderita tidak mempunyai
penyakit yang membahayakan kehidupan yang berarti:
1. Penyakit jantung iskemi, contoh sindrom koroner akut
2. Gagal jantung
3. Irama jantung yang tidak teratur
4. Stroke
5. Sumber dari hipovolemi, contoh perdarahan saluran gastro intestinal
6. Problem ginekologis: kehamilan ektopik/ perdarahan pervaginam
7. Hipoglikemia
Penilaian pada orang tua lebih kompleks karena masalah menahun seperti pada
kelainan penglihatan dan langkah yang tidak stabil dapat dianggap sebagai pusing/
giddiness
..
31
16. Haemoptysis
Definisi
Haemoptysis didefinisikan sebagai pengeluaran/batuk darah atau sputum yang mengandung darah yang be-
rasal dari bagian bawah vocal cord atau yang telah teraspirasi ke dalam tracheobronchial tree.
Haemoptysis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan : darah kurang dari 5 ml dalam 24 jam.
2. Massif : 50 ml pada setiap kali usaha pengeluaran/batuk atau lebih dari 600ml darah dalam 24 jam. Ini
terjadi pada 5% dari seluruh kasus Haemoptysis.
Caveats
Haemoptysis dapat dikaburkan dengan hematemesis (tabel 1).
Pemeriksaan fisik digunakan untuk menentukan keparahan Haemoptysis namun tidak dapat menetukan lo-
kasi perdarahannya.
Pencarian deep vein thrombosis pada ekstremitas bawah diindikasikan untuk mengetahui adanya pulmo-
nary embolism sebagai salah satu penyebab Haemoptysis. (tabel 2)
Haemoptysis massif dapat mengancam nyawa karena ancaman asfiksia, daripada exsanguination. Sedikit-
nya 150ml darah dapat menyebabkan sufokasi.
Perdarahan yang sampai berakibat pada distress respiratori dan perubahan pertukaran gas akan mengancam
nyawa, tidak bergantung pada jumlah darah yang dikeluarkan.
Penyebab umum Haemoptysis ringan adalah URTI.
Caveats
Penyebab sakit kepala yang berpotensi mengancam nyawa dan penglihatan antara lain :
1. SAH (Subarachnoid Haemorrhage): pasien datang dengan sakit kepala yang onsetnya tiba-tiba, sering
terkait dengan nausea, vomiting, penurunan kesadaran (yang dapat terjadi secara singkat) serta kaku
kuduk, lihat bab Subarachnoid Haemorrhage.
2. Meningoencefalitis : pasien bisaanya febris dan mengantuk dengan tanda-tanda meningeal.
3. Space-occupying atau lesi massa (abses otak, tumor otak): sakit kepala kadang memburuk pada pagi
hari dan bertambah dengan adanya maneuver valsava dan batuk. Pasien sering memiliki gejala neu-
rologik fokal atau kejang.
4. Arteritis temporalis : pasien bisaanya wanita, usia lebih dari 50 th dan sering muncul dengan sakit
kepala berdenyut yang keras, rasa terbakar dan unilateral. Ada nyeri tekan pada arteri temporal ipsila-
teral. Lihat bab Temporal Arteritis.
5. Glaukoma : Sakit kepala bisaanya terdapat didalam dan di sekitar bola mata. Terdapat injeksi atau ke-
merahan pada mata, terdapat edema kornea dan dilatasi ringan pupil. Lihat bab Blurring of Vision,
Acute.
Perhatikan pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala berat untuk pertama kalinya atau dengan peru-
bahan kualitas dan intensitas sakit kepala yang berbeda dengan sakit kepala sebelumnya.
Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sering dikaitkan sebagai penyebab sakit kepala. Jangan me-
nyimpulkan peningkatan tekanan darah yang terjadi sebagai penyebab sakit kepala kecuali tekanan diastol-
ic melebihi 130 mmHg.
Seluruh pasien dengan riwayat kecemasan/worrisome membutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan CT scan
kepala, dan jika negative dapat dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan adanya SAH.
Manajemen
Pasien harus ditangani pada area intermediate. Namun bila terdapat keadaan AMS atau terdapat instabilitas
hemodinamik, maka pasien kemungkinan besar tidak mengalami HA, tetapi ada proses penyaklit lain yang
lebih serius yang membutuhkan penanganan pada area critical care.
Lakukan pemeriksaan SpO2 pada tiap pasien sebelum mendiagnosa HA.
Berikan terapi untuk menyamankan perasaan pasien.
Anjurkan untuk malakukan teknik bernafas yang baik.
Catatan : Rebreathing ke dalam sebuah kantong telah dinyatakan berbahaya karena dapat menyebabkan
hipoksemia, serta tidak efektif dalam meningkatkan kadar PCO2 pada level yang signifikan.
Monitoring : sebagian besar kasus hanya membutuhkan monitoring pulse oksimetri.
Catatan : Pasien dengan HA yang sebenarnya akan memiliki hasil SpO2 yang normal.
Lab :
1. Harus dilakukan : pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi keadaan hiperglikemi
2. Pilihan : BGA akan menunjukkan alkalosis respiratori pada HA. Alternatifnya, tes ini dapat
menunjukkan adanya asidosis metabolic.
CXR : untuk menginvestigasi adanya pneumotoraks, pneumonia, atau emboli paru.
EKG (terutama >40 tahun) untuk mengetahui kemungkinan emboli pulmonal, perikarditis atau iskemia.
Terapi obat (pada pasien yang tidak merespon pada usaha ‘istirahat’ dan ‘reassurance’) :
1. Valium (diazepam) dosis 5 mg po
2. Dormicum (midazolam) dosis 2,5 mg iv (jarang diperlukan)
36
Penempatan : sebagian besar kasus dapat KRS. Jika keadaan ini sangat mengganggu pasien, maka rujuk ke
bagian psikiatrik untuk rawat jalan. Pada beberapa pasien akan bermanfaat apabila diberikan resep
alprazolam (Xanax) 1-2 dosis per oral.
37
19. BENGKAK TUNGKAI BAWAH
PERHATIAN
Pembengkakan tungkai bawah merupakan keluhan yang umu dijumpai dan seringkali muncul dengan tanda dan
gejala penyerta yang tidak spesifik. Tabel 1 menunjukkan penyebab-penyebab penting pembengkakan tungkai
bawah.
Seperti halnya semua konsultasi, penggalian riwayat penyakit yang baik akan dapat mengurangi jumlah diagno-
sis banding.
Gambaran Klinis
Nyeri hebat pada tungkai, nyeri timbul pada regangan pasif otot, pucat, parestesia, tidak terabanya denyut nadi
dan paralysis merupakan enam tanda klasik iskemia otot.
Adanya nyeri pada luas gerak otot pasif merupakan tanda yang paling awal. Tanda lainnya termasuk pemanjan-
gan pengisian balik kapiler serta terganggunya diskriminasi 2-titik.
Palpasi pada otot yang terkena sindroma kompartemen akan terasa tegangan dan menimbulkan nyeri tekan.
Penyebab Tersering
Tungkai bawah: fraktur tibia atau fibula
Tungkai atas: fraktur suprakondiler humeri
Luka bakar elektrik tegangan tinggi yang melibatkan otot
Komplikasi
Mioglobinuria berat, gagal ginjal, hiperkalemia dan kematian.
Kontraktur iskemik Volkmann’s dan hilangnya fungsi tungkai.
Caveats
Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya ‘acute abdomen’, bukan un-
tuk menentukan diagnosa spesifik.
Identifikasi pasien tersebut melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring terlentang (per-
forasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu berubah posisi (kolik usus be-
sar/kolik ureter).
Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Lihat tabel 1
Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai terbukti lain.
Ada 3 alasan untuk dilakukan abdominal X ray :
1. Untuk mengidentifikasi ‘free air’ atau udara bebas (pada perforasi viscus)
2. Untuk mengidentifikasi udara/cairan ‘interfaces’ (pada obstruksi intestinal).
3. Untuk mengidentifikasi kalsifikasi ektopik (urelitiasis, kalkuli hepatobiliari, pankreatitis, AAA)
Catatan : jika dicurigai terdapat perforasi ulkus peptikum dan gambaran CXR menunjukkan udara
subdiafragma yang tidak jelas, maka pemasukan 200ml udara kedalam lambung melalui NGT dapat
menunjukkan gambaran udara bebas pada X ray. Praktek ini dipertimbangkan pada beberapa tempat
dan menjadi kebisaaan, dan masih bersifat controversial; dimana ada pendapat yang menyatakan
bahwa pada keadaan adanya tanda-tanda perforasi, pemasukan udara ke dalam lambung tidak akan
merubah manajemen/penatalaksanaan (misalnya operasi), serta dapat memperburuk ‘spillage’ isi
usus besar ke dalam kavum peritoneum.
Caveats
Anamnesa yang baik tetap memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa penyebab nyeri dada
yang dapat mengancam jiwa. (Tabel 1)
Setelah mengeksklusi 6 penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa, penyebab penting lain namun
tidak mengancam jiwa yang terlihat pada tabel 2 juga harus dieksklusi.
Catat penyebab yang benign/ringan seperti nyeri musculoskeletal, kostokondritis, nyeri dada psikogenik
dan neuralgia pada early herpes zoster, harus didiagnosa eksklusi.
Pada Multicentre Chest Pain Study (MCPS), perasaan chest discomfort yang serupa seperti serangan awal
MI atau lebih buruk dari angina yang sering dirasakan pasien merupakan factor resiko independen terkuat
untuk MI dan kecenderungan untuk menderita Acute Coronary Ischaemia.
Pada MCPS, faktor resiko tinggi untuk menderita IMA dan iskemik antara lain :
1. Waktu sejak onset nyeri ≤ 4 jam
2. Episode terpanjang nyeri ≥ 30 menit
3. Nyeri digambarkan sebagai perasaan ‘tertekan’
4. Penjalaran nyeri pada lengan kiri, bahu, leher atau dagu
5. Riwayat angina atau MI
6. terdapat perubahan EKG pada ED yang menunjukkan iskemik atau infark
Prediktor tunggal terbaik dari ACS adalah diketahuinya riwayat IMA atau adanya CAD. Resiko kejadian
pada arteri koronaria adalah 5 kali lebih tinggi pada pasien dengan CAD.
Menurut Framingham study (Faktor resiko misal usia, jenis kelamin pria, merokok, hipertensi, DM, hiper-
kolesterolemia, riwayat keluarga) telah menunjukkan bahwa factor tersebut bisa menjadi prediktor bagi ter-
jadinya CAD dalam periode 14 tahun pada setting rawat jalan, namun penelitian ini tidak pernah mengi-
dentifikasi pasien nyeri dada di bagian ED manakah yang menderita iskemik kardiak akut. Sehingga tidak
ada satupun factor resiko spesifik tunggal yang dapat menjadi prediktor bagi terjadinya IMA atau iskemik
45
koronari akut. Dengan demikian, profil factor resiko tidak dapat distratifikasi juga tidak dapat digunakan
untuk memprediksi IHD pada ED.
Nyeri dada bersifat pleuritik atau tereksaserbasi dengan adanya pergerakan pada 5-8% pasien IMA.
5% pasien IMA juga menderita nyeri tekan dinding dada secara bersamaan.
3 keadaan dibawah ini apabila terjadi bersamaan, akan membawa kita pada kecurigaan iskemik kardiak, an-
tara lain :
1. Nyeri dada yang tajam atau seperti tikaman.
2. Tidak ada riwayat angina atau MI
3. nyeri timbul dengan penekanan dinding dada atau dengan perubahan posisi atau karena komponen
pleuritik.
Chest discomfort yang terkait dengan nausea harus diasumsikan sebagai iskemik kardiak sampai terbukti
tidak. Juga pada pasien dengan gejala ‘heartburn’ atau gangguan pencernaan sampai terbukti bukan kar-
diak, atau telah menjalani pemeriksaan yang lengkap dan diterapi sebelumnya.
Pikirkan tentang aortic dissection pada pasien dengan nyeri dada yang dicurigai IMA namun diikuti juga
dengan gejala neurologik.
Gejala terkait lainnya seperti diaphoresis, dispneu dan sinkope juga terlihat pada pasien IMA, PE serta aor-
tic dissection, sehingga kurang dapat menjadi criteria untuk mendiagnosa banding ketiganya. Akan tetapi
adanya gejala-gejala tersebut mengindikasikan adanya suatu keadaan penyakit yang serius.
Pada nyeri dada, hasil EKG yang normal tidak dapat menyingkirkan ACS, namun menempatkan pasien pa-
da posisi resiko yang lebih rendah untuk mengalami gejala sampingan. Hanya sekitar 65-78% hasil EKG
pasien yang MRS, yang menunjukkan adanya kemungkinan MI. Kuncinya adalah lakukan pemeriksaan
EKG secara serial.
Individu dengan usia diatas 65 th memiliki kemungkinan gejala yang tidak khas dengan hasil ‘missed diag-
nose’ atau ‘delayed’
Manajemen
Pastikan tanda-tanda vital stabil. Jika tidak stabil, pasien mengalami distress atau diaforesis, bawa pasien
untuk resusitasi pada area immediate seepatnya. Rawat pasien dengan ACS secepatnya.
Berikan olsigen, pasang pulse oksimetri, monitoring continuous EKG, monitoring tekanan darah.
Periksa segera EKG 12 lead. Peran EKG dalam kasus nyeri dada adalah termasuk criteria diagnosa IMA,
iskemik dan PE.
Jika EKG normal atau mencurigakan namun belum menunjukkan ACS, lakukan pemeriksaan EKG serial
dengan interval yang dekat.
Pasang iv plug dan lakukan pemeriksaan darah untuk enzim kardiak serta biomarker lainnya, misalnya
mioglobin dan troponin T.
Ingat : Jangan sampai membuat kesalahan dengan mengeksklusi nyeri dada iskemik hanya dengan melihat
hasil troponin T atau enzim kardiak lain yang normal pada saat berada pada ED. Lihat tabel 3 untuk inter-
pretasi bermacam-macam marker kardiak.
Berikan obat peringan nyeri tergantung pada diagnosa yang dibuat.
Lakukan CXR. Peran CXR pada nyeri dada dalam penegakan diagnosa:
1. Komplikasi IMA, seperti gagal jantung dan edema pulmonal
46
2. Aortic dissection
3. Dengan penyebab respiratori, misal pneumothorax, pneumonia, keganasan paru, fraktur tulang iga.
4. PE perifer
5. Pneumomediastinum, misal rupture spontan bullae paru, rupture esophagus.
Beberapa pedoman mengenai penempatan pasien dengan nyeri dada :
1. MRS-kan ACS dengan perubahan EKG atau nyeri yang terus menerus ke dalam CCU.
2. MRS-kan unstabel angina tanpa ada perubahan EKG, atau jika nyeri telah hilang pada bangsal
umum kardiologi.
3. MRS-kan pasien dengan diagnosa sindrom nyeri dada tidak khas (atypical chest pain syndrome)
dengan factor resiko CAD pada bangsal umum kardiologi, kecuali ED memiliki Chest pain Ob-
servational Unit untuk pengawasan yang berkelanjutan.
4. Stabel angina dapat di KRS-kan dengan memulai pengobatan (aspirin 300mg kemudian cardiprin
100mg OM (occipitomental), isosorbide dinitrat 5-10mg dibagi dalam 3 dosis, propanolol 20mg
dibagi dalam 2 dosis) apabila tidak ada kontraindikasi, kemudian rujuk pada poliklinik kardiologi
untuk follow up. (Kelompok pasien ini kemungkinan bukan merupakan pasien CAD apabila da-
tang pada ED dengan riwayat stabel angina. Disarankan untuk memasukkan/merawat pasien nyeri
dada dengan riwayat CAD ke dalam RS.)
5. MRS-kan pasien dengan aortic dissection pada CT ICU.
Catatan : onset angina terbaru yang menyerupai angina stabel yang didapat menurut riwayat da-
lam anamnesa, dipertimbangkan sebagai Unstabel angina (UA). Sehingga seluruh serangan an-
gina yang terjadi untuk pertama kali harus diMRS-kan walaupun hasil EKG-nya normal.
Untuk terapi kasus dengan penyebab nyeri dada yang mengancam jiwa, lihat pada pembahasan masing-
masing bab.
47
Caveats
Pasien dengan Low Back Pain (LBW) akut yang membutuhkan perawatan immediate antara lain :
1. Hemodinamik tidak stabil (kelompok yang paling kritis)
2. Dengan trauma yang signifikan
3. Nyeri musculoskeletal yang tidak tertahankan
Pasien dengan nyeri punggung bersamaan dengan nyeri abdomen merupakan pasien yang berada dalam
resiko serius adanya perdarahan intrabdominal atau retroperitoneal dan membutuhkan evaluasi yang tepat
serta monitoring yang ketat.
Pasien yang sangat menderita akibat musculoskeletal back pain dengan tanda vital stabil dapat diberi obat
analgesik apabila telah melalui pemeriksaan awal.
Pasien dengan defisit neurologik progresif atau dengan disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus besar
membutuhkan tindakan dekompresi melalui pembedahan.
Ada beberapa indikasi untuk foto polos lumbosakral pada ED :
1. Manifestasi klinis yang muncul mendukung adanya malignansi dengan kemungkinan metastase pada tu-
lang belakang bagian lumbal.
2. Ada riwayat trauma vertebrae yang bermakna.
3. Demam dan nyeri tekan yang terlokalisir yang menyokong adanya osteomielitis.
4. Ada deficit neurologist yang tidak dapat terjelaskan dan bersifat akut.
Terapi konservatif merupakan manajemen utama, meliputi relaksasi otot melalui bed rest, terapi panas atau
dingin, obat-obatan muscle-relaxing, serta analgesik yang adekuat. 90% pasien akan berespon terhadap tera-
pi tersebut.
Manajemen pasien bisaanya dilakukan dengan rawat jalan, dimana usulan MRS dilakukan pada pasien
dengan defisit neurologi atau nyeri yang terus menerus.
Catastrophic Illnesses
Dapat bermanifestasi sebagai LBP
Ruptur AAA (Abdominal Aortic Aneurysm) : bisaanya terjadi pada pasien pria usia pertengahan atau
usia tua dengan riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular, yang muncul dengan LBP dan nyeri
abdomen yang diikuti dengan pulsasi yang cepat, sinkop, serta hipotensi borderline atau hipotensi yang
nyata.
Ruptur Kehamilan Ektopik : seorang wanita berusia subur dengan factor resiko terjadinya kehamilan
ektopik, muncul dengan LBP onset akut, terkait dengan perdarahan vagina, sinkop dan nyeri abdomen
unilateral.
Cauda equina Syndrome : merupakan sebuah kasus lumbar disc disease yang jarang terjadi namun
memiliki komplikasi yang sangat serius. Pasien muncul umumnya dengan gejala LBP, dengan
penjalaran unilateral atau bilateral, anestesi perifer, kelemahan motorik dari ekstremitas bawah, dan
disfungsi sfingter (bisaanya retensi urin). Secara klasik, intervensi bedah dalam 6 jam sejak onset
gejala, dipertimbangkan sebagai tindakan preventif esensial untuk mencegah defisit neurologik
permanent.
Acute spinal cord compression : akibat proses ekspansi dari massa tumor, dapat muncul sebagai LBP
dengan deficit ekstremitas bawah, deficit bowel dan kandung kemih. Keadaan ini memerlukan interven-
si immediate unutk mencegah deficit neurologik permanent.
Manajemen
Pasien dengan Instabilitas Hemodinamik dan atau memiliki riwayat trauma yang Bermakna
Pasien selalu ditangani dalam area critical care
Peralatan intubasi dan resusitasi harus selalu berada dalam keadaan siap pakai
Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
Pasang setidaknya 2 jalur intra vena yang besar.
Berikan Hartmann’s solution secara iv 1 liter kemudian ulangi pemeriksaan parameter yang ada.
Berikan transfuse darah yang spesifik bila diperlukan.
Lab : GXM 4-6 unit, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, HCG urin jika diperlukan.
Monitoring EKG, tanda-tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri.
Penempatan :
1. Konsultasi awal dengan bedah TKV (untuk suspek AAA) atau
2. Bedah umum dan ortopedi (dalam kasus trauma), atau
3. OBG (dalam kasus kehamilan Ektopik)
CAVEAT
penyebab akut scrotal biasanya dapat dipastikan dari riwayat sakit, pemeriksaan fisik dan urinalisa.
Tidak pernah ada diagnosa epididimitis pada prepubertas dengan nyeri scrotal. Ini adalah torsio testis
sampai terbukti sebaliknya.
Bila tersedia colour Doppler ultrasound akan sangat membantu diagnosa.
Apabila ragu-ragu, hampir selalu dilakukan eksplorasi pembedahan secara hati-hati pada scrotum pen-
derita.
Trauma
biasanya terjadi pada kedua sisi
ada kerusakan kulit yang jelas
sebagian besar dapat membaik tetapi harus tetapdi follow up
perdarahan scrotal spontan yang tidak diketahui penyebabnya: cari kerusakan yang meluas dan melebihi
cincin inguinal superficial
PADA ANAK-ANAK
sangat dipengaruhi oleh kelompok usia
acute epididymo-orchitis biasanya disebabkan:
1. virus, tetapi penyebab terbanyak adalah E.Coli
2. lakukan urinalisa untuk melihat adanya piuria
3. MRS untuk
a. menyingkirkan torsio
b. pemeriksaan urinary tract untuk kelainan-kelainan konginetal
udem scrotal idiopatik
1. pembengkakan pada kedua scrotum tanpa hyperemia, tanpa nyeri.
2. berkaitan dengan haemolitic streptococcus, henoch-sconlein purpura, dan kadang-kadang leukemia
akut
tidak ada tanda klinis yang spesifik yang dapat membedakan torsio dan epididymitis. Keduanya
ditandai dengan pembengkakan dan nyeri testis. Adanya riwayat dysuria dan secret uretral lebih
mengarah pada epididymitis.
Pemeriksaan yang menyatakan testis horizontal
Segera konsul urologi
Doppler ultrasound sangat bermanfaat untuk diagnosa segera, tetapi penanganan difinitif tidak boleh
terlambat.
Bila diagnosa sulit ditegakkan maka eksplorasi dengan pembedahan harus segera dilakukan.
Keselamatan testis tergantung dari lamanya waktu antara mulai terjadinya gejala dan pem-
bedahan.(interval yang bias diterima umumnya 6 jam )
Torsio hidatid
prinsipnya terjadi pada anak2 prepubertas (10-12 th)
nyeri akut minimal muncul setelah 2-3 hari
lokasi tenderness berada diatas scrotum
pasien sering mengalami reactive hidrocele dan diperiksa adanya strangulated hidatid (blue dot sign)
apabila diagnosa sudah dapat dipastikan, maka sebagian besar akan berespon dengan
anakgesik/NSAIDs. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa nyeri dan bengkak dapat memberat dalam 48-
72 jam
eksplorasi pembedahan dan eksisi munkin perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus yang meragukan
epididymo-orchitis
berkaitan dengan infeksi seksual menular, khususnya chlamydiatrachomatis
di ED penanganan dengan analgesic dan urogesik(phenazopiridine) 1 tabl. (analgesic utk saluran kemih
yang disertai dysuria) dan dapat juga untuk penanganan penyakit menular seksual. Pasien di MRS kan
bila diagnosanya meragukan.
Antibiotic terpilih adalah doxyciclin.
Adanya riwayat mumps parotis dapat dipastikan terjadi orchitis
Tumor testis
ditandai dengan nyeri scrotum yang akut, yang mengarah pada perdarahan intramural dan capsular ex-
tension yang berkaitan dengan inflamasi.
Dapat menyerupai epididymo-orchitis
Arahkan ke urologi untuk evaluasi lebih lanjut.
PENILE PROBLEM
Balanoposphitis
inflamasi pada glands penis (balanitis) dan posphitis, bila berulang, pastikan adanya diabetes dan pen-
yakit yang mendasari
pada pemeriksaan tampak retraksi pada permukaan kulit dan kotor, secret purulent dan glands teraba
tegang.
Management;
1. kebersihan yang baik
2. krim antijamur topical
3. sirkumsisi
4. jika muncul skunder infeksi, berikan antibiotic spectrum luas, seperti ciprofloxacin 500 mg selama
7 hari. Jika terdapat penyakit menular seksual tambahkan doksisiklin 100 mg selama 14 hari.
5. jika kasusnya berulang, cari kemungkinan diabetes mellitus
6. waspadai terjadinya kekerasan pada anak
7. jika ada phimosis, pasien harus segera di sircumsisi.
Phymosis
adalah dimana preputium penis tidak dapat ditarik atau diretraksi ke proksimal sampai ke korona glans
penis. Ini biasanya skunder dari infeksi kronis pada permukaan kulit dengan jaringan parut yang pro-
gresif.
Management:
1. tindakan emergency bila terjadi dilatasi dari arteri di permukaan kulit,
2. tindakan difinitif adalah sirkumsisi
paraphimosis
adalah preputium penis yang diretraksi sampai ke sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada
keadaan semula dan timbul jeratan pada penis di belakang sulkus koronarius.
Management: tindakan emergency diindikasikan sejak terdapatnya tekanan pada pembuluh darah, yang
dapat menyebabakan :
1. bila berlanjut dan menekan glands penis selama 5-10 menit, akan menimbulkan edema dan
menekan permukaan kulit sampai di glands penis. Rasa nyeri dapat dikurangi dengan pemberian
lignokain gel atau dilakukan blok pada nervus dorsalis penis dengan lignokain 1% 5 ml.
2. bila cara manual tidak berhasil, maka dapat dilakukan dengan local anastesi tanpa adrenalin dan
dilakukan dorsal slit procedure.
3. defintif terapi adalah dengan sircumsisi.
Priapismus
adalah nyeri yang timbul sasat ereksi yang mungkin juga berhubungan dengan retensi urine.
Merupakan kegawatan medis (table)
pada pemeriksaan
management;
1. segera konsultasi urologi
53
2. terbutaline 0.25 – 0.5 mg tiap 4-6 jam. Ini merupakan terapi awal pada kasus priapismus baik yang
reversible maupun yang irreversible, tetapi tetap jangan membuang waktu untuk konsultasi urologi bila
respon terapi tersebut tidak mencapai 100 %.
3. aplikasi dengaan memberikan balok es, sedasi dan analgesic dapat diberikan meskipun ini kurang
efektif.
4. terapi selanjutnya tergantung dari penyebab yang mendasari terjadinya priapismus.
5. bila datangnya urologist terlambat, dapat dilakukan aspirasi darah 50 ml pada corpora cavernosa
dengan menggunakan jarum 18G atau yang lebih besar. Prosedur ini dapat diulang dan diikuti dengan
irigasi dengan menggunakan cairan saline hangat yang mengandung heparin . pada beberapa kasus
diberikan injeksi corporal dengan 200 ug phenylephrine. (dimonitor vital sign tiap 5 menit).
6. jika ini gagal maka tindakan drainase dengan pembedahan perlu dipertimbangkan.
Torn prenulum
umumnya terjadi selama masturbasi yang berlebihan.
Pada pemeriksaan, oozing didapatkan disekitar frenulum.
Management;
1. ditekan langsung selama 5-10 menit
2. bila tekanan secara langsung tidak berhasil maka dilakukan jahitan dengan benang sutra yang dapat
diserap,
fraktur penis
umumnya terjadi karena kurangnya koordinasi dengan pasangan dengan posisi wanita di atas
pada pemeriksaan umumnya penis mengalami flaksid tetapi terdapat ekhimosis dan distorsi, dengan
nyeri yang bervariasi
management;
1. analgesic, sering digunakan parenteral agonis opiate
2. balok es
3. segera konsul urologi.
****************************
54
24. Palpitasi
Caveats
Denyut jantung yang abnormal hampir selalu disebabkan karena gangguan pada ritme kardiak, atau disrit-
mia dan apa yang dirasakan oleh pasien merupakan perubahan sekunder pada output kardiak (ingat bahwa
cardiac output berkaitan langsung dengan stroke volume dan Heart rate).
Takidisritmia menyebabkan peningkatan heart rate dan pengurangan stroke volume, sedangkan premature
ventricular contractions (PVCs) menghasilkan peningkatan stroke volume pada setiap denyut yang mengi-
kuti PVC sebagai hasil dari peningkatan filling time selama compensatory pause.
1. Jangan membuang waktu untuk mengidentifikasi sifat disritmia yang paling tepat, namun priori-
taskan untuk:Periksa status hemodinamik pasien
2. Putuskan apakah keadaan tersebut termasuk narrow atau wide complex dysrhythmia (tabel 1)
Jika keadaan pasien tidak stabil dengan tanda-tanda serius seperti
1. Gagal jantung atau dispneu;
2. Syok;
3. AMS;
4. Nyeri dada, maka lakukan immediate synchronized electrical cardioversion (untuk kedua tipe :
narrow dan wide complex).
Bukti-bukti yang ada tidak mendukung penggunaan lignokain untuk membedakan perfusi Ventricular tach-
ycardia (VT) dan Wide complex Tachycardia dengan asal yang tidak diketahui pasti.
Bukti-bukti tidak mendukung penggunaan Adenosine untuk membedakan perfusi VT dan Supraventrikular
(SVT) dengan aberrant ventricular contraction (SVT yang dikonduksi oleh 1 ventrikel saja akibat transient
bundle branch block).
Amiodarone saat ini merupakan DOC pada manajemen takidisritmia stabil, karena efek spectrum antidisrit-
mia-nya yang luas serta lebih sedikit menimbulkan efek inotropik negative dibandingkan dengan obat
lainnya.
Tabel 1 : Klasifikasi takidisritmia berdasarkan EKG
Narrow Complex Wide complex
Regular Irregular Regular Irregular
Sinus takikardi Atrial Fibrillation Monomorfik VT (gambar 3, 4 dan Polimorfik VT
5 serta tabel 2)
Supraventricular Tak- Atrial Flutter SVT dengan aberrancy (Gambar Semua complex tachy-
ikardi (SVT) (Gambar 1) dengan berbagai 6 dan tabel 2) cardia dengan BBB yang
variasi Block ireguler atau WPW syn-
drome (Gambar 7)
Atrial Flutter dengan
konduksi 1:1 atau 2:1 Multifocal atrial Setiap narrow complex tachycar-
(Gambar 2) tachycardia dia dengan BBB, yang regular,
atau Wolff-Parkinson- White
(WPW) syndrome
Gambar 1 : Supraventricular AV nodal reentrant tachycardia pada wanita usia 35 th yang datang dengan keluhan
palpitasi
Catatan : (1) regular, narrow QRS tachycardia sekitar 200/menit. (2) Tidak ada gelombang P yang
terlihat. Pemeriksaan elektrofisiologi lanjutan mengkonfirmasikan bahwa pasien menderita
supraventricular AV nodal reentrant tachycardia.
Manajemen
Lihat bab Cardiac Dysrhytmias/Resuscitation Algorithms untuk ringkasan penatalaksanaannya.
Terapi Suportif
Pasien harus ditangani pada area critical care, dimana monitoring EKG secara terus-menerus dapat di-
lakukan, dan tersedia peralatan resusitasi serta defibrillator.
Berika oksigen jika terjadi penurunan SpO2.
Monitoring EKG, tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur iv perifer.
Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead : apakah terdapat narrow atau wide complex disritmia?
Teknik Cardioversion
1. Tempatkan chest patches pada lokasi infraclavicular kanan dan apical (seperti halnya defibrilla-
tion).
2. Berikan diazepam iv atau midazolam untuk efek sedasi (jika tersedia).
3. Tekan tombol SYNC (synchronization) (tidak seperti defibrillation).
4. Pilih level energi, dimulai dari 100 joule untuk dewasa dilanjutkan dengan 200 J, 300J, dan 360 J
secara berurutan bila diperlukan.
Gambar 6 : takikardi Supraventrikuler dengan induksi konduksi ventrikuler tambahan pada laboratori elektro-
fisiologi seorang pasien usia 25th yang datang dengan keluhan palpitasi.
Catatan : (1) heart rate yang cepat yaitu 160x/menit (2) regular dan wide QRS complexes (0,12 detik)
dengan konfigurasi right bundle branch block yang khas (pola trifasik rSR’ pada V1). (3) tidak ada ge-
lombang p yang jelas terlihat.
Terapi
Narrow Complex Tachydysrhythmias
Terapi sangat tergantung dari diagnosa, misal sinus takikardi membutuhkan terapi penyebabnya (nyeri,
perdarahan, ansietas, efek antikolinergik, dsb).
Non farmakologis : penting dimana 25% pasien dengan SVT dapat dibantu dengan valsava maneuver
atau pemijatan sinus carotid (carotid sinus massage = CSM).
Catatan : Sinus carotid berlokasi di sudut mandibula, kemudian dengarkanlah suara ‘bruits’ sebelum
melakukan CSM. Beberapa klinisi menghindari CSM secara total pada pasien di atas 50 th untuk
mengantisipasi eksistensi plak, tanpa memperhatikan kehadiran atau tidak adanya bruit. Jangan
lakukan CSM pada pasien yang diketahui memiliki riwayat CVA atau TIA.
Gambar 8: ‘R on T’ ventricular ectopic beats dan ventricular fibrillation pada pasien dengan infark akut inferior
Catatan : (1) Perubahan ‘hiperacute’ pada infark transmural inferior sebagaimana terlihat pada pen-
ingkatan segmen ST pada lead II. (2) ‘R on T’ ventricular ectopic beats (E) menginisiasi ventricular fi-
brillation (VF).
Farmakologi : pilihan meliputi adenosine, verapamil atau amiodarone; semua telah dibuktikan sama
efektif dan dapat digunakan jika salah satu obat gagal untuk mengatasi narrow complex tachycardia. Pi-
lihan obat tergantung pada ketersediaan dan pengalaman klinisi.
2. Verapamil (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan adenosine. Kerugiannya antara
lain: (1) onset aksinya lama; dan (2) efek samping yang bermakna dari penurunan kontraktilitas
miokard dan vasodilatasi perifer.
Catatan : pretreatment dengan bolus cairan dan kalsium klorid (0,5 – 1g iv selama 5 menit) cukup
bermanfaat untuk mencegah hipotensi yang diinduksi verapamil.
Perhatian : verapamil tidak boleh digunakan bersamaan dengan beta blockers iv, dan harus
dihindari pada pasien dengan wide complex tachycardias.
Dosis : 2,5-10mg iv; dapat diulang 15 -20menit kemudian; dosis total maksimum 20mg.
3. Amiodarone digunakan jika adenosine gagal dan terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif.
Dosis : 150mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
4. Diltiazem (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan verapamil dalam mengatasi narrow
complex SVT. Keuntungan bila dibanding verapamil adalah diltiazem lebih sedikit menyebabkan
depresi miokard.
Dosis : 10-20mg iv selama 2 menit. Jika tidak efektif dapat diikuti 15 menit kemudian dengan
bolus yang kedua sebanyak 0,35 mg/kg iv. Jika diperlukan, infus 5-15 mg/jam x 24 jam dapat
diberikan.
Esmolol memiliki T ½ yang sangat singkat dan bersifat kardioselektif. Dosis : 0,5 mg/kg bolus se-
lama 1 menit diikuti dengan infus 0,05 mg/kg/menit. Loading dose dapat diulang dan tetesan infus
dapat ditingkatkan sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap 5 menit prn sampai maksimal 0,2mg/kg/menit.
Propanolol merupakan DOC untuk SVT pada thyrotoxicosis karena ia memblok sebagian proses
pengubahan T3 dan T4. Perhatian : hindari penggunaannya pada pasien COLD, CCF atau asma,
dan pada pasien yang telah diterapi dengan Calsium channel blockers. Dosis : 1 mg iv selama 1
menit; dapat diulang tiap 5 menit sampai total 0,1-0,5mg/kg.
6. Digoxin : obat yang bersifat vagotonik. Kerugiannya adalah onset kerjanya lebih lambat
dibandingkan dengan obat yang tersebut diatas (dapat membutuhkan beberapa jam). Dosis : 0,5mg
iv bolus sebagai dosis awal, dengan dosis ulangan 0,25mg tiap 30-60 menit prn. Dosis total tidak
boleh melebihi 0,02 mg/kg.
Adanya pasien dengan atrial fibrilasi dan rapid ventricular fibrillation merupakan masalah yang special. Jika
hemodinamik pasien stabil, peran dokter spesialis EM adalah untuk memperlambat respon ventrikuler dan
BUKAN merubah ritme jantung menjadi Sinus rhythm kecuali dokter tersebut yakin bahwa durasi AF terjadi <
48 jam. Pengubahan ke sinus rhythm tanpa pemberian antikoagulasi yang adekuat akan menyebabkan embolisasi
klot yang terekat pada dinding atrium kanan. Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Calsium Channel
Blocker (diltiazem atau verapamil) dan beta blocker (esmolol dan metoprolol) merupakan obat yang efektif
untuk mengatur heart rate pada pasien AF yang stabil. Dosis : Diltiazem iv 10-20mg selama 2 menit.
Catatan : Digoxin tidak menunjukkan efektivitas untuk mengontrol heart rate akut. Namun, jika pasien
dalam keadaan gagal jantung, pilihan bisa berupa digoxin atau amiodarone.
Secara keseluruhan, keberhasilan chemical cardioversion hanya sekitar 50%. Literature yang menerangkan
penelitian untuk membandingkan efektivitas obat untuk mengubah AF menjadi sinus rhythm banyak yang
bersifat kontradiktif. Pilihan terapi meliputi :
Class 1A agents (quinidine dan procainamide) : obat-obatan yang paling tradisional yang digunakan
dalam cardioversion, dengan angka kesuksesan sebesar 40-80%.
Amiodarone : 93 % berhasil mengembalikan sinus rhythm dalam 24 jam namun tidak secepat calsium
channel blocker atau beta blocker dalam menurunkan heart rate.
Propafenone : berhasil pada penggunaan melalui iv dan per oral.
Fleicainide : berhasil sebagai cardioversion dalam 2-3jam ketika digunakan melalui bolus iv atau po
namun kekhawatiran efek prodisritmik menyebabkan keterbatasan penggunaannya.
Ibutilide : terminasi cepat AF dengan pengubahan heart rate lebih cepat daripada procainamide namun
dilaporkan bahwa ia menyebabkan torsades de pointes sebesar 4,3%.
Jika pasien dengan rapid atrial fibrillation mengalami ketidakstabilan hemodinamik, keputusan sulit untuk
melakukan electrical cardioversion setelah pemberian heparin 5000 unit iv harus dilakukan. Resiko
tremboembolisme setelah atrial fibrillasi sepertinya terus berlangsung selama beberapa minggu setelah
59
cardioversion. Sehingga antikoagulan harus terus diberikan selama 3 bulan kecuali didapatkan adanya
kontraindikasi.
Catatan : Direct Cardioversion aman dan efektif (90% conversion rate) pada konversi AF menjadi
sinus rhythm.
Hospitalization : tidak harus dilakukan pada seluruh pasien AF, namun perlu dilakukan bila :
Dengan gangguan hemodinamik
Terdapat gejala aritmia yang hebat (misal nyeri dada, tanda iskemik koronaria, CCF)
Terdapat resiko tinggi untuk embolisme (misal gagal jantung, CCF, mitral stenosis, riwayat CVA, usia
>65tahun)
Terdapat AF>48 jam atau durasi yang tidak pasti untuk mengkontrol heart rate dan menginisiasi antiko-
agulasi.
Terdapat kegagalan cardioversion pada ED
Sebelum memberikan obat apapun, periksa hemodinamik pasien. Adanya instabilitas mengharuskan untuk mem-
berikan sedasi yang diikuti dengan sinkronisasi electrical cardioversion.
Amiodarone : obat ini merupakan obat pilihan karena efektif pada VT, SVT dengan aberrancy dan
SVT. Jika terjadi kegagalan, maka synchronized cardioversion merupakan indikasi.
Dosis : amiodarone 150 mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
Procainamide merupakan obat pilihan kedua.
Dosis : 100mg selama 5 menit; dapat diulang sampai total 1 g, diikuti dengan infus 1-4 mg/menit
Perhatian : Hentikan bolus jika :
1. Disritmia berhenti
2. QRS complex melebar 50%
3. terjadi hipotensi
4. total 1 g telah diberikan
Lignokain : masih merupakan pilihan popular karena penggunaannya yang cukup lama, toksisitasnya
relative rendah dan mudah dalam pemberiannya. Namun, bukti penelitian tidak mendukung
penggunaannya kecuali sebagai pilihan kedua atau ketiga.
Dosis : 1,0-1,5 mg/kg iv; ulangi dalam 3-5 menit sampai dosis maksimum 3 mg/kg.
Tabel 3 : Cara Membedakan VT dari SVT dengan Aberrant Conduction atau Prior Bundle Branch Block
60
VT SVT
Riwayat
IHD; CCF; usia > 35 tahun 90% spesifik untuk VT Bagaimanapun, riwayat (-) tidak
dapat menyingkirkan diagnosa SVT
Pemeriksaan Fisik
1. Irregular cannon gelombang Mungkin ada Tidak ada
‘a’ pada pulsasi vena jugula-
ris
2. Intensitas suara jantung
pertama yang bervariasi Mungkin ada Tidak ada
EKG
1. Lebar QRS Bisaanya >140 ms <140 ms
2. Hubungan AV AV dissociation (<50% VT) (Gambar 3)
Fusion Beats (kombinasi sinus dan takikardi
QRS) (gambar 3)
Capture Beats (depolarisasi total dari ventrikel
oleh konduksi sebuah sinus beat)
Caveats
Riwayat overdosis obat (OD) sering tidak dapat dipercaya. Sehingga seseorang harus memiliki tingkat
kecurigaan yang tinggi dan asumsikan kemungkinan overdosis berbagai macam obat termasuk
konsumsi alcohol. Lihat Annex untuk mengetahui sumber keracunan utama di Singapore.
Berikan perhatian lebih pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui petunjuk tipe keracunan yang terjadi.
Pasien dengan AMS dengan kecurigaan OD harus di-EKG untuk mengeksklusi kemungkinan kera-
cunan antidepresan golongan siklik dan periksa GDA untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi. Pertim-
bangkan beberapa diagnosa banding AMS lainnya. Lihat bab AMS (Altered Mental State).
Ingat bahwa manajemen yang bijaksana dalam menangani OD meliputi pemberian perhatian pada
keadaan emosional/psikologis pasien, disamping juga harus menangani efek klinis dari OD.
Gastric Lavage jangan digunakan secara rutin pada setiap kasus OD. Lihat baba Gastric decontamina-
tion untuk lebih detilnya.
Riwayat/Anamnesa
Pasti OD atau OD yang masih belum jelas?
Apa, kapan, seberapa banyak, bagaimana, dimana, kenapa? Gejala akibat paparan?
Apa ada resiko bunuh diri? Jika ada, konsul bagian psikiatri.
Riwayat psikiatri dan penyakit dahulu (termasuk riwayat pengobatan).
Apa ada percobaan bunuh diri sebelumnya?
Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Lihat tabel 1 untuk lebih detilnya
Bau
Bau yang jelas : bensin/bahan pemutih/insektisida
Bau lain dapat dilihat pada tabel 2
Pemeriksaan Neurologik
Tingkat Kesadaran : Lihat beberapa jenis obat dan racun yang dapat menyebabkan koma atau stupor
CNS Depressan Umum Hipoksia selular
Antikolinergik Karbonmonoksida
Antihistamin Sianida
Barbiturat HIdrogen sulfida
Antidepresan gol.siklik Metamoglobinemia
Etanol dan alcohol lain
Fenotiazin
Obat sedative-hipnotik
Zat Simpatolitik Mekanisme lain atau yang tidak diketahui
Klonidin Bromida
Metildopa Hypoglicaemic agents
Opiat Litium
Phencyclidine
Salisilate
Pupil : obat–obat dan racun yang berefek pada pupil :
MIOSIS (‘COPS’) MIDRIASIS (‘AAAS’)
C Cholinergics, klonidin A Antihistamin
O Opiat, organofosfat A Antidepresan
P Phenotiazines, pilocarpin, pontin bleed A Antikolinergik, atropin
S Sedatif-hipnotik S Simpatomimetik (kokain, amfetamin)
Kulit
Diaforesis (‘SOAP”) dan Hipoglikemi
S Simpathomimetics
O Organofosfat
A ASA (Salisilat)
P PCP dan hipoglikemi
Kulit Kering : Antikolinergik
Blistering/Melepuh
1. Karbonmonoksida
2. Barbiturat
3. Poison ivy
4. Sulphur mustard
5. lewisite
Toxidromes
Opioid
1. Koma
2. Depresi respiratori
3. Pinpoint pupil
64
4. Hipotensi
5. Bradikardi
Kolinergik (‘SLUDGE”) misalnya organofosfat/karbamat
S Salivasi
L Lakrimasi
U Urinasi (BAK)
D Defekasi
G Gastric emptying (pengosongan lambung)
E Emesis
1. ‘Drowning in their own secretions’ (tenggelam dalam sekret mereka sendiri)
a. Bronchorrhoe
b. Spasme bronkus
c. Edema pulmonal
2. AMS
3. Kelemahan otot dan paralise
4. Bau bawang putih
Antikolinergik; misal antihistamin, siklik antidepressant, homatropin, skopolamin
1. Hipertermi
2. Vasodilatasi kutan
3. Penurunan salivasi
4. Sikloplegia dan midriasis
5. Delirium dan halusinasi
6. Tanda-tanda lainnya
a. Takikardi
b. Retensi urin
c. Penurunan motilitas GIT/ hilangnya bising usus
Salisilat
1. Demam
2. Takipneu
3. Vomiting
4. Letargi (jarang terjadi koma)
5. Tinnitus
Simpatomimetik misal : kokain, amfetamin
1. Hipertensi
2. Takikardi
3. Hiperpireksi
4. Midriasis
5. Ansietas atau delirium
Sedatif-hipnotik misal : barbiturate, benzodiazepine
1. Perubahan pupil yang tidak dapat diprediksi
2. Kebimgungan atau koma
3. Depresi nafas
4. Hipotermi
5. Vesikel atau bulae
Ekstrapiramidal : Gambaran parkinsonian (‘TROD”)
1. Tremor
2. Rigiditas
3. Opistotonus, krisis okulogirik
4. Disfonia, disfagi
Kategori obat ini termasuk ‘zines’
1. Klorpromazin (Largactil/Thorazine)
2. Proklorperazin (Stemetil/Compazine)
3. Haloperidol (Haldol)
4. Metoklopramide (Maxolon/Reglan)
Hemoglobinopati
1. Karboksihemoglobinemia
a. Sakit kepala
b. Nausea, vomiting, gejala ‘flu like’ illness
c. Sinkope, takipnoea, takikardi
d. Koma, konvulsi
65
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
FBC : peningkatan TWC = infeksi/zat besi/teofilin/hidrokarbon
Elektrolit Serum
1. Anion Gap = [Na+] - [HCO3-]- [Cl-]
2. Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l
Asidosis metabolic/peningkatan anion gap
C Carbonmonoxide, sianida M Metanol, metamoglobin
A Alkoholic ketoacidosis U Uremia
T Toluene D Diabetik ketoasidosis
P Paraldehide
I INH/Besi
L Laktic asidosis
E Etilen glikol
S Salisilat, solvent/pelarut
Serum Urea dan kreatinin : untuk mengidentifikasi adanya disfungsi ginjal
Pemeriksaan toksikologi terhadap kadar obat, bermanfaat pada :
1. Paracetamol
2. Salisilat
3. Kolinesterase
4. Besi
5. Litium
6. Teofilin
7. Karbonmonoksida
Foto X Ray
Dada
1. Agen yang toksik terhadap pulmo, contoh hidrokarbon/gas toksik/racun/paraquat
2. edema pulmonal non kardiak, contoh : opiate/fenobarbiton/salisilat/karbonmonoksida
Abdominal : toksin radioopaque pada foto x ray (‘CHIPES”)
C Chloral hydrate
H Heavy metal /logam berat
I Iron (besi)
P Phenothiazine
E Enteric-coated preps (salisilat)
S Sustained release products (teofilin)
EKG
Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi kardiak, misal PR yang memanjang dan QRS in-
terval yang memanjang
Manajemen
Pasien dengan AMS atau instabilitas hemodinamik harus ditangani pada area critical care. Walaupun banyak
kasus OD yang dapat ditangani pada area intermediate care.
Flumazenil (Anexate)
Mekanisme Kerja : merupakan suatu Benzodiazepin (BZD) yang secara structural terkait dengan mid-
azolam. Flumazenil berkompetisi dengan benzodiazepine lain pada reseptor omega I pada CNS.
Efek Klinis : Onset 1-2 menit dengan efek puncak dalam 3-5 menit.
Durasi efek : 1-4 jam
Dosis kecil berkebalikan terhadap hypnosis, yaitu sedasi BZD
Dosis Besar berkebalikan terhadap efek antikonvulsan BZD.
Indikasi : Overdosis BZD dalam kondisi sedasi yang masih sadar akan meningkatkan status pernafasan.
Peningkatan tingkat kesadaran pada kasus OD benzodiazepine untuk mencegah prosedur
intubasi atau invasive.
Dosis : inisial 0,2 mg iv; tunggu 30 detik, kemudian diulangi pada dosis 0,3mg iv; jika diperlukan,
dapat diberikan 0,5 mg/menit lagi sampai dosis total 3-5 mg.
Efek Samping : BZD withdrawal
Kejang, terutama pada pasien ketergantungan siklik antidepresan atau BZD.
Flush
Nausea dan/ atau vomiting
Ansietas, palpitasi, ketakutan
Kontraindikasi : Psien yang mengkonsumsi BZD dalam jangka panjang untuk mengkontrol kejang.
Penggunaan BZD untuk antisipasi, misal sedasi, relaksasi otot, antikonvulsi.
Toksisitas siklik antidepresan yang terjadi bersamaan.
Trauma kepala yang berat
Tiamin : umumnya aman; diindikasikan pada semua pasien alkoholik atau pada lansia, malnutrisi.
Dosis : 100 mg iv bolus selama 1-2 menit.
67
Dekontaminasi
Tergantung pada agent yang terlibat, perlengkapan proteksi yang tepat harus digunakan. Pada kadar
minimal, petugas harus mematuhi seluruh peraturan dasar yang berlaku.
Prosedur dekontaminasi:
1. Pindah dari area yang terkontaminasi
2. Buka seluruh pakaian yang terkontaminasi
3. sikat bersih seluruh kulit dari kontaminasi bubuk untuk menghindari reaksi eksotermik ketika
kontak dengan air yang digunakan untuk dekontaminasi.
4. Cuci seluruh area dengan air dan/atau larutan sabun (dan shampoo rambut). Gunakan scrub
yang halus jika ada.
5. Area yang harus diperhatikan adalah kepala, aksila, ‘groin’ dan punggung.
6. Sikat bagian bawah kuku
7. Irigasi mata jika terkontaminasi
8. semua luka yang terbuka harus didekontaminasi dengan air.
Tujuan akhir dekontaminasi
1. Sampai terjadi pengurangan rasa nyeri, jika paparan terhadap kulit terjadi secara primer
2. Jika terjadi kontaminasi pada mata, sampai gejala nyeri menghilang dan/atau ada kemungkinan
perubahan warna pH kertas Litmus sesuai dengan sifat agent yang terlibat.
3. Dekontaminasi penuh harus dilakukan 5-8 menit.
Dekontaminasi Lambung
Dilusi : air/susu
Gastric lavage harus tidak dilakukan sebagi penatalaksanaan rutin pada pasien keracunan. Pada
penelitian eksperimental, jumlah marker yang dikeluarkan melalui gastric lavage sangatlah bervari-
asi dan akan menghilang seiring waktu. Tidak ada bukti yang pasti bahwa penggunaannya akan
memperbaiki outcome pasien serta dapat menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna.
Indikasi : Tidak dipertimbangkan kecuali pasien telah menelan sejumlah zat racun yang berbahaya
bagi jiwa dalam waktu 1 jam sejak ditelan. Walaupun demikian, manfaat klinis belum
dapat dipastikan melalui penelitian yang ada.
Arang aktif
1. Dosis tunggal : jangan diberikan secara tunggal pada penatalaksanaan keracunan. Berdasarka
penelitian yang menggunakan sukarelawan, efektivitas arang karbon aktif akan menurun seir-
ing waktu; manfaat terbaik ditemukan dalam waktu 1 jam setelah dikonsumsi/ditelan.
2. Indikasi : dapat dipertimbangkan jika pasien telah menelan sejumlah zat toksik (yang dapat
diserap oleh arang aktif) dalam waktu 1 jam; data yang ada belum cukup untuk menentukan
keefektivitasan penggunaaan arang aktif bila digunakan lebih dari 1 jam sejak penelanan ra-
cun. Juga tidak ada bukti yang menyatakan adanya kemajuan output klinik setelah penggunaan
arang aktif.
3. Dosis multiple : pemberian ulang (>2 dosis) bertujuan untuk meningkatkan efek eliminasi
obat. Cara kerjanya:
A. Berikatan dengan obat yang berdifusi dari sirkulasi ke dalam lumen usus. Setelah
absorbsi, obat akan masuk kembali ke dalam usus dengan difusi pasif yang dihasilkan
karena konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan di darah. Laju difusi pasif
68
bergantung pada gradient konsentrasi dan aliran darah. Gradient konsentrasi ini
dipertahankan dan obat akan terus masuk ke lumen usus dimana kemudian ia akan
diabsorbsi oleh arang aktif. Proses ini dikenal sebagai “Gastrointestinal Dialysis”.
B. Mengganggu sirkulasi obat pada siklus enterohepatik dan enterogastrik.
4. Indikasi : Dosis multiple arang aktif harus dipertiombangkan hanya jika pasien menelan
sejumlah obat yang mengancam jiwa, misalnya carbamazepin, dapsone, fenobarbitone, quinine
atau teofilin.
5. Obat-obatan yang dapat diserap oleh Arang aktif:
Penempatan : MRS harus ke bagian General Medicine untuk mengantisipasi transfer ke bagian
psikiatri. OD yang tidak mengancam jiwa tanpa adanya kecurigaan percobaan bunuh diri yang kuat
dapat di KRS-kan setelah konsul pada bagian psikiatri.
Annex
PENTING:
Tugas utama dari dokter EM adalah melakukan pemeriksaan yang tepat dan mengenali kelainan
yang potensial mengancam kehidupan
Selalu melakukan kemampuan melihat pada penderita dengan problem mata. Ini adalah cara seder-
hana untuk melihat apakah fungsi dari organ penting ini terganggu.
Hati-hati kombinasi dari mata merah, muntah, nyeri kepala bagian frontal dan gangguan
penglihatan: ini khas pada glaukoma akut dan membutuhkan perhatian segera sebagai kasus yang
potensial mengancam penglihatan
Infeksi dan trauma tembus mata jangan di tutup.(photophobia dapat dikurangi dengan penggunaan
kacamata matahari atau pelindung mata)
Tetes mata atau salep yang mengandung steroid jangan diberikan tanpa konsultasi
PENANGANAN:
Penderita di triage sebagai kasus intermediate atau kasus kritis jika ada gangguan penglihatan,
sperti glaukoma (mata merah, muntah, neri kepala frontal dan kehilangan penglihatan). Mereka
harus ditangani dalam ruangan yang memiliki alat pemeriksaan mata yang baik di ruang gawat
darurat
Pemeriksaan (Spesifik)
Periksa ketajaman penglihatan dengan atau tanpa lensa koreksi
1. Anestesi topikal dapat mengatasi reflek blepharospasme dan memfasilitasi pemeriksaan.
2. Pelindung pinhole akan membetulkan kesalahan refraksi untuk membantu melihat jika ini
yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
Inspeksi: meliputi point penting berikut yang menunjukkan kelainan patologi berarti:
1. Proptosis, dimana dapat menunjukkan kelainan retroorbital seperti abses
2. Reflex cahaya pada kornea irregular. Dimana menunjukkan udem kornea (glaucoma)
atau permukaan kornea yang menurun (keratitis atau abrasi kornea)
3. Siliar yang merah, dimana menunjukkan kelainana ruang anterior (iritis, glaukoma,
keratitis)
4. Eversi dari kelopak untuk melihat adanya benda asing
5. Opaksitas kornea, dimana terlihat dengan keratitis atau ulkus kornea
Lihat reaksi dari pupil dalam respon cahaya dan akomodasi:
1. nyeri pada mata kontralateral pada penyinaran langsung pada mata adalah tanda
dini dari iritis
71
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan Slit lamp,secara optimal, digunakan pada semua penderita. Periksa untuk merah
dan sel, presipitasi keratitis posterior, dan /atau hipema pada ruang anterior, menunjukkan
proses peradangan
Tonometri dilakukan setelah anestesi topikal untuk mengukur tekanan intraokular. Tekanana
abnormal > 20 mmHg. Hindari prosedur ini jika mata infeksi atau jika ada kemungkinan ruptur
global.
1. Pewarnaan fluoresein: digunakan untuk menjelaskan kelainan kornea. Pewarnaan in akan
diambil lapisan hidropobik terdalam kornea ketika lapisan hidropobik superfisial tidak ada,
seperti abrasi atau infeksi.
2. Imaging: foto polos jaringan ikat globus dapat menunjukkan benda asing yang radioopak
3. Anestesi topikal: seringkali berguna untuk membedakan keratitis dari iritis
a. Nyeri dari konjungtivitis, benda sing superfisial, atau abrasi kornea dan keratitis, hilang
dengan anestesi topikal
b. Nyeri dari peradangan yang lebih dalam, contoh iritis tidak menghilang dengan
pengobatan ini
4. Hematropine : gunakan agen ini, obat midriatikum/ sikloplegik, dapat nyeri mata yang dalam
pada peradangan yang dalam dari struktur daerah anterior, contoh iritis dengan mengurangi
spasme otot silia dan iris.
Disposisi
Kirim untuk segera konsultasi Mata jika penderita menunjukkan kelainan yang
tertulis pada Tip khusus untuk dokter umum
Kebanyakan penderita dapat dipulangkan dengan pemeriksaan lajutan di bagian mata
dalam 24-48 jam
DOKUMENTASI:
Ketajaman penglihatan semua lapangan
Anamnesa singkat dari penyakit yang sekarang, pengobatan, alergi,pengobatan sebelumnya
dan riwayat pembedahan
Tuliskan hasil pemeriksaan secara lengkap, walaupun jika didapatkan hasil pemeriksaan
yang normal, meliputi test tambahan
Tuliskan advis telepon yang diberikan oleh staf atau bagian mata
72
Caveats
Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab kejang yang sering terjadi
Riwayat yang didapat dari saksi sangat penting untuk diagnosa
Tanya riwayat medikasi bila pasien telah diketahui memiliki epilepsy
Manajemen
Epilepsi idiopatik
Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)
Meningitis atau ensefalitis
Tumor otak (primer atau sekunder)
Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia
Obat-obatan atau alcohol
Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades de pointes)
Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)
Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy
Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan karena ventricular fi-
brilasi sampai terbukti bukan.
Dengan demam
1. Periksa GDA
2. Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. penempatan :
a. meningitis
b. ensefalitis
c. abses serebral
d. Subarachnoid hemorrhage
Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:
1. Cek GDA
2. Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia
4. Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma
73
5. Penempatan :
a. Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada abnormalitas pada
hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk control ke poli neurology.
b. Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi
c. Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum alcohol, berenang
atau kegiatan memanjat.
d. MRS jika (1) penyebab ditemukan, contih : factor resiko positif untuk abnormalitas intra
cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts, HIV positif, CVA lama; (2) ada
abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak bisa melakukan control untuk follow up; atau (4)
pasien atau keluarga pasien memaksa untuk dirawat.
