You are on page 1of 343

1

1. Altered Mental State

Caveats
Fokus perhatian utama dalam evaluasi ED pada pasien dengan Altered Mental State (AMS) antara lain :
 Untuk menentukan penyebab reversibel yang mudah terjadi seperti hipoksemia, hiperkarbi, hipo-
glikemi
 Untuk membedakan penyebab struktural dengan penyebab toksik metabolic dimana penyebab
yang pertama lebih memerlukan pemeriksaan pencitraan CNS secepatnya, sedangkan penyebab
yang kedua lebih mudah diidentifikasi dengan pemeriksaan laboratoris.
 Menentukan sistem skor yang sering digunakan menurut Glasgow Coma Scale untuk mendefini-
sikan keadaan koma yang terjadi.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Selalu mempertimbangkan penyebab AMS yang reversible sehingga dapat segera memberikan terapi
awal, misalnya : hipoglikemi (pemberian minuman gula per oral atau dextrose 50% iv), hipoksemia
(pemberian Oksigen), Heat stroke/serangan panas (upaya mendinginkan dan pemberian normal saline
iv) sebelum merujuk pasien kepada ED dengan menggunakan ambulan.
Manajemen :
Prioritas Awal :
 Lihat bagan 1 untuk mengetahui diagnosa banding penyebab Altered Mental State
 Pasien harus segera ditangani pada area gawat darurat
 Jika penyebab AMS yang reversibel telah dapat ditentukan, maka pasien dapat ditangani pada area intermediate
acuity.
 Kontrol jalan nafas/imobilisasi C spine
1. Buka jalan nafas dan cari adanya benda asing didalamnya
2. Masukkan oral atau nasofaringeal airway
3. Aplikasikan stiff collar atau imobilisasi manual jika tidak dapat menyingkirkan riwayat adanya trauma.
4. Aplikasikan definitive airway jika pasien koma, intubasi dengan atau tanpa rapid sequence intubation atau
lakukan pembebasan jalan nafas secara pembedahan misalnya dengan emergency krikotirotomi.
 Oksigenasi/ventilasi
1. Pemberian oksigen dengan aliran yang tinggi
2. Jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakranial, maka usahakan sedikit menurunkan hiperventilasi yang
terjadi untuk mencapai PCO2 sebesar 30-35 mmHg. Pada kasus bisaa, kadar PCO2 seharusnya berada pada ki-
saran 35-40 mmHg.
 Output jantung
1. Periksa adanya pulsasi, jika tidak ada maka mulailah CPR !
2. Perdarahan eksternal yang jelas terlihat harus dihentikan dengan penekanan langsung.
 Periksa kadar gula darah kapiler
 Monitoring EKG, pulse oksimetri, tanda-tanda vital tiap 5-15 menit.
 Mulai pemberian infus intravena dengan tetesan kecil (kecuali terjadi hipoperfusi) dengan menggunakan cairan
kristaloid isotonic.
 Lab: FBC, ureum/elektrolit/kreatinin, BGA (cari adanya asidosis metabolic & hiperkarbia)
Catatan : keracunan CO2 bisaanya langsung timbul pada keadaan distress respiratori, bisaanya keadaan
tersebut muncul pada keadaan depresi respiratori. Perhatikan kalsium serum, drug screen, serum etanol,
kadar karboksihemoglobin, GXM.
 Jenis cairan yang digunakan pada keadaan AMS: pertimbangkan untuk menggunakan nya separuh atau
seluruhnya
1. .D50 W 40 ml iv jika pasien mengalami hipoglikemia, diikuti dengan infus D 10 W selama 3-4 jam.
2. Naloxon (Narcan) 0,8-2,0 mg iv bolus
3. Thiamine 100 mg iv bolus pada pasien dengan keracunan alcohol atau malnutrisi.
4. Flumazenil (Anexate) 0,5mg iv bolus
a. Dapat diulang setiap 5 menit jika diperlukan
2
b. Jangan digunakan berdasarkan perkiraan saja, harus ada riwayat OD. Jika pasien telah mengkonsumsi
antidepressant golongan siklik atau menggunakan benzodiazepine dalam jangka lama, maka penggunaan
Flumazenil dapat mengakibatkan intractabel fits.
5. Foto C spine dengan cross tabel lateral film jika riwayat trauma tidak dapat disingkirkan.

Tabel 1 : Petunjuk anamnesa dan pemeriksaan fisik yang mengacu pada penyebab AMS
Penyebab Non-struktural Penyebab Struktural
Ditemukannya wadah obat yang kosong Keluhan nyeri kepala sebelum terjadinya AMS
Riwayat medis : epilepsy, penyakit hati, diabetes Riwayat tumor otak
Kemungkinan paparan CO
Tidak adanya tanda neurologik fokal Trauma
Tanda asidosis metabolic Adanya tanda neurologik fokal
Tanda antikolinergik Trauma kepala

 Evaluasi klinik : fokusnya adalah membedakan penyebab AMS, yaitu struktural atau toksik-metabolik (tabel 1)
 Riwayat anamnesa : cari petunjuk melalui heteroanamnesa kepada keluarga pasien, teman, informasi lain dari
petugas ambulan atau paramedic yang berada langsung pada tempat kejadian.
 Pemeriksaan : pemeriksaan fisik eksternal singkat untuk mencari tanda kecacatan yang terjadi pada berbagai
proses penyakit. Pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki tetap penting, namun lebih difokuskan pada pen-
carian gejala neurologik.
AMS yang dicurigai karena penyebab structural :
 Berikan suplemen Oksigen untuk mempertahankan SpO2 pada kisaran 95%
 Mulai pemberian infus dengan aliran lambat
 Lakukan CT scan kepala
 Turunkan tekanan intracranial jika ada indikasi
1. kontrol ventilasi : kerjakan dengan lebih cepat.
2. Mannitol iv bermanfaat dilakukan dengan konsultasi pada bagian bedah saraf. Dosis 1g/kgBB. BB x 5
mls/KgBB dengan menggunakan larutan manitol 20%.
3. penggunaan steroid masih diperdebatkan.
AMS yang dicurigai karena penyebab toksik-metabolik
 Lakukan Gastric Lavage; dilakukan dengan tetap melindungi airway
 Gunakan bahan arang aktif pada kasus yang dicurigai overdosis obat. Lihat BAB Prinsip Penanganan
Umum Keracunan.
 Periksa temperature rectum dan pertimbangkan adanya heat stroke jika temperature > 40oC dan
mengkonsumsi antikolinergik.
 Jika ada kecurigaan meningitis, pertimbangkan pungsi lumbal lebih dini (setelah CT scan kepala). Mulai
pemberian antibiotik berdasarkan data empiris sebelum melakukan tes serta konsul pada bagian
neurologi. Rujuk kepada keadaan meningitis.
Disposition/penempatan
 MRS-kan seluruh pasien AMS. Masukkan pasien yang diintubasi atau dengan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil ke dalam ICU.
3
Bagan 1. Bagan Pendekatan Diagnosa Banding Pada Keadaan AMS

Altered Mental Airway Cek Tanda-tanda vital/temperature


State SpO2 Monitoring EKG
Breathing Periksa kadar gula darah
Berikan 02 100%
Circulation
Periksa Nadi

Target anamnesa dan Pemeriksaan Fisik :


 Adanya trauma kepala
 Kekakuan pada leher
 Laju nafas dan ukuran pupil
 Tanda deficit neurologik fokal 1
 Tanda kegagalan organ kronik

Penyebab Penyebab
Struktural toksik/metabolik

Trauma Trauma Non Febris Afebris


Kepala kepala - abses serebral - Keracunan
- Perdarahan - Perdarahan - meningitis  Over dosis obat : opioid, BZD,
intra kranial intracerebral - Ensefalitis barbiturate, TCA, ketamin,
- Perdarahan - Malaria serebral ekstasi
subarachnoid - Bakteremia  Alkohol
- Stroke - Septisemia  Wernicke’s ensefalopati
braintem - ISK pd lansia  Karbonmonoksida
- Stroke cere- - Heat Stroke - Metabolik
bellar  Hipoglikemi, hipoperfusi sere-
- Tumor cere- bral, hiperkarbia, koma diabet-
bral ikum, hipotermi, dehidrasi, ab-
normalitas elektrolit & asam basa
Catatan : - Kegagalan organ
1. Penyebab structural bisaanya akan  Uremia, hepatic, respirasi,
mengakibatkan terjadinya tanda deficit kardiak (jantung)
neurologik fokal, sedangkan penyebab - Post ictal state
toksik/metabolic tidak ada. SAH - Psikiatrik
bisaanya tidak menunjukkan tanda def-  Stupor psikogenik 2
icit neurologik fokal. Pada SAH dan  Demensia
beberapa penyebab toksik/metabolic,
dapat terjadi panas/demam.
2. Stupor psikogenik merupakan suatu
keadaan disosiatif dimana pasien ter-
lihat sangat sadar, namun tidak dapat
membuat suatu gerakan spontan serta
hanya sedikit merespon stimulus dari
luar. Bisaanya terkait pada suatu ke-
jadian yang bersifat “stressful” dengan
onset yang mendadak. Pasien yang ser-
ing mengalami “flickering”/kedipan
pada kelopak matanya merupakan di-
agnosa eksklusinya.
4
2. Bleeding, GIT ( Perdarahan GIT )

Caveats
 Manajemen penting pada perdarahan GIT yaitu dapat :
1. Identifikasi adanya syok dan resusitasi.
2. Identifikasi penyebab potensial perdarahan dan usahakan mengembalikan keadaan yang terjadi (misalnya
dengan pemberian antikoagulasi).
3. Identifikasi keadaan fisiologis lain yang terjadi akibat syok (iskemik jantung, renal compromised atau
anemia simptomatik yang membutuhkan transfuse darah).
 Selalu waspada terhadap terjadinya aneurisme aorta yang manifestasinya mirip dengan perdarahan GIT.
 Selalu lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan apakah frank melena terjadi atau adanya perdarahan
local pada area anal kanal/perianal.
 Melena yang terjadi akibat terapi dengan Fe akan berwarna hijau/hitam.
 Penyebab umum perdarahjan GIT antara lain:
1. Ulkus peptikum
2. erosi gastric
3. varises GIT bagian atas
4. hemoroid pada GIT bagian bawah
5. malignansi

Tips Khusus Untuk Dokter Umum :


 Periksa adanya syok (takikardi dan atau hipotensi) jika ada, hubungi ambulan dan kirim ke ED
terdekat. Pasang iv line dengan infus NS.
 Jika terdapat muntah darah dan pasien tetap sadar, tempatkan pada posisi recovery serta pasang iv
line.
 Periksa abdomen untuk mencari adanya nyeri tekan serta lakukan RT untuk mengkonfirmasi
adanya melena.
 Cari adanya riwayat penyalahgunaan alcohol atau terapi antikoagulan.
 Selalu periksa pulsasi abdomen dan pikirkan kemungkinan aneurisme aorta.
 Tanyakan pasien mengenai penggunaan NSAID dan obat cina tradisional. (Traditional Chinese
Medicine = TCM).
 Sarankan pasien untuk tetap NBM.

Manajemen
Perawatan suportif
A. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
 pasien harus ditempatkan pada area critical care
 pertahankan airway. Pertimbangkan intubasi jika hematemesis terjadi berlebihan dan pasien tidak
dapat mempertahankan jalan nafasnya sendiri, misalnya pada keadaan depresi mental akibat CVA.
 Berikan O2 aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >94%.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 5 menit, pule oksimetri.
 Lakukan pemerikasaan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya disritmia kardiak.
 Pasang 2 atau lebih iv line perifer dengan jarum yang besar (14/16G).
 Lab :
1. GXM paling tidak 4 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada EKG.
 Infus 1 liter NS secara cepat dan periksa kembali parameter. Lakukan transfusi darah jika tidak ada
perbaikan dengan pemberian fluid challenge.
 Masukkan NGT untuk tujuan drainase dan kepentingan diagnostic (serta untuk mencegah terjadinya
aspirasi jika terjadi muntah/vomit) jangan masukkan NGT jika ada kecurigaan varises esophagus.
 Pasang kateter untuk monitoring output urin.
Catatan : Peran dari Omeprazole (proton Pump Inhibitor). Bukti terbaru menyebutkan bahwa ada beberapa
keuntungan dalam menurunkan perdfarahan yang terjadi dalam jangka pendek (meningkatkan pH lambung,
5
memungkinkan terjadinya kondisi yang mendukung terbentuknya clot) namun, penelitian yang lebih lanjut
diperlukan untuk mengetahui efek mortalitas dan morbiditasnya. Berikan omeprazole 40 mg secara iv.

B. Pasien dengan Hemodinamik Normal


 Pasien dapat ditangani pada area intermediate care walaupun harus tetap diingat bahwa pasien dapat
mengalami dekompensasi setelah evaluasi yang pertama karena kehilangan darah yang terus menerus.
 Berikan oksigen untuk mempertahankan SpO2 >94%.
 Monitoring tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri. Pasang iv line paling tidak 1 buah dengan
jarum 14/16G.
 Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead.
 Lab :
1. GXM 2 unit.
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
3. Lakukan tes fungsi hati jika pasien mengalami jaundice, atau menunjukkan tanda
penyakit liver kronis.
4. Periksa enzim jantung jika ada indikasi iskemik/injury miokard pada EKG.
 Mulai pemberian infus salin 500ml selama 1-2 jam.
 Pasang NGT dengan tujuan drainase dan kepentingan diagnostik (serta untuk mencegah terjadinya
aspirasi jika terjadi muntah/vomit).
 Berikan omeprazole 40 mg secara iv.
 Pindahkan pasien ke area critical care jika terjadi ketidakstabilan kondisi.

Pemeriksaan Spesifik
 Cari adanya luka bekas operasi aneurisma aorta abdominalis sebelumnya; perdarahan GIT yang terjadi
mungkin akibat adanya fistula aortoenterik. Jika kecurigaan terbukti ada, maka konsulkan pada bagian
bedah umum dan TKV.
 Jika ada kecurigaan varises esophagus pertimbangkan penggunaan somatostatin 250µg bolus iv, kemudian
diikuti dengan infus iv 250 µg/jam (sukses diberikan pada 85-90% pasien). Jika somatostatin tidak berhasil
menghentikan perdarahan, serta ada resiko sebelum endoskopi dapat dilakukan, maka insersi Sengstaken-
Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Insersi alat ini hanya dapat dilakukan oleh operator yang
berpengalaman.

Disposition/penempatan
 Konsultasi MRS pada bagian bedah umum atau bagian Gastroenterologi tergantung pada kebijakan tiap in-
stitusi.
6
3. Bleeding ( Perdarahan ), Vaginal, Abnormal

Caveats
 Riwayat anamnesa yang teliti sangatlah penting untuk assessment perdarahan vaginal yang abnormal. Ha-
rus meliputi riwayat menstruasi yang lengkap (termasuk HPHT), riwayat medis dan obat-obatan, riwayat
obstetric dan riwayat seksual (termasuk penggunaan kontrasepsi pengatur kelahiran). Adanya gejala nyeri,
lokasinya, durasinya, onset dan tingkat keparahan juga harus diperiksa.
 Kehamilan harus dieksklusi pada pasien usia subur.
 Juga penting untuk mengeksklusi perdarahan yang terjadi diluar vagina, misalnya perdarahan saluran
kemih atau dari usus besar.
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab perdarahan per vaginam abnormal yang bersifat emergency
 Lihat tabel 2 untuk mengetahui penyebab penting lain yang mengancam nyawa namun tidak
segera/immediate

Tabel 1 : Penyebab Perdarahan Pervaginal Abnormal yang Bersifat Emergency

1. Kehamilan Ektopik
2. Abortus inkomplit (mungkin juga septic) dan abortus inevitabel
3. Plasenta previa
4. Abruptio plasenta
5. Perdarahan post partum (1-5 merupakan komplikasi kehamilan)
6. Trauma vagina
7. Menorrhagi pada pasien yang tidak hamil
8. Perdarahan dari tumor pada traktus genitalis bagian bawah (misalnya carcinoma cervix atau
endometrial)

Tips khusus Untuk Dokter Umum


 Kehamilan harus dapat dieksklusi pada pasien yang berusia subur.
 Rujuk semua pasien dengan perdarahan pada kehamilan pada ED. Sebuah pengecualian yaitu
pada pasien dengan abortus iminen namun tidak ada nyeri, serta dimana viabilitas fetal dapat
diperiksa/diketahui.

Tabel 2 : Penyebab Penting Perdarahan Vaginal yang Abnormal Serta Mengancam Nyawa namun tidak Imme-
diate/segera

1. Terkait Kehamilan
 Abortus imminen (Threatened miscarriage)
 Missed abortion
 Gestational trophoblastic disease (jarang terjadi)
 Show (dapat terjadi pada kehamilan normal sebelum persalinan)
 Lochia (timbul normalnya setelah persalinan)
2. Tidak terkait Kehamilan
 Perdarahan pada gadis pre-pubertas
 Perdarahan vaginal irregular
 Perdarahan vaginal yang memanjang (prolonged)
 Perdarahan post coital
 Perdarahan intermenstrual
 Perdarahan post menopause
7
Manajemen
 Pastikan stabilitas tanda vital. Infus intra vena untuk menggantikan volume yang hilang harus segera dilakukan
jika pasien tidak stabil. Bahan specimen untuk pemeriksaan FBC, GXM dan kehamilan harus didapatkan.
 Jika terdapat perdarahan yang berat, berikan suplementasi oksigen, monitoring pulse oksimetri, dan blood pres-
sure.
 Jumlah perdarahan dapat diperkirakan dari riwayat anamnesa serta memeriksa kain/pakaian yang digunakan.
 Resusitasi umum harus dilakukan sementara menunggu pemeriksaan dari para spesialis.
 Pasien dengan perdarahan pada awal kehamilan harus diperiksa dengan USG untuk mengetahui viabilitas fetal
dan lokalisasinya. Namun, apabila ada tanda-tanda perdarahan intrabadomen (misalnya rupture kehamilan ekto-
pik), diindikasikan untuk melakukan resusitasi diikuti dengan pembedahan segera. Lihat BAB kehamilan ek-
topik untuk lebih detailnya.
 Pada pasien yang hamil dimana uterusnya teraba melalui abdomen, Doptone dapat dilakukan untuk mengetahui
viabilitas fetal.
 Pasien dengan perdarahan antepartum harus dirujuk segera pada kamar bersalin. Pemeriksaan koagulasi harus
dilakukan. Namun kadangkala sulit untuk membedakan show dengan perdarahan antepartum. Jika meragukan
pasien harus dikirim ke kamar bersalin.

Perdarahan Pervaginam Abnormal

Hamil Tidak Hamil

Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik Hemodinamik stabil


tidak stabil stabil tidak stabil

Resusitasi Rujuk ke OBG Resusitasi Berikan progesterone 50-200mg im


Cek Hb

Rujuk ke OBG Butuh pelvic


dan Bedah TKV scan 1.Hb<8mg% 1.Hb N atau >
2.Perdarahan terus 8mg%
berlangsung 2.Perdarahan
setelah pemberian berhenti 1-2 jam
progesterone im setelah
pemberian
progesterone im
Rujuk ke OBG
untuk MRS
KRS dengan :
 Kontrol pada poli spesialis OBG
Gambar 1. Rencana Manajemen Pada dalam 2 hari
perdarahan Per Vaginam Abnormal  Norethisterone 5 mg 2 x/hari –
10mg 3x/hari
 Suplemen zat besi dan folat jika
anemis
8
4. PENGLIHATAN KABUR MENDADAK

- Keluhan subyektive mungkinberarti sesuatu, dari penglihatan kabur pada salah satu lapang pandang pada
satu sisi mata, sampai buta total.
- Aturan mayor dari dokter EM adalah mengenalihilangnya penglihatan dan penyebabnya. Sudah diketahui
bahwa sejumlah pilihan terapi di ED terbatas.
- Anggap keluhan hilangnya penglihatan adalah benar sampai terbukti sebaliknya, kirim ke bagian mata un-
tuk dilakukan pemeriksaan lanjut.
- Pada kasus cidera mata korosif, segera lakukan irigasi dengan saline sebelum ambulan datang membawa
pasien ke rumah sakit.

MANAGEMEN
- pasien seharusnya dirawat di critical case sampai keluhan penglihatan yang menurun membaik. Periksa
tajam penglihatan di triase.
- Anamnesa : ini penting untuk mendefinisikan apa arti kehilangan penglihatan bagi pasien:
1. apakah unilateral atau bilateral? Bilateral menunjukkan kelainandi optik chiasma.
2. apakah kelainan ada di lapangan pandang tertentu atau semua? Kehilangan penglihatan lapang pan-
dang tertentu menunjukkan problem retina segmental tertentu.
3. apakah kehilangan penglihatan tiba-tiba atau mendadak? Kehilangan penglihatan kronis progresif
diduga katarak atau makular degenerasi.
4. apakah ada gejala awal flashes of light (retinal tear) atau floaters (vitreus haemorrhages)?
5. apakah ada nyeri? Kehilangan penglihatan yang mendadak dengan nyeri bisanya oleh karena
penyebab dari pembuluh darah.
6. bila jelas, dimana lokasinya? Nyeri retrobulbar diasosiasikan sebagai neuritis optic.
7. apakah ada riwayat serupa sebelunya yang membaik spontan? Kemungkinan suatu oklusi vaskuler ,
mungkin dari atherosclerosis plaque.
8. adakah riwayat trauma? Hal ini meningkatkan ablasio retina , perdarahan vitreus atau subluksasi lensa.
9. adakah riwayat minum toxin? Methanol, salisilat dan quinine dapat mengganggu penglihatan
10. adakah riwayat trauma korosif pada mata? Ini dapat mengakibatkan kerusakan signifikan pada bola
mata. Asam menyebabkan nekrosis koagulasi biasanya superficial, dimana alkalis menyebabkan
nekrosis lebih dalam, mengakibatkan ulcerasi kornea.
Pemeriksaan(spesifik)
1. kartu snellen atau hand-held ; pasien harus harus membaca 50% tulisan dalam suatu barisan dikatakan
itulah tajam penglihatannya
2. jika pasientidak menggunakan snellen chard, nilai kemampuan menghitung jari, mendeteksi
pergerakan tangan atau penerimaan cahaya.
3. pinhole cover akan memperbaiki kesalahan refraksi untuk membantu melihat apakah ini disebabkan
penurunan tajam penglihatan.
Inspeksi : point penting apakah mengindikasikan patologis meliputi
1. opasitas kornea dari infeksi atau proses infiltrasi
2. iridodonesisgerakan goncangan pada iris) mungkin muncul trauma subluksasi lensa
3. kesulitan visualisasi dari retina : mungkin disebabkan oleh katarak, darah dalam vitreus atau ablasio re-
tina.
4. reaksi pupil : chek respon terhadap cahaya dan akomodasi
5. chek marcus gunn pupil indikasi defeck pada afferent atau chiasma seperti disfungsi retina atau saraf
optik
ophthalmoscopy; jarang diperlukan dilatasi pupil dg midriatikum. Kontraindikasi pada glaucoma sudut tertutup
atau perlu monitor untuk perubahan pupil pada pasien trauma kepala.
1. check defeck retinal; catat posisi
2. check oklusi arteri atau vena retina central, ablasio retina, hipertensi atau diabetes retinopathy, papilloede-
ma atau papillitis
9
check lapang penglihatan dan extraoculer movement

pemeriksaan (tambahan)
- slit lamp examination: chek flare dan cells, posterior keratitis precipitates, dan/atau hipema anterior
- tonometri dilakukan setelah local anestes, untuk mengukur tekanan intraokuler, tekanan abnormal bila lebih
dari 20 mmHg.
- Disposisi; kosultasi segera bag mata jika terdapat penurunan penglihatanatau indeks tinggi dugaan ke-
hilangan penglihatan.
10

5. Breathlessness, Akut

Caveats
 Ketika menghadapi pasien yang menderita henti nafas yang akut, selalu pertimbangkan penyebab yang
dapat diatasi segera (dalam beberapa detik atau menit).
1. Obstruksi jalan nafas atas akut : dengan maneuver Heimlich atau Magill’s forceps
2. Tension pneumothorax akut : thoracostomy dengan jarum, diikuti dengan insersi chest tube.
3. Gagal nafas akut : intubasi endotrakeal.
 Penyebab umum henti nafas tertera pada tabel 1
 Ingat bahwa hiperventilasi psikogenik merupakan diagnosa eksklusi.
 Secara umum, sangatlah bermanfaat untuk membagi penyebab henti nafas yaitu pasien tanpa kelainan paru
(istilah hiperventilasi) atau pasien dengan kelainan paru.
 Ingat bahwa tidak semua pasien wheezing menderita asma atau cold.
 Pertimbangkan diagnosis dari kondisi lain seperti asma kardiak, anafilaksis, dan aspirasi.
 Lihat tanda dan gejala gagal jantung, misalnya orthopnoea, edema pedis dan peningkatan tekanan vena
jugularis, untuk membedakan asma kardiak dengan asma respiratori.
 Tidak semua pasien takipneu dengan krepitasi menyeluruh disebabkan oleh edema pulmonary. Mungkin
pasien mengalami pneumonia atau bronkiektasis.
Tips khusus untuk Dokter Umum :
 Berikan oksigen dan akses intravena pada pasien henti nafas yang
harus dirujuk ke ED.
 Kirim pasien dengan ambulan jika ada kecurigaan keadaan patol-
ogis yang serius.

Tabel 1 : Penyebab Umum Henti nafas akut


Kardiak Acute Pulmonary Edema Lihat bab Pulmonary oedema, Cardiogenic
Gagal jantung Lihat bab Gagal jantung
Cardiac tamponade
Respiratori Asma berat atau chronic Obstructive airway Lihat bab Asma dan Chronic Obstructive Lung Dis-
Disease ease
Chest infection Lihat bab pneumonia
Pulmonary embolism Lihat bab pulmonary embolism
Pneumothorax : tension dan simple Lihat bab pneumothorax
Efusi pleura
Trauma dada, misalnya : tension pneumo- Lihat bab trauma, dada
thorax, hemothorax, kontusio pulmonal, flail
chest
Aspirasi, termasuk obstruksi benda asing
akut
Keadaan nyaris tenggelam Lihat bab keadaan nyaris tenggelam
Lainnya Kompensasi respiratori pada asidosis me-
tabolic karena DKA, uremia
Keracunan, misalnya keracunan salisilat Lihat bab Keracunan, salisilat
Adult respiratory distress syndrome
Demam Lihat bab demam
Anafilaksis Lihat bab reaksi alergi/anafilaksis
Hyperventilation syndrome Lihat bab hiperventilasi

Manajemen
 Gunakan pendekatan ABC dan resusitasi secepatnya: kebanyakan pasien dispneu akan membutuhkan eval-
uasi pada area intermediate atau area high acuity.
 Anamnesa yang baik akan membantu menentukan diagnosis. Misalnya factor yang menyebabkan eksaser-
basi atau factor yang memperingan, juga gejala apa saja yang terkait, akan sangat membantu. Mungkin saja
11
tidak didapatkan adanya riwayat terpapar allergen atau racun, namun tetap saja pertimbangkan kemung-
kinan anafilaksis dan keracunan.
 Selalu aplikasikan pulse oksimetri dan monitoring laju nafas.
 Pemeriksaan dapat dipandu dengan anamnesa serta dapat meliputi EKG, FBC, BGS, GDA dan CXR.
 Penempatan pasien tergantung pada diagnosis dan keadaan klinis pasien.
1. Pasien dengan gagal jantung ringan bukan disebabkan oleh infark miokard dan secara klinis masih me-
rasa nyaman tanpa adanya takikardi atau bukti adanya edema pulmonal pada CXR dapat ditangani dan
dirujuk ke spesialis jantung sebagai pasien rawat jalan. Lihat bab Gagal Jantung.
2. pasien dengan hyperventilation syndrome mungkin memerlukan bantuan pekerja social medis atau
dirujuk pada psikiatrik, terutama jika terjadi berulang kali. Lihat bab hiperventilasi.
 Mulai terapi sesuai penyebab henti nafas akut yang telah teridentifikasi.
12
BAB 6
ANAK DENGAN KELUHAN NYERI PERUT

 Durasi rasa sakit sangat menentukan, karena diagnosis sakit perut pada tindakan bedah lebih jarang terjadi
pada sakit perut yang kronis
 Adanya panas menunjukkan adanya proses infeksi atau peritonitis
 Pada anak usia kurang dari 5tahun, penyebab rasa sakitnya adalah organik
 Kemungkinan terjadinya sakit perut karena sebab fungsional pada anak yang lebih besar
 Pengetahuan mengenai usia anak sangat penting, pendekatan diagnosis juga tergantung usia anak
 Bila ditemukan adanya muntah bilus atau muntah menetap yang disertai dengan keluhan sakit perut harus
diwaspadai adanya obstruksi mekanik sampai dibuktikan tidak.

Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Pemeriksaan fisik sangat penting untuk dilakukan mengingat anamnesa pada anak
mungkin tidak jelas dan lebih dari sepertiga pasien anak memberikan gambaran penyakit
yang tidak atipikal
 Pemeriksaan palapasi dilakukan terakhir kali
 Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan daerah genital dan melakukan pemeriksaan
’colok dubur’

Tabel 1. PENYEBAB NYERI PERUT


YANG PALING SERING MENGANCAM JIWA
Neonatus Bayi (<2tahun) Anak (2-10tahun) Dewasa
Gastroenteritis hebat Gastroenteritis hebat Appendiksistis Overdosis
Sepsis Overdosis Trauma Trauma
Hernia inkarserata Sepsis Intususepsi Appendiksitis
Malrotasi/volvulus Intususepsi Overdosis Kehamilan ektopik
Stenosis pilorus Appendiksitis Sepsis Tukak lambung
Hirschprung Hernia inkarserata Ketoasidosis Diabetik Pankreatitis
Trauma Divertikulum Meckel Megakolon Ketoasidosis Diabetik
Trauma Diseksi aorta/aneurisma
Ketoasidosis Diabetik Megakolon

MANAJEMEN
 Hampir seluruh pasien anak dengan keluhan nyeri abdomen dapat ditempatkan diruangan rawat jalan
 Lakukan pemeriksaan ABC dan pindahkan ke ruangan intermediate atau ruangan critical untuk
mendapatkan oksigen, monitor tanda vital dan oksimetri, berikan infus cairan kristaloid melalui vena
perifer.

ANAMNESA
 Hasil anamnesa keseluruhan mungkin tidak menunjukkan hal yang spesifik
 Karakter dari rasa nyeri penting untuk membedakan proses yang sedang terjadi

Onset
 Onset yang mendadak menunjukkan kemungkinan terjadi perforasi, intususepsi, torsio atau kehamilan
ektopik.
 Nyeri yang onsetnya perlahan atau tersembunyi terjadi pada appendiksitis, pankreatitis dan
cholesistitis.
 Nyeri kolik khas pada iritasi organ berongga atau obstruksi.
 Nyeri kronis yang hebat lebih berhubungan dengan inflamatory bowel disease.
13
Lokasi nyeri pada saat onset
 Nyeri daerah periumbilikal menunjukkan adanya proses patologi pada usus keci atau diproksimal
kolon.
 Nyeri epigastrium menunjukkan proses di proksimal traktus gastrointestinal termasuk pankreas.
 Nyeri di daerah hipogastrik berhubungan dengan penyakit dikolon distalis, patologi proses dipelvis,
termasuk hernia inkarserata.
 Nyeri yang menjalar ke bahu menunjukkan adanya iritasi pada diafragma.

Gejala lain yang menyertai


 Muntah yang mengawali atau menyertai rasa nyeri menunjukkan adanya intususepsi, gastroenteritis atau
kolik ureter.
 Muntah yang terjadi setelah onset nyeri lebih mengarah pada iritasi peritoneum seperti pada appendiksitis,
obstruksi usus atau cholesistitis.
 Muntah bilus selalu mengindikasikan adanya obstruksi mekanik
 Diare menunjukkan adanya gastroenteritis namun dapat juga terjadi pada kasus-kasus bedah.
 Panas dan muntah tidak khas pada anak, dapat terjadi pada nyeri abdomen baik yang disebabkan oleh
kondisi ekstra abdomen maupun intraabdomen, seperti pada infeksi virus.

Riwayat penyakit dahulu


 Penting dan harus digaris bawahi bahwa anamnesa pada anak mungkin tidak jelas dan lebih dari sepertiga
pasien anak memberikan gambaran penyakit yang atipikal. Diperlukan kesabaran untuk melakukan
observasi saat orang tua menceritakan perjalan penyakit anaknya.
 Hal yang perlu diperhatikan
1. Tingkat aktivitas
2. Interaksi dengan orang tua
3. Rasa tidak nyaman
 Penampakan Secara umum
1. Berguling-guling, berputar kedepan dan belakang atau keluhan rasa sakit yang hilang-timbul.
2. Anak tampak sakit berat dan letargi menunjukkan kondisi dehidrasi atau sepsis
3. Anak gerakan minimal atau berbaring dengan lutut ditekuk menunjukkan adanya iritasi peritoneum.
 Pemeriksaan tanda vital yang lengkap harus selalu diulang dan dicatat
 Lakukan pemeriksaan perut setelah pemeriksaan fisik lainnya lengkap
1. Inspeksi : apakah perut tampak cekung atau distensi? cari adanya luka bekas operasi, defek pada
dinding perut dan gambaran peristaltik usus.
2. Auskultasi : lakukan pada empat kuadaran perut :
a. Suara usus yang hipoaktif menunjukkan adanya peritonitis atau obstruksi usus (ileus).
b. Suara usus yang hiperaktif menunjukkan adanya gastroenteritis atau awal dari obstruksi usus
(mekanik).
3. Perkusi : hindari daerah yang paling nyeri, sebagai alternatif lakukan goyangan pada posisi duduk
untuk mengetahui adanya iritasi peritoneum.
4. Palpasi : merupakan pemeriksaan yang paling informatif namun harus dilakukan terakhir kali karena
akan merangsang rasa nyeri. Tehnik distraksi atau melakukan palpasi dengan tangan anak sendiri
mungkin akan berguna.
a. Tahanan dan nyeri menunjukkan adanya iritasi peritoneum
b. Adanya kekakuan menunjukkan perforasi
c. Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan daerah genital dan melakukan pemeriksaan colok
dubur

INVESTIGASI
 Investigasi sangat penting pada pasien dengan diagnosis yang tidak jelas, pada anamnesa yang
menunjukkan kemungkinan penyebab dari kasus bedah dan adanya gejala iritasi peritoneum.
1. Pemeriksaan darah lengkap : sangat berguna untuk mengetahui adanya proses infeksi atau adanya
kehilangan darah. Perhatikan adanya peningkatan sel darah putih dapat terjadi pada setiap kondisi
intraabdomen atau panas badan, interpretasi mungkin sulit.
14
2. Ureum/elektrolit/creatinin dan kadar gula darah : sangat berguna pada pasien yang membutuhkan
cairan resusitasi intravena seperti pada obstruksi usus, peritonitis atau gastroenteritis.
3. Pemeriksaan lainnya : pemeriksaan fungsi hati dan amilase dapat dilakukan bila ada indikasi secara
klinis.
4. Urinalisis : indikasi untuk dilakukan pada pasien dengan nyeri perut semua usia, bila ada pyuria,
hematuria dan ketonuria ± glikosuria.
5. Pemeriksaan kehamilan melalui urin : diindikasikan pada remaja putri dengan kemungkinan kehamilan
berdasarkan siklus menstruasi dan riwayat kehidupan seksualnya.
6. Pemeriksaan foto rontgen abdomen : memberikan hasil yang penting bila dilakukan pada :
a. Riwayat pembedahan perut
b. Tertelan benda asing
c. Suara usus yang tidak normal
d. Tanda-tanda iritasi peritoneum

Gambaran yang mungkin tampak adalah :


a. Batas air – udara
b. Penurunan udara didalam usus
c. Sentinel loops
d. Fekalit
e. Udara bebas
f. Benda asing
g. Masa
h. Konstipasi
7. Pemeriksaan USG perut : merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi proses patologi didalam
perut, termasuk intususepsi, appendiksistis, stenosis pilorus, adanya masa dan abses. Sangat berguna
pada wanita dewasa dengan keluhan nyeri perut bagian bawah untuk membedakan appendiksitis
dengan kelainan pelvis yang lain.

Tabel 2. PENYEBAB NYERI PERUT YANG PALING SERING


Neonatus Bayi (<2tahun) Anak (2-10tahun) Dewasa
Kasus non-bedah
Kolik Gastroenteritis Gastroenteritis Gastroenteritis
Alergi susu Sindroma virus Konstipasi Sindroma virus
Gastroenteritis Konstipasi Sakit fungsional Sakit fungsional
Refluks Infeksi traktus urinarius Sindroma virus Pneumonia
gastroesophageal
Sepsis Infeksi traktus urinarius
Pneumonia
Kasus bedah
Volvulus/malrotasi Intususepsi Appendiksitis Appendiksitis
Hernia inkarserata Hernia inkarserata Trauma Trauma
Stenosis pilorus Trauma Divertikulum Meckel Kehamilan ektopik
Kelainan usus Divertikulum Meckel Intususepsi Torsio testis
Hirschsprung Appendiksistis Tumor Tumor
Perforasi usus Tumor (Wilm’s)
Trauma

Tabel 3. KONDISI DILUAR PERUT YANG MENYEBABKAN NYERI PERUT


Inflamasi Toksikologi
Penyakit virus Keracunan logam berat
Pharingitis streptokokus Termakan alkohol, aspirin, insektisisda
Purpura Henoch-Schonlein
Sepsis Sumber diluar abdomen
Demam rematik akut Pneumonia
15
Penyakit kolagen-vaskuler Pyelonephritis
Urolitiasis
Metabolik/hematologi Torsio testis
Ketoasidosis diabetik Epididimitis
Leukemia Migrain abdomen
Krisis sickle sel Miokarditis dan perikarditis
Nyeri abdomen fungsional

DISPOSISI
 Semua anak dengan kemungkinan kasus bedah memerlukan konsultasi ke bagian bedah segera
 Keputusan pemerintah memerintahkan semua anak dengan tanda dan gejala yang meragukan
sebaiknya dirawat di ruah sakit. Bila orang tua tetap menginginkan anak dirawat dirumah maka harus
disertakan nasehat dari dokter.
16
7. SESAK NAPAS PADA ANAK

Caveats
 Ingat ABC : jangan terlambat mentransfer anak dengan sesak napas akut ke critical area dengan anamnesa
dari orang tua.
 Anak dengan sesak napas yang tidak menangis menunjukkan adanya bahaya terjadinya henti napas: trans-
fer ke critical area.
 Anak yang menangis kuat menunjukkan fungsi paru masih baik.
 Anak dengan sesak napas dapat dalam keadaan nyeri hebat dari kolik bilier (kista koledokus), akut
abdomen (peritonitis, intususepsi). Setiap anak yang mengalami nyeri dapat sesak napas!
 Anak yang sesak dengan pemeriksaan thorax normal dan ronteng thorax normal dapat terjadi akibat DKA
(tipikal air hunger, peningkatan gula darah perifer, keton pada nafas dan urine).
 Auskultasi pada dada anak harus ditenangkan dulu untuk menghindari kesalahan hasil pemeriksaan akibat
teriakan anak.
 Saat auskultasi dada, perhatikan udara masuk, tidak hanya crackles dan wheezing: penurunan udara masuk
pada satu lobus mungkin satu-satunya tanda untuk diagnosis konsolidasi lobaris sebelum timbul crackles
local dan suara bronchial, adanya efusi pleura atau pneumothorak.
 Aspirin atau overdosis obat dapat terjadi sesak napas akibat asidosis metabolic
 Selalu pertimbangkan penyebab jantung seperti gagal jantung akibat penyakit jantung bawaan, myokarditus
atau supra ventricular takikardi (SVT).
Tips khusus
 Letakkan anak yang sesak napas dalam posisi nyaman, jangan memaksanya untuk berbaring.
 Jika anak ketakutan karena pemberian masker oksigen, berikan pada ibunya untuk memegang
masker dari jarak dekat dari muka anak.
Pertanyaan pada orang tua atau pengasuh
 Onset sesak
1. apakan sesak terjadi tiba-tiba saat bermain dengan mainan atau saat makan ?
2. Anak sesak saat muntah: muntah dan sianosis curiga aspirasi.
3. Muntah, nyeri dada dan sesak curiga pneumonia lobus bawah.
4. Muntah, sesak dan wheezing mungkin mengindikasikan sticky phlegm seperti bronkitisa.
 Paparan anggota keluarga dari PTB, pneumonia atau infeksi dada, atau virus
 Riwayat asma atau wheezing sebelumnya.

Pemeriksaan
Catatan:
1. gagal jantung, seperti bronchitis, dengan wheezing; suara jantung mungkin sulit didengar.
2. retraksi kepala mungkin dengan tanda iritasi meningen, lihat tanda peningkatan tekanan intrakranial pada
anak yang gelisah, sesak atau apneu.
3. gagal to thrive mungkin dengan refluks gastroesofageal, fistula trakeoesofageal, kistik fibrosis, atau
imunokompromised.
 Tanda terpenting untuk menilai status mental: indicator awal hipoksemia atau hiperkarbia. Waspada irita-
bilitas, gelisah, ketidakmampuan mengenal orang tua dan tidak ada respon social.
 Lihat sianosi sentral, transfer ke critical care area dan beri 100% oksigen dengan masker.
 Tanda distress pernafasan: sianosis, retraksi kepala, penggunaan otot pernafasan asesorius, trakeal tug, re-
traksi, grunting atau nafas cuping hidung, stridor. Transfer ke critical care dan beri 100% oksigen dengan
masker.
 Hitung frekuensi pernafasan
 Tanda penyakit saluran napas atas atau bawah?
1. Obstruksi saluran napas atas : ngorok dan stridor
2. Grunting menunjukkan patologis pada alveoli perlu PEEP untuk membersihkan alveoli seperti pada
konsolidasi dari pneumonia, atau edema paru, atau sepsis
 Observasi dada untuk tanda ekspansi yang tidak sama; palpasi posisi trakea; emfisema subcutan; resonansi
vokal paling baik dievaluasi dengan meminta anak mengulang nama karakter kartun kesukaannya.
 Lengkapi pemeriksaan system THT.
17

Penatalaksanaan
 Pertimbangan rontgen dada
1. diagnosis klinis harus ditegakkan sebelumnya
2. pada bayi sesak dimana sulit dimana sulit menilai pemeriksaan paru sebaik jantung.
3. tidak semua pasien asma memerlukan roentgen dada tapi berguna untuk menyingkirkan aspirasi benda as-
ing, pneumonia dan atelektasis
4. diindikasikan pada wheezing yang pertama kali disertai trias klinis panas, batuk dan sesak
5. mungkin berbahaya mengirim anak untuk rontgen dada dari pada roentgen dilakukan di critical care area,
misalnya pada croup dan epiglotitis.

 Anak dengan sesak napas berat


1. penatalaksanaan di critical care area
2. evaluasi dan dukungan jalan napas
3. berikan oksigen 100% dengan masker
4. monitoring: ECG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
5. pemeriksaan dada dengan teliti
6. roentgen dada sesuai keperluan

7. nebulisasi salbutamol untuk anak dengan wheezing


dosis: 0,5 ml : 1,5 ml saline untuk < 1 tahun
1 ml : 3 ml saline untuk > 1 tahun, dapat diulang tiap 20 menit
lakukan konsultasi pediatrik dan transfer ke pediatric ICU.
8. heparin plug pada vena perifer: buat analisa gas darah vena yang berguna untuk menilai pH
dan pCO2

 Anak sesak sedang


1. Penatalaksanaan di intermediate care area
2. Monitoring: pulse oksimetri
3. Berikan Oksigen jika SpO2 < 96%
4. Pada asma :
a. PEFR dilakukan pada anak yang dapat melakukan dengan adekuat ( umumnya usia 6-7 tahun
keatas )
b. Nebulisasi salbutamol sesuai kebutuhan tiap 20 menit.
c. Berikan prednison oral 1 – 2 mg/kg sejak awal pulang dari UGD
Disposisi
 Masuk Rumah Sakit
1. Anak dengan intubasi, diikuti dengan konsultasi pediatrik
2. tidak ada perbaikan setelah terapi
3. SpO2 pada udara ruangan < 96 %
4. Orang tua / pengasuh tidak kompeten mengikuti instruksi
 Rawat Jalan
1. Anak yang berespon terhadap terapi
2. Orang tua/ pengasuh kompeten mengikuti instruksi.
18
8. ANAK / BAYI, MENANGIS

Caveats
- Kirim bila ada anak yang menangis terus menerus dan menolak untuk didiamkan.
- Harus sadar bahwa situasi ini penuh dengan kecemasan, sejak pengasuh tidak dapat menenangkan sampai
dibawa ke IRD dan terlihat putus asa.
- Hindari pemberian obat sedatif: Jangan mengabulkan permintaan orang tua untuk beberapa pengobatan.
Menangis adalah gejala dari suatu masalah dan memberikan obat sedatif pada anak akan menghilangkan
penyebab utamanya.

Tips untuk dokter umum


- Ingat, harus membuka seluruh pakaian anak untuk melihat perur, perineum dan ekstremitas secara
keseluruhan

Penanganan
Apakah anak dalam keadaan sakit?
- Kondisi perut
1. Intususepsi akut: tidak berhenti menangis, muntah dan menolak diberi makan.
Catatan: lakukan pemeriksaan dubur untuk melihat adanya darah atau faeces yang lembek dan
kemerahan
2. Volvulus: perut yang tegang
3. Obstruksi hernia inguinalis ( bayi laki dan perempuan ): ingat untuk melihat lipat paha dan meraba
testis untuk mengetahui torsio testis.
4. Kolik ureter, kolik bilier atau UTI akut: adanya lekosit, darah atau nitrit pada pemeriksaan urin dipstik
- Kondisi kepala, mata, THT
1. Otitis media akut: hati-hati pada membran timpani yang kelihatan normal pada bayi yang menangis.
2. Periksa oropharing untuk luka bakar, herpangina atau gingivostomatitis dengan ulkus dimulut.
3. Periksa adanya abrasi kornea
4. Periksa kepala untuk melihat fontanel yang menonjol ( untuk anak < 15 sampai 18 bulan )
- Kondisi ekstremitas
1. Lilitan : kaki, jari-jari atau bahkan penis dapat strangulasi karena sarung tang-
an, selimut atau rambut siibu.
2. Cedera tulang panjang: pikirkan cedera yang bukan karena kecelakaan.
3. Osteomielitis: periksa tanda-tanda sakit, bengkak, kemerahan pada ekstremitas.
- Sakit dada ( jarang, tapi mungkin )
1. Iskemi jantung: penyakit Kawasaki atau perikarditis
2. SVT bisa tampak pada saat menangis dengan perfusi yang jelek; ingat untuk menghitung denyut nadi.
- Pertimbangkan iritasi meningeal
1. Anak yang menangis dengan nada tinggi.
2. Tampak kepala yang tertarik, fontanel yang cembung, mengantuk, kaku kuduk

- Pertimbangkan sindroma bayi yang menggigil: Bisa dicurigai jika bayi pucat,
mengantuk dengan tidak adanya tanda-tanda cedera fisik dan atau perdarahan retina

Disposisi
Rawat anak ke rumah sakit: Keadaan ini harus diwaspadai sejak terlihat tanda-tanda pengasuh sering
tertidur karena terlalu lelah akibat tidak dapat mengatasi bayi yang tak henti-hentinya menangis. Keadaan
ini memungkinkan pengasuh tertidur. Keadaan ini juga dapat mengetahui lebih lanjut faktor penyebabnya,
sebagai contoh kemungkinan cedera yang bukan karena kecelakaan.
19
9. DIARE PADA ANAK

PETUNJUK
 Pada anak dengan diare saja, tanpa muntah
 Pertimbangkan kemungkinan bahwa diare dan disebabkan oleh:
1. Konstipasi: dapat diraba adanya masa feses pada perut
2. Laxative/ pencahar , antasida atau antibiotik
3. terlalu banyak jus buah yang mengandung sorbitol (contoh jus apel)
 Kebanyakan kasus disebabkan oleh infeksi gastrointestinal akut:
1. Viral contoh rotavirus: gejala ISPA diikuti dengan muntah yang tidak kekuningan, kemudian diare cair dan
banyak
2. Infasif – Salmonela, Shigela, Campilobakter jejuni atau E. Coli – kotoran yang mukuid bercampur darah,
panas tinggi, tenesmus, nampak sakit.
3. Toddler`s diare: sering dimulai setelah menderita akut GE tetapi anak nampak sehat tanpa demam,
penurunan berat badan ataupun tenesmus; orang tua prihatin dengan buang air lunak dan berulang, buang
air seperti bubur dengan sayuran yang tidak tercerna
 Jangan memberikan resep Lomotil atau Imodium pada anak di bawah 6 tahun sebab obat ini dapat
menyebabkan ileus paralitik
 Ajarkan pada orangtua bahwa walaupun dengan pengobatan, beberapa diare diperhatikan: tujuan dari
pengobatan adalah menghindari dehidrasi

Khusus untuk dokter umum


 Ingat untuk memperhatikan riwayat dan pemeriksaan untuk dehidrasi

PERTANYAAN YANG DIAJUKAN PADA ORANG TUA ATAUPUN ORANG YANG MERAWAT
 Bagaimana kebiasaan buang air yang terakhir? Contoh: konstipasi
 Apakah makanan yang diberikan pada anak ini? Contoh: berserat, jus yang mengandung sorbitol
 Apakah akhir 2 ini anak ini mendapatkan pencahar, antasid ataupun antibiotik?

PEMERIKSAAN YANG DIPERLUKAN


 Periksa dehidrasi secara cepat
1. Apakah diaper kering atau basah? Jika kering tanyakan kapan anak itu kencing terakhir; tanpa urin
lebih dari 8 jam adalah gejala dari dehidrasi
2. Hati-hati pada anak yang menangis tanpa air mata
 Fokus pada pemeriksaan dehidrasi (tabel 1)
1. Lihat mata yang cowong, mulut kering, perfusi perifer yang jelek, turgor kulit yang menurun
2. jika penderita dehidrasi berat, bahaya syok hipovolemik; mulailah berikan resusitasi intravena sebelum
dirawat
 Takikardia dapat menjadi indikasi hiperpireksia atau adanya metabolik asidosis.
 Kondisi H.E.E.N.T:
1. periksa telinga untuk otitis media akut
2. Periksa dasar paru untuk melihat pneumonia basiler
3. lihat tenggorokan untuk adanya tanda pharyngitis ataupun tonsilitis; tidak adanya semua kelainan ini
membuat diagnosa lebih tepat
 Periksa perut untuk:
1. Nyeri perut (apendisitis ataupun peritonitis)
2. Hepatomegali ( sepsis)
3. Massa (obstruksi intestinal atau ileus paralitik)
 Lakukan pemeriksaan colok dubur ( dapat merasakan adanya massa feses yang keras): adanya darah
seharusnya sudah nampak di popoknya

PENANGANAN:
 Kultur feses tidak mendapat tempat di gawat darurat
20
 Pemeriksaan urine untuk ketonuria: berguna, terutama pada anak gemuk yang susah untuk melihat tanda
dehidrasi
 Urinalisis untuk melihat nitrit/ leukosit: dugaan infeksi saluran kencing
 X-ray : BOF jika didapatkan distensi abdomen atau adanya diare dalam darah
 Lakukan pemeriksaan gula darah perifer jika didapatkan penurunan kesadaran
 Rehidrasi pada anak dengan dehidrasi berat (dehidrasi 10%): kirim ke Pediatri untuk resusitasi cairan
1. Lakukan pemasangan infus
2. Berikan infus kristaloid (normal salin atau cairan Hartman) 20 ml/ kg BB dalam 20-30 menit
3. Laboratorium: Darah lengkap, ureum/elektrolit/kreatinin, glukostik
4. Konsul pediatri dan kirim penderita ke ICU anak

DISPOSISI
1. Masuk RS untuk terapi intra vena
 Neonatus atau infant yang masih muda dengan diare yang profus
 Anak dengan tanda dehidrasi sedang dan berat dan yang menolak cairan oral
 Anak dengan diare kronik yang patologis dengan gagal tumbuh, atau tanda kolitis dan
kemungkinan defisiensi elektrolit dan cairan
2. Pulangkan penderita yang tidak kelihatan toksik dan yang tidak ditemukan adanya keton dalam urin
a. Rehidrasi dengan cairan rehidrasi (Oralit) contoh Servidrat atau sereal nasi
b. Lanjutkan susu ibu jika mungkin
c. Jika durasi diare lebih dari 24 jam, anak dapat deberikan susu bebas laktosa, contoh O-Lac
atau susu formula kedelai atau HNMilupa 25 dalam 48-72 jam
d. Perbolehkan anak makan makanan padat sesegera ditoleransi dan napsu makan kembali;
kebanyakan makanan padat diterima
e. Produk kaolin tidak membantu; Smecta malahan akan berkurang, tetapi tidak dieliminasi
keseluruhan, jumlah dari kotoran 30-40%
f. Toddler`s diare: hindari produk sorbitol dan laktosa, dan kurangi makanan yang mengandung
serat dalam satu minggu
21
10. FEVER PADA ANAK

Titik berat
 Panas merupakan respon normal
 Panas merupakan gejala, bukan suatu penyakit
 Panas akan tetap ada sampai proses penyakit teratasi
 Penentuan panas tidak selalu membutuhkan ketepatan
 Panas sering merupakan mekanisme pertahanan yang sangat berguna
 Panas, terutama yang tidak terlalu tinggi, tidak selalu membutuhkan terapi
 Gejala klinis lebih penting daripada tingginya derajat panas

Efek fisiologis panas


 Adanya panas menunjukkan:
1. aktivitas fagositosis dan bakterisidal dari neutrofil
2. efek sitotoksik dari limfosit
 Setiap peningkatan suhu 1, akan terjadi:
1. peningkatan konsumsi oksigen 13 %
2. takikardia (10 kali/mnt/C)
3. takipnoe (2,5 kali/mnt/C)
 Peningkatan kebutuhan metabolisme mungkin memberikan tekanan pda fetus seperti pada pasien jantung
atau suplai vaskuler serebral

Komplikasi yang potensial terjadi akibat panas:


 dehidrasi
 kejang tiba-tiba
 delirium (terutama pada umur sangat muda)
 hyperpireksia (> 41), harus difikirkan adanya infeksi bacterial yang serius

catatan: infeksi bacterial yang serius meliputi: meningitis, pneumonia, sepsis, osteomielitis, UTI, Salmonella
enteritis, Listeria, E. coli, infeksi streptokokus/staphilokokus. Gejala yang timbul: iritabilitas, penurunan aktifitas,
tangisan lemah, nafsu makan berkurang (malas menyusu), diare dan muntah, distensi abdomen, respiratory distress,
hipotermia/hipertermia, perfusi perifer lemah.

Managemen: hal-hal yang harus diperhatikan


Pertimbangan jika ada kasus panas
 definisi panas: suhu tubuh 1 lebih besar dari rata-rata standart deviasi dari site of recording
 suhu bayi normal menurut site of recording:
 rectal:  38.0 C
 oral :  37,5 C
 aksilar :  37,5 C
 tympanik :  38.0 C

Berapa umur anak?


 umur anak berkorelasi dengan resiko infeksi bacterial yang serius.
Tabel 1 Resiko Infeksi Bakterial yang serius menurut umur

< 1 bulan 12 %
1-2 bulan 6%
> 3 bulan 21 X resiko

Bagaimana durasi panas?


Table 2 pembagian Panas yang ditemukan pada Pediatrik dan Durasinya
22
Grup Penyebab terbanyak Durasi
Panas dengan gejala local Inf. Tr. Respiratorius bag atas < 2mgg
Panas tanpa gejala lokal Inf. Virus, UTI, bakteremia, ma- < 2mgg
laria, pneumonia ( T maks >39C
dan leukosit >20 X 109 /L)
Pyrexia of unknown origin Infeksi, arthritis reumatoid > 2mgg
(PUO)/ panas yang tidak
diketahui sebabnya

Apakah ada focus infeksi?


 panas tanpa disertai gejala lokal:
1. 20% dari kejadian
2. sering disebabkan viral
3. infeksi backerial: UTI, bakteremia, pneumonia
4. insiden bakteremia pada unur 3-24 bulan: 3-4 %
5. insiden bakteremia menurtut tingginya suhu:
40C – 40.4C = 1.7 %
40.5C-40.9C = 2.4%
> 40.9C = 2.8%
6. septicemia: meningitis, otitis media oleh karna Strept. Grup B, E. coli, Listeria, Strept.
Pneumonia, H. influensa

 pyrexia of unknown origin:


1. 38.3C pada beberapa kejadian
2. > 1mgg setelah ditemukan dan diagnosa masih meragukan
3. infeksi 50-60% ( viral 15%)
4. penyakit kolagen 20%
5. keganasan 5%
6. miscelaneus 5-10%
7. idiopatik 5%
apkah ada red flags?
Tips untuk dokter unun.
 terdapat sedikit bukti bahwa panas dengan derajat rendah – sedang adalah berbahaya atau bisa
dikatakan bahwa hal tersebut dapat diterapi dengan antipiretik. Kecuali pada anak dengan kejang dan
anak dengan ketidak normalan jantung, paru dan fungsi serebral.
 Red Flags
1. bayi usia muda
2. tanda tidak spesifik : tidak batuk, ingusan, diare dll
3. tanda bahaya:
 panas yang berkepanjangan
 kelihatan labih parah dari seharusnya
 pucat, memar, penurunan berat badan, iritabilitas, letargi, tangisan lemah, tidak mau
menyusu, hipotermia, perfusi lemah
 panas biasanya > 40C
 Anak dengan rewsiko rewndah:
Gejala klinis:
1. kelihatan baik
2. riwayat kesehatan sebelumnya: lahir cukup bulan, tidak mendapat terapi antibiotik, tidak ada
riwayat MRS, tidak mempunyai penyakit kronis
3. tidak mempunyai riwayat infeksi pada kulit, jaringan lunak, tulang, persendian, dan telinga
Nilai laboratorium:
1. eritrosit : 5-15 X 109/L
2. absolute band form  1.5 X 109/L
3. urinalisis normal
23

Managemen: Diterapi atau Tidak Diterapi


 antipiretik tidak memperpendek masa febris
 indikasi pemberian antipiretik:
1. panas > 38.5C yang disertai dengan nyeri atau gejala seperti: otitis media, myalgia, discomfort
2. panas > 39C tanpa gejala yang khas
3. nutrisi kurang, penyakit kardiovaskuler, combus atau post Op
4. terdapat riwayat kejang atau delirium karena panas
catatan: di singapor, sulit untuk mencegah orang tua memberi antipiretik kecuali > 38.5C, jadi > 37.5C
merupakan ambang batas
 Antipiretik
1. Parasetamol
 dosis: 10-15 mg/kg 4-6 jam oral/rectal
 dosis maksimum perhari: 65 mg/kg/hari
 onset 30 mnt, durasi 3-6 jam
 meningkatkan aktifitas dan kesadaran tapi tidak memperbaiki nafsu makan
 efek samping jarang
catatan: hati-hati penggunaan antipiretik penyakit liver atau ikterus
2. Ibuprofen (Brufen)
 merupakan satu-satunya NSAID yang diperbolehkan sebagai antipiretik di USA
dan UK
 dosis: 5-10 mg/kg/hari
 onset lebih cepat, lebih poten, labih lama daripada paracetamol
 efek samping ringan
3. Diklofenak (Voltaren)
Sebebenarnya tidak diindikasikan sebagai antipiretik, tetapi berguna pada keadaan myalgia yang bi-
asanya menyertai fever
 tambahan untuk fever
 menyeka dengan air hangat-hangat kuku (suhu air 27C-34C). berguna jika suhu > 41C atau 40C
dengan discomfort, dapat dimulai setelah pemberian antipiretik
 bed rest tidak memberikan efek penurunan panas
 pendinginan tubuh, es, AC hanya diindikasikan pada keadaan hipertermia
 seka dengan alcohol merupakan kontraindikasi pada anak

Disposisi
 umur < 3 bulan: perlakukan seperti penanganan sepsis
 umur 3-36 bulan;
1. fokus clear cut: tangani seperti kasus clear cut
2. bukan fokus clear cut:
 non toksik dan resiko rendah: KRS dengan kontrol 24 jam
 toksik atau resiko tinggi: MRS dengan penatalaksanaan sepsis dan antibiotik
catatan; urinalisis dan DL jika panas > 3hari

pertimbangan lain untuk MRS:


 infeksi yang mengancam jiwa: cth. Meningitis
 infeksi jaringan lunak yang parah: cth. Arthritis septic, selulitis orbital / bukal
 hipoksia sebab infeksi traktus respiratorius
 ketidak seimbangan elektrolit, misalnya pada gastroenteritis
 kompetensi orang tua dalam merawat
- apakah orang tua bisa merawat dengan benar?
- Apakh pemberian antibiotik sesuai dengan rekomendasi?
- Apakah yakin orang tua akan membawa anaknya ke RS bila keadaan memburuk?
- Apakah kontrol dapat terlaksana?
24
BAB 11………………………………………..BAB 12
ANAK MUNTAH
Penting :
 Anak muntah tidak semuanya karena gangguan gastrointestinal hati-hati dengan meningitis, peningkatan
tekanan intrakranial, otitis media, akut asma, pneumonia bagian bawah atau infeksi saluran pernafasan atas.
 Pada bayi muntah banyak disebabkan karena kelebihan makanan atau refluk ringan yang terjadi setelah
pengobatan atau pembedahan dapat diabaikan. Hati-hati jika muntah karena sepsis, gangguan metabolis-
ma, akaut apendixitis, meningitis atau stenosis pilorik.
 Tidak dianjurkan memakai metochlopramide dan prochlorperazine pada anak kurang dari 12 tahun karena
akan terjadi kris oculogyric karena tekanan dan efek samping.
 Sirup prometasin oral aman juga untuk antiemetik ringan.
 Tidak diperbolehkan menggunakan pemijatan karena berbahaya meskipun tidak ada tanda perut harus
dibedah mendadak.
Tip Khusus
Ingat akan riwayat hidrasi dan tanda klinis. Hal yang perlu ditanyakan kepada orang tua .
1. Apa warna muntahan
- Kuning (malrotasi usus) atau darah merupakan keadaan yang harus dibedah mendadak.
- Tanda klinis muntah terus menerus.
Catatan :
Empedu selalu kelihatan seperti jus buah dan darah seperti milo.
2. Apa obat yang diberikan dan berapa dokter yang dikonsuli
Obat yang bermacam-macam bisa menyebabkab iritasi dan muntah seperti antibiotik macrocida, teofil-
in oral, NSAID oral dan preknisolon.
3. Kapan BAB dan BAK terakhir
Jika tidak ada kencing lebih dari 8 jam berarti gejala dehidrasi,
4. Apakah ada riwayat trauma kepala.
5. Apakah ada riwayat keluarga yang sakit dengan gejala sama
Rotavirus GE bisa menyebabkan URTI, diikuti muntah dan diare yang terus menerus sehingga sangat
berbahaya untuk anak-anak kurang dari 3 tahun.
Pemeriksaan Fisik
1. Cek status hidrasi
- Popok basah atau kering berapa lama.
- Bayi nangis atau tidak keluar air mata atau tidak.
2. Fokuskan pada status hidrasi terutama pada anak karena menunjukkan berat ringannya dehidrasi.
a. Lihat cowong tidaknya mata, mulut kering, penurunan perfusiperifer, turgor kulit turun.
b. Derajat berat ringan dehidrasi menentukan bahaya tidaknya hipovolumik sok, segera diinfus untuk
resusitasi cairan.
3. Tachypneu mengindikasikan panas atau meningkatnya metabolik asidosis.
4. Takikardi indikasi impending sok pada orang muda.

Kondisi Khusus
1. Lihat telinga apakah ada otitis media akut.
2. Dengarkan paru bagian basal untuk basiler pneomonia.
3. Cek tenggorokan adakah tanda paringitis atau tonsilitis lihat tanda diagnosa dari situ.
4. Cek cekung tidaknya di ubun-ubun (jika umur antara 15 – 18 bulan).
Periksa Perut
1. Adakah ketegangan perut (apendixitis/peritonitis)
2. Hepatomegali (sepsis).
3. Masa (pylorix stenosis/intussuscepsi).
4. Distensi (obstruksi usus/ileus paralitik).
5. Colok dukur untuk mengecek apakah ada darah atau berak kecoklatan untuk intususcepsi.
6. Riwayat trauma kepala :
- Ada pembekakan di permukaan kepala.
- Respon pupil
25
- Fundus
- Parameter neorologi berupa cara jalan dan keseimbangan.
Penatalaksanaan
1. Cek keton urine : pada anak yang gemuk sangat sulit dilihat tanda dehidrasi.
2. Cek nitrit urine/lekosit : jika curiga infeksi ssaluran kencing atas.
3. Foto sinar X :
a. Dada pada anak yang muntah dengan gejala nafas atau nyeri abdominal/ketegangan epigastrium.
b. Ginjal, ureter, kandung kencing jika muntahan empedu atau darah.
c. Kepala jika ada riwayat trauma terutama pada anak-anak.
4. Cek gula darah jika terjadi penurunan kesadaran
a. Anak-anak yang mengantuk dengan kadar gula rendah dan hepatomegali biasanya sepsis atau
sindrom reye’s.
b. Anak-anak yang mengantuk hiperglekemi dan pernafasan berat biasanya diabetis keton asidosis.
5. Rehidrasi pada dehidrasi berat 10%
a. Pasang infus.
b. Beri crystalloid (NS/cairan Hartmann’s) 20 ml/kg selama 20 –30 menit.
c. Laborat : DL, RFT, elektrolit
d. Konsul dokter anak dan bawa ICU anak.
Disposisi
1. Konsul
a. Anak dengan muntah /diare memperlihatkan anoreksia dan dehidrasi dimana tidak mempan
dengan antiemetik/ antispasmodik/sudah terjadi kegagalan pengobatan awal.
b. Anak dengan tanda ketegangan epigastrik dengan dehidrasi ringan tetapi anak kurang bisa mi-
num air dan oralit.
c. Anak dengan riwayat trauma kepala dengan muntah berat dikonsulkan bedah anak.
2. Monitoring :
a. Tanpa atau dengan dehidrasi.
b. Orang tua memberi air atau oralit dalam jumlah kecil tapi sering kira-kira 6 – 8 jam .
c. Sirup prometasi dan antiemetik ringan .
d. Jika karena virus maka timbul gejala 24 – 48 jam rehidrasi sebelum 8 – 12 jam beritahu orang
tuanya.
26
13. Diare dan Muntah

Caveats
 Diare dan muntah merupakan keluhan yang sering di IRD dan pada kebanyakan kasus, diare toksigenik
akibat makanan, yang dapat sembuh sendiri dan hanya memerlukan terapi simtomatis dan rehidrasi.
 Kesalahan diagnosis yang paling berbahaya pada diagnosis banding diare akut adalah pada kasus bedah ab-
dominal, seperti apendisitis, obstruksi usus, kehamilan ektopik, dsb.
 Pada pediatrik, muntah dan diare mungkin memberi gambaran non spesifik untuk berbagai penyakit yaitu
otitis media, infeksi traktus urinarius, asidosis metabolik, peningkatan TIK, racun/obat-obatan, malrotasi
dan invaginasi.
 Pada orang tua, hati-hati kemungkinan kolitis iskemia, yang berhubungan dengan tingginya mortalitas.
 Bila muntah timbul tanpa diare, harus dicari penyebab non infeksi.
 Pada penilaian klinis status umum hidrasi dan nutrisi harus dicatat. Harus disingkirkan penyebab diare dan
muntah dari kasus bedah abdomen dan ekstraintestinal, pasien kemudian dapat diterapi simtomatis.

Tips Khusus untuk dokter umum


 Pasien yang berkunjung ke area endemis dapat terkena diare traveller, terapi empiris yang disarankan yaitu
fluoroquinolone (ciprofloxacin 500 mg atau norfloxacin 400 mg atau ofloxacin 300 mg) dua kali sehari
selama 3 hari + loperamide saat diare.
 Pada pasien anak jangan lupa memfokuskan riwayat hidrasi dan pemeriksaan fisik.

Penatalaksanaan
Terapi simtomatis
 Lihat tabel 1 untuk terapi simtomatis diare dan muntah
 Terapi rehidrasi
1. Rehidrasi Intravena (IV)
a. Indikasi: muntah berat; dehidrasi berat; penurunan status mental dan ileus.
b. Harus dipertimbangkan pada pasien dengan dehidrasi ringan yang tidak dapat mentoleransi
cairan secara oral. Keluhan simtomatis akan membaik setelah hidrasi IV 1 – 1,51 cairan
Hartman selama 2 – 4 jam. Pada anak, lihat pemberian cairan pada pediatrik.
c. Penilaian klinis dalam terapi: selain tanda klinis, adanya ketonuria pada urine dapat dipakai
sebagai indikator dehidrasi.
2. Rehidrasi Oral
a. Rehidrasi oral sama efektifnya dengan IV pada pasien yang dapat mentoleransi secara oral.
b. Pemberian dalam jumlah kecil secara berulang.
c. Prinsip: air dan sodium memasuki sel intestinal melalui linking (coupling) satu molekul
organik, glukosa. Cairan oral harus mengandung glukosa untuk menstimulasi absobsi air dan
elektrolit melalui usus kecil. Sodium glukosa ini ini coupled dengan mekanisme absorbsi aktif
yang tidak bekerja akibat toksin enterik.
Pemeriksaan di IRD
 Umumnya tidak diperlukan dehidrasi klinis dan dalam waktu yang lama memerlukan pemeriksaan
urea/ elektrolit.

Pemberian antibiotik
 Kebanyakan diare toksigenik akibat makanan tidak memerlukan antibiotik.
 Durasi diare traveler (E. Coli, Shigella) dapat diperpendek sebagian dengan ciprofloxacin atau bactrim.
 Indikasi: diare invasif ditandai demam dan diare berdarah dapat diduga diare bakterial.
 Pilihan:
1. Ciprofloxacin merupakan obat pilihan secara empiris. Dosis: 500 mg sehari 2 kali. Durasi: 3 hari (dosis
tunggal dapat digunakan efektif). Kontraindikasi pada pediatri (<18 tahun). Berikan bactrim sebagai
alternatif.
2. Metronidazole (Flagyl)
Dosis: 800 mg sehari 3 kali. Durasi 5 hari. Indikasi pada dugaan infeksi protozoa (giardiasis atau
amoebiasis).
27

Indikasi perawatan:
 Diare invasif memerlukan pemeriksaan feses
 Tidak mampu menerima cairan oral
 Memastikan diagnosis yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
 Penatalaksanaan komplikasi: dehidrasi berat, abnormalitas elektrolit.

Tabel 1: Obat untuk terapi simtomatis diare dan muntah


Obat Pemberian Dosis Perhatian
Anti emetik
Maxolon IM 10 mg Untuk menyembuhkan mual dan
(Metoclopramide) Tab 10 mg per 8 jam muntah

Stemetil IM 12,5 mg Perhatian pada anak berhubungan


(Prochlorperazine) Tab 5-10 mg per 8 jam dengan efek samping ekstra
piramidal
Phenergan IM 25 mg (dewasa)
(Promethazine) IM/PO 0,25-1,0 mg/kg (> 2 th)

Anti diare
Lomotil PO 2 tablet 3 x sehari Untuk menurunkan frekuensi diare
(diphenoxylate) Tidak direkomendasikan pada anak <
9 tahun
Imodium PO 2 mg 3 x sehari Catatan: pemberian antidiare
(Loperamide) umumnya tidak direkomendasikan
Activated charcoal PO 1-2 tablet 3x sehari/ prn untuk invasive enteritis yang dapat
meningkatkan resiko invasi
Bismuth subsalicylate Dewasa organisme ke usus. Hindari pada
PO 2 atau 30 ml tiap 1 jam pasien yang sensitif dengan aspirin.
prn
PO Anak
(9-12 th) 1 tab atau 15 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
(6-9 th) 2/3 tab atau 10 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
(3-6 th) 1/3 tab atau 5 ml
tiap 1 jam prn sampai 8
dosis dalam 24 jam
Antispasmodik/ mo-
tilitas IM 20-40 mg Untuk simtomatis kolik abdomen
Buscopan (hyoscine PO 10 mg 3x sehari yang berhubungan dengan diare
N-butylbromide) Secara umum kontraindikasi pada
enteritis invasif.
28
14. Demam (Fever)

Caveats
 Demam dapat disebabkan oleh banyak penyebab yang bervariasi mulai dari sakit ringan, akibat infeksi vi-
rus yang bersifat self limiting hingga septisemia sistemik.
 Sangatlah penting untuk mengidentifikasi dan menangani pasien febrisdengan penyebab infeksi, terutama
pasien anak dan lansia, dimana demam dapat merupakan gejala satu-satunya dari severe sepsis.
 Terapi pasien febris yang tidak stabil dengan sepsis berat meliputi maintenance oksigenasi yang adekuat
serta perfusi organ, mendapatkan specimen untuk kultur serta mulai pemberian terapi antibiotik sesuai data
empiris.
 Pertimbangkan kemungkinan meningococcaemia pada pasien febris dengan purpuric rash.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Penting untuk mengidentifikasi febrile septic patiens dengan atau tanpa lokasi sumber sepsis yang
jelas kemudian rujuk pada RS secepatnya.
 Antibiotik tidak diberikan sembarangan pada kasus non specific viral fever atau infeksi saluran
nafas bagian atas
 Berikan penisilin 4 mega unit iv pada seluruh pasien dengan suspek meningococcemia sebelum
merujuk pasien ke RS dengan ambulan.
 Manifestasi klinik pada pasien geriatric bisaanya tidak spesifik, misalnya adanya kelemahan
umum, kebingungan dan letargi. Demam ditemukan pada 50% kasus sepsis pada lansia.

Pemeriksaan
 Anamnesa melputi berat dan lamanya demam, tanda dan gejala local, penyakit lain yang menyertai, riwayat
melakukan perjalanan, riwayat imunisasi, riwayat kontak, riwayat pengobatan, alergi, penyalahgunaan obat
atau alkohol.

Catatan : jika terdapat riwayat perjalanan maka daerah tujuan sangat penting untuk diketahui karena ada
penyekit tertentu terkait dengan daerah tertentu, misalnya di Thailand, malaria falsiparum sudah resisten ter-
hadap berbagai obat-obatan.

 Pemeriksaan Fisik harus meliputi :


1. AMS : mengantuk dan letargi mungkin merupakan indicator tunggal pada sepsis berat pada pasien pe-
diatric dan geriatric.
2. Kaku leher
3. Rash : bervariasi mulai dari makulopapular yang disebabkan oleh eksantema viral, cacar atau rubella,
ptechiae yang disebabkan oleh DHF sampai purpura yang disebabkan oleh disseminated meningococ-
caemia.
4. Lonjungtivitis, jaundice, tanda otitis eksterna atau media
5. Faringitis, tonsillitis dan sinusitis.
6. Periksa krepitasi pada paru yang mengindikasikan pneumonia atau pada pericardial rub, atau adanya
murmur kardiak untuk mengindikasikan mioperikarditis atau endokarditis bacterial.
7. Nyeri tekan pada perut mengindikasikan adanya peritonitis, apendisitis, kolesistitis, hepatitis atau di-
vertikulitis.
8. Dysuri, frekuensi atau urgensi mengindikasikan adanya UTI
9. Selulitis, deep venous thrombosis pada ekstremitas bawah atau vena pelvic atau adanya ulkus dekubi-
tus terinfeksi.

Manajemen
 Manajemen pasien febris tergantung pada keadaan pasien apakah pasien stabil dengan penyakit ringan
yang bersifat self-limiting atau tidak stabil dengan penyebab potensial untuk menyebabkan kematian.

Pada pasien Febris yang Stabil


 adalah secara hemodinamik stabil, sadar penuh dan secara klinis non-toksik
29
 dapat mentolerir demam yang terjadi tanpa adanya dekompensasi
 tidak ada underlying disease yang serius
 pemeriksaan fisik didapatkan normal
 kemungkinan mengalami infeksi viral saluran nafas atau demam akibat virus non spesifik jika demam yang
terjadi kurang dari 1 minggu.
 Meliputi pasien dengan demam dan rash yang mengindikasikan adanya measles, varicella, rubella atau in-
feksi mononucleosis.

Pada Pasien Febris yang Tidak Stabil


 Jika ada hipotensi, dengan AMS, pasien berada dalam keadaaan syok septi atau toksis secara klinis.
 Demam memanjang lebih dari 1 minggu tanpa adanya respon terhadap terapi.
 Demam dengan penyebab local yang serius misalnya meningitis atau apendisitis
 Terdapat underlying disease yang serius seperti diabetes atau sedang dalam keadaan immunocompromised
akibat kemoterapi kanker atau terapi steroid jangka lama.
 Termasuk pasien dengan rash yang mengindikasikan DHF atau disseminated meningococcaemia atau ma-
laria (tanpa rash).

Pemeriksaan penunjang (Bisaanya tidak diperlukan pada pasien febris yang stabil)
 FBC : termasuk hitung lekosit total, diff count, hitung netrofil absolute, trombosit.
 Cek GDA untuk mengetahui adanya komplikasi hiperglikemi seperti KAD, terutama pada seluruh pasien
febris toksik, bahkan pada pasien tanpa riwayat diabetes sebelumnya.
 Urine dipstick dan kultur
 Blood film untuk mencari parasit malaria
 Kultur darah
 CXR

Penatalaksanaan
 Jika pasien dalam keadaan syok septic, lihat bab Sepsis/septic shock
 Terapi simtomatis dengan antipiretik, seperti paracetamol 1g tiap 6 jam atau pemberian NSAID seperti
diklofenac (Voltaren) atau ibuprofen.

Catatan : Diklofenak (Voltaren), meskipun secara umum dapat digunakan sebagai antipiretik, namun tidak di-
indikasikan untuk mengatasi gejala demam yang timbul secara tunggal.
 Antibiotik empiris (Ceftriaxone 1 g iv) harus diberikan pada pasien sepsis setelah memperoleh speci-
men untuk pemeriksaan kultur darah.
 Pada pasien dengan sepsis neutropeni, Ceftazidime 1 g dengan 1-1,5mg/kgBB Gentamycin harus
diberikan pada pasien. Lihat bab Oncology Emergencies
 Untuk sepsis intraabdominal, ampicillin iv 500mg bersama dengan gentamycin 80mg iv dan metroni-
dazole 500mg iv atau Ceftriaxone 1 g dengan metronidazole 500mg harus mulai diberikan.

Penempatan
 MRS-kan pasien febris yang tidak stabil pada medical department (High Dependency Unit atau ICU)
 Jika ada sepsis netropenik, MRS kan pada bagian High Dependency Oncology Ward.
 Jika berpotensi untuk dilakukan operasi akibat sepsis intraabdominal, masukkan pada bagian Bedah.
 Rujuk pasien yang dicurigai menderita Dengue Fever pada Medical SOC untuk FBC ulang. Lihat Bab
Dengue fever.
30
15……………………
15. Pusing (Giddiness)
Francis Lee- Shirley Oei

Penting
 Walaupun perbedaan jelas antara vertigo dan non spesifik pusing atau rasa melayang
berguna dalam menentukan suatu diagnosa, banyak penderita tidak dapat
menceritakan dengan tepat yang mereka rasakan
 Vertigo condong menunjukkan masalah di telinga atau otak sedangkan pusing yang
tidak spesifik mempunyai banyak penyebab.
 Perasaan melayang sebagai gejala seringkali lebih berbahaya dan penanganannya
seperti pada sinkop/ presinkop
 Penting, pada saat pertama kali, harus dipastikan bahwa penderita tidak mempunyai
penyakit yang membahayakan kehidupan yang berarti:
1. Penyakit jantung iskemi, contoh sindrom koroner akut
2. Gagal jantung
3. Irama jantung yang tidak teratur
4. Stroke
5. Sumber dari hipovolemi, contoh perdarahan saluran gastro intestinal
6. Problem ginekologis: kehamilan ektopik/ perdarahan pervaginam
7. Hipoglikemia
 Penilaian pada orang tua lebih kompleks karena masalah menahun seperti pada
kelainan penglihatan dan langkah yang tidak stabil dapat dianggap sebagai pusing/
giddiness

..
31
16. Haemoptysis

Definisi
 Haemoptysis didefinisikan sebagai pengeluaran/batuk darah atau sputum yang mengandung darah yang be-
rasal dari bagian bawah vocal cord atau yang telah teraspirasi ke dalam tracheobronchial tree.
 Haemoptysis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Ringan : darah kurang dari 5 ml dalam 24 jam.
2. Massif : 50 ml pada setiap kali usaha pengeluaran/batuk atau lebih dari 600ml darah dalam 24 jam. Ini
terjadi pada 5% dari seluruh kasus Haemoptysis.
Caveats
 Haemoptysis dapat dikaburkan dengan hematemesis (tabel 1).
 Pemeriksaan fisik digunakan untuk menentukan keparahan Haemoptysis namun tidak dapat menetukan lo-
kasi perdarahannya.
 Pencarian deep vein thrombosis pada ekstremitas bawah diindikasikan untuk mengetahui adanya pulmo-
nary embolism sebagai salah satu penyebab Haemoptysis. (tabel 2)
 Haemoptysis massif dapat mengancam nyawa karena ancaman asfiksia, daripada exsanguination. Sedikit-
nya 150ml darah dapat menyebabkan sufokasi.
 Perdarahan yang sampai berakibat pada distress respiratori dan perubahan pertukaran gas akan mengancam
nyawa, tidak bergantung pada jumlah darah yang dikeluarkan.
 Penyebab umum Haemoptysis ringan adalah URTI.

Tabel 1 : Poin Pembeda Haemoptysis dengan Hematemesis


Poin Pembeda Haemoptysis Hematemesis
Adanya Riwayat Batuk Gejala GIT
Warna sputum Merah terang Merah tua
pH Alkalis Asidik
Karakter Berbusa Halus tidak berbusa

Tabel 2 : Penyebab Umum Haemoptysis


Respiratori Bronchitis
Tuberkulosis
Carsinoma paru
Bronkiektasis
Aspirasi darah dari epistaksis
Sinusitis
Kardiovaskular Pulmonary oedema
Pulmonary embolism
Mitral stenosis
Aorto-bronchial fistula
Kelainan Koagulasi Bleeding dyscrasias (congenital atau didapat)
Lain-lain Aspirasi benda asing
Protracted coughing

Tips khusus bagi Dokter Umum :


 Disarankan untuk merujuk kasus Haemoptysis kecuali CXR dapat dilakukan di klinik.
 Insersikan 2 buah kanul intravena ukuran besar sebelum merujuk pasien dengan Haemoptysis
massif.

Manajemen Haemoptysis Masif


 Transfer pasien pada area resusitasi
 Lindungi airway dan berikan oksigen. Pasien dengan kesadaran yang berkurang atau beresiko untuk men-
galami asfiksia harus diintubasi.
 Pasang 2 jalur iv ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
32
 Lab :
1. FBC
2. urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unit darah
5. BGA
 CXR disarankan pada pasien Haemoptysis.
 Pasien dengan Haemoptysis yang berasal dari satu paru (jika diketahui) harus diposisikan agar tidak men-
genai paru kontralateralnya.
 Disposition/penempatan :
1. Pasien dengan Haemoptysis ringan dapat dipulangkan untuk istirahat dan diberikan obat yang mensu-
presi batuk.
2. Rujuk pada spesialis paru pada polikliniknya untuk follow up dini kecuali terdapat penyebab lain sep-
erti sinusitis atau epistaksis yang harus dirujuk pada spesialis THT.
3. Pertimbangkan MRS pada seluruh pasien lainnya. Pasien dengan Haemoptysis massif membutuhkan
perawatan pada ICU.
33
17. Sakit Kepala (Headache)

Caveats
 Penyebab sakit kepala yang berpotensi mengancam nyawa dan penglihatan antara lain :
1. SAH (Subarachnoid Haemorrhage): pasien datang dengan sakit kepala yang onsetnya tiba-tiba, sering
terkait dengan nausea, vomiting, penurunan kesadaran (yang dapat terjadi secara singkat) serta kaku
kuduk, lihat bab Subarachnoid Haemorrhage.
2. Meningoencefalitis : pasien bisaanya febris dan mengantuk dengan tanda-tanda meningeal.
3. Space-occupying atau lesi massa (abses otak, tumor otak): sakit kepala kadang memburuk pada pagi
hari dan bertambah dengan adanya maneuver valsava dan batuk. Pasien sering memiliki gejala neu-
rologik fokal atau kejang.
4. Arteritis temporalis : pasien bisaanya wanita, usia lebih dari 50 th dan sering muncul dengan sakit
kepala berdenyut yang keras, rasa terbakar dan unilateral. Ada nyeri tekan pada arteri temporal ipsila-
teral. Lihat bab Temporal Arteritis.
5. Glaukoma : Sakit kepala bisaanya terdapat didalam dan di sekitar bola mata. Terdapat injeksi atau ke-
merahan pada mata, terdapat edema kornea dan dilatasi ringan pupil. Lihat bab Blurring of Vision,
Acute.
 Perhatikan pasien yang datang dengan keluhan sakit kepala berat untuk pertama kalinya atau dengan peru-
bahan kualitas dan intensitas sakit kepala yang berbeda dengan sakit kepala sebelumnya.
 Hipertensi merupakan suatu keadaan yang sering dikaitkan sebagai penyebab sakit kepala. Jangan me-
nyimpulkan peningkatan tekanan darah yang terjadi sebagai penyebab sakit kepala kecuali tekanan diastol-
ic melebihi 130 mmHg.
 Seluruh pasien dengan riwayat kecemasan/worrisome membutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan CT scan
kepala, dan jika negative dapat dilakukan pungsi lumbal untuk menyingkirkan adanya SAH.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala hebat terjadi di atas usia 50
th.
 Jangan memberikan opioid parenteral pada pasien dengan sakit kepala karena efek mengan-
tuk yang dihasilkan akan memberikan kesulitan dalam penilaian status neurologik.

Manifestasi yang penting/esensial sebagai Fokus Pemeriksaan Fisik


 Tanda Vital (terutama temperature tubuh dan tekanan darah)
 Fundi
 Pupil, lapang pandang, wajah dan ekstremitas untuk mencari kelaianan neurologik.
 Gait (cara berjalan)
Manajemen
 Pasien dengan tanda vital dan tingkat kesadaran yang abnormal harus ditangani pada area critical care.
 Pasien dengan tanda vital normal dapat ditangani pada area intermediate.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur intra vena perifer pada ‘keep open’ rate.
 Lihat bab Manajemen Nyeri untuk mengurangi gejala sakit kepala yang ada.
 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM 2 unit, ESR (jika mencurigai adanya arteritis
temporalis).
 EKG, CXR.
Indikasi Pemeriksaan CT scan Kepala
 Onset Sakit kepala pada serangan pertama atau serangan hebat yang bersifat akut.
 Peningkatan frekuensi dan keparahan sakit kepala.
 Sakit kepala dengan onset pertama kali di atas usia 50 th.
 Sakit kepala dengan onset pertama kali disertai dengan riwayat kanker atau immunodefisiensi.
 Sakit kepala dengan perubahan status mental.
 Sakit kepala dengan demam, kaku kuduk, dan tanda meningeal.
 Sakit kepala dengan deficit neurologik fokal jika sebelumnya tidak memiliki riwayat migren dengan aura.
34
Penempatan
MRS dengan ketentuan :
 Seluruh penyebab sakit kepala yang dapat mengancam nyawa dan penglihatan
 “Sakit Kepala migren” yang tidak berespon terhadap analgesic opioid.
 Sakit kepala migren onset baru dengan komplikasi.
 Sakit kepala yang membutuhkan CT scan kepala.
KRS kan pasien sakit kepala yang dapat diatasi dengan analgesik dan rujuk pada poliklinik neurology untuk follow
up kecuali sakit kepala yang terjadi diakibatkan oleh demam atau tension headache.
35
18. Hiperventilasi
Caveats
 Walaupun sering terjadi dan bersifat benign, serangan hiperventilasi (HA)/serangan panic merupakan diagnosis
eksklusi yang dapat dicapai secara principal pada anamnesa dan pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan yang ek-
stensif.
 Episode typical terkait dengan kejadian pencetus yang bersifat stressful dengan riwayat kekambuhan yang se-
rupa.
 Gejala umum lain yang terkait meliputi kekakuan dan atau kram pada tangan dan kaki, tingling/perasaan geli
pada daerah perioral, kepeningan yang non-spesifik, kesesakan pada dada, sensasi sufokasi dan perasaan nyaris
sinkope.
 Jangan mendiagnosa pasien dengan HA jika hasil SpO2 pada udara ruangan dibawah 97%.
 Tabel 1 menunjukkan Diagnosa banding dari Hiperventilasi

Tabel 1 Diagnosa Banding Hiperventilasi


1. Sistem Respirasi  Asma berat (dengan silent Chest)
 Pulmonary embolism
 Tension pneumothorax
 Primary pulmonary hypertension
2. Sistem Kardiovaskular  Kardiak tamponade
3. Penyebab metabolik  KAD
 Gagal ginjal kronik
 Asidosis laktat dari sepsis berat atau syok dengan
berbagai penyebab
 Keracunan terutama oleh salisilat
4. Sistem Neurologik  Central Neurogenic hyperventilation
5. Sistem gastrointestinal  Distensi abdomen dengan berbagai penyebab disertai
dengan splinting diafragma
6. Hyperventilation attack/panic attack

Tips Khusus bagi Dokter umum :


 Penting untuk mengeksklusi kondisi medis serius lain seperti asidosis metabolik, misal diabetic
ketoasidosis, sebelum mendiagnosa HA.

Manajemen
 Pasien harus ditangani pada area intermediate. Namun bila terdapat keadaan AMS atau terdapat instabilitas
hemodinamik, maka pasien kemungkinan besar tidak mengalami HA, tetapi ada proses penyaklit lain yang
lebih serius yang membutuhkan penanganan pada area critical care.
 Lakukan pemeriksaan SpO2 pada tiap pasien sebelum mendiagnosa HA.
 Berikan terapi untuk menyamankan perasaan pasien.
 Anjurkan untuk malakukan teknik bernafas yang baik.
Catatan : Rebreathing ke dalam sebuah kantong telah dinyatakan berbahaya karena dapat menyebabkan
hipoksemia, serta tidak efektif dalam meningkatkan kadar PCO2 pada level yang signifikan.
 Monitoring : sebagian besar kasus hanya membutuhkan monitoring pulse oksimetri.
Catatan : Pasien dengan HA yang sebenarnya akan memiliki hasil SpO2 yang normal.
 Lab :
1. Harus dilakukan : pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi keadaan hiperglikemi
2. Pilihan : BGA akan menunjukkan alkalosis respiratori pada HA. Alternatifnya, tes ini dapat
menunjukkan adanya asidosis metabolic.
 CXR : untuk menginvestigasi adanya pneumotoraks, pneumonia, atau emboli paru.
 EKG (terutama >40 tahun) untuk mengetahui kemungkinan emboli pulmonal, perikarditis atau iskemia.
 Terapi obat (pada pasien yang tidak merespon pada usaha ‘istirahat’ dan ‘reassurance’) :
1. Valium (diazepam) dosis 5 mg po
2. Dormicum (midazolam) dosis 2,5 mg iv (jarang diperlukan)
36
 Penempatan : sebagian besar kasus dapat KRS. Jika keadaan ini sangat mengganggu pasien, maka rujuk ke
bagian psikiatrik untuk rawat jalan. Pada beberapa pasien akan bermanfaat apabila diberikan resep
alprazolam (Xanax) 1-2 dosis per oral.
37
19. BENGKAK TUNGKAI BAWAH

PERHATIAN
 Pembengkakan tungkai bawah merupakan keluhan yang umu dijumpai dan seringkali muncul dengan tanda dan
gejala penyerta yang tidak spesifik. Tabel 1 menunjukkan penyebab-penyebab penting pembengkakan tungkai
bawah.
 Seperti halnya semua konsultasi, penggalian riwayat penyakit yang baik akan dapat mengurangi jumlah diagno-
sis banding.

KEHAMILAN DENGAN PRE-EKLAMSIA


 Setiap wanita hamil akan mengalami pembengkakan tungkai bawah. Karena pembengkakan tungkai bawah
merupakan tanda awal pre-eklamsia, diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi.
 Diagnosis pre-eklamsia merupakan keadaan darurat dan pasien harus ditangani di rumah sakit. Lihat Eklamsia.

Tabel 1: Penyebab Penting Bengkak Tungkai Bawah


System Contoh Unilateral / Bilateral
Jantung  Gagal jantung Bilateral
Lihat Gagal Jantung
Ginjal  Gagal ginjal akut / kronik dengan Bilateral
kelebihan cairan
Lihat Kedaruratan Ginjal
 Sindroma nefrotik / nefritik
Kehamilan  Pre-eklamsia Bilateral
Lihat Eklamsia
Hepatobilier  Gagal hati Bilateral
Lihat Ensefalopati Hepatik
Vena / Limfatik  Deep vein thrombosis (DVT) Unilateral
 Vena varikosum Unilateral / bilateral
 Lymphedema Unilateral / bilateral
Infeksi  Limfangitis Unilateral
 Selulitis
Penyebab Ortopedik  Trauma Unilateral
 Sindroma Kompartemen
 Arthritis / gout
 Kista Baker yang pecah
 Tumor: tulang atau jaringan lunak

 Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Diperlukan tingkat kecurigaan tinggi untuk menghindari melewatkan penyebab penting
bengkak tungkai bawah.
 Tiga penyebab tersering pembengkakan tungkai bawah bilateral adalah gagal jantung
kongestif, gagal ginjal dengan kelebihan cairan dan hipoalbuminemia (akiabt gagal hati
atau nefropati diabetik).

VENA DAN LIMFATIK


 Gambaran klinis deep vein thrombosis:
1. Rasa penuh pada tungkai bawah yang meningkat bila berdiri atau berjalan
2. Nyeri pada ekstremitas bawah saat batuk atau bersin, yang berbeda dari nyeri seperti listrik saat bersin atau
batuk pada sciatica.
3. Tungkai yang terkena seringkali lebih hangat dibanding sisi yang normal. Raba adanya ‘tambang’ yang
spesifik, walau tidak sensitif, untuk trombosis.
4. Cari faktor resiko terhadap penyakit tromboemboli (lihat Emboli Paru) untuk mendiagnosis DVT.
38
 DVT umumnya unilateral kecuali bila terjadi sumbatan pada vena cava, suatu kejadian yang jarang dan
berbahaya.
 DVT umumnya muncul dalam beberapa hari. Sehingga nyeri hebat yang timbul mendadak lebih cenderung
akibat robekan otot atau trauma.
 Cari faktor resiko terhadap penyakit tromboemboli (lihat Emboli Paru) untuk mendiagnosis DVT.
 Kombinasi tanda klinis dan gejala yang meliputi nyeri tekan, bengkak, kemerahan dan penilaian tanda Homan
(nyeri pada betis atau lutut akibat dorsofleksi paksa kaki) tidak cukup membedakan pasien dengan atau tanpa
DVT.
 DVT cenderung bukan menjadi penyebab bengkak bila ada demam > 39 0C.
 Tidak besarnya perbedaan ukuran betis tidak menyingkirkan diagnosis DVT. Akan tetapi, pembengkakan betis
asimetris > 3 cm hampir selalu merupakan temuan bermakna pada DVT.
 Vena varikosum disertai dengan pigmentasi kulit pada kasus kronis. Tromboflebitis superfisial vena varikosum
menghasilkan bengkak tungkai bawah. Vena varikosum unilateral dan pembengkakan memerlukan pemikiran
yang lebih teliti karena dapat mengindikasikan adanya proses patologis berat pada area pelvioabdominam.
 Obstruksi limfatik akan mengakibatkan edema ekstremitas inferior. Lymphedema sekunder terjadi setelah
kerusakan dan sumbatan jalur limfatik oleh keganasan yang melibatkan kelenjar getah bening, oleh filariasis
dan bisa jadi iatrogenik akibat diseksi bedah.

INFEKSI: LIMFANIGITIS / SELULITIS


 Infeksi menyebar sepanjang aliran limfatik menyebabkan limfaingitis dan tampak sebagai alur kemerahan, tipis
pada kulit, nyeri tekan, seringkali dengan sedikit edema pada kulit yang berada di atasnya. Bila infeksi meluas
ke kulit yang edem tadi, akan terjadi selulitis.
 Indikasi Rawat Inap:
1. Demam berulang disertai menggigil
2. Peningkatan nyeri setempat
3. Eritema yang meluas
4. Pasien usia lanjut, karena mudah terjadi septikemia

PENYEBAB ORTOPEDIK: SINDROMA KOMPARTEMEN


 Penyebab ortopedik menmiliki riwayat yang jelas dan pemeriksaan fisik yang baik umumnya dapat memastikan
diagnosis. Adalah penting untuk menyingkirkan sindroma kompartemen, yang merupakan kegawatan ortopedi,
pada semua kasus cedar akibat trauma pada tungkai bawah.

Gambaran Klinis
 Nyeri hebat pada tungkai, nyeri timbul pada regangan pasif otot, pucat, parestesia, tidak terabanya denyut nadi
dan paralysis merupakan enam tanda klasik iskemia otot.
 Adanya nyeri pada luas gerak otot pasif merupakan tanda yang paling awal. Tanda lainnya termasuk pemanjan-
gan pengisian balik kapiler serta terganggunya diskriminasi 2-titik.
 Palpasi pada otot yang terkena sindroma kompartemen akan terasa tegangan dan menimbulkan nyeri tekan.

Penyebab Tersering
 Tungkai bawah: fraktur tibia atau fibula
 Tungkai atas: fraktur suprakondiler humeri
 Luka bakar elektrik tegangan tinggi yang melibatkan otot

Komplikasi
 Mioglobinuria berat, gagal ginjal, hiperkalemia dan kematian.
 Kontraktur iskemik Volkmann’s dan hilangnya fungsi tungkai.

TATA LAKSANA UMUM


 Pastikan tanda vital dalam keadaan stabil dan tidak terdapat gangguan koroner akut yang menyebabkan pem-
bengkakan tungkai bawah. Pasien tidak stabil harus ditangani pada area pelayanan kritis.
 Pemeriksaan laboratorium:
1. Wajib
39
a. Tes carik celup urin untuk mendeteksi proteinuria
b. EKG untuk mengetahui cedera miokard
c. Foto thoraks mendeteksi keadaan gagal jantung / kelebihan cairan.
2. Pilihan: bila tidak ditemukan penyebab yang jelas setelah dilakukan pemeriksaan diatas atau bila terdapat
kecurigaan diagnosis yang spesifik, periksa:
a. Uji fungsi hati (untuk menyingkirkan hipoalbuminemia)
b. Ureum, elektrolit dan kreatinin (jika dicurigai gagal ginjal)
c. Enzim jantung / troponin T (jika dicurigai masalah jantung)
d. Jika mencurigai DVT, periksa D-dimer, INR (untuk memandu terapi), pemindaian color-flow duplex
(abaikan peluang pra pengujian) dan golongan darah & uji silang.
Catatan: Nilai D-dimer normal pada pasien tanpa faktor resiko trombosis membuat peluang diagnosis DVT proksi-
mal sangat kecil. DL tidak berguna karena hitung leukosit tidak mampu membedakan antara DVT dan selulitis, serta
tidak sensitive maupun spesifik terhadap kedua kondisi tersebut.
e. Kultur dan uji sensitivitas darah untuk menemukan penyebab infeksi sebelum memulai pemberian an-
tibiotika
 Untuk sindroma kompartemen: panggil ahli bedah ORtopedi segera uintuk fasiotomi.
Catatan: Jika peningkatan tekanan tidak mereda setelah sekitar 8 jam, akan muncul cedera irreversibel pada otot dan
saraf yang terjepit.
 Terapi pembengkakan tungkai bawah tergantung pada penyebab primer dan hal ini didiskusikan pada bab yang
sesuai.
 Disposisi: rawat inap kasus dengan penyebab sebagai berikut:
1. Penyebab jantung
2. Gagal ginjal
3. DVT (walaupun sejumlah alur kritis saat ini menekankan tata laksana rawat jalan bila memungkinkan)
4. Kehamilan dengan pre-eklamsia
5. Infeksi
6. Gagal hati
7. Sindroma kompartemen
8. Kecurigaan tumor tulang
7 penyebab pertama harus mulai diterapi di UGD. Rujuk pasien dengan penyebab lain ke klinik rawat jalan
yang sesuai untuk pemeriksaan lebih lanjut.
40
20. Pain ( Nyeri ), Abdominal

Caveats
 Peran dari dokter pada bagian emergency yaitu dapat mengidentifikasi adanya ‘acute abdomen’, bukan un-
tuk menentukan diagnosa spesifik.
 Identifikasi pasien tersebut melalui postur yang signifikan; misalnya dapat berbaring terlentang (per-
forasi/peritonitis),atau pasien terlihat sangat kesakitan sehingga selalu berubah posisi (kolik usus be-
sar/kolik ureter).
 Selalu pertimbangkan etiologi yang dapat mengancam nyawa. Lihat tabel 1
 Selalu pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur.
 Pasien pria dengan nyeri daerah fossa iliaka kanan harus dicurigai apendisitis sampai terbukti lain.
 Ada 3 alasan untuk dilakukan abdominal X ray :
1. Untuk mengidentifikasi ‘free air’ atau udara bebas (pada perforasi viscus)
2. Untuk mengidentifikasi udara/cairan ‘interfaces’ (pada obstruksi intestinal).
3. Untuk mengidentifikasi kalsifikasi ektopik (urelitiasis, kalkuli hepatobiliari, pankreatitis, AAA)

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Abdomen yang Dapat Mengancam Nyawa


1. Intraabdominal
a. Perforasi ulkus peptikum
b. Obstruksi intestinal
c. Abdominal Aortic Aneurysm (AAA)
d. Apendisitis
e. Pankreatitis
f. Kehamilan ektopik
g. Iskemia usus besar
h. Peritonitis bacterial spontan pada sirosis hepatic
i. SLE peritonitis
j. Peritonitis pada pasien renal CAPD
2. Ekstra abdominal
a. infark miokard akut
b. pneumonia lobus bawah
c. basal pulmonary embolism
d. KAD

 Chest X Ray digunakan untuk mengidentifikasi:


1. Udara subdiafragmatik
2. Basal consolidation
3. Pulmonary embolism

Catatan : jika dicurigai terdapat perforasi ulkus peptikum dan gambaran CXR menunjukkan udara
subdiafragma yang tidak jelas, maka pemasukan 200ml udara kedalam lambung melalui NGT dapat
menunjukkan gambaran udara bebas pada X ray. Praktek ini dipertimbangkan pada beberapa tempat
dan menjadi kebisaaan, dan masih bersifat controversial; dimana ada pendapat yang menyatakan
bahwa pada keadaan adanya tanda-tanda perforasi, pemasukan udara ke dalam lambung tidak akan
merubah manajemen/penatalaksanaan (misalnya operasi), serta dapat memperburuk ‘spillage’ isi
usus besar ke dalam kavum peritoneum.

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Lokasi dan sifat dari nyeri abdomen akan memberi petunjuk terbaik mengenai penyebabnya.
 Selalu mencurigai adanya kehamilan ektopik pada wanita usia subur
 Salalu mencurigai apendisitis pada tiap pasien pria dengan nyeri abdomen bagian bawah.
 Jangan lupa untuk merasakan pulsasi epigastrial
 Infark miokard dapat timbul sebagai nyeri abdominal bagian atas, maka lakukan pemeriksaan
EKG.
41
Manajemen
Pada Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil
 Pasien harus ditangani pada area critical care
 Pertahankan airway dan beri oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, tanda-tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
 Pasang 2 jalur iv perifer (14-16G); berikan ‘fluid challenge’ sebanyak 1 L kristaloid (jika tidak ada
kecurigaan IMA). Lakukan pemeriksaan ulangan.
 Lab :
o Wajib: GDA; GXM 2-4 unit; FBC; urea/elektrolit/kreatinin; serum amylase; tes urin ke-
hamilan (kalau relevan); kultur urin dan darah (kalau ada kecurigaan sepsis).
o Pilihan: urinalisis, enzim kardiak, tes fungsi hati, profil koagulasi.
 Antibiotik iv pada kasus sepsis; misalnya Ceftriaxon 1g dan metronidazol 500 mg. tergantung pada ke-
bijakan tempat praktek, antibiotik lain untuk mengatasi organisme gram negative dan positif dapat
digunakan.
o Catatan : aminoglikosida harus dihindari pada pasien yang memiliki resiko atau kelaianan pada
ginjal.
 X-rays : CXR, KUB
 EKG untuk mengidentifikasi IMA atau sebagai persiapan operasi pada beberapa kelompok usia.
 Pasang kateter urin.
 Usahakan pasien tetap ‘nil by mouth/NBM’ (puasa)
 Konsultasi segera dengan :
o Bagian bedah umum
o Bagian OBG untuk kasus yang dicurigai kehamilan ektopik.
o Bagian TKV untuk suspek aneurisma aorta abdominalis
o Bagian medical atau Kardiologi untuk kasus suspek pneumonia basiler atau infark miokard.
Pada Pasien dengan Keadaan hemodinamik yang Stabil
 Pasien dapat ditangani pada area intermediate
 Usahakan pasien tetap NBM (puasa) sampai penempatan pasien dapat diputuskan.
 Pertimbangkan pemasangan jalur intravena.
 Pemeriksaan lab harus berdasarkan kecurigaan klinis berdasarkan jenis nyeri abdomen pada tiap pasien.
 Pertimbangkan KUB (kidney, ureter, bladder X ray), CXR, EKG
 Evaluasi adanya tanda akut abdomen dengan pemeriksaan berulang abdomen.

Diagnosa banding Nyeri RHC (Right Hypochondrial)


Jika Pasien Febris
 Pertimbangkan :
1. Kolesistitis
2. Kolangitis
3. Abses hati
4. Abses susdiafragmatika
5. Hepatitis
6. Pielonefritis
7. Pneumonia basilar lobus kanan
8. Divertikulitis
 Evaluasi adanya akut abdomen
 Pasang jalur intra vena
 Berikan cairan kristaloid pada tetesan ‘maintenance’
 Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel dan marker hepatitis
(bersifat optional); kultur darah dan urin jika pasien sepsis.
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Analgesik : NSAID atau antispasmodic
 Usahakan pasien NBM (puasa)
 Penempatan : MRS-kan ke bagian Bedah umum.
42

Jika Pasien Afebris


 Ingat bahwa pada pasien geriatric dengan riwayat pembedahan abdomen mungkin tidak dapat menge-
luarkan respon febris.
 Pertimbangkan:
1. Kolik bilier : lihat bab Hepatobiliary Emergencies
2. Referred pain dari daerah dada
3. Hepatitis
 Evaluasi tanda akut abdomen
 Lab : FBC; urea/elektrolit/kreatinin, serum amylase, urinalisis, liver panel dan marker hepatitis (bersi-
fat optional);
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Analgesik : NSAID atau antispasmodic im
 Penempatan : dapat Di KRS-kan untuk kontrol pada poliklinik bedah umum jika nyeri menghilang,
abdomen tetap tenang; atau MRS-kan ke bagian bedah umum. Jika ada kecurigaan hepatitis pasien
dapat dirujuk ke bagian klinik gastroenterologi.

Diagnosa Banding Flank Pain


 Pertimbangkan :
1. Pielonefritis
2. Batu ureter dengan atau tanpa obstruksi; lihat bab Urolithiasis
 Pertimbangkan AAA jika pasien berusia lebih dari 50 th, atau aortic dissection pada pasien dengan factor
resiko (lihat bab Aortic dissection).
Catatan : secara klasik, AAA terjadi dengan gejla nyeri pada bagian central abdomen yang
menembus ke punggung. Namun apabila aneurisma melibatkan renal pedicle, maka nyeri tersebut
dapat menyerupai kolik ureter.
Jika Pasien Febris
 Lab: FBC; urea/elektrolit/kreatinin, kultur darah (paling tidak 7,5 ml darah tiap botol); kultur urin jika
ada kecurigaan urosepsis.
 KUB; pertimbangkan CXR, EKG
 Antibiotik intra vena : meliputi Gram negatif dan organisme anaerob jika ada kecurigaan nyeri berasal
dari hepatobilier atau enteric.
 Analgesik : NSAID atau narkotik.
 Penempatan :
1. MRS ke bagian urologi pada semua kasus urolithiasis dengan komplikasi
2. MRS ke bagian General Medicine untuk pielonefritis akut
Jika Pasien Afebris
 Lab : urinalisis, mencari adanya darah dan atau WBC dan hasil positif/ditemukannya nitrit
 KUB untuk mengetahui lokasi kalsifikasi ektopik dari kalkulus dan untuk mengetahui ukuran dari gin-
jal.
 Analgesik : NSAID atau narkotika.
 Penempatan :
1. MRS jika tidak ada pengurangan nyeri yang adekuat pada ED atau terdapat petunjuk adanya ob-
struksi ureter disertai dengan infeksi. Informasikan kepada bagian urologi jika ada keterlambatan
dalam proses MRS.
2. KRS untuk control kembali pada klinik urologi jika pasien telah bebas nyeri dan tetap afebris
pada ED. Sarankan untuk kembali jika:
a. Terjadi demam
b. Timbul gross hematuri
c. Penurunan output dari urin

Diagnosa Banding Nyeri Abdomen Bagian Bawah


 Selalu pertimbangkan apendisitis (lihat bab Appendicitis) dan kehamilan ektopik (lihat bab Ectopic preg-
nancy)
43
 Pemeriksaan rectal sangat bermanfaat pada pria dan wanita, dan juga dapat sekalian memeriksa servik dan
adneksa, tidak perlu stress untuk melakukan pemeriksaan vagina.
 Lab :
1. Wajib : pemeriksaan HCG urin untuk mengetahui kehamilan pada wanita usia subur.
2. Optional : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, tes urin dipstick

Diagnosa Banding Nyeri Epigastrial


 Pertimbangkan kedua penyebab abdominal dan ekstraabdominal. Suspek AAA pada pasien > 50th terutama
bila nyeri menjalar pada punggung bagian bawah atau pada salah satu area flank :
1. Penyebab intraabdominal lain meliputi :
a. Eksaserbasi akut dari penyakit ulkus peptikum; lihat bab Peptic Ulcer Disease
b. Refluks esofagitis
c. Penetrasi ulkus peptikum posterior
d. Pankreatitis : lihat bab Pancreatitis
e. Aortic dissection/ rupture AAA
3 kondisi terakhir terkait dengan penjalaran nyeri ke daerah punggung bawah.
2. Penyebab Ekstraabdominal meliputi
a. IMA; lihat bab Myocardial Infarction, Acute
b. Pneumonia; lihat bab Pneumonia, Community acquired
c. Pulmonary embolism Lihat bab Pulmonary embolism
d. Ketoasidosis Diabetikum; lihat bab Diabetic Ketoacidosis
 Pasang jalur intra vena perifer
 Berikan kristaloid dengan tetesan maintenance
 Lab : GDA; FBC; serum amylase; urea/elektrolit/kreatinin; enzim kardiak jika ada kecurigaan.
 Periksa EKG
 Periksa CXR posisi berdiri dan KUB
 Berikan analgesic yang adekuat
 Puasakan pasien
 Penempatan : dapat KRS untuk control pada klinik bedah umum jika nyeri berkurang; abdomen tetap
baik/tenang dan pemeriksaan normal; atau dapat juga di MRS-kan kebagian bedah umum.

Diagnosa Banding Nyeri kolik Abdomen Bagian Tengah


 Sifat nyeri kolik bisaanya mengindikasikan adanya obstruksi atau iritasi dari viscus yang berongga. Pertim-
bangkan :
1. Gastroenteritis akut : lihat bab Diarrhoea and Vomiting.
2. Obstruksi Intestinal pada usus besar atau usus kecil: lihat bab Intestinal Obstruction
3. Ischaemic bowel, terutama jika nyeri sulit dikenali sumbernya melalui pemeriksaan fisik: lihat Bab
Ischaemic Bowel.
Catatan : Adhesion colic (kolik adhesi) sebagai satu diagnosa tidak dipergunakan lagi, karena suatu ad-
hesi tanpa komplikasi bisaanya tidak menyebabkan nyeri. Namun, pada pasien post operasi suatu obstruksi
bowel inkomplit atau sub akut yang disebabkan oleh adhesi dapat menghasilkan suatu nyeri kolik yang
khas.
44
21. Pain ( Nyeri ) Dada, Akut

Caveats
 Anamnesa yang baik tetap memegang peranan penting dalam penegakan diagnosa penyebab nyeri dada
yang dapat mengancam jiwa. (Tabel 1)
 Setelah mengeksklusi 6 penyebab nyeri dada yang dapat mengancam jiwa, penyebab penting lain namun
tidak mengancam jiwa yang terlihat pada tabel 2 juga harus dieksklusi.

Tabel 1 : Penyebab Nyeri Dada yang Dapat Mengancam Jiwa


Manifestasi klinik Utama
1. IMA Lihat bab Myocardial Infarction
2. Unstabel angina (memiliki Lihat bab Coronary Syndromes, acute
prognosis jangka pendek yang sama
dengan IMA) Lihat bab Aortic Dissection
3. Aortic Dissection Lihat bab Pulmonary Embolism
4. Pulmonary Embolism (PE) Lihat bab Trauma, chest
5. Tension Pneumothorax Nyeri dada diikuti dengan vomit hebat dan CXR menun-
6. Ruptur esophageal jukkan pneumomediastinum
Catatan : IMA dan unstabel angina juga dikenal sebagai Acute Coronary Syndromes

Tabel 2 : Penyebab Nyeri Dada Penting Namun Tidak Mengancam Jiwa

1. Kardiak Angina stabil


Angina prinzmetal
Pericarditis/myocarditis
2. Respiratory Pneumothorax simple
Pneumothorax dengan pleurisy
3. Gastrointestinal Refluks esofagitis
Spasme esofageal (bisaanya menjadi diagnosa eksklusi karena gejalanya sangat
mirip dengan nyeri dada iskemik)
4. Referred Pain Gastritis/ penyakit ulkus peptikum
Biliary disease
Abses subphrenic/inflamasi

 Catat penyebab yang benign/ringan seperti nyeri musculoskeletal, kostokondritis, nyeri dada psikogenik
dan neuralgia pada early herpes zoster, harus didiagnosa eksklusi.
 Pada Multicentre Chest Pain Study (MCPS), perasaan chest discomfort yang serupa seperti serangan awal
MI atau lebih buruk dari angina yang sering dirasakan pasien merupakan factor resiko independen terkuat
untuk MI dan kecenderungan untuk menderita Acute Coronary Ischaemia.
 Pada MCPS, faktor resiko tinggi untuk menderita IMA dan iskemik antara lain :
1. Waktu sejak onset nyeri ≤ 4 jam
2. Episode terpanjang nyeri ≥ 30 menit
3. Nyeri digambarkan sebagai perasaan ‘tertekan’
4. Penjalaran nyeri pada lengan kiri, bahu, leher atau dagu
5. Riwayat angina atau MI
6. terdapat perubahan EKG pada ED yang menunjukkan iskemik atau infark
 Prediktor tunggal terbaik dari ACS adalah diketahuinya riwayat IMA atau adanya CAD. Resiko kejadian
pada arteri koronaria adalah 5 kali lebih tinggi pada pasien dengan CAD.
 Menurut Framingham study (Faktor resiko misal usia, jenis kelamin pria, merokok, hipertensi, DM, hiper-
kolesterolemia, riwayat keluarga) telah menunjukkan bahwa factor tersebut bisa menjadi prediktor bagi ter-
jadinya CAD dalam periode 14 tahun pada setting rawat jalan, namun penelitian ini tidak pernah mengi-
dentifikasi pasien nyeri dada di bagian ED manakah yang menderita iskemik kardiak akut. Sehingga tidak
ada satupun factor resiko spesifik tunggal yang dapat menjadi prediktor bagi terjadinya IMA atau iskemik
45
koronari akut. Dengan demikian, profil factor resiko tidak dapat distratifikasi juga tidak dapat digunakan
untuk memprediksi IHD pada ED.
 Nyeri dada bersifat pleuritik atau tereksaserbasi dengan adanya pergerakan pada 5-8% pasien IMA.
 5% pasien IMA juga menderita nyeri tekan dinding dada secara bersamaan.
 3 keadaan dibawah ini apabila terjadi bersamaan, akan membawa kita pada kecurigaan iskemik kardiak, an-
tara lain :
1. Nyeri dada yang tajam atau seperti tikaman.
2. Tidak ada riwayat angina atau MI
3. nyeri timbul dengan penekanan dinding dada atau dengan perubahan posisi atau karena komponen
pleuritik.
 Chest discomfort yang terkait dengan nausea harus diasumsikan sebagai iskemik kardiak sampai terbukti
tidak. Juga pada pasien dengan gejala ‘heartburn’ atau gangguan pencernaan sampai terbukti bukan kar-
diak, atau telah menjalani pemeriksaan yang lengkap dan diterapi sebelumnya.
 Pikirkan tentang aortic dissection pada pasien dengan nyeri dada yang dicurigai IMA namun diikuti juga
dengan gejala neurologik.
 Gejala terkait lainnya seperti diaphoresis, dispneu dan sinkope juga terlihat pada pasien IMA, PE serta aor-
tic dissection, sehingga kurang dapat menjadi criteria untuk mendiagnosa banding ketiganya. Akan tetapi
adanya gejala-gejala tersebut mengindikasikan adanya suatu keadaan penyakit yang serius.
 Pada nyeri dada, hasil EKG yang normal tidak dapat menyingkirkan ACS, namun menempatkan pasien pa-
da posisi resiko yang lebih rendah untuk mengalami gejala sampingan. Hanya sekitar 65-78% hasil EKG
pasien yang MRS, yang menunjukkan adanya kemungkinan MI. Kuncinya adalah lakukan pemeriksaan
EKG secara serial.
 Individu dengan usia diatas 65 th memiliki kemungkinan gejala yang tidak khas dengan hasil ‘missed diag-
nose’ atau ‘delayed’

Tips Khusus untuk Dokter Umum :


 Rujuk semua pasien pada ED dengan :
1. Riwayat khas IMA namun hasil EKG normal
2. Riwayat tidak khas namun memiliki faktor resiko untuk CAD
 Faktor resiko utama/mayor CAD antara lain:
1. Diabetes mellitus
2. Hipertensi sistemik
3. Hiperlipidemia
4. Merokok
Catatan : pasien yang telah berhenti merokok selama < 2 tahun tetap dianggap sebagai perokok
dan memiliki factor resiko CAD.
 Berikan aspirin 300mg pada semua pasien dengan ACS sebelum mengirimnya ke RS.
 Semua kasus IMA harus dikirim melalui ambulan ke RS.

Manajemen
 Pastikan tanda-tanda vital stabil. Jika tidak stabil, pasien mengalami distress atau diaforesis, bawa pasien
untuk resusitasi pada area immediate seepatnya. Rawat pasien dengan ACS secepatnya.
 Berikan olsigen, pasang pulse oksimetri, monitoring continuous EKG, monitoring tekanan darah.
 Periksa segera EKG 12 lead. Peran EKG dalam kasus nyeri dada adalah termasuk criteria diagnosa IMA,
iskemik dan PE.
 Jika EKG normal atau mencurigakan namun belum menunjukkan ACS, lakukan pemeriksaan EKG serial
dengan interval yang dekat.
 Pasang iv plug dan lakukan pemeriksaan darah untuk enzim kardiak serta biomarker lainnya, misalnya
mioglobin dan troponin T.
Ingat : Jangan sampai membuat kesalahan dengan mengeksklusi nyeri dada iskemik hanya dengan melihat
hasil troponin T atau enzim kardiak lain yang normal pada saat berada pada ED. Lihat tabel 3 untuk inter-
pretasi bermacam-macam marker kardiak.
 Berikan obat peringan nyeri tergantung pada diagnosa yang dibuat.
 Lakukan CXR. Peran CXR pada nyeri dada dalam penegakan diagnosa:
1. Komplikasi IMA, seperti gagal jantung dan edema pulmonal
46
2. Aortic dissection
3. Dengan penyebab respiratori, misal pneumothorax, pneumonia, keganasan paru, fraktur tulang iga.
4. PE perifer
5. Pneumomediastinum, misal rupture spontan bullae paru, rupture esophagus.
 Beberapa pedoman mengenai penempatan pasien dengan nyeri dada :
1. MRS-kan ACS dengan perubahan EKG atau nyeri yang terus menerus ke dalam CCU.
2. MRS-kan unstabel angina tanpa ada perubahan EKG, atau jika nyeri telah hilang pada bangsal
umum kardiologi.
3. MRS-kan pasien dengan diagnosa sindrom nyeri dada tidak khas (atypical chest pain syndrome)
dengan factor resiko CAD pada bangsal umum kardiologi, kecuali ED memiliki Chest pain Ob-
servational Unit untuk pengawasan yang berkelanjutan.
4. Stabel angina dapat di KRS-kan dengan memulai pengobatan (aspirin 300mg kemudian cardiprin
100mg OM (occipitomental), isosorbide dinitrat 5-10mg dibagi dalam 3 dosis, propanolol 20mg
dibagi dalam 2 dosis) apabila tidak ada kontraindikasi, kemudian rujuk pada poliklinik kardiologi
untuk follow up. (Kelompok pasien ini kemungkinan bukan merupakan pasien CAD apabila da-
tang pada ED dengan riwayat stabel angina. Disarankan untuk memasukkan/merawat pasien nyeri
dada dengan riwayat CAD ke dalam RS.)
5. MRS-kan pasien dengan aortic dissection pada CT ICU.
Catatan : onset angina terbaru yang menyerupai angina stabel yang didapat menurut riwayat da-
lam anamnesa, dipertimbangkan sebagai Unstabel angina (UA). Sehingga seluruh serangan an-
gina yang terjadi untuk pertama kali harus diMRS-kan walaupun hasil EKG-nya normal.
 Untuk terapi kasus dengan penyebab nyeri dada yang mengancam jiwa, lihat pada pembahasan masing-
masing bab.
47

Tabel 3 : Marker Kardiak


Kinetika Pelepasan Sensitivitas (%) untuk Spesifisitas (%) untuk
Marker kardiak Dapat Kembali nor- Keuntungan Kerugian mendiagnosa IMA mendiagnosa IMA (95%
Peak level
Dideteksi mal (95% CI) CI)
Mioglobin 1-2 jam 6-9 jam 24-36 jam 1. Marker terawal yang meningkat pada 1. Tidak Spesifik bagi otot jantung. Kondisi lain yang To 49 (43-55) To 91 (87-94)
IMA terkait dengan peningkatan mioglobin antara lain : Ts 89 (80-94) Ts 87 (80-92)
2. Bermanfaat untuk menegakkan diag- a. Penyakit skeletal dan neuromuscular
nosa IMA dini karena mioglobin b. Gagal ginjal
meningkat dalam waktyu 6 jam pada c. Injeksi intramuscular
hamper semua kasus IMA. d. Exercise yang berat
e. Post pembedahan by pass koronaria
f. Pemakai etanol berat
Sehingga mioglobin tidak dapat digunakan secara
tunggal, namun harus diikuti dengan pemeriksaan enzim
kardiak lainnya.
Creatinin kinase 4-6 jam 18-24 jam 48-72 jam 1. Gold standart serologis untuk IMA. 1. Tidak spesifik untuk otot jantung To 42 (36-48) To 97 (95-98)
(CK)-MB Digunakan untuk criteria diagnosa IMA 2. Dapat terjadi false positif pada pasien dengan gagal Ts 79 (71-86) Ts 96 (95-97)
menurut WHO ginjal.
3. Diagnostic window-nya sempit
4. Kegagalan peningkatan total CK pada angka yang
abnormal pada seluruh pasien IMA. Untuk mening-
katkan sensitivitas dan spesifisitasnya, persentase
indeks relative yang didefinisikan sebagai CK-MB
(ng/ml) x 100% CK (U/L) kemudian digunakan.
Apabila ≥ 5% maka kemungkinan IMA.
Troponin T 4-6 jam 12-120 jam 10-14 hari 1. Bermanfaat untuk IMA dengan pre- 1. Beberapa hasil false positif terlihat pada pasien gagal To 39 (26-53) To 93 (90-96)
sentasi lambat ginjal dan pasien dialysis, terutama pada pemerik- Ts 93 (85-97) Ts 85 (76-91)
2. Bermanfaat sebagai indicator prognos- saan troponin T generasi pertama.
tic pada angina unstabel. Pasien UA
dengan troponin T + memiliki prog-
nosis yang lebih buruk dari pada pa-
sien dengan troponin T - .
3. Merupakan indikator prognostic ter-
baik dibanding troponin lainnya.
Troponin I 4-6 jam 12-36jam 7-9 hari 1.Marker jantung yang paling spesifik. 1. Tidak tersedia secara luas To 39 (10-78) To 93 (88-97)
2.Tidak ada hasil false positif pada Ts 90-100 Ts 83-96
pasien gagal ginjal.
3.Dapat digunakan sebagai indicator
prognostic pada UA seperti halnya
troponin T.

To : Time of presentation Ts : Serial Biomarkers


48

22. Pain , low back ( Nyeri Punggung Bagian Bawah )

Caveats
 Pasien dengan Low Back Pain (LBW) akut yang membutuhkan perawatan immediate antara lain :
1. Hemodinamik tidak stabil (kelompok yang paling kritis)
2. Dengan trauma yang signifikan
3. Nyeri musculoskeletal yang tidak tertahankan
 Pasien dengan nyeri punggung bersamaan dengan nyeri abdomen merupakan pasien yang berada dalam
resiko serius adanya perdarahan intrabdominal atau retroperitoneal dan membutuhkan evaluasi yang tepat
serta monitoring yang ketat.
 Pasien yang sangat menderita akibat musculoskeletal back pain dengan tanda vital stabil dapat diberi obat
analgesik apabila telah melalui pemeriksaan awal.
 Pasien dengan defisit neurologik progresif atau dengan disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus besar
membutuhkan tindakan dekompresi melalui pembedahan.
 Ada beberapa indikasi untuk foto polos lumbosakral pada ED :
1. Manifestasi klinis yang muncul mendukung adanya malignansi dengan kemungkinan metastase pada tu-
lang belakang bagian lumbal.
2. Ada riwayat trauma vertebrae yang bermakna.
3. Demam dan nyeri tekan yang terlokalisir yang menyokong adanya osteomielitis.
4. Ada deficit neurologist yang tidak dapat terjelaskan dan bersifat akut.
 Terapi konservatif merupakan manajemen utama, meliputi relaksasi otot melalui bed rest, terapi panas atau
dingin, obat-obatan muscle-relaxing, serta analgesik yang adekuat. 90% pasien akan berespon terhadap tera-
pi tersebut.
 Manajemen pasien bisaanya dilakukan dengan rawat jalan, dimana usulan MRS dilakukan pada pasien
dengan defisit neurologi atau nyeri yang terus menerus.

Catastrophic Illnesses
Dapat bermanifestasi sebagai LBP
 Ruptur AAA (Abdominal Aortic Aneurysm) : bisaanya terjadi pada pasien pria usia pertengahan atau
usia tua dengan riwayat hipertensi dan penyakit kardiovaskular, yang muncul dengan LBP dan nyeri
abdomen yang diikuti dengan pulsasi yang cepat, sinkop, serta hipotensi borderline atau hipotensi yang
nyata.
 Ruptur Kehamilan Ektopik : seorang wanita berusia subur dengan factor resiko terjadinya kehamilan
ektopik, muncul dengan LBP onset akut, terkait dengan perdarahan vagina, sinkop dan nyeri abdomen
unilateral.
 Cauda equina Syndrome : merupakan sebuah kasus lumbar disc disease yang jarang terjadi namun
memiliki komplikasi yang sangat serius. Pasien muncul umumnya dengan gejala LBP, dengan
penjalaran unilateral atau bilateral, anestesi perifer, kelemahan motorik dari ekstremitas bawah, dan
disfungsi sfingter (bisaanya retensi urin). Secara klasik, intervensi bedah dalam 6 jam sejak onset
gejala, dipertimbangkan sebagai tindakan preventif esensial untuk mencegah defisit neurologik
permanent.
 Acute spinal cord compression : akibat proses ekspansi dari massa tumor, dapat muncul sebagai LBP
dengan deficit ekstremitas bawah, deficit bowel dan kandung kemih. Keadaan ini memerlukan interven-
si immediate unutk mencegah deficit neurologik permanent.

Tips khusus untuk dokter umum :


 Pasien yang datang dengan nyeri musculoskeletal serta tanda vital yang stabil dapat
diterapi dengan analgesic. Nyeri yang hebat tanpa ada respon terhadap pengobatan
yang diberikan harus dirujuk pada ED atau spesialis ortopedi secepatnya.
 Nyeri punggung dengan tanda neurologik fokal atau disfungsi bowel serta kandung
kemih merupakan suatu keadaan yang memerlukan tindakan pembedahan emergency
di rumah sakit.
 Selalu lakukan pemeriksaan abdomen dan perhatikan adanya aneurisme aorta.
49

Manajemen
Pasien dengan Instabilitas Hemodinamik dan atau memiliki riwayat trauma yang Bermakna
 Pasien selalu ditangani dalam area critical care
 Peralatan intubasi dan resusitasi harus selalu berada dalam keadaan siap pakai
 Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
 Pasang setidaknya 2 jalur intra vena yang besar.
 Berikan Hartmann’s solution secara iv 1 liter kemudian ulangi pemeriksaan parameter yang ada.
 Berikan transfuse darah yang spesifik bila diperlukan.
 Lab : GXM 4-6 unit, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, HCG urin jika diperlukan.
 Monitoring EKG, tanda-tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri.
 Penempatan :
1. Konsultasi awal dengan bedah TKV (untuk suspek AAA) atau
2. Bedah umum dan ortopedi (dalam kasus trauma), atau
3. OBG (dalam kasus kehamilan Ektopik)

Pasien dengan Nyeri Muskuloskeletal yang Hebat dan Tidak Tertahankan


 Harus ditangani paling tidak pada area intermediate care dan lakukan evaluasi secara tepat.
 Berikan kenyamanan pada pasien dan pindahkan pasien secara hati-hati.
 Monitor tanda vital tiap 30-60 menit.
 Analgesik
1. Pethidine (meperidine). Dosis : 50-100mg IM atau IV
2. Tramal (tramadone). Dosis : 50-75mg IM atau IV
3. Voltaren (diclofenak). Dosis : 50-75mg IM
 Obat muscle relaxan : valium (diazepam) dosis : 5-10 mg po atau 2-5 mg iv (apabila diberikan melalui
iv maka pasien harus berada dalam pengawasan petugas medis).
 Pemeriksaan ulang setelah 1 jam dan lakukan pemeriksaan menyeluruh pada pasien dalam 4 posisi :
berdiri, supinasi, pronasi dan duduk.
 Lakukan pemeriksaan rectal serta periksa tonus anus.
 Periksa adanya kehilangan sensasi sensorik pada daerah perianal.
 Pertimbangkan foto polos lumbosakral.
 Penempatan :
1. Kasus yang tidak ada komplikasi : KRS untuk bed rest pada permukaan yang lunak dengan pem-
berian analgesic yang adekuat serta musle relaxan.
2. Kasus dengan komplikasi dan nyeri yang hebat ± ada perubahan neurologik ringan serta tidak ada
gejala disfungsi sfingter : MRS pada bagian ortopedi untuk penatalaksanaan nyeri dan pemasangan
traksi.
3. Jika ada bukti adanya spinal cord compression atau cauda equine syndrome, maka konsul pada ba-
gian NS.
4. Pasien lain yang harus MRS termasuk :
a. Pasien dengan infeksi yang membutuhkan terapi antibiotik iv, misalnya pielonefritis dan
prostatitis.
b. Pasien dengan fraktur kompresi lumbar spine untuk manajemen nyeri.
c. Pasien dengan fraktur prosessus transversus untuk evaluasi yang terkait dengan injury.
d. Pasien dengan nyeri tidak tertahankan yang tidak mampu untuk berjalan atau tidak dapat
merawat dirinya sendiri.
e. Pasien dengan suspek metastase pada tulang belakang yang membutuhkan terapi
dexamethasone iv secepatnya. Lihat bab Oncology Emergencies.
50

23. Pain, Scrotal and Penile

CAVEAT
 penyebab akut scrotal biasanya dapat dipastikan dari riwayat sakit, pemeriksaan fisik dan urinalisa.
 Tidak pernah ada diagnosa epididimitis pada prepubertas dengan nyeri scrotal. Ini adalah torsio testis
sampai terbukti sebaliknya.
 Bila tersedia colour Doppler ultrasound akan sangat membantu diagnosa.
 Apabila ragu-ragu, hampir selalu dilakukan eksplorasi pembedahan secara hati-hati pada scrotum pen-
derita.

Tips khusus bagi dokter umum;


 selalu pertimbangkan tosio spermatic cord pada pasien dengan nyeri scrotal baik yang terus menerus
maupun yang hilng timbul. Ingat bahwa testis dapat terpeluntir sebelum kembali spontan.

PADA BAYI ( ada 2 penyebab)


Torsio
 kemungkinan terbanyak dari torsio adalah kelahiran sungsang
 lilitan pada seluruh spermatic cord
 necrosis
 gambaran nyeri yang tidak terlalu jelas
 scrotum biasanya memerah dan disertai dengan massa testis yang mengeras.
 Pembedahan hamper selalu dilakukan untuk membuang testis yang rusak.

Trauma
 biasanya terjadi pada kedua sisi
 ada kerusakan kulit yang jelas
 sebagian besar dapat membaik tetapi harus tetapdi follow up
 perdarahan scrotal spontan yang tidak diketahui penyebabnya: cari kerusakan yang meluas dan melebihi
cincin inguinal superficial

PADA ANAK-ANAK
 sangat dipengaruhi oleh kelompok usia
 acute epididymo-orchitis biasanya disebabkan:
1. virus, tetapi penyebab terbanyak adalah E.Coli
2. lakukan urinalisa untuk melihat adanya piuria
3. MRS untuk
a. menyingkirkan torsio
b. pemeriksaan urinary tract untuk kelainan-kelainan konginetal
 udem scrotal idiopatik
1. pembengkakan pada kedua scrotum tanpa hyperemia, tanpa nyeri.
2. berkaitan dengan haemolitic streptococcus, henoch-sconlein purpura, dan kadang-kadang leukemia
akut

PADA GOLONGAN ORANG DEWASA


 kelompok umur ini merupakan kelompok dengan angka prevalensi tetinggi untuk terjadinya kelainan
akut scrotaltorsio testis
 onset tiba-tiba pada nyeri testis yang berat, yang dapt menjalar ke paha
 dapat disertai mual dan muntah
 sebelumnya pernah ada episode nyeri yang self limiting
51

 tidak ada tanda klinis yang spesifik yang dapat membedakan torsio dan epididymitis. Keduanya
ditandai dengan pembengkakan dan nyeri testis. Adanya riwayat dysuria dan secret uretral lebih
mengarah pada epididymitis.
 Pemeriksaan yang menyatakan testis horizontal
 Segera konsul urologi
 Doppler ultrasound sangat bermanfaat untuk diagnosa segera, tetapi penanganan difinitif tidak boleh
terlambat.
 Bila diagnosa sulit ditegakkan maka eksplorasi dengan pembedahan harus segera dilakukan.
 Keselamatan testis tergantung dari lamanya waktu antara mulai terjadinya gejala dan pem-
bedahan.(interval yang bias diterima umumnya 6 jam )

Torsio hidatid
 prinsipnya terjadi pada anak2 prepubertas (10-12 th)
 nyeri akut minimal muncul setelah 2-3 hari
 lokasi tenderness berada diatas scrotum
 pasien sering mengalami reactive hidrocele dan diperiksa adanya strangulated hidatid (blue dot sign)
 apabila diagnosa sudah dapat dipastikan, maka sebagian besar akan berespon dengan
anakgesik/NSAIDs. Perlu dijelaskan pada pasien bahwa nyeri dan bengkak dapat memberat dalam 48-
72 jam
 eksplorasi pembedahan dan eksisi munkin perlu dipertimbangkan pada kasus-kasus yang meragukan

epididymo-orchitis
 berkaitan dengan infeksi seksual menular, khususnya chlamydiatrachomatis
 di ED penanganan dengan analgesic dan urogesik(phenazopiridine) 1 tabl. (analgesic utk saluran kemih
yang disertai dysuria) dan dapat juga untuk penanganan penyakit menular seksual. Pasien di MRS kan
bila diagnosanya meragukan.
 Antibiotic terpilih adalah doxyciclin.
 Adanya riwayat mumps parotis dapat dipastikan terjadi orchitis

Tumor testis
 ditandai dengan nyeri scrotum yang akut, yang mengarah pada perdarahan intramural dan capsular ex-
tension yang berkaitan dengan inflamasi.
 Dapat menyerupai epididymo-orchitis
 Arahkan ke urologi untuk evaluasi lebih lanjut.

Fornier’s gangrene (idiopatik gangrene scroyum)


 merupakan penyakit yang dapat mengancam hidup
 penyebabnya biasanya karena infeksi atau trauma di sekitar perineal
 organisme yang predominant; bacteroides fragilis (anaerob), dan E coli (aerob). Agent yang lain adalah
haemolitic streptococcus, staph dan clostridia sp.
 Gambaran klinisnya; pada pasien yang tua dan imunocompromised dengan onset nyeri yang akut, ery-
tema, dan udem scrotum yang disertai crepitasi dan gangrene. Pasien panas dan mulai toksik.
 Management;
1. suportif umum
2. perawatan
3. ceftriaxone iv 1-2 gram, dan metronidazole 500 mg iv. Serta gentamisi 60-80 mg.
4. segera konsultasi urologi untuk debridemant dan
5. hiperbarik oksigen
52

PENILE PROBLEM
Balanoposphitis
 inflamasi pada glands penis (balanitis) dan posphitis, bila berulang, pastikan adanya diabetes dan pen-
yakit yang mendasari
 pada pemeriksaan tampak retraksi pada permukaan kulit dan kotor, secret purulent dan glands teraba
tegang.
 Management;
1. kebersihan yang baik
2. krim antijamur topical
3. sirkumsisi
4. jika muncul skunder infeksi, berikan antibiotic spectrum luas, seperti ciprofloxacin 500 mg selama
7 hari. Jika terdapat penyakit menular seksual tambahkan doksisiklin 100 mg selama 14 hari.
5. jika kasusnya berulang, cari kemungkinan diabetes mellitus
6. waspadai terjadinya kekerasan pada anak
7. jika ada phimosis, pasien harus segera di sircumsisi.
Phymosis
 adalah dimana preputium penis tidak dapat ditarik atau diretraksi ke proksimal sampai ke korona glans
penis. Ini biasanya skunder dari infeksi kronis pada permukaan kulit dengan jaringan parut yang pro-
gresif.
 Management:
1. tindakan emergency bila terjadi dilatasi dari arteri di permukaan kulit,
2. tindakan difinitif adalah sirkumsisi
paraphimosis
 adalah preputium penis yang diretraksi sampai ke sulkus koronarius tidak dapat dikembalikan pada
keadaan semula dan timbul jeratan pada penis di belakang sulkus koronarius.
 Management: tindakan emergency diindikasikan sejak terdapatnya tekanan pada pembuluh darah, yang
dapat menyebabakan :
1. bila berlanjut dan menekan glands penis selama 5-10 menit, akan menimbulkan edema dan
menekan permukaan kulit sampai di glands penis. Rasa nyeri dapat dikurangi dengan pemberian
lignokain gel atau dilakukan blok pada nervus dorsalis penis dengan lignokain 1% 5 ml.
2. bila cara manual tidak berhasil, maka dapat dilakukan dengan local anastesi tanpa adrenalin dan
dilakukan dorsal slit procedure.
3. defintif terapi adalah dengan sircumsisi.
Priapismus
 adalah nyeri yang timbul sasat ereksi yang mungkin juga berhubungan dengan retensi urine.
 Merupakan kegawatan medis (table)

Tabel1. penyebab priapismus


------------------------------------------------------------------------
Reversible irreversibel
Berespon tehadap terapi medis umumnya tdk berespon
Thd terapi medis.
------------------------------------------------------------------------
Injeksi corporal utk impotensi lesi spinal cord atas
Infiltrasi leukemik pengobatan dg. Phenothiazine,
Komplikasi pemakaian Viagra beberapa antidepresan siklik.
Sickle cell disease tidak diketahui penyebabnya.

 pada pemeriksaan
 management;
1. segera konsultasi urologi
53

2. terbutaline 0.25 – 0.5 mg tiap 4-6 jam. Ini merupakan terapi awal pada kasus priapismus baik yang
reversible maupun yang irreversible, tetapi tetap jangan membuang waktu untuk konsultasi urologi bila
respon terapi tersebut tidak mencapai 100 %.
3. aplikasi dengaan memberikan balok es, sedasi dan analgesic dapat diberikan meskipun ini kurang
efektif.
4. terapi selanjutnya tergantung dari penyebab yang mendasari terjadinya priapismus.
5. bila datangnya urologist terlambat, dapat dilakukan aspirasi darah 50 ml pada corpora cavernosa
dengan menggunakan jarum 18G atau yang lebih besar. Prosedur ini dapat diulang dan diikuti dengan
irigasi dengan menggunakan cairan saline hangat yang mengandung heparin . pada beberapa kasus
diberikan injeksi corporal dengan 200 ug phenylephrine. (dimonitor vital sign tiap 5 menit).
6. jika ini gagal maka tindakan drainase dengan pembedahan perlu dipertimbangkan.

Torn prenulum
 umumnya terjadi selama masturbasi yang berlebihan.
 Pada pemeriksaan, oozing didapatkan disekitar frenulum.
 Management;
1. ditekan langsung selama 5-10 menit
2. bila tekanan secara langsung tidak berhasil maka dilakukan jahitan dengan benang sutra yang dapat
diserap,
fraktur penis
 umumnya terjadi karena kurangnya koordinasi dengan pasangan dengan posisi wanita di atas
 pada pemeriksaan umumnya penis mengalami flaksid tetapi terdapat ekhimosis dan distorsi, dengan
nyeri yang bervariasi
 management;
1. analgesic, sering digunakan parenteral agonis opiate
2. balok es
3. segera konsul urologi.

****************************
54

24. Palpitasi

Caveats

 Denyut jantung yang abnormal hampir selalu disebabkan karena gangguan pada ritme kardiak, atau disrit-
mia dan apa yang dirasakan oleh pasien merupakan perubahan sekunder pada output kardiak (ingat bahwa
cardiac output berkaitan langsung dengan stroke volume dan Heart rate).
 Takidisritmia menyebabkan peningkatan heart rate dan pengurangan stroke volume, sedangkan premature
ventricular contractions (PVCs) menghasilkan peningkatan stroke volume pada setiap denyut yang mengi-
kuti PVC sebagai hasil dari peningkatan filling time selama compensatory pause.
1. Jangan membuang waktu untuk mengidentifikasi sifat disritmia yang paling tepat, namun priori-
taskan untuk:Periksa status hemodinamik pasien
2. Putuskan apakah keadaan tersebut termasuk narrow atau wide complex dysrhythmia (tabel 1)
 Jika keadaan pasien tidak stabil dengan tanda-tanda serius seperti
1. Gagal jantung atau dispneu;
2. Syok;
3. AMS;
4. Nyeri dada, maka lakukan immediate synchronized electrical cardioversion (untuk kedua tipe :
narrow dan wide complex).
 Bukti-bukti yang ada tidak mendukung penggunaan lignokain untuk membedakan perfusi Ventricular tach-
ycardia (VT) dan Wide complex Tachycardia dengan asal yang tidak diketahui pasti.
 Bukti-bukti tidak mendukung penggunaan Adenosine untuk membedakan perfusi VT dan Supraventrikular
(SVT) dengan aberrant ventricular contraction (SVT yang dikonduksi oleh 1 ventrikel saja akibat transient
bundle branch block).
 Amiodarone saat ini merupakan DOC pada manajemen takidisritmia stabil, karena efek spectrum antidisrit-
mia-nya yang luas serta lebih sedikit menimbulkan efek inotropik negative dibandingkan dengan obat
lainnya.
Tabel 1 : Klasifikasi takidisritmia berdasarkan EKG
Narrow Complex Wide complex
Regular Irregular Regular Irregular
Sinus takikardi Atrial Fibrillation Monomorfik VT (gambar 3, 4 dan Polimorfik VT
5 serta tabel 2)
Supraventricular Tak- Atrial Flutter SVT dengan aberrancy (Gambar Semua complex tachy-
ikardi (SVT) (Gambar 1) dengan berbagai 6 dan tabel 2) cardia dengan BBB yang
variasi Block ireguler atau WPW syn-
drome (Gambar 7)
Atrial Flutter dengan
konduksi 1:1 atau 2:1 Multifocal atrial Setiap narrow complex tachycar-
(Gambar 2) tachycardia dia dengan BBB, yang regular,
atau Wolff-Parkinson- White
(WPW) syndrome

Tips khusus Untuk Dokter Umum :


 Pasien yang datang pada tempat praktek dengan palpitasi, kemungkinan memiliki gejala dengan
sifat yang ringan dan minimal dari isolated PVCs atau suatu short bursts dari sebuah takidisritmia
yang intermitten.
 Jangan membuang waktu dengan mengartikan/manganalisa hasil EKG; namun prioritaskan untuk
memeriksa status klinis dari pasien.
 Lakukan EKG 12 lead. Disritmia dapat bersifat Self limiting dan akan sangat membantu bagi dokter
di rumah sakit untuk mencari jejak adanya disritmia.
 Berikan oksigen dengan nasal kanul pada aliran 2-6l/menit, sesuaikan dengan kenyamanan pasien.
 Ukur tekanan darah secara berkala.
 Pasang jalur intra vena perifer dengan NS pada aliran yang lambat.
 Berikan kenyamanan pada pasien karena pasien sering mengalami kecemasan dan ketakutan untuk
mati
 Pindahkan pasien ke RS, lebih baik dengan menggunakan ambulan yang dilengkapi dengan
peralatan untuk memonitoring EKG secara terus menerus.
 Catat PVCs yang disertai dengan ‘R on T phenomenon’ sebagai salah satu resiko tinggi untuk
terjadinya VF (gambar 8).
55

Gambar 1 : Supraventricular AV nodal reentrant tachycardia pada wanita usia 35 th yang datang dengan keluhan
palpitasi
Catatan : (1) regular, narrow QRS tachycardia sekitar 200/menit. (2) Tidak ada gelombang P yang
terlihat. Pemeriksaan elektrofisiologi lanjutan mengkonfirmasikan bahwa pasien menderita
supraventricular AV nodal reentrant tachycardia.

Gambar 2 : Atrial flutter dengan konduksi AV 2:1


Catatan : Selama konduksi AV 2:1, gelombang flutter ‘F’ tersembunyi diantara QRS complexes dan
segmen ST/gelombang T. harus ada bukti yang menunjukkan adanya peningkatan konduksi AV yang
berakibat pada perlambatan ventricular rate (lihat tanda panah). Arah panah menunjukkan gelombang
Flutter (‘F’).

Manajemen
Lihat bab Cardiac Dysrhytmias/Resuscitation Algorithms untuk ringkasan penatalaksanaannya.

Terapi Suportif
 Pasien harus ditangani pada area critical care, dimana monitoring EKG secara terus-menerus dapat di-
lakukan, dan tersedia peralatan resusitasi serta defibrillator.
 Berika oksigen jika terjadi penurunan SpO2.
 Monitoring EKG, tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur iv perifer.
 Lakukan pemeriksaan EKG 12 lead : apakah terdapat narrow atau wide complex disritmia?

Gambar 3 : Ventricular tachycardia pada pasien dengan Infark Myocard acute


Catatan :
(1) Wide QRS tachycardia terjadi regular, sekitar 166x/menit.
(2) morfologi QRS superficial menyerupai pola left bundle branch, kecuali gelombang r pada
V1 dan V2 (arah panah) yang melebar, sehingga menyebabkan ventricular ectopy.
(3) gambar ritme pada bagian bawah EKG menunjukkan fusion beats (arah panah) dimana
memiliki morfologi yang berbeda. Juga terdapat kemungkinan suatu AV dissociation, ka-
rena ada bagian segmen ST/gelombang T dari ventricular complex yang berurutan memi-
liki sedikit perbedaan morfologi dan terlihat sebagai deformitas, yang kemungkinan besar
karena adanya superimposisi gelombang P yang timbul kadang-kadang, berbeda dengan
QRS complex yang ada.

Gambar 4 : Ventricular tachycardia


Catatan : (1) rapid ventricular rate 158x/menit. (2) wide QRS complex yang regular (0,16 detik). (3)
gelombang R monofasik pada V1 (4). rS complex pada V5 dan V6 (5) aksis indeterminate sekitar 170 o.
56

Pemeriksaan fisik singkat yang penting untuk menentukan stabilitas hemodinamik


 Tingkat Kesadaran : apakah pasien sadar dan orientasinya baik, merespon pertanyaan dengan baik?
Penurunan ‘mentation’ mungkin mengindikasikan immediate synchronized electrical cardioversion
(lihat komentar selanjutnya).
 Keadaan umum : termasuk adanya diaforesis, sianosis dan gejala yang dapat ditoleransi.
 Tanda-tanda vital

Gambar 5 : Ventricular tachycardia menunjukkan pola concordance


Catatan : (1) regular, takikardi wide QRS (190x/menit). (2). Seluruh QRS complexes pada lead
precordial dari V1 sampai V6 negatif pada polarity.

 Teknik Cardioversion
1. Tempatkan chest patches pada lokasi infraclavicular kanan dan apical (seperti halnya defibrilla-
tion).
2. Berikan diazepam iv atau midazolam untuk efek sedasi (jika tersedia).
3. Tekan tombol SYNC (synchronization) (tidak seperti defibrillation).
4. Pilih level energi, dimulai dari 100 joule untuk dewasa dilanjutkan dengan 200 J, 300J, dan 360 J
secara berurutan bila diperlukan.

Gambar 6 : takikardi Supraventrikuler dengan induksi konduksi ventrikuler tambahan pada laboratori elektro-
fisiologi seorang pasien usia 25th yang datang dengan keluhan palpitasi.

Catatan : (1) heart rate yang cepat yaitu 160x/menit (2) regular dan wide QRS complexes (0,12 detik)
dengan konfigurasi right bundle branch block yang khas (pola trifasik rSR’ pada V1). (3) tidak ada ge-
lombang p yang jelas terlihat.

Gambar 7 : Atrial fibrillation pada pria 22 tahun dengan WPW syndrome


Catatan : (1) ritme irregular dan ventricular rate yang sangat cepat. (2) QRS complexes lebarnya
bervariasi.

Fokus Anamnesa (sangat bermanfaat jika waktu tersedia)


 Riwayat palpitasi sebelumnya : jika positif, bagaimana keadaan tersebut diterapi, apakah dengan ma-
neuver fisik, medikasi atau terapi elektrik.
 Apa yang telah pasien lakukan untuk mengatasi palpitasi? Apakah pasien telah diajarkan untuk
melakukan maneuver valsava dirumah? Jika telah dilakukan, bagaimanakah hasilnya?
 Gejala terkait lain seperti nyeri dada, dispneu, lightheadedness atau kebingungan: indikasi adanya
hipoperfusi end-organ dan dekompensasi.
 Riwayat penyakit kardiovaskular pada pasien atau keluarga atau riwayat obat yang dikonsumsi, misal
penggunaan obat simpatomimetik, obat yang mengandung bronkodilator atau teofilin, atau amfetamin
seperti yang terkandung didalam pil penurun berat badan.

Pemeriksaan fisik yang menjadi focus sekunder


 Ulangi tanda-tanda vital : penting untuk mendeteksi kemajuan atau deteorasi
 Ulangi pemeriksaan tingkat kesadaran dan perfusi perifer
57

Terapi
Narrow Complex Tachydysrhythmias
 Terapi sangat tergantung dari diagnosa, misal sinus takikardi membutuhkan terapi penyebabnya (nyeri,
perdarahan, ansietas, efek antikolinergik, dsb).
 Non farmakologis : penting dimana 25% pasien dengan SVT dapat dibantu dengan valsava maneuver
atau pemijatan sinus carotid (carotid sinus massage = CSM).
Catatan : Sinus carotid berlokasi di sudut mandibula, kemudian dengarkanlah suara ‘bruits’ sebelum
melakukan CSM. Beberapa klinisi menghindari CSM secara total pada pasien di atas 50 th untuk
mengantisipasi eksistensi plak, tanpa memperhatikan kehadiran atau tidak adanya bruit. Jangan
lakukan CSM pada pasien yang diketahui memiliki riwayat CVA atau TIA.

Gambar 8: ‘R on T’ ventricular ectopic beats dan ventricular fibrillation pada pasien dengan infark akut inferior
Catatan : (1) Perubahan ‘hiperacute’ pada infark transmural inferior sebagaimana terlihat pada pen-
ingkatan segmen ST pada lead II. (2) ‘R on T’ ventricular ectopic beats (E) menginisiasi ventricular fi-
brillation (VF).

 Farmakologi : pilihan meliputi adenosine, verapamil atau amiodarone; semua telah dibuktikan sama
efektif dan dapat digunakan jika salah satu obat gagal untuk mengatasi narrow complex tachycardia. Pi-
lihan obat tergantung pada ketersediaan dan pengalaman klinisi.

1. Adenosine merupakan ultra-short-acting AV nodal blocker (Tabel 2).


Dosis : 6 mg iv bolus cepat pada vena proksimal (bukan pada lengan atau pergelangan tangan), dii-
kuti secepatnya dengan aliran 20 ml saline dan elevasi dari lengan. Dapat diulang 2 kali pada dosis
12 mg iv samapi total 30 mg.

2. Verapamil (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan adenosine. Kerugiannya antara
lain: (1) onset aksinya lama; dan (2) efek samping yang bermakna dari penurunan kontraktilitas
miokard dan vasodilatasi perifer.

Catatan : pretreatment dengan bolus cairan dan kalsium klorid (0,5 – 1g iv selama 5 menit) cukup
bermanfaat untuk mencegah hipotensi yang diinduksi verapamil.

Perhatian : verapamil tidak boleh digunakan bersamaan dengan beta blockers iv, dan harus
dihindari pada pasien dengan wide complex tachycardias.

Dosis : 2,5-10mg iv; dapat diulang 15 -20menit kemudian; dosis total maksimum 20mg.

3. Amiodarone digunakan jika adenosine gagal dan terdapat tanda-tanda gagal jantung kongestif.
Dosis : 150mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.

4. Diltiazem (Calsium channel blocker) sama efektifnya dengan verapamil dalam mengatasi narrow
complex SVT. Keuntungan bila dibanding verapamil adalah diltiazem lebih sedikit menyebabkan
depresi miokard.
Dosis : 10-20mg iv selama 2 menit. Jika tidak efektif dapat diikuti 15 menit kemudian dengan
bolus yang kedua sebanyak 0,35 mg/kg iv. Jika diperlukan, infus 5-15 mg/jam x 24 jam dapat
diberikan.

5. Beta-blocker seperti esmolol dan propanolol juga efektif.


58

Esmolol memiliki T ½ yang sangat singkat dan bersifat kardioselektif. Dosis : 0,5 mg/kg bolus se-
lama 1 menit diikuti dengan infus 0,05 mg/kg/menit. Loading dose dapat diulang dan tetesan infus
dapat ditingkatkan sebanyak 0,05 mg/kg/menit tiap 5 menit prn sampai maksimal 0,2mg/kg/menit.
Propanolol merupakan DOC untuk SVT pada thyrotoxicosis karena ia memblok sebagian proses
pengubahan T3 dan T4. Perhatian : hindari penggunaannya pada pasien COLD, CCF atau asma,
dan pada pasien yang telah diterapi dengan Calsium channel blockers. Dosis : 1 mg iv selama 1
menit; dapat diulang tiap 5 menit sampai total 0,1-0,5mg/kg.

6. Digoxin : obat yang bersifat vagotonik. Kerugiannya adalah onset kerjanya lebih lambat
dibandingkan dengan obat yang tersebut diatas (dapat membutuhkan beberapa jam). Dosis : 0,5mg
iv bolus sebagai dosis awal, dengan dosis ulangan 0,25mg tiap 30-60 menit prn. Dosis total tidak
boleh melebihi 0,02 mg/kg.

Tabel 2 : Keuntungan dan Kerugian pemberian Adenosine dibanding Verapamil


Keuntungan Kerugian
T ½ yang pendek <10 detik - Efek samping flushing, dispneu dan nyeri dada
Efek hipotensi dan depresi miokard yang - Rekurensi SVT sering terjadi (pada 50-60% pasien)
lebih rendah - Interaksi obat cukup bermakna: antagonis dengan teofilin
dan kafein, potensiasi dengan dipyridamole dan
carbamazepine
Catatan : Adenosine bisaanya tidak mengubah disritmia
pada paroxysmal atrial tachycardia, atrial flutter atau
atrial fibrillation, namun akan mengurangi ventricular rate
karena penurunan konduksi atrioventricular.

Atrial Fibrillation (AF) dengan rapid ventricular fibrillation

Adanya pasien dengan atrial fibrilasi dan rapid ventricular fibrillation merupakan masalah yang special. Jika
hemodinamik pasien stabil, peran dokter spesialis EM adalah untuk memperlambat respon ventrikuler dan
BUKAN merubah ritme jantung menjadi Sinus rhythm kecuali dokter tersebut yakin bahwa durasi AF terjadi <
48 jam. Pengubahan ke sinus rhythm tanpa pemberian antikoagulasi yang adekuat akan menyebabkan embolisasi
klot yang terekat pada dinding atrium kanan. Penelitian menyatakan bahwa penggunaan Calsium Channel
Blocker (diltiazem atau verapamil) dan beta blocker (esmolol dan metoprolol) merupakan obat yang efektif
untuk mengatur heart rate pada pasien AF yang stabil. Dosis : Diltiazem iv 10-20mg selama 2 menit.
Catatan : Digoxin tidak menunjukkan efektivitas untuk mengontrol heart rate akut. Namun, jika pasien
dalam keadaan gagal jantung, pilihan bisa berupa digoxin atau amiodarone.

Secara keseluruhan, keberhasilan chemical cardioversion hanya sekitar 50%. Literature yang menerangkan
penelitian untuk membandingkan efektivitas obat untuk mengubah AF menjadi sinus rhythm banyak yang
bersifat kontradiktif. Pilihan terapi meliputi :
 Class 1A agents (quinidine dan procainamide) : obat-obatan yang paling tradisional yang digunakan
dalam cardioversion, dengan angka kesuksesan sebesar 40-80%.
 Amiodarone : 93 % berhasil mengembalikan sinus rhythm dalam 24 jam namun tidak secepat calsium
channel blocker atau beta blocker dalam menurunkan heart rate.
 Propafenone : berhasil pada penggunaan melalui iv dan per oral.
 Fleicainide : berhasil sebagai cardioversion dalam 2-3jam ketika digunakan melalui bolus iv atau po
namun kekhawatiran efek prodisritmik menyebabkan keterbatasan penggunaannya.
 Ibutilide : terminasi cepat AF dengan pengubahan heart rate lebih cepat daripada procainamide namun
dilaporkan bahwa ia menyebabkan torsades de pointes sebesar 4,3%.
Jika pasien dengan rapid atrial fibrillation mengalami ketidakstabilan hemodinamik, keputusan sulit untuk
melakukan electrical cardioversion setelah pemberian heparin 5000 unit iv harus dilakukan. Resiko
tremboembolisme setelah atrial fibrillasi sepertinya terus berlangsung selama beberapa minggu setelah
59

cardioversion. Sehingga antikoagulan harus terus diberikan selama 3 bulan kecuali didapatkan adanya
kontraindikasi.

Catatan : Direct Cardioversion aman dan efektif (90% conversion rate) pada konversi AF menjadi
sinus rhythm.

Hospitalization : tidak harus dilakukan pada seluruh pasien AF, namun perlu dilakukan bila :
 Dengan gangguan hemodinamik
 Terdapat gejala aritmia yang hebat (misal nyeri dada, tanda iskemik koronaria, CCF)
 Terdapat resiko tinggi untuk embolisme (misal gagal jantung, CCF, mitral stenosis, riwayat CVA, usia
>65tahun)
 Terdapat AF>48 jam atau durasi yang tidak pasti untuk mengkontrol heart rate dan menginisiasi antiko-
agulasi.
 Terdapat kegagalan cardioversion pada ED

AF dapat dipertimbangkan untuk KRS bila :


 Durasi <48jam, juga mengalami keberhasilan dalam terapi cardioversion di ED, tanpa adanya tanda
gagal jantung atau iskemik.
 Onset awal AF dengan control ventricular rate yang baik, keadaan umum baik, dan telah mengalami
pengaturan terapi antikoagulasi. Atur jadwal control untuk follow up pada spesialis jantung.

Wide Complex Tachydysrhythmias


Catatan : seluruh regular wide complex tachycardias harus diterapi sebagai ventricular tachycardia,
terutama bila pasien memiliki riwayat CAD.

Pengecualian pada pasien :


 Memiliki riwayat SVT dan suspek aberrancy : berikan adenosine/verapamil
 WPW syndrome dengan preexcitation tacycardias : berikan adenosine/amiodarone
Catatan : Jangan melakukan terapi irregular wide complex tachycardia (gambar 7) dengan Calsium
Channel Blockers (verapamil atau diltiazem), beta blockers atau digoxin karena blocking pada AV
node dapat menyebabkan impuls dari AF ke jalur accessory di bagian bawah dan dapat menyebabkan
VF.

Sebelum memberikan obat apapun, periksa hemodinamik pasien. Adanya instabilitas mengharuskan untuk mem-
berikan sedasi yang diikuti dengan sinkronisasi electrical cardioversion.
 Amiodarone : obat ini merupakan obat pilihan karena efektif pada VT, SVT dengan aberrancy dan
SVT. Jika terjadi kegagalan, maka synchronized cardioversion merupakan indikasi.
Dosis : amiodarone 150 mg iv selama 10 menit; dapat diulang 1 kali.
 Procainamide merupakan obat pilihan kedua.
Dosis : 100mg selama 5 menit; dapat diulang sampai total 1 g, diikuti dengan infus 1-4 mg/menit
Perhatian : Hentikan bolus jika :
1. Disritmia berhenti
2. QRS complex melebar 50%
3. terjadi hipotensi
4. total 1 g telah diberikan
 Lignokain : masih merupakan pilihan popular karena penggunaannya yang cukup lama, toksisitasnya
relative rendah dan mudah dalam pemberiannya. Namun, bukti penelitian tidak mendukung
penggunaannya kecuali sebagai pilihan kedua atau ketiga.
Dosis : 1,0-1,5 mg/kg iv; ulangi dalam 3-5 menit sampai dosis maksimum 3 mg/kg.

Tabel 3 : Cara Membedakan VT dari SVT dengan Aberrant Conduction atau Prior Bundle Branch Block
60

VT SVT
Riwayat
IHD; CCF; usia > 35 tahun 90% spesifik untuk VT Bagaimanapun, riwayat (-) tidak
dapat menyingkirkan diagnosa SVT
Pemeriksaan Fisik
1. Irregular cannon gelombang Mungkin ada Tidak ada
‘a’ pada pulsasi vena jugula-
ris
2. Intensitas suara jantung
pertama yang bervariasi Mungkin ada Tidak ada
EKG
1. Lebar QRS Bisaanya >140 ms <140 ms
2. Hubungan AV AV dissociation (<50% VT) (Gambar 3)
Fusion Beats (kombinasi sinus dan takikardi
QRS) (gambar 3)
Capture Beats (depolarisasi total dari ventrikel
oleh konduksi sebuah sinus beat)

30o sebelah kiri atau pada kuadran IV (gambar


3. Aksis QRS 4)
Diagnostic virtual VT (gambar 5)
4. Pola ‘concordance’ (terda-
pat pada QRS complex yang
+ atau – pada semua lead
prekordial
5. Morfologi QRS Pada V1: Gelombang R monofasik….
Wide complex tachycardia qR complex………………... Pada V1: Trifasik QRS……
dengan pola RBBB (dide- ‘left rabbit ear’ lebih besar daripada
finisikan sebagai QRS posi- ‘right ear’ ………. ‘right rabbit ear’ lebih tinggi
tif dominant pada lead V1) Pada V6: Pola QS…………………… daripada ‘left ear’…………
Rasio r/s <1……………….
Pada V1-2: Gelombang R awal tinggi dan lebar
>0,04 detik dengan ‘slurring’ bagian
awal dari QRS ……………………..
Pada V6: QS atau predominan defleksi negati-
ve…………………..

25. Poisoning: general prinsip ( Keracunan Prinsip Umum )


61

Caveats

 Riwayat overdosis obat (OD) sering tidak dapat dipercaya. Sehingga seseorang harus memiliki tingkat
kecurigaan yang tinggi dan asumsikan kemungkinan overdosis berbagai macam obat termasuk
konsumsi alcohol. Lihat Annex untuk mengetahui sumber keracunan utama di Singapore.
 Berikan perhatian lebih pada pemeriksaan fisik untuk mengetahui petunjuk tipe keracunan yang terjadi.
 Pasien dengan AMS dengan kecurigaan OD harus di-EKG untuk mengeksklusi kemungkinan kera-
cunan antidepresan golongan siklik dan periksa GDA untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi. Pertim-
bangkan beberapa diagnosa banding AMS lainnya. Lihat bab AMS (Altered Mental State).
 Ingat bahwa manajemen yang bijaksana dalam menangani OD meliputi pemberian perhatian pada
keadaan emosional/psikologis pasien, disamping juga harus menangani efek klinis dari OD.
 Gastric Lavage jangan digunakan secara rutin pada setiap kasus OD. Lihat baba Gastric decontamina-
tion untuk lebih detilnya.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


 Jangan menginduksi EMESIS pada pasien dengan OD menggunakan sirup Ipekak. Karena sirup ip-
ekak dapat memperlambat pemberian atau mengurangi efektivitas dari arang aktif, antidotum oral,
dan iritasi yang terjadi di seluruh bowel.
 Secara umum akan lebih aman untuk merujuk pasien OD ke ED dengan ambulan. Sebuah pengec-
ualian yang pasti adalah pada pasien anak-anak yang secara tidak sengaja meminum pil KB, cukup
beri KIE dan pasien dapat dipulangkan.
 Pertimbangkan kemungkinan kecelakaan yang tidak disengaja pada pasien pediatric dengan riwayat
keracunan.
 Perhatikan ABC pada pasien OD sebelum dirujuk ke ED.

Riwayat/Anamnesa
 Pasti OD atau OD yang masih belum jelas?
 Apa, kapan, seberapa banyak, bagaimana, dimana, kenapa? Gejala akibat paparan?
 Apa ada resiko bunuh diri? Jika ada, konsul bagian psikiatri.
 Riwayat psikiatri dan penyakit dahulu (termasuk riwayat pengobatan).
 Apa ada percobaan bunuh diri sebelumnya?

Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Lihat tabel 1 untuk lebih detilnya
Bau
 Bau yang jelas : bensin/bahan pemutih/insektisida
 Bau lain dapat dilihat pada tabel 2

Tabel 2 : Bau dari Zat Racun


Bau Kemungkinan Racun
Buah-buahan Etanol
Kapur barus Kamper/naftalene
Buah Almond Sianida
Pelitur Sianida
Stove gas Karbonmonoksida
Telur busuk Hidrogen sulfide
Bawang putih Arsenik/parathion
Wintergreen metilsalisilat
Catatan : Karbon monoksida tidak berbau. Stove gas berbau karena adanya zat berbau busuk yang dikenal
senagai merkaptan.
62
Tabel 1 : Diagnosa Banding Beberapa Tanda Vital Akibat Over Dosis Obat

Temperatur Denyut Nadi/ritme Tekanan Darah Respiratory


HIPOTERMI (“COOLS”) BRADIKARDI (“Paced”) HIPOTENSI (“CRASH”) HIPOVENTILASI
C Carbon monoxide P Propanolol (beta blockers) C Clonidine (atau antihipertensi lain) Opioids
O Opioid A Anticholinesterase drugs R Reserpin
O Oral Hypoglycaemics, insulin C Clonidine, Calsium channel A Antidepresan
L Liquor E Etanol/alkohol S Sedatif hipnotik
S Sedative hypnotics D DigoKSin H Heroin (opiates)
HIPERTERMI (“NASA”) TAKIKARDI (“FAST’) HIPERTENSI (“CT SCAN”) HIPERVENTILASI
N Neuroleptic malignant syn- F Free base (cocaine) C Cocain Salisilat
drome, nicotine A AntiKolinergik, antihistamin, amfetamin T Teofilin CNS stimulant
A Antihistamin S Simpatomimetik (kokain, PCP) S Simpatomimetik Sianida
S Salisilat, simpatomimetik T Teofilin C Caffein
A Antikolinergik, antidepressan A Antikolinergik, amfetamin
N Nikotin
DISRITMIA
Digoksin
Siklik antidepressant
Simpatomimetik
Fenotiazine
Khloral hidrat
Antikonvulsan
63

Pemeriksaan Neurologik
 Tingkat Kesadaran : Lihat beberapa jenis obat dan racun yang dapat menyebabkan koma atau stupor
CNS Depressan Umum Hipoksia selular
Antikolinergik Karbonmonoksida
Antihistamin Sianida
Barbiturat HIdrogen sulfida
Antidepresan gol.siklik Metamoglobinemia
Etanol dan alcohol lain
Fenotiazin
Obat sedative-hipnotik
Zat Simpatolitik Mekanisme lain atau yang tidak diketahui
Klonidin Bromida
Metildopa Hypoglicaemic agents
Opiat Litium
Phencyclidine
Salisilate
 Pupil : obat–obat dan racun yang berefek pada pupil :
MIOSIS (‘COPS’) MIDRIASIS (‘AAAS’)
C Cholinergics, klonidin A Antihistamin
O Opiat, organofosfat A Antidepresan
P Phenotiazines, pilocarpin, pontin bleed A Antikolinergik, atropin
S Sedatif-hipnotik S Simpatomimetik (kokain, amfetamin)

 Fits/kejang disebabkan oleh zat dibawah ini (‘OTIS CAMPBELL’)


O Organofosfat C Camphor, cocaine
T Cylic antidepressant A Amfetamin
I Insulin, isoniazide M Metilxantin
S Sympathomimetics P PCP (Phencyclidine)
B Beta blocker
E Ethanol
L Lithium
L Lead
 Tanda Fokal : lihat penyebab yang lain, misalnya trauma

Kulit
 Diaforesis (‘SOAP”) dan Hipoglikemi
S Simpathomimetics
O Organofosfat
A ASA (Salisilat)
P PCP dan hipoglikemi
 Kulit Kering : Antikolinergik
 Blistering/Melepuh
1. Karbonmonoksida
2. Barbiturat
3. Poison ivy
4. Sulphur mustard
5. lewisite

 Kulit menjadi Berwarna


Merah : Antikolinergik
Sianida
Karbonmonoksida
Biru : Metamoglobinemia
 Terdapat bekas tusuk jarum : opioid

Toxidromes
 Opioid
1. Koma
2. Depresi respiratori
3. Pinpoint pupil
64

4. Hipotensi
5. Bradikardi
 Kolinergik (‘SLUDGE”) misalnya organofosfat/karbamat
S Salivasi
L Lakrimasi
U Urinasi (BAK)
D Defekasi
G Gastric emptying (pengosongan lambung)
E Emesis
1. ‘Drowning in their own secretions’ (tenggelam dalam sekret mereka sendiri)
a. Bronchorrhoe
b. Spasme bronkus
c. Edema pulmonal
2. AMS
3. Kelemahan otot dan paralise
4. Bau bawang putih
 Antikolinergik; misal antihistamin, siklik antidepressant, homatropin, skopolamin
1. Hipertermi
2. Vasodilatasi kutan
3. Penurunan salivasi
4. Sikloplegia dan midriasis
5. Delirium dan halusinasi
6. Tanda-tanda lainnya
a. Takikardi
b. Retensi urin
c. Penurunan motilitas GIT/ hilangnya bising usus
 Salisilat
1. Demam
2. Takipneu
3. Vomiting
4. Letargi (jarang terjadi koma)
5. Tinnitus
 Simpatomimetik misal : kokain, amfetamin
1. Hipertensi
2. Takikardi
3. Hiperpireksi
4. Midriasis
5. Ansietas atau delirium
 Sedatif-hipnotik misal : barbiturate, benzodiazepine
1. Perubahan pupil yang tidak dapat diprediksi
2. Kebimgungan atau koma
3. Depresi nafas
4. Hipotermi
5. Vesikel atau bulae
 Ekstrapiramidal : Gambaran parkinsonian (‘TROD”)
1. Tremor
2. Rigiditas
3. Opistotonus, krisis okulogirik
4. Disfonia, disfagi
Kategori obat ini termasuk ‘zines’
1. Klorpromazin (Largactil/Thorazine)
2. Proklorperazin (Stemetil/Compazine)
3. Haloperidol (Haldol)
4. Metoklopramide (Maxolon/Reglan)
 Hemoglobinopati
1. Karboksihemoglobinemia
a. Sakit kepala
b. Nausea, vomiting, gejala ‘flu like’ illness
c. Sinkope, takipnoea, takikardi
d. Koma, konvulsi
65

e. Kollaps kardiovaskular, gagal nafas


2. Metamoglobinemia
a. Manifestasi klinis yangmenonjol adalah sianosis (‘chocolate blood’)
b. Asimtomatik (level metamoglobin <30%)
c. Fatigue, kelemahan, pusing, sakit kepala (level metamoglobin 30-50%)
d. Letargi,stupor, depresi nafas (level metamoglobin >55%)

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
 FBC : peningkatan TWC = infeksi/zat besi/teofilin/hidrokarbon
 Elektrolit Serum
1. Anion Gap = [Na+] - [HCO3-]- [Cl-]
2. Anion gap normal = 8 sampai 16 mEq/l
 Asidosis metabolic/peningkatan anion gap
C Carbonmonoxide, sianida M Metanol, metamoglobin
A Alkoholic ketoacidosis U Uremia
T Toluene D Diabetik ketoasidosis
P Paraldehide
I INH/Besi
L Laktic asidosis
E Etilen glikol
S Salisilat, solvent/pelarut
 Serum Urea dan kreatinin : untuk mengidentifikasi adanya disfungsi ginjal
 Pemeriksaan toksikologi terhadap kadar obat, bermanfaat pada :
1. Paracetamol
2. Salisilat
3. Kolinesterase
4. Besi
5. Litium
6. Teofilin
7. Karbonmonoksida
Foto X Ray
 Dada
1. Agen yang toksik terhadap pulmo, contoh hidrokarbon/gas toksik/racun/paraquat
2. edema pulmonal non kardiak, contoh : opiate/fenobarbiton/salisilat/karbonmonoksida
 Abdominal : toksin radioopaque pada foto x ray (‘CHIPES”)
C Chloral hydrate
H Heavy metal /logam berat
I Iron (besi)
P Phenothiazine
E Enteric-coated preps (salisilat)
S Sustained release products (teofilin)
EKG
 Siklik antidepresan mempengaruhi system konduksi kardiak, misal PR yang memanjang dan QRS in-
terval yang memanjang

Manajemen
Pasien dengan AMS atau instabilitas hemodinamik harus ditangani pada area critical care. Walaupun banyak
kasus OD yang dapat ditangani pada area intermediate care.

Kasus Pada Area Critical Care


 Peralatan manajemen airway harus selalu dalam keadaan tersedia.
Catatan : pasien dengan Oksigenasi
Yang adekuat namun memiliki gangguan gag reflex dan memerlukan gastric lavage akan membutuhkan in-
tubasi profilaksis orotracheal.
 Obat resusitasi harus selalu tersedia
 Berikan suplemen O2 untuk maintenance SPO2paling tidak 95%)
 Monitoring EKG, tanda-tanda vital, tiap 5- 15 menit, pulse oksimetri
 Pasang jalur iv perifer
 Labs : lihat bab Diagnostic aids laboratory
66

 Pasang kateter (tergantung kasus)


 Kontrol kejang dan diritmia; penatalaksanaan standart dapat dilakukan kecuali pada keracunan anti-
depresan gol. Siklik. Dimana komplikasi kardiak dan CNS dapat dicegah dengah alkalinisasi darah
sampai pH 7,5. hal ini bisa dicapai dengan hiperventilasi atau pemberian sodium bikarbonat iv, atau
keduanya.

“Cairan yang digunakan Pada keadaan Koma”


 Dekstrose 50% : berikan hanya bila hipoglikemi sudah jelas terjadi karena sebenarnya ia dapat
mengganggu penyembuhan gangguan neurologik.
 Nalokson (Narcan):
Mekanisme kerja : efek berkebalikan dari opioid sperti depresi nafas, sedasi dan hipotensi.
Efek Klinis : Onset terjadi dalam 2 menit.
Dosis : Tidak bergantung pada usia dan ukuran tubuh (kecuali neonatus). Dosis dewasa dan anak-anak
2mg (dapat diulang sampai 10-20mg).
Jalur pemberian : iv/endoytracheal/intralingual
Indikasi : aman digunakan namun hanya menambah sedikit nilai diagnostic dimana sensitivitas
parameter klinik sebagai prediktor respon terhadap nalokson adalah sebesar 92%.
Perhatian : potensiasi tercetusnya dari gejala withdrawal dapat terjadi pada pasien yang telah kecanduan
opioid. T1/2 nalokson kadang lebih rendah daripada beberapa opioid lain. Sehingga, ada kebutuhan
untuk memonitoring secara terus menerus disertai pemberian nalokson ulang.
 Perkiraan overdosis opioid : lihat tabel 3
 Perkiraan respon terhadap nalokson : lihat tabel 4.

Tabel 3: Perkiraan Overdosis Opioid


Parameter klinik Sensitivitas (%) Spesivisitas (%)
Laju nafas < 12x/menit 79 94
Pupil Pinpoints 75 85
Bukti yang circumstantial 67 95
Apapun yang tersebut diatas 92 76

Tabel 4 : Perkiraan Respon Terhadap Nalokson


Parameter klinik N Sensitivitas (%)
Laju Nafas < 12x/menit 20 80
Pupil Pinpoint 22 88
Bukti yang circumstantial 15 60
Apapun yang tersebut diatas 24 96

 Flumazenil (Anexate)
Mekanisme Kerja : merupakan suatu Benzodiazepin (BZD) yang secara structural terkait dengan mid-
azolam. Flumazenil berkompetisi dengan benzodiazepine lain pada reseptor omega I pada CNS.
Efek Klinis : Onset 1-2 menit dengan efek puncak dalam 3-5 menit.
Durasi efek : 1-4 jam
Dosis kecil berkebalikan terhadap hypnosis, yaitu sedasi BZD
Dosis Besar berkebalikan terhadap efek antikonvulsan BZD.
Indikasi : Overdosis BZD dalam kondisi sedasi yang masih sadar akan meningkatkan status pernafasan.
Peningkatan tingkat kesadaran pada kasus OD benzodiazepine untuk mencegah prosedur
intubasi atau invasive.
Dosis : inisial 0,2 mg iv; tunggu 30 detik, kemudian diulangi pada dosis 0,3mg iv; jika diperlukan,
dapat diberikan 0,5 mg/menit lagi sampai dosis total 3-5 mg.
Efek Samping : BZD withdrawal
Kejang, terutama pada pasien ketergantungan siklik antidepresan atau BZD.
Flush
Nausea dan/ atau vomiting
Ansietas, palpitasi, ketakutan
Kontraindikasi : Psien yang mengkonsumsi BZD dalam jangka panjang untuk mengkontrol kejang.
Penggunaan BZD untuk antisipasi, misal sedasi, relaksasi otot, antikonvulsi.
Toksisitas siklik antidepresan yang terjadi bersamaan.
Trauma kepala yang berat
 Tiamin : umumnya aman; diindikasikan pada semua pasien alkoholik atau pada lansia, malnutrisi.
Dosis : 100 mg iv bolus selama 1-2 menit.
67

Dekontaminasi
 Tergantung pada agent yang terlibat, perlengkapan proteksi yang tepat harus digunakan. Pada kadar
minimal, petugas harus mematuhi seluruh peraturan dasar yang berlaku.
 Prosedur dekontaminasi:
1. Pindah dari area yang terkontaminasi
2. Buka seluruh pakaian yang terkontaminasi
3. sikat bersih seluruh kulit dari kontaminasi bubuk untuk menghindari reaksi eksotermik ketika
kontak dengan air yang digunakan untuk dekontaminasi.
4. Cuci seluruh area dengan air dan/atau larutan sabun (dan shampoo rambut). Gunakan scrub
yang halus jika ada.
5. Area yang harus diperhatikan adalah kepala, aksila, ‘groin’ dan punggung.
6. Sikat bagian bawah kuku
7. Irigasi mata jika terkontaminasi
8. semua luka yang terbuka harus didekontaminasi dengan air.
 Tujuan akhir dekontaminasi
1. Sampai terjadi pengurangan rasa nyeri, jika paparan terhadap kulit terjadi secara primer
2. Jika terjadi kontaminasi pada mata, sampai gejala nyeri menghilang dan/atau ada kemungkinan
perubahan warna pH kertas Litmus sesuai dengan sifat agent yang terlibat.
3. Dekontaminasi penuh harus dilakukan 5-8 menit.

Dekontaminasi Lambung
 Dilusi : air/susu
 Gastric lavage harus tidak dilakukan sebagi penatalaksanaan rutin pada pasien keracunan. Pada
penelitian eksperimental, jumlah marker yang dikeluarkan melalui gastric lavage sangatlah bervari-
asi dan akan menghilang seiring waktu. Tidak ada bukti yang pasti bahwa penggunaannya akan
memperbaiki outcome pasien serta dapat menyebabkan morbiditas yang cukup bermakna.
Indikasi : Tidak dipertimbangkan kecuali pasien telah menelan sejumlah zat racun yang berbahaya
bagi jiwa dalam waktu 1 jam sejak ditelan. Walaupun demikian, manfaat klinis belum
dapat dipastikan melalui penelitian yang ada.

Kontra indikasi Penelanan zat korosif


Penelanan zat distilasi petroleum
Keadaan yang menuju kejang
Penelanan zat Non toxic
Penelanan bahan yang tajam
Diatesis hemorhagik signifikan
Prosedur : Gunakan Tube yang paling besar
Untuk memproteksi jalan nafas
Tempatkan pasien pada posisi left lateral dan posisi mild tredelenburg
Periksa penempatan tube dengan benar
Aspirasi isi lambung dan simpang specimen untuk dikirim/diperiksa
Lakukan cuci lambung dengan cairan
Gerakkan lambung
Ulangi hingga cairan yang dicuci telah jernih

 Arang aktif
1. Dosis tunggal : jangan diberikan secara tunggal pada penatalaksanaan keracunan. Berdasarka
penelitian yang menggunakan sukarelawan, efektivitas arang karbon aktif akan menurun seir-
ing waktu; manfaat terbaik ditemukan dalam waktu 1 jam setelah dikonsumsi/ditelan.
2. Indikasi : dapat dipertimbangkan jika pasien telah menelan sejumlah zat toksik (yang dapat
diserap oleh arang aktif) dalam waktu 1 jam; data yang ada belum cukup untuk menentukan
keefektivitasan penggunaaan arang aktif bila digunakan lebih dari 1 jam sejak penelanan ra-
cun. Juga tidak ada bukti yang menyatakan adanya kemajuan output klinik setelah penggunaan
arang aktif.
3. Dosis multiple : pemberian ulang (>2 dosis) bertujuan untuk meningkatkan efek eliminasi
obat. Cara kerjanya:
A. Berikatan dengan obat yang berdifusi dari sirkulasi ke dalam lumen usus. Setelah
absorbsi, obat akan masuk kembali ke dalam usus dengan difusi pasif yang dihasilkan
karena konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan di darah. Laju difusi pasif
68

bergantung pada gradient konsentrasi dan aliran darah. Gradient konsentrasi ini
dipertahankan dan obat akan terus masuk ke lumen usus dimana kemudian ia akan
diabsorbsi oleh arang aktif. Proses ini dikenal sebagai “Gastrointestinal Dialysis”.
B. Mengganggu sirkulasi obat pada siklus enterohepatik dan enterogastrik.
4. Indikasi : Dosis multiple arang aktif harus dipertiombangkan hanya jika pasien menelan
sejumlah obat yang mengancam jiwa, misalnya carbamazepin, dapsone, fenobarbitone, quinine
atau teofilin.
5. Obat-obatan yang dapat diserap oleh Arang aktif:

Asetaminofen Digoksin Meprobamate Fenilpropanolamin


Amfetamin Ethchlorvynol Mercuric Chloride Fenitoin
Arsenik Glutethamide Metilsalisilat Propoksifen
Aspirin Imipramide Morfin Quinidin
Chlorpheniramine Iodine Nortryptilin Quinine
Klorpromazine Ipekak Paraquat Salisilat
Kokain Isoniazide Fenobarbitone Secobarbitone

6. Substansi yang tidak diabsorbsi oleh arang aktif


a. Ion sederhana : besi, litium, sianida
b. Asam dan basa kuat
c. Alkohol sederhana : methanol, etanol
 Katartik : pemebrian katartik secara tunggal tidak memiliki peran pada pasien yang keracunan., ser-
ta tidak direkomendasikan sebagai metode untuk dekontaminasi usus. Berdasarkan data yang terse-
dia, penggunaaan rutin katartik sebagai kombinasi dengan arang aktif tidak dibenarkan. Jika
menggunakan katartik maka harus dibatasi sebagai dosis tunggal untuk meminimalisir efek
samping yang ada.
Mekanisme kerja : penurunan waktu transit gastrointestinal (kontroversi)
Menetralisir efek konstipasi dari arang aktif
Juga berguna untuk irigasi bowel.
Kontraindikasi Diare yang sebelumnya telah terjadi
Obstruksi bowel/ileus
Keadaan deplesi volume cairan tubuh
Bayi
Gagal ginjal sebagai kontraindikasi penggunaan magnesium yang mengan-
dung katartik
Trauma abdomen

Tindakan untuk meningkatkan usaha Eliminasi


 Forced alkaline diuresis
Alkalinisasi : alkalinisasi urin untuk meningkatkan eliminasi asam lemah memiliki peran yang
terbatas pada salisilat, fenobarbitone, dan herbisida 2,4 (asam diklorofenoksiacetik [2,4-D]).
Regimen Siklus 1,5 L cairan/3jam:
500 ml Dekstrose 5% + NaHCO3 8,4% pada 1-2ml/kgBB
500 ml Dekstrose 5% + 30ml potassium chloride 7,45%
500 ml NS
IV furosemide 20 mg pada akhir dari siklus
Monitor pH serum dan elektrolit : pH urin harus dipertahnakan pada pH ≤ 8.
Perhatian : Usia lansia
Pasien dengan gangguan jantung
Pasien dengan penyakit ginjal
Penelanan zat yang bersifat cardiotoksik dan nefrotoksik
 Hemoperfusi : indikasinya adalah pada keracunan yang berat, yaitu teofilin dan barbiturate
 Hemodialisis, indikasinya pada :
1. Etilenglikol
2. Metanol
3. Lithium (dengan perubahan CNS yang signifikan)
4. Salisilat (dengan kejang, AMS, asidosis metabolic yang hebat serta level serum > 100mg/dl).
 Antidotum spesifik : lihat tabel 5 untuk detilnya
69

 Penempatan : MRS harus ke bagian General Medicine untuk mengantisipasi transfer ke bagian
psikiatri. OD yang tidak mengancam jiwa tanpa adanya kecurigaan percobaan bunuh diri yang kuat
dapat di KRS-kan setelah konsul pada bagian psikiatri.

Tabel 5 : Antidotum Spesifik terhadap Toksin


Toksin Antidotum Dosis
Asetaminofen, N-acetylcysteine (parvolex) tiap 150mg/kg iv dalam 200ml D5W x 15 menit,
parasetamol 1 ml mengandung 200mg Parvo- kemudian iv 50mg/kg dalam 500ml D5W x 4 jam,
lex) kemudian iv 100mg/kg dalam 1000ml D5W x 16
jam
Arsenik, merkuri, BAL (Dimercaprol) 5mg/kgBB IM
lead
Atropin Physostigmine 0,5-2mg IV
Benzodiazepin Flumazenil (anexate) Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
digunakan Pada keadaan Koma”
Karbonmonoksida Oksigen O2 100% (hiperbarik untuk paparan moderate-
severe dan paparan yang terjadi pada wanita hamil)
Lihat Bab Poisoning, Carbomonoxide
Inhalasi yang berisi 1-2 pearls
Sianida Amyl nitrite pearls Dewasa : IV 300 mg (10 ml) selama 2-5 menit)
Sodium nitrit (larutan 3%) Anak-anak : IV 0,2-0,33ml/kg (6-10mg)
Dewasa : 50 ml IV (12,5g) selama 10 menit; dapat
diulang separuh dosis x 1 prn; anak-anak : 1,65
Sodium tiosulfat (larutan 25%) ml/kg IV selama 10 menit
Loading dose : 800mg/kg
Etanol (10%) dicampur dengan Maintenance : 1-1,5ml/kg/jam
Ethylen glycol, D5W 1,5mg/kg/jam IV
methanol Desferoksamin 1000-1500mg/m2/hari IV dengan continous infus
Besi EDTA : kalsium disodium 1-2mg/kg IV x 5 menit
Lead edetate 2-4mg IV tiap 5-10 menit prn (dewasa)
Methylen blue (larutan 1%) 0,5 mg/kg IV tiap 5 menit prn (anak-anak)
Nitrit Atropin 25-50mg/kg IV (sampai 1 g)
Organofosfat Lihat bagian “Coma cocktail/Cairan yang
Pralidoxime (2-PAM) digunakan Pada keadaan Koma”
Nalokson 2mg IV/IM
Opioids 50mg IV/IM/PO
Benxtropin (cogentin) 5 g IV (dapat diulang jika kejang terus ada)
Fenotiazin Difenhidramin Level digoksin yang tidak diketahui: 5-10 vial IV
Piridoksin (40µg Fab/vial): dapat diulang.
Isoniazid (INH) Digitalis fab fragment (Digibind) Kadar digoksin diketahui : # vial digibind = (serum
Digoksin, digitoksin, digoksin) x 5,6L/kg x wt in kg
oleander 1000
0,6

Annex

Penyebab Umum keracunan di Singapura


Paracetamol
Benzodiazepin
Bahan pemutih
Detergen rumahan
Antidepressan
Salisilat
Organofosfat
70

26. MATA MERAH DAN NYERI


Peter Maning

PENTING:
 Tugas utama dari dokter EM adalah melakukan pemeriksaan yang tepat dan mengenali kelainan
yang potensial mengancam kehidupan
 Selalu melakukan kemampuan melihat pada penderita dengan problem mata. Ini adalah cara seder-
hana untuk melihat apakah fungsi dari organ penting ini terganggu.
 Hati-hati kombinasi dari mata merah, muntah, nyeri kepala bagian frontal dan gangguan
penglihatan: ini khas pada glaukoma akut dan membutuhkan perhatian segera sebagai kasus yang
potensial mengancam penglihatan
 Infeksi dan trauma tembus mata jangan di tutup.(photophobia dapat dikurangi dengan penggunaan
kacamata matahari atau pelindung mata)
 Tetes mata atau salep yang mengandung steroid jangan diberikan tanpa konsultasi

 Tip khusus untuk dokter umum


Kirim segera pada bagian Mata jika penderita menunjukkan satu dari hal berikut:
 Penurunan ketajaman penglihatan
 Nyeri yang dalam lebih dari superfisial
 Nyeri yang tidak hilang dengan anastesi topikal
 Udem kornea
 Merah atau lubang pada anterior chamber
 Merah pada silia
 Nyeri pada mata kontralateral pada penyinaran pada mata yang tidak terkena
 Benda asing pada kornea atau konjungtiva yang tidak dapat dihilangkan setelah dicoba sekali
di kantor
 Pada kasus luka bakar karena korosif, pemberian irigasi dengan salin, segera bawa penderita
ke rumah sakit. Irigasi sampai pH netral atau asam ringan ditunjukkan dengan menggunakan
kertas lakmus biru dan merah

PENANGANAN:
Penderita di triage sebagai kasus intermediate atau kasus kritis jika ada gangguan penglihatan,
sperti glaukoma (mata merah, muntah, neri kepala frontal dan kehilangan penglihatan). Mereka
harus ditangani dalam ruangan yang memiliki alat pemeriksaan mata yang baik di ruang gawat
darurat

Pemeriksaan (Spesifik)
 Periksa ketajaman penglihatan dengan atau tanpa lensa koreksi
1. Anestesi topikal dapat mengatasi reflek blepharospasme dan memfasilitasi pemeriksaan.
2. Pelindung pinhole akan membetulkan kesalahan refraksi untuk membantu melihat jika ini
yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan
 Inspeksi: meliputi point penting berikut yang menunjukkan kelainan patologi berarti:
1. Proptosis, dimana dapat menunjukkan kelainan retroorbital seperti abses
2. Reflex cahaya pada kornea irregular. Dimana menunjukkan udem kornea (glaucoma)
atau permukaan kornea yang menurun (keratitis atau abrasi kornea)
3. Siliar yang merah, dimana menunjukkan kelainana ruang anterior (iritis, glaukoma,
keratitis)
4. Eversi dari kelopak untuk melihat adanya benda asing
5. Opaksitas kornea, dimana terlihat dengan keratitis atau ulkus kornea
 Lihat reaksi dari pupil dalam respon cahaya dan akomodasi:
1. nyeri pada mata kontralateral pada penyinaran langsung pada mata adalah tanda
dini dari iritis
71

2. pupil yang ireguler terlihat dengan sinekia pada iritis


3. pupil yang fix di tengah sering ditemukan pada glaukoma atau iritis
 Opthalmoscopy: lihat kekabutan dari humor vitreous dan bercak putih kekuningan pada
koroid dan retina, menunjukkan korioretinitis
 Lihat lapangan penglihatan dan pergerakan extraokuli

PEMERIKSAAN TAMBAHAN
 Pemeriksaan Slit lamp,secara optimal, digunakan pada semua penderita. Periksa untuk merah
dan sel, presipitasi keratitis posterior, dan /atau hipema pada ruang anterior, menunjukkan
proses peradangan
 Tonometri dilakukan setelah anestesi topikal untuk mengukur tekanan intraokular. Tekanana
abnormal > 20 mmHg. Hindari prosedur ini jika mata infeksi atau jika ada kemungkinan ruptur
global.
1. Pewarnaan fluoresein: digunakan untuk menjelaskan kelainan kornea. Pewarnaan in akan
diambil lapisan hidropobik terdalam kornea ketika lapisan hidropobik superfisial tidak ada,
seperti abrasi atau infeksi.
2. Imaging: foto polos jaringan ikat globus dapat menunjukkan benda asing yang radioopak
3. Anestesi topikal: seringkali berguna untuk membedakan keratitis dari iritis
a. Nyeri dari konjungtivitis, benda sing superfisial, atau abrasi kornea dan keratitis, hilang
dengan anestesi topikal
b. Nyeri dari peradangan yang lebih dalam, contoh iritis tidak menghilang dengan
pengobatan ini
4. Hematropine : gunakan agen ini, obat midriatikum/ sikloplegik, dapat nyeri mata yang dalam
pada peradangan yang dalam dari struktur daerah anterior, contoh iritis dengan mengurangi
spasme otot silia dan iris.

Disposisi
 Kirim untuk segera konsultasi Mata jika penderita menunjukkan kelainan yang
tertulis pada Tip khusus untuk dokter umum
 Kebanyakan penderita dapat dipulangkan dengan pemeriksaan lajutan di bagian mata
dalam 24-48 jam

DOKUMENTASI:
 Ketajaman penglihatan semua lapangan
 Anamnesa singkat dari penyakit yang sekarang, pengobatan, alergi,pengobatan sebelumnya
dan riwayat pembedahan
 Tuliskan hasil pemeriksaan secara lengkap, walaupun jika didapatkan hasil pemeriksaan
yang normal, meliputi test tambahan
 Tuliskan advis telepon yang diberikan oleh staf atau bagian mata
72

27. Seizure ( Kejang )

Caveats
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui penyebab kejang yang sering terjadi
 Riwayat yang didapat dari saksi sangat penting untuk diagnosa
 Tanya riwayat medikasi bila pasien telah diketahui memiliki epilepsy

Tips khusus bagi Dokter Umum


 Selalu pertimbangkan kemungkinan meningitis jika ada pasien kejang dengan disertai
demam.
 Rujuk semua pasien dengan kejang pada ED
 Lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi hipoglikemi sebelum merujuk pasien ke ED

Manajemen

Isolated Seizure pada sebuah keadaan Epileptik


 Ambil darah untuk mengetahui kadar antikonvulsan
1. Jika rendah, berikan obat dengan dosis dua kali lipat
2. Jika pasien ‘non-compliance, maka buat keadaan menjadi ‘compliance’.
3. Jika keadaan pasien telah compliance terhadap obat, maka tingkatkan dosis jika dosis
maksimum belum tercapai.
4. Jika dosis maksimum telah tercapai, maka konsul neurologist untuk pemeberian antikonvulsan
yang lain.
 Penempatan : Observasi di ED selama 2-3 jam; KRS bila sudah tidak ada kejang. Rujuk ke klinik neu-
rology.