Status epileptikus
Didefinisikan sebagai kejang ≥ 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau kejang yang terus-
menerus ≥ 30 menit.
Terapi suportif
1. Jalan nafas : tempatkan pasien pada posisi recovery
2. Buka dan pertahankan jalan nafas
3. lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter Yankauer
Catatan : jika pasien tetap kejang, jangan mencoba memasukkan ‘oral airway’, membersihkan
sekresi oral atau mengintubasi pasien.
4. Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
5. Persiapkan peralatan intubasi kalau saja anda tidak mampu untuk mempertahankan jalan nafas dan
oksigenasi yang adekuat.
6. Monitoring : tanda vital, EKG, dan pulse oksimetri
7. Akses IV
8. Lab :
a. Cek GDA
b. FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium, fosfat, BGA
c. Pertimbangkan untuk periksa LFT, antikonvulsan individual, toksikologi serum termasuk
etanol.
d. CXR dan urinalisis utnuk mengeksklusi penyebab
e. Kateter urin
Terapi obat
1. Benzodiazepin
Dosis : Untuk dewasa, IV valium 5 mg bolus pelan tidak melebihi 2 mg per menit; dapat diulang
tiap 5 menit (sampai total 20mg). untuk bayi dan anak, IV valium 0,02mg/kg pelan, tidak melebihi
2mg/menit; dapat diulang tiap 5 menit (sampai total 10 mg), valium per rectal 5mg suppositoria x 1
PR.
2. Fenitoin
Dosis : infus fenitoin iv 18mg/kgBB pelan-pelan, tidak melebihi 50mg/menit. Namun
Pemberiannya melalui infus tidak boleh melebihi 60 menit karena presipitasi cenderung terjadi
setelah waktu tersebut. Iv fenitoin diberikan tanpa dilusi/pengenceran (membutuhkan monitoring
EKG dan tekanan darah).
3. Barbiturat jangka panjang : fenobarbitone
Dosis : IV fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100mg/menit, diikuti dengan ji-
ka diperlukan, iv fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat pada kecepatan 50 mg/menit.
4. Pertimbangkan intubasi rapid sequence : lihat bab Airway Management/rapid sequence Intuba-
tion
Penempatan : MRS di bagian Neurologi HD/MICU setelah konsultasi.
74
Definisi
Syok merupakan kondisi patofisiologis dimana perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat me-
nyebabkan keadaan hipoperfusi dan hipoksia seluler yang kemudian diiukuti dengan keadaan sequele
lainnya. Outcome pada semua pasien syok tidak tergantung dari penyebabnya (lihat tabel 1).
Biasanya, tekanan darah sistolik kurang dari normal menurut usia dengan tanda klasik hipoperfusi sep-
erti pucat, kulit yang dingin, takikardia, diaforesis, atau syok dengan AMS. Pengecualian yaitu pada
Syok septic, dimana pada keadaan dini, terdapat sirkulasi hiperdinamik dengan kulit yang hangat dan
pulsasi yang bounding. Lihat tabel 2 untuk mengenali berbagai tipe syok.
Caveats
Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling sering terjadi di ED, dan semua tahap dari syok
tersebut harus ditangani seperti saat awal sampai etiologinya dapat disingkirkan.
Pengenalan yang tepat serta inisiasi terapi sangatlah penting untuk mengurangi mortalitas akibat syok.
Evaluasi penyebab syok dilakukan bersamaan dengan penatalaksanaannya.
Syok merupakan suatu keadaan klinis. Pasien dengan tekanan darah normal mungkin masih berada dalam
keadaan syok. Hal ini terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi. Namun, tidak semua pasien hipotensi
mengalami syok.
Bahkan jika indicator syok menunjukkan hasil normal, syok selular, jaringan atau organ mungkin masih
terus berlangsung. Banyak literatur yang mendiskusikan tentang pemeriksaan obyektif yang digunakan
sebagai target resusitasinya.
75
Cari bukti adanya trauma tumpul atau tajam pada dada yang mengindikasikan kemungkinan tension
pneumothorax atau tamponade jantung.
1. lakukan dekompresi terhadap tension pneumothorax dengan insersi kanul 14G diatas ICS 2
pada midclavicular line.
2. Pada kecurigaan tamponade jantung, lakukan konsultasi kepada TKV secepatnya. Mulai pem-
berian 500 ml NS iv dan atau infus dopamine iv pada 5 µg/kg/menit dan persiapkan perikardi-
osentesis.
Pemeriksaan EKG dan CXR juga harus dilakukan. Apakah terdapat nyeri dada dan hentinafas yang
mendukung adanya IMA atau emboli paru. Lihat bab myocardial infection, acute, and pulmonary em-
bolism.
76
Tempatkan nkateter urin dan periksa urin dipstick untuk mencari infeksi saluran kemih atau lakukan tes
kehamilan jika ada kecurigaan kehamilan ektopik. Apakah terdapat nyeri abdomen pada wanita usia
subur yang tidak mendapatkan menstruasi terakhir?(catat HPHT-nya.pasang kateter wanita yang
dicurigai kuat mengalami kehamilan ektopik jika pasien mampu memproduksi specimen urin untuk
konfirmasi kehamilan. Lakukan konsul bagian Ginekologi untuk kecurigaan kehamilan ektopik. Moni-
tor output urin.
Pada pasien dengan suspek AAA, periksa pulsasi abdominal. Konsul segera TKV.
Apakah ada demam atau predisposisi lain untuk sepsis karena adanya efek pemasangan kateter atau pa-
da pasien immunocompromised akibat kemoterapi pasien kanker? Lihat bab Oncology Emergencies.
1. Sepsis intra abdominal karena gall bladder disease atau peritonitis akibat perforasi apendiks
dan pneumonia bukan merupakan penyebab umum dari syok septic. Pasien geriatric sama hal-
nya dengan pasien berusia muda dapat menunjukkan gejala yang non-spesifik dari syok septic.
2. Kultur darah (aerobic dan anaerobic) serta kultur urin harus dilakukan pada pasien syok septic.
3. Antibiotik broad spectrum harus diberikan setelah darah diambil untuk kultur. Lihat bab Sep-
sis/Septic shock.
Jika dicurigai syok neurogenik akibat trauma spinal cord yang terkait dengan fraktur vertebral, kon-
sultasikan dengan bagian ortopedik. Lihat bab Spinal cord injury.
Jika ada riwayat gigitan atau sengatan atau allergen lain yang potensial seperti obat dan makanan yang
mengindikasikan syok anafilaktik, Lihat bab Allergic reactions/anaphylaxis.
Setelah evaluasi yang tepat serta terapi awal, terapi suportif dapat diberikan utnuk mempertahankan
tekanan darah :
1. IV dopamine 5-10 µg/kg/menit
2. IV dobutamine 5-10 µg/kg/menit terutama pada syok kardiogenik.
3. IV norepinefrin 5-20µg/menit, titrasi sampai timbul efek.
Penempatan
Semua pasien dengan syok harus dimasukkan pada HDW atau ke ICU sesuai dengan bagian yang me-
nangani setelah melakukan konsultasi.
Jika ada keterlibatan trauma multiple, maka team trauma harus segera di aktifkan. Lihat bab Trauma,
Multiple.
29. Stridor
77
Caveats
Jika jalan nafas pasien paten dan terjaga, jangan mengganggu atau memanipulasi jalan nafas.
Usahakan pasien memperoleh posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin dipangkuan ibunya.
Jangan biarkan pasien meninggalkan ED, contoh untuk X ray.
Manajemen
Lihat Tabel 1 untuk membedakan Croup/ALTB dengan epiglotitis
Terapi suportif
Kasus moderat sampai parah/berat harus ditangani di area critical care. Hanya kasus ringan yang dapat
ditangani pada area intermediate acuity (tabel 2).
Lihat tabel 3 untuk mengetahui apa dan apa yang tidak pada penanganan anak-anak dengan stridor.
Peralatan manajemen jalan nafas,termasuk krikotirotomi harus selalu tersedia.
Persiapkan team yang meliputi ahli anestesi dan bedah THT.
Obat-obatan resusitasi harus tersedia.
Berikan oksigen aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >95%.
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur intravena.
Lab : bersifat optional
1. FBC, urea/elektrolit/kreatinin preoperative
2. BGA, COHb pada inhalasi asap
3. kultur darah pada suspek epiglotitis
X ray jaringan lunak leher dari arah lateral dan CXR jika waktu dan kondisi pasien memungkinkan.
Terapi Obat
Pada Angioedema
1. Adrenalin : larutan 1 : 10.000 5µg/kg (0,05 ml/kg) iv atau melalui ETT. Berikan separuhnya
sebagai bolus dan separuhnya dititrasi sesuai respon klinik, atau
2. Adrenaline : larutan 1 : 1000 10 µg/kg (0,01 ml/kg) IM dalam, sampai maksimum yaitu 0,3 ml
pada anak-anak dan 0,5 ml pada dewasa.
3. Difenhidramin 2mg/kg IV pada bayi/anak-anak dan 12,5-25 mg IV pada dewasa.
78
4. Hidrokortison 5 mg/kg IV
Pada suspek epiglotitis : ceftriaxone (Rocephin) 2 g IV bagi dewasa, atau 100 mg/kg IV pada anak-
anak.
Pada Croup (ringan / moderat) : 5 ml NS sebagai uap nebulizer dingin tiap 15 menit.
Pada croup (severe/parah) : Adrenalin dibuat nebulizer sebanyak 5 ml dalam larutan 1:1000 di dalam
2,5 ml air steril.
Penempatan : Pada kasus yang moderat samapai severe, harus dimasukkan ke dalam ICU atau OT un-
tuk konsultasi. Croup yang menghilang dengan nebulizer saline dapat di KRS-kan namun follow up da-
lam 24 jam harus diatur.
Kriteria MRS meliputi :
1. Appearance yang toksik
2. dehidrasi atau ketidakmampuan untuk menahan cairan per oral
3. Stridor yang memburuk atau retraksi pada saat istirahat.
4. Orang tua yang tidak bisa diandalkan
5. tidak ada perbaikan dengan nebulisasi adrenalin, atau memburuk dalam 2-3 jam setelah pemeberian
adrenalin.
tahun, serta maneuver Heimlich pada usia >1 th, termasuk pada dewasa. Secara langsung, periksa
orofaring diantara ‘thrusts/pijatan’ dan jangan lakukan blind finger sweeps.
1. Jika tindakan di atas tidak berhasil, secara langsung periksa hipofaring melalui laringoskop.
Keluarkan FB dengan forsep Magill jika terjangkau.
2. Jika tindakan diatas tidak berhasil, pertimbangkan intubasi endotracheal atau pembedahan jalan
nafas dibawah situasi yang terkontrol.
3. Team spesialis harus mengatur tindakan laringoskopi atau bronkoskopi.
Tabel 2 : Manajemen Yang Disarankan untuk Croup Berdasarkan Keparahan Hasil Pemeriksaan klinis
Severitas Manifestasi Klinis Terapi
Ringan Tidak ada retraksi, LOC normal dan Terapi dengan uap dingin saja, follow up
berwarna pada esok harinya.
Ringan sampai Retraksi ringan, warna normal, sulit Terapi sebagai pasien rawat jalan hanya jika
Moderat bernafas jika terganggu pasien membaik setelah pemberian uap di
ED, lebih tua dari 6 bulan dan keluarganya
tidak bisa diandalkan.
Berikan adrenalin nebulizer
Moderat Stridor ringan pada saat istirahat,
sianotik dan letargi Terapi dengan adrenalin nebulizer dan MRS
Severe / parah Sianotik dengan retraksi berat, stridor ke ICU
hebat saat istirahat.
Tabel 3 : Apa yang Dilakukan dan Tidak boleh Dilakukan pada Anak Dengan Stridor
Yang Harus Dilakukan Yang tidak Boleh Dilakukan
Perlakukan dengan lembut Jangan melihat ke dalam tenggorokan
Biarkan anak pada posisi yang nyaman Memaksa anak untuk berbaring
Berikan Oksigen yang lembab Melakukan venepuncture sebelum pemeriksaan airway
Bentuk tim airway : terdiri dari tim anestesi dan ENT oleh ahli anestesi
Atur bed pada ICU jika diperlukan Memaksa melakukan x-ray leher lateral
Angioedema / anafilaksis
Patensi dan proteksi jalan nafas merupakan prioritas in manajemen
Pemberian oksigen tidak ditujukan untuk meningktakan agitasi dan mencetuskan henti nafas.
Pasang akses iv peripheral untuk ‘fluid challenge’ dengan larutan kristaloid.
Terapi Obat : lihat Terapi utama pada bab Stridor
Inhalasi Asap
Injury ditangani awalnya dengan terapi oksigen yang lembab dan dingin
Jalan nafas buatan mungkin diperlukan karena secret yang dihasilkan akan berlebihan
Indikasi untuk Intubasi endotrakeal :
1. Hipokesmia yang tidak berespon terhadap supplemental oksigen
2. peningkatan PCO2
3. Obstruksi jalan nafas yang semakin memburuk
Cek BGA specimen (termasuk COHb). Lihat bab Poisoning, Carbonmonoxide.
Lakukan EKG untuk mengeksklusi iskemik.
Lakukan CXR untuk mengeksklusi barotraumas.
80
30. Sinkope
Definisi
Sinkope merupakan keadaan yang mendadak, hilangnya kesadaran ringan karena gangguan sirkulasi serebral
transient karena berbagai sebab, bisaanya terjadi tanpa adanya penyakit organic atau serebrovaskular.
Caveats
Banyak kemungkinan penyebab sinkope namun yang paling sering sesuai dengan evidence yang telah
dipublikasikan antara lain:
1. Kardiak (4-25%)
2. Vasodepresor vasovagal (8-37%)
3. Hipotensi ortostatic (4-10%)
4. Sinkope Micturition (1-2%)
5. Hipoglikemi (2%)
6. Etiologi Tidak diketahui (13-41%)
Lihat gambar 1 untuk mengetahui penyebab sinkope
Kehilangan darah merupakan sinkop yang mengancam jiwa. Kemungkinan perdarahan GIT harus dicari
pada semua pasien. Pada pasien wanita yang memiliki kemampuan untuk hamil, pertimbangkan
kehamilan ektopik.
Pencarian penyebab sinkope jangan diteruskan jika hipotensi postural talah ditemukan.
Pemeriksaan pasien
Riwayat yang lengkap sulit untuk didapatkan karena sering sekali pasien lupa kejadian yang dialamin-
ya. Juga sulit untuk membedakan secara bersamaan antara kejadian syncopal dari kejang (tabel 1).
Pemeriksaan fisik yang penting untuk evaluasi sinkope adalah :
1. Tanda kehilangan darah : pucat, takikardi, tekanan darah pada posisi berdiri atau berbaring.
2. Tingkat kesadaran pasien : jika mengantuk, pikirkan keadaan post ictal, perdarahan subarachnoid,
atau hipoglikemi.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk abnormalitas ritme jantung, murmur, dan gejala gagal jantung.
4. Carotid bruit mungkin mengindikasikan adanya TIA sebagai penyebab
5. Bukti adanya deficit neurologist, mengindikasikan adanya keadaan iskemik.
6. pemeriksaan rectum untuk mencari adanya darah
Tekanan Darah harus dilakukan pada semua pasien. Harus dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. 2 orang diperlukan (untuk mencegah pasien dari “falling”)
2. periksa tekanan darah posisi berbaring dan nadi setelah 10 menit posisi berbaring
3. Pasien berdiri selama 2 menit
4. Lakukan pemeriksaan BP dan nadi
5. Jika pasien tidak dapat melakukannya, lakukan pemeriksaan sambil duduk, dengan posisi kaki ter-
gantung dibawah kursi.
6. Definisi hipotensi posturtal : penurunan pada SBP > 20 mmHg atau peningkatan PR >20x/menit.
81
Serebral
Cth: emboli paru, suclavian
Sekunder
steal syndrome, aortic arch
(vascular)
Neurogenik syndrome
Bradikardi
Sindrom hiper-
sensitivitas sinus
karotid Reaksi vaso-
depressor
Kejang Sinkope
Posisi pasien Posisi apapun Jarang pada posis berbaring kecuali pada
Stokes-Adams attack
Warna pasien Mungkin tidak berhenti, walaupun Pucat
mungkin tidak ada sianosis
Dengan aura, luka akibat jatuh
Onset sering terjadi Tanpa aura, injury akibat jatuh jarang ter-
jadi. Namun, lebih sering untuk mengalami
pengeluaran keringat atau nausea sebelum
kejadian.
Sering Sering tidak ada walaupun ada aktivitas
Gerakan tonik-klonik seperti kejang klonik ringan dapat mengi-
dengan buka-tutup mata, kuti episode pingsan
lidah tergigit Lebih lama Lebih singkat
Periode Tidak sadar Sering Jarang
Inkontinensia Urin Lambat Cepat
Kembalinya kesadaran Kebingungan mental, sakit kepala, Kelemahan fisik dengan sensorium yang
Sequele mengantuk, dan nyeri otot sering jelas
terjadi
Mungkin ada Bisaanya tidak ada
Perkataan berulang secara
tidak sadar pada individu
muda
Pemeriksaan Penunjang
EKG, harus dilakukan pada semua pasien
1. EKG yang normal membuat kemungkinan iskemik kardiak sebagai penyebab menjadi mengecil,
namun tidak mengeksklusi disritmia.
2. Hasil EKG yang abnormal mengindikasikan adanya resiko hubungan antara keadaan sinkope
dengan penyakit kardiovaskular. Lihat kondisi yang dapat menjadi predisposisi untuik terjadinya
disritmia, contoh : sindroma Wolff-Parkinson-White atau sindroma QT yang memanjang.
Pemeriksaan optional, tergantung pada indeks kecurigaan, yang meliputi:
1. GDA untuk mengetahui hipoglikemi
2. HCG urin untuk kecurigaan kehamilan ektopik
3. CT scan kepala jika dicurigai ada keadaan patologis CNS
4. Elektrolit dan FBC tidak dilakukan secara rutin.
Stratifikasi Resiko
Stratifikasi resiko akan mempermudah pemeriksaan obyektif untuk tatalaksana dan penempatan pasien
dengan sinkope.
Kategori Resiko Tinggi
Infark Miokard akut, miokarditis, disritmia, block jantung tingkat 2 dan 3, disfungsi pace maker, ven-
tricular takikardi, sindroma QT memanjang, masalah OBG, kehamilan ektopik, perhdarahan antepar-
tum, perdarahan GIT yang hebat, emboli paru, heat stroke, perdarahan subarachnoid.
Yang harus dilakukan :
1. Pindahkan ke area critical care jika hal tersebut tidak dilakukan lebih awal
2. Resusitasi secepatnya
3. Pertimbangkan MRS pada intensive care
4. lakukan konsultasi pada spesialis/bagian yang terkait
Kategori Resiko Sedang
Bukti klinis adanya obstruksi aliran keluar LV, seperti AS, suspek CVA atau TIA, hipovolemi, perdara-
han GIT ringan sampai moderately severe, menorrhagi, GE yang parah, heat exhaustion, hipoglikemi,
pasien dengan IHD, CCF atau SVT dan sinkop yang diinduksi oleh obat.
Yang Harus Dilakukan :
1. Stabilakn pasien
2. Pertimbangkan untuk meng-MRS-kan pasien
83
Penatalaksanaan Awal
Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal yang dapat
menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi :
Persiapan
Triage
Primary survey (ABCDE)
Resusitasi terhadap fungsi vital
Riwayat kejadian
Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
Reevaluasi
Perawatan definitive
Catatan :
Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala untuk memasti-
kan tidak adanya proses deteriorasi.
Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada setting klinik yang
sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
Serangan jantung yang terjadi pre hospital bisaanya akan berakibat fatal apabila terjadi lebih dari 5
menit.
Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat dilakukan pada ED,
jika :
Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani lebih dulu.
Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang akan ditangani
lebih dulu.
Caveats
1. asumsikan bahwa trauma cervical spine merupakan trauma multisistem, terutama dengan gangguan
kesadaran atau trauma tumpul diatas clavicula.
2. Tidak adanya deficit neurologik bukan berarti kita dapat mengeksklusi trauma pada servical spine.
3. jangan membuat pasien paralise sebelum memeriksa jalan nafas yang lebih dalam dan sulit
4. Penyebab cardiac arrest/serangan jantung selama atau sesaat setelah intubasi endotrakeal :
a. Oksigenasi yang inadekuat sebelum intubasi
b. Intubasi esophageal
c. Intubasi bronchial pada bagian mainstem atau cabang utamanya.
d. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan memperlambat venous return.
e. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan tension pneumothorax.
f. Emboli udara
g. Respon vasovagal
h. Alkalosis respiratori yang berlebihan.
Bernafas (Ventilasi dan oksigenasi jalan nafas secara tunggal tidak akan mendukung ventilasi yang adekuat).
Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang unilateral
atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk mengetahui
adanya ‘dullness’ atau ‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya hemotorak atau pneumothorax se-
cara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal
Dapat mengganggu
c. Pneumothorax terbuka
pernafasan secara akut
d. Hemothorax massive
Manajemen
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO2 > 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang simple. Non-
rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO 2 100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran besar secara cepat
kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang terkena, kemudian diikuti dengan
pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari mid aksilari line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk menutupi tepi lu-
ka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-valve. Kemudian masukkan chest
tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.
86
Caveats
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit, karena jika
gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension pneumothorax namun disala-
hartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika pasien diintubasi, keadaan pasien akan se-
makin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR harus dilakukan
segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk bernafas
pada posisi duduk.
Caveats:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma bisaanya terjadi karena hipovolemi akibat perdarahan yang te-
rus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya respon terha-
dap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin tidak menunjukkan
takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi pada pasien pengguna beta blocker. Pasien anak yang
resah akan sering menunjukkan tanda hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien trauma dada. Jalur
IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk resusitasi harus digunakan jarum ukuran
besar (>8Fr)
Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan melakukan intubasi
maka pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
1. tentukan tingkat kesadaran dengan metode AVPUP
2. Periksa pupil untuk ukurannya, equalitas dan reaksinya.
Caveats
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter harus dapat mengek-
sklusi adanya cedera kepala.
Leher
Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
Manajemen
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat
Dada
Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan, penyimpangan pernafa-
san bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Manajemen
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR
Manajemen
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple bisaanya sering menghasilkan pemeriksaan abdomen
yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses Assessment using So-
nography in Trauma), CT scan abdomen atau peritoneal lavage. Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.
Pemeriksaan Perineal dan Rektum
Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate
Punggung
Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul
Ekstremitas
Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus
Neurologik
Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat
Perawatan Definitif/Pemindahan
Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien secepatnya.
90
CAVEATS
Beberapa penyebab umum dari retensi urin di kasus-kasus pria dewasa, termasuk
1. Hipertropi prostat jinak (BPH)
2. Konstipasi dengan faeces keras
3. Penyempitan uretra/kontraktur kandung kemih
4. Obat-obatan: (a) antispasmodis agents; (b) tricyclic antidepressants; (c) antihistamines; (d)
anticholinergic agents; (e) alpha-adrenergic stimulators, misalnya “cold” tablet, ephedrine derivates
5. Masalah pada spinal cord
6. Carcinoma prostat
7. Prostatitis
Catatan: pada wanita, keluarkan kehamilan/massa pelvis sebagai penyebab dari retensi urin!
Pada saat melakukan kateterisasi terhadap pria yang diduga menderita BPH, mulailah Foley Kateter dengan
ukuran 14. Bila pembukaan melalui leher kandung kemih tidak bisa diterima, ulangi proses yang sama
dengan ukuran Foley kateter yang lebih besar, bukan yang lebih kecil, misalnya 16F. Tambahan rigiditas
seringkali mempermudah pembukaan tidak seperti ukuran yang lebih kecil,
Pasien dengan recurrent urethral strictures seharusnya dilakukan pendekatan menggunakan kateter kecil.
Pasien dengan prostatitis (demam, menggigil, nyeri kelenjar prostat pada colok dubur) lebih baik dilakukan
kateter supra pubic terlebih dahulu.
Jangan pernah memaksakan jalan untuk urin kateter. Bila tidak bisa dikateterisasi segera cari pertolongan
dari spesialis urologi atau pertimbangkan melakukan kateterisasi supra pubic, hanya bila sudah
berpengalaman.
Obstruksi urin dengan demam merupakan emergensi urologi dan perintahkan pasien untuk masuk rumah
sakit. Pada situasi ini, urinalisis mungkin tidak bisa dipercaya dan ’miss’ pyuria.
Obstruksi Akut
Ukur tanda vital penting dilakukan karena obstruksi urologi dengan demam merupakan suatu emergensi.
Labs: DL, ureum/kreatinin/elektrolit, urinalisis untuk mencari sel darah putih dan atau nitrat positif.
Untuk mengurangi nyeri biarkan 5 – 10 menit gel anastesi lokal beraksi dan pasien beradaptasi atau rileks
kemudian masukkan kateter urin dengan teknik steril. Drain urin 500 – 750 ml secara terbagi untuk
mengurangi kemungkinan spasme kandung kemih, yang mana, kadang-kadang mengikuti dekompresi
kandung kemih. Biarkan 15 – 20 menit diantara masing-masing bagian. Nyeri akan dikurangi oleh
pengambilan bagian yang pertama.
Disposisi: bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang, untuk follow up awal di klinik urologi bila tidak ada
hematoria pyuria atau demam sementara masih di IRD. Bila terjadi sebaliknya maka masukkan ke urologi.
Lebih lanjut, pelepasan tekanan dengan cara kateterisasi urin bisa mengakibatkan diuresis hebat dengan
dehidrasi dan instabilitas hemodinamic (the old postcatheterization shock)
2. Hipotensi karena respon vasovagal atao pengurangan kongesti vena pelvic.
3. Haemorrhagea ex vacuo jarang terjadi, oleh karena gangguan mukosa setelah pengilangan sumbatan
dan biasanya membaik secara spontan.
Disposisi : observasi di IRD selam 1-2 jam untuk diuresis, Bila Diuresis tidak terjadi dan tidak ada demam,
hematuria atau pyuria, pasien bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang dengan membuat janji follow up di
klinik Urologi.
92
Pasien agresif menunjukkan keberadaannya dengan sangat jelas, sementara percobaan bunuh diri bisa jadi hanya
berupa kecurigaan terhadap sekelompok tampilan klinis. Yang umumnya penting adalah kasus kecelakaan
dengan kendaraan tunggal, pengemudi tunggal, ingesti tanpa disengaja, perilaku berisiko dan pasien dengan
alasan datang yang tidak jelas, seperti keluhan somatik yang samara seperti sakit kepala persisten atau
kelemahan kronis.
PERHATIAN
Peran utama seorang dokter emergensi adalah untuk membedakan, bila mungkin, penyebab organik dan
anorganik dari psikosis.
Jangan pernah tinggalkan pasien sendiri: gunakan bantuan setidaknya 5 petugas keamanan berseragam un-
tuk mendukung anda sebagai unjuk kekuatan bila memang diperlukan. Jika pasien seorang wanita, setid-
aknya satu petugas wanita harus hadir setiap saat.
Ingatlah perlindungan diri sendiri: selalu ada potensi pasien dengan percobaan bunuh diri untuk menjadi
agresif.
TATA LAKSANA
Penanganan Suportif
1. Pasien sebaiknya ditangani di area intermediate atau pelayanan kritis di UGD, tergantung pada keadaan
umum pasien. Observasi pasien secara kontinu dapat dioptimalkan dengan cara ini.
2. Perhatikan ABC, hipoksia dapat menjadi penyebab perilaku gaduh gelisah.
3. Ukur tanda vital secara lengkap bila pasien mengijinkan: abnormalitas dapat menunjukkan adanya
penyebab organik yang mendasari, penyebab infeksius ataupun toksikologis dari perilaku pasien.
4. Awasi: EKG, tanda vital setiap 30-60 menit, pulse oximetry, jika pasien mengijinkan.
5. Mulai pemeriksaan gula darah acak dan elektrolit serum bila pasien mengijinkan.
6. Tata laksana standar dan segera terhadap keadaan ingesti atau trauma harus dilakukan.
7. Pertimbangkan penggunaan ikatan/bebat: pertimbangan penggunaan ikatan/bebat fisik untuk mencegah
pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain sebaiknya selalu muncul dalam benak dokter jaga.
8. Upayakan untuk mengambil hati pasien: perhatikan privasi pasien (tarik tirai untuk menutupi sebagian
bilik), kenyamanan pasien dan pendekatan penuh empati yang tidak menghakimi dapat menghasilkan
kerjasama dan meningkatkan kemampuan tim untuk memperoleh informasi yang akurat, mengevaluasi
intervensi yang sesuai.
9. Evaluasi penilaian resiko pasien bunuh diri dengan menggunakan modifikasi skala Sad Person’s (tabel
1).
Terapi medikamentosa: jika pasien agresif, pertimbangkan penggunaan obat antipsikosis ataupun penenang,
baik tunggal, ataupun lebih baik lagi dalam bentuk kombinasi.
Dosis: haloperidol 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
Alternatif lain yang dapat membantu adalah pemberian secara oral karena pasien psikotik seringkali lebih
agresif bila berhadapan dengan jarum suntik.
Dosis: haloperidol 20 mg PO (bentuk konsentrat)
diazepam 20 mg PO
93
Disposisi: buat konsultasi dini dengan bagian Psikiatri, lebih baik sebelum sedasi walaupun hal ini tidak
selalu memungkinkan berkaitan dengan sifat tampilan klinis pasien.
Caveats
Gejala dan tanda kedaruratan asam basa bisaanya sangat bervariasi dan kurang jelas/samar-samar.
Peran dokter EM adalah untuk mengenali adanya gangguan asam basa, mendiagnosa penyebab yang
mungkin dan menangani pasien dalam optimalisasi resusitasi.
Selalu pertimbangkan gangguan asam basa/elektrolit pada pasien AMS
Level PaO2 100mmHg pada pasien yang menerima supplemental oksigen mungkin tidak normal. Selalu
kalkulasikan gradient oksigen alveolar-arterial (A-a gradient).
o Tubuh tidak menghasilkan peningkatan anion gap untuk mengkompensasi alkalosis yang
terjadi.
Rule 3 :
o Jumlah excess anion gap pada HAGMA dan hasil [HCO3-] harus equal dengan [HCO3-] nor-
mal.
o Jika terdapat kelebihan [HCO3-], maka terdapat concurrent alkalosis metabolic.
o Dan jika [HCO3-] terlalu sedikit, maka terdapat concurrent NAGMA.
Asidosis Metabolik
Definisi : pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L
1. HAGMA : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap > 11 mmol/L
2. NAGMA (asidosis metabolic hiperkloremik) : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap < 11 mmol/L
97
Penyebab : Penyebab HAGMA dapat diringkas dengan SULK atau CATMUDPILES (tabel 1). Se-
dangkan penyebab NAGMA dapat diringkas dengan USEDCARP (tabel 2).
Terapi asidosis metabolic : ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mendasari :
1. KAD (hidrasi dan terapi insulin)
2. Syok (hidrasi, inotropik, terapi sepsis)
3. Gagal ginjal (dialysis)
4. penelanan methanol/etilenglikol (etanol)
Terapi bikarbonat: controversial
1. efek samping potensial meliputi gangguan elektrolit (cth : hipokalemia, hipokalsemia,) asidosis in-
traserebral dan intraselular paradoksikal, post treatmen alkalosis, overload cairan, hiper-
natremi/hiperosmolaritas. Lebih jauh lagi terapi bikarbonat tidak menunjukkan perbaikan hasil.
2. keuntungan yang mungkin didapatkan perbaikan kontraktilitas miokard, respon terhadap katekolamin
dan status hemodinamik.
3. Patofisiologinya terapi bikarbonat mungkin lebih bermanfaat pada kasus NAGMA daripada HAGMA.
Karena pada NAGMA membutuhkan waktu beberapa hari untuk penyembuhan ginjal maka ion bikar-
bonat akan bermakna. Sedang pada HAGMA, terapi terhadap penyebab dasar menyebabkan perubahan
excess anion menjadi bikarbonat.
4. Pasien harus mampu untuk memventilasikan peningkatan CO2 sebelum terapi bikarbonat diberikan.
5. Rekomendasi terbaru tidak menyarankan terapi bikarbonat secara rutin, kecuali pH < 7,1 dan pasien da-
lam keadaan compromised hemodinamik.
a. target yang disarankan termasuk pH > 7,1, [HCO3-] > 5 mmol/L
b. Titrasi 50 sampai 100 ml NaHCO3 8,4 % (dengan aliran infus yang lambat dalam D5%) dan
periksa ulang 30 menit setelah selesai.
Catatan : tidak ada rumus yang sempurna untuk menghitung jumlah bikarbonat yang diper-
lukan untuk mengkoreksi pH karena status asam basa mengalami perubahan secara konstan
seiring dengan progresivitas penyakit dan terapi.
c. Rumus yang digunakan :
HCO3- (mmol) yang diperlukan = 0,5 x berat badan (kg) x [target - hasil pengukuran HCO3-]
(mmol)
Tabel 1 : Penyebab High anion gap Metabolic Asidosis
S Salisilat, toksin eksogenus (mtformin, mata- C cyanide, CO
nol, toluene, etilenglikol, besi, paraldehyde) A Alkoholik ketoasidosis
U Uremia T Toluene
L Laktic asidosis (cth : segala penyebab syok, M Metanol, metaemoglobin
hipoksia, metformin, phenformin, sianoda, U Uremia
keracunan CO, INH, besi) D Diabetik ketoasidosis
K Ketoasidosis (diabetic alkoholik, kelaparan) P Paraldehyde
I INH/besi (melalui asidosis laktik)
L Laktic asidosis (cth : semua penyebab syok, hipoksia,
metformin, phenformin, keracunan sianida)
E ethyleneglicol (BUKAN etanol)
S salisilat, solvent
Lysine-HCl, arginine-HCl
Tipe Hipokalemik Gastrointestinal
Diare (kehilangan HCO3- > kehilangan Cl-)
Diversi urinary ke usus (cth : ureterosig-
moidostomi)
Fistula akibat pembedahan, drain
Renal
Renal Tubular Asidosis (tipe I, II)
Acetazolamide (RTA fungsional)
Infus NaCl berlebihan akan mendilusikan HCO3-
Dilution Acidosis plasma
Asidosis Respiratori
Definisi : pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg
Penyebab : asidosis respiratori terjadi ketika ekshalasi CO2 berkurang . lihat tabel 3 untuk mengetahui
penyebabnya.
Alkalosis metabolic
Definisi : pH > 7,45 dan [HCO3-] > 25 mmol/L
Penyebab : kelebihan bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolic yang bisaanya dikeluarkan oleh gin-
jal. Alkalosis metabolic timbul bila penyebab akut terus berlangsung, atau mekanisme kompensasi renal
terganggu terus menerus tabel 4).
Alkalosis respiratori
Definisi : pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg
Penyebab : lihat tabel 5
Definisi
Dilatasi arteri terlokalisisr lebih dari 50% diameter normal. Dilatasi kurang dari 50% diameter arteri normal
disebut sebagai ectasia.
Caveats
Terjadi pada 5-7% individu berusia > 60 tahun.
Di Singapura, rasio Pria : wanita 2 : 1, dengan insiden yang rendah pada ras India.
Dapat bermanifestasi sebagai :
1. rupture intraperitoneal katastropik yang menyebabkan kollaps, syok dan kematian. Sering terjadi
perdarahan masuk ke retroperitoneum, yang kemudian menjadi rupture pada intraperitoneal.
2. nyeri abdomen, flank area atau punggung (kadang menyerupai kolik ureterik).
Catatan : nyeri punggung bisa terjadi karena ekspansi AAA akibat erosi spinal vertebrae atau
menunjukkan adanya rupture aneurisme, yang membutuhkan pembedahan segera.
3. Massa abdomen, sering berdenyut, namun kadang tidak berdenyut.
4. Sinkope dengan hipotensi postural
5. embolisasi menyebabkan iskemik tungkai bawah akut atau ‘mottling’ trunkus bawaj dan ekstremi-
tas. Embolisasi peripheral dapat menyebabkan ‘blue toe syndrome’
6. fistula aortoenterik timbul sebagai melena.
7. Kompresi bowel, lambung, dan esog\fagus dapat menyebabkan disfagia, perasaan cepat kenyang,
nausea dan vomiting.
Catatan : Mayoritas (75%) asimptomatik.
Sifat AAA simptomatik yang difus dan nonspesifik dapat menyebabkan salah diagnostic. Pasien lansia
dengan hipotensi, syok dan nyeri punggung harus dieksklusi dari rupture AAA. Kesalahan diagnosa
tersering disebabkan kegagalan meraba massa yang berdenyut.
Cari expansile versus transmitted pulsation dengan menempatkan jari sepanjang pulsasi; deviasi jari kea
rah lateral bisaanya diakibatkan oleh aneurisme.
Semua pasien dengan massa yang berdenyut > 3 cm harus di USG
Angka mortalitas dari pembedahan emergency adalah 75-90%, dimana pada tindakan operasi repair
elektif hanya sekitar 3-5%.
Factor resiko
Hipertensi : pada 40% AAA
Merokok : 8 kali lebih tinggi untuk menderita AAA dibanding tidak merokok
Hiperlipidemi dan hiperhomosisteinemia
102
Resiko rupture
Berdasarkan Diameter aneurisme :
1. Aneurisme dengan diameter 4-5,5 cm memiliki resiko rupture sebesar 5%
2. Aneurisme dengan diameter 6-7 cm memiliki resiko rupture sebesar 33%
3. Aneurisme dengan diameter >7 cm memiliki resiko rupture sebesar 95%
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dan COLD merupakan prediktor utama rupur AAA
dengan ukuran kecil.
Percobaan terbaru pada UK Small Aneurysm Trial dan ADAM Trial menunjukkan tidak adanya angka
keselamatan jangka panjang pada tindakan pembedahan pada aneurima < 4 cm.
PENANGANAN (MANAJEMEN)
Ukuran-ukuran pendukung
Pasien harus ditangani dalam area penanganan kritis karena hal tersebut berpotensi sebagai kondisi yang
dapat mengancam nyawa.
Berikan oksigen suplemen high-flow dengan non-rebreather reservoir mask.
Pantau ECF, tanda-tanda vital tiap 10-15 menit pulse oximetry.
Buat 2 jalur IV perifer (14G/16G) yang besar
Berikan cairan IV 0,9% saline/D5W dengan infus cepat sampai hipotensi disembuhkan (deficit umum mencapai
2 – 31t).
Investigasi:
1. gula darah kapiler
2. darah lengkap
3. Urea/elektrolit/kreatin (wajib), untuk mengetahui
a. hiponatraemia
b. hiperkalaemia
104
c. metabolic acidosis
d. peningkatan urea
e. hipoglycaemia
4. AGD
5. plasma cortisol (plain tube) dan ACTH (EDTA tube pada es). Kirim ke lab secepatnya.
6. ECG: dapat menunjukkan QRS voltase rendah dan perubahan gelombang ST-T non-spesifik
dan/atau perubahan dikarenakan hiperkalaemia., dapat kembali dengan pemberian glucocorticoid.
7. CXR mungkin normal, namun seringkali menunjukkan jantung yang kecil, mungkin terdapat stig-
mata dari infeksi awal atau bukti adanya TB atau infeksi jamur, jika hal ini menjadi penyebab dari
penyakit Addison.
8. urinalisis dengan pengujian urine stick untuk menyingkirkan UTI.
Koreksi faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, AMI.
Terapi Obat
IV D50W 40 ml untuk menyembuhkan hipoglycaemia yang mungkin bandel dan membutuhkan bolus-bolus
berulang kali; beri makan dengan isocal jika pasien dalam kondisi sadar.
IV hydrocortisone 100 mg tiap 6 jam: ia merupakan fisiologis, lebih cepat bereaksi dibandingkan dexame-
thasone dan memiliki aktifitas mineralocorticoid, terutama dalam kasus insufisiensi adrenocortical. Ambil
darah dari plasma cortisol dan ACTH sebelum penanganan!
IV sodium bicarbonate (jika diperlukan; 50 mmol selama 1-2 jam; awasi status asam basa dengan serial
AGD.
Disposisi
Konsultasikan Endokrin/penyakit dalam terkait untuk perawatan di MICU untuk monitoring tanda-tanda
vital.
105
PENTING
Penggunaan ethanol berhubungan secara bermakna dengan peningkatan cedera yang serius yang disebabkan
kekurangan mekanisme penilaian dan kontrol
Penekanan derajat kesadaran menutupi respon dari penyakit dan penyakit yang mendasarinya
Penggunaan etanol sering berhubungan dengan penekanan pernafasan dan reflek muntah
Ada diagnosis banding yang bermakna dari penderita dengan intoksikasi alkohol (tabel 1)
Kadar etanol darah turun 20-30 mg % perjam
Glascow Coma Scale (GCS) secara statistik tidak dipengaruhi oleh alkohol sampai kadar alkohol darah
mencapai > 200 mg %. Jadi jangan memasukkan penuturunan kesadaran karena alcohol kecuali kadar al-
kohol penderita sedikitnya 200 mg %
Tabel 1: Diagnosa banding penurunan kesadaran pada penderita intoksikasi alkohol
Kelainan susunan saraf pusat Kejang atau postikal,stroke, subdural hematome,
tumor
Kelainan lingkungan Hipotermi
Infeksi Meningitis/ ensefalitis, pneumonia, sepsis
Kelainan metabolic Ketoasidosis diabetic, ensefalopati hepatic,
hipokalsemia, hiponatremia, uremia
Kelainan respirasi Hipoksemia
Keracunan Benzodiazepine, karbonmonoksida, etanol, etilen
glikol, isopropyl alcohol, methanol, narkotik, hip-
notik sedative
Trauma Gegar otak, Kontusio serebri, hematom epidural,
hipotensi, perdarahan subarahnoid
PENANGANAN:
Filosofi daripenanganan
Tujuannya adalah:
Mencegah penderita menyakiti diri sendiri dan orang lain
Mengatasi keadaan yang mengancam nyawa tanpa di tunda, misalnya keadaan yang reversible seperti:
hipoksemia, dehidrasi, hipoglisemia dan hipotermi
Memastikan disposisi dan pelaksanaan selanjutnya yang tepat
Periksa luka-luka yang mungkin terlewatkan
Perhatian adanya ensefalopati Wernicke : 3 gejala klasik yang hanya nampak pada 10 % penderita.
Lihat adanya perubahan status mental depresi, apatis, bingung (80%), perubahan ocular nigtagmus
horizontal atau kelumpuhan otot rektus lateral, dan ataksia (20% kasus)
Tujuan dicapai melalui beberapa prinsip penanganan
Observasi dengan penilaian berulang dari tanda vital dan penilaian neurologi
Evaluasi yang agresif dari status mental yang tidak membaik atau terganggu
Observasi lanjutan sampai penderita dapat berfungsi dengan bebas dan menjaga diri sendiri
Hidrasi dan nutrisi intravena
Pengendalian kemikal dan fisik jika dibutuhkan (untuk penderita dan orang lain)
Penanganan penunjang
Kecuali bila penderita sadar dan mengenali, penderita mabuk harus dievaluasi terhadap lokasi
Evaluasi jalan nafas dan servikal
Jalan nafas oral/ nasofaring tergantung adanya reflek muntah
Peralatan untuk suction harus selalu tersedia dengan cepat
Jika penderita diduga trauma, sediakan kollar yang kaku dengan atau tanpa imobilisasi manual
106
Pencitraan:
1. Foto dada: berguna jika riwayat nya ada trauma dada, atau ada demam, atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan auskultasi.
2. foto servikal lateral, AP pelvis dan ekstremitas: dibutuhkan berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik
3. Scaning kepala diperuntukkan pada kasus yang:
a. Adanya kejadian trauma kepala dengan penurunan kesadaran yang persisten
atau ditemukan adanya kelainan neurologi fokal.
b. Penderita dengan keadaan mental yang tidak menentu dengan kadar etanol
darah (lihat Penting)
c. Tidak adanya perbaikan dalam, atau perburukan dari, status neurologi sesuai
dengan waktu.
EKG: berguna untuk mendeteksi adanya hubungan dengan penyakit jantung, contoh penyakit jantung
iskemi atau kardiomiopati alkoholik
Terapi obat:
Tiamin 100 mg IV: gudang tiamin seringkali tidak ada pada penderita alkoholik.
D50W 40 ml IV bolus untuk hipoglisemia yang ditemukan.
107
Catatan: Secara teori, sangat penting untuk memberikan dekstrose dengan tiamin pada penderita malnutrisi
karena pemberian awal dekstrose akan memacu terjadinya ensefalopati Wernike (trias dari ataxia, ke-
bingungan menyeluruh dan abnormalitas ocular, terutama nistagmus horizontal atau paralise nervus enam
bilateral). Pandangan ini tidak didukung oleh bukti. Masih diperdebatkan apakah itu memakan waktu bejam-
jam ataupun berhari-hari, untuk ensefalopati Wernike untuk berkembang secara klinis; juga, tiamin dapat
diberikan segera setelah pemberian dekstrosa.
Haloperidol 5 mg IV dapat diulang dalam waktu 5-10 menit. Obat-obat ini dipergunakan pada penderita
intoksikasi dengan agitasi yang berat dalam pembatasan aktivitas fisik. Haloperidol menghasilkan efek
sedasi minimal dengan control tingkah laku yang sangat bagus.
JIka riwayat dan pemeriksaan fisik menyatakan dugaan adanya penggunaan narkoba, nalokson 2 mg IV
membantu mengidentifikasi dan mengembalikan susunan saraf pusat dan depresi pernafasan.
Disposisi
Rawatlah di ruangan ICU atau ruangan dengan pengawasan , setelah memperoleh konsultasi yang di-
perlukan, seperti berikut:
1. Trauma multipel
2. Penggunaan methanol dan etilen glikol
3. Sepsis
4. Perdarahan saluran pencernaan
5. Infark miokard akut
6. Sindrom putus obat utama
Masukkan pada bagian Kedokteran umum untuk melihat adanya Pneumonia, Hepatitis atau Pankreatitis
yang mengikuti. Masukkan ke bagian Bedah Umum atau Bedah Saraf jika Cedera Kepala yang stabil
mengikuti tergantung dari institusi.
Kriteria pemulangan
Dapat makan / minum
Berjalan dengan langkah yang tegap orientasi terhadap sekitar
Tersedianya teman atau keluarga yang bersama dengan penderita.
Situasi khusus:
Anak-anak
Anak-anak dengan etanol baik karena minum minuman yang mengandung alkohol atau pencuci mulut.
Seringkali terjadi depresi pernafasan setelah dosis etanol yang kecil.
Hipoglikemi sering terjadi : obati dengan 2-4 ml/kg D25W IV Campurkan D50W 1:1 dengan air steril ka-
rena D50W sangat hiperosmoler
Catatan; pemberian berulang seringkali tidak diperlukan dan dapat menyebabkan keadaan hiperosmoler.
Catatan : beda osmolalitas meningkat pertama kalinya sebelum metabolisme, hanya beda anion akan
meningkat kemudian.
Metabolit methanol menyebabkan:
1. Iritasi saluran pencernaan: nausea, muntah dan nyeri perut
2. Intoksikasi susunan saraf pusat: pusing, bingung dan penurunan kesadaran
3. Toksisitas okuli: lihat apakah ada edema retina dan hiperemi dari discus dan tajam penglihatan
4. Asidosis metabolic
Metabolit etilen glikol menyebabkan:
1. Sama seperti pada methanol dengan tambahan gagal ginjal
Penanganan :
1. Perawatan suportif seperti pada keracunan etanol
2. Terapi obat:
a. Pengobatan agresif asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
b. Hambat metabolisme dari komposisi induk untuk mengatasi toksisitasnya dengan memberikan
etanol kalau alkohol dehidrogenase memiliki afinitas yang lebih besar terhadap etanol
dibandingkan dengan methanol atau etilen glikol
c. Terapi etanol:
Untuk mempertahankan kadar etanol 100-120 mg/dl
Beban : 0,6-0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11 g/kg/j
Dialysis : 0,24 g/kg/j
Metode oral: tidak dipergunakan jika penderita menolak dan tidak mempunyai reflek
muntah
Beban : gunakan 50% cairan untuk memenuhi beban dengan tabung
Rele’s: 2 ml/kg dari 50% berikan 0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11-0,13 g/kg/j
Penggunaan : 0,16 ml/kg/j dari 95% larutan tetapi didilusikan dengan air 1:1 untuk
menghindari terjadinya gastritis dan berikan 0,33 ml/kg/j
Tingkatkan proporsional dengan dialisis.
Metode IV
Beban: gunakan 10% dalam D5W melalui central line 10 cc/kg
Pemeliharaan: 1,6 cc/kg/jam solusi 10%
Peningkatan proposional dengan dialysis.
d. Fomeprisole (suatu inhibitor alkohol dehidrogenase sintetik) terapi untuk penderita yang
diduga ataupun peminum dan terintoksikasi etilen glikol ataupun methanol.
Tanpa hemodialisis
Beban : IV fomeprizole 15 mg/kg, diikuti dengan dosis 10 mg/kg setiap 12
jam X 4 dosis, kemudian 15 mg/kg 12 jam setelahnya
ZCatatan : semua dosis yang diberikan melalui intravena dan perlahan dengan normal
salin atau dilarutkan sepanjang 30 menit. Jangan memberikan tanpa dilarutkan ataupun
bolus.
Selama hemodialise : seringnya dosis harus ditingkatkan setiap 4 jam dengan kecepatan
yang sama. Terapi harus dilanjutkan sampai kadar etilen glikol atau methanol kurang dari
20 mg/dl dan tidak ada gejala pada penderita.
Fomediprizole oral : cocok untuk kasus2 dimana baru saja minum dan tidak ada muntah.
Dosis: 15 mg/kg awalnya, diikuti dengan 5 mg/kg 12 jam kemudian; kemudian 10 mg/kg
setiap 12 jam sampai kadar etilen glikol dalam plasma tidak dapat dideteksi.
3. Hemodialisis untuk menghilangkan kandungan induk dan racun yang dihasilkan. Indikasinya :
a. Jika kadar dalam darah melebihi 25 mg/dl
b. Jika metabolic asidosis tidak dapat diperbaiki
109
Isopropanol
Di metabolisme menjadi aseton tetapi jumlahnya sedikit dan tidak menyebabkan asidosis
Melewati sawar otak lebih cepat dan toksisitasnya kira-kira 2 kali dari etanol
Efek toksik:
1. depresi susunan saraf pusat
2. iritasi saluran pencernaan dengan gastritis, muntah, dan hematemesis
Penanganan:
Kadar serum isopropyl alcohol menambah sedikit pada manajemen
Tangani seperti pada intoksikasi etanol
Alkohol ketoasidosis
Terlihat klasik pada peminum alkohol yang menahun yang pesta minuman keras dan datang dengan nausea,
muntah, nyeri perut, dan kelaparan dengan makan kalorinya buruk
Ketoasidosis merupakan hasil dariakumulasi dari asetoasetat dan beta hidroksi butirat.
Pemeriksaan laboratorium pH sekitar 7,1, bikarbonat serum 10, kalium dan fosfat serum rendah, dan kadar
glukosa darah rendah atau normal.
Penanganan: rehidrasi dengan dekstrosa 5% dengan cairan salin, anti muntah jika diperlukan,
benzodiazepine jika diperlukan untuk gejala putus obat.(Tabel 2). Kalium dan pengganti kalium.
Catatan : terapi insulin kontraindikasi dan bikarbonat jarang dibutuhkan.
Kemungkinan perkembangan gejala putus obat yang berat bertambah dengan infeksi yang menyertainya
atau maslah kesahatan, riwayat yang terjadi sebelumnya dengan kejang karena putus obat atau delirium tre-
mens, dan pemakaian alkohol yang lebih banyak.
Kejang putus obat :
1. Biasanya kejang umum dan terbatas sendiri
2. Onset biasanya dalam 49 jam dari penggunaan alcohol
3. Biasanya tidak mungkin dapat dibedakan antara kejang karena putus obat dengan penyebab yang lain
dari riwayat dan pemeriksaan fisik
4. Diduga:
a. kejang local: Ct scan kepala
b. kejang demam: pungsi lumbal setelah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Mulai pemberian
antibiotika
c. Kejang status: CT Scan kepala dan cari kelainan metabolic
Penanganan :
1. Sediakan penghilang rasa ansietas dan halusinasi
2. Hentikan progresivitas AWS
3. Terapi suportif:
a. Amankan ABC
b. Cairan pengganti: IV dextrose 5% / saline bergantian dengan D5%
c. Koreksi kelainan elektrolit dan metabolisme: glukosa, tiamin, potassium, magnesium
d. IV tiamin 100 mg dan IV magnesium sulfat 1-2 g dapat dimulai
4. Terapi obat:
a. Bensodiasepin :
IV diazepam 5-10 mg bolus perlahan setiap 5-10 menit dititrasi sesuai dengan klinis
(max 20 mg), atau
PO diazepam 10-20 mg untuk kasus ringan (dapat diulang setelah 60 menit)
b. Haloperidol: IM haloperidol 5-10 mg untuk penderita agitasi
c. Beta bloker:
Indikasi jika dosis multipel dari diazepam sudah dipergunakan dan/ atau takiaritmia be-
rarti
110
Definisi
Urtikaria : plak edematous dan gatal dengan bagian tengah yang pucat dan tepi yang meninggi.
Angioedema : Edema pada lapisan dalam kulit yang tidak gatal namun dapat terasa seperti terbakar,
mati rasa atau nyeri.
Anafilaksis : reaksi alergi sistemik yang hebat terhadap antigen yang dipresipitasi oleh pelepasan
mediator kimia pada pasien yang tersensitisasi. Paparan sebelumnya terhadap antigen merupakan syarat
yang diperlukan untuk terjadinya syok anafilaksis.
Reaksi Anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak membutuhkan kontak dengan zat
karena bukan merupakan proses yang dimediasi oleh system imun. Kedua keadaan tersebut terjadi
karena pelepasan histamine dari mast cell dan makrofag.
Caveats
Keadaan ini menunjukkan spectrum reaksi hipersensitivitas yang bervariasi dari urtikaria ringan sampai
pada anafilaksis yang dapat mengancam jiwa; progresivitas dari bentuk yang ringan sampai pada anafil-
aksis yang full-blown dapat terjadi.
Frekuensi
Urtikaria 200 kasus
Angioedema 20 kasus
Anafilaksis 1 kasus
Reaksi ini dimediasi oleh IgE atau IgG4 dan bertanggungjawab terhadap reaksi anafilaksis yang terjadi,
contoh pada reaksi drug-induced (paling sering : Penisilin dan NSAID) serta :
1. Makanan (kerang, putih telur, kacang)
2. Racun Hymenoptera (lebah, tawon, hornets/penyengat)
3. Reaksi lingkungan (debu, serbuk sari, dll)
Anafilaksis
Syok, stridor, bronkospasme
Manajemen
Supportif
1. Jika relevan, hentikan allergen yang dicurigai
2. Jika relevan, ‘cungkil keluar’ bekas sengatan dengan pisau. jangan meremas, karena akan
menyebabkan masuknya venom lebih dalam.
3. Jika allergen telah ditelan, pertimbangkan gastric lavage dan karbon aktif
4. Jika nadi tidak ada, lakukan external cardiac massage
5. Pasien harus ditangani pada area resusitasi
6. Berikan oksigen aliran tinggi
7. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5 menit
8. Pasang jalur intra vena besar 14G/16G
9. Support sirkulasi : 21 Hartmann’s atau NS bolus.
10. Bersiap untuk melakukan Intubasi atau krikotiroidotomi
Catatan : Perhatian ekstra diindikasikan pada pemberian sedasi dan paralysis sebelum intubasi.
Pertimbangkan menggunakan Awake Oral Intubation’; lihat bab Airway Management / Rapid Se-
quence Intubation untuk detilnya. Sedasi dan paralysis merupakan kontraindikasi karena
gangguan jalan nafas setelah paralisis dapat menghalangi intubasi.
11. Lakukan konsul anestesi dan THT untuk asistensi manajemen airway.
12. Labs : tidak diperlukan segera
Terapi Obat
1. Adrenalin : DOC ( drug of choise )
a. Pasien normotensi : 0,01ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan 1 : 1.000 SC/IM dalam.
b. Pasien Hipotensi : 0,1 ml/kg (sampai 5 ml) larutan 1 : 10.000 diberikan perlahan IV sela-
ma 5 menit (atau dengan injeksi IM dalam jika akses IV tidak tersedia).
c. Pada kasus lain setengah dosis dapat diinfiltrasikan di sekitar lokasi sengatan.
2. Glukagon : pertimbangkan menggunakannya jika adrenalin merupakan kontraindikasi relative, cth :
IHD, hipotensi berat, kehamilan, pasien pengguna beta blocker, atau yang tidak berespon terhadap
adrenalin.
Dosis : 0,5-1,0 mg IV/IM; dapat diulang sekali setelah 30 menit.
3. Pilih salah satu antihistamin pada tabel 1.
Tip : encerkan tiap ml dari 25 mg promethazine (phenergan) sampai 10 ml dengan NS dan berikan
IV pada kecepatan tidak lebih dari 2,5 mg/menit untuk menghindari efek samping hipotensi
transient.
4. Cimetidine (Tagamet : sebuah H2-blocker) untuk gejala persisten yang tidak merespon terapi
diatas.
Dosis 200-400 mg IV bolus.
5. Bronkodilator nebulisasi untuk bronkospasme yang persisten. Berikan salbutamol (Ventolin) 2 : 2
dengan nebulizaer tiap 20-30 menit.
6. Kortikosteroid untuk mempotensiasi efek adrenalin dan menurunkan permeabilitas kapiler; efek
tidak didapat dengan cepat.
Dosis hidrokortison 200-300mg IV bolus; dapat diulang tiap 6 jam.
113
Penempatan
Pasien di-MRS-kan pada ICU/HD setelah konsultasi, untuk observasi dan pengulangan dosis antihis-
tamin dan steroid.
Chlorpheniramine 10 mg IM/IV
(Piriton; sebuah H1-blocker)
Angioedema
Angioedema yang diinduksi Obat
ACE inhibitor merupakan penyebab yang paling sering;
Manifestasi klinis : area tubuh yang sering terkena :
1. Wajah dan leher (predileksi : bibir, palatum molle, dan laring)
2. Foreskin dan skrotum
3. Tangan dan kaki
Manajemen bersifat simptomatik, namun harus menyiapkan tindakan definitive airway karena deteorasi
menjadi anafilaksis dapat muncul kapan saja.
Terapi supportif
1. Pasien harus ditangani setidaknya di intermediate care.
2. Monitoring: tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri, EKG
3. Pasang IV plug perifer
4. Oksigen supplemental untuk mempertahankan SpO2 > 94%.
5. Bersiaplah untuk intubasi atau krikotiroidotomi : pertimbangkan ‘awake oral intubation’
Terapi Obat
1. Adrenalin
a. IM 0,3-0,5 ml larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada dewasa > 45 kgBB
b. IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml) larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada anak-anak dan
dewasa < 45 kg.