Tabel 1 : Penyebab Umum Kejang

Epilepsi idiopatik
Epilepsi Jaringan parut/scar (sekunder akibat stroke sebelumnya atau trauma kepala)
Meningitis atau ensefalitis
Tumor otak (primer atau sekunder)
Ketidakseimbangan elektrolit seperti hipoglikemi, hipokalemi, hipomagnesemia
Obat-obatan atau alcohol
Convulsive syncope karena disritmia jantung (ventricular fibrilasi/takikardi, torsades de pointes)
Kejang demam (pada anak kecil usia 6 bulan sampai 5 tahun)

Kejang pertama pada pasien yang tidak diketahui memiliki riwayat epilepsy
Catatan : kejang dengan tidak adanya pulsasi utama harus diasumsikan disebabkan karena ventricular fi-
brilasi sampai terbukti bukan.
 Dengan demam
1. Periksa GDA
2. Lab: FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. penempatan :
a. meningitis
b. ensefalitis
c. abses serebral
d. Subarachnoid hemorrhage
 Tanpa demam : eksklusi penyebab yang mungkin:
1. Cek GDA
2. Lab : urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium
3. EKG pada pasien tua untuk mencari tanda iskemik atau disritmia
4. Pertimbangkan foto polos kepala jika terdapat riwayat trauma
73

5. Penempatan :
a. Observasi pada ED selama 2-3 jam. Jika pasien baik, dan tidak ada abnormalitas pada
hasil laboratorium, KRS-kan pasien untuk control ke poli neurology.
b. Tidak perlu untuk memulai pemberian antiepilepsi
c. Peringatkan pasien agar tidak mengemudi, mengendarai sepeda, minum alcohol, berenang
atau kegiatan memanjat.
d. MRS jika (1) penyebab ditemukan, contih : factor resiko positif untuk abnormalitas intra
cranial seperti trauma, alkoholisme, malignansi, shunts, HIV positif, CVA lama; (2) ada
abnormalitas neurologik; (3) pasien tidak bisa melakukan control untuk follow up; atau (4)
pasien atau keluarga pasien memaksa untuk dirawat.

Status epileptikus
Didefinisikan sebagai kejang ≥ 2 kali tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan atau kejang yang terus-
menerus ≥ 30 menit.
 Terapi suportif
1. Jalan nafas : tempatkan pasien pada posisi recovery
2. Buka dan pertahankan jalan nafas
3. lakukan ‘suction’ pada setiap vomit yang terjadi dengan kateter Yankauer
Catatan : jika pasien tetap kejang, jangan mencoba memasukkan ‘oral airway’, membersihkan
sekresi oral atau mengintubasi pasien.
4. Berikan oksigen aliran tinggi melalui reservoir mask
5. Persiapkan peralatan intubasi kalau saja anda tidak mampu untuk mempertahankan jalan nafas dan
oksigenasi yang adekuat.
6. Monitoring : tanda vital, EKG, dan pulse oksimetri
7. Akses IV
8. Lab :
a. Cek GDA
b. FBC/urea/elektrolit/kreatinin, ion kalsium, magnesium, fosfat, BGA
c. Pertimbangkan untuk periksa LFT, antikonvulsan individual, toksikologi serum termasuk
etanol.
d. CXR dan urinalisis utnuk mengeksklusi penyebab
e. Kateter urin
 Terapi obat
1. Benzodiazepin
Dosis : Untuk dewasa, IV valium 5 mg bolus pelan tidak melebihi 2 mg per menit; dapat diulang
tiap 5 menit (sampai total 20mg). untuk bayi dan anak, IV valium 0,02mg/kg pelan, tidak melebihi
2mg/menit; dapat diulang tiap 5 menit (sampai total 10 mg), valium per rectal 5mg suppositoria x 1
PR.
2. Fenitoin
Dosis : infus fenitoin iv 18mg/kgBB pelan-pelan, tidak melebihi 50mg/menit. Namun
Pemberiannya melalui infus tidak boleh melebihi 60 menit karena presipitasi cenderung terjadi
setelah waktu tersebut. Iv fenitoin diberikan tanpa dilusi/pengenceran (membutuhkan monitoring
EKG dan tekanan darah).
3. Barbiturat jangka panjang : fenobarbitone
Dosis : IV fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat dengan kecepatan 100mg/menit, diikuti dengan ji-
ka diperlukan, iv fenobarbitone 10 mg/kg bolus lambat pada kecepatan 50 mg/menit.
4. Pertimbangkan intubasi rapid sequence : lihat bab Airway Management/rapid sequence Intuba-
tion
 Penempatan : MRS di bagian Neurologi HD/MICU setelah konsultasi.
74

28. Syok/Keadaan Hipoperfusi

Definisi
 Syok merupakan kondisi patofisiologis dimana perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat me-
nyebabkan keadaan hipoperfusi dan hipoksia seluler yang kemudian diiukuti dengan keadaan sequele
lainnya. Outcome pada semua pasien syok tidak tergantung dari penyebabnya (lihat tabel 1).
 Biasanya, tekanan darah sistolik kurang dari normal menurut usia dengan tanda klasik hipoperfusi sep-
erti pucat, kulit yang dingin, takikardia, diaforesis, atau syok dengan AMS. Pengecualian yaitu pada
Syok septic, dimana pada keadaan dini, terdapat sirkulasi hiperdinamik dengan kulit yang hangat dan
pulsasi yang bounding. Lihat tabel 2 untuk mengenali berbagai tipe syok.

Caveats
 Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling sering terjadi di ED, dan semua tahap dari syok
tersebut harus ditangani seperti saat awal sampai etiologinya dapat disingkirkan.
 Pengenalan yang tepat serta inisiasi terapi sangatlah penting untuk mengurangi mortalitas akibat syok.
Evaluasi penyebab syok dilakukan bersamaan dengan penatalaksanaannya.

Tabel 1 : Tipe Syok


Penyebab
Hipovolemik Perdarahan akibat trauma multiple
Perdarahan gastrointestinal
Luka bakar
Ruptur aneurisme aorta
Ruptur kehamilan ektopik
Kehilangan cairan akibat GE akut hebat atau pankreatitis akut
Kardiogenik Infark Miokard akut
Disritmia
Obstruktif Tension pneumothorax
Tamponade jantung
Emboli paru
Septik
Neurogenik Trauma spinal
Anafilaksis

Tabel 2 : Bagaimana mengenali berbagai macam Syok


Informasi diag- Hipovolemik Kardiogenik Neurogenik Septik (keadaan
nostik hiperdinamik)
Tanda dan Pucat; kulit lembab, Kulit lembab, dingin, Kulit hangat, Heart Rigours, demam,
gejala dingin, takikardi, taki- dan bradikardi, rate normal/lambat, kulit hangat, tak-
oliguri, hipotensi, disritmia, oliguri, hipo- outpun urin rendah, ikardi, oliguri, hipo-
peningkatan tahanan tensi, peningkatan taha- hipotensi, penurunan tensi, penurunan
peripheral nan periferal tahanan periferal tahanan periferal
Normal
Enzim kardiak, EKG
Hitung Netrofil,
Data Hematokrit rendah pewarnaan Gram,
laboratorium (late) kultur

 Syok merupakan suatu keadaan klinis. Pasien dengan tekanan darah normal mungkin masih berada dalam
keadaan syok. Hal ini terjadi pada pasien dengan riwayat hipertensi. Namun, tidak semua pasien hipotensi
mengalami syok.
 Bahkan jika indicator syok menunjukkan hasil normal, syok selular, jaringan atau organ mungkin masih
terus berlangsung. Banyak literatur yang mendiskusikan tentang pemeriksaan obyektif yang digunakan
sebagai target resusitasinya.
75

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Semua pasien syok harus dirujuk ke RS secepatnya untuk evaluasi lebih lanjut
 Hati-hati terhadap gejala yang meragukan pada pasien geriatric dan pediatric, yang mungkin mem-
iliki tanda yang tidak spesifik pada syok septic. Diperlukan kecurigaan yang tinggi dalam kasus sep-
erti ini.
Manajemen
 Semua pasien syok harus ditangani pada area critical care.
 Pasien harus dilakukan pemantauan yang terus menerus terhadap jantung, tekanan darah, pulse oksime-
tri. Periksa keberadaan ortostatik hipotensi.
 Jalan nafas harus dijaga dan pemberian oksigen 100% dengan non-rebreather mask harus dilakukan.
Pertimbangkan intubasi pada pasien yang parah dengan oksigenasi dan ventilasi yang tidak adekuat.

 Cari bukti adanya trauma tumpul atau tajam pada dada yang mengindikasikan kemungkinan tension
pneumothorax atau tamponade jantung.
1. lakukan dekompresi terhadap tension pneumothorax dengan insersi kanul 14G diatas ICS 2
pada midclavicular line.
2. Pada kecurigaan tamponade jantung, lakukan konsultasi kepada TKV secepatnya. Mulai pem-
berian 500 ml NS iv dan atau infus dopamine iv pada 5 µg/kg/menit dan persiapkan perikardi-
osentesis.

 Untuk Syok hipovolemik :


1. Pasang 2 jalur kanul intra vena yang besar (14G/16G) pada kedua fossa antecubital.
2. Lab :
a. FBC, urea/elektrolit/kreatinin
Catatan :
(1) hematokrit (hct) merupakan tes yang paling tidak reliable. Karena
hasilnya dapat normal pada tahap awal kehilangan darah yang akut.
Sebagai alternative, peningkatan hct dapat diobservasi pada psien
trauma yang juga pengguna alcohol akut, karena adanya efek diuretic
alcohol.
(2). Hitung netrofil absolute juga tidak sensitive dan tidak spesifik pada sy-
ok septic, karena dapat normal, meningkat atau menurun.
b. Troponin T dan enzim kardiak
c. Profil koagulasi dengan DIVC screen jika diperlukan dan GXM (6 unit WB/whole
blood pada kondisi kehilangan darah akut).
d. Pencocokan jenis darah secara cepat harus dapat dilakukan oleh bank darah jika trans-
fuse darah bersifat urgen.. BGA harus dilakukan jika diperlukan, terutama pada
pasien syok yang parah.
Catatan : Asidosis metabolic, peningkatan laktat dan deficit basa bermakna merupa-
kan petunnjuk buruknya prognosis. Kemampuan memperbaiki abnor-
malitas ini akan meningkatkan outcome-nya. Namun, sodium bikar-
bonat tidak rutin digunakan karena hanya berpengaruh sedikit ter-
hadap perbaikan morbiditas dan angka keselamatan.
3. berikan infus kristaloid minimal 1 liter secara cepat dalam 1 jam dan segera periksa responnya.
Selanjutnya berikan koloid atau WB. Pada psien pediatric, ‘fluid challenge’ adalah sebesar
20ml/kgBB dengan Hartmann’s solution.
4. Jalur vena sentral kadang diperlukan untuk resusitasi cairan yang berkelanjutan.

 Pemeriksaan EKG dan CXR juga harus dilakukan. Apakah terdapat nyeri dada dan hentinafas yang
mendukung adanya IMA atau emboli paru. Lihat bab myocardial infection, acute, and pulmonary em-
bolism.
76

 Tempatkan nkateter urin dan periksa urin dipstick untuk mencari infeksi saluran kemih atau lakukan tes
kehamilan jika ada kecurigaan kehamilan ektopik. Apakah terdapat nyeri abdomen pada wanita usia
subur yang tidak mendapatkan menstruasi terakhir?(catat HPHT-nya.pasang kateter wanita yang
dicurigai kuat mengalami kehamilan ektopik jika pasien mampu memproduksi specimen urin untuk
konfirmasi kehamilan. Lakukan konsul bagian Ginekologi untuk kecurigaan kehamilan ektopik. Moni-
tor output urin.
 Pada pasien dengan suspek AAA, periksa pulsasi abdominal. Konsul segera TKV.

 Apakah ada demam atau predisposisi lain untuk sepsis karena adanya efek pemasangan kateter atau pa-
da pasien immunocompromised akibat kemoterapi pasien kanker? Lihat bab Oncology Emergencies.
1. Sepsis intra abdominal karena gall bladder disease atau peritonitis akibat perforasi apendiks
dan pneumonia bukan merupakan penyebab umum dari syok septic. Pasien geriatric sama hal-
nya dengan pasien berusia muda dapat menunjukkan gejala yang non-spesifik dari syok septic.
2. Kultur darah (aerobic dan anaerobic) serta kultur urin harus dilakukan pada pasien syok septic.
3. Antibiotik broad spectrum harus diberikan setelah darah diambil untuk kultur. Lihat bab Sep-
sis/Septic shock.

 Jika dicurigai syok neurogenik akibat trauma spinal cord yang terkait dengan fraktur vertebral, kon-
sultasikan dengan bagian ortopedik. Lihat bab Spinal cord injury.
 Jika ada riwayat gigitan atau sengatan atau allergen lain yang potensial seperti obat dan makanan yang
mengindikasikan syok anafilaktik, Lihat bab Allergic reactions/anaphylaxis.

 Setelah evaluasi yang tepat serta terapi awal, terapi suportif dapat diberikan utnuk mempertahankan
tekanan darah :
1. IV dopamine 5-10 µg/kg/menit
2. IV dobutamine 5-10 µg/kg/menit terutama pada syok kardiogenik.
3. IV norepinefrin 5-20µg/menit, titrasi sampai timbul efek.

Penempatan
 Semua pasien dengan syok harus dimasukkan pada HDW atau ke ICU sesuai dengan bagian yang me-
nangani setelah melakukan konsultasi.
 Jika ada keterlibatan trauma multiple, maka team trauma harus segera di aktifkan. Lihat bab Trauma,
Multiple.

29. Stridor
77

Caveats
 Jika jalan nafas pasien paten dan terjaga, jangan mengganggu atau memanipulasi jalan nafas.
 Usahakan pasien memperoleh posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin dipangkuan ibunya.
 Jangan biarkan pasien meninggalkan ED, contoh untuk X ray.

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Jangan menstimulasi orofaring sebagai percobaan untuk membuat diagnosa definitive.
 Usahakan pasien untuk mendapatkan posisi yang nyaman, contoh pada anak yang ingin di-
pangkuan ibunya.
 Lakukan pemindahan pasien ke RS dengan ambulan daripada dengan mobil pribadi.

Manajemen
 Lihat Tabel 1 untuk membedakan Croup/ALTB dengan epiglotitis

Tabel 1 : Membedakan Croup/ALTB dari epiglotitis pada pasien pediatric


Croup/ALTB Epiglotitis
Usia 3 ½ - 5 tahun 2-7 tahun
Organisme Bisaanya Virus: parainfluensa Bakterial : H. influenzae
Onset Hari Jam
Prodomal Ya Tidak
Appearance Non-toksik Toksik
Demam +/- ++
Batuk Menggonggong Tidak ada
Suara Serak Muffled (Diam)
Drooling Tidak ada Ya
Keparahan Bervariasi Bisaanya parah
X ray Steeple sign Thumb sign

Terapi suportif
 Kasus moderat sampai parah/berat harus ditangani di area critical care. Hanya kasus ringan yang dapat
ditangani pada area intermediate acuity (tabel 2).
 Lihat tabel 3 untuk mengetahui apa dan apa yang tidak pada penanganan anak-anak dengan stridor.
 Peralatan manajemen jalan nafas,termasuk krikotirotomi harus selalu tersedia.
 Persiapkan team yang meliputi ahli anestesi dan bedah THT.
 Obat-obatan resusitasi harus tersedia.
 Berikan oksigen aliran tinggi untuk mempertahankan SpO2 >95%.
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur intravena.
 Lab : bersifat optional
1. FBC, urea/elektrolit/kreatinin preoperative
2. BGA, COHb pada inhalasi asap
3. kultur darah pada suspek epiglotitis
 X ray jaringan lunak leher dari arah lateral dan CXR jika waktu dan kondisi pasien memungkinkan.

Terapi Obat
 Pada Angioedema
1. Adrenalin : larutan 1 : 10.000 5µg/kg (0,05 ml/kg) iv atau melalui ETT. Berikan separuhnya
sebagai bolus dan separuhnya dititrasi sesuai respon klinik, atau
2. Adrenaline : larutan 1 : 1000 10 µg/kg (0,01 ml/kg) IM dalam, sampai maksimum yaitu 0,3 ml
pada anak-anak dan 0,5 ml pada dewasa.
3. Difenhidramin 2mg/kg IV pada bayi/anak-anak dan 12,5-25 mg IV pada dewasa.
78

4. Hidrokortison 5 mg/kg IV
 Pada suspek epiglotitis : ceftriaxone (Rocephin) 2 g IV bagi dewasa, atau 100 mg/kg IV pada anak-
anak.
 Pada Croup (ringan / moderat) : 5 ml NS sebagai uap nebulizer dingin tiap 15 menit.
 Pada croup (severe/parah) : Adrenalin dibuat nebulizer sebanyak 5 ml dalam larutan 1:1000 di dalam
2,5 ml air steril.
 Penempatan : Pada kasus yang moderat samapai severe, harus dimasukkan ke dalam ICU atau OT un-
tuk konsultasi. Croup yang menghilang dengan nebulizer saline dapat di KRS-kan namun follow up da-
lam 24 jam harus diatur.
 Kriteria MRS meliputi :
1. Appearance yang toksik
2. dehidrasi atau ketidakmampuan untuk menahan cairan per oral
3. Stridor yang memburuk atau retraksi pada saat istirahat.
4. Orang tua yang tidak bisa diandalkan
5. tidak ada perbaikan dengan nebulisasi adrenalin, atau memburuk dalam 2-3 jam setelah pemeberian
adrenalin.

Keadaan Tertentu yang Ditandai dengan Stridor


Epiglotitis
 Dikenal sebagai penyakit yang terjadi pada anak-anak, namun saat ini juga terjadi pada dewasa.
 Organisme penyebab yang sering : H. influenzae, S. pneumoniae, dan Streptococcus beta hemoliticus.
 Manifestasi klinis :
1. Luka tenggorokan yang parah terkait dengan odinofagi (nyeri saat menelan)
2. Demam tinggi
3. Suara Muffled
4. sesak nafas
5. Stridor
6. Nyeri tekan pada laring
7. Pasien cenderung untuk duduk tegak dan membungkuk ke depan untuk mengurangi gejala ob-
struktif akibat pembengkakan supra glotik.
 Jika telah dilakukan foto jaringan lunak leher posisi lateral, maka periksa adanya :
1. Pembengkakan bagian anterior jaringan lunak samapi vertebral bodies (Normalnya sampai 1/3
lebar vertebral body)
2. ‘air fluid level’ pada retropharyngeal space (tidak sering)
 Jika dibutuhkan intervensi jalan nafas yang cepat, pertimbangkan posisi kepala “down ward’ dan
hiperekstensi untuk mencegah aspirasi bila abses rupture.
 Berikan antibiotik IV untuk mengatasi bakteri pathogen termasuk yang anaerob. DOC : penicillin
dengan clindamycin sebagai alternative yang dapat diterima.
 Tim khusus harus diatur untuk memindahkan pasien ke OT.

Aspirasi Benda Asing Pada Tracheobronchial


 Cenderung untuk terjadi pada usia ekstrim terutama pada dewasa dengan serangan kardiopulmonari; FB
umumnya ditemukan selama intervensi jalan nafas.
 Pada anak-anak, fakta yang ditemukan antara lain:
1. 80% kasus terjadi pada anak usia < 3 th
2. Tidak lebih dari 15% FBs tersangkut pada atau di atas trakea
3. kurang dari 10% aspirasi FBs bersifat radioluscen.
4. 24% pasien anak dengan aspirasi FBs telah mengalami misdiagnosa sebagai chest infection.
5. Esofageal FBs dapat juga menyebabkan airway compromise melalui kompresi trakeal.
 Penatalaksanaan pasien dengan FB pada saluran nafas atas secara cepat dan kegagalan nafas meliputi
seri 5 pukulan/tepukan pada punggung serta 5 pijatan dada ‘chest thrusts’ pada pasien dengan usia <1
79

tahun, serta maneuver Heimlich pada usia >1 th, termasuk pada dewasa. Secara langsung, periksa
orofaring diantara ‘thrusts/pijatan’ dan jangan lakukan blind finger sweeps.
1. Jika tindakan di atas tidak berhasil, secara langsung periksa hipofaring melalui laringoskop.
Keluarkan FB dengan forsep Magill jika terjangkau.
2. Jika tindakan diatas tidak berhasil, pertimbangkan intubasi endotracheal atau pembedahan jalan
nafas dibawah situasi yang terkontrol.
3. Team spesialis harus mengatur tindakan laringoskopi atau bronkoskopi.

Tabel 2 : Manajemen Yang Disarankan untuk Croup Berdasarkan Keparahan Hasil Pemeriksaan klinis
Severitas Manifestasi Klinis Terapi
Ringan Tidak ada retraksi, LOC normal dan Terapi dengan uap dingin saja, follow up
berwarna pada esok harinya.
Ringan sampai Retraksi ringan, warna normal, sulit Terapi sebagai pasien rawat jalan hanya jika
Moderat bernafas jika terganggu pasien membaik setelah pemberian uap di
ED, lebih tua dari 6 bulan dan keluarganya
tidak bisa diandalkan.
Berikan adrenalin nebulizer
Moderat Stridor ringan pada saat istirahat,
sianotik dan letargi Terapi dengan adrenalin nebulizer dan MRS
Severe / parah Sianotik dengan retraksi berat, stridor ke ICU
hebat saat istirahat.

Tabel 3 : Apa yang Dilakukan dan Tidak boleh Dilakukan pada Anak Dengan Stridor
Yang Harus Dilakukan Yang tidak Boleh Dilakukan
Perlakukan dengan lembut Jangan melihat ke dalam tenggorokan
Biarkan anak pada posisi yang nyaman Memaksa anak untuk berbaring
Berikan Oksigen yang lembab Melakukan venepuncture sebelum pemeriksaan airway
Bentuk tim airway : terdiri dari tim anestesi dan ENT oleh ahli anestesi
Atur bed pada ICU jika diperlukan Memaksa melakukan x-ray leher lateral

Angioedema / anafilaksis
 Patensi dan proteksi jalan nafas merupakan prioritas in manajemen
 Pemberian oksigen tidak ditujukan untuk meningktakan agitasi dan mencetuskan henti nafas.
 Pasang akses iv peripheral untuk ‘fluid challenge’ dengan larutan kristaloid.
 Terapi Obat : lihat Terapi utama pada bab Stridor

Inhalasi Asap
 Injury ditangani awalnya dengan terapi oksigen yang lembab dan dingin
 Jalan nafas buatan mungkin diperlukan karena secret yang dihasilkan akan berlebihan
 Indikasi untuk Intubasi endotrakeal :
1. Hipokesmia yang tidak berespon terhadap supplemental oksigen
2. peningkatan PCO2
3. Obstruksi jalan nafas yang semakin memburuk
 Cek BGA specimen (termasuk COHb). Lihat bab Poisoning, Carbonmonoxide.
 Lakukan EKG untuk mengeksklusi iskemik.
 Lakukan CXR untuk mengeksklusi barotraumas.
80

30. Sinkope

Definisi
Sinkope merupakan keadaan yang mendadak, hilangnya kesadaran ringan karena gangguan sirkulasi serebral
transient karena berbagai sebab, bisaanya terjadi tanpa adanya penyakit organic atau serebrovaskular.

Caveats
 Banyak kemungkinan penyebab sinkope namun yang paling sering sesuai dengan evidence yang telah
dipublikasikan antara lain:
1. Kardiak (4-25%)
2. Vasodepresor vasovagal (8-37%)
3. Hipotensi ortostatic (4-10%)
4. Sinkope Micturition (1-2%)
5. Hipoglikemi (2%)
6. Etiologi Tidak diketahui (13-41%)
Lihat gambar 1 untuk mengetahui penyebab sinkope
 Kehilangan darah merupakan sinkop yang mengancam jiwa. Kemungkinan perdarahan GIT harus dicari
pada semua pasien. Pada pasien wanita yang memiliki kemampuan untuk hamil, pertimbangkan
kehamilan ektopik.
 Pencarian penyebab sinkope jangan diteruskan jika hipotensi postural talah ditemukan.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Walaupun mekanisme Vagal merupakan penyebab benign yang tersering, keadaan tersebut harus
didiagnosa eksklusi. Pertimbangkan penyebab lain yang lebih serius, seperti kardiak, perdarahan
dan kehamilan ektopik.

Manajemen Awal Pada Pasien Sinkope


 Pada setting rumah sakit, kasus tersebut bisaanya diperiksa melalui triage lebih dahulu. Pasien harus
dipindahkan ke rea critical care jika parameter ditemukan tidak stabil. Pasien yang stabil dapat diistira-
hatkan pada area intermediate care.
 Pasien harus dimonitoring pulsasinya, tekanan darah dan rimt jantungnya.
 ABC pasien harus cepat diperiksa dan oksigen aliran lambat melalui nasal prong harus diberikan.
 Jalur iv harus dipertimbangkan, terutama parameter awal dari pasien tidak normal atau ada kecurigaan
bahwa penyebabnya adalah karena masalah jantung atau kehilangan volume (contoh
hemorrhage/perdarahan)

Pemeriksaan pasien
 Riwayat yang lengkap sulit untuk didapatkan karena sering sekali pasien lupa kejadian yang dialamin-
ya. Juga sulit untuk membedakan secara bersamaan antara kejadian syncopal dari kejang (tabel 1).
 Pemeriksaan fisik yang penting untuk evaluasi sinkope adalah :
1. Tanda kehilangan darah : pucat, takikardi, tekanan darah pada posisi berdiri atau berbaring.
2. Tingkat kesadaran pasien : jika mengantuk, pikirkan keadaan post ictal, perdarahan subarachnoid,
atau hipoglikemi.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk abnormalitas ritme jantung, murmur, dan gejala gagal jantung.
4. Carotid bruit mungkin mengindikasikan adanya TIA sebagai penyebab
5. Bukti adanya deficit neurologist, mengindikasikan adanya keadaan iskemik.
6. pemeriksaan rectum untuk mencari adanya darah
 Tekanan Darah harus dilakukan pada semua pasien. Harus dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1. 2 orang diperlukan (untuk mencegah pasien dari “falling”)
2. periksa tekanan darah posisi berbaring dan nadi setelah 10 menit posisi berbaring
3. Pasien berdiri selama 2 menit
4. Lakukan pemeriksaan BP dan nadi
5. Jika pasien tidak dapat melakukannya, lakukan pemeriksaan sambil duduk, dengan posisi kaki ter-
gantung dibawah kursi.
6. Definisi hipotensi posturtal : penurunan pada SBP > 20 mmHg atau peningkatan PR >20x/menit.
81

Gambar 1 : Penyebab Sinkope

Vasovagal Cth: mixturition, defekasi

Takikardi Cth: VT paroksismal, VF


Disritmia
Bradikardi Cth: serangan stokes-Adams

Obstruksi aliran Cth: stenosis aorta,


ventricular kiri kardiomiopati obstruktif
Kardiak Effort syncope hipertropik
Pengisian ventricular
Tamponade perikardial
yang inadekuat

Fungsional Cth: Infark Miokard Akut

Kehilangan cairan Cth: rupture Kehamilan ektopik,


aortic dissection, heat stroke
Sinkope Hipotensi Obat-obatan Cth: Diuretik, prazosin,
ortostatik fenotiazine
Neuropatik otonomik Cth: diabetes mellitus

Primer Cth: TIA, SAH, kejang

Serebral
Cth: emboli paru, suclavian
Sekunder
steal syndrome, aortic arch
(vascular)
Neurogenik syndrome
Bradikardi
Sindrom hiper-
sensitivitas sinus
karotid Reaksi vaso-
depressor

Metabolik Cth: hipoglikemi,


hipokalsemi, intoksikasi

Psikiatrik Cth: hiperventilasi psikogenik


82

Tabel 1 : Diagnosa Banding Sinkope

Kejang Sinkope
Posisi pasien Posisi apapun Jarang pada posis berbaring kecuali pada
Stokes-Adams attack
Warna pasien Mungkin tidak berhenti, walaupun Pucat
mungkin tidak ada sianosis
Dengan aura, luka akibat jatuh
Onset sering terjadi Tanpa aura, injury akibat jatuh jarang ter-
jadi. Namun, lebih sering untuk mengalami
pengeluaran keringat atau nausea sebelum
kejadian.
Sering Sering tidak ada walaupun ada aktivitas
Gerakan tonik-klonik seperti kejang klonik ringan dapat mengi-
dengan buka-tutup mata, kuti episode pingsan
lidah tergigit Lebih lama Lebih singkat
Periode Tidak sadar Sering Jarang
Inkontinensia Urin Lambat Cepat
Kembalinya kesadaran Kebingungan mental, sakit kepala, Kelemahan fisik dengan sensorium yang
Sequele mengantuk, dan nyeri otot sering jelas
terjadi
Mungkin ada Bisaanya tidak ada
Perkataan berulang secara
tidak sadar pada individu
muda

Pemeriksaan Penunjang
 EKG, harus dilakukan pada semua pasien
1. EKG yang normal membuat kemungkinan iskemik kardiak sebagai penyebab menjadi mengecil,
namun tidak mengeksklusi disritmia.
2. Hasil EKG yang abnormal mengindikasikan adanya resiko hubungan antara keadaan sinkope
dengan penyakit kardiovaskular. Lihat kondisi yang dapat menjadi predisposisi untuik terjadinya
disritmia, contoh : sindroma Wolff-Parkinson-White atau sindroma QT yang memanjang.
 Pemeriksaan optional, tergantung pada indeks kecurigaan, yang meliputi:
1. GDA untuk mengetahui hipoglikemi
2. HCG urin untuk kecurigaan kehamilan ektopik
3. CT scan kepala jika dicurigai ada keadaan patologis CNS
4. Elektrolit dan FBC tidak dilakukan secara rutin.

Stratifikasi Resiko
 Stratifikasi resiko akan mempermudah pemeriksaan obyektif untuk tatalaksana dan penempatan pasien
dengan sinkope.
Kategori Resiko Tinggi
 Infark Miokard akut, miokarditis, disritmia, block jantung tingkat 2 dan 3, disfungsi pace maker, ven-
tricular takikardi, sindroma QT memanjang, masalah OBG, kehamilan ektopik, perhdarahan antepar-
tum, perdarahan GIT yang hebat, emboli paru, heat stroke, perdarahan subarachnoid.
 Yang harus dilakukan :
1. Pindahkan ke area critical care jika hal tersebut tidak dilakukan lebih awal
2. Resusitasi secepatnya
3. Pertimbangkan MRS pada intensive care
4. lakukan konsultasi pada spesialis/bagian yang terkait
Kategori Resiko Sedang
 Bukti klinis adanya obstruksi aliran keluar LV, seperti AS, suspek CVA atau TIA, hipovolemi, perdara-
han GIT ringan sampai moderately severe, menorrhagi, GE yang parah, heat exhaustion, hipoglikemi,
pasien dengan IHD, CCF atau SVT dan sinkop yang diinduksi oleh obat.
 Yang Harus Dilakukan :
1. Stabilakn pasien
2. Pertimbangkan untuk meng-MRS-kan pasien
83

Kategori Resiko Rendah


 Sinkope vasovagal, heat sinkope, sinkope karena situasional (micturition syncope, postprandial, tus-
sive), sinkope psikogenik, gangguan ansietas dan panic, hiperventilasi, hipotensi supine jangka pendek
(setelah emeriksaan OBG) dan sinkope lain yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (hasil normal).
 Yang Harus Dilakukan :
1. Eksklusi semua keadaan yang termasuk resiko tinggi dan sedang
2. Observasi selama 2 jam
3. KRS-kan pasien jika sadar, penuh perhatian, serta parameternya stabil.
4. Pada pasien dengan sinkope akibat vasovagal yang rekuren, pertimbangkan untuk merujuk pada
bagian kardiologi untuk tilt tabel test.
84

31. Trauma, Multipel

Penatalaksanaan Awal

Pendahuluan
Terapi untuk trauma yang serius membutuhkan pemeriksaan yang cepat, juga terapi awal yang dapat
menyelamatkan jiwa. Tindakan ini dikenal sebagai Initial assessment dan meliputi :
 Persiapan
 Triage
 Primary survey (ABCDE)
 Resusitasi terhadap fungsi vital
 Riwayat kejadian
 Secondary survey (evaluasi dari kepala- ujung kaki)
 Monitoring post resusitasi yang berkelanjutan
 Reevaluasi
 Perawatan definitive
Catatan :
 Kedua pemeriksaan yaitu primary dan secondary survey harus diulang secara berkala untuk memasti-
kan tidak adanya proses deteriorasi.
 Pada bab ini tindakan yang dilakukan akan dipresentasikan secara longitudinal. Pada setting klinik yang
sebenarnya, banyak aktivitas ini terjadi secara simultan.
 Serangan jantung yang terjadi pre hospital bisaanya akan berakibat fatal apabila terjadi lebih dari 5
menit.

Persiapan Di Rumah sakit


Rencana tambahan bagi pasien trauma sangatlah penting. Tiap rumah sakit harus memiliki Protocol Trauma.

Triage
Merupakan kegiatan yang dilakukan pada setting prehospital, namun kadang-kadang dapat dilakukan pada ED,
jika :
 Fasilitas yang tidak mencukupi : pasien yang terlihat paling parah yang akan ditangani lebih dulu.
 Jika fasilitas sangat mencukupi : pasien yang paling potensial untuk diselamatkan yang akan ditangani
lebih dulu.

Primary Survey (ABCDE) dan Resusitasi


Selama dilakukannya Primary Survey, kondisi yang mengancam jiwa harus diidentifikasi dan ditangani secara
simultan. Ingat bahwa tindakan lanjutan yang logis harus disesuaikan dengan prioritas yang didasari oleh
pemeriksaan pasien secara keseluruhan.
Catatan : Prioritas penanganan pasien pediatric dasarnya sama dengan penanganan pada dewasa, walaupun
kuantitas darah, cairan, dan obat-obatan mungkin berbeda. Lihat bab Trauma, Paediatric.

Pemeriksaan Jalan Nafas dengan control Cervical Spine


 Pemeriksaan : Jalan nafas dan cari adanya :
1. Benda asing
2. Fraktur mandibula/facial
3. Fraktur trakeal/laryngeal
 Pemeriksaan singkat Untuk mencari Obstruksi jalan nafas
1. Stridor
2. Retraksi
3. Sianosis
 Manajemen : Pertahankan jalan nafas yang paten
1. Lakukan manuver ‘chin lift’ atau ‘jaw thrust’
85

2. bersihkan jalan nafas dari benda asing


3. Masukkan orofaringeal atau nasofaringeal airway
4. Pertahankan definitive airway
a. Intubasi orotracheal atau nasotrakeal
b. Needle cricothyrotomy dengan jet insufflation pada jalan nafas
c. Krikotirotomi dengan pembedahan

 Caveats
1. asumsikan bahwa trauma cervical spine merupakan trauma multisistem, terutama dengan gangguan
kesadaran atau trauma tumpul diatas clavicula.
2. Tidak adanya deficit neurologik bukan berarti kita dapat mengeksklusi trauma pada servical spine.
3. jangan membuat pasien paralise sebelum memeriksa jalan nafas yang lebih dalam dan sulit
4. Penyebab cardiac arrest/serangan jantung selama atau sesaat setelah intubasi endotrakeal :
a. Oksigenasi yang inadekuat sebelum intubasi
b. Intubasi esophageal
c. Intubasi bronchial pada bagian mainstem atau cabang utamanya.
d. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan memperlambat venous return.
e. Tekanan ventilasi yang berlebihan menyebabkan tension pneumothorax.
f. Emboli udara
g. Respon vasovagal
h. Alkalosis respiratori yang berlebihan.

Bernafas (Ventilasi dan oksigenasi jalan nafas secara tunggal tidak akan mendukung ventilasi yang adekuat).
 Pemeriksaan
1. periksa bagian leher dan dada : pastikan immobilisasi leher dan kepala.
2. Tentukan laju nafas dan dalamnya pernafasan.
3. Inspeksi dan palpasi leher dan dada untuk mencari deviasi trakeal, gerakan dada yang unilateral
atau bilateral, penggunaan otot aksesorius, dan adanya tanda-tanda injury.
4. Auskultasi dada secara bilateral, basal dan apeknya.
5. Jika terdapat suara yang berbeda antara kedua sisi dada, maka perkusi dada untuk mengetahui
adanya ‘dullness’ atau ‘hiperresonan’ untuk menentukan adanya hemotorak atau pneumothorax se-
cara berturut-turut:
a. Tension pneumothorax
b. Flail chest dengan kontusio pulmonal
Dapat mengganggu
c. Pneumothorax terbuka
pernafasan secara akut
d. Hemothorax massive

 Manajemen
1. Pasang pulse oksimetri pada pasien
2. Berikan oksigen konsentrasi tinggi
Catatan : FiO2 > 0,85 tidak dapat dicapai dengan nasal prongs atau dengan face mask yang simple. Non-
rebreather mask dengan reservoir diperlukan untuk mencapai FiO 2 100%.
3. Ventilasi dengan bag-valve mask
4. Ringankan keadaan tension pneumothorax dengan memasukkan jarum ukuran besar secara cepat
kedalam ICS 2 pada midklavikular line dari sisi paru yang terkena, kemudian diikuti dengan
pemasangan chest tube pada ICS 5 anterior dari mid aksilari line.
5. Tutup penumothorax yang terbuka dengan pelekat kassa steril, cukup besar untuk menutupi tepi lu-
ka, dan lekatkan pada tiga sisi untuk menciptakan efek flutter-valve. Kemudian masukkan chest
tube pada sisi sisanya.
6. pasang peralatan monitoring end tidal CO2 (jika tersedia) pada endotrakeal tube.
86

Caveats
1. Membedakan gangguan pernafasan dengan airway compromised mungkin akan sulit, karena jika
gangguan pernafasan yang terjadi akibat pneumothorak atau tension pneumothorax namun disala-
hartikan sebagai suatu masalah jalan nafas sehingga jika pasien diintubasi, keadaan pasien akan se-
makin memburuk.
2. Intubasi dan ventilasi dapat menyebabkan terjadinya pneumothoraks; sehingga CXR harus dilakukan
segera setelah intubasi dan ventilasi.
3. jangan paksa pasien untuk berbaring pada trolley terutama bila pasien lebih nyaman untuk bernafas
pada posisi duduk.

Sirkulasi dengan Kontrol perdarahan


 Hipotensi setelah terjadi injury harus dipertimbangkan sebagai akibat hipovolemik sampai terbukti tid-
ak. Identifikasi sumber perdarahannya.
 Pemeriksaan cepat dan akurat terhadap status hemodinamik sangat penting. Elemen yang penting a.l:
1. Tingkat kesadaran : Penurunan tekanan perfusi serebral dapat terjadi akibat hipovolemi.
2. Warna kulit : kulit kemerahan : jarang menandakan hipovolemia. wajah keabu-abuan/kelabu, kulit
ektremitas putih menunjukkan hipovolemi; bisaanya mengindikasikan kehilangan volume darah
setidaknya 30%.
3. Nadi
4. BP jika waktu mengijinkan
a. jika nadi pada radialis teraba, BP >80mmHg
b. Jika hanya ada di Carotid BP > 60 mmHg.
c. Periksa kualitas nadi; penuh dan cepat
d. Nadi irregular menandakan kemungkinan cardiac impairment
 Manajemen
1. tekan langsung daerah perdarahan eksternal
2. pasang jalur IV dengan ukuran 14G atau 16G
3. Darah untuk : GXM 4-6 unit darah, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi dan BGA jika
diperlukan
Catatan : Jika darah gol. O negatif tidak tersedia, gunakan tipe darah yang spesifik
4. berikan terapi cairan IV dengan kristaloid hangat (NS atau Hartmann’s) dan transfuse darah.
5. pasang monitor EKG :
a. Disrritmia, pertimbangkan tamponade jantung
b. Pulseless electrical activity : pertimbangkan tamponade jantung, tension pneumothorax,
hipovolemia
c. Bradikardi, konduksi abberant, ventricular ektopik,: pertimbangkan hipoksia, hipoperfusi
6. Pasang kateter urin dan NGT kecuali ada kontraindikasi.
Catatan : output urin adalah indicator sensitive untuk mengetahui status volume tubuh. Kateter
urin merupakan kontra indikasi jika ada kecurigaan injury pada urethra, misal:
a. darah pada meatus uretra
b. Henatom skrotum
c. Prostate tidak bisa dipalpasi
Gastric tube diindikasikan untuk mengurangi distensi lambung dan menurunkan resiko as-
pirasi. Darah pada cairan aspirasi lambung mungkin berarti :
a. darah orofaring yang tertelan
b. akibat tauma pemasangan NGT
c. injury pada GIT bagian atas
Jika ada epistaksis atau serebrospinal fluid rhinorrhea yang mengindikasikan adanya fraktur
cribriform plate, pasang NGT per oral daripada melalui nasal.
7. cegah hipotermi
87

 Caveats:
1. hipotensi persisten pada pasien trauma bisaanya terjadi karena hipovolemi akibat perdarahan yang te-
rus-menerus.
2. pada lansia, anak-anak, atlet, dan pasien lain dengan kondisi medis kronik, tidak adanya respon terha-
dap hilangnya volume merupakan keadaan yang bisa terjadi. Lansia mungkin tidak menunjukkan
takikardi saat kehilangan darah, lebih parah lagi pada pasien pengguna beta blocker. Pasien anak yang
resah akan sering menunjukkan tanda hipovolemi yang parah.
3. coba jangan memasukkan emergency suclavian line pada sisi yang sehat dari pasien trauma dada. Jalur
IV femoral dapat digunakan. Jika central line digunakan untuk resusitasi harus digunakan jarum ukuran
besar (>8Fr)

Disabilitas (Evaluasi Neurologik)


Cek tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
 Metode AVPUP
A Alert
V respon terhadap rangsang Vokal
P respon terhadap rangsang Pain
U Unresponsif
P ukuran dan reaksi Pupil

Catatan : GCS lebihdetil namun termasuk pada secondary survey; kecuali jika akan melakukan intubasi
maka pemeriksaan GCS harus dilakukan lebih dulu.
1. tentukan tingkat kesadaran dengan metode AVPUP
2. Periksa pupil untuk ukurannya, equalitas dan reaksinya.
Caveats
Jangan anggap AMS hanya terjadi akibat trauma kepala saja, pertimbangkan :
1. Hipoksia
2. Syok
3. intoksikasi alcohol/obat
4. hipoglikemi
5. sebaliknya jangan anggap AMS terjadi akibat intoksikasi alkohol atau obat, dokter harus dapat mengek-
sklusi adanya cedera kepala.

Kontrol terhadap paparan/lingkungan


Lepas semua pakain pasien, cegah hipotermi dengan memakaikan selimut dan atau cairan IV yang hangat, beri-
kan cahaya hangat.
 Monitoring nadi, BP, pulse oksimetri, EKG, dan output urin terus-menerus.
 Lakukan X ray
1. Lateral cervical spine
2. Dada AP
3. Pelvis AP
Secodary Survey
 Evaluasi keseluruhan termasuk tanda vital, BP, nadi, respirasi dan temperature
 Dilakukan setelah primary survey, resusitasi, dan pemeriksaan ABC.
 Dapat disingkat menjadi ‘tubes and fingers in every orifice’
 Dimulai dengan anamnesa AMPLE :
A Alergi
M Medikasi yang dikonsumsi baru-baru ini
P Past illness (RPD)
L Last meal (makan terakhir)
E Event/environment yang terkait injury
88

Kepala dan Wajah


 Pemeriksaan
1. inspeksi adanya laserasi, kontusio dan trauma panas
2. Palpasi adanya fraktur
3. Evaluasi ulang pupil
4. Fungsi nervus cranial
5. Mata : perdarahan, penetrating injury, dislokasi lensapemakaian contact lenses
6. Inspeksi telinga dan hidung untuk mencari CSF leakage
7. Inspeksi mulut untuk mencari perdarahan dan CSF
 Manajeman
1. Pertahankan airway
2. Kontrol perdarahan
3. Hindari brain injury sekunder
4. Lepaskan contact lenses

Leher
 Pemeriksaan
1. Inspeksi : trauma tumpul dan tajam, deviasi trakea, penggunaan otot pernafasan tambahan
2. Palpasi : nyeri tekan, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutaneus, deviasi trakea
3. Auskultasi : periksa ‘bruit’ pada arteri karotis
4. X ray lateral, cross-tabel cervical spine
 Manajemen
Pertahankan immobilisasi cervical spine in-line yang adekuat

Dada
 Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dan tajam, penggunaan otot pernafasan tambahan, penyimpangan pernafa-
san bilateral.
2. Auskultasi : nafas dan suara jantung
3. Perkusi : ‘dull’ atau resonan
4. Palpasi : trauma tumpul dan tajam, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
 Manajemen
1. Pasang chest tube
2. dekompresi menggunakan jarum venule 14G pada ICS 2
3. tutup luka pada dada dengan benar
4. Lakukan CXR

Catatan : tidak direkomendasikan untuk melakukan Perikardiocentesis. Torakotomi pada Emergency


Room lebih diperlukan pada pasien tamponade jantung. Rata-rata keberhasilan pasien dengan luka
penetrasi pada dada abdomen, serta pada pasien yang baru mengalami serangan jantung, juga pada
pasien dengan trauma tumpul. Sehingga prosedur ini secara umum tidak diindikasikan pada trauma
tumpul.
Abdomen
 Pemeriksaan
1. inspeksi : trauma tumpul dantajam
2. Auskultasi : Bising usus
3. Perkusi : nyeri tekan
4. Palpasi
5. X ray Pelvis
89

Manajemen
1. Pemeriksaan klinis pada trauma multiple bisaanya sering menghasilkan pemeriksaan abdomen
yang kurang terperinci. Sehingga diindikasikan pemeriksaan FAST (Focuses Assessment using So-
nography in Trauma), CT scan abdomen atau peritoneal lavage. Lihat Bab Trauma, abdominal.
2. Pindahkan pasien ke ruang operasi, jika diperlukan.
Pemeriksaan Perineal dan Rektum
 Evaluasi
1. Tonus sphincter ani
2. Darah pada rectal
3. Integritas dinding usus
4. Posisi prostate
5. Darah pada meatus urinary
6. Hematoma scrotum
 Pemeriksaan Perineal
1. kontusio, hematom
2. Laserasi
 Pemeriksaan Vagina
1. adanya perdarahan pada vaginma
2. Laserasi vagina
 Pemeriksaan Rektum
1. Perdarahan rectum
2. Tonus sphincter ani
3. integritas dinding usus
4. bony fragments
5. Posisi prostate
Punggung
 Logroll pasien untuk mengevaluasi :
1. Deformitas tulang
2. adanya trauma tajam atau tumpul
Ekstremitas
 Pemeriksaan
1. inspeksi : deformitas, perdarahan yang meluas
2. Palpasi : nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal
 Manajemen
1. Splinting fraktur yang tepat
2. hilangkan nyeri
3. Imunisasi tetanus

Neurologik
 Pemeriksaan : reevaluasi pupil dan tingkat kesadaran, skor GCS
1. Evaluasi Sensorimotor
2. Paralise
3. Parese
 Manajemen
Imobilisasi pasien secara adekuat

Perawatan Definitif/Pemindahan
 Jika trauma pada pasien membutuhkan penanganan yang lengkap, pindahkan pasien secepatnya.
90

32. Retensi Urin Akut

CAVEATS
 Beberapa penyebab umum dari retensi urin di kasus-kasus pria dewasa, termasuk
1. Hipertropi prostat jinak (BPH)
2. Konstipasi dengan faeces keras
3. Penyempitan uretra/kontraktur kandung kemih
4. Obat-obatan: (a) antispasmodis agents; (b) tricyclic antidepressants; (c) antihistamines; (d)
anticholinergic agents; (e) alpha-adrenergic stimulators, misalnya “cold” tablet, ephedrine derivates
5. Masalah pada spinal cord
6. Carcinoma prostat
7. Prostatitis
Catatan: pada wanita, keluarkan kehamilan/massa pelvis sebagai penyebab dari retensi urin!
 Pada saat melakukan kateterisasi terhadap pria yang diduga menderita BPH, mulailah Foley Kateter dengan
ukuran 14. Bila pembukaan melalui leher kandung kemih tidak bisa diterima, ulangi proses yang sama
dengan ukuran Foley kateter yang lebih besar, bukan yang lebih kecil, misalnya 16F. Tambahan rigiditas
seringkali mempermudah pembukaan tidak seperti ukuran yang lebih kecil,
 Pasien dengan recurrent urethral strictures seharusnya dilakukan pendekatan menggunakan kateter kecil.
 Pasien dengan prostatitis (demam, menggigil, nyeri kelenjar prostat pada colok dubur) lebih baik dilakukan
kateter supra pubic terlebih dahulu.
 Jangan pernah memaksakan jalan untuk urin kateter. Bila tidak bisa dikateterisasi segera cari pertolongan
dari spesialis urologi atau pertimbangkan melakukan kateterisasi supra pubic, hanya bila sudah
berpengalaman.
 Obstruksi urin dengan demam merupakan emergensi urologi dan perintahkan pasien untuk masuk rumah
sakit. Pada situasi ini, urinalisis mungkin tidak bisa dipercaya dan ’miss’ pyuria.

Petunjuk khusus bagi dokter umum


 Riwayat onbstruksi urin dan demam merupakan emergensi urologi dan harus segera dirujuk ke rumah
sakit terdekat atau IRD. Selalu lakukan penilaian tanda vital pada kasus-kasus ini.
 Pada kasus retensi utin kronis (tanpa nyeri), jangan menempatkan kateter urin tanpa pemasangan infus
sebelumnya sebagaimana diuresis bisa memicu hypovolemi dan shock.

Obstruksi Akut
 Ukur tanda vital penting dilakukan karena obstruksi urologi dengan demam merupakan suatu emergensi.
 Labs: DL, ureum/kreatinin/elektrolit, urinalisis untuk mencari sel darah putih dan atau nitrat positif.
 Untuk mengurangi nyeri biarkan 5 – 10 menit gel anastesi lokal beraksi dan pasien beradaptasi atau rileks
kemudian masukkan kateter urin dengan teknik steril. Drain urin 500 – 750 ml secara terbagi untuk
mengurangi kemungkinan spasme kandung kemih, yang mana, kadang-kadang mengikuti dekompresi
kandung kemih. Biarkan 15 – 20 menit diantara masing-masing bagian. Nyeri akan dikurangi oleh
pengambilan bagian yang pertama.
 Disposisi: bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang, untuk follow up awal di klinik urologi bila tidak ada
hematoria pyuria atau demam sementara masih di IRD. Bila terjadi sebaliknya maka masukkan ke urologi.

Obstruksi kronis dengan overflow


 Ukur tanda vital: cari tanda-tanda demam
 Pasang infus untuk pencegahan/berjaga-jaga
 Infus kristaloid dengan tetsan maintenance
 Labs: ureum/kreatinin/elektrolit, urinalisis
 Komplikasi potensial setelah menghilangkan obstruksi
1. Diuresis postobstruksi : pada obstruksi kronis, terdapat kemungkinan tekanan aliran balik yang kronis
pada sistem tubulus ginjal oleh karena hydronephrosis dengan gagal ginjal kronis yang mengikutinya.
91

Lebih lanjut, pelepasan tekanan dengan cara kateterisasi urin bisa mengakibatkan diuresis hebat dengan
dehidrasi dan instabilitas hemodinamic (the old postcatheterization shock)
2. Hipotensi karena respon vasovagal atao pengurangan kongesti vena pelvic.
3. Haemorrhagea ex vacuo jarang terjadi, oleh karena gangguan mukosa setelah pengilangan sumbatan
dan biasanya membaik secara spontan.
 Disposisi : observasi di IRD selam 1-2 jam untuk diuresis, Bila Diuresis tidak terjadi dan tidak ada demam,
hematuria atau pyuria, pasien bisa dikeluarkan dengan kateter terpasang dengan membuat janji follow up di
klinik Urologi.
92

33. PASIEN AGRESIF / PERCOBAAN BUNUH DIRI

Pasien agresif menunjukkan keberadaannya dengan sangat jelas, sementara percobaan bunuh diri bisa jadi hanya
berupa kecurigaan terhadap sekelompok tampilan klinis. Yang umumnya penting adalah kasus kecelakaan
dengan kendaraan tunggal, pengemudi tunggal, ingesti tanpa disengaja, perilaku berisiko dan pasien dengan
alasan datang yang tidak jelas, seperti keluhan somatik yang samara seperti sakit kepala persisten atau
kelemahan kronis.

PERHATIAN
 Peran utama seorang dokter emergensi adalah untuk membedakan, bila mungkin, penyebab organik dan
anorganik dari psikosis.
 Jangan pernah tinggalkan pasien sendiri: gunakan bantuan setidaknya 5 petugas keamanan berseragam un-
tuk mendukung anda sebagai unjuk kekuatan bila memang diperlukan. Jika pasien seorang wanita, setid-
aknya satu petugas wanita harus hadir setiap saat.
 Ingatlah perlindungan diri sendiri: selalu ada potensi pasien dengan percobaan bunuh diri untuk menjadi
agresif.

 Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Jika anda mengevaluasi pasien ini di kantor anda, jangan biarkan diri anda terjebak dengan
berada di antara pasien dan pintu.
 Beritahu petugas berseragam berdasarkan kebiasaan lokal pada petunjuk pertama agresivitas;
anda mungkin memerlukan bantuan mereka lebih dini dari perkiraan anda.
 Pasien anda mungkin dapat tertangani dengan dosis oral obat-obatan berikut, yang harus tersedia
di kantor anda. Obat tersebut dapat diberikan dengan dosis yang lebih besar dibanding pemberian
parenteral (yaitu 20 mg Valium® atau Haldol® PO) dan lebih tidak menakutkan untuk pasien
daripada injeksi.

TATA LAKSANA
 Penanganan Suportif
1. Pasien sebaiknya ditangani di area intermediate atau pelayanan kritis di UGD, tergantung pada keadaan
umum pasien. Observasi pasien secara kontinu dapat dioptimalkan dengan cara ini.
2. Perhatikan ABC, hipoksia dapat menjadi penyebab perilaku gaduh gelisah.
3. Ukur tanda vital secara lengkap bila pasien mengijinkan: abnormalitas dapat menunjukkan adanya
penyebab organik yang mendasari, penyebab infeksius ataupun toksikologis dari perilaku pasien.
4. Awasi: EKG, tanda vital setiap 30-60 menit, pulse oximetry, jika pasien mengijinkan.
5. Mulai pemeriksaan gula darah acak dan elektrolit serum bila pasien mengijinkan.
6. Tata laksana standar dan segera terhadap keadaan ingesti atau trauma harus dilakukan.
7. Pertimbangkan penggunaan ikatan/bebat: pertimbangan penggunaan ikatan/bebat fisik untuk mencegah
pasien melukai dirinya sendiri atau orang lain sebaiknya selalu muncul dalam benak dokter jaga.
8. Upayakan untuk mengambil hati pasien: perhatikan privasi pasien (tarik tirai untuk menutupi sebagian
bilik), kenyamanan pasien dan pendekatan penuh empati yang tidak menghakimi dapat menghasilkan
kerjasama dan meningkatkan kemampuan tim untuk memperoleh informasi yang akurat, mengevaluasi
intervensi yang sesuai.
9. Evaluasi penilaian resiko pasien bunuh diri dengan menggunakan modifikasi skala Sad Person’s (tabel
1).
 Terapi medikamentosa: jika pasien agresif, pertimbangkan penggunaan obat antipsikosis ataupun penenang,
baik tunggal, ataupun lebih baik lagi dalam bentuk kombinasi.
Dosis: haloperidol 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
diazepam 5-10 mg IV, dapat diulang 15 menit kemudian
 Alternatif lain yang dapat membantu adalah pemberian secara oral karena pasien psikotik seringkali lebih
agresif bila berhadapan dengan jarum suntik.
Dosis: haloperidol 20 mg PO (bentuk konsentrat)
diazepam 20 mg PO
93

 Disposisi: buat konsultasi dini dengan bagian Psikiatri, lebih baik sebelum sedasi walaupun hal ini tidak
selalu memungkinkan berkaitan dengan sifat tampilan klinis pasien.

Tabel 1: Modifikasi skala Sad Person’s


Faktor Deksripsi
S Sex Laki-laki
A Age <19 atau >45 tahun
D Depression or hopelessness Mengakui mengalami depresi atau gangguan kon-
sentrasi, nafsu makan, tidur, libido
P Previous attempts or psychiatric care Pelayanan psikiatrik sebelumnya, rawat inap atau
rawat jalan
E Excessive alcohol or drug use Stigmata adiksi kronis atau tanda penggunaan baru
R Rational thinking loss Sindroma otak organik atau psikosis
S Separated, divorced or widowed Terpisah, bercerai atau menjanda
O Organized or serious attempt Rencana bunuh diri yang terpola dengan baik atau
tampilan klinis yang mengancam nyawa
N No social support Tanpa kerabat dekat, teman, pekerjaan atau
perkumpulan rohani yang diikuti secara aktif
S Stated future intent Bertekad untuk mengulangi percobaan bunuh diri
atau sikap ambivalen
94

34. Acid Base Emergencys ( Kedaruratan Asam Basa )

Caveats
 Gejala dan tanda kedaruratan asam basa bisaanya sangat bervariasi dan kurang jelas/samar-samar.
 Peran dokter EM adalah untuk mengenali adanya gangguan asam basa, mendiagnosa penyebab yang
mungkin dan menangani pasien dalam optimalisasi resusitasi.
 Selalu pertimbangkan gangguan asam basa/elektrolit pada pasien AMS
 Level PaO2 100mmHg pada pasien yang menerima supplemental oksigen mungkin tidak normal. Selalu
kalkulasikan gradient oksigen alveolar-arterial (A-a gradient).

Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Hiperventilasi merupakan diagnosa eksklusi pasien takipneu. Selalu eksklusi metabolic asidosis
yang menjadi underlying, dengan pernafasan kussmaul, emboli paru dan asma berat. Lihat bab
Hyperventilation.
 Pemeriksaan dengan paper bag rebreathing pada hiperventilasi secara rutin akan berbahaya ka-
rena dapat menyebabkan hipoksia yang signifikan dimana juga terjadi peningkatan PCO2 yang
ringan.

Diagnosa Gangguan Asam Basa


Formula penting
 Persamaan Henderson-Hasselbalch (H-H)
pH = 6,1 + log [HCO3-] (dalam mmol/L) (dimana 6,1 = pKA)
0,03xPaCO2 (dalam mmHg)
1. Pengukuran kadar CO2 Venous Total
Total CO2 = [HCO3-] + CO2 terlarut
= [HCO3-] + 0,03 x PaCO2 (dalam mmHg)
= [HCO3-] + 1,2 (jika PCO2 = 40 mmHg)
2. Karena itulah CO2 venous dapat digunakan untuk memperkirakan kadar bikarbonat serum. Ingat
bahwa hasil yang didapatkan akan lebih tinggi 1 mmHg dibanding dengan kadar bikarbonat yang
sebenarnya.
 Anion gap (AG) : [Na+]-[HCO3-]-[Cl-]
1. Normal = 3-11 mmol/L. perubahan teknik pengukuran elektrolit yang baru telah memberikan hasil
kisaran harga normal AG yang lebih rendah, dan kevaliditasannya telah dibuktikan melalui
penelitian.
2. Peningkatan AG menyokong adanya high anion gap metabolic asidosis (HAGMA).
3. Jika AG sangat rendah, pertimbangkan :L
a. Hipoalbunemia
b. AG turun 2,5mmol/L untuk setiap 1 g/dL penurunan albumin
c. Paraproteinemi
d. Hiponatremi
e. Hipermagnesemi
f. Hiperkloremia palsu
g. Kesalahan lab

Langkah-langkah untuk mendeteksi gangguan asam basa


 Cari abnormalitas pH, [HCO3-], PCO2, dan AG
1. Ketidaknormalan pada salah satu dari 3 variabel persamaan H-H berarti terkait dengan gangguan
asam basa tanpa kecuali.
2. Peningkatan AG merupakan penanda HAGMA, walaupun harga pH atau [HCO 3-] normal.
 Periksa konsistensi internal dari hasil yang didapatkan dengan menggunakan persamaan H-H jika
diperlukan.
 Identifikasi abnormalitas sekunder dimulai dari pH.
1. pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L Asidosis metabolic
95

2. pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg Asidosis respiratori


3. pH > 7,45 dan [HCO3-] > 24 mmol/L Alkalosis metabolic
4. pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg Alkalosis respiratori
 Identifikasi abnormalitas sekunder dengan memeriksa adekuat atau tidaknya kompensasi.
1. Asidosis metabolic : Expected (yg diharapkan) PCO2 = (1,5 x [HCO3-]) + 8 mmHg (± 2)
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada alkalosis res-
piratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada asidosis respir-
atori.
c. Untuk HAGMA, cari adanya kelebihan atau kekurangan anion dengan memperhitungkan
excess anion gap.
(1) Excess anion gap, ΔAG = AG -11
(2) Masukkan ΔAG untuk mengukur [HCO3-]
(3) Jika total = normal [HCO3-], simple HAGMA
(4) Jika total > normal [HCO3-], ion HCO3- berlebihan, concurrent alkalosis
metabolik
(5) Jika total < normal [HCO3-], ion HCO3-kurang, Concurrent NAGMA
2. Alkalosis Metabolik : Expected PCO2 = (0,6 x [HCO3- - 24]) + 40 mmHg
a. Jika PCO2 yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada concurrent al-
kalosis respiratori.
b. Jika PCO2 yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada concurrent asi-
dosis respiratori.
3. Asidosis atau alkalosis respiratori
a. Akut
(1) Perubahan [HCO3-]1 sampai 2 mmol/L untuk setiap perubahan 10 mmHg
PCO2
(2) Perubahan pH 0,08 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO 2.
b. Kronik
(1) Perubahan [HCO3-]4 sampai 5 mmol/L untuk setiap perubahan 10 mmHg
PCO2
(2) Perubahan pH 0,03 untuk setiap perubahan 10 mmHg PCO 2.
c. Jika [HCO3-] yang didapat lebih rendah dari yang diharapkan, berarti juga ada concurrent
asidosis metabolic.
d. Jika [HCO3-] yang didapat lebih tinggi dari yang diharapkan, berarti juga ada concurrent
alkalosis metabolic.
 Jika pH normal, periksa gangguan keseimbangan asam basa.
1. [HCO3-] < 20 PCO2 < 35 Asidosis metabolic +
Alkalosis respiratori
2. [HCO3-] >24 PCO2 > 45 Alkalosis metabolic +
Asidosis Respiratori
-
3. [HCO3 ], PCO2 normal AG > 11 HAGMA + Alkalosis metabolic
4. [HCO3-], PCO2 normal AG normal Normal (tidak seperti HAGMA + Alkalosis meta-
bolic)
‘Three Rules” atau 3 Peraturan at 3 am
 Rule 1 :
o arah perubahan pH merupakan abnormalitas yang primer.
o Mekanisme kompensasi tidak “overcompensate” atau bahkan mengembalikan keadaan
menjadi normal.
 Rule 2 :
o Adanya anion gap yang sangat tinggi (> 20) menyokong adanya HAGMA bahkan bila pHnya
atau [HCO3-] normal.
96

o Tubuh tidak menghasilkan peningkatan anion gap untuk mengkompensasi alkalosis yang
terjadi.
 Rule 3 :
o Jumlah excess anion gap pada HAGMA dan hasil [HCO3-] harus equal dengan [HCO3-] nor-
mal.
o Jika terdapat kelebihan [HCO3-], maka terdapat concurrent alkalosis metabolic.
o Dan jika [HCO3-] terlalu sedikit, maka terdapat concurrent NAGMA.

Interpretasi sisa Hasil BGA


 Oxygen Delivery dan Oksigenasi
1. penting untuk mencatat jumlah supplementasi oksigen yang diberikan pada pasien untuk
menginterpretasi hasil dengan tepat.
2. FiO2 delivery dapat diestimasi :
a. Nasal prong (2-4L/menit) 21% + 4 % untuk setiap liter per menit.
b. Standart mask (6-8 L/menit) : FiO2 50-60%
c. Reservoir mask (non-rebreather mask) : 80-85%
3. Oxygen delivered dengan aliran yang lambat misalnya dengan menggunakan kanul intra nasal di-
pengaruhi oleh udara atmosfer, sehingga FiO2 delivered dapat inkosisten dan tidak akurat.
4. Idealnya, supplemental oxygen harus diberikan dengan system yang tetap seperti Venturi mask,
yang memungkinkan setting FiO2 yang akurat.
 Alveolar-arterial oxygen gradient (A-a gradient) merupakan alat yang bermanfaat untuk mengevaluasi
oksigenasi pasien.
1. P (A-a) O2 = PAO2 –PaO2 (mmHg)
= [(760-47) x FiO2 – PaCO2/0,8] –PaO2
Dimana FiO2 dalam decimal.
2. Normal = 10 sampai 20 mmHg. Kadar > 50 mmHg menandakan disfungsi pulmonal hebat.
3. A-a gradient meningkat sesuai usia pasien dan FiO2.
a. tambahkan 3,5mmHg untuk setiap decade usia, gunakan rumus
[ Normal = Usia + 4 ]
4
b. Tambahkan 5-7 mmHg untuk setiap peningkatan 0,1 FiO2.
c. Catat bahwa tidak ada koreksi untuk perokok
4. Penyebab peningkatan A-a gradient meliputi V / Q mismatch, shunt dari kiri ke kanan,
abnormalitas difusi.
5. namun, literature masih belum jelas mengenai interpretasi A-a gradient yang normal pada psien
yang dicurigai PE.
6. Alat lain untuk estimasi oksigenasi adalah PaO2 / FiO2 ratio.
a. Normal = 500-600
b. Kadar < 300 menunjukkan adanya ARDS pada pasien dengan infiltrate alveolar pada kua-
dran paru 3 atau4 serta tekanan kapiler pulmonal yang normal.
 Pengaturan Kerja untuk kasus asam basa
1. Pindahkan pasien pada area pengawasan jika diperlukan.
2. Resusitasi jika diperlukan.
3. Review pasien untuk efek klinik dan penyebabnya
a. Anamnesa dan pemeriksaanklinis
b. BGA dan elektrolit

Asidosis Metabolik
 Definisi : pH < 7,35 dan [HCO3-] < 20 mmol/L
1. HAGMA : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap > 11 mmol/L
2. NAGMA (asidosis metabolic hiperkloremik) : [HCO3-] < 20 mmol/L dan anion gap < 11 mmol/L
97

 Penyebab : Penyebab HAGMA dapat diringkas dengan SULK atau CATMUDPILES (tabel 1). Se-
dangkan penyebab NAGMA dapat diringkas dengan USEDCARP (tabel 2).
 Terapi asidosis metabolic : ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mendasari :
1. KAD (hidrasi dan terapi insulin)
2. Syok (hidrasi, inotropik, terapi sepsis)
3. Gagal ginjal (dialysis)
4. penelanan methanol/etilenglikol (etanol)
 Terapi bikarbonat: controversial

1. efek samping potensial meliputi gangguan elektrolit (cth : hipokalemia, hipokalsemia,) asidosis in-
traserebral dan intraselular paradoksikal, post treatmen alkalosis, overload cairan, hiper-
natremi/hiperosmolaritas. Lebih jauh lagi terapi bikarbonat tidak menunjukkan perbaikan hasil.
2. keuntungan yang mungkin didapatkan perbaikan kontraktilitas miokard, respon terhadap katekolamin
dan status hemodinamik.
3. Patofisiologinya terapi bikarbonat mungkin lebih bermanfaat pada kasus NAGMA daripada HAGMA.
Karena pada NAGMA membutuhkan waktu beberapa hari untuk penyembuhan ginjal maka ion bikar-
bonat akan bermakna. Sedang pada HAGMA, terapi terhadap penyebab dasar menyebabkan perubahan
excess anion menjadi bikarbonat.
4. Pasien harus mampu untuk memventilasikan peningkatan CO2 sebelum terapi bikarbonat diberikan.
5. Rekomendasi terbaru tidak menyarankan terapi bikarbonat secara rutin, kecuali pH < 7,1 dan pasien da-
lam keadaan compromised hemodinamik.
a. target yang disarankan termasuk pH > 7,1, [HCO3-] > 5 mmol/L
b. Titrasi 50 sampai 100 ml NaHCO3 8,4 % (dengan aliran infus yang lambat dalam D5%) dan
periksa ulang 30 menit setelah selesai.
Catatan : tidak ada rumus yang sempurna untuk menghitung jumlah bikarbonat yang diper-
lukan untuk mengkoreksi pH karena status asam basa mengalami perubahan secara konstan
seiring dengan progresivitas penyakit dan terapi.
c. Rumus yang digunakan :
HCO3- (mmol) yang diperlukan = 0,5 x berat badan (kg) x [target - hasil pengukuran HCO3-]
(mmol)
Tabel 1 : Penyebab High anion gap Metabolic Asidosis
S Salisilat, toksin eksogenus (mtformin, mata- C cyanide, CO
nol, toluene, etilenglikol, besi, paraldehyde) A Alkoholik ketoasidosis
U Uremia T Toluene
L Laktic asidosis (cth : segala penyebab syok, M Metanol, metaemoglobin
hipoksia, metformin, phenformin, sianoda, U Uremia
keracunan CO, INH, besi) D Diabetik ketoasidosis
K Ketoasidosis (diabetic alkoholik, kelaparan) P Paraldehyde
I INH/besi (melalui asidosis laktik)
L Laktic asidosis (cth : semua penyebab syok, hipoksia,
metformin, phenformin, keracunan sianida)
E ethyleneglicol (BUKAN etanol)
S salisilat, solvent

Tabel 2 : Penyebab Normal Anion Gap Metabolic Asidosis


Tipe hiperkalemik Renal U Ureterosigmoidostomi
Renal tubular asidosis (tipe IV) S Small bowel fistule
Potassium sparing diuretic E Extra Chloride
Hipoaldosteronisme/penyakit Addison D Diare
Obstruktif uropathy dini C Carbonic anhydrase inhibitor
Asidosis uremik dini A Adrenal Insufficiency
Perubahan KAD R Renal tubular acidosis
Asupan Cl- eksogen P Pankreatik fistula
Asam Hidroklorik (HCl)
Ammonium klorida (NH4Cl)
98

Lysine-HCl, arginine-HCl
Tipe Hipokalemik Gastrointestinal
Diare (kehilangan HCO3- > kehilangan Cl-)
Diversi urinary ke usus (cth : ureterosig-
moidostomi)
Fistula akibat pembedahan, drain
Renal
Renal Tubular Asidosis (tipe I, II)
Acetazolamide (RTA fungsional)
Infus NaCl berlebihan akan mendilusikan HCO3-
Dilution Acidosis plasma

Asidosis Respiratori
 Definisi : pH < 7,35 dan PCO2 > 45 mmHg
 Penyebab : asidosis respiratori terjadi ketika ekshalasi CO2 berkurang . lihat tabel 3 untuk mengetahui
penyebabnya.

Tabel 3 : Penyebab Asidosis Respiratori


Penyebab Sntral terhadap usaha respirasi Obat-obatan (sedasi, opiate)
Trauma kepala
Lesi CNS
Alkalosis Metabolik
Hilangnya kendali hipoksik pada gagal nafas tipe II
kronik yang diterapi dengan oksigen
Obstruksi Jalan Nafas Asma
COLD
Abnormalitas thoracic cage Kiposkoliosis
Obesitas yang morbid
Trauma dada
Abnormalitas neurologik/neuromuskular Miastenia gravis
GBS
Injury cervical / high thoracic spine
 Terapi asidosis respiratori ditujukan untuk mengatasi penyebabnya:
1. terapi suportif ventilasi mungkin diperlukan. Pilihannya meliputi intubasi atau non-invasive posi-
tive pressure ventilation (NIPPV).
2. Terapi bikarbonat biasanya tidak diperlukan.
3. supplemental oksigen untuk pasien gagal nafas tipe II harus dilakukan dengan fixed system untuk
memastikan titrasi yang akurat dan mencegah supresi hypoxic drive.

Alkalosis metabolic
 Definisi : pH > 7,45 dan [HCO3-] > 25 mmol/L
 Penyebab : kelebihan bikarbonat menyebabkan alkalosis metabolic yang bisaanya dikeluarkan oleh gin-
jal. Alkalosis metabolic timbul bila penyebab akut terus berlangsung, atau mekanisme kompensasi renal
terganggu terus menerus tabel 4).

Tabel 4 : Penyebab Alkalosis Metabolik


Penyebab akut ( mekanisme awal dari alkalosis metabolic)
Peningkatan Intake HCO3-  Penyalahgunaan antacid
 Intake NaHCO3 yang berlebihan
 Transfusi darah Massive (karena pecahnya sitrat)
Hilangnya Asam  Vomiting yang hebat (cth : hiperemesis gravidarum, bulim-
ia), suction nasogastric, obstruksi gastric outlet
 Diare hebat (cth : GE, penyalahgunaan laksatif) ketika
hilangnya HCO3- < hilangnya Cl, edema villi, penyebab
99

yang jarang seperti diare kloride


 Renal losses, seperti diuresis loop dan distal.
 Hipokalemia
Acid shifts
Mekanisme Asidosis Metabolik
Hipovolemi  Contraction alkalosis (karena berkurangnya distribusi vol-
ume bikarbonat dan hilangnya H+ renal paradoksikal
 Penyebab hilangnya HCl akut (seperti diatas).
Hipokloremi (respon thd salin)  Penyebab deplesi Cl-, seperti aklorhidria dan fibrosis kistik.
 Peningkatan aktivitas mineralokortikoid, seperti hiperaldos-
teronism, penyakit cushing, liquorice abuse, liddle’s syn-
Hipokalemi (tidak respon thd salin) drome.
 Hilangnya potassium renal, seperti penggunaan atau penya-
lahgunaan diuretic, penyakit congenital yang jarang (Bart-
ter’s and Gitelmann’s syndrome)

 Terapi Alkalosis Metabolik:


1. berikan suplementasi oksigen
2. terapi penyebab akut
a. stop intake bikarbonat
b. kurangi hilangnya asam
(1) Stop suction NG
(2) Berikan H2-Blockers atau proton Pump Inhibitor
(3) Stop diuretic loop atau distal, ubah menjadi diuretic hemat kalium
c. Kurangi perpindahan asam/“acid shifts” dengan mengkoreksi hipokalemi
3. tipe sensitivitas klorid (responsive saline)
a. Replacement Chloride, bisanya dengan infus saline
(1) deficit klorid (mmol/L) = 0,3xBB(kg)x(100-[Cl-])
(2) 1 L NaCl 0,9% berisi 154 mmol Na+ dan Cl-.
(3) Sehingga jumlah yang dibutuhkan (L) = deficit Cl- / 154.
b. Replacement kalium jika diperlukan
c. Reduksi hilangnya asam lambung dengan proton pum inhibitor atau antagonis H2.
4. tipe resisten klorid (saline unresponsive)
a. replacement kalium untuk membatasi ekskresi H+ ginjal
b. antagonis mineralokortikoid dengan spironolakton atau triamterene
5. target terapi yang disarankan : pH < 7,55, HCO3- < 40 mmol/L

Alkalosis respiratori
 Definisi : pH > 7,45 dan PCO2 < 35 mmHg
 Penyebab : lihat tabel 5

Tabel 5 : Penyebab Alkalosis Respiratori


Peningkatan Respiratory drive Nyeri, ansietas (hiperventilasi)
Demam
Lesi CNS primer (cth: tumor, infeksi, CVA)
Obat-obatan (cth : salisilat)
Kehamilan

Hipoksia Emboli paru


Pneumonia
Pneumothorax
Asma ringan
Anemia berat
High altitude
Keracunan CO
100

 Terapi alkalosis respiratori ditargetkan pada penyebab dasarnya :


1. Oksigen pada kondisi hipoksia
2. analgesic untuk nyeri
3. Antibiotik untuk pneumonia
4. Chest tube untuk pneumothorax
Alkalosis respiratori sendiri tidak butuh terapi, dan harus terkait dengan manajemen kondisi penyebab.
 Efek klinis pengaturan kembali asam basa : pengaturan kembali yang sering dilakukan adalah pada asidosis
metabolic. Efek samping pengaturan kembali serupa dengan asidosis atau alkalosis dengan perbedaan kecil
pada manifestasinya:
1. Altered mental States
a. Letargi, mengantuk
b. Iritabilitas, kebingungan
c. Obtundation, koma
d. Sebagai tambahan, alkalosis dapat menyebabkan perasaan mabuk/pusing serta sakit kepala akibat
vasokonstriksi serebral karena hipokarbia. Spasme karpopedal, tetanus, mati rasa pada perioral dan
peripheral, bahkan kejang dapat terjadi akibat hipokalsemia ionic.
2. Kardiovaskular
a. depresi miokardial, hipotensi
b. gangguan respon katekolamin
c. perubahan EKG dan disritmia karena abnormalitas elektrolit
d. hipokalsemia pada alkalosis dapat menyebabkan efek karsiodepresif tambahan
e. kollaps kardiovaskular
3. Respiratori
a. Hiperventilasi pada asidosis metabolic dan alkalosis respiratori
b. Hipoventilasi pada alkalosis metabolic
c. Takipneu dan sensasi sesak terkait dengan asidosis respiratori
d. Bau buah-buahan terkait dengan ketonemia KAD
e. Asidosis menyebabkan shift to right dari kurva disosiasi hemoglobin oksigen, berakibat pada
loading oksigen pulmonal ke hemoglobin dengan jaringan yang hipoksemia.
f. Alkalosis menyebabkan shift to the left kurva disosiasi hemoglobin oksigen, dengan penurunan
oksigen perifer dan jaringan hipoksemia.
4. Ketidakseimbangan elektrolit
a. Asidosis terkait dengan hiperkalemi akibat ekskresi kompetitif ion hydrogen
b. Alkalosis terkait dengan hipokalemi akibat ekskresi ginjal ion potassium. Alkalosis menginduksi
peningkatan ikatan kalsium ke protein, menghasilkan penurunan fraksi ion kalsium bebas.
5. Gastrointestinal
a. Nausea/vomiting
b. Diare
c. Nyeri abdomen pada KAD

 Disposisi/penempatan : Tergantung penyebab dasar, status hemodinamik dan abnormalitas elektrolit,


pasien harus dimasukkan ke ICU, High dependency Unit, atau jika klinisnya stabil dan baik, masukkan
ke bangsal umum.
101

35. Aneurisma Aorta Abdominal (AAA)

Definisi
Dilatasi arteri terlokalisisr lebih dari 50% diameter normal. Dilatasi kurang dari 50% diameter arteri normal
disebut sebagai ectasia.

Caveats
 Terjadi pada 5-7% individu berusia > 60 tahun.
 Di Singapura, rasio Pria : wanita 2 : 1, dengan insiden yang rendah pada ras India.
 Dapat bermanifestasi sebagai :
1. rupture intraperitoneal katastropik yang menyebabkan kollaps, syok dan kematian. Sering terjadi
perdarahan masuk ke retroperitoneum, yang kemudian menjadi rupture pada intraperitoneal.
2. nyeri abdomen, flank area atau punggung (kadang menyerupai kolik ureterik).
Catatan : nyeri punggung bisa terjadi karena ekspansi AAA akibat erosi spinal vertebrae atau
menunjukkan adanya rupture aneurisme, yang membutuhkan pembedahan segera.
3. Massa abdomen, sering berdenyut, namun kadang tidak berdenyut.
4. Sinkope dengan hipotensi postural
5. embolisasi menyebabkan iskemik tungkai bawah akut atau ‘mottling’ trunkus bawaj dan ekstremi-
tas. Embolisasi peripheral dapat menyebabkan ‘blue toe syndrome’
6. fistula aortoenterik timbul sebagai melena.
7. Kompresi bowel, lambung, dan esog\fagus dapat menyebabkan disfagia, perasaan cepat kenyang,
nausea dan vomiting.
Catatan : Mayoritas (75%) asimptomatik.
 Sifat AAA simptomatik yang difus dan nonspesifik dapat menyebabkan salah diagnostic. Pasien lansia
dengan hipotensi, syok dan nyeri punggung harus dieksklusi dari rupture AAA. Kesalahan diagnosa
tersering disebabkan kegagalan meraba massa yang berdenyut.
 Cari expansile versus transmitted pulsation dengan menempatkan jari sepanjang pulsasi; deviasi jari kea
rah lateral bisaanya diakibatkan oleh aneurisme.
 Semua pasien dengan massa yang berdenyut > 3 cm harus di USG
 Angka mortalitas dari pembedahan emergency adalah 75-90%, dimana pada tindakan operasi repair
elektif hanya sekitar 3-5%.

Tips khusus untuk Dokter Umum :


 Aneurisme aorta dapat bermanifestasi sebagai nyeri abdomen, nyeri
punggung, nyeri iskemik pada tungkai atau kolik.
 Diagnosis sering dibuat dengan pemeriksaan fisik dari abdomen.
 Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan USG B-Mode.
 Intervensi pembedahan elektif diindikasikan pada semua pasien AAA den-
gan diameter > 5 cm, untuk mencegah ruptu/kematian.
 Aneurisme yang lebih kecil harus dimonitoring dengan USG berkala.
Patofisiologi
 Sebagian besar aneurisme aorta terkait dengan aterosklerosis, sementara etiologi lain meliputi nekrosis
kistik medial, Ehlers-danlos syndrome, dan disseksi.
 Penelitian menunjukkan penurunan jumlah elastin dan kolagen pada dinding AAA.
 Komponen immunologic pada penyakit atherosclerotic pembuluh darah juga telah dikenali., dengan in-
filtrasi makrofag dan limfosit T&B pada dinding aorta. Factor penting dalam patogenesa AAA adalah
ketidakseimbangan antara protease dinding aorta dan antiprotease.
 Susceptibilitas genetic terjadi pada 15-20% insiden AAA diantara hubungan ‘first degree relative’.

Factor resiko
 Hipertensi : pada 40% AAA
 Merokok : 8 kali lebih tinggi untuk menderita AAA dibanding tidak merokok
 Hiperlipidemi dan hiperhomosisteinemia
102

Resiko rupture
 Berdasarkan Diameter aneurisme :
1. Aneurisme dengan diameter 4-5,5 cm memiliki resiko rupture sebesar 5%
2. Aneurisme dengan diameter 6-7 cm memiliki resiko rupture sebesar 33%
3. Aneurisme dengan diameter >7 cm memiliki resiko rupture sebesar 95%
 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipertensi dan COLD merupakan prediktor utama rupur AAA
dengan ukuran kecil.
 Percobaan terbaru pada UK Small Aneurysm Trial dan ADAM Trial menunjukkan tidak adanya angka
keselamatan jangka panjang pada tindakan pembedahan pada aneurima < 4 cm.

Manajemen Ruptur Aneurisme Aorta


General Measures
 Tangani pasien pada area critical care
 Peralatan intubasi dan resusitasi harus tersedia
 Inform tim bedah
 Primary survey ABC, pastikan patensi jalan nafas dan lakukan tindakan resusitasi jika diperlukan.
 Monitor EKG, tanda vital dan pulse oksimetri
 Pasang setidaknya 2 jalur intravena dengan ukuran kanul besar, dengan NS. Namun jangan sampai
melakukan overresuscitate pasien. Biarkan apabila hipotensi terjadi pada kisaran sistolik 90-100mmHg,
 Lab : GXM 6 unit WB, FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, BGA, pastikan ketersediaan
darah dengan golongan yang sesuai.
 CXR portabel (lihat adanya dissestion atau pelebaran mediastinal).
 Foto polos abdomen akan menunjukkan kalsifikasi pada 50% kasus, namun harus dilihat pada posisi la-
teral dan AP untuk mendiagnosa AAA. Jika terdapat ‘egg-shell appearance’, tingkat kepercayaan diag-
nosa AAA tinggi. Hasil foto polos abdomen yang negates tidak dapat mengeksklusi diagnosa AAA dan
membatasi nilai dignostik pemeriksaan ini.
 Pasang kateter urin.
Spesific Measures
 Jangan mengulang palpasi abdominal begitu AAA terdiagnosa.
 Pemeriksaan USG bed side sangat bermanfaat pada ED namun sangat tergantung pada kemahiran ope-
rator. Namun tidak dapat digunakan untuk mendetekdi rupture.
 Ruptur AAA merupakan pembedarahan emergency dan psien harus dipersiapkan secepatnya. Tidak ada
tempat untuk melakukan CT scan abdomen secara rutin.
 Jika pasien stabil, CT scan merupakan pilihan untuk mengetahui diagnosa AAA, namun tidak boleh
menghambat terapi definitive rupture AAA.
Penempatan
 MRS kebagian bedah TKV atau Bedah Umum sesuai protocol local.
103

36. INSUFISIENSI ADRENAL AKUT


PERINGATAN
Krisis adrenal dapat terjadi dalam situasi berikut:
1. Stress karena, misalnya operasi bedah atau trauma pada pasien yang mengalami insufisiensi adrenal
kronis.
2. Efek withdrawal steroid secara mendadak pada pasien dengan pemakaian steroid jangka panjang.
3. Setelah bilateral adrenalectomy atau kerusakan pada kedua adrenal setelah trauma, perdarahan dll.
Gambaran klinis tidak khas:
1. Kelemahan non-spesifik (9%), kelelahan dan penurunan berat badan adalah 3 gambaran utama.
2. Gangguan GI: nausea dan muntah, sakit perut (34%), diare (20)%.
3. Riwayat operasi atau prosedur bedah terakhir, suatu penyakit, cedera,penyakit autoimun, penggunaan
steroid kronis atau penggunaan obat-obatan tradisional china (TCM) untuk sakit persendian.
Temuan-temuan Pemeriksaan fisik:
1. hipotensi secara terus menerus dan hipotensi orthostatik.
2. dehidrasi: mukosa kering, berkurangnya turgor kulit
3. hiperpigmentas pada insufisiensi adrenocortical awal, mukosa bukal, daerah terbuka atau daerah yang
mengalami gesekan.
Tip khusus bagi dokter umum:
- methadone dan ketoconazole dapat mengakibatkan insufisiensi adrenocortical sekunder.
- Diagnosis awal dan penanganan yang berdasarkan perkiraan; penundaan akan mengakibatkan outcome
klinis yang kurang baik.
- Atasi hypoglikemi dengan dextrose dan steroid secara bersamaan.
- Pertimbangkan diagnosis pada pasien yang kedapatan memiliki hipotensi dan peningkatan pigmentasi
baik pada mukosa bukal atau pada daerah gesekan.

PENANGANAN (MANAJEMEN)
Ukuran-ukuran pendukung
 Pasien harus ditangani dalam area penanganan kritis karena hal tersebut berpotensi sebagai kondisi yang
dapat mengancam nyawa.
 Berikan oksigen suplemen high-flow dengan non-rebreather reservoir mask.
 Pantau ECF, tanda-tanda vital tiap 10-15 menit pulse oximetry.
 Buat 2 jalur IV perifer (14G/16G) yang besar
Berikan cairan IV 0,9% saline/D5W dengan infus cepat sampai hipotensi disembuhkan (deficit umum mencapai
2 – 31t).
 Investigasi:
1. gula darah kapiler
2. darah lengkap
3. Urea/elektrolit/kreatin (wajib), untuk mengetahui
a. hiponatraemia
b. hiperkalaemia
104

c. metabolic acidosis
d. peningkatan urea
e. hipoglycaemia
4. AGD
5. plasma cortisol (plain tube) dan ACTH (EDTA tube pada es). Kirim ke lab secepatnya.
6. ECG: dapat menunjukkan QRS voltase rendah dan perubahan gelombang ST-T non-spesifik
dan/atau perubahan dikarenakan hiperkalaemia., dapat kembali dengan pemberian glucocorticoid.
7. CXR mungkin normal, namun seringkali menunjukkan jantung yang kecil, mungkin terdapat stig-
mata dari infeksi awal atau bukti adanya TB atau infeksi jamur, jika hal ini menjadi penyebab dari
penyakit Addison.
8. urinalisis dengan pengujian urine stick untuk menyingkirkan UTI.
 Koreksi faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, AMI.

Terapi Obat
 IV D50W 40 ml untuk menyembuhkan hipoglycaemia yang mungkin bandel dan membutuhkan bolus-bolus
berulang kali; beri makan dengan isocal jika pasien dalam kondisi sadar.
 IV hydrocortisone 100 mg tiap 6 jam: ia merupakan fisiologis, lebih cepat bereaksi dibandingkan dexame-
thasone dan memiliki aktifitas mineralocorticoid, terutama dalam kasus insufisiensi adrenocortical. Ambil
darah dari plasma cortisol dan ACTH sebelum penanganan!
 IV sodium bicarbonate (jika diperlukan; 50 mmol selama 1-2 jam; awasi status asam basa dengan serial
AGD.

Disposisi
 Konsultasikan Endokrin/penyakit dalam terkait untuk perawatan di MICU untuk monitoring tanda-tanda
vital.
105

37. INTOKSIKASI ALKOHOL


Peter Manning

PENTING
 Penggunaan ethanol berhubungan secara bermakna dengan peningkatan cedera yang serius yang disebabkan
kekurangan mekanisme penilaian dan kontrol
 Penekanan derajat kesadaran menutupi respon dari penyakit dan penyakit yang mendasarinya
 Penggunaan etanol sering berhubungan dengan penekanan pernafasan dan reflek muntah
 Ada diagnosis banding yang bermakna dari penderita dengan intoksikasi alkohol (tabel 1)
 Kadar etanol darah turun 20-30 mg % perjam
 Glascow Coma Scale (GCS) secara statistik tidak dipengaruhi oleh alkohol sampai kadar alkohol darah
mencapai > 200 mg %. Jadi jangan memasukkan penuturunan kesadaran karena alcohol kecuali kadar al-
kohol penderita sedikitnya 200 mg %
Tabel 1: Diagnosa banding penurunan kesadaran pada penderita intoksikasi alkohol
Kelainan susunan saraf pusat Kejang atau postikal,stroke, subdural hematome,
tumor
Kelainan lingkungan Hipotermi
Infeksi Meningitis/ ensefalitis, pneumonia, sepsis
Kelainan metabolic Ketoasidosis diabetic, ensefalopati hepatic,
hipokalsemia, hiponatremia, uremia
Kelainan respirasi Hipoksemia
Keracunan Benzodiazepine, karbonmonoksida, etanol, etilen
glikol, isopropyl alcohol, methanol, narkotik, hip-
notik sedative
Trauma Gegar otak, Kontusio serebri, hematom epidural,
hipotensi, perdarahan subarahnoid

PENANGANAN:
Filosofi daripenanganan
Tujuannya adalah:
 Mencegah penderita menyakiti diri sendiri dan orang lain
 Mengatasi keadaan yang mengancam nyawa tanpa di tunda, misalnya keadaan yang reversible seperti:
hipoksemia, dehidrasi, hipoglisemia dan hipotermi
 Memastikan disposisi dan pelaksanaan selanjutnya yang tepat
 Periksa luka-luka yang mungkin terlewatkan
 Perhatian adanya ensefalopati Wernicke : 3 gejala klasik yang hanya nampak pada 10 % penderita.
Lihat adanya perubahan status mental depresi, apatis, bingung (80%), perubahan ocular nigtagmus
horizontal atau kelumpuhan otot rektus lateral, dan ataksia (20% kasus)
Tujuan dicapai melalui beberapa prinsip penanganan
 Observasi dengan penilaian berulang dari tanda vital dan penilaian neurologi
 Evaluasi yang agresif dari status mental yang tidak membaik atau terganggu
 Observasi lanjutan sampai penderita dapat berfungsi dengan bebas dan menjaga diri sendiri
 Hidrasi dan nutrisi intravena
 Pengendalian kemikal dan fisik jika dibutuhkan (untuk penderita dan orang lain)

Penanganan penunjang
 Kecuali bila penderita sadar dan mengenali, penderita mabuk harus dievaluasi terhadap lokasi
 Evaluasi jalan nafas dan servikal
 Jalan nafas oral/ nasofaring tergantung adanya reflek muntah
 Peralatan untuk suction harus selalu tersedia dengan cepat
 Jika penderita diduga trauma, sediakan kollar yang kaku dengan atau tanpa imobilisasi manual
106

 Sediakan akses intravena perifer


 IV kristaloid dijalankan dengan kecepatan pengganti cairan yang tepat. IV D5W 500 ml dalam 3-4 jam
cukup untuk penderita normovolume
 Gunakan pengendali fisik: dengan cara ini penderita dikontrol tanpa menambahkan obat yang akan
membuat kacau penilaian penderita yang level kesadaran nya telah menurun
 Lepas pakaian penderita
 Ukur suhu tubuh dengan tepat
 Lab: minimum untuk penderita dengan penderita yang bingung, periksa gula darah kapiler. Karena ri-
wayat dan pemeriksaan fisik biasanya terbatas, penderita laboratorium dan radiologi
1. Laboratorium yang penting
a. Darah lengkap
b. Urea/ elektrolit/ kreatinin; hitung anion gap (Na +)- (HCO3-)- (Cl-). Lihat pada penggunaan
formula
2. Laboratorium pilihan
a. Kadar etanol darah: kepentingan dari test ini terletak pada keadaan dimana kadar tidak
berhubungan dengan dengan dugaan. (contoh dimana itu terlalu rendah atau mungkin nol)
kemudian pencarian intensif akan dilakukan untuk menerangkan keadaan penurunan
kesadaran adalah penting.
Catatan :
1. Jika anda menggambarkan seperti sebuah sampel gunakan preparat kulit tanpa alkohol
2. kasus tertulis mengenai pengemudi yang peminum, penting untuk meminta persetujuan
penderita saat mengambil sampel
b. Urinalisis: untuk darah, darah dan keton
c. Amylase serum
d. Test fungsi hepar (meliputi PT dan PTT)
e. Pemeriksaan toksikologi: test pencarian secara umum mempunyai nilai yang terbatas
tetapi harus diminta sesuai dengan riwayat dan hasil pemeriksaan
f. Osmolalitas serum: berguna dalam kecurigaan adanya alkohol yang lain, contoh methanol
dan etilen glikol. Harga normal 286 ± 4 mOsm/kg H2O. Hitung hitung perbedaan osmo-
lalitas ( harus melibihi 10 mOsm/kg)
g. Beda osmolalitas = osmolalitas yang terukur – osmolalitas yang dihitung. Lihat pada
Penggunaan formula
h. Analisa gas darah: tidak penting jika saturasi oksigen normal

 Pencitraan:
1. Foto dada: berguna jika riwayat nya ada trauma dada, atau ada demam, atau ditemukan
kelainan pada pemeriksaan auskultasi.
2. foto servikal lateral, AP pelvis dan ekstremitas: dibutuhkan berdasarkan riwayat dan
pemeriksaan fisik
3. Scaning kepala diperuntukkan pada kasus yang:
a. Adanya kejadian trauma kepala dengan penurunan kesadaran yang persisten
atau ditemukan adanya kelainan neurologi fokal.
b. Penderita dengan keadaan mental yang tidak menentu dengan kadar etanol
darah (lihat Penting)
c. Tidak adanya perbaikan dalam, atau perburukan dari, status neurologi sesuai
dengan waktu.
 EKG: berguna untuk mendeteksi adanya hubungan dengan penyakit jantung, contoh penyakit jantung
iskemi atau kardiomiopati alkoholik

Terapi obat:
 Tiamin 100 mg IV: gudang tiamin seringkali tidak ada pada penderita alkoholik.
 D50W 40 ml IV bolus untuk hipoglisemia yang ditemukan.
107

Catatan: Secara teori, sangat penting untuk memberikan dekstrose dengan tiamin pada penderita malnutrisi
karena pemberian awal dekstrose akan memacu terjadinya ensefalopati Wernike (trias dari ataxia, ke-
bingungan menyeluruh dan abnormalitas ocular, terutama nistagmus horizontal atau paralise nervus enam
bilateral). Pandangan ini tidak didukung oleh bukti. Masih diperdebatkan apakah itu memakan waktu bejam-
jam ataupun berhari-hari, untuk ensefalopati Wernike untuk berkembang secara klinis; juga, tiamin dapat
diberikan segera setelah pemberian dekstrosa.
 Haloperidol 5 mg IV dapat diulang dalam waktu 5-10 menit. Obat-obat ini dipergunakan pada penderita
intoksikasi dengan agitasi yang berat dalam pembatasan aktivitas fisik. Haloperidol menghasilkan efek
sedasi minimal dengan control tingkah laku yang sangat bagus.
 JIka riwayat dan pemeriksaan fisik menyatakan dugaan adanya penggunaan narkoba, nalokson 2 mg IV
membantu mengidentifikasi dan mengembalikan susunan saraf pusat dan depresi pernafasan.

Disposisi
 Rawatlah di ruangan ICU atau ruangan dengan pengawasan , setelah memperoleh konsultasi yang di-
perlukan, seperti berikut:
1. Trauma multipel
2. Penggunaan methanol dan etilen glikol
3. Sepsis
4. Perdarahan saluran pencernaan
5. Infark miokard akut
6. Sindrom putus obat utama
 Masukkan pada bagian Kedokteran umum untuk melihat adanya Pneumonia, Hepatitis atau Pankreatitis
yang mengikuti. Masukkan ke bagian Bedah Umum atau Bedah Saraf jika Cedera Kepala yang stabil
mengikuti tergantung dari institusi.

Kriteria pemulangan
 Dapat makan / minum
 Berjalan dengan langkah yang tegap orientasi terhadap sekitar
 Tersedianya teman atau keluarga yang bersama dengan penderita.

Situasi khusus:
Anak-anak
 Anak-anak dengan etanol baik karena minum minuman yang mengandung alkohol atau pencuci mulut.
Seringkali terjadi depresi pernafasan setelah dosis etanol yang kecil.
 Hipoglikemi sering terjadi : obati dengan 2-4 ml/kg D25W IV Campurkan D50W 1:1 dengan air steril ka-
rena D50W sangat hiperosmoler

Catatan; pemberian berulang seringkali tidak diperlukan dan dapat menyebabkan keadaan hiperosmoler.

Metanol dan etilen glikol


 Harus dicurigai penderita mabuk yang mengeluh nyeri perut atau gangguan penglihatan atau, pada siapa
yang ditemukan adanya beda osmolalitas yang tinggi.
 Toksisitasnya berbeda tetapi penanganannya secara umum sama
 Tidak ada satu obatpun yang berbahaya secara sendiri kecuali intoksikasi etanol; bentuk metabolismen-
ya setelah dimetabolisme oleh alcohol dehidrogenase akan menghasilkan toksisitas 6-12 jam setelah di
konsumsi. Perlambatan dalam gejala yang muncul dapat lebih besar jika bersamaan dengan intoksikasi
etanol.
 Kadar alkohol serum tidak siap tersedia sehingga pemeriksaan indirek seperti beda kadar amnion dan
osmolalitas sangat berguna.
108

Catatan : beda osmolalitas meningkat pertama kalinya sebelum metabolisme, hanya beda anion akan
meningkat kemudian.
 Metabolit methanol menyebabkan:
1. Iritasi saluran pencernaan: nausea, muntah dan nyeri perut
2. Intoksikasi susunan saraf pusat: pusing, bingung dan penurunan kesadaran
3. Toksisitas okuli: lihat apakah ada edema retina dan hiperemi dari discus dan tajam penglihatan
4. Asidosis metabolic
 Metabolit etilen glikol menyebabkan:
1. Sama seperti pada methanol dengan tambahan gagal ginjal

 Penanganan :
1. Perawatan suportif seperti pada keracunan etanol
2. Terapi obat:
a. Pengobatan agresif asidosis metabolic dengan natrium bikarbonat
b. Hambat metabolisme dari komposisi induk untuk mengatasi toksisitasnya dengan memberikan
etanol kalau alkohol dehidrogenase memiliki afinitas yang lebih besar terhadap etanol
dibandingkan dengan methanol atau etilen glikol
c. Terapi etanol:
Untuk mempertahankan kadar etanol 100-120 mg/dl
Beban : 0,6-0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11 g/kg/j
Dialysis : 0,24 g/kg/j
Metode oral: tidak dipergunakan jika penderita menolak dan tidak mempunyai reflek
muntah
Beban : gunakan 50% cairan untuk memenuhi beban dengan tabung
Rele’s: 2 ml/kg dari 50% berikan 0,8 g/kg
Pemeliharaan : 0,11-0,13 g/kg/j
Penggunaan : 0,16 ml/kg/j dari 95% larutan tetapi didilusikan dengan air 1:1 untuk
menghindari terjadinya gastritis dan berikan 0,33 ml/kg/j
Tingkatkan proporsional dengan dialisis.
Metode IV
Beban: gunakan 10% dalam D5W melalui central line 10 cc/kg
Pemeliharaan: 1,6 cc/kg/jam solusi 10%
Peningkatan proposional dengan dialysis.
d. Fomeprisole (suatu inhibitor alkohol dehidrogenase sintetik) terapi untuk penderita yang
diduga ataupun peminum dan terintoksikasi etilen glikol ataupun methanol.
Tanpa hemodialisis
Beban : IV fomeprizole 15 mg/kg, diikuti dengan dosis 10 mg/kg setiap 12
jam X 4 dosis, kemudian 15 mg/kg 12 jam setelahnya
ZCatatan : semua dosis yang diberikan melalui intravena dan perlahan dengan normal
salin atau dilarutkan sepanjang 30 menit. Jangan memberikan tanpa dilarutkan ataupun
bolus.
Selama hemodialise : seringnya dosis harus ditingkatkan setiap 4 jam dengan kecepatan
yang sama. Terapi harus dilanjutkan sampai kadar etilen glikol atau methanol kurang dari
20 mg/dl dan tidak ada gejala pada penderita.
Fomediprizole oral : cocok untuk kasus2 dimana baru saja minum dan tidak ada muntah.
Dosis: 15 mg/kg awalnya, diikuti dengan 5 mg/kg 12 jam kemudian; kemudian 10 mg/kg
setiap 12 jam sampai kadar etilen glikol dalam plasma tidak dapat dideteksi.

3. Hemodialisis untuk menghilangkan kandungan induk dan racun yang dihasilkan. Indikasinya :
a. Jika kadar dalam darah melebihi 25 mg/dl
b. Jika metabolic asidosis tidak dapat diperbaiki
109

c. Dengan ancaman terjadinya gagal ginjal


d. Dengan gejala penglihatan pada keracunan metanol

Isopropanol
 Di metabolisme menjadi aseton tetapi jumlahnya sedikit dan tidak menyebabkan asidosis
 Melewati sawar otak lebih cepat dan toksisitasnya kira-kira 2 kali dari etanol
 Efek toksik:
1. depresi susunan saraf pusat
2. iritasi saluran pencernaan dengan gastritis, muntah, dan hematemesis
Penanganan:
Kadar serum isopropyl alcohol menambah sedikit pada manajemen
Tangani seperti pada intoksikasi etanol

Alkohol ketoasidosis
 Terlihat klasik pada peminum alkohol yang menahun yang pesta minuman keras dan datang dengan nausea,
muntah, nyeri perut, dan kelaparan dengan makan kalorinya buruk
 Ketoasidosis merupakan hasil dariakumulasi dari asetoasetat dan beta hidroksi butirat.
 Pemeriksaan laboratorium pH sekitar 7,1, bikarbonat serum 10, kalium dan fosfat serum rendah, dan kadar
glukosa darah rendah atau normal.
 Penanganan: rehidrasi dengan dekstrosa 5% dengan cairan salin, anti muntah jika diperlukan,
benzodiazepine jika diperlukan untuk gejala putus obat.(Tabel 2). Kalium dan pengganti kalium.
Catatan : terapi insulin kontraindikasi dan bikarbonat jarang dibutuhkan.
 Kemungkinan perkembangan gejala putus obat yang berat bertambah dengan infeksi yang menyertainya
atau maslah kesahatan, riwayat yang terjadi sebelumnya dengan kejang karena putus obat atau delirium tre-
mens, dan pemakaian alkohol yang lebih banyak.
 Kejang putus obat :
1. Biasanya kejang umum dan terbatas sendiri
2. Onset biasanya dalam 49 jam dari penggunaan alcohol
3. Biasanya tidak mungkin dapat dibedakan antara kejang karena putus obat dengan penyebab yang lain
dari riwayat dan pemeriksaan fisik
4. Diduga:
a. kejang local: Ct scan kepala
b. kejang demam: pungsi lumbal setelah dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Mulai pemberian
antibiotika
c. Kejang status: CT Scan kepala dan cari kelainan metabolic
Penanganan :
1. Sediakan penghilang rasa ansietas dan halusinasi
2. Hentikan progresivitas AWS
3. Terapi suportif:
a. Amankan ABC
b. Cairan pengganti: IV dextrose 5% / saline bergantian dengan D5%
c. Koreksi kelainan elektrolit dan metabolisme: glukosa, tiamin, potassium, magnesium
d. IV tiamin 100 mg dan IV magnesium sulfat 1-2 g dapat dimulai
4. Terapi obat:
a. Bensodiasepin :
IV diazepam 5-10 mg bolus perlahan setiap 5-10 menit dititrasi sesuai dengan klinis
(max 20 mg), atau
PO diazepam 10-20 mg untuk kasus ringan (dapat diulang setelah 60 menit)
b. Haloperidol: IM haloperidol 5-10 mg untuk penderita agitasi
c. Beta bloker:
Indikasi jika dosis multipel dari diazepam sudah dipergunakan dan/ atau takiaritmia be-
rarti
110

IV propanolol 0,5 mg tiap 5-10 menit


d. IV phenytoin tidak mempunyai atau sedikit kaidah di AWS
5. Disposisi :
a. Semua kasus harus dimasukkan ke bagian Interna kecuali untuk kasus yang ringan yang dapat
dipulangkan dengan bensodiasepin oral dan di periksa kembali di Psikiatri
b. Delirium tremen: harus dimasukkan ke ICU untuk pengawasan lebih lanjut.

Table 2: Sindrom putus alkohol


Tingkatan Onset Durasi Gejala Tanda
1.the shakes/ gon- 6-8 jam 2-3 hari  Ansietas Takikardia
cangan  Agitasi Hpertensi
 Takut Hiperrefleksia
 Kehilangan
nafsu makan
 Tidak bisa tidur
 Tremor
2. the horrors/ 0-24 jam 2-3 hari Di atas ditambah Ha- Di atas di tambah:
mengerikan lusinasi Demam
Berkeringat
3.kejang karena 7-48 jam 6-12 hari Di atas ditambah
putus alcohol Kejang menye-
luruh
4. delirium tre- 3-5 hari 2-5 hari Hal di atas ditambah Hal di atas dit-
mens Bingung ambah
Mimpi buruk Demam
midriasis
111

38. Alergi reaction / Anafilaksis

Definisi
 Urtikaria : plak edematous dan gatal dengan bagian tengah yang pucat dan tepi yang meninggi.
 Angioedema : Edema pada lapisan dalam kulit yang tidak gatal namun dapat terasa seperti terbakar,
mati rasa atau nyeri.
 Anafilaksis : reaksi alergi sistemik yang hebat terhadap antigen yang dipresipitasi oleh pelepasan
mediator kimia pada pasien yang tersensitisasi. Paparan sebelumnya terhadap antigen merupakan syarat
yang diperlukan untuk terjadinya syok anafilaksis.
 Reaksi Anafilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak membutuhkan kontak dengan zat
karena bukan merupakan proses yang dimediasi oleh system imun. Kedua keadaan tersebut terjadi
karena pelepasan histamine dari mast cell dan makrofag.

Caveats
 Keadaan ini menunjukkan spectrum reaksi hipersensitivitas yang bervariasi dari urtikaria ringan sampai
pada anafilaksis yang dapat mengancam jiwa; progresivitas dari bentuk yang ringan sampai pada anafil-
aksis yang full-blown dapat terjadi.
 Frekuensi
Urtikaria 200 kasus
Angioedema 20 kasus
Anafilaksis 1 kasus
 Reaksi ini dimediasi oleh IgE atau IgG4 dan bertanggungjawab terhadap reaksi anafilaksis yang terjadi,
contoh pada reaksi drug-induced (paling sering : Penisilin dan NSAID) serta :
1. Makanan (kerang, putih telur, kacang)
2. Racun Hymenoptera (lebah, tawon, hornets/penyengat)
3. Reaksi lingkungan (debu, serbuk sari, dll)

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Lebih aman untuk merujuk pasien dengan presentasi reaksi alergi yang bermacam-macam pada
ED, kecuali dengan rash urtika yang ringan .
 Selalu tanyakan adanya ‘a lump in the throat’ dan terapi dengan SQ adrenaline (kalau tidak ada
kontraindikasi seperti IHD), sebelum mengirim pasien ke ED dengan ambulan, karena ini merupa-
kan tanda awal dari edema laring atau uvular.
 Adrenalin merupakan terapi utama pada anafilaksis. Pada pasien normotensive, berikan adrenalin 1
: 1.000 SQ atau IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml). pada pasien hipotensi berikan 0,1 ml/kg (sampai
0,5 ml) larutan adrenalin 1 : 10.000 IV selama 5 menit, atau dengan IM dalam jika akses IV tidak
dapat dilakukan.
 Pasang IV line perifer dan berikan infus kristaloid dan antihistamin sebelum mengirim pasien ke
ED dengan ambulan.

Anafilaksis
Syok, stridor, bronkospasme

Evaluasi Klinis dari Gejala


 Tanda awal impending anafilaksis
1. Rasa gatal pada hidung atau stuffiness / kesesakan
2. Pembengkakan pada tenggorokan (edema laryngeal atau uvular) atau suara serak
3. Lightheadedness dan sinkope.
4. Nyeri dada, sesak nafas dan takipneu
5. Komplain pada kulit : hangat dan tingling pada wajah (terutama pada mulut), dada bagian atas, ma-
nifestasi pada telapak tangan atau telapak kaki bisaanya timbul pertama kali pada reaksi anafilaksis.
6. Keluhan GIT : nausea, vomiting, diare dengan tenesmus atau nyeri abdomen yang bersifat kram.
112

 Anafilaksis yang Full-blown


1. Angioedema lidah, palatum molle dan laring dapat menyebabakan obstruksi jalan nafas atas secara
cepat.
2. Hipotensi, takikardi (atau disritmia lain), AMS, kebingungan, wheezing, dan sianosis dapat cepat
menyebabkan serangan jantung.
Catatan : batuk merupakan tanda buruk yang menandakan adanya onset edema pulmonal.
3. Kulit mungkin menunjukkan atau tidak menunjukkan reaksi klasik wheal and flare. Jika perfusi
pada kulit pasien buruk atau memiliki kulit yang gelap, reaksi kulit mungkin akan sulit untuk
dinilai.

Manajemen
 Supportif
1. Jika relevan, hentikan allergen yang dicurigai
2. Jika relevan, ‘cungkil keluar’ bekas sengatan dengan pisau. jangan meremas, karena akan
menyebabkan masuknya venom lebih dalam.
3. Jika allergen telah ditelan, pertimbangkan gastric lavage dan karbon aktif
4. Jika nadi tidak ada, lakukan external cardiac massage
5. Pasien harus ditangani pada area resusitasi
6. Berikan oksigen aliran tinggi
7. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5 menit
8. Pasang jalur intra vena besar 14G/16G
9. Support sirkulasi : 21 Hartmann’s atau NS bolus.
10. Bersiap untuk melakukan Intubasi atau krikotiroidotomi
Catatan : Perhatian ekstra diindikasikan pada pemberian sedasi dan paralysis sebelum intubasi.
Pertimbangkan menggunakan Awake Oral Intubation’; lihat bab Airway Management / Rapid Se-
quence Intubation untuk detilnya. Sedasi dan paralysis merupakan kontraindikasi karena
gangguan jalan nafas setelah paralisis dapat menghalangi intubasi.
11. Lakukan konsul anestesi dan THT untuk asistensi manajemen airway.
12. Labs : tidak diperlukan segera
 Terapi Obat
1. Adrenalin : DOC ( drug of choise )
a. Pasien normotensi : 0,01ml/kg (sampai 0,5 ml) larutan 1 : 1.000 SC/IM dalam.
b. Pasien Hipotensi : 0,1 ml/kg (sampai 5 ml) larutan 1 : 10.000 diberikan perlahan IV sela-
ma 5 menit (atau dengan injeksi IM dalam jika akses IV tidak tersedia).
c. Pada kasus lain setengah dosis dapat diinfiltrasikan di sekitar lokasi sengatan.
2. Glukagon : pertimbangkan menggunakannya jika adrenalin merupakan kontraindikasi relative, cth :
IHD, hipotensi berat, kehamilan, pasien pengguna beta blocker, atau yang tidak berespon terhadap
adrenalin.
Dosis : 0,5-1,0 mg IV/IM; dapat diulang sekali setelah 30 menit.
3. Pilih salah satu antihistamin pada tabel 1.
Tip : encerkan tiap ml dari 25 mg promethazine (phenergan) sampai 10 ml dengan NS dan berikan
IV pada kecepatan tidak lebih dari 2,5 mg/menit untuk menghindari efek samping hipotensi
transient.
4. Cimetidine (Tagamet : sebuah H2-blocker) untuk gejala persisten yang tidak merespon terapi
diatas.
Dosis 200-400 mg IV bolus.
5. Bronkodilator nebulisasi untuk bronkospasme yang persisten. Berikan salbutamol (Ventolin) 2 : 2
dengan nebulizaer tiap 20-30 menit.
6. Kortikosteroid untuk mempotensiasi efek adrenalin dan menurunkan permeabilitas kapiler; efek
tidak didapat dengan cepat.
Dosis hidrokortison 200-300mg IV bolus; dapat diulang tiap 6 jam.
113

 Penempatan
Pasien di-MRS-kan pada ICU/HD setelah konsultasi, untuk observasi dan pengulangan dosis antihis-
tamin dan steroid.

Tabel 1 : Tipe Antihistamin dan Dosis


Tipe Antihistamin Dosis
Difenhidramin (paten: deladril) Dewasa : 25 mg IM/IV
Pediatrik 1mg/kg IM/IV

Chlorpheniramine 10 mg IM/IV
(Piriton; sebuah H1-blocker)

Promethazine (Phenergan) Dewasa : 25 mg IM/IV


Anak > 6 tahun : 12,5 mg IM/IV
Anak < 6 tahun : 6,25-12,5mg IM/IV

Angioedema
Angioedema yang diinduksi Obat
ACE inhibitor merupakan penyebab yang paling sering;
 Manifestasi klinis : area tubuh yang sering terkena :
1. Wajah dan leher (predileksi : bibir, palatum molle, dan laring)
2. Foreskin dan skrotum
3. Tangan dan kaki
 Manajemen bersifat simptomatik, namun harus menyiapkan tindakan definitive airway karena deteorasi
menjadi anafilaksis dapat muncul kapan saja.
 Terapi supportif
1. Pasien harus ditangani setidaknya di intermediate care.
2. Monitoring: tanda vital tiap 15 menit, pulse oksimetri, EKG
3. Pasang IV plug perifer
4. Oksigen supplemental untuk mempertahankan SpO2 > 94%.
5. Bersiaplah untuk intubasi atau krikotiroidotomi : pertimbangkan ‘awake oral intubation’
 Terapi Obat
1. Adrenalin
a. IM 0,3-0,5 ml larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada dewasa > 45 kgBB
b. IM 0,01 ml/kg (sampai 0,3 ml) larutan 1 : 1.000 SQ tiap 20 menit pada anak-anak dan
dewasa < 45 kg.
2. Antihistamin : lihat dosis pada tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
3. Prednisolon
a. Dosis : 40-60 mg PO pada dewasa
b. 2 mg/kgBB Po pada anak-anak

 Penempatan : MRS untuk observasi 12-24 jam karena ‘rebound’ dapat terjadi 6-12 jam setelah onset.
Jika pembengkakan kelopak mata merupakan gejala/tanda satu-satunya, maka pasien dapat diKRS-kan
setelah resolusi.

Hereditary Angioedema (HAE)


Penyebab defisiensi C1-esterase inhibitor dan bisaanya dicetuskan oleh trauma atau stress.
 Manifestasi klinis
- Edema, pembengkakan bibir dan lidah, palatum molle, dan struktur laryngeal
114

- Nyeri abdomen disertai nausea, vomiting, dan diare


 Manajemen
1. Berikan Fresh Frozen plasma ( mengandung C1-inhibitor)
2. Adrenalin seperti tersebut diatas mungkin efektif.
Catatan : kasus HAE sering tidak respon terhadap kortikoid, antihistamin atau dosis standar
adrenalin, dan definitive airway mungkin diperlukan.
 Penempatan : MRS-kan pasien pada High dependency Unit selama 12-24 jam untuk memberikan ten-
densi apabila terjadi resistensi terapi.

Urtikaria
Tabel 2 : Penyebab Umum Urtikaria
Reaksi Obat Penisilin
Aspirin
Obat gol. Sulfa
NSAID
TCMs

Infeksi Infeksi mononucleosis


Hepatitis B
Xsackie virus
Infestasi parasitic

Lain-lain Makanan : kacang, pengawet makanan dan penambah


rasa makanan
Paparan sinar matahari, panas dan dingin
Malignansi
Kehamilan
 Manajemen : sebagian besar simptomatik, namun hati-hati terhadap terjadinya anafilaksis
 Supportif : tangani pada area intermediate care; manajemen pada area low acuity cukup ekonomis na-
mun harus tetap di evaluasi ulang untuk mendeteksi deteriorasi.
 Terapi Obat:
1. Antihistamin : lihat dosis di tabel 1
a. Difenhidramin
b. Chlorpheniramine
c. Promethazine
2. Prednisolone : dosis 40-60mg PO pada dewasa jika lesi luas, atau merupakan episode ulangan, atau
pasien telah mengalami angioedema sebelumnya. Resepkan penggunaan di rumah selama 5 hari
dan tidak dibutuhkan tapering dose.
 Penempatan
1. KRS jika respon terhadap terapi baik dan tidak ada angioedema.
2. KRS dengan antihistamin sedikitnya untuk 3 hari.
3. pertimbangkan MRS jika punya riwayat MRS dengan urtikaria.

Reaksi Anafilaktoid
Reaksi anfilaktoid mirip dengan reaksi anafilaksis, namun tidak didahului dengan paparan allergen sebe-
lumnya karena bukan merupakan keadaan yang dimediasi oleh proses imunologi. Keadaan ini disebabkan
oleh pelepasan histamine langsung dari sel Mast dan makrofag.

Manajemen
 Penyebab yang sering : bahan kontras radiografik, aspirin, NSAID, opiate.
 Terapi : sama dengan anafilaksis

9. Aortic Dissection
115

Definisi
 Diseksi aorta merupakan robeknya tunika intima, hematoma intramural atau separasi tunika media yang
terjadi pada pasien dengan factor resiko seperti Marfan’s syndrome, hipertensi, merokok, aterosklerotik
aorta atau pasien yang hamil.
 2 Klasifikasi primer : the DeBakey dan Stanford classification
 Sistem DeBakey :
1. Tipe I melibatkan aorta ascending, aortic arch dan aorta descending.
2. Tipe II melibatkan aorta ascending, namun tidak meluas ke atas arteri subclavian sinistra.
3. tipe 3 melibatkan hanya aorta descending, dimulai pada atau distal dari arteri subclavian sinistra.
 System Stanford :
1. tipe A melibatkan aorta ascending (dengan atau tanpa keterlibatan aorta descending)
2. Tipe B melibatkan aorta descending saja
Klasifikasi Stanford lebih sederhana dan terkait dengan terapi.

Caveats
 Pertimbangkan diagnosis disseksi aorta pada pasien dengan:
1. nyeri dada/abdomen atas yang mendadak, hebat dan merobek yang menjalar ke punggung, maksi-
mal pada outset dan migrating/berpindah sejalan dengan waktu. Nyeri pada IMA tidak bersifat mi-
gratory, dan jika keduanya terjadi bersamaan, diseksi aorta bisaanya terjadi lebih dulu daripada
IMA.
2. nyeri dada terkait dengan gejala neurologik, sinkope, TIA, stroke atau paraplegia.
3. Nyeri dada dengan peningkatan resiko diseksi aorta, cth : hipertensi, Marfan’s Syndrome.
4. Defisit Nadi atau perbedaan tekanan darah sistolik pada kedua lengan > 20 mmHg atau tekanan da-
rah pada tungkai bawah lebih rendah daripada ekstremitas atas.
5. Nyeri dada dengan onset baru murmur aortic regurgitation.
6. nyeri dadadengan mediastinum melebar > 8 cm pada PA CXR.
 Diagnosa yang menyebabkan kebingungan dengan disseksi aortic thoracic, meliputi :
1. Infark miokard atau unstabel angina
2. Abdominal disease
3. stroke
4. Iskemik trombosis ekstremitas bawah
5. Pneumonia
6. Penyakit pericardial
Catatan : Diseksi aorta dapat terjadi bersamaan dedngan salah satu penyakit diatas.
 Jika diagnosa awal pasien adalah diseksi aorta, sedangkan lebih lanjut tidak ditemukan, ingat :
1. Pada beberapa kasus, multiple test (transesofageal echocardiography [TEE] diikuti dengan CT
scan, dll) diperlukan untuk mendeteksi penyakit.
2. penyebab paling mungkin selanjutnya adalah penyakit jantung yang serius.
3. jika pasien perlu dievaluasi sebagai diseksi aorta, MRSkan pasien
4. pasien dengan hasil pemeriksaan diseksi eorta yang negative emiliki kemungkinan mengalami IMA
(23%) atau unstabel angina
 ingat bahwa diseksi aorta akut lebih sering terjadi 2-3 kali dibanding rupture aneurisme aorta, dan rata-
rata misdiagnosa sebesar 90%. Lebih lanjut, mortalitas pada diseksi tipe a yang tidak diterapi adalah 1%
tiap jam pada 48 jam pertama.

Tips khusus Bagi Dokter Umum


 Diseksi aorta merupakan kondisi serius yang sering terlewatkan. Harus dipertimbangkan bila
hasil EKG (pada suspek IMA) ternyata normal atau nyeri dada disertai dengan deficit neurolo-
gik. Ingat bahwa keadaan ini termasuk 6 penyebab nyeri dada yag mengancam jiwa.
 Ketika diagnosa dicurigai ada, jangan kirim pasien ke ED dengan mobil pribadi. Panggil
ambulan. Sementara itu, jika mungkin, pasang 1-2 jalur IV, control BP pasien dan kurangi
nyeri.
 Jika dicurigai ada diseksi aortic, ingat bahwa antiplatelet dan terapi trombolitic merupakan
kontraindikasi.
116

Manajemen
Catatan : target terapi adalah untuk mencegah kematian dan kerusakan end-organ yang irreversible. Tujuan
terapi medical adalah untuk menurunkan laju peningkatan tekanan darah (dP/dT) dan untuk menurunkan rata-
rata BP dan Heart Rate.

 Monitor tanda vital


 Berikan oksigen aliran tinggi
 Pasang 2 jalur IV dengan jarum ukuran besar. Kirim darah untuk :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. profil koagulasi
4. GXM 4-6 unti; jika hipotensive, 2 unit rapid match blood juga diperlukan.
5. Enzim kardiak.
 Periksa EKG 12 lead untuk mengekslusi IMA
 CXR. Lihat tabel 1
catatan : skrining upright CXR abnormal pada 80-90% kasus disseksi aortic. Namun CXR normal tidak
mengesklusi diagnosa.
 Beri obat untuk memperingan nyeri dengan IV morfin 2,5-5,0 mg dititrasi sesuai klinis
 Pasang kateter urin untuk monitoring urine dan mengeksklusi anuri/oliguri yang menandakan keterli-
batan arteri ginjal.
Catatan : sebagian besar pasien diseksi aotic menunjukkan hipertensi. Persentase yang kecil menunjukkan
hipotensi dari rupture aorta ke dalam ruang pleural atau ke dalam pericardium dengan subsequent tampona-
de.

Tabel 1 : Penemuan Chest X Ray pada Aortic Dissection


1. Pelebaran mediastinum superior (> 8 cm pada film PA; paling sering yaitu pada 75% CXR).
2. Ekstensi aortic shadow > 5 mm diatas dinding yang terkalsifikasi (‘eggshell’ atau ‘calsium’ sign; hal
ini terjadi karena diseksi akut memisahkan tunika adventitian dan intima yang terkalsifikasi; merupakan
yang paling spesifik namun jarang terjadi.).
3. Obliterasi aotic knob atau tonjolan yang terlokalisir.
4. pembesaran aortic
5. densitas dobel aorta (false lumen kurang radioopaque)
6. hilang ruang antara aorta dan arteri pulmonal.
7. Pelebaran jalur/garis paravertebral.
8. efusi pleural baru (hemathorax bebas)
9. apical Pleural cap ( hemothorax apical yang terlokalisir).
10. Depresi cabang utama bronkus kiri > 140o.
11. pergeseran dan elevasi cabang utama bronkus kanan.
12. Deviasi trakea/endotrakeal tube/NG tube kea rah kanan (menjauhi hematoma yang terbentuk)
 Observasi pasien pada chart sirkulasi dan neurology
 Mulai terapi hipotensif jika pasien hipertensi. Tujuannya untuk menurunkan tekanan sistolik sampai
100-120 mmHg. Pertahankan output urin > 30ml/jam. Berikan :
1. IV nitroprusside dengan menambahkan 50 mg pada 500 ml D5%. Mulai infus pada 6ml/jam
(10µg/menit) dan tingkatkan bertahap 10µg/menit tiap 5 menit jika diperlukan, serta berikan Iv
propanolol 1 mg tiap 5 menit sampai target HR 60-80x/menit tercapai (berikan sebelum atau simul-
tan dengan nitropruside karena nitropruside dapat menyebabkan refleks takikardia). atau
2. Infus IV Iabetalol, Iv labetalol lebih mudah diakses dan merupakan alternative yang baik karena
dapat menyebabkan blok alfa dan beta adrenergic. Buat larutan 1 mg/ml dengan mendilusikan
200mg dalam 200 mL NS atau D5%. Mulai dengan 15 mL/jam dan tingkatkan setiap 15 menit jika
perlu. Alternatifnya berika IV labelatol 20mg bolus yang diikuti dengan 20-80mg setiap 5-10 menit
sampai target HR tercapai, kemudian mulai infus pada 1-2 mg/jam.
117

Kontraindikasi penggunaan beta blocker termasuk pasien dengan riwayat gagal jantung kongstif,
heart block, asma, chronoc obstructive lung disease, IV diltiazem dapat diberikan pada kasus ini
menggantikan beta blocker.campurkan 125 mg dalam 100 ml D5% (1 mg/1ml) dan berikan sebagai
20 mg bolus diikuti dengan bolus ulang dalam 15 menit atau mulai infus pada 5-15 mg/jam.
 Jika hipotensif, mulai resusitasi cairan IV. Terapi tamponade jantung yang tidak respon terhadap resusi-
tasi cairan adalah immediate perikardiosentesis.
Catatan : semua pasien mendapatkan terapi medis awal, tidak memperdulikan tipe diseksinya.
 Semua pasien dengan diseksi aortic yang normotensiv atau tidak nyeri harus diterapi dengan regimen
medical. Penurunan tekanan darah dan HR tidak akan menyebabkan kerusakan serta membantu progre-
sivitas diseksi sama halnya dengan pasien hipertensi.
 Indikasi surgical repair disseksi aortic :
1. Semua Diseksi Stanford tipe A
2. Diseksi tipe B dengan komplikasi (rupture, iskemik distal severe, nyeri tak tertahankan, progresif,
hipertensi tidak terkontrol). Diseksi tipe B saja dapat diterapi medis
3. Hipertensi tidak terkontrol.
4. Progresi Diseksi.
5. hubungi kardiologis on call untuk TEE atau atur untuk Ct thorax jika diagnosa dicurigai
Catatan: TEE merupakan pemeriksaan untuk diagnosa definitive diseksi aortic pada pasien yang tidak
stabil.
 Hubungi bedah TKV secepatnya setelah dx dicurigai ada dan terapi medis sedang diberikan.

40………………………………………
118

41. KEKERASAN (NON SEKSUAL)


Definisi :
 Abrasi
1. Jenis cedera paling superficial,misalnya tergores.
2. Tindakan pada epidermis atau sebagian besar permukaan dermis.
 Contusio, misalnya babras-bruise
1. Cedera tumpul pada jaringan merusak pembuluh darah dibawah permukaan, menjadikan darah
ekstravasasi (bocor) kedalam jaringan sekitar.
2. Bisa disertai dengan laserasi atau abrasi disekitar.
3. Bisa datar atau elevasi.
 Laserasi, misalnya potongan, luka tetak atau robek.
1. Luka robek yang disebabkan oleh cedera tumpul yang menembus ketebalan kulit dan muncul
perdarahan profuse.
2. Tidak akan dibingungkan dengan luka iris.
 Luka iris, misalnya 2 jenis luka potong tajam, disebabkan oleh objek bertepi tajam
1. Luka iris, dimana panjang > lebar
2. Luka tusuk, dimana lebar > panjang
PERHATIAN
 Simpulkan bahwa semua kasus kekerasan akan dibawa ke pengadilan dan bahwa anda akan
dipanggil untuk memberikan kesaksian, dimana kemudian opini anda menjadi pengetahuan
publik.Kasusnya dibawa ke pengadilan beberapa tahun kemudian setelah kejadian.Anda akan
dihubungkan dengan yang anda tulis pada waktu pemeriksaan sebagai tambahan pada bukti
diagramatik atau fotografik yang anda dapatkan.
 Oleh karena itu, rekam medik anda harus cermat dan akurat.
 Tidak ada sesuatu sebagai x-ray ’medicolegal’. X-ray akan diminta, atau tidak diminta, berdasar
hanya atas dasar klinis.Ini adalah dokumentasi yang secara medicolegal kritis.
RIWAYAT
 Catat secara akurat dengan dimanapun memungkinkan kata-kata milik pasien, yang meliputi:
1. Waktu dari kekerasan.
2. Metode kekerasan,misalnya tendangan, pukulan, hantaman dengan senjata, dsb.
3. Senjata yang digunakan misalnya pisau,parang,senjata api.
PEMERIKSAAN
 Catat semua cedera mayor dan minor.
 Meliputi bentuk,ukuran,kedalaman, warna, diameter.
 Foto semua lesi (dengan kamera Polaroid,walaupun sekarang gambar lebih baik dengan kamera dig-
ital dengan printer yang menyatu):
1. Gunakan foto sebagai aide-memoire sehingga anda dapat secara akurat merekap seluruh cedera
tanpa menyia-nyiakan waktu anda membuat kekeliruan multiple
119

42. Asma

Caveats
 ‘Tidak semua Wheezing adalah ASMA’ : diagnosa lain seperti gagal jantung kongestif, obstruksi jalan
nafas atas, karsinoma bronkogenik dengan obstruksi atau metasatase karsinoma dengan metastasis limfangi-
tik.
 Asma merpakan kelainan inflamasi kronik yang dikarakterisasi dengan peningkatan responsivitas jalan
nafas sehingga terapi yang diperlukan adalah steroid.
 Trias ASMA : dispneu, wheezing dan Batuk.
 Tujuan terapi pada ED adalah untuk menghilangkan obstruksi aliran udara, memastikan kuatnya oksigenasi
dan mengurangi inflamasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Selama serangan asma akut, penggunaan kortikosteroi oral secara dini akan mengurangi resiko ke-
matian akibat asma. Sehingga hamper smua pasien yang membutuhkan nebulizaer untuk serangan
asam akut yang berat di klinik juga membutuhkan prednisolon oral 0,5mg/kg/hari selama 7-10 hari
tanpa tapering off.
 Pasien yang membutuhkan nebulizer berulang (lebih dari sekali dalam 6-12 bulan) untuk serangan
asma memiliki resiko tinggi untuk mengalami kematian.
 Penggunaan kortikosteroid inhalasi setiap hari akan mengurangi resiko eksaserbasi yang hebat se-
hingga mengurangi resiko tinggi kematian serta hemat secara ekonomis.

Manajemen
 Pada ED, tanda dan gejala serangan asma berat harus diketahui dan ditangani pada area critical care.
 Tingkat keparahan serangan terlihat pada tabel 1.
 Tabel 2 menunjukkan factor resiko menderita asma.
 Manajemen meliputi suportif dan terapetik. Terapi awal pada asma yang tidak mengancam jiwa (ringan
dan sedang) meliputi kombinasi inhalasi beta agonis/antikolinergik dengan steroid oral. Lihat flow chart
pada gambar 1.
 Non-responder akan mebutuhkan nebulisasi intensif, steroid intra vena dan infus magnesium sulfat jika
ada indikasi.
 Pasien terus dimonitor dan diperiksa. Pasien yang berespon terhadap terapi ED membutuhkan follow up
(maksimum dalam 24-48 jam) pada dokter ahli paru. Pasien yang tidak berespon terhadap terapi ED
disarankan MRS.
Tabel 1 : Klasifikasi keparahan eksaserbasi Asma
Ringan Sedang Berat Ancaman gagal nafas
Gejala Saat berjalan Saat bicara Saat istirahat Kepayahan
Sesak Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk tegak Usaha nafas lemah

Frase Sulit untuk bicara


Bicara Kalimat Kata
Bisaanya agitasi Mengantuk atau ke-
Status mental Dapat agitasi Bisaanya agitasi bingungan

Tanda Meningkat Menurun


Laju Nafas Meningkat Sering Sering>30x/menit Paradoksikal gerakan
Penggunaan otot Bisaanya tidak Sering thorakoabdominal
Bantu nafas Tidak ada wheezing
Nyaring, saat (‘silent chest’)
Wheezing Sedang, kadang ekshalasi Bisaanya nyaring Bradikardi
saat akhir ekspirasi saat inhalasi dan Klinis sianosis
<100 100-120 ekshalasi
Nadi/menit >95% 91-95%  > 120
SaO2% (udara ru-  < 91%
ang) 
120

Gambar 1 : Diagram Alur manajemen Asma


 Batuk
Pasien Asma  SOB
 Wheezing
NO (TIDAK ADA)
Apakah ada gejala yang men-
gancam nyawa?
YA (ADA)
 Silent chest
 Sianosis, SaO2<91%, bradikardi
 Usaha nafas lemah, gerakan thorakoabdominal yang paradoksikal
 Kepayahan, kebingungan atau obtundation
 Prediksi PEFR < 35%

 Siapkan intubasi secepatnya : sediakan obat sedasi dan paralysis (lihat bab Air-
way Management/Rapid Sequence Intubation).
 Lakukan serial BGA untuk mendeteksi hipksemia progresif, hiperkapnea dan
asidosis
 Indikasi intubasi: hiperkarbi persisten, hipoksia hebat dengan PaO2 < 60mmHg

Terapi Suportif
1. Tangani pada Area critical care dengan oksigen aliran tinggi
2. Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
3. Akses IV kristaloid 500ml selama 3-4 jam
4. CXR : pasien yang tidak berespon terhadap terapi awal : cari adanya
pneumothorax, pneumonia atau CCF
Terapi Obat-obatan
1. MDI (Metered Dose Inhaler) dengan jarak : 4 hirupan salbutamol (100µg) +
4 hirupan atrovent (20mg) tiap 15 menit sampai 1 jam diulangsesuai siklus 2-
4jam sekali.
2. Terapi nebulizer Salbutamol (Ventolin) : 1 ml (5mg) salbutamol dengan 2 ml
ipatropium bromide dan 2 ml NS sehingga menjadi 5 ml. (Pada anak
0,03ml/kg Ventolin didilusikan dalam 2 ml saline : diulang dua kali). Terapi
alternative pada 1 kecuali suspek SARS; dapat digunakan jika pilihan terapi
obat pertama gagal.
3. Prednisolone oral 0,5-1mg/kg (maksimum 60mg).

Perbaikan Pertimbangkan MRS


1. cek pasien dan PEFR : (optional Non-Responder/Berespon sebagian 1. Pasien tidak mam-
1. PEFR<50% diprediksi min 60menit: ulang
dan juga harus memeriksa tinggi) nebul 2-3x menggunakan salbutamol 5mg pu untuk memper-
baseline dan setelah 2 kali nebuliz- atau 7,5mg dengan 2ml ipatropium, 1,5ml tahankan
er. NS dicampur hingga 5ml. PEFR≥50%
2. Reassessment: jika PEFR ≥ 50% 2. kortikosteroid: hidrokortison IV 400-500mg, setelah terapi dan
4-6mg/kg pada anak.
dan perbaikan subyektif, pertim- 3. MgSO4 IV 1-2mg bolus perlahan (20menit)
observasi 1-2 jam
bangkan KRS dengan follow up 4. Adrenalin: (gunakan hati-hati pada lansia, 2. Previous intuba-
dalam waktu 48 jam (klinik IHD atau hipertensi berat) 0,3-0,5ml larutan tion/MRS di ICU.
Spesialis Paru). 1:1000 SC tiap 20menit pada dewasa>45kg 3. Bukti Xray
3. Semua pasien yang KRS harus atau 0,01ml/kg (sampai 3ml) latrutan 1:1000 menunjukkan
pada dewasa <45kg atau pada anak-anak.
menerima prednisolone oral 0,5- ATAU Terbutalin : (lebih β2 selektif dari- pneumothorax, in-
1mg/kg/hari (40mg maksimum paada adrenalin) 0,25ml SC tiap 20- feksi atau concom-
tanpa tap off) selama 7-10 hari dan 30mmenit prn pada dewasa, 0,01ml/kg laru- itant CCF.
follow up. tan 1mg/ml sampai 0,25ml pada anak-anak.
4. Tambahan : inhalasi steroid (pul-
micort turbuhaler 200µg 2x/hari.
121

Evaluasi Ulang

Tabel 2 : Faktor Resiko Kematian pada Asma


Riwayat terdahulu : serangan asma berat
Sebelumnya pernah mengalami intubasi akibat asma
Sebelumnya MRS pada ICU akibat asma
≥2 kali MRS karena asma pada tahun lalu
≥3 kali kunjungan ke Emergency care karena asma pada tahun lalu
MRS atau kunjungan ke Emergency care karena asma pada bulan sebelumnya.
Penggunaan > 2 unit/bulan inhalan beta agonis short acting
Baru saja menggunakan kortikosteroid sistemik atau recent withdrawal dari kortikosteroid sistemik
Merasakan obstruksi aliran udara
Komorbid dengan penyakit kardiovaskular atau COPD
Penyakit psikiatrik yang serius atau memiliki masalah psikososial
Status sosioekonomi yang rendah serta bertempat tinggal di perkotaan
Pengguna obat-obatan terlarang

43.............................
122

44.GIGITAN ULAR BERBISA

Penting
 Yang terpenting pada kasus gigitan ular adalah korban sulit memastikan apakah ularnya berbisa atau
tidak.
 Tanda/gejala gigitan ular berbisa:
1.rasa nyeri pada daerah gigitan
2.bengkak pada sekeliling luka gigitan dan secara bertahap menyebar ke proksimal.
3.munculnya perdarahan kulit dan bula yang berisi cairan serosa atau darah.
4.munculnya gejala sistemik seperti mual,muntah, diare,rasa sakit sekali pada
perut,gelisah,hipotensi,perdarahan(epistaksis,gusi berdarah,perdarahan saluran perncernaan),ganggua
sistim saraf(paralysis,ptosis,gangguan gerakan bola mata,gangguan bicara,gangguan
menelan,sempoyongan,kejang),gagal nafas dan urin yang gelap(mioglobinuria).
 Bila ular yang menggigit dapat ditangkap,maka dapat minta bantuan pada kebun binatang local atau ahli
reptile untuk mengidentifikasi ular tersebut.
Lihat bagan 1 untuk cara identifikasi gigitan ular.
 Hati-hati agar jangan membawa ular yang diduga telah mati,karena refleks envenomasi akibat dekapita-
si kepala ular masih dapat terjadi beberapa jam setelah mati.
 Hanya sedikit jumlah ular tanah yang berbisa.
 Semua ular laut berbisa.Diduga bila terjadi gigitan tanpa rasa sakit yang terjadi saat berenang di laut
atau saat menangkap ikan.Nyeri pada semua otot dan sakit,dan rasa kaku bila digerakkan.Biasanya ter-
jadi cepat dalam setengah sampai sejam setelah gigitan.
 Bisa ular dapat dikelompokan sebagai berikut:
1.hematotoksin atau kardiovaskular toksin (seperti pada jenis Crotalidae)
2.neurotoksin (seperti pada jenis Elapidae dan Hydropiidae)
3.miotoksin (seperti pada hydropiidae)
 Lihat table 1 untuk derajat kekuatan bisa ular
 Anti bisa ular harus diberikan di rumah sakit pada korban gigitan ular berbisa yang menunjukkan gejala
keracunan sedang sampai berat
 Daerah ektremitas yang digigit harus diimobilisasi untuk menurunkan metabolisme, absorption dan
penyebaran bisanya.
 Dalam imobilisasi jangan memakai torniket atau memanipulasi luka.Tapi gunakan konstrikting band
sebelah proksimal dari luka.Bebat yang dilakukan harus cukup menekan,tapi jari pemeriksa juga harus
dapat masuk diantara bebat dengan permukaan kulit yang luka.Cara ini berguna bila gigitan ular belum
lebih dari 30 menit.

Tabel 1: Derajat kekuatan bisa ular


Minimal Rasa sakit minimal s/d sedang,eritema,edema ukuran
2,5-15 cm,tanpa
Disertai gejala sistemik
Sedang Sakit sekali,nyeri pada daerah luka, edema 25-40
cm,eritema,perdarahan kulit(ptekie),muntah, demam
dan lemah
Berat Rasa sakit yang cepat menyebar,edema 40-50
cm,ekimosis dan disertai gejala sistemik
Sangat berat Bengkak yang cepat terjadi,ekimosis,gejala ganggua
CNS,gangguan penglihatan,kejang dan sampai syok
123

Bagan 1: Identifikasi jenis ular berbisa

pastikan ular benar-benar


telah mati

identifikasi ular dari bentuk luar


atau
cocokkan ciri fisik ular dengan gambar/teks

bila tidak dapat dilakukan

lihat gigi taringnya(harus memakai sepasang forseps)


note: bekas taring adalah 2 titik yang berjarak + 1,25 cm
jika ada jika tidak ada
ular berbisa ular tidak berbisa

gigi taring pendek gigi taring panjang

flat oar-like tail kepala dengan


sisik yang besar kepala bentuk segitiga

ular laut ular kobra,kraits viper


(hydropiidae) koral(elapidae) (crotalidae)

Penatalaksanaan:
 Pasien dirawat di ruang resusitasi,letakkan berbaring dan bagian tubuh yang digigit harus diimobilisasi
pada posisi dependent.
 Pertahankan jalan nafas tetap terbuka bebas,jika bahaya paralysis pernafasan atau bulbar akan terjadi
maka pasien harus diintubasi atau ventilasi dengan pembedahan jika intubasi tidak mungkin dilakukan
karena berbagai sebab.
 Berikan O2 high flow
 Pemeriksaan tanda-tanda vital secara lengkap
 Monitoring EKG,pulse oksimetri dan tanda vital tiap 5-10 menit
 Pemeriksaan lab:DL, faal hemostasis, UL, urea/elektrolit/kreatinin,EKG.Pada kasus yang berat dit-
ambahkan: mioglobin urin,skrining DIC,CPK,CKMB
 Jika pasien datang dengan terpasang torniqet, maka yang harus dilakukan untuk antisipasi envenomasi
mendadak:
1.pasang infuse NS 0,9%
2.peralatan resusitasi yang memadai
3.monitoring lengkap tersedia
 Pasang kateter untuk pasien yang tidak stabil/syok
 Mual dan muntah dapat terjadi akibat bisa yang jenisnya hematotoksik
124

Table 2 : dosis pemberian serum anti bisa ular

Derajat bisa ular secara klinis Dosis serum anti bisa ular
Minimal Tidak indikasi diberikan SABU
Sedang 20-40 cc(2-4 vial) (masih kontroversi)
Berat 50-90 cc(5-9 vial)
Sangat berat 100-150 cc(10-15 vial)

 Irigasi mata yang terkena semprotan bisa ular (beberapa jenis kobra akan menyemprotkan bisanya kea
rah mata korban).
 Jangan menekan bagian proksimal daerah luka gigitan ular berbisa dengan torniket.
 Jangan mengompres luka dengan es,karena pada saat kompres dihentikan,efek vasodilatasi akan
mempercepat penyerapan bisa ular.
 Jangan melakukan insisi ataupun menghisap luka gigitan.

Perhatian khusus
 Berikan serum anti bisa ular untuk menetralisir bisa ular: anti bisa ular polivalen harus selalu tersedia di
ruang P1 dan harus disimpan di lemari es pada suhu 2-6ºC.
Ketika SABU sudah keluar dari lemari es,maka harus cepat diberikan karena pada suhu ruangan akan
cepat kehilangan khasiatnya.
 Indikasi dan dosis pemberian dapat dilihat pada Tabel 2.
 Pencegahan akibat reaksi SABU:
1.apakah pasien sudah pernah mendapat suntikan serum sebelumnya,misalnya ATS(bukan ATT).
2.pasien punya alergi atau punya keluarganya ada yang alergi:
a.tes sensitivitas pasien terhadap serum dengan diberikan suntikan 0,1 cc serum yang telah didilusi den-
gan perbandingan 1:10 secara intradermal.Observasi selama 30 menit apakah ada reaksi local dan men-
yeluruh.Bila terjadi reaksi, dapat diberikan difenhidramin IV,kortikosteroid IV dan atau adrenalin IM
1:1000 atau IV 1:10.000.
b.berikan SABU pada pasien dengan riwayat alergi setelah lebih dulu diberikan antihistamin dan hidro-
kortison 15-30 menit sebelumnya.
 Antikolinesterase diberikan pada pasien dengan gejala neurotoksin yang berat, dengan diberikan dosis
percobaan edrofonium klorida(Tensilon) 10 mg dengan atropine 0,6 mg.Bila respon setelah pemberian
obat tersebut kurang,dapat diberikan neostigmin.
 Analgesic/sedasi diberikan jika pasien sangat kesakitan.Dapat diberikan morfin atau diazepam,atau ke-
duanya dalam dosis kecil dititrasi sampai efek yang diinginkan tercapai.Persiapan intubasi harus dila-
kukan bila tanda-tanda depresi nafas muncul seperti kelemahan otot akibat efek racun dari bisa ular.

Disposisi
 Semua penderita gigitan ular berbisa harus diobservasi,bila gejala keracunannya berat harus dikon-
sultasikan pada tim ICU.
125

BAB 45. LUKA BAKAR MAYOR

Definisi luka baker mayor;


1. sebagian dan seluruhnya >10% dari permukaan tubuh, pada anak < 10 th atau orang dewasa > 50 th.
2. sebagian dan seluruhnya >20% permukaan tubuh pada orang dewasa
3. sebagian dan seluruh luka pada daerah khusus spt; wajah,mata, telinga, kepala, leher, perineum,
genetalia, tangan, kaki atau dipersendian besar.
4. seluruh tubuh > 5% dari permukaan tubuh pada banyak bagian
5. luka baker karena sengatan listrik.
6. lika baker kimia.
7. trauma inhalasi
8. luka baker melingkar
9. luka baker pada pasien dengan penyulit yang dapat menyebabkan komplikasi dan kematian.

Penanganan luka baker menurut ATLS pada primary survey adalah mengatasi masalah jalan nafas dan respirasi,
sedangkan pada secondary survey adalah penanganan gejala klinis pada tubuh yang mengalami luka baker tan
total cairan yang hilang.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan luka baker dilakukan di IRD. Setelah penenganan ABC nya maka dilakukan profilaksis intubasi
pada pasien dengan resiko sumbatan jalan nafas, spt pada;
1. luka baker di kepala yang melingkari hidung dan mulut.
2. adanya jelaga pada lubang hidung, atau hilangnya bulu hidung karena terbakar.
3. luka baker di lidah
4. pembengkakan pada jaringan mulut bagian dalam
5. adanya suara yang serak
6. udema laring yang dapat dilihat dengan laringoskop
7. inspirasi yang ngorok

intubasi jalan nafas ini sangat beresiko, sehingga harus dilakukan secata cepat.(RSI)
1. oleh karena sangat berpotensi menimbulkan kesulitan jalan nafas, maka sebelum dilakukan RSI,
sebaiknya dilakukan intubasi secara sadar.
2. harus disiapkan cricotiroidektomi, bila sewaktu-waktu intubasi gagal
3. monitor ketat selama dilakukan intubasi
4. intubasi dilakukan oleh dokter emergency senior atau oleh ahli anastesi
5. pemberian suxamethonium tidak did=indikasikan untuk luka baker akut

 oksigen 100% diberikan pada pasien yang tidak diintubasi


 pasang infuse dengan cairan kristaloid
 perlu dilakukan pemeriksaan;
1. DL, RFT, elektrolit, LFT, FH, GDA
2. analusa gas`darah, level COHb.
3. ECG dan foto thorak.

 pasang kateter urin


 penatalaksanaan hipotermi

PEMBERIAN CAIRAN DAN OBAT UNTUK LUKA BAKAR


*Berat ringannya luka baker menentukan penatalaksaan dengan menggunakan “RULE OF NINE” untuk pasien
dewasa dan “LUND BROWDER” untuk anak-anak.
* telapak tangan pasien termasuk jari tangan diperkirakan = 1%
126

* yang dipakai sbg dasar pengobatan adalah luas luka baker terutama untuk kalkulasi cairan. Banyak pasien
dengan luka baker >20% membutuhkan caira resusitasi. Pemasangan infuse dengan jaru 16G dapat dilakuakn
pada tempat yang tidak mengalami luka baker. Cairan yang digunakan dapat di kombinasi antara cairan
kristaloid dengan cairan koloid.

PARKLAND’S FORMULA
_____________________________________________________________
Total cairan yang diberika dalam 24 jam= 2-4 ml/kgbb/%luas luka baker
 total volume dibagi dalam 2 tahap
 setengah pertama diberikan lewat infuse dalm 8 jam pertama
 setengah sisanya diberikan dalam 16 jam.

Waktu dihitung sejak terjadinya luka baker


Cairan terpilih adalah Hartman’s solution

PENANGANAN NYERI
1. injeksi petidhin 1mg/kgbb
2. injeksi morphin 2mg tiap 20 menit maksimal 10mg
3. injeksi tramodol 50mg dilanjutkan dengan infuse
4. dapat juga diberikan inhalasi entonox

PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR


 luka harus dibersihkan dan ditutup dengan kassa steril
 escharotomi jika luka luas dan dalam serta melingkari leher dan dada
1. escharotomi dapat dilakukan dengan ayau tanpa analgesic
2. digunakan pisau steril
3. incise sesuai dengan garis anatomi dimulai dari garis tersebut dan sekelilingnya melingkari
semua eschar dilateral maupun dimedial permukaan luka terutama daerah persendian. Luka
baker yang melingkari dada dilakukan incise dua arah pada garis anterior axilla terutama jika
mengganggu otot-otot prenator.
4. incise dilakukan sedalam lemak, dan dihindari terjadinya pemotongan pembuluh darah.

46…..
127

47. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

DEFINISI
 Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) ditandai oleh keterbatasan aliran udara parsial yang bersifat reversi-
belm yang berlangsung progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi abnormal jarinagn paru terhadap
gas ataupun partikel toksik.

PERHATIAN
 Gejala khas meliputi batuk, produksi sputum kronis dan sesak yang diinduksi oleh aktvitas fisik dengan se-
bagian besar pasien mengalami paparan terhadap tembakau.
 Sekitar 10% pasien PPOK tidak mempunyai riwayat kebiasaan merokok
 10% pasien PPOK menunjukkan gejala klinis asma dan harus ditangani sebagai kasus asma.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Pada semua pasien PPOK, anjurkan untuk berhenti merokok, karena hal ini
merupakan intervensi yang terpenting.
 Vaksinasi flu juga harus dipertimbangkan, karena hal tersebut telah terbukti
dapat mengurangi episode eksaserbasi

DIAGNOSIS BANDING
 Gagal jantung kongestif (CHF): pemeriksaan beta natriuretic peptide (BNP) merupakan metode terbaik
untuk membedakan PPOK dari CHF.
 Sindroma Koroner Akut (ACS)
 Emboli paru (PE)
 Pneumothoraks/ kolaps paru
 Penumonia

Tabel 1: Klasifikasi PPOK berdasarkan beratnya menurut global initiative for chronic obstructive
lung disease (GOLD)
0: Berisiko Spirometri normal
Gejal kronis (batuk, produksi sputum)
I: Ringan FEV1/FVC <70%
FEV1 >80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala kronis (batuk, produksi sputum)
II: Sedang FEV1/FVC <70%
30% < FEV1 < 80% prediksi
III: Berat FEV1/FVC <70%
FEV1 <30% prediksi atau FEV1 <50% prediksi disertai gagal nafas atau tanda
klinis gagal kantung kanan

TATA LAKSANA
 Suplemen O2 aliran rendah terkendali untuk semua pasien dengan distres nafas atau SpO2<90% untuk men-
capai saturasi 90-95%. Dapat digunakan kanul hidung atau sungkup venturi.
 Indikasi RSI dan ventilasi:
1. Ancaman henti nafas
2. Sesak hebat & nyata
3. Asidosis berat atau hiperkapnia
4. Penurunan kesadaran
5. Syok
Catatan: Pengaturan ventilasi sebaiknya menggunakan frekuensi rendah, volume tidal rendah dan fase ekspirasi
yang lebih panjang.
 Obat-obatan meliputi:
128

1. Agonis β-2: salbutamol 5mg (1ml) diuapkan. Efikasi obat ini tergantung pada tingkat ireversibilitas
kondisi PPOK pasien.
2. Antikolinergik: ipraptropium bromide 2ml (0.5 mg). Kombinasi antara 1 dan 2 tidak memberikan
tambahan efek samping dan menghasilkan efek bronchodilatasi yang lebih unggul dibandingkan hanya
menggunakan salah satunya.
3. Kortikosteroid: 0.5-1.5 mg/kg prednisolon oral selama 10-14 hari.
4. Metilsantin (aminofilin) tidak menunjukkan perbaikan FEV1 ataupun mempengaruhi lama rawat inap.
5. Antibiotika: indikasinya meliuti peningkatan keluhan sesak, peningkatan produksi dan purulensi
sputum. Koloni bakteri yang umumnya ditemukan meliputi Strep pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Klebsiella, Mycoplasma, Pseudomonas dan Streptococcus. Antibiotika yang
bermanfaat meliputi generasi lanjut makrolid dan kuinolon.
Catatan: Tidak terbukti manfaat Sulfas Magnesikus pada kasus PPOK
 Ventilasi non-invasif (VNI), merupakan standar pelayanan baru, dapat menurunkan mortalitas, kebutuhan
intubasi, komplikasi dan lama rawat inap bila dibandingkan dengan terapi medikamentosa biasa. Indikasi
VNI adalah:
1. Asidosis respiratorik sedang (pH 7.26-7.32)
2. Distres nafas persisten (RR >22/menit) setelah terapi awal PPOK eksaserbasi akut.
 Pasien yang tidak sesuai untuk dilakukan VNI adalah pasien dengan:
1. Henti nafas
2. Instabilitas kardiovaskuler (hipotensi, aritmia, infark miokard)
3. Penurunan tingkat kesadaran dan memberatnya penurunan kesadaran
4. Resiko aspirasi tinggi
5. Baru menjalani pembedahan pada wajah atau gastroesofagus
6. Trauma kraniofasial dan abnormalitas nasofaring yang menetap
7. Obesitas ekstrim
 Kriteria pasien dipulangkan meliputi:
1. Tidak memerlukan terapi inhalasi agonis β-2 lebih sering dari setiap 4 jam.
2. Pasien yang sebelumnya memiliki mobilitas dan dapat berjalan dengan nyaman.
3. Pasien telah stabil secara klinis selama 12-24 jam.
4. Hasil AGD yang stabil selama 12-24 jam.
5. Pasien ataupun pihak yang merawatnya memahami dengan baik penggunaan obat-obatan secara tepat.
6. Perjanjian untuk kunjungan lanjutan ataupun perawatan di rumah telah diselesaikan.
7. Pasien, keluarganya dan dokter yang merawat merasa yakin bahwa pasien akan dapat dirawat dengan
baik di rumah.
129

48. Coronary syndromes, akut

Definisi
Acute Coronary Syndromes (ACS) meliputi kondisi yang meiliki kesamaan patofisiologi oklusi koronaria,
contoh unstabel angina, non ST elevasi MI (NSTEMI) dan ST-segment elevation MI (STEMI). Manajemen un-
stabel angina dan NSTEMI pada dasarnya serupa.

Caveats
 Pasien bisaanya datang dengan gejala :
1. Onset baru (<2bulan) severe angina.
2. Angina yang memburuk, dengan gejala yang lebih sering, lebih parah, atau leboih lama dan kurang
berespon terhadap gliseril trinitrat. (GTN).
3. Angina yang memanjang padaa saat istirahat (>15 menit).
Catatan : Non-STEMI harus didiagnosa pada pasien dengan peningkatan enzim kardiak tanpa adanya
gelombang Q pada IMA. Sebuah keadaan NSTEMI tidak harus ditandai dengan perubahan EKG.
 EKG mungkin menunjukkan :
1. Depresi ST segment
2. Elevasi ST segment transient yang akan mengalami resolve secara spontan setelah GTN.
3. Inversi gelombang T
4. bukti adanya miokard infark sebelumnya.
5. Left Bundle Branch Block
6. perubahan minor yang tidak spesifik.
7. atau bisa juga normal
EKG tidak harus menunjukkan elevasi akut ST segment yang persisten.
 Enzim kardiak konvensional (CK,CK-MB, AST, LDH) dapat normal atau meningkat. Peningkatan tro-
ponin T atau I spesifik untuk kerusakan miokard. Troponin T > 0,1 µg/l, tes kualitatif troponin T yang
positif dan troponin I > 0,4 µg/l, merupakan penanda yang terkait dengan peningkatan resiko kematian
dini pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada hasil EKG. Semakin tinggi konsentrasi troponin semakin
besar resiko kematian selama hari 30-42. Konsentrasi troponin yang normal atau tidak terdeteksi dalam
> 12 jam setelah onset mengindikasikan pasien memiliki resiko yang rendah unutk mengalami
komplikasi.
 Penelitian membandingkan troponin T dengan troponin I menunjukkan keduanya sensitive dan spesifik,
punya signifikansi indikasi prognostic yang serupa, serta berperan pada stratifikasi resiko.
 Pasien ACS memiliki resiko efek samping dini yang meningkat dibawah kondisi berikut:
1. Usia > 65 tahun
2. Komorbid terutama dengan DM
3. Nyeri jantung yang memanjang pada saat istirahat (>15 menit).
4. Iskemik EKG depresi ST segment pada saat MRS atau selama gejala muncul.
5. EKG menunjukkan inverse gelombang T
6. Bukti adanya kerusakan fungsi ventrikel kiri (preexisting atau selama iskemik miokard).
7. Pelepasan troponin jantung yang positif
8. Peningkatan C-reactive protein
 Kategori resiko rendah : troponin jantung normal pada 12 jam setelah onset gejala. Kelompok ini juga
memiliki EKG yang normal serta CK-MB yang normal, serta tidak perlu MRS di CCU atau high
dependency ward.
 Terapi bertujuan : control gejala dan mencegah MI serta kematian. Dapat dicapai dengan menggunakan
antiiskemik dan antitrombotik, jika tidak berhasil dilanjutkan dengan revaskularisasi mekanis.
 Penting untuk menangani hipertensi dan gagal jantung pada fase akut ACS.
 Terapi trombolitik tidak menunjukkan manfaat pada pasien ACS tanpa ST elevasi pada EKG (kecuali
pada suspek IMA dan left bundle branch Block).

Tips khususBagi Dokter Umum:


 Rujuk semua kasus ACS ke ED.
 Berikan aspirin 300mg sebelum mengirim pasien ke RS.
130

Manajemen
Nyeri Dada iskemik berkelanjutan/perubahan EKG menunjukkan Unstabel angina atau NSTEMI
 Monitoring tanda vital pada area critical care
 Berikan O2 via mask
 Aspirin oral 300mg
Catatan : ini merupakan terapi dasar ACS, yang akan mencapai platelet inhibition dalam 1 jam. Hindari en-
teric-coated aspirin, karena onset akan lebih lambat sampai 3-4 jam. Aspirin mengurangi resiko kematian
jantung dan infark miokard non-fatal pada sekitar 50% kasus dalam 3 bulan.
 IV plug dan pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, troponin T atau I, profil
koagulasi, GXM 2 unit packed cells.
 Berikan IV GTN 20-200 µg/menit untuk mengurangi nyeri atau iskemik. Tingkatkan 5-10 µg/lmenit
pada interval 5-10 mneit sampai nyeri dada hilang atau MAP turun 10%. Hentikan jika terjadi hipotensi.
Catatan : IV GTN bermanfaat pada ACS dan hipertensi/gagal jantung. Tidak ada bukti bahwa IV infusion
lebih efektif dibanding dengan long-acting nirate yang diberikan melalui rute lain, namun titrasi dosis dapat
lebih cepat dan lebih mudah dilakukan dengan jalur IV. GTN merupakan kontraindikasi bagi infark ventric-
ular kanan.
 Berikan IV morfin secara titrasi untuk mengurangi nyeri jika nyeri menetap setelah pemberian GTN.
 Berikan beta-blocker untuk mengurangi resiko infark jika tidak ada kontraindikasi, cth gagal jantung,
gagal nafas, heart block derajat 2 atau lebih, tekanan darah sistolik < 90mmHg. Contoh :
atenolol/metoprolol oral 50-100mg/hari.
 Berikan Calsium Channel Blocker bersama dengan beta blocker atau pada pasien dengan kontraindikasi
betablocker namun tidak meilki gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri. Titrasi sampai HR
60x/menit. Cth : Diltiazem IV 5mg selama 2-5menit, diulang tiap 5-10 menit samapai dosis total 50mg.
diikuti dengan infus 5 mg/menitsampai 15mg/menit.
 Heparin, ketika digunakan IV, mengurangi insiden iskemik berulang dan progresi Q-wave MI.
Penggunaan IV heparin butuh monitoring hati-hati. Namun tidak diperlukan bila menggunakan heparin
molekul kecil dan cara kerjanya lebih mudah diprediksi karena memiliki bioavaibilitas yang nyaris
komplit. Diberikan 2 kali sehari dengan injeksi SC selama 3 hari.
Catatan : resiko komplikasi pada pasien unstabel angina dan non-STEMI akan berkurang pada keadaan
dibawah ini:
1. unfractioned heparin tanpa aspirin lebih efektif ddari pada placebo.
2. Unfractioned heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif dibanding dengan aspirin saja.
3. Low molecular weight heparin dikombinasikan dengan aspirin lebih efektif daripada aspirin saja.
 Kasus resiko tinggi harus diterapi dengan intravenous small molecule platelet glycoprotein IIb/IIIa in-
hibitor selama 96 jam. Juga harus diberikan pada pasien dengan troponin T yang meningkat yang di-
jadwalkan menjalani intervensi koronari perkutaneus menggunakan unfractioned heparin. 3 jenis agent
yang digunakan adalah : abciximab, tirofiban dan eptifibatide.
 Deteksi dan koreksi factor pencetu yang jelas : anemia, demam, tirotoksikosis, hipoksia, takidisritmia,
stenosis aorta atau obat simpatomimetik.
 Lakukan CXR.
 MRS pada CCU.

Diagnosa Unstabel Angina berdasarkan keadaan klinis tanpa perubahan EKG/perubahan ECG non-spesific
serta pasien telah bebas dari nyeri dada
 Monitoring pada area intermediate.
 Berikan aspirin oral 300mg
 Pasang IV plug dan periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung, troponin T atau I jan-
tung, profil koagulasi, cross match 2 unit packed cells.
 Aplikasikan nitroderm patch 5-10mg tergantung pada tekanan darah.
 Lakukan CXR.
 MRS pada bangsal kardiologi.
131

49. Crush Syndrome

Caveats
 Kegagalan mengenali kondisi ini menyebabkan kematian tinggi
 Metabolik toksin dari kerusakan otot menyebabkan:
1. Sumbatan tubulus ginjal mengakibatkan gagal ginjal
2. Ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa menyebabkan disritmia diikuti DIVC
 Penyebab:
1. Luka bakar
2. Terjepitnya otot besar > 60 menit, misal pada crush injury, alkoholik dan pengguna obat saat tidak
sadar
3. Non traumatik neuroleptic malignant syndrome
4. Kejang grand mall yang lama
 Masalah: hipovolemia, hiperkalemia, hipokalsemia, myoglobinuria, gagal ginjal, ARDS, DIVC

Tips Khusus untuk dokter umum:


Resusitasi cairan secepatnya dapat bermanfaat

Penatalaksanaan
 ABC merupakan protocol utama
 Kateter intravena 2 jalur dan resusitasi cairan secepatnya minimal 1.5 L/ jam
 Lab: darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, kalsium serum, faal koagulasi
 Urinalisis untuk myoglobin
 ECG untuk mendeteksi aritmia akibat hipokalsemia dan hiperkalemia
 Monitor produksi urine: pasang kateter urine. Jika produksi urine buruk, force diuresis mannitol – alka-
line sampai pH urine > 6,5
 Profilaksis antitetanus jika ada luka terbuka
 Beritahu orthopedik untuk segera fasiotomi
132

50 Dengue Fever

Definisi
Dengue fever merupakan penyakit infeksi demam akut, disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus, vector :
Aedes aegypti. Patofisiologi penyakit terjadi karena peningkatan permeabilitas kapiler yang berlebihan, dengan
keluarnya plasma kapiler yang difus, hemokonsentrasi, dan beberapa kasus terjadi syok hipovolemik hemorrhag-
ic.. periode inkubasi : 3-6 hari; bebepara kasus mencapai 15 hari.

Manifestasi klinis
Dengue fever (DF)
 Gejala klinis dengue fever pada tahap awal serupa dengan pasien infeksi virus.
 Ditandai dengan demam dan trombositopenia.
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
 Fase awal tidak dapat dibedakan dengan DF.
 Setelah 2-5 hari, beberapa kasus pada infeksi yang pertama atau lebih sering setelah infeksi yang
berulang akan menunjukkan trombositopenia (<100.000/mm3) dan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit >20% atau >45%).
 Manifestasi perdarahan dapat muncul atau tidak; limphe tidak teraba, terdapatnya pembesaran hepar
serta nyeri tekan merupakan tanda prognosis yang buruk.
 Manifestasi lain: efusi pleural, hipoalbunemia, ensefalopati dengan cairan serebrospinal yang normal.
 Acute liver failure dengan perubahan kesadaran yang jarang terjadi serta didapatkan tanda neurologik
yang abnormal (Hiperrefleksia) dapat timbul. Pasien seperti itu akan mudah mengalami perdarahan he-
bat, gagal ginjal, edema otak, edema paru dan infeksi sekunder. Intervensi dini diperlukan. Pelepasan
plasma dari kapiler secara difus bertanggungjawab terhadap terjadinya hemokonsentrasi.
 Klasifikasi DHF menurut WHO :
Grade I demam, gejala konstitusional, tes tourniquet positif
Grade II Grade I dengan adanya perdarahan spontan
Grade III Grade II dengan instabilitas hemodinamik dan mental confusion
Grade IV Grade III dengan syok
Kasus disertai dengan trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Grade III dan IV dinamakan Dengue Shock Syndrome (DSS).

Caveats
 Diagnosa DF pada ED muncul bila didapatkan riwayat demam > 3 hari dan tidak merespon terapi yang
diberikan.
 Gejala abdomen seperti nausea, vomiting, nyeri epigastrial, dan diare sering menyebabkan misdiagnosa
manjadi GE atau gastritis viral, terutama pada anak-anak.
 Demam bisaanya tinggi dan memnjang, resisten terhadap terapi. Bisaanya nyata pada pasien yang ting-
gal di daerah endemis dengue.
 Beberapa pasien dapat menunjukkan nyeri punggung yang hebat.
 Pasien dengan riwayat keluarga positif dengue, memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita infeksi
yang sama, sehingga diperlukan monitoring hitung trobosit.
Tips Khusus bagi Dokter Umum:
 Skin rash seperti eritema menyeluruh dengan pockets of sparing di ekstremitas bawah tidaklah selalu
konsisten. Namun wajah pasien dengan dengue bisaanya akan terlihat flushing/memerah. Kadang
pasien datang dengan keluhan perdarahan gusi.
 Rujuk semua kasus suspek DHF atau DSS secepatnya ke RS.
Manajemen
 Tidak ada terapi dengue yang spesifik. Pemberian terapi suportif (replacement cairan dan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit) merupan kunci penanganan pasien infeksi dengue.
1. Monitor hitung trombosit tiap hari sampai menunjukkan peningkatan.
2. Monitor profil koagulasi : ulang tes jika diperlukan.
 Pasien yang serius ditangani pada area critical care untuk dimonitoring.
133

 FBC penting pada semua pasien demam tinggi yang terus menerus tanpa sumber infeksi yang jelas.
Penemuan penting pada pasien dengue :
1. lekopeni; adanya lekositosis dan netrofilia mengeksklusi adanya kemungkinan dengue, dan infeksi
bacterial harus dipertimbangkan.
2. Trombositopeni (< 100.000/mm3): leptospirosis, measles, rubella, meningococcemia, septisemia,
malaria, dan SARS juga dapat menyebabkan trombositopeni namun rash tidak sering timbul pada
malaria tanpa komplikasi.
3. Hematokrit menunjukkan hemokonsentrasi.
4. Urea dan elektrolit : hiponatremia
5. LFT : abnormalitas enzim hati.
 Monitoring tanda vital, adanya hemokonsentrasi, penggantian cairan intravascular dengan RL atau iso-
tonic salin, koreksi asidosis metabolic, serta pemberian oksigen merupakan tindakan yang dapat me-
nyelamatkan nyawa pasien DSS. Ketika pasien stabil, leakage kapiler berhenti dan resorpsi cairan
ekstravaskular dimulai, penanganan cairan intravena harus hati-hati untuk menghindari edema pul-
monal.
 Salisilat harus dihindari sebagai analgesic, karena potensinya dalam menyebabkan perdarahan diatesis
dank arena dengue terkait dengan Reye’s syndrome pada beberapa kasus. Obat hepatotoksik dan seda-
tive long-acting juga harus dihindari.
 Penempatan : MRS untuk terapi cairan IV jika diperlukan pada kasus :
1. dehidrasi signifikan (>10% berat badan normal) telah terjadi dan ekspansi volume secara cepat
diperlukan atau ketika terjadi perdarahan spontan. Berarti pasien dengan grade I yang merespon
terapi cairan per oral serta tidak memiliki kompplikasi saja yang dapat dipulangkan.
2. Kecenderungan untuk terjadi perdarahan
3. Trombositopenia berat (<100.000).
4. Hitung platelet <20.000 akan membutuhkan bed rest karena ditakutkan akan terjadi perdarahan
spontan dan trauma yang tidak disengaja.
5. pasien lansia, atau yang sangat muda serta pasien dengan penyakit lain (cth : alergi, DM, IHD).
Catatan: pasien dengan hitung trombosit 100.000-140.000 dapat dipulangkan namun harus melakukan pemerik-
saan FBC berkala sampai trombosit normal.
134

51. Dermatologi pada Emergency Care

Caveats
 pasien febris dengan rash purpurik, pertimbangkan meningococcaemia.
 Pada pasien dengan rash ptechiae, pikirkan kemungkinan DIVC akibat sepsis.
 Pada pasien hipotensiv dengan nyeri sendi dan ‘bruising’, pertimbangkan kemungkinan necrotizing soft
tissue infection yang dapat memperdaya pemeriksa pada awal presentasi penyakit.
 Ada kemungkinan untuk melakukan vaksinasi pada seseorang yang mengalami chicken pox walaupun
ringan dan mungkin salah artikan sebagai ‘viral fever’.
 Pikirkan varicella pneumonitis jika pasien menderita takipneu, batuk dan demam tinggi 3-5 hari.

Tips Khusus bagi Dokter Umum


 Rujuk cepat pasien Meningococcaemia dengan memberikan profilaksis ciprofloxacin 500mg dosis
tunggal.

Varicella (Chicken Pox)


Agent : Varicella Zoster Virus (VZV).
Manifestasi klinis
 Periode inkubasi : 10-21 hari, namun bisaanya 14-17 hari.
 Bisaanya didahului dengan gejala prodromal : demam low-grade, malaise, mialgia (dapat tidak terjadi
pada anak kecil)
 Lesi awal dapat berupa macula atau popular sebelum timbul vesikel, diikui dengan krusta.
 Distribusi meliputi kulit kepala, area genital, mukosa mulut, dan konjungtiva, namun terutama pada
trunkus.
 Lesi timbul dengan usia yang berbeda, antara vesikel dengan krusta.
 Pasien bersifat infeksius pada 48 jam sebelum onset timbul rash vesikel, selama periode pembentukan
vesikel, bisaanya 4-5 hari, dan sampai vesikel menjadi krusta.
Manajemen
 Pertimbangkan asiklovir jika pasien datang pada 24-72 jam pertama sejak onset rash.
Dosis 800mg (dewasa) atau 20mg/kgBB (pediatric) 5 x per hari x 5hari.
 Antihistamin untuk mengontrol gatal dapat dipertimbangkan, misal CTM 4mg 3x/hari.
 Jangan berikan aspirin sebagai antipiretik karenadapat menyebabkan Reye’s syndrome.
 Pertimbangkan antibiotik oral jika ada gejala infeksi bacterial, cth : penisilin V (Streptococcus grup A
merupakan penyebab tersering)/cephalexin/doxyciclin (jika alergi penisilin atau cephalexin) atau Clox-
acillin jika dicurigai karena Staphylococcus aureus.
 Pasien dengan immunocompromised harus diMRS-kan.
Komplikasi
 Terjadi terutama pada dewasa dan pasien immunocompromised: aseptic meningitis, encephalitis,
pneumonia, pneumonitis, transverse myelitis dan Reye’s syndrome.
 Foetal Varicella syndrome terkait dengan phocomelia: neonatal varicella dapat fatal dan ditularkan saat
persalinan.
 Imunitas dapat ditentukan dengan IgG.
Isolasi
 Sarankan isolasi sampai tidak ada vesikel baru yang muncul dan lesi menjadi krusta.
 Wanita hamil yang tidak memiliki imunitas harus dipertimbangkan untuk VZIg.

Herpes Zozter (‘Shingles’)


Menandakan reaktivasi varicella zoster virus yang laten.
Manifestasi klinis
 Vesikel yang nyeri dengan distribusi dermatoe yang unilateral.
 Daerah yang sering adalah torso, kulit kepala dan wajah.
135

 Onset herpes zoster ditandai dengan nyeri yang sangat pada dermatom yang muncul sebelum adanya
lesi dalam 48-72 jam, diikuti dengan rash makulopapular yang eritem yang kemudian berubah menjadi
vesikel dengan cepat.
 Durasi total penyakit ini bisaanya antara 7-10hari; namun dibutuhkan waktu 2-4minggu untuk
mengembalikan kulit menjadi normal.
 Manifestasi yang tidak khas :
1. nyeri tidak disertai dengan lesi yang khas.
2. dapat tersebar pada pasien immunocompromised.
 Trigeminal Herpes zoster dengan keterlibatan nervus ophthalmicus (Zoster ophthalmicus) dapat
menyebabkan ulkus kornea dan hilangnya penglihatan. Selalu lakukan tes pewarnaan fluoresensi untuk
menyingkirkan ulkus kornea jika vesikel terdapat pada bagian bridge of the nose dandisekitar mata dan
daerah dahi.
 Komplikasi yang paling mengganggu dari herpes zoster adalah rasa nyeri yang terkait dengan neuritis
akut dan neuralgia postherpetik.

Manajemen
 Kontrol nyeri dengan anlgesik pada fase akut. Trisiklik antidepresan seperti amitryptilin 10 mg dapat
dipertimbangkan bila nyeri persisten setelah vesikel mulai menghilang (postherpetic neuralgia); obat
lain seperti gabapentin dan narkotik digunakan pada kasus yang berat.
 Obat antiviral, cth :Acyclovir :
1. menunjukkan pemendekan manifestasi herpes zoster bila diberikan dalam 48-72 jam pertama sejak
onset rash muncul.
2. Dosis : 5 x 800mg selama 7-10 hari.
3. Berikan acyclovir IV pada pasien immunocompromised atau dengan penyakit yang meluas.
 Steroid dapat mencegah postherpetic neuralgia.
 Rujuk ke ophthalmologist jika ada keterlibatan corneal.

Pemfigoid dan Pemfigus


 Keduanya merupakan penyakit bullous karena proses autoimun.
 Dasar terapi adalah memberikan antiinflamasi
 Biopsy kulit sering diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa.
 Lihat bab 1 untuk membedakan manifestasi klinis.

Tabel 1 : Faktor Pembeda Pemfigoid dengan Pemfigus


Feature Pemfigoid Pemfigus
Usia Lansia Usia muda/pertengahan
Lesi Bulla yang tegang Bulla lebih lunak yang mudah pecah kemudian me-
nyisakan erosi
Gatal Nyeri
Membran mukosa kadang terlibat Membrane mukosa sering terlibat; sering
Lebih benign menampakkan manifestasi.
Prognosis Potensial mematikan.
Manajemen
 Pada umumnya keduanya membutuhkan manajemen yang melelahkan :
1. steroid sistemik ± immunosupresif
2. Perawatan luka local.
3. terapi infeksi
4. Koreksi kehilangan cairan dan elektrolit dari luasnya kulit yang luka.

Necrotizing Soft Tissue Infections


 Sekelompok infeksi bacterial pada jaringan lunak yang dapat mengancam nyawa dan ditandai dengan
nekrosis jaringan.
136

 Istilah spesifik digunakan berdasarakan jaringan yang terlibat serta organisme penyebabnya:
1. Necrotizing fasciitis
2. Necrotizing myositis
3. Fournier’s gangrene (genitalia)
 Organisme :
1. Streptococcus grup A
2. Polymikrobial
3. Staphylococcus aureus.

Manifestasi Klinik
 Toksik, demam, dan sering hipotensif ± confusion dan delirium.
 Penampakan kulit yang minor dapat memperdayakan dibandingkan dengan manifestasi klinis pasien
yang toksik.
 Terdapat edema dan eritema pada awalnya, menjadi pucat dan keabu-abuan dengan perdarahan bullae
(karena iskemik ketika pembuluh darah rusak) atau gangrene.
 Nyeri abdomen juga sering muncul sebagai keluhan.

Diagnosa Diferensial
 Selulitis dan infeksi jaringan lunak non-necrotizing lain
 Erisipelas, memiliki batas demarkasi yang jelas serta streaking pada limphangitis juga menonjol;
vesikel dan bula dapat terjadi pada infeksi berat (penyebab : Streptococcus beta hemolitikus grup A)

Manajemen
 Ditangani pada area Critical Care
 Resusitasi cairan dan inotropic support jika diperlukan
 Pertimbangkan X ray jaringan lunak yang terlibat untuk mencari ‘free air’ pada jaringan subkutan.
Catatan : Tidak adanya penemuan tersebut tidak akan menyingkirkan diagnosa.
 Lakukan kultur darah
 Beri antibiotik spectrum luas, IV kristaline penicillin + Clindamycin (untuk streptococcus grup A + An-
aerob dengan beberapa Staphylococcus) + Ceftazidime (untuk bakteri batang Gram negative dan Meli-
odosis).
 Rujuk ke ortopedik/bedah umum (tergantung pada daerah yang terlibat) untuk eksplorasi bedah se-
cepatnya serta debridemen.
 Penempatan : HD atau ICU tergantung stabilitas pasien.

Meningococcaemia
Penyebab : N. meningitides (Diplococcus Gram negative pada pewarnaan Gram CSF).

Manifestasi Klinis
 Onset yang tiba-tiba dari demam, malaise, mialgia, athralgia, nyeri kepala, nausea, dan vomiting.
 Bersifat toksik dengan progresivitas yang cepat menjadi tanda meningitis.
 Penemuan kulit yang terkait : jaringan parut berwarna merah muda atau papula purpurik (lesi yang tera-
ba < 1,5 cm) yang dapat menjadi vesicular atau pustular.
 Dapat berkembang menjadi purpura fulminan : plak irregular namun berbatas tegas, berupa purpura un-
gu dengan bagian tengah yang keabu-abuan, kehitaman, ungu gelap atau nekrosis kehitaman.

Manajemen
 Pasien harus ditangani pada area critical care
 Resusitasi cairan dan support inotropik jika diperlukan
 Kultur darah
 Antibiotik dapat dimulai sebelum pungsi lumbal
137

 Antibiotik pilihan : IV Penicillin G 4 juta U setiap 4 jam (pertimbangkan Cloramfenikol jika alergi pe-
nisilin) atau Ceftriaxon 2 g 2x/hari.
 Penempatan : HD atau ICU (membutuhkan isolasi).

Profilaksis
 Indikasi :
1. Kontak dekat setidaknya 4 jam pada seminggu sebelum onset penyakit, cth : orang yang tinggal se-
rumah, kontak sehari-hari, teman satu ruang.
2. terpapar secret nasofaringeal pasien, cth : melalui ciuman, resusitasi mulut ke mulut, intubasi, suc-
tion nasotracheal.
 Regimen
1. Ciprofloxacin po 500mg single dose atau rifampisisn 600mg po bd x 4 dosis (dewasa)
2. Rifampicin 10mg/kg po bd x 4 dosis (pediatric).
Urtikaria Akut
Manifestasi Klinik:
 Rash merah muda, non-scaling, permukaan atas datar yang terjadi berpindah-pindah.
 Lesi terasa gatal
Penyebab :
 Viral: diyakinkan dengan adanya riwayat demam, mialgia, dan gejala URTI.
 Obat-obatan: Penisikin, sulfa NSAID
 Alergi makanan
 Factor lingkungan : dingin, sinar matahari, tekanana
 Tidak diketahui
Manajemen
 Identifikasi dan eliminasi factor penyebab jika mungkin
 Terapi simptomatis
 Antihistamin
1. pilihan rute parenteral
Promethazine : IM 25 mg (dewasa) atau
0,5 mg/kg (anak-anak)
Difenhidramin IM 25 mg (dewasa) atau
1 mg/kg (anak-anak)
2. Pilihan per Oral
CTM (piriton) tab 4 mg 3x/hari
Hydroxyzine (Atarax) tab 25 mg 3x/hari
Pilihan terbaru yang kurang sedative : Cetirizine (zyrtec), loratadine (Clarityne)
 Steroid
1. dipertimbangkan jika lesi luas dan rekuren, atau terkait dengan angioedema
2. Prednisolone tab 1mg/kg OM selama 5 hari
 Penempatan : dapat KRS jika respon thd terapi baik, dan tidak ada angioedema.

Erythema Multiforme
Merupakan reaksi hipersensitifiatas, diklasifikasikan:
 EM minor : ringan dan paling sering
 EM major/bullous/stevens-Johnson syndrome : bula dan erosi membrane mukosa yang signifikan.

Manifestasi klinis
 Papula merah, permukaan datar ukuran 1-3 cm.
 Tidak gatal dan bersisik
 Bull’s eye atau lesi target : kehitaman, violaceous atau bagian tengah kecoklatan.
 Lesi menetap
138

 Bisaanya dimulai pada tangan dan kaki, termasuk telapak tangan dan kaki, sebelum kemudian menye-
bar.
 Bula dapat muncul pada lesi target.
 Erosi membrane mukosa dapat terjadi.

Penyebab
 Infeksi : HSV, EBV, Streptococcus, Mycoplasma merupakan yang paling sering.
 Obat : Sulfa, penisilin, tetrasiklin, antikonvulsan (cth : fenitoin, carbamazepin, barbiturate) NSAID, al-
lopurinol, hidroclorothiazide, procainamide.
 Lain-lain : penyebab autoimun.

Manajemen
 Tentukan penyebab dan eliminasi allergen jika mungkin
1. review medikasi pasien
2. review simptomatologi untuk penyakit infeksi yang sering terjadi
3. Alergi makanan
4. Gigitan serangga/sengatan
5. Penyakit autoimun
 EM minor
1. berikan kenyamanan
2. Medikasi bisaanya tidak diperlukan karena bisaanya rash tidak gatal dan tidak nyeri.
3. foolow up pada klinik kulit/general medicine.
 EM major
1. MRS untuk perawatan inpatient
2. perawatan suportif umum : maintenance cairan dan elektrolit
3. Perawatan luka
4. Kontrol infeksi
5. perhatikan bahwa steroid sistemik adalah controversial.
6. MRS pada Unit Luka Bakar atau HD jika terjadi skin loss yang signifikan atau toxic epidermal.

Erythema Nodosum
Merupakan reaksi hipersensitivitas
Manifestasi klinis
 Onset akut nodul kemerahan yang nyeri
 Terdistribusi terutama pada kaki bagian bawah
Penyebab
 Infeksi : Streptococcus, tuberculosis, infectious mononucleosis, Chlamydia, Yersinia.
 Terkait dengan sarcoidosis, Hodgkin’s disease, ulcerative disease.
 Obat: kontrasepsi oral, sulfonamide, penisilin, tetrasiklin
Manajemen
 Review sistemik untuk mengetahui kemungkinan infeksi
 Eliminasi penyebab/pencetus
 Terapi simptomatik, cth NSAID sebagai analgesic.
 Sarankan ke ahli dermatologi untuk follow up.
139

52. Diabetic ketoacidosis (DKA)

Caveats
 DKA disebabkan penurunan kadar insulin secara absolute atau relative yang terjadi pada saat terjadi
kelebihan glukagon. Kriteria diagnosa :
1. Hiperglikemia dengan glukosa darah ≥ 14 mmol/L
2. Asidemia dengan pH arteri < 7,3, bikarbonat < 15 mmol/L
3. Ketonemia atau ketonuria
 Kadar glukosa plasma yang tinggi menyebabkan diuresis osmotic dengan hilangnya sodium dan air,
hipotensi, hipoperfusi dan syok. Pasien datang dengan signifikan poliuri, polidipsi, berat badan turun,
dehidrasi, kelemahan dan sensorium yang berkabut.
 Pasien muda yang tidak didiagnosa diabetes sering muncul dengan DKA yang berlangsung selama 1-3
hari. Kadar glukosa plasma mungkin tidak meningkat tajam.
 Keluhan GIT seperti nausea, vomiting dan nyeri abdomen merupakan keluhan yang paling sering
didapatkan, terutama pada usia muda. Keadaan ini sering disalahartikan sebagai ‘acute surgical abdo-
men’. Kadar amylase serum sering meningkat tanpa adanya pankreatitis.
 Hiperventilasi dengan nafas yang cepat dan dalam (‘air hunger’) serta bau nafas acetone merupakan
tanda khas DKA.
 Penyebab:
1. Infeksi : UTI, respiratory tract, kulit
2. Infark: miokard, CVA, GIT, vaskularisasi perifer.
3. Insulin insuffisien
4. Intercurrent illness
 Tanda infeksi kadang tidak jelas. Temperature jarang meningkat, dan peningkatan hitung total sel darah
putih mungkin hanya merefleksikan ketonemia, namun adanya demam walaupun tidak tinggi
mengindikasikan adanya sepsis. Jika ragu, akan lebih aman untuk memberikan antibiotik broad
spectrum.
 Replacement cairan yang terlalu cepat dapat mengakibatkan gagal jantung, edema serebral, dan ARDS,
terutama pada pasien dengan underlying cardiac disease atau pada lansia. Monitoring CVP mungkin
diperlukan.

Manajemen
Terapi suportif
 Harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
 Oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa darah, keton, potassium
dan keseimbangan asam basa tiap 1-2 jam.
 Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, enzim kardiak, DIC screen (jika sepsis),
urinalisis (untuk keton dan lekosit), serum keton (beta-hydroxybutyrate) dan BGA.
 Pertimbangkan kultur darah (paling tidak 7,5 ml tiap botol).
 EKG 12 lead, CXR, urin dipstick: cari penyebab DKA.
 Support sirkulasi : IV NS sebagai dasar dari resusitasi cairan, ganti menjadi NS 0,45% jika perfusi
membaik dan BP normal, kemudian D5W/0,45% NS jika glukosa serum turun. Total kehilangan cairan
pada DKA bisaanya 4-6 liter.
 Kateter urin untuk monitoring output.

Terapi spesifik
 IV Volume Replacement : Berikan NS 15-20ml/kg/jam pada jam I, dengan pemberian koloid jika
pasien tetap hipotensi. Jika pasien tidak hipotensif atau hiponatremia, barikan 0,45% NS 10-
20ml/kg/jam selama 2-4jam kemudian dengan monitoring yang ketat dari kadar glukosa serum. Ganti
menjadi D5W/0,45% NS jika kadar glukosa serum turun dibawah 14 mmol/L. Normal atau setengah
140

NS dapat diteruskan bersamaan dengan IV D5% untuk mengkoreksi derangement cairan dan elektrolit.
Monitoring output urin setiap jam, dan cek elektrolit serta kreatinin tiap 2-4 jam sampai stabil.

Catatan : Replacement cairan harus dapat mengkoreksi deficit yang diperkirakan (4-6 liter) da-
lam 24 jam pertama, namun osmolaritas serum tidak boleh turun lebih dari 3 mOsm/kg/jam
untuk menghindari terjadinya edema serebral.

 Restorasi keseimbangan Elektrolit : replacement potassium lebih awal merupakan standar terapi. Jika
terjadi oliguri, tes fungsi ginjal mungkin meningkat. Jika abnormal, replacement potassium harus di-
turunkan. Pastikan terdapat urin outpun, kemudian lakukan replacement dengan ketentuan :
1. Serum k+ < 3,3mmol/l, berikan 20-40 mEq KCL per jam
Catatan: infus insulin secara bersamaan tidak akan mengurangi potassium serum.
2. Serum K+ 3,3-4,9mmol/l, berikan 10-20 mEq K+ per jam (dapat diberikan 2/3 KCL dan 1/3
KHPO4; replacement phosphate diindikasikan jika serum fosfat < 0,3mmol/l) atau jika pasien
anemis atau dalam distress cardiorespiratori.
3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan potassium namun teru periksa tiap 2 jam.

 Restorasi keseimbangan asam basa : sodium bikarbonat diberikan jika terdapat hiperkalemi hebat atau
jika pH arteri <7,0 dimana replacement volume IV dan pemberian insulin akan memperbaiki asidosis
metabolic. Jika pH 6,9-7,0, berikan IV NaHCO3 8,4% 50ml didilusikan dalam 200ml NS dan berikan
selama 1 jam. Jika pH <6,9, berikan 100ml NaHCO3 8,4% didilusikan dalam 400ml NS selama 2 jam.

Catatan : tidak ada efek menguntungkan bila diberikan pada pH yang lebih tinggi. Ulangi BGA
setelah 1 jam hidrasi dan terapi bikarbonat; jika pH masih < 7,0, berikan NaHCO 3 8,4% 50ml
dalam 200ml NS selama 1-2 jam dalam infus.

 Pemberian Insulin : dosis besar tidak diperlukan untuk mengatasi DKA. Hipoglikemi dan hipokalemi
akan mudah terjadi dengan pemberian terapi insulin dosis besar.
1. Berikan bolus dosis 0,15 unit/kgBB IV SI pada dewasa, diikuti dengan dosis rendah infus 0,1
unit/kgBB/jam pada dewasa dan anak-anak. Sesuaikan laju infus untuk menurunkan kadar glukosa
serum sekitar 3-4mmol/l per jam. Monitoring glukosa darah tiap jam.
2. Jika kadar glukosa darah turun dibawah 14 mmol/l (252 mg/dl), bagi dua laju infus IV SI sampai
0,05-0,1 unit/kg/jam dan tambahkan dekstrose pada cairan IV untuk menghasilkan kadar glukosa
darah 8-12 mmol/l. Pertahankan infus SI sampai asidosis hilang (pH > 7,3 dan HCO 3 > 15). SC SI
tiap 4 jam kemudian dapat diberikan dalam periode yang overlap 1-2 jam. Jangan hentikan IV SI
begitu kadar glukosa darah telah normal.
 Tangani Faktor Pencetus, seperti sepsis, IMA.

Penempatan:
 MRS-kan semua kasus DKA
 Pasien dengan hipotensi atau oliguri sebagai rehidrasi dini, atau pasien yang memiliki gangguan men-
tal/koma, dengan osmolalitas serum total > 340 mOsm/kg, harus dipertimbangkan untuk HD atau
MICU.
 Kasus ringan dapat dimasukkan pada general Ward atau tangani pada ED dengan konsultasi pada gene-
ral medicine.
141

53. EMERGENCY KARENA MENYELAM

 Ada dua jenis kegawatan menyelam yang sering ditemukan di Emergency departemen
1. Penyakit decompresi (decompression illness/DCI)
2. Emboli udara arteri cerebral (CAGE)
 Diagnosis tersebut memerlukan kecurigaan kuat :
1. Baru terjadi (<24 jam) pada orang yang berada pada udara tekanan tinggi (penyelam atau pengguna alat
bantuan nafas lainnya)
2. Mengalami kombinasi gejala berikut :
 Gejala umum : malas, kelemahan yang tidak biasa, amnesia, perasaan tidak enak badan
 Muskuloskeletal : nyeri sendi, mialgia, nyeri punggung
 Neurologis : kelemahan, gait, gangguan visual
 Dada : nyeri dada, sesak nafas, batuk persisten
 Kulit : rash yang gatal
 Tabel 1 menunjukkan gejala yang sering timbul dari 1249 kasus penyakit dekompresi yang dilaporkan oleh
Divers Alert Network (DAN)

 Tabel 1 : Gejala dari penyakit dekompresi


Gejala utama %
Nyeri 40.7
Penurunan sensasi kuli 19.2
Pusing (dizziness) 7.8
Kelelahan yang ekstrem 5.7
Sakit kepala 5.7
Kelemahan 4.8
Mual 2.9
Kesulitan bernafas 2.5
Penurunan kesadaran 2.1
Gatal 1.6
Gangguan visual 1.5
Rash 1.1
Paralisis 1.0

Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Pikirkan adanya emergency akibat menyelam pada pasien dengan
gejala yang tidak jelas namun dengan riwayat menyelam
sebelumnya (< 24 jam)

MANAJEMEN
 Terapi yang segera dilakukan : bila kondisi pasien stabil
1. Pasien dirawat di ruangan intermediate
2. Posisi kepala lebih rendah dari badan
3. Berikan oksigen 100%
4. Siapkan infus intravena
5. Berikan carian NS 500ml dalam 1jam dilanjutkan dengan 500ml dalam 4 jam
6. Bila pasien tidak stabil manajemen dilakukan di ruangan critical care. Lakukan monitoring ABC. Pada
kasus berat dengan komplikasi cardiopulmonary arest lakukan manajemen sesuai standar ACLS
7. Pasien harus diperiksa kemungkinan adanya trauma fisik yang menyertai komplikasi menyelam
 Investigasi :
1. Rontgen foto thoraks untuk mengetahui adanya pneumothoraks atau pneumomediastinum
142

2. EKG untuk menyingkirkan penyebab dari jantung bila gejala utama yang dominan adalah nyeri dada
3. Analisa gas darah bila pasien sesak nafas atau saturasi oksigen rendah
 Terapi definitif : terapi definif emergency diving adalah terapi rekompresi segera
1. Bila dicurigai adanya DCI atau CAGE, segera hubungi spesialis diving medicine setelah kondisi pasien
stabil
2. Bila diagnosis cedera karena menyelam telah jelas, jangan rawat pasien di bangsal neurologi atau
penyakit dalam untuk investigasi karena :
a. Departemen ini tidak memiliki fasilitas untuk rekompresi
b. Terapi yang lambat pada DCI dan CAGE akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas

PERBANDINGAN ANTARA DCI DAN CAGE


 Secara umum karakteristik CAGE dapat didiskripsikan sebagai cepat, pendek dan dangkal sedangkan DCI
sebagai lambat, panjang dan dalam (Tabel 2)
CAGE DCI
Faktor presipitasi Panik saat didalam air, Kemampuan menyelam yang
menyebabkan gerakan naik yang minimal. Menyelam lebih lama
tidak terkontrol dan dalam dari yang
rekomendasikan
Kedalaman menyelam Biasanya dangkal. Dapat terjadi Biasanya dalam, lebih dari batas
pada kedalaman 3 m limit
Waktu/ onset gejala Berlangsung cepat, detik sampai Berlangsung lambat, beberapa
menit. Segera terjadi setelah menit sampai jam tertunda
mencapai permukaan
Kehilangan kesadaran Sering Jarang
Gejala tidak spesifik Jarang Sering
Nyeri sendi Tidak umum Umum terjadi
Gejala neurologi Bersifat unilateral seperti CVA Bilateral dan selang-seling
Kehilangan sensorik Unilateral, fokal Umum dan selang-seling
143

54. EKLAMPSIA

DEFINISI
 Preeklampsia: peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolic yang terjadi setelah minggu ke-20 sampai 24
kehamilan pada wanita yang sebelumnya normotensi ataupun hipertensi.
 Eklampsia: preeklampsia yang disertai kejang grand mal atau koma.