2. Antihistamin : lihat dosis pada tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
3. Prednisolon
a. Dosis : 40-60 mg PO pada dewasa
b. 2 mg/kgBB Po pada anak-anak
Penempatan : MRS untuk observasi 12-24 jam karena ‘rebound’ dapat terjadi 6-12 jam setelah onset.
Jika pembengkakan kelopak mata merupakan gejala/tanda satu-satunya, maka pasien dapat diKRS-kan
setelah resolusi.
Urtikaria
Tabel 2 : Penyebab Umum Urtikaria
Reaksi Obat Penisilin
Aspirin
Obat gol. Sulfa
NSAID
TCMs
Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anfilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak didahului dengan paparan allergen sebe-
lumnya karena bukan merupakan keadaan yang dimediasi oleh proses imunologi. Keadaan ini disebabkan
oleh pelepasan histamine langsung dari sel Mast dan makrofag.
Manajemen
Penyebab yang sering : bahan kontras radiografik, aspirin, NSAID, opiate.
Terapi : sama dengan anafilaksis
9. Aortic Dissection
115
Definisi
Diseksi aorta merupakan robeknya tunika intima, hematoma intramural atau separasi tunika media yang
terjadi pada pasien dengan factor resiko seperti Marfan’s syndrome, hipertensi, merokok, aterosklerotik
aorta atau pasien yang hamil.
2 Klasifikasi primer : the DeBakey dan Stanford classification
Sistem DeBakey :
1. Tipe I melibatkan aorta ascending, aortic arch dan aorta descending.
2. Tipe II melibatkan aorta ascending, namun tidak meluas ke atas arteri subclavian sinistra.
3. tipe 3 melibatkan hanya aorta descending, dimulai pada atau distal dari arteri subclavian sinistra.
System Stanford :
1. tipe A melibatkan aorta ascending (dengan atau tanpa keterlibatan aorta descending)
2. Tipe B melibatkan aorta descending saja
Klasifikasi Stanford lebih sederhana dan terkait dengan terapi.
Caveats
Pertimbangkan diagnosis disseksi aorta pada pasien dengan:
1. nyeri dada/abdomen atas yang mendadak, hebat dan merobek yang menjalar ke punggung, maksi-
mal pada outset dan migrating/berpindah sejalan dengan waktu. Nyeri pada IMA tidak bersifat mi-
gratory, dan jika keduanya terjadi bersamaan, diseksi aorta bisaanya terjadi lebih dulu daripada
IMA.
2. nyeri dada terkait dengan gejala neurologik, sinkope, TIA, stroke atau paraplegia.
3. Nyeri dada dengan peningkatan resiko diseksi aorta, cth : hipertensi, Marfan’s Syndrome.
4. Defisit Nadi atau perbedaan tekanan darah sistolik pada kedua lengan > 20 mmHg atau tekanan da-
rah pada tungkai bawah lebih rendah daripada ekstremitas atas.
5. Nyeri dada dengan onset baru murmur aortic regurgitation.
6. nyeri dadadengan mediastinum melebar > 8 cm pada PA CXR.
Diagnosa yang menyebabkan kebingungan dengan disseksi aortic thoracic, meliputi :
1. Infark miokard atau unstabel angina
2. Abdominal disease
3. stroke
4. Iskemik trombosis ekstremitas bawah
5. Pneumonia
6. Penyakit pericardial
Catatan : Diseksi aorta dapat terjadi bersamaan dedngan salah satu penyakit diatas.
Jika diagnosa awal pasien adalah diseksi aorta, sedangkan lebih lanjut tidak ditemukan, ingat :
1. Pada beberapa kasus, multiple test (transesofageal echocardiography [TEE] diikuti dengan CT
scan, dll) diperlukan untuk mendeteksi penyakit.
2. penyebab paling mungkin selanjutnya adalah penyakit jantung yang serius.
3. jika pasien perlu dievaluasi sebagai diseksi aorta, MRSkan pasien
4. pasien dengan hasil pemeriksaan diseksi eorta yang negative emiliki kemungkinan mengalami IMA
(23%) atau unstabel angina
ingat bahwa diseksi aorta akut lebih sering terjadi 2-3 kali dibanding rupture aneurisme aorta, dan rata-
rata misdiagnosa sebesar 90%. Lebih lanjut, mortalitas pada diseksi tipe a yang tidak diterapi adalah 1%
tiap jam pada 48 jam pertama.
Manajemen
Catatan : target terapi adalah untuk mencegah kematian dan kerusakan end-organ yang irreversible. Tujuan
terapi medical adalah untuk menurunkan laju peningkatan tekanan darah (dP/dT) dan untuk menurunkan rata-
rata BP dan Heart Rate.
Kontraindikasi penggunaan beta blocker termasuk pasien dengan riwayat gagal jantung kongstif,
heart block, asma, chronoc obstructive lung disease, IV diltiazem dapat diberikan pada kasus ini
menggantikan beta blocker.campurkan 125 mg dalam 100 ml D5% (1 mg/1ml) dan berikan sebagai
20 mg bolus diikuti dengan bolus ulang dalam 15 menit atau mulai infus pada 5-15 mg/jam.
Jika hipotensif, mulai resusitasi cairan IV. Terapi tamponade jantung yang tidak respon terhadap resusi-
tasi cairan adalah immediate perikardiosentesis.
Catatan : semua pasien mendapatkan terapi medis awal, tidak memperdulikan tipe diseksinya.
Semua pasien dengan diseksi aortic yang normotensiv atau tidak nyeri harus diterapi dengan regimen
medical. Penurunan tekanan darah dan HR tidak akan menyebabkan kerusakan serta membantu progre-
sivitas diseksi sama halnya dengan pasien hipertensi.
Indikasi surgical repair disseksi aortic :
1. Semua Diseksi Stanford tipe A
2. Diseksi tipe B dengan komplikasi (rupture, iskemik distal severe, nyeri tak tertahankan, progresif,
hipertensi tidak terkontrol). Diseksi tipe B saja dapat diterapi medis
3. Hipertensi tidak terkontrol.
4. Progresi Diseksi.
5. hubungi kardiologis on call untuk TEE atau atur untuk Ct thorax jika diagnosa dicurigai
Catatan: TEE merupakan pemeriksaan untuk diagnosa definitive diseksi aortic pada pasien yang tidak
stabil.
Hubungi bedah TKV secepatnya setelah dx dicurigai ada dan terapi medis sedang diberikan.
40………………………………………
118
42. Asma
Caveats
‘Tidak semua Wheezing adalah ASMA’ : diagnosa lain seperti gagal jantung kongestif, obstruksi jalan
nafas atas, karsinoma bronkogenik dengan obstruksi atau metasatase karsinoma dengan metastasis limfangi-
tik.
Asma merpakan kelainan inflamasi kronik yang dikarakterisasi dengan peningkatan responsivitas jalan
nafas sehingga terapi yang diperlukan adalah steroid.
Trias ASMA : dispneu, wheezing dan Batuk.
Tujuan terapi pada ED adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara, memastikan kuatnya oksigenasi
dan mengurangi inflamasi.
Manajemen
Pada ED, tanda dan gejala serangan asma berat harus diketahui dan ditangani pada area critical care.
Tingkat keparahan serangan terlihat pada tabel 1.
Tabel 2 menunjukkan factor resiko menderita asma.
Manajemen meliputi suportif dan terapetik. Terapi awal pada asma yang tidak mengancam jiwa (ringan
dan sedang) meliputi kombinasi inhalasi beta agonis/antikolinergik dengan steroid oral. Lihat flow chart
pada gambar 1.
Non-responder akan mebutuhkan nebulisasi intensif, steroid intra vena dan infus magnesium sulfat jika
ada indikasi.
Pasien terus dimonitor dan diperiksa. Pasien yang berespon terhadap terapi ED membutuhkan follow up
(maksimum dalam 24-48 jam) pada dokter ahli paru. Pasien yang tidak berespon terhadap terapi ED
disarankan MRS.
Tabel 1 : Klasifikasi keparahan eksaserbasi Asma
Ringan Sedang Berat Ancaman gagal nafas
Gejala Saat berjalan Saat bicara Saat istirahat Kepayahan
Sesak Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk tegak Usaha nafas lemah
Siapkan intubasi secepatnya : sediakan obat sedasi dan paralysis (lihat bab Air-
way Management/Rapid Sequence Intubation).
Lakukan serial BGA untuk mendeteksi hipksemia progresif, hiperkapnea dan
asidosis
Indikasi intubasi: hiperkarbi persisten, hipoksia hebat dengan PaO2 < 60mmHg
Terapi Suportif
1. Tangani pada Area critical care dengan oksigen aliran tinggi
2. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
3. Akses IV kristaloid 500ml selama 3-4 jam
4. CXR : pasien yang tidak berespon terhadap terapi awal : cari adanya
pneumothorax, pneumonia atau CCF
Terapi Obat-obatan
1. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan jarak : 4 hirupan salbutamol (100µg) +
4 hirupan atrovent (20mg) tiap 15 menit sampai 1 jam diulangsesuai siklus 2-
4jam sekali.
2. Terapi nebulizer Salbutamol (Ventolin) : 1 ml (5mg) salbutamol dengan 2 ml
ipatropium bromide dan 2 ml NS sehingga menjadi 5 ml. (Pada anak
0,03ml/kg Ventolin didilusikan dalam 2 ml saline : diulang dua kali). Terapi
alternative pada 1 kecuali suspek SARS; dapat digunakan jika pilihan terapi
obat pertama gagal.
3. Prednisolone oral 0,5-1mg/kg (maksimum 60mg).
Evaluasi Ulang
43.............................
122
Penting
Yang terpenting pada kasus gigitan ular adalah korban sulit memastikan apakah ularnya berbisa atau
tidak.
Tanda/gejala gigitan ular berbisa:
1.rasa nyeri pada daerah gigitan
2.bengkak pada sekeliling luka gigitan dan secara bertahap menyebar ke proksimal.
3.munculnya perdarahan kulit dan bula yang berisi cairan serosa atau darah.
4.munculnya gejala sistemik seperti mual,muntah, diare,rasa sakit sekali pada
perut,gelisah,hipotensi,perdarahan(epistaksis,gusi berdarah,perdarahan saluran perncernaan),ganggua
sistim saraf(paralysis,ptosis,gangguan gerakan bola mata,gangguan bicara,gangguan
menelan,sempoyongan,kejang),gagal nafas dan urin yang gelap(mioglobinuria).
Bila ular yang menggigit dapat ditangkap,maka dapat minta bantuan pada kebun binatang local atau ahli
reptile untuk mengidentifikasi ular tersebut.
Lihat bagan 1 untuk cara identifikasi gigitan ular.
Hati-hati agar jangan membawa ular yang diduga telah mati,karena refleks envenomasi akibat dekapita-
si kepala ular masih dapat terjadi beberapa jam setelah mati.
Hanya sedikit jumlah ular tanah yang berbisa.
Semua ular laut berbisa.Diduga bila terjadi gigitan tanpa rasa sakit yang terjadi saat berenang di laut
atau saat menangkap ikan.Nyeri pada semua otot dan sakit,dan rasa kaku bila digerakkan.Biasanya ter-
jadi cepat dalam setengah sampai sejam setelah gigitan.
Bisa ular dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.hematotoksin atau kardiovaskular toksin (seperti pada jenis Crotalidae)
2.neurotoksin (seperti pada jenis Elapidae dan Hydropiidae)
3.miotoksin (seperti pada hydropiidae)
Lihat table 1 untuk derajat kekuatan bisa ular
Anti bisa ular harus diberikan di rumah sakit pada korban gigitan ular berbisa yang menunjukkan gejala
keracunan sedang sampai berat
Daerah ektremitas yang digigit harus diimobilisasi untuk menurunkan metabolisme, absorption dan
penyebaran bisanya.
Dalam imobilisasi jangan memakai torniket atau memanipulasi luka.Tapi gunakan konstrikting band
sebelah proksimal dari luka.Bebat yang dilakukan harus cukup menekan,tapi jari pemeriksa juga harus
dapat masuk diantara bebat dengan permukaan kulit yang luka.Cara ini berguna bila gigitan ular belum
lebih dari 30 menit.
Penatalaksanaan:
Pasien dirawat di ruang resusitasi,letakkan berbaring dan bagian tubuh yang digigit harus diimobilisasi
pada posisi dependent.
Pertahankan jalan nafas tetap terbuka bebas,jika bahaya paralysis pernafasan atau bulbar akan terjadi
maka pasien harus diintubasi atau ventilasi dengan pembedahan jika intubasi tidak mungkin dilakukan
karena berbagai sebab.
Berikan O2 high flow
Pemeriksaan tanda-tanda vital secara lengkap
Monitoring EKG,pulse oksimetri dan tanda vital tiap 5-10 menit
Pemeriksaan lab:DL, faal hemostasis, UL, urea/elektrolit/kreatinin,EKG.Pada kasus yang berat dit-
ambahkan: mioglobin urin,skrining DIC,CPK,CKMB
Jika pasien datang dengan terpasang torniqet, maka yang harus dilakukan untuk antisipasi envenomasi
mendadak:
1.pasang infuse NS 0,9%
2.peralatan resusitasi yang memadai
3.monitoring lengkap tersedia
Pasang kateter untuk pasien yang tidak stabil/syok
Mual dan muntah dapat terjadi akibat bisa yang jenisnya hematotoksik
124
Derajat bisa ular secara klinis Dosis serum anti bisa ular
Minimal Tidak indikasi diberikan SABU
Sedang 20-40 cc(2-4 vial) (masih kontroversi)
Berat 50-90 cc(5-9 vial)
Sangat berat 100-150 cc(10-15 vial)
Irigasi mata yang terkena semprotan bisa ular (beberapa jenis kobra akan menyemprotkan bisanya kea
rah mata korban).
Jangan menekan bagian proksimal daerah luka gigitan ular berbisa dengan torniket.
Jangan mengompres luka dengan es,karena pada saat kompres dihentikan,efek vasodilatasi akan
mempercepat penyerapan bisa ular.
Jangan melakukan insisi ataupun menghisap luka gigitan.
Perhatian khusus
Berikan serum anti bisa ular untuk menetralisir bisa ular: anti bisa ular polivalen harus selalu tersedia di
ruang P1 dan harus disimpan di lemari es pada suhu 2-6ºC.
Ketika SABU sudah keluar dari lemari es,maka harus cepat diberikan karena pada suhu ruangan akan
cepat kehilangan khasiatnya.
Indikasi dan dosis pemberian dapat dilihat pada Tabel 2.
Pencegahan akibat reaksi SABU:
1.apakah pasien sudah pernah mendapat suntikan serum sebelumnya,misalnya ATS(bukan ATT).
2.pasien punya alergi atau punya keluarganya ada yang alergi:
a.tes sensitivitas pasien terhadap serum dengan diberikan suntikan 0,1 cc serum yang telah didilusi den-
gan perbandingan 1:10 secara intradermal.Observasi selama 30 menit apakah ada reaksi local dan men-
yeluruh.Bila terjadi reaksi, dapat diberikan difenhidramin IV,kortikosteroid IV dan atau adrenalin IM
1:1000 atau IV 1:10.000.
b.berikan SABU pada pasien dengan riwayat alergi setelah lebih dulu diberikan antihistamin dan hidro-
kortison 15-30 menit sebelumnya.
Antikolinesterase diberikan pada pasien dengan gejala neurotoksin yang berat, dengan diberikan dosis
percobaan edrofonium klorida(Tensilon) 10 mg dengan atropine 0,6 mg.Bila respon setelah pemberian
obat tersebut kurang,dapat diberikan neostigmin.
Analgesic/sedasi diberikan jika pasien sangat kesakitan.Dapat diberikan morfin atau diazepam,atau ke-
duanya dalam dosis kecil dititrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.Persiapan intubasi harus dila-
kukan bila tanda-tanda depresi nafas muncul seperti kelemahan otot akibat efek racun dari bisa ular.
Disposisi
Semua penderita gigitan ular berbisa harus diobservasi,bila gejala keracunannya berat harus dikon-
sultasikan pada tim ICU.
125
Penanganan luka baker menurut ATLS pada primary survey adalah mengatasi masalah jalan nafas dan respirasi,
sedangkan pada secondary survey adalah penanganan gejala klinis pada tubuh yang mengalami luka baker tan
total cairan yang hilang.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan luka baker dilakukan di IRD. Setelah penenganan ABC nya maka dilakukan profilaksis intubasi
pada pasien dengan resiko sumbatan jalan nafas, spt pada;
1. luka baker di kepala yang melingkari hidung dan mulut.
2. adanya jelaga pada lubang hidung, atau hilangnya bulu hidung karena terbakar.
3. luka baker di lidah
4. pembengkakan pada jaringan mulut bagian dalam
5. adanya suara yang serak
6. udema laring yang dapat dilihat dengan laringoskop
7. inspirasi yang ngorok
intubasi jalan nafas ini sangat beresiko, sehingga harus dilakukan secata cepat.(RSI)
1. oleh karena sangat berpotensi menimbulkan kesulitan jalan nafas, maka sebelum dilakukan RSI,
sebaiknya dilakukan intubasi secara sadar.
2. harus disiapkan cricotiroidektomi, bila sewaktu-waktu intubasi gagal
3. monitor ketat selama dilakukan intubasi
4. intubasi dilakukan oleh dokter emergency senior atau oleh ahli anastesi
5. pemberian suxamethonium tidak did=indikasikan untuk luka baker akut
* yang dipakai sbg dasar pengobatan adalah luas luka baker terutama untuk kalkulasi cairan. Banyak pasien
dengan luka baker >20% membutuhkan caira resusitasi. Pemasangan infuse dengan jaru 16G dapat dilakuakn
pada tempat yang tidak mengalami luka baker. Cairan yang digunakan dapat di kombinasi antara cairan
kristaloid dengan cairan koloid.
PARKLAND’S FORMULA
_____________________________________________________________
Total cairan yang diberika dalam 24 jam= 2-4 ml/kgbb/%luas luka baker
total volume dibagi dalam 2 tahap
setengah pertama diberikan lewat infuse dalm 8 jam pertama
setengah sisanya diberikan dalam 16 jam.
PENANGANAN NYERI
1. injeksi petidhin 1mg/kgbb
2. injeksi morphin 2mg tiap 20 menit maksimal 10mg
3. injeksi tramodol 50mg dilanjutkan dengan infuse
4. dapat juga diberikan inhalasi entonox
46…..
127
DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ditandai oleh keterbatasan aliran udara parsial yang bersifat reversi-
belm yang berlangsung progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal jarinagn paru terhadap
gas ataupun partikel toksik.
PERHATIAN
Gejala khas meliputi batuk, produksi sputum kronis dan sesak yang diinduksi oleh aktvitas fisik dengan se-
bagian besar pasien mengalami paparan terhadap tembakau.
Sekitar 10% pasien PPOK tidak mempunyai riwayat kebiasaan merokok
10% pasien PPOK menunjukkan gejala klinis asma dan harus ditangani sebagai kasus asma.
DIAGNOSIS BANDING
Gagal jantung kongestif (CHF): pemeriksaan beta natriuretic peptide (BNP) merupakan metode terbaik
untuk membedakan PPOK dari CHF.
Sindroma Koroner Akut (ACS)
Emboli paru (PE)
Pneumothoraks/ kolaps paru
Penumonia
Tabel 1: Klasifikasi PPOK berdasarkan beratnya menurut global initiative for chronic obstructive
lung disease (GOLD)
0: Berisiko Spirometri normal
Gejal kronis (batuk, produksi sputum)
I: Ringan FEV1/FVC <70%
FEV1 >80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala kronis (batuk, produksi sputum)
II: Sedang FEV1/FVC <70%
30% < FEV1 < 80% prediksi
III: Berat FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% prediksi atau FEV1 <50% prediksi disertai gagal nafas atau tanda
klinis gagal kantung kanan
TATA LAKSANA
Suplemen O2 aliran rendah terkendali untuk semua pasien dengan distres nafas atau SpO2<90% untuk men-
capai saturasi 90-95%. Dapat digunakan kanul hidung atau sungkup venturi.
Indikasi RSI dan ventilasi:
1. Ancaman henti nafas
2. Sesak hebat & nyata
3. Asidosis berat atau hiperkapnia
4. Penurunan kesadaran
5. Syok
Catatan: Pengaturan ventilasi sebaiknya menggunakan frekuensi rendah, volume tidal rendah dan fase ekspirasi
yang lebih panjang.
Obat-obatan meliputi:
128
1. Agonis β-2: salbutamol 5mg (1ml) diuapkan. Efikasi obat ini tergantung pada tingkat ireversibilitas
kondisi PPOK pasien.
2. Antikolinergik: ipraptropium bromide 2ml (0.5 mg). Kombinasi antara 1 dan 2 tidak memberikan
tambahan efek samping dan menghasilkan efek bronchodilatasi yang lebih unggul dibandingkan hanya
menggunakan salah satunya.
3. Kortikosteroid: 0.5-1.5 mg/kg prednisolon oral selama 10-14 hari.
4. Metilsantin (aminofilin) tidak menunjukkan perbaikan FEV1 ataupun mempengaruhi lama rawat inap.
5. Antibiotika: indikasinya meliuti peningkatan keluhan sesak, peningkatan produksi dan purulensi
sputum. Koloni bakteri yang umumnya ditemukan meliputi Strep pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Klebsiella, Mycoplasma, Pseudomonas dan Streptococcus. Antibiotika yang
bermanfaat meliputi generasi lanjut makrolid dan kuinolon.
Catatan: Tidak terbukti manfaat Sulfas Magnesikus pada kasus PPOK
Ventilasi non-invasif (VNI), merupakan standar pelayanan baru, dapat menurunkan mortalitas, kebutuhan
intubasi, komplikasi dan lama rawat inap bila dibandingkan dengan terapi medikamentosa biasa. Indikasi
VNI adalah:
1. Asidosis respiratorik sedang (pH 7.26-7.32)
2. Distres nafas persisten (RR >22/menit) setelah terapi awal PPOK eksaserbasi akut.
Pasien yang tidak sesuai untuk dilakukan VNI adalah pasien dengan:
1. Henti nafas
2. Instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, aritmia, infark miokard)
3. Penurunan tingkat kesadaran dan memberatnya penurunan kesadaran
4. Resiko aspirasi tinggi
5. Baru menjalani pembedahan pada wajah atau gastroesofagus
6. Trauma kraniofasial dan abnormalitas nasofaring yang menetap
7. Obesitas ekstrim
Kriteria pasien dipulangkan meliputi:
1. Tidak memerlukan terapi inhalasi agonis β-2 lebih sering dari setiap 4 jam.
2. Pasien yang sebelumnya memiliki mobilitas dan dapat berjalan dengan nyaman.
3. Pasien telah stabil secara klinis selama 12-24 jam.
4. Hasil AGD yang stabil selama 12-24 jam.
5. Pasien ataupun pihak yang merawatnya memahami dengan baik penggunaan obat-obatan secara tepat.
6. Perjanjian untuk kunjungan lanjutan ataupun perawatan di rumah telah diselesaikan.
7. Pasien, keluarganya dan dokter yang merawat merasa yakin bahwa pasien akan dapat dirawat dengan
baik di rumah.
129
Definisi
Acute Coronary Syndromes (ACS) meliputi kondisi yang meiliki kesamaan patofisiologi oklusi koronaria,
contoh unstabel angina, non ST elevasi MI (NSTEMI) dan ST-segment elevation MI (STEMI). Manajemen un-
stabel angina dan NSTEMI pada dasarnya serupa.
Caveats
Pasien bisaanya datang dengan gejala :
1. Onset baru (<2bulan) severe angina.
2. Angina yang memburuk, dengan gejala yang lebih sering, lebih parah, atau leboih lama dan kurang
berespon terhadap gliseril trinitrat. (GTN).
3. Angina yang memanjang padaa saat istirahat (>15 menit).
Catatan : Non-STEMI harus didiagnosa pada pasien dengan peningkatan enzim kardiak tanpa adanya
gelombang Q pada IMA. Sebuah keadaan NSTEMI tidak harus ditandai dengan perubahan EKG.
EKG mungkin menunjukkan :
1. Depresi ST segment
2. Elevasi ST segment transient yang akan mengalami resolve secara spontan setelah GTN.
3. Inversi gelombang T
4. bukti adanya miokard infark sebelumnya.
5. Left Bundle Branch Block
6. perubahan minor yang tidak spesifik.
7. atau bisa juga normal
EKG tidak harus menunjukkan elevasi akut ST segment yang persisten.
Enzim kardiak konvensional (CK,CK-MB, AST, LDH) dapat normal atau meningkat. Peningkatan tro-
ponin T atau I spesifik untuk kerusakan miokard. Troponin T > 0,1 µg/l, tes kualitatif troponin T yang
positif dan troponin I > 0,4 µg/l, merupakan penanda yang terkait dengan peningkatan resiko kematian
dini pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada hasil EKG. Semakin tinggi konsentrasi troponin semakin
besar resiko kematian selama hari 30-42. Konsentrasi troponin yang normal atau tidak terdeteksi dalam
> 12 jam setelah onset mengindikasikan pasien memiliki resiko yang rendah unutk mengalami
komplikasi.
Penelitian membandingkan troponin T dengan troponin I menunjukkan keduanya sensitive dan spesifik,
punya signifikansi indikasi prognostic yang serupa, serta berperan pada stratifikasi resiko.
Pasien ACS memiliki resiko efek samping dini yang meningkat dibawah kondisi berikut:
1. Usia > 65 tahun
2. Komorbid terutama dengan DM
3. Nyeri jantung yang memanjang pada saat istirahat (>15 menit).
4. Iskemik EKG depresi ST segment pada saat MRS atau selama gejala muncul.
5. EKG menunjukkan inverse gelombang T
6. Bukti adanya kerusakan fungsi ventrikel kiri (preexisting atau selama iskemik miokard).
7. Pelepasan troponin jantung yang positif
8. Peningkatan C-reactive protein
Kategori resiko rendah : troponin jantung normal pada 12 jam setelah onset gejala. Kelompok ini juga
memiliki EKG yang normal serta CK-MB yang normal, serta tidak perlu MRS di CCU atau high
dependency ward.
Terapi bertujuan : control gejala dan mencegah MI serta kematian. Dapat dicapai dengan menggunakan
antiiskemik dan antitrombotik, jika tidak berhasil dilanjutkan dengan revaskularisasi mekanis.
Penting untuk menangani hipertensi dan gagal jantung pada fase akut ACS.
Terapi trombolitik tidak menunjukkan manfaat pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada EKG (kecuali
pada suspek IMA dan left bundle branch Block).
Manajemen
Nyeri Dada iskemik berkelanjutan/perubahan EKG menunjukkan Unstabel angina atau NSTEMI
Monitoring tanda vital pada area critical care
Berikan O2 via mask
Aspirin oral 300mg
Catatan : ini merupakan terapi dasar ACS, yang akan mencapai platelet inhibition dalam 1 jam. Hindari en-
teric-coated aspirin, karena onset akan lebih lambat sampai 3-4 jam. Aspirin mengurangi resiko kematian
jantung dan infark miokard non-fatal pada sekitar 50% kasus dalam 3 bulan.
IV plug dan pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, troponin T atau I, profil
koagulasi, GXM 2 unit packed cells.
Berikan IV GTN 20-200 µg/menit untuk mengurangi nyeri atau iskemik. Tingkatkan 5-10 µg/lmenit
pada interval 5-10 mneit sampai nyeri dada hilang atau MAP turun 10%. Hentikan jika terjadi hipotensi.
Catatan : IV GTN bermanfaat pada ACS dan hipertensi/gagal jantung. Tidak ada bukti bahwa IV infusion
lebih efektif dibanding dengan long-acting nirate yang diberikan melalui rute lain, namun titrasi dosis dapat
lebih cepat dan lebih mudah dilakukan dengan jalur IV. GTN merupakan kontraindikasi bagi infark ventric-
ular kanan.
Berikan IV morfin secara titrasi untuk mengurangi nyeri jika nyeri menetap setelah pemberian GTN.
Berikan beta-blocker untuk mengurangi resiko infark jika tidak ada kontraindikasi, cth gagal jantung,
gagal nafas, heart block derajat 2 atau lebih, tekanan darah sistolik < 90mmHg. Contoh :
atenolol/metoprolol oral 50-100mg/hari.
Berikan Calsium Channel Blocker bersama dengan beta blocker atau pada pasien dengan kontraindikasi
betablocker namun tidak meilki gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri. Titrasi sampai HR
60x/menit. Cth : Diltiazem IV 5mg selama 2-5menit, diulang tiap 5-10 menit samapai dosis total 50mg.
diikuti dengan infus 5 mg/menitsampai 15mg/menit.
Heparin, ketika digunakan IV, mengurangi insiden iskemik berulang dan progresi Q-wave MI.
Penggunaan IV heparin butuh monitoring hati-hati. Namun tidak diperlukan bila menggunakan heparin
molekul kecil dan cara kerjanya lebih mudah diprediksi karena memiliki bioavaibilitas yang nyaris
komplit. Diberikan 2 kali sehari dengan injeksi SC selama 3 hari.
Catatan : resiko komplikasi pada pasien unstabel angina dan non-STEMI akan berkurang pada keadaan
dibawah ini:
1. unfractioned heparin tanpa aspirin lebih efektif ddari pada placebo.
2. Unfractioned heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif dibanding dengan aspirin saja.
3. Low molecular weight heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif daripada aspirin saja.
Kasus resiko tinggi harus diterapi dengan intravenous small molecule platelet glycoprotein IIb/IIIa in-
hibitor selama 96 jam. Juga harus diberikan pada pasien dengan troponin T yang meningkat yang di-
jadwalkan menjalani intervensi koronari perkutaneus menggunakan unfractioned heparin. 3 jenis agent
yang digunakan adalah : abciximab, tirofiban dan eptifibatide.
Deteksi dan koreksi factor pencetu yang jelas : anemia, demam, tirotoksikosis, hipoksia, takidisritmia,
stenosis aorta atau obat simpatomimetik.
Lakukan CXR.
MRS pada CCU.
Diagnosa Unstabel Angina berdasarkan keadaan klinis tanpa perubahan EKG/perubahan ECG non-spesific
serta pasien telah bebas dari nyeri dada
Monitoring pada area intermediate.
Berikan aspirin oral 300mg
Pasang IV plug dan periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung, troponin T atau I jan-
tung, profil koagulasi, cross match 2 unit packed cells.
Aplikasikan nitroderm patch 5-10mg tergantung pada tekanan darah.
Lakukan CXR.
MRS pada bangsal kardiologi.
131
Caveats
Kegagalan mengenali kondisi ini menyebabkan kematian tinggi
Metabolik toksin dari kerusakan otot menyebabkan:
1. Sumbatan tubulus ginjal mengakibatkan gagal ginjal
2. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa menyebabkan disritmia diikuti DIVC
Penyebab:
1. Luka bakar
2. Terjepitnya otot besar > 60 menit, misal pada crush injury, alkoholik dan pengguna obat saat tidak
sadar
3. Non traumatik neuroleptic malignant syndrome
4. Kejang grand mall yang lama
Masalah: hipovolemia, hiperkalemia, hipokalsemia, myoglobinuria, gagal ginjal, ARDS, DIVC
Penatalaksanaan
ABC merupakan protocol utama
Kateter intravena 2 jalur dan resusitasi cairan secepatnya minimal 1.5 L/ jam
Lab: darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, kalsium serum, faal koagulasi
Urinalisis untuk myoglobin
ECG untuk mendeteksi aritmia akibat hipokalsemia dan hiperkalemia
Monitor produksi urine: pasang kateter urine. Jika produksi urine buruk, force diuresis mannitol – alka-
line sampai pH urine > 6,5
Profilaksis antitetanus jika ada luka terbuka
Beritahu orthopedik untuk segera fasiotomi
132
50 Dengue Fever
Definisi
Dengue fever merupakan penyakit infeksi demam akut, disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus, vector :
Aedes aegypti. Patofisiologi penyakit terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler yang berlebihan, dengan
keluarnya plasma kapiler yang difus, hemokonsentrasi, dan beberapa kasus terjadi syok hipovolemik hemorrhag-
ic.. periode inkubasi : 3-6 hari; bebepara kasus mencapai 15 hari.
Manifestasi klinis
Dengue fever (DF)
Gejala klinis dengue fever pada tahap awal serupa dengan pasien infeksi virus.
Ditandai dengan demam dan trombositopenia.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Fase awal tidak dapat dibedakan dengan DF.
Setelah 2-5 hari, beberapa kasus pada infeksi yang pertama atau lebih sering setelah infeksi yang
berulang akan menunjukkan trombositopenia (<100.000/mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit >20% atau >45%).
Manifestasi perdarahan dapat muncul atau tidak; limphe tidak teraba, terdapatnya pembesaran hepar
serta nyeri tekan merupakan tanda prognosis yang buruk.
Manifestasi lain: efusi pleural, hipoalbunemia, ensefalopati dengan cairan serebrospinal yang normal.
Acute liver failure dengan perubahan kesadaran yang jarang terjadi serta didapatkan tanda neurologik
yang abnormal (Hiperrefleksia) dapat timbul. Pasien seperti itu akan mudah mengalami perdarahan he-
bat, gagal ginjal, edema otak, edema paru dan infeksi sekunder. Intervensi dini diperlukan. Pelepasan
plasma dari kapiler secara difus bertanggungjawab terhadap terjadinya hemokonsentrasi.
Klasifikasi DHF menurut WHO :
Grade I demam, gejala konstitusional, tes tourniquet positif
Grade II Grade I dengan adanya perdarahan spontan
Grade III Grade II dengan instabilitas hemodinamik dan mental confusion
Grade IV Grade III dengan syok
Kasus disertai dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Grade III dan IV dinamakan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Caveats
Diagnosa DF pada ED muncul bila didapatkan riwayat demam > 3 hari dan tidak merespon terapi yang
diberikan.
Gejala abdomen seperti nausea, vomiting, nyeri epigastrial, dan diare sering menyebabkan misdiagnosa
manjadi GE atau gastritis viral, terutama pada anak-anak.
Demam bisaanya tinggi dan memnjang, resisten terhadap terapi. Bisaanya nyata pada pasien yang ting-
gal di daerah endemis dengue.
Beberapa pasien dapat menunjukkan nyeri punggung yang hebat.
Pasien dengan riwayat keluarga positif dengue, memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita infeksi
yang sama, sehingga diperlukan monitoring hitung trobosit.
Tips Khusus bagi Dokter Umum:
Skin rash seperti eritema menyeluruh dengan pockets of sparing di ekstremitas bawah tidaklah selalu
konsisten. Namun wajah pasien dengan dengue bisaanya akan terlihat flushing/memerah. Kadang
pasien datang dengan keluhan perdarahan gusi.
Rujuk semua kasus suspek DHF atau DSS secepatnya ke RS.
Manajemen
Tidak ada terapi dengue yang spesifik. Pemberian terapi suportif (replacement cairan dan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit) merupan kunci penanganan pasien infeksi dengue.
1. Monitor hitung trombosit tiap hari sampai menunjukkan peningkatan.
2. Monitor profil koagulasi : ulang tes jika diperlukan.
Pasien yang serius ditangani pada area critical care untuk dimonitoring.
133
FBC penting pada semua pasien demam tinggi yang terus menerus tanpa sumber infeksi yang jelas.
Penemuan penting pada pasien dengue :
1. lekopeni; adanya lekositosis dan netrofilia mengeksklusi adanya kemungkinan dengue, dan infeksi
bacterial harus dipertimbangkan.
2. Trombositopeni (< 100.000/mm3): leptospirosis, measles, rubella, meningococcemia, septisemia,
malaria, dan SARS juga dapat menyebabkan trombositopeni namun rash tidak sering timbul pada
malaria tanpa komplikasi.
3. Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi.
4. Urea dan elektrolit : hiponatremia
5. LFT : abnormalitas enzim hati.
Monitoring tanda vital, adanya hemokonsentrasi, penggantian cairan intravascular dengan RL atau iso-
tonic salin, koreksi asidosis metabolic, serta pemberian oksigen merupakan tindakan yang dapat me-
nyelamatkan nyawa pasien DSS. Ketika pasien stabil, leakage kapiler berhenti dan resorpsi cairan
ekstravaskular dimulai, penanganan cairan intravena harus hati-hati untuk menghindari edema pul-
monal.
Salisilat harus dihindari sebagai analgesic, karena potensinya dalam menyebabkan perdarahan diatesis
dank arena dengue terkait dengan Reye’s syndrome pada beberapa kasus. Obat hepatotoksik dan seda-
tive long-acting juga harus dihindari.
Penempatan : MRS untuk terapi cairan IV jika diperlukan pada kasus :
1. dehidrasi signifikan (>10% berat badan normal) telah terjadi dan ekspansi volume secara cepat
diperlukan atau ketika terjadi perdarahan spontan. Berarti pasien dengan grade I yang merespon
terapi cairan per oral serta tidak memiliki kompplikasi saja yang dapat dipulangkan.
2. Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
3. Trombositopenia berat (<100.000).
4. Hitung platelet <20.000 akan membutuhkan bed rest karena ditakutkan akan terjadi perdarahan
spontan dan trauma yang tidak disengaja.
5. pasien lansia, atau yang sangat muda serta pasien dengan penyakit lain (cth : alergi, DM, IHD).
Catatan: pasien dengan hitung trombosit 100.000-140.000 dapat dipulangkan namun harus melakukan pemerik-
saan FBC berkala sampai trombosit normal.
134
Caveats
pasien febris dengan rash purpurik, pertimbangkan meningococcaemia.
Pada pasien dengan rash ptechiae, pikirkan kemungkinan DIVC akibat sepsis.
Pada pasien hipotensiv dengan nyeri sendi dan ‘bruising’, pertimbangkan kemungkinan necrotizing soft
tissue infection yang dapat memperdaya pemeriksa pada awal presentasi penyakit.
Ada kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada seseorang yang mengalami chicken pox walaupun
ringan dan mungkin salah artikan sebagai ‘viral fever’.
Pikirkan varicella pneumonitis jika pasien menderita takipneu, batuk dan demam tinggi 3-5 hari.
Onset herpes zoster ditandai dengan nyeri yang sangat pada dermatom yang muncul sebelum adanya
lesi dalam 48-72 jam, diikuti dengan rash makulopapular yang eritem yang kemudian berubah menjadi
vesikel dengan cepat.
Durasi total penyakit ini bisaanya antara 7-10hari; namun dibutuhkan waktu 2-4minggu untuk
mengembalikan kulit menjadi normal.
Manifestasi yang tidak khas :
1. nyeri tidak disertai dengan lesi yang khas.
2. dapat tersebar pada pasien immunocompromised.
Trigeminal Herpes zoster dengan keterlibatan nervus ophthalmicus (Zoster ophthalmicus) dapat
menyebabkan ulkus kornea dan hilangnya penglihatan. Selalu lakukan tes pewarnaan fluoresensi untuk
menyingkirkan ulkus kornea jika vesikel terdapat pada bagian bridge of the nose dandisekitar mata dan
daerah dahi.
Komplikasi yang paling mengganggu dari herpes zoster adalah rasa nyeri yang terkait dengan neuritis
akut dan neuralgia postherpetik.
Manajemen
Kontrol nyeri dengan anlgesik pada fase akut. Trisiklik antidepresan seperti amitryptilin 10 mg dapat
dipertimbangkan bila nyeri persisten setelah vesikel mulai menghilang (postherpetic neuralgia); obat
lain seperti gabapentin dan narkotik digunakan pada kasus yang berat.
Obat antiviral, cth :Acyclovir :
1. menunjukkan pemendekan manifestasi herpes zoster bila diberikan dalam 48-72 jam pertama sejak
onset rash muncul.
2. Dosis : 5 x 800mg selama 7-10 hari.
3. Berikan acyclovir IV pada pasien immunocompromised atau dengan penyakit yang meluas.
Steroid dapat mencegah postherpetic neuralgia.
Rujuk ke ophthalmologist jika ada keterlibatan corneal.
Istilah spesifik digunakan berdasarakan jaringan yang terlibat serta organisme penyebabnya:
1. Necrotizing fasciitis
2. Necrotizing myositis
3. Fournier’s gangrene (genitalia)
Organisme :
1. Streptococcus grup A
2. Polymikrobial
3. Staphylococcus aureus.
Manifestasi Klinik
Toksik, demam, dan sering hipotensif ± confusion dan delirium.
Penampakan kulit yang minor dapat memperdayakan dibandingkan dengan manifestasi klinis pasien
yang toksik.
Terdapat edema dan eritema pada awalnya, menjadi pucat dan keabu-abuan dengan perdarahan bullae
(karena iskemik ketika pembuluh darah rusak) atau gangrene.
Nyeri abdomen juga sering muncul sebagai keluhan.
Diagnosa Diferensial
Selulitis dan infeksi jaringan lunak non-necrotizing lain
Erisipelas, memiliki batas demarkasi yang jelas serta streaking pada limphangitis juga menonjol;
vesikel dan bula dapat terjadi pada infeksi berat (penyebab : Streptococcus beta hemolitikus grup A)
Manajemen
Ditangani pada area Critical Care
Resusitasi cairan dan inotropic support jika diperlukan
Pertimbangkan X ray jaringan lunak yang terlibat untuk mencari ‘free air’ pada jaringan subkutan.
Catatan : Tidak adanya penemuan tersebut tidak akan menyingkirkan diagnosa.
Lakukan kultur darah
Beri antibiotik spectrum luas, IV kristaline penicillin + Clindamycin (untuk streptococcus grup A + An-
aerob dengan beberapa Staphylococcus) + Ceftazidime (untuk bakteri batang Gram negative dan Meli-
odosis).
Rujuk ke ortopedik/bedah umum (tergantung pada daerah yang terlibat) untuk eksplorasi bedah se-
cepatnya serta debridemen.
Penempatan : HD atau ICU tergantung stabilitas pasien.
Meningococcaemia
Penyebab : N. meningitides (Diplococcus Gram negative pada pewarnaan Gram CSF).
Manifestasi Klinis
Onset yang tiba-tiba dari demam, malaise, mialgia, athralgia, nyeri kepala, nausea, dan vomiting.
Bersifat toksik dengan progresivitas yang cepat menjadi tanda meningitis.
Penemuan kulit yang terkait : jaringan parut berwarna merah muda atau papula purpurik (lesi yang tera-
ba < 1,5 cm) yang dapat menjadi vesicular atau pustular.
Dapat berkembang menjadi purpura fulminan : plak irregular namun berbatas tegas, berupa purpura un-
gu dengan bagian tengah yang keabu-abuan, kehitaman, ungu gelap atau nekrosis kehitaman.
Manajemen
Pasien harus ditangani pada area critical care
Resusitasi cairan dan support inotropik jika diperlukan
Kultur darah
Antibiotik dapat dimulai sebelum pungsi lumbal
137
Antibiotik pilihan : IV Penicillin G 4 juta U setiap 4 jam (pertimbangkan Cloramfenikol jika alergi pe-
nisilin) atau Ceftriaxon 2 g 2x/hari.
Penempatan : HD atau ICU (membutuhkan isolasi).
Profilaksis
Indikasi :
1. Kontak dekat setidaknya 4 jam pada seminggu sebelum onset penyakit, cth : orang yang tinggal se-
rumah, kontak sehari-hari, teman satu ruang.
2. terpapar secret nasofaringeal pasien, cth : melalui ciuman, resusitasi mulut ke mulut, intubasi, suc-
tion nasotracheal.
Regimen
1. Ciprofloxacin po 500mg single dose atau rifampisisn 600mg po bd x 4 dosis (dewasa)
2. Rifampicin 10mg/kg po bd x 4 dosis (pediatric).
Urtikaria Akut
Manifestasi Klinik:
Rash merah muda, non-scaling, permukaan atas datar yang terjadi berpindah-pindah.
Lesi terasa gatal
Penyebab :
Viral: diyakinkan dengan adanya riwayat demam, mialgia, dan gejala URTI.
Obat-obatan: Penisikin, sulfa NSAID
Alergi makanan
Factor lingkungan : dingin, sinar matahari, tekanana
Tidak diketahui
Manajemen
Identifikasi dan eliminasi factor penyebab jika mungkin
Terapi simptomatis
Antihistamin
1. pilihan rute parenteral
Promethazine : IM 25 mg (dewasa) atau
0,5 mg/kg (anak-anak)
Difenhidramin IM 25 mg (dewasa) atau
1 mg/kg (anak-anak)
2. Pilihan per Oral
CTM (piriton) tab 4 mg 3x/hari
Hydroxyzine (Atarax) tab 25 mg 3x/hari
Pilihan terbaru yang kurang sedative : Cetirizine (zyrtec), loratadine (Clarityne)
Steroid
1. dipertimbangkan jika lesi luas dan rekuren, atau terkait dengan angioedema
2. Prednisolone tab 1mg/kg OM selama 5 hari
Penempatan : dapat KRS jika respon thd terapi baik, dan tidak ada angioedema.
Erythema Multiforme
Merupakan reaksi hipersensitifiatas, diklasifikasikan:
EM minor : ringan dan paling sering
EM major/bullous/stevens-Johnson syndrome : bula dan erosi membrane mukosa yang signifikan.
Manifestasi klinis
Papula merah, permukaan datar ukuran 1-3 cm.
Tidak gatal dan bersisik
Bull’s eye atau lesi target : kehitaman, violaceous atau bagian tengah kecoklatan.
Lesi menetap
138
Bisaanya dimulai pada tangan dan kaki, termasuk telapak tangan dan kaki, sebelum kemudian menye-
bar.
Bula dapat muncul pada lesi target.
Erosi membrane mukosa dapat terjadi.
Penyebab
Infeksi : HSV, EBV, Streptococcus, Mycoplasma merupakan yang paling sering.
Obat : Sulfa, penisilin, tetrasiklin, antikonvulsan (cth : fenitoin, carbamazepin, barbiturate) NSAID, al-
lopurinol, hidroclorothiazide, procainamide.
Lain-lain : penyebab autoimun.
Manajemen
Tentukan penyebab dan eliminasi allergen jika mungkin
1. review medikasi pasien
2. review simptomatologi untuk penyakit infeksi yang sering terjadi
3. Alergi makanan
4. Gigitan serangga/sengatan
5. Penyakit autoimun
EM minor
1. berikan kenyamanan
2. Medikasi bisaanya tidak diperlukan karena bisaanya rash tidak gatal dan tidak nyeri.
3. foolow up pada klinik kulit/general medicine.
EM major
1. MRS untuk perawatan inpatient
2. perawatan suportif umum : maintenance cairan dan elektrolit
3. Perawatan luka
4. Kontrol infeksi
5. perhatikan bahwa steroid sistemik adalah controversial.
6. MRS pada Unit Luka Bakar atau HD jika terjadi skin loss yang signifikan atau toxic epidermal.
Erythema Nodosum
Merupakan reaksi hipersensitivitas
Manifestasi klinis
Onset akut nodul kemerahan yang nyeri
Terdistribusi terutama pada kaki bagian bawah
Penyebab
Infeksi : Streptococcus, tuberculosis, infectious mononucleosis, Chlamydia, Yersinia.
Terkait dengan sarcoidosis, Hodgkin’s disease, ulcerative disease.
Obat: kontrasepsi oral, sulfonamide, penisilin, tetrasiklin
Manajemen
Review sistemik untuk mengetahui kemungkinan infeksi
Eliminasi penyebab/pencetus
Terapi simptomatik, cth NSAID sebagai analgesic.
Sarankan ke ahli dermatologi untuk follow up.
139
Caveats
DKA disebabkan penurunan kadar insulin secara absolute atau relative yang terjadi pada saat terjadi
kelebihan glukagon. Kriteria diagnosa :
1. Hiperglikemia dengan glukosa darah ≥ 14 mmol/L
2. Asidemia dengan pH arteri < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/L
3. Ketonemia atau ketonuria
Kadar glukosa plasma yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic dengan hilangnya sodium dan air,
hipotensi, hipoperfusi dan syok. Pasien datang dengan signifikan poliuri, polidipsi, berat badan turun,
dehidrasi, kelemahan dan sensorium yang berkabut.
Pasien muda yang tidak didiagnosa diabetes sering muncul dengan DKA yang berlangsung selama 1-3
hari. Kadar glukosa plasma mungkin tidak meningkat tajam.
Keluhan GIT seperti nausea, vomiting dan nyeri abdomen merupakan keluhan yang paling sering
didapatkan, terutama pada usia muda. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai ‘acute surgical abdo-
men’. Kadar amylase serum sering meningkat tanpa adanya pankreatitis.
Hiperventilasi dengan nafas yang cepat dan dalam (‘air hunger’) serta bau nafas acetone merupakan
tanda khas DKA.
Penyebab:
1. Infeksi : UTI, respiratory tract, kulit
2. Infark: miokard, CVA, GIT, vaskularisasi perifer.
3. Insulin insuffisien
4. Intercurrent illness
Tanda infeksi kadang tidak jelas. Temperature jarang meningkat, dan peningkatan hitung total sel darah
putih mungkin hanya merefleksikan ketonemia, namun adanya demam walaupun tidak tinggi
mengindikasikan adanya sepsis. Jika ragu, akan lebih aman untuk memberikan antibiotik broad
spectrum.
Replacement cairan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan gagal jantung, edema serebral, dan ARDS,
terutama pada pasien dengan underlying cardiac disease atau pada lansia. Monitoring CVP mungkin
diperlukan.
Manajemen
Terapi suportif
Harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
Oksigen aliran tinggi
Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa darah, keton, potassium
dan keseimbangan asam basa tiap 1-2 jam.
Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, enzim kardiak, DIC screen (jika sepsis),
urinalisis (untuk keton dan lekosit), serum keton (beta-hydroxybutyrate) dan BGA.
Pertimbangkan kultur darah (paling tidak 7,5 ml tiap botol).
EKG 12 lead, CXR, urin dipstick: cari penyebab DKA.
Support sirkulasi : IV NS sebagai dasar dari resusitasi cairan, ganti menjadi NS 0,45% jika perfusi
membaik dan BP normal, kemudian D5W/0,45% NS jika glukosa serum turun. Total kehilangan cairan
pada DKA bisaanya 4-6 liter.
Kateter urin untuk monitoring output.
Terapi spesifik
IV Volume Replacement : Berikan NS 15-20ml/kg/jam pada jam I, dengan pemberian koloid jika
pasien tetap hipotensi. Jika pasien tidak hipotensif atau hiponatremia, barikan 0,45% NS 10-
20ml/kg/jam selama 2-4jam kemudian dengan monitoring yang ketat dari kadar glukosa serum. Ganti
menjadi D5W/0,45% NS jika kadar glukosa serum turun dibawah 14 mmol/L. Normal atau setengah
140
NS dapat diteruskan bersamaan dengan IV D5% untuk mengkoreksi derangement cairan dan elektrolit.
Monitoring output urin setiap jam, dan cek elektrolit serta kreatinin tiap 2-4 jam sampai stabil.
Catatan : Replacement cairan harus dapat mengkoreksi deficit yang diperkirakan (4-6 liter) da-
lam 24 jam pertama, namun osmolaritas serum tidak boleh turun lebih dari 3 mOsm/kg/jam
untuk menghindari terjadinya edema serebral.
Restorasi keseimbangan Elektrolit : replacement potassium lebih awal merupakan standar terapi. Jika
terjadi oliguri, tes fungsi ginjal mungkin meningkat. Jika abnormal, replacement potassium harus di-
turunkan. Pastikan terdapat urin outpun, kemudian lakukan replacement dengan ketentuan :
1. Serum k+ < 3,3mmol/l, berikan 20-40 mEq KCL per jam
Catatan: infus insulin secara bersamaan tidak akan mengurangi potassium serum.
2. Serum K+ 3,3-4,9mmol/l, berikan 10-20 mEq K+ per jam (dapat diberikan 2/3 KCL dan 1/3
KHPO4; replacement phosphate diindikasikan jika serum fosfat < 0,3mmol/l) atau jika pasien
anemis atau dalam distress cardiorespiratori.
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan potassium namun teru periksa tiap 2 jam.
Restorasi keseimbangan asam basa : sodium bikarbonat diberikan jika terdapat hiperkalemi hebat atau
jika pH arteri <7,0 dimana replacement volume IV dan pemberian insulin akan memperbaiki asidosis
metabolic. Jika pH 6,9-7,0, berikan IV NaHCO3 8,4% 50ml didilusikan dalam 200ml NS dan berikan
selama 1 jam. Jika pH <6,9, berikan 100ml NaHCO3 8,4% didilusikan dalam 400ml NS selama 2 jam.
Catatan : tidak ada efek menguntungkan bila diberikan pada pH yang lebih tinggi. Ulangi BGA
setelah 1 jam hidrasi dan terapi bikarbonat; jika pH masih < 7,0, berikan NaHCO 3 8,4% 50ml
dalam 200ml NS selama 1-2 jam dalam infus.
Pemberian Insulin : dosis besar tidak diperlukan untuk mengatasi DKA. Hipoglikemi dan hipokalemi
akan mudah terjadi dengan pemberian terapi insulin dosis besar.
1. Berikan bolus dosis 0,15 unit/kgBB IV SI pada dewasa, diikuti dengan dosis rendah infus 0,1
unit/kgBB/jam pada dewasa dan anak-anak. Sesuaikan laju infus untuk menurunkan kadar glukosa
serum sekitar 3-4mmol/l per jam. Monitoring glukosa darah tiap jam.
2. Jika kadar glukosa darah turun dibawah 14 mmol/l (252 mg/dl), bagi dua laju infus IV SI sampai
0,05-0,1 unit/kg/jam dan tambahkan dekstrose pada cairan IV untuk menghasilkan kadar glukosa
darah 8-12 mmol/l. Pertahankan infus SI sampai asidosis hilang (pH > 7,3 dan HCO 3 > 15). SC SI
tiap 4 jam kemudian dapat diberikan dalam periode yang overlap 1-2 jam. Jangan hentikan IV SI
begitu kadar glukosa darah telah normal.
Tangani Faktor Pencetus, seperti sepsis, IMA.
Penempatan:
MRS-kan semua kasus DKA
Pasien dengan hipotensi atau oliguri sebagai rehidrasi dini, atau pasien yang memiliki gangguan men-
tal/koma, dengan osmolalitas serum total > 340 mOsm/kg, harus dipertimbangkan untuk HD atau
MICU.
Kasus ringan dapat dimasukkan pada general Ward atau tangani pada ED dengan konsultasi pada gene-
ral medicine.
141
Ada dua jenis kegawatan menyelam yang sering ditemukan di Emergency departemen
1. Penyakit decompresi (decompression illness/DCI)
2. Emboli udara arteri cerebral (CAGE)
Diagnosis tersebut memerlukan kecurigaan kuat :
1. Baru terjadi (<24 jam) pada orang yang berada pada udara tekanan tinggi (penyelam atau pengguna alat
bantuan nafas lainnya)
2. Mengalami kombinasi gejala berikut :
Gejala umum : malas, kelemahan yang tidak biasa, amnesia, perasaan tidak enak badan
Muskuloskeletal : nyeri sendi, mialgia, nyeri punggung
Neurologis : kelemahan, gait, gangguan visual
Dada : nyeri dada, sesak nafas, batuk persisten
Kulit : rash yang gatal
Tabel 1 menunjukkan gejala yang sering timbul dari 1249 kasus penyakit dekompresi yang dilaporkan oleh
Divers Alert Network (DAN)
MANAJEMEN
Terapi yang segera dilakukan : bila kondisi pasien stabil
1. Pasien dirawat di ruangan intermediate
2. Posisi kepala lebih rendah dari badan
3. Berikan oksigen 100%
4. Siapkan infus intravena
5. Berikan carian NS 500ml dalam 1jam dilanjutkan dengan 500ml dalam 4 jam
6. Bila pasien tidak stabil manajemen dilakukan di ruangan critical care. Lakukan monitoring ABC. Pada
kasus berat dengan komplikasi cardiopulmonary arest lakukan manajemen sesuai standar ACLS
7. Pasien harus diperiksa kemungkinan adanya trauma fisik yang menyertai komplikasi menyelam
Investigasi :
1. Rontgen foto thoraks untuk mengetahui adanya pneumothoraks atau pneumomediastinum
142
2. EKG untuk menyingkirkan penyebab dari jantung bila gejala utama yang dominan adalah nyeri dada
3. Analisa gas darah bila pasien sesak nafas atau saturasi oksigen rendah
Terapi definitif : terapi definif emergency diving adalah terapi rekompresi segera
1. Bila dicurigai adanya DCI atau CAGE, segera hubungi spesialis diving medicine setelah kondisi pasien
stabil
2. Bila diagnosis cedera karena menyelam telah jelas, jangan rawat pasien di bangsal neurologi atau
penyakit dalam untuk investigasi karena :
a. Departemen ini tidak memiliki fasilitas untuk rekompresi
b. Terapi yang lambat pada DCI dan CAGE akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
54. EKLAMPSIA
DEFINISI
Preeklampsia: peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolic yang terjadi setelah minggu ke-20 sampai 24
kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensi ataupun hipertensi.
Eklampsia: preeklampsia yang disertai kejang grand mal atau koma.
PERHATIAN
Tujuan dari tata laksana adalah, pertama-tama, stabilisasi ibu dan kemudian melahirkan bayi:
1. Tata laksana jalan nafas ibu
2. Pencegahan dan pengendalian kejang dengan terapi sulfas magnesikus
3. Pemulihan volume intravaskuler
4. Pengendalian tekanan darah
Kelahiran bayi: bagaimana dan kapan bayi akan dilahirkan merupakan keputusan yang harus dibuat oleh
seorang ahli kebidanan dan kandungan.
Konsultasi ke ahli kebidanan dan kandungan harus segera dibuat begitu diagnosis ditegakkan.
Sindroma HELLP merupakan bentuk preeklampsia yang sangat berta yang ditandai dengan:
1. Hemolisis
2. Peningkatan enzim hati
3. Hitung platelet yang rendah (<100.000/mm3)
Gejala: nyeri hipokondrium kanan disertai dengan mual dan muntah adalah yang tersering. Tanda yang
dapat ditemukan meliputi edema anasarka, nyeri tekan hipokondrium kanan, ikterus, perdarahan saluran
cerna dan hematuria.
TATA LAKSANA
Penanganan suportif
Pasien harus ditangani di area critical care.
Peralatan untuk tata laksana jalan nafas harus segera tersedia
Catatan: Pasien yang tidak memerlukan intubasi harus diletakkan pada posisi lateral kiri
Obat-obatan resusitasi harus segera tersedia.
Kalsium klorida (antidotum untuk intoksikasi magnesium) harus segera tersedia.
Berikan suplementasi oksigen aliran tinggi dengan sungkup bereservoir.
Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur intravena perifer dan berikan larutan Hartmann: berikan bolus cairan 250 cc segera, dilanjutkan
dengan infus pada kecepatan 100 ml/jam.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji faal hati, PT/PTT dan uji silang
dan golongan darah.
EKG
Pasang kateter urin: ukur produksi urin tiap jam.
Dosis rumatan: pemberian infus IV sulfas magnesikus dengan kecepatan 2 gr/jam (50 ml MgSO 4 49.3%
dilarutkan dengan NS menjadi larutan 120 ml, dibeirkan dengan kecepatan 5ml/jam) sampai 24 jam
pasca persalinan.
Catatan: Obat ini hanya boleh diberikan bila kriteria berikut terpenuhi: (1) Refleks patella positif: yang ter-
penting; dan (2) Tidak terdapat depresi frekuensi pernafasan, yaitu RR >16/menit.