PERHATIAN
 Tujuan dari tata laksana adalah, pertama-tama, stabilisasi ibu dan kemudian melahirkan bayi:
1. Tata laksana jalan nafas ibu
2. Pencegahan dan pengendalian kejang dengan terapi sulfas magnesikus
3. Pemulihan volume intravaskuler
4. Pengendalian tekanan darah
 Kelahiran bayi: bagaimana dan kapan bayi akan dilahirkan merupakan keputusan yang harus dibuat oleh
seorang ahli kebidanan dan kandungan.
 Konsultasi ke ahli kebidanan dan kandungan harus segera dibuat begitu diagnosis ditegakkan.
 Sindroma HELLP merupakan bentuk preeklampsia yang sangat berta yang ditandai dengan:
1. Hemolisis
2. Peningkatan enzim hati
3. Hitung platelet yang rendah (<100.000/mm3)
Gejala: nyeri hipokondrium kanan disertai dengan mual dan muntah adalah yang tersering. Tanda yang
dapat ditemukan meliputi edema anasarka, nyeri tekan hipokondrium kanan, ikterus, perdarahan saluran
cerna dan hematuria.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 60% kasus terjadi pada kehamilan pertama.
 Primigravida pada usia ekstrim (<17 atau >35 tahun) memiliki resiko yang
lebih tinggi.
 Pasien dengan riwayat hipertensi kronis lebih rentan terhadap terjadinya
preeklampsia dan eklampsia

TATA LAKSANA
Penanganan suportif
 Pasien harus ditangani di area critical care.
 Peralatan untuk tata laksana jalan nafas harus segera tersedia
Catatan: Pasien yang tidak memerlukan intubasi harus diletakkan pada posisi lateral kiri
 Obat-obatan resusitasi harus segera tersedia.
 Kalsium klorida (antidotum untuk intoksikasi magnesium) harus segera tersedia.
 Berikan suplementasi oksigen aliran tinggi dengan sungkup bereservoir.
 Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur intravena perifer dan berikan larutan Hartmann: berikan bolus cairan 250 cc segera, dilanjutkan
dengan infus pada kecepatan 100 ml/jam.
 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji faal hati, PT/PTT dan uji silang
dan golongan darah.
 EKG
 Pasang kateter urin: ukur produksi urin tiap jam.

Terapi medikamentosa untuk kejang


 Sulfas Magnesikus
1. Dosis
Dosis awal: 5 gr IV (10 ml MgSO4 49.3%) sulfas magnesikus dilarutkan dalam 50 ml NS, diberikan
secara bolus pelan, dalam 10-15 menit dengan menggunakan syringe pump.
144

Dosis rumatan: pemberian infus IV sulfas magnesikus dengan kecepatan 2 gr/jam (50 ml MgSO 4 49.3%
dilarutkan dengan NS menjadi larutan 120 ml, dibeirkan dengan kecepatan 5ml/jam) sampai 24 jam
pasca persalinan.
Catatan: Obat ini hanya boleh diberikan bila kriteria berikut terpenuhi: (1) Refleks patella positif: yang ter-
penting; dan (2) Tidak terdapat depresi frekuensi pernafasan, yaitu RR >16/menit.
2. Efek samping: flushing, mual dan rasa tidak nyaman di epigastrium
3. Tanda klinis intoksikasi magnesium: penurunan reflek tendon, kelemahan otot yang tampak sebagai
ptosis, kesulitan bicara dan gangguan pernafasan, serta terjadinya oliguria/anuria.
4. Tata laksana intoksikasi magnesium:
a. Berikan 10 ml kalsium klorida IV selama 3 menit
b. Hentikan infus MgSO4 bila:
(1) Reflek patella negatif
(2) RR <16/menit
(3) SpO2 <90% sekalipun telah diberikan suplementasi oksigen
(4) Anuria (atau oliguria yang menetap selama lebih dari 2 jam)
c. Jika terjadi oliguria, periksa kadar magnesium serum dan hentikan pemberian infus jika kadarnya
>3 mmol/l
 Diazepam: antikonvulsan pilihan kedua, yang diindikasikan bila terdapat kontraindikasi terhadap terapi
sulfas magnesikus atau terjadi intoksikasi magnesium.
1. Dosis: 10 mg IV pelan selama 2 menit, dapat diulang sampai dosis total mencapai 20 mg
Catatan: dosis 5 mg adalah terlalu rendah untuk kasus dengan kehamilan
2. Infus: 1mg/menit
3. Tata laksana kejang berulang:
a. Ulangi pemberian MgSO4 2.5-5 gram IV
b. Diazepam 10 mg IV
c. Jika tidak ada respon, atau pasien mengalami periode penurunan kesadaran yang panjang setelah
pemberian MgSO4, maka terdapat kemungkinan terjaid perdarahan intrakranial sehingga perlu dil-
akukan CT scan kepala pada saat yang tepat.
d. Pertimbangkan konsultasi dengan bagian Anestesi mengenai penggunaan infus thiopentone.

Terapi medikamentosa untuk hipertensi


Wanita dengan tekanan darah diastolik >110 mmHg atau sistolik >170 mmHg beresiko terhadap kerusakan arteri
dan harus diterapi. Tujuan dari terapi adalah penurunan tekanan darah yang berlangsung mulus dalam 20-30
menit, ke nilai diastolic 90-100 mmHg atau sistolik 140-150 mmHg. Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat
atau terlalu besar akan menimbulkan efek buruk baik pada ibu maupun bayi.
Catatan: obat antihipertensi sebaiknya tidak diberikan sebelum diberikan cairan intravena. Karena terjadinya
vasokonstriksi, pasien dengan eklampsia umumnya memilki volume intrvaskuler yang rendah yang dapat
mengarah pada gangguan fungsi ginjal dan penurunan mendadak tekanan darah saat diberikan obat
antihipertensi.
 Hydralazine
Dosis: 5 mg IV atau PO bolus dan diulangi dengan dosis 5-10 mg Iv atau PO setiap 20 menit jika diperlukan
 Labetalol: lihat catatan di bawah
Dosis: 20 mg selama 5 menit, diikuti dengan peningkatan dosis 20-80 mg dengan bolus IV setiap 10 menit
sampai efek yang diinginkan tercapai, atau sampai dosis kumulatif maksimum mencapai 300 mg.
Catatan:
1. Hindari felodipine atau nifedipine jika digunakan sulfas magnesikus untuk mengendalikan kejang karena
dapat terjadi efek hipotensi sinergistik.
2. Jika pemberian hydralazine tidak memberikan respon atau jika pasien tidak sadar, obat pilihan adalah
labetalol. Pengalaman menunjukkan terjadinya penurunan tekanan darah yang lebih mulus dan terdapat buk-
ti yang menunjukkan bahwa obat tersebut bermanfaat bagi janin karena mempercepat maturitas paru.
145

BAB 55. KET

Setiap waqnita usia subur dengan nyeri abdomen dan perdarahan pervaginam dengan atau tanpa amenorrhoe kita
curigai KET sampai terbukti tidak.
Diagnosis dapat dengan mudah salah keculai jika kita mencurigainya. Curigai KET pada wanita usia subur.
Tidak adanya nyeri atau kekakauan pada perababan cervical tidak menyingkirkan diagnosa KET.
Catatan penting :
- KET harus dicurigai pada wanita usia subur yang dating dengan nyeri abdomen.
- Sebagaian besar gejalanya tidak khas.
- Riwayat ligasi tuba tidak menyingkirkan KET.
- Tes kehamilan urine adalah simple tetapi hati-hati akan keterbatasannya.
Manajemen
1. Urine HCG test.
2. Sebagian besar HCG kit test memiliki 100% spesificitas tetapi berfariasi pada sensitifitasnya.
3. seluruh wanita usia subur dengan abdominal pain harus di tes urinenya untuk menghilangkan kemung-
kinan KET. Dari suatu penelitian potensi kesalahandiagnosa sekita 40% jika berdasarkan riwayat pen-
yakit, menjadi 3% jika urine HCG negative dan 2% jika serum HCG negative dan 1% jika USG nega-
tive.
4. test urine positip setelah 4 – 5 minggu setelah konsepsi dan serum HCG positip setelah 3 – 4 minggu
setelah konsepsi.
5. Alat tes urine yang berbeda emberi sensitifitas yang berbeda. Beberapa dapat mendeteksi 10 IU/L.
6. False positip urine test : trophoblastic disease ( hydatidiform moles atau choriocarcinoma )
7. False negatifdapat terjadi jika urine specimen terlalu banyak dilarutkan atau pasien sedang minum obat
diuretic.

Unstable pasien :
1. Masukkan pasien ke P1
2. ABC, O2 via NRBM.
3. Pasang 2 jalur IVFD
4. I liter kristaloid
5. Cari risk factor : infertilitas, smoking, usia tinggi, smoking, riwayat PID, IUD
Faktor resiko terjadinya KET
1. riwayat operasi tuba ektopik.
2. riwayat infertile
3. fertilisasi in vitro
4. Usia lanjut.
5. merokok.
6. riwayat PID
7. IUD
Gejala yang timbul
1. biasanya berupa 8 bulan amenorrhoe.
2. spectrum gejala klinis dari KET bervariasi dari nyeri pada pelvis s/d perdarahan pervaginam yang ha-
rus dibedakan perdarahan intraabdomen yang profus.
Tipikal presentasi :
1. Nyeri abdomen unilateral yg tiba2 disertai kolaps dan perdarahan pervaginam.
Atipikal sign :
1. Nyeri kronik dan berulang pada abdomen disertai perdarahan irregular pervaginam, gastrointestinal
symptom ( muntah dan diare ), urinary symptom seperti disuria atau shoulder tip pain.
Laboratorium :
1. FBC, RFT, elektrolit
2. GXM 2-4 unit
3. Urine HCG
4. Pasang urine kateter
146

5. DIVC
- Pasang urine kateter
- Pasang uririne kateter untuk mengawasi
Pasien stabil :

1. NRBM
2. Pindahkan pasien ke P1.
3. Ureum, kriatinin

Pasien stabil
Pasang IV-Line.
Monitor vital sign setiap 10 -15.
147

56. Elektrik trauma dan lightning (Petir)

Caveats
 Trauma elektrik tegangan rendah (<1000 volt) lebih jarang menyebabkan keadaan yang serius daripada
trauma tegangan tinggi. Semakin tinggi tegangan, maka semakin cenderung untuk menyebabkan luka
bakar.
 Resistensi bervariasi pada tiap jaringan, dimana tulang merupakan jaringan yang paling resisten.
 Semakin tinggi durasi kontak, maka semakin parah injury.
 Kulit yang kering membutuhkan 3000 volt untuk menginduksi VF, sedangkan kulit yang basah
membutuhkan 220-240 volt.
 Alternating Current (AC) lebih berbahaya dibanding dengan Direct Current (DC), menyebabkan
kontraksi tetanik otot fleksor, sehingga korban akan mengalami ‘freezing’ ketika kontak dengan
sumber elektrik.
 DC menyebabkan kontraksi otot tunggal yang dapat menyebabkan korban terlempar dari lokasi awal;
demikian juga dengan efek Petir.
 Pathway : ketika kulit tersentuh, aliran listrik berjalan melalui jaringan yang kurang resisten (nervus,
pembuluh darah, otot) dengan kerusakan yang berbanding terbalik dengan diameter cross-sectional dari
jaringan yang terkena.
 Konduksi true-electrical injury lebih mirip dengan ‘crush injury’ daripada thermal injury, dimana
jumlah total kerusakan sering tidak terlihat secara nyata.
 Manajemen cairan yang baik sangat penting untuk menghindari gagal ginjal akut.
Catatan : Replacement cairan tidak dapat dikalkulasi berdasarkan Wallace Rule of 9 seperti luka bakar.
 Jangan lupa untuk mencari trauma lain:
1. trauma servical spine
2. Toksik inhalasi
3. Jatuh dengan Fraktur/dislokasi
4. perawatan luka bakar dengan injury inhalasi
5. fetal injury selama kehamilan
Tips Khusus Bagi Dokter Umum :
 Pastikan sumber elektrik sudah dimatikan sebelum menolong
korban, jika dipanggil langsung pada lokasi kejadian.

Tipe Trauma Elektrik


 True Electrical Injuries : terjadi ketika aliran listrik masuk melewati tubuh menuju ke tanah.
 Flash burns :
1. aliran tidak melibatkan bagian dalam tubuh
2. Luka dikarakterisasi dengan bagian tengah berwarna keputihan yang dikelilingi dengan eritema;
merupakan luka bakar yang simple.
 Flame burns:
1. Disebabkan terbakarnya pakaian dan tidak dipertimbangkan sebagai True electrical injury.
2. Ditangani sebagai luka bakar ketika trauma elektrik telah disingkirkan.
 Lightning Injury : lihat tabel 1 untuk detail komplikasinya.
1. Aliran langsung voltase tinggi (dalam ‘juta’).
2. Cardiac injury berakibat pada asistole : terapi via protocol ACLS dengan delayed recovery yang
mungkin.
3. kulit disekitar luka masuk dapat menunjukkan spidery atau pine tree appearance.

Manajemen
Terapi suportif
 Pasien dengan AMS atau disritmia kardiak harus ditangani pada area critical care
 pertahankan jalan nafas dengan imobilisasi cervical spine
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
148

 Pasang akses IV peripheral (2 jika hemodinamik tidak stabil).


 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, DIVC screen, urinalisis termasuk mioglobin, cardiac screen,
kreatininminase, BGA dan kadar COHb pada keterlibatan trauma inhalasi dan GXM jika dibutuhkan.
 EKG pada semua trauma elektrik.
 IV kristaloid untuk memaintenance perfusi jaringan perifer dan urin output sebesar 1-1,5ml/kg/jam.
 X ray : C spine; jika ada injury, CXR pada injury inhalasi.
 Manajemen nyeri:
1. Pethidine 50-75mg IM atau 25mg IV atau
2. Sodium diklofenac (Voltaren) 50-75mg IM
 Pasang kateter foley
 Pertimbangkan alkalinisasi urin untuk mencegah renal tubular necrosis jika mioglobin terdapat pada
urin. Dosis : IV sodium bikarbonat 1 mmol/kg/bb selama 2 jam (1ml sodium bikarbonat 8,4% =
1mmol).
 Pertimbangkan placement Ryle’s tube jika ada kecurigaan ileus paralitik.
 Berikan ATT 0,5ml IM sesuai protocol standar.
 Pertimbangkan fasciotomi dan konsul ke Hand Surgery atau orthopedics pada kasus:
1. Muscle tightness
2. Hilangnya sensori
3. Circulatory compromise
4. pembengkakan jaringan yang cepat
 Pada kasus serangan jantung, ikuti protocol standart ACLS kecuali pada recovery prolonged asistole
yang membutuhkan usaha resusitasi yang lebih panjang.

Situasi Khusus
 Pasien anak-anak
1. luka bakar commisura oral secara eksklusif terjadi pada anak-anak dan dapat menyebabkan mor-
biditas.
2. fatalitas jarang dimana sirkuit elektrik terletak pada mulut.
3. terdapat penonjolan local jaringan pada hari ke 7 samapi hari ke 10 dan dapat menyebabkan
perdarahan yang cepat.
4. MRSkan pasien dengan luka bakar seperti itu
 Konsiderasi Obstetrik
1. Injury fetal tergantung pada aliran listrik yang masuk ke tubuh ibunya.
2. fetal injury yang signifikan (kematian atau IUGR) dapat terjadi setelah terkena aliran listrik walau-
pun dalam derajat yang rendah, terutama pada kasus oligohidramnion.
3. Konsultasi OBG pada tiap kasus trauma elektrik selama kehamilan dan lakukan monitoring fetal.

Penempatan
 Kriteria MRS
1. semua pasien dengan high voltage injury (> 1000 volt).
2. Semua pasien dengan keterlibatan system organ spesifik.
3. Semua pasien dengan suspek neurovascular compromise pada ekstremitas.
4. Semua pasien dengan luka bakar komisura oral
5. Luka bakar dalam pada tangan
 Kriteria KRS
1. Pasien tanpa bukti luka bakar
2. pasien dengan trauma minor, disarankan untuk control pada unit rawat jalan.
149

Tabel 1 : Komplikasi Trauma Elektrik dan Lightning/petir


Sistem Dalam Tubuh yang Terlibat Komplikasi yang terkait
CVS Disritmia ventricular, BP yang rendah (hilangnya cairan), BP yang tinggi (release kate-
kolamin), iskemik miokardial

Neurologik LOC, AMS, konvulsi, afasia, amnesia, neuropathy peripheral

Kulit Kontak elektrothermal , non kontak arc dan flash burn, luka bakar thermal sekunder den-
gan berbagai kedalaman (terbakarnya pakaian dan pemanasan perhiasan dari metal)

Trombosis, nekrosis koagulasi, nekrosis intravascular, hemolisis intravascular, ruptur pem-


Vaskular buluh darah yang delayed, kompartemen syndrome.

Respiratory arrest, aspirasi pneumonia, kontusio pulmonal

Respiratori Mioglobiuria, hemoglobinuria, asidosis metabolic, hipokalemi, hipokalsemi, hiperglikemi

Ginjal/metabolic Atonia gaster dan ileus intestinal, perforasi bowel, perdarahan intramural esophageal,
nekrosis hepatic dan pankreatik, perdarahan GIT.

GIT Kompartemen Sindrom, miositis clostridial dan mionekrosis.

Trauma tumpul sekunder pada kedua tipe meliputi fraktur kompresi vertebral, fraktur tu-
lang panjang, dislokasi sendi besar, nekrosis aseptic, periosteal burn, osteomielitis.
Otot
Luka bakar kornea, perdarahan intraokuler atau trombosis, uveitis, retinal detachment,
Skeletal fraktur orbita.

Hilangnya pendengaran (sementara), tinnitus, hemotimpanum, CSF rhinorrhea

Mata Perdarahan arteri labial delayed (pada anak yang menggigit kabel listrik) dengan jaringan
parut dan deformitas wajah, keterlambatan kemampuan berbicara, gangguan perkemban-
gan mandibular/ gigi geligi.
Telinga
Abortus spontan, kematian janin, oligohidramnion, retardasi pertumbuhan intrauterine,
hiperbilirubinemia.
Luka bakar Oral
Histeria, kecemasan, gangguan tidur, depresi, fobi terhadap badai, disfungsi kognitif.

Fetal

Psikiatrik
150

57. EMERGENCY THT

Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Curigai adanya benda asing dihidung pada anak yang datang dengan sekret
hidung yang berbau
 Tanyakan mengenai riwayat tertelan benda asing pada pasien dengan keluhan
nyeri dada yang bukan karena angina
 Jangan gunakan tehnik spooling untuk mengeluarkan benda asing organik
(spons, kertas tisue) karena akan mengembang dan sulit dikeluarkan, tehnik ini
juga bahaya bila terjadi perforasi membran timpani
 Curigai adanya epiglotitis pada pasien dengan nyeri tenggorokan yang berat,
suara muffle dan tidak ditemukan kelainan lain dari pemeriksaan rongga mulut
BELL’S PALSY

 Merupakan penyebab paralysis wajah yang paling sering di dunia
 Merupakan diagnosis eksklusi
 Tugas dari seorang dokter emergency adalah untuk :
1. Menyingkirkan penyebab paralisis wajah yang lain
2. Segera memulai terapi yang sesuai
3. Melindungi mata
4. Mengatur follow-up yang tepat
 Gambaran klinis
1. Onset yang cepat : paralisis parsial dengan onset yang perlahan biasanya menunjukkan
penyebab etiologi
2. Paralisis/kelemahan satu sisi pada wajah : perhatikan bagian wajah sepertiga atas (orbikularis
dan frontalis) yang mengindikasikan lesi di upper motor neuron
3. Gejala yang lain seperti air liur yang menetes, keluarnya air mata, perubahan rasa, nyeri
dibelakang telinga
4. Keluhan yang berhubungan dengan sindrom infeksi traktus respirasi bagian atas/ infeksi virus
 Diferensial diagnosis Bell’s palsy berhubungan dengan perjalanan nervus 7
1. Intrakranial : meningioma, neuroma akustik
2. Intratemporal : penyakit telinga akut/kronis, herpes zoster, fraktur atau tumor tulang temporal
3. Ekstratemporal : keganasan parotis, laserasi facial
Anamnesa dan pemeriksaan THT/glandula parotis/neurologis yang teliti akan memudahkan kita
mengetahui penyebab bell’s palsy
 Manajemen
1. Steroid
a. Masih menjadi perdebatan dan pada literatur dicantumkan tidak banyak pasien yang
mendapatkan keuntungan dengan penggunaan steroid . Walaupun masih diperdebatkan
namun karena efek samping terapi yang minimal maka berdasarkan konsensus steroid
diberikan seawal mungkin.
b. Dosis : 1 mg/KgBB selama 7 hari
c. Kontraindikasi pada pasien diabetes, ulkus peptikum, disfungsi hati
2. Acyclovir (zovirax)
a. Penelitian terakhir menunjukkan virus herpes simplek ditengarai sebagai penyebab pada >
70% kasus. Acyclovir tidak bermanfaat bila diberikan pada fase akhir (terlambat
diberikan)
b. Dosis : 800mg 5 kali per hari selama 10 hari
3. Perawatan mata
a. Dapat diberikan air mata buatan dan kacamata/penutup mata pada malam hari untuk
mencegah kornea kering dan mengalami ulserasi
4. Rujukan
151

a. Neurologi : bila ditemukan gambaran bell’s palsy yang atipikal atau ditemukan tanda
kelainan neurologi
b. THT : seluruh kasus tipikal bell’s palsy
c. Mata : nyeri okuler yang tidak diketahui sebabnya atau bila ditemukan kelainan pada
mata
EPISTAKSIS
 Prioritas yang harus dilakukan :
1. Melakukan pemeriksaan dan stabilisasi hemodinamik
2. Mengidentifikasikan letak dan penyebab perdarahan
3. Menghentikan perdarahan
 Sebagian besar perdarahan berasal dari ruptur vaskuler didaerah septum nasal. Tidak adanya
perdarahan dari bagian anterior, adanya perdarahan bilateral atau darah yang mengalir ke orofaring
menunjukkan bahwa sumber perdarahan berasal dari posterior.
 Diferensial diagnosis : blood dyscrasias, malformasi pembuluh darah lokal, contohnya
teleangieksia herediter, tumor nasal
 Lakukan usaha stabilisasi saat pasien datang di emergency departemen :
1. Pijat hidung dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari sedikitnya selama 10 menit
2. Kompres hidung dengan es batu
3. Pasien dengan posisi duduk, memegang mangkuk digunakan untuk menampung darah. Hal-
hal yang dapat menyebabkan menghilangkan terbentuknya bekuan darah seperti gerakan
menelan sebaiknya dihindari.
4. Bila hemodinamik tidak stabil :
a. Pindahkan pasien ke ruangan critical care
b. Pasang infuse intravena, berikan cairan kristaloid dengan tetesan yang cukup untuk mem-
pertahankan perfusi
c. Ambil darah untuk pemeriksaan cross match, darah lengkap, ureum/creatinin/elektrolit,
fungsi koagulasi
d. Monitor : EKG, tanda vita setiap 5-15 menit, pulse oksimeter
 Lakukan pemeriksaan untuk mengetahui sumber perdarahan (gunakan lampu kepala)
1. Ambil bekuan darah menggunakan forcep Tilley atau suction
2. Bila bagian septum dapat terlihat, dapat dilakukan penyemprotan cophenylcaine
(menyebabkan vasokonstriksi vaskuler dan menganestesi mukosa)
 Selama perdarahan berlangsung :
1. Bila sumber perdarahan terlihat dapat dilakukan kauterisasi menggunakan perak nitrat (hindari
melakukan kauterisasi pada kedua sisi septum karena resiko terjadinya perforasi) atau lakukan
pemasangan tampon yang telah diberi adrenalin 1 : 10.000 selama 15-30 menit
2. Bila tidak tampak lagi adanya perdarahan setelah observasi selama beberapa saat, pasien dapat
dipulangkan dengan nasihat untuk istirahat total dan kontrol ke poliklinik THT
3. Bila perdarahan terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior :
a. Hubungi dokter THT
b. Pilihan : pasang tampon Merocoel (ukuran 8-10cm untuk dewasa) basahi dengan cairan
tetrasiklin, BIPP (bismut subnitrat dan pasta iodoform) gunakan forsep nasal Tilley
c. Pasien dirawat diRS untuk observasi dan pemberian antibiotik
4. Bila perdarah tetap terjadi walaupun telah dipasang tampon anterior, maka perlu untuk
dipasang tampon posterior
a. Hubungi dokter THT
b. Lakukan kembali pemeriksaan hemodinamik: monitor tanda vital, ambil darah untuk
pemeriksaan darah lengkap, fungsi pembekuan, cross match, ureum/creatinin/elektrolit
c. Masukkan folley kateter ukuran 12 melalui lubang hidung (pilih lubang dengan
perdarahan yang lebih banyak) dorong sampai ujungnya terlihat di orofaring
d. Kembungkan balon dengan mengisi air sebanyak 8ml, tarik kateter kedepan sampai
menyangkut dibagian posterior hidung, tambahkan 8ml air
152

e. Pertahankan kateter dengan memasang klem dibagian anterior hidung, lindungi ala nasi
dari tekanan kateter.
 Disposisi : rawat pasien untuk observasi dan pemberian antibiotik setelah konsultasi dengan dokter
THT. Selalu rujuk pasien ke dokter THT untuk melakukan evaluasi bila :
1. Epistaksis berlangsung lama
2. Pasien datang berulangkali
3. Epistaksis berulang
4. Pasien tua
PATAH TULANG HIDUNG
 Disebabkan oleh trauma langsung pada hidung
 Gambaran klinis
1. Perubahan bentuk hidung
2. Bengkak pada jaringan lunak
3. Nyeri pada perabaan
 Penting untuk disingkirkan :
1. Cidera pada bagian lain dari wajah
2. Hematom septal (bengkak warna kebiruan pada kedua sisi septum nasal yang tampak pada
bagian depan hidung); bila tampak adanya septal hematom segera rujuk ke dokter THT untuk
dilakukan aspirasi/ insisi dan drainasi. Tindakan ini untuk mencegah terbentuknya iskemik
septum atau abses yang dapat berkembang menjadi nekrosis, kolaps dan perubahan pada
struktur kartilago hidung.
 Foto rontgen nasal lebih kepada alasan medikolegal. Pemeriksaan ini tidak mempengaruhi
manajemen klinis
 Analisa apakah fraktur perlu medikasi dan reduksi dilakukan 5-7 hari setelah cidera, bila bengkak
telah berkurang. Medikasi dan reduksi biasanya dilakukan dalam 7-10 hari setelah cidera sebelum
tulang hidung mengalami

BENDA ASING PADA TELINGA


 Secara umum benda asing ditelinga dapat dikeluarkan dengan menggunakan forsep mikro atau hak
tumpul (dengan bantuan otoskopi) atau dengan spooling
 Pada pasien anak yang tidak kooperatif, benda asing dikeluarkan dengan anestesi umum
1. Benda asing serangga : bunuh serangga dengan meneteskan lignokain 1% atau minyak olive
sebelum mengeluarkannya dengan forsep mikro
2. Benda asing organik (spons/kertas tisue) : jangan gunakan tehnik spooling (memasukkan air
dalam telinga dengan menggunakan spuit) karena dapat mengembang menyebabkan benda
lebih sulit dikeluarkan
 Bila pengeluaran benda asing sulit dilakukan dengan bantuan otoskop maka pasien dapat dirujuk
ke poliklinik THT saat jam kerja (tersedia mikroskop)
 Disarankan dokter emergency hanya mencoba satu kali, bila gagal maka pasien harus dirujuk ke
poliklinik THT

BENDA ASING DI HIDUNG


 Biasanya terjadi pada anak-anak, gejalanya berupa sekret hidung yang berbau tidak enak, pada satu
sisi
 Bahaya terjadi inhalasi dan obstruksi jalan nafas selama proses pengambilan benda asing,
khususnya bila pasien pada posisi berbaring terlentang. Tips :
 Bila benda asing berbentuk ireguler, gunakan forsep aligator untuk mengeluarkan
 Bila benda asing berbentuk bulat dan lunak,gunakan hak tumpul (contoh jobson horn) untuk
memegang bagian posterior benda tersebut sebelum dikeluarkan
 Nasal spray cophenylcaine dapat digunakan untuk membantu mengeluarkan benda asing yang
terhalang mukosa
153

 Disarankan dokter emergency hanya mencoba mengeluarkan benda asing satu kali, bila gagal
segera hubungi dokter THT untuk mengeluarkan benda asing dengan anestesi umum

BENDA ASING DI TENGGOROK


 Tanyakan jenis benda asing : tulang ikan, tulang ayam, dsb
 Tanyakan letak bagian yang sakit : nyeri pada bagian bawah leher atau dada menunjukkan benda
asing di esofagus yang sulit dievaluasi secara klinis dan radiologis (rontgen foto leher lateral)
 Tanyakan apakah ada hemoptoe atau hematemesis
 Lakukan inspeksi daerah tonsil dengan menggunakan :
1. Laringoskop indirek
2. Faringolaringoskop direk, dengan menggunakan laringoskop pasien pada posisi terlentang,
laring dianestesi dengan cophenilcaine spray. Keuntungan dari tehnik ini adalah benda asing
dapat dengan mudah dikeluarkan menggunakan forsep Magill. Tehnik ini memerlukan
pemeriksaan yang cepat, digunakan pada anak karena biasanya tidak kooperatif. Pada pasien
dewasa lebih baik menggunakan laringoskop indirek atau fiberoptik nasofaringoskopi untuk
mencari benda asing, dan menggunakan forsep Nagashima atau bronkoskopi untuk
mengeluarkan
3. Terdapat resiko aspirasi benda asing atau tersangkut pada dinding faring
4. Fiberoptik nasofaringoskop
5. Lakukan pemeriksaan yang teliti pada kutub tonsil, dasar lidah, daerah valekula epiglotika dan
fosa piriformis
 Bila benda asing tidak tampak, lakukan pemeriksaan radiologi foto rontgen leher lateral kondisi
jaringan lunak
 Bila pada pemeriksaan radiologi tampak benda asing segera hubungi dokter THT
 Benda asing ditenggorok pada anak : lakukan pemeriksaan dengan mendorong lidah kebawah, bila
tidak tampak rujuk pasien ke dokter THT
 Bila pada pemeriksaan radiologi dan laringoskop indirek benda asing tidak tampak dan pasien
merasa tidak terganggu, berikan terapi simptomatik dengan obat hisap dan kumur. Dapat
dipertimbangkan pemberian antibiotik (amoksisilin) bila ditemukan adanya ulserasi dan abrasi.
Rujuk pasien ke poliklinik THT 1-2 hari kemudian untuk evaluasi. Pasien harus diingatkan untuk
segera kembali bila ada gejala sesak nafas, panas, nyeri dada atau hematemesis.
 Bila pada pemeriksaan radiologi dan laringoskop indirek benda asing tidak tampak namun pasien
merasakan gejala tidak berkurang, segera hubungi dokter THT untuk evaluasi dan melakukan
pemeriksaan barium shallow (khususnya pada pasien dengan keluhan nyeri leher dan dada) atau
pemeriksaan rigid esofagoskopi
 Lihat gambar 1 algoritme manajemen benda asing di tenggorok

KEHILANGAN PENDENGARAN MENDADAK, SENSORINEURAL


 Merupakan gawat darurat medis
 Bedakan dengan :
1. Kehilangan pendengaran sensorineural progresif bilateral : prebiakusis adalah penyebab yang
paling sering
2. Kehilangan pendengaran sensorineural progresif unilateral : penyakit meniere, neuroma
akustik
 Gambaran klinis :
1. Biasanya unilateral
2. Tes weber : lateralisasi pada sisi yang sakit
3. Tes rinne : dapat positif (pada tuli parsial : konduksi melalui udara tetap lebih baik daripada
konduksi tulang) atau false negatif (tuli total : suara konduksi tulang pada telinga yang tuli
akan terdengar oleh koklea yang intak pada sisi yang lain)
 Penyebab :
154

1. Trauma pada telinga atau kepala : trauma menyebabkan robeknya membrana intralabirin
(fistula perilimfe)
2. Infeksi virus : mumps, campak, varisela
3. Vaskuler : gangguan mendadak pada aliran darah ke koklea
4. Sifilis
5. Neuroma akustik : biasanya muncul dengan gejala kehilangan pendengaran unilateral
6. Idiopatik
 Terapi dilakukan secara empiris bila penyebab tidak ditemukan
1. Kortikosteroid sistemik : prednisolon dengan dosis yang diturunkan selama 5 hari
2. Obat-obatan vasodilator : Tanakan (ginko biloba) 1 tab 3x/hari
3. Anti virus : acyclovir (800mg 5x/hari selama 1 minggu)

OTITIS MEDIA AKUT


 Umumnya terjadi pada anak-anak : organisme penyebabnya adalah Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis
 Gambaran klinis :
 Pada pemeriksaan menggunakan otoskop ditemukan : membrana timpani tampak kemerahan dan
cembung atau perforasi disertai adanya sekret
 Terapi :
1. Antibiotik oral : amokcicilin, augmentin, cefaclor, co-timoxazol, erytromycin
2. Dongestan nasal topical : contohnya Iliadin (oxymetazolin) 3x/hari selama 5 hari
3. Antihistamin oral : contohnya prometazin, Clarityne, Clarinase, Zyrtec
4. Analgesik
5. Antibiotik tetes telinga diberikan bila membrana timpani ruptur (terapi berbeda dengan terapi
membrana timpani yang ruptur karena trauma)
 Rujuk poliklinik THT untuk follow-up

Inspeksi daerah tonsil dengan laringoskop indirek


atau laringoskop direk atau fiberoptik
nasolaringoskop
Ya
Benda asing ter- Keluarkan bila mungkin
lihat ? atau
Tidak Rujuk ke dokter THT
Foto roentgen leher lateral
kondisi jaringan lunak
Tidak
Ya
Benda asing ter- Rujuk ke dokter THT
lihat?
Tidak
Ya Rujuk ke dokter THT untuk
Apakah pasien masih
merasakan gejala? evaluasi, pemeriksaan barium
swallow/ rigid esofagoskopi

Yakinkan ulang, terapi gejala dengan obat hisap,


obat kumur, antibiotic oral jika ada ulserasi atau
abrasi; control ke poliklinik THT 1-2 hari kemudi-
an untuk evaluasi
155

Gambar 1: Algoritma praktis menunjukkan manajemen benda asing di tenggorok


OTITIS MEDIA KRONIK
 OMK ditujukan pada perforasi kronis membrana timpani yang tidak mengalami perbaikan,
biasanya menyebabkan tuli konduksi
 Pasien biasanya datang dengan superinfeksi akut dengan secret mukopurulen, biasanya tanpa
keluhan otalgia
 Terapi dengan antibiotik topikal dan rujuk ke poliklinik THT untuk pembersihan rongga telinga.
Catatan : antibiotik oral hanya diberikan bila dicurigai ada penyakit penyerta faringitis/sinusitis
 Pasien harus diingatkan supaya selalu menjaga kebersihan telinga, menjaga telinga supaya tetap
kering dengan menggunakan sumbat telinga

OTITIS EKSTERNA AKUT


 Pasien datang dengan keluhan gatal, nyeri telinga dan keluar sekret dari telinga
 Secara klinis terdapat inflamasi difus atau furunkel
 Terapi dengan antibiotik topikal (kombinasi dengan steroid), contohnya otosporin atau sofradex 2
tetes 3x/hari dan analgesik
1. Antibiotik oral diindikasikan hanya bila ada penyakit sistemik dengan panas dan limfadenitis
2. Rujuk ke poliklinik THT untuk follow up lebih lanjut
 Curigai adanya otitis eksterna malignan jika terdapat nyeri yang berat disertai dengan gejala klinis
khususnya pada pasien tua/penderita diabetes
1. Memerlukan terapi antibiotik intravena sehingga pasien harus dirawat
2. Resiko terjadi perluasan infeksi pada dasar kepala dan jaringan lunak sekitar

ABSES PERITONSILER (QUINSY)


 Biasanya pasien datang dengan gambaran tonsilitis, namun :
1. Pembesaran tonsil hampir selalu unilateral
2. Berhubungan dengan kesulitan menelan (disfagia)
3. Berhubungan dengan sakit saat menelan (odinofagia)
4. Trismus
 Pemeriksaan klinis : tonsil yang terkena biasanya tertutup oleh palatum yang edema, uvula
biasanya terdorong kontralateral
 Terapi : Insisi dan drainase dengan anestesi lokal; rujuk ke dokter THT

SINUSITIS
 Secara klasik dibagi menjadi :
1. Akut : gejala < 3 minggu
2. Subakut : gejala antara 3 minggu sampai 3 bulan
3. Kronik : gejala > 3 bulan
 Biasanya pasien datang dengan keluhan :
1. Flu yang tidak sembuh-sembuh
2. Kongesti nasal
3. Sekret purulen
4. Nyeri daerah wajah disertai dengan sakit kepala
 Gambaran klinis :
1. Sekret purulen pada meatus media dapat dilihat dengan menggunakan spekulum hidung dan
penerangan langsung. Tips : Sekret purulen akan lebih mudah dilihat bila mukosa yang edema
di semprot terlebih dahulu dengan cophenylcaine spray
2. Nyeri daerah wajah pada pemeriksaan palpasi
156

 Pemeriksaan radiologis :
1. Sinusitis tanpa komplikasi sering tidak terdiagnosis secara klinis dan pemeriksaan radiologis
tidak disarankan untuk dilakukan
2. Pemeriksaan foto polos sinus seringkali false negatif (40%). Tanda infeksi pada pemeriksaan
radiologis memberikan gambaran : air-fluid level pada daerah sinus atau paranasal yang
terinfeksi.
 Singkirkan adanya komplikasi : perluasan infeksi intrakranial, osteomyelitis dan selulitis orbitalis
pada anak
 Target terapi pada sinusitis tanpa komplikasi :
1. Mengurangi obstruksi pada ostium sinus
2. Jangan gunakan antihistamin karena membuat sekret bertambah tebal :
a Dekongestan nasal : oxymetazoline (Iliadin) tetes nasal, Dosis : Dewasa 0.05%; anak
: 0.025%; bayi 0.01% selama 3-5 hari
b. Dekongestan sistemik : pseudoefedrin (sudafed)
c. Antibiotik : secara empiris yang sesuai untuk H.influenzae dan Streptococcus
pneumonia; Moraxella catarrhalis pada pasien anak. Dosis: diberikan minimal 10-14
hari
Augmentin Bactrim
Dewasa 625mg 2x/hari 2 tab 2x/hari
Anak 2-6th 5ml 2x/hari
Anak 7-12th 10ml 2x/hari (228mg/5ml)
Bila pasien alergi terhadap penisilin maka alternative terapi adalah cephalosporin
atau azithromycin

TONSILITIS AKUT
 Pasien datang dengan keluhan panas dan nyeri tenggorok
 Pemeriksaan fisik : tonsil tampak kemerahan, bengkak disertai dengan eksudat purulen
 Penyakit lain yang perlu diperhatikan : difteri, mononukleosis infeksiosa
 Terapi pasien dengan antibiotik (penisilin adalah antibiotik pilihan untuk tonsilitis akut), obat
hisap, obat kumur dan antipiretik
 Pikirkan untuk pemberian antibiotik intravena/hidrasi bila :
1. Tonsilitis yang lama
2. Pasien dengan panas yang berkepanjangan
3. Pasien yang kesulitan menelan
4. Pasien yang tampak dehidrasi
 Pasien dapat dipulangkan dengan obat antibiotik oral selama 10 hari, kemudian kontrol ke dokter
umum bila tidak ada keluhan. Bila terjadi tosilitis berulang dalam beberapa tahun, atau beberapa
kali dalam setahun maka pasien disarankan kontrol ke poliklinik THT.

PERFORASI MEMBRANA TIMPANI AKUT KARENA TRAUMA


 Biasanya disebabkan oleh tamparan atau pukulan pada satu sisi kepala
 Gambaran klinis :
1. Otalgia unilateral
2. Mungkin disertai dengan penurunan pendengaran
3. Perforasi membrana timpani bila dilihat dengan otoskopi (seringkali terdapat sisa darah)
 Manajemen
1. Antibiotik oral broad spectrum : amoksisilin
2. Analgesik
3. Jangan berikan obat tetes telinga
4. Informasikan pada pasien untuk :
a Mencegah jangan sampai air masuk kedalam liang telinga
b. Tidak menggunakan penyumbat telinga atau cotton balls
157

 Disposisi
1. Bila terdapat tanda-tanda penurunan pendengaran, rujuk ke poliklinik THT saat jam kerjaesok
hari untuk evaluasi selanjutnya
2. Bila tidak terdapat tanda-tanda penerunan pendengaran dapat dirujuk 1 minggu kemudian
158

58. Kegawatan di bidang Geriatri

Penting
 Keluhan seperti malaise atau kemampuan fungsional yang menurun dapat merupakan tanda
penyakit serius.
 Fungsi kognitif yang tidak normal dapat terlewatkan,kecuali prosedur formal dilakukan di
IRD.Fungsi kognitif dapat dievaluasi through dua langkah:
1.orientasi waktu,tempat dan personal.
2.mengingat tiga item setelah 1 menit.
 Bila hasilnya abnormal,alat formal untuk menilai status mental yaitu AMT(Abbreviated Men-
tal Test),can digunakan untuk menilai kemampuan kognitif pasien.
 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diagnosis&pengobatan pada penderita tua:
1.keluhan yang tidak dapat disampaikan oleh pasien dan tanda-tanda pada pasien yang tidak
muncul dengan jelas akibat usia yang telah lanjut,pendamping penderita yang teliti.
2.manifestasi penyakit serius yang tidak jelas pada orang tua menjadikan diagnosis su-
lit.Bersiaplah untuk pemeriksaan lebih lanjut walaupun pada pemeriksaan awal hanya ada te-
muan non spesifik.
 Pasien datang sudah dengan akumulasi dari banyak penyakit kronis yang dapat mengaburkan
adanya penyakit yang baru diderita.
 Pemberian polifarmasi dapat menurunkan komplians dan dapat terjadi interaksi obat.Evaluasi
semua obat yang diberikan untuk menyingkirkan keluhan sekarang sebagai akibat dari pembe-
rian polifarmasi.
 Hindari pemberian resep polifarmasi dan obat-obatan yang menurunkan fungsi kognitif,fungsi
hati/ginjal,keseimbangan,fungsi pencernaan dan fungsi saluran kencing.
 Factor usia sendirian bukan merupakan kontraindikasi melakukan intervensi untuk
menegakkan diagnosis dan pemberian terapi.
 Jangan hanya berpikir karena “factor usia” saja, pada setiap pasien lansia yang datang dengan
masalah penurunan fungsi.
 Selalu waspada terhadap keluhan tidak khas,seperti infark miokard akut pada lansia.Selalu
merekam EKG terhadap semua penderita lansia yang datang ke IRD.
 Demam mungkin tidak terjadi pada keadaan sepsis pada penderita lansia.

Kondisi-kondisi spesifik dan penatalaksanaannya.


1.Kesadaran yang menurun
 Manifestasi penurunan kesadaran, dapat akibat penurunan derajat kesadaran, penurunan
kualitas kesadaran atau kombinasi dari keduanya.
 Carilah 4 keadaan yang mengarahkan ke suatu keadaan delirium:
1.onset akut atau keadaan penurunan kesadaran yang fluktuatif.
2.inatensi.
3.proses berfikir yang kacau(tidak terorganisasi).
4.penurunan derajat kesadaran.
Diagnosis delirium harus ada no.1 dan 2,ditambah 3 atau 4. Setelah diagnosis delirium dite-
gakkan, maka focus pencarian selanjutnya adalah penyakit yang menyebabkan delirium.
 Penderita lansia dengan perubahan akut status mental harus dipikirkan penyebabnya adalah
organic.
 Mioklonus dan asteriksis bila ditemukan merupakan tanda pathognomonis untuk delirium.
 Penderita infark miokard akut,pneumonia,perdarahan saluran pencernaan,sepsis atau emboli
paru mungkin datang hanya dengan keluhan penurunan kesadaran.
 Pemberian obat merupakan penyebab yang paling sering terjadinya penurunan kesadaran pada
penderita lansia.
159

 Penderita lansia yang datang dengan keadaan delirium harus di MRS kan untuk pemeriksaan
dan pengobatan lebih lanjut.
 Beberapa penderita dengan subakut atau kronik gangguan kognitif(dimensia) dapat dipu-
langkan dengan syarat dapat control kembali,lingkungan rumah yang aman dan adanya pen-
damping yang dapat dipercaya.

2.Penurunan fungsi
 Didefinisikan sebagai penurunan yang progresif pada kemampuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
 Ada dua kesalahan yang dapat dilakukan oleh seorang dokter emergensi,yaitu:
1.melupakan masalah tersebut.
2.menganggap bahwa keadaan tersebut disebabkan oleh proses penuaan.
 Selalu berpikir bahwa penurunan fungsi yang terjadi merupakan akibat dari penyakit baru
yang terjadi atau penyakit kronis yang sudah dekompensasi.
 Cara intervensi terbaik untuk evaluasi penurunan fungsi adalah dari riwayat penyakit penderita
dan heteroanamnesis dari pendampingnya yang dapat secara obyektif menilai gangguan yang
terjadi sebagai masalah baru atau masalah lama yang memburuk.

3.Trauma dan jatuh


 Bila pasien lansia datang dengan trauma,maka harus diteliti dampak yang terjadi akibat trauma
tersebut dan cari penyebab dari jatuhnya penderita.Penyebab tersering dari jatuh adalah
CVA/TIA,giddiness,hipotensi postural & sinkop.
 Bila ada dugaan kuat penderita jatuh,maka harus dikonsultasikan pada bagian yang terkait.
 Juga harus diperhatikan dampak dari trauma terhadap status fungsional dan kemampuan pen-
derita untuk merawat diri sendiri.
 Prioritas adalah untuk mencegah cedera lebih lanjut.

4.Infark Miokard Akut


 Walaupun penderita dapat datang dengan keluhan klasik,tapi sering datang dengan keluhan
tak khas/atipikal(lihat table 1).Penderita usia diatas 85 tahun,pada kenyataannya datang
dengan keluhan sakit dada yang atipikal.Lebih dari 60% penderita Infark Miokard akut yang
berusia lebih 85
tahun datang tanpa keluhan sakit dada.Atipikal Infark miokard akut berhubungan dengan ting-
ginya mortalitas.
 Keluhan yang paling sering penderita adalah sesak nafas.
 Penyakit akut serebrovaskular dan infark miokard akut sering terjadi bersama-sama pada pen-
derita lansia,jadi pemeriksaan EKG harus dibuat pada semua penderita yang datang dengan
penyakit serebrovaskular.
 Semua penderita lansia yang datang dengan keluhan apaun/tidak khas harus dibuat rekaman
EKG.
 Terapi trombolitik dan antikoagulan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita Infrak mio-
kard akut, dengan hasil penurunan mortalitas dan disability.Sejumlah kecil,tapi memiliki resi-
ko yang bermakna,yaitu terjadinya perdarahan dan komplikasi lain harus didiskusikan dengan
penderita.

5.Sakit abdomen akut


 Merupakan tantangan bagi dokter emergensi dalam memeriksa penderita lansia dengan akut
abdomen.
 Pasien lansia dengan akut abdomen hampir semuanya perlu MRS dan penanganan bedah.
 Persepsi nyeri yang menurun/berubah akan menyebabkan pemeriksaan fisik yang sa-
lah,membuat penegakkan diagnosis menjadi sulit.Defans muscular atau rigiditas otot2 perut
160

dapat tidak terjadi pada kelainan intraabdominal yang serius dengan adanya iritasi peritone-
al.Kelainan tersebut akan dapat ditemukan bila penderita memiliki dinding abdomen yang rel-
ative tipis.
 Penderita lansia dengan apendisitis,keluhan anoreksia,lekositosis, atau gejala klasik nyeri yang
menjalar mungkin tidak terjadi. Namun,nyeri daerah iliaca kanan sering ditemukan pada
pemeriksaan.
 Walaupun insiden apendisitis pada lansia <10%,tapi mortalitas pada kelompok usia ini
50%.Selalu dicurigai penderita lansia datang dengan keluhan apendisitis.Bila nyeri abdomen
tidak jelas,beritahu penderita untuk control berobat dalam waktu 12-24 jam kemudian.
 Separoh dari semua kasus penderita lansia dengan ulkus peptic yang perforasi tidak mem-
berikan keluhan nyeri yang mendadak.Lokasi nyeri mungkin semua daerah abdomen,atau di
kuadran bawah abdomen.Tegang/teraba keras di ulu hati dan adanya gambaran udara bebas
pada foto roentgen tidak terlihat pada sebagian besar penderita.
 Obstruksi saluran pencernaan pada usuus besar dapat terjadi pada penderita lansia yang datang
dengan keluhan diare saja.Pseudoobstruksi kolonic harus dicurigai pada semua penderita lan-
sia yang menunjukkan gejala obstruksi pencernaan atas yang palpasi abdomen tidak nyeri atau
pemeriksaan kavernosum rectum yang gagal.

6.Iskemia Mesenterika akut.


Semua penderita lansia yang datang dengan nyeri perut yang tidak proporsional bila dibanding dari
hasil pemeriksaan fisik.Terutama bila punya riwayat penyakit kardiovaskular,hipotensi,penyakit vascu-
lar perifer,atrial fibrilasi atau dengan gejala iskemia usus besar kronis,seperti penurunan berat ba-
dan,nyeri abdomen post prandial,diare atau malabsorbsi.Pada pasien tersebut harus diperiksa angiografi
sebelum gejala iskemik menmberat terjadi.
 Aneurisma aorta abdominal yang rupture harus dipikirkan pada semua penderita lansia
dengan keluhan nyeri abdomen/nyeri punggung(back pain).Masa berdenyut sering tidak
terdeteksi pada pemeriksaan fisik.Sinkop mungkin merupakan keluhan awal.
 Selalu curiga kolesistitis pada semua penderita lansia yang datang dengan keluhan nyeri
abdomen atau adanya tanda-tanda sepsis.

7.Penyakit infeksi
 Pada pasien lansia dengan keadaan sistim imun yang menurun dan juga menderita penyakit
kronis seperti diabetes mellitus,demensia,malnutrisi,penyakit kardiovaskular,penyakit paru
kronis,kanker dan kecanduan alcohol akan beresiko tinggi untuk menderita penyakit infeksi
dan komplikasi sekundernya.
 keluhan-keluhan utama penderita lansia yang menderita infeksi adalah anoreksia,sangat le-
lah,penurunan berat badan yang tidak jelas penyebanya,inkontinensia yang baru di-
derita,bingung.Demam dan lekositosis mungkin tidak terjadi pada kondisi sepsis,tapi jumlah
netrofil sering meningkat.
 Infeksi saluran pernafasan sering diderita oleh penderita lansia,termasuk influenza,bronchitis
dan pneumonia.Infeksi saluran kemih menempati urutan kedua dan infeksi in-
traabdominal,termasuk kolesistitis,divertikulitis dan apendisitis.Keadaan yang berbeda terjadi
di tempat/panti wredha,yaitu 70-80% penyakit infeksi yang menduduki 3 besar,yaitu pneumo-
nia,infeksi saluran kemih dan infeksi jaringan lunak.
 Memutuskan mengobati penderita infeksi dapat berobat jalan atau MRS dapat merupakan
keputusan yang sulit.Pertimbangan yang dapat dijadikan ukuran adalah keadaan/status klinik
pasien,kondisi comorbid,status fungsional,dukungan social dari keluarga yang memadai dan
adanya waktu.
 Secara umum,alasan/indikasi minimal penderita lansia dengan infeksi dirawat di RS, adalah
bila keadaannya sudah terjadi dekompensasi.
161

59 Heart failure ( Gagal Jantung )


Caveats
 Gagal jantung akut dapat dibagi menjadi 3 kelompok klinis:
1. Acute cardiogenic pulmonary oedema (lihat bab Pulmonary Oedema, Cardiogenic)
2. Cardiogenic shock (lihat bab Shock/Hypoperfusion states)
3. Acute Decompensation of Chronic left heart failure yang merupakan focus pembahasan
pada bab ini.
 Singkirkan diagnosa gagal ginjal sebagai penyebab overload cairan sebelum mendiagnosa ga-
gal jantung.
 Gagal jantung dapat bermanifestasi sebagai keluhan yang tidak spesifik :
1. Kelemahan
2. Lightheadeness
3. nyeri abdomen
4. Malaise
5. Wheezing
6. nausea
 Selalu cari factor pencetus gagal jantung (tabel 1)
 Kondisi jantung dikombinasikan dengan asma atau gejala chronic obstructive airway disease
merupakan kasus klinis yang sulit dan membutuhkan keterlibatan multidisiplin.
 Pasien yang juga memiliki diabetes mellitus insulin dependent memiliki resiko kematian
tinggi yang signifikan.

Tabel 1 : Faktor Penyebab Gagal jantung


Kardiak Non-kardiak
Iskemik miokard atau infark Emboli paru
Disritmia Superimposed infeksi sistemik
Valvular heart Disease Penyakit sistemik, cth : hipertensi berat, anemia berat,
Non-compliance dengan regimen terapi tirotoksikosis, konsumsi alcohol berat
termasuk kegagalan restriksi intake Obat : kokain, amfetamin, penggunaan berlebih dari
cairan bronkodilator, antagonis kalsium generasi-1, beta
Endokarditis bacterial blocker, NSAID
Kehamilan

Tips Khusus bagi Dokter Umum :


 Selalu cari penyebab gagal jantung pada pasien terutama bila telah menjalani pengobatan
jangka panjang. Kejadian Coronary atau kerusakan ginjal harus diidentifikasi.
 Pasien dengan gagal jantung berat dapat mengeluh wheezing. Ini merupakan Cardiac
Asthma dan membutuhkan penanganan agresif pada ED sebelum keadaan menjadi edema
pulmonal. Nebulizer ventolin tidak akan memperbaiki gejala yang ada.
 Pasien lansia memiliki regulasi otonom yang berubah, serta sensitive terhadap efek
samping obat gagal jantung, sehingga memerlukan perhatian yang khusus.

Manajemen
 Tangani pasien pada area yang dapat diawasi : tanda vital, pulse oksimetri, monitoring EKG
terus menerus.
 Pertahankan jalan nafas
 Berikan oksigen, awalnya 100% non-rebreather face mask untuk mempertahankan SpO2
>95%.
 Pasang jalur IV dan periksa darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim jantung dan
marker kardiak serum.
 Untuk menurunkan venous return, pasien dapat duduk tegak dengan kaki menggantung dari
tempat tidur.
162

 Lakukan EKG untuk mendiagnosa concomitant iskemik kardiak, MI yang sebelumnya, dis-
ritmia jantung, hipertensi kronik, dan penyebab hipertrofi ventrkular kiri lain.
 Lakukan CXR untuk mencari kardiomegali, dan diversi lobus atas. Penemuan radiografik akan
menetap selama beberapa hari walaupun pemulihan sedang berjalan.
 Berikan diuretic, IV furosemide 40-60mg jika hemodinamik pasien stabil.
 Nitrodisc 5-10mg dapat diberikan pada pasien untuk mengurangi gejala akibat kongesti paru.
 Pada kasus yang parah, Infusion GTN akan menurunkan left ventricular end-diastolic volume
and pressure secara cepat dengan resolusi dari gejala.
 Monitor output urin untuk mengecek respon terapi.

Penempatan
 Belum ada penelitian yang menyatakan criteria pasien gagal jantung untuk MRS
 KRS jika pasien :
1. tidak ada nyeri dada atau penyakit lainnya.
2. respon terhadap diuretic yang diberikan di ED (nyaman saat istirahat pada udara ruangan,
SpO2 pada udara ruang ≥ 95%).
3. tidak menunjukkan bukti radiologik adanya gagal jantung
 KRS dengan ketentuan follow up pada klinik rawat jalan jika:
1. loop diretik, cth : lasix 40 OM, dan suplemen potassium, cth span K 1,2 mg OM jika
pasien tidak menggunakan diuretic sebelumnya dan urea/elektrolit/kreatinin normal.
2. tingkatkan dosis diuretic jika sebelumnya pasien telah menjalani pengobatan tersebut.
3. jika terdapat concurrent hipertensi, disamping loop diuretic, berikan ACE inhibitor cth
Captopril 6,25-12,5mg 3x/hari atau hidralazin 25 mg 3x/hari.
4. nasehatkan diet rendah garam dan restriksi cairan.
 MRS jika pasien :
1. Disritmia simptomatik
a. Sinkope atau presinkope
b. Serangan jantung
c. Multiple discharge dari implantabel defibrillator
2. MI baru atau iskemik
3. Onset baru dengan gejala baru gagal jantung
4. Dekompensasi gagal janutng kronik
5. Faktor pencetus kurang reversible
6. Edema anasraka atau signifikan
7. Kurangnya support keluarga
8. Hipotensi
163

60 Hepatic Encephalopathy, Acute

Definisi
Hepatic encephalopathy didefinisikan sebagai sindrom AMS dan keadaan neuropsikiatrik reversible
sebagai komplikasi dari penyakit liver.

Klasifikasi
 Encephalopathy terkait kegagalan liver akut
 Encephalopathy terkait sirosis hati dan hipertensi portal

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


 Hindari narkotik, transquilizer dan sedative yang dimetabolisme di hati.
 Hati-hati karena tidak semua hepatic ensefalopati terjadi pada pasien sirosis hati
kronis; acute hepatic failure dapat terjadi karena ingesti toksin, recreational drug
use, dan hepatitis A,B dan E.

Ensefalopati terkait dengan acute liver failure


 Merupakan keadaan emergensi yang membutuhkan terapi yang tepat karena keadaan ini akan
menyebabkan deteriorasi menjadi koma dan membutuhkan transplantasi hati.
 Sebelumnya keadaan pasien baik tanpa adanya riwayat penyakit hati.
 Gejalanya tidak spesifik, cth malaise dan fatigue dengan nausea; jaundice dan ensefalopati
dapat mengikuti, serta dapat berubah menjadi koma.
 Anamnesa :
1. Overdosis paracetamol
2. penelanan toksin seperti fenfluramin
3. penggunaan kokain dan ekstasi.
4. penggunaan obat IV.
5. riwayat perjalanan dengan maksud menyingkirkan kemungkinan hepatitis A dan E
6. Riwayat hubungan seksual untuk mengetahui kemungkinan hepatitis B.
 Pemeriksaan fisik harus tidak menunjukkan chronic liver disease, tanda neurologik fokal atau
demam tinggi, untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab ensefalopati yang lain.
 Grade ensefalopati :
I Kurangnya kewaspadaan ringan, ansietas, euphoria, atensi jangka pendek.
II Letargi atau apati dengan disorientasi minimal terhadap waktu dan tempat, pasien
mungkin menunjukkan perubahan kepribadian atau perilaku
III Stupor dan kebingungan
IV Koma
 Manajemen :
1. Tangani di area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi, kalau perlu lakukan intubasi (jika px koma atau
ada airway compromise)
3. Monitoring EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri.
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
 Terapi obat : IV manitol 20% : 1g/kgBB
 Pemeriksaan Penunjang :
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, LFT
3. Serum toksikologi (jika relevan)
4. Skrining hepatitis A,B,C, D dan E (anti-HAV IgM, HbsAg, anti-HBS, anti-HCV, anti-
delta, anti-HBE).
5. CT scan kepala urgen untuk mendeteksi edema serebral.
164

 Penempatan : konsul gastroenterology dan MRS pada ICU.

Ensefalopati terkait dengan sirosis hati dan hipertensi portal


 Px telah terdiagnosa menderita liver disease sebelumnya, dan mengalami gangguan kesadaran
yang timbul pada periode singkat, berfluktuasi, serta bisa menjadi fenomena yang kronik.
 Klasifikasi meliputi 3 kategori : episodic, persisten atau minimal. Ensefalopati pada sirosis
disebabkan karena shunting portosistemik dan perubahan metabolisme asam amino dengan
ammonia yang memainkan peran penting seperti neurotransmitter yang lain.
 Riwayat : pengenalan ri wayat sirosis sangatlah penting.
 Kejadian pencetus :
H Hemorrhage dari GIT cth varises atau erosi
E Electrolyte imbalance (hipokalemia, alkalosis seperti pada penggunaan diuretic, vomiting
dan diare) hipoglikemi.
P Protein Intake (berlebihan)
A Azotemia dari kontraksi volume, diuretic
T Tranquilizer, sedative lain
I Infeksi, cth : peritonitis bacterial spontan, UTI atau pneumonia, pembedahan
C Constipation
 Pemeriksaan Fisik :
1. dapat menunjukkan chronic liver disease, cth : spider naevi, ginekomasti, liver palms,
leuchonychia dan hepatic flap.
2. Dapat menunjukkan pembesaran hati atau lien juga ascites.
3. harus meliputi pemeriksaan rectum untuk mencari melena.
 Manajemen :
1. Tangani pada area critical care
2. Pertahankan jalan nafas dan oksigenasi : jika px koma lakukan intubasi.
3. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
4. Pasang jalur IV perifer
5. Cairan IV : infus NS untuk mempertahankan perfusi perifer
 Pemeriksaan penunjang : ditujukan untuk mengkonfirmasi Dx Ensefalopati akibat komplikasi
sirosis juga untuk mencari factor pencetusnya.
1. GDA
2. FBC, urea/elektrolit/kreatinin, ammonia, profil koagulasi, LFT.
3. Kultur darah dan urinalisis
4. CXR

 Terapi obat:
1. IV D50% 40ml pada hipoglikemi, dan IV thiamine 100mg jika pasien menderita sirosis
alkoholik.
2. IV nalokson 2mg jika px memiliki significant obtundation.
3. IV Flumazenil 0,5mg diulang setelah 5 menit
 Membalikkan Keadaan Ensefalopati :
1. Lactulosa 30ml PO atau lactulosa enema: menyebabkan diare osmotic yang membantu
flora normal untuk menurunkan produksi ammonia.
2. Antibiotik Oral : RCT menunjukkan manfaat klinis pada penggunaan antibiotik.
3. Proteksi mukosa GI : Omeprazole 20-40mg IV perlahan selama 5 menit.
 Penempatan : konsul gastroenterology untuk meng-MRSkan pasien ke unit HD (atau ICU jika
px diintubasi).
165

61. Hepatobiliari emergencys

Masalah akut yang berasal dari system hepatobiliari yang datang pada dokter emergency bisaanya
dengan komplikasi biliary stone disease. Macam-macam presentasinya adalah dibawah ini.

Kolik Bilier
 Manifestasi terseing dari biliary stone disease.
 Dapat terjadi pada pasien remaja, walaupun sering diderita oleh pasien wanita yang mengalami
obesitas pada usia 30 dan 50 tahun.
 Nyeri terdapat pada bagian tengah kuadran kanan atas atau epigastrium.
 Nyeri bisaanya mulai secara akut dan dapat menjalar ke sudut inferior pada scapula kanan.
 Nyeri bersifat kolik tanpa interval bebas nyeri antara eksaserbasi (tidak seperti kolik ureterik
dimana terdapat interval bebas nyeri)
 Nyeri dapat dicetuskan oleh ingestion makanan dan terutama yang berlemak atau makanan besar.
 Gambaran lain yang terkait adalah sensasi distensi pada abdominal bagian atas atau ‘bloating’,
nausea dan vomiting.
Caveats
 Selalu cari gejala obstruktif jaundice dimana keadaan ini lebih sering menunjukkan adanya biliary
ductal daripada gallstone disease.
 Adanya nyeri ditambah demam menunjukkan adanya kolesistitis akut telah terjadi.
 Adanya nyeri dengan demam serta obstruktif jaundice menunjukkan adanya kolangitis.

Kolesistitis Akut
 Bisaanya datang dengan keluhan nyeri visceral awal yang menyerupai kolik bilier. Nyeri dapat
berubah seiring waktu dan menjadi nyeri parietal yang konstan yang terlokalisir tajam pada
hipokondrium kanan. Nyeri bertambah seiring waktu dan timbul dengan adanya gerakan.
 Sering terdapat latar belakang episode nyeri abdomen atas mirip dengan kolik bilier, yang semakin
memburuk dalam frekuensi dan severitasnya.
 Gejala terkait lain meliputi demam dengan atau tanpa menggigil, hilangnya nafsu makan, nausea
dan vomiting.
 Pada pemeriksaan, nyeri yang terlokalisir pada hipokondrium kanan dapat menjadi petunjuk lebih
lanjut.
 Massa palpable yang lunak, dan globular dibawah batas kosta kanan yang ikut turun saat respirasi
menunjukkan adanya masa inflamasi yang dibentuk oleh omentum disekitar kandung empedu yang
mengalami inflamasi, atau sebuah empiema kandung empedu.
 Murphy’s sign ada ketika pasien mengeluh nyeri dan menahan nafas saat dipalpasi di hipokondri-
um kanan; hal ini terjadi karena kandung empedu menjadi bersentuhan dengan ujung jari pemerik-
sa selama inspirasi.
Caveats
 Nyeri tekan pada hipokondrium kanan tidak patognomonis untuk kolesistitis, tanda ini juga
ada pada kolangitis.
 Secara klasik, tidak terdapat tanda obstruktif jaundice.
 Selalu cari tanda dehidrasi atau labilitas hemodinamik pada pasien dengan kolesistitis akut.
Karena px sering mengalami vomiting dan anoreksia dan dapat berkembang menjadi syok ka-
rena septisemia.
Kolangitis
 Tanda klasik adalah Charcot’s triad (nyeri abdomen kanan atas, demam dan obstruktif jaun-
dice).
 Mungkin ada riwayat batu embedu yang asimptomatik yang ditangani secara konservatif, atau
dengan pembedahan. Penelitian local menunjukkan 35,7% pasien kolangitis menunjukkan
166

Charcot’s triad, namun sebagian besar pasien (95,7%) mengalami nyeri abdomen atas sebagai
keluhan utama.
Caveats
 Sama dengan kolesistitis, pertimbangkan adanya dehidrasi dan labilitas hemodinamik.

Diagnosa Banding
 Hepatitis, abses hati, eksaserbasi dyspepsia ulkus, perforasi ulkus peptic akut, kolik ureterik,
pankreatitis, divertikulosis juga pneumonia basalis kanan.

Manajemen
Pasien yang Stabil
 Tangani pada area intermediate acuity care
 Puasakan pasien selama investigasi dan terapi.
 Lab : ditujukan untuk menyingkirkan ddx juga menyingkirkan adanya komplikasi (kolangitis
atau kolelitiasis).
 FBC : lekositosis PMN yang positif konsisten dengan adanya infeksi bacterial (kolangitis atau
kolesititis).
 LFT :
1. Tes ini normal pada kolik bilier.
2. Khas pada kolangitis : peningkatan bilirubin terkonjungasi dan peningkatan enzim koles-
tatik duktus hepatikus (ALP/GGT), peningkatan enzim hepatic intraselular (AST/ALT).
3. Bisaanya tidak terdapat kolestatis pada kolesistitis akut.
 Urea/elektrolit/kreatinin : untuk mendeteksi abnormalitas elektrolit dan disfungsi sekunder
akibat vomiting dan deplesi volume.
 PT dan PTT : dilakukan saat terjadi jaundice untuk mendeteksi koagulopati
 Serum amylase : menyingkirkan coexisting pankreatitis akut.
 Urinalisis : untuk menyingkirkan kemungkinan urolitiasis dan pielonefritis
 EKG : untuk menyingkirkan iskemik miokard.
 CXR posisi berdiri : untuk menyingkirkan pneumonia basiler dan udara subdiafragmatik.
 KUB : untuk mendeteksi kalsifikasi intrabadominal, udara bebas, dan air-fluid level.

Pasien yang tidak stabil (hemodinamik labil atau menunjukkan sepsis)


 Tangani pada area critical care
 Konsultasi dini pada ahli bedah
 Monitoring : tanda vital tiap 10-15, ECG, pulse oksimetri
 Berikan oksigen
 Pasang jalur IV dengan ukuran jarum besar (14/16G) untuk resusitasi cairan.
 Lab: seperti diatas.
 Lakukan kultur darah (dari 2 bagian tubuh minimum 10 ml darah/botol)
 Berikan antibiotik IV : sefalosporin seperti ceftriaxon atau cefuroxime untuk organisme Gram
Negatif, dan metronidazole 500mg IV.
Catatan : (1) jika alergi penisilin, ciprofloxacin merupakan alternative. (2) hindari penggunaan an-
tibiotik nefrotoksik seperti gentamycin.
 Pertimbangkan terapi suportif inotropik pada pasien yang tidak responsif terhadap fluid chal-
lenge yang adekuat.
 Tetap puasakan px dan masukkan NGT untuk dekompresi lambung
 Pasang kateter urin untuk monitoring output urin.
 Berikan analgesic : dosis kecil agonis opioid via IV dititrasi sampai berespon. Hindari
antispasmodic dan NSAID.
167

Penempatan :
 Px dengan kolik bilier saja serta tanpa jaundice dan sepsis dapat diKRS-kan sebagai
pasien rawat jalan bagian bedah, dimana nyeri telah dikontrol dengan analgesic.
 Px dengan kolesistitis atau kolangitis akut di MRS-kan, pertimbangkan high dependency
unit atau ICU pada px yang tidak stabil, dengan konsultasi pada bagian bedah.
168

62. Hyperosmolar Hyperglycaemic State (HHS)


Juga dikenal sebagai Hiperosmolar Hiperglikemik Non-Ketotik State (HHNK)

Caveats
 Riwayat penyakit terjadi dalam hitungan hari bukan dalam jam terkait dengan keadaan diabet-
ic ketoasidosis.
 Cenderung untuk terjadi hilangnya cairan, yang lebih besar daripada pada DKA.
 Beberapa pasien dengan HHS sensitive terhadap insulin.
 HHS terkait dengan mortalitas yang tinggi dan harus diidentifikasi secara dini.
 Kriteria dignosa HHS :
1. Glukosa darah > 33mmol/l
2. pH arteri > 7,3 bikarbonat > 15 mmol/l
3. Tidak adanya ketonemia atau ketonuria hebat.
4. osmolalitas talal serum > 330 mOsm/kg H2O, atau serum osmolalitas efektif (2 x Na+ +
kadar glukosa + urea) > 320 mOsm/kg H2O
 Singkirkan penyebab lain seperti meningitis jika osmolalitas serum tidak cukup tinggi untuk
menegakkan HHS.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Pertimbangkan dx HHS pada lansia dengan abnormalitas tanda vital atau status
mental, atau dengan keluhan kelemahan, anoreksia atau fatigue.
 HHS dapat ditemukan bersamaan dengan pasien CVA, luka bakar, MI, infeksi,
pankreatitis atau obat (cth : diuretic, beta blocker, glukokortikoid, neuroleptik,
fenitoin, dan Calsium Channel Blocker). Kemudian cek kadar GDA pada pasien
lansia untuk menyingkirkan adanya HHS atau DKA.
 Berikan infus NS sebelum mengirim pasien ke RS.

Manajemen
Terapi Suportif
o Pasien harus ditangani pada area yang dapat dimonitoring
o Berikan oksigen aliran tinggi
o Monitoring: EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 15-30 menit, kadar glukosa dan potassium
tiap 1-2 jam
o Suportif sirkulasi : deficit cairan rata-rata pada HHNK adalah 6-10 liter. Separuh deficit air
yang diperkirakan perlu untuk diganti selama 12 jam pertama.
o Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin/kalsium/magnesium/fosfat, osmolalitas serum, BGA, uri-
nalisis.
o EKG, CXR untuk mencari penyebab keadaan HHS.
o Kateter urin untuk monitoring output urin.
Terapi Spesifik
o Replacement Volume intravena
1. jika pasien menunjukkan hipoperfusi jaringan signifikan, gunakan NS sebagai bolus cepat
sampai perfusi meningkat dan BP stabil. Berikan setidaknya 1 liter NS pada jam pertama;
selanjutnya diberikan dalam 2 jam. Kemudian ganti menjadi 1 liter NS 0,45% selama 4
jam berikutnya.
2. Jika pasien hipertensi atau mengalami hipernatremi signifikan (>155 mmol/l) berikan NS
0,45% dan ganti menjadi D5W IV ketika kadar glukosa serum mencapai 16 mmol/l.
o Replacement Potassium : kurangnya potassium total tubuh pada HHNK bisaanya lebih besar
dari DKA. Pastikan terdapat output urin sebelumnya, kemudian berikan :
1. Serum K+ <3,3 mmol/l berikan 20-40 mEq KCl pada jam pertama
2. Serum K+ 3,3-4,9 mmol/l berikan 10-20 mEq K+ per liter cairan IV (dapat diberikan 2/3
KCl dan 1/3 KHPO4; penggantian fosfat diindikasikan jika fosfat serum < 0,3 mmol/l).
169

3. Serum K+ > 5,0 mmol/l, tahan pemberian K + namun periksa serum potassium setiap 1-2
jam.
o Pemberian insulin : bolus tidak diperlukan karena pasien sanagt sensitive sekali terhadap
insulin. Berikan secara infus insulin regular 0,1 unit/kgBB/jam. Sesuaikan infus insulin untuk
menjaga kadar glukosa darah pada 14-16 mmol/l, sampai osmolalitas serum ≤ 315 mOsm /l
dan pasien dalam keadaan sadar.
Catatan : Kadar glukosa darah vena harus diperiksa tiap 1-2 jam karena dapat berkembang menjadi
HHH.
Panduan
o Osmolalitas Serum dapat diperhitungkan dengan persamaan ini: (2 x Na+) + glukosa +
urea mOsm. (normal = sekitar 280-290 mOsm).
o Osmolal gap ditentukan dengan rumus diatas dan dibandingkan dengan hasil lab yang
diukur dengan metode molal freezing point depression. Perbedaan yang didapat harus
sekitar 10; jika lebih tinggi, partikel aktif osmotic yang lain terdapat dalam serum seperti
alcohol atau IVP dye.
Penempatan
o Lakukan konsultasi dengan bagian General medicine atau endokrin, lakukan pengawasan pada
HD. Setelah mendapatkan volume replacement awal, bisaanya pasien tidak membutuhkan
MRS dibagian ICU.
170

63. Hipertensi Krisis

Definisi
 Hipertensi : tekanan darah (BP) 140/90 mmHg atau lebih, walaupun harus diketahui bahwa
tekanan darah merupakan suatu variable berkelanjutan. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi berdasar-
kan JNC VII (seventh report of the Joint National Committee) terhadap prevensi, deteksi, evaluasi,
dan terapi tekanan darah tinggi.
 Krisis hipertensi : peningkatan kritis BP dengan dengan peningkatan tekanan darah diastolic. Tidak
ada kadar BP absolute yang dapat mendefinisikan krisis hipertensi, namun bila tekanan diastolic
120-130 mmHg dapat digunakan sebagai pedoman. Krisis hipertensi meliputi hipertensi emergen-
cies dan urgencies.
1. Hipertensi emergency : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan end-
organ yang akut atau sedang terjadi.
2. Hipertensi Urgensi : jika peningkatan BP terkait dengan disfungsi atau kerusakan end-organ
imminen. Hipertensi berat merupakan merupakan keadaan asimptomatik pada pasien yang tid-
ak berkaitan dengan hipertensi emergency dan lebih sering digambarkan sebagai urgensi.
 Macam-macam keadaan hipertensi emergensi :
1. Hipertensive encephalopathy : dibedakan antara stroke/perdarahan subarachnoid
2. Hipertensive left ventricular failure (edema paru akut)
3. Diseksi aorta akut
4. Infark Miokard Akut/ ACS
5. Stroke Perdarahan atau iskemik/perdarahan subarachnoid
6. gagal ginjal akut
7. Eklampsia/preeklampsia (lihat bab eklampsia)
8. Krisis phaeochromocytoma
9. Obat terlarang (cth ekstasi)
 Hipertensi urgensi meliputi :
1. Peningkatan BP dengan perubahan retina (tanpa terkait dengan kerusakan end-organ)
2. Gagal ginjal kronik
3. Preeklampsia

Tabel 1 : Klasifikasi BP pada Dewasa 18 tahun keatas berdasarkan JNC VII


BP (mm Hg) Sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120-139 80-89
Hipertensi
Stage 1 140-159 90-99
Stage 2 ≥ 160 ≤ 100
Caveats
 Jika hasil BP terlalu tinggi atau terlalu rendah pada pemeriksaan dengan menggunakan moni-
tor, ulangi menggunakan pengukuran manual, dengan ukuran cuff yang sesuai.
 Krisis hipertensi bisaanya terjadi pada pasien yang diketahui telah menderita hipertensi.
Penyebab sekunder hipertensi juga banyak ditemukan pada pasien krisis hipertensi.
 Istilah accelerated hypertension, malignant hypertension, dan accelerated-malignant hyper-
tension digunakan untuk mendeskripsikan hipertensi berat yang terkait dengan perubahan reti-
na sesuai dengan Keith-Wagener-Barker grading. Dimana dulu, grade 3 (perdarahan, cotton
wool patches, arteriosclerosis) dan grade 4 (papiledema) terkait dengan prognosis yang buruk.
Saat ini dinyatakan bahwa prognosis tidak berkaitan dengan pemeriksaan funduskopi. Istilah
‘hipertensi emergency’ atau hipertensi urgensi’ lebih disukai untuk digunakan saat ini.
 Hipertensi ensefalopati saat ini dipercaya jarang terjadi, dan keadaan AMS sering ditemukan
terjadi sekunder akibat stroke. Menyingkirkan diagnosa tersebut sangat penting karena tinda-
kan menurunkan BP pada pasien stroke akut dapat berakibat serius. Pada stroke bisaanya BP
171

hanya meningkat secara ringan. CT scan kepala dapat membantu untuk membedakan kedua
keadaan tersebut.
 Hipertensive left ventriculare failure (dikenal sebagai edema pulmonal akut) terjadi ketika
hipertensi berat berakibat pada kegagalan LV akut akibat overload berlebihan yang me-
nyebabkan dekompensasi. Lihat bab edema paru, cardiogenik.
 Hipertension dengan diseksi aortic perlu dipertimbangkan jika pasien mengalami nyeri dada
akut, atau IMA (ketika diseksi mempengaruhi arteri koronaria) atau murmur regurgitasi aorta
baru terdeteksi. Riwayat klasik adanya rasa nyeri seperti terobek yang menjalar ke
punggungmungkin tidak ditemukan. Lihat bab Aortic dissection.
 Hipertensi dengan IMA/ACS terjadi ketika hipertensi berat menyebabkan peningkatan
ketegangan dinding ventrikel dan kebutuhan oksigen miokard. BP > 180/110 mmHg merupa-
kan kontraindikasi untuk pemberian trombolisis.
 Preeklamsia dan eklampsi perlu dipertimbangkan pada wanita hamil setelah mengalami
amenore lebih dari 20 minggu. Lihat bab Eclampsia
 Jangan pernah memberikan terapi pada hasil pengukuran BP secara tunggal : ketika memerik-
sa BP, pastikan pasien nyaman dan gunakan cuff yang sesuai.
 Over-zealous correction BP dapat berbahaya dan bisa menyebabkan CVA atau IMA. BP dapat
diturunkan dengan obat oral dan control jangka panjang BP merupakan factor penting dalam
menentukan prognosis hipertensi. Hindari calsium channel blocker sublingual; absorpsinya
tidak dapat diprediksi dan BP dapat turun terlalu cepat.

Tips khusus bagi Dokter Umum:


 Control BP yang baik akan mengurangi jumlah kasus
hipertensi emergency atau urgency.
 Penggunaan nifedipine sublingual, walaupun popular
di masa lalu, dapat menurunkan BP secara cepat dan
Manajemen ditemukan berkaitan dengan efek samping yang serius.
Tangani pasien pada
Saatarea
ini yang dapat dimonitoring
tindakan (criticaltindakan
ini merupakan atau intermediate)
yang tidak
 Berikandisarankan.
oksigen aliran rendah
 Monitor : EKG, pulse oksimetri, tanda vital tiap 5-10 menit
Apakah hasil pemeriksaan BP benar ?
 Ulangi dengan manual sphygmomanometer
 Periksa cuff yang benar
 Periksa lengan yang lain
 Ulang pemeriksaan kemudian jika asimptomatik
Apakah merupakan hipertensi emergency atau urgensi?
 Cari bukti adanya kerusakan end-organ
 Pemeriksaan klinik harus mencakup:
1. funduskopi untuk mencari pardarahan, eksudat, papil edema.
2. pemeriksaan neurologik untuk AMS, deficit fokal.
3. pemeriksaan kardiovaskular untuk kegagalan ventrikel kiri, murmur regurgitasi aorta
baru, bukti diseksis aortic.
 Bedside investigation : EKG, urin dipstick untuk hematuri dan proteiuria, tes kehamilan urin
pada wanita usia subur.
 Pemeriksaan lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, cardiac enzyme screen, troponin T.
 Radiologi :
1. CXR untuk kegagalan ventrikel kiri, pelebaran mediastinum.
2. CT scan kepala jika terdapat AMS.
3. CT thoraxjika ada kecurigaan diseksi aortic.

Apakah BP perlu diturunkan secara akut? Jika demikian, bagaimana caranya?


172

 Penurunan BP yang optimal belum ditentukan secara pasti.


 Jika hipertensi emergency terjadi, target adalah menurunkan 20-25% MAP (diastolic + 1/3
Pulse pressure) dalam beberapa jam, atau DBP sampai mencapai lebih dari 100-110 mmHg,
kemudian menjadi 160/100 mmHg dalam waktu 2-6 jam.
 Untuk px dengan stroke syndrome, jika CT scan kepala dapat dilakukan maka disarankan un-
tuk menunda BP sampai perdarahan intracerebral dapat dilihat. Lihat bab Stroke.
 Terapi Obat
1. Sodium nitroprusside : bermanfaat untuk semua hipertensi emergency kecuali pada
eklampsia. Dibatasi oleh toxic metabolite thiocyanate terutama setelah penggunaan yang
lama (24-48 jam), yang dapat menyebabkan toksisitas sianida atau thiocyanate, bermani-
festasi seperti laktat asidosis, AMS dan deteriorasi. Perlu untuk dilindungi dari sinar ma-
tahari.
Dosis: infus IV mulai dari 0,25µg/kg/menit dititrasi sampai berespon. Dosis efektif
rata-rata adalah 3 µg/kg/menit, dengan range 0,25 sampai 10 µg/kg/menit (dosis maksimal un-
tuk 10 menit saja).
2. Labetalol hydrochloride: gunakan secara primer, atau pada kasus gagal terapi dengan ni-
troprusside. Bermanfaat bagi px dengan IHD dengan mengurangi kebutuhan oksigen
miokard dan takikardi. Juga efektif pada diseksi aortic dengan mengurangi force of systol-
ic ejection dan shear stress. Kontraindikasi adalah pada pasien asma, COLD, CCF,
bradikardi dan AV block. Bermanfaat bagi phaeochromocytoma, dosis rendah dapat be-
rakibat hipertensi paradoksikal karena efek beta-blocking lebih kuat daripada efek alfa
blocker.
Dosis : berikan IV 25-50mg bolus, diikuti dengan 25-50mg tiap 5-10 menit sampai
maksimum 300mg (efek bertahan sekitar 50 menit), atau dengan infus dengan rata-rata
0,5-2,0 mg/menit.
3. Nitrogliserin : DOC untuk hipertensi moderate dengan komplikasi unstabel angina.
Komplikasi nyeri kepala dan vomiting, dan dapat memiliki manfaat yang terbatas pada
pasien hipertensi encefalopati. Dosis : infus IV pada 5-100 µg/menit, titrasi sampai
berespon.
4. Propanolol : dapat digunakan bersama dengan nitroprusside pada diseksi aortic thoracic.
Digunakan juga dengan phentolamine untuk krisis katekolamin. Dosis : 1 mg IV bolus
dan titrasi.
5. Esmolol : short acting beta-blocker. Gunakan pada diseksi aortic. Dosis : 250-500
µg/kg/menit selama 1 menit, kemudian 50-100 µg/kg/menit selama 4 menit; dapat diu-
lang.
6. Phentolamine : merupakan alpha-blocking agent, digunakan dengan propanolol IV untuk
krisis katekolamin. Dosis : 5-15mg IV.
7. Hidralazine : terapi pilihan eklampsia. Dosis : 5-10 mg bolus IV tiap 15 menit dan titrasi.
 Jika hipertensi urgensi telah didiagnosa, targetnya adalah untuk menurunkan BP secara ber-
tahap selama periode 24-48 jam sampai target DBP 100-110 mmHg. Obat hanya diberikan per
oral. Obat yang dimiliki pasien dapat diteruskan.
 Terapi obat
1. Felodipine
a. berikan PO 2,5 mg pada usia > 65th
b. Berikan PO 5,0 mg pada usia < 65 th, kemudian 5,0 mg 2 x/hari
2. captopril : Berikan PO 25,0 mg, kemudian 2 x sehari atau 3 x sehari.

Penempatan
 Hipertensi Emergency : pasien harus MRS di ICU dengan konsultasi pada General Medicine
 Hipertensi urgensi : dapat KRS jika respon baik dan BP dapat diterima setelah 4 jam monito-
ring, namun follow up harus dilakukan dalam 48 jam. Jika pasien baru pertama kali didiagno-
173

sa hipertensi dengan penyebab yang belum pasti, maka MRS pada bagian General medicine
untuk evaluasi dan eksklusi penyebab sekunder hipertensi.
174

64. Hipertermia

PENTING
 Trias gejala klasik untuk heat stroke adalah :
1. Temperatur rectal > 41 C
2. Perubahan status kesadaran
3. Kulit kering dan panas
Ini adalah sebuah kondisi stadium lanjut dan seharusnya digunakan dengan hati – hati. Jika diikuti
terlalu kaku, mungkin kita melewatkan banyak kasus heat stroke pada fase awal.

 Tidak ada petunjuk klinis untuk heat stroke dan banyak gejala dan tanda adalah nonspesifik. Diag-
nosis, karena itu membutuhkan perhatian. Perubahan status kesadaran, perubahan perilaku akut dan
sinkop with suatu riwayat paparan terhadap temperature yang tinggi seharusnya menyadarkan
seseorang untuk diagnosis dari diagnosis heat stroke.
 Banyak yang disertai temperature yang tinggi di luar ruangan. Penting untuk dicatat bahwa
aktivitas yang berkepanjangan atau berada di ruangan tertutup tanpa ventilasi yang cukup atau pengatur
aliran udara adalah faktor resiko untuk heat stroke.
 Heat exhaustion adalah suatu prekursor dari heat stroke dan mempunyai gambaran :
1. Kecemasan, irritabilitas, dan fatigue.
2. Rasa haus, polidipsi
3. hiperventilasi, carpopedal spasme.
4. Nausea, muntah
5. Peningkatan temperature rectal
6. Abnormalitas enzyme hepar ringan
7. Peningkatan level creatinin kinas.

 Tidak ada perbedaan yang jelas antara heat exhaustion dan heat stroke dan dua kondisi tersebut
mempunyai gambaran klinis yang sama, membuat diagnosis sulit. Sebagai penuntun secara umum,
pasien dengan heat exhaustion umumnya tidak mempunyai riwayat perubahan status kesadaran.

Faktor – Faktor Resiko Untuk Heat Stroke


 Beberapa faktor predisposisi untuk heat stroke :
1. Kurangnya dan kebugaran fisik yang rendah.
2. Obesitas
3. Usia yang ekstrem.
4. Penyakit – penyakit yang meyertai seperti penyakit jantung iskemi, diabetes mellitus, kelainan
kulit, penyakit infeksi.
5. Keadaan dehidrasi seperti penggunaan alcohol, diare, muntah.
6. Obat seperti anticholinergik, antihistamine, diuretic, beta bloker.
7. Recreational drug seperti amphetamine, kokain.
8. Keadaan demam sebelumnya.
9. Riwayat trauma kepala sebelumnya.

Diagnosis Diferential
Banyak kondisi menghasilkan perubahan status kesadaran dengan pireksia yang menyerupai heat
stroke :
1. Infeksi intracranial seperti meningitis, encephalitis.
2. Infeksi seperti typhoid, malaria.
3. hipertermia malignan, neuroleptic malignan syndrome.
4. Kelainan neurology seperti stroke, epilepsy.
5. Kelainan metabolic seperti thyroid storm.
175

Petunjuk Khusus Untuk Dokter Umum


 Panggil ambulan untuk transport ke IRD
 Lakukan pendinginan awal dengan membuka pakaian pasien dan kompres atau semprot dengan air
untuk membasahi kulit. Sebuah kipas angin diarahkan ke korban akan membantu mendinginkan
dengan evaporasi.
 Hidrasi adalah hal yang penting. Pemberian cairan peroral dapat diberikan jika pasien dalam
keadaan sadar dan mampu menerima.

Penatalaksanaan
 Langkah – langkah awal dalam penatalaksaan heat stroke :
1. Tempatkan pasien pada area resusitasi atau critical care
2. Kontrol ABC
3. Berikan oksigen
4. Pasang jarum intravena dengan jarum ukuran besar pada kedua fossa kubiti dan infuse dengan
cairan dingin
5. Pasang monitoring jantung dan vital sign.
6. Nilai temparatur rectal.
 Proses pendinginan penderita harus dilakukan dengan :
1. Lepaskan semua pakaian
2. Gunakan sebuah unit cooling body ( Metode pendinginan evaporasi ) atau kompres dan semprot
dengan air dingin dan kipas angina.
3. proses pendinginan dilakukan sampai temperature rectal mencapai 38.5 C

 Pemeriksaan EKG untuk mencari masalah kardiovaskular. Pada kelainan jantung akut, takikardi
hamper selalu muncul. Gambaran yang lain mungkin termasuk perubahan segmen ST dan perubahan
gelombang T yang spesifik dan abnormalitas konduksi. EKG mungkin menunjukkan kelainan
kardiovaskular yang mendahului.

 CXR untuk mencari bukti – bukti edema paru atau ARDS. Infark paru telah digambarkan dalam
heat stroke.

 Lakukan pemeriksaan glukosa darah kapiler untuk mnecari hipoglikemi sehingga terapi dapat
segera dilakukan. Bagaimanapun juga, hiperglikemia mungkin terlihat pada heat stroke dan ridak
selalu menunjukkan adanya diabetes mellitus.

 Pemeriksaan darah :

1. darah rutin : lekositosis umum dijumpai tanpa adanya infeksi. Trombositopeni dapat dijumpai.
2. Elektrolit : kadar natrium dan kalium mungkin meningkat, normal, atau rendah, tergantung
banyak factor. Hipomagnesemia dan hipocalsemia mungkin terjadi.
3. enzim-enzim otot umumnya meningkat.
4. Faal hati : abnormalitas dari enzim dihepar hamper selalu ada.
5. Analisa gas darah mungkin menunjukkan alkalosis atau metabolic asidosis dari trauma jarin-
gan dan hipoksia.
6. Profil koagulasi mungkin menunjukkan onset koagulasi.

 Urine dipstick mencari adanya darah dan myoglobin. Alternatifnya, suatu sample mungkin dikirim
ke lab untuk mengukur myoglobulin.
 Selama proses pendinginan, menggigil mungkin terjadi, melawan usaha – usaha dalam
menurunkan temperature tubuh. Ini dapat dikendalikan dengan IV diazepam 5 mg atau IV
chlormazine 25 – 100 mg.
 Pasang NGT menatalaksana distensi gastric acute.
176

 Beri IV cimetidine 400 mg untuk mencegah gastritis akut.


 Pasien harus dipasang kateter untuk monitoring produksi urine.
 Perhatian :
1. Mekanisme untuk heat stroke tidak melibatkan suatu pergeseran pada thermostat fisiologis dan
karena itu antipiretik tidak menolong. Aspirin harus dihindari karena mungkin menyebabkan
masalah koagulasi ketika penggunaan paracetamol mungkin memperberat injuri pada hepar.
2. Alkohol tidak dapat digunakan untuk proses pendinginan sekalipun kondisi hipertermi spesifik
untuk proses penguapan karena absorpsi kulit dapat menyebabkan penurunan kesadaran yang
lebih progresif.
3. Hipotensi harus dikoreksi sebelum proses pendinginan yang efektif dilakukan.
4. Hati – hati dengan edema paru yang mengalami rebound ketika vasokontriksi terjadi setelah
heat stroke terkontrol.

 Disposisi
1. Semua penderita heat stroke harus dirawat di rumah sakit
2. Pemulihan heat exhaustion tanpa kerusakan end organ dapat diobservasi di IRD dan kemudian
dapat dipulangkan.

Referensi
1. Weiner KS, Khogali M. A physiological body-cooling unit for heatstroke. Lancet. 1980;
1:507.
2. Gaffin SL, Gardner JW, Flinn SD. Cooling methods for heatstroke victims. Ann Intern Med
2000; 132(8):678.
177

65. Hipoglikemi

DEFINISI
Merupakan kadar glukosa darah yang rendah, bisaanya kurang dari 3,0 mmol/l pada pemeriksaan vena,
disertai dengan gejala dan tanda yang khas, yang akan kembali membaik setelah dilakukannya koreksi.

CAVEATS
 Selalu periksa GDA pada pasien AMS atau kejang.
 Hasil pemeriksaan gula darah kapiler akan lebih rendah daripada hasil pada vena dan dapat
terlihat rendah pada pasien hipotensi, hipotermi dan edema; sehingga selalu konfirmasikan
adanya hipoglikemi dengan sample vena ke lab.

Penyebab
 Separuh jumlah kasus terjadi pada pasien diabetes yang sedang menjalani pengobatan dengan
insulin atau sulphonylurea.
 Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sehat:
1. Medikasi/obat
a. Alkohol
b. Salisilat
c. Non selective beta blocker (dengan kelemahan respon adrenergic terhadap stress)
d. Factitious hypoglycaemia atau overdosis insulin atau obat hipoglikemik oral.
3. latihan/exercise yang berlebihan
4. Insulinoma
 Penyebab hipoglikemi pada pasien yang terlihat sakit
1. Sepsis dan syok
2. Infeksi : malaria, terutama dengan terapi quinine atau quinidine
3. Starvasi/kelaparan, anoreksia nervosa
4. gagal hati
5. Gagal Jantung (diffuse disfungsi liver)
6. Gagal ginjal (gluconeogenesis yang terganggu)
7. Endokrin
a. Insufisiensi Hipothalamus-pituitary-adrenal axis pada kortisol dan growth hor-
mone.
b. Insulin antibodies
8. Non islet cell tumour, cth sarcoma, mesothelioma
9. masalah hati congenital termasuk defek karbohidrat, asam amino dan metabolisme asam
lemak.

Tips khusus Bagi Dokter


 Prevensi labih baik daripada penyembuhan
 KIE yang baik dalam ketaatan berobat obat hipoglikemik, insulin dan makanan serta kudapan
yang sesuai.
 Hindari long-acting sulfonylurea, terutama glibenklamide dan chlorpropamide, pada pasien usia
tua, atau memiliki gangguan hati, ginjal atau jantung.
 Monitoring ketat glukosa darah pasien, termasuk self-blood glucose monitoring, akan membantu
untuk mengurangi insiden hipoglikemi pada pasian DM.
 Pastikan keamanan penggunaan obat dirumah:
1. jauhkan obat dari jangkauan anak
2. kurangi kebisaaan menempatkan obat pada container lain untuk mencegah kebingungan.
3. Beri label dengan jelas
 Cek GDA pada semua px AMS. Terapi dini pada hipoglikemi akan mengurangi morbiditas dan
mortalitas.
178

Manifestasi klinis
Hipoglikemi dapat muncul dengan manifestasi spectrum luas kelainan neurologik, a.l:
 Neurogenic/autonomic (BSL sekitar 2,8-3,0 mmol/l): keadaan simpatetic yang berlebihan
dengan diaforesis, takikardi, gugup, dan pucat.
 Neuroglycopenia (BSL < 2,5-2,8 mmol/l)
1. gangguan perilaku seperti iritabilitas, confusion dan agresi
2. penurunan tingkat kesadaran
3. Kejang
4. Defisit neurologik fokal

MANAJEMEN

 Tempatkan pada area yang dapat diawasi


1. monitor: EKG, pulse oksimetri, tanda vital
2. berikan oksigen aliran rendah
3. Cek GDA untuk semua px AMS

 Anamnesa dan Pemeriksaa


1. cek riwayat DM, pengobatan, perubahan dosis, penyakit yang baru atau sudah lama di-
derita px.
2. Jika px tidak sadar, lakukan heteroanamnesa, dan pemeriksaan lain.

 Pemeriksaan penunjang
1. Glukosa darah vena, urea/elektrolit/kreatinin, LFT, FBC
2. Jika px tidak diabet, ambil 1-2 ekstra tube darah on ice untuk insulin serum, C-peptide
dan kortisol sebelum memberi terapi dan evaluasi endokrinologi lanjutan.
3. jangan menunggu hasil lab akhir untuk memberikan terapi.

 Terapi, tergantung pada tingkat kesadaran dan kerjasama px


1. pasien sadar dan kooperatif
a. terapi oral lebih disukai
b. berikan minuman kaya glukosa (cth glukolin, lucozade, ensure, isocal, milo,
horlicks) dan beri makan px. Catat bahwa 1 kaleng Ensure memiliki 250 kalori,
cf 1 pint D5W memiliki 100 kalori.
2. pasien yang tidak sadar atau tidak kooperatif
a. jika akses IV tersedia, berikan IV dekstrose 50% 40-50ml. ingat untuk mencam-
purnya dengan NS karena larutan hipertonik dapat menyebabkan tromboplebitis.
b. Jika akses IV tidak tersedia, atau jika px sangat tidak kooperatif, IM atau SC
glukagon 1 mg dapat diberikan. Ingat bahwa IM atau SC glukagon memerlukan
waktu beberapa menit lebih lama daripada IV dekstrose. Juga dapat digunakan
pada hipoglikemi yang terjadi akibat sulfonylurea atau gagal hati.
3. Jika dicurigai alkoholik kronis, berikan IV thiamine 100mg
4. Jika dicurigai ada insufisiensi adrenal, berikan IV hidrokortison 100-200mg.
5. Jika ada trauma lain, berikan profilaksis tetanus.

 Monitoring
1. periksa GDA 15 menit kemudian, selanjutnya setiap 30 menit pada 2 jam pertama, dan se-
tiap jam selanjutnya. Monitoring jangka panjang dibutuhkan bila ada overdosis sulfonylu-
rea dengan glibenklamide atau chlorpropamide.
179

2. Pertimbangkan dosis ulangan jika tidak respon terhadap terapi, atau berikan infus D5%
atau 10% continous, jika ada kemungkinan penurunan kadar gula darah yang terus mene-
rus.
3. mayoritas pemulihan pasien terjadi dalam 20-30 menit.
4. jika terdapat keadaan AMS yang persisten, walaupun hipoglikemi telah teratasi, pertim-
bangkan keadaan patologis lain, serta lakukan CT scan kepala.

 Penempatan
1. Bergantung pada beberapa factor :
a. Etiologi hipoglikemi, termasuk agen penyebab.
b. Severitas deficit neurologik dan responnya terhadap terapi.
c. Respon kadar glukosa darah dan butuh replacement yang terus menerus.
d. Adanya komorbiditis, seperti cedera kepala
e. Lingkungan social, ketersediaan yang merawat px, keinginan px untuk bunuh
diri.
2. secara umum, sebagian besar pasien harus di-MRS-kan dibawah pengawasan bagian en-
dokrinologi, General Medicine atau spesialis lain tergantung etiologi dan komorbiditas.
Semua kasus hipoglikemi karena sulfonylurea harus di-MRS-kan karena efek jangka pan-
jangnya.
3. pada kondisi yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemi (overdosis OHGA, kegaga-
lan hati akut, sepsis berat), pertimbangkan MRS di ICU.
4. Jika penyebab hipoglikemi telah diketahui pasti dan bersifat reversible (cth karena lupa
makan setelah injeksi insulin), maka px dapat dipulangkan setelah keadaan membaik.
180

66.OBSTRUKSI INTESTINAL

TITIK BERAT
 presentasi klinis meliputi: nyeri perut, distensi, muntah dan konstipasi,. Namun, muntah
mungkin terlambat pada obstruksi letak rendah and distensi mungkin minimal pada obstruksi
letak tinggi
 obstruksi usus dapat dibagi menjadi 2: mekanis dan non-mekanis ( ileus )
 selalu periksa kemungkinan hernia dan rectal tuse. Sumbatan feses biasanya memberi gejala
pseudoobstruksi
 apabila sudah terdiagnosis, tentukan apakah terdapat strangulasi

Tabel 1 penyebab obstruksi mekanis


Perlekatan dari operasi masa lalu
Hernia
Tumor
Batu enpedu
Volvulus
Intusepsi
Inflamatori bowel disease, Crohns’ disease

Tabel 2 penyebab ileus


 Postoperative
 Hipokalsemia
 Uremia
 Pseudoobstruksi

Tabel 3 strangulasi
 Febris
 Shok
 Nyeri menetap setelah dekompresi
 Peritonitis dan shok
 Pada kasus strangulasi karena hernia eksternal, sumbatan terasa tegang, lunak, tidak dapat
berkurang, tidak dipengaruhi impuls batuk dan terdapat peningkatan ukuran

Tips untuk Dokter Umum


Feses ukuran kecil, yang mungkin oleh pasien dianggap sebagai “diare”, kemungkinan adalah “diare
palsu” dan jangan abaikan kemungkinan obstruksi usus

Managemen
 pastikan airway paten dengan suplemen oksigen
 pasang infus kristaloid 500ml dalam 1-2 jam
 pemeriksaan lab. : DL, sample darah, ureum/creatinin/elektrolit
 pasang NGT untuk dekompresi
 Rö: BNO 2 posisi ( berdiri dan supinasi) untuk melihat dilatasi usus dan udara bebas
 EKG pada pasien tua
 Pasang kateter untuk mengetahui produksi urine
 Jika pernah terjadi strangulasi atau peritonitis, segera konsultasi dengan ahli bedah
 Rochephin 1 gr IV dan metronidazole 500 mg IV apabila pernah terjadi bowel sepsis
181

67. Ischemic bowel


Penting
 Ischemic bowel perlu diperhatikan dan disingkirkan pada penderita dengan nyeri perut
yang tiba-tiba akan tetapi pemeriksaan fisik tidak didapati kelainan fisik yang bermak-
na.
 Setelah terjadinya oklusi, dikuti dengan cepat timbulnya gangren dan perforasi pada
saluran cerna
 Diagnosis awal adalah sangat sukar ketika tanda-tanda fisisk yang timbul minimal.
 Faktor resiko
1. Umur diatas 50 tahun
2. Riwayat memiliki penyakit katub jantung
3. Riwayat chronic congestive cardiac failure
4. Memilki peripheral vascular disease
5. Riwayat miocard infark
6. Dysarytmia, terutama atrial fibrilasi dimana predesposisi terjadinya emboli
7. Hypovolemia
8. Hypotensi
Catatan : ischemic bowel dapat terjadi tanpa didukung faktor resiko diatas dan pada pen-
derita usia muda. ischemic bowel harus dicurigai pada semua penderita dengan tanda-tanda
peritoneal, dimana nyeri melebihi dari pemeriksaan fisik yang ditemukan, dan penderita ter-
lihat sakit berat dan khususnya didapati suatu metabolic asidosis.
Penatalaksanaan
 Rawat penderita pada tempat yang dapat dimonitor setiap saat
 Jaga jalan nafas dan beri oxygen aliran tingi
 Beri infus kristaloid dengan aliran rumatan, kecuali jika shock
 Lab
1. Darah lengkap
2. Urea/Electrolyte/cretinine
3. Analisa Gas Darah, untuk melihat adanya metabolic asidosis yang tidak dapat
dijelaskan dengan kelaianan patologis yang lain.
4. Pemeriksaan coagulasi
5. Persiapan darah protrasfusi 2-4 unit
 Foto polos abdomen untuk melihat penebalan dinding saluran cerna, dan udara bebas
yang menunjukan adanya perforasi dari saluran cerna yang mengalami gangren
 ECG menunjukan dysarytmia tersering berupa Atrial Fibrilasi
 Pasang NGT dan beri antibiotic (Chepalosporine IV dan metronidazole IV)
 Pasang urinary cateter dan monitor produksi urin
 Konsultasi segera ke bagian bedah
182

68. Malaria

Caveats
 Secara klasik, pasien tampak dengan paroxysm atau demam dengan puncak yang tinggi setiap 48
jam (plasmodium vivax, p. Ovale) atau setiap 72 jam (P. malariae). Infeksi P. falciparum bisa tidak
menunjukkan paroxysm.
 Pertimbangkan malaria pada semua pasien dengan demam, terutama saat rekrutmen tenaga militer,
pekerja asing dan pasien yang baru saja mengadakan perjalanan ke India, Amerika Selatan, Afrika
atau Asia Tenggara.
 Chemoprophylaxis bisa jadi tidak menyebabkan malaria sebagai akibat dari resistensi obat dan
dosis yang tidak tepat.
 Tanda-tanda klinis:
1. Malaise 8. Cerebral oedema
2. Muntah 9. Gagal Jantung
3. Diare 10. Pulmonary oedema
4. Haemolytic anaemia 11. Shock
5. Jaundice 12. Gagal Ginjal
6. Splenomegaly 13. Hypoglycaemia
7. Pusing
 Penurunan kesadaran bisa sering terjadi, khususnya dengan infeksi p.falciparum.
 Cari hypoglycaemia sebagaimana malaria dan quinine dapat menyebabkan hypoglycaemia.
 Selalu cari komplikasi dari malaria sebagai berikut:
1. Superimposed gram – negative sepsis
2. Malaria respiratory distress or pulmonary oedema
3. Cerebral malaria
4. Shock
5. Anaemia
6. Acidosis
 Mefloquine tidak direkomendasikan pada pasien dengan neuropsychiatric atau cardiac conduction
defects

PENATALAKSANAAN
 Kirim sediaan darah tebal dan tipis untuk pemeriksaan malaria pada setiap pasien yang datang dari
daerah malaria.
 Bila parasit tidak terlihat, usapan ulangan harus dilakukan setidaknya dua kali dalam waktu tiga
hari untuk mengeluarkan malaria.
 Masukkan semua pasien dengan malaria

Petunjuk khusus bagi dokter umum


 Obati dengan quinine atau nefoquine bila terdiaknosa malaria atau kloroquine bila vivax positif
teridentifikasi, sebalum mengirim pasien ke IRD karena kondisi pasien bisa menurun dengan ce-
pat.
 Cek level glukosa di klinik dan obati hypoglycaemia bila perlu.
 Pengukuran pencegahan sederhana melawan malaria pada orang dewasa meliputi:
1. sarankan pasien untuk menghindari gigitan nyamuk dengan menggunakan repellant, misalnya
30% DEET, kelambu, gunakan pakaian yang bisa melindungi dari nyamuk dan hindari kulit
terbuka mulai sore sampai pagi.
2. bila pasien akan pergi ke daerah malaria, mulai dhemoprophylaxis satu minggu sebelum
bepergian dan lanjutkan hingga empat minggu setelah tiba, berikan:
a mefloquine 250 mg perminggu
b doxycycline 100mg OM or
c moloprim 1 tab mingguan
183

 hitung parasit, berhubungan dengan prognosis, dan spesies penginfeksi harus teridentifikasi.
 Labs:
1. DL (anemia, sel darah putih rendah atau normal, trombositopenia)
2. Ureum/elektrolit/kreatinin (gagal ginjal)
3. LFT (jaundice)
4. Gula darah (infeksi P. Falciparum atau terapi quinine)
5. Urin untuk hemoglobinuria (blackwater fever)
 Untuk P. Vivax, P.malariae dan infeksi P.falciparum yang sensitif ringan terhadap
chloroquine (<0.1% hitungparasit):
1. dewasa : Chloroquine phosphate 1 g stat (choloquine base 600 mg) 500 mg 6 jam kemudian,
lalu 500 mg per hari selama 2 hari berikutnya.
2. Anank-anak : Chloroquine phosphate 10mg/kgBB hingga maksimum 600 mg kemudian 5
mg/kgBB dalam 6 jam, dan 5 kg/kgBB per hari selama 2 hari.
Diikuti dengan primaquine phosphate (pastikan status G6PD normal) 26,3 mg load (15 mg base)
per hari untuk 14 hari selama menyelesaikan terapi chloroquine untuyk infeksi P. Ovale dan P.
Vivax. Beri 0,3 mg/kgBB base selama 14 hari untuk anak-anak.
Catatan : Terapi primaquine adalah untuk eradikasi stadium ektraeritrositik dan mencegah relaps.
 Untuk yang tidak ada komplikasi, P. Falciparum yang moderate (>0,1% tetapi <5%) sensitif
chloroquine, beri quinine sulfat oral 600-650 mg tds (8,3-10 mg/kgBB untuk anak-anak) selama 7
hari dan doxycicline 100 mg bd selama 7 hari. Doxycicline kontraindikasi bagi anak dibawah 8
tahun. Pada keadaan ini, perpanjang terapi quine sulfat hingga 10 hari. Fansidar (pyrimathamine-
sulfadoxine), mefloquine, dan artemisinin (qinghaosu) juga masih digunakan.
 Untuk yang berkompliokasi (cerebral malaria, gagal ginjal, Hb <7mg/dL, ARDS, hypoglycaemia,
dan DIVC) atau infeksi P. Falciparum yang parah (>5%), kirim ke ICU untuk monitir ketat Tensi,
produksi urin, irama jantung dan level gula darah :
1. Beri quinine dihydrochloride iv 20 mg/kgBB dalam 4 jam, kemudian 10 mg/kgBB dalam 8
jam dan tiap 8 jam selama 72 jam.
2. Ganti dengan sediaan oral bila memungkinkan atau hitung <1% untuk mengakhiri 7 hari
terapi. Monitor parasetemia setiap 6 jam. Bila terapi efektif, diperkirakan 75% level parasit
menurun setelah 48 jam terapi. Bila parasitemia >10-15%, pertimbangkan mengganti
transfusi. Steroid berbahaya bagi cerebral malaria.
……………………
69……………………
184

70. Miokard Infark, Akut

Caveats
 2-4% kasus MI secara tidak tepat dipulngkan ke rumah masing-masing. Mayoritas kasus meli-
puti kasus pada pasien muda yang tidak dicurigai AMI, px lansia yang tidak menunjukkan gx
yang khas. Sehingga AMI harus dieksklusikan pada px tua, juga pasien diabetes dengan gejala
kardiak, respirasi, dan neurology yang tidak terjelaskan.
 Faktor menyebabkan miss diagnosa MI:
1. kegagalan untuk melakukan pemeriksaan penunjang (EKG, serum marker)
2. Tidak dipertimbangkannya dx
3. KRS yang tidak tepat dari ED
4. interpretasi yang salah dari hasil tes (EKG atau serum marker)
5. Terlalu bergantung pada hasil pemeriksaan yang negative (EKG dan single serum marker
yang negative)
 Karakteristik AMI yang tidak spesifik :
1. kepribadian (maskulinitas, calmness, independent, kecemasan yang rendah)
2. Pola perilaku (kunjungan ke dokter yang rendah, pasien yang menyangkal)
3. ambang nyeri yang tinggi (kardiak dan non kardiak)
4. depresi mayor atau psikosa
5. pasien dementia
6. misinterpretasi antara dokter-pasien tentang gejala dan tanda AMI
7. sensori, motorik dan autonomic neuropati
8. kurangnya pengenalan gangguan CNS akibat iskemik
 Di bawah ini merupakan tips manajemen resiko pada pasien dengan kemungkinan MI
1. usia dan jenis kelamin yang perempuan bukan berarti dapat menyingkirkan dx iskemik
atau infark.
2. riwayat penyakit jantung merupakan factor yang kritikal. Adanya factor resiko telah
membatasi signifikansi diagnosa karena adanya penyakit kardiovaskular merupakan fakta
yang telah diketahui.
3. factor resiko yang relevan dengan nyeri dada : riwayat keluarga, DM, hipertensi,
hiperlipidemia, merokok dan penggunaan kokain.
4. pertimbangkan kebijaksanaan untuk memeriksa rutin EKG pada pasien tua dengan
manifestasi klinis yang berpotensi kardiak.
5. nyeri dada pada left bundle branch block baru harus dipertimbangkan sebagai AMI, serta
diberi terapi trombolisis.
6. nyeri dada saat istirahat pada px yang diketahui menderita penyakit jantung harus
dipertimbangkan sebagai penemuan yang tidak menyenangkan.
Tips khusus Bagi Dokter Umum:
 Pasien AMI dapat menunjukkan klinis dan EKG yang tidak khas
 Hati-hati pada presentasi klinis AMI yang tidak khas pada px tua, diabet,
dan px usia muda dengan factor resiko.
 Ketika AMI telah terdiagnosa, jangan kirim px ke ED dengan mobil pribadi.
Panggil ambulan!
 Berikan aspirin 300mg secepatnya sebelum merujuk px ke RS.

dibawah ini merupakan keluhan anginal equivalent, sindrom dan manifestasinya:


2. anginal equivalent complaints : dispneu, nausea/vomiting, diaforesis, kelema-
han/kepeningan, batuk dan sinkope.
3. Anginal equivalent syndromes : delirium, kebingungan, CVA
4. Anginal equivalent presentation and findings : cardiac arrest, disritmia onset baru, ga-
gal jantung kongestif onset baru, bronkospasme yang tidak terjelaskan, takikardi yang
tidak dijelaskan, edema peripheral.
185

Manajemen
 oksigen dengan masker, monitoring tanda vital
 Aspirin oral 300mg
 S/L GTN 1 tab dan ulang setelah 5 menit (untuk menyingkirkan perubahan EKG karena
spame koroner).
 Lakukan right-side ECG pada MI inferior untuk menyingkirkan concomitant right ventricular
infarct.
 Pasang IV plug dan tes darah, cth: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, Troponin T,
PT/PTT, dan GXM 2U PCT. Hindari arterial puncture.
 IV morfin 2-5mg bolus lambat. Ulangi dengan interval 10 menit sampai nyeri berkurang.
 Pertimbangkan IV metoklopramid 10 mg sebagai antiemetik.
 IV GTN 20-200µg/menit, terutama pada:
1. nyeri dada iskemik yang terus-menerus
2. gagal ventrikel kiri
3. Hipertensi
Meningkat 5-10 µg/menit, pada interval 5-10 menit sampai nyeri dada menghilang atau MAP
turun 10%. Hentikan bila terjadi hipotensi. Hati-hati pada MI inferior karena pasien dapat
mengalami concomitant right ventricular infarct, dimana nitrat merupakan kontraindikasi.
 Pertimbangkan Myocardial salvage therapy, contoh PCI (procedural coronary intervention)
versus trombolisis (PCI lebih disukai bila tersedia). Lihat tabel 1.

Tabel 1 : Tindakan Reperfusi pada AMI, keuntungan dan Kerugian 2 strategi Reperfusi
Trombolisis PCI
Keuntungan Pemberian cepat Efikasi klinis yang lebih baik, cth patensi
Tersedia luas pembuluh darah superior, TIMI
Nyaman digunakan grade 3 flow rate dan penurunan
oklusi
Lebih sedikit perdarahannya
Definisi dini dari anatomi koroner
memudahkan terapi penyesuaian
dan stratifikasi resiko yang lebih
efisien

Kerugian Patensi terbatas, cth arteri terkait infark, Terbatas pada efikasi yang terlambat
terjadi pada 60-85% pada pasien, Kurang luas tersedia
dengan normal TIMI grade 3 Membutuhkan tenaga ahli
epikardial coronary flow pada 45-
60% pasien
Efikasi klinis yang lebih rendah, cth :
reperfusi optimal tidak tercapai pada
>50% pasien, dan reoklusi infark
pembuluh darah terjadi 5-15% pada
minggu I dan 20-30% dalam 3 bulan
Resiko perdarahan
 Pertimbangkan apakah pasien merupakan kandidat untuk terapi trombolitik dengan criteria sbb:
1. nyeri dada khas AMI
2. peningkatan segment ST paling tidak 1mm pada setidaknya 2 lead EKG inferior atau ele-
vasi paling tidak 2mm pada setidaknya 2 lead EKG anterior
3. Kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
4. Kurang dari usia 75 tahun
 Jika pasien memenuhi criteria untuk trombolisis, lihat daftar kontraindikasinya:
1. Suspek aortic dissection
186

2. riwayat stroke
3. neoplasma intracranial yang diketahui
4. baru mengalami cedera kepala
5. patologi intracranial yang lain
6. hipertensi berat (BP > 180/110)
7. ulkus peptikum akut
8. perdarahan internal akut
9. baru mengalami perdarahan internal (< 1 bulan)
10. baru mengalami pembedahan major
11. baru menjalani pengobatan antikoagulan
12. perdarahan diathesis yang diketahui
13. prolonged CPR (> 5 menit)
14. pemberian trombolitik sebelumnya
15. kehamilan
16. diabetic retinopati
17. Hipotensi (SBP < 90 mmHg)
18. EKG menunjukkan LBBB
19. masalah kesehatan lain yang dapat menghalangi penggunaan trombolitik.
Jika jawaban terhadap salah satu keadaan diatas ada yang ‘ya’ maka jangan berikan
trombolitik. Diskusikan dengan ahli kardiologi terlebih dahulu.
 Jika tidak ada kontraindikasi, pertimbangkan pilihan trombolitik, cth : Streptokinase (SK) versus
recombinant tissue plasminogen activator (rtPA):

SK rtPA
1. paling sering digunakan dan ekonomis 1. dapat digunakan pada kedua gender
2. pilihan yang lebih baik jika resiko 2. kurang dari usia 50th
perdarahan intracranial lebih besar (cth: 3. anterior AMI
usia tua) karena penggunaan rtPA be- 4. kurang dari 12 jam dari onset nyeri dada
rakibat terhadap peningkatan resiko
perdarahan intracranial.

 KIE tentang untung rugi tx trombolitik.


 Efek samping dari terapi trombolitik meliputi:
1. resiko perdarahan intracranial (1%) lebih tinggi jika
a. usia pasien > 65th
b. berat badan rendah < 70kg
c. hipertensi pada saat datang
d. rtPA digunakan, dibandingkan SK
2. alergi SK terjadi pada 5% pasien yang diterapi untuk pertama kalinya, terutama pada px yang
baru saja mengalami infeksi streptococcus, dan 0,2 % pasien mengalami reaksi anafilaksis
yang serius.
3. Hipotensi selama IV SK infusion (15%), penurunan laju infus dan ekspansi volume.
 Dosis terapi trombolitik
SK rtPA
1. IV SK 1,5 mega unit dalam 100ml NS 1. 100mg rtPA dilarutkan dalam 100ml air
selama 1 jam steril
2. berikan 15mg IV bolus
3. Berikan infus IV 0,75mg/kg selama 30
menit (tidak lebih dari 50mg)
4. diikuti dengan infus IV 0,5mg/kg selama
60 menit (tidak lebih dari 35mg)
187

 jika pasien syok, selalu cari factor penccetusnya:


1. lakukan pemeriksaan rectum untuk mencari perdarahan GIT.
2. jika pasien bradikardi, terapi menurut pedoman ACLS
3. jika pasien takikardi, terapi menurut pedoman ACLS
4. jika pasien memiliki right ventricular infarct
a. lakukan right-side lead pada adanya ST elevasi di lead II, III dan aVF seperti AMI
inferior (gambar 1a). cari paling tidak 1 mm ST elevasi pada V4R, V5R dan V6R
(gambar 1b).
b. jika demikian, berikan fluid challenge 100-200ml NS selama 5-10 menit dan periksa
responnya.
c. Bisa diulang jika pasien tidak menjadi sesak dan tidak ada tanda klinis edema
pulmonal.
d. Mulai inotropik (IV dobutamin/dopamine 5-20 µg/kg/menit) jika BP tetap rendah
dengan pemberian 500ml cairan IV.
5. jika pasien syok kardiogenik karena komplikasi mekanik, cth disfungsi otot papillary atau
rupture, septal rupture atau tamponade jantung dari rupture dinding dada.
a. konsul kardiologis dan bedah TKV
b. sementara itu mulai terapi support inotropik, cth dobutamin/dopamine 5-20
µg/kg/menit.
c. Pasang kateter untuk mengukur output urin.
188

71 Near Drowning (Nyaris Tenggelam)

Definisi
Drowning syndrome bervariasi dari minimal aspirasi air dengan angka keselamatan
mulai dari yang baik sampai pada severe pulmonary injury dengan kematian. Ber-
macam-macam terminology digunakan untuk mendiskripsikan keadaan sebagai beri-
kut:
 Tenggelam : proses dimana usaha bernafas untuk menghirup udara terendam
didalam cairan.
 Near Drowning : tenggelam sebagian dengan temporary survival.
 Submersion incident : istilah yang paling ntral untuk mendeskripsikan
seseorang yang mengalami efek berkebalikan setelah mengalami tenggelam
sebagian di dalam air.
Caveats
 Penyelamatan segera (< 5 menit) dan resusitasi awal di tempat kejadian meru-
pakan kunci keselamatan pasien.
 Bagian penting pemeriksaan adalah unuk mencari penyebab (cth trauma,
usaha bunuh diri, keracunan, sengatan organisme laut).
 Hipotermi merupakan komplikasi yang potensial, terutama pada usia yang
lebih muda.
Tips khusus Bagi Dokter Umum
 Resusitasi di dalam air sulit dilakukan dan membahayakan jiwa
penyelamat.
 Coba untuk mengeluarkan air yang tertelan dengan bermacam
cara, seperti manuver Heimlich, masih controversial.

Manajemen prehospital awal


 Penyelamatan cepat mengeluarkan korban dari air
 Pemeriksaan ABC
 Lakukan CPR jika diperlukan
 Berikan oksigen
 Pasang akses intravena (jika peralatan tersedia).
Manajemen
 Focus manajemen adalah menyelamatkan ABC dan koreksi hipoksia
 Membedakan jenis air, fresh water (surfaktan selamat dari washout) dan salt
water (surfaktan hilang dengan denaturasi), wet atau dry (asfiksisasi karena
laringospasme yang dicetuskan oleh masuknya air ke dalam laring) cukup
bermanfaat untuk memahami kemungkinan mekanisme patofisiologi morbidi-
tas dan mortalitas namun tidak mempengaruhi manajemen pasien di ED.
 Prosedur drainase paru seperti Heimlich maneuver bersifat controversial. Tin-
dakan ini tidak direkomendasikan karena efektivitasnya belum terbukti,
bahkan dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut.
 Antibiotik dan steroid tidak terbukti bermanfaat pada korban near-drowning
 Diuretik tidak membantu pada non-cardiogenic pulmonary oedema.

Manajemen awal di Rumah Sakit


 Pindahkan psien ke high acuity area
 Primary Survey:
1. cek ABC. Pertimbangkan intubasi jika diperlukan
189

2. C-spine harus distabilkan, hindari gerakan leher


3. berikan oksigen 100%. Beri ventilasi jika pernafasan tidak adekuat.
4. berikan PEEP untuk membantu oksigenasi.
5. resusitasi : mulai CPR jika pasien collaps
6. pasang IV line, periksa darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA
7. monitoring penuh px : EKG, parameter dan pulse oksimetri
8. CXR untuk mengetahui severitas aspirasi
9. pastikan px dalam keadaan hangat
10. terapi hipotermia (bisaanya didaerah tropis jarang terjadi, dan bisaanya
ringan : 32-35oC)
a. semua pakaian yang basah harus dipindahkan dan px dik-
eringkan
b. berikan insulation yang adekuat (bungkus pasien dengan
selimut kering)
c. cairan untuk pasien harus hangat
 Secondary Survey
1. lakukan pemeriksaan kepala sampai kaki untuk mencari penyebab
tenggelamnya px
2. Berikan perhatian khusus pada :
a. perubahan sensorium setelah resusitasi : pengguna alcohol dan obat
b. cedera kepala : lihat tanda pada kepala dan wajah
c. cedera cervical spine merupakan penyebab near drowning
d. Epilepsi : abrasi dan injury pada lidah merupakan petunjuk
e. Disritmia jantung : pemeriksaan EKG dan monitoring penting
f. Diving injury : decompression illness (DCI) atau Cerebral Arterial
Gas Embolism (CAGE)
3. lakukan pemeriksaan serial GCS
Penempatan
 bisaanya semua kasus near drowning diMRS-kan
 pasien yang terlihat baik harus ditangani dan diawasi selama 12 jam dan di-
KRS-kan bila:
1. pasien terlihat baik dan sadar
2. tidak ada abnormalitas tanda vital
3. CXR normal
4. memiliki pengawas yang dapat diandalakan di rumah
 MRS di ICU jika:
1. pasien diintubasi
2. AMS berkelanjutan
3. parameter tidak stabil setelah resusitasi
Prognosis
 Buruk jika :
1. anak usia < 3 tahun
2. durasi tenggelam diperkirakan > 5 menit
3. tidak resusitasi selama 10 menit setelah penyelamatan
4. datang pada ED dalam keadaan koma atau kollaps
5. delayed respiratory gasp hanya 20 menit setelah penyelamatan.
72.kegawatan di bidang onkologi

Penting
190

 Semua pasien malignansi dapat jatuh pada kondisi emergensi/gawat yang diakibatkan karena
pengobatan dengan sitostatika/kemoterapi atau akibat langsung dari malignansinya.
 Ada beberapa prinsip penting yang harus diingat bila merawat penderita tersebut di IRD:
1.bila perlu,dokter yang merawat penderita sebelumnya harus cepat diberitahu.
2.keterlibatan langsung dokter senior/konsultan harus dilakukan,penanganan symptom, seperti
control nyeri dan membuat keputusan yang cepat adalah yang diharapkan/ideal.
3.penting untuk mengetahui stadium dari malignansi,respon penderita terhadap pen-
gobatan,prognosis dan pemilihan terapi yang obyektif(paliatif atau aktif).Terutama bila pen-
derita datang dalam kondisi kritis dan keputusan harus segera dibuat,apakah resusitasi aktif
harus dilakukan atau tidak.
 Ada 4 keadaan yang mengancam nyawa pada bidang onkologi:
1.sepsis netropenia
2.trombositopenia
3.hiperkalsemia
4.kompresi medulla spinalis
 Pemberian antibiotic yang segera akan menurunkan mortalitas penderita malignansi dengan
kondisi sepsis netropenia.
 Jangan memberikan antibiotic di tempat praktek pada penderita malignansi yang datang
dengan demam(>38ºC). Segera rujuk pasien ke IRD.
 Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia pada semua pasien malignansi yang mengeluh tidak
nyaman.
 Harus dicurigai metastase ke tulang dengan kemungkinan terjadi kompresi spinal pada semua
penderita malignansi yang datang dengan keluhan nyeri punggung.

1.Sepsis netropenia
 Merupakan kondisi yang paling sering terjadi akibat kemoterapi dan fatal.
 Definisi netropenia adalah jumlah absolute netrofil < 1.000/m³
Penatalaksanaan:
A.terjadinya sepsis netropenia tergantung jenis obat yang diberikan(lihat table 1).
B.semua penderita malignansi yang dalam pengobatan kemoterapi atau radioterapi dengan
febris >38ºC harus dirawat di P2 dengan prioritas tinggi.
C.periksa laboratorium/penunjang:
-DL,urea/elektrolit/kreatinin,fungsi hati dan foto thoraks.
D.Bila terjadi netropenia,lakukan penanganan seperti penderita sepsis,kerjakan:
1.kultur darah,baik kondisi aerobic maupun anaerobic sebanyak 2 kali (satu pada
masing-masing lengan)
2.kultur urin dan tes sensivitas antibiotic,dan
3.kultur semua pus yang keluar dari tubuh penderita.
E.secepatnya berikan antibiotic (setelah darah untuk kultur diambil) sebelum

MRS:
1.ceftazidime intravena(Fortum) 1-2 gram dan gentamisin 2mg/kgBB.
2.bila pasien tampak parah,berikan ceftazidime intravena(Fortum) 2gram,dan amikasin
7.5mg/kgBB.

Peringatan:bila penderita alergi penisilin,maka kombinasi antibiotic yang poten adalah


ciprofloksasin intravena dan gentamisin intravena.Bila terdapat infeksi kulit,maka kloksasilin
harus diberikan.
F.disposisi pasien:kirim ke ruang onkologi(ruang isolasi)

Peringatan:
191

1. jangan melakukan injeksi IM,pemasangan kateter atau colok dubur kecuali kondisi pasien
kritis.
2. untuk semua penderita malignasi yang dalam pengobatan kemoterapi/radioterapi dengan
keluhan demam tapi hasil hitung absolute tidak netropenia,tidak perlu memberikan
antibiotic di IRD.
3. bila penderita dalam pengobatan kemoterapi,tapi tidak ada febris dan tidak
netropenia,lebih baik penderita dirawat,terutama bila durasi terjadinya keadaan netropenia
belum terlewati(kecuali bila dokter yang merawat penderita tersebut mengijinkan untuk
pulang).

2.Trombositopenia
 akan terjadi ancaman perdarahan sistim saraf pusat bila jumlah trombosit <20.000
 panatalaksanaan:
A.rencana tranfusi 6 labu trombosit.
B.peringatan:
-hindari suntikan IM,hindari pemberian NSAIDs dan,
-pasien dipaksa untuk istirahat total.
C.disposisi:kirim ke ruang onkologi.

3.Hiperkalsemia
 definisi jumlah serum kalsium yang terionisasi yang meningkat diatas normal.
 Pertimbangan untuk diagnosis:
Sulit untuk mendiagnosis hiperkalsemia berdasarkan keluhan pasien dan secara klinis,tapi
tanda-tanda umum yang dapat membantu:
1.nyeri/sakit,letargi,lemah,mual/muntah,dehidrasi,poliuria,polydipsia,konstipasi,
bingung,penurunan kesadaran,kejang dan koma.
 Harus dicurigai terjadi hiperkalsemia semua penderita kanker yang merasa tidak nyaman atau
depresi,terutama jenis kanker yang dapat menyebabkan hiperkalsemia,misalnya karsinoma
skuamous sel,kanker payudara,limfoma,mieloma dan clear cell.
 Pemeriksaan lab: kadar ion kalsium dalam serum.
 Penatalaksanaan: rehidrasi aktif dengan normal salin sampai 3-4liter/24 jam(pada kondisi
berat) untuk koreksi dehidrasi dan untuk meningkatkan produksi urin dan ekskresi
kalsium(100-250ml/jam)
 Hati-hati bila memberikan diuretika,karena dapat memperberat hiperkalsemia,kecuali pasien
dalam kondisi kelebihan cairan.

4.Kompresi medulla spinal


 Komplikasi ini terjadi pada penderita kanker lanjut dan menurunkan survival rate.
 Kemampuan untuk dapat berjalan dan rendahnya ketergantungan penderita pada
keluarganya adalah penting bagi penderita kanker.Maka dari itu,kondisi ini benar-benar
emergensi, dan dapat dihambat bila pasien tidak terlambat berobat.
 Gejala-gejala yang muncul:
1.nyeri punggung(sifatnya local atau menjalar),terjadi >95% kasus.
2.nyeri tekan pada daerah yang terjadi kompresi.
3.gejala lain,yaitu:lemah,perubahan sensoris,atau refleks fisiologis menurun munculnya pada
proses kompresi yang lanjut,Jadi jangan menunggu gejala ini datang.
 Penatalaksanaan:
 1.periksa foto untuk mengevaluasi vertebra dan medulla spinalis,memiliki sensitivitas
tinggi 85% untuk dapat menemukan:
-kolaps vertebra(sensitivitas 87%)
-destruksi pedikel(sensitivitas 31%)
-destruksi lisis(sensitivitas 7%)
192

2.pendekatan praktis:
A.nyeri punggung tanpa disertai deficit neurologist:
1.foto roentgen vertebra,bila normal rencanakan pemeriksaan scan tulang
2.bila foto roentgen tidak normal,cepat lakukan MRI/mielogram.
B.nyeri punggung dengan deficit neurologist, segera berikan injeksi steroid
pada Pasien dengan riwayat pasti menderita kanker(adanya hasil PA)
1.secepatnya steroid diberikan,bila kompresi spinal sudah dipastikan atau
diduga kuat atau,
2.kolaps vertebra,
3.hilangnya gambaran pedikel pada roentgen.
Berikan deksametason dengan dosis 12-16 mg dilarutkan dalam 50ml
normal,secara infuse cepat,dilanjutkan 4mg tiap 6 jam.
4.secepatnya kontak dan konsultasi dengan oncologist.
Peringatan:bila tidak ada bukti nyata bahwa pasien benar-benar menderita kanker
Maka steroid jangan diberikan,tapi kontak ahli onkologi untuk minta saran.

5.Efusi pleura massif


 Pasien kanker yang datang dengan sesak nafas dan hasil pemeriksaan sistim respirasi dull-
ness,resonansi vocal yang tidak simetris/normal,suara nafas yang menurun/menghilang pa-
da auskultasi dan gambaran radioopak yang homogen pada hemitoraks.Deviasi trakea dan
mediastinum dapat terjadi.
 Penatalaksanaan:
1.pasien dirawat di P1 dan berikan O2 100% via masker,untuk mempertahankan Saturasi
>95%.
2.monitor ketat tanda-tanda vital.
3.aspiration percobaan cairan pleura,dan bila positif dilanjutkan pemasangan chest tube,no
28-32F.

6.Efusi pericardial
 Komplikasi ini sering pada pasien kanker paru dan kanker payudara,tapi dapat terjadi oleh
kanker lain,seperti limfoma yang menunjukkan metastase ke pericardium.
 Mendiagnosis efusi pericardial sulit,tapi dapat dicurigai bila terdapat:
1.sinus takikardia
2.hasil EKG yang low voltage.
3.suara nafas yang bersih.
4.JVP distended(kussmaul’s sign)
5.Pulsus paradoksal(tekanan darah systole turun >10mmHg saat inspirasi).

Diagnosis harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan transthoracic echocardiography.


 Penatalaksanaan :
1.bila penderita hipotensi,maka tindakan drainage harus cepat dilakukan.Kirim ke ahli jantung
untuk dilakukan perikardiosentesis yang sifatnya hanya sementara,sedangkan terapi
definitifnya pericardial window yang harus dilakukan kemudian.

7.Emboli paru
 Pasien kanker resiko untuk terjadi DVT dan emboli paru meningkat akibat tirah baring yang
lama dan masalah hiperkoagulabilitas.(lihat alur penanganan Emboli Paru)
 Mampu mendiagnosis awal dan penanganan yang tepat akan memberikan hasil yang lebih
baik.
193

 Penatalaksanaan:segera kontak ahli onkologi/IPD.Bila mungkin pasien dipersiapkan untuk CT


scan spiral dengan kontras intravena.

73 Pankreatitis Akut

Definisi
 proses inflamasi akut pada pancreas dengan keterlibatan bermacam-macam jaringan regional atau
system organ lain.
 Secara klasik, dikarakterisasi dengan adanya nyeri abdomen dan terkait dengan adanya hiperami-
lasemia.
Caveats
 Secara klasik, pankreatitis akut terkait dengan kadar serum amylase yang tinggi (nilai ambang
dengan spesifisitas tinggi diatas 1000U/L atau 4 kali normal). Keadaan ini tidak selalu harus
ada.
 Pasien dengan eksaserbasi akut pankreatitis akut sering menunjukkan ‘subtreshold’ pening-
katan serum amylase karena penurunan volume jaringan pancreas yang berfungsi.
 Peningkatan kadar amylase dapat terlihat pada semua patologi abdomen yang akut namun tid-
ak mencapai nilai ambang yang klasik.
 Lihat tabel 1 untuk mengetahui ddx pankreatitis

Tips khusus Bagi Dokter Umum


 Hati-hati terhadap presentasi yang tidak khas : nyeri sering terdapat pada ab-
domen bagian tengah atau epigastrium, tapi tidak selalu demikian. Jika
terkait dengan patologi lain, cth batu common bile duct (CBD) dan/atau ko-
langitis, px dapat melaporkan gx yang terkait dengan patologi, cth kolik
bilier dari batu CBD. Ketika pankreatitis mempengaruhi corpus pancreas
dan tail, nyeri dapat juga terjadi di hipokondrium kiri daripada di sentral.
Pankreatitis akut harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosa yang
Target Manajemen
mungkin pada pasien dengan nyeri abdomen bagian atas.
Mengetahui:
 Apa penyebab penkreatitis? Penyebab mungkin antara lain batu empedu dimana px memiliki
riwayat kolik bilier sebelumnya atau fat dyspepsia. Konsumsi alcohol kronik juga merupakan
penyebab umum, dimana keluhan nyeri abdomen ditemukan pada pengkonsumsi alcohol be-
rat. Lihat tabel 2.
 Seberapa parah pankreatitis? Lihat petunjuk sbb:
1. Tanda kehilangan cairan yang berlebihan (‘Third space losses’) dan compromised end or-
gan perfusion.
a. Secara klinis dehidrasi
b. Kebingungan
c. Ascites
d. Hemokonsentrasi (hematokrit meningkat > 10%)
e. Peningkatan urea/creatinin
f. Asidosis metabolic
2. Tanda kegagalan organ
a. Koagulopati (DIC screen posistif)
b. Gagal ginjal (peningfkatan kreatinin, asidosis metabolic, hiperkalemia)
c. Distress respiratori dan hipoksia (PaO2 dan SaO2 rendah)
3. Tanda sepsis
a. komplikasi septic local (abses pankreatik, atau nekrosis pankreatik terinfeksi)
tidak terjadi awal, namun setelah 1 minggu kemudian, disertai tanda sepsis
(demam tinggi dan peningkatan TWC).
194

b. Jika demam tinggi terjadi pada awal prankreatitis, pertimbangkan penyebab sep-
sis non pankreatik. Penyebab umum adalah kolangitis sekunder obstruksi
bilier. Cari gambaran kolestatik pada hasil LFT.

4. Tanda lain dari severe pankreatitis


a. ekimosis abdomen. Mungkin di daerah flank (tanda Grey-Turner) atau area peri-
umbilikal (tanda Cullen’s)
b. tanda hipokalsemi, cth spasme karpopedal dan tetanus.
c. Glukosa darah > 10mmol/l
Tabel 1 : Diagnosa Banding Pankreatitis
Lokasi patologi Contoh
Abdomen Perforasi Ulkus peptikum
Eksaserbasi akut dyspepsia ulkus peptikum
Kolik bilier
Kolangitis
Iskemik bowel
Aneurisme aorta abdominal
Diseksi aorta abdominal
Supradiafragmatika Pneumonia basalis
Acute coronary syndrome

Protokol Manajemen
 Pada semua pasien pankreatitis akut
1. puasakan px
2. mulai drip saline. Bila tidak ada dehidrasi, berikan dengan maintenance rate 2,5-3 li-
ter/hari.
3. berikan oksigen dengan masker
4. jika px vomit (karena gastroparesis) masukkan NGT untuk dekompresi lambung
5. berikan analgesic parenteral. Opiate seperti pethidin tidak secara tegas menjadi kontrain-
dikasi dan memberikan penghilang nyeri yang terbaik. Hindari NSAID pada px dehidrasi
atau organ compromise karena resiko nefrotoksik.
6. jika pasien memiliki riwayat penyakit ulkus peptikum, berikan profilaksis terapi supresi
asam. Reduksi asam tidak mempengaruhi keparahan pankreatitis.
7. lakukan penentuan serum amylase.
8. lakukan CXR, untuk mencari respiratory compromise dan mengeksklusi ddx lain, seperti
pneumonia basalis atau perforasi viscus.
9. pada px dengan factor resiko kardiak, lakukan EKG dan enzim kardiak untuk mengek-
sklusi angina atypical/AMI.
10. pada pasien dengan tanda kolangitis (demam tinggi, peningkatan TWC dan kolestatik
LFTs) berikan antibiotik IV setelah sebelumnya melakukan kultur darah. Gunakan cepha-
losporin generasi ketiga, cth : cefuroxime atau ceftriaxon, bersamaan dedngan metronida-
zole. Jika px sensitive terhadap penicillin, ganti cephalosporin dengan ciprofloxacin. Hin-
dari gentamycin karena bersifat nefrotoksik.
Catatan : tidak perlu memberikan antibiotik untuk pankreatitis tanpa komplikasi
11. mulai input/output charting untuk pemeriksaan kehilangan cairan
12. tidak perlu untuk selalu melakukan seluruh pemeriksaan lab pada saat di ED. Pemerik-
saan dapat dilakukan setelah px berada di bangsal.
13. kasus ringan pankreatitis akut dapat di MRS-kan pada bagian bedah umum atau bagian
gastroenterology.
 Pada px dengan tanda pankreatitis berat:
1. lakukan pemeriksaan tersebut diatas
195

2. monitor pasien
3. jika terjadi kegagalan nafas, lakukan intubasi dan ventilasi pasien
4. Lakukan pemeriksaan lab:
a. FBC
b. Urea/elektrolit/kreatinin termasuk kalsium
c. Liver function test
d. BGA
e. Kultur darah
5. mulai pemberikan profilaksis antibiotik sistemik.
6. tidak ada penelitian mengenai manfaat menggunakan obat lain seperti somatostatin atau
octreotide.
7. ketika terdapat gambaran pankreatitis akut, atau jika pankretitis didiagnosa pada pasien
lansia (>70th), konsul ke bedah umum, untuk kemungkinan intervensi pembedahan pada
komplikasi yangmungkin terjadi cth nekrosis pakreatik terinfeksi atau abses pankreatik.
8. Pasien pankreatitis severe MRS di bagian high dependency care. Pasien dengan tanda ga-
gal organ harus MRS di SICU untuk perawatan definitive.
196

BAB 74
PID (penyakit radang pelvis)
Penting :
Kehamilan ektopik dan radang pelvis banyak terjadi pada pasien dengan keluhan nyeri perut bawah .
Kreteri dari nyeri pelvis :
Ada trias klasik berupa nyeri/tenderness bagian perut bawah, nyeri gerak cervixal dan nyeri pada kedua
adnexa yang dideteksi dengan colok rektal atau vaginal. Gejalanya meliputi keluarnya cairan vaginal,
perdarahan atau dispareunia. Panas lebih dari 38 C, mual dan muntah serta ditemukan cairan purulen
pada 95% wanita dengan spekulum. Jika ada masa diadnexa bisa juga terdapat abses tuba maka perlu
dilakukan USG.
Faktor Predisposisi :
1. Banyaknya patner sexual
2. Usia terlalu muda untuk aktivitas sexual
3. Riwayat penyakit sexual
4. Pemeriksaan hysterosalpingography dengan alat pada bagian bawah alat genital.
5. Aborsi
6. Kontrasepsi
7. Seringnya kencing
8. Merokok
Keadaan umum pada nyeri abdomen supakut adalah nyeri yang dalam dan bilateral. Satu sisi perut
nyeri dan ketegangan adnexa bukan radang pelvis. Bisa juga terjadi nyeri kedua sisi perut dan
ketegangan adnexa seperti kehamilan ektopik, abses tuba ovarium atau torsi adnexa. Pada wanita yang
kena apendiksitis gejala nampak singkat dengan gejala gastrointestinal lebih menonjol, penderita
kelihatan sakit dan lokasi diperut kanan bawah. Untuk membedakan dengan kehamilan dilakukan
pemeriksaan DL dan UL.
Penatalaksanaan
1. Menatalaksanaan di UGD.
2. Melakukan swab vagina untuk kultur, juga swab indocervikal untuk menemukan klamidia atau gon-
ococus.
Tips:
Konsul obstetri dan ginekologi jika didtemukan keadaan pasien yang toksic, tidak berespon terhadap
pengobatan, hamil, muntah, abses tuboovarium, defisiensi imonologi, atau pasien yang lemah.
1. Pemberian infus dan darah juga pemeriksaan lab : DL, RFT, elektrolit.
2. Rehidrasi diberikan pada keadaan membutuhkan atau nyeri bisa dikontrol.
3. Melepas kontrasepsi
4. Pada keadaan radang akut pelvis diberikan antibiotik
a. Generasi II atau III cephalosporin (cefriaxone 250 mg IM)
b. Tetracycline 500 mg oral selama 10 – 14 hari atau doxycicyline 100 mg oral selama 10 – 14 hari
dapat bergantian dengan erythromixin 500 mg per oral untuk 10 – 14 hari jika alergi dengan tetra.
c. Metronidazole diberikan IV atau peroral selama 14 hari.
- Jika pasien keluar cairan maka selama 48 – 72 jam tidak boleh melakukan hubungan se-
xual selama 2 minggu dan mengobati patner sexual.
- Pasien dilakukan tes syphilis, hepatitis, dan HIV.
197

75. PENYAKIT ULKUS PEPTIK / DYSPEPSIA

PERHATIAN
 Sebagian besar pasien tidak datang ke IRD dengan penyakit ulkus peptik karena keadaan tersebut
hanya dapat didiagnosis secara endoskopis atau radiologis. Sebagian besar datang dengan
nyeri/rasa tidak enak pada perut kanan atas.
 Diagnosis dyspepsia harus dipertimbangkan dahulu pada pasien dengan nyeri/rasa tidak enak perut
kanan atas kronis.
 Semua pasien berusia 40 tahun ke atas yang mengalami dyspepsia harus diperiksa secara teliti
terhadap kemungkinan keganasan lambung.
 Ulkus duodenum umumnya terjadi pada orang berusia 30-50 tahun sedangkan ulkus gaster
umumnya pada orang berusia diatas 60 tahun.
 Helicobacter pylori (H. pylori) berperan dalam >95% kasus ulkus duodenum dan 70-80% kasus
ulkus gaster.
 Penyebab kedua terpenting ulkus peptik adalah NSAID yang berperan pada sebagian besar kasus
ulkus dengan H. pylori negatif.
 Penyebab lain yang jarang adalah kondisi hipersekresi patologis seperti gastrinoma (Zollinger-
Ellison syndrome).
 Alkohol tidak terbukti berkaitan dengan ulkus peptik. Akan tetapi ulkus lebih sering ditemukan
pada pasien dengan sirosis hati, suatu penyakit yang berkaitan dengan konsumsi alkohol.
 Tips Khusus Untuk Dokter Umum
 H. pylori dan NSAID menyebabkan 90% lebih ulkus peptik
 Semua pasien berusia > 40 tahun dengan dyspepsia harus dilakukan endoskopi untuk menyingkirkan
keganasan lambung.
 Semua pasien dengan dyspepsia dan gejala yang mencurigakan seperti penurunan berat badan, ane-
mia, dysfagia dan teraba massa di abdomen harus dirujuk pada ahli gastroenterologi untuk dilakukan
endoskopi.
 Selalu waspada terhadap komplikasi ulkus seperti perdarahan (lemas badan dan melena) dan muntah
(obstruksi pilorus). Keadaan tersebut merupakan kedaruratan yang memerlukan rujukan ke RS segera.
 Pembedahan jarang diperlukan dan hanya bila terdapat komplikasi seperti perdarahan hebat berulang,
perforasi atau obstruksi.

GEJALA
 Pasien dengan ulkus peptik tanpa komplikasi umumnya datang dengan nyeri atau rasa tidak enak
pada perut. Selera makan yang buruk, rasa terbakar, mual dan muntah juga dapat ditemukan.
 Gejala yang mencurigakan meliputi: penurunan berat badan, hematemesis atau melena, anemia,
disfagia, teraba massa di abdomen.
 Ulkus gaster dan duodenum tidak mungkin dibedakan hanya berdasarkan riwayat penyakit semata,
walaupun pasien ulkus gaster cenderung berusia lebih lanjut dan sering disertai penurunan berat
badan.
 Nyeri secara khas terletak di epigastrium, tetapi dapat pula muncul di dada bagian bawah atau hi-
pokondrium kiri, dan terbatas pada daerah yang sangat kecil (Pointing sign).
 Nyeri cenderung muncul pada saat pasien lapar, 1 sampai 3 jam setelah makan, membangunkan
pasien di malam hari, mereda dengan pemberian makanan, antasida, muntah serta ditandai oleh
remisi dan eksaserbasi. Nyeri akibat ulkus dapat menjalar ke punggung.
 Diagnosis ulkus peptik tidak dapat ditegakkan atau disingkirkan berdasrkan anamnesis semata.
Nyeri yang khas ulkus dpaat muncul pada pasien dengan dyspepsia non-ulkus. Di sisi lain, ulkus
asimtomatik lebih sering ditemukan pada pasien yang mengkonsumsi NSAID.
198

 Ulkus asimtomatik dapat datang dengan perdarahan. Pasien bisa jadi tidak menyadari bila ia men-
galami perdarahan, tetapi hanya merasa letih dan lemas akibat anemia. Jika jumlah perdarahan be-
sar, akan ditemukan hematemesis dan melena.

TATA LAKSANA
Tujuan tata laksana rasa tidak nyaman perut atas adalah untuk:
 Membuat diagnosis kerja (lihat Nyeri, Perut)
 Meredakan gejala
 Menentukan pasien yang memerlukan rawat inap
 Menentukan pasien yang memerlukan konsultasi spesialis.

Tata Laksana Gejala


 Setelah menyingkirkan penyebab yang mengancam nyawa, yaitu IMA, diseksi aorta, ruptur aneu-
risma aorta abdominalis dan penyebab penting lain seperti perforasi ulkus peptik, pankreatitis,
pasien harus diberi pereda keluhan.
 Berikan magnesium trisilicate (MMT)/aluminium hydroxide 40-80 ml dan antispasmodik seperti
hyoscine-N-butylbromide (Buscopan®) 40 mg IM atau IV atau penghambat H 2 oral.
Catatan: Secara statistik, penyakit ulkus peptik merupakan 10-15% kasus nyeri perut yang akan
berespon terhadap pemberian MMT.
 Tidak ada tempat untuk pemberian penghambat H2 IV atau penghambat pompa proton. Hanya ter-
bukti bermanfaat pada kasus ulkus peptik dengan perdarahan.
 Pulangkan pasien dengan MMT atau Buscopan® pada kasus dyspepsia saja sementara menunggu
diagnosis definitif dibuat di poliklinik spesialis gastroenterologi.
 Untuk pasien dengan nyeri/rasa tidak enak pada perut yang bersifat akut, tidak ada indikasi terapi
lebih lanjut.
 Tidak ada tempat untuk dilakukannya eradikasi H. pylori di IRD untuk penyakit ulkus peptik dan
dyspepsia non-ulkus.

DISPOSISI
Indikasi Rawat Inap
 Perdarahan: hematemesis, melena. Rawat di ruang gastroenterologi atau bedah umum, sesuai ke-
bijakan setempat.
 Perforasi: rawat di ruang bedah umum.
 Penyempitan dan obstruksi: sulit didiagnosis di IRD, tetapi pasien datang dengan muntah atau
tanda obstruksi usus. Rawat di ruang bedah umum.
 Tidak berespon terhadap terapi di IRD, hanya jika dengan gejala berat: rawat di ruang gastroenter-
ologi.
 Nyeri perut dengan demam dan ikterus: rawat di gastroenterologi.

Indikasi Rujukan Poliklinik Spesialis Gastroenterologi


 Onset dini gejala baru pada pasien berusia >40 tahun.
 Adanya gejala yang mencurigakan: penurunan berat badan, hilangnya nafsu makan, hematemesis,
melena, anemia, disfagia, teraba massa di abdomen.
 Gejala yang menetap sekalipun dengan pemberian terapi empiris (antagonis H 2).
Catatan: Episode tunggal nyeri/rasa tidak nyaman pada perut (tanpa adanya gejala yang mencurigakan)
tidak perlu dirujuk ke poliklinik spesialis karena keluhan ini sangat umum dan biasanya non-spesifik
dan swasirna.

Advis Saat Penderita Dipulangkan


199

Ingatlah untuk selalu memulangkan penderita dengan advis untuk kembali ke IRD segera bila terdapat
demam, nyeri perut bawah, diare persisten atau muntah. Ingatlah bahwa nyeri perut atas dapat merupa-
kan gejala awal appendisitis akut.

76. KONDISI PERIANAL

PERHATIAN
 Perdarahan per anum umumnya segar dan berwarna merah terang. Darah yang bercampur dengan
tinja menunjukkan etiologi yang lebih proksimal.
 Nyeri dan perdarahan yang timbul saat defekasi terjadi pad fisura ani. Perdarahan yang berasal dari
wasir umumnya tanpa nyeri.
 Pada abses perianal yang dalam dapat ditemukan nyeri kronis yang menetap pada anus dengan
sedikit tanda klinis. Pada keadaan ini diperlukan evaluasi ultrasound endoanal oleh seorang ahli
bedah saluran cerna.
 Abses perianal yang berulang pada daerah yang sama menunjukkan adanya fistula ani yang men-
dasarinya.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Jangan menganggap perdarahan rectum pada pasien berusia pertengahan atau lanjut semata
berasal dari wasir. Rujuk pasien pada ahli bedah saluran cerna untuk menyingkirkan lesi
pada saluran cerna yang lebih proksimal.
 Jangan pernah menganggap perdarahan rectum yang terjadi saat pasien defekasi adalah aki-
bat wasir tanpa melakukan pemeriksaan RT dan anuskopi. Jika perdarahan menetap dengan
terpai konservatif, upayakan untuk menemukan etiologi yang terletak lebih proksimal, mi-
salnya dengan barium enema, kolonoskopi.

HEMORRHOID
 Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah segar yang umumnya terjadi setelah defekasi.
2. Perdarahan dapat terjadid alam jumlah yang bervariasi, tetapi umunya swasirna.
3. Adanya massa yang prolaps memerlukan reduksi manual.
4. Massa yang prolaps dan nyeri serta berwarna kebiruan menunjukkan adanya trombosis dan
umumnya tak dapat direduksi.
5. Hemorrhoid derajat I tidak tampak di anus setelah defekasi. Gejala utama adalah perdarahan
setelahd efekasi.
6. Hemorrhoid derajat II menonjol melalui anus pada saat defekasi tetapi tereduksi secara
spontan.
7. Hemorrhoid derajat III tetap berada diluar anus kecuali didorong kembali secara manual.
8. Hemorrhoid derajat IV tidak dapat didorong kembali ke dalam anus.
 Tata laksana akut
1. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat I dan II
a. Tenangkan pasien
b. Lakukan pemeriksaan RT dan anuskopi untuk menyingkirkan etiologi yang lebih proksi-
mal.
c. Pulangkan pasien dengan pemberian bulking agents selama 6 minggu, misalnya dengan 1
sachet ispaghula, 2x/hari; atau dengan micronized flavonoids dengan dosis 2x3 tablet
selama 3 hari kemudian 2x2 tablet selama 2 minggu.
2. Perdarahan akibat hemorrhoid derajat III dengan trombosis ringan
a. Baringkan pasien telungkup dan berikan kompres es untuk mengurangi edema.
b. Berikan analgetika parenteral, missal NSAID atau agonis opiat.
200

c. Upayakan reduksi manual dengan sejumlah besar pelumas.


d. Jika berhasil, pulangkan pasien dengan pemberian analgetika, bulking agents dan flavo-
noid.
e. Jika tidak berhasil, rawat inapkan pasien untuk tata laksana lebih lanjut.

HEMATOM PERIANAL
 Tampilan klinis
1. Akibat robekan pembuluh darah dari kompleks vena hemorrhoid eksterna.
2. Pada pemeriksaan terdapat tumor kebiruan yang sangat nyeri.
3. Nyeri umumnya menjadi makin hebat dalam 2 hari pertama dan mereda pada hari ke-5.
 Tata laksana akut
1. Dalam 2 hari pertama, lakukan insisi dan drainase di IRD
a. Desinfeksi kulit perianal dengan betadine (tanyakan terlebih dulu mengenai riwayat
alergi).
b. Infiltrasi daerah sekitar hematom dengan 5 ml larutan lidokain 1% dengan menggunakan
jarum 22G.
c. Buat insisi melingkar kecil yang megnarah ke anus dan lakukan evakuasi hematom
dengan membukanya.
d. Lakukan penekanan langsung untuk menghentikan perdarahan yang merembes
e. Sisipkan tampon pita.
f. Pulangkan pasien dengan pemberian analgetika dan bulking agent untuk mencegah kon-
stipasi ataupun mengedan.
g. Tampon pita dapat dibuang pada hari berikutnya oleh pasien setelah melakukan rendam
duduk (larutkan 2 sendok makan garam dalam air hangat, gunakan untuk rendam duduk).
h. Rujuk pasien pada ahli bedah digestif untuk kunjungan lanjutan di poliklinik.
2. Setelah 2 hari, tenangkan pasien dan pulangkan pasien dengan pemberian analgetika dan
bulking agent.

FISURA ANI
 Tampilan klinis
1. Perdarahan per rectum berwarna merah terang saat defekasi.
2. Nyeri yang hebat menjadi pembeda keadaan ini dengan wasir.
3. Penyebab yang sering memperberat keadaan ini adalah asupan cairan yang kurang dan diet
yang rendah serat.
4. Pemeriksaan RT menunjukkan adanya robekan berbentuk garis di posterior dan anterior saat
menyusuri dinding anus perlahan. Pemeriksaan RT mungkin sulit dilakukan akibat nyeri yang
hebat dan adanya spasme.
 Tata laksana akut: jika nyeri sangat hebat sehingga tidak memungkinkan RT yang baik, rawat in-
apkan pasien untuk pemeriksaan dengan bantuan anesthesia. Sebagian besar fisura ani sembuh
spontan dengan regulasi defekasi yang tepat. Akan tetapi, bila gejala menetap setelah 8 minggu, fi-
sura tidak dapat sembuh tanpa intervensi bedah. Tanda kronisitas meliputi adanya ulkus berbentuk
perahu dengan adanya serat anus berwarna putih yang tampak pada dasarnya. Seringkali dite-
mukan tonjolan dari kulit (sentinel pile) pada tepi distal fisura serta papilla ani yang mengalami hi-
pertrofi pada apeks. Terapi utama adalah penanganan konservatif yang meliputi:
1. Pemberian bulking agent selama 6 minggu, misal 1 sachet ispaghula husk 2x/hari serta asupan
cairan 2 liter /hari.
2. Analgetika topikal: oleskan jelly lidokain 2% di sekitar anus sebelum defekasi untuk memban-
tu mengurangi nyeri; hal ini bisa dilanjutkan dengan rendam duduk.
3. Pasta gliseriltrinitrat dapat digunakan untuk sphincterotomi khemis.
4. Perhatikan bahwa pencahar jarang diperlukan, bahkan diare yang diakibatkan justru dapat
memperberat keadaan.
201

5. Atur pasien untuk suatu kunjungan lanjutan pada seorang ahli bedah saluran cerna.

SEPSIS ANOREKTAL
 Klasifikasi: klasifikasi dari Park menggolongkan sepsis anorektal dalam hubungannya dengan
kompleks sphincter ani. Sebagian besar abses berasal dari kelenjar yang berada di dalam dan
sekitar sphincter ani dan dapat terletak submukosa, perianal, intersphincter, ischiorektal atau
supralevator.
 Drainase persisten dari abses yang telah didrainase sebelumnya (2 bulan atau lebih) menunjukkan
adanya fistula.
 Tampilan klinis
1. Abses klasik muncul sebagai pembengkakan yang disertai hiperemi dan nyeri tekan, yang
mungkin sudah mengandung atau mengalirkan pus.
2. Diagnosis banding abses perianal dari abses ischiorektal: perhatikan hubungan antara abses
dengan kulit perianal yang hiperpigmentas. Abses pada daerah kulit yang hiperpigmentasi
menunjukkan suatu abses perianal, sedangkan abses yang terletak lebih lateral dari kulit yang
hiperpigmentasi menunjukkan suatu abses ischiorektal.
3. Abses kecil yang terletak dalam mungkin hanya menunjukkan sedikit tanda selain dari nyeri
dan nyeri tekan saat pemeriksaan RT. Kekhasannya adalah terdapat riwayat terapi antibiotika
atau analgetika dari dokter pribadinya. Karenanya pasien dengan nyeri perianal kronis harus
dirujuk pada ahli bedah saluran cerna untuk eksklusi absesyang letaknya dalam.
4. Drainase persisten dari sinus atau pembengkakan yang berlangsung lebih dari 2 bulan setelah
drainase abses menunjukkan adanya fistula ani. Pemeriksaan RT seringkali menunjukkan
adanya alur indurasi submukosa yang berjalan melingkar dari ujung eksternal ke arah anus.
Alur ini adalah jalur fistula.
 Tata laksana akut
1. Abses akut
a. Insisi dan drainase di IRD dengan conscious sedation dan anestesi lokal: insisi linier di
atas bagian yang paling fluktutatif yang kemudian diubah menjadi insisi berbentuk palang
dan kemudian tepinya digunting untuk menghilangkan atap abses.
b. Setelah semua pus dikeluarkan, pasang tampon pita untuk hemostasis (dapat dibuang pada
hari berikutnya setelah rendam duduk).
c. Berikan analgetika selama 1-2 hari dengan rujukan pada seorang ahli bedah saluran cerna
dalam 1 minggu. Jika nyeri atau demam menetap, sarankan pasien untuk datang kembali
ke IRD lebih dini, karena mungkin abses belum sepenuhnya terdrainase.
d. Kriteria rawat inap: (1) penderita diabetes dengan abses perianal untuk drainase dan ken-
dali kadar gula darah, (2) kecurigaan suatu necrotizing fasciitis (indurasi yang nyeri
dengan krepitas di sekitar abses).
2. Abses perianal rekuren atau dengan kecurigaan suatu fistula ani: rawat inapkan penderita un-
tuk drainase oleh ahli bedah saluran cerna.
3. Abses ischiorektal: rawat inapkan pasien untuk drainase oleh ahli bedah saluran cerna.

PROLAPS REKTI
 Tampilan klinis
1. ‘True’ prolaps ditemukan pada bayi dan wanita usia lanjut tetapi jarang terjadi. Seluruh
ketebalan dinding rectum mengalami intusussepsi melalui anus. Uji ‘pinch’ menunjukkan
adanya dua lapisan.
2. ‘Pseudo’ prolaps adalah hemorrhoid atau mukosa rectum yang mengalami prolaps, dan hal ini
sering terjadi. Uji ‘pinch’ menunjukkan tidak adanya lapisan dinding rectum lain di bawahnya.
Prolaps mukosa seringkali berkaitan dengan riwayat sering mengedan. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan pruritus.
 Tata laksana akut
202

1. ‘True’ prolaps: reduksi manual, regulasi defekasi pada orang dewasa untuk mencegah
mengedan; rujukan dini pada ahli anak (bayi) atau bedah saluran cerna (dewasa). Jika reduksi
tidak dapat dilakukan berarti terjadi inkarserata yang merupakan suatu kedaruratan bedah.
2. ‘Pseudo’ prolaps mukosa rectum: berikan bulking agent dan sarankan penderita untuk banyak
minum guna menghindarkan mengedan pada saat defekasi. Rujuk pasien pada ahli bedah
saluran cerna untuk tata laksana definitive.

PERDARAHAN PASCA HEMORRHOIDEKTOMI


 Tampilan klinis: kurang dari 5% pasien mengalami perdarahan sekunder pada hari 7-10 pasca
pembedahan; hal ini dapat terjadi setelah defekasi yang sulit disertai mengedan. Perdarahan ini bi-
asanya swasirna dan hanya sedikit jumlahnya. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus jumlahnya
dapat cukup banyak untuk menyebabkan syok hipovolemik.
 Tata laksana akut
1. Jika hebat, lakukan resusitasi dengan penggantian cairan cepat melalui kanula IV berdiameter
besar; jika perlu lakukan uji saring darah.
2. Bersiaplah untuk memeriksa kanalis ani, identifikasi sumber perdarahan dan lakukan hemosta-
sis.
a. Siapkan pencahayaan yang memadai, proktoskopi, peralatan suction, 20 cc larutan adren-
alin 1:10.000 dalam spuit yang dilengkapi jarum spinal panjang 23G.
b. Baringkan pasien pada posisi lateral kiri, beri sejumlah besar jelly lidokain pada anus
sebelum insersi proktoskop; evakuasi bekuan darah dan perlahan tarik proktoskop untuk
visualisasi kanalis ani, terutama luka hemorrhoidetomi.
c. Identifikasi sumber perdarahan dan injeksikan larutan adrenalin.
d. Pasang tampon kasa adrenalin dan tinggalkan di tempat bila terjadi perdarahan minor
yang terus merembes.
3. Lakukan konsultasi segera dengan ahli bedah saluran cerna di IRD jika anda tidak dapat
mengendalikan perdarahan. Sementara waktu dapat diinsersikan kateter Foley 18F pada anus
dan kemudian isi balon dengan 30 cc air dan lakukan traksi dengan menempelkan kateter pada
paha. Balon kateter akan memberikan efek tampon pada luka hemorrhoidektomi.
4. Pada kasus minor di mana perdarahan telah berhenti:
a. Pulangkan pasien dengan pemberian 400 mg mteronidazol 3x/hari selama 1 minggu dan
micronized flavonoid, misalnya Daflon ®.
b. Segera atur kunjungan lanjutan dengan ahli bedah.
203

77. Pneumonia, Community Acquired (CAP)


Caveats

 Definisi sebagai infeksi akut pada parenkim paru


 Diagnose :
1. infiltrat pada rontgent thorax konsisten dengan pneumonia.
2. perubahan suara napas dan/ atau krepitasi local.
3. pasien tidak tinggal dirumah sakit 14 hari sebelum onset gejala.
 Gejala infeksi traktus respirasi bawah:
1. demam/ hipotermi
2. menggigil, keringat
3. batuk baru dengan/ tanpa sputum
4. nyeri dada
5. sesak
 Gejala non spesifik:
1. lelah
2. nyeri otot
3. nyeri perut
4. anoreksia
5. sakit kepala
 Pneumonia merupakan penyebab kematian utama dari infeksi di Singapura. Bakteri patogen
paling sering termasuk:
1. Strep pneumonia (65%)
2. Haemophilus influenzae (hampir 10%)
3. Atipikal: mikoplasma dan legionella (hampir 10%)
4. Staph aureus (2%) dan gram negatif (1%) jarang (5-10% mungkin berupa infeksi ganda)
 Faktor resiko mortalitas:
1. usia tua
2. alcoholism
3. keganasan aktif
4. penyakit neurologis
5. gagal jantung
6. diabetes mellitus
adanya pneumonia sebelumnya, pneumonia dari gram negatif dan aspirasi pneumonia meru-
pakan factor resiko kematian.
Tips untuk dokter umum
 Penicillin resistant (40%) multiple drug resistant Strep pneumoniua banyak di Singapura.
 Insiden dan virulensi gram negatif CAP lebih tinggi di Singapura: Burkholderia pseudomallei
dan Klebsiella pneumonia sebanyak 25% dari CAP berat di Singapura dan berhubungan
dengan > 50% mortalitas
 Tuberculosa sebanyak 15-20% dari CAP di Singapura dan menjadi perhatian pada semua
pasien, khususnya orang tua.
 Pasien HIV dengan Pneumonitis carinii pneumonia (disproporsi hipoksemia dengan abnor-
malitas ringan pada rontgen thorax) atau PTB (ekstensif)
 CAP dapat didiagnosa dengan radiografi dada.
204

Penatalaksanaan

 Stratifikasi resiko: gambar 1 menunjukkan stratifikasi resiko berdasar prediksi model dalam 5
kelas. Hal ini bernilai pada jumlah besar pasien di Amerika.
 Sistem scoring: table 1 menunjukkan prediksi model untuk mengidentifikasi resiko pasien
dengan CAP.
1. skor resiko (poin total skor) dengan memberi dari umur pasien dalam tahun (usia – 10 un-
tuk wanita) dan nilai untuk karakteristik pasien (table 1 dan 2)
2. saturasi oksigen <90% menunjukkan abnormalitas
3. model ini dapat menjadi petunjuk dalam keputusan awal (table 3); namun tidak dapat
dipakai pada semua pasien dengan penyakit ini dan seharusnya berhubungan dengan
keputusan dokter.
 Terapi: lihat table 4
205

78. Pneumothorax

PERINGATAN
 penanganan penumothorax tergantung pada ukuran, keadaan kesehatan si pasien, dan apakah paru-
parunya sakit atau normal.
 Tension Penumothorax adalah keadaan darurat medis yang membutuhkan diagnosis klinis dan pe-
nanganan sebelum CXR. Dorongan trachea adalah gambaran terakhir dari perkembangan tension
pneumotorak
 Adalah penting untuk memberikan saran yang tepat kepada semua pasien yang pulang dari rumah
sakit.
Tip khusus bagi dokter umum
 Pneumothorax harus dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami sesak nafas akut atau
pasien Marfanoid muda dengan sakit dada unilateral yang tiba-tiba.
 Perkirakan Tension pneumotorax pada pasien dengan sesak nafas parah, tachycardia, kerusakan
perfusi perifer, suara nafas hilang dalam satu hemithorax dan meningkatnya vena jugular. Lakukan
dekompresi jarum dengan memasukkan 14G IVvenula kedalam intercostal space mid-clavicular
line kedua dan buang metal stylet sebelum mengirim pasien dengan ambulan ke rumah sakit. Jika
tidak, Pasien akan meninggal. Untuk rincian lanjut, lihat Trauma, Chest.

KLASIFIKASI PNEUMOTHORAX SPONTAN


 pneumothorax spontan tidak memiliki penyebab trauma sebelumnya atau iatrogenic.
 pneumothorax spontan dapat dibagi lebih lanjut kedalam:
1. Primer: dimana tidak terdapat abnormalitas paru-paru yang mendasarinya atau penyakit yang
mengakibatkan pneumothorax spontan tersebut.
2. sekunder: dimana terdapat paru-paru yang sakit (misalnya COLD, pneumonia).

PENANGANAN AWAL
 seorang pasien yang diduga menderita pneumothorax dan memiliki tanda-tanda vital yang tidak
stabil harus ditangani dalam area kritis. Pasien pneumotorak lain dapat ditangani di perawatan
intermediet.
 Nilai tanda-tanda vital dan monitor pasien untuk ECG, dan pulse oximetry
 Berikan oksigen 100%.

Investigasi
 Investigasi utama adalah x-ray dada.
 Ukuran pneumothorax ditentukan oleh jarak dari puncak paru-paru ke ipsilateral cupola (puncak
paru-paru) pada permukaan parietal: (1) pneumothorax kecil <3 cm, dan (2) pneumothorax besar ≥3
cm.

PENANGANAN
 Penanganan tergantung pada faktor-faktor berikut:
1. stabilitas pasien
2. ukuran pneumothorax
3. jenis pneumothorax

Pneumothorax primer kecil (pasien stabil)


206

 amati pasien dalam ED selama 3 jam.


 Selanjutnya pasien tersebut boleh pulang jika:
1. pasien tersebut stabil secara klinis
2. CXR ulang tidak menunjukkan pembesaran pneumothorax
 Beri saran pneumothorax (lihat hal. 355).
 Lakukan follow-up dengan spesialis paru.

Pneumothorax primer besar (pasien stabil)


 Keluarkan Pneumothorax dengan chest tube 20-24 F
 Sambungkan chest tube tersebut ke Heimlich valve atau WSD.
 Lakukan observasi pasien.

Pasien tidak stabil dengan Pneumothorax besar


 Jika pasien itu memiliki tachypnoea dan/atau hanya tachycardia, maka Pneumothorax harus
dikeluarkan dengan baik dengan chest tube 24-28 F.
 Jika pasien tersebut hipotensive,
1. pasien tersebut harus memiliki dianggap Tension pneumotorax
2. thoracostomy jarum yang menggunakan 14G IV harus dilakukan pada intercostal space mid-
clavicular line kedua.
3. selanjutnya, chest tube 24-28 F harus dimasukkan.
 Pasien tersebut harus dirawat

Pasien dengan Pneumothorax sekunder


 Semua Pasien harus dirawat untuk diberi penanganan dan observasi karena terdapat resiko
keterlambatan perluasan paru-paru.
 Pasien Pneumothorax besar harus memiliki chest tube yang dimasukkan sebelum penanganan.
 Pasien yang tidak stabil harus diperlakukan seperti diatas.

SARAN PNEUMOTHORAX
 Saran Pneumothorax harus diberikan kepada semua pasien yang telah pulang dari ED, dengan
mengabaikan apakah paru-parunya telah meluas atau belum.
 Kontraindikasi mutlak, bahkan setelah resolusi sempurna Pneumothorax, meliputi:
1. mendaki gunung
2. menyelam
 Kontraindikasi relative, untuk periode 1 bulan setelah resolusi sempurna Pneumothorax (ditunjuk-
kan secara klinis dan pada x-ray), meliputi:
1. Perjalanan udara
aktifitas berat (misalnya mendorong dan menarik beban BERAT)
207

79. KERACUNAN, BENSODIASEPIN


Penting
 Kematian karena kebanyakan bensodiasepin secara umum jarang kecuali di gunakan bersamaan
dengan sedatif yang lain seperti etanol atau barbiturat
 Pengukuran pengobatan suportif secara umum biasanya semua yang membutuhkan dengan
penekanan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
 Penggunaan antagonis bensodiasepin seperti pengunaan flumasenil yang berlebih merupakan con-
troversial. Jangan memberikan flumasenil IV pada penderita dengan ketergantungan bensodiasepin
dan pada penderita dengan penggunaan antidepresan trisiklik yang bersamaan, atau penggunaan
obat lain yang dicampur dan berlebihan.

Khusus untuk dokter umum


 Semua penderita harus dikirimkan ke bagian gawat darurat jika hanya didapatkan kecurigaan
penggunaan bensodiasepin yang berlebih walaupun mereka mungkin hanya sedikit mengantuk
ringan awalnya.

Patofisiologi:
 Bensodiasepin menyebabkan depresi umum dari reflek spinal seperti menghambat sistem ak-
tivasi reticular yang menyebabkan letargi/lesu, bicara seperti tertelan, ataksia, hiporefleksia,
mengantuk, stupor, koma atau mungkin henti pernafasan.
 Pupil pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebihan biasanya tidak khas dan
umumnya tidak kecil sekali seperti titik jarum seperti pada penderita opiate yangberlebihan.
 Setelah penggunaan suntikan IV diazepam dapat terjadi hipotensi dan henti jantung paru
 Waktu paruh bensodiasepin sangat bervariasi lebarnya dari 2-5 jam untuk midasolam, 5-30
jam untuk klordiasepoksid dan 50-100 jam untuk flurasepam.

Penanganan
Pengukuran suportif
 Penderita dengan penurunan kesadaran dengan gangguan reflek muntah dan depresi pernafasn,
hemodinamik tidak stabil atau koma harus ditangani di ruang kritis
 Jalan nafas harus dijaga dan jika perlu penderita dintubasi dan diventilasi. Penderita harus
diberikan Oksigen 100% melalui masker yang tidak menghisap kembali/ non rebreather mask
 Penderita harus diperiksa tanda ital, monitoring jantung dan saturasi oksigen setiap 15 menit.
 Pertahankan jalur intravena perifer.
 Ambil darah untuk darah lengkap, urea/elektrolit/kreatinin, lakukan pemeriksaan gula darah di
tempat.
 Selama kadar serum bensodiasepin tidak penting selama penanganan akut dari dosis berlebih
tetapi metode kuantitatif dan darah jika ada, dapat dilakukan pada kasus yang belum jelas
 Membuat muntah pada penderita pengguna bensodiasepin yang berlebih tidak diperkenankan
karena efek depresi susunan saraf pusat
 Pemberian karkoal aktif jika waktu meminumnya dalam 4 jam. Kumbah lambung terbatas
pada penggunaan yang besar atau dimakan bersama dalam waktu 1 jam. Walaupun demikian,
jalan nafas harus dijaga dan penderita diintubasi, jika perlu, selama kumbah lambung ataupun
penggunaan korkoal aktif.

Terapi antidot
208

 IV flumasenil dengan dosis 0,2 mg diberikan dalam waktu 30 detik dapat diberikan tergantung
dari respond an diulangi sampai pemberian 0,5 mg. Karena efek yang sebentar, dosis ulangan
dibutuhkan. Walaupun demikian, kontraindikasinya adalah:
1. Jika bersamaan dengan penggunaan antidepresan berlebih dimana efek bensodiasepin dapat
memacu keadaan status epileptikus
2. Flumasenil dapat memicu reaksi putus obat yang akut, bermanifestasi dengan kejang dan tidak
stabilnya sistem autonomi, pada penderita yang mungkin pecandu bensodiasepin

 Jika riwayat tidak akurat, kemudian pemberian IV tiamin, IV 50% dekstrosedan IV nalokson
harus disediakan pada penderita denganpenurunan kesadaran. IV nalokson tidak harus diberi-
kan sebagai penggunaan rutin kecuali tidak ada tanda yang dicurigai sebagai pengguna opiate
yang berlebih.

Disposisi :
 Semua penderita dengan penggunaan bensodiasepin berlebih harus dirawat di bagian penyakit
dalam dan jika perlu di bagian yang dengan pengawasan yang tinggi atau ICU khususnya pada
penderita dengan yang membutuhkan pendukung ventilator.
209

80. KERACUNAN KARBON MONOKSIDA

PENTING
 Karbon monoksida adalah asfiksan resfirasi yang berikatan dengan hemoglobin dan myoglobin,
yang akan mengurangi kemampuan darah mengangkut oksigen.
 Waktu paruh dalam tubuh adalah 5-6 jam
 Karbon monoksida memiliki afinitas dengan Hb 250kali lebih kuat dibandingkan dengan oksigen;
menyebabkan pergeseran kurva disosiasi kekiri, menghambat pelepasan oksigen ke jaringan.
 Karbon monoksida berikatan dengan myoglobin dan membuatnya menjadi tidak aktif (myoglobin
otot jantung 3 kali lebih besar daripada myoglobin otot skelet). Selama kondisi hipoksemia,
myoglobin jantung menangkap gas CO lebih kuat menyebabkan nekrosis myocardium dan
menekan fungsinya.
 Karbon monoksida menyebabkan demyelisasi sel otak, dengan hasil otopsi ditemukan adanya
edema cerebral, nekrosis pada superfisial substansia putih, globus pallidus, cerebrum dan
hippokampus. Sekuele berupa keterlambatan neuropsikiatri terjadi pada 40% kasus.
 Keracunan gas monoksida sulit untuk didiagnosis karena ada beberapa tanda dan gejala
patognomonis. Gejala ringan tidak spesifik, seperti sakit kepala, mual dan muntah, pusing.
Beberapa anggota keluarga dapat memberikan gejala yang sama pada saat yang bersamaan seperti
yang sering terjadi pada penyakit flu.

Tips Khusus untuk Dokter Umum


 Selalu curigai adanya keracunan gas CO pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
dengan riwayat terperangkap dalam ruangan tertutup atau berada dalam kebakaran atau
ledakan beberapa jam sebelumnya
 Ingat : gambaran kalsik merah cery yang dijelaskan dalam buku teks adalah hasil autopsy.
Sianosis lebih sering tampak pada pasien yang hidup.

METABOLISME
 Karbon monoksida (gas buangan kendaraan, gas rumah tangga) tidak berwarna, tidak berbau dan
tidak berasa.
 Absorpsi melalui inhalasi dan kemudian tidak dimetabolisme; distribusi dalam darah, eliminasi
melalui paru dengan cara ekshalasi
 Berikatan dengan sistem sitokrom oksidase; berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan
sitokrom A3
 Sumber :
1. Endogen : CO adalah hasil degradasi dari hemoglobin dan komponen lain yang mengandung
hem :
a Kadar karboksihemoglobin (COHb) < 5% pada perokok dan < 10% pada pasien
bukan perokok
b. Pada wanita hamil kadar COHb bisa lebih dari 2-5%
c. Pada bayi normal kadar COHb dapat mencapai 4-5%
d. Pada anemia hemolitik kadarnya dapat mencapai 6%
2. Eksogen :
a Rokok : saat meroko, sebatang rokok mengandung 2.5 kali lebih banyak gas CO
yang akan terinhalasi
b. Perokok seringkali memiliki kadar CO antara 4-10%
c. Kebakaran : menghirup udara dari kebakaran mengandung lebih dari 10% gas CO
(100 kali konsentrasi yang diperlukan untuk menyebabkan kadar letal COHb)
210

d. Gas buangan kendaraan terdiri atas 8% CO, penumpang biasanya terpapar CO karena
tempat duduk yang terlalu dekat dengan sistem buangan kendaraan
e. Metilen cloride pada zat penghilang cat, aerosol dan fumigant sangat mudah diserap
melalui kulit dan secara perlahan dimetabolisme menjadi CO. Perhatikan bahwa
waktu paruh COHb karena paparan metilen cloride dua kali lebih besar daripada
inhalasi.

PAPARAN AKUT
 Sistem Saraf Pusat : sakit kepala, neuropati perifer, penurunan kesadaran, koma, kejang, edema
cerebral, perubahan kepribadian dan perilaku, ataksia, gangguan daya ingat
 Respirasi : dyspnue dan hyperpnue, bronkopneumonia dan edema paru non kardiogenik
 Kardiovaskuler : angina, perubahan ST segmen, takikardi, disritmia ventrikel, hipotensi, infark
myokardial, heart block, jantung kongestif dan henti jantung
 Ginjal : oligouria karena gagal ginjal akut, proteinuria, myoglobinuria dan hematuria
 Sistem Hematologi : karboksihemoglobinemia, hipoksia jaringan, polisitemia, anemia hemolitik,
koagulasi intravaskuler diseminata, leukositosis
 Kulit : sionis lebih sering terjadi daripada cherry red discolouration; bula
 Optamologi : perdarahan retina flame-shaped, penurunan kemampuan visual, kebutaan kortikal,
edema papil, skotoma
 Muskuloskeletal : rabdomyolisis, myonekrosis, syndrome kompartemen
Catatan : Analisa gas darah biasanya memberikan gambaran PaO 2 normal karena PaO2 adalah cara un-
tuk mengetahui jumlah oksigen yang terdisosiasi dalam darah arteri, bukan jumlah oksigen yang beri-
katan dengan Hb. Banyak analis yang menghitung persentasi saturasi oksigen berdasarkan PaO2.
Penghitungan saturasi oksigen akan memberikan hasil yang jauh berbeda bila dibandingkan dengan
permeriksaan langsung dengan oksimeter. Perbedaan saturasi adalah ciri khas dari keracunan gas CO
 Gejala sisa yang mungkin terjadi : gejala sisa berupa kelainan neuropsikiatri yang muncul setelah 3
minggu sampai 3 bulan setelah terpapar karbon monoksida, terjadi pada 40% kasus yang
mengalami perbaikan:
1. Sakit kepala/pusing
2. Gangguan daya ingat
3. Perubahan kepribadian
4. Parkinsonisme

MANAJEMEN DI EMERGENCY DEPARTEMEN


Manajemen berupa tindakan suportif dan pemberian terapi oksigen
 ABC
1. Lakukan evaluasi dan terapi suportif jalan nafas
2. Lakukan intubasi orotrakhea bila terjadi gangguan ventilasi dan oksigenasi
3. Berikan suplemen oksigen 100% melalui masker yang melekat erat ke wajah
Catatan : waktu paruh eliminasi COHb dalam serum bila bernafas dengan udara bebas adalah 520
menit, berubah menjadi 80 menit bila bernafas dengan oksigen 100%. Terapi oksigen sebaiknya
tidak dihentikan sampai gejala hilang dan kadar COHb < 10%
4. Lakukan monitoring : EKG (menunjukkan gambaran sinus takikardi dan perubahan segmen
ST)
5. Pikirkan penggunaan natrium bikarbonat infus bila ada metabolik asidosis (pH darah arteri <
7.1)
 Pemeriksaan Laboratorium
1. Rutin : Darah lengkap, glukosa, ureum/creatinin/elektrolit, analisa gas darah dengan kadar
COHb, EKG 12 lead
2. Sesuai dengan kondisi pasien : foto rontgen thoraks (pada cedera inhalasi yang berat, aspirasi
paru, bronkopneumonia dan edema paru)
211

 Terapi antidotum : Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Weaver, dkk (2002) menunjukkan
bahwa 3 buah terapi oksigen hiperbarik yang dilakukan dalam 24 jam berhasil menurunkan resiko
gejala sisa berupa kelainan kognitif dalam waktu 6 minggu dan 12 minggu setelah keracunan gas
CO. Keuntungan dari terapi oksigen hiperbarik adalah untuk mencegah kerusakan yang disebabkan
oleh gas CO bukan menghilangkan gas tersebut.

DISPOSISI DAN FOLLOW UP


 Rujuk pasien untuk melakukan terapi oksigen hiperbarik dengan menghubungi tempat-tempat
lokal yang memiliki sarana terapi hiperbarik baik sipil maupun militer, sesuai dengan protokol
lokal :
1. Seluruh pasien yang pingsan, kelainan neurologis dan kelainan jantung dengan peningkatan
kadar COHb
2. Seluruh pasien dengan kadar COHb > 25%
3. Wanita hamil dengan kadar COHb > 10%
4. Iskemik myocardium
5. Gejala yang memburuk setelah pemberian terapi oksigen
6. Gejala yang menetap setelah terapi oksigen 100% selama 4 jam (termasuk kelainan test
psikometer dan takikardia)
7. Neonatus
Catatan : Dengan terapi oksigen hiperbarik, waktu paruh eliminasi CO berkurang menjadi 23 menit,
kecuali bila terapi dilakukan dalam seting militer, sulit sekali untuk melakukan terapi yang adekuat
untuk memperoleh pengurangan waktu paruh
 Rawat pasien di ruangan penyakit dalam bila kadar COHb < 20%, berikan oksigen aliran tinggi
15L/ menit melalui masker minimal 4 jam sampai kadar COHb kembali ke normal
 Pasien yang tanpa gejala dengan kadar COHb < 20% jarang sekali mengalami komplikasi dan
dapat dipulangkan dari emergency departemen dengan nasihat untuk segera mencari pertolongan
medis bila muncul gejala sebagai berikut :
1. Kesulitan untuk bernafas atau sesak
2. Nyeri dada atau rasa berat didada
3. Kesulitan untuk mengkoordinasikan tangan dan kaki
4. Gangguan daya ingat
5. Sakit kepala atau pusing yang berkepanjangan
 Pasien yang dipulangkan harus dirujuk kebagian psikiatri untuk melakukan screening
neuropsikiatri karbon monoksida untuk mendeteksi deterioration
 Pasien harus diberitahu untuk tidak merokok selama 72 jam
212

81. INTOKSIKASI, ANTIDEPRESAN SIKLIK

PERHATIAN
 Antidepresan yang umum diresepkan adalah: imipramin, trimipramin, desipramin, amitriptilin,
doksepin, maprotilin dan amoksapin.
 Heterosiklik bersifat terikat sangat kuat pada protein (92% pada pH fisiologis); karenanya diuresis,
dialisis dan hemoperfusi tidak memiliki peran dalam tata laksana pada keadaan overdosis.
 Pokok dari terapi adalah pemberian natrium bikarbonat karena zat ini mengubah ikatan obat ter-
hadap pompa natrium iokardium dan juga meningkatkan ikatan obat ini pada protein, sehingga
menjadikannya tidak aktif secara farmakologis.
 Obat-obatan yang harus dihindari:
1. Obat antiaritmia kelas IA (quinidine, procainamide) dan IC (fleicainide), yang dapat
memperburuk toksisitas ‘serupa quinidine’ pada miokardium.
2. Pnyekat beta dan penyekat kanal kalsium yang dapat memperberat hipotensi.
3. Fenitoin dapat meningkatkan insiden disritmia ventrikel dan penggunaannya masih merupakan
suatu kontroversi.
4. Flumazenil, karena beresiko mencetuskan kejang.
5. Physostigmine beresiko terhadap terjadinya toksisitas pada jantung dan kejang.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Jangan merangsang terjadinya muntah atau memberikan arang aktif jika pasien tampak
mengantuk karena penurunan kesadaran dapat terjadi cepat sehingga diperlukan proteksi jalan
nafas.
 Jangan memberikan flumazenil untuk mengatasi over dosis benzodiazepine yang menyertai,
karena hal ini dapat mencetuskan kejang yang diinduksi oleh antidepresan siklik.
 Kompleks QRS yang melebar >100 ms pada EKG menunjukkan intoksikasi yang serius.
 Terapi dengan natrium bikarbonat IV yang diberikan di rumah sakit merupakan terapi uta-
ma dan efektif untuk mengatasi hipotensi dan disritmia yang diinduksi oleh obat antidepresan
trisiklik.

PATOFISIOLOGI KLINIS
Efek pada Jantung
 Aktivitas antikolinergik yang dapat menimbulkan takikardia
 Aktivitas serupa quinidine (hambatan pompa natrium dan kalium) yang dapat menimbulkan blok
intraventrikel dan atrioventrikel. Blok cabang berkas dan fasikulus umumnya didahului dengan
kompleks QRS yang melebar. Sinus takikardia yang menyertai keadaan ini dapat menimbulkan
gambaran yang serupa dengan takikardia ventrikular.
 Hipotensi akibat hambatan efek alfa adrenergik perifer.
 Edema paru

Efek pada SSP


 Kebingungan, agitasi dan halusinasi sebelum akhirnya penderita dengan cepat jatuh dalam keadaan
koma.
 Kejang sering terjadi dan umumnya tunggal; status epileptikus lebih sering terjadi pada kasus
intoksikasi amoksapin atau maprotilin.
 Temuan fisik meliputi:
1. Klonus
213

2. Koreoatetosis
3. Mioklonus
4. Peningkatan tonus otot
5. Hiperrefleksia
6. Respon ekstensor plantar

Efek antikolinergik (dapat muncul maupun tidak; todak adanya tanda berikut tidak menyingkirkan tok-
sisitas)
 Flushing
 Mulu/kulit kering
 Pupil midiriasis
 Demam
 Bising usus menghilang
 Retensio urin
 Pandangan kabur akibat gangguan akomodasi

Efek lainnya
 Bula pada kulit
 Rhabdomyolisis dan gagal ginjal
 Pneumonia
 ARDS

Tanda yang mengindikasikan overdosis berat


 Disritmia ventrikuler
 Bradikardia dan blok AV
 Defek konduksi intraventrikular dengan kompleks QRS >100 ms
 Kejang
 Hipotensi
 Edema paru
 Henti jantung

TATA LAKSANA
Penanganan suportif
 Pasien harus ditangani di area yang dilengkapi dengan monitor dan alat resusitasi, termasuk defi-
brillator.
 Jaga patensi jalan nafas; lakukan intubasi bila terjadi penurunan tingkat kesadaran atau hilangnya
reflek muntah.
 Berikan suplementas oksigen aliran tinggi dengan sungkup non-rebreathing.
 Monitoring: EKG dan tanda-tanda vital setiap 5-15 menit, pulse oximetry.
 Pasang jalur intravena prefer
 Pilihan cairan intravena adalah NS
 Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, ureum, kreatinin, elektrolit, uji saring obat-obatan (ki-
rimkan tabung sediaan ke bangsal bersama pasien jika dicurigai terjadi overdosis akibat lebih dari
1 macam obat).
Catatan: Jangan meminta pemeriksaan kadar obat antidepresan dalam plasma; hasilnya tidak akan
mengubah prosedur tata laksana.
 Peneriksaan analisis gas darah untuk memonitor pH seiring perjalanan terapi.
 Foto thoraks untuk membuktikan adanya edema paru, pneumonia dan ARDS.
 Pasang kateter urine untuk mengawasi produksi urin dan status kecukupan cairan.
 Lakukan kumbah lambung jika diindikasikan dan kirimkan hasil bilasan pertama ke bangsal
bersama dengan pasien.
214

Terapi medikamentosa
 Arang aktif: dosis 1 mg/kg BB. Berikan melalui pipa orogastrik
 Alkalinisasi darah sampai nilai pH 7,45 – 7,50. Cara terbaik untuk mencapainya adalah dengan
kombinasi hiperventilasi dan pemberian natrium bikarbonat:
1. Jika pasien diintubasi, ventilasi mekanis dengan kecepatan 20x/menit umumnya memadai
untuk sebagian besar orang dewasa.
2. Natrium bikarbonat 1-2 mmol/kgBB diberikan secara bolus IV pelan selama 20-30 menit.
3. Terapi bikarbonat diindikasikan bila lebar komplek QRS setidaknya 100 ms.

KEADAAN KLINIS KHUSUS


Catatan: Natrium bikarbonat merupakan terpai yang paling efektif untuk mengatasi hipotensi dan
menghentikan disritmia.
Disritmia yang tidak berespon terhadap natrium bikarbonat
 Lignocaine dapat menghentikan disritmia ventrikel. Diberikan dengan dosis 1.0-1.5 mg/kg IV
bolus yang diikuti dengan infus 1-4 mg/menit.
 Sulfas magnesikus dapat digunakan untuk terapi torsades de pointes. Dosis: 1-2 gr IV bolus selama
60 detik, kemudian dilanjutkan dengan infus 1-2 gr/jam.
 Kardioversi synchronized dapat digunakan untuk terapi takidisritmia supraventrikel.
 Pacu jantung darurat (pemasangan pacu jantung transkutan di IRD, yang jika diperlukan dapat
dilanjutkan di ICU) diindikasikan pada bradidisritmia berat dan blok AV.

Hipotensi
 Pendekatan pertama adalah dengan menggunakan NS dan alkalinisasi.
 Jika respon tidak abaik atau tidak ada: berikan terapi medikamentosa
 Noradrenalin atau dopamine dosis tinggi: keduanya efektif pada saat awal toksisitas.
Dosis: Noradrenalin: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 0.5-1.0μg/menit dan dititrasi sam-
pai tercapai efek yang diinginkan.
Dopamine: hanya diberikan dengan infus kontinyu, 10-20μg/kgBB/menit dan dititrasi
sampai tercapai efek yang diinginkan.
 Kegagalan dari semua upaya di atas menunjukkan perlunya dipertimbangkan penggunaan pompa
balon intra aorta (IABP).

Pengendalian kejang yang resisten terhadap pemberian natrium bikarbonat


Hal ini penting karena keadaan asidosis laktat dapat emmperberat toksisitas pada jantung akibat
penurunan ikatan obat dan protein sehingga jumlah obat aktif menjadi lebih banyak pada jaringan yang
rentan.
 Diazepam: dosis 2-5 mg IV bolus, dapat diulang tiap 5 menit sampai total 20 mg.
 Lorazepam: dosis 0.1 mg/kgBB IV bolus sampai total 8 mg.
 Phenobarbital
Dosis: 100 mg/menit IV sampai total 10 mg/kgBB atau kejang terkendali; jika tidak efektif berikan
dengan dosis 50 mg/menit IV sampai total 20 mg/kgBB atau kejang terkendali; jika tidak
efektif berikan dengan dosis 50 mg/menit sampai total 30 mg/kgBB atau kejang terken-
dali
 Paralisis/bius total: dilakukan dengan konsultasi pada bagian Anestesi.

DISPOSISI
 Konsultasi dengan Penyakit Dalam; tetap pertimbangkan perawatan di ICU/HD untuk pengawasan
lebih lanjut. Deteriorasi signifikan kasus semacam ini diketahui terjadi beberapa jam sampai hari
setelah ingesti awal.
215

82. Poisoning ( Keracunan ), Organofosfat

Caveats
 Agent aktif pada banyak pestisida dan insektisida adalah parathion, yang berikatan secara irre-
versible dengan kolinesterase untuk membentuk ikatan dietilfosfat.
 Atropin merupakan antidote fisiologi antimuskarinik yang bekerja secara kompetitif memblok
efek muskarinik asetilkolin.
 Atropin tidak memiliki efek pada reseptor nikotinik pada myoneural junction pada otot
bergaris, yaitu tidak akan mengembalikan paralysis.
 Pralidoxime merupakan antidote biokimia yang bereaktivasi dengan kolinesterase yang
menyebabkan proses fosforilasi oleh organofosfat. Naumn pralidoxine harus diberikan dalam
waktu 24-36 jam pertama setelah paparan. Jika tidak, molekul kolinesterase dapat berikatan
erat serta kolinesterase baru akanmembutuhkan waktu berminggu-minggu untuk regenerasi.
 Presentasi klasik : pasien dengan vomiting dan diare, diaforesis, nafas berbau insectisida dan
pupil yang kecil. Hati-hati dx yang berlebihan terhadap gastroenteritis.

Tips Khusus bagi Dokter Umum:


 Rujuk semua px demngan suspek keracunan oragnofosfat walaupun masih
asimptomatik.
 Waspada bahwa vomiting, diare dan hipotensi dapat terjadi dan dapat salah
diagnosa sebagai severe GE. Cari tanda dan gejala DUMBELS .
 Pastikan bahwa wadah tempat insektisida yang dicurigai dibawa ke rumah
sakit.