2. Efek samping: flushing, mual dan rasa tidak nyaman di epigastrium
3. Tanda klinis intoksikasi magnesium: penurunan reflek tendon, kelemahan otot yang tampak sebagai
ptosis, kesulitan bicara dan gangguan pernafasan, serta terjadinya oliguria/anuria.
4. Tata laksana intoksikasi magnesium:
a. Berikan 10 ml kalsium klorida IV selama 3 menit
b. Hentikan infus MgSO4 bila:
(1) Reflek patella negatif
(2) RR <16/menit
(3) SpO2 <90% sekalipun telah diberikan suplementasi oksigen
(4) Anuria (atau oliguria yang menetap selama lebih dari 2 jam)
c. Jika terjadi oliguria, periksa kadar magnesium serum dan hentikan pemberian infus jika kadarnya
>3 mmol/l
Diazepam: antikonvulsan pilihan kedua, yang diindikasikan bila terdapat kontraindikasi terhadap terapi
sulfas magnesikus atau terjadi intoksikasi magnesium.
1. Dosis: 10 mg IV pelan selama 2 menit, dapat diulang sampai dosis total mencapai 20 mg
Catatan: dosis 5 mg adalah terlalu rendah untuk kasus dengan kehamilan
2. Infus: 1mg/menit
3. Tata laksana kejang berulang:
a. Ulangi pemberian MgSO4 2.5-5 gram IV
b. Diazepam 10 mg IV
c. Jika tidak ada respon, atau pasien mengalami periode penurunan kesadaran yang panjang setelah
pemberian MgSO4, maka terdapat kemungkinan terjaid perdarahan intrakranial sehingga perlu dil-
akukan CT scan kepala pada saat yang tepat.
d. Pertimbangkan konsultasi dengan bagian Anestesi mengenai penggunaan infus thiopentone.
Setiap waqnita usia subur dengan nyeri abdomen dan perdarahan pervaginam dengan atau tanpa amenorrhoe kita
curigai KET sampai terbukti tidak.
Diagnosis dapat dengan mudah salah keculai jika kita mencurigainya. Curigai KET pada wanita usia subur.
Tidak adanya nyeri atau kekakauan pada perababan cervical tidak menyingkirkan diagnosa KET.
Catatan penting :
- KET harus dicurigai pada wanita usia subur yang dating dengan nyeri abdomen.
- Sebagaian besar gejalanya tidak khas.
- Riwayat ligasi tuba tidak menyingkirkan KET.
- Tes kehamilan urine adalah simple tetapi hati-hati akan keterbatasannya.
Manajemen
1. Urine HCG test.
2. Sebagian besar HCG kit test memiliki 100% spesificitas tetapi berfariasi pada sensitifitasnya.
3. seluruh wanita usia subur dengan abdominal pain harus di tes urinenya untuk menghilangkan kemung-
kinan KET. Dari suatu penelitian potensi kesalahandiagnosa sekita 40% jika berdasarkan riwayat pen-
yakit, menjadi 3% jika urine HCG negative dan 2% jika serum HCG negative dan 1% jika USG nega-
tive.
4. test urine positip setelah 4 – 5 minggu setelah konsepsi dan serum HCG positip setelah 3 – 4 minggu
setelah konsepsi.
5. Alat tes urine yang berbeda emberi sensitifitas yang berbeda. Beberapa dapat mendeteksi 10 IU/L.
6. False positip urine test : trophoblastic disease ( hydatidiform moles atau choriocarcinoma )
7. False negatifdapat terjadi jika urine specimen terlalu banyak dilarutkan atau pasien sedang minum obat
diuretic.
Unstable pasien :
1. Masukkan pasien ke P1
2. ABC, O2 via NRBM.
3. Pasang 2 jalur IVFD
4. I liter kristaloid
5. Cari risk factor : infertilitas, smoking, usia tinggi, smoking, riwayat PID, IUD
Faktor resiko terjadinya KET
1. riwayat operasi tuba ektopik.
2. riwayat infertile
3. fertilisasi in vitro
4. Usia lanjut.
5. merokok.
6. riwayat PID
7. IUD
Gejala yang timbul
1. biasanya berupa 8 bulan amenorrhoe.
2. spectrum gejala klinis dari KET bervariasi dari nyeri pada pelvis s/d perdarahan pervaginam yang ha-
rus dibedakan perdarahan intraabdomen yang profus.
Tipikal presentasi :
1. Nyeri abdomen unilateral yg tiba2 disertai kolaps dan perdarahan pervaginam.
Atipikal sign :
1. Nyeri kronik dan berulang pada abdomen disertai perdarahan irregular pervaginam, gastrointestinal
symptom ( muntah dan diare ), urinary symptom seperti disuria atau shoulder tip pain.
Laboratorium :
1. FBC, RFT, elektrolit
2. GXM 2-4 unit
3. Urine HCG
4. Pasang urine kateter
146
5. DIVC
- Pasang urine kateter
- Pasang uririne kateter untuk mengawasi
Pasien stabil :
1. NRBM
2. Pindahkan pasien ke P1.
3. Ureum, kriatinin
Pasien stabil
Pasang IV-Line.
Monitor vital sign setiap 10 -15.
147
Caveats
Trauma elektrik tegangan rendah (<1000 volt) lebih jarang menyebabkan keadaan yang serius daripada
trauma tegangan tinggi. Semakin tinggi tegangan, maka semakin cenderung untuk menyebabkan luka
bakar.
Resistensi bervariasi pada tiap jaringan, dimana tulang merupakan jaringan yang paling resisten.
Semakin tinggi durasi kontak, maka semakin parah injury.
Kulit yang kering membutuhkan 3000 volt untuk menginduksi VF, sedangkan kulit yang basah
membutuhkan 220-240 volt.
Alternating Current (AC) lebih berbahaya dibanding dengan Direct Current (DC), menyebabkan
kontraksi tetanik otot fleksor, sehingga korban akan mengalami ‘freezing’ ketika kontak dengan
sumber elektrik.
DC menyebabkan kontraksi otot tunggal yang dapat menyebabkan korban terlempar dari lokasi awal;
demikian juga dengan efek Petir.
Pathway : ketika kulit tersentuh, aliran listrik berjalan melalui jaringan yang kurang resisten (nervus,
pembuluh darah, otot) dengan kerusakan yang berbanding terbalik dengan diameter cross-sectional dari
jaringan yang terkena.
Konduksi true-electrical injury lebih mirip dengan ‘crush injury’ daripada thermal injury, dimana
jumlah total kerusakan sering tidak terlihat secara nyata.
Manajemen cairan yang baik sangat penting untuk menghindari gagal ginjal akut.
Catatan : Replacement cairan tidak dapat dikalkulasi berdasarkan Wallace Rule of 9 seperti luka bakar.
Jangan lupa untuk mencari trauma lain:
1. trauma servical spine
2. Toksik inhalasi
3. Jatuh dengan Fraktur/dislokasi
4. perawatan luka bakar dengan injury inhalasi
5. fetal injury selama kehamilan
Tips Khusus Bagi Dokter Umum :
Pastikan sumber elektrik sudah dimatikan sebelum menolong
korban, jika dipanggil langsung pada lokasi kejadian.
Manajemen
Terapi suportif
Pasien dengan AMS atau disritmia kardiak harus ditangani pada area critical care
pertahankan jalan nafas dengan imobilisasi cervical spine
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
148
Situasi Khusus
Pasien anak-anak
1. luka bakar commisura oral secara eksklusif terjadi pada anak-anak dan dapat menyebabkan mor-
biditas.
2. fatalitas jarang dimana sirkuit elektrik terletak pada mulut.
3. terdapat penonjolan local jaringan pada hari ke 7 samapi hari ke 10 dan dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat.
4. MRSkan pasien dengan luka bakar seperti itu
Konsiderasi Obstetrik
1. Injury fetal tergantung pada aliran listrik yang masuk ke tubuh ibunya.
2. fetal injury yang signifikan (kematian atau IUGR) dapat terjadi setelah terkena aliran listrik walau-
pun dalam derajat yang rendah, terutama pada kasus oligohidramnion.
3. Konsultasi OBG pada tiap kasus trauma elektrik selama kehamilan dan lakukan monitoring fetal.
Penempatan
Kriteria MRS
1. semua pasien dengan high voltage injury (> 1000 volt).
2. Semua pasien dengan keterlibatan system organ spesifik.
3. Semua pasien dengan suspek neurovascular compromise pada ekstremitas.
4. Semua pasien dengan luka bakar komisura oral
5. Luka bakar dalam pada tangan
Kriteria KRS
1. Pasien tanpa bukti luka bakar
2. pasien dengan trauma minor, disarankan untuk control pada unit rawat jalan.
149
Kulit Kontak elektrothermal , non kontak arc dan flash burn, luka bakar thermal sekunder den-
gan berbagai kedalaman (terbakarnya pakaian dan pemanasan perhiasan dari metal)
Ginjal/metabolic Atonia gaster dan ileus intestinal, perforasi bowel, perdarahan intramural esophageal,
nekrosis hepatic dan pankreatik, perdarahan GIT.
Trauma tumpul sekunder pada kedua tipe meliputi fraktur kompresi vertebral, fraktur tu-
lang panjang, dislokasi sendi besar, nekrosis aseptic, periosteal burn, osteomielitis.
Otot
Luka bakar kornea, perdarahan intraokuler atau trombosis, uveitis, retinal detachment,
Skeletal fraktur orbita.
Mata Perdarahan arteri labial delayed (pada anak yang menggigit kabel listrik) dengan jaringan
parut dan deformitas wajah, keterlambatan kemampuan berbicara, gangguan perkemban-
gan mandibular/ gigi geligi.
Telinga
Abortus spontan, kematian janin, oligohidramnion, retardasi pertumbuhan intrauterine,
hiperbilirubinemia.
Luka bakar Oral
Histeria, kecemasan, gangguan tidur, depresi, fobi terhadap badai, disfungsi kognitif.
Fetal
Psikiatrik
150
a. Neurologi : bila ditemukan gambaran bell’s palsy yang atipikal atau ditemukan tanda
kelainan neurologi
b. THT : seluruh kasus tipikal bell’s palsy
c. Mata : nyeri okuler yang tidak diketahui sebabnya atau bila ditemukan kelainan pada
mata
EPISTAKSIS
Prioritas yang harus dilakukan :
1. Melakukan pemeriksaan dan stabilisasi hemodinamik
2. Mengidentifikasikan letak dan penyebab perdarahan
3. Menghentikan perdarahan
Sebagian besar perdarahan berasal dari ruptur vaskuler didaerah septum nasal. Tidak adanya
perdarahan dari bagian anterior, adanya perdarahan bilateral atau darah yang mengalir ke orofaring
menunjukkan bahwa sumber perdarahan berasal dari posterior.
Diferensial diagnosis : blood dyscrasias, malformasi pembuluh darah lokal, contohnya
teleangieksia herediter, tumor nasal
Lakukan usaha stabilisasi saat pasien datang di emergency departemen :
1. Pijat hidung dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari sedikitnya selama 10 menit
2. Kompres hidung dengan es batu
3. Pasien dengan posisi duduk, memegang mangkuk digunakan untuk menampung darah. Hal-
hal yang dapat menyebabkan menghilangkan terbentuknya bekuan darah seperti gerakan
menelan sebaiknya dihindari.
4. Bila hemodinamik tidak stabil :
a. Pindahkan pasien ke ruangan critical care
b. Pasang infuse intravena, berikan cairan kristaloid dengan tetesan yang cukup untuk mem-
pertahankan perfusi
c. Ambil darah untuk pemeriksaan cross match, darah lengkap, ureum/creatinin/elektrolit,
fungsi koagulasi
d. Monitor : EKG, tanda vita setiap 5-15 menit, pulse oksimeter
Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui sumber perdarahan (gunakan lampu kepala)
1. Ambil bekuan darah menggunakan forcep Tilley atau suction
2. Bila bagian septum dapat terlihat, dapat dilakukan penyemprotan cophenylcaine
(menyebabkan vasokonstriksi vaskuler dan menganestesi mukosa)
Selama perdarahan berlangsung :
1. Bila sumber perdarahan terlihat dapat dilakukan kauterisasi menggunakan perak nitrat (hindari
melakukan kauterisasi pada kedua sisi septum karena resiko terjadinya perforasi) atau lakukan
pemasangan tampon yang telah diberi adrenalin 1 : 10.000 selama 15-30 menit
2. Bila tidak tampak lagi adanya perdarahan setelah observasi selama beberapa saat, pasien dapat
dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat total dan kontrol ke poliklinik THT
3. Bila perdarahan terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior :
a. Hubungi dokter THT
b. Pilihan : pasang tampon Merocoel (ukuran 8-10cm untuk dewasa) basahi dengan cairan
tetrasiklin, BIPP (bismut subnitrat dan pasta iodoform) gunakan forsep nasal Tilley
c. Pasien dirawat diRS untuk observasi dan pemberian antibiotik
4. Bila perdarah tetap terjadi walaupun telah dipasang tampon anterior, maka perlu untuk
dipasang tampon posterior
a. Hubungi dokter THT
b. Lakukan kembali pemeriksaan hemodinamik: monitor tanda vital, ambil darah untuk
pemeriksaan darah lengkap, fungsi pembekuan, cross match, ureum/creatinin/elektrolit
c. Masukkan folley kateter ukuran 12 melalui lubang hidung (pilih lubang dengan
perdarahan yang lebih banyak) dorong sampai ujungnya terlihat di orofaring
d. Kembungkan balon dengan mengisi air sebanyak 8ml, tarik kateter kedepan sampai
menyangkut dibagian posterior hidung, tambahkan 8ml air
152
e. Pertahankan kateter dengan memasang klem dibagian anterior hidung, lindungi ala nasi
dari tekanan kateter.
Disposisi : rawat pasien untuk observasi dan pemberian antibiotik setelah konsultasi dengan dokter
THT. Selalu rujuk pasien ke dokter THT untuk melakukan evaluasi bila :
1. Epistaksis berlangsung lama
2. Pasien datang berulangkali
3. Epistaksis berulang
4. Pasien tua
PATAH TULANG HIDUNG
Disebabkan oleh trauma langsung pada hidung
Gambaran klinis
1. Perubahan bentuk hidung
2. Bengkak pada jaringan lunak
3. Nyeri pada perabaan
Penting untuk disingkirkan :
1. Cidera pada bagian lain dari wajah
2. Hematom septal (bengkak warna kebiruan pada kedua sisi septum nasal yang tampak pada
bagian depan hidung); bila tampak adanya septal hematom segera rujuk ke dokter THT untuk
dilakukan aspirasi/ insisi dan drainasi. Tindakan ini untuk mencegah terbentuknya iskemik
septum atau abses yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kolaps dan perubahan pada
struktur kartilago hidung.
Foto rontgen nasal lebih kepada alasan medikolegal. Pemeriksaan ini tidak mempengaruhi
manajemen klinis
Analisa apakah fraktur perlu medikasi dan reduksi dilakukan 5-7 hari setelah cidera, bila bengkak
telah berkurang. Medikasi dan reduksi biasanya dilakukan dalam 7-10 hari setelah cidera sebelum
tulang hidung mengalami
Disarankan dokter emergency hanya mencoba mengeluarkan benda asing satu kali, bila gagal
segera hubungi dokter THT untuk mengeluarkan benda asing dengan anestesi umum
1. Trauma pada telinga atau kepala : trauma menyebabkan robeknya membrana intralabirin
(fistula perilimfe)
2. Infeksi virus : mumps, campak, varisela
3. Vaskuler : gangguan mendadak pada aliran darah ke koklea
4. Sifilis
5. Neuroma akustik : biasanya muncul dengan gejala kehilangan pendengaran unilateral
6. Idiopatik
Terapi dilakukan secara empiris bila penyebab tidak ditemukan
1. Kortikosteroid sistemik : prednisolon dengan dosis yang diturunkan selama 5 hari
2. Obat-obatan vasodilator : Tanakan (ginko biloba) 1 tab 3x/hari
3. Anti virus : acyclovir (800mg 5x/hari selama 1 minggu)
SINUSITIS
Secara klasik dibagi menjadi :
1. Akut : gejala < 3 minggu
2. Subakut : gejala antara 3 minggu sampai 3 bulan
3. Kronik : gejala > 3 bulan
Biasanya pasien datang dengan keluhan :
1. Flu yang tidak sembuh-sembuh
2. Kongesti nasal
3. Sekret purulen
4. Nyeri daerah wajah disertai dengan sakit kepala
Gambaran klinis :
1. Sekret purulen pada meatus media dapat dilihat dengan menggunakan spekulum hidung dan
penerangan langsung. Tips : Sekret purulen akan lebih mudah dilihat bila mukosa yang edema
di semprot terlebih dahulu dengan cophenylcaine spray
2. Nyeri daerah wajah pada pemeriksaan palpasi
156
Pemeriksaan radiologis :
1. Sinusitis tanpa komplikasi sering tidak terdiagnosis secara klinis dan pemeriksaan radiologis
tidak disarankan untuk dilakukan
2. Pemeriksaan foto polos sinus seringkali false negatif (40%). Tanda infeksi pada pemeriksaan
radiologis memberikan gambaran : air-fluid level pada daerah sinus atau paranasal yang
terinfeksi.
Singkirkan adanya komplikasi : perluasan infeksi intrakranial, osteomyelitis dan selulitis orbitalis
pada anak
Target terapi pada sinusitis tanpa komplikasi :
1. Mengurangi obstruksi pada ostium sinus
2. Jangan gunakan antihistamin karena membuat sekret bertambah tebal :
a Dekongestan nasal : oxymetazoline (Iliadin) tetes nasal, Dosis : Dewasa 0.05%; anak
: 0.025%; bayi 0.01% selama 3-5 hari
b. Dekongestan sistemik : pseudoefedrin (sudafed)
c. Antibiotik : secara empiris yang sesuai untuk H.influenzae dan Streptococcus
pneumonia; Moraxella catarrhalis pada pasien anak. Dosis: diberikan minimal 10-14
hari
Augmentin Bactrim
Dewasa 625mg 2x/hari 2 tab 2x/hari
Anak 2-6th 5ml 2x/hari
Anak 7-12th 10ml 2x/hari (228mg/5ml)
Bila pasien alergi terhadap penisilin maka alternative terapi adalah cephalosporin
atau azithromycin
TONSILITIS AKUT
Pasien datang dengan keluhan panas dan nyeri tenggorok
Pemeriksaan fisik : tonsil tampak kemerahan, bengkak disertai dengan eksudat purulen
Penyakit lain yang perlu diperhatikan : difteri, mononukleosis infeksiosa
Terapi pasien dengan antibiotik (penisilin adalah antibiotik pilihan untuk tonsilitis akut), obat
hisap, obat kumur dan antipiretik
Pikirkan untuk pemberian antibiotik intravena/hidrasi bila :
1. Tonsilitis yang lama
2. Pasien dengan panas yang berkepanjangan
3. Pasien yang kesulitan menelan
4. Pasien yang tampak dehidrasi
Pasien dapat dipulangkan dengan obat antibiotik oral selama 10 hari, kemudian kontrol ke dokter
umum bila tidak ada keluhan. Bila terjadi tosilitis berulang dalam beberapa tahun, atau beberapa
kali dalam setahun maka pasien disarankan kontrol ke poliklinik THT.
Disposisi
1. Bila terdapat tanda-tanda penurunan pendengaran, rujuk ke poliklinik THT saat jam kerjaesok
hari untuk evaluasi selanjutnya
2. Bila tidak terdapat tanda-tanda penerunan pendengaran dapat dirujuk 1 minggu kemudian
158
Penting
Keluhan seperti malaise atau kemampuan fungsional yang menurun dapat merupakan tanda
penyakit serius.
Fungsi kognitif yang tidak normal dapat terlewatkan,kecuali prosedur formal dilakukan di
IRD.Fungsi kognitif dapat dievaluasi through dua langkah:
1.orientasi waktu,tempat dan personal.
2.mengingat tiga item setelah 1 menit.
Bila hasilnya abnormal,alat formal untuk menilai status mental yaitu AMT(Abbreviated Men-
tal Test),can digunakan untuk menilai kemampuan kognitif pasien.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diagnosis&pengobatan pada penderita tua:
1.keluhan yang tidak dapat disampaikan oleh pasien dan tanda-tanda pada pasien yang tidak
muncul dengan jelas akibat usia yang telah lanjut,pendamping penderita yang teliti.
2.manifestasi penyakit serius yang tidak jelas pada orang tua menjadikan diagnosis su-
lit.Bersiaplah untuk pemeriksaan lebih lanjut walaupun pada pemeriksaan awal hanya ada te-
muan non spesifik.
Pasien datang sudah dengan akumulasi dari banyak penyakit kronis yang dapat mengaburkan
adanya penyakit yang baru diderita.
Pemberian polifarmasi dapat menurunkan komplians dan dapat terjadi interaksi obat.Evaluasi
semua obat yang diberikan untuk menyingkirkan keluhan sekarang sebagai akibat dari pembe-
rian polifarmasi.
Hindari pemberian resep polifarmasi dan obat-obatan yang menurunkan fungsi kognitif,fungsi
hati/ginjal,keseimbangan,fungsi pencernaan dan fungsi saluran kencing.
Factor usia sendirian bukan merupakan kontraindikasi melakukan intervensi untuk
menegakkan diagnosis dan pemberian terapi.
Jangan hanya berpikir karena “factor usia” saja, pada setiap pasien lansia yang datang dengan
masalah penurunan fungsi.
Selalu waspada terhadap keluhan tidak khas,seperti infark miokard akut pada lansia.Selalu
merekam EKG terhadap semua penderita lansia yang datang ke IRD.
Demam mungkin tidak terjadi pada keadaan sepsis pada penderita lansia.
Penderita lansia yang datang dengan keadaan delirium harus di MRS kan untuk pemeriksaan
dan pengobatan lebih lanjut.
Beberapa penderita dengan subakut atau kronik gangguan kognitif(dimensia) dapat dipu-
langkan dengan syarat dapat control kembali,lingkungan rumah yang aman dan adanya pen-
damping yang dapat dipercaya.
2.Penurunan fungsi
Didefinisikan sebagai penurunan yang progresif pada kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
Ada dua kesalahan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter emergensi,yaitu:
1.melupakan masalah tersebut.
2.menganggap bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh proses penuaan.
Selalu berpikir bahwa penurunan fungsi yang terjadi merupakan akibat dari penyakit baru
yang terjadi atau penyakit kronis yang sudah dekompensasi.
Cara intervensi terbaik untuk evaluasi penurunan fungsi adalah dari riwayat penyakit penderita
dan heteroanamnesis dari pendampingnya yang dapat secara obyektif menilai gangguan yang
terjadi sebagai masalah baru atau masalah lama yang memburuk.
dapat tidak terjadi pada kelainan intraabdominal yang serius dengan adanya iritasi peritone-
al.Kelainan tersebut akan dapat ditemukan bila penderita memiliki dinding abdomen yang rel-
ative tipis.
Penderita lansia dengan apendisitis,keluhan anoreksia,lekositosis, atau gejala klasik nyeri yang
menjalar mungkin tidak terjadi. Namun,nyeri daerah iliaca kanan sering ditemukan pada
pemeriksaan.
Walaupun insiden apendisitis pada lansia <10%,tapi mortalitas pada kelompok usia ini
50%.Selalu dicurigai penderita lansia datang dengan keluhan apendisitis.Bila nyeri abdomen
tidak jelas,beritahu penderita untuk control berobat dalam waktu 12-24 jam kemudian.
Separoh dari semua kasus penderita lansia dengan ulkus peptic yang perforasi tidak mem-
berikan keluhan nyeri yang mendadak.Lokasi nyeri mungkin semua daerah abdomen,atau di
kuadran bawah abdomen.Tegang/teraba keras di ulu hati dan adanya gambaran udara bebas
pada foto roentgen tidak terlihat pada sebagian besar penderita.
Obstruksi saluran pencernaan pada usuus besar dapat terjadi pada penderita lansia yang datang
dengan keluhan diare saja.Pseudoobstruksi kolonic harus dicurigai pada semua penderita lan-
sia yang menunjukkan gejala obstruksi pencernaan atas yang palpasi abdomen tidak nyeri atau
pemeriksaan kavernosum rectum yang gagal.
7.Penyakit infeksi
Pada pasien lansia dengan keadaan sistim imun yang menurun dan juga menderita penyakit
kronis seperti diabetes mellitus,demensia,malnutrisi,penyakit kardiovaskular,penyakit paru
kronis,kanker dan kecanduan alcohol akan beresiko tinggi untuk menderita penyakit infeksi
dan komplikasi sekundernya.
keluhan-keluhan utama penderita lansia yang menderita infeksi adalah anoreksia,sangat le-
lah,penurunan berat badan yang tidak jelas penyebanya,inkontinensia yang baru di-
derita,bingung.Demam dan lekositosis mungkin tidak terjadi pada kondisi sepsis,tapi jumlah
netrofil sering meningkat.
Infeksi saluran pernafasan sering diderita oleh penderita lansia,termasuk influenza,bronchitis
dan pneumonia.Infeksi saluran kemih menempati urutan kedua dan infeksi in-
traabdominal,termasuk kolesistitis,divertikulitis dan apendisitis.Keadaan yang berbeda terjadi
di tempat/panti wredha,yaitu 70-80% penyakit infeksi yang menduduki 3 besar,yaitu pneumo-
nia,infeksi saluran kemih dan infeksi jaringan lunak.
Memutuskan mengobati penderita infeksi dapat berobat jalan atau MRS dapat merupakan
keputusan yang sulit.Pertimbangan yang dapat dijadikan ukuran adalah keadaan/status klinik
pasien,kondisi comorbid,status fungsional,dukungan social dari keluarga yang memadai dan
adanya waktu.
Secara umum,alasan/indikasi minimal penderita lansia dengan infeksi dirawat di RS, adalah
bila keadaannya sudah terjadi dekompensasi.
161
Manajemen
Tangani pasien pada area yang dapat diawasi : tanda vital, pulse oksimetri, monitoring EKG
terus menerus.
Pertahankan jalan nafas
Berikan oksigen, awalnya 100% non-rebreather face mask untuk mempertahankan SpO2
>95%.
Pasang jalur IV dan periksa darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung dan
marker kardiak serum.
Untuk menurunkan venous return, pasien dapat duduk tegak dengan kaki menggantung dari
tempat tidur.
162
Lakukan EKG untuk mendiagnosa concomitant iskemik kardiak, MI yang sebelumnya, dis-
ritmia jantung, hipertensi kronik, dan penyebab hipertrofi ventrkular kiri lain.
Lakukan CXR untuk mencari kardiomegali, dan diversi lobus atas. Penemuan radiografik akan
menetap selama beberapa hari walaupun pemulihan sedang berjalan.
Berikan diuretic, IV furosemide 40-60mg jika hemodinamik pasien stabil.
Nitrodisc 5-10mg dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat kongesti paru.
Pada kasus yang parah, Infusion GTN akan menurunkan left ventricular end-diastolic volume
and pressure secara cepat dengan resolusi dari gejala.
Monitor output urin untuk mengecek respon terapi.
Penempatan
Belum ada penelitian yang menyatakan criteria pasien gagal jantung untuk MRS
KRS jika pasien :
1. tidak ada nyeri dada atau penyakit lainnya.
2. respon terhadap diuretic yang diberikan di ED (nyaman saat istirahat pada udara ruangan,
SpO2 pada udara ruang ≥ 95%).
3. tidak menunjukkan bukti radiologik adanya gagal jantung
KRS dengan ketentuan follow up pada klinik rawat jalan jika:
1. loop diretik, cth : lasix 40 OM, dan suplemen potassium, cth span K 1,2 mg OM jika
pasien tidak menggunakan diuretic sebelumnya dan urea/elektrolit/kreatinin normal.
2. tingkatkan dosis diuretic jika sebelumnya pasien telah menjalani pengobatan tersebut.
3. jika terdapat concurrent hipertensi, disamping loop diuretic, berikan ACE inhibitor cth
Captopril 6,25-12,5mg 3x/hari atau hidralazin 25 mg 3x/hari.
4. nasehatkan diet rendah garam dan restriksi cairan.
MRS jika pasien :
1. Disritmia simptomatik
a. Sinkope atau presinkope
b. Serangan jantung
c. Multiple discharge dari implantabel defibrillator
2. MI baru atau iskemik
3. Onset baru dengan gejala baru gagal jantung
4. Dekompensasi gagal janutng kronik
5. Faktor pencetus kurang reversible
6. Edema anasraka atau signifikan
7. Kurangnya support keluarga
8. Hipotensi
163
Definisi
Hepatic encephalopathy didefinisikan sebagai sindrom AMS dan keadaan neuropsikiatrik reversible
sebagai komplikasi dari penyakit liver.
Klasifikasi
Encephalopathy terkait kegagalan liver akut
Encephalopathy terkait sirosis hati dan hipertensi portal
Terapi obat:
1. IV D50% 40ml pada hipoglikemi, dan IV thiamine 100mg jika pasien menderita sirosis
alkoholik.
2. IV nalokson 2mg jika px memiliki significant obtundation.
3. IV Flumazenil 0,5mg diulang setelah 5 menit
Membalikkan Keadaan Ensefalopati :
1. Lactulosa 30ml PO atau lactulosa enema: menyebabkan diare osmotic yang membantu
flora normal untuk menurunkan produksi ammonia.
2. Antibiotik Oral : RCT menunjukkan manfaat klinis pada penggunaan antibiotik.
3. Proteksi mukosa GI : Omeprazole 20-40mg IV perlahan selama 5 menit.
Penempatan : konsul gastroenterology untuk meng-MRSkan pasien ke unit HD (atau ICU jika
px diintubasi).
165
Masalah akut yang berasal dari system hepatobiliari yang datang pada dokter emergency bisaanya
dengan komplikasi biliary stone disease. Macam-macam presentasinya adalah dibawah ini.
Kolik Bilier
Manifestasi terseing dari biliary stone disease.
Dapat terjadi pada pasien remaja, walaupun sering diderita oleh pasien wanita yang mengalami
obesitas pada usia 30 dan 50 tahun.
Nyeri terdapat pada bagian tengah kuadran kanan atas atau epigastrium.
Nyeri bisaanya mulai secara akut dan dapat menjalar ke sudut inferior pada scapula kanan.
Nyeri bersifat kolik tanpa interval bebas nyeri antara eksaserbasi (tidak seperti kolik ureterik
dimana terdapat interval bebas nyeri)
Nyeri dapat dicetuskan oleh ingestion makanan dan terutama yang berlemak atau makanan besar.
Gambaran lain yang terkait adalah sensasi distensi pada abdominal bagian atas atau ‘bloating’,
nausea dan vomiting.
Caveats
Selalu cari gejala obstruktif jaundice dimana keadaan ini lebih sering menunjukkan adanya biliary
ductal daripada gallstone disease.
Adanya nyeri ditambah demam menunjukkan adanya kolesistitis akut telah terjadi.
Adanya nyeri dengan demam serta obstruktif jaundice menunjukkan adanya kolangitis.
Kolesistitis Akut
Bisaanya datang dengan keluhan nyeri visceral awal yang menyerupai kolik bilier. Nyeri dapat
berubah seiring waktu dan menjadi nyeri parietal yang konstan yang terlokalisir tajam pada
hipokondrium kanan. Nyeri bertambah seiring waktu dan timbul dengan adanya gerakan.
Sering terdapat latar belakang episode nyeri abdomen atas mirip dengan kolik bilier, yang semakin
memburuk dalam frekuensi dan severitasnya.
Gejala terkait lain meliputi demam dengan atau tanpa menggigil, hilangnya nafsu makan, nausea
dan vomiting.
Pada pemeriksaan, nyeri yang terlokalisir pada hipokondrium kanan dapat menjadi petunjuk lebih
lanjut.
Massa palpable yang lunak, dan globular dibawah batas kosta kanan yang ikut turun saat respirasi
menunjukkan adanya masa inflamasi yang dibentuk oleh omentum disekitar kandung empedu yang
mengalami inflamasi, atau sebuah empiema kandung empedu.
Murphy’s sign ada ketika pasien mengeluh nyeri dan menahan nafas saat dipalpasi di hipokondri-
um kanan; hal ini terjadi karena kandung empedu menjadi bersentuhan dengan ujung jari pemerik-
sa selama inspirasi.
Caveats
Nyeri tekan pada hipokondrium kanan tidak patognomonis untuk kolesistitis, tanda ini juga
ada pada kolangitis.
Secara klasik, tidak terdapat tanda obstruktif jaundice.
Selalu cari tanda dehidrasi atau labilitas hemodinamik pada pasien dengan kolesistitis akut.
Karena px sering mengalami vomiting dan anoreksia dan dapat berkembang menjadi syok ka-
rena septisemia.
Kolangitis
Tanda klasik adalah Charcot’s triad (nyeri abdomen kanan atas, demam dan obstruktif jaun-
dice).
Mungkin ada riwayat batu embedu yang asimptomatik yang ditangani secara konservatif, atau
dengan pembedahan. Penelitian local menunjukkan 35,7% pasien kolangitis menunjukkan
166
Charcot’s triad, namun sebagian besar pasien (95,7%) mengalami nyeri abdomen atas sebagai
keluhan utama.
Caveats
Sama dengan kolesistitis, pertimbangkan adanya dehidrasi dan labilitas hemodinamik.
Diagnosa Banding
Hepatitis, abses hati, eksaserbasi dyspepsia ulkus, perforasi ulkus peptic akut, kolik ureterik,
pankreatitis, divertikulosis juga pneumonia basalis kanan.
Manajemen
Pasien yang Stabil
Tangani pada area intermediate acuity care
Puasakan pasien selama investigasi dan terapi.
Lab : ditujukan untuk menyingkirkan ddx juga menyingkirkan adanya komplikasi (kolangitis
atau kolelitiasis).
FBC : lekositosis PMN yang positif konsisten dengan adanya infeksi bacterial (kolangitis atau
kolesititis).
LFT :
1. Tes ini normal pada kolik bilier.
2. Khas pada kolangitis : peningkatan bilirubin terkonjungasi dan peningkatan enzim koles-
tatik duktus hepatikus (ALP/GGT), peningkatan enzim hepatic intraselular (AST/ALT).
3. Bisaanya tidak terdapat kolestatis pada kolesistitis akut.
Urea/elektrolit/kreatinin : untuk mendeteksi abnormalitas elektrolit dan disfungsi sekunder
akibat vomiting dan deplesi volume.
PT dan PTT : dilakukan saat terjadi jaundice untuk mendeteksi koagulopati
Serum amylase : menyingkirkan coexisting pankreatitis akut.
Urinalisis : untuk menyingkirkan kemungkinan urolitiasis dan pielonefritis
EKG : untuk menyingkirkan iskemik miokard.
CXR posisi berdiri : untuk menyingkirkan pneumonia basiler dan udara subdiafragmatik.
KUB : untuk mendeteksi kalsifikasi intrabadominal, udara bebas, dan air-fluid level.
Penempatan :
Px dengan kolik bilier saja serta tanpa jaundice dan sepsis dapat diKRS-kan sebagai
pasien rawat jalan bagian bedah, dimana nyeri telah dikontrol dengan analgesic.
Px dengan kolesistitis atau kolangitis akut di MRS-kan, pertimbangkan high dependency
unit atau ICU pada px yang tidak stabil, dengan konsultasi pada bagian bedah.
168
Caveats
Riwayat penyakit terjadi dalam hitungan hari bukan dalam jam terkait dengan keadaan diabet-
ic ketoasidosis.
Cenderung untuk terjadi hilangnya cairan, yang lebih besar daripada pada DKA.
Beberapa pasien dengan HHS sensitive terhadap insulin.
HHS terkait dengan mortalitas yang tinggi dan harus diidentifikasi secara dini.
Kriteria dignosa HHS :
1. Glukosa darah > 33mmol/l
2. pH arteri > 7,3 bikarbonat > 15 mmol/l
3. Tidak adanya ketonemia atau ketonuria hebat.
4. osmolalitas talal serum > 330 mOsm/kg H2O, atau serum osmolalitas efektif (2 x Na+ +
kadar glukosa + urea) > 320 mOsm/kg H2O
Singkirkan penyebab lain seperti meningitis jika osmolalitas serum tidak cukup tinggi untuk
menegakkan HHS.
Manajemen
Terapi Suportif
o Pasien harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
o Berikan oksigen aliran tinggi
o Monitoring: EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa dan potassium
tiap 1-2 jam
o Suportif sirkulasi : deficit cairan rata-rata pada HHNK adalah 6-10 liter. Separuh deficit air
yang diperkirakan perlu untuk diganti selama 12 jam pertama.
o Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, osmolalitas serum, BGA, uri-
nalisis.
o EKG, CXR untuk mencari penyebab keadaan HHS.
o Kateter urin untuk monitoring output urin.
Terapi Spesifik
o Replacement Volume intravena
1. jika pasien menunjukkan hipoperfusi jaringan signifikan, gunakan NS sebagai bolus cepat
sampai perfusi meningkat dan BP stabil. Berikan setidaknya 1 liter NS pada jam pertama;
selanjutnya diberikan dalam 2 jam. Kemudian ganti menjadi 1 liter NS 0,45% selama 4
jam berikutnya.
2. Jika pasien hipertensi atau mengalami hipernatremi signifikan (>155 mmol/l) berikan NS
0,45% dan ganti menjadi D5W IV ketika kadar glukosa serum mencapai 16 mmol/l.
o Replacement Potassium : kurangnya potassium total tubuh pada HHNK bisaanya lebih besar
dari DKA. Pastikan terdapat output urin sebelumnya, kemudian berikan :
1. Serum K+ <3,3 mmol/l berikan 20-40 mEq KCl pada jam pertama
2. Serum K+ 3,3-4,9 mmol/l berikan 10-20 mEq K+ per liter cairan IV (dapat diberikan 2/3
KCl dan 1/3 KHPO4; penggantian fosfat diindikasikan jika fosfat serum < 0,3 mmol/l).
169
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan pemberian K + namun periksa serum potassium setiap 1-2
jam.
o Pemberian insulin : bolus tidak diperlukan karena pasien sanagt sensitive sekali terhadap
insulin. Berikan secara infus insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam. Sesuaikan infus insulin untuk
menjaga kadar glukosa darah pada 14-16 mmol/l, sampai osmolalitas serum ≤ 315 mOsm /l
dan pasien dalam keadaan sadar.
Catatan : Kadar glukosa darah vena harus diperiksa tiap 1-2 jam karena dapat berkembang menjadi
HHH.
Panduan
o Osmolalitas Serum dapat diperhitungkan dengan persamaan ini: (2 x Na+) + glukosa +
urea mOsm. (normal = sekitar 280-290 mOsm).
o Osmolal gap ditentukan dengan rumus diatas dan dibandingkan dengan hasil lab yang
diukur dengan metode molal freezing point depression. Perbedaan yang didapat harus
sekitar 10; jika lebih tinggi, partikel aktif osmotic yang lain terdapat dalam serum seperti
alcohol atau IVP dye.
Penempatan
o Lakukan konsultasi dengan bagian General medicine atau endokrin, lakukan pengawasan pada
HD. Setelah mendapatkan volume replacement awal, bisaanya pasien tidak membutuhkan
MRS dibagian ICU.
170
Definisi
Hipertensi : tekanan darah (BP) 140/90 mmHg atau lebih, walaupun harus diketahui bahwa
tekanan darah merupakan suatu variable berkelanjutan. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi berdasar-
kan JNC VII (seventh report of the Joint National Committee) terhadap prevensi, deteksi, evaluasi,
dan terapi tekanan darah tinggi.
Krisis hipertensi : peningkatan kritis BP dengan dengan peningkatan tekanan darah diastolic. Tidak
ada kadar BP absolute yang dapat mendefinisikan krisis hipertensi, namun bila tekanan diastolic
120-130 mmHg dapat digunakan sebagai pedoman. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergen-
cies dan urgencies.
1. Hipertensi emergency : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan end-
organ yang akut atau sedang terjadi.
2. Hipertensi Urgensi : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan end-organ
imminen. Hipertensi berat merupakan merupakan keadaan asimptomatik pada pasien yang tid-
ak berkaitan dengan hipertensi emergency dan lebih sering digambarkan sebagai urgensi.
Macam-macam keadaan hipertensi emergensi :
1. Hipertensive encephalopathy : dibedakan antara stroke/perdarahan subarachnoid
2. Hipertensive left ventricular failure (edema paru akut)
3. Diseksi aorta akut
4. Infark Miokard Akut/ ACS
5. Stroke Perdarahan atau iskemik/perdarahan subarachnoid
6. gagal ginjal akut
7. Eklampsia/preeklampsia (lihat bab eklampsia)
8. Krisis phaeochromocytoma
9. Obat terlarang (cth ekstasi)
Hipertensi urgensi meliputi :
1. Peningkatan BP dengan perubahan retina (tanpa terkait dengan kerusakan end-organ)
2. Gagal ginjal kronik
3. Preeklampsia
hanya meningkat secara ringan. CT scan kepala dapat membantu untuk membedakan kedua
keadaan tersebut.
Hipertensive left ventriculare failure (dikenal sebagai edema pulmonal akut) terjadi ketika
hipertensi berat berakibat pada kegagalan LV akut akibat overload berlebihan yang me-
nyebabkan dekompensasi. Lihat bab edema paru, cardiogenik.
Hipertension dengan diseksi aortic perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami nyeri dada
akut, atau IMA (ketika diseksi mempengaruhi arteri koronaria) atau murmur regurgitasi aorta
baru terdeteksi. Riwayat klasik adanya rasa nyeri seperti terobek yang menjalar ke
punggungmungkin tidak ditemukan. Lihat bab Aortic dissection.
Hipertensi dengan IMA/ACS terjadi ketika hipertensi berat menyebabkan peningkatan
ketegangan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen miokard. BP > 180/110 mmHg merupa-
kan kontraindikasi untuk pemberian trombolisis.
Preeklamsia dan eklampsi perlu dipertimbangkan pada wanita hamil setelah mengalami
amenore lebih dari 20 minggu. Lihat bab Eclampsia
Jangan pernah memberikan terapi pada hasil pengukuran BP secara tunggal : ketika memerik-
sa BP, pastikan pasien nyaman dan gunakan cuff yang sesuai.
Over-zealous correction BP dapat berbahaya dan bisa menyebabkan CVA atau IMA. BP dapat
diturunkan dengan obat oral dan control jangka panjang BP merupakan factor penting dalam
menentukan prognosis hipertensi. Hindari calsium channel blocker sublingual; absorpsinya
tidak dapat diprediksi dan BP dapat turun terlalu cepat.
Penempatan
Hipertensi Emergency : pasien harus MRS di ICU dengan konsultasi pada General Medicine
Hipertensi urgensi : dapat KRS jika respon baik dan BP dapat diterima setelah 4 jam monito-
ring, namun follow up harus dilakukan dalam 48 jam. Jika pasien baru pertama kali didiagno-
173
sa hipertensi dengan penyebab yang belum pasti, maka MRS pada bagian General medicine
untuk evaluasi dan eksklusi penyebab sekunder hipertensi.
174
64. Hipertermia
PENTING
Trias gejala klasik untuk heat stroke adalah :
1. Temperatur rectal > 41 C
2. Perubahan status kesadaran
3. Kulit kering dan panas
Ini adalah sebuah kondisi stadium lanjut dan seharusnya digunakan dengan hati – hati. Jika diikuti
terlalu kaku, mungkin kita melewatkan banyak kasus heat stroke pada fase awal.
Tidak ada petunjuk klinis untuk heat stroke dan banyak gejala dan tanda adalah nonspesifik. Diag-
nosis, karena itu membutuhkan perhatian. Perubahan status kesadaran, perubahan perilaku akut dan
sinkop with suatu riwayat paparan terhadap temperature yang tinggi seharusnya menyadarkan
seseorang untuk diagnosis dari diagnosis heat stroke.
Banyak yang disertai temperature yang tinggi di luar ruangan. Penting untuk dicatat bahwa
aktivitas yang berkepanjangan atau berada di ruangan tertutup tanpa ventilasi yang cukup atau pengatur
aliran udara adalah faktor resiko untuk heat stroke.
Heat exhaustion adalah suatu prekursor dari heat stroke dan mempunyai gambaran :
1. Kecemasan, irritabilitas, dan fatigue.
2. Rasa haus, polidipsi
3. hiperventilasi, carpopedal spasme.
4. Nausea, muntah
5. Peningkatan temperature rectal
6. Abnormalitas enzyme hepar ringan
7. Peningkatan level creatinin kinas.
Tidak ada perbedaan yang jelas antara heat exhaustion dan heat stroke dan dua kondisi tersebut
mempunyai gambaran klinis yang sama, membuat diagnosis sulit. Sebagai penuntun secara umum,
pasien dengan heat exhaustion umumnya tidak mempunyai riwayat perubahan status kesadaran.
Diagnosis Diferential
Banyak kondisi menghasilkan perubahan status kesadaran dengan pireksia yang menyerupai heat
stroke :
1. Infeksi intracranial seperti meningitis, encephalitis.
2. Infeksi seperti typhoid, malaria.
3. hipertermia malignan, neuroleptic malignan syndrome.
4. Kelainan neurology seperti stroke, epilepsy.
5. Kelainan metabolic seperti thyroid storm.
175
Penatalaksanaan
Langkah – langkah awal dalam penatalaksaan heat stroke :
1. Tempatkan pasien pada area resusitasi atau critical care
2. Kontrol ABC
3. Berikan oksigen
4. Pasang jarum intravena dengan jarum ukuran besar pada kedua fossa kubiti dan infuse dengan
cairan dingin
5. Pasang monitoring jantung dan vital sign.
6. Nilai temparatur rectal.
Proses pendinginan penderita harus dilakukan dengan :
1. Lepaskan semua pakaian
2. Gunakan sebuah unit cooling body ( Metode pendinginan evaporasi ) atau kompres dan semprot
dengan air dingin dan kipas angina.
3. proses pendinginan dilakukan sampai temperature rectal mencapai 38.5 C
Pemeriksaan EKG untuk mencari masalah kardiovaskular. Pada kelainan jantung akut, takikardi
hamper selalu muncul. Gambaran yang lain mungkin termasuk perubahan segmen ST dan perubahan
gelombang T yang spesifik dan abnormalitas konduksi. EKG mungkin menunjukkan kelainan
kardiovaskular yang mendahului.
CXR untuk mencari bukti – bukti edema paru atau ARDS. Infark paru telah digambarkan dalam
heat stroke.
Lakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler untuk mnecari hipoglikemi sehingga terapi dapat
segera dilakukan. Bagaimanapun juga, hiperglikemia mungkin terlihat pada heat stroke dan ridak
selalu menunjukkan adanya diabetes mellitus.
Pemeriksaan darah :
1. darah rutin : lekositosis umum dijumpai tanpa adanya infeksi. Trombositopeni dapat dijumpai.
2. Elektrolit : kadar natrium dan kalium mungkin meningkat, normal, atau rendah, tergantung
banyak factor. Hipomagnesemia dan hipocalsemia mungkin terjadi.
3. enzim-enzim otot umumnya meningkat.
4. Faal hati : abnormalitas dari enzim dihepar hamper selalu ada.
5. Analisa gas darah mungkin menunjukkan alkalosis atau metabolic asidosis dari trauma jarin-
gan dan hipoksia.
6. Profil koagulasi mungkin menunjukkan onset koagulasi.
Urine dipstick mencari adanya darah dan myoglobin. Alternatifnya, suatu sample mungkin dikirim
ke lab untuk mengukur myoglobulin.
Selama proses pendinginan, menggigil mungkin terjadi, melawan usaha – usaha dalam
menurunkan temperature tubuh. Ini dapat dikendalikan dengan IV diazepam 5 mg atau IV
chlormazine 25 – 100 mg.
Pasang NGT menatalaksana distensi gastric acute.
176
Disposisi
1. Semua penderita heat stroke harus dirawat di rumah sakit
2. Pemulihan heat exhaustion tanpa kerusakan end organ dapat diobservasi di IRD dan kemudian
dapat dipulangkan.
Referensi
1. Weiner KS, Khogali M. A physiological body-cooling unit for heatstroke. Lancet. 1980;
1:507.
2. Gaffin SL, Gardner JW, Flinn SD. Cooling methods for heatstroke victims. Ann Intern Med
2000; 132(8):678.
177
65. Hipoglikemi
DEFINISI
Merupakan kadar glukosa darah yang rendah, bisaanya kurang dari 3,0 mmol/l pada pemeriksaan vena,
disertai dengan gejala dan tanda yang khas, yang akan kembali membaik setelah dilakukannya koreksi.
CAVEATS
Selalu periksa GDA pada pasien AMS atau kejang.
Hasil pemeriksaan gula darah kapiler akan lebih rendah daripada hasil pada vena dan dapat
terlihat rendah pada pasien hipotensi, hipotermi dan edema; sehingga selalu konfirmasikan
adanya hipoglikemi dengan sample vena ke lab.
Penyebab
Separuh jumlah kasus terjadi pada pasien diabetes yang sedang menjalani pengobatan dengan
insulin atau sulphonylurea.
Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sehat:
1. Medikasi/obat
a. Alkohol
b. Salisilat
c. Non selective beta blocker (dengan kelemahan respon adrenergic terhadap stress)
d. Factitious hypoglycaemia atau overdosis insulin atau obat hipoglikemik oral.
3. latihan/exercise yang berlebihan
4. Insulinoma
Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sakit
1. Sepsis dan syok
2. Infeksi : malaria, terutama dengan terapi quinine atau quinidine
3. Starvasi/kelaparan, anoreksia nervosa
4. gagal hati
5. Gagal Jantung (diffuse disfungsi liver)
6. Gagal ginjal (gluconeogenesis yang terganggu)
7. Endokrin
a. Insufisiensi Hipothalamus-pituitary-adrenal axis pada kortisol dan growth hor-
mone.
b. Insulin antibodies
8. Non islet cell tumour, cth sarcoma, mesothelioma
9. masalah hati congenital termasuk defek karbohidrat, asam amino dan metabolisme asam
lemak.
Manifestasi klinis
Hipoglikemi dapat muncul dengan manifestasi spectrum luas kelainan neurologik, a.l:
Neurogenic/autonomic (BSL sekitar 2,8-3,0 mmol/l): keadaan simpatetic yang berlebihan
dengan diaforesis, takikardi, gugup, dan pucat.
Neuroglycopenia (BSL < 2,5-2,8 mmol/l)
1. gangguan perilaku seperti iritabilitas, confusion dan agresi
2. penurunan tingkat kesadaran
3. Kejang
4. Defisit neurologik fokal
MANAJEMEN
Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah vena, urea/elektrolit/kreatinin, LFT, FBC
2. Jika px tidak diabet, ambil 1-2 ekstra tube darah on ice untuk insulin serum, C-peptide
dan kortisol sebelum memberi terapi dan evaluasi endokrinologi lanjutan.
3. jangan menunggu hasil lab akhir untuk memberikan terapi.
Monitoring
1. periksa GDA 15 menit kemudian, selanjutnya setiap 30 menit pada 2 jam pertama, dan se-
tiap jam selanjutnya. Monitoring jangka panjang dibutuhkan bila ada overdosis sulfonylu-
rea dengan glibenklamide atau chlorpropamide.
179
2. Pertimbangkan dosis ulangan jika tidak respon terhadap terapi, atau berikan infus D5%
atau 10% continous, jika ada kemungkinan penurunan kadar gula darah yang terus mene-
rus.
3. mayoritas pemulihan pasien terjadi dalam 20-30 menit.
4. jika terdapat keadaan AMS yang persisten, walaupun hipoglikemi telah teratasi, pertim-
bangkan keadaan patologis lain, serta lakukan CT scan kepala.
Penempatan
1. Bergantung pada beberapa factor :
a. Etiologi hipoglikemi, termasuk agen penyebab.
b. Severitas deficit neurologik dan responnya terhadap terapi.
c. Respon kadar glukosa darah dan butuh replacement yang terus menerus.
d. Adanya komorbiditis, seperti cedera kepala
e. Lingkungan social, ketersediaan yang merawat px, keinginan px untuk bunuh
diri.
2. secara umum, sebagian besar pasien harus di-MRS-kan dibawah pengawasan bagian en-
dokrinologi, General Medicine atau spesialis lain tergantung etiologi dan komorbiditas.
Semua kasus hipoglikemi karena sulfonylurea harus di-MRS-kan karena efek jangka pan-
jangnya.
3. pada kondisi yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemi (overdosis OHGA, kegaga-
lan hati akut, sepsis berat), pertimbangkan MRS di ICU.
4. Jika penyebab hipoglikemi telah diketahui pasti dan bersifat reversible (cth karena lupa
makan setelah injeksi insulin), maka px dapat dipulangkan setelah keadaan membaik.
180
66.OBSTRUKSI INTESTINAL
TITIK BERAT
presentasi klinis meliputi: nyeri perut, distensi, muntah dan konstipasi,. Namun, muntah
mungkin terlambat pada obstruksi letak rendah and distensi mungkin minimal pada obstruksi
letak tinggi
obstruksi usus dapat dibagi menjadi 2: mekanis dan non-mekanis ( ileus )
selalu periksa kemungkinan hernia dan rectal tuse. Sumbatan feses biasanya memberi gejala
pseudoobstruksi
apabila sudah terdiagnosis, tentukan apakah terdapat strangulasi
Tabel 3 strangulasi
Febris
Shok
Nyeri menetap setelah dekompresi
Peritonitis dan shok
Pada kasus strangulasi karena hernia eksternal, sumbatan terasa tegang, lunak, tidak dapat
berkurang, tidak dipengaruhi impuls batuk dan terdapat peningkatan ukuran
Managemen
pastikan airway paten dengan suplemen oksigen
pasang infus kristaloid 500ml dalam 1-2 jam
pemeriksaan lab. : DL, sample darah, ureum/creatinin/elektrolit
pasang NGT untuk dekompresi
Rö: BNO 2 posisi ( berdiri dan supinasi) untuk melihat dilatasi usus dan udara bebas
EKG pada pasien tua
Pasang kateter untuk mengetahui produksi urine
Jika pernah terjadi strangulasi atau peritonitis, segera konsultasi dengan ahli bedah
Rochephin 1 gr IV dan metronidazole 500 mg IV apabila pernah terjadi bowel sepsis
181
68. Malaria
Caveats
Secara klasik, pasien tampak dengan paroxysm atau demam dengan puncak yang tinggi setiap 48
jam (plasmodium vivax, p. Ovale) atau setiap 72 jam (P. malariae). Infeksi P. falciparum bisa tidak
menunjukkan paroxysm.
Pertimbangkan malaria pada semua pasien dengan demam, terutama saat rekrutmen tenaga militer,
pekerja asing dan pasien yang baru saja mengadakan perjalanan ke India, Amerika Selatan, Afrika
atau Asia Tenggara.
Chemoprophylaxis bisa jadi tidak menyebabkan malaria sebagai akibat dari resistensi obat dan
dosis yang tidak tepat.
Tanda-tanda klinis:
1. Malaise 8. Cerebral oedema
2. Muntah 9. Gagal Jantung
3. Diare 10. Pulmonary oedema
4. Haemolytic anaemia 11. Shock
5. Jaundice 12. Gagal Ginjal
6. Splenomegaly 13. Hypoglycaemia
7. Pusing
Penurunan kesadaran bisa sering terjadi, khususnya dengan infeksi p.falciparum.
Cari hypoglycaemia sebagaimana malaria dan quinine dapat menyebabkan hypoglycaemia.
Selalu cari komplikasi dari malaria sebagai berikut:
1. Superimposed gram – negative sepsis
2. Malaria respiratory distress or pulmonary oedema
3. Cerebral malaria
4. Shock
5. Anaemia
6. Acidosis
Mefloquine tidak direkomendasikan pada pasien dengan neuropsychiatric atau cardiac conduction
defects
PENATALAKSANAAN
Kirim sediaan darah tebal dan tipis untuk pemeriksaan malaria pada setiap pasien yang datang dari
daerah malaria.
Bila parasit tidak terlihat, usapan ulangan harus dilakukan setidaknya dua kali dalam waktu tiga
hari untuk mengeluarkan malaria.
Masukkan semua pasien dengan malaria
hitung parasit, berhubungan dengan prognosis, dan spesies penginfeksi harus teridentifikasi.
Labs:
1. DL (anemia, sel darah putih rendah atau normal, trombositopenia)
2. Ureum/elektrolit/kreatinin (gagal ginjal)
3. LFT (jaundice)
4. Gula darah (infeksi P. Falciparum atau terapi quinine)
5. Urin untuk hemoglobinuria (blackwater fever)
Untuk P. Vivax, P.malariae dan infeksi P.falciparum yang sensitif ringan terhadap
chloroquine (<0.1% hitungparasit):
1. dewasa : Chloroquine phosphate 1 g stat (choloquine base 600 mg) 500 mg 6 jam kemudian,
lalu 500 mg per hari selama 2 hari berikutnya.
2. Anank-anak : Chloroquine phosphate 10mg/kgBB hingga maksimum 600 mg kemudian 5
mg/kgBB dalam 6 jam, dan 5 kg/kgBB per hari selama 2 hari.
Diikuti dengan primaquine phosphate (pastikan status G6PD normal) 26,3 mg load (15 mg base)
per hari untuk 14 hari selama menyelesaikan terapi chloroquine untuyk infeksi P. Ovale dan P.
Vivax. Beri 0,3 mg/kgBB base selama 14 hari untuk anak-anak.
Catatan : Terapi primaquine adalah untuk eradikasi stadium ektraeritrositik dan mencegah relaps.
Untuk yang tidak ada komplikasi, P. Falciparum yang moderate (>0,1% tetapi <5%) sensitif
chloroquine, beri quinine sulfat oral 600-650 mg tds (8,3-10 mg/kgBB untuk anak-anak) selama 7
hari dan doxycicline 100 mg bd selama 7 hari. Doxycicline kontraindikasi bagi anak dibawah 8
tahun. Pada keadaan ini, perpanjang terapi quine sulfat hingga 10 hari. Fansidar (pyrimathamine-
sulfadoxine), mefloquine, dan artemisinin (qinghaosu) juga masih digunakan.
Untuk yang berkompliokasi (cerebral malaria, gagal ginjal, Hb <7mg/dL, ARDS, hypoglycaemia,
dan DIVC) atau infeksi P. Falciparum yang parah (>5%), kirim ke ICU untuk monitir ketat Tensi,
produksi urin, irama jantung dan level gula darah :
1. Beri quinine dihydrochloride iv 20 mg/kgBB dalam 4 jam, kemudian 10 mg/kgBB dalam 8
jam dan tiap 8 jam selama 72 jam.
2. Ganti dengan sediaan oral bila memungkinkan atau hitung <1% untuk mengakhiri 7 hari
terapi. Monitor parasetemia setiap 6 jam. Bila terapi efektif, diperkirakan 75% level parasit
menurun setelah 48 jam terapi. Bila parasitemia >10-15%, pertimbangkan mengganti
transfusi. Steroid berbahaya bagi cerebral malaria.
……………………
69……………………
184
Caveats
2-4% kasus MI secara tidak tepat dipulngkan ke rumah masing-masing. Mayoritas kasus meli-
puti kasus pada pasien muda yang tidak dicurigai AMI, px lansia yang tidak menunjukkan gx
yang khas. Sehingga AMI harus dieksklusikan pada px tua, juga pasien diabetes dengan gejala
kardiak, respirasi, dan neurology yang tidak terjelaskan.
Faktor menyebabkan miss diagnosa MI:
1. kegagalan untuk melakukan pemeriksaan penunjang (EKG, serum marker)
2. Tidak dipertimbangkannya dx
3. KRS yang tidak tepat dari ED
4. interpretasi yang salah dari hasil tes (EKG atau serum marker)
5. Terlalu bergantung pada hasil pemeriksaan yang negative (EKG dan single serum marker
yang negative)
Karakteristik AMI yang tidak spesifik :
1. kepribadian (maskulinitas, calmness, independent, kecemasan yang rendah)
2. Pola perilaku (kunjungan ke dokter yang rendah, pasien yang menyangkal)
3. ambang nyeri yang tinggi (kardiak dan non kardiak)
4. depresi mayor atau psikosa
5. pasien dementia
6. misinterpretasi antara dokter-pasien tentang gejala dan tanda AMI
7. sensori, motorik dan autonomic neuropati
8. kurangnya pengenalan gangguan CNS akibat iskemik
Di bawah ini merupakan tips manajemen resiko pada pasien dengan kemungkinan MI
1. usia dan jenis kelamin yang perempuan bukan berarti dapat menyingkirkan dx iskemik
atau infark.
2. riwayat penyakit jantung merupakan factor yang kritikal. Adanya factor resiko telah
membatasi signifikansi diagnosa karena adanya penyakit kardiovaskular merupakan fakta
yang telah diketahui.
3. factor resiko yang relevan dengan nyeri dada : riwayat keluarga, DM, hipertensi,
hiperlipidemia, merokok dan penggunaan kokain.
4. pertimbangkan kebijaksanaan untuk memeriksa rutin EKG pada pasien tua dengan
manifestasi klinis yang berpotensi kardiak.
5. nyeri dada pada left bundle branch block baru harus dipertimbangkan sebagai AMI, serta
diberi terapi trombolisis.
6. nyeri dada saat istirahat pada px yang diketahui menderita penyakit jantung harus
dipertimbangkan sebagai penemuan yang tidak menyenangkan.
Tips khusus Bagi Dokter Umum:
Pasien AMI dapat menunjukkan klinis dan EKG yang tidak khas
Hati-hati pada presentasi klinis AMI yang tidak khas pada px tua, diabet,
dan px usia muda dengan factor resiko.
Ketika AMI telah terdiagnosa, jangan kirim px ke ED dengan mobil pribadi.
Panggil ambulan!
Berikan aspirin 300mg secepatnya sebelum merujuk px ke RS.
Manajemen
oksigen dengan masker, monitoring tanda vital
Aspirin oral 300mg
S/L GTN 1 tab dan ulang setelah 5 menit (untuk menyingkirkan perubahan EKG karena
spame koroner).
Lakukan right-side ECG pada MI inferior untuk menyingkirkan concomitant right ventricular
infarct.
Pasang IV plug dan tes darah, cth: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, Troponin T,
PT/PTT, dan GXM 2U PCT. Hindari arterial puncture.
IV morfin 2-5mg bolus lambat. Ulangi dengan interval 10 menit sampai nyeri berkurang.
Pertimbangkan IV metoklopramid 10 mg sebagai antiemetik.
IV GTN 20-200µg/menit, terutama pada:
1. nyeri dada iskemik yang terus-menerus
2. gagal ventrikel kiri
3. Hipertensi
Meningkat 5-10 µg/menit, pada interval 5-10 menit sampai nyeri dada menghilang atau MAP
turun 10%. Hentikan bila terjadi hipotensi. Hati-hati pada MI inferior karena pasien dapat
mengalami concomitant right ventricular infarct, dimana nitrat merupakan kontraindikasi.
Pertimbangkan Myocardial salvage therapy, contoh PCI (procedural coronary intervention)
versus trombolisis (PCI lebih disukai bila tersedia). Lihat tabel 1.
Tabel 1 : Tindakan Reperfusi pada AMI, keuntungan dan Kerugian 2 strategi Reperfusi
Trombolisis PCI
Keuntungan Pemberian cepat Efikasi klinis yang lebih baik, cth patensi
Tersedia luas pembuluh darah superior, TIMI
Nyaman digunakan grade 3 flow rate dan penurunan
oklusi
Lebih sedikit perdarahannya
Definisi dini dari anatomi koroner
memudahkan terapi penyesuaian
dan stratifikasi resiko yang lebih
efisien
Kerugian Patensi terbatas, cth arteri terkait infark, Terbatas pada efikasi yang terlambat
terjadi pada 60-85% pada pasien, Kurang luas tersedia
dengan normal TIMI grade 3 Membutuhkan tenaga ahli
epikardial coronary flow pada 45-
60% pasien
Efikasi klinis yang lebih rendah, cth :
reperfusi optimal tidak tercapai pada
>50% pasien, dan reoklusi infark
pembuluh darah terjadi 5-15% pada
minggu I dan 20-30% dalam 3 bulan
Resiko perdarahan
Pertimbangkan apakah pasien merupakan kandidat untuk terapi trombolitik dengan criteria sbb:
1. nyeri dada khas AMI
2. peningkatan segment ST paling tidak 1mm pada setidaknya 2 lead EKG inferior atau ele-
vasi paling tidak 2mm pada setidaknya 2 lead EKG anterior
3. Kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
4. Kurang dari usia 75 tahun
Jika pasien memenuhi criteria untuk trombolisis, lihat daftar kontraindikasinya:
1. Suspek aortic dissection
186
2. riwayat stroke
3. neoplasma intracranial yang diketahui
4. baru mengalami cedera kepala
5. patologi intracranial yang lain
6. hipertensi berat (BP > 180/110)
7. ulkus peptikum akut
8. perdarahan internal akut
9. baru mengalami perdarahan internal (< 1 bulan)
10. baru mengalami pembedahan major
11. baru menjalani pengobatan antikoagulan
12. perdarahan diathesis yang diketahui
13. prolonged CPR (> 5 menit)
14. pemberian trombolitik sebelumnya
15. kehamilan
16. diabetic retinopati
17. Hipotensi (SBP < 90 mmHg)
18. EKG menunjukkan LBBB
19. masalah kesehatan lain yang dapat menghalangi penggunaan trombolitik.
Jika jawaban terhadap salah satu keadaan diatas ada yang ‘ya’ maka jangan berikan
trombolitik. Diskusikan dengan ahli kardiologi terlebih dahulu.
Jika tidak ada kontraindikasi, pertimbangkan pilihan trombolitik, cth : Streptokinase (SK) versus
recombinant tissue plasminogen activator (rtPA):
SK rtPA
1. paling sering digunakan dan ekonomis 1. dapat digunakan pada kedua gender
2. pilihan yang lebih baik jika resiko 2. kurang dari usia 50th
perdarahan intracranial lebih besar (cth: 3. anterior AMI
usia tua) karena penggunaan rtPA be- 4. kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
rakibat terhadap peningkatan resiko
perdarahan intracranial.
Definisi
Drowning syndrome bervariasi dari minimal aspirasi air dengan angka keselamatan
mulai dari yang baik sampai pada severe pulmonary injury dengan kematian. Ber-
macam-macam terminology digunakan untuk mendiskripsikan keadaan sebagai beri-
kut:
Tenggelam : proses dimana usaha bernafas untuk menghirup udara terendam
didalam cairan.
Near Drowning : tenggelam sebagian dengan temporary survival.
Submersion incident : istilah yang paling ntral untuk mendeskripsikan
seseorang yang mengalami efek berkebalikan setelah mengalami tenggelam
sebagian di dalam air.
Caveats
Penyelamatan segera (< 5 menit) dan resusitasi awal di tempat kejadian meru-
pakan kunci keselamatan pasien.
Bagian penting pemeriksaan adalah unuk mencari penyebab (cth trauma,
usaha bunuh diri, keracunan, sengatan organisme laut).
Hipotermi merupakan komplikasi yang potensial, terutama pada usia yang
lebih muda.
Tips khusus Bagi Dokter Umum
Resusitasi di dalam air sulit dilakukan dan membahayakan jiwa
penyelamat.
Coba untuk mengeluarkan air yang tertelan dengan bermacam
cara, seperti manuver Heimlich, masih controversial.
Penting
190
Semua pasien malignansi dapat jatuh pada kondisi emergensi/gawat yang diakibatkan karena
pengobatan dengan sitostatika/kemoterapi atau akibat langsung dari malignansinya.
Ada beberapa prinsip penting yang harus diingat bila merawat penderita tersebut di IRD:
1.bila perlu,dokter yang merawat penderita sebelumnya harus cepat diberitahu.
2.keterlibatan langsung dokter senior/konsultan harus dilakukan,penanganan symptom, seperti
control nyeri dan membuat keputusan yang cepat adalah yang diharapkan/ideal.
3.penting untuk mengetahui stadium dari malignansi,respon penderita terhadap pen-
gobatan,prognosis dan pemilihan terapi yang obyektif(paliatif atau aktif).Terutama bila pen-
derita datang dalam kondisi kritis dan keputusan harus segera dibuat,apakah resusitasi aktif
harus dilakukan atau tidak.
Ada 4 keadaan yang mengancam nyawa pada bidang onkologi:
1.sepsis netropenia
2.trombositopenia
3.hiperkalsemia
4.kompresi medulla spinalis
Pemberian antibiotic yang segera akan menurunkan mortalitas penderita malignansi dengan
kondisi sepsis netropenia.
Jangan memberikan antibiotic di tempat praktek pada penderita malignansi yang datang
dengan demam(>38ºC). Segera rujuk pasien ke IRD.
Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia pada semua pasien malignansi yang mengeluh tidak
nyaman.
Harus dicurigai metastase ke tulang dengan kemungkinan terjadi kompresi spinal pada semua
penderita malignansi yang datang dengan keluhan nyeri punggung.
1.Sepsis netropenia
Merupakan kondisi yang paling sering terjadi akibat kemoterapi dan fatal.
Definisi netropenia adalah jumlah absolute netrofil < 1.000/m³
Penatalaksanaan:
A.terjadinya sepsis netropenia tergantung jenis obat yang diberikan(lihat table 1).
B.semua penderita malignansi yang dalam pengobatan kemoterapi atau radioterapi dengan
febris >38ºC harus dirawat di P2 dengan prioritas tinggi.
C.periksa laboratorium/penunjang:
-DL,urea/elektrolit/kreatinin,fungsi hati dan foto thoraks.
D.Bila terjadi netropenia,lakukan penanganan seperti penderita sepsis,kerjakan:
1.kultur darah,baik kondisi aerobic maupun anaerobic sebanyak 2 kali (satu pada
masing-masing lengan)
2.kultur urin dan tes sensivitas antibiotic,dan
3.kultur semua pus yang keluar dari tubuh penderita.
E.secepatnya berikan antibiotic (setelah darah untuk kultur diambil) sebelum
MRS:
1.ceftazidime intravena(Fortum) 1-2 gram dan gentamisin 2mg/kgBB.
2.bila pasien tampak parah,berikan ceftazidime intravena(Fortum) 2gram,dan amikasin
7.5mg/kgBB.
Peringatan:
191
1. jangan melakukan injeksi IM,pemasangan kateter atau colok dubur kecuali kondisi pasien
kritis.
2. untuk semua penderita malignasi yang dalam pengobatan kemoterapi/radioterapi dengan
keluhan demam tapi hasil hitung absolute tidak netropenia,tidak perlu memberikan
antibiotic di IRD.
3. bila penderita dalam pengobatan kemoterapi,tapi tidak ada febris dan tidak
netropenia,lebih baik penderita dirawat,terutama bila durasi terjadinya keadaan netropenia
belum terlewati(kecuali bila dokter yang merawat penderita tersebut mengijinkan untuk
pulang).
2.Trombositopenia
akan terjadi ancaman perdarahan sistim saraf pusat bila jumlah trombosit <20.000
panatalaksanaan:
A.rencana tranfusi 6 labu trombosit.
B.peringatan:
-hindari suntikan IM,hindari pemberian NSAIDs dan,
-pasien dipaksa untuk istirahat total.
C.disposisi:kirim ke ruang onkologi.
3.Hiperkalsemia
definisi jumlah serum kalsium yang terionisasi yang meningkat diatas normal.
Pertimbangan untuk diagnosis:
Sulit untuk mendiagnosis hiperkalsemia berdasarkan keluhan pasien dan secara klinis,tapi
tanda-tanda umum yang dapat membantu:
1.nyeri/sakit,letargi,lemah,mual/muntah,dehidrasi,poliuria,polydipsia,konstipasi,
bingung,penurunan kesadaran,kejang dan koma.
Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia semua penderita kanker yang merasa tidak nyaman atau
depresi,terutama jenis kanker yang dapat menyebabkan hiperkalsemia,misalnya karsinoma
skuamous sel,kanker payudara,limfoma,mieloma dan clear cell.
Pemeriksaan lab: kadar ion kalsium dalam serum.
Penatalaksanaan: rehidrasi aktif dengan normal salin sampai 3-4liter/24 jam(pada kondisi
berat) untuk koreksi dehidrasi dan untuk meningkatkan produksi urin dan ekskresi
kalsium(100-250ml/jam)
Hati-hati bila memberikan diuretika,karena dapat memperberat hiperkalsemia,kecuali pasien
dalam kondisi kelebihan cairan.
2.pendekatan praktis:
A.nyeri punggung tanpa disertai deficit neurologist:
1.foto roentgen vertebra,bila normal rencanakan pemeriksaan scan tulang
2.bila foto roentgen tidak normal,cepat lakukan MRI/mielogram.
B.nyeri punggung dengan deficit neurologist, segera berikan injeksi steroid
pada Pasien dengan riwayat pasti menderita kanker(adanya hasil PA)
1.secepatnya steroid diberikan,bila kompresi spinal sudah dipastikan atau
diduga kuat atau,
2.kolaps vertebra,
3.hilangnya gambaran pedikel pada roentgen.
Berikan deksametason dengan dosis 12-16 mg dilarutkan dalam 50ml
normal,secara infuse cepat,dilanjutkan 4mg tiap 6 jam.
4.secepatnya kontak dan konsultasi dengan oncologist.
Peringatan:bila tidak ada bukti nyata bahwa pasien benar-benar menderita kanker
Maka steroid jangan diberikan,tapi kontak ahli onkologi untuk minta saran.
6.Efusi pericardial
Komplikasi ini sering pada pasien kanker paru dan kanker payudara,tapi dapat terjadi oleh
kanker lain,seperti limfoma yang menunjukkan metastase ke pericardium.
Mendiagnosis efusi pericardial sulit,tapi dapat dicurigai bila terdapat:
1.sinus takikardia
2.hasil EKG yang low voltage.
3.suara nafas yang bersih.
4.JVP distended(kussmaul’s sign)
5.Pulsus paradoksal(tekanan darah systole turun >10mmHg saat inspirasi).
7.Emboli paru
Pasien kanker resiko untuk terjadi DVT dan emboli paru meningkat akibat tirah baring yang
lama dan masalah hiperkoagulabilitas.(lihat alur penanganan Emboli Paru)
Mampu mendiagnosis awal dan penanganan yang tepat akan memberikan hasil yang lebih
baik.
193
73 Pankreatitis Akut
Definisi
proses inflamasi akut pada pancreas dengan keterlibatan bermacam-macam jaringan regional atau
system organ lain.
Secara klasik, dikarakterisasi dengan adanya nyeri abdomen dan terkait dengan adanya hiperami-
lasemia.
Caveats
Secara klasik, pankreatitis akut terkait dengan kadar serum amylase yang tinggi (nilai ambang
dengan spesifisitas tinggi diatas 1000U/L atau 4 kali normal). Keadaan ini tidak selalu harus
ada.
Pasien dengan eksaserbasi akut pankreatitis akut sering menunjukkan ‘subtreshold’ pening-
katan serum amylase karena penurunan volume jaringan pancreas yang berfungsi.
Peningkatan kadar amylase dapat terlihat pada semua patologi abdomen yang akut namun tid-
ak mencapai nilai ambang yang klasik.
Lihat tabel 1 untuk mengetahui ddx pankreatitis
b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan penyebab sep-
sis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis sekunder obstruksi
bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.
Protokol Manajemen
Pada semua pasien pankreatitis akut
1. puasakan px
2. mulai drip saline. Bila tidak ada dehidrasi, berikan dengan maintenance rate 2,5-3 li-
ter/hari.
3. berikan oksigen dengan masker
4. jika px vomit (karena gastroparesis) masukkan NGT untuk dekompresi lambung
5. berikan analgesic parenteral. Opiate seperti pethidin tidak secara tegas menjadi kontrain-
dikasi dan memberikan penghilang nyeri yang terbaik. Hindari NSAID pada px dehidrasi
atau organ compromise karena resiko nefrotoksik.
6. jika pasien memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum, berikan profilaksis terapi supresi
asam. Reduksi asam tidak mempengaruhi keparahan pankreatitis.
7. lakukan penentuan serum amylase.
8. lakukan CXR, untuk mencari respiratory compromise dan mengeksklusi ddx lain, seperti
pneumonia basalis atau perforasi viscus.
9. pada px dengan factor resiko kardiak, lakukan EKG dan enzim kardiak untuk mengek-
sklusi angina atypical/AMI.
10. pada pasien dengan tanda kolangitis (demam tinggi, peningkatan TWC dan kolestatik
LFTs) berikan antibiotik IV setelah sebelumnya melakukan kultur darah. Gunakan cepha-
losporin generasi ketiga, cth : cefuroxime atau ceftriaxon, bersamaan dedngan metronida-
zole. Jika px sensitive terhadap penicillin, ganti cephalosporin dengan ciprofloxacin. Hin-
dari gentamycin karena bersifat nefrotoksik.
Catatan : tidak perlu memberikan antibiotik untuk pankreatitis tanpa komplikasi
11. mulai input/output charting untuk pemeriksaan kehilangan cairan
12. tidak perlu untuk selalu melakukan seluruh pemeriksaan lab pada saat di ED. Pemerik-
saan dapat dilakukan setelah px berada di bangsal.
13. kasus ringan pankreatitis akut dapat di MRS-kan pada bagian bedah umum atau bagian
gastroenterology.
Pada px dengan tanda pankreatitis berat:
1. lakukan pemeriksaan tersebut diatas
195
2. monitor pasien
3. jika terjadi kegagalan nafas, lakukan intubasi dan ventilasi pasien
4. Lakukan pemeriksaan lab:
a. FBC
b. Urea/elektrolit/kreatinin termasuk kalsium
c. Liver function test
d. BGA
e. Kultur darah
5. mulai pemberikan profilaksis antibiotik sistemik.
6. tidak ada penelitian mengenai manfaat menggunakan obat lain seperti somatostatin atau
octreotide.
7. ketika terdapat gambaran pankreatitis akut, atau jika pankretitis didiagnosa pada pasien
lansia (>70th), konsul ke bedah umum, untuk kemungkinan intervensi pembedahan pada
komplikasi yangmungkin terjadi cth nekrosis pakreatik terinfeksi atau abses pankreatik.
8. Pasien pankreatitis severe MRS di bagian high dependency care. Pasien dengan tanda ga-
gal organ harus MRS di SICU untuk perawatan definitive.
196
BAB 74
PID (penyakit radang pelvis)
Penting :
Kehamilan ektopik dan radang pelvis banyak terjadi pada pasien dengan keluhan nyeri perut bawah .
Kreteri dari nyeri pelvis :
Ada trias klasik berupa nyeri/tenderness bagian perut bawah, nyeri gerak cervixal dan nyeri pada kedua
adnexa yang dideteksi dengan colok rektal atau vaginal. Gejalanya meliputi keluarnya cairan vaginal,
perdarahan atau dispareunia. Panas lebih dari 38 C, mual dan muntah serta ditemukan cairan purulen
pada 95% wanita dengan spekulum. Jika ada masa diadnexa bisa juga terdapat abses tuba maka perlu
dilakukan USG.
Faktor Predisposisi :
1. Banyaknya patner sexual
2. Usia terlalu muda untuk aktivitas sexual
3. Riwayat penyakit sexual
4. Pemeriksaan hysterosalpingography dengan alat pada bagian bawah alat genital.
5. Aborsi
6. Kontrasepsi
7. Seringnya kencing
8. Merokok
Keadaan umum pada nyeri abdomen supakut adalah nyeri yang dalam dan bilateral. Satu sisi perut
nyeri dan ketegangan adnexa bukan radang pelvis. Bisa juga terjadi nyeri kedua sisi perut dan
ketegangan adnexa seperti kehamilan ektopik, abses tuba ovarium atau torsi adnexa. Pada wanita yang
kena apendiksitis gejala nampak singkat dengan gejala gastrointestinal lebih menonjol, penderita
kelihatan sakit dan lokasi diperut kanan bawah. Untuk membedakan dengan kehamilan dilakukan
pemeriksaan DL dan UL.
Penatalaksanaan
1. Menatalaksanaan di UGD.
2. Melakukan swab vagina untuk kultur, juga swab indocervikal untuk menemukan klamidia atau gon-
ococus.
Tips:
Konsul obstetri dan ginekologi jika didtemukan keadaan pasien yang toksic, tidak berespon terhadap
pengobatan, hamil, muntah, abses tuboovarium, defisiensi imonologi, atau pasien yang lemah.
1. Pemberian infus dan darah juga pemeriksaan lab : DL, RFT, elektrolit.
2. Rehidrasi diberikan pada keadaan membutuhkan atau nyeri bisa dikontrol.
3. Melepas kontrasepsi
4. Pada keadaan radang akut pelvis diberikan antibiotik
a. Generasi II atau III cephalosporin (cefriaxone 250 mg IM)
b. Tetracycline 500 mg oral selama 10 – 14 hari atau doxycicyline 100 mg oral selama 10 – 14 hari
dapat bergantian dengan erythromixin 500 mg per oral untuk 10 – 14 hari jika alergi dengan tetra.
c. Metronidazole diberikan IV atau peroral selama 14 hari.
- Jika pasien keluar cairan maka selama 48 – 72 jam tidak boleh melakukan hubungan se-
xual selama 2 minggu dan mengobati patner sexual.
- Pasien dilakukan tes syphilis, hepatitis, dan HIV.
197
PERHATIAN
Sebagian besar pasien tidak datang ke IRD dengan penyakit ulkus peptik karena keadaan tersebut
hanya dapat didiagnosis secara endoskopis atau radiologis. Sebagian besar datang dengan
nyeri/rasa tidak enak pada perut kanan atas.
Diagnosis dyspepsia harus dipertimbangkan dahulu pada pasien dengan nyeri/rasa tidak enak perut
kanan atas kronis.
Semua pasien berusia 40 tahun ke atas yang mengalami dyspepsia harus diperiksa secara teliti
terhadap kemungkinan keganasan lambung.
Ulkus duodenum umumnya terjadi pada orang berusia 30-50 tahun sedangkan ulkus gaster
umumnya pada orang berusia diatas 60 tahun.
Helicobacter pylori (H. pylori) berperan dalam >95% kasus ulkus duodenum dan 70-80% kasus
ulkus gaster.
Penyebab kedua terpenting ulkus peptik adalah NSAID yang berperan pada sebagian besar kasus
ulkus dengan H. pylori negatif.
Penyebab lain yang jarang adalah kondisi hipersekresi patologis seperti gastrinoma (Zollinger-
Ellison syndrome).
Alkohol tidak terbukti berkaitan dengan ulkus peptik. Akan tetapi ulkus lebih sering ditemukan
pada pasien dengan sirosis hati, suatu penyakit yang berkaitan dengan konsumsi alkohol.
Tips Khusus Untuk Dokter Umum
H. pylori dan NSAID menyebabkan 90% lebih ulkus peptik
Semua pasien berusia > 40 tahun dengan dyspepsia harus dilakukan endoskopi untuk menyingkirkan
keganasan lambung.
Semua pasien dengan dyspepsia dan gejala yang mencurigakan seperti penurunan berat badan, ane-
mia, dysfagia dan teraba massa di abdomen harus dirujuk pada ahli gastroenterologi untuk dilakukan
endoskopi.
Selalu waspada terhadap komplikasi ulkus seperti perdarahan (lemas badan dan melena) dan muntah
(obstruksi pilorus). Keadaan tersebut merupakan kedaruratan yang memerlukan rujukan ke RS segera.
Pembedahan jarang diperlukan dan hanya bila terdapat komplikasi seperti perdarahan hebat berulang,
perforasi atau obstruksi.
GEJALA
Pasien dengan ulkus peptik tanpa komplikasi umumnya datang dengan nyeri atau rasa tidak enak
pada perut. Selera makan yang buruk, rasa terbakar, mual dan muntah juga dapat ditemukan.
Gejala yang mencurigakan meliputi: penurunan berat badan, hematemesis atau melena, anemia,
disfagia, teraba massa di abdomen.
Ulkus gaster dan duodenum tidak mungkin dibedakan hanya berdasarkan riwayat penyakit semata,
walaupun pasien ulkus gaster cenderung berusia lebih lanjut dan sering disertai penurunan berat
badan.
Nyeri secara khas terletak di epigastrium, tetapi dapat pula muncul di dada bagian bawah atau hi-
pokondrium kiri, dan terbatas pada daerah yang sangat kecil (Pointing sign).
Nyeri cenderung muncul pada saat pasien lapar, 1 sampai 3 jam setelah makan, membangunkan
pasien di malam hari, mereda dengan pemberian makanan, antasida, muntah serta ditandai oleh
remisi dan eksaserbasi. Nyeri akibat ulkus dapat menjalar ke punggung.
Diagnosis ulkus peptik tidak dapat ditegakkan atau disingkirkan berdasrkan anamnesis semata.
Nyeri yang khas ulkus dpaat muncul pada pasien dengan dyspepsia non-ulkus. Di sisi lain, ulkus
asimtomatik lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi NSAID.
198
Ulkus asimtomatik dapat datang dengan perdarahan. Pasien bisa jadi tidak menyadari bila ia men-
galami perdarahan, tetapi hanya merasa letih dan lemas akibat anemia. Jika jumlah perdarahan be-
sar, akan ditemukan hematemesis dan melena.
TATA LAKSANA
Tujuan tata laksana rasa tidak nyaman perut atas adalah untuk:
Membuat diagnosis kerja (lihat Nyeri, Perut)
Meredakan gejala
Menentukan pasien yang memerlukan rawat inap
Menentukan pasien yang memerlukan konsultasi spesialis.
DISPOSISI
Indikasi Rawat Inap
Perdarahan: hematemesis, melena. Rawat di ruang gastroenterologi atau bedah umum, sesuai ke-
bijakan setempat.
Perforasi: rawat di ruang bedah umum.
Penyempitan dan obstruksi: sulit didiagnosis di IRD, tetapi pasien datang dengan muntah atau
tanda obstruksi usus. Rawat di ruang bedah umum.
Tidak berespon terhadap terapi di IRD, hanya jika dengan gejala berat: rawat di ruang gastroenter-
ologi.
Nyeri perut dengan demam dan ikterus: rawat di gastroenterologi.
Ingatlah untuk selalu memulangkan penderita dengan advis untuk kembali ke IRD segera bila terdapat
demam, nyeri perut bawah, diare persisten atau muntah. Ingatlah bahwa nyeri perut atas dapat merupa-
kan gejala awal appendisitis akut.
PERHATIAN
Perdarahan per anum umumnya segar dan berwarna merah terang. Darah yang bercampur dengan
tinja menunjukkan etiologi yang lebih proksimal.
Nyeri dan perdarahan yang timbul saat defekasi terjadi pad fisura ani. Perdarahan yang berasal dari
wasir umumnya tanpa nyeri.
Pada abses perianal yang dalam dapat ditemukan nyeri kronis yang menetap pada anus dengan
sedikit tanda klinis. Pada keadaan ini diperlukan evaluasi ultrasound endoanal oleh seorang ahli
bedah saluran cerna.
Abses perianal yang berulang pada daerah yang sama menunjukkan adanya fistula ani yang men-
dasarinya.
HEMORRHOID
Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah segar yang umumnya terjadi setelah defekasi.
2. Perdarahan dapat terjadid alam jumlah yang bervariasi, tetapi umunya swasirna.
3. Adanya massa yang prolaps memerlukan reduksi manual.
4. Massa yang prolaps dan nyeri serta berwarna kebiruan menunjukkan adanya trombosis dan
umumnya tak dapat direduksi.
5. Hemorrhoid derajat I tidak tampak di anus setelah defekasi. Gejala utama adalah perdarahan
setelahd efekasi.
6. Hemorrhoid derajat II menonjol melalui anus pada saat defekasi tetapi tereduksi secara
spontan.
7. Hemorrhoid derajat III tetap berada diluar anus kecuali didorong kembali secara manual.
8. Hemorrhoid derajat IV tidak dapat didorong kembali ke dalam anus.
Tata laksana akut
1. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat I dan II
a. Tenangkan pasien
b. Lakukan pemeriksaan RT dan anuskopi untuk menyingkirkan etiologi yang lebih proksi-
mal.
c. Pulangkan pasien dengan pemberian bulking agents selama 6 minggu, misalnya dengan 1
sachet ispaghula, 2x/hari; atau dengan micronized flavonoids dengan dosis 2x3 tablet
selama 3 hari kemudian 2x2 tablet selama 2 minggu.
2. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat III dengan trombosis ringan
a. Baringkan pasien telungkup dan berikan kompres es untuk mengurangi edema.
b. Berikan analgetika parenteral, missal NSAID atau agonis opiat.
200
HEMATOM PERIANAL
Tampilan klinis
1. Akibat robekan pembuluh darah dari kompleks vena hemorrhoid eksterna.
2. Pada pemeriksaan terdapat tumor kebiruan yang sangat nyeri.
3. Nyeri umumnya menjadi makin hebat dalam 2 hari pertama dan mereda pada hari ke-5.
Tata laksana akut
1. Dalam 2 hari pertama, lakukan insisi dan drainase di IRD
a. Desinfeksi kulit perianal dengan betadine (tanyakan terlebih dulu mengenai riwayat
alergi).
b. Infiltrasi daerah sekitar hematom dengan 5 ml larutan lidokain 1% dengan menggunakan
jarum 22G.
c. Buat insisi melingkar kecil yang megnarah ke anus dan lakukan evakuasi hematom
dengan membukanya.
d. Lakukan penekanan langsung untuk menghentikan perdarahan yang merembes
e. Sisipkan tampon pita.
f. Pulangkan pasien dengan pemberian analgetika dan bulking agent untuk mencegah kon-
stipasi ataupun mengedan.
g. Tampon pita dapat dibuang pada hari berikutnya oleh pasien setelah melakukan rendam
duduk (larutkan 2 sendok makan garam dalam air hangat, gunakan untuk rendam duduk).
h. Rujuk pasien pada ahli bedah digestif untuk kunjungan lanjutan di poliklinik.
2. Setelah 2 hari, tenangkan pasien dan pulangkan pasien dengan pemberian analgetika dan
bulking agent.
FISURA ANI
Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah terang saat defekasi.
2. Nyeri yang hebat menjadi pembeda keadaan ini dengan wasir.
3. Penyebab yang sering memperberat keadaan ini adalah asupan cairan yang kurang dan diet
yang rendah serat.
4. Pemeriksaan RT menunjukkan adanya robekan berbentuk garis di posterior dan anterior saat
menyusuri dinding anus perlahan. Pemeriksaan RT mungkin sulit dilakukan akibat nyeri yang
hebat dan adanya spasme.
Tata laksana akut: jika nyeri sangat hebat sehingga tidak memungkinkan RT yang baik, rawat in-
apkan pasien untuk pemeriksaan dengan bantuan anesthesia. Sebagian besar fisura ani sembuh
spontan dengan regulasi defekasi yang tepat. Akan tetapi, bila gejala menetap setelah 8 minggu, fi-
sura tidak dapat sembuh tanpa intervensi bedah. Tanda kronisitas meliputi adanya ulkus berbentuk
perahu dengan adanya serat anus berwarna putih yang tampak pada dasarnya. Seringkali dite-
mukan tonjolan dari kulit (sentinel pile) pada tepi distal fisura serta papilla ani yang mengalami hi-
pertrofi pada apeks. Terapi utama adalah penanganan konservatif yang meliputi:
1. Pemberian bulking agent selama 6 minggu, misal 1 sachet ispaghula husk 2x/hari serta asupan
cairan 2 liter /hari.
2. Analgetika topikal: oleskan jelly lidokain 2% di sekitar anus sebelum defekasi untuk memban-
tu mengurangi nyeri; hal ini bisa dilanjutkan dengan rendam duduk.
3. Pasta gliseriltrinitrat dapat digunakan untuk sphincterotomi khemis.
4. Perhatikan bahwa pencahar jarang diperlukan, bahkan diare yang diakibatkan justru dapat
memperberat keadaan.
201
5. Atur pasien untuk suatu kunjungan lanjutan pada seorang ahli bedah saluran cerna.
SEPSIS ANOREKTAL
Klasifikasi: klasifikasi dari Park menggolongkan sepsis anorektal dalam hubungannya dengan
kompleks sphincter ani. Sebagian besar abses berasal dari kelenjar yang berada di dalam dan
sekitar sphincter ani dan dapat terletak submukosa, perianal, intersphincter, ischiorektal atau
supralevator.
Drainase persisten dari abses yang telah didrainase sebelumnya (2 bulan atau lebih) menunjukkan
adanya fistula.
Tampilan klinis
1. Abses klasik muncul sebagai pembengkakan yang disertai hiperemi dan nyeri tekan, yang
mungkin sudah mengandung atau mengalirkan pus.
2. Diagnosis banding abses perianal dari abses ischiorektal: perhatikan hubungan antara abses
dengan kulit perianal yang hiperpigmentas. Abses pada daerah kulit yang hiperpigmentasi
menunjukkan suatu abses perianal, sedangkan abses yang terletak lebih lateral dari kulit yang
hiperpigmentasi menunjukkan suatu abses ischiorektal.
3. Abses kecil yang terletak dalam mungkin hanya menunjukkan sedikit tanda selain dari nyeri
dan nyeri tekan saat pemeriksaan RT. Kekhasannya adalah terdapat riwayat terapi antibiotika
atau analgetika dari dokter pribadinya. Karenanya pasien dengan nyeri perianal kronis harus
dirujuk pada ahli bedah saluran cerna untuk eksklusi absesyang letaknya dalam.
4. Drainase persisten dari sinus atau pembengkakan yang berlangsung lebih dari 2 bulan setelah
drainase abses menunjukkan adanya fistula ani. Pemeriksaan RT seringkali menunjukkan
adanya alur indurasi submukosa yang berjalan melingkar dari ujung eksternal ke arah anus.
Alur ini adalah jalur fistula.
Tata laksana akut
1. Abses akut
a. Insisi dan drainase di IRD dengan conscious sedation dan anestesi lokal: insisi linier di
atas bagian yang paling fluktutatif yang kemudian diubah menjadi insisi berbentuk palang
dan kemudian tepinya digunting untuk menghilangkan atap abses.
b. Setelah semua pus dikeluarkan, pasang tampon pita untuk hemostasis (dapat dibuang pada
hari berikutnya setelah rendam duduk).
c. Berikan analgetika selama 1-2 hari dengan rujukan pada seorang ahli bedah saluran cerna
dalam 1 minggu. Jika nyeri atau demam menetap, sarankan pasien untuk datang kembali
ke IRD lebih dini, karena mungkin abses belum sepenuhnya terdrainase.
d. Kriteria rawat inap: (1) penderita diabetes dengan abses perianal untuk drainase dan ken-
dali kadar gula darah, (2) kecurigaan suatu necrotizing fasciitis (indurasi yang nyeri
dengan krepitas di sekitar abses).
2. Abses perianal rekuren atau dengan kecurigaan suatu fistula ani: rawat inapkan penderita un-
tuk drainase oleh ahli bedah saluran cerna.
3. Abses ischiorektal: rawat inapkan pasien untuk drainase oleh ahli bedah saluran cerna.
PROLAPS REKTI
Tampilan klinis
1. ‘True’ prolaps ditemukan pada bayi dan wanita usia lanjut tetapi jarang terjadi. Seluruh
ketebalan dinding rectum mengalami intusussepsi melalui anus. Uji ‘pinch’ menunjukkan
adanya dua lapisan.
2. ‘Pseudo’ prolaps adalah hemorrhoid atau mukosa rectum yang mengalami prolaps, dan hal ini
sering terjadi. Uji ‘pinch’ menunjukkan tidak adanya lapisan dinding rectum lain di bawahnya.
Prolaps mukosa seringkali berkaitan dengan riwayat sering mengedan. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan pruritus.
Tata laksana akut
202
1. ‘True’ prolaps: reduksi manual, regulasi defekasi pada orang dewasa untuk mencegah
mengedan; rujukan dini pada ahli anak (bayi) atau bedah saluran cerna (dewasa). Jika reduksi
tidak dapat dilakukan berarti terjadi inkarserata yang merupakan suatu kedaruratan bedah.
2. ‘Pseudo’ prolaps mukosa rectum: berikan bulking agent dan sarankan penderita untuk banyak
minum guna menghindarkan mengedan pada saat defekasi. Rujuk pasien pada ahli bedah
saluran cerna untuk tata laksana definitive.
Penatalaksanaan
Stratifikasi resiko: gambar 1 menunjukkan stratifikasi resiko berdasar prediksi model dalam 5
kelas. Hal ini bernilai pada jumlah besar pasien di Amerika.
Sistem scoring: table 1 menunjukkan prediksi model untuk mengidentifikasi resiko pasien
dengan CAP.
1. skor resiko (poin total skor) dengan memberi dari umur pasien dalam tahun (usia – 10 un-
tuk wanita) dan nilai untuk karakteristik pasien (table 1 dan 2)
2. saturasi oksigen <90% menunjukkan abnormalitas
3. model ini dapat menjadi petunjuk dalam keputusan awal (table 3); namun tidak dapat
dipakai pada semua pasien dengan penyakit ini dan seharusnya berhubungan dengan
keputusan dokter.
Terapi: lihat table 4
205
78. Pneumothorax
PERINGATAN
penanganan penumothorax tergantung pada ukuran, keadaan kesehatan si pasien, dan apakah paru-
parunya sakit atau normal.
Tension Penumothorax adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan diagnosis klinis dan pe-
nanganan sebelum CXR. Dorongan trachea adalah gambaran terakhir dari perkembangan tension
pneumotorak
Adalah penting untuk memberikan saran yang tepat kepada semua pasien yang pulang dari rumah
sakit.
Tip khusus bagi dokter umum
Pneumothorax harus dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami sesak nafas akut atau
pasien Marfanoid muda dengan sakit dada unilateral yang tiba-tiba.
Perkirakan Tension pneumotorax pada pasien dengan sesak nafas parah, tachycardia, kerusakan
perfusi perifer, suara nafas hilang dalam satu hemithorax dan meningkatnya vena jugular. Lakukan
dekompresi jarum dengan memasukkan 14G IVvenula kedalam intercostal space mid-clavicular
line kedua dan buang metal stylet sebelum mengirim pasien dengan ambulan ke rumah sakit. Jika
tidak, Pasien akan meninggal. Untuk rincian lanjut, lihat Trauma, Chest.
PENANGANAN AWAL
seorang pasien yang diduga menderita pneumothorax dan memiliki tanda-tanda vital yang tidak
stabil harus ditangani dalam area kritis. Pasien pneumotorak lain dapat ditangani di perawatan
intermediet.
Nilai tanda-tanda vital dan monitor pasien untuk ECG, dan pulse oximetry
Berikan oksigen 100%.
Investigasi
Investigasi utama adalah x-ray dada.
Ukuran pneumothorax ditentukan oleh jarak dari puncak paru-paru ke ipsilateral cupola (puncak
paru-paru) pada permukaan parietal: (1) pneumothorax kecil <3 cm, dan (2) pneumothorax besar ≥3
cm.
PENANGANAN
Penanganan tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. stabilitas pasien
2. ukuran pneumothorax
3. jenis pneumothorax
SARAN PNEUMOTHORAX
Saran Pneumothorax harus diberikan kepada semua pasien yang telah pulang dari ED, dengan
mengabaikan apakah paru-parunya telah meluas atau belum.
Kontraindikasi mutlak, bahkan setelah resolusi sempurna Pneumothorax, meliputi:
1. mendaki gunung
2. menyelam
Kontraindikasi relative, untuk periode 1 bulan setelah resolusi sempurna Pneumothorax (ditunjuk-
kan secara klinis dan pada x-ray), meliputi:
1. Perjalanan udara
aktifitas berat (misalnya mendorong dan menarik beban BERAT)
207
Patofisiologi:
Bensodiasepin menyebabkan depresi umum dari reflek spinal seperti menghambat sistem ak-
tivasi reticular yang menyebabkan letargi/lesu, bicara seperti tertelan, ataksia, hiporefleksia,
mengantuk, stupor, koma atau mungkin henti pernafasan.
Pupil pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebihan biasanya tidak khas dan
umumnya tidak kecil sekali seperti titik jarum seperti pada penderita opiate yangberlebihan.
Setelah penggunaan suntikan IV diazepam dapat terjadi hipotensi dan henti jantung paru
Waktu paruh bensodiasepin sangat bervariasi lebarnya dari 2-5 jam untuk midasolam, 5-30
jam untuk klordiasepoksid dan 50-100 jam untuk flurasepam.
Penanganan
Pengukuran suportif
Penderita dengan penurunan kesadaran dengan gangguan reflek muntah dan depresi pernafasn,
hemodinamik tidak stabil atau koma harus ditangani di ruang kritis
Jalan nafas harus dijaga dan jika perlu penderita dintubasi dan diventilasi. Penderita harus
diberikan Oksigen 100% melalui masker yang tidak menghisap kembali/ non rebreather mask
Penderita harus diperiksa tanda ital, monitoring jantung dan saturasi oksigen setiap 15 menit.
Pertahankan jalur intravena perifer.
Ambil darah untuk darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, lakukan pemeriksaan gula darah di
tempat.
Selama kadar serum bensodiasepin tidak penting selama penanganan akut dari dosis berlebih
tetapi metode kuantitatif dan darah jika ada, dapat dilakukan pada kasus yang belum jelas
Membuat muntah pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebih tidak diperkenankan
karena efek depresi susunan saraf pusat
Pemberian karkoal aktif jika waktu meminumnya dalam 4 jam. Kumbah lambung terbatas
pada penggunaan yang besar atau dimakan bersama dalam waktu 1 jam. Walaupun demikian,
jalan nafas harus dijaga dan penderita diintubasi, jika perlu, selama kumbah lambung ataupun
penggunaan korkoal aktif.
Terapi antidot
208
IV flumasenil dengan dosis 0,2 mg diberikan dalam waktu 30 detik dapat diberikan tergantung
dari respond an diulangi sampai pemberian 0,5 mg. Karena efek yang sebentar, dosis ulangan
dibutuhkan. Walaupun demikian, kontraindikasinya adalah:
1. Jika bersamaan dengan penggunaan antidepresan berlebih dimana efek bensodiasepin dapat
memacu keadaan status epileptikus
2. Flumasenil dapat memicu reaksi putus obat yang akut, bermanifestasi dengan kejang dan tidak
stabilnya sistem autonomi, pada penderita yang mungkin pecandu bensodiasepin
Jika riwayat tidak akurat, kemudian pemberian IV tiamin, IV 50% dekstrosedan IV nalokson
harus disediakan pada penderita denganpenurunan kesadaran. IV nalokson tidak harus diberi-
kan sebagai penggunaan rutin kecuali tidak ada tanda yang dicurigai sebagai pengguna opiate
yang berlebih.
Disposisi :
Semua penderita dengan penggunaan bensodiasepin berlebih harus dirawat di bagian penyakit
dalam dan jika perlu di bagian yang dengan pengawasan yang tinggi atau ICU khususnya pada
penderita dengan yang membutuhkan pendukung ventilator.
209
PENTING
Karbon monoksida adalah asfiksan resfirasi yang berikatan dengan hemoglobin dan myoglobin,
yang akan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen.
Waktu paruh dalam tubuh adalah 5-6 jam
Karbon monoksida memiliki afinitas dengan Hb 250kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen;
menyebabkan pergeseran kurva disosiasi kekiri, menghambat pelepasan oksigen ke jaringan.
Karbon monoksida berikatan dengan myoglobin dan membuatnya menjadi tidak aktif (myoglobin
otot jantung 3 kali lebih besar daripada myoglobin otot skelet). Selama kondisi hipoksemia,
myoglobin jantung menangkap gas CO lebih kuat menyebabkan nekrosis myocardium dan
menekan fungsinya.
Karbon monoksida menyebabkan demyelisasi sel otak, dengan hasil otopsi ditemukan adanya
edema cerebral, nekrosis pada superfisial substansia putih, globus pallidus, cerebrum dan
hippokampus. Sekuele berupa keterlambatan neuropsikiatri terjadi pada 40% kasus.
Keracunan gas monoksida sulit untuk didiagnosis karena ada beberapa tanda dan gejala
patognomonis. Gejala ringan tidak spesifik, seperti sakit kepala, mual dan muntah, pusing.
Beberapa anggota keluarga dapat memberikan gejala yang sama pada saat yang bersamaan seperti
yang sering terjadi pada penyakit flu.
METABOLISME
Karbon monoksida (gas buangan kendaraan, gas rumah tangga) tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa.
Absorpsi melalui inhalasi dan kemudian tidak dimetabolisme; distribusi dalam darah, eliminasi
melalui paru dengan cara ekshalasi
Berikatan dengan sistem sitokrom oksidase; berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan
sitokrom A3
Sumber :
1. Endogen : CO adalah hasil degradasi dari hemoglobin dan komponen lain yang mengandung
hem :
a Kadar karboksihemoglobin (COHb) < 5% pada perokok dan < 10% pada pasien
bukan perokok
b. Pada wanita hamil kadar COHb bisa lebih dari 2-5%
c. Pada bayi normal kadar COHb dapat mencapai 4-5%
d. Pada anemia hemolitik kadarnya dapat mencapai 6%
2. Eksogen :
a Rokok : saat meroko, sebatang rokok mengandung 2.5 kali lebih banyak gas CO
yang akan terinhalasi
b. Perokok seringkali memiliki kadar CO antara 4-10%
c. Kebakaran : menghirup udara dari kebakaran mengandung lebih dari 10% gas CO
(100 kali konsentrasi yang diperlukan untuk menyebabkan kadar letal COHb)
210
d. Gas buangan kendaraan terdiri atas 8% CO, penumpang biasanya terpapar CO karena
tempat duduk yang terlalu dekat dengan sistem buangan kendaraan
e. Metilen cloride pada zat penghilang cat, aerosol dan fumigant sangat mudah diserap
melalui kulit dan secara perlahan dimetabolisme menjadi CO. Perhatikan bahwa
waktu paruh COHb karena paparan metilen cloride dua kali lebih besar daripada
inhalasi.
PAPARAN AKUT
Sistem Saraf Pusat : sakit kepala, neuropati perifer, penurunan kesadaran, koma, kejang, edema
cerebral, perubahan kepribadian dan perilaku, ataksia, gangguan daya ingat
Respirasi : dyspnue dan hyperpnue, bronkopneumonia dan edema paru non kardiogenik
Kardiovaskuler : angina, perubahan ST segmen, takikardi, disritmia ventrikel, hipotensi, infark
myokardial, heart block, jantung kongestif dan henti jantung
Ginjal : oligouria karena gagal ginjal akut, proteinuria, myoglobinuria dan hematuria
Sistem Hematologi : karboksihemoglobinemia, hipoksia jaringan, polisitemia, anemia hemolitik,
koagulasi intravaskuler diseminata, leukositosis
Kulit : sionis lebih sering terjadi daripada cherry red discolouration; bula
Optamologi : perdarahan retina flame-shaped, penurunan kemampuan visual, kebutaan kortikal,
edema papil, skotoma
Muskuloskeletal : rabdomyolisis, myonekrosis, syndrome kompartemen
Catatan : Analisa gas darah biasanya memberikan gambaran PaO 2 normal karena PaO2 adalah cara un-
tuk mengetahui jumlah oksigen yang terdisosiasi dalam darah arteri, bukan jumlah oksigen yang beri-
katan dengan Hb. Banyak analis yang menghitung persentasi saturasi oksigen berdasarkan PaO2.
Penghitungan saturasi oksigen akan memberikan hasil yang jauh berbeda bila dibandingkan dengan
permeriksaan langsung dengan oksimeter. Perbedaan saturasi adalah ciri khas dari keracunan gas CO
Gejala sisa yang mungkin terjadi : gejala sisa berupa kelainan neuropsikiatri yang muncul setelah 3
minggu sampai 3 bulan setelah terpapar karbon monoksida, terjadi pada 40% kasus yang
mengalami perbaikan:
1. Sakit kepala/pusing
2. Gangguan daya ingat
3. Perubahan kepribadian
4. Parkinsonisme
Terapi antidotum : Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2002) menunjukkan
bahwa 3 buah terapi oksigen hiperbarik yang dilakukan dalam 24 jam berhasil menurunkan resiko
gejala sisa berupa kelainan kognitif dalam waktu 6 minggu dan 12 minggu setelah keracunan gas
CO. Keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik adalah untuk mencegah kerusakan yang disebabkan
oleh gas CO bukan menghilangkan gas tersebut.
PERHATIAN
Antidepresan yang umum diresepkan adalah: imipramin, trimipramin, desipramin, amitriptilin,
doksepin, maprotilin dan amoksapin.
Heterosiklik bersifat terikat sangat kuat pada protein (92% pada pH fisiologis); karenanya diuresis,
dialisis dan hemoperfusi tidak memiliki peran dalam tata laksana pada keadaan overdosis.
Pokok dari terapi adalah pemberian natrium bikarbonat karena zat ini mengubah ikatan obat ter-
hadap pompa natrium iokardium dan juga meningkatkan ikatan obat ini pada protein, sehingga
menjadikannya tidak aktif secara farmakologis.
Obat-obatan yang harus dihindari:
1. Obat antiaritmia kelas IA (quinidine, procainamide) dan IC (fleicainide), yang dapat
memperburuk toksisitas ‘serupa quinidine’ pada miokardium.
2. Pnyekat beta dan penyekat kanal kalsium yang dapat memperberat hipotensi.
3. Fenitoin dapat meningkatkan insiden disritmia ventrikel dan penggunaannya masih merupakan
suatu kontroversi.
4. Flumazenil, karena beresiko mencetuskan kejang.
5. Physostigmine beresiko terhadap terjadinya toksisitas pada jantung dan kejang.
PATOFISIOLOGI KLINIS
Efek pada Jantung
Aktivitas antikolinergik yang dapat menimbulkan takikardia
Aktivitas serupa quinidine (hambatan pompa natrium dan kalium) yang dapat menimbulkan blok
intraventrikel dan atrioventrikel. Blok cabang berkas dan fasikulus umumnya didahului dengan
kompleks QRS yang melebar. Sinus takikardia yang menyertai keadaan ini dapat menimbulkan
gambaran yang serupa dengan takikardia ventrikular.
Hipotensi akibat hambatan efek alfa adrenergik perifer.
Edema paru
2. Koreoatetosis
3. Mioklonus
4. Peningkatan tonus otot
5. Hiperrefleksia
6. Respon ekstensor plantar
Efek antikolinergik (dapat muncul maupun tidak; todak adanya tanda berikut tidak menyingkirkan tok-
sisitas)
Flushing
Mulu/kulit kering
Pupil midiriasis
Demam
Bising usus menghilang
Retensio urin
Pandangan kabur akibat gangguan akomodasi
Efek lainnya
Bula pada kulit
Rhabdomyolisis dan gagal ginjal
Pneumonia
ARDS
TATA LAKSANA
Penanganan suportif
Pasien harus ditangani di area yang dilengkapi dengan monitor dan alat resusitasi, termasuk defi-
brillator.
Jaga patensi jalan nafas; lakukan intubasi bila terjadi penurunan tingkat kesadaran atau hilangnya
reflek muntah.
Berikan suplementas oksigen aliran tinggi dengan sungkup non-rebreathing.
Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5-15 menit, pulse oximetry.
Pasang jalur intravena prefer
Pilihan cairan intravena adalah NS
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji saring obat-obatan (ki-
rimkan tabung sediaan ke bangsal bersama pasien jika dicurigai terjadi overdosis akibat lebih dari
1 macam obat).
Catatan: Jangan meminta pemeriksaan kadar obat antidepresan dalam plasma; hasilnya tidak akan
mengubah prosedur tata laksana.
Peneriksaan analisis gas darah untuk memonitor pH seiring perjalanan terapi.
Foto thoraks untuk membuktikan adanya edema paru, pneumonia dan ARDS.
Pasang kateter urine untuk mengawasi produksi urin dan status kecukupan cairan.
Lakukan kumbah lambung jika diindikasikan dan kirimkan hasil bilasan pertama ke bangsal
bersama dengan pasien.
214
Terapi medikamentosa
Arang aktif: dosis 1 mg/kg BB. Berikan melalui pipa orogastrik
Alkalinisasi darah sampai nilai pH 7,45 – 7,50. Cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan
kombinasi hiperventilasi dan pemberian natrium bikarbonat:
1. Jika pasien diintubasi, ventilasi mekanis dengan kecepatan 20x/menit umumnya memadai
untuk sebagian besar orang dewasa.
2. Natrium bikarbonat 1-2 mmol/kgBB diberikan secara bolus IV pelan selama 20-30 menit.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan bila lebar komplek QRS setidaknya 100 ms.
Hipotensi
Pendekatan pertama adalah dengan menggunakan NS dan alkalinisasi.
Jika respon tidak abaik atau tidak ada: berikan terapi medikamentosa
Noradrenalin atau dopamine dosis tinggi: keduanya efektif pada saat awal toksisitas.
Dosis: Noradrenalin: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 0.5-1.0μg/menit dan dititrasi sam-
pai tercapai efek yang diinginkan.
Dopamine: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 10-20μg/kgBB/menit dan dititrasi
sampai tercapai efek yang diinginkan.
Kegagalan dari semua upaya di atas menunjukkan perlunya dipertimbangkan penggunaan pompa
balon intra aorta (IABP).
DISPOSISI
Konsultasi dengan Penyakit Dalam; tetap pertimbangkan perawatan di ICU/HD untuk pengawasan
lebih lanjut. Deteriorasi signifikan kasus semacam ini diketahui terjadi beberapa jam sampai hari
setelah ingesti awal.
215
Caveats
Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang berikatan secara irre-
versible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan dietilfosfat.
Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara kompetitif memblok
efek muskarinik asetilkolin.
Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction pada otot
bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan kolinesterase yang
menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn pralidoxine harus diberikan dalam
waktu 24-36 jam pertama setelah paparan. Jika tidak, molekul kolinesterase dapat berikatan
erat serta kolinesterase baru akanmembutuhkan waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau insectisida dan
pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap gastroenteritis.
Patofisiologi
Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada akumulasi asetilkolin
yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise, neurotransmisi
pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan muskarinik:
1. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena gejala dan
tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L lacrimasi
S salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. depresi nafas
c. Kejang dan koma
Manajemen
216
Terapi suportif
Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi perkutaneus dan
inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang selalu tersedia.
Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px seluruhnya.
Pertahankan patensi jalan nafaslakukan intubasi orotrakeal jika px apnue, atau tidak memili-
ki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada bronkorhoea.
Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam pertama setelah inges-
tion.
Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
Pasang jalur IV.
Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting dan diare.
Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan specimen toksikologi
serum
Terapi Obat
Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. penggunaan utamanya adalahreduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10 mneit sampai
sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit kering, taikardia, midriasis, dan
mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10 menit sampai
sekresi terkontrol.
Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan fasikulasi, perbaikan
kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemverian pralidoxim bisaanya mengurangi jumlah atropine yang diberikan serta dapat
unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan restlessness dan
mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk mengkontrol ke-
jang.
Penempatan
Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus MRS
setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed tidak akan berkembang.
.
217
Merupakan kasus overdosis obat yang paling sering, dimana pada dosis 7,5 gr(15 tablet @
500mg) secara empiris sudah mencapai ambang terjadinya intoksikasi.
Efek toksis sudah dapat terjadi bila seorang dewasa menelan >150mg/kg BB atau 7,5g (15
tablet @ 500mg)
Efek toksis dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi hati, bersamaan minum obat antikonvulsi atau pasien anoreksia yang mengalami keku-
rangan glutation.
Pada kasus2 seperti di atas, pakailah garis pengobatan resiko tinggi pada tabel/normogram
Rumack-Matthew dibanding garis normal pengobatan.
Pedoman penanganan berdasarkan normogram Rumack-Matthew hanya bermanfaat dalam
menentukan kebutuhan dosis antidote N-acetylcystein (Parvolex) hanya pada intoksikasi tung-
gal dan akut.
N-acetylcystein (NAC) paling efektif diberikan dalam waktu 8 jam pertama setelah menelan.
Kadang masih di berikan pada 24 jam pertama, bila dari anamnesis diperoleh data overdosis
yang signifikan dan pemeriksaan serum parasetamol tidak tersedia.
Pedoman filosofi dalam managemen intoksikasi parasetamol adalah “bila ragu/ tidak jelas,
berikan NAC”.
218
Pasien dengan overdosis parasetamol sering tampak baik2 saja pada tahap awal, biasanya han-
ya mengeluh mual2 dan muntah.
Jangan merangsang penderita untuk muntah sebelum mengirim ke IRD.
Penatalaksanaan:
Penderita intoksikasi parasetamol harus dirawat di ruang intermediate, juga bias di pindah
diruang kritis bila terjadi hemodinamik tidak stabil atau depresi status mental.
Depresi status mental harus dicari kemungkinan penderita intoksikasi obat lain yang ditelan
secara bersamaan.
Intoksikasi obat secara tunggal sangat tidak biasa.
Pertahankan jalan nafas, pasang intubasi orotrakeal tube jika terjadi penurunan refleks muntah
(antisipasi kumbah lambung atau pemberian karbon aktif atau keduanya)
Lakukan kumbah lambung bila kejadian menelan obat terjadi dalam 1 jam pertama dan ambil
cairan lambung untuk pemeriksaan toksikologi.
Studi terakhir pemasangan NGT tidak harus dilakukan,kecuali benar dipastikan bahwa pende-
rita menelan parasetamol dalam dosis toksis dan datang ke IRD pada jam pertama.
Beberapa peneliti mengatakan NGT baru dipasang bila akan dilakukan kumbah lambung.
Laboratorium:
4. keputusan yang lebih bijaksana adalah berdasarkan hasil pemeriksaan kadar serum paraseta-
mol pada 4 jam setelah menelan.
Karena pemberian NAC tidak diindikasikan waktu kurang dari 4 jam pertama setelah menelan.
Parvolex®(N-Acetylcystein) IV Infusion
Dosis pada orang dewasa:
Dosis inisial: 150mg/kgBB iv selama 15 menit, dilanjutkan infuse secara kontinyu
(50mg/kgBB dalam 500mL 5% dextrose dalam 4 jam), dilanjutkan infuse secara
kontinyu(100mg/kgBB dalam 1L D5% selama 16 jam).
Dosis total: 300mg/kg dalam 20 jam.
CAVEATS
termasuk aspirin, peptobismol, sport liniments, minyak wintergreen, dan obat
tradisional cina
keracunan ringan ditandai dengan
1. hyperpnoea dengan alkalosis respiratorik ( oleh karena stimulasi dari pu-
sat respirasi )
2. tinnitus merupakan tanda ototoksik yang jelas
alkalinisasi urine diindikasikan untuk pasien resiko dan kadar salisilat > 30
mg%;
1. salisilas adalah asam yang di ekskresi lewat urin dan meningkat karena
ionisasi
2. ginjal hanya menyerap salisilat yang tidak terionisasi; setelah urin
leralkalinisai.