Patofisiologi
 Organofosfat menghambat asetilkolinesterase, yang akan berakibat pada akumulasi asetilkolin
yang berlebihan pada myoneural junction dan sinaps.
 Asetilkolin yang berlebihan akan mengeksitasi kemudian membuat paralise, neurotransmisi
pada motor end plate dan menstimulasi nikotinik dan muskarinik:
1. efek muskarinik : singkatan DUMBELS berguna untuk mengingat karena gejala dan
tanda ini berkembang lebih awal, 12-24 jam setelah ingestion.
D Diare
U Urinasi
M Miosis (absent pada 10% kasus)
B Bronchorrhoe/bronkospasme/bradikardi
E Emesis
L lacrimasi
S salivation dan Hipotensi
2. Efek Nikotinik
a. Diaforesis, hipoventilasi, dan takikardi
b. Fasikulasi otot, kram dan kelemahan yang menyebabkan flaccid muscle paralysis
3. Efek CNS
a. Ansietas dan insomnia
b. depresi nafas
c. Kejang dan koma

Manajemen
216

Terapi suportif
 Pastikan semua staff menggunakan perlengkapan proteksi karena absorsi perkutaneus dan
inhalasi dapat menyebabkan keracunan.
 Px ditangani pada area critical care, dengan perlengkapan resusitasi yang selalu tersedia.
 Lakukan detoksifikasi dengan melepas pakaian px dan cuci kulit px seluruhnya.
 Pertahankan patensi jalan nafaslakukan intubasi orotrakeal jika px apnue, atau tidak memili-
ki gag reflex. Suction aktif berkala dibutuhkan bila ada bronkorhoea.
 Berikan oksigen aliran tinggi via non-rebreather reservoir mask.
 Lakukan gastric lavage jika ada indikasi, terutama pada beberapa jam pertama setelah inges-
tion.
 Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
 Pasang jalur IV.
 Cairan IV : kristaloid untuk menggantikan hilangnya cairan melalui vomiting dan diare.
 Lab : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, kolinesterase plasma gaster dan specimen toksikologi
serum

Terapi Obat
 Arang aktif via gastric lavage tube. Dosis 1g/kgBB
 Atropin : obat pertama yang diberikan pada keracunan simptomatik.
1. penggunaan utamanya adalahreduksi bronkorrhoea/bronkospasme
2. Dosis besar mungkin dibutuhkan untuk mengontrol sekresi jalan nafas.
Dosis : dewasa : 2 mg IV tiap 10-15 menit prn; dosis dapat digandakan tiap 10 mneit sampai
sekresi terkontrol atau tanda atropinisasi jelas (flush, kulit kering, taikardia, midriasis, dan
mulut kering).
Anak-anak : 0,05 mg/kgBB tiap 15 menit prn, dosis dapat digandakan tiap 10 menit sampai
sekresi terkontrol.
 Pralidoxime (2-PAM, Protopam)
1. pralidoxime harus diberikan dengan atropine pada tiap pasien simptomatik
2. efek akan terlihat dalam 30 menit dan meliputi hilangnya kejang dan fasikulasi, perbaikan
kekuatan otot dan pemulihan kesadaran.
3. pemverian pralidoxim bisaanya mengurangi jumlah atropine yang diberikan serta dapat
unmask toksisitas atropine.
Dosis : Dewasa : 1gm IV selama 15-30 mneit; dapat diulang dalam 1-2 jam prn
Anak-anak : 20-25 mg/kgBB IV selama 15-30 menit; dapat diulang 1-2 jam.
 Diazepam (Valium) : digunakan untuk mengurangi kecemasan dan restlessness dan
mengontrol kejang.
Dosis : 5-10 mg IV untuk kecemasan/restlessmess
Catatan : dosis dinaikkan sampai 10-20 mg IV mungkin diperlukan untuk mengkontrol ke-
jang.

Penempatan
 Lakukan konsultasi pada general medicine pada HD/ICU
 Untuk kasus terapi keracunan subklinis yang tidak diperlukan, namun px harus MRS
setidaknya 24 jam untuk meyakinkan bahwa keracunan yang delayed tidak akan berkembang.

.
217

83. INTOKSIKASI PARASETAMOL

 Merupakan kasus overdosis obat yang paling sering, dimana pada dosis 7,5 gr(15 tablet @
500mg) secara empiris sudah mencapai ambang terjadinya intoksikasi.
 Efek toksis sudah dapat terjadi bila seorang dewasa menelan >150mg/kg BB atau 7,5g (15
tablet @ 500mg)
 Efek toksis dapat terjadi pada dosis yang lebih rendah pada pasien yang mengalami gangguan
fungsi hati, bersamaan minum obat antikonvulsi atau pasien anoreksia yang mengalami keku-
rangan glutation.
 Pada kasus2 seperti di atas, pakailah garis pengobatan resiko tinggi pada tabel/normogram
Rumack-Matthew dibanding garis normal pengobatan.
 Pedoman penanganan berdasarkan normogram Rumack-Matthew hanya bermanfaat dalam
menentukan kebutuhan dosis antidote N-acetylcystein (Parvolex) hanya pada intoksikasi tung-
gal dan akut.
 N-acetylcystein (NAC) paling efektif diberikan dalam waktu 8 jam pertama setelah menelan.
Kadang masih di berikan pada 24 jam pertama, bila dari anamnesis diperoleh data overdosis
yang signifikan dan pemeriksaan serum parasetamol tidak tersedia.
 Pedoman filosofi dalam managemen intoksikasi parasetamol adalah “bila ragu/ tidak jelas,
berikan NAC”.
218

 Pasien dengan overdosis parasetamol sering tampak baik2 saja pada tahap awal, biasanya han-
ya mengeluh mual2 dan muntah.
 Jangan merangsang penderita untuk muntah sebelum mengirim ke IRD.

Tahap-tahap keracunan parasetamol:


 Tahap I (<24 jam I): sakit pada abdomen, nafsu makan menurun, mual dan muntah.Pada
pemeriksaan fisik sering hanya ditemukan pucat dan berkeringat.
 Tahap II (24-48 jam I): gejala yang muncul pada tahap 1 hilang,pada pemeriksaan fisik hepar
membesar dan nyeri tekan.Hasil laboratorium: serum bilirubin meningkat,enzim hepar
meningkat dan PT memanjang, dan fungsi ginjal dapat tidak normal.
 Tahap III (72-96 jamI):gejala pada tahap II menetap,didapatkan ikterus,enzim hati mencapai
kadar tertingginya,dan gagal hati dan gagal ginjal (jarang) dapat terjadi dan mematikan.
 Tahap IV ( hari ke-4 s/d mgg ke-2): bila penderita datang terlambat atau tidak segera
medapatkan pengobatan,keadaan gangguan fungsi hati memberat menjadi gagal hati,coma dan
kematian.

Penatalaksanaan:
 Penderita intoksikasi parasetamol harus dirawat di ruang intermediate, juga bias di pindah
diruang kritis bila terjadi hemodinamik tidak stabil atau depresi status mental.
 Depresi status mental harus dicari kemungkinan penderita intoksikasi obat lain yang ditelan
secara bersamaan.
 Intoksikasi obat secara tunggal sangat tidak biasa.

 Pertahankan jalan nafas, pasang intubasi orotrakeal tube jika terjadi penurunan refleks muntah
(antisipasi kumbah lambung atau pemberian karbon aktif atau keduanya)

 Berikan oksigen bila SpO2 turun.

 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 15 menit, pasang pulse oksimetry.

 Pasang infuse, dan rehidrasi dengan kristaloid bila dehidrasi/hipovolume.

 Lakukan kumbah lambung bila kejadian menelan obat terjadi dalam 1 jam pertama dan ambil
cairan lambung untuk pemeriksaan toksikologi.

 Studi terakhir pemasangan NGT tidak harus dilakukan,kecuali benar dipastikan bahwa pende-
rita menelan parasetamol dalam dosis toksis dan datang ke IRD pada jam pertama.

 Beberapa peneliti mengatakan NGT baru dipasang bila akan dilakukan kumbah lambung.

Laboratorium:

1. Darah lengkap, Ureum/Elektrolit/Kreatinin, fungsi hati, PT.


Catatan: ALT >5.000 IU/L menyokong suatu kondisi hepatotoksik akibat intiksikasi parasetamol
karena kadar setinggi ini sangat jarang akibat infeksi virus.
Dari EBM hanya pengukuran serum parasetamol yang dibutuhkan untuk penderita yang overdosis
parasetamol yang tidak menunjukkan tanda2 hepatotoksik.

2. Pengukuran kadar parasetamol(diharuskan).


3. Bila dosis parasetamol masuk dalam rentang dosis toksis pada normogram Rumack-Mattew,
maka NAC harus segera diberikan.
219

4. keputusan yang lebih bijaksana adalah berdasarkan hasil pemeriksaan kadar serum paraseta-
mol pada 4 jam setelah menelan.
Karena pemberian NAC tidak diindikasikan waktu kurang dari 4 jam pertama setelah menelan.

Pengobatan dengan obat:


 Karbon aktif: pemberiannya lewat NGT.
 Dosis: 1g/kg BB (dosis rata2 orang Asia 50 g)
Catatan: pemberian karbon aktif hanya berguna pada jam pertama dan dosis multiple tidak berguna.

 N-acetylcysteine (Parvolex), berikan jika:


1. Kadar parasetamol setelah 4 jam pertama berada pada rentang dosis toksik pada normogram
Rumack-Mattew .
2. Kadar parasetamol inisial sudah berada pada rentang dosis toksik.
3. Pada anamnesis didapatkan data pasti bahwa penderita telah menelan parasetamol lebih dari
15 tablet (7,5g). Jangan menunggu menunggu hasil pengukuran ulang, tapi specimen tetap
harus dikirim untuk monitoring kadar parasetamol di ruangan.
4. Hasil pemeriksaan fungsi liver menunjukkan keadaan hepatotoksik.NAC harus diberikan pada
penderita yang mengalami gagal hati sampai membaik atau mati.

Parvolex®(N-Acetylcystein) IV Infusion
Dosis pada orang dewasa:
 Dosis inisial: 150mg/kgBB iv selama 15 menit, dilanjutkan infuse secara kontinyu
(50mg/kgBB dalam 500mL 5% dextrose dalam 4 jam), dilanjutkan infuse secara
kontinyu(100mg/kgBB dalam 1L D5% selama 16 jam).
 Dosis total: 300mg/kg dalam 20 jam.

Mekanisme kerja dari NAC(Parvolex):


 Pemakaian normal parasetamol menyebabkan konversi parasetamol oleh enzim cytokrom P-
450 menjadi metabolit toksik yang akan didetoksifikasi oleh glutathione di hepar.
 Overdosis parasetamol akut,menyebabkan deplesi depo dari glutathione dan metabolit toksik
menyebabkan nekrosis sentrilobuler pada hepar.
 Sedangkan kerja NAC adalah kompleks, dan multifaktorial.Dapat disimpulkan NAC berfungsi
sebagai/menggantikan glutathione.

Efek samping NAC sering muncul pada jam pertama pemberian:


 Mual,flushing,urtikaria, dan pruritus adalah keluhan/gejala yang paling sering muncul.Bila
muncul gejala diatas, maka infuse NAC harus dihentikan selama 15 menit dan mulai lagi dari
awal dengan dosis yang lebih rendah(100 mg NAC/kgBB dalam 1L D5% selama 16 jam).
 84.poisoning Salicylate

CAVEATS
 termasuk aspirin, peptobismol, sport liniments, minyak wintergreen, dan obat
tradisional cina
 keracunan ringan ditandai dengan
1. hyperpnoea dengan alkalosis respiratorik ( oleh karena stimulasi dari pu-
sat respirasi )
2. tinnitus merupakan tanda ototoksik yang jelas

 keracunan sedang ditandai dengan ;


1. muntah sejak 3-6 jam setelah masuknya zat racun
2. hyperpnoea berat, hipertermia, dehidrasi, nyeri perut dan diaphoresis.
220

 keracunan berat ditandai dengan ;


1. gangguan system syaraf pusat dengan tanda-tanda awal stimulasi yang dii-
kuti dengan depresi sampai konvulsi dan koma.
2. udem paru non cardiogenik, dysritmia, perdarahan dan gagal ginjal akut.

 berdasarkan batasan tersebut, penggunaan nomogram tidak direkomendasikan.


Justru kondisi klinis pasien dan tanda-tanda awal pasien yang lebih dapat
digunakan sebagai pedoman untuk penanganan klinis.
 Perkiraan serum salisilat;
1. gambran level awal dapat dilihat pada 2 jam setelah masuknya racun, dan
test dapat diulan 6 jam kemudian. Kadar serial dapat dimonitoring sampai
terjadi penurunan level salisilat.
2. keracunan yang nyata dapat berlangsung cepat karena overdosis yang akut,
dan terjadi sebelum 6 jam.
3. kadar salisilat < 30mg % (bukan kadar toksik) yang digambarka kurang 6
jam setelah masuknya racun, tidak menyingkirkan terjadinya keracunan.

 alkalinisasi urine diindikasikan untuk pasien resiko dan kadar salisilat > 30
mg%;
1. salisilas adalah asam yang di ekskresi lewat urin dan meningkat karena
ionisasi
2. ginjal hanya menyerap salisilat yang tidak terionisasi; setelah urin
leralkalinisai.
3. jika PH urin meningkat sampai 8, maka ekskresi salisilat dalam urin akan
meningkat 10-20 kali.

 hemodialisa paling efektif untuk menurunkan serum salisilat. Indikasi hemodi-


alisa a.l;
1. kadar serum salisilat >100mg%
2. gangguan keseimbangan asam basa yang berat dg
PH 6,5 – 6,8
4. cardiac toxicity ok ARDS
5. gagal ginjal, gagal nafas
6. tanda-tanda neurologist; psikosis, confusion, kejang, atau koma
7. peningkatan kadar serum salisilat tetap terjadi meskipun telah dilakukan
alkalinisasi urin maupun terapi dengan active charcoal.

Management
Supportive measure
 pasien dengan penurunan kesadaran dan tanda vital yang buruk harus di tem-
patka di P1
 pelihara jalan nafas, pasang intubasi bila reflel muntah sudah hilang (juga
diantisipasi dengan gastric lavage), atau pasien dengan hipoksemia.
 Berikan O2 100 % melalui NRBM
 Monitoring ECG, pulse oksimetri, dan vital sign tiap 5-15 menit.
 Pasang gastric lavage bila kejadian kurang dari 1 jam.
 Pasang infuse
 Berikan cairan kristaloid untuk memperbaiki perfusi perifer
221

 Laboratorium;
1. kadar serum salisilat
2. analisa gas darah
3. darah lengkap, test fungsi ginjal, elektrolit, fungsi hati.

Drug terapy
 aktif chargo, dg dosis 1g/kgbb
 sodium bikarbonat, dosis bolus 1-2 mmol/kgbb 8,4% NaHCO3

infusion; 150 mmol NaHCO3 8,4 %(150ml) dalam 850 cc D5, mulai 1,5 -2
kali maintenance dititrasi sampai PH 7.5-8

monitor kadar serum potassium dengan laborat atau ECG monitor.

Kontraindikasi pemberian natrium bikarbonat

 bila salisilat mengakibatkan udem pulmonal non cardiogenic, yang dapat


menyebabkan cairan overload.

 Terapi bikarbonat per oral akan meningkatkan absorbsi salisilat

 Pasien yang telah mendapatkan azetazolamid yang dapat memperburuk


asidosisnya sehingga meningkatkan kadar salisilat di otak.

Disposisi

 untuk keracunan yang berat dan terdapat peningkatan kadar serum salisilat
yang cukup tinggi, pasien di disposisi ke ICU/HD

 untuk kasus yang lebih ringan dapat dirawat di ruangan .


222

85. Pulmonal Emboli

Caveats
 Thrombotic Pulmonary Embolism (PE) bukan merupkan penyakit yang terpisah dari dada,
namun merupakan komplikasi venous thrombosis. Deep venous Thrombosis (DVT) dan PE
merupakan bagian dari proses yang sama, venous thromboembolism.
 DVT pada kaki ditemukan pada 70% pasien PE. Sebaliknya PE terjadi pada 50% dengan DVT
di kaki (yang melibatkan popliteal dan atau vena yang lebih proksimal) dan kurang sering
terjadi ketika thrombus didapatkan pada vena daerah betis.
 Faktor predisposisi PE dan DVT sama dan memenuhi trias Virchow stasis vena, cedera
dinding vena dan peningkatan koagulabilitas darah. (tabel 1)

Tabel 1 : Beberapa Faktor Resiko yang sering didapatkan pada Venous Thromboembolic Disease
Stasis aliran Immobilisasi lama meliputi perjalanan yang lama, stroke
Trauma mayor atau pembedahan dalam 4 minggu
Gagal jantung kongestif
Obesitas
Peningkatan usia
Cedera spinal cord
Shock syndromes
Kerusakan endotel Trauma local
Pembedahan pada kaki dan pelvis
Vaskulitis
Luka bakar
Shock elektrik
Infeksi
Riwayat thromboembolisme sebelumnya
Abnormalitas koagulasi Polysitemia
Abnormalitas platelet
Obat kontrasepsi oral yang tinggi estrogen
Neoplasia malignan
Defisiensi antitrombin III, protein C atau S
Catatan : pada pembedahan serial, resiko venous thrombolisme meningkat dengan cepat seiring usia,
panjangnya waktu pembiusan, dan adanya previous venous thromboembolism atau kanker. Insiden
tertinggi terdapat pada px yang akan menjalani pembedahan emergency setelah trauma (cth fraktur
panggul) dan pembedahan pelvis. Pada medical series, venous thromboembolism sering terjadi pada
cardiorespiratory disorder (cth gagal jantung kongestif, irreversible airway disease), dengan immbili-
tas kaki (disebabkan oleh stroke dan penyakit neurologik lain), juga oleh kanker.

Tabel 2 : Bentuk klinis Embolisme Paru


Emboli Paru Riwayat Obstruksi vaskular Manifestasi
Akut minor Singkat, onset < 50% Dispneu dengan atau tanpa
mendadak nyeri pleuritik dan hemoptisis.
Right heart strain dengan atau
Akut massif Singkat, onset > 50% tanpa instabilitas he-
mendadak modinamik dan sinkop.
Dispneu dengan right heart
Subakut massif Beberapa minggu > 50% strain
223

Catatan :
1. PE massif tanpa hipoksemia jarang terjadi jika arterial oxygen tension (PaO2) normal,
merupakan diagnosis alternative harus dipertimbangkan.
2. Walaupun PE mengganggu eliminasi karbondioksida, hiperkapnia jarang terjadi.
3. Px dengan PE massif jelas akan Nampak dispneu namun tidak orthopnoeic.
4. Sub akut massif PE menyerupai gagal jantung atau indolent pneumonia, terutama pada
lansia.

Catatan : Identifikasi factor resiko juga dapat memandu keputusan penggunaan profilaksis dan
pengulangan pemeriksaan pada kasus borderline.
 Case Fatality rate kurang dari 5% pada px yang stabil hemodinamikanya, dan pada px dengan
hipotensi persisten adalah sekitar 20%.
 PE dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama (tabel 2)
 Hampir semua px PE akan memiliki satu atau lebih manifestasi sbb:
1. Dispneu dengan onset mendadak
2. Takipneu (>20x/menit)
3. Nyeri dada (pleuritik atau substernal)
Catatan : jika manifestasi ini juga diserta tanda pada EKG yaitu right ventricular strain dan
atau gambaran radiologist menunjukkan tanda plump hilum, infark pulmonal atau oligaemi,
kemungkinan terjadinya PE adalah tinggi. Kemudian keadaan ini akan menjadi factor resiko
untuk venous thromboembolism dan arterial hipoksemia tanpa hipokapnia. Sebaliknya tidak
munculnya 3 manifestasi tersebut akan menyingkirkan dx PE.

Tabel 3 Estimasi pretest kemungkinan klinis untuk menderita PE


Tinggi ( kemungkinan > 85%) Onset mendadak dispneu, takipneu, atau nyeri dada dan paling
tidak memenuhi 2 keadaan ini :
Adanya factor resiko yang signifikan (immobilitas, fraktur kaki,
pembedahan mayor)
Pingsan dengan tanda baru right ventricular overload pada EKG
Tanda kemungkinan DVT pada kaki (nyeri unilateral, nyeri
tekan, eritema, warmth, atau pembengkakan
Tanda radiografik infark, plump hilum, atau oligaemia

Tidak memenuhi criteria kemungkinan kecenderungan yang


Intermediate (kemungkinan 15- tinggi ataupun rendah
85%)
Tidak adanya onset mendadak dispneu dan takipneu serta nyeri
Rendah (kemungkinan < 15%) dada
Dispneu, takipneu, atau nyeri dada ada, namun dapat dijelaskan
oleh adanya kondisi lain
Tidak adanya factor resiko
Radiografi yang abnormal dapat dijelaskan oleh kondisi yang
lain
Antikoagulasi yang adekuat (INR > 2 atau aPPT > 1,5 kali
control) selama minggu sebelumnya.

Catatan : Px dengan kemungkinan PE yang rendah, jika di tes dengan D-Dimer ELISA Assay yang
negative, maka dapat menyingkirkan dx PE dengan meyakinkan. Dengan kontras, jika D-dimer positif
pada px dengan probabilitas pretest yang rendah, maka px harus direevaluasi. D-dimer yang negative
tidak dapat digunakan secara meyakinkan untuk menyingkirkan PE pada px dengan resiko tinggi atau
intermediate.

Manajemen PE massif dengan tanda instabilitas hemodinamik


 Monitoring tanda vital pada area critical care
224

 Berikan oksigen via non-rebreather mask atau intubasi jika tidak mampu untuk
mempertahankan oksigenasi.
Catatan : intubasi dapat menurunkan keadaan hemodinamik dengan menyebabkan
impending venous return.
 Pasang 2 jalur IV ukuran besar dan kirim darah untuk pemeriksaan. Mulai resusitasi cairan.
Catatan : terapi trombolitik dipertimbangkan, dan jalur antecubital lebih disukai.
 Jika BP masih rendah walaupun telah dilakukan resusitasi, maka mulai pemberian inotropik.
Catatan : inotropik mungkin tidak akan berefek selain mencetuskan disritmia ketika
cardiac output menurun, dilatasi ventrikel kanan akan menjadi hipoksik dan akan
mendekati stimulasi hampir maksimal dari konsentrasi tinggi katekolamin endogen.
Penggunaan yang bijaksana dari IV Noradrenalin dititrasi terhadap peningkatan
moderat BP mungkin akan bermanfaat.
 Berikan analgesik
Catatan : Opiates harus digunakan dengan hati-hati pada px hipotensi.
 Kontak TKV untuk MRS pada CT ICU

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


 Ingat bahwa PE termasuk dalam 6 penyebab nyeri dada yang mengancam nyawa.
 Manifestasi klinik PE tidak spesifik, namun PE cenderung tidak terjadi tanpa adanya
keluhan : dispneu, takipneu dan nyeri dada.
 Ketika EKG pada px nyeri dada dilakukan, dan didapatkan inverse gelombang T pada
lead III, cari adanya S1Q3T3 dan gambaran EKG lain yang terkait dengan PE.

Investigasi General Emergency


 Hasil pemeriksaan EKG pada PE:
1. bisaanya non-spesifik
2. Non-spesifik ST depresi dan inverse gelombang T merupakan penemuan yang paling ser-
ing ditemukan.
3. pada PE minor, tidak didapatkan stress hemodinamik, yang ada hanyalah sinus takikardi.
4. pada PE massif akut atau subakut, bukti adanya right heart strain dapat terlihat a.l :
a. rightward shift aksis QRS
b. Transient RBBB
c. Inverse gelombang T pada lead V1-3
d. P pulmonal
e. Classical S1Q3T3 (hanya terjadi 12%)
5. EKG normal (6%)
6. nilai utama EKG adalah meneksklusikan diagnosa potensial yang lain, seperti infark mi-
okard atau perikarditis. Lihat gambar 1 untuk EKG pada PE
 BGA : khas : penurunan PaCO2 dan PaCO2 yang normal atau menurun karena hiperventilasi.
PaO2 sering tidak pernah normal pada PE , kecuali pada minor PE, terutama karena hiperven-
tilasi. Pada kasus tersebut pelebaran gradient alveolo-arterial PO2 (AaPO2 > 20 mmHg) dapat
lebih sensitive daripada PaO2 sendiri (lihat bab Acid-base Emergencies and useful formulae)
hipoksemia dan pelebaran AaPO2 dapat jelas terjadi karena banyak penyebab. BG, dapat me-
ningkatkan kecurigaan PE namun tidak sufficient untuk mengeksklusi diagnosa PE.Catat FiO2
pada saat blood sampling.
 FBC
 Urea/elektrolit/kreatinin
 DIVC Screen : D-dimer assay memiliki sensitivitas 85-94% untuk mendiagnosa PE. Spesifisi-
tasnya sekitar 67-68%. D-dimer ELISA yang normal berguna untuk menyingkirkan dx PE
pada px dengan probabilitas pretest PE yang rendah atau memiliki non-diagnostik lung scan.
225

 GXM 4-6U packed cells


 CXR : pada PE :
1. secara umum, CXR tidak spesifik untuk diagnostic PE, namun membandingkan dengan
foto terdahulu akan memberikan manfaat.
2. hasil dapat menunjukkan :
a. Normal (~ 40%)
Catatan : film yang normal dapat terjadi pada semua tipe PE akut. Namun hasil
yang normal pada px severe acute dyspnoea tanpa wheezing sangat mencuri-
gakan adanya PE.
b. Bukti adanya infark pulmonal : opasitas perifer, kadang berbentuk baji dengan
apeks menunjuk pada hilum atau semisirkular dengan basis pada permukaan
pleural. (Hampton’s hump)
c. Oligaemia pulmonal fokal pada sebagian paru yang terkena emboli (Westermark
sign) , namun sulit untuk terlihat pada foto yang didapat pada keadaan akut.
d. Atelektasis
e. Efusi pleural kecil
f. Diafragma yang meningkat
Catatan : gambaran d, e dan f memiliki spesifisitas yang rendah untuk PE
g. infiltrate yang terlokalisir
h. konsolidasi
i. ‘plump’ pulmonary arteries pada PE massif
3. CXR bernilai untuk mengeksklusi kondisi yang menyerupai PE (pneumothorax,
pneumonia, gagal jantung kiri, tumor, fraktur kosta, efusi pleura massif, kollaps lobar),
namun PE dapat terjadi bersamaan dengan proses kardiopulmonal lainnya.
Pemeriksaan Definitif
 Lung scintigraphy
1. perfusi yang normal sangant penting untuk menyingkirkan dx yang relevan dengan recent
PE karena occlusive PE pada semua tipe akan menyebabkan defek perfusi.
2. namun banyak kondisi selain PE seperti tumor, konsolidasi, gagal jantung kiri, lesi
bullous, fibrosis paru, dan obstructive airway disease, yang dapat menyebabkan defek
perfusi.
3. PE bisaanya menyebabkan defek perfusi namun tidak dengan ventilasi (‘mis-
match’)dimana kondisi lain menyebabkan defek perfusi pada area yang sama dengan
defek perfusi (‘matched defects’).
4. probabilitas defek perfusi sebagai penyebab PE dapat di nyatakan sebagai tinggi, interme-
diate, atau rendah tergantung pada tipe scans abnormalitas (tabel 4).

Tabel 4 : probabilitas (%) underlying PE menurut Kriteria penelitian PIOPED


Probabilitas Scan
Kemungkinan
Normal/ sangat Non-diagnostik
Klinis Tinggi
rendah Rendah Intermediate
Rendah 2 4 16 56
Intermediate 6 16 28 88
Tinggi 0 40 66 96

 Computed Tomography (CT, spiral atau electron beam)


1. merupakan modalitas non invasive untuk menggantikan standar lung scintigrafi
2. Keuntungan :
a. lebih cepat
b. kurang rumit
c. kurang tergantung pada kemahiran operator dibanding dengan pulmonary angiografi
226

d. memiliki insufficient examination sama dengan pulmonary angiografi (5%), dibanding


dengan scintigram non-diagnostic (70%).
e. Kesamaan interpretasi antar ahli yang lebih tinggi dibandingkan dengan scintigrafi.
f. Gambaran parenkim paru dan pembuluh darah besar sangat mungkin didapatkan (cth
massa pulmonal, pneumonia, emfisema, efusi pleura, adenopathy mediastinal,) dan dx
dapat dibut jika PE tidak didapatkan. CT membantu mendiagnosa alternative adanya
dispneu, juga dapat mendiagnosa dilatasi ventrikel kanan, yang mnunjukkan PE yang be-
rat dan fatal.
3. CT memiliki spesifisitas dan sensitivitas 90% dalam mendiagnosa PE (lebih besar dibanding-
kan dengan lung scintigrafi) pada arteri pulmonal utama, lobar dan segmental, emboli sub-
segmental juga dapat terlihat. Sensitivitas CT akan turun bila digunakan untuk mendeteksi
non-diagnostic lung scan.
4. Saat ini, karena ada sumber yang bermakna yang menyatakan CT memberikan hasil yang false
negative dan false positif, maka CT belum dapat digunakan sebagai Gold Standart yang baru
untuk menggantikan angiografi.
Pulmonary angiografi
1. Masih merupakan Gold standart
2. indikasi : (1) jika kardiovaskular kollaps dan terdapat hipotensi , dan (2) ketika pemeriksaan
lain tidak dapat membuat kesimpulan
3. Kerugian : (1) avaibilitas yang terbatas, dan (2) mortalitas kecil (< 0,3%) namun merupakan
resiko definitive.
4. kontraindikasi relative : (1). Kehamilan, (2) resiko perdarahan signifikan, (3) insufisiensi re-
nal, dan (4) thrombus right heart yang diketahui
Echocardiografi : dapat digunakan secara cepat pada px yang critically ill, dengan kecurigaan PE mas-
sif, juga dengan kollaps kardiovaskular, untuk menyingkirkan dx banding, atau dengan menegakkan dx
dengan menemukan clots pada arteri pulmonal sentral pada right heart. Jika ada bukti right heart strain
tanpa clots pada echo, spiral CT atau pulmonary angiografi harus dilakukan.
Suspek PE
 Mulai IV heparin 5,000 U bolus atau SC fraxiparine 0,4ml untuk BB<50kg, 0,5ml untuk BB
50-65kg, 0,6ml untuk BB > 65kg.
 Lakukan investigasi
 Kontak general medicine atau bagian paru.
 MRS-kan px ke Bagian Paru
227

86. Pulmonal edema, Kardiogenik

Caveats
 Mekanisme patogen utama adalah sympathetic overdrive dengan distribusi sentral volume
darah yang dihasilkan oleh peningkatan left ventricular end-diastolic volume and pressure.
 Karena tidak ada overload volume, manajemen dengan penggunaan vasodilator harus menjadi
dasar terapi utama dibandingkan dengan diuretic.
 Target terapi edema pulmonal adalah resolusi sympathetic drive, yang ditandai dengan nor-
malnya nadi, restorasi ekstremitas yang kering dan hangat serta kenyamanan px.
 BP akan menjadi panduan untuk mengetahui keberhasilan terapi dibanding dengan target tera-
pi itu sendiri.
 CPAP mask adalah efektif, namun membutuhkan px yang sadar dan kooperatif, penggunaann-
ya pada edema pulmonal kemungkinan sangat terbatas.

Diagnosa edema pulmonal


 Dx dibuat secara klinis, a.l:
1. distress respirasi yang severe, dengan ketidakmampuan mempertahankan posisi
berbaring/supine.
2. ekstremitas yang dingin dan lembab
3. thready pulse
4. SpO2 (banyak pasien yang parah yang memiliki saturasi sekitar 80-90%), karena true
hipoksia vasokonstriksi perifer mempengaruhi sensorik.
 Manifestasi klinis yang menandakan impending respiratory failure adalah sebagai berikut :
1. AMS, cth kebingungan, gangguan sensorium
2. usaha nafas yang lemah dan tidak terkoordinasi
3. desaturasi yang progresif, ditunjukkan dengan pulse oksimetri
4. jika BGA cito menunjukkan:
a. PaO2 < 50 mmHg, PaCO2 > 50 mmHg
b. Normalisasi PaCO2
 Karena deteriorasi dapat terjadi dengan cepat, keputusan klinis untuk melakukan intervensi
yang agresif harus dibuat tanpa pemeriksaan BGA. Nilai ambang yang rendah untuk intubasi
dan ventilasi mekanik harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum


 Dudukkan px edema pulmonal pada posisi tegak dan berikan suplemen oksigen
 Pasang jalur IV dan berikan IV furosemide 40-80mg bolus
 Berikan SL GTN atau nitrogliserin spray jika tersedia
 Jika ada waktu, lakukan EKG 12 lead
 Rujuk px ke RS dengan ambulan
Manajemen
 Harus ditangani pada area critical care
 Monitoring penuh, pasang defibrilator
 Periksa ABC dan lihat kemungkinan untuk dilakukannya intubasi jika terjadi impending res-
piratory failure.
 Berikan oksigen 100% dengan non-rebreather reservoir mask
 Pasang akses IV
228

 Lakukan EKG 12 lead untuk menyingkirkan adanya inferior/right ventricular infarction (yang
merupakan kontraindikasi nitrat)
 Cek Darah: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, enzim kardiak, dan troponin T
 BGA diambil sebagai dasar penilaian
 CXR portabel
 Kateterisasi untuk mengukur urin output.
Terapi farmakologis
 Pilihan Obat
1. Nitrogliserin : 10-200µg/menit. Mulai dengan 10 µg/menit, perlahan meningkat sampai 5
µg setiap 5 menit.
Titrasi untuk respon dan efek BP. Tidak ada monitoring invasive yang diperlukan.
Turunnya BP dapat terjadi cepat dengan menggunakan dosis tinggi. Lakukan monitoring
berlanjut terhadap BP. Infus harus diturunkan ketika MAP mencapai 90mmHg.
2. nitropruside : 0,25-10 µg/kg/menit. Mulai pada dosis rendah dan titrasio sampai berespon.
Merupakan vasodilator yang sangat kuat. Monitoring invasive biasanya diperlukan.
Perawatan harus dilakukan untuk mencegah penurunan BP.
3. Hydralazine : IV 10mg setiap 30 menit
Vasodilatasi kuat, efek dapat bertahan sementara waktu. Harus dilakukan untuk
monitoring px, terutama bila dikombinasi dengan obat lain.
 Obat lainnya
1. furosemide : 40-80 mg IV bolus
Efektif namun bervariasi pada onset efek yaitu antara 20 menit sampai 2 jam. Efek tidak
dapat dititrasi. Efeknya tidak fisiologis. Dosis tinggi diperlukan pada px gagal ginjal.
2. Morfin : 0,1 mg/kg. Diberikan sebagai bolus tambahan 1 mg. beberapa regimen dimulai
dengan IV morfin 3-5mg. merupakan venodilator yang lemah dibanding dengan obat lain,
tidak mudah dititrasi, juga menurunkan respiratory drive. Hindari bolus dalam jumlah be-
sar karena dapat menyebabkan apneu.
 Obat Oral : dapat diberikan bila akses IV terlambat atau tidak mungkijn dilakukan. Dapat dit-
ambahkan sebagai kombinasi untuk edema pulmonal akut.
1. Gliseril trinitrat : 0,5 -1,5 mg dapat diberikan SL. Dalam bentuk tablet atau aerosol spray.
Efek serupa dengan bentuk IV .
2. Captopril : SL captopril 6,25 mg atau 12,5mg. Dosis tergantung pada BP dan bila
digunakan secara tunggal atau dengan kombinasi dengan obat lain. Efek tidak mudah
dititrasi.
 Regimen Kombinasi
1. IV GTN ditambah dengan Furosemide : Furosemid diberikan dalam stat dose, sedangkan
IV GTN diberikan sebagai infus yang dititrasi. Dosis infus IV GTN harus lebih rendah.
2. IV GTN ditambah dengan Captopril : SL captopril diberikan sebagai stat dose, IV GTN
diberikan seperti diatas.
3. Furosemide ditambah dengan morfin : kombinasi tradisional.

Hipertensi pada Edema Pulmonal


 Sering sulit dijelaskan apakah hipertensi menjadi penyebab edema pulmonal karena hampir
semua pasien memiliki respon simpatetik yang akan menyebabkan peningkatan BP.
 Manifestasi yang menunjukkan bahwa hipertensi merupakan penyebab primer a.l:
1. Riwayat hipertensi berat yang tidak terkontrol.
2. Florid fundal changes, retinopati grade III atau IV
 Jika bukti menunjukkan adanya krisis hipertensi sebagai penyebab edema pulmonal,
manajemen kasus tersebut harus melibatkan penggunaaan vasodilator dengan tujuan untuk
menurunkan BP secara cepat namun aman.

Hipotensi pada Edema Pulmonal


229

 Hipotensi mengindikasikan adanya gagal jantung yang severe dengan cardiac output yang
rendah (Killip Class IV). Manajemen edema pulmonal dengan hipotensi memberikan tan-
tangan yang besar bagi seorang dokter emergency.
 IV dobutamin (5-20 µg/kg/menit) atau IV Dopamin (5-20 µg/kg/menit) dapat ditambahkan
pada regimen terapi edema pulmonal untuk membantu mempertahankan BP setidaknya
90mmHg SBP. Pada situasi seperti itu, agent yang diberikan pada edema pulmonal harus da-
lam bentuk IV, dengan kerja yang cepat serta dapat dititrasi dengan efektif.
 Pasien dapat diintubasi lebih awal karena sebagian besar obat yang digunakan pada edema
pulmonal dapat menyebabkan penurunan BP. Hindari obat yang meiliki efek negative in-
otropik seperti thiopentone.
 IV etomidate merupakan pilihan baik karena stabil terhadap kardiovaskular.

CPAP pada Edema pulmonal


CPAP (Continous Positive Airway Pressure) ventilasi dapat bermanfaat pada px yang tidak berespon
terhadap suplementasi oksigen. CPAP akan membantu mencegah kollaps alveoli dan memperbaiki
pertukaran gas. Tekanan dimulai 5-10 cmH2O dan harus disesuaikan untuk mencegah penurunan
cardiac output dan BP. Pasien harus selalu sadar, kooperatif, dan memiliki usaha nafas yang baik untuk
menjalani terapi ini.

Penempatan
 MRS-kan px dibawah ini pada CCU:
1. pasien yang diintubasi
2. concomitant ACS
 MRS-kan px yang membutuhkan CPAP pada high Dependency unit
 MRS-kan px sisanya pada bangsal umum kardiologi.
230

87. Renal Emergencies

Hiperkalemia
Caveats :
 Severitas hiperkalemia terkait dengan kadar potassium plasma namun tergantung juga pada
variabilitas antar pasien. Perkembangan hiperkalemia dapat berefek secara signifikan pada
keadaan klinis pasien. Jangan menunggu selesainya pemeriksaan kadar potassium untuk
memberikan terapi bila pemeriksaan klinis serta EKG menunjukkan hiperkalemia.
 Manifestasi klinis dapat menyebabkan protean. Perubahan EKG jika terjadi akan sangat
berguna namun cukup sulit untuk dinterpretasi dan mungkin juga tidak muncul pada beberapa
pasien hiperkalemia berat. Asidosis metabolic dan hipokalsemi dapat memburuk pada severe
hiperkalemi.
 Pada setting klinik (cth gagal ginjal kronis, diabetic neuropathy) dengan perubahan EKG kon-
sisten dengan hiperkalemi berat (lihat gambar 1), akan lebih tepat untuk mempertimbangkan
terapi empiris jika hasil potassium serum tidak bisa didapatkan secara cepat.
 Kadar potassium serum lebih besar dari 5,5 mmol/l dipertimbangkan sebagai hiperkalemi.
Pseudohiperkalemia banyak terjadi karena hemolisis ekstravaskular. Penyebab lain meliputi
trombositosis berat dan lekositosis.
 Beratnya hiperkalemi adalah sebagai berikut:
Ringan : kadar potassium < 6,0 mmol/l dan EKG dapat normal atau hanya menunjukkan
peaked T wave.
Moderat : kadar potassium 6,0-7,0 mmol/l dan EKG dapat menunjukkan peaked T waves
Severe : kadar potassium 7,0-8,0 mmol/l dan EKG menunjukkan pendataran gelombang P
serta pelebaran QRS; 8,0-9,0 menunjukkan fusi QRS dengan gelombang T (sine wave) yang
menyebabkan disosiasi A-V, disritmia ventrikel, dan kematian.

4 langkah manajemen Hiperkalemi

Langkah 1 : Stabilisasi potensial membrane


 Berikan Kalsium Kloride atau glukonat 10% : 10-20ml IV selama 3-10 menit, sampai
maksimum 20ml. Onset : 1-2 menit. Ulangi dosis yang sama jika tidak ada perubahan. Durasi
: 30-60 menit.
Catatan : Kalsium IV digunakan jika ada bukti EKG yang menunjukkan hiperkalemia, kelemahan
neuromuscular yang signifikan atau potassium serum >7,0 mmol/l. hati-hati pada pasien yang me-
makai digoksin karena akan menyebabakan kercunan digitalis yang berat. Pastikan jalur IV berla-
ku dengan baik karena ekstravasasi kalsium pada jaringan subkutan dapat menyebabkan nekrosis
kulit.

Gambar 1 : manifestasi Hipokalemi dan hiperkalemi pada EKG


Langkah 2 : perpindahan potassium ECF ke ICF
231

 Berikan Dekstrose/insulin : 40-50 ml D50W IV selama 5-10 menit dan 10 unit insulin regular
sebagai bolus terpisah. Onset : 30 menit, durasi : 4-6 jam. Direkombinasikan setelah terapi so-
dium bikarbonat.
 Berikan sodium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV sebagai bolus selama 5 menit pada pasien dengan
asidosis metabolic moderat sampai severe; ulangi setelah 5 menit pada asidosis metabolic. On-
set : 5 menit, durasi 1-2 jam.
Catatan : lebih bermanfaat pada pasien asidosis yang hebat (dapat tidak berefek pada pasien non-
asidosis). Harus digunaikan dengan hati-hati pada pasien CRF karena dapat menyebabkan over-
load cairan dan memprovokasi hipokalsemi tetani atau kejang karena alkalosis akut
 Berikan salbutamol : tambahkan 5 mg 3-4 ml salin dan nebulisasikan selama 10 mneit. Onset :
30 menit, durasi 2 jam. Salbutamol dapat digunakan dengan hati-hati dengan iskemic heart
disease yang dicurigai atau telah ada.

Langkah 3 : Hilangkan potassium dari tubuh


 Resonium A: 15 g PO 4 -6 jam sekali. Onset 1-2 jam, durasi : 2 jam. Perhatian pada pasien
dengan konstipasi atau ileus yang signifikan.
 Hemodialisis (kontak renal medicine dulu): onset : dalam menit, durasi : 4jam.

Langkah 4 : hindari peningkatan potassium lebih lanjut


 Review semua medikasi : cth Span K, ACE inhibitor, beta blocker.
 Review Diet dan KIE.
Catatan: Langkah 3a dan 4 bisaanya mencukupi untuk hiperkalemi ringan dan moderat. Pengulan-
gan pemeriksaan kadar potassium serum dapat digunakan untuk memastikan tidak adanya pening-
katan potassium dan peningkatan kadar potassium serum.

CRF dengan overload cairan dan tidak dalam dialysis


 Tangani pada area critical care
 Tempatkan pasien pada posisi tegak
 Berikan oksigen aliran tinggi
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit, pulse oksimetri
 Sisakan salah satu pembuluh darah di lengan untuk akses arterio venous (jangan digunakan
untuk mengambil darah)
 Lakukan tes darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, dan BGA juga enzim kardiak jika ada
kecurigaan iskemik kardiak.
 Terapi obat:
1. morfin : 2,5-5 mg IV ( jika tidak terdapat edema pulmonal)
2. GTN 0,5 mg SL atau nitroderm 5-10 patch atau IV 10-200µg/menit.
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mg IV
 Pertimbangkan dialysis jika tidaka ada overload cairan yang hebat, hiperkalemi, asidosis met-
abolic atau pasien yang tidak respon terhadap pada terapi diatas.

CRF dengan overload cairan tanpa adanya akses intravena yang tercapai
 Lakukan 4 langkah diatas
 Terapi obat
1. Morfin 5-10mgIM
2. GTN 0,5mg SL atau nitroderm 5-10mg patch
3. Felodipine 2,5mg PO jika BP tinggi
4. Furosemide 120-240 mgPO

Asidosis Metabolik Yang Berat


Caveats
232

 Pasien sering muncul dengan gejala yang nonspesifik dengan efek klinik yang tertutupi oleh
tanda dan gejala dari penyakit lainnya.
 Asidosis metabolic harus dicurigai pada pasien dengan hiperventilasi, AMS dan instabilitas
hemodinamik.
Manajemen
 Terapi suportif
1. Tangani pada area critical care
2. pastikan patensi jalan nafas
3. Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5-10 menit
4. Pasang jalur IV dengan NS
5. Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, GDA, BGA, osmolalitas serum, urinalisis, EKG
6. X ray : tidak ada manfaat yang spesifik pada keadaan asam basa. Namun KUB dapat
digunakan untuk mengidentifikasi substansi yang telah ditelan, cth : tabelt besi, atau ma-
salah GI yang menyebabkan ketidakseimbangan asam basa, seperti obstruksi bowel atau
iskemik bowel.

Prioritas Keputusan
 Ketika hasil lab telah ada, dan akurat, 3 langkah untuk melanjutkan evaluasi keadaan asido-
sis. Lihat bab Acid Base Emergencies dan rumus yang disarankan untuk lebih detilnya.
1. tentukan abnormalitas asam basa primer dan sekunder
2. Perhitungkan osmolal gap untuk mendeteksi adanya low molecular weight osmotically ac-
tive substance (lihat rumus yang disarankan).
3. review kadar potassium yang berhubungan dengan pH abnormal (lihat bab Useful Formu-
lae).

Terapi Spesifik
 Terapi bikarbonat adalah untuk mengembalikan keadaan asidosis organic yang hebat serta
yang dapat kembali dengan mudah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pH arterial diatas
7,2. Tidak perlu untuk mengkoreksi pH jika pH 7,2 atau lebih kecuali ada maalah yang
mengancam nyawa yang perlu ditangani. Tidak ada rumus yang sempurna namun rumus
dibawah ini dapat digunakan : Dosis NaHCO3 [mEq] = ([HCO3-] yang diinginkan – [HCO3]
yang terukur) x 50% berat badan dalam kg. setengah dosis diberikan pada awal, sedang si-
sanya disesuaikan dengan hasil lab. Jangan bertujuan untuk mengkoreksi bikarbonat sampai
pada kadar yang normal.
Dosis : terapi bolus direkomendasikan hanya pada asidosis berat atau jika ada hemo-
dinamik compromise. Pasien dengan asidosis yang kurang mengancam nyawa dapat diterapi
dengan infus IV bicarbonate. Tambahkan 100-150mEq NaHCO3- (2-3 ampul NaHCO3-
8,4%) pada 1 liter D5W serta berikan selama 1-2 jam dengan mengulangi BGA sebagai pe-
doman terapi.
Komplikasi potensial dari terapi adalah hipernatremi, hiperosmolalitas, overload volume,
hipokalemi, dan alkalosis posttreatment.

Indikasi Dialisis
 Edema pulmonal severe
 Hipertensi berat tidak terkontrol dari overload cairan yang severe tidak berespon terhadap diu-
retic.
 Hiperkalemi
 Asidosis metabolic yang berat
 Beberapa keracunan, cth : methanol, ethylene glikol, salisilat (severe)
 Uremia, termasuk perikarditis dan ensefalopati

Masalah yang Terkait dengan Dialisis


233

Hemodialisis
A. komplikasi terkait akses vascular
 Perdarahan
1. tekan pembuluh darah namun jangan menyumbatnya dengan tekanan yang ber-
lebihan
2. catat adanya thrill
3. lanjutkan dengan konsultasi pada Dialysis Access Team serta Renal medicine.
 Loss of thrill in shunt : konsultasi cepat pada Dialysis Access Team serta Renal medi-
cine.
 Infeksi
1. sementara tanda klasik sering muncul, namun pasien juga dapat muncul dengan
keluhan demam saja.
2. lakukan FBC dan kultur darah, berikan dosis awal antibiotik, cth: IV ceftazidi-
me 1-2g.
3. MRS pada Renal medicine;
B. Komplikasi terkait dengan non-vaskular
 Hipotensi
1. hipotensi post hemodialisis dapat terjadi karena penurunan volume intravaskuler
di sirkulasi. Cek seberapa banyak cairan hilang pada saat melakukan hemodiali-
sa.
2. masalah yang serupa juga terjadi pada peritoneal dialysis, yaitu hilangnya cairan
selama peritoneal dialisa.
3. sebagian besar kasus membutuhkan observasi setelah dialisa, namun juga mem-
butuhkan cairan IV.
4. Pertimbangkan dan eksklusikan :
a. Occult Haemorrhage : lakukan PR untuk mendeteksi perdarahan GIT.
b. AMI akut/ disritmia atau tamponade jantung
c. Hiperkalemi yang mengancam nyawa; berikan terapi empiris.
d. Infeksi.
e. Emboli udara atau pulmonal dan hemolisis akut saat hemodialisis
 Dispneu
1. sebagian besar karena overload volume: pertimbangkan gagal jantung men-
dadak, tamponade jantung, efusi pleural, asidosis berat, anemia berat (yang be-
rasal dari kehilangan darah akut dan kronis) serta sepsis.
2. Eksklusi MI akut ; juga emboli udara dan emboli pulmonal atau dan hemolisis
pada hemodialisis.
 Nyeri dada
1. sebagian besar iskemik yang berasal dari underlying IHD dan di eksaserbasi
dengan hipotensi transient dan hipoksemia terkait dengan proses dialysis. Juga
pertimbangkan emboli pulmonal, hemolisis akut dan emboli udara pada hemo-
dialisis.
2. manajemen : EKG, monitoring, enzim kardiak.
3. Konsultasi dengan renal medicine dan atau bagian kardiologi.
4. pertimbangkan penyebab nyeri dada non iskemik seperti pericarditis, penyakit
paru/pleural, refluks esofagitis, gastritis atau ulkus peptikum.
 Disfungsi Neurologi
1. Eksklusi abnormalitas elektrolit, infeksi, katastropik intracranial mayor.
2. Manajemen :
a. Cek GDA, urea/elektrolit/kreatinin, BGA
b. Monitoring: EKG, tanda vital tiap 5-15 menit, pulse oksimetri
c. Cari abnormalitas neurologik fokal baru dan lakukan CT scan
234

3. Kejang : terapi seperti bisaanya. Konsul renal medicine dan atau bagian neurolo-
gy.

Peritoneal Dialisis
Komplikasi terkait dengan Dialisis
 Peritonitis
1. Cloudy Effluent, nyeri abdomen non-spesifik, malaise, demam, dan kasus kedinginan
yang ringan sampai moderate.
2. Vomiting, nyeri hebat, syok, dan tanda klasik peritonitis pada beberapa kasus yang se-
vere.
3. manajemen
a. cek FBC, urea/elektrolit/kreatinin dan kultur darah
b. berikan antibiotik cth IV Ceftazidime 1-2 g
4. Informasikan pada Renal Medicine
 Kebocoran kateter
 Hipotensi
 Akut abdomen
1. karena kondisi intraabdomen yang serius yang mirip dengan peritonitis
2. konsultasi pada Renal medicine dan bedah umum.
Catatan : pasien CAPD memiliki resiko hernia abdominal/inguinal karena peningkatan teka-
nan intrabdomen, serta obstruksi intestinal sekunder akibat adhesi.
 Infeksi tunnel/kateter ext site
1. sering sulit untuk dideteksi secara klinis
2. Konsultasikan pada Renal Medicine.
235

88. Respiratory failure ( Gagal Nafas, Akut )

Definisi
 Tipe I : PaO2 ≤ 60 mmHg (8 kPa)
 Tipe II : PaCO2 ≥ 55 mmHg (7 kPa) dengan atau tanpa oksigenasi yang rendah.

Caveats
 Pasien dengan gagal nafas tipe II saja dapat terlihat ‘nyaman namun memperdayakan’, dimana
px tidak menunjukkan takipneu. Pasien hiperkarbi terlihat mengantuk, sedangkan pasien
hipoksia sering terlihat agitasi, dan kadang berlaku kasar. Mereka membutuhkan pemeriksaan
BGA ulang untuk monitoring PaCO2 atau end tidal CO2.
 SaO2 91% berespon terhadap PaO2 60 mmHg secara umum, namun keadaan ini dipengaruhi
pH, temperature dan level 2,3 DPG.
 Jangan memberi terapi kadar PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan chronic compensated
gagal nafas tipe II, cth jika pH normal (pH > 7,35).
 Selalu berikan oksigen sebanyak mungkin yang diperlukan untuk mengkoreksi hipoksia (SaO 2
> 90% namun tidak > 95%)
 Gunakan pulse oksimetri untuk mentitrasi oksigenasi (SaO2) dan BGA untuk mengevaluasi
ventilasi (CO2 dan pH).
 Jika CO2 mulai meningkat karena hilangnya hipoksik drive, pasien butuh support ventilasi
dalam bentuk biphasic positive airway pressure (BIPAP), atau Intermittent positif Pressure
Ventilation (IPPV).
 Penyebab umum meliputi :
1. Edema pulmonal
2. Pneumonia
3. Emboli paru
4. asma berat/COLD
5. trauma dada
6. Tenggelam
7. Aspirasi
8. acute respiratory distress syndrome
9. Metastase pulmonal
Catatan : untuk pasien hiperventilasi dengan penemuan normal pada dada. Lihat Hiperventilasi.
 Pertimbangkan serius dx Emboli paru pada pasien hipoksik dengan CXR normal. Lihat bab
Pulmonary Embolism.
 Pasien yang mengalami aspirasi, mungkin mengalami perunbahan CXr yang terlambat.
 Terapi oksigen; lihat tabel 1.
Tips khusus Bagi Dokter Umum:
 Berikan oksigen pada semua pasien yang mengalami dispneu sampai ambulan datang wa-
laupun px tidak terlihat sianosis.

Tabel 1 Peralatan yang digunakan untuk memberikan terapi oksigen


Peralatan Features Keuntungan Kerugian Indikasi
236

Nasal prongs 1. aliran rendah 1. mudah 1. FiO2 tidak pasti 1. pasien kurang
(1-6 l/menit) digunakan 2. FiO2 maksimum < hipoksik
2. FiO2 0,24-0,40 2. tidak 40% 2. pasien dengan
(rata-rata 3- mengganggu riwayat retain-
4%/l) aktivitas bicara ing Cos
3. FiO2 bervaria- dan makan
si 3. compliance
lebih baik
1. menghasilkan
Simple mask 1. aliran lambat FiO2 yang 1. kurang nyaman, 1. pasien hi-
(5-10l/menit) lebih tinggi da- panas dan mem- poksia sedang
2. FiO2 0,35-0,50 ripada nasal batasi yang tidak
(sekitar 3-4%) prongs 2. mengganggu saat memiliki
bicara dan makan COLD
3. dapat menyebab-
kan rebreathing
CO2 jika aliran di
set terlalu rendah
4. FiO2 bervariasi

1. aliran tinggi 1. FiO2 yang lebih 1. butuh 2 setting 1. terapi oksigen


Venturi mask sampai 60 tepat dan resiko tinggi terkontrol, cth
l/menit 2. maksimum dalam ap- gagal nafas
2. FiO2 0,24-0,50 FiO2 50% likasinya* tipe II dari
2. compliance yang COLD
buruk
3. kemungkinan
rebreathing CO2
jika alran tidak
adekuat
4. Kesulitan untuk
bicara dan
makan
1. aliran rendah
(6-15 l/menit ) 1. FiO2 maksi- 1. compliance 1. FiO2 tinggi
Non- 2. FiO2 0,50-0,80 mum 80% yang rendah perlu untuk
rebreathing 2. obstruksi akses mengkoreksi
mask ke mulut hipoksia.
3. Claustrophobic

* Koreksi aplikasi untuk Venturi masks


1. putuskan FiO2 yang diinginkan (24-30% : gunakan green diluter on mask ; 35-50%; gunakan white
diluter)
2. pasang oksigen pada aliran yang tepat sesuai FiO2 yang diinginkan
3. Atur ukuran venture mask sesuai FiO2 yang diinginkan.

Manajemen
 tangani pada area resusitasi
 berikan oksigen aliran tinggi via face mask dan monitoring jantung secara kontinous, RR dan
saturasi oksigen. Kurangi FiO2 sesuai pulse oksimetri dan atau monitoring blood gas yang
berkala setelah perbaikan pada px COLD. Target saturasi O 2 pada px COLD adalah 90-92%
namun tidak > 92%. Awasi px mungkin saja terdapat perburukan retensi CO2 dan narcosis.
 Tanda klinis perburukan retensi CO2 dan asidosis respiratori tidak dapat dipastikan.
Pemeriksaan BGA diperlukan.
 Semua px dengan COLD membutuhkan pemeriksaan BGA setelah titrasi oksigen dan terapi
awal diberikan dengan pengulangan nebulisasi bronkodilator.
237

 Lakukan anamnesa secara cedpat untuk menentukan target pemeriksaan dalam mencari
penyebab dasar gagal nafas.
 Terapi penyebab yang mendasari.
 Jika px tidak membaik dengan pemberian oksigen dan terapi penyebab dasar, pertimbangkan
support ventilasi mekanis.
 Pada hipoksia berat atau gagal nafas tipe I akut, pertimbangkan CPAP (non invasive) atau
PEEP (intubasi px)
 Pada hiperkapnia berat atau gagal nafas tipe II akut, pertimbangkan IPPV atau non invasive
lain atau post intubasi.
 Pertimbangkan BIPAP bagi pasien COLD dengan retensi CO 2 dan pH antara 7,26 dan 7,32.
pasien dengan pH < 7,26 bisaanya membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik.
 Jangan memberikan sodium bikarbonat pada px dengan pH yang rendah karena adanya retensi
CO2. hal ini akan mengeksaserbasi asidosis respiratori.
238

89. Sepsis / Syok septik

Definisi
 Infeksi : fenomena microbial yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap adanya
mikroorganisme atau invasi jaringan tubuh yang steril oleh organisme tersebut.
 Bakteremia : adanya bakteri yang viable pada darah.
 Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) : merupakan respon inflamasi sistemik
terhadap berbagai hasil klinis yang parah. Respon tersebut bermanifestasi dalam ≥ 2 kondisi
dibawah ini :
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang immature
(band)
 Sepsis : merupakan respon sistemik terhadap infeksi, ditandai oleh ≥ 2 kondisi sebagai beri-
kut:
1. Temperatur > 38oC atau < 36 oC
2. Heart rate > 90 x/menit
3. RR > 20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
4. Lekosit > 12.000/mm3, < 4.000/mm3, atau terdapat > 10% bentukan yang immature
(band)
 Severe Sepsis : sepsis yang terkait dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi.
Hipoperfusi dan abnormalitas perfusi dapat terkait namun tidak terbatas terhadap asidosis lak-
tak, oliguri, atau perubahan status mental yang akut.
 Syok Septik : sepsis yang diinduksi hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang
adekuat selama adanya abnormalitas perfusi yang dapat terlibat namun tidak terbatas pada asi-
dosis laktat, oliguri, atau perubahan status mental yang akut. Pasien yang menerima obat in-
otropik atau vasopressor mungkin tidak akan mengalami hipotensi pada saat terjadi abnormali-
tas perfusi.
 Sepsis yang diinduksi hipotensi: sebuah SBP < 90 mmHg atau penurunan ≥ 40 mmHg dari
baseline dimana tidak ada penyebab hipotensi yang lain.
 Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS) : adanya perubahan fungsi organ pada pasien
yang sakit akut, sehingga homeostatis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.

Caveats
 Pada pasien lansia, anak kecil, atau immunocompromise, manifestasi klinis dapat tidak khas
tanpa adanya demam atau lokalisasi yang jelas dari sumber infeksi. (lihat bab Geriatric
Emergencies).
 Gejala sepsis meliputi demam, kedinginan dan gejala konstitusional seperti fatigue, malaise,
kecemasan atau kebingungan. Gejala ini tidak pathognomonik untuk infeksi dan mungkin
dapat terlihat dalam variasi yang luas dari kondisi inflamasi non-infeksi.
239

 Abnormalitas tanda vital seperti takipneu, takikardi dan peningkatan pulse pressure dapat
menunjukkan sepsis walaupun tidak didapatkan demam.
Catatan : pada tahap awal sepsis, cardiac output dipertahankan dengan baik atau meningkat,
berakibat pada kulit dan ekstremitas yang hangat. Seiring perjalanan sepsis, pasien mulai
menunjukkan tanda perfusi distal yang buruk, cth : kulit dan ekstremitas yang dingin. Sehingga,
late syok septic tanpa adanya demam sulit dibedakan dengan tipe syok yang lain dan tingkat
kecurigaan yang tinggi sangat diperlukan.
 Lokasi infeksi yang paling sering ditemukan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 : Faktor Predisposisi Bakteremia Gram Negatif dan Gram positif


Bakteremia Gram Negatif Bakteremi Gram positif
Diabetes mellitus Kateter vascular
Penyakit Lymphoproliferatif Indwelling mechanical devices
Sirosis hepatic Luka bakar
Burns Injeksi obat intravenous
Kemoterapi

Tips khusus bagi Dokter Umum :


 Jika terdapat keterlambatan dalam merujuk ke rumah, segera mulai resusitasi cairan IV
 Pada pasien dengan tanda meningococcaemia, mulai IV kristaline penicillin 4 mega unit
segera karena pasien dapat mengalami deteriorasi selama beberapa jam.

Manajemen
 Harus ditangani pada area resusitasi
 Monitoring : EKG, tanda vital tiap 5 menit, pulse oksimetri
 Pertahankan jalan nafas, berikan oksigen aliran tinggi. Intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan jika jalan nafas terncam atau jika ventilasi dan oksigenasi tidak adekuat.
 Pasang 2 jalur IV dan koreksi hipotensi secara agresif dengan resusitasi cairan ( 1-2 liter
kristaloid). Pertimbangkan central venous line.
 Lab :
1. GDA
2. FBC
3. kultur darah (2 tempat yang berbeda)
4. DIVC screen
5. Urea/elektrolit/kreatinin
6. BGA
7. Kultur Urin
 CXR untuk mencari tanda konsolidasi dan ARDS
 Pertimbangkan EKG
 Pasang kateter urin untuk monitoring urin output.
 Semua px harus menerima terapi antibiotik empiris segera mungkin. Jalur pemberian harus IV.
Catatan : tabel 2 merupakan suatu panduan. Spectrum sensitivitas bakteri terhadap antibiotik berva-
riasi pada masing-masing RS.
Tabel 2 : Panduan Pilihan Antibiotik
Suspek Infeksi Antibiotik yang Disarankan
240

Immunokompeten tanpa sumber yang pasti Cephalosporin Generasi ketiga (cth : IV Ceftriaxone
1g) atau quinolon (cth ciprofloxacin 200mg)

Antipseudomonal beta laktamase susceptible peni-


Immunocompromised tanpa sumber yang pasti cillin (cth IV Ceftazidime 1g) atau quinolon dit-
ambah aminoglikosid (cth : gentamisin 80mg)

IV Cefazolin 2g. Pertimbangkan IV Vancomycin 1g


Gram Positif jika terdapat riwayat penyalahgunaan obat IV atau
indwelling kateter atau alergi penisilin.

IV metronidazole 500mg tambahkan Ceftrixone 1 g


dan IV gentamycin 80mg untuk bakteri Gram
Anaerobic (Intraabdominal, bilier, traktus genitalia Negatif.
wanita, pneumonia aspirasi)

 Inotropic vasoactive agents support dapat digunakan jika tidak ada respon terhadap Fluid
challenge. Noradrenalin merupakan pilihan pada syok septic, dimulai pada 1µg/kg/menit. Se-
bagai alternative, dopamine dapat digunakan (dosis 5-20 µg/kg/menit). Resusitasi cairan di-
indikasikan oleh stabilisasi mentation, BP, respirasi, nadi, perfusi kulit serta baiknya output
urin.
 Penggunaan kortikosteroid pada syok septic masih controversial.namun ia memiliki peran
utama jika terdapat insufisiensi adrenal.
 Konsul ke tim di ICU untuk melakukan pemindahan pasien.
241

90. Cedera Medulla Spinalis

Peng Li Lee • Shirley Ooi

Mekanisme Trauma

 Trauma tembus
 Trauma tumpul dengan gangguan pada kolumna vertebra menyebabkan robekan
atau kompresi dari elemen – elemen saraf.
 Kerusakan vaskular primer pada medulla spinalis, contoh kompresi oleh hematom
ekstradural.

PENTING
 Trauma medulla spinalis seharusnya dicurigai dan imobilisasi cervical tetap
dilakukan dari waktu trauma pada keadaan :
1. Pasien trauma yang tidak sadar
2. Pasien yang selamat dari trauma kecepatan tinggi.
3. Adanya berbagai keadaan yang menyertai trauma :
a. Trauma kepala atau wajah yang signifikan : 4 – 20% insiden disertai trauma
cervical
b. Kontusio scapula : dapat menunjukkan flexi – rotasi dari vertebra thoracalis.
c. Trauma sabuk pengaman : mungkin disertai dengan trauma thorakal dan
lumbal.
d. Trauma pada kaki / ankle akibat jatuh dari ketinggian : mungkin disertai
dengan kompresi pada vertebra lumbalis.
 Cari tanda – tanda cedera medulla spinalis :
1. Tanda –tanda vital : syok neurogenik ( hipotensi dengan bradikardi )
Catatan : meskipun syok neurogenik seharusnya dipertimbangkan pada pasien
trauma dengan hipotensi tanpa adanya takikardi, hipovolemia dari kehilangan darah
masih harus disingkirkan pertama sebagaimana penderita yang tidak menunjukkan
respon takikardi, contoh pasien dengan pengobatan beta bloker.
2. Pada inspeksi :
a. pernapasan diafragma
b. Sikap tubuh yang flexi pada anggota gerak atas menunjukkan adanya trauma
medulla soinalis letak tinggi.
c. Fascikulasi otot spontan.
d. Priapismus
3. Pada tes :
a. Pola myotom dari kehilangan tenaga : lihat table 1
b. Pola dermatom dari kehilangan sensoris : lihat gambar 1
c. Lesi cedera spinalis total : Kehilangan total dari tenaga motoris dan sensasi
distal dari tempat cedera medulla spinalis. Diagnosis differential adalah syok
spinal ( umumnya kurang dari 24 jam ). Cari sacral sparing ( mempunyai nilai
prognosis untuk pemulihan fungsional ) :
sensasi perianal yang intak.
242

91. Stroke

DIAGNOSA
 Stroke akut ditandai dengan onset mendadak dari deficit neurologik fokal, bisaanya terjadi pa-
da teritorium pembuluh darah otak. Manifestasi klinis yang sering timbul : hemiparesis,
hilangnya hemisensori, kelemahan wajah, disartria, afasia dan gangguan penglihatan, terjadi
secara tunggal atau dalam kombinasi.
 Stroke diklasifikasikan :
1. Stroke iskemik (IS, 70-90%, insiden lebih tinggi pada ras kaukasian). Etiologi yang
sering meliputi atherothrombosis arteri besar, kardioembolisme, dan small vessel
disease (stroke lakunar)
2. Stroke Hemorragic, dimana terjadi perdarahan intraserebral (ICH, 10-30%, lebih
tinggi insidennya pada ras non-kaukasian) dan subarachnoid haemorrhage (SAH,
sekitar 2%).

Tabel 1 : Diagnosa Banding Stroke


Hipoglikemia/hiperglikemi
Post epileptic (Todd’s) paralysis
Complicated migraine
Hipertensi ensefalopati
Trauma kepala (hematoma epidural/subdural)
Tumor otak/abses
Meningitis/ensefalitis
Disseksi aorta
Bell’s palsy
Kondisi fungsional (psikiatrik)

Tips khusus bagi Dokter Umum:


 Pasien stroke yang merupakan kandidat potensial untuk trombolisis (gambar 1) harus dipindahkan ke ED
dengan ambulan tanpa penundaan.
 Sebagian besar pasien dengan suspek stroke harus diperiksa secara cepat pada ED pada saat kedatangan untuk
manajemen secepatnya. Home visit dan pemeriksaan rawat jalan tidak dibenarkan kecuali px datang dengan gejala
kelemahan yang ringan dan tidak progresif serta telah berlangsung lebih dari 48 jam.
 Dokter umum dapat berperan dalam meng-KIE pasien yang beresiko tinggi (cth : Hipertensi, DM, hiperkolester-
olemi, penyakit jantung, perokok dan riwayat stroke atau Transient Ischemic Attack (TIA) , juga pada keluarga
untuk mengetahui gejala awal stroke, kemudian segera memfasilitasi px ke RS bila terjadi serangan stroke.
 Selalu periksa GDA untuk menyingkirkan hipoglikemi
 Bell’s palsy sering membingungkan dx stroke. Bell’s palsy (isolated lower motor neuron-type facial nerve palsy)
ditandai dengan paralysis komplit separuh bagian wajah tanpa mengecualikan otot dahi. Membedakannya
dengan pasti sangatlah sulit pada kasus kelemahan wajah partial, dan merujuk ke bagian neurology sangat dis-
arankan.
 Px dengan TIA (deficit neurology akut yang berkaitan dengan etiologi serebrovaskular dengan remisi komplit
dalam 24 jam sejak onset gejala) memiliki resiko tinggi menderita stroke iskemik lebih dini pada periode post
TIA. Mereka membutuhkan rujukan segera ke neurologist atau ke klinik stroke. Jika pertemuan dengan ahli saraf
tidak bisa dilakukan pada hari yang sama, maka berikan obat antiplatelet (aspirin 150-300mg, diikuti dengan 75-
100mg/hari) bila tidak ada kontraindikasi. Pasien dengan TIA berulang atau crescendo TIAs harus segera dirujuk
ke ED.

CAVEATS
 Pertimbangkan beberapa keadaan yang menyerupai stroke, yang terlihat pada tabel 1. selalu
lakukan pemeriksaan GDA untuk mengeksklusi hipoglikemi.
 Stroke dikenal sebagai keadaan yang sangat sensitive dengan waktu, terutama pada penggunaan
rtPA sebagai terapi stroke iskemik yang akut, dimana akan sangat bermanfaat bila diberikan pada 3
243

jam pertama setelah onset serangan. Pasien suspek stroke harus dirujuk menggunakan ambulan pa-
da ED terdekat.
 Defisist neurologist terkait dengan sakit kepala, nausea, vomiting, penurunan tingkat kesadaran
dan peningkatan BP yang besar cenderung menunjukkan stroke hemorrhagic.
 Terapi hipertensi pada stroke akut sering controversial dan harus ditangani hati-hati.

MANAJEMEN

Manajemen pada pasien suspek stroke di ED, meliputi:


 Pertahankan status fisiologis yang optimal, termasuk oksigenasi, hidrasi dan kadar gula darah
yang baik. Semua pasien harus dipuasakan, dan diberikan infus isotonic saline. Demam harus
diselidiki penyebabnya serta dikontrol degan antipiretik. Manajemen BP didiskusikan dibawah
ini.
 Diagnosis definitive stroke dan subtype stroke (IS, ICH atau SAH). Keadaan ini membutuh-
kan CT scan kepala dalam 24 jam pertama.
 CT scan kepala emergent dilakukan pada ED diindikasikan pada :
1. pasien IS merupakan kandidat pemberian trombolitik atau terapi antikoagulasi cth
datang dalam 3 jam pertama sejak onset gejala, atrial fibrilasi.
2. Suspek ICH, cth peningkatan BP grossly, sakit kepala, vomiting, kebingungan,
hitung platelet yang rendah, profil koagulasi yang terganggu, penggunaan
antikoagulan atau kecanduan pada obat stimulant.
3. Suspek SAH, cth nyeri kepala yang berat, meningism atau hilangnya kesadaran.
Lihat bab SAH
4. pasien yang beresiko mengalami deteriorasi dini, cth stroke kortikal yang berat
dengan hemiplegic, deviasi mata, dan afasia atau hemineglect, suspek stroke pada
fossa posterior.
Hasil pada CT scan kepala pada kelompok ini akan membantu penentuan tx.

Manajemen Hipertensi pada stroke akut


Stroke Haemorrhagic
 penurunan akut BP dapat mengurangi perdarahan ulang dan ekspansi hematoma.
 Namun penurunan BP yang terlalu agresif dapat mengeksaserbasi iskemik pada daerah yang
terkena hematoma
 Target manajemen pada pasien stroke hemorhagik akut :

SBP < 180 mmHg Bisaanya tidak membutuhkan terapi di ED, terapi yang le-
DBP < 105 mmHg bih agresif dapat dipertimbangkan setelah MRS

Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV labetalol, esmo-


SBP 180-220 mmHg lol, enalapril atau diltiazem pada dosis kecil yang dititrasi
DBP 105-120 mmHg
IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam

SBP > 220 mmHg


DBP > 120 mmHg

Stroke iskemik
 Tidak ada data yang menyebutkan keuntungan control BP secara agresif pada stroke iskemik
akut
 Sebagian besar pasien BP akan secara spontan membaik pada beberapa jam dan kembali ke
baseline setelah beberapa hari sejak onset gejala stroke.
 Kebanyakan ahli saraf menyatakan bahwa penurunan BP secara signifikan akan
membahayakan px karena dapat menurunkan perfusi kollateral pada daerah iskemik
penumbra, yang berakibat pada ekstensi dari infark.
244

 Control BP diindikasikan pada px stroke dengan:


1. Gagal jantung kongestif
2. acute Myocard iskemik/infark.
3. gagal ginjal akut
4. hipertensi ensefalopati
5. Diseksi aorta
6. terapi dengan trombolitik atau antikoagulan
 Target manajemen BP pada stroke iskemik akut

SBP < 220 mmHg Jangan diterapi, kecuali ada indikasi untuk mengkontrol
DBP < 120 mmHg BP

SBP >220 mmHg Transdermal nitrogliserin 5-10mg, atau IV labetalol 10-


DBP 121-140 mmHg 20mg dibawah monitoring EKG, diulang tiap 10 menit
sampai dosis maksimum 100mg/jam, atau IV enalapril 1,25
mg.

DBP > 140 mmHg IV nitrogliserin 0,6-6mg/jam

DISPOSISI
 seluruh px stroke harus MRS untuk evaluasi, terapi dan rehabilitasi lebih lanjut. Namun px
yang stabil dengan lakunar infark > 48 jam yang tidak progresif serta tidak memiliki disabili-
tas neurology/deficit dapat KRS dengan follow up segera di poliklinik.
 Sebagian besar px TIA yang datang ke ED harus MRS untuk workup dan inisiasi terapi medis.
Merujuk ke spesialis neurology segera pada hari yang sama merupakan alternative lain yang
dapat dilakukan.
245
Px datang dengan gx stroke < durasi 7hari, cth:
 Kelemahan pada 1 sisi tubuh
 Inkoordinasi limb pada 1 sisi
Gambar 1 : Jalur klinis Stroke pada ED  Bicara yang ‘pelo’
 Rasa pusing/mabuk dengan kesulitan bicara
 Matirasa pada salah satu sisi tubuh
 Ketidakmampuan untuk mengekspresikan suatu pikiran, atau untuk mengerti yang lainnya.
 Kebutaan yang mempengaruhi sebagian atau seluruh lapang pandang pada satu atau kedua mata
 Diplopia atau kelemahan wajah dan atau limb
Dengan Ambulan
Area critical care Px datang sendiri
atau intermediate

Gejala >3jam/sadar dan BP dapat dite-


rima dengan pengukuran manual
Gejala < 3jam (trombolisis
IV jika mungkin) Suspek Kebingungan atau koma atau BP
SAH* tinggi (>220/120 mmHg) dengan
pemeriksaan manual ulang dengan
 Oksigen dititrasi sampai SpO2 95% GTN patch 5-10mg. review BP dan
(atau 90% untuk COPD) tangani sesuai rekomendasi setelah  Oksigen dititrasi sampai SpO2 95%
 Monitoring BP hasil CT scan kepala (atau 90% pada COPD)
 GTN patch5-10mg jika BP > CT scan urgen  NBM
220/120mmHg dalam 2x pengulangan  Heparin plug dengan NS IV pada
CT scan tetesan maintenance
setelah 5-10menit (pada tipe stroke
Kepala Urgen  Stat GDA; bertujuan untuk normog-
yang belum diketahui)
 Review control BP dan pilih obat likemia
antihipertensi setelah pembacaan CT Tanpa
 Darah: FBC, PT, aPTT,
Perdara
scan kepala perdarahan urea/elektrolit/krestinin, enzim
han
 Cek GDA-terapi ketika H/C <4 atau kardiak
>11mmol/l  EKG
 Cek darah-FBC, PPT/aPtt, Konsul Neurologi  CXR
urea/elektrolit/kreatinin, enzim CT menunjukkan  CT Scan kepala dalam 24 jam
kardiak, GXM perdarahan
Cek criteria IV rtPA inklusi** Konsul Neurosurgery
 CT scan kepala emergent, EKG dan Sepertinya bukan intervensi bedah
CXR
 NBM
STAT konsultasi neurology untuk Unit Monitoring neurology Bangsal Neurologi
trombolisis Keputusan untuk melakukan downgrade

** criteria Inklusi untuk rtPA IV:


1). Usia 18-80 th (batas atas usia dapat berbeda sesuai
* Suspek SAH:
institusi/dokter
1). 2 dari 3 kriteria: sakit kepala, LOC, meningism (deficit
2). Stroke akut <3 jam (waktu pemeriksaan-waktu
neurology dapat muncul/tidak
onset). Estimasi waktu konservatif yang diambil yaitu
2). Isolated headache yang berat, atau onset mendadak,
waktu onset = waktu dimana px teraakhir terlihat sehat
dan merupakan episode 1
3). Defisit motorik, visual atau bahasa yang dapat
terukur
246

92. Subarachnoid Haemorrhage (SAH)

Caveats
 SAH meningkat seiring usia, dan mengalami plateu setelah usia 60 th, dengan insiden tertinggi
pada 40-60 tahun.
 Kecepatan timbulnya onset sakit kepala (mendadak, seperti thunder-clap) lebih berguna se-
bagai pedoman daripada severitas dari sakit kepala.
 Pada saat kunjungan, 50% pasien sadar, 30% letargi, dan sisanya 20% stupor atau koma.
 Kaku kuduk membutuhkan waktu 2-3 jam untuk muncul.
 Pemeriksaan funduskopi menunjukkan perdarahan preretinal pada 20% pasien.
 Gejala dan tanda neurologik non-fokal sering muncul, cth: nausea, vomiting, demam, sinkope,
kebingungan, migraine like headache, atau koma.
 Pasien dengan posterior cerebral artery communicating aneurysm dapat muncul dengan pupil
berdilatasi ipsilateral, atau deviasi mata akibat palsy Nervus kranialis ketiga.
 Pasien dengan middle cerebral artery aneurysm dapat memiliki hemiparesis kontralateral
sekunder akibat perdarahan pada lobus temporalis atau fissure Sylvia.
 Nistagmus dan ataksia dapat muncul ketika perdarahan terjadi pada fossa posterior (10% berry
aneurysm).
Catatan: sebagian besar (90%) aneurisme serebral spontan dapat ditemukan pada sirkulasi anterior
yang meliputi arteri communis kanan anterior dan posterior serta pada arteri middle serebral.
 Pada saat kedatangan, 20-50% pasien melaporkan sakit kepala berat dalam waktu beberapa
hari sampai minggu sebelum kedatangannya ke ED. Keadaan ini dikenal sebagai
warning/peringatan atau sentinel. Sakit kepala merupakan sekunder dari perdarahan aneurisma
sac dan subsequent trombosis.
 Pasien dengan aneurisme SAH, px dengan perdarahan sekunder terhadap arteriovenous
malformation (AVMs) lebih cenderung untuk muncul dengan kejang, cerebral bruit, disfagi
dan iskemik.
 Jangan mendiagnosa migren jika episode pertama sakit kepala terjadi setelah usia 50 th.
 SAH banyak terjadi karena perdarahan saccular (berry) aneurysm atau AVM (3-6%), namun
juga dapat terjadi akibat trauma. Riwayat akan berguna untuk membedakan keduanya namun,
kadangkala perdarahan akan terjadi akibat keadaan traumatic. Riwayat yang dicari dengan
berhati-hati sangatlah penting. Penyebab yang jarang terjadi adalah mikotik, onkotik, dan
aneurisme terkait dengan aliran darah.
 Perubahan EKG yang bervariasi, cth: peak atau symmetrically inverted T waves, gelombang
U, prolongasi QRS complex, prolonged interval QT dan disritmia, dapat terjadi terkait dengan
SAH dan membingungkan dokter dalam menegakkan dx kardiak.

Tabel 1 : Klasifikasi SAH menurut Hunt dan Hess


Grade Tanda Survival (%)
1 Keadaan mental Normal 70
Sakit kepala ringan
Tidak ada deficit neurologis
Tidak ada tanda meningeal
2 Sakit kepala moderate sampai hebat 60
Palsy nervus kranialis
3 Kebingungan, 50
Deficit neurologik fokal ringan
4 Stupor 40
Hemiparesis, early vegetative posturing
5 Koma 10
Posturing Decerebrate
247

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Missdiagnosa awal untuk SAH adalah 20-50%.
 Dengan tidak adanya sakit kepala, sulit untuk membuat dx SAH
 Ditandai oleh onset gejala yang tiba-tiba (biasanya sakit kepala dan vomiting) dan
terdapat peningkatan deficit neurologist.
 BP pada awal biasanya tinggi
 Px dengan suspek SAH harus dirujuk dengan ambulan.

Manajemen
Terapi Suportif
 Tangani pada area critical care
 Sediakan peralatan intubasi dan resusitasi.
 Pastikan patensi jalan nafas.
 Berikan oksigen aliran tinggi via reservoir mask
 Tinggikan kepala 30o
 Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri
 Pasang jalur IV perifer
 Lab: FBC, urea/elektrolit/kreatinin, PT/aPTT, GXM 2 unit.
 EKG, CXR (hati-hati akan terjadinya edema pulmonal)
 Hati-hati terhadap komplikasi akut (0-48 jam setelah terjadinya perdarahan) :
1. Rebleeding : merupakan komplikasi akut spontan yang paling signifikan. Resiko
rebleeding adalah 4% pada hari I setelah SAH spontan dan meningkat 1,5% setiap
harinya sampai hari ke-13.
2. Cerebral salt wasting menyebabkan hiponatremi.
3. Hidrosefalus akut (15%)
4. kejang (6%)
5. neurocardiac disease (10%)
6. neurogenic pulmonary Oedema: dapat terjadi dalam hitungan menit setelah perdara-
han awal.
Terapi Spesifik
 analgesic non-opioid, cth: diklofenak IM, dapat diberikan untuk mengurangi sakit kepala.
 Antiemetik : IM Prochlorperazine 12,5mg atau IM metoklopramide 10 mg.
 Nitrogliserin dengan infus IV jika DBP > 130 mmHg dengan pengukuran manual. Mulai pada
10µg/menit dan titrasi sampai berespon namun hindari menurunkan DBP lebih rendah
daripada 100mmHg untuk mempertahankan perfusi cerebral.
 Lakukan CT scan kepala (tanpa kontras) sesuai dengan konsultasi dengan neurology

Catatan:
1. CT scan tidak dapat mendeteksi SAH. Sensitivitas untuk mendeteksi SAH hanya 93%.
Sensitivitas CT menurun dengan waktu. Paling sensitive dalam 12 jam dan secara dramatis
turun setelah 2-7 hari.
2. pungsi lumbal sangat penting untuk work up SAH jika CT scan negative. Adanya xanthoch-
romia pada specimen CSF yang segar merupakan penemuan yang patognomonis pada SAH.

Penempatan:
 MRS-kan pasien ke bagian Neurologi atau neurosurgery.
248

93. Arteritis Temporal


Seet Chong Meng . Shirley Ooi , Peter Manning

Definisi
Arteritis temporal adalah sebuah inflamasi granulomatous dari satu atau lebih cabang
arteri carotid externa.

Diagnosis
Merujuk pada American College of Rheumotology, diagnosa dari temporal arteritis
mencakup tiga kriteria dibawah ini:
 Usia >50 tahun
 Onset baru dari sakit kepala terlokalisasi
 Nyeri arteri temporal dari penurunan denyut
 ESR > 55 mm/h
 Histology positif pada biopsi

Caveats
 Diduga arteritis temporal pada wanita, biasanya berusia lebih dari 50 tahun,
menunjukkan rasa berdebar-debar yang amat sangat, perasaan terbakar dan nyeri
kepala temporal satu sisi. Sering kali, sakit kepala bertahan hingga beberapa
bulan. Simptom yang berhubungan termasuk malaise, anoreksia, penurunan berat
badan, kelemahan rahang dan lidah, amaurosis, nyeri otot, TIA, neuropathy dan
stroke.
 Tiba-tiba, tanpa nyeri, kehilangan penglihatan satu sisi (karena oklusi paskular
dari optalmic atau arteri-silier posterior dengan infark dari nervus optik atau
retina) adalah komplikasi yang paling serius sejak kehilangan penglihatan yang
biasanya permanen.
 Terdapat peningkatan insidensi arteritis temporal dengan polimialgya rheumatica.

Petunjuk khusus bagi dokter umum


 Terapi arteritis temporal dengan prednisolon 30 – 60 mg (1 mg/kg BB) per oral
sejak diagnosis telah terduga sebelum mengirim pasien ke rumah sakit, penundaan
diagnosis dan terapi dapat menyebabkan kebutaan.

Penatalaksanaan
Terapi suportif
 Pasien bisa ditatalaksana di area intermediate
 Ukur dan catat ketajaman penglihatan
 Labs: DL, ERS
Terapi spesifik
 Mulai terapi sesegera mungkin bila riwayat dan pemeriksaan fisik mencurigakan
dan ESR meningkat
 Prednisolon 30 – 60 mg (1 mg/kg BB)
 Analgesia misalnya diclofenac im

Disposisi:
 Masukkan dibawah konsultasi neurologi yang sesuai.
249

94. Tetanus

Caveats
 Kecurigaan yang tinggi harus dilakukan untuk menangani px yang datang dengan
gejala tetanus.
 Debridement luka juga penanganan di ICU dilakukan pada semua suspek tetanus.

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Pemberian antitetanus dilakukan pada px dengan luka yang beresiko tetanus, juga pada
pasien yang menunjukkan kekakuan pada otot lokal atau generalisata dengan atau tanpa
adanya luka yang beresiko tetanus.
 Semua suspek tetanus harus secepatnya dirujuk ke ED untuk penanganan lebih lanjut.
Patofisiologi
 Tetanus disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani,
mikrorganisme batang Gram negative anaerob yang masuk ke dalam luka.
C.tetani bisaanya masuk ke dalam luka dalam bentuk spora, dalam keadaan
non-invasive, namun dapat menghasilkan toksin, dan berubah menjadi bentuk
vegetatif jika jaringan tubuh host mengalami compromised dan tekanan oksi-
gen jaringan turun.
 Tetanus berada pada luka tusukan yang dalam, laserasi, crush injury juga pada
orang yang menyalahgunakan obat-obatan suntik dimana kondisi yang anaer-
ob memfasilitasi pembentukan spora.
 Tanda dan gejala klinik berkembang karena perpindahan eksotoksin ke CNS,
dimana ia akan memblok transmisi pada inhibitory interneuron yang me-
nyebabkan spasme otot yang bertentangan.

Manifestasi Klinik
 Periode inkubasi dapat bervariasi dari 3-21 hari sejak onset infeksi
 Tanda tetanus generalisata meliputi kekakuan yang terasa sakit pada rahang
dan otot-otot trunkus.
 Bentuk khas tetanus, meliputi risus sardonikus, disfagia, opistotonus, fleksi
lengan, tangan yang mengepal, kekakuan otot abdomen, ekstensi ekstremitas
bawah, yang disebabkan oleh kontraksi tonik intermittent dari kelompok otot
yang terlibat.
 Fraktur spine atau tulang panjang dapat terjadi akibat spasme konvulsif otot-
otot skeletal juga akibat kejang.
 Kesadaran bisaanya tidak menghilang kecuali terjadi laringospasme atau
spasme otot pernafasan.
 Instabilitas otonomik terjadi berupa demam, diaforesis, takikardi, dan
hipertensi.

Manajemen
 Penanganan terbaik dihasilkan bila px ditempatkan pada tempat isolasi yang
sunyi, pada lingkungan ICU.
 Terapi utama meliputi paralysis neuromuskular, intubasi orotrakeal dan venti-
lasi. Trakeostomi sering diindikasikan untuk perawatan ventilasi jangka pan-
jang.
 Debridemen luka penting untuk meminimalisasi perkembangan penyakit yang
lebih lanjut.
250

 Single dose human Tetanus Immunoglobulin IM 3.000-5000 IU harus


diberikan.
 Pemberian anti tetanus toxoid (ATT) 0,5ml harus diberikan jika px telah
melewati fase akut, kemudian dilanjutkan setelah 6 minggu serta 6 bulan
kemudian.
 Penicillin G IV 10 juta IU/hari dibagi dalam beberapa dosis harus diberikan.
Antibiotik lain meliputi IV metronidazole 500mg tiap 6 jam atau IV
Doksisiklin 100mg tiap 12 jam. Jika px alergi penisilin, IV erythromycin 2
g/hari atau tetrasiklin 2 g/hari dapat menjadi penggantinya.
 Relaksasi otot dengan IV Diazepam 10 mg tiap 1-3 jam/prn sangat penting
untuk mengontrol refleks nyeri akibat spasme otot.
 Blockade neuromuscular yang memanjang dapat dicapai dengan pemberian IV
atracurium atau pancuronium.
 Instabilitas otonomik harus dikontrol dengan medikasi yang tepat, konsulkan
ke bagian Intensivist.
251

95. Thyrotoksik krisis

Caveats
 Krisis thyrotoksik didefinisikan sebagai eksaserbasi yang mendadak yang
mengancam nyawa dari hipertiroidisme yang terkait dengan dekompensasi
multiple organ.
 Suspek keberadaan thyroid storm pada semua kasus hipertiroidisme yang
mengalami demam.
 Thyroid storm merupakan kasus yang fatal : angka mortalitasnya 20-50%.
 Hindari antipiretik berbasis aspirin: karena dapat mengebabkan pelepasan free
T4 dan T3 dari protein bond site-nya.
 Manifestasi klinis:
1. Demam sebagai indicator adanya sepsis atau konsekuensi thyroid
storm.
2. Takikardi out of proportion to fever secara khas terjadi saat px tidur.
3. Adanya gejala dan tanda tirotoksis yang jelas seperti penurunan berat
badan, tremor.
4. Disfungsi Multiorgan :
a. Disfungsi CNS : AMS dengan kebingungan mental, delirium,
agitasi, stupor, koma
b. Disfungsi GIT : nyeri abdomen, diare, dan vomiting, jaundice
dapat terjadi dengan disfungsi hati.
c. Disfungsi CVS : Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung,
atrial fibrilasi yang cepat/Flutter.
5. riwayat terbaru thyroid disease yang membutuhkan terapi, kejadian
pencetus seperti sepsis, pembedahan, kontras CT iodine.
6. Pasien trauma dengan peningkatan nadi dan BP.
7. deplesi volume dari demam, metabolisme yang meningkat, diare.

 Hati-hati terhadap manifestasi yang tidak khas terutama pada lansia, yang
bisaanya hanya menunjukkan kelemahan, gagal jantung atau atrial fibrilasi,
dimana goiter mungkin tidak terlihat.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Thyroid torm harus dapat dikenali dan diterapi berdasarkan pemeriksaan
klinis, karena konfirmasi laboratorium terhadap penyakit bisaanya tidak
bisa didapatkan secara cepat.

Pemeriksaan Fisik meliputi:


1. Hiperpireksia merupakan indicator underlying sepsis atau konsekuensi dari
thyroid storm.
2. Hiper- atau hipotensi sistolik, gagal jantung, rapid atrial fibrillation/flutter.
3. Takikardia out of proportion to fever
4. AMS (criteria diagnostic yang harus ada) delirium, agitasi, stupor, koma.
5. deplesi volume dari demam, peningktan metabolisme, diare.
6. Stigmata hipertiroidisme adalah goiter, tremor, lid lag/retraksi, miopati.
252

Manajemen
Terapi Supportif
 Tangani pada area critical care karena dapat mengancam nyawa
 Berikan oksigen aliran tinggi deangn non-rebreather reservoir mask
 Monitoring: EKG, tanda vital tiap 10-15 menit, pulse oksimetri.
 Pasang jalur IV perifer
 Cairan IV : Dekstrose-Saline melalui infus pelan dengan elektrolit dan vitamin
yang cukup; koreksi deplesi volume hati-hati untuk menghindari tercetusnya
atau memburuknya gagal jantung; namun hilangnya cairan dapat membutuh-
kan replacement sebesar 3-5 liter/hari.
 Labs :
1. FBC
2. Urea/elektrolit/kreatinin
3. Liver panel
4. Thyroid screen untuk memeriksa TSH, free T4.
5. CXR untuk mengetahui gagal jantung dan infeksi
6. EKG untuk menentukan adanya iskemik, infark, atau disritmia
7. Urinalisis dengan reagen dipstick: C&S jika ada kecurigaan sepsis.
 Koreksi factor pencetus, cth: sepsis, AMI
 Berikan paracetamol, aplikator/teknik untuk mendinginkan, untuk menurunk-
an demam.

Terapi Obat
 Beta Blocker : pada keadaan kegagalan gagal jantung high cardiac output
1. berikan ultra-short acting IV esmolol : dosis 250µg/kg diikuti dengan infus
50 µg/menit jika tersedia.
2. Berikan IV propanolol 1mg tiap 5 menit sampai takikardi berat dapat
dikontrol. Jika px dapat untuk mengkonsumsi per oral, maka berikan pro-
panolol 60mg PO tiap 4 jam atau 80mg tiap 8 jam.
Catatan : terapi penyakit kardiovaskular lain dengan tx konvensional seperti
digoksin, diuretic.
 PTU (Propylthiouracil) memblokade iodinasi juga konversi T4 menjadi T3.
Dosis : 400-600mg PO atau via Ryle’s tube, diikuti dengan 200-300mg tiap 4
jam.
Catatan : PTU per rectal dapat diberikan jka px NBM. Encerkan pada pedia-
tric fleet enema dan berikan melalui kateter Nelaton.
 Larutan Iodine menghambat pelepasan hormone tiroid; harus diberikan 1-2
jam setelah tx PTU. Dosis : Lugols iodine 5 tetes PO atau via Ryle’s tube tiap
8 jam.
Catatan : Jika NBM, berikan IV sodium Iodida 1g/500ml salin tiap 12 jam.
 Deksametason : 2mg IV untuk menghasilkan support glukokortikoid; juga
memblok pengubahan free T4 menjadi free T3.

Penempatan:
 Konsultasi ke Endokrin/general medicine dalam rangka antisipasi MRS ke
MICU.
253

96. TRAUMA ABDOMEN

Titik berat
 trauma abdomen merupakan penyebab kematian yang utama
 personil perawatan emergensi harus waspada dan dapat melakukan perawatan
dengan benar
 luka tusuk yang terlihat diantara atau disekitar putting susu paerlu juga
diwaspadai masuk ke rongga abdomen
 penderita harus dilakukan log-roll untuk memeriksa punggung dan flank area
pada kasus trauma
 pada penderita dengan multi trauma dengan hipotensi harus dicurigai adanya
trauma abdi\omen sampai terbukti tidak
 pemeriksaan klinis pada abdomen mungkin dapat ditemukan keadaan berikut:
 resusitasi dan stabilisasi harus didahulukan pada proses investigasi

TIPS UNTUK DOKTER UMUM


 pada pasien yang sadar, tanda yang yang mengarah pada trauma abdomen adalah tender-
ness pada palpasi, rebound. Namun, tidak adanya adanya tanda diatas tidak menyingkir-
kan diagnosa trauma abdomen
 pada kasus yang dicurigai mekanismenya mengarah pada trauma abdomen tapi dengan
gejala yang tidak spesifik, kirim ke ED(?) untuk evaluasi lebih lanjut
 pada pasien dengan gejala shok, segera pasang infus kristaloid dan panggil ambulan untuk
dikirim ke RS

Managemen
 pasien harus dirawat di area perawatan kritis
 pemeriksaan fisik dan resusitasi harus berjalan simultan
 prinsip ATLS harus diikuti dengan prioritas pada:
 airway: pertahankan airway
 breathing: pada pasien sadar berikan O2 dosis tinggi. Pada pasien tidak sadar, pasang
ETT dengan ventilasi mekanis
 sirkulasi: pasang 2 IV line dengan jarum besar.bila pasien hipotensi, resusitasi cepat
cairan. Mulai dengan NS (sampai 2liter), lanjutkan dengan darah
 periksa GXM, DL, ureum/creatinin/elektrolit
 pemeriksaan harus meliputi:
 dada: memar, fraktur costae, luka tusuk
 abdomen: luka luar, memar, tanda peritonitis
 pelvis: tenderness dan ketidakstabilan yang mengarah pada kecurigaan fraktur
 GE: bleeding / hematom
 Status neurologis
 pasang NGT dan kateter kecuali terdapat dugaan ruptur uretra pada saat pemeriksaan
 pemeriksaan Ro diperuntukkan bagi yang diizinkan: thorax, pelvis, cervikal
 luka tikam pada abdomen dengan implementasi in-situ tidak boleh dipindah kecuali di
ruang operasi
 kirim ke dokter ahli bedah segera

Indikasi laparotomi Cito:


 eviserasi
 luka tusuk dengan hemodinamik tidak stabil/ iritasi peritoneum
 dugaan kuat trauma abdomen dengan shok atau hemodinamik tidak stabil
 dugaan kuat peritonitis
 pada RT didapatkan darah segar
254

 darah persisten dari NGT, dengan kemungkinan trauma orofaring disingkirkan


 dari Ro didapatkan pneumoperitoneum atau ruptur diafragma

investigasi
 pada selain keadaan diatas, berikut terdapat tabel yang dapat dipakai untuk pertimbangan pada
pasien stabil
Tabel 1 model investigasi pada pasien dengan dugaan trauma abdomen

Penilaian hemodinamik

stabil Tidak stabil

Bedside USG dan / CT Bedside USG dan / DPL


abdomen

 pasien yang dikirim ke ruang CT harus ada continuous monitoring vital sign dan harus diikuti
dokter
 CT scan abdomen:
 indikasi: trauma tumpul dengan hemodinamik stabil yang tidak memerlukan
laparotomi cito, dugaan fraktur pelvis, retroperitoneal, diafragma dan trauma
urogenital
 sensitifitasnya diatas 90%
 DPL tidak perlu dikerjakan pada pasien stabil
 Manfaat: dapat menentukan lesi intraabdominal preoperatif, dapat mengefaluasi
retroperitoneum, dapat mendeteksi luka yang tidak perlu operasi, tidak invasiv
 Kerugian: mahal, membutuhkan banyak waktu, membutuhkan transport ke radiologi,
membutuhkan kontras
 DPL
 indikasi:
 pasien tidak stabil dengan dugaan trauma abdomen
 hipotensi pada multipel trauma
 trauma tumpul yang membutuhkan op segera untuk luka eksternal
 pasien stabil dengan dugaan trauma intestinal
 kontraindikasi:
 indikasi absolut laparotomi
 riwayat operasi abdomen/infeksi
 uterus gravid
 obesitas
 koagulopati
 sebelum pelaksanaan: dekompresi buli-buli dan perut dengan kateterv dan NGT
 tehnik dengan insisi dibawah umbilikus. Alternatifnya, metode perkutan dengan tehnik
Seldinger
 indikasi positif:
 gross hematuria
 cairan lavas terlihat keluar dari drain dada/kateter urin
 eritrosit > 100.000/mm3, leukosit > 500 / mm3, bakteri gram positif
 DPL biasanya sensitif
 Keuntungan:
255

 DPL dapat mengetahui perdarahan intraabdomen pada pasien tidak stabil dengan
multipel trauma
 DPL sangat bermanfaat pada pasien potensial perforasi abdomen yang sekiranya jauh
dari observasi klinis secara serial
 Kerugian:
 morbiditas, walaupun kecil. Meliputi: komplikasi luka (hematom, infeksi, 0,3%),
trauma intraperitoneal, kesalahan tehnik
 false negatif (2%), berasal dari kegagalan untuk menampung cairan lavage, luka pada
rongga viseral, injuri diafragma, injuri pada organ retroperitoneal
 FAST ( focussed assesment using sonographi in trauma ):
 merupakan sarana untuk mengobservasi pada penderita trauma abdomen. Indikasi sama
dengan DPL
 kususnya dipergunakan apabila DPL merupakan kontraindikasi
 akurasinya tergantung operator sebagaimana ketergantungan pada alat. Kumpulan cairan
bebas dijumlahkan tergantung dari gambaran USG, yang memberi gambaran sesuai
dengan beratnya perdarahan intraabdominal.
 Untuk mendeteksi adanya kumpulan cairan dengan melihat 4 kuadran:
 subxipoid: pericardium
 RUQ: morison’s pouch(ruang potensial antara liver dan ginjal
 LUQ: recessus splenorectaldan antara limpa dan diafragma
 Pelvis; cavum douglas
 Keuntungan:
 Alatnya portable
 Pemeriksaan memakan waktu singkat
 Dapat digunakan secara serial
 Tidak ada dampak radiasi
 Kerugian:
 Tidak dapat menggambarkan kerusakan parenkim, retroperitoneal, defek diafragma
dan luka usus secara sempurna
 Tehniknya lebih pada pasien tidak kooperatif, gelisah, obesitas, gas substansial pada
usus, udara subcutan
 Kurang sensitif dan tergantung kemampuan operator dibanding dengan DPL
 FAST tidak dapat mendeteksi kerusakan parenkim apabila tidak ada darah bebas
intraperitonealsebagaimana injuri subkapsular limpa
 Pada pasien trauma tumpul abdomen dengan hasil FAST yang positif, diperlukan
pemeriksaan CT scan sebelum dikirim ke ahli bedah

Investigasi: trauma tembus


Pada keadaan tidak ada indikasi untuk laparotomi cito, berikut ini merupakan pertimbangan tergantung
dari kestabilan pasien:
1. luka tusuk: eksplorasi luka. Bila tidak ada penetrasi fascia: KRS. Terdapat penetrasi: perlu
tindakan bedah
2. luka tembak: periksa luka masuk dan luka keluar atau pergunakan X-ray bila tidak ditemukan
luka keluar.apabila menembus cavum peritoneum, laparotomi cito.
256

97. Trauma, Dada

Caveats
 Manajemen trauma dada mengikuti protocol ATLS :
1. Amankan ABC merupakan protocol.
2. Berikan penanganan secepatnya untuk mendeteksi lesi
3. keterlibatan tim trauma dari RS harus segera dilakukan.
 Selama Primary Survey, dokter harus mendeteksi kondisi yang mengancam
nyawa namun bersifat reversible, a.l:
1. Obstruksi jalan nafas (karena laryngeal injury atau fraktur dislokasi ster-
noclavicular joint posterior).
2. Tension Pneumothorax (sucking chest wound)
3. Pneumothorax terbuka
4. Flail Chest
5. Hemothorax massif
6. Tamponade jantung

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Selalu pertimbangkan dx tension pneumothorax pada px dengan tanda simple pneumothorax, in-
stabilitas hemodinamik, distress respiratori severe, dan neck vein distension.
 Pasang needle thoracostomy secepatnya, terutama menggunakan ukuran 14G/16G IV venula pa-
da ICS2 midklavikular line.
 Keterlambatan melakukan tindakan ini akan menyebabkan pasien mati! Salah dx hanya akan
menyebabkan px memiliki chest tube insertion, namun tidak akan membunuh pasien!
 Pada pasien dengan pneumothorax terbuka, lindungi luka dengan kassa steril yang dilekatkan
hanya pada ketiga sisi saja untuk mendapatkan efek flutter-valve. Jangan merekatkan kassa pada
keempat sisinya karena dapat menyebabkan tension pneumothorax!
 Jangan melakukan splinting pada segment flail chest, karena merupakan tindakan yang contro-
versial. Namun bila dilakukan pada saat proses pengiriman px, tindakan ini dapat dipertim-
bangkan untuk mengurangi nyeri.