3. jika PH urin meningkat sampai 8, maka ekskresi salisilat dalam urin akan
meningkat 10-20 kali.
Management
Supportive measure
pasien dengan penurunan kesadaran dan tanda vital yang buruk harus di tem-
patka di P1
pelihara jalan nafas, pasang intubasi bila reflel muntah sudah hilang (juga
diantisipasi dengan gastric lavage), atau pasien dengan hipoksemia.
Berikan O2 100 % melalui NRBM
Monitoring ECG, pulse oksimetri, dan vital sign tiap 5-15 menit.
Pasang gastric lavage bila kejadian kurang dari 1 jam.
Pasang infuse
Berikan cairan kristaloid untuk memperbaiki perfusi perifer
221
Laboratorium;
1. kadar serum salisilat
2. analisa gas darah
3. darah lengkap, test fungsi ginjal, elektrolit, fungsi hati.
Drug terapy
aktif chargo, dg dosis 1g/kgbb
sodium bikarbonat, dosis bolus 1-2 mmol/kgbb 8,4% NaHCO3
infusion; 150 mmol NaHCO3 8,4 %(150ml) dalam 850 cc D5, mulai 1,5 -2
kali maintenance dititrasi sampai PH 7.5-8
Disposisi
untuk keracunan yang berat dan terdapat peningkatan kadar serum salisilat
yang cukup tinggi, pasien di disposisi ke ICU/HD
Caveats
Thrombotic Pulmonary Embolism (PE) bukan merupkan penyakit yang terpisah dari dada,
namun merupakan komplikasi venous thrombosis. Deep venous Thrombosis (DVT) dan PE
merupakan bagian dari proses yang sama, venous thromboembolism.
DVT pada kaki ditemukan pada 70% pasien PE. Sebaliknya PE terjadi pada 50% dengan DVT
di kaki (yang melibatkan popliteal dan atau vena yang lebih proksimal) dan kurang sering
terjadi ketika thrombus didapatkan pada vena daerah betis.
Faktor predisposisi PE dan DVT sama dan memenuhi trias Virchow stasis vena, cedera
dinding vena dan peningkatan koagulabilitas darah. (tabel 1)
Tabel 1 : Beberapa Faktor Resiko yang sering didapatkan pada Venous Thromboembolic Disease
Stasis aliran Immobilisasi lama meliputi perjalanan yang lama, stroke
Trauma mayor atau pembedahan dalam 4 minggu
Gagal jantung kongestif
Obesitas
Peningkatan usia
Cedera spinal cord
Shock syndromes
Kerusakan endotel Trauma local
Pembedahan pada kaki dan pelvis
Vaskulitis
Luka bakar
Shock elektrik
Infeksi
Riwayat thromboembolisme sebelumnya
Abnormalitas koagulasi Polysitemia
Abnormalitas platelet
Obat kontrasepsi oral yang tinggi estrogen
Neoplasia malignan
Defisiensi antitrombin III, protein C atau S
Catatan : pada pembedahan serial, resiko venous thrombolisme meningkat dengan cepat seiring usia,
panjangnya waktu pembiusan, dan adanya previous venous thromboembolism atau kanker. Insiden
tertinggi terdapat pada px yang akan menjalani pembedahan emergency setelah trauma (cth fraktur
panggul) dan pembedahan pelvis. Pada medical series, venous thromboembolism sering terjadi pada
cardiorespiratory disorder (cth gagal jantung kongestif, irreversible airway disease), dengan immbili-
tas kaki (disebabkan oleh stroke dan penyakit neurologik lain), juga oleh kanker.
Catatan :
1. PE massif tanpa hipoksemia jarang terjadi jika arterial oxygen tension (PaO2) normal,
merupakan diagnosis alternative harus dipertimbangkan.
2. Walaupun PE mengganggu eliminasi karbondioksida, hiperkapnia jarang terjadi.
3. Px dengan PE massif jelas akan Nampak dispneu namun tidak orthopnoeic.
4. Sub akut massif PE menyerupai gagal jantung atau indolent pneumonia, terutama pada
lansia.
Catatan : Identifikasi factor resiko juga dapat memandu keputusan penggunaan profilaksis dan
pengulangan pemeriksaan pada kasus borderline.
Case Fatality rate kurang dari 5% pada px yang stabil hemodinamikanya, dan pada px dengan
hipotensi persisten adalah sekitar 20%.
PE dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama (tabel 2)
Hampir semua px PE akan memiliki satu atau lebih manifestasi sbb:
1. Dispneu dengan onset mendadak
2. Takipneu (>20x/menit)
3. Nyeri dada (pleuritik atau substernal)
Catatan : jika manifestasi ini juga diserta tanda pada EKG yaitu right ventricular strain dan
atau gambaran radiologist menunjukkan tanda plump hilum, infark pulmonal atau oligaemi,
kemungkinan terjadinya PE adalah tinggi. Kemudian keadaan ini akan menjadi factor resiko
untuk venous thromboembolism dan arterial hipoksemia tanpa hipokapnia. Sebaliknya tidak
munculnya 3 manifestasi tersebut akan menyingkirkan dx PE.
Catatan : Px dengan kemungkinan PE yang rendah, jika di tes dengan D-Dimer ELISA Assay yang
negative, maka dapat menyingkirkan dx PE dengan meyakinkan. Dengan kontras, jika D-dimer positif
pada px dengan probabilitas pretest yang rendah, maka px harus direevaluasi. D-dimer yang negative
tidak dapat digunakan secara meyakinkan untuk menyingkirkan PE pada px dengan resiko tinggi atau
intermediate.
Berikan oksigen via non-rebreather mask atau intubasi jika tidak mampu untuk
mempertahankan oksigenasi.
Catatan : intubasi dapat menurunkan keadaan hemodinamik dengan menyebabkan
impending venous return.
Pasang 2 jalur IV ukuran besar dan kirim darah untuk pemeriksaan. Mulai resusitasi cairan.
Catatan : terapi trombolitik dipertimbangkan, dan jalur antecubital lebih disukai.
Jika BP masih rendah walaupun telah dilakukan resusitasi, maka mulai pemberian inotropik.
Catatan : inotropik mungkin tidak akan berefek selain mencetuskan disritmia ketika
cardiac output menurun, dilatasi ventrikel kanan akan menjadi hipoksik dan akan
mendekati stimulasi hampir maksimal dari konsentrasi tinggi katekolamin endogen.
Penggunaan yang bijaksana dari IV Noradrenalin dititrasi terhadap peningkatan
moderat BP mungkin akan bermanfaat.
Berikan analgesik
Catatan : Opiates harus digunakan dengan hati-hati pada px hipotensi.
Kontak TKV untuk MRS pada CT ICU
Caveats
Mekanisme patogen utama adalah sympathetic overdrive dengan distribusi sentral volume
darah yang dihasilkan oleh peningkatan left ventricular end-diastolic volume and pressure.
Karena tidak ada overload volume, manajemen dengan penggunaan vasodilator harus menjadi
dasar terapi utama dibandingkan dengan diuretic.
Target terapi edema pulmonal adalah resolusi sympathetic drive, yang ditandai dengan nor-
malnya nadi, restorasi ekstremitas yang kering dan hangat serta kenyamanan px.
BP akan menjadi panduan untuk mengetahui keberhasilan terapi dibanding dengan target tera-
pi itu sendiri.
CPAP mask adalah efektif, namun membutuhkan px yang sadar dan kooperatif, penggunaann-
ya pada edema pulmonal kemungkinan sangat terbatas.
Lakukan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya inferior/right ventricular infarction (yang
merupakan kontraindikasi nitrat)
Cek Darah: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, dan troponin T
BGA diambil sebagai dasar penilaian
CXR portabel
Kateterisasi untuk mengukur urin output.
Terapi farmakologis
Pilihan Obat
1. Nitrogliserin : 10-200µg/menit. Mulai dengan 10 µg/menit, perlahan meningkat sampai 5
µg setiap 5 menit.
Titrasi untuk respon dan efek BP. Tidak ada monitoring invasive yang diperlukan.
Turunnya BP dapat terjadi cepat dengan menggunakan dosis tinggi. Lakukan monitoring
berlanjut terhadap BP. Infus harus diturunkan ketika MAP mencapai 90mmHg.
2. nitropruside : 0,25-10 µg/kg/menit. Mulai pada dosis rendah dan titrasio sampai berespon.
Merupakan vasodilator yang sangat kuat. Monitoring invasive biasanya diperlukan.
Perawatan harus dilakukan untuk mencegah penurunan BP.
3. Hydralazine : IV 10mg setiap 30 menit
Vasodilatasi kuat, efek dapat bertahan sementara waktu. Harus dilakukan untuk
monitoring px, terutama bila dikombinasi dengan obat lain.
Obat lainnya
1. furosemide : 40-80 mg IV bolus
Efektif namun bervariasi pada onset efek yaitu antara 20 menit sampai 2 jam. Efek tidak
dapat dititrasi. Efeknya tidak fisiologis. Dosis tinggi diperlukan pada px gagal ginjal.
2. Morfin : 0,1 mg/kg. Diberikan sebagai bolus tambahan 1 mg. beberapa regimen dimulai
dengan IV morfin 3-5mg. merupakan venodilator yang lemah dibanding dengan obat lain,
tidak mudah dititrasi, juga menurunkan respiratory drive. Hindari bolus dalam jumlah be-
sar karena dapat menyebabkan apneu.
Obat Oral : dapat diberikan bila akses IV terlambat atau tidak mungkijn dilakukan. Dapat dit-
ambahkan sebagai kombinasi untuk edema pulmonal akut.
1. Gliseril trinitrat : 0,5 -1,5 mg dapat diberikan SL. Dalam bentuk tablet atau aerosol spray.
Efek serupa dengan bentuk IV .
2. Captopril : SL captopril 6,25 mg atau 12,5mg. Dosis tergantung pada BP dan bila
digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan obat lain. Efek tidak mudah
dititrasi.
Regimen Kombinasi
1. IV GTN ditambah dengan Furosemide : Furosemid diberikan dalam stat dose, sedangkan
IV GTN diberikan sebagai infus yang dititrasi. Dosis infus IV GTN harus lebih rendah.
2. IV GTN ditambah dengan Captopril : SL captopril diberikan sebagai stat dose, IV GTN
diberikan seperti diatas.
3. Furosemide ditambah dengan morfin : kombinasi tradisional.
Hipotensi mengindikasikan adanya gagal jantung yang severe dengan cardiac output yang
rendah (Killip Class IV). Manajemen edema pulmonal dengan hipotensi memberikan tan-
tangan yang besar bagi seorang dokter emergency.
IV dobutamin (5-20 µg/kg/menit) atau IV Dopamin (5-20 µg/kg/menit) dapat ditambahkan
pada regimen terapi edema pulmonal untuk membantu mempertahankan BP setidaknya
90mmHg SBP. Pada situasi seperti itu, agent yang diberikan pada edema pulmonal harus da-
lam bentuk IV, dengan kerja yang cepat serta dapat dititrasi dengan efektif.
Pasien dapat diintubasi lebih awal karena sebagian besar obat yang digunakan pada edema
pulmonal dapat menyebabkan penurunan BP. Hindari obat yang meiliki efek negative in-
otropik seperti thiopentone.
IV etomidate merupakan pilihan baik karena stabil terhadap kardiovaskular.
Penempatan
MRS-kan px dibawah ini pada CCU:
1. pasien yang diintubasi
2. concomitant ACS
MRS-kan px yang membutuhkan CPAP pada high Dependency unit
MRS-kan px sisanya pada bangsal umum kardiologi.
230
Hiperkalemia
Caveats :
Severitas hiperkalemia terkait dengan kadar potassium plasma namun tergantung juga pada
variabilitas antar pasien. Perkembangan hiperkalemia dapat berefek secara signifikan pada
keadaan klinis pasien. Jangan menunggu selesainya pemeriksaan kadar potassium untuk
memberikan terapi bila pemeriksaan klinis serta EKG menunjukkan hiperkalemia.
Manifestasi klinis dapat menyebabkan protean. Perubahan EKG jika terjadi akan sangat
berguna namun cukup sulit untuk dinterpretasi dan mungkin juga tidak muncul pada beberapa
pasien hiperkalemia berat. Asidosis metabolic dan hipokalsemi dapat memburuk pada severe
hiperkalemi.
Pada setting klinik (cth gagal ginjal kronis, diabetic neuropathy) dengan perubahan EKG kon-
sisten dengan hiperkalemi berat (lihat gambar 1), akan lebih tepat untuk mempertimbangkan
terapi empiris jika hasil potassium serum tidak bisa didapatkan secara cepat.
Kadar potassium serum lebih besar dari 5,5 mmol/l dipertimbangkan sebagai hiperkalemi.
Pseudohiperkalemia banyak terjadi karena hemolisis ekstravaskular. Penyebab lain meliputi
trombositosis berat dan lekositosis.
Beratnya hiperkalemi adalah sebagai berikut:
Ringan : kadar potassium < 6,0 mmol/l dan EKG dapat normal atau hanya menunjukkan
peaked T wave.
Moderat : kadar potassium 6,0-7,0 mmol/l dan EKG dapat menunjukkan peaked T waves
Severe : kadar potassium 7,0-8,0 mmol/l dan EKG menunjukkan pendataran gelombang P
serta pelebaran QRS; 8,0-9,0 menunjukkan fusi QRS dengan gelombang T (sine wave) yang
menyebabkan disosiasi A-V, disritmia ventrikel, dan kematian.
Berikan Dekstrose/insulin : 40-50 ml D50W IV selama 5-10 menit dan 10 unit insulin regular
sebagai bolus terpisah. Onset : 30 menit, durasi : 4-6 jam. Direkombinasikan setelah terapi so-
dium bikarbonat.
Berikan sodium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV sebagai bolus selama 5 menit pada pasien dengan
asidosis metabolic moderat sampai severe; ulangi setelah 5 menit pada asidosis metabolic. On-
set : 5 menit, durasi 1-2 jam.
Catatan : lebih bermanfaat pada pasien asidosis yang hebat (dapat tidak berefek pada pasien non-
asidosis). Harus digunaikan dengan hati-hati pada pasien CRF karena dapat menyebabkan over-
load cairan dan memprovokasi hipokalsemi tetani atau kejang karena alkalosis akut
Berikan salbutamol : tambahkan 5 mg 3-4 ml salin dan nebulisasikan selama 10 mneit. Onset :
30 menit, durasi 2 jam. Salbutamol dapat digunakan dengan hati-hati dengan iskemic heart
disease yang dicurigai atau telah ada.
CRF dengan overload cairan tanpa adanya akses intravena yang tercapai
Lakukan 4 langkah diatas
Terapi obat
1. Morfin 5-10mgIM
2. GTN 0,5mg SL atau nitroderm 5-10mg patch
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mgPO
Pasien sering muncul dengan gejala yang nonspesifik dengan efek klinik yang tertutupi oleh
tanda dan gejala dari penyakit lainnya.
Asidosis metabolic harus dicurigai pada pasien dengan hiperventilasi, AMS dan instabilitas
hemodinamik.
Manajemen
Terapi suportif
1. Tangani pada area critical care
2. pastikan patensi jalan nafas
3. Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit
4. Pasang jalur IV dengan NS
5. Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, GDA, BGA, osmolalitas serum, urinalisis, EKG
6. X ray : tidak ada manfaat yang spesifik pada keadaan asam basa. Namun KUB dapat
digunakan untuk mengidentifikasi substansi yang telah ditelan, cth : tabelt besi, atau ma-
salah GI yang menyebabkan ketidakseimbangan asam basa, seperti obstruksi bowel atau
iskemik bowel.
Prioritas Keputusan
Ketika hasil lab telah ada, dan akurat, 3 langkah untuk melanjutkan evaluasi keadaan asido-
sis. Lihat bab Acid Base Emergencies dan rumus yang disarankan untuk lebih detilnya.
1. tentukan abnormalitas asam basa primer dan sekunder
2. Perhitungkan osmolal gap untuk mendeteksi adanya low molecular weight osmotically ac-
tive substance (lihat rumus yang disarankan).
3. review kadar potassium yang berhubungan dengan pH abnormal (lihat bab Useful Formu-
lae).
Terapi Spesifik
Terapi bikarbonat adalah untuk mengembalikan keadaan asidosis organic yang hebat serta
yang dapat kembali dengan mudah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pH arterial diatas
7,2. Tidak perlu untuk mengkoreksi pH jika pH 7,2 atau lebih kecuali ada maalah yang
mengancam nyawa yang perlu ditangani. Tidak ada rumus yang sempurna namun rumus
dibawah ini dapat digunakan : Dosis NaHCO3 [mEq] = ([HCO3-] yang diinginkan – [HCO3]
yang terukur) x 50% berat badan dalam kg. setengah dosis diberikan pada awal, sedang si-
sanya disesuaikan dengan hasil lab. Jangan bertujuan untuk mengkoreksi bikarbonat sampai
pada kadar yang normal.
Dosis : terapi bolus direkomendasikan hanya pada asidosis berat atau jika ada hemo-
dinamik compromise. Pasien dengan asidosis yang kurang mengancam nyawa dapat diterapi
dengan infus IV bicarbonate. Tambahkan 100-150mEq NaHCO3- (2-3 ampul NaHCO3-
8,4%) pada 1 liter D5W serta berikan selama 1-2 jam dengan mengulangi BGA sebagai pe-
doman terapi.
Komplikasi potensial dari terapi adalah hipernatremi, hiperosmolalitas, overload volume,
hipokalemi, dan alkalosis posttreatment.
Indikasi Dialisis
Edema pulmonal severe
Hipertensi berat tidak terkontrol dari overload cairan yang severe tidak berespon terhadap diu-
retic.
Hiperkalemi
Asidosis metabolic yang berat
Beberapa keracunan, cth : methanol, ethylene glikol, salisilat (severe)
Uremia, termasuk perikarditis dan ensefalopati
Hemodialisis
A. komplikasi terkait akses vascular
Perdarahan
1. tekan pembuluh darah namun jangan menyumbatnya dengan tekanan yang ber-
lebihan
2. catat adanya thrill
3. lanjutkan dengan konsultasi pada Dialysis Access Team serta Renal medicine.
Loss of thrill in shunt : konsultasi cepat pada Dialysis Access Team serta Renal medi-
cine.
Infeksi
1. sementara tanda klasik sering muncul, namun pasien juga dapat muncul dengan
keluhan demam saja.
2. lakukan FBC dan kultur darah, berikan dosis awal antibiotik, cth: IV ceftazidi-
me 1-2g.
3. MRS pada Renal medicine;
B. Komplikasi terkait dengan non-vaskular
Hipotensi
1. hipotensi post hemodialisis dapat terjadi karena penurunan volume intravaskuler
di sirkulasi. Cek seberapa banyak cairan hilang pada saat melakukan hemodiali-
sa.
2. masalah yang serupa juga terjadi pada peritoneal dialysis, yaitu hilangnya cairan
selama peritoneal dialisa.
3. sebagian besar kasus membutuhkan observasi setelah dialisa, namun juga mem-
butuhkan cairan IV.
4. Pertimbangkan dan eksklusikan :
a. Occult Haemorrhage : lakukan PR untuk mendeteksi perdarahan GIT.
b. AMI akut/ disritmia atau tamponade jantung
c. Hiperkalemi yang mengancam nyawa; berikan terapi empiris.
d. Infeksi.
e. Emboli udara atau pulmonal dan hemolisis akut saat hemodialisis
Dispneu
1. sebagian besar karena overload volume: pertimbangkan gagal jantung men-
dadak, tamponade jantung, efusi pleural, asidosis berat, anemia berat (yang be-
rasal dari kehilangan darah akut dan kronis) serta sepsis.
2. Eksklusi MI akut ; juga emboli udara dan emboli pulmonal atau dan hemolisis
pada hemodialisis.
Nyeri dada
1. sebagian besar iskemik yang berasal dari underlying IHD dan di eksaserbasi
dengan hipotensi transient dan hipoksemia terkait dengan proses dialysis. Juga
pertimbangkan emboli pulmonal, hemolisis akut dan emboli udara pada hemo-
dialisis.
2. manajemen : EKG, monitoring, enzim kardiak.
3. Konsultasi dengan renal medicine dan atau bagian kardiologi.
4. pertimbangkan penyebab nyeri dada non iskemik seperti pericarditis, penyakit
paru/pleural, refluks esofagitis, gastritis atau ulkus peptikum.
Disfungsi Neurologi
1. Eksklusi abnormalitas elektrolit, infeksi, katastropik intracranial mayor.
2. Manajemen :
a. Cek GDA, urea/elektrolit/kreatinin, BGA
b. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
c. Cari abnormalitas neurologik fokal baru dan lakukan CT scan
234
3. Kejang : terapi seperti bisaanya. Konsul renal medicine dan atau bagian neurolo-
gy.
Peritoneal Dialisis
Komplikasi terkait dengan Dialisis
Peritonitis
1. Cloudy Effluent, nyeri abdomen non-spesifik, malaise, demam, dan kasus kedinginan
yang ringan sampai moderate.
2. Vomiting, nyeri hebat, syok, dan tanda klasik peritonitis pada beberapa kasus yang se-
vere.
3. manajemen
a. cek FBC, urea/elektrolit/kreatinin dan kultur darah
b. berikan antibiotik cth IV Ceftazidime 1-2 g
4. Informasikan pada Renal Medicine
Kebocoran kateter
Hipotensi
Akut abdomen
1. karena kondisi intraabdomen yang serius yang mirip dengan peritonitis
2. konsultasi pada Renal medicine dan bedah umum.
Catatan : pasien CAPD memiliki resiko hernia abdominal/inguinal karena peningkatan teka-
nan intrabdomen, serta obstruksi intestinal sekunder akibat adhesi.
Infeksi tunnel/kateter ext site
1. sering sulit untuk dideteksi secara klinis
2. Konsultasikan pada Renal Medicine.
235
Definisi
Tipe I : PaO2 ≤ 60 mmHg (8 kPa)
Tipe II : PaCO2 ≥ 55 mmHg (7 kPa) dengan atau tanpa oksigenasi yang rendah.
Caveats
Pasien dengan gagal nafas tipe II saja dapat terlihat ‘nyaman namun memperdayakan’, dimana
px tidak menunjukkan takipneu. Pasien hiperkarbi terlihat mengantuk, sedangkan pasien
hipoksia sering terlihat agitasi, dan kadang berlaku kasar. Mereka membutuhkan pemeriksaan
BGA ulang untuk monitoring PaCO2 atau end tidal CO2.
SaO2 91% berespon terhadap PaO2 60 mmHg secara umum, namun keadaan ini dipengaruhi
pH, temperature dan level 2,3 DPG.
Jangan memberi terapi kadar PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan chronic compensated
gagal nafas tipe II, cth jika pH normal (pH > 7,35).
Selalu berikan oksigen sebanyak mungkin yang diperlukan untuk mengkoreksi hipoksia (SaO 2
> 90% namun tidak > 95%)
Gunakan pulse oksimetri untuk mentitrasi oksigenasi (SaO2) dan BGA untuk mengevaluasi
ventilasi (CO2 dan pH).
Jika CO2 mulai meningkat karena hilangnya hipoksik drive, pasien butuh support ventilasi
dalam bentuk biphasic positive airway pressure (BIPAP), atau Intermittent positif Pressure
Ventilation (IPPV).
Penyebab umum meliputi :
1. Edema pulmonal
2. Pneumonia
3. Emboli paru
4. asma berat/COLD
5. trauma dada
6. Tenggelam
7. Aspirasi
8. acute respiratory distress syndrome
9. Metastase pulmonal
Catatan : untuk pasien hiperventilasi dengan penemuan normal pada dada. Lihat Hiperventilasi.
Pertimbangkan serius dx Emboli paru pada pasien hipoksik dengan CXR normal. Lihat bab
Pulmonary Embolism.
Pasien yang mengalami aspirasi, mungkin mengalami perunbahan CXr yang terlambat.
Terapi oksigen; lihat tabel 1.
Tips khusus Bagi Dokter Umum:
Berikan oksigen pada semua pasien yang mengalami dispneu sampai ambulan datang wa-
laupun px tidak terlihat sianosis.
Nasal prongs 1. aliran rendah 1. mudah 1. FiO2 tidak pasti 1. pasien kurang
(1-6 l/menit) digunakan 2. FiO2 maksimum < hipoksik
2. FiO2 0,24-0,40 2. tidak 40% 2. pasien dengan
(rata-rata 3- mengganggu riwayat retain-
4%/l) aktivitas bicara ing Cos
3. FiO2 bervaria- dan makan
si 3. compliance
lebih baik
1. menghasilkan
Simple mask 1. aliran lambat FiO2 yang 1. kurang nyaman, 1. pasien hi-
(5-10l/menit) lebih tinggi da- panas dan mem- poksia sedang
2. FiO2 0,35-0,50 ripada nasal batasi yang tidak
(sekitar 3-4%) prongs 2. mengganggu saat memiliki
bicara dan makan COLD
3. dapat menyebab-
kan rebreathing
CO2 jika aliran di
set terlalu rendah
4. FiO2 bervariasi
Manajemen
tangani pada area resusitasi
berikan oksigen aliran tinggi via face mask dan monitoring jantung secara kontinous, RR dan
saturasi oksigen. Kurangi FiO2 sesuai pulse oksimetri dan atau monitoring blood gas yang
berkala setelah perbaikan pada px COLD. Target saturasi O 2 pada px COLD adalah 90-92%
namun tidak > 92%. Awasi px mungkin saja terdapat perburukan retensi CO2 dan narcosis.
Tanda klinis perburukan retensi CO2 dan asidosis respiratori tidak dapat dipastikan.
Pemeriksaan BGA diperlukan.
Semua px dengan COLD membutuhkan pemeriksaan BGA setelah titrasi oksigen dan terapi
awal diberikan dengan pengulangan nebulisasi bronkodilator.
237
Lakukan anamnesa secara cedpat untuk menentukan target pemeriksaan dalam mencari
penyebab dasar gagal nafas.
Terapi penyebab yang mendasari.
Jika px tidak membaik dengan pemberian oksigen dan terapi penyebab dasar, pertimbangkan
support ventilasi mekanis.
Pada hipoksia berat atau gagal nafas tipe I akut, pertimbangkan CPAP (non invasive) atau
PEEP (intubasi px)
Pada hiperkapnia berat atau gagal nafas tipe II akut, pertimbangkan IPPV atau non invasive
lain atau post intubasi.
Pertimbangkan BIPAP bagi pasien COLD dengan retensi CO 2 dan pH antara 7,26 dan 7,32.
pasien dengan pH < 7,26 bisaanya membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik.
Jangan memberikan sodium bikarbonat pada px dengan pH yang rendah karena adanya retensi
CO2. hal ini akan mengeksaserbasi asidosis respiratori.
238
Definisi
Infeksi : fenomena microbial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap adanya
mikroorganisme atau invasi jaringan tubuh yang steril oleh organisme tersebut.
Bakteremia : adanya bakteri yang viable pada darah.
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : merupakan respon inflamasi sistemik
terhadap berbagai hasil klinis yang parah. Respon tersebut bermanifestasi dalam ≥ 2 kondisi
dibawah ini :
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang immature
(band)
Sepsis : merupakan respon sistemik terhadap infeksi, ditandai oleh ≥ 2 kondisi sebagai beri-
kut:
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang immature
(band)
Severe Sepsis : sepsis yang terkait dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi.
Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat terkait namun tidak terbatas terhadap asidosis lak-
tak, oliguri, atau perubahan status mental yang akut.
Syok Septik : sepsis yang diinduksi hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang
adekuat selama adanya abnormalitas perfusi yang dapat terlibat namun tidak terbatas pada asi-
dosis laktat, oliguri, atau perubahan status mental yang akut. Pasien yang menerima obat in-
otropik atau vasopressor mungkin tidak akan mengalami hipotensi pada saat terjadi abnormali-
tas perfusi.
Sepsis yang diinduksi hipotensi: sebuah SBP < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari
baseline dimana tidak ada penyebab hipotensi yang lain.
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : adanya perubahan fungsi organ pada pasien
yang sakit akut, sehingga homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
Caveats
Pada pasien lansia, anak kecil, atau immunocompromise, manifestasi klinis dapat tidak khas
tanpa adanya demam atau lokalisasi yang jelas dari sumber infeksi. (lihat bab Geriatric
Emergencies).
Gejala sepsis meliputi demam, kedinginan dan gejala konstitusional seperti fatigue, malaise,
kecemasan atau kebingungan. Gejala ini tidak pathognomonik untuk infeksi dan mungkin
dapat terlihat dalam variasi yang luas dari kondisi inflamasi non-infeksi.
239
Abnormalitas tanda vital seperti takipneu, takikardi dan peningkatan pulse pressure dapat
menunjukkan sepsis walaupun tidak didapatkan demam.
Catatan : pada tahap awal sepsis, cardiac output dipertahankan dengan baik atau meningkat,
berakibat pada kulit dan ekstremitas yang hangat. Seiring perjalanan sepsis, pasien mulai
menunjukkan tanda perfusi distal yang buruk, cth : kulit dan ekstremitas yang dingin. Sehingga,
late syok septic tanpa adanya demam sulit dibedakan dengan tipe syok yang lain dan tingkat
kecurigaan yang tinggi sangat diperlukan.
Lokasi infeksi yang paling sering ditemukan dapat dilihat pada tabel 1.
Manajemen
Harus ditangani pada area resusitasi
Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen aliran tinggi. Intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan jika jalan nafas terncam atau jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat.
Pasang 2 jalur IV dan koreksi hipotensi secara agresif dengan resusitasi cairan ( 1-2 liter
kristaloid). Pertimbangkan central venous line.
Lab :
1. GDA
2. FBC
3. kultur darah (2 tempat yang berbeda)
4. DIVC screen
5. Urea/elektrolit/kreatinin
6. BGA
7. Kultur Urin
CXR untuk mencari tanda konsolidasi dan ARDS
Pertimbangkan EKG
Pasang kateter urin untuk monitoring urin output.
Semua px harus menerima terapi antibiotik empiris segera mungkin. Jalur pemberian harus IV.
Catatan : tabel 2 merupakan suatu panduan. Spectrum sensitivitas bakteri terhadap antibiotik berva-
riasi pada masing-masing RS.
Tabel 2 : Panduan Pilihan Antibiotik
Suspek Infeksi Antibiotik yang Disarankan
240
Immunokompeten tanpa sumber yang pasti Cephalosporin Generasi ketiga (cth : IV Ceftriaxone
1g) atau quinolon (cth ciprofloxacin 200mg)
Inotropic vasoactive agents support dapat digunakan jika tidak ada respon terhadap Fluid
challenge. Noradrenalin merupakan pilihan pada syok septic, dimulai pada 1µg/kg/menit. Se-
bagai alternative, dopamine dapat digunakan (dosis 5-20 µg/kg/menit). Resusitasi cairan di-
indikasikan oleh stabilisasi mentation, BP, respirasi, nadi, perfusi kulit serta baiknya output
urin.
Penggunaan kortikosteroid pada syok septic masih controversial.namun ia memiliki peran
utama jika terdapat insufisiensi adrenal.
Konsul ke tim di ICU untuk melakukan pemindahan pasien.
241
Mekanisme Trauma
Trauma tembus
Trauma tumpul dengan gangguan pada kolumna vertebra menyebabkan robekan
atau kompresi dari elemen – elemen saraf.
Kerusakan vaskular primer pada medulla spinalis, contoh kompresi oleh hematom
ekstradural.
PENTING
Trauma medulla spinalis seharusnya dicurigai dan imobilisasi cervical tetap
dilakukan dari waktu trauma pada keadaan :
1. Pasien trauma yang tidak sadar
2. Pasien yang selamat dari trauma kecepatan tinggi.
3. Adanya berbagai keadaan yang menyertai trauma :
a. Trauma kepala atau wajah yang signifikan : 4 – 20% insiden disertai trauma
cervical
b. Kontusio scapula : dapat menunjukkan flexi – rotasi dari vertebra thoracalis.
c. Trauma sabuk pengaman : mungkin disertai dengan trauma thorakal dan
lumbal.
d. Trauma pada kaki / ankle akibat jatuh dari ketinggian : mungkin disertai
dengan kompresi pada vertebra lumbalis.
Cari tanda – tanda cedera medulla spinalis :
1. Tanda –tanda vital : syok neurogenik ( hipotensi dengan bradikardi )
Catatan : meskipun syok neurogenik seharusnya dipertimbangkan pada pasien
trauma dengan hipotensi tanpa adanya takikardi, hipovolemia dari kehilangan darah
masih harus disingkirkan pertama sebagaimana penderita yang tidak menunjukkan
respon takikardi, contoh pasien dengan pengobatan beta bloker.
2. Pada inspeksi :
a. pernapasan diafragma
b. Sikap tubuh yang flexi pada anggota gerak atas menunjukkan adanya trauma
medulla soinalis letak tinggi.
c. Fascikulasi otot spontan.
d. Priapismus
3. Pada tes :
a. Pola myotom dari kehilangan tenaga : lihat table 1
b. Pola dermatom dari kehilangan sensoris : lihat gambar 1
c. Lesi cedera spinalis total : Kehilangan total dari tenaga motoris dan sensasi
distal dari tempat cedera medulla spinalis. Diagnosis differential adalah syok
spinal ( umumnya kurang dari 24 jam ). Cari sacral sparing ( mempunyai nilai
prognosis untuk pemulihan fungsional ) :
sensasi perianal yang intak.
242
91. Stroke
DIAGNOSA
Stroke akut ditandai dengan onset mendadak dari deficit neurologik fokal, bisaanya terjadi pa-
da teritorium pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang sering timbul : hemiparesis,
hilangnya hemisensori, kelemahan wajah, disartria, afasia dan gangguan penglihatan, terjadi
secara tunggal atau dalam kombinasi.
Stroke diklasifikasikan :
1. Stroke iskemik (IS, 70-90%, insiden lebih tinggi pada ras kaukasian). Etiologi yang
sering meliputi atherothrombosis arteri besar, kardioembolisme, dan small vessel
disease (stroke lakunar)
2. Stroke Hemorragic, dimana terjadi perdarahan intraserebral (ICH, 10-30%, lebih
tinggi insidennya pada ras non-kaukasian) dan subarachnoid haemorrhage (SAH,
sekitar 2%).
CAVEATS
Pertimbangkan beberapa keadaan yang menyerupai stroke, yang terlihat pada tabel 1. selalu
lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi hipoglikemi.
Stroke dikenal sebagai keadaan yang sangat sensitive dengan waktu, terutama pada penggunaan
rtPA sebagai terapi stroke iskemik yang akut, dimana akan sangat bermanfaat bila diberikan pada 3
243
jam pertama setelah onset serangan. Pasien suspek stroke harus dirujuk menggunakan ambulan pa-
da ED terdekat.
Defisist neurologist terkait dengan sakit kepala, nausea, vomiting, penurunan tingkat kesadaran
dan peningkatan BP yang besar cenderung menunjukkan stroke hemorrhagic.
Terapi hipertensi pada stroke akut sering controversial dan harus ditangani hati-hati.
MANAJEMEN
SBP < 180 mmHg Bisaanya tidak membutuhkan terapi di ED, terapi yang le-
DBP < 105 mmHg bih agresif dapat dipertimbangkan setelah MRS
Stroke iskemik
Tidak ada data yang menyebutkan keuntungan control BP secara agresif pada stroke iskemik
akut
Sebagian besar pasien BP akan secara spontan membaik pada beberapa jam dan kembali ke
baseline setelah beberapa hari sejak onset gejala stroke.
Kebanyakan ahli saraf menyatakan bahwa penurunan BP secara signifikan akan
membahayakan px karena dapat menurunkan perfusi kollateral pada daerah iskemik
penumbra, yang berakibat pada ekstensi dari infark.
244
SBP < 220 mmHg Jangan diterapi, kecuali ada indikasi untuk mengkontrol
DBP < 120 mmHg BP
DISPOSISI
seluruh px stroke harus MRS untuk evaluasi, terapi dan rehabilitasi lebih lanjut. Namun px
yang stabil dengan lakunar infark > 48 jam yang tidak progresif serta tidak memiliki disabili-
tas neurology/deficit dapat KRS dengan follow up segera di poliklinik.
Sebagian besar px TIA yang datang ke ED harus MRS untuk workup dan inisiasi terapi medis.
Merujuk ke spesialis neurology segera pada hari yang sama merupakan alternative lain yang
dapat dilakukan.
245
Px datang dengan gx stroke < durasi 7hari, cth:
Kelemahan pada 1 sisi tubuh
Inkoordinasi limb pada 1 sisi
Gambar 1 : Jalur klinis Stroke pada ED Bicara yang ‘pelo’
Rasa pusing/mabuk dengan kesulitan bicara
Matirasa pada salah satu sisi tubuh
Ketidakmampuan untuk mengekspresikan suatu pikiran, atau untuk mengerti yang lainnya.
Kebutaan yang mempengaruhi sebagian atau seluruh lapang pandang pada satu atau kedua mata
Diplopia atau kelemahan wajah dan atau limb
Dengan Ambulan
Area critical care Px datang sendiri
atau intermediate
Caveats
SAH meningkat seiring usia, dan mengalami plateu setelah usia 60 th, dengan insiden tertinggi
pada 40-60 tahun.
Kecepatan timbulnya onset sakit kepala (mendadak, seperti thunder-clap) lebih berguna se-
bagai pedoman daripada severitas dari sakit kepala.
Pada saat kunjungan, 50% pasien sadar, 30% letargi, dan sisanya 20% stupor atau koma.
Kaku kuduk membutuhkan waktu 2-3 jam untuk muncul.
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan perdarahan preretinal pada 20% pasien.
Gejala dan tanda neurologik non-fokal sering muncul, cth: nausea, vomiting, demam, sinkope,
kebingungan, migraine like headache, atau koma.
Pasien dengan posterior cerebral artery communicating aneurysm dapat muncul dengan pupil
berdilatasi ipsilateral, atau deviasi mata akibat palsy Nervus kranialis ketiga.
Pasien dengan middle cerebral artery aneurysm dapat memiliki hemiparesis kontralateral
sekunder akibat perdarahan pada lobus temporalis atau fissure Sylvia.
Nistagmus dan ataksia dapat muncul ketika perdarahan terjadi pada fossa posterior (10% berry
aneurysm).
Catatan: sebagian besar (90%) aneurisme serebral spontan dapat ditemukan pada sirkulasi anterior
yang meliputi arteri communis kanan anterior dan posterior serta pada arteri middle serebral.
Pada saat kedatangan, 20-50% pasien melaporkan sakit kepala berat dalam waktu beberapa
hari sampai minggu sebelum kedatangannya ke ED. Keadaan ini dikenal sebagai
warning/peringatan atau sentinel. Sakit kepala merupakan sekunder dari perdarahan aneurisma
sac dan subsequent trombosis.
Pasien dengan aneurisme SAH, px dengan perdarahan sekunder terhadap arteriovenous
malformation (AVMs) lebih cenderung untuk muncul dengan kejang, cerebral bruit, disfagi
dan iskemik.
Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala terjadi setelah usia 50 th.
SAH banyak terjadi karena perdarahan saccular (berry) aneurysm atau AVM (3-6%), namun
juga dapat terjadi akibat trauma. Riwayat akan berguna untuk membedakan keduanya namun,
kadangkala perdarahan akan terjadi akibat keadaan traumatic. Riwayat yang dicari dengan
berhati-hati sangatlah penting. Penyebab yang jarang terjadi adalah mikotik, onkotik, dan
aneurisme terkait dengan aliran darah.
Perubahan EKG yang bervariasi, cth: peak atau symmetrically inverted T waves, gelombang
U, prolongasi QRS complex, prolonged interval QT dan disritmia, dapat terjadi terkait dengan
SAH dan membingungkan dokter dalam menegakkan dx kardiak.
Manajemen
Terapi Suportif
Tangani pada area critical care
Sediakan peralatan intubasi dan resusitasi.
Pastikan patensi jalan nafas.
Berikan oksigen aliran tinggi via reservoir mask
Tinggikan kepala 30o
Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri
Pasang jalur IV perifer
Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, PT/aPTT, GXM 2 unit.
EKG, CXR (hati-hati akan terjadinya edema pulmonal)
Hati-hati terhadap komplikasi akut (0-48 jam setelah terjadinya perdarahan) :
1. Rebleeding : merupakan komplikasi akut spontan yang paling signifikan. Resiko
rebleeding adalah 4% pada hari I setelah SAH spontan dan meningkat 1,5% setiap
harinya sampai hari ke-13.
2. Cerebral salt wasting menyebabkan hiponatremi.
3. Hidrosefalus akut (15%)
4. kejang (6%)
5. neurocardiac disease (10%)
6. neurogenic pulmonary Oedema: dapat terjadi dalam hitungan menit setelah perdara-
han awal.
Terapi Spesifik
analgesic non-opioid, cth: diklofenak IM, dapat diberikan untuk mengurangi sakit kepala.
Antiemetik : IM Prochlorperazine 12,5mg atau IM metoklopramide 10 mg.
Nitrogliserin dengan infus IV jika DBP > 130 mmHg dengan pengukuran manual. Mulai pada
10µg/menit dan titrasi sampai berespon namun hindari menurunkan DBP lebih rendah
daripada 100mmHg untuk mempertahankan perfusi cerebral.
Lakukan CT scan kepala (tanpa kontras) sesuai dengan konsultasi dengan neurology
Catatan:
1. CT scan tidak dapat mendeteksi SAH. Sensitivitas untuk mendeteksi SAH hanya 93%.
Sensitivitas CT menurun dengan waktu. Paling sensitive dalam 12 jam dan secara dramatis
turun setelah 2-7 hari.
2. pungsi lumbal sangat penting untuk work up SAH jika CT scan negative. Adanya xanthoch-
romia pada specimen CSF yang segar merupakan penemuan yang patognomonis pada SAH.
Penempatan:
MRS-kan pasien ke bagian Neurologi atau neurosurgery.
248
Definisi
Arteritis temporal adalah sebuah inflamasi granulomatous dari satu atau lebih cabang
arteri carotid externa.
Diagnosis
Merujuk pada American College of Rheumotology, diagnosa dari temporal arteritis
mencakup tiga kriteria dibawah ini:
Usia >50 tahun
Onset baru dari sakit kepala terlokalisasi
Nyeri arteri temporal dari penurunan denyut
ESR > 55 mm/h
Histology positif pada biopsi
Caveats
Diduga arteritis temporal pada wanita, biasanya berusia lebih dari 50 tahun,
menunjukkan rasa berdebar-debar yang amat sangat, perasaan terbakar dan nyeri
kepala temporal satu sisi. Sering kali, sakit kepala bertahan hingga beberapa
bulan. Simptom yang berhubungan termasuk malaise, anoreksia, penurunan berat
badan, kelemahan rahang dan lidah, amaurosis, nyeri otot, TIA, neuropathy dan
stroke.
Tiba-tiba, tanpa nyeri, kehilangan penglihatan satu sisi (karena oklusi paskular
dari optalmic atau arteri-silier posterior dengan infark dari nervus optik atau
retina) adalah komplikasi yang paling serius sejak kehilangan penglihatan yang
biasanya permanen.
Terdapat peningkatan insidensi arteritis temporal dengan polimialgya rheumatica.
Penatalaksanaan
Terapi suportif
Pasien bisa ditatalaksana di area intermediate
Ukur dan catat ketajaman penglihatan
Labs: DL, ERS
Terapi spesifik
Mulai terapi sesegera mungkin bila riwayat dan pemeriksaan fisik mencurigakan
dan ESR meningkat
Prednisolon 30 – 60 mg (1 mg/kg BB)
Analgesia misalnya diclofenac im
Disposisi:
Masukkan dibawah konsultasi neurologi yang sesuai.
249
94. Tetanus
Caveats
Kecurigaan yang tinggi harus dilakukan untuk menangani px yang datang dengan
gejala tetanus.
Debridement luka juga penanganan di ICU dilakukan pada semua suspek tetanus.
Manifestasi Klinik
Periode inkubasi dapat bervariasi dari 3-21 hari sejak onset infeksi
Tanda tetanus generalisata meliputi kekakuan yang terasa sakit pada rahang
dan otot-otot trunkus.
Bentuk khas tetanus, meliputi risus sardonikus, disfagia, opistotonus, fleksi
lengan, tangan yang mengepal, kekakuan otot abdomen, ekstensi ekstremitas
bawah, yang disebabkan oleh kontraksi tonik intermittent dari kelompok otot
yang terlibat.
Fraktur spine atau tulang panjang dapat terjadi akibat spasme konvulsif otot-
otot skeletal juga akibat kejang.
Kesadaran bisaanya tidak menghilang kecuali terjadi laringospasme atau
spasme otot pernafasan.
Instabilitas otonomik terjadi berupa demam, diaforesis, takikardi, dan
hipertensi.
Manajemen
Penanganan terbaik dihasilkan bila px ditempatkan pada tempat isolasi yang
sunyi, pada lingkungan ICU.
Terapi utama meliputi paralysis neuromuskular, intubasi orotrakeal dan venti-
lasi. Trakeostomi sering diindikasikan untuk perawatan ventilasi jangka pan-
jang.
Debridemen luka penting untuk meminimalisasi perkembangan penyakit yang
lebih lanjut.
250
Caveats
Krisis thyrotoksik didefinisikan sebagai eksaserbasi yang mendadak yang
mengancam nyawa dari hipertiroidisme yang terkait dengan dekompensasi
multiple organ.
Suspek keberadaan thyroid storm pada semua kasus hipertiroidisme yang
mengalami demam.
Thyroid storm merupakan kasus yang fatal : angka mortalitasnya 20-50%.
Hindari antipiretik berbasis aspirin: karena dapat mengebabkan pelepasan free
T4 dan T3 dari protein bond site-nya.
Manifestasi klinis:
1. Demam sebagai indicator adanya sepsis atau konsekuensi thyroid
storm.
2. Takikardi out of proportion to fever secara khas terjadi saat px tidur.
3. Adanya gejala dan tanda tirotoksis yang jelas seperti penurunan berat
badan, tremor.
4. Disfungsi Multiorgan :
a. Disfungsi CNS : AMS dengan kebingungan mental, delirium,
agitasi, stupor, koma
b. Disfungsi GIT : nyeri abdomen, diare, dan vomiting, jaundice
dapat terjadi dengan disfungsi hati.
c. Disfungsi CVS : Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung,
atrial fibrilasi yang cepat/Flutter.
5. riwayat terbaru thyroid disease yang membutuhkan terapi, kejadian
pencetus seperti sepsis, pembedahan, kontras CT iodine.
6. Pasien trauma dengan peningkatan nadi dan BP.
7. deplesi volume dari demam, metabolisme yang meningkat, diare.
Hati-hati terhadap manifestasi yang tidak khas terutama pada lansia, yang
bisaanya hanya menunjukkan kelemahan, gagal jantung atau atrial fibrilasi,
dimana goiter mungkin tidak terlihat.
Manajemen
Terapi Supportif
Tangani pada area critical care karena dapat mengancam nyawa
Berikan oksigen aliran tinggi deangn non-rebreather reservoir mask
Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
Pasang jalur IV perifer
Cairan IV : Dekstrose-Saline melalui infus pelan dengan elektrolit dan vitamin
yang cukup; koreksi deplesi volume hati-hati untuk menghindari tercetusnya
atau memburuknya gagal jantung; namun hilangnya cairan dapat membutuh-
kan replacement sebesar 3-5 liter/hari.
Labs :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. Liver panel
4. Thyroid screen untuk memeriksa TSH, free T4.
5. CXR untuk mengetahui gagal jantung dan infeksi
6. EKG untuk menentukan adanya iskemik, infark, atau disritmia
7. Urinalisis dengan reagen dipstick: C&S jika ada kecurigaan sepsis.
Koreksi factor pencetus, cth: sepsis, AMI
Berikan paracetamol, aplikator/teknik untuk mendinginkan, untuk menurunk-
an demam.
Terapi Obat
Beta Blocker : pada keadaan kegagalan gagal jantung high cardiac output
1. berikan ultra-short acting IV esmolol : dosis 250µg/kg diikuti dengan infus
50 µg/menit jika tersedia.
2. Berikan IV propanolol 1mg tiap 5 menit sampai takikardi berat dapat
dikontrol. Jika px dapat untuk mengkonsumsi per oral, maka berikan pro-
panolol 60mg PO tiap 4 jam atau 80mg tiap 8 jam.
Catatan : terapi penyakit kardiovaskular lain dengan tx konvensional seperti
digoksin, diuretic.
PTU (Propylthiouracil) memblokade iodinasi juga konversi T4 menjadi T3.
Dosis : 400-600mg PO atau via Ryle’s tube, diikuti dengan 200-300mg tiap 4
jam.
Catatan : PTU per rectal dapat diberikan jka px NBM. Encerkan pada pedia-
tric fleet enema dan berikan melalui kateter Nelaton.
Larutan Iodine menghambat pelepasan hormone tiroid; harus diberikan 1-2
jam setelah tx PTU. Dosis : Lugols iodine 5 tetes PO atau via Ryle’s tube tiap
8 jam.
Catatan : Jika NBM, berikan IV sodium Iodida 1g/500ml salin tiap 12 jam.
Deksametason : 2mg IV untuk menghasilkan support glukokortikoid; juga
memblok pengubahan free T4 menjadi free T3.
Penempatan:
Konsultasi ke Endokrin/general medicine dalam rangka antisipasi MRS ke
MICU.
253
Titik berat
trauma abdomen merupakan penyebab kematian yang utama
personil perawatan emergensi harus waspada dan dapat melakukan perawatan
dengan benar
luka tusuk yang terlihat diantara atau disekitar putting susu paerlu juga
diwaspadai masuk ke rongga abdomen
penderita harus dilakukan log-roll untuk memeriksa punggung dan flank area
pada kasus trauma
pada penderita dengan multi trauma dengan hipotensi harus dicurigai adanya
trauma abdi\omen sampai terbukti tidak
pemeriksaan klinis pada abdomen mungkin dapat ditemukan keadaan berikut:
resusitasi dan stabilisasi harus didahulukan pada proses investigasi
Managemen
pasien harus dirawat di area perawatan kritis
pemeriksaan fisik dan resusitasi harus berjalan simultan
prinsip ATLS harus diikuti dengan prioritas pada:
airway: pertahankan airway
breathing: pada pasien sadar berikan O2 dosis tinggi. Pada pasien tidak sadar, pasang
ETT dengan ventilasi mekanis
sirkulasi: pasang 2 IV line dengan jarum besar.bila pasien hipotensi, resusitasi cepat
cairan. Mulai dengan NS (sampai 2liter), lanjutkan dengan darah
periksa GXM, DL, ureum/creatinin/elektrolit
pemeriksaan harus meliputi:
dada: memar, fraktur costae, luka tusuk
abdomen: luka luar, memar, tanda peritonitis
pelvis: tenderness dan ketidakstabilan yang mengarah pada kecurigaan fraktur
GE: bleeding / hematom
Status neurologis
pasang NGT dan kateter kecuali terdapat dugaan ruptur uretra pada saat pemeriksaan
pemeriksaan Ro diperuntukkan bagi yang diizinkan: thorax, pelvis, cervikal
luka tikam pada abdomen dengan implementasi in-situ tidak boleh dipindah kecuali di
ruang operasi
kirim ke dokter ahli bedah segera
investigasi
pada selain keadaan diatas, berikut terdapat tabel yang dapat dipakai untuk pertimbangan pada
pasien stabil
Tabel 1 model investigasi pada pasien dengan dugaan trauma abdomen
Penilaian hemodinamik
pasien yang dikirim ke ruang CT harus ada continuous monitoring vital sign dan harus diikuti
dokter
CT scan abdomen:
indikasi: trauma tumpul dengan hemodinamik stabil yang tidak memerlukan
laparotomi cito, dugaan fraktur pelvis, retroperitoneal, diafragma dan trauma
urogenital
sensitifitasnya diatas 90%
DPL tidak perlu dikerjakan pada pasien stabil
Manfaat: dapat menentukan lesi intraabdominal preoperatif, dapat mengefaluasi
retroperitoneum, dapat mendeteksi luka yang tidak perlu operasi, tidak invasiv
Kerugian: mahal, membutuhkan banyak waktu, membutuhkan transport ke radiologi,
membutuhkan kontras
DPL
indikasi:
pasien tidak stabil dengan dugaan trauma abdomen
hipotensi pada multipel trauma
trauma tumpul yang membutuhkan op segera untuk luka eksternal
pasien stabil dengan dugaan trauma intestinal
kontraindikasi:
indikasi absolut laparotomi
riwayat operasi abdomen/infeksi
uterus gravid
obesitas
koagulopati
sebelum pelaksanaan: dekompresi buli-buli dan perut dengan kateterv dan NGT
tehnik dengan insisi dibawah umbilikus. Alternatifnya, metode perkutan dengan tehnik
Seldinger
indikasi positif:
gross hematuria
cairan lavas terlihat keluar dari drain dada/kateter urin
eritrosit > 100.000/mm3, leukosit > 500 / mm3, bakteri gram positif
DPL biasanya sensitif
Keuntungan:
255
DPL dapat mengetahui perdarahan intraabdomen pada pasien tidak stabil dengan
multipel trauma
DPL sangat bermanfaat pada pasien potensial perforasi abdomen yang sekiranya jauh
dari observasi klinis secara serial
Kerugian:
morbiditas, walaupun kecil. Meliputi: komplikasi luka (hematom, infeksi, 0,3%),
trauma intraperitoneal, kesalahan tehnik
false negatif (2%), berasal dari kegagalan untuk menampung cairan lavage, luka pada
rongga viseral, injuri diafragma, injuri pada organ retroperitoneal
FAST ( focussed assesment using sonographi in trauma ):
merupakan sarana untuk mengobservasi pada penderita trauma abdomen. Indikasi sama
dengan DPL
kususnya dipergunakan apabila DPL merupakan kontraindikasi
akurasinya tergantung operator sebagaimana ketergantungan pada alat. Kumpulan cairan
bebas dijumlahkan tergantung dari gambaran USG, yang memberi gambaran sesuai
dengan beratnya perdarahan intraabdominal.
Untuk mendeteksi adanya kumpulan cairan dengan melihat 4 kuadran:
subxipoid: pericardium
RUQ: morison’s pouch(ruang potensial antara liver dan ginjal
LUQ: recessus splenorectaldan antara limpa dan diafragma
Pelvis; cavum douglas
Keuntungan:
Alatnya portable
Pemeriksaan memakan waktu singkat
Dapat digunakan secara serial
Tidak ada dampak radiasi
Kerugian:
Tidak dapat menggambarkan kerusakan parenkim, retroperitoneal, defek diafragma
dan luka usus secara sempurna
Tehniknya lebih pada pasien tidak kooperatif, gelisah, obesitas, gas substansial pada
usus, udara subcutan
Kurang sensitif dan tergantung kemampuan operator dibanding dengan DPL
FAST tidak dapat mendeteksi kerusakan parenkim apabila tidak ada darah bebas
intraperitonealsebagaimana injuri subkapsular limpa
Pada pasien trauma tumpul abdomen dengan hasil FAST yang positif, diperlukan
pemeriksaan CT scan sebelum dikirim ke ahli bedah
Caveats
Manajemen trauma dada mengikuti protocol ATLS :
1. Amankan ABC merupakan protocol.
2. Berikan penanganan secepatnya untuk mendeteksi lesi
3. keterlibatan tim trauma dari RS harus segera dilakukan.
Selama Primary Survey, dokter harus mendeteksi kondisi yang mengancam
nyawa namun bersifat reversible, a.l:
1. Obstruksi jalan nafas (karena laryngeal injury atau fraktur dislokasi ster-
noclavicular joint posterior).
2. Tension Pneumothorax (sucking chest wound)
3. Pneumothorax terbuka
4. Flail Chest
5. Hemothorax massif
6. Tamponade jantung
Manajemen Awal
Rujuk px pada Critical care atau area resusitasi pada ED.
Aktifkan in-house Trauma Team menurut protocol institutional
Tangani px sesuai protocol ATLS
Pertimbangkan intubasi pada px menggunakan teknik RSI dengan kondisi:
1. airway compromised
2. ventilasi inadekuat
3. SpO2 tidak dapat dipertahankan diatas 94% walaupun telah menggunakan
non-rebreathing mask.
Catatan : Jika mungkin, perikardiosentesis harus dilakukan sebelum intubasi
karena adanya excessive ventilation pressure yang mengurangi venous return
dapat menyebabkan serangan jantung.
Pasang jalur IV ukuran besar (14G/16G) pada kedua fossa cubiti. Pilihan per-
tama cairan resusitasi awal adalah kristaloid (Hartmann’s atau NS).
Cek darah untuk :
1. GXM 6 unit WB
2. FBC, urea/elektrolit/Kreatinin, dan BGA
Pneumothorax terbuka
Patofisiologi : defek dinding dada yang luas dengan adanya kesamaan tekanan
intrathoracic dan tekanan atmosfer akan menyebabkan ‘sucking chest wound’.
Manajemen :
258
Flail Chest
Definisi : terjadi ketika ada 2 atau lebih tulang rusuk yang fraktur pada 2 tem-
pat yang berbeda.
Diagnosis didasarkan pada :
1. Gerakan paradoksikal segment dinding dada (keadaan ini saja tidak akan
menyebabkan hipoksia).
2. Distress respirasi
3. bukti eksternal adanya trauma dada
4. nyeri pada usaha bernafas
catatan : penyebab utama hipoksia pada flail chest adalah karena underlying
kontusi pulmonal, walaupun adanya nyeri dan restriksi gerakan dinding dada
serta underlying lung injury juga memberikan kontribusi dalam menyebabkan
hipoksia.
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat
2. Pastikan ventilasi yang adekuat
Catatan : pasien dengan isolated flail chest injury dapat ditangani tanpa
support ventilatory, terutama jika nyeri dada dapat dikurangi secara ad-
ekuat.
3. Berikan terapi cairan dengan bijaksana.
Catatan : overload cairan harus dihindari atau cepat dikoreksi pada px flail
chest dengan kontusio pulmonum atau pada adult respiratory distress
syndrome.
4. Analgesik adekuat yang diberikan melalui IV.
Indikasi Early Mechanical Ventilation pada Flail Chest:
1. Syok
2. ≥ 3 asosiated injuries
3. Cedera kepala Berat
4. Penyakit paru sebelumnya
5. Fraktur tulang rusuk ≥ 8
6. usia > 65 tahun
Catatan : ketika px membutuhkan ventilatory support, lebih aman untuk men-
gaplikasikan ‘prophylactically’ sebelum kegagalan nafas yang sebenarnya ter-
jadi.
Terapi Kontroversial : Splinting flail segment dapat memperburuk ventilasi
259
Haemothorax Massif
Definisi : kehilangan darah > 1500 ml ke dalam cavum dada pada initial
output.
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi adekuat (berikan oksigen 100%)
2. Pasang 2 jalur IV besar dan lakukan resusitasi cairan
3. transfuse darah dan koreksi koagulopati
4. Tube thoracocentesis
5. Waspada terhadap penghentian mendadak dengan drainase, cek untuk
blocked tube.
Indikasi Thorakotomy (konsul TKV secepatnya):
1. Drainase darah awal > 1500 ml
2. ongoing drainase > 500 ml/jam pada jam pertama, 300ml/jam pada 2 jam
berikutnya atau 200 ml/jam pada 3 jam berikutnya.
3. kasus yang membutuhkan transfusi darah persisten
4. retained pneumothorax besar, terutama jika terkait dengan perdarahan
yang terus menerus.
5. instabilitas hemodinamik yang terus-menerus
6. kecurigaan injury esophageal, cardiac, pembuluh darah besar atau bronkus
utama.
Catatan : pikirkan kemungkinan kerusakan pembuluh darah besar, struktur hi-
lar dan jantung pada luka penetrasi dada bagian anterior, sebelah medial dari
nipple line dan luka dada posterior medial dari scapula.
Tamponade jantung
Dx membutuhkan kecurigaan yang tinggi. Kombinasi dari keadaan dibawah
ini akan membawa kita pada kemungkinan dx.
1. Trauma dada dan hipotensi
2. Trias Beck’s (hipotensi, muffled heart sound/suara jantung yang terdengar
jauh, distensi pembuluh vena di leher)
Catatan : Trias Beck’s hanya terlihat pada 50% kasus. Vena di leher yang
mengalami distensi tidak akan didapatkan pada tamponade jantung sampai pa-
ling tidak terjadi koreksi parsial hipovolemi. Muffled heart sound merupakan
tanda yang paling sedikit terjadi pada trias Beck’s.
3. Trauma dada dan pulseless electrical activity
4. Tanda Kussmaul (peningkatan neck distension selama inspirasi dan pulsus
paradoksus)
Bukti lain yang menyokong dx, a.l:
1. pembesaran jantung yang terlihat pada CXR (jarang) atau
2. Voltase EKG yang rendah (tidak lazim) atau
3. Cairan pericardial yang terlihat pada 2D Echo atau FAST (definitive)
Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat (O2 100%)
2. pasang jalur IV ukuran besar
3. Berikan Cairan IV bolus 500 ml
4. lakukan perikardiosentesis dengan :
a. Panduan EKG (dengan Lead EKG yang terhubung dengan jarum peri-
kardiosentesis)
b. Panduan 2D Echo. Dapat bersifat diagnostic atau terapetik.
260
Kontusio Pulmonal
Injury yang terjadi akibat rusaknya susunan jaringan paru, kerusakan mem-
brane alveoli dengan perdarahan dan edema pada alveolar space.
Manifestasi kontusio pulmonum bisaanya butuh waktu untuk timbul.
Penyebab, a.l:
1. trauma tumpul atau penetrasi
2. blast injury
3. compressive injuries
Tanda klinis yang mungkin, a.l:
1. Distress respiratori
2. penurunan suara nafas
3. krepitasi pada lapang paru yang terkena
4. Hipoksemia
Manajemen :
1. Berikan supplementasi O2
2. berikan support vantilasi, jika diperlukan
3. Lakukan terapi cairan dengan bijaksana
Tracheobronchial Injuries
Sulit diketahui pada px trauma.
Etiologi yang mungkin:
1. Trauma penetrasi
2. dorongan akselerasi-deselerasi
3. blast injuries
tanda klinis meliputi:
1. Haemoptysis
2. Emfisema subkutaneus
3. Tension pneumothorax
4. pnumothorax persistent setelah terapi
Manajemen :
1. berikan suplementasi O2
2. berikan support ventilasi
3. px mungkin membutuhkan lebih dari 1 buah chest tube
4. konsultasi TKV dini
Manajemen
1. triage px ke dalam area critical care
2. Amankan ABC, berikan O2
3. lakukan pemeriksaan EKG
keputusan penanganan:
1. Jika EKG normal, px dapat dipulangkan (diasumsikan bahwa tidak ada
alas an lain bagi px untuk MRS).
2. Jika EKG abnormal /disritmia, perubahan segmen ST, perubahan iskemik,
AV block, sinus takikardi yang tidak terjelaskan) px harus di-MRS-kan un-
tuk monitoring kardiak lanjutan.
3. jika hemodinamik px tidak stabil, echocardiogram harus dilakukan.
Catatan: Nuclear medicine studies hanya sedikit membantu jika dibandingkan
dengan Echo sehingga tidak bermanfaat jika Echo telah dilakukan.
Fraktur Costae
Manajemen dipengaruhi oleh level dan jumlah costae yang terkena juga pada
underlying visceral injuries.
Catatan : banyak fraktur costae yang tidak terlihat pada CXR. Tujuan utama
CXR pasien dengan kemungkinan fraktur costae adalah untuk mengeliminasi
haemothorax yang terkait, pneumothorax, kontusio paru, serta injury organ
lain.
a. Px dispneu
b. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
c. Px berusia tua
d. Memiliki preexisting lung function yang buruk.
Fraktur Costae bawah (10-12) : terkait dengan resiko injury pada hepar dan
spleen
Catatan : insersi chest tube sebagai profilaksis harus dilakukan pada semua px
trauma yang diintubasi pada adanya fraktur kostae. Associated injuries sering
terlewatkan meliputi :kontusio kardiak, rupture diafragmatik dan injury esoph-
ageal.
Subkutaneus emfisema
Etiologi:
1. Injury jalan nafas
2. Injury paru dan pleural
3. injury esophagus dan faringeal
4. Blast Injury
263
Tanda :
1. Krepitus
2. Pembengkakan wajah, leher dan jaringan yang terlibat.
Manajemen : emfisema subkutaneus jarang membutuhkan terapi. Tangani
penyebab dasarnya. Asumsikan bahwa emfisema subkutaneus memiliki
penyebab dasar pneumothorax walaupun tidak terlihat pada CXR. Sehingga
tindakan insersi chest tube harus dilakukan sebelum ditempatkan pada
ventilator.
Trauma Esofageal
Indikasi adanya trauma esophageal:
1. Emfisema subkutaneus
2. udara mediastinum tanpa adanya pneumothorax
3. Udara retrofaringeal pada x ray leher lateral
4. Left-side pleural effusion : tes drainase positif untuk amylase
5. left pneumo atau haemothorax tanpa fraktur kosta.
6. hantaman yang kuat pada bagian bawah sternum atau epigastrium dan pa-
sien mengalami nyeri atau shock out proportion terhadap injury yang ter-
lihat.
7. adanya cairan pada chest tube setelah darah menjadi jernih.
Px harus dirujuk ke bedah umum untuk penanganan lebih lanjut.
Trauma Laring
Walaupun merupakan injury yang jarang terjadi, yang dapat terjadi bersamaan
dengan obstruksi jalan nafas akut.
Diagnosis berdasarkan trias sbb:
1. Hoarseness (suara parau)
2. emfisema subkutaneus
3. Fraktur yang dapat terpalpasi
Manajemen :
1. jika jalan nafas px mengalami obstruksi total atau jika px berada dalam
keadaan distress respiratori hebat, maka lakukan intubasi
2. jika intubasi tidak berhasil dilakuakan, emergency tracheostomi
merupakan indikasi.
3. surgical cricothyroidotomy, walaupun tidak disukai pada situasi ini, dapat
menyelamatkan nyawa jika terdapat kegagalan trakeostomi.
4. kontak spesialis THT dan ahli anestesiologi secepatnya.
264
Hematoma Subungual
Klasifikasi : persentase area dibawah kuku yang menunjukkan adanya darah
Terapi : trephine dengan sebuah red hot tip dari unfolded paper clip (gambar1).
1. Blok digital tidak diperlukan kecuali pada px yang ketakutan. Nail plate akan terbakar
dan mengalami evaporasi saat ‘tip’ yang telah dipanaskan dipenetrasikan. Ujung klip ker-
tas yang telah dipanaskan kemudian akan menjadi dingin secara langsung karena aliran
darah, dan penetrasi yang lebih jauh serta cedera nail bed jarang terjadi. Jangan
melakukan tekanan, namun biarkan panas berpenetrasi ke nail plate karena keadaan ini
akan menghindarkan keadaan benturan klip kertas ke dalam nail bed (resiko osteomie-
litis).
2. usap jari yang terluka dengan povidone iodine (bukan alcohol karena bersifat mudah ter-
bakar).
3. tempatkan 2 lubang pada dua sisi disebelahnya untuk memfasilitasi drainase. Hematoma
dievakuasi dengan memijat lembut diikuti dengan menghisap povidone iodine.
Follow up dengan salep antibiotik, kassa dan protective splint
Untuk hematoma subungual lebih dari 50%, disarankan untuk melepaskan kuku, eksplorasi
dan suturing nail bed.
6. nail plate diirigasi dengan NS dan bebat pada nail bed yang telah di-repair. Non-
absorbable suture, cth prolene, ditempatkan melalui nail plate dan kemudian pada pro-
ksimal nail sulcus sebagai sebuah ‘anchor/jangkar’ (suture diangkat 3 minggu kemudian).
7. Jika nail plate tidak tersedia, kertas perak pembungkus suture dapat digunakan untuk
membiarkan lipatan kuku tetap terbuka.
KIE : nail plate tumbuh membutuhkan waktu 6-12 bulan, dan deformitas kuku mungkin tidak
dapat dihindari.
Penempatan : rujuk ke Hand surgery untuk follow up dalam 2-3 hari.
Cara memeriksa integritas flexor digitorum superficialis (FDS) dan Flexor Digitorum Profundus (FDP)
Cara memeriksa fungsi FDS (gambar 2a), dengan jari yang berdekatan ekstensi penuh
(menghambat gerakan FDP), usaha fleksi jari menghasilkan gerakan isolated FDS, dimana
diindikasikan dengan adanya solitary flexion PIP joint.
Cara memeriksa fungsi FDP (gambar 2b). isolated DIP flexion anya dapat dilakukan dengan
intake-nya FDP muskulotendinous unit.
Catatan : terlihatnya tendon yang intake pada lacerated sheath tidak berarti bahwa tendon tidak
cedera. Tendon mungkin berada pada posisi yang lain ketika cedera terjadi juga pada saat
pemeriksaan dilakukan. Bagian tendon yang mengalami laserasi telah pindah kebagian proksimal
atau distal. Periksa dan dokumentasikan integritas nervus digital yang terlibat (menggunakan 2-
point discrimination dengan menggunakan ujung klip kertas, dengan jarak sekitar 5mm).
Riwayat/anamnesa :
Mekanisme injury : laserasi dan trauma tertutup/tumpul.
Okupasi
Tangan yang dominant
X ray jari dengan tujuan :
Eksklusi FB pada luka laserasi
Eksklusi avulse FDP insertion pada bagian dasar distal phalanx pada fraktur yang tertutup
(lateral film).
266
Mallet splint
Pemasangan volar splint pada distal phalanx, yang menjaga DIPJ agar berada pada posisi
sedikit hiperekstensi smentara PIPJ dan MCPJ bebas bergerak.
Deformitas Boutonniere
Kerusakan central slip dari tendon ekstensor PIPJ. Lateral band yang secara normal berada
pada dorsal dari aksis rotasi sehingga dapat membuat gerakan meluruskan jari, saat ini men-
jadi jatuh ke volar dari aksis tersebut dan gerakan yang dihasilkan jadi berkebalikan yaitu me-
nyebabkan fleksor PIPJ.
Mekanisme cedera:
1. pukulan langsung pada dorsum PIPJ.
2. Beban aksila yang memaksa fleksi PIPJ saat jari sedang ekstensi.
3. Laserasi di sepanjang atau distal dari PIPJ.
Presentasi klinis:
1. Nyeri dan pembengkakan PIPJ
2. Pasien awalnya dapat melakukan ekstensi penuh dari PIPJ (karena lateral slip function-
ing) walaupun kebanyakan px dengan cedera seperti ini menunjukkan kelemahan pada
saat ekstensi PIPJ.
3. deformitas Boutonniere bisaanya tidak muncul langsung setelah cedera namun sering
timbul setelah 10-14 hari.
4. kebanyakan memiliki associated dislocation yang telah direduksi sebelum datang ke ED;
ditunjukkan dengan pergerakan yang terbatas akibat nyeri.
X ray jari: jika terdapat fraktur avulse dari dorsal basis middle phalanx.
Diagnosis: membutuhkan kecurigaan yang tinggi, dx bisaanya tidak terlihat saat itu karena
adanya pembengkakan akut.
Manajemen :
1. Cedera tertutup : boutonnire splint. Follow up pada hand surgery dalam 5 hari.
2. cedera terbuka : MRS untuk primary repair.
Boutonniere Splint
pasang volar splint pada PIPJ, posisikan pada ekstensi penuh, DIPJ dan MCPJ bebas. (gambar
5).
Berikan analgesic
Terapi local :
1. Pembalutan TG dengan atau tanpa krim silver sulfadiazine (kontra indikasi pada kehami-
lan dan alergi sulfa)
2. tangan dibalut dalam polythene bag yang bersih untuk mendorong mobilisasi.
3. Elevasi tangan dalam arm sling untuk mereduksi pembengkakan.
Control pada Hand surgery dalam 1-2 minggu.
Catatan : (1) antibiotik sistemik profilaksis secara rutin tidak disarankan. (2) cedera partial thick-
ness dapat dibedakan dari full thickness dengan hilangnya sensasi pada pin prick test, dan (3). Per-
timbangkan cedera non-accidental pada anak.
Infeksi Tangan
Paronychia
Abses nail fold
Pembengkakan jaringan subungual dan kemerahan dengan atau tanpa frank pus.
Screening untuk DM
Terapi :
1. Awal : antibiotik oral, cth cloxacilin (versus S. aureus) dan rendam air hangat setiap hari.
2. Lanjut : antibiotik oral dan I&D abses dibawah blok digital.
Metode drainase (lihat gambar 6 dan 7)
1. Iris mess/blade ke dalam nail sulcus di dekat titik dengan nyeri tekan yang paling
maksimal.
2. Hilangkan sebuah potongan longitudinal kuku jika terdapat abses subungual.
Penempatan : rujuk ke Hande sugery untuk follow up pada hari kerja berikutnya untuk dibalut.
Felon
Infeksi distal pulp space dari sebuah jari.
Pembengkakan, nyeri dan kemerahan dari ujung jari
X ray : singkirkan FB dan keterlibatan tulang
Terapi : insisi dan drainase dibawah block digital
Metode drainase
1. Insisi high lateral (hindari neurovascular bundle) dimulai 5mm distal dari lipatan kulit
DIPJ dan teruskan sampai bagian akhir nail plate.
2. insisi palmar longitudinal : pilihan insisi tergantung penemuan titik nyeri tekan yang pal-
ing maksimal.
3. Septa fibrous pada finger pad harus diinsisi secara tajam untuk menghasilkan drainase
yang adekuat dari space yang tertutup.
270
Caveats
Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas setelah trauma.
Walaupun bisaanya tidak ada terapi spesifik untuk mengatasi primary brain injury, beberapa
secondary brain injury dapat dicegah atau diterapi.
Catatan : Primary brain injury merupakan kerusakan yang terjadi secara langsung oleh trau-
ma/gerakan mekanikal. Secondary brain injury terjadi setelah initial trauma.
Hipoksemia dan hipotensi merupakan penyebab sistemik yang paling sering menyebabakan
secondary brain injury.
Jangan mengasumsikan AMS pada px trauma kepala terjadi karena intoksikasi alcohol.
Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemi, hiperkarbi, hipotensi atau concomitant
dengan intoksikasi obat.
Fraktur tulang tengkorak meningkatkan kecenderungan adanya underlying cedera otak (tab
1).
Lucid interval harus menjadi penanda untuk menyingkirkan adanya hematoma ekstradural
yang akut.
Semua px dengan trauma mayor harus dianggap mengalami cedera kepala atau fraktur cervi-
cal spine sampai terbukti tidak.
Seorang pemeriksa tidak dapat mengandalkan hasil pemeriksaan neurology sebelum perfusi
dan oksigenasi yang adekuat telah diberikan.
Observasi px cedera kepala meliputi pemeriksaan neurology yang berulang.
Jangan menganggap hipotensi yang terjadi pada px trauma timbul hanya akibat cedera kepala.
Sumber perdarahan lain tetap harus dicari.
Hipertensi dan bradikardi (Cushing reflex) menunjukkan adanya peningkatan tekanan intra-
cranial.
Dilatasi pupil unilateral atau respon cahaya yang lemah mengindikasikan adanya massa yang
berkembang pada sisi yang sama dengan pupil yang berdilatasi. Tanda ini terjadi pada tahap
akhir keadaan peningkatan intracranial.
Manajemen
Skull X ray (SXR)
Indikasi: controversial. SXR bisaanya tidak diindikasikan untuk cedera kepal aringan yang
akan di MRSkan untuk observasi dengan pengecualian pada keadaan berikut:
1. Large boggy scalp hematoma yang menghalangi palpasi akurat terhadap adanya de-
pressed skull fracture (dimana CT scan kepala juga harus dilakukan).
2. Suspek benda asing radioopaque pada laserasi kulit kepala (cth : karena pecahan kaca).
50% abnormalitas intrakranial yang terdapat pada kasus trauma kepala, tidak berkaitan dengan
adanya fraktur tulang tengkorak. Sehingga dengan adanya fraktur tulang tengkorak akan me-
ningkatkan kecurigaan adanya lesi intracranial, namun dengan tidak adanya fraktur tengkorak
tidak akan menghilangkan pentingnya CT scan untuk dilakukan.
Catatan : simple scalp laceration bukan merupakan criteria dilakukannya SXR. Luka harus
dipalpasi terlebih dahulu sebelum T&S dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur.
Apa yang harus dicari pada sebuah SXR
1. fraktur tulang tengkorak linear atau depressed
2. posisi midline dari kalsified glandula pineal. Pergeseran > 3mm pada satu sisi
menandakan adanya hematoma intracranial yang besar.
3. Air-fluid level pada sinus (termasuk sinus sphenoidal)
Catatan : fluid level pada sinus sphenoidal terdeteksi pada SXR lateral yang diambil dengan
horizontal beam menunjukkan basal skull fracture. Base of skull fracture bukan indikasi
urgent untuk dilakukannya CT scan kepala jika GCS 15, namun merupakan indikasi untuk
MRS. Penelitian terbaru menunjukkan tidak adanya bukti penggunaan profilaksis antibiotik
pada basal skull fracture. Hal ini karena occult CSF leakage dapat berlanjut berbulan-bulan
dan bertahun-tahun serta delayed meningitis dapat muncul kadang-kadang pada beberapa
tahun setelah cedera. Antibiotik diberikan apabila terdapat posttraumatic meningitis, bisaanya
karena infeksi Streptococcus pneumoniae, yang umumnya sensitive terhadap benzyl penicillin.
4. aerocele
5. fraktur facial
6. Benda asing
7. diastasis (pelebaran) sutura.
CT scan
Indikasi emergent CT scan setelah cedera kepala
1. GCS ≤ 13 tanpa adanya intoksikasi alcohol atau fraktur tulang tengkorak.
2. GCS ≤ 14 dengan adanya fraktur tulang tengkorak
3. Pupil yang berdilatasi unilateral pada keadaan AMS
4. depressed skull fracture
5. Defisit neurologik fokal
6. pasien cedera kepala yang membutuhkan ventilasi
7. pasien cedera kepala yang membutuhkan anestesi general untuk operasi lainnya.
Catatan: CT scan emergent masih controversial. Menurut ATLS, semua px bahkan dengan ce-
dera kepala ringan membutuhkan CT scan kepala, namun akan sangat membutuhkan biaya
yang besar.
Resusitasi
Prioritas resusitasi menurut ATLS, a.l :
control jalan nafas dan cervical spine
pernafasan
Catatan : penyebab respiratory impairment meliputi : (1) penyebab sentral seperti obat-obatan
dan brain stem injury, (2) penyebab perifer seperti obstruksi jalan nafas, aspirasi darah/vomit,
trauma dada, adult respiratory distress syndrome dan edema pulmonary neurogenik.
Sirkulasi
273
Caveats
Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam nyawa dan
termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
Semua dislokasi bisaanya bukan merupakan kasus serius dan hanya membutuhkan analgesic
yang adekuat, kecuali pada 3 kasus sbb, yang membutuhkan reduksi secepatnya:
1. Dislokasi lutut (karena popliteal artery compromise)
2. dislokasi pergelangan kaki (karena nekrosis kulit)
3. Dislokasi panggul (karena avaskular nekrosis panggul)
Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada ED, jangan be-
rikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang diberikan lewat IM absorb-
sinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis
efek penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika
dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Manifestasi klinis
1. dislokasi panggul posterior : panggul fleksi ringan, adduksi dan rotasi ke dalam, kaki ter-
lihat lebih pendek, femoral head terpalpasi pada bokong.
2. Dislokasi panggul anterior : panggul fleksi ringan, abduksi dan rotasi ke luar, tonjolan
dislocated head di bagian anterior terlihat dari arah samping.
3. Dislokasi panggul sentral : kaki dalam posisi yang normal, nyeri tekan pada trochanter
dan pangkal paha, serta masih terdapat gerakan yang kecil/terbatas.
X Ray : foto AP yang menunjukkan pelvis, serta lateral view yang menunjukkan pangkal paha
yang terlibat.
Catatan: sangat penting untuk diingat bahwa pada semua nyeri pangkal paha, harus difoto AP
pelvis, serta lateral view dari pangkal paha yang terlibat untuk alasan sbb:
1. fraktur ramus pubis dapat muncul dengan nyeri pada panggul. Hal ini bisa terlewatkan
apabila hanya melakukan foto AP dari pangkal paha yang terkena, bukan AP pelvis.
2. AP pelvis memberikan kesempatan untuk membandingkan shenton’s line pada kedua sisi
serta membantu mencari abnormalitas yang lain.
Komplikasi
1. Foot drop dari sciatic nerve yang terlibat dalam dislokasi pangkal paha posterior.
276
2. Paralisis nervus femoralis dan kompresi arteri femoralis pada dislokasi pangkal paha ante-
rior.
Terapi/penempatan
1. analgesic dengan narkotik melalui IV dan bukan IM sebelum X ray.
2. Reduksi secepatnya dibawah sedasi yang sadar pada ED.
3. Cek X ray setelah reduksi dan MRS untuk pemasangan traksi
4. jika tidak dapat direduksi, MRS untuk reduksi dibawah general anestesi.
Fraktur Patellar
Mekanisme
1. Kekerasan langsung cth akibat kecelakaan lalu lintas dengan dashboard injury, jatuh pada
permukaan yang keras, serta jatuhnya benda yang berat diatas lutut.
2. dengan kekerasan tidak langsung sebagai akibat kontraksi otot yang mendadak.
Manifestasi klinis
1. ketidakmampuan untuk mengekstensikan lutut.
2. bruising dan abrasi di atas lutut
3. catat lokasi nyeri tekan
4. ada celah yang terpalpasi diatas atau dibawah patella.
5. displacement yang jelas dari bagian proksimal patella
X ray : AP dan lateral view lutut
Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
277
2. jika tidak terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan KRS dengan diberikan
analgesic, serta crutches kemudian dirujuk pada klinik bedah.
3. jika terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan MRS untuk fiksasi
Dislokasi Patellar
Mekanisme
1. riwayat khas : saat sedang berlari, lutut terbentur dan px jatuh. Px sering memperlihatkan
tonjolan di bagian medial yang prominent dari condilus medialis femur (walaupun patella
bisaanya mengalami dislokasi ke lateral).
2. dislokasi patella dapat berkurang secara spontan
Manifestasi Klinis
1. effuse mild knee
2. nyeri tekan pada bagian medial lutut
X ray : AP, lateral dan skyline view. Skyline view digunakan untuk menyingkirkan fraktur lain
pada kondilus lateral dari femur.
Terapi :
1. berikan analgesic dan reduksi dislokasi
2. Aplikasikan cylinder backslab selama 6 minggu pada dislokasi yang pertama untuk
mencegah dislokasi yang rekuren.
3. jika terjadi dislokasi rekuren, aplikasikan pressure bandage selama 1-2 minggu.
Dislokasi Lutut
Merupakan Keadaan yang Emergensi!
Mekanisme trauma : bisaanya karena kecelakaan lalu lintas, terutama dash board injury
Manifestasi klinis : pembengkakan, deformitas yang besar, sering dengan marked posterior
sag.
X ray : AP dan lateral view dari lutut
Komplikasi :
1. Cedera arteri popliteal : cari keadaan pucat, dingin, pulseless atau parestesi pada tungkai
bawah.
2. Palsy nervus peronealis
Terapi
1. berikan analgesic IV
2. Reduksi dislokasi secepatnya, terutama jika terdapat keterlambatan dalam X ray.
3. Aplikasikan cylinder backslab.
4. hubungi bedah TKV dan ortopedi serta atur angiogram.
Penempatan
1. MRSkan semua pasien
Haemarthrosis Lutut/effusi
Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma pada daerah lutut. Haemarthrosis pada lutut yang
terjadi cepat disebabkan oleh :
1. robeknya ligament cruciatum
2. Robeknya ligamentum collateral
3. Fraktur osteokondral
4. peripheral meniscal tear
Effusi yang terlambat bisaanya terjadi akibat meniscal tear
Manifestasi klinis: pembengkakan yang besar dari haemarthrosis atau effuse.
X ray :
1. AP dan Lateral View dari lutut. Catat bahwa fat fluid level pada bursa suprapatellar
mengindikasikan adanya fraktur intraartikular walaupun fraktur tidak terlihat. (gambar 2).
278
2. skyline view digunakan pada subtle fracture dari condilus femoralis (terutama pada dislo-
kasi lateral patella) dan patella.
Komplikasi : hati-hati bahwa px mungkin tidak mengalami dislokasi lutut atau concomitant
fraktur lutut.
Terapi :
1. jika haemarthrosis lutut tidak tegang, px dapat KRS dengan istirahat, es, kompresi (ap-
likasikan crepe bandage) dan terapi elevasi (RICE).
2. berikan analgesic
Penempatan
1. rujuk ke klinik ortopedi dalam 24-48 jam
2. jika terdapat tense haemarthrosis, px harus MRS untuk aspirasi.
Fraktur Tibia/Fibula
Mekanisme trauma :
1. tekanan torsional (cedera olahraga)
2. Kekerasan yang ditransmisikan melalui kaki (cth : jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas)
3. Hentakan langsung (cth kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda yang berat)
Isolated fracture tibia atau fibula dapat terjadi akibat kekerasan secara langsung walaupun
relative jarang. Kekerasan tidak langsung menyebabkan fraktur pada tibia sekaligus fraktur
fibula.
Manifestasi klinis :
1. nyeri
2. pembengkakan
3. Deformitas
4. Nyeri tekan
5. Fraktur krepitus
6. sering berupa fraktur terbuka karena 1/3 tibia adalah subkutaneus
X ray : AP dan Lateral view dari tibia/fibula (harus meliputi lutut dan pergelangan kaki)
Komplikasi : compartment syndrome pada fraktur tertutup dan infeksi pada fraktur terbuka.
Terapi:
1. fraktur tertutup undisplaced dari tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV sebelum X ray
b. aplikasikan backslab diatas lutut
c. ulangi X ray untuk mengecek final position dari fraktur.
d. MRS untuk observasi
2. Fraktur tertutup displaced dari tibia dan fibula
a. Berikan narkotik IV sebelum X ray
279
2. Fraktur ankle :
a. Aplikasikan backslab dibawah lutut
b. MRS untuk fiksasi internal kecuali pada isolated stabel fracture of lateral
malleoulus dibawah ankle mortise yang dapat diterapi secara konservatif.
3. Dislokasi ankle
a. Pasang heparin plugdan berikan narkotik IV sebelum dilakukannya X ray
Catatan : dislokasi ankle harus direduksi secepatnya dibawah conscious sedation
dengan midazolam dan narkotik, atau inhalasi Entonox (N2O/O2) untuk
mencegah nekrosis kulit. Sehingga, jika terdapat katerlambatan X ray > 10-15
menit atau jika terdapat tanda circulatory compromise, ankle tersebut harus dire-
lokasi bahkan sebelum X ray dilakukan.
b. Aplikasikan short leg backslab setelah reduksi
c. Lakukan post reduksi X ray
d. MRS untuk fiksasi internal.
Fraktur Calcaneum
Mekanisme trauma : jatuh dari ketinggian pada tumit
Catatan : ingat untuk menyingkirkan fraktur calcaneal bilateral dan wedge fracture of spine.
Manifestasi klinis :
1. tumit ketika dilihat dari arah belakang akan nampak melebar, memendek, mendatar atau
miring ke lateral membentuk valgus.
2. Pembengkakan yang menegang pada tumit
3. Nyeri tekan local yang jelas
4. Jika px muncul kemudian, mungkin akan timbul bruising yang dapat menyebar ke sisi
medial telapak kaki dan proksimal dari betis.
X ray : AP, lateral, dan axial view dari calcaneum
Terapi :
1. jika sendi subtalar tidak terlibat
a. aplikasikan firm bandaging over wool
b. KRS dengan crutches (tongkat penyangga), analgesic, dan sarankan untuk
melakukan elevasi tungkai di rumah.
2. Jika fraktur kalkaneum bilateral ada, sarankan untuk istirahat.
3. Jika kalkaneum mengalami pergeseran atau ‘crushed’:
a. aplikasikan backslab di bawah lutut
b. MRS
FOOT INJURY
Catatan : yang paling sering terjadi a.l :
Fraktur kalkaneum
Dislokasi Tarso-metatarsal
Fraktur metatarsal
Fraktur phalangeal/dislokasi
Dislokasi Tarso-metatarsal (Lisfranc’s)
Mekanisme trauma:
1. jatuh pada plantar flexed foot
2. Hantaman pada forefoot seperti pada kecelakaan lalu lintas
3. hantaman pada tumit ketika berada pada posisi berlutut/bersujud
4. run over kerb side accident
5. Inverse, eversi atau abduksi dari forefoot yang dipaksakan.
Manifestasi klinis : bengkak dan ‘penyimpangan’ dari kaki
X ray : AP dan Oblique view dari kaki (gambar 3)
281
Catatan : Lisfranc’s dislocation tidak selalu menyediakan bukti yang jelas pada
radiografi, dan tetap menjadi fraktur kaki yang paling sering mengalami
missdiagnosa
Komplikasi : arteri dorsalis pedis atau anastomosis medial plantar dapat berada dalam
ancaman.
Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. Aplikasikan backslab
3. MRS untuk open reduction and Internal Fixation (ORIF)
Fracture Metatarsal
Mekanisme : sering disebabkan karena Crushing injury
X ray : AP dan Oblique view dari kaki
Prinsip manajemen :
1. Jika fraktur undisplaced tanpa kerusakan jaringan lunak
a. bereikan analgesic sebelum X ray
b. Terapi simptomatik dengan crepe bandage atau short backslab dari bagian distal
sampai atas jari kaki
c. KRS dengan non-weight bearing crutches (NWB) dan analgesic.
d. Rujuk ke klinik ortophedi
2. Jika fraktur multiple dan undisplaced, terapi konservatif seperti diats.
3. Jika fraktur multiple dan displaced :
a. MRS untuk operasi jika fraktur terbuka
b. Aplikasikan backslab dan KRS dengan analgesic dan crutches NWB kemudian
rujuk segera ke klinik ortopedik untuk review ORIF, jika fraktur tertutup.
Phalangeal Fracture/dislokasi
X ray : AP dan oblique view dari kaki
Prinsip manajemen :
1. tangani cedera jaringan lunak serta nail bed injury terlebih dahulu.
2. Reduksi dislokasi menggunakan digital block atau Entonox.
3. Immobilisasi Fraktur dan dislokasi menggunakan adhesive strapping pada jari kaki yang
berdekatan.
4. KRS dengan analgesic dan rujuk ke klinik ortopedik.
5. Untuk dislokasi jari kaki multiple, MRS untuk reduksi.
282
PERHATIAN
Perhatikan adanya suatu komplikasi luka pada wajah: utamanya komplikasi obstruksi saluran
napas, perdarahan, tulang leher, dan perlukan mata.
Sejak beberapa perlukaan yang diakibatkan trauma tumpul, pemeriksaan sekunder survey
dapat menjadi dasar menyingkirkan perlukaan multisistem (terjadi dalam 60% kasus trauma
wajah yang berat)
Jangan terlalu memaksakan penderita dengan patah mandibula pada posisi terlentang karena
mungkin terjadi gangguan jalan napas: usahakan penderita setengah duduk jika penderita
memerlukannnya.
Jika tidak ada perdarahan luar yang siknifikan tidak menyingkirkan penyebab perdarahan da-
lam sebagai penyebab shok hipovolumik sejak posisi penderita terlentang mungkin menelan
darah. Hanya kemudian, selama muntah, derajat perdarahan dapat ditentukan.
Lakukan pemeriksaan lengkap pada wajah, komponen pemerikasaan mata dan status sumbatan
jalan napas.
Keuntungan pada tulang anak-anak lebih lunak di banding dewasa, lebih besar tenaga yang
diperlukan untuk patah tulang wajah anak dengan kejadian banyak terjadinya bersamaan
perlukaan intracranial.
PENATALAKSANAN
Secara umum dikatakan, penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok :
Kelompok perlukaan maxillofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau
ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
Kelompok perlukaan maxillofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya
penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus
diterapi di tempat perawatan kritis pada rawat darurat :
1. Trauma maxillofasial berat harus di rawat pada kristis area diikuti dengan teknik
ATLS.
2. Yakinkan dan jaga patensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika
penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : 1. dengan jari 2. O-slik suture 3. dengan handuk
d. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi
(lihat tatalaksana jalan napas/ RSI untuk detailnya)
3. Berikan oksigenasi dengan masker non-reabreating .
4. Monitor : tanda vital stiap 5 – 10 menit, ECG, pulse oximetry.
5. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.
283
Catatan : posisi a,b, dan c diatas digunakan sebagai posisi standard wajah. Yang mana Goh et al (2002)
menunjukan bahwa posisi 30 derajat tunggal OM seharusnya cukup untuk melihat trauma
maxillofacial. Meningkat, jika dicurigai patah tulang wajah, suatu posisi 30 derajat OM tungal
seharusnya diminta dan tidak posisi wajah.
Posisi OM (water’s)
Lihat figur 1: baik untuk wajah bagian tengah, memperlihatkan rongga mata dan dasar dan darah dalam
sinus maxillary.
Posisi PA (Caldwell)
Lihat figur 2 : tampak tulang frontal dan sinus paranasal. Dapat kadang-kadang tampak tsebelah atas
suture frontal zygomaticus diastasis dalam patah tripod lebih baik pada foto OM. 3
Posisi Towne
Lihat figure 5 : tampak ramus mandibula dan condyles.
Garis 1 (figur 7) : mulai sisi luar wajah, mengikuti lewat celah antara tulang frontal dan
zygomatic pada tepi lateral mata melintang dahi, penilaian tepi orbita superior dan sinus
frontal disisi luar. Bandingkan sisi bagian perlukaan dan bukan. Cari :
1. Patah tulang.
2. Pelebaran suture zygomatikus.
3. Garis pada sinus frontal.
Garis 2 (figur 8) : mulai sisi luar wajah, telusuri keatas sepanjang dinding tepi sudut zygoma
(atas elephant’s trunk), melintang badan zygoma, kebawah tepi orbita, mengarah bentukan
hidung ke sisi lain dari wajah. Bandingkan pada perlukaan dengan sisi yang bukan. Amati
patah tulang sudut zygoma melalui tepi bawah mata bayangan jaringan lunak pada dinding
atas antrum maxillaris (blow out fracture).
Garis 3 (figur 9) : mulai luar wajah, mengikuti sepanjang tepi sudut zygoma ( bawah
elephant’s trunk), dan bawah lateral dinding antrum maxillaris ke dinding inferior dari antrum,
melintang sepanjang maxilla garis gigi kesisi lainny
Figure 10 Figure 11
Figur 10 : mekanisme injury yang menyebabkan blow out frakture pada dasar mata.
285
Trauma lurus pada mata meningkatkan tekanan intraorbita. Patah tulang mata adalah bagian yang
paling lemah – dinding orbita – daripada bola mata. Alternative, trauma pada dinding inferior mata
menyebabkan dinding orbita mengeser dan patah.
Catatan : suatu patah tulang Blow out pada mata tidak termasuk pada dinding mata. Kenyataannya ,
adanya patah tulang dinding mata seharusnya diamati adanya patah tulang ‘tripode’ pada zygoma.
Terdapat patah tulang melalui jaringan penyangga tulang molar : (1) sudut zygoma (2) dinding mata
lateral (frontozygomatic suture), (3) dinding mata inferior dan dasar mata, dan (4) dinding anterior dan
lateral dari sinus maxillaris.
Pemeriksaan fisik :
1. cari perdarahan subconjunctival lateral.
2. cari drooping cantus lateral
3. uji anestesi infraorbita
4. periksa secara terbuka
pencitraan : posisi OM (water’s)
disposisi : patah tulang tripod dapat di kirim ke bedah plastik SOC. Saran dipulangkan
termasuk datang kembali secepatnya jika ada pandangan kabur atau patah tulang blow out.
Penderita seharusnya rawat inap jika terdapat:
1. dipoplia berat.
2. trismus
3. gangguan penglihatan
Posisi water
Patah tulang mid-face bilater adalah ciri khas semua patah tulang LeFort
Level udara pada sinus maxillaris bilateral atau bayangan opaq sering kali ada.
LeFort I
287
Sumber : Tabel dihasilkan dengan ijin perusahaan McGraw-Hill, dari Schwartz dan Reisdorff (2001) ;
page 361, table 15-5.
Ellis klas I
Patah hanya enamel : nyeri minimal.
Disposisi: ahli gigi pada hari berikutnya.
Ellis klas II
Patah pada enamel dan tampak berwarna merah muda atau gigi kuning
Disposisi: langsung ke doker gigi jika seorang anak: hari berikutnya jika dewasa.
Caveats
Kesulitan yang paling banyak terjadi dalam manajemen trauma pelvic meliputi:
1. Kegagalan mempertimbangakan fraktur pelvic pada px dengan trauma multisistem.
2. kegagalan untuk memberikan resusitasi yang adekuat
3. kegagalan untuk mengenali injury lain yang terkait.
Terdapat kehilangan darah yang sangat banyak pada fraktur pelvic terbuka (berkebalikan
dengan yang tertutup) karena efek tamponade peritoneum hilang.
Wanita tua sering menderita fraktur pelvic dengan trauma jatuh yang minimal karena adanya
osteoporosis.
Mekanisme trauma:
1. Simple falls, avulsi dari attachment muscular.
2. hantaman/pukulan secara langsung
3. jatuh dari ketinggian, kecelakaan sepeda motor, tabrakan mobil berkecepatan tinggi
Trauma lain yang terkait : mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada fraktur pelvis ke-
banyakan terkait dengan trauma lain yang mempengaruhi pembuluh darah, nervus, genitouri-
nary, dan traktus gastrointestinal bagian distal.
Penyebab kematian: perdarahan yang tidak terkontrol
Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis pubis.
Berikan analgesic yang adekuat.
Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak stabil.
Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan C-clamp
external fixator.
Jika control perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.
290
PERHATIAN
Selalu ingatlah akan adanya perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehamilan.
Pertimbangan kondisi jalan nafas (pada primary survey)
1. Intubasi mungkin sulit dilakukan dengan adanya edema jalan nafas
2. Terdapat peningkatan resiko aspirasi akibat berkurangnya tekanan esofagus bagian bawah
disertai peningkatan tekanan gaster akibat tekanan uterus.
Pertimbangan kondisi pernafasan (pada primary survey)
1. Peningkatan konsumsi oksigen sebesar sekitar 15%, mengakibatkan menurunnya cadangan
oksigen.
2. Peningkatan ventilasi per menit yang mengakibatkan hipokarbia fisiologis. Keadaan
normocarbia, jika terdeteksi, bisa jadi sesungguhnya menunjukkan kondisi hipoventilasi.
3. Keterbatasan gerak diafragma yang terjadi selama kehamilan mengakibatkan menurunnya
kapasitas residual fungsional dan menyebabkan pneumothoraks dan heamtothoraks lebih
mengancam nyawa.
4. Tekanan ventilasi dapat meningkat akibat berkurangnya compliance dinding dada dam
keterbatasan gerak diafragma.
5. Karena diafragma dapat berubah ketinggiannya sampai 4 cm, pemasangan chest tube
sebaiknya dilakukan diatas ICS IV.
Pertimbangan kondisi ventilasi (pada primary survey)
1. Tekanan darah ibu berkurang sebanyak 5-15 mmHg dan denyut jantung meningkat sebanyak
15-20 denyut/menit selama trimester II, tetapi tanda vital ini sebaiknya tidak serta merta
dianggap normal sampai dievaluasi secara menyeluruh kemungkinan adanya perdarahan.
2. Kehilangan darah pada ibu sampai 35% (sekitar 1.5 liter) dapat ditoleransi sebelum tanda syok
menjadi jelas.
3. Bukti adanya gawat janin bisa jadi merupakan tanda pertama adanya syok perdarahan pada ibu
karena aliran darah uterus dialihkan untuk mendukung sirkulasi ibu.
4. Syok hipovolemik yang tidak tertangani dengan baik dapat mengganggu sirkulasi plasenta.
Syok pada ibu berkaitan dengan tingkat mortalitas janin yang mencapai 80%. Juga dapat
menyebabkan infark hipofisis, yang secara normal bertambah besar ukurannya selama
kehamilan (sindrom Sheehan).
5. Sindroma hipotensi pada posisi telentang terjadi (biasanya sejak usia kehamilan 20 minggu)
bila uterus menekan vena cava inferior dan dapat memperburuk syok pada ibu.
6. Anemia fisiologis terjadi akibat peningkatan volume darah ibu sekitar 50% tetapi hanya
disertai dengan peningkatan masa sel darah merah sebesar 25%.
Pertimbangan kondisi anatomis (pada secondary survey)
1. Uterus mencapai pelvis pada usia kehamilan 12 minggu, mencapai umbilicus pada 20 minggu,
xyphisternum pada 36 minggu, dan dapat mempersulit penilaian abdomen.
2. Struktur tulang penyusun pelvis lebih jarang mengalami fraktur akibat peningkatan kelenturan
ligamen.
3. Simfisis pubis dan sendi sakroiliaka bisa jadi melebar, menyerupai diastasis pada pemeriksaan
radiologis. Korelasi klinis dengan mekanisme cedera dan adanya nyeri tekan diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
4. Kompresi vena cava inferior selama kehamilan mengakibatkan peningkatan kongesti pelvis,
yang dapat menyebabkan perdarahan retroperitoneal atau pelvis yang hebat.
Tips Khusus Untuk Dokter Umum
Pencegahan lebih baik daripada mengobati
1. Sarankan pada pasien hamil agar menggunakan sabuk pengaman dengan benar saat dalam
mobil: bagian bahu harus terletak di atas rahim dan bagian yang melintang di pangkuan harus
terletak di atas panggul, di bawah rahim.
2. Sarankan penggunaan alas kaki yang tepat untuk mencegah terjatuh: bertumit datar dengan
alas yang berdaya cengkram baik.
Pertolongan dasar yang dapat diberikan bila Dokter Umum sebagai penolong pertama meliputi:
1. Memposisikan pasien dengan tepat (lihat komentar di atas)
2. Kendalikan perdarahan lokal
3. Suplementasi oksigen (jika tersedia)
4. Pemberian cairan IV dini (jika tersedia)
291
TATA LAKSANA
Prinsip-Prinsip Umum
Prioritas masalah dan ABC dalam tata laksana trauma tidaklah berbeda oleh adanya kehamilan.
Terdapat 2 pasien yang harus distabilisasi, tetapi lakukan stabilisasi terhadap ibu terlebih dahulu.
Libatkan secara dini seorang ahli Obstetri dalam tim Trauma.
Tangani pasien di area yang dilengkapi dengan monitor (perawatan intermediat):
1. Berikan oksigen
2. Awasi: EKG, pulse oximetry, tanda-tanda vital setiap 5-10 menit, CTG secara terus menerus
untuk pasien dengan kehamilan >20 minggu.
Posisi pasien:
1. Bila dicurigai terjadi trauma spinal, posisikan pasien dengan memletakkan kantong pasir atau
baji (baji Cardiff) dibawah bokong kanan dan pindahkan uterus secara manual ke sebelah kiri.
2. Jika tidak, tangani pasien dengan posisi lateral kiri.
Primary Survey
Bebaskan jalan nafas seperti pada pasien yang tidak hamil.
Lakukan penekanan krikoid untuk mengurangi aspirasi gaster pada pasien dengan penurunan
kesadaran yang kehilangan refleks protektif jalan nafas.
Pasang NGT untuk dekompresi lambung.
Lakukan intubasi bila perlu.
Lakukan resusitasi dengan cairan kristaloid IV secara agresif. Pertimbangkan tranfusi dini. Hindari
penggunaan vasopressor sedapat mungkin, yang dapat mengakibatkan penurunan aliran darah ute-
rus.
Resusitasi pada keadaan henti jantung sebaiknya mengikuti acuan seperti halnya pada pasien yang
tidak hamil.
Akan tetapi, bila tidak kembali terjadi sirkulasi spontan setelah 5 menit, harus dipertimbangkan
dilakukan sectio caesarea cito bila janin masih hidup.
Secondary Survey
Secondary survey dilakukan dengan cara yang sama seperti pada pasien yang tidak hamil.
Indikasi pemasangan chest tube adalah sama. Akan tetapi, jangan lakukan pemasangan chest tube
dibawah ICS IV.
Selain itu, penilaian terhadap uterus dan kondisi fetus harus meliputi:
1. Pengawasan CTG secara kontinu terhadap iritabilitas uterus, penurunan denyut jantung janin
maupun hilangnya variabilitas denyut jantung janin.
2. Tinggi fundus uteri dan adanya nyeri tekan.
3. Gerakan janin.
4. Adanya darah di jalan lahir, cairan ketuban (pH>7.5), effacement cervix dan ancaman persali-
nan.
Cedera dan komplikasi yang khas pada kehamilan:
1. Abruptio placentae
a. Penyebab utama kematian janin setelah trauma tumpul.
b. Terjadi sebagai akibat regangan total oleh trauma tumpul atau deselerasi mendadak.
c. Trias klinis terdiri dari nyeri perut, perdarahan per vaginam, iritabilitas uterus, walapun
mungkin samar.
d. Dapat terjadi akumulasi darah ibu di uterus sampai 2 liter.
e. Berkaitan dengan peningkatan resiko terjadinya DIC.
2. Ruptur uterus
a. Jarang terjadi
b. Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul abdomen.
c. Resiko lebih tinggi pada wanita dengan riwayat SC.
d. Gambaran klinis meliputi peritonismus, uterus asimetris dan teraba bagian janin.
292
3. Partus prematurus
a. Peningkatan iritabilitas uterus dapat terjadi sebagai akibat trauma uterus.
b. Disebabkan oleh peningkatan asam arakidonat.
c. 90% terjadi abortus spontan.
4. Cedera janin
a. Jarang terjadi, karena janin lebih sering mengalami gangguan akibat hipoksia atau
hipovolemik pada ibu.
b. Dapat terjadi akibat trauma tajam maupun tumpul.
5. Sensitisasi Rh
a. Terjadi bila darah dari janin Rh positif masuk ke dalam sirkulasi ibu yang rh negatif.
b. Perlu dipertimbangkan pemberian Imunoglobulin Rh (IM RhoGAM 300mg) pada semua
ibu Rh negatif yang mengalami trauma abdomen, dengan konsultasi ke ahli Obstetri.
6. Emboli cairan ketuban
a. Jarang terjadi dan dengan prognosis yang buruk
b. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler, distres nafas, kejang atau DIC.
Pemeriksaan
Darah lengkap, ureum, creatinin, elektrolit
Faal hemostasis
Persediaan darah yang telah dilakukan Uji Silang (jangan lupa mencantumkan status Rh ibu).
Tes Kleihauer (bagi ibu Rh negatif).
Pemeriksaan sinar X dan CT yang diperlukan tidak boleh ditunda, gunakan pelindung timbal yang
sesuai, walaupun dapat dipertimbangkan sarana diagnostik lain seperti DPL dan USG.
Indikasi dilakukannya DPL tetap sama. Akan tetapi, tindakan ini harus dilakukan di lokasi yang
terletak lebih tinggi dari fundus uteri, atau setidaknya di atas umbilikus. Karena usus terdorong ke
superior oleh uterus, terdapat peningkatan resiko terjadinya perforasi pada kasus trauma tumpul
abdomen atas, dan harus digunakan jumlah sel lekosit yang lebih rendah (5000/mm 3) sebagai
batasan untuk menentukan nilai positif pemeriksaan ini.
Pemeriksaan ultrasonografi (FAST) sangat berguna dalam mendeteksi hemoperitoneum, serta
mendeteksi gerakan janin dan abruptio plasenta.
Penanganan Definitif
Keputusan untuk penanganan definitif cedera yang terjadi harus dibuat oleh ahli Bedah maupun
Obstetri yang terlibat.
Situasi yang mungkin memerlukan terminasi segera kehamilan meliputi:
1. Abruptio plasenta
2. Gawat janin
3. Henti jantung ibu
Sekalipun tidak terjadi cedera yang bermakna pada ibu, pasien harus menjalani pengawasan CTG
secara kontinu selama setidaknya 4 jam. Karena cedera yang sepele saja dapat menyebabkan sep-
arasi plasenta.
Disposisi
Pasien dengan trauma mayor secara umum harus dirawat di ICU Bedah Umum atau HDU.
Pasien dapat pula dirawat di ruangan subspesialis bedah sesuai dengan jenis cedera yang dialami
ibu (misalnya ibu hanya mengalami trauma kepala, dapat dirawat di bagian Bedah Syaraf; atau di
bagian Ortopedi jika mengalami patah tulang semata).
Jika tidak terdapat cedera yang nyata dan bermakna, pasien dapat dirawat di ruang bersalin untuk
dilakukan pengawasan.
293
Caveats
Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam nyawa dan
termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada ED, jangan
berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang diberikan lewat IM absorb-
sinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis
efek penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika
dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
Untuk setiap cedera ortopedi, selalu ingat untuk mencatat status neurovascular sebelum dan
sesudah manipulasi/reduksi atau aplikasi gips.
Fraktur Klavikular
Mekanisme trauma
1. Sebagian besar terjadi karena jatuh dengan tangan yang terulur.
2. Dapat juga terjadi karena hantaman langsung pada bahu, cth: terjatuh pada posisi
samping.
Manifestasi klinis :
1. Nyeri Tekan pada lokasi fraktur
2. Deformitas dengan pembengkakan local.
X Ray: bisaanya Foto AP bahu cukup adekuat.
Komplikasi : jarang, fragment fraktur dapat membahayakan struktur neurovascular subklavial.
Terapi: Broad arm sling dan control ke klinik ortopedik 5 hari kemudian.
Dislokasi Sternoklavikular
Mekanisme trauma : bisaanya akibat jatuh atau hantaman pada daerah anterior bahu:
1. Asimetri dari inner end klavikula
2. Nyeri tekan local
Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan dan bengkak pada sendi sternoklavikular
2. Nyeri pada saat lengan digerakkan dan pada saat kompresi bahu ke lateral.
3. Dengan cedera berat, klavikula medial bergeser relative terhadap manubrium.
4. Dispneu, disfagi, atau tersedak (pada px dengan dislokasi posterior karena kompresi
struktur mediastinal).
X ray : AP dan Oblique view sulit untuk diinterpretasi. Dx bisaanya berdasarkan pemeriksaan
klinis. Namun tomogram atau CT mungkin dapat dilakukan.
Komplikasi : jarang, dislokasi mungkin dapat membahayakan pembuluh darah posterior dari
klavikula.
Terapi:
1. Subluksasi minor : Broad arm sling, Analgesic dan control ke klinik ortopedi setelah 3
hari.
2. Gross Displacement : MRS dibagian Ortopedi untuk eksplorasi / reduksi di bawah GA.
Catatan : Cedera yang mengancam nyawa, bila mengenai struktur didekatnya terjadi pada 25%
kasus dislokasi posterior.
294
Fraktur Skapula
Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma langsung pada dada posterolateral.
Manifestasi klinis : nyeri local dan pembengkakan serta adanya associated injury.
X ray : AP bahu, dengan atau tanpa Scapular View.
Komplikasi : Fraktur scapular bisaanya terkait dengan cedera intrathorax yang signifikan
seperti kosta, fraktur vertebral, fraktur klavikular, cedera pembuluh darah pulmonal dan
pleksus brachialis.
Terapi :
1. Isolated Scapular Fracture : Broad arm sling dan analgesic, control ke klinik ortopedi
setelah 3 hari.
2. Bersamaan dengan cedera intratoraks yang lain: MRS ke bedah umum.
Dislokasi bahu
Secara statistic : 96% dislokasi anterior, 3,4% posterior, 0,1% inferior (luxatio ercto).
Dislokasi Anterior
Mekanisme trauma : jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu.
Manifestasi :
1. Khas : px bisaanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku dengan
menggunakan tangan sebelahnya .
2. lengan dalam posisi abduksi ringan
3. Kontur terlihat ‘squared off’
4. Nyeri yang sangat.
X ray : AP dan axial atau Y-Scapular view akan membantu membedakan dislokasi anterior
dengan posterior.
Catatan : X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk menyingkirkan fraktur lain
yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan Reduksi ( M & R). ada peningkatan bukti
yang menunjukkan bahwa dislokasi bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan
pre-M&R X ray. Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.
Komplikasi :
1. Rekuren
Catatan : Hill-Sachs lesion (fraktur kompresi aspek posterolateral dari humeral head) dapat
terlihat pada px yang sebelumnya menderita dislokasi anterior.
2. Avulsi Tuberositas mayor (banyak terjadi pada px > 45 tahun).
3. Fraktur anterior Plenoid lip
4. Kerusakan arteri aksilaris dan pleksus brakialis.
Catatan : Harus memeriksa :
1. Fungsi Nervus axillaris dengan memeriksa sensasi jarum pada deltoid atau ‘regimental
badge’area.
2. Pulsasi pada pergelangan tangan
3. Fungsi Nervus radialis.
295
Terapi :
1. Isolated anterior dislocation : M&R (dengan bermacam-macam teknik) dibawah con-
scious sedation.
2. Dislokasi anterior dengan fraktur tuberositas humerus mayor atau minor : M&R dibawah
conscious sedation.
3. dislokasi anterior dengan fraktur proksimal shaft humeral : M&R dibawah GA, pertim-
bangkan ORIF.
Manajemen lanjutan : analgesic IV, BUKAN IM (tempatkan IV plug untuk antisipsi M&R),
kemudian X ray yang diikuti M&R dibawah conscious sedation.
M&R : merupakan teknik traksi yang disukai untuk digunakan daripada teknik terdahulu
seperti maneuver Hippocratic/Kocher’s.
Traksi harus dilakukan pada area critical care atau intermediate care dimana px dapat dimoni-
toring, dan px berada pada kondisi conscious sedation (lihat bab Conscious sedation).
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px pada posisi supine dengan siku fleksi
90o.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada posisi abduksi
penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana seorang asisten mengaplikasikan
tekanan yang lembut pada sisi medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X ray post reduksi.
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan pada ED yang sangat
sibuk.
a. berikan analgesic IV dimana px berbaring pada posisi pronasi dengan lengan
tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat 2,5-5kg terikat pada lengan
tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.
3. Teknik Countertraction
Bermanfaat sebagai sebuah maneuver back-up ketika cara-cara diatas gagal.
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px berbaring supine dan tempatkan
rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.
b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line traction sementara.
Asisten memasang traksi pada arah yang berlawanan menggunakan rolled sheet.
c. Setelah relokasi, paang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi.
d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.
4. Teknik Spasso, walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas, namun teknik ini telah
digunakan pada departemen kami, dan kami anggap bahwa metode ini merupakan metode
yang paling mudah dilakukan dengan angka keberhasilan yang tinggi.
a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit dengan dengan dinding
dada.
b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar simultan. Pada
kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi kedepan 90o, akan terdengar
bunyi ‘clunk’, dan head humerus telah kemabali pada posisinya.
c. Adduksi lengan
d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi.
Dislokasi posterior
Mekanisme Trauma
1. Bisaanya karena jatuh pada tangan yang terotasi ke dalam serta terjulur atau karena han-
taman pada bagian depan bahu.
296
2. Terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum listrik.
Manifestasi
1. Lengan terletak berotasi internal dan adduksi
2. Px merasakan nyeri, dan terdapat penurunan peregerakan dari bahu
X ray : AP (Gambar 2a) dan Y scapular view (Gambar 2b)
Catatan : sangat mudah terjadi missdiagnosa dislokasi bahu posterior pada bahu AP. Suspek
dislokasi posterior jika terdapat ‘light bulb sign’ karena rotasi internal bahu dan terdapat over-
lap antara head humerus dan glenoid labrum pada foto bahu AP.
Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
Terapi : prinsip sama dengan dislokasi anterior
1. Untuk isolated dislokasi posterior, coba M&R dibawah IV conscious sedation.
2. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur tuberositas, coba M&R dibawah conscious seda-
tion.
3. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur humeral shaft, MRS untuk M&R di bawah GA,
pertimbangkan ORIF.
Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, pasang traksi pada lengan pada posisi abduksi
90o.
2. Kadang countertraction dengan seorang asisten menggunakan rolledsheet dibawah aksilla
perlu dilakukan.
3. Secara perlahan lengan dirotasikan ke eksternal.
4. Setelah relokasi dilakukan pada kasus yang pertamakali terjadi pada seorang dewasa
muda, aplikasikan strapping bersama dengan collar dan cuff.
5. Setelah relokasi pada lansia, aplikasikan collar & cuff dan pertimbangkan early
mobilization.
Penempatan : Klinik ortopedi setelah 3 hari.
Dislokasi Inferior
Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan lengan berada pada posisi abduksi.
Manifestasi klinis :
1. Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’
2. Hilangnya kontur bulat dari bahu.
X ray : foto AP cukup untuk mendiagnosa.
Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
Terapi : prinsipnya sama dengan dislokasi yang lain:
1. Untuk dislokasi dengan atau tanpa fraktur tuberosita, coba M&R dibawah IV conscious
sedation.
2. Untuk dislokasi dengan fraktur humeral neck, coba M&R dibawah GA, KIV ORIF>
Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, aplikasi traksi yang steady pada lengan yang
dibduksi.
2. kadang diperlukan counter traction dengan seorang asisten menggunakan rolled sheet
yang ditempatkan pada akromion.
3. Setelah relokasi, pasang collar & cuff.
Penempatan : control ke poli ortopedi setelah 3 hari.
.................................................
..............................................
297
Terapi :
1. Jika terdapat displacement minimal (<10-15o) pasang long arm back slab dan control ke
klinik ortopedi setelah 1-2 hari. Berikan KIE yang jelas mengenai ancaman Compartment
syndrome (gejala dan tandanya).
2. Jika terdapat pembengkakan pada daerah siku dengan minimal angulated fracture. Per-
timbangkan meng-MRS-kan px untuk observasi sirkulasi.
3. Jika displacement > 15o, pasang long arm backslab dan rencanakan M&R.
Dislokasi Siku
Mekanisme trauma : karena pada posisi tangan terulur, yang paling sering ditemukan adalah
dislokasi posterolateral.
Manifestasi :
1. Deformitas siku dengan nyeri tekan dan bengkak
2. Bentukan segitiga antara olekranon, epicondilus lateral dan medial mengalami kerusakan.
X ray : AP dan lateral siku.
Komplikasi : cedera arteri brakialis, nervus ulnaris atau medianus
Terapi : M & R di bawah IV conscious sedation
1. Dengan posisi px supine, paang traksi pada garis lengan
2. Fleksi ringan siku mungkin dipelukan selama mempertahankan traksi.
3. setelah relokasi, pasang long arm back slab
4. Jika tidak ada bukti kerusakan neurovascular, control ke klinik ortpedi setelah 3 hari.
5. jika terdapat kerusakan neurovascular walaupun sangat ringan, MRS di bagian ortopedi
untuk observasi.
6. pastikan bahwa sendi telah tereduksi, X ray kadang bisa menipu.
299
Fraktur Olekranon
Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh pada siku, juga karena kontraksi yang kuat pada
otot trisep.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak/bruising (memar) di daerah olekranon.
X ray : AP dan lateral siku.
Terapi :
1. Jika tidak terdapat displacement dari fraktur, atau ada tapi minimal, pasang long arm back
slab dan control ke klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS untuk M&R dibawah GA,
KIV ORIF
Fraktur Colle’s
Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan terulur.
Manifestasi klinis : khas : Deformitas bentuk ‘dinner fork’ dengan nyeri tekan local.
X ray : lateral (gambar 4a) dan AP (gambar 4b) pergelangan tangan.
Komplikasi : malunion : delayed rupture dari M. Extensor pollicis longus; kompresi nervus
medianus; sudeck’s atrophy.
Terapi reduksi :
1. pasang longitudinal traction untuk ‘disimpact’ fracture.
2. Kemudian pasang flexion and ulnar deviation force pada fragmen menggunakan jari atau
ibu jari.
3. Setelah reduksi pasang short arm backslab dengan posisi lengan bawah pronasi, ulnar de-
viasi dan fleksi ringan pada pergelangan tangan.
4. Jika X ray ulang menunjukkan reduksi yang memuaskan, pasang sling dansarankan px
untuk mobilisasi bahu, siku dan jari.
Penempatan :
1. jika reduksi memuaskan : control ke klinik ortopedi dalam 2 hari.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M&R dibawah GA
atau ORIF.
3. Pasang short arm volav slab dengan lengan bawah pada supinasi penuh, pergelangan tan-
gan pada posisi dorsiflexion dan siku dalam posisi ekstensi, kemudian pasang long arm
backslab dengan siku fleksi 90o.
Penempatan :
1. Jika reduksi memuaskan control ke klinik ortopedi setelah 2 haru.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M & R dibawah
GA atau ORIF.
Fraktur Barton’s
Merupakan bentuk fraktur Smith dimana hanya bagian anterior radius yang terlibat.
Mekanisme trauma : karena jatuh pada saat tangan terulur.
Manifestasi klinis: nyeri tekan local, pembengkakan dan deformitas.
X ray : foto AP dan lateral pergelangan tangan.
Terapi : pasang short arm volar slab dan MRS pada bagian ortopedi untuk ORIF.
Dislokasi Lunate
Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan yang terulur.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak
X ray : AP dan lateral pergelangan tangan (gambar 8)
Komplikasi : palsy nervus medianus/avaskularnekrosis/sudeck’s atrophy.
Terapi :
1. Reduksi dibawah Bier’s Block
2. Monitor tanda vital dan EKG.
Teknik Reduksi
1. Pasang traksi untuk mensupinasi pergelangan tangan
2. Luruskan pergelangan tangan, pertahankan tarikan tersebut.
3. Aplikasikan tekanan dengan ibu jari pada lunate.
4. Fleksikan pergelangan tangan secepatnya ketika anda merasakan lunate masuk ke dalam
tempatnya.
5. Pasang short arm back slab pada posisi pergelangan tangan agak fleksi.
Penempatan
1. bila reduksi berhasil, control ke klinik ortopedi setelah 2 hari.
2. Jika percobaan reduksi tidak berhasil, pasang backslab dan MRS untuk ORIF
302
Dislokasi Perilunate
Mekanisme trauma : karena jatuh saat tangan terulur atau hantaman langsung pada tangan.
Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak, dan deformitas.
X ray : AP dan oblique view dari metacarpal.
Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang short arm backslab dan control ke klinik ortopedi dalam
2-3 hari.
2. Jika fraktur displaced, coba reduksi di bawah Bier’s block, diikuti dengan aplikasi back-
slab. Control ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
3. Jika fraktur melibatkan metacarpal neck, splint harus diluruskan diluar PIPJ dengan
MCJP pada saat fleksi 90o. control ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
Fraktur Bennett’s
Merupakan fraktur metacarpal ibu jari, dimana ada fragmen medial kecil dari tulang yang miring, na-
mun tetap terhubung dengan ‘trapezium’.
X ray : AP dan Lateral view dari metacarpal ibu jari.
Catatan : garis vertical fraktur melibatkan trapezo-metacarpal joint dan terdapat subluksasi
proksimal dan lateral dari metacarpal ibu jari.
Terapi : pasang scaphoid thumb spica backslab dan MRs pada bagian hand surgey untuk OR-
IF.
105. Urolithiasis
Caveats
Peningkatan intake cairan, meningkatkan disolusi batu. Dianjurkan intake cairan adekuat 3000
– 4000 ml per hari (cukup untuk produksi 2 quarts urine tiap 24 jam). Hati-hati pada pasien
tua dengan riwayat gagal jantung kongestif.
Terapi citrate chelates kalsium dalam bentuk kompleks terlarut.
Diet serat memiliki efek tidak langsung mencegah batu ginjal.
Untuk kolik renal akut berat beri analgesik. NSAIDs seperti diklofenak menghambat produksi
prostaglandin-E2 pada tempat obstruksi. Narkotika seperti pethidine dapat meningkatkan
spasme otot polos, memperberat nyeri. Kedua obat tersebut kontraindikasi relatif pada
kehamilan dan ibu menyusui. Pada kehamilan, batu mudah keluar karena dilatasi normal dari
ureter. Allopurinol untuk batu asam urat.
304
Disposisi
Rujuk ke urology
1. Nyeri menetap setelah analgesik
2. Ukuran batu > 8mm pada KUB
3. Pasien dengan batu solid
4. Adanya infeksi, khususnya dengan obstruksi
Rujuk pasien hamil untuk poliklinik dini.
305
PENTING
Anamnesis yang baik mengenai kejadian sangatlah penting untuk menentukan kemungkinan ced-
era penyerta dan derajat kontaminasi, misalnya punch bite, cedera akibat injeksi tekanan tinggi,
crush injuries.
Pemeriksaan yang menyeluruh terhadap adanya benda asing, fungsi tendon, fungsi neurovaskuler,
kontaminasi dan infeksi sangatlah penting.
Luka harus dieksplorasi dengan pemberian anestesi yang memadai untuk memungkinkan penilaian
yang menyeluruh.
Jangan mengeksplorasi luka di leher di IRD, sesuperfisial apapun luka itu terlihat.
Catat ada tidaknya abnormalitas. Pengambilan foto dapat berguna pada kasus tertentu, misalnya
penyiksaan.
Pada kasus berikut ini harus dilakukan pemeriksaan X-Ray (AP/lateral):
1. Semua kasus dengan luka yang diakibatkan oleh kaca
2. Kasus tertentu untuk menyingkirkan adanya fraktur terbuka, keterlibatan sendi dan
menyingkirkan adanya benda asing.
Petanda radioopak (misalnya penjepit kertas) yang dilekatkan pada luka dapat membantu untuk
identifikasi hubungan antara benda asing dengan luka.
Pemeriksaan apusan luka tidak diperlukan pada cedera yang baru terjadi kecuali berkaitan dengan
adanya fraktur.
Perdarahan harus dikontrol dengan bebat tekan dan elevasi tungkai: jangan gunakan forsep arteri
atau tourniquet.
Jangan pernah mencukur alis.
Jangan berusaha melepaskan benda asing berukuran besar yang tertancap pada luka.
Jangan meresepkan antibiotika pada pasien dengan status imunitas normal dengan kontaminasi
luka yang minimal.
Antibiotika tidak dapat menggantikan debridement luka yang baik.
Pergunakan kesempatan untuk mengevaluasi status tetanus pasien (riwayat imunisasi, booster
terakhir)
TATA LAKSANA
Jika perdarahan hebat:
1. Amankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
2. Pasang jalur intravena ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
3. Sediakan darah yang telah diuji silang 2-4 unit.
4. Elevasi anggota gerak yang mengalami perdarahan dan berikan bebat tekan.
Teknik
1. Pembersihan luka merupakan bagian terpenting perawatan luka. Luka sebaiknya dibersihkan
dengan larutan chlorhexidine kecuali luka di daerah wajah (larutan salin normal steril).
2. Jika luka terjadi pada daerah berambut, harus dilakukan pemotongan rambut di sekitarnya
dengan gunting, pencukuran dapat menjadi predisposisi infeksi pada luka melalui kerusakan
epidermis.
306
3. Buang semua debu dan benda asing yang terlihat; luka dalam harus diirigasi dengan setid-
aknya 200 cc larutan steril salin normal.
4. Untuk anestesi lokal gunakan lignocaine 1%, yang digunakan untuk infiltrasi lokal dan blok
saraf.
5. Lakukan eksplorasi luka bila (a) kecurigaan adanya benda asing dan (b) dari riwayat terdapat
kecurigaan kerusakan yang dalam tanpa didapatkan konfirmasi klinis.
Metode penutupan: jika terdapat keraguan, penjahitan luka merupakan pilihan terbaik
1. Steristrips
a. Cara ini relatif tidak terlalu nyeri, dan jarang menyebabkan iskemia jaringan.
b. Hemat waktu
c. Sesuai untuk anak-anak, laserasi flap pada orang berusia lanjut dan penutupan kulit
setelah dilakukan jahitan pada lapisan yang lebih dalam.
d. Tidak untuk digunakan di daerah persendian.
2. Perekat jaringan
a. Sesuai untuk luka kecil dan laserasi pada anak-anak dan paling sesuai untuk laserasi
dengan jarak antara kedua tepi luka <3mm.
b. Teknik: bersihkan luka dan lakukan hemostasis dengan baik. Dekatkan kedua tepi luka
dan aplikasikan perekat di sepanjang tepi luka dalam bentuk satu garis yang tak terputus.
Rekatkan kedua tepi luka dan tahan selama setidaknya 30 detik sampai perekat melekat
erat. Jangan meletakkan perekat ini di dalam luka, karena bahan tersebut berperan sebagai
benda asing.
3. Teknik penjahitan
a. Gunakan teknik 2 lapis (kulit dan subkutan) pada luka dalam untuk menghasilkan
penyembuhan luka yang lebih baik.
b. Gunakan benang yang dapat diserap, misal Dexon atau Vicryl untuk jaringan subkutan:
untuk badan dan ekstremitas: 4/0; untuk wajah: 5/0.
c. Gunakan benang yang tidak dapat diserap untuk kulit, misal Prolene atau Silk: untuk
scalp: silk 2/0; badan dan ekstremitas: Prolene 4/0; wajah: Prolene 6/0.
d. Secara umum, dapat digunakan benang dengan satu ukuran lebih kecil untuk anak-anak
dan jahitan dapat dibuka lebih dini.
Disposisi: pertimbangkan rawat inap atau rujukan pada kasus berikut:
1. Jika luka meluas sampai otot, terkontaminasi hebat atau terdapat bukti adanya gangguan mo-
toris atau sensoris, atau tidak dapat memastikan debridement luka yang adekuat, rawat inap di
bagian Orthopedi.
2. Rawat inap untuk semua pasien dengan kerusakan tendon. Pasien dengan cedera di distal bahu
harus dirawat inap di bagian Bedah Tangan. Kasus lainnya dirawat di bagian Orthopedi.
3. Pasien immunocompromise, misal diabetes, GGK dan pasien onkologi.
4. Luka yang besar: perlu waktu lebih dari 30-60 menit untuk menanganinya.
5. Rujuk luka khusus, seperti laserasi kelopak mata, ke bagian Bedah Plastik.
Perawatan luka
Luka harus dibalut dengan pembalut yang tidak melekat, misal Sofra-tulle.
Tidak diperlukan pembalutan untuk luka di daerah wajah dan scalp.
Luka harus dijaga tetap bersih dan kering selama setidaknya 48 jam setelah penutupan primer.
Pengangkatan jahitan:
1. Scalp: 7 hari
307
LUKA KHUSUS
Luka tusuk pada telapak kaki
Walaupun luka tidak terlihat serius, ingatlah bahwa persendian pada kaki ridak terletak dalam,
sehingga mungkin terjadi penetrasi luka ke dalam sendi dengan peluang terjadinya komplikasi
infeksi serius. Area dari collum metatarsal ke distal jari merupakan daerah paling berisiko
terjadinya infeksi.
Komplikasi meliputi:
1. Infeksi jaringan lunak oleh Staphylococcus dan Streptococcus pada sebagian besar pasien.
2. Osteomyelitis (90% osteomyelitis diakibatkan oleh Pseudomonas aeruginosa)
Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya benda asing dan penetrasi sendi.
Tata laksana luka tusuk merupakan hal yang kontroversial. Berikut ini adalah acuan tata laksana
pada berbagai presentasi klinis:
1. Luka tusuk sederhana
Biasanya diakibatkan oleh benda yang bersih seperti paku payung, jarum, paku kecil yang
tidak berkarat. Jika tidak satupun dari berikut ini terlihat, yaitu:
a. Indikasi adanya benda asing yang tertahan dalam jaringan
b. Tepi luka yang kotor dan non vital, dan
c. Lokasi tusukan yang meninggi atau sangat nyeri
Pembersihan luka dan pemberian salep antibiotika, diikuti dengan penutupan luka dengan
plester sudah memadai
Berikan profilaksis tetanus
2. Luka tusuk dengan benda asing yang tertahan di dalam jaringan
a. Luka tusukan seringkali lebih besar dari yang disebutkan sebelumnya. Tepi luka ter-
kontaminasi, dengan bentuk yang tak beraturan.
b. Biasanya akibat paku yang sudah lama dan benda tidak bersih yang saat menusuk patah,
atau kemungkinan bagian dari kaus kaki atau sepatu yang terdesak masuk ke dalam luka.
c. Setelah diberikan anestesi, lakukan insisi paralel dengan garis kerutan kulit melalui lokasi
tusukan dan buang benda asing tersebut.
d. Lakukan irigasi luka.
e. Jangan menjahit luka. Cukup berikan salep antibiotik dan dekatkan dengan plester.
f. Berikan profilaksis tetanus.
g. Gunakan tongkat penyangga selama 2-3 hari.
h. Pulangkan dnegan pemberian antibiotika, misal Augmentin®.
i. Beri petunjuk pada pasien untuk mengenali tanda-tanda infeksi.
j. Segera periksa ulang keadaa luka.
3. Luka tusuk dengan komplikasi
308
a. Curigai adanya benda asing yang tertinggal bila lokasi tusukan mengalami infeksi.
b. Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan benda asing radioopak.
c. Berikan antibiotika spektrum luas IV, misal Unasyn® atau Uagmentin®.
d. Berikan profilaksis tetanus.
e. Rawat inap untuk tata laksana lebih lanjut, yaitu debridement dengan pembedahan.
Catatan:
Penggunaan antibiotika profilaksis pada luka tusuk yang tak terinfeksi tidak didukung oleh hasil
penelitian klinis. Penggunaan antibiotika sebaiknya dipertimbangkan hanya pada pasien dan luka
yang berisiko tinggi.
Debridement jaringan vital secara ektensif, pemberian irigasi dengan tekanan tinggi atau eksplorasi
yang dalam tidak menunjukkan perbaikan hasil akhir.
Luka flap
Suplai darah pada luka flap seringkali terganggu, terutama pada flap distal.
Luka flap sesuai untuk penjahitan primer bila terjadi pada daerah wajah, atau pada pasien muda
dimana kualitas kulitnya masih baik.
Kulit pada pasien usia lanjut tipis, sehingga flap seringkali tidak dapat hidup jika dilakukan pen-
jahitan dengan tegangan. Pada kasus ini luka harus dibersihkan dan didekatkan dengan steristrips
dan dievaluasi dini. Metode ini meliputi eksisi primer dan tandur alih, terutama bila flap berukuran
besar.
107. .................
310
108 BRONCHIOLITIS
PERHATIAN
Istilah bronchiolitis mengacu pada suatu sindroma virus pada bayi (< 2 tahun) yang ditandai
dengan:
1. Diawali dengan riwayat gejala common cold, misalnya, batuk,pilek, 2-3 hari.
2. Diikuti dengan gejala saluran nafas bawah: dyspnoea,wheezing, sulit makan, dan
gelisah karena obstruksi jalan nafas.
3. Gambaran klinis ,meliputi takipnea, nasal flaring, retraksi intercostal atau subcostal,
ekspirasi memanjang dengan rhonchi dan creps, sianosis.
Organisme penyebab:
1. RSV merupakan causa paling umum (50-90%)
2. Parainfluenza, influenza,mump, adenovirus,echovirus, rhinovirus, Mycoplasma
pneumoniae,Chlamydia trachomatis.
CATATAN: Mycoplasma adalah agen prinsip pada anak usia sekolah dengan bronchiolitis.
Differential Diagnosis :
1. Pneomonia
2. Benda asing
3. Gastroesophageal reflux
4. Congenital heart disease dengan gagal jantung, yang tidak tediagnose sebelumnya
5. Abnormalitas anatomi jalan nafas yang tidak terdiagnose sebelumnya, misalnya
fistula tracheooesophageal.
6. Asthma dini
Identifikasi kelompok resiko tinggi untuk komplikasi apnoe dan pemburukan akut, misalnya:
1. Bayi prematur dengan disertai penyakit paru-paru kronis atau bronchopulmonary
dysplasia.
2. Congenital heart disease
3. Cystic fibrosis
MANAJEMEN
Sebagian besar kasus bronchiolitis sembuh sendiri. Monitoring yang cermat pada apnoea, hypoxia, dan
perawatan supportive yang baik tetap merupakan pokok dari management.
Bacaan SpO2 : <92% menunjukkan bahwa terjadi distress nafas yang sedang sampai berat.
Nilai hidrasi: Intake per oral yang jelek akibat sesak dan muntah akibat batuk mengakibatkan
dehidrasi.
Nilai beratnya distress nafas:
1. Ringan: tidak ada retraksi
2. Sedang :retraksi intercostal, tanpa sianosis
3. Berat: sianosis, apnoea, hypoxia(<92%), dehidrasi, retraksi intercostal yang berat.
Foto rontgent thorax diindikasikan pada bayi yang sakit, dengan tanda yang tidak khas, dan
pemeriksaan respirasi yang sulit pada bayi yang menangis.
Indikasi rawat inap:
1. Bayi dalam kelompok resiko tinggi (jika tidak gejalanya sangat ringan dan
orangtuanya konfiden menangani pasien di rumah)
2. Bayi muda < 4 bulan yang beresiko apnoea dan berkembang cepat menjadi penyakit
yang lebih parah.
311
Terapi supportif :
Terapi oksigen yang dilembabkan
Hidrasi (jaga jangan sampai over hidrasi)
Terapi spesifik:
Bronchodilator:
1. Sering digunakan tetapi manfaatnya diperdebatkan.
2. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa oba ini efektif, dan pada beberapa kasus
bisa disertai dengan efek yang memburuk (hypoxia dari peningkatan V/Q mismatch
khususnya jika nebulasi tanpa oksigen).
3. Pada bayi yang lebih tua dimana bisa jadi sulit membedakan bronchiolitis dari bentuk
lain wheezing akibat virus, suatu trial bronchodilator ternyata beralasan karena
proporsi pasien tersebut memberi respon.
4. Pada umumnya hindari peresepan untuk pasien yang dipulangkan (alternatifnya
mocolitik, misalnya bisolvon, bisa jadi pilihan yang lebih baik)
Steroids: tidak ada aturan konsisten dalam menajemen bronchiolitis pada fase akut.
Antibiotika:
1. Tidak diindikasikan secara rutin jika tidak ada kecurigaan infeksi ganda (misal RSV
dan infeksi bakteri) tetapi ini tidak umum
2. Hindari penggunaan empiris dari antibiotika pada pasien rawat jalan. Untuk pasien
dimana diperlukan antibiotika , pertimbangkan rawat inap .
Ribavirin tidak secara rutin digunakan tapi bisa memberikan peran pada pasien resiko tinggi
tertentu.
312
Definisi :
-Pengalamam kejang pertama pada anak-anak dihubungkan suhu lebih dari 38o C dan biasanya dalam
24 jam pertama sakit, seringkali cepat meningkat.
- Anak antara 6 bulan dan 6 tahun
- Tidak ada infeksi atau inflamasi CNS
- Tidak ada kelainan metabolik sistemik akut.
Perhatian
- 4% anak normal umur 6 bulan – 6 tahun akan mengalami kejang demam
- Kejang berulang lebih banyak terjadi pula riwayat keluarga mengalami kejang demam, atau
kejang demam pertama muncul diatas satu tahun.
- Riwayat : Maloxon merangsang okulogirik krisis yang menyerupakan kejang demam dan
mempunyai managemen yang berbeda sama sekali, misalnya benzotropin IM/IV (cogentin)
- Ingat untuk mencatat sejarah alergi akibat pemberian panadol rktal atau voltaren.
- Catat postur dan temperamen anak:
1. postur opistotonik pada anak yang gelisah yang dicurigai peningkatan tekanan intra
kranial
2. anak yang iritabel sulit diperiksa bisa mengalami iritasi meningeal : catat ada
perbedaan antara iritabilitas dan crankiness yang ditujukkan oleh anak yang merasa
tidak baik.
3. Anak dengan palasia post ictal lebih menyerupai mengalami tanda-tanda neurologis
abnormal.
- Ingat kaku kuduk menjadi tidak bisa pada bayi atau sulit disingkirkan pada anak yang tidak
kooperative
- Sianosis bisa menunjukkan adanya obstruksi atau aspirasi jalan napas.
- Ingat untuk menilai hepaomegali, yang biasanya umum ditemukan pada anak dengan sepsis
atau sindroma reye.
- Rujuk semua pasien dengan kejang demam pertama ke ED.
- Berikan antipiretik dan lakukan kompres dingin sebelum mengirim pasien ke ED.
Managemen
Anak dengan kejang aktif
- Amankan jalan napas
- Beri oksigen dengan masker
- Berikan diazepam 0,1-0,25 mg/Kg BB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 mg/menit atau
berikan diazepam perrektal (valium/stesolid). Cara i8ni lebih baik untuk praktek dokter
umum :
1. 5 mg > 1 tahun
2. 2,5 mg untuk bayi
313
Catatan : jika kejang melampau 30 menit tangani sebagai status epilepsi, yang meliputi infus phenitoin
IV dalam NS 20 mg/kgBB dsengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit dibawah monitor ECG
- Monitor : ECG, pulse oximetri.
- Pasang IV line pherifer
- Laborat : segera gula darah kapiler, ureum – creatinin, kalsium dan magnesium.
- Ukur dan catat suhu dan nadi.
Anak tidak kejang
- Ukur nadi dan suhu : jika suhu > 38,5 oC , berikan antipiretik atau kompres dingin.
- Berikan oksigen dengan masker jika cyanosis.
- Pertimbangkan pemeriksaan urinalisa (UC9) untuk menyingkirkan UTI
Disposisi
Kriteria MRS
- Kejang demam pertamasetelah keluarga atau pengasuhnya terlalu stress untuk menangani di
rumah.
- Kecurigaan penyakit intrakranial atau metabolik
- Anak mengalami lebih dari satu kali kejang selama sakit berlangsung.
- Kejang status epileptikus
- Riwayat baru mengalami cidera kepala( dalam 72 jam)
Kriteria dipulangkan
- MRS tidak diperlukan jika seluruh kriteria berikut ditemukan :
1. barusaja terjadi (<15 menit) kejang demam sederhana dengan pulih sepenuhnya dan
tidak ada tanda neurologis abnormal. Hal ini berarti bahwa jika anda mereview anak
dalam satu jam terakhir, anak menjadi normal dan dapat bicara, berjalan atau berlari
sekitar ruangan.
2. anak diatas 2-3 tahun (yang lebih mudah memeriksa anak lebih tua, dan anda lebih
konfiden dengan tanda-tanda klinisnya).
3. kejang muncul dalam 24 jam pertama demam.
4. anda konfiden bahwa kausa demamnya dikarenakan virus (misalnya anda telah
menyingkirkan meningitis otitis media, pneumonia dan bahwa anaknya bukan
sepsis).
5. orang tua percayadiri, tenang dan berkeinginan mengobservasi di rumah secara
tertutup, dan follow up rawat jalan diarahkan dalam 24-48 jam berikutnya.
6. anda telah memberikan instruksi yang jelas bagaimana memberikan antipiretik dan
stesolit rektal (catatan:jangan resepkan NSAID untuk lebih dari 48 jam).
Kadang-kadang , orangtua yang melaporkan bahwa pasien sibling mengalami menyerupai
kejang demam yang lalu bisa menggantikan tidak meng MRS kan anak. ini tanggung
jawab anda bahwa diatas 6 kriteria ditemukan sebelum anda memulangkan pasien.
314
315
- Definisi WHO : kekerasan pada anak atau salah asuh baik dalam bentuk fisik dan emosional,
penyimpangan seksual, penelantaran atau komersial atau eksploitasi pada anak, dimana hal ini
mengakibatkan potensial membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau
harkat martabat anak.
- Diperlukan pertimbangan budaya, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat untuk mendiagnosa
cedera non kecelakaan pada anak. Tipe-tipe cedera selain kecelakaan :
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan emosional
3. Penelantaran dan kelalaian
4. Penyimpangan seksual
5. Eksploitasi
Beberapa tips untuk dokter umum
- Jika dijumpai kecurigaan yang kuat terjadinya hal tersebut diatas , rujuk segera
- Pengetahuan tentang perkembangan anak adalah penting untuk mendeteksi hal tersebut di
atas, seperti anak usia 1 tahun jatuh dari tempat tidur dan ditemukan fraktur tulang kepala
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas kecurigaan yang kuat dan disertai temuan pada pemeriksaan fisik yang tidak
jelas hubungan dengan anamnesa, jenis cederanya yang mengarah pada kekerasan, serta ciri dan kebia-
saan dari anak dan keluarga
Gejala klinis
- Cedera pada anak tidak sesuai atau berlawanan dengan anamnesa
- Terlambat untuk segera memeriksakan anak
- Respon orang tua yang kurang tanggap dalam mengasuh nak
- Anak tidak diimunisasi
- Gagal dalam perkembangan anak baik disertai keterlambatan atau tidak
316
Manajemen
- Ketika kekerasan anak dicurigai, anak sebaiknya dirujuk ke ahli anak
- Disarankan rawat inap. Ini untuk menggali lebih dalam lagi anamnesa dan pemeriksaan fisik
sementara anak berada di lingkungan yang aman
- Tegas, sopan, dan ramahlah terhadap orang tuanya untuk menggali lebih dalam tentang cedera
anak demi masa depan anak tersebut
- Jika keselamatan anak terancam, atau orang tua tidak kooperatif dan menolak berbagai saran
medis, maka staff medis dapat menghubung departemen sosial atau kepolisian untuk memaksa
anak tersebut tetap berada di rumah sakit
- Rawat anak di bagian yang terkait untuk mengatasi problem medis yang ditemukan seperti ba-
gian orthopedi untuk frakturnya. Anak tersebut sebaiknya langsung dirujuk ke bagian ahli
anak pada saat itu. Dokter anak bersama timnya akan merawat dan mengobati selama di ru-
mah sakit.
- Kekerasaan seksual pada anak :
1. Korban wanita dirujuk ke bagian ginekologis dan diperiksa sesegera mungkin di IRD. Ahli Bedah
anak biasanya memeriksa korban pria, sesuai protokol yang berlaku
2. Anamnesa dan pemeriksaan medis dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari trauma pada
anak
- Polisi mempunyai hak untuk mengambil foto seluruh cedera yang ada sebagai bukti. Mereka
sebaiknya segera dihubungi.
- Buatlah catatan yang baik.
317
Caveats
Anak dengan cedera multisistem dapat mengalami deteriorasi yang cepat serta akan mengala-
mi komplikasi yang serius.
Karakteristik anatomic yang unik membutuhkan pertimbangan yang khusus dalam pemerik-
saan dan tatalaksananya.
Tulang pada anak lebih lentur, sehingga kerusakan organ dalam dapat terjadi tanpa adanya
fraktur. Sehingga bila didapatkan adanya fraktur kosta, dapat dipastikan anak tersebut telah
mengalami high impact injury yang multiple, sehingga harus dicurigai adanya cedera pada or-
gan lain yang serius.
Waspada terhadap kemungkinan non-accidental injury sebagai penyebab cedera yang terlihat.
Tips Khusus Bagi Dokter Umum :
Ingat ABC. Buka dan pertahankan jalan nafas dengan tetap mengkontrol cervical. Berikan
oksigen aliran tinggi jika anak dapat bernafas spontan. Atau jika tidak, mulai bag-valve-mask
ventilasi.
Jika mungkin, pasang akses vena dengan kanul ukuran 22G sebelum ambulan datang.
Hubungi ambulan secepatnya.
Manajemen
Jalan Nafas
Intubasi orotrakeal dibawah direct vision dengan immobilisasi yang adekuat serta proteksi ter-
hadap cervical spine.
Preoksigenasi sebelum melakukan intubasi.
Gunakan uncuffed endotracheal tubes (ETT) untuk intubasi anak-anak. Ukuran ETT dapat di-
perkirakan dengan mengukur diameter external nares atau jari kelingking anak tersebut. Lihat
Bab Paediatrics Drugs Equipment
Atropin (0,1-0,5mg) harus diberikan sebelum intubasi untuk mencegah bradikardia selama in-
tubasi.
Ketika akses dan control jalan nafas tidak bisa dipenuhi oleh bag-valve mask atau orotracheal
intubation, maka needle cricothyroidotomy merupakan metode yang dipilih. Surgical crico-
thyroidotomy jarang digunakan, jika ada, harus ada indikasinya.
Bernafas
Respiratory Rate (RR) pada anak menurun seiring usia
Bayi : 40-60 x/menit
Anak yang lebih besar : 20 x/menit
Pemberian Ventilasi berlebihan dengan high tidal volume dan airway pressure dapat berakibat
pada iatrogenic bronchoalveolar injury. Volume tidal : 7 sampai 10ml/kg.
Dekompresi pleural dilakukan dengan tube thoracostomy, sama seperti dewasa yakni pada
ICS 5, anterior dari midaxillary line. Chest tube ditempatkan pada cavum thorax dengan me-
masukkan tube melewati kosta pada lokasi kulit yang telah diinsisi.
Sirkulasi
Peningkatan physiologic reserves pada anak memberikan kemungkinan untuk mempertahan-
kan tanda vital berada pada kisaran normal, walaupun px berada pada keadaan severe shock.
Tanda awal adanya syok hipovolemik pada anak adalah takikardia dan perfusi kulit yang bu-
ruk. Penurunan volume darah sirkulasi minimal sebesar 25% akan menunjukkan
tanda/manifestasi syok:
1. Takikardi
2. Perfusi kulit yang buruk
3. Penurunan pulse pressure
4. Skin mottling
318
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan pada anak didasarkan pada berat badan anak. Gunakan Broselow resuscita-
tion measuring tape.
Untuk syok, bolus cairan 20ml/kg kristaloid yang hangat dapat diberikan. Mungkin akan di-
perlukan total cairan sebesar 3 bolus 20ml/kgBB jika terjadi kehilangan darah 25% volume
darah sirkulasi.jika sedang memberikan bolus cairan yang ketiga, pertimbangkan untuk
pemeberian 10ml/kg darah dengan tipe yang spesifik untuk px. Rujuk ke bagian bedah jika
tidak ada perbaikan setelah pemberian bolus cairan yang pertama.
Lokasi akses vena pada anak a.l:
1. perkutaneus peripheral (2 percobaan)
2. intraosseus (anak usia < 6 tahun)
3. Venous cutdown : vena saphena pada pergelangan kaki.
4. perkutaneus placement : vena femoralis
Infus intraosseus harus dihentikan ketika akses peripheral yang baik telah didapatkan. Lokasi
infus intraosseus yang disarakan adalah pada permukaan anteromedial tibia proksimalis, 2 cm
dibawah tuberoseus tibia. Lokasi ini tidak disarankan bila terdapat fraktur pada bagian
proksimalnya; kanulasi kemudian dapat dilakukan pada bagian distal femur. Output urin yang
diharapkan pada px yang telah mendapatkan resusitasi adekuat adalah 1-2ml/kg/jam.
Trauma Abdominal
Cedera penetrasi pada abdomen membutuhkan perhatian yang besar dari ahli bedah.
Pemeriksaan abdomen pada anak dengan trauma tumpul dapat sulit dilakukan karena anak bi-
saanya tidak kooperatif, terutama bila mereka mengalami ketakutan akibat trauma yang telah
dialami.
Dekompresi gaster dan urinary dapat memfasilitasi evaluasi.
Alat pembantu diagnostic a.l:
1. Computed tomography (CT)
e. bermanfaat pada anak dengan hemodinamik yang normal dan stabil.
f. Harus dilakukan dengan menggunakan double atau triple contrast.
g. Bisaanya membutuhkan sedasi.
h. Tindakan ini tidak boleh sampai menunda terapi yang lain
i. Dapat menunjukkan identifikasi cedera secara tepat.
2. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
a. digunakan untuk mendeteksi perdarahan intraabdominal pada anak yang hemodina-
mikanya abnormal.
319
Trauma Kepala
Manajemennya sama seperti pada orang dewasa. GCS sangat bermanfaat. Namun komponen
skor verbal pada anak harus dimodifikasi :
Respon Verbal Skor V
1. kata-kata yang terarah, atau tersenyum, menurut 5
2. Menangis, namun dapat dihibur 4
3. ‘lekas marah/irritabel’ yang persisten 3
4. Gelisah, agitasi 2
5. Tidak ada respon 1
Sama seperti dewasa, hipotensi jarang terjadi, jika ada, kemungkinan disebabkan oleh cedera
kepala itu sendiri, serta penyebab lainnya. Pada bayi, sekalipun jarang terjadi, hipotensi akibat
kehilangan darah terjadi akibat perdarahan di sub galeal atau epidural space, karena sutura
krnialis dan fontanella yang masih terbuka pada bayi.
Restorasi yang cepat dan adekuat dari volume darah sirkulasi harus dilakukan, juga harus
menghindari terjadinya hipoksia.
Pada anak kecil dengan fontanella terbuka dan garis sutura cranial yang mobile, tanda
expanding mass mungkin tidak terlihat sampai timbul dekompensasi yang cepat. Sehingga ha-
rus diterapi sebagai cedera kepala berat.
Vomiting, kejang dan amnesia sering terjadi pada anak setelah cedera kepala. Selidiki anak
yang mengalami vomiting persisten atau memburuk, atau kejang yang berulang dengan CT
scan kepala.
Obat-obatan yang sering digunakan pada cedera kepala anak a.l:
1. Fenobarbital 2-3 mg/kg
2. Diazepam 0,25 mg/kg, bolus Iv pelan
3. Fenitoin 15-20 mg/kg, diberikan pada 1mg/kg/menit sebagai loading dose, kemudian 4-7
mg/kg/hari untuk maintenance
4. Mannitol 0,5-1,0g/kg (jarang diperlukan). Obat ini dapat memperburuk hipovolemi dan
harus diberikan hati-hati pada awal resusitasi pada anak dengan cedera kepala.
30mg/kg dalam 15 menit pertama, dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam
selanjutnya.
321
Pemberian darah dan produk darah hanya diberikan saat dibutuhkan saja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian transfusi darah;
1. pemberian awal 2 unit labu WBC atau PRC bisa langsung diberikan setelah disimpan di
kulkas .Penghangatan diperlukan untuk pemberian dalam jumlah volume besar dan cepat kira-
kira > 50 mg /kg/jam
2. Komponen darah harus ditransfusi sesuai standar filter dimana mengeluarkan clothing dan de-
bris
3. Umumnya darah tidak ditransfusikan menggunakan alat infus biasa tapi dengan infus khu-
sus.Dalam banyak kasus terjadi haemolisa pada D5% dan terjadi clotting pada cairan Hart-
mann.Hanya dgn NS bisa dipakai tanpa gangguan
4. Kecepatan tekanan tinggi dan digunakan jarum 18/19G
5. Selama pemberian cairan dimonitoring tanda-tanda reaksi transfusi
Platelet
1. Indikasi :
- Trombositopeni berat mengancam jiwa diberikan 20 X 10 9/l
- Setelah tranfusi 15 – 20 unit WB /RBC
Hitung plateled sebelum 80 –100 X 10 9 /l karena pemberian plateled indikasi untuk keadaan hemo-
stasis yang adekuat dengan trauma mayor bedah atau pengobatan trauma yang berat.
Penting memperhatikan keadaan klinis pasien dan bukan hasil lab saja.
Cryoprecipitale
Cryoprecipitale adalah faktor VIII, fibronogen dan von Willebrond’s. Faktor dimana digunakan untuk
terapi pada pasien Willebrond’s sindrom atau hemophili A tapi jika penyebabnya virus tidak
dianjuarkan.
Hemophili A
Faktor VIII (IU) dibutuhkan = Berat (kg) X level 1 X 0,5
1 Vial faktor VIII = 250 IU
Hemophili B
Fakto IX (IU) dibutuhkan = Berat (kg) x level 1
1 Vial faktor IX = 500 IU
pasien hemophlili dikonsulkan penyakit dalam
Komplikasi Transfusi
Reaksi hemolitik (0,03% dari 10 – 40 % mortality rate) tanda-tanda :
a. Pasien dengan panas dingin, nyeri punggung atau sendi dan dada serta sensasi terbakar pada
tempat infus bisa manifestasi shock
b. Pengobatan awal sebelum shock dan renal cortical hipoperfusi adalah:
1. Melepas transfusi.
2. Memberi infus cairan dan furosemide 80 – 100 mg untuk keluarnya kencing 30 mg/jam.
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).
4. Konsul haematologi
Reaksi panas (3 – 4 %) dan kurang gawat dibanding reaksi tranfusi
Tandanya :
a. Pasien mengeluh panas dingin lemas.
b. Pengobatan
1. Lepas transfusi
2. Beri antipiretik
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5 mg/kg untuk anak).
4. Konsul hematologi.
Reaksi alergi (1%) sedikit terjadi sebelum 10 ml darah ditransfusikan
a. Pasen kedinginan dan seluruh tubuh gatal.
b. Tanda : hipotensi, kulit memerah, urtikaria, agioedema.
Penatalaksanaan
- Infus lambat terutama jika urtikaria terjadi transfusi dihentikan saja juga jika panas, angioedema
dan hypotensi menghebat.
- Pemberian injeksi anatihistamin
- Pemberian injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).
324
Definisi
Rapid sequence Intubation (RSI) merupakan pemberian agen induksi potensial yang secepatnya diikuti
dengan rapidly acting neuromuscular blocking agent untuk menginduksi penurunan kesadaran serta
paralysis motorik untuk intubasi trakea pada px dengan resiko aspirasi gastric. Asumsi pada RSI:
Pasien tidak berpuasa sebelum dilakukannya intubasi, sehingga merupakan factor resiko ter-
jadinya aspirasi.
Pasien tidak diketahui atau tidak pernah diperiksa mengenai apakah akan terdapat kesulitan
dalam intubasinya.
Pemberian obat-obatan didahului dengan fase preoksigenasi (lihat pada ‘P’ yang kedua pada
RSI untuk lebih detailnya) untuk memungkinkan terlewatinya periode apneu dengan selamat
selama pemberian obat-obatan dan intubasi trakea tanpa memberikan bantuan ventilasi tamba-
han.
Gunakan tekanan pada krikoid atau Sellick’s manoeuvre untuk mencegah aspirasi cairan gas-
ter.
Indikasi
Keputusan intubasi berdasarkan 3 hasil pemeriksaan klinik yang fundamental :
1. Apakah ada kegagalan mempertahankan atau memproteksi jalan nafas?
Catatan: jalan nafas yang adekuat dikonfirmasi dengan kemampuan px untuk
bicara/mengeluarkan suara. Kemungkinan adanya jalan nafas yang inadekuat adalah
ketidakmampuan px untuk mengeluarkan fonasi sederhana, stridor, serta AMS. Gag
reflex juga tidak sensitive atau spesifik digunakan sebagai indicator hilangnya refleks
proteksi jalan nafas.
2. Apakah ada kegagalan Ventilasi (cth status asmatikus) atau oksigenasi (cth severe
pulmonary oedema)?
3. Apa manifestasi klinik lain yang harus diantisipasi?
Px akan dapat mengalami deteriorasi dalam usaha nafas bila mengalami multiple major
injuries.
Jika laringoskopi tidak berhasil, pertimbangkan:
1. apakah posisi px optimal?
2. gunakan straight blade jika epiglottis panjang, terkulai, atau ‘in the way’
3. apakah petugas yang melakukan sellick’s manoeuvre menekan airway keluar dari midline
yang mengaburkan lapang pandang?
4. BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) displacement dari laring
Manajemen
Ingat 7 Ps RSI.
Preparation (persiapan)
1. Px harus ditangani pada area resusitasi
2. Monitoring EKG, pulse oximetry, tanda vital tiap 5 menit.
3. Sediakan obat sedative dan obat paralyzing yang dapat dijangkau segera.
4. Persiapkan perlengkapan airway meliputi stylets, Mess berbagai ukuran,
orofaringeal airway atau cricothrotomy tray yang dapat dijangkau segera.
5. susun rencana alternative bila gagal melakukan intubasi.
6. harus memiliki asisten yang terampil.
7. Pasang setidaknya 2 jalur IV peripheral: Hartmann’s atau NS.
8. selalu antisipasi vomiting pada semua pasien trauma. Jika px muntah, lakukan 3
manuver berikut ini :
a. lakukan suction segera dengan large bore yankauer sucker
b. putar pasien ke posisi lateral atau pada posisi recovery.
c. Letakkan px pada posisi trendelenburg (jika mungkin).
9. pemeriksaan pada ‘jalan nafas yang sulit’ harus dilakukan. Gunakan ‘LEMON
law’ :
L Look externally (cth trauma maksilofasial, trauma penetrasi pada leher,
trauma tumpul leher, dan identifikasi kesulitan ventilasi seperti pasien yang
berjenggot, obesitas morbid, cachexia yang ekstrim, ‘edentulous mouth den-
gan pipi yang cekung, struktur wajah yang abnormal).
E Evaluate ‘2-3 rule’ yakni paling tidak 2 jari pemeriksa dapat melewati
mulut atau Patil’s test (indikasi pembukaan mulut yang adekuat), sedangkan
3 jari harus bisa ditempatkan antara tepi atas kartilago tiroid dan tepi dalam
mentum, yang merupakan jarak thyromental (mengindikasikan bahwa lokasi
laring pada leher cukup rendah untuk dilakukannya akses melalui jalur oral).
M Mallampati Score (gambar 1) dan Grade dari laryngeal view (Gambar 2)
untuk memprediksi kesulitan airway. Skor Mallampati (oropharyngeal vi-
sualization) berkorelasi dengan laryngeal visualization.
Skor Mallampati :
Kelas I : pallatum molle, uvula, fauces, pillars terlihat :
Tidak ada kesulitan
Kelas II : pallatum molle, uvula, fauces terlihat : Tidak
ada kesulitan
Kelas III : Pallatum molle, basis uvula terlihat : kesulitan
Moderate
Kelas IV : Hanya terlihat pallatum durum : Kesulitan
Berat
Grade Laringeal view: Cormack-Lehane Laryngoscopic grading
system
Grade 1 : terlihat seluruh aperture glottis
Grade 2 : hanya terlihat kartilago arytenoid atau bagian
posterior aperture glottis.
Grade 3 : Hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : Hanya terlihat lidah dan palatum molle
Mallampati kelas I dan II berkaitan dengan superior laryngeal ex-
posure (laryngeal grade 1 dan 2) pada saat intubasi serta kegagalan
intubation yang rendah. Mallampati view kelas III dan IV berkaitan
dengan poor laryngeal visualization (laryngeal grade 3 dan 4) dan
dengan angka kegagalan intubasi yang tinggi. Pada ED, Assess-
ment skor Mallampati formal, sering tidak mungkin untuk dil-
326
Cuff ditempatkan pada 2-3 cm distal dari vocal cord atau dimana black marking
dari ETT telah ditempatkan.
Terapi Obat
Obat Induksi
Penting bagi px yang sadar ketika RSI dilakukan untuk mengurangi efek fisiologi dan efek memori dari
prosedur yang dilakukan terhadap diri px. (lihat ringkasan obat-obatan induksi pada tabel 2).
Obat Paralyzing
Obat yang optimum memiliki onset yang cepat dan durasi yang pendek. Agen depolarizing lebih superior da-
ripada agent non-depolarizing untuk RSI.
Suksinil kolin : agen utama yang digunakan untuk paralysis emergency yang bertujuan mengontrol
jalan nafas. Efek samping yang signifikan:
1. Bradikardi (terutama pada anak dan px dengan preeksistensi bradikardi).
2. Peningkatan tekanan intraocular /intraoccular (kontraindikasi pada penetrating globe trauma).
3. Peningkatan tekanan intragastrik (dapat mencetuskan emesis).
4. Hiperkalemi (terutama pada px dengan paralysis otot kronik, cth cerebrovascular accident dan
spinal cord injuries).
Catatan : peningkatan potassium plasma setelah pemberian suksinilkolin (bisaanya < 0,5 mmol/l).
5. hiperkalemia pada px gagal ginjal kronik sebelum potassium serum diketahui.
Catatan : ada bukti terbaru yang menyebabkan suksinilkolin cukup aman pada hiperkalemia,
walaupun resiko akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar potassium. Tindakan terbaik
adalah menghindari penggunaan suksinilkolin pada px dengan serum K+ > 6 mmol/l; rocurium
merupakan alternative yang baik pada kasus tersebut. Jika kadar K+ tidak diketahui dan EKG
normal, penggunaan suksinilkolin dapat dilakukan, walaupun px menderita ESRF. Suksinilkolin
dieliminasi secara independent terhadap renal secretion, suatu kondisi yang diinginkan dalam
ESRF.
6. Fasikulasi : agravasi trauma musculoskeletal tambahan
7. jarang terjadi hipertermi malignan
Dosis suksinilkolin : 1,0-1,5mg/kgBB IV (2mg/kg pada anak).
Catatan : Rocuronium dipertimbangkan sebagai alternative untuk suksinilkolin karena onset yang
cepat sekitar 1 menit. Namun, memiliki durasi aksi yang lebih panjang dibandingkan dengan
suksinilkolin.
Rocuronium : non-depolarizing agent yang digunakan untuk mencegah fasikulasi otot yang diinduksi
suksinilkolin, atau untuk menghasilkan efek paralysis yang lebih panjang selama prosedur, cth CT scan.
Dosis: 0,6mg/kgBB IV bolus sebelum suksinilkolin. Durasi kerja efektif adalah 20-45 menit.
Atracurium (Tracium) : non-depolarizing agent.
Dosis : 0,3-0,6mg/kg IV bolus. Kerugian obat ini adalah bahwa ia menyebabkan pelepasan histamine;
hati-hati pada px yang menderita asma.
Penempatan
Pasien yang menjalani RSI merupakan kandidat untuk masuk pada ICU atau langsung menuju ke OT sesuai
konsultasi yang telah dilakukan.
330
Caveats
X ray dari C-spine tidak dibutuhkan jika terdapat criteria sbb:
1. Pasien sadar, bangun dan tenang
2. tidak ada keluhan nyeri pada leher
3. tidak ada distracting injuries pada tubuh atau nyeri selama pemeriksaan
4. tidak ada nyeri tekan pada pemeriksaan Spine.
5. dapat menggerakkan leher kekanan dan kekiri serta melakukan fleksi dan ekstensi
tanpa nyeri
6. Tidak ada deficit neurologist
Jika memenuhi criteria diatas, banyak penelitian yang menyatakan bahwa pasien tidak
mengalami C-spine injury yang bermakna.
Pada px trauma yang lainnya, lakukan pemeriksaan:
1. Foto polos C-Spine
c. posisi AP
d. Posisi lateral atau swimmer’s view : basis oksiput sampai batas atas
T1 harus terlihat
e. Open Mouth Odontoid View. Tidak mungkin dilakukan bila px tidak
kooperatif untuk melakukan foto dengan mulut terbuka. Posisi
oblique dari proscesus odontoid atau gambaran foramen magnum
dapat diperiksa untuk melihat densitas.
2. CT scan : diindikasikan sebagai pengganti foto polos C-spine pada area yang men-
curigakan atau area yang tidak adekuat untuk dilihat.
C-collar harus dipasang pada situasi sbb:
1. ada keraguan pada pemeriksaan foto polos
2. Adanya masalah pembedahan akut lain yang membutuhkan pengiriman pasien ke
OT yang mendesak sebelum pemeriksaan Spine selesai dilakukan.
3. koma, AMS dan pasien pediatric (yang terlalu muda untuk menyatakan
keluhannya), sampai mendapatkan evaluasi yang tepat oleh orthopaedics atau
neurosurgeon.
331
Periksa Pasien
Ya
Periksa adanya deficit Neurologikal
Tidak
Defisit neurologik Lepaskan C-collar
Ya
Ya
Tidak
Nyeri atau
Ya Tidak perlu
Nyeri tekan
X-ray
positif?
Lepaskan C-Collar
Pemeriksaan Radiologis:
1. C-spine X ray
Wajib pada posisi lateral. Coba untuk menekan bahu kebawah untuk mendapat-
kan paparan yang adekuat terhadap T1. lakukan swimmer’s view jika paparan
tidak adekuat.
Posisi AP jika mungkin
Open mouth Odontoid view jika mungkin
2. C-Spine lateral view dimana px secara sukarela melakukan fleksi dan ekstensi dari
lehernya
Dipertimbangkan bila screening 3 view C-spine normal, namun px mengeluhkan
nyeri leher yang bermakna.
Maneuver ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.
332
manfaat
membantu kita untuk menilai secara kwantitatif berat ringannya injury pada pasien-pasien trauma.
Membantu kita untuk memperkirakan hasil akhir trauma tersebut. Bahkan sangat berguna dalam
pemeriksaan klinis dan untuk penelitian.
Trauma score dilakukan di triage dan keputusan klinis dapat dipakai untuk menentukan kemana pasien
akan di transfer.
Score fisiologis
Glasgow Coma Score (GCS)
GCS banyak dipakai untuk menilai kesadaran pasien melalui 3 respon yaitu; respon membuka mata, re-
spon verbal, dan respon motorik.
Respon verbal
* orientasi bagus 5
* bicara bingun 4
* hanya berupa kata-kata 3
* hanya keluar suara saja 2
* tidak ada respon suara 1
Respon motorik
* sesuai dengan perintah 6
* dengan rangsangan mampu melokalisir nyeri 5
* dg rangsang nyeri, respon witdrawl 4
* dg rangsang nyeri, respon gerakan fleksi 3
* dg rangsang nyeri, respon gerakan ekstensi 2
* tidak ada respon 1
________________________________________________________________
Total GCS poin (1+3+3) 3 s/d 15
_______________________________________________________
GCS dapst dikorelasikan dengan mortalitas dan dengan Glasgow outcome score, yang dapat mengukur
tingkat kerusakan fungsi otak. Score ini digunakan luas untuk prehospital triage dan untuk membedakan
tingkat kesadarn setelah pasien MRS.
__________________________________________________________________
Tabel 3: RTS
__________________________________________
GCS SBP RR code value
___________________________________________________________
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1 – 49 1-5 1
3 0 0 0
___________________________________________________________
RTS=0.9368 GCS + 0.7326 SBP + 0.2908 RR.
Score Anatomi
Abbreviated Injury Scale (AIS)
score AIS berkisar antara 1- 6 untuk masing-masing individu yang mengalami trauma. (table 4). Score
ini muncul sejak th 1971.
Injury Severity Score (ISS)
ISS dibagi berdasakan 6 bagian region tubuh;
1. kepala / leher
2. wajah
3. dada
4. abdomen dan pelvis
5. extremitas
6. struktur luar/kulit
******************************
335
DEFINISI
Terminologi ini mengacu pada depresi minimal tingkat kesadaran dimana reflek proteksi jalan nafas dan
jantung pasien masih dapat dipertahankan, dan pasien masih mampu memberi respon dengan tepat terhadap
stimulasi fisk dan atau perintah verbal. Agen yang digunakan untuk mencapai keadaan ini termasuk obat
sedasi, dengan rentang keamanan yang cukup lebar yang jarang menimbulkan hilangnya kesadaran seperti
midazolam dan analgesic, yaitu agonis opiate, yang memiliki efek samping sedasi dan menimbulkan depresi
nafas.
Istilah lain yang diajukan saat ini adalah sedasi dan analgesia prosedural, yangs erring disingkat PSA.
PERHATIAN
Diasumsikan bahwa pasien telah dinilai kelayakan dan kesesuaian untuk sedasi, yang meliputi dokumentasi
akan adanya alergi, terapi medikamentosa yang sedang dijalani serta abnormalitas patensi jalan nafas.
Pada keadaan tidak adanya dokter emergensi senior atau ahli anestesi, pertimbangkan rawat inap untuk
anestesi general pada pasien anak berusia <5 tahun.
Jika terdapat keraguan terhadap kemampuan anda melakukan sedasi sadar pada seorang pasien, anda dapat
merawatinapkan pasien tersebut atau meminta advis dari dokter emergensi yang bertugas jaga.
Penggunaan ketamin memerlukan dua operator. Operator pertama akan melakukan prosedur sementara yang
lain bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara konstan status jalan nafas dan hemodinamik
pasien.
INDIKASI
Pasien dengan dislokasi sendi sedang dan besar
Abses yang akan dilakukan insisi dan drainase
Laserasi pada lokas yang secara anatomis rumit, misalnya pada wajah anak berusia <5 tahun.
Terapi medikamentosa
Benzodiazepin, mis. midazolam memiliki keuntungan akibat efek amnesia selain sedasi dan pelemas otot.
Akan tetapi obat ini tidak memiliki efek analgesia. Karenanya obat ini paling baik digunakan bersamaan
dengan analgesic agonis opiate.
Analgesik opiate/obat sedasi, mis. morfin, meperidin, fentanyl: dari ketiga obat yang serupa ini fentanyl
memiliki keuntungan nyata yaitu tidak menimbulkan pelepasan histamin (reaksi anafilaktoid).
336
Ketamin: obat sedasi dengan efek amnesia disosiasi dan anagesik yang lemah, terutama digunakan pada
anak-anak.
Disposisi
Saat pasien dipulangkan, perlu diberikan instruksi bahwa untuk 24 jam berikutnya pasien sebaiknya tidak:
Mengendarai kendaraan bermotor maupun sepeda
Memanjat di ketinggian
Berenang
Mengkonsumsi alcohol ataupun obat-obatan yang menyebabkan kantuk.
Sebagian diberikan cairan hasil penjumlahan replacement dan maintenance 8 jam pertama
Kristaloid (NS atau Hatmann’s) = 10-20 cc/kg secepat mungkin dalam 15 menit untuk mengisi volume extrasel (
ulangi jika dibutuhkan )
339
ANALGESIK
Asam asetilsalisilat (aspirin)
Acetophenetidin (Phenacetin®)
ANTIMALARIA
Primakuin
Pamakuin
Klorokuin
KARDIOVASKULER
Prokainamid
Kuinidin
LAIN-LAIN
Vitamin C Biru metilen
Analog vitamin K Arsine
Naphthalene (kapur barus) Phenylhydrazine
Probenecid Biru toluidin
Dimerkaprol (BAL) Mepacrine
340
CAVEATS
Sebelum meresepkan pada ibu hamil, selalu pertimbangkan keuntungan maupun resiko pen-
gobatan. Daftar obat-obat berikut biasanya hanya digunakan dalam ED. Ada beberapa obat
yang mempunyai efek merugikan pada ibu hamil dan hanya ada beberapa yang aman kesela-
matan ibu lebih diprioritaskan daripada janinnya.
341
Di rumah sakit, luka akibat memindahkan jarum dari satu orang kelainnya selama injeksi, punctie vena
atau kanulasi IV hampir sepertiga luka terjadi jauh dari waktu dan tempat perawatan pasien, misalnya
luka pada kulit dari jarum terbuka di tempat sampah..
Paramedis mengalami paparan baik parenteral maupun non parenteral.
Resiko hepatitis lebih besar dari HIV.
Tipikal, infeksi HIV pada paramedis akibat sekunder dari kecelakaan dengan darah dari pasien HIV.
Seorang dengan tes negatif untuk anti HIV serokonversi dapat lambat atau tidak ada setelah inokulasi
virus.
Tip khusus
Kemoprofilaksis antiretroviral post paparan merupakan standar dan harus segera diberikan setalah papa-
ran HIV positif.
Penatalaksanaan
Perawatan pasien:
1. Paparan percutaneus: cuci tempat inokulasi secepatnya dengan air mengalir. Desinfeksi dengan
Chlorhexidine atau Povidone iodine dan balut jika perlu.
2. Paparan membran mukosa; irigasi secepatnya dengan sejumlah besar air.
3. Paparan kulit non intak: cuci dengan sabun dan air atau antiseptik. Kemudian desinfeksi dengan
Chlorhexidine atau Povidon iodine.
Catatan: untuk semua kontak mengikuti kebijakan dan prosedur institusi.
Menentukan status virus hepatitis B pada pasien sumber dan proses seperti disebutkan
diatas.
Darah/ cairan tubuh pasien yang tidak diidentifikasi
1. Paramedis dengan imunitas alami pada HBV: tidak perlu tindakan
2. Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: dosis booster vaksin hepatitis B
3. Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: berikan hepatitis B spesifik HIG dalam 72 jam
dan mulai/ lengkapi imunisasi hepatitis B.
Profilaksis post paparan: jika paramedis terpapar darah atau cairan tubuh dari pasien HIV positif, beri
kemoprofilaksis post paparan dapat mengurangi serokonversi. Penelitian menunjukkan profilaksis yang
diberikan dalam 24 jam paparan menurun kan transmisi HIV.
1. berikan profilaksis segera: jangan tunggu dalam 3 hari atau lebih
2. Zidovudine (AZT, ZDV, retrovir). Dosis 200 mg peroral 3 kali dalam 3 hari
3. jika status HIV pasien sumber tidak diketahui tapi termasuk dalam resiko tinggi:
a. lakukan spesimen darah seperti diatas
b. rujuk untuk pengawasan < 48 jam.
343
ALAT
Ukuran ETT anak : 4 + umur(thn) /4 ( diatas umur 2 th )
Panjang ETT anak (cm) dari mulut: 12 + umur(th) /2 tambahkan 3 cm bila melalui hidung ( untuk anak > 2 th
), atau ukuran ETT x 3
1. Kardioversi untuk gangguan irama atrium: 1
joule/kg
2. Kardioversi untuk gangguan irama ventrikel: 2-4
joule/kg
umur lahir 1 bln 3 bln 6 bln 1 thn
Ukuran ETT 3mm 3mm 3,5mm 4mm 4mm
Panjang ETT 9cm 10cm 10,5cm 11cm 12cm
Tube dada 8F 8F 10F 10F 10F
Kateter urin 5F 5F 8F 8F 8F