Manajemen Awal
 Rujuk px pada Critical care atau area resusitasi pada ED.
 Aktifkan in-house Trauma Team menurut protocol institutional
 Tangani px sesuai protocol ATLS
 Pertimbangkan intubasi pada px menggunakan teknik RSI dengan kondisi:
1. airway compromised
2. ventilasi inadekuat
3. SpO2 tidak dapat dipertahankan diatas 94% walaupun telah menggunakan
non-rebreathing mask.
Catatan : Jika mungkin, perikardiosentesis harus dilakukan sebelum intubasi
karena adanya excessive ventilation pressure yang mengurangi venous return
dapat menyebabkan serangan jantung.
 Pasang jalur IV ukuran besar (14G/16G) pada kedua fossa cubiti. Pilihan per-
tama cairan resusitasi awal adalah kristaloid (Hartmann’s atau NS).
 Cek darah untuk :
1. GXM 6 unit WB
2. FBC, urea/elektrolit/Kreatinin, dan BGA

Indikasi Chest Tube Insertion setelah trauma


 Pneumothorax, Hemathorax, atau luka terbuka pada dada
257

 Fraktur tulang iga yang membutuhkan ventilasi tekanan positif


 Px dengan suspek severe lung injury, terutama mereka yang ditransfer melalui
jalur udara atau kendaraan darat.
 Pasien yang akan menjalani general anestesi dalam rangka terapi injury yang
lain (cth : cranial, atau ekstremitas), yang dicurigai mengalami lung injury
yang signifikan.

Indikasi Thorakotomi di ruang ED pada trauma setting


 Kehilangan darah pada ED yang tidak berespon terhadap infus kristaloid cepat
 Witnessed arrest atau deteriorasi akut
 Trauma penetrating dengan tanda vital atau tanda kehidupan (refleks cahaya
pupil, respirasi spontan, respon gerakan terhadap nnyeri, non-agonal cardiac
rhythm) pada ED.
 Luka penetrasi pada thorax bahkan tanpa tanda kehidupan pada tempat kejadi-
an atau pada ED (yang terbaik bila disertai dengan short duration of CPR).
ED thoracotomy yang tidak direkomendasikan
 Trauma penetrasi non-thoracic tanpa tanda kehidupan yang vital di tempat
kejadian.
 Trauma tumpul tanpa tanda kehidupan di ED.

Diagnosa 3 Kondisi yang potensial Mengancam Nyawa:


 Trauma dada dan hipotensi. Pertimbangkan 3 penyebabnya:
1. Haemothorax massif
2. Tension pneumothorax
3. Tamponade pericardial
 Sangat penting untuk mengatasi keadaan tersebut dalam hitungan menit Kare-
na dapat menyebabkan kematian ! tidak ada waktu untuk melakukan pemerik-
saan investigasi.

Terapi untuk Kondisi dada yang Spesifik


Tension Pneumothorax
 Kunci Gambaran Diagnostik : tanda trauma dada, tanda pneumothorax, hipo-
tensi, severe respiratory distress dan neck vein distension.
 Terapi Immediate:
1. Lakukan Needle Thoracotomy : jarum 14G, pada ICS 2 midklavikular line.
2. diikuti dengan Tube Thoracotomy pada ICS 5, antara anterior dan midaxil-
lary line.
 Poin penting:
1. Diagnosa didasarkan pada klinis, dan keputusan terapi sangat bergantung
pada Kecurigaan yang tinggi.
2. Melakukan CXR untuk mengkonfirmasi dx akan menyebabkan
keterlambatan dan kematian.
Catatan: sebuah simple traumatic pneumothorax jangan diacuhkan karena
dapat berkembang menjadi tension pneumothorax.

Pneumothorax terbuka
 Patofisiologi : defek dinding dada yang luas dengan adanya kesamaan tekanan
intrathoracic dan tekanan atmosfer akan menyebabkan ‘sucking chest wound’.
 Manajemen :
258

1. Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat


2. tutup defek dengan kassa steril, dengan merekatkan di 3 sisi untuk
menghasilkan efek ‘flutter-valve’.
3. Jangan merekatkan pada keempat sisi karena dapat menyebabkan tension
pneumothorax.
4. kemudian lakukan insersi chest tube.
Catatan: Chest tube tidak boleh diinsersikan melalui luka penetrasi karena
akan secara tepat mengikuti traktus yang terbentuk menuju paru atau
diafragma sehingga akan merusak organ tersebut atau menyebabkan
perdarahan yang massif.

Flail Chest
 Definisi : terjadi ketika ada 2 atau lebih tulang rusuk yang fraktur pada 2 tem-
pat yang berbeda.
 Diagnosis didasarkan pada :
1. Gerakan paradoksikal segment dinding dada (keadaan ini saja tidak akan
menyebabkan hipoksia).
2. Distress respirasi
3. bukti eksternal adanya trauma dada
4. nyeri pada usaha bernafas
catatan : penyebab utama hipoksia pada flail chest adalah karena underlying
kontusi pulmonal, walaupun adanya nyeri dan restriksi gerakan dinding dada
serta underlying lung injury juga memberikan kontribusi dalam menyebabkan
hipoksia.
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat
2. Pastikan ventilasi yang adekuat
Catatan : pasien dengan isolated flail chest injury dapat ditangani tanpa
support ventilatory, terutama jika nyeri dada dapat dikurangi secara ad-
ekuat.
3. Berikan terapi cairan dengan bijaksana.
Catatan : overload cairan harus dihindari atau cepat dikoreksi pada px flail
chest dengan kontusio pulmonum atau pada adult respiratory distress
syndrome.
4. Analgesik adekuat yang diberikan melalui IV.
 Indikasi Early Mechanical Ventilation pada Flail Chest:
1. Syok
2. ≥ 3 asosiated injuries
3. Cedera kepala Berat
4. Penyakit paru sebelumnya
5. Fraktur tulang rusuk ≥ 8
6. usia > 65 tahun
Catatan : ketika px membutuhkan ventilatory support, lebih aman untuk men-
gaplikasikan ‘prophylactically’ sebelum kegagalan nafas yang sebenarnya ter-
jadi.
 Terapi Kontroversial : Splinting flail segment dapat memperburuk ventilasi
259

Haemothorax Massif
 Definisi : kehilangan darah > 1500 ml ke dalam cavum dada pada initial
output.
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi adekuat (berikan oksigen 100%)
2. Pasang 2 jalur IV besar dan lakukan resusitasi cairan
3. transfuse darah dan koreksi koagulopati
4. Tube thoracocentesis
5. Waspada terhadap penghentian mendadak dengan drainase, cek untuk
blocked tube.
 Indikasi Thorakotomy (konsul TKV secepatnya):
1. Drainase darah awal > 1500 ml
2. ongoing drainase > 500 ml/jam pada jam pertama, 300ml/jam pada 2 jam
berikutnya atau 200 ml/jam pada 3 jam berikutnya.
3. kasus yang membutuhkan transfusi darah persisten
4. retained pneumothorax besar, terutama jika terkait dengan perdarahan
yang terus menerus.
5. instabilitas hemodinamik yang terus-menerus
6. kecurigaan injury esophageal, cardiac, pembuluh darah besar atau bronkus
utama.
Catatan : pikirkan kemungkinan kerusakan pembuluh darah besar, struktur hi-
lar dan jantung pada luka penetrasi dada bagian anterior, sebelah medial dari
nipple line dan luka dada posterior medial dari scapula.

Tamponade jantung
 Dx membutuhkan kecurigaan yang tinggi. Kombinasi dari keadaan dibawah
ini akan membawa kita pada kemungkinan dx.
1. Trauma dada dan hipotensi
2. Trias Beck’s (hipotensi, muffled heart sound/suara jantung yang terdengar
jauh, distensi pembuluh vena di leher)
Catatan : Trias Beck’s hanya terlihat pada 50% kasus. Vena di leher yang
mengalami distensi tidak akan didapatkan pada tamponade jantung sampai pa-
ling tidak terjadi koreksi parsial hipovolemi. Muffled heart sound merupakan
tanda yang paling sedikit terjadi pada trias Beck’s.
3. Trauma dada dan pulseless electrical activity
4. Tanda Kussmaul (peningkatan neck distension selama inspirasi dan pulsus
paradoksus)
 Bukti lain yang menyokong dx, a.l:
1. pembesaran jantung yang terlihat pada CXR (jarang) atau
2. Voltase EKG yang rendah (tidak lazim) atau
3. Cairan pericardial yang terlihat pada 2D Echo atau FAST (definitive)
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi yang adekuat (O2 100%)
2. pasang jalur IV ukuran besar
3. Berikan Cairan IV bolus 500 ml
4. lakukan perikardiosentesis dengan :
a. Panduan EKG (dengan Lead EKG yang terhubung dengan jarum peri-
kardiosentesis)
b. Panduan 2D Echo. Dapat bersifat diagnostic atau terapetik.
260

Catatan : Resusitasi cairan yang agresif akan membantu mempertahankan


cardiac output dan memberikan waktu untuk px. Jangan melakukan tusu-
kan dengan jarum tanpa panduan karena resiko iatrogenic cardiac injury
sangatlah tinggi.

Kontusio Pulmonal
 Injury yang terjadi akibat rusaknya susunan jaringan paru, kerusakan mem-
brane alveoli dengan perdarahan dan edema pada alveolar space.
 Manifestasi kontusio pulmonum bisaanya butuh waktu untuk timbul.
 Penyebab, a.l:
1. trauma tumpul atau penetrasi
2. blast injury
3. compressive injuries
 Tanda klinis yang mungkin, a.l:
1. Distress respiratori
2. penurunan suara nafas
3. krepitasi pada lapang paru yang terkena
4. Hipoksemia
 Manajemen :
1. Berikan supplementasi O2
2. berikan support vantilasi, jika diperlukan
3. Lakukan terapi cairan dengan bijaksana

Tracheobronchial Injuries
 Sulit diketahui pada px trauma.
 Etiologi yang mungkin:
1. Trauma penetrasi
2. dorongan akselerasi-deselerasi
3. blast injuries
 tanda klinis meliputi:
1. Haemoptysis
2. Emfisema subkutaneus
3. Tension pneumothorax
4. pnumothorax persistent setelah terapi
 Manajemen :
1. berikan suplementasi O2
2. berikan support ventilasi
3. px mungkin membutuhkan lebih dari 1 buah chest tube
4. konsultasi TKV dini

Blunt Cardiac Injury (BCI)/ Kontusi Miokard


 Pertimbangan khusus :
1. secara klinis hanya ada beberapa tanda dan gejala yang reliable untuk BCI
2. Adanya fraktur sternum tidak dapat menjadi prediktor adanya BCI.
3. analisa CK-MB atau cardiac troponin T juga kurang berguna dalam mem-
prediksi keadaan ini.
4. EKG yang abnormal (perubahan ST dan gelombang T) sensitive terhadap
BCI.
261

 Manajemen
1. triage px ke dalam area critical care
2. Amankan ABC, berikan O2
3. lakukan pemeriksaan EKG
 keputusan penanganan:
1. Jika EKG normal, px dapat dipulangkan (diasumsikan bahwa tidak ada
alas an lain bagi px untuk MRS).
2. Jika EKG abnormal /disritmia, perubahan segmen ST, perubahan iskemik,
AV block, sinus takikardi yang tidak terjelaskan) px harus di-MRS-kan un-
tuk monitoring kardiak lanjutan.
3. jika hemodinamik px tidak stabil, echocardiogram harus dilakukan.
Catatan: Nuclear medicine studies hanya sedikit membantu jika dibandingkan
dengan Echo sehingga tidak bermanfaat jika Echo telah dilakukan.

Traumatic Aortic disruption


 sebagian besar px dengan traumatic aortic Disruption mati pada tempat ke-
jadian.
 Px yang selamat sampai RS mungkin mengalami contained haematoma dan
secara potensial akan mengalami deteriorasi secara cepat.
 Telltale sign:
1. trauma tumpul/penetrasi pada dada atau acceleration/deceleration injury
2. hipotensi tanpa adanya sumber perdarahan eksternal
3. Haemothorax massif
4. pulsasi perifer yang lemah atau negative
5. gambaran CXR yang prinsip :
a. pelebaran mediastinum
b. efusi pleural left sided
c. blunting of left aortic knuckle
 Manajemen :
1. sesuai protocol ATLS
2. CT thorax jika memungkinkan
3. GXM setidaknya 6unit WB : hubungi TKV dan bedah umum

Fraktur Costae
 Manajemen dipengaruhi oleh level dan jumlah costae yang terkena juga pada
underlying visceral injuries.
Catatan : banyak fraktur costae yang tidak terlihat pada CXR. Tujuan utama
CXR pasien dengan kemungkinan fraktur costae adalah untuk mengeliminasi
haemothorax yang terkait, pneumothorax, kontusio paru, serta injury organ
lain.

 Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula


1. Akibat dari large Force
2. meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh
darah besar
3. mortalitas sampai 35%
 Fraktur Costae tengah (4-9) :
1. peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa kom-
plikasi dapat ditangani pada rawat jalan.
2. MRS jika pada observasi :
262

a. Px dispneu
b. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
c. Px berusia tua
d. Memiliki preexisting lung function yang buruk.
 Fraktur Costae bawah (10-12) : terkait dengan resiko injury pada hepar dan
spleen
Catatan : insersi chest tube sebagai profilaksis harus dilakukan pada semua px
trauma yang diintubasi pada adanya fraktur kostae. Associated injuries sering
terlewatkan meliputi :kontusio kardiak, rupture diafragmatik dan injury esoph-
ageal.

Traumatic Diafragmatic Rupture


 Indikator :
1. distress respirasi yang persisten atau progresif
2. Bising usus pada dada
3. gambaran CXR
a. Vague dan bayang diafragmatik yang tidak dapat dibedakan
b. Herniasi organ abdominal ke dalam cavitas dada
c. Displacement NGT ke dalam cavitas dada lebih sering terjadi di
sisi kiri
 Diagnosa membutuhkan kecurigaan yang tinggi
 Semua px harus dirujuk pada bedah umum untuk laparotomi

Crush Injuries pada Dada


 Prognosis tergantung pada aplikasi crushing force:
1. < 5 menit (transient force applied dan prognosis bagus)
2. > 5 menit (prognosis buruk)
 Crush injury pada dada menyebabkan traumatic asphyxia
1. Plethora pada tubuh bagian atas
2. Petekiae pada tubuh bagian atas
3. Edema serebral
 Manajemen :
1. Pastikan oksigenasi
2. Berikan ventilasi
3. terapi associated injuries
4. MRS untuk observasi

Trauma penetrasi pada Dada


 Yang harus diingat adalah :
1. jangan memindahkan benda asing dari luka
2. Untuk luka penetrasi dibawah garis nipple, selalu pertimbangkan in-
traabdominal injuries.

Subkutaneus emfisema
 Etiologi:
1. Injury jalan nafas
2. Injury paru dan pleural
3. injury esophagus dan faringeal
4. Blast Injury
263

 Tanda :
1. Krepitus
2. Pembengkakan wajah, leher dan jaringan yang terlibat.
 Manajemen : emfisema subkutaneus jarang membutuhkan terapi. Tangani
penyebab dasarnya. Asumsikan bahwa emfisema subkutaneus memiliki
penyebab dasar pneumothorax walaupun tidak terlihat pada CXR. Sehingga
tindakan insersi chest tube harus dilakukan sebelum ditempatkan pada
ventilator.

Trauma Esofageal
 Indikasi adanya trauma esophageal:
1. Emfisema subkutaneus
2. udara mediastinum tanpa adanya pneumothorax
3. Udara retrofaringeal pada x ray leher lateral
4. Left-side pleural effusion : tes drainase positif untuk amylase
5. left pneumo atau haemothorax tanpa fraktur kosta.
6. hantaman yang kuat pada bagian bawah sternum atau epigastrium dan pa-
sien mengalami nyeri atau shock out proportion terhadap injury yang ter-
lihat.
7. adanya cairan pada chest tube setelah darah menjadi jernih.
 Px harus dirujuk ke bedah umum untuk penanganan lebih lanjut.

Trauma Laring
 Walaupun merupakan injury yang jarang terjadi, yang dapat terjadi bersamaan
dengan obstruksi jalan nafas akut.
 Diagnosis berdasarkan trias sbb:
1. Hoarseness (suara parau)
2. emfisema subkutaneus
3. Fraktur yang dapat terpalpasi
 Manajemen :
1. jika jalan nafas px mengalami obstruksi total atau jika px berada dalam
keadaan distress respiratori hebat, maka lakukan intubasi
2. jika intubasi tidak berhasil dilakuakan, emergency tracheostomi
merupakan indikasi.
3. surgical cricothyroidotomy, walaupun tidak disukai pada situasi ini, dapat
menyelamatkan nyawa jika terdapat kegagalan trakeostomi.
4. kontak spesialis THT dan ahli anestesiologi secepatnya.
264

98. Trauma dan Infeksi, Tangan

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Simpan bagian yang mengalami amputasi dengan dibungkus lembaran kain
bersih yang dilembabkan saline, kemudian tempatkan bungkusan tersebut pada
wadah yang bersih dan kering. Letakkan wadah tersebut pada es. Jangan
menempatkan
Nail Bed Injuries Akut bagian yang teramputasi langsung pada es.

 Klasifikasi
1. Laserasi simple nail bed dan hematoma subungual
2. laserasi crushing (hancur) nail bed
3. Laserasi avulse nail bed
4. Laserasi disertai dengan fraktur
5. Laserasi dengan hilangnya kulit dan pulp
6. amputasi fingertip (ujung jari)
 Nail bed injuries bisaanya dapat membaik setelah primary repair atau bahkan dapat menurun
setelah rekontruksi. Sehingga dengan mengecualikan kasus (1), semua nail bed injuries harus
dirujuk pada RS untuk repair di OT yang memiliki instrument dan loupe magnification.
 X ray dapat dilakukan untuk semua injury yang terjadi pada fingertip dan nail bed. Adanya
fraktur phalanx distal menambahkan 2 pertimbangan penanganan:
1. membutuhkan Reduction : fraktur yang unstable mungkin membutuhkan K-wire fixation
2. Resiko infeksi fraktur terbuka : berikan antibiotik broad spectrum.

Hematoma Subungual
 Klasifikasi : persentase area dibawah kuku yang menunjukkan adanya darah
 Terapi : trephine dengan sebuah red hot tip dari unfolded paper clip (gambar1).
1. Blok digital tidak diperlukan kecuali pada px yang ketakutan. Nail plate akan terbakar
dan mengalami evaporasi saat ‘tip’ yang telah dipanaskan dipenetrasikan. Ujung klip ker-
tas yang telah dipanaskan kemudian akan menjadi dingin secara langsung karena aliran
darah, dan penetrasi yang lebih jauh serta cedera nail bed jarang terjadi. Jangan
melakukan tekanan, namun biarkan panas berpenetrasi ke nail plate karena keadaan ini
akan menghindarkan keadaan benturan klip kertas ke dalam nail bed (resiko osteomie-
litis).
2. usap jari yang terluka dengan povidone iodine (bukan alcohol karena bersifat mudah ter-
bakar).
3. tempatkan 2 lubang pada dua sisi disebelahnya untuk memfasilitasi drainase. Hematoma
dievakuasi dengan memijat lembut diikuti dengan menghisap povidone iodine.
 Follow up dengan salep antibiotik, kassa dan protective splint
 Untuk hematoma subungual lebih dari 50%, disarankan untuk melepaskan kuku, eksplorasi
dan suturing nail bed.

Laserasi simple dari Nail Bed


 Prinsip terapi : debridemen minimal, sisakan jaringan lunak sebanyak mungkin, dan splinting
dengan nail plate.
1. Block digital dengan lignokain 1% (biarkan 10 menit untuk efek maksimal).
2. tempatkan pembalut karet atau penrose tourniquet pada basis jari.
3. ujung jari dibersihkan
4. nail plate harus diangkat lembut dengan forcep tumpul dan perlahan pindahkan dengan
haemostat menggunakan tekanan yang tetap.
5. Laserasi diperbaiki dengan benang 6/0 plain catgut atau dexon suture.
265

6. nail plate diirigasi dengan NS dan bebat pada nail bed yang telah di-repair. Non-
absorbable suture, cth prolene, ditempatkan melalui nail plate dan kemudian pada pro-
ksimal nail sulcus sebagai sebuah ‘anchor/jangkar’ (suture diangkat 3 minggu kemudian).
7. Jika nail plate tidak tersedia, kertas perak pembungkus suture dapat digunakan untuk
membiarkan lipatan kuku tetap terbuka.
KIE : nail plate tumbuh membutuhkan waktu 6-12 bulan, dan deformitas kuku mungkin tidak
dapat dihindari.
 Penempatan : rujuk ke Hand surgery untuk follow up dalam 2-3 hari.

Amputasi Ujung jari


Dengan hilangnya kulit/pulp saja
 Untuk diameter defek < 1 cm, terapi konservatif, dengan pembersihan yang cermat serta
dibalut dengan non-adherent gauze. Epitelisasi spontan simple dan cost effective.
 Control pada Hand surgery dalam 2hari.
 Untuk defek lebih dari 1cm, MRS ke bagain hand surgery untuk skin graft atau rekontruksi
flap.
Dengan tulang yang terekspos
 MRS pada bagian Hand surgery
 Simpan bagian yang teramputasi, yang mungkin bisa digunakan untuk replantasi.
 Pasang IV plug pada lengan yang tidak terluka.
 Berikan IV Cefazolin 1 g jika tidak ada kontraindikasi. Ambil swab untuk kultur sebelum
pemberian antibiotik.
 Berikan profilaksis untuk tetanus.
 Bagian yang teramputasi disimpan sesuai dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya.
 X ray bagian yang teramputasi : AP dan lateral.

Cedera Tendon Fleksoris


Sering terlihat di ED. Mekanisme yang sering menjadi penyebab adalah laserasi. Waspada terhadap
tanda kecil yang terkait dengan laserasi parsial dimana dapat berakibat pada disabilitas jangka panjang.

Cara memeriksa integritas flexor digitorum superficialis (FDS) dan Flexor Digitorum Profundus (FDP)
 Cara memeriksa fungsi FDS (gambar 2a), dengan jari yang berdekatan ekstensi penuh
(menghambat gerakan FDP), usaha fleksi jari menghasilkan gerakan isolated FDS, dimana
diindikasikan dengan adanya solitary flexion PIP joint.
 Cara memeriksa fungsi FDP (gambar 2b). isolated DIP flexion anya dapat dilakukan dengan
intake-nya FDP muskulotendinous unit.

Catatan : terlihatnya tendon yang intake pada lacerated sheath tidak berarti bahwa tendon tidak
cedera. Tendon mungkin berada pada posisi yang lain ketika cedera terjadi juga pada saat
pemeriksaan dilakukan. Bagian tendon yang mengalami laserasi telah pindah kebagian proksimal
atau distal. Periksa dan dokumentasikan integritas nervus digital yang terlibat (menggunakan 2-
point discrimination dengan menggunakan ujung klip kertas, dengan jarak sekitar 5mm).

Riwayat/anamnesa :
 Mekanisme injury : laserasi dan trauma tertutup/tumpul.
 Okupasi
 Tangan yang dominant
X ray jari dengan tujuan :
 Eksklusi FB pada luka laserasi
 Eksklusi avulse FDP insertion pada bagian dasar distal phalanx pada fraktur yang tertutup
(lateral film).
266

Implikasi ‘zoning’/pembagian wilayah


 Waktu perbaikan
1. Primary repair (dalam 24 jam) direkomendasikan. Jika hal ini terlambat dilakukan sam-
pai 3 minggu, repair mungkin membutuhkan tendon graft.
2. Zona III, IV dan V (gambar 3) membutuhkan pembedahan/repair segera, karena sering
berkaitan dengan cedera pada daerah disekitarnya.
 Outcome
1. Zona II dikenal sebagai ‘no-man’s land’ karena sulit untuk diperbaiki. Output yang buruk
ketika 2 tendon yang diperbaiki (FDS dan FDP) diharapkan untuk dapat digerakkan
secara luwes sebuah fibrous sheath.
2. Zone III bisaanya memiliki outcome yang baik setelah primary repair.

Manajemen cedera tendon fleksoris pada ED


 MRS pada bagian ‘hand surgery’ untuk primary repair.
 Tetanus toxoid menurut regimen.

Laserasi Tendon fleksoris Partial


 Diagnosa : mungkin sulit
 Petunjuk : nyeri yang bertambah pada gerakan yang aktif
 Signifikansi
1. delayed rupture
2. Nyeri dan restricting tenosynovitis
 Semua laserasi parsial dari tendon akan membutuhkan eksplorasi. Cedera yang melibatkan
kurang dari 25% dapat diterapi dengan ‘trimming’ bagian ujung laserasi. Laserasi > 50%
membutuhkan formal repair.
 Manajemen di ED : MRS untuk eksplorasi.

Cedera Tendon Ekstensor


Mallet Finger
 Rusaknya insersi tendon ekstensor pada bagian terminal phalanx
 Mekanisme injury :
1. Trauma tumpul via fleksi akut dari DIPJ dengan beban dari aksila bertumpu pada terminal
phalanx, cth : menangkap bola.
2. Laserasi, yang lebih jarang terjadi
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri, bengkak dan nyeri tekan DIPJ
2. ketidakmampuan untuk meluruskan DIPJ
3. Subluksasi volar DIPJ
 X ray jari : cari fraktur pada basis distal phalanx.
 Manajemen tergantung dari tipe cedera:
1. cedera tertutup tanpa fraktur : mallet splint (gambar4) selama 6 minggu. Follow up di ba-
gian Hand Surgery setelah 5 hari.
2. Avulsi tendon dengan fragment tulang kecil (< 33%) : mallet splint. Follow up di bagian
Hand Surgery setelah 5 hari.
3. Avulsi tendon dengan fragment tulang besar : MRS untuk surgical repair.
4. Cedera terbuka : MRS untuk surgical repair.
267

Mallet splint
 Pemasangan volar splint pada distal phalanx, yang menjaga DIPJ agar berada pada posisi
sedikit hiperekstensi smentara PIPJ dan MCPJ bebas bergerak.

Deformitas Boutonniere
 Kerusakan central slip dari tendon ekstensor PIPJ. Lateral band yang secara normal berada
pada dorsal dari aksis rotasi sehingga dapat membuat gerakan meluruskan jari, saat ini men-
jadi jatuh ke volar dari aksis tersebut dan gerakan yang dihasilkan jadi berkebalikan yaitu me-
nyebabkan fleksor PIPJ.
 Mekanisme cedera:
1. pukulan langsung pada dorsum PIPJ.
2. Beban aksila yang memaksa fleksi PIPJ saat jari sedang ekstensi.
3. Laserasi di sepanjang atau distal dari PIPJ.
 Presentasi klinis:
1. Nyeri dan pembengkakan PIPJ
2. Pasien awalnya dapat melakukan ekstensi penuh dari PIPJ (karena lateral slip function-
ing) walaupun kebanyakan px dengan cedera seperti ini menunjukkan kelemahan pada
saat ekstensi PIPJ.
3. deformitas Boutonniere bisaanya tidak muncul langsung setelah cedera namun sering
timbul setelah 10-14 hari.
4. kebanyakan memiliki associated dislocation yang telah direduksi sebelum datang ke ED;
ditunjukkan dengan pergerakan yang terbatas akibat nyeri.
 X ray jari: jika terdapat fraktur avulse dari dorsal basis middle phalanx.
 Diagnosis: membutuhkan kecurigaan yang tinggi, dx bisaanya tidak terlihat saat itu karena
adanya pembengkakan akut.
 Manajemen :
1. Cedera tertutup : boutonnire splint. Follow up pada hand surgery dalam 5 hari.
2. cedera terbuka : MRS untuk primary repair.

Boutonniere Splint
 pasang volar splint pada PIPJ, posisikan pada ekstensi penuh, DIPJ dan MCPJ bebas. (gambar
5).

Kerusakan Ekstensor MCPJ


 Bisaanya merupakan cedera terbuka
 Penting untuk mengeksklusikan gigitan manusia/pukulan kea rah gigi (px sering mengingkari
riwayat ini), karena:
1. resiko tinggi septic arthritis jika tooth wound terlewatkan.
2. Debridement luka, berikan antibiotik.
3. penutupan sekunder dipertimbangkan daripada penutupan primer.
 Penemuan : Ekstensi MCPJ dapat terus terjadi karena sagittal bands pada sisi tendon.
 X ray MCPJ untuk mencari :
1. FB, cth : fragment gigi
2. Radiolusensi pada MCPJ
3. cedera pada metacarpal head
 MRS untuk surgical repair
 Mulai pemeberian antibiotik IV dan beri profilaksis tetanus

Isolated Thermal Burns pada tangan


Luka bakar minor
 Derajat 2 dan 3 (ketebalan superficial dan superficial partial)
 Profilaksis tetanus
268

 Berikan analgesic
 Terapi local :
1. Pembalutan TG dengan atau tanpa krim silver sulfadiazine (kontra indikasi pada kehami-
lan dan alergi sulfa)
2. tangan dibalut dalam polythene bag yang bersih untuk mendorong mobilisasi.
3. Elevasi tangan dalam arm sling untuk mereduksi pembengkakan.
 Control pada Hand surgery dalam 1-2 minggu.

Deep Dermal Burns


 Derajat ke-3 dan ke-4 (ketebalan deep partial dan full thickness)
 Profilaksis tetanus
 Cedera full thickness sirkumferensial dari limb dapat menginduksi cedera kompresi di bagian
distalnya; penting untuk memeriksa status neurovascular. Escharotomy urgent mungkin diper-
lukan.
 Pnempatan : MRS pada bagian Hand Surgery untuk perawatan luka, dan kemungkinan skin
grafting.

Catatan : (1) antibiotik sistemik profilaksis secara rutin tidak disarankan. (2) cedera partial thick-
ness dapat dibedakan dari full thickness dengan hilangnya sensasi pada pin prick test, dan (3). Per-
timbangkan cedera non-accidental pada anak.

Luka bakar Akibat bahan kimia pada tangan


 Dalamnya luka bakar secara langsung terkait dengan lama kontak dengan agent penyebab.
 Dokumentasikan: bahan kimia yang terlibat, lama paparan, terapi awal yang diberikan pada
luka, cth : pencucian luka/antidote.
 Manajemen :
1. bubuk kimia harus dibersihkan
2. Irigasi denganm saline atau air bersih dalam jumlah yang banyak
3. elevasikan tangan
 Luka bakar Hidrofluorik acid : sebuah keadaan emergency pada tangan! Lihat Burns, Minor
1. Nyeri yang sangat
2. Menyebabkan kerusakan yang dalam samapi ion fluoride dinetralisisr oleh Ca2+.
3. Untuk cedera superficial, aplikasikan topical calsium gluconate dicampur dengan KY gel
yang steril.
4. Untuk cedera yang dalam dan ekstensif, pertimbangkan injeksi subkutaneus 10% kalsium
glukonat dalam basa dan sekitar luka bakar menggunakan jarum 27G. usahakan untuk
menghindari melakukan digital block sebagai maneuver analgesic karena tindakan ini
memang dapat mengurangi nyeri, tapi sekaligus menghilangkan satu parameter untuk
menentukan efikasi terapi dengan kalsium glukonat, yaitu : nyeri.

Luka Bakar Elektrik Pada Tangan


 Ada 2 elemen yang dipertimbangkan :
1. flash burn, yang menyebabkan luka bakar deep dermal.
2. jalur lewatnya aliran elektrik di dalam tubuh. Komplikasi yang mungkin adalah kardiak
disritmia dan mioglobinuri dengan resultan ARF.
 Riwayat : membedakan aliran listrik tegangan rendah dengan supply domestic (240 V 50
MHz) dengan aliran tegangan tinggi dari industri.
 Pemeriksaan
1. Cari luka masuk dan luka kelur
2. dapat mengalami thermal burn sekunder akibat terbakarnya pakaian.
3. periksa sirkulasi ekstremitas dan status neurovascular.
 Manajemen saat di ED:
269

1. EKG 12 lead, monitoring jantung terhadap aritmia.


2. cek urea/elektrolit/kreatinin, kreatinin kinase, LDH
3. X ray pada suspek dislokasi sendi dari kontraksi katatonik otot sekunder terhadap listrik
tegangan tinggi.
4. terapi luka bakar dermal
 Penempatan : MRs pada bagian General medicine untuk monitoring jantung jika terjadi dis-
ritmia atau kollaps kardiovaskular.

Infeksi Tangan
Paronychia
 Abses nail fold
 Pembengkakan jaringan subungual dan kemerahan dengan atau tanpa frank pus.
 Screening untuk DM
 Terapi :
1. Awal : antibiotik oral, cth cloxacilin (versus S. aureus) dan rendam air hangat setiap hari.
2. Lanjut : antibiotik oral dan I&D abses dibawah blok digital.
 Metode drainase (lihat gambar 6 dan 7)
1. Iris mess/blade ke dalam nail sulcus di dekat titik dengan nyeri tekan yang paling
maksimal.
2. Hilangkan sebuah potongan longitudinal kuku jika terdapat abses subungual.
 Penempatan : rujuk ke Hande sugery untuk follow up pada hari kerja berikutnya untuk dibalut.

Gambar 6 : Drainage paronychia


(a). lipatan eponychial dielevasi dari kuku dengan simple paronychium, (b). kuku lateral dihilangkan
jika terdapat pus dibawahnya. Insisi eponychial yang kecil mungkin diperlukan, dan (c). kuku bagian
proksimal dihilangkan jika pus terdapat dibawahnya. Dua insisi akan diperlukan untuk
menghilangkannya.

Gambar 7 : Terapi Abses Subungual Proksimal


(a). ekspos tepi kuku bagian proksimal, (b). elevasi dan insisi 1/3 bagian proksimal nail plate dan
bersihkan nail bed. (c) tinggalkan 2/3 bagian distalnya untuk berfungsi sebagai pembalut fisiologisnya.
Perawatan harus dilakukan agar jangan sampai merusak matriks kuku. Dan (d) gunakan sebuah
bismuth impregnated gauze sebagai sumbu selama 48 jam.

Felon
 Infeksi distal pulp space dari sebuah jari.
 Pembengkakan, nyeri dan kemerahan dari ujung jari
 X ray : singkirkan FB dan keterlibatan tulang
 Terapi : insisi dan drainase dibawah block digital
 Metode drainase
1. Insisi high lateral (hindari neurovascular bundle) dimulai 5mm distal dari lipatan kulit
DIPJ dan teruskan sampai bagian akhir nail plate.
2. insisi palmar longitudinal : pilihan insisi tergantung penemuan titik nyeri tekan yang pal-
ing maksimal.
3. Septa fibrous pada finger pad harus diinsisi secara tajam untuk menghasilkan drainase
yang adekuat dari space yang tertutup.
270

 Antibiotik : Cloxacilin (versus S.aureus)


 Penempatan
1. control ke Hand surgery untuk follow up setelah I&D.
2. MRS pada Hand suregery untuk amanajemen adanya komplikasi seperti osteitis atau os-
teomielitis dari phalanx distal, piogenik arthritis DIPJ, pyogenic Flexor tenosynovitis.

Suppurative flexor tenosynovitis


 Infeksi pada fleksor tendon sheath yang bisaanya terjadi setelah penetrating injury.
 Manifestasi klinis : Kanavel’s 4 cardinal sign
1. Pembengkakan yang seragam pada jari
2. resting position jari yang semifleksi
3. Nyeri tekan pada semua bagian sheath
4. nyeri pada seluruh sheath dengan ekstensi pasif dari jari
 pengenalan dini serta terapi penting untuk menghindari nekrosis tendon dan penyebaran ke
proksimal.
 X ray jari untuk meneksklusi benda asing.
 Penempatan : MRS pada bagian Hand surgery untuk antibiotik IV dan surgical drainase.
271

99. Trauma, Kepala

Caveats
 Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas setelah trauma.
 Walaupun bisaanya tidak ada terapi spesifik untuk mengatasi primary brain injury, beberapa
secondary brain injury dapat dicegah atau diterapi.
Catatan : Primary brain injury merupakan kerusakan yang terjadi secara langsung oleh trau-
ma/gerakan mekanikal. Secondary brain injury terjadi setelah initial trauma.
 Hipoksemia dan hipotensi merupakan penyebab sistemik yang paling sering menyebabakan
secondary brain injury.
 Jangan mengasumsikan AMS pada px trauma kepala terjadi karena intoksikasi alcohol.
Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh hipoglikemi, hiperkarbi, hipotensi atau concomitant
dengan intoksikasi obat.
 Fraktur tulang tengkorak meningkatkan kecenderungan adanya underlying cedera otak (tab
1).
 Lucid interval harus menjadi penanda untuk menyingkirkan adanya hematoma ekstradural
yang akut.
 Semua px dengan trauma mayor harus dianggap mengalami cedera kepala atau fraktur cervi-
cal spine sampai terbukti tidak.
 Seorang pemeriksa tidak dapat mengandalkan hasil pemeriksaan neurology sebelum perfusi
dan oksigenasi yang adekuat telah diberikan.
 Observasi px cedera kepala meliputi pemeriksaan neurology yang berulang.
 Jangan menganggap hipotensi yang terjadi pada px trauma timbul hanya akibat cedera kepala.
Sumber perdarahan lain tetap harus dicari.
 Hipertensi dan bradikardi (Cushing reflex) menunjukkan adanya peningkatan tekanan intra-
cranial.
 Dilatasi pupil unilateral atau respon cahaya yang lemah mengindikasikan adanya massa yang
berkembang pada sisi yang sama dengan pupil yang berdilatasi. Tanda ini terjadi pada tahap
akhir keadaan peningkatan intracranial.

Tabel 1 : Resiko Hematoma Intrakranial setelah cedera kepala


Resiko Hematoma Intrakranial
Orientasi cukup tidak ada Skull fracture 1 dari 6000 kasus
Disorientasi tidak ada Skull fracture 1 dari 120 kasus
Orientasi cukup Skull fracture 1 dari 30 kasus
Disorientasi Skull fracture 1 dari 4 kasus
 Deficit motorik fokal baru merupakan tanda yang penting yang menunjukkan bahwa px mem-
butuhkan perawatan yang agresif dan immediate.
 Jangan pernah memberikan sedasi pada pasien cedera kepala yang gelisah sebelum menge-
tahui hasil CT scan karena hal tersebut dapat meningkatkan perkembangan hematoma intrakr-
nial.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Tidak semua px dengan cedera kepala ringan atau laserasi kepala
membutuhkan X ray kepala. Lihat criteria yang akan disebutkan
dibawah.
 Harus ada pengawas di rumah untuk mengamati px bila KRS dil-
akukan.
272

Manajemen
Skull X ray (SXR)
 Indikasi: controversial. SXR bisaanya tidak diindikasikan untuk cedera kepal aringan yang
akan di MRSkan untuk observasi dengan pengecualian pada keadaan berikut:
1. Large boggy scalp hematoma yang menghalangi palpasi akurat terhadap adanya de-
pressed skull fracture (dimana CT scan kepala juga harus dilakukan).
2. Suspek benda asing radioopaque pada laserasi kulit kepala (cth : karena pecahan kaca).
50% abnormalitas intrakranial yang terdapat pada kasus trauma kepala, tidak berkaitan dengan
adanya fraktur tulang tengkorak. Sehingga dengan adanya fraktur tulang tengkorak akan me-
ningkatkan kecurigaan adanya lesi intracranial, namun dengan tidak adanya fraktur tengkorak
tidak akan menghilangkan pentingnya CT scan untuk dilakukan.
Catatan : simple scalp laceration bukan merupakan criteria dilakukannya SXR. Luka harus
dipalpasi terlebih dahulu sebelum T&S dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan fraktur.
 Apa yang harus dicari pada sebuah SXR
1. fraktur tulang tengkorak linear atau depressed
2. posisi midline dari kalsified glandula pineal. Pergeseran > 3mm pada satu sisi
menandakan adanya hematoma intracranial yang besar.
3. Air-fluid level pada sinus (termasuk sinus sphenoidal)
Catatan : fluid level pada sinus sphenoidal terdeteksi pada SXR lateral yang diambil dengan
horizontal beam menunjukkan basal skull fracture. Base of skull fracture bukan indikasi
urgent untuk dilakukannya CT scan kepala jika GCS 15, namun merupakan indikasi untuk
MRS. Penelitian terbaru menunjukkan tidak adanya bukti penggunaan profilaksis antibiotik
pada basal skull fracture. Hal ini karena occult CSF leakage dapat berlanjut berbulan-bulan
dan bertahun-tahun serta delayed meningitis dapat muncul kadang-kadang pada beberapa
tahun setelah cedera. Antibiotik diberikan apabila terdapat posttraumatic meningitis, bisaanya
karena infeksi Streptococcus pneumoniae, yang umumnya sensitive terhadap benzyl penicillin.
4. aerocele
5. fraktur facial
6. Benda asing
7. diastasis (pelebaran) sutura.

CT scan
 Indikasi emergent CT scan setelah cedera kepala
1. GCS ≤ 13 tanpa adanya intoksikasi alcohol atau fraktur tulang tengkorak.
2. GCS ≤ 14 dengan adanya fraktur tulang tengkorak
3. Pupil yang berdilatasi unilateral pada keadaan AMS
4. depressed skull fracture
5. Defisit neurologik fokal
6. pasien cedera kepala yang membutuhkan ventilasi
7. pasien cedera kepala yang membutuhkan anestesi general untuk operasi lainnya.
Catatan: CT scan emergent masih controversial. Menurut ATLS, semua px bahkan dengan ce-
dera kepala ringan membutuhkan CT scan kepala, namun akan sangat membutuhkan biaya
yang besar.

Resusitasi
Prioritas resusitasi menurut ATLS, a.l :
 control jalan nafas dan cervical spine
 pernafasan
Catatan : penyebab respiratory impairment meliputi : (1) penyebab sentral seperti obat-obatan
dan brain stem injury, (2) penyebab perifer seperti obstruksi jalan nafas, aspirasi darah/vomit,
trauma dada, adult respiratory distress syndrome dan edema pulmonary neurogenik.
 Sirkulasi
273

1. Pemeriksaan darah : FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, GXM ± kadar serum


etanol.
Catatan : kadar alcohol darah < 2g/l menunjukkan bahwa AMS yang terjadi adalah akibat
cedera kepala bukan karena intoksikasi alcohol. Namun tingginya kadar alcohol tidak
dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya keadaan AMS pada px cedera kepala terse-
but.
2. lakukan pemeriksaan GDA pada semua px cedera kepala dengan penurunan kesadaran
untuk mengeksklusi adanya hipoglikemi.
 Pemeriksaan neurologik
 Indikasi Intubasi pada cedera kepala
1. Koma (GCS <8)
2. deteriorasi GCS yang cepat ≥ 2.
3. GCS ≤ 14 dengan adanya dilatasi pupil unilateral.
Catatan : dilatasi atau fixed pupil pada px trauma bisaanya disebabkan oleh hemato-
ma atau kerusakan otak, namun juga disebabkan oleh expanding trauma mata, cedera
langsung pada nervus kranialis ketiga, bermacam-macam obat, aneurisme intracra-
nial, hipoksia, hipotensi, kejang dan expanding aneurisme intrakrnial.
4. distress respirasi secara klinis, RR > 30x/menit atau < 10x/menit, abnormalitas pola per-
nafasan atau hipokemia yan gtidak terkoreksi dengan O2 100% yang diberikan melalui
non-rebreather mask.
5. concomitant maxillofacial injuries
6. konvulsi berulang
7. concurrent edema pulmonal berat, cedera kardiak atau abdominal bagian atas.
Catatan : hiperventilasi harus digunakan untuk mencapai PCO2 antara 30-35 mmHg
jika ada indikasi peningkatan tekanan intrakrnial. Dalam keadaan bisaa, PCO2 harus
berada pada kisaran 34-40 mmHg. Cek ulang BGA 10-15 menit setelah hiperventila-
si.
 Indikasi penggunaan Mannitol pada cedera kepala :
1. pasien koma yang awalnya memiliki pupil yang normal dan reaktif namun kemudian
berkembang menjadi dilatasi disertai atau tanpa adanya hemiparesis.
2. Dilatasi pupil bilateral dan nonreaktif tetapi tidak hipotensive.
Dosis Mannitol : 1g/kgBB, cth [5x BB (kg)] ml larutan mannitol 20% dalam infus cepat
selama 5 menit.

Perhatian sebelum menggunakan mannitol :


a. Pasang kateter urinary
b. Pastikan px tidak hipotensi
c. Pastikan px tidak menderita gagal ginjal kronis
Catatan : hiperventilasi dan IV mannitol akan membutuhkan waktu selama 2jam, dan
tidak boleh ada waktu yang terbuang dalam pembuatan keputusan terapi definitive.

Kriteria Merujuk px ke Bedah Saraf


Dapat berbeda menurut institusi, a.l:
 Cedera kepala dengan deteriorasi GCS
 Depressed skull fracture
 Pneumokranium
 Penetrating skull injuries
 Penemuan yang positif pada CT scan

Kriteria MRS pada cedera kepala ringan


 Hilang kesadaran > 10 menit
 Amnesia
274

 Kejang post traumatic


 Tanda klinis fracture basis cranii
 Sakit kepala moderate atau severe, atau vomiting
 Intoksikasi alcohol
 Penetrating injury
 Fraktur tulang tengkorak
 Associated injuries yang signifikan
 Tidak adanya pengawas yang dapat diandalkan dirumah

Instruksi pada cedera Kepala


Sebelum KRS, berikan KIE bahwa px harus segera kembali ke RS bila mengalami :
 Sakit kepala hebat
 Muntah yang sering
 Keluarnya cairan dari hidung atau telinga
 Kebingungan yang tidak appropriate
 kejang
275

100. Trauma, Tungkai bawah

Caveats
 Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam nyawa dan
termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
 Semua dislokasi bisaanya bukan merupakan kasus serius dan hanya membutuhkan analgesic
yang adekuat, kecuali pada 3 kasus sbb, yang membutuhkan reduksi secepatnya:
1. Dislokasi lutut (karena popliteal artery compromise)
2. dislokasi pergelangan kaki (karena nekrosis kulit)
3. Dislokasi panggul (karena avaskular nekrosis panggul)
 Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada ED, jangan be-
rikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang diberikan lewat IM absorb-
sinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis
efek penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika
dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.

Tips khusus Bagi Dokter Umum :


 X ray pergelangan kaki tidak selalu dibutuhkan pada cedera pergelangan kaki. Lihat bagian
: Indication for Ordering X ray in Ankle Injury.

Dislokasi Panggul (pangkal Paha)


 Mekanisme cedera
1. Dashboard injury
Catatan : hal ini terjadi karena simultannya fraktur patella, fraktur femoral shaft dan dis-
lokasi panggul posterior.
2. jatuh bertumpu pada kaki menyebabkan dislokasi panggul posterior jika kaki mengalami
fleksi dan adduksi pada pangkal paha, dislokasi anterior terjadi jika pangkal paha terlalu
abduksi dan dislokasi sentral terjadi jika femur berada pada posisi antara abduksi atau ad-
duksi.
3. jatuh dengan berat badan bertumpu saat kaki sedang melebar/terbuka, lutut lurus dan
punggung membungkuk ke depan menyebabkan anterior hip dislocation.
4. melakukan ‘split’ menyebabkan dislokasi panggul anterior.
5. jatuh pada satu sisi menyebabkan dislokasi panggul sentral.

 Manifestasi klinis
1. dislokasi panggul posterior : panggul fleksi ringan, adduksi dan rotasi ke dalam, kaki ter-
lihat lebih pendek, femoral head terpalpasi pada bokong.
2. Dislokasi panggul anterior : panggul fleksi ringan, abduksi dan rotasi ke luar, tonjolan
dislocated head di bagian anterior terlihat dari arah samping.
3. Dislokasi panggul sentral : kaki dalam posisi yang normal, nyeri tekan pada trochanter
dan pangkal paha, serta masih terdapat gerakan yang kecil/terbatas.

 X Ray : foto AP yang menunjukkan pelvis, serta lateral view yang menunjukkan pangkal paha
yang terlibat.
Catatan: sangat penting untuk diingat bahwa pada semua nyeri pangkal paha, harus difoto AP
pelvis, serta lateral view dari pangkal paha yang terlibat untuk alasan sbb:
1. fraktur ramus pubis dapat muncul dengan nyeri pada panggul. Hal ini bisa terlewatkan
apabila hanya melakukan foto AP dari pangkal paha yang terkena, bukan AP pelvis.
2. AP pelvis memberikan kesempatan untuk membandingkan shenton’s line pada kedua sisi
serta membantu mencari abnormalitas yang lain.
 Komplikasi
1. Foot drop dari sciatic nerve yang terlibat dalam dislokasi pangkal paha posterior.
276

2. Paralisis nervus femoralis dan kompresi arteri femoralis pada dislokasi pangkal paha ante-
rior.
 Terapi/penempatan
1. analgesic dengan narkotik melalui IV dan bukan IM sebelum X ray.
2. Reduksi secepatnya dibawah sedasi yang sadar pada ED.
3. Cek X ray setelah reduksi dan MRS untuk pemasangan traksi
4. jika tidak dapat direduksi, MRS untuk reduksi dibawah general anestesi.

Fraktur Femoral Neck dan Fraktur Trochanter


 Mekanisme trauma : bisaanya pada lansia yang jatuh
 Manifetasi klinis :
1. tidak mampu menahan berat badan setelah jatuh, disertai atau tanpa nyeri pada pangkal
paha.
2. rotasi eksternal dan pemendekan tungkai bawah
3. nyeri tekan pada daerah fraktur
4. nyeri pada saat mencoba melakukan gerakan
5. bruising merupakan tanda yang muncul terlambat pada fraktur ekstrakapsular dan akan
absent pada saat terjadi cedera akut.
 X ray
1. foto pelvis AP dan lateral view dari pangkal paha yang terlibat
2. ingat untuk melakukan X ray pada pasien lansia sebelum MRS
 Komplikasi : bisaanya tidak ada
 Terapi : analgesi sebelum X ray. Pasang internal fixation.

Fraktur Femoral Shaft


 Mekanisme trauma : bisaanya karena kekerasan kecuali pada fraktur patologik. Bisaanya ter-
dapat pada kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau crushing injuries.
 Manifestasi klinis : weight bearing tidaklah mungkin.
1. mobilitas yang abnormal pada tungkai setinggi fraktur.
2. rotasi kaki eksternal, abduksi dan pemendekan pada pangkal paha.
 X ray : AP dan lateral view dari femoral shaft (meliputi sendi panggul dan lutut).
 Terapi :
1. IV drip dengan GXM karena walaupun hanya terjadi simple fracture, terjadi kehilangan
darah sebesar ½ - 1 liter ke dalam jaringan dengan sering disertai syok.
2. berikan analgesic, cth femoral nerve block, narkotik IM atau IV.
3. Aplikasikan Donway’s air Splint
4. pasang traksi atau intramedullary nailing.

Fraktur Patellar
 Mekanisme
1. Kekerasan langsung cth akibat kecelakaan lalu lintas dengan dashboard injury, jatuh pada
permukaan yang keras, serta jatuhnya benda yang berat diatas lutut.
2. dengan kekerasan tidak langsung sebagai akibat kontraksi otot yang mendadak.
 Manifestasi klinis
1. ketidakmampuan untuk mengekstensikan lutut.
2. bruising dan abrasi di atas lutut
3. catat lokasi nyeri tekan
4. ada celah yang terpalpasi diatas atau dibawah patella.
5. displacement yang jelas dari bagian proksimal patella
 X ray : AP dan lateral view lutut
 Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
277

2. jika tidak terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan KRS dengan diberikan
analgesic, serta crutches kemudian dirujuk pada klinik bedah.
3. jika terdapat pergeseran, aplikasikan cylinder backslab dan MRS untuk fiksasi

Dislokasi Patellar
 Mekanisme
1. riwayat khas : saat sedang berlari, lutut terbentur dan px jatuh. Px sering memperlihatkan
tonjolan di bagian medial yang prominent dari condilus medialis femur (walaupun patella
bisaanya mengalami dislokasi ke lateral).
2. dislokasi patella dapat berkurang secara spontan
 Manifestasi Klinis
1. effuse mild knee
2. nyeri tekan pada bagian medial lutut
 X ray : AP, lateral dan skyline view. Skyline view digunakan untuk menyingkirkan fraktur lain
pada kondilus lateral dari femur.
 Terapi :
1. berikan analgesic dan reduksi dislokasi
2. Aplikasikan cylinder backslab selama 6 minggu pada dislokasi yang pertama untuk
mencegah dislokasi yang rekuren.
3. jika terjadi dislokasi rekuren, aplikasikan pressure bandage selama 1-2 minggu.

Dislokasi Lutut
Merupakan Keadaan yang Emergensi!
 Mekanisme trauma : bisaanya karena kecelakaan lalu lintas, terutama dash board injury
 Manifestasi klinis : pembengkakan, deformitas yang besar, sering dengan marked posterior
sag.
 X ray : AP dan lateral view dari lutut
 Komplikasi :
1. Cedera arteri popliteal : cari keadaan pucat, dingin, pulseless atau parestesi pada tungkai
bawah.
2. Palsy nervus peronealis
 Terapi
1. berikan analgesic IV
2. Reduksi dislokasi secepatnya, terutama jika terdapat keterlambatan dalam X ray.
3. Aplikasikan cylinder backslab.
4. hubungi bedah TKV dan ortopedi serta atur angiogram.
 Penempatan
1. MRSkan semua pasien

Haemarthrosis Lutut/effusi
 Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma pada daerah lutut. Haemarthrosis pada lutut yang
terjadi cepat disebabkan oleh :
1. robeknya ligament cruciatum
2. Robeknya ligamentum collateral
3. Fraktur osteokondral
4. peripheral meniscal tear
Effusi yang terlambat bisaanya terjadi akibat meniscal tear
 Manifestasi klinis: pembengkakan yang besar dari haemarthrosis atau effuse.
 X ray :
1. AP dan Lateral View dari lutut. Catat bahwa fat fluid level pada bursa suprapatellar
mengindikasikan adanya fraktur intraartikular walaupun fraktur tidak terlihat. (gambar 2).
278

2. skyline view digunakan pada subtle fracture dari condilus femoralis (terutama pada dislo-
kasi lateral patella) dan patella.
 Komplikasi : hati-hati bahwa px mungkin tidak mengalami dislokasi lutut atau concomitant
fraktur lutut.
 Terapi :
1. jika haemarthrosis lutut tidak tegang, px dapat KRS dengan istirahat, es, kompresi (ap-
likasikan crepe bandage) dan terapi elevasi (RICE).
2. berikan analgesic
 Penempatan
1. rujuk ke klinik ortopedi dalam 24-48 jam
2. jika terdapat tense haemarthrosis, px harus MRS untuk aspirasi.

Fraktur Tibial Plateau


 mekanisme trauma : bisaanya akibat severe valgus strees
 Manifestasi klinis
1. haemarthrosis
2. Bruising di lateral
3. Abrasi
4. Deformitas valgus pada lutut
 X ray : AP dan lateral view dari lutut
 Komplikasi : dx subtle tibial tabel fracture mungkin terlewatkan. Jika berat badan px terus
menerus bertumpu pada daerah tsb, maka fraktur akan memburuk.
 Terapi : berikan analgesic dan aplikasikan cylinder backslab.
 Penempatan : fiksasi atau traksi tergantung beratnya fraktur

Fraktur Tibia/Fibula
 Mekanisme trauma :
1. tekanan torsional (cedera olahraga)
2. Kekerasan yang ditransmisikan melalui kaki (cth : jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas)
3. Hentakan langsung (cth kecelakaan lalu lintas, tertimpa benda yang berat)
Isolated fracture tibia atau fibula dapat terjadi akibat kekerasan secara langsung walaupun
relative jarang. Kekerasan tidak langsung menyebabkan fraktur pada tibia sekaligus fraktur
fibula.
 Manifestasi klinis :
1. nyeri
2. pembengkakan
3. Deformitas
4. Nyeri tekan
5. Fraktur krepitus
6. sering berupa fraktur terbuka karena 1/3 tibia adalah subkutaneus
 X ray : AP dan Lateral view dari tibia/fibula (harus meliputi lutut dan pergelangan kaki)
 Komplikasi : compartment syndrome pada fraktur tertutup dan infeksi pada fraktur terbuka.
 Terapi:
1. fraktur tertutup undisplaced dari tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV sebelum X ray
b. aplikasikan backslab diatas lutut
c. ulangi X ray untuk mengecek final position dari fraktur.
d. MRS untuk observasi
2. Fraktur tertutup displaced dari tibia dan fibula
a. Berikan narkotik IV sebelum X ray
279

b. Dibawah conscious sedation dengan IV Midazolam dan narkotik, coba untuk


mereduksi fraktur.
c. Aplikasikan backslab diatas lutut
d. Ulangi X ray sebelum MRS
3. Fraktur terbuka tibia dan fibula
a. berikan analgesic IM/IV
b. lakukan swab c/s dari luka
c. tutup luka dengan dibalut
d. cek status immunisasi tetanus px.
e. Berikan antibiotik (Cefazolin)
f. Aplikasikan long leg backslab atau temporary splint
g. Rencanakan debridemen luka
4. Isolated Closed Fracture of Fibula
a. Berikan analgesic IM
b. Singkirkan fraktur tibia dengan cedera pada sendi pergelangan kaki
c. Crepe bandage
d. KRS dengan diberikan analgesic
e. Rujuk ke klinik ortopedi.
Catatan : pasien dapat diijinkan untuk menahan berat badan.

Cedera Ankle (pergelangan kaki)


 Mekanisme trauma : ketika pergelangan kaki mengalami deformitas, harus curigai adanya
dislokasi ankle. Ini merupakan keadaan emergency!
Catatan : Dislokasi ankle harus direduksi secepatnya untuk mencegahg nekrosis kulit.
 Manifestasi klinis : pada suspek cedera ankle, lakukan palpasi 4 bagian tulang, sbb:
1. Malleolus medialis
2. Malleolus lateralis
3. Seluruh bagian panjang fibula
4. Basis metatarsal ke-5
 X ray : tidak harus dilakukan pada kasus sprained ankle
Indikasi X ray pada cedera ankle :
1. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus lateralis.
2. Nyeri tekan pada tepi posterior (distal 6cm) atau ujung malleolus medialis.
3. tidak mampu untuk menahan berat badan
4. pada kasus dimana terdapat pembengkakan yang nyata sehingga tidak memungkinkan
palpasi yang akurat.
5. pada kasus dimana terdapat instabilitas klinis.
6. pada px usia > 50 tahun dimana menurut penelitian klinis mengindikasikan kemungkinan
insiden fraktur sekitar 30%.
7. untuk alasan social, cth : pada seorang atlit.
Catatan: Kriteria 1 sampai 3 dikenal sebagai Ottawa Ankle Rules.
X ray yang disarankan:
1. AP dan lateral view dari ankle untuk suspek fraktur ankle.
2. Seluruh fibula jika terdapat nyeri tekan pada fibula yang dapat menyingkirkan fraktur
Maissoneuve.
3. Posisi PA dan lateral dari kaki jika terdapat nyeri tekan pada basis metatarsal ke-5.
 Komplikasi : Nekrosis kulit pada delayed reduction dislokasi ankle.
 Terapi :
1. sprained ankle :
a. berikan analgesic pada ED
b. KRS dengan terapi RICE dan analgesic
c. Rujuk ke fisioterapi untuk strapping ankle pada severe sprain.
280

2. Fraktur ankle :
a. Aplikasikan backslab dibawah lutut
b. MRS untuk fiksasi internal kecuali pada isolated stabel fracture of lateral
malleoulus dibawah ankle mortise yang dapat diterapi secara konservatif.
3. Dislokasi ankle
a. Pasang heparin plugdan berikan narkotik IV sebelum dilakukannya X ray
Catatan : dislokasi ankle harus direduksi secepatnya dibawah conscious sedation
dengan midazolam dan narkotik, atau inhalasi Entonox (N2O/O2) untuk
mencegah nekrosis kulit. Sehingga, jika terdapat katerlambatan X ray > 10-15
menit atau jika terdapat tanda circulatory compromise, ankle tersebut harus dire-
lokasi bahkan sebelum X ray dilakukan.
b. Aplikasikan short leg backslab setelah reduksi
c. Lakukan post reduksi X ray
d. MRS untuk fiksasi internal.

Fraktur Calcaneum
 Mekanisme trauma : jatuh dari ketinggian pada tumit
Catatan : ingat untuk menyingkirkan fraktur calcaneal bilateral dan wedge fracture of spine.
 Manifestasi klinis :
1. tumit ketika dilihat dari arah belakang akan nampak melebar, memendek, mendatar atau
miring ke lateral membentuk valgus.
2. Pembengkakan yang menegang pada tumit
3. Nyeri tekan local yang jelas
4. Jika px muncul kemudian, mungkin akan timbul bruising yang dapat menyebar ke sisi
medial telapak kaki dan proksimal dari betis.
 X ray : AP, lateral, dan axial view dari calcaneum
 Terapi :
1. jika sendi subtalar tidak terlibat
a. aplikasikan firm bandaging over wool
b. KRS dengan crutches (tongkat penyangga), analgesic, dan sarankan untuk
melakukan elevasi tungkai di rumah.
2. Jika fraktur kalkaneum bilateral ada, sarankan untuk istirahat.
3. Jika kalkaneum mengalami pergeseran atau ‘crushed’:
a. aplikasikan backslab di bawah lutut
b. MRS

FOOT INJURY
Catatan : yang paling sering terjadi a.l :
 Fraktur kalkaneum
 Dislokasi Tarso-metatarsal
 Fraktur metatarsal
 Fraktur phalangeal/dislokasi
Dislokasi Tarso-metatarsal (Lisfranc’s)
 Mekanisme trauma:
1. jatuh pada plantar flexed foot
2. Hantaman pada forefoot seperti pada kecelakaan lalu lintas
3. hantaman pada tumit ketika berada pada posisi berlutut/bersujud
4. run over kerb side accident
5. Inverse, eversi atau abduksi dari forefoot yang dipaksakan.
 Manifestasi klinis : bengkak dan ‘penyimpangan’ dari kaki
 X ray : AP dan Oblique view dari kaki (gambar 3)
281

Catatan : Lisfranc’s dislocation tidak selalu menyediakan bukti yang jelas pada
radiografi, dan tetap menjadi fraktur kaki yang paling sering mengalami
missdiagnosa
 Komplikasi : arteri dorsalis pedis atau anastomosis medial plantar dapat berada dalam
ancaman.
 Terapi :
1. berikan analgesic sebelum X ray
2. Aplikasikan backslab
3. MRS untuk open reduction and Internal Fixation (ORIF)
Fracture Metatarsal
 Mekanisme : sering disebabkan karena Crushing injury
 X ray : AP dan Oblique view dari kaki
 Prinsip manajemen :
1. Jika fraktur undisplaced tanpa kerusakan jaringan lunak
a. bereikan analgesic sebelum X ray
b. Terapi simptomatik dengan crepe bandage atau short backslab dari bagian distal
sampai atas jari kaki
c. KRS dengan non-weight bearing crutches (NWB) dan analgesic.
d. Rujuk ke klinik ortophedi
2. Jika fraktur multiple dan undisplaced, terapi konservatif seperti diats.
3. Jika fraktur multiple dan displaced :
a. MRS untuk operasi jika fraktur terbuka
b. Aplikasikan backslab dan KRS dengan analgesic dan crutches NWB kemudian
rujuk segera ke klinik ortopedik untuk review ORIF, jika fraktur tertutup.

Phalangeal Fracture/dislokasi
 X ray : AP dan oblique view dari kaki
 Prinsip manajemen :
1. tangani cedera jaringan lunak serta nail bed injury terlebih dahulu.
2. Reduksi dislokasi menggunakan digital block atau Entonox.
3. Immobilisasi Fraktur dan dislokasi menggunakan adhesive strapping pada jari kaki yang
berdekatan.
4. KRS dengan analgesic dan rujuk ke klinik ortopedik.
5. Untuk dislokasi jari kaki multiple, MRS untuk reduksi.
282

101 Trauma, maxillofacial


Peter Manning Shirley Ooi

PERHATIAN
 Perhatikan adanya suatu komplikasi luka pada wajah: utamanya komplikasi obstruksi saluran
napas, perdarahan, tulang leher, dan perlukan mata.
 Sejak beberapa perlukaan yang diakibatkan trauma tumpul, pemeriksaan sekunder survey
dapat menjadi dasar menyingkirkan perlukaan multisistem (terjadi dalam 60% kasus trauma
wajah yang berat)
 Jangan terlalu memaksakan penderita dengan patah mandibula pada posisi terlentang karena
mungkin terjadi gangguan jalan napas: usahakan penderita setengah duduk jika penderita
memerlukannnya.
 Jika tidak ada perdarahan luar yang siknifikan tidak menyingkirkan penyebab perdarahan da-
lam sebagai penyebab shok hipovolumik sejak posisi penderita terlentang mungkin menelan
darah. Hanya kemudian, selama muntah, derajat perdarahan dapat ditentukan.
 Lakukan pemeriksaan lengkap pada wajah, komponen pemerikasaan mata dan status sumbatan
jalan napas.
 Keuntungan pada tulang anak-anak lebih lunak di banding dewasa, lebih besar tenaga yang
diperlukan untuk patah tulang wajah anak dengan kejadian banyak terjadinya bersamaan
perlukaan intracranial.

Tip khusus untuk dokter umum


 Jangan memaksakan penderita dengan kecurigaan patah tulang mandibula pada posisi terlen-
tang sejak kemungkinan gangguan jalan napas.
 Ketika mengevaluasi penderita dengan kecurigaan patah tulang hidung , salah satu perhatian
cari septal hematom. Hal ini benar-benar THT emergensi yang membutuhkan insisi dan
drainase.
 Anak –anak muda mempunyai peningkatan insiden perlukaan tulang frontal sebab lebih
menonjol, yang mana perlukan wajah sebelah tengah lebih sering terjadi. Selalu mencurigai
perlukaan bukan karena kecelakaan pada jika seorang anak dengan frenulum yang robek,
trauma bibir, dan memar pada wajah.
 Jika patah pada gusi hal ini merupakan emergensi Ellis klas III, identifikasi adanya
perdarahan dari pulpa.

PENATALAKSANAN
Secara umum dikatakan, penderita dapat dibagi dalam 2 kelompok :
 Kelompok perlukaan maxillofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul atau
ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
 Kelompok perlukaan maxillofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat, misalnya
penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus
diterapi di tempat perawatan kritis pada rawat darurat :
1. Trauma maxillofasial berat harus di rawat pada kristis area diikuti dengan teknik
ATLS.
2. Yakinkan dan jaga patensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika
penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : 1. dengan jari 2. O-slik suture 3. dengan handuk
d. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi
(lihat tatalaksana jalan napas/ RSI untuk detailnya)
3. Berikan oksigenasi dengan masker non-reabreating .
4. Monitor : tanda vital stiap 5 – 10 menit, ECG, pulse oximetry.
5. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.
283

6. Laboratorium : crossmatcs golongan darah, darah lengkap,


ureum/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi.
7. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung
Jepitan hidung
Tampong hidung atau tenggorokan
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron)
Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
8. Foto rongen: waktu foto rongen wajah tidak prioritas dalam multiple injury. 2 posisi
radiografi adalah :
a. occipitomental atau posisi OM (water’s).
b. posteroanterior atau posisi PA (Caldwell)
c. posisi lateral
d. posisi submentovertical (SMV) atau ‘jughandle’
e. posisi towne

Catatan : posisi a,b, dan c diatas digunakan sebagai posisi standard wajah. Yang mana Goh et al (2002)
menunjukan bahwa posisi 30 derajat tunggal OM seharusnya cukup untuk melihat trauma
maxillofacial. Meningkat, jika dicurigai patah tulang wajah, suatu posisi 30 derajat OM tungal
seharusnya diminta dan tidak posisi wajah.

Posisi OM (water’s)
Lihat figur 1: baik untuk wajah bagian tengah, memperlihatkan rongga mata dan dasar dan darah dalam
sinus maxillary.

Posisi PA (Caldwell)
Lihat figur 2 : tampak tulang frontal dan sinus paranasal. Dapat kadang-kadang tampak tsebelah atas
suture frontal zygomaticus diastasis dalam patah tripod lebih baik pada foto OM. 3

Posisi Lateral ( Cross-table or upright)


Lihat figure 3 : memudahkan gambaran darah dalam sinus.

Posisi Submentovertical (or ’jughandle)


Lihat figur 4 : tampak sudut zygomatic

Posisi Towne
Lihat figure 5 : tampak ramus mandibula dan condyles.

Sistem posisi OM mengunakan garis McGrigor’s.


lihat figur 6 : ikuti 3 garis pada posisi OM
 seperti tarikan garis , bandingkan bagian luka dengan yang bukan.
 Jaringan lunak sekitar dan dibawah garis harus diperiksa.

Figure 1 : Figure 2 : PA Figure 3 :


OM (posisi (posisi posisi lateral
water) Caldwell)

Figur 7 : Figur 8 : Figur 9 :


McGrigor’s lineFigure 4 : McGrigor’s lineFigure 5 : McGrigor’s line
1 2
SMW (posisi posisi Towne 3
jughandle)
284

Garis 1 (figur 7) : mulai sisi luar wajah, mengikuti lewat celah antara tulang frontal dan
zygomatic pada tepi lateral mata melintang dahi, penilaian tepi orbita superior dan sinus
frontal disisi luar. Bandingkan sisi bagian perlukaan dan bukan. Cari :
1. Patah tulang.
2. Pelebaran suture zygomatikus.
3. Garis pada sinus frontal.
 Garis 2 (figur 8) : mulai sisi luar wajah, telusuri keatas sepanjang dinding tepi sudut zygoma
(atas elephant’s trunk), melintang badan zygoma, kebawah tepi orbita, mengarah bentukan
hidung ke sisi lain dari wajah. Bandingkan pada perlukaan dengan sisi yang bukan. Amati
patah tulang sudut zygoma melalui tepi bawah mata bayangan jaringan lunak pada dinding
atas antrum maxillaris (blow out fracture).
 Garis 3 (figur 9) : mulai luar wajah, mengikuti sepanjang tepi sudut zygoma ( bawah
elephant’s trunk), dan bawah lateral dinding antrum maxillaris ke dinding inferior dari antrum,
melintang sepanjang maxilla garis gigi kesisi lainny

Syarat dari computed tomography


 Bukan prioritas dalam tatalaksana gawat darurat.
 Harus menilai untuk patah tulang komplek, khususnya yang termasuk sinus frontal, daerah na-
soethroid dan orbita.
 Standart foto rongen wajah lebih berguna untuk kasus rutin, misalnya penganiyaan, jatuh pada
lantai dll.
 CT diperlukan untuk memastikan C-spine.

PATAH TULANG SPESIFIK

Patah tulang frontal


 Pemeriksaan fisik : palpasi tulang periorbita ; uji untuk anastesi; pengujian EOM.
 Pencitraan : foto skull/posisi Caldwell.
 Disposisi : rawat inap untuk patah tulang posterior dan patah tulang depresi (IV antibiotik
,kontroversial). Kedua patah tulang ini sepertinya melewati dura dengan kemungkinan terjadi
intrakranial infeksi.

Patah tulang NEO (naso-ethmoidal-orbital)


 Pemeriksaan fisik seharusnya mencari :
1. Nyeri tekan medial cantal.
2. Cerebrospinalfluid rhinorhea
3. telechantus
 Pencitraan : CT wajah
 Disposisi : rawat jalan (IV antibiotik kontroversi). Patah tulang NEO harus perhatikan dasar
dari tulang. Hal tersebut sulit untuk melihat secara klinik atau pada foto rongen . jika terdapat
harusnya berhubungan dengan dura dengan meningkatnya kemungkinan infeksi intrakranial.

‘Blow out’ patah tulang orbita


 Hasil dari tekanan langsung ke bola mata ( misalnya dari bola squas) lihat figur 10 dan 11.

Figure 10 Figure 11

Figur 10 : mekanisme injury yang menyebabkan blow out frakture pada dasar mata.
285

Trauma lurus pada mata meningkatkan tekanan intraorbita. Patah tulang mata adalah bagian yang
paling lemah – dinding orbita – daripada bola mata. Alternative, trauma pada dinding inferior mata
menyebabkan dinding orbita mengeser dan patah.

Figur 11 : Blow out fracture


Bayangan hitam tampak sebagai ’tear-drop’

Catatan : suatu patah tulang Blow out pada mata tidak termasuk pada dinding mata. Kenyataannya ,
adanya patah tulang dinding mata seharusnya diamati adanya patah tulang ‘tripode’ pada zygoma.

 Titik paling lemah adalah dinding inferomedial mata (lamina papyracea).


 Herniasi pada komponen mata kedalam antrum maxillaries melalui dinding (‘tear-drop’ sign).
 Pemeriksaan fisik :
1. uji untuk anestesi orbita dengan menekan untuk mencari perbedaan sensasi.
2. uji gerakan extraoculer.
3. uji visual.
 Pencitraan : posisi water’s
 Disposisi : rujuk ke bedah plastic

Catatan : Hanya diplopia bukan indikasi untuk rawat inap.

 Pembedahan emergency indikasi pada :


1. penekanan empisema orbita.
2. perdarahan retrobulbar.
3. trauma tusuk bola mata.
 Penderita dipulangkan : hindari adanya
1. compressive orbital emphysema
a. nyeri mata yang bertambah.
b. Bola mata proptopsis
c. Opthalmoplegi
d. Bola mata yang tegang
e. Hilangnya pandangan
Untuk mencegah compressive orbita emphysema penderita seharusnya diberi
larangan agar tidak bersin hidungnya.
2. perdarahan retrobulbar
a. sebagai tambahan pada compressive orbital emphysema.
b. Dilatasi pupil.
c. Discus optic pucat
Patah tulang hidung.

 Paling sering patah tualng wajah.


 Pemeriksaan fisik : cari hematome septal atau deformitas.
 Pencitraan : posisi nasal (bukan wajah lateral)
 Disposisi : SOC follow-up 4 – 7 hari kemudian. Konsul/rawat inap untuk septal hematome
jika gagal drainase hematome septal akan menyebabkan septal perforasi.

Patah Zygoma: ‘tripode’


 Konsistensi patah tulang lantai dan dinding orbita, arcus zygoma, dan dinding lateral dari an-
trum maxilla. Lihat figur 12. Figure 12

Figur 12: patah tulang zygomaticomaxillary komplek. (tripod fracture)


286

Terdapat patah tulang melalui jaringan penyangga tulang molar : (1) sudut zygoma (2) dinding mata
lateral (frontozygomatic suture), (3) dinding mata inferior dan dasar mata, dan (4) dinding anterior dan
lateral dari sinus maxillaris.
 Pemeriksaan fisik :
1. cari perdarahan subconjunctival lateral.
2. cari drooping cantus lateral
3. uji anestesi infraorbita
4. periksa secara terbuka
 pencitraan : posisi OM (water’s)
 disposisi : patah tulang tripod dapat di kirim ke bedah plastik SOC. Saran dipulangkan
termasuk datang kembali secepatnya jika ada pandangan kabur atau patah tulang blow out.
Penderita seharusnya rawat inap jika terdapat:
1. dipoplia berat.
2. trismus
3. gangguan penglihatan

Patah tulang Zygoma : ‘arch’


 pada umumnya hanya pada arch.
 Pemeriksaan fisik : palpasi intra oral; worm’s eye/posisi bird’s eye
 Pencitraan : posisi submental vertex (SMV)
 Disposisi : follow-up SOC

Patah tulang LeFort


 Perlukaan pada Bilateral mid-face.
 Perlukaan dg tenaga berenergi tinggi 100x . hati-hati perlukaan multisistem.
Catatan : alur patah tulang mungkin gabungan. Misalnya Lefort II pada satu sisi, dan Lefort
III pada sisi lainnya.
 Pemeriksaan fisik : cari mobilitas mid-face memanjang dan pemeriksaan terbuka.
 Pencitraan : foto rongen posisi OM/PA/lateral (tabel 1). CT rencana operasi yang paling baik.
 Disposisi : rawat inap (hati-hati injury multisistem).

Patah tulang mandibula


 Kedua terbanyak dari fraktur wajah. Penderita mengeluh malocclusi dan nyeri pada
pergerakkan rahang yang disertai dengan robekan TM/ patah tulang temporal.
 Pemeriksaan fisik :
1. nilai pada robekan intraoral.
2. rahang ROM.
3. uji spatula: letakan 1 spatula antara gigi dan penderita disuruh mengigit berlahan.
4. berputaran berlahan akan menghasilkan nyeri pada patah tulang mandibula.
5. pemeriksaan gigi.
6. uji untuk anestesi bibir bawah.
 Pencitraan : Posisi Towne, mandibula lateral obliqe dan panorex.
 Disposisi : Rawat inap patah tulang terbuka untuk antibiotik I.V. patah tulang tertutup rawat
jalan di klinik atau rawat inap tergantung derajat membuka rahang.

Table 1 : tanda radiologi pada patah tulang LeFort

Posisi water
Patah tulang mid-face bilater adalah ciri khas semua patah tulang LeFort
Level udara pada sinus maxillaris bilateral atau bayangan opaq sering kali ada.
LeFort I
287

Patah tulang dinding lateral sinus maxillaris bilateral.


Patah tulang dinding medial sinus maxillaris bilateral (sulit untuk dilihat).
Patah tulang septum nasal (inferior).

LeFort II (patah tulang piramid)


Patah tulang Nasion
Dinding orbita inferior bilateral dan patah tulang dasar orbita.
Patah tulang dinding sinus maxillaris bilateral.

LeFort III (terpisahnya craniofacial)


Patah tulang Nasion.
Patah tulang dindng lateral orbita bilateral (suture frontozygomaticus)
Patah tulang arcus zygomatic bilateral.

Sumber : Tabel dihasilkan dengan ijin perusahaan McGraw-Hill, dari Schwartz dan Reisdorff (2001) ;
page 361, table 15-5.

Patah tulang Gigi


 Lihat figur 13.
 Patah pada mahkota gigi: klasifikasi Ellis
 Patah tulang akar : <7% perlukaan gigi.

Figur 13: patah tulang Gigi

Ellis klas I
 Patah hanya enamel : nyeri minimal.
 Disposisi: ahli gigi pada hari berikutnya.

Ellis klas II
 Patah pada enamel dan tampak berwarna merah muda atau gigi kuning
 Disposisi: langsung ke doker gigi jika seorang anak: hari berikutnya jika dewasa.

Ellis klas III


 Patah tulang dilihatkan dengan perdarahan atau merah muda pada sisi patah tulang pulp yang
terkena. Termasuk enamel, dentin, dan pulpa.
 Disposisi : lengsung ke dokter gigi. Merupakan hal emergensi gigi sebab penyangga pulpa
segera terkontaminasi. Jika ahli gigi tidak memungkinkan, sepotong gumpalan kapas dapat
diletakkan diatas pulpa yang terkena dan ditutupi dengan sepotong kasa kering atau pelapis
dengan pelapis rongga akar sementara.
288

102. Trauma, Pelvik

Caveats
 Kesulitan yang paling banyak terjadi dalam manajemen trauma pelvic meliputi:
1. Kegagalan mempertimbangakan fraktur pelvic pada px dengan trauma multisistem.
2. kegagalan untuk memberikan resusitasi yang adekuat
3. kegagalan untuk mengenali injury lain yang terkait.
 Terdapat kehilangan darah yang sangat banyak pada fraktur pelvic terbuka (berkebalikan
dengan yang tertutup) karena efek tamponade peritoneum hilang.
 Wanita tua sering menderita fraktur pelvic dengan trauma jatuh yang minimal karena adanya
osteoporosis.
 Mekanisme trauma:
1. Simple falls, avulsi dari attachment muscular.
2. hantaman/pukulan secara langsung
3. jatuh dari ketinggian, kecelakaan sepeda motor, tabrakan mobil berkecepatan tinggi
 Trauma lain yang terkait : mortalitas dan morbiditas yang terjadi pada fraktur pelvis ke-
banyakan terkait dengan trauma lain yang mempengaruhi pembuluh darah, nervus, genitouri-
nary, dan traktus gastrointestinal bagian distal.
 Penyebab kematian: perdarahan yang tidak terkontrol

Tips Khusus Bagi Dokter Umum:


 Pertimbangkan dx fraktur ramus pubis pada lansia dengan nyeri
pangkal paha/panggul setelah terjatuh.
Manajemen
 ABC merupakan manajemen yang utama
 Koreksi hipovolemia : paling tidak 2 jalur IV ukuran besar terpasang pada px.
 Kirim darah untuk FBC, urea/elektrolit/kreatinin, profil koagulasi, dan GXM 4-6 unit rapid
matched blood.
 Lakukan pemeriksaan Fisik :
1. Pembengkakan area suprapubik atau groin area.
2. ekimosis pada genitalia eksterna, paha bagian medial dan area flank.
3. darah dari urethra.
4. abrasi, kontusio dari tulang yang menonjol
5. step-off, instabilitas
6. krepitus pada palpasi bimanual iliac wing
catatan :
(1) jangan mencoba untuk melakukan spring/menutup pelvis untuk medapatkan stabi-
litas karena hal ini tidak reliable, tidak diperlukan dan dapat menyebabkan perda-
rahan tambahan.
(2) laserasi perineum, groin atau buttock setelah trauma mengindikasikan adanya
fraktur pelvic terbuka kecuali terbukti bukan.
(3) pemeriksaan neurology harus dilakukan dimana injury pleksus sakralis dapat
terjadi.
 Injury lain yang terkait :
1. inspeksi perineum untuk mencari luka terbuka
2. lakukan pemeriksaan rectum untuk menentukan posisi prostate, merasakan spikula tulang
dan mencari adanya darah.
3. lakukan pemeriksaan vagina untuk mencari luka terbuka.
4. jika ada bukti injury uretra, misalnya darah pada meatus, memar pada skrotum atau
prostate letak tinggi, hati-hati pada fraktur pelvic yang dapat tidak stabil.
 Jangan masukkan kateter. Konsulkan pada urologist untuk kemungkinan pemasangan kateter
suprapubik.
289

 Lakukan X ray pelvic untuk mencari kerusakan dan asimetri dari simphisis pubis.
 Berikan analgesic yang adekuat.
 Mulai pemberian antibiotik pada kasus fraktur terbuka.
 Gunakan Sandbags untuk mensupport fraktur pelvic yang tidak stabil.
 Rujuk ke orthopaedics untuk mengurangi dan meng-imobilisasi fraktur dengan C-clamp
external fixator.
 Jika control perdarahan gagal, pertimbangkan angiografi dan embolisasi.
290

103. TRAUMA PADA KEHAMILAN

PERHATIAN
Selalu ingatlah akan adanya perubahan anatomis dan fisiologis dalam kehamilan.
 Pertimbangan kondisi jalan nafas (pada primary survey)
1. Intubasi mungkin sulit dilakukan dengan adanya edema jalan nafas
2. Terdapat peningkatan resiko aspirasi akibat berkurangnya tekanan esofagus bagian bawah
disertai peningkatan tekanan gaster akibat tekanan uterus.
 Pertimbangan kondisi pernafasan (pada primary survey)
1. Peningkatan konsumsi oksigen sebesar sekitar 15%, mengakibatkan menurunnya cadangan
oksigen.
2. Peningkatan ventilasi per menit yang mengakibatkan hipokarbia fisiologis. Keadaan
normocarbia, jika terdeteksi, bisa jadi sesungguhnya menunjukkan kondisi hipoventilasi.
3. Keterbatasan gerak diafragma yang terjadi selama kehamilan mengakibatkan menurunnya
kapasitas residual fungsional dan menyebabkan pneumothoraks dan heamtothoraks lebih
mengancam nyawa.
4. Tekanan ventilasi dapat meningkat akibat berkurangnya compliance dinding dada dam
keterbatasan gerak diafragma.
5. Karena diafragma dapat berubah ketinggiannya sampai 4 cm, pemasangan chest tube
sebaiknya dilakukan diatas ICS IV.
 Pertimbangan kondisi ventilasi (pada primary survey)
1. Tekanan darah ibu berkurang sebanyak 5-15 mmHg dan denyut jantung meningkat sebanyak
15-20 denyut/menit selama trimester II, tetapi tanda vital ini sebaiknya tidak serta merta
dianggap normal sampai dievaluasi secara menyeluruh kemungkinan adanya perdarahan.
2. Kehilangan darah pada ibu sampai 35% (sekitar 1.5 liter) dapat ditoleransi sebelum tanda syok
menjadi jelas.
3. Bukti adanya gawat janin bisa jadi merupakan tanda pertama adanya syok perdarahan pada ibu
karena aliran darah uterus dialihkan untuk mendukung sirkulasi ibu.
4. Syok hipovolemik yang tidak tertangani dengan baik dapat mengganggu sirkulasi plasenta.
Syok pada ibu berkaitan dengan tingkat mortalitas janin yang mencapai 80%. Juga dapat
menyebabkan infark hipofisis, yang secara normal bertambah besar ukurannya selama
kehamilan (sindrom Sheehan).
5. Sindroma hipotensi pada posisi telentang terjadi (biasanya sejak usia kehamilan 20 minggu)
bila uterus menekan vena cava inferior dan dapat memperburuk syok pada ibu.
6. Anemia fisiologis terjadi akibat peningkatan volume darah ibu sekitar 50% tetapi hanya
disertai dengan peningkatan masa sel darah merah sebesar 25%.
 Pertimbangan kondisi anatomis (pada secondary survey)
1. Uterus mencapai pelvis pada usia kehamilan 12 minggu, mencapai umbilicus pada 20 minggu,
xyphisternum pada 36 minggu, dan dapat mempersulit penilaian abdomen.
2. Struktur tulang penyusun pelvis lebih jarang mengalami fraktur akibat peningkatan kelenturan
ligamen.
3. Simfisis pubis dan sendi sakroiliaka bisa jadi melebar, menyerupai diastasis pada pemeriksaan
radiologis. Korelasi klinis dengan mekanisme cedera dan adanya nyeri tekan diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
4. Kompresi vena cava inferior selama kehamilan mengakibatkan peningkatan kongesti pelvis,
yang dapat menyebabkan perdarahan retroperitoneal atau pelvis yang hebat.
 Tips Khusus Untuk Dokter Umum
 Pencegahan lebih baik daripada mengobati
1. Sarankan pada pasien hamil agar menggunakan sabuk pengaman dengan benar saat dalam
mobil: bagian bahu harus terletak di atas rahim dan bagian yang melintang di pangkuan harus
terletak di atas panggul, di bawah rahim.
2. Sarankan penggunaan alas kaki yang tepat untuk mencegah terjatuh: bertumit datar dengan
alas yang berdaya cengkram baik.
 Pertolongan dasar yang dapat diberikan bila Dokter Umum sebagai penolong pertama meliputi:
1. Memposisikan pasien dengan tepat (lihat komentar di atas)
2. Kendalikan perdarahan lokal
3. Suplementasi oksigen (jika tersedia)
4. Pemberian cairan IV dini (jika tersedia)
291

TATA LAKSANA
Prinsip-Prinsip Umum
 Prioritas masalah dan ABC dalam tata laksana trauma tidaklah berbeda oleh adanya kehamilan.
 Terdapat 2 pasien yang harus distabilisasi, tetapi lakukan stabilisasi terhadap ibu terlebih dahulu.
 Libatkan secara dini seorang ahli Obstetri dalam tim Trauma.
 Tangani pasien di area yang dilengkapi dengan monitor (perawatan intermediat):
1. Berikan oksigen
2. Awasi: EKG, pulse oximetry, tanda-tanda vital setiap 5-10 menit, CTG secara terus menerus
untuk pasien dengan kehamilan >20 minggu.
 Posisi pasien:
1. Bila dicurigai terjadi trauma spinal, posisikan pasien dengan memletakkan kantong pasir atau
baji (baji Cardiff) dibawah bokong kanan dan pindahkan uterus secara manual ke sebelah kiri.
2. Jika tidak, tangani pasien dengan posisi lateral kiri.

Primary Survey
 Bebaskan jalan nafas seperti pada pasien yang tidak hamil.
 Lakukan penekanan krikoid untuk mengurangi aspirasi gaster pada pasien dengan penurunan
kesadaran yang kehilangan refleks protektif jalan nafas.
 Pasang NGT untuk dekompresi lambung.
 Lakukan intubasi bila perlu.
 Lakukan resusitasi dengan cairan kristaloid IV secara agresif. Pertimbangkan tranfusi dini. Hindari
penggunaan vasopressor sedapat mungkin, yang dapat mengakibatkan penurunan aliran darah ute-
rus.
 Resusitasi pada keadaan henti jantung sebaiknya mengikuti acuan seperti halnya pada pasien yang
tidak hamil.
 Akan tetapi, bila tidak kembali terjadi sirkulasi spontan setelah 5 menit, harus dipertimbangkan
dilakukan sectio caesarea cito bila janin masih hidup.

Secondary Survey
 Secondary survey dilakukan dengan cara yang sama seperti pada pasien yang tidak hamil.
 Indikasi pemasangan chest tube adalah sama. Akan tetapi, jangan lakukan pemasangan chest tube
dibawah ICS IV.
 Selain itu, penilaian terhadap uterus dan kondisi fetus harus meliputi:
1. Pengawasan CTG secara kontinu terhadap iritabilitas uterus, penurunan denyut jantung janin
maupun hilangnya variabilitas denyut jantung janin.
2. Tinggi fundus uteri dan adanya nyeri tekan.
3. Gerakan janin.
4. Adanya darah di jalan lahir, cairan ketuban (pH>7.5), effacement cervix dan ancaman persali-
nan.
 Cedera dan komplikasi yang khas pada kehamilan:
1. Abruptio placentae
a. Penyebab utama kematian janin setelah trauma tumpul.
b. Terjadi sebagai akibat regangan total oleh trauma tumpul atau deselerasi mendadak.
c. Trias klinis terdiri dari nyeri perut, perdarahan per vaginam, iritabilitas uterus, walapun
mungkin samar.
d. Dapat terjadi akumulasi darah ibu di uterus sampai 2 liter.
e. Berkaitan dengan peningkatan resiko terjadinya DIC.
2. Ruptur uterus
a. Jarang terjadi
b. Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul abdomen.
c. Resiko lebih tinggi pada wanita dengan riwayat SC.
d. Gambaran klinis meliputi peritonismus, uterus asimetris dan teraba bagian janin.
292

3. Partus prematurus
a. Peningkatan iritabilitas uterus dapat terjadi sebagai akibat trauma uterus.
b. Disebabkan oleh peningkatan asam arakidonat.
c. 90% terjadi abortus spontan.
4. Cedera janin
a. Jarang terjadi, karena janin lebih sering mengalami gangguan akibat hipoksia atau
hipovolemik pada ibu.
b. Dapat terjadi akibat trauma tajam maupun tumpul.
5. Sensitisasi Rh
a. Terjadi bila darah dari janin Rh positif masuk ke dalam sirkulasi ibu yang rh negatif.
b. Perlu dipertimbangkan pemberian Imunoglobulin Rh (IM RhoGAM 300mg) pada semua
ibu Rh negatif yang mengalami trauma abdomen, dengan konsultasi ke ahli Obstetri.
6. Emboli cairan ketuban
a. Jarang terjadi dan dengan prognosis yang buruk
b. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler, distres nafas, kejang atau DIC.

Pemeriksaan
 Darah lengkap, ureum, creatinin, elektrolit
 Faal hemostasis
 Persediaan darah yang telah dilakukan Uji Silang (jangan lupa mencantumkan status Rh ibu).
 Tes Kleihauer (bagi ibu Rh negatif).
 Pemeriksaan sinar X dan CT yang diperlukan tidak boleh ditunda, gunakan pelindung timbal yang
sesuai, walaupun dapat dipertimbangkan sarana diagnostik lain seperti DPL dan USG.
 Indikasi dilakukannya DPL tetap sama. Akan tetapi, tindakan ini harus dilakukan di lokasi yang
terletak lebih tinggi dari fundus uteri, atau setidaknya di atas umbilikus. Karena usus terdorong ke
superior oleh uterus, terdapat peningkatan resiko terjadinya perforasi pada kasus trauma tumpul
abdomen atas, dan harus digunakan jumlah sel lekosit yang lebih rendah (5000/mm 3) sebagai
batasan untuk menentukan nilai positif pemeriksaan ini.
 Pemeriksaan ultrasonografi (FAST) sangat berguna dalam mendeteksi hemoperitoneum, serta
mendeteksi gerakan janin dan abruptio plasenta.

Penanganan Definitif
 Keputusan untuk penanganan definitif cedera yang terjadi harus dibuat oleh ahli Bedah maupun
Obstetri yang terlibat.
 Situasi yang mungkin memerlukan terminasi segera kehamilan meliputi:
1. Abruptio plasenta
2. Gawat janin
3. Henti jantung ibu
 Sekalipun tidak terjadi cedera yang bermakna pada ibu, pasien harus menjalani pengawasan CTG
secara kontinu selama setidaknya 4 jam. Karena cedera yang sepele saja dapat menyebabkan sep-
arasi plasenta.

Disposisi
 Pasien dengan trauma mayor secara umum harus dirawat di ICU Bedah Umum atau HDU.
 Pasien dapat pula dirawat di ruangan subspesialis bedah sesuai dengan jenis cedera yang dialami
ibu (misalnya ibu hanya mengalami trauma kepala, dapat dirawat di bagian Bedah Syaraf; atau di
bagian Ortopedi jika mengalami patah tulang semata).
 Jika tidak terdapat cedera yang nyata dan bermakna, pasien dapat dirawat di ruang bersalin untuk
dilakukan pengawasan.
293

104. Trauma, Ekstremitas Atas

Caveats
 Walaupun cedera tulang terlihat serius, kasus tersebut sering tidak mengancam nyawa dan
termasuk dalam secondary survey pada pasien trauma.
 Untuk semua dislokasi sendi yang membutuhkan manipulasi dan reduksi pada ED, jangan
berikan opioids IM, namun berikan secara IV. Karena opioid yang diberikan lewat IM absorb-
sinya baik. Sehingga ketika dibutuhkan conscious sedation, seseorang harus memastikan dosis
efek penghilang nyerinya. Hal ini akan menyebabkan supresi pernafasan dan hipotensi ketika
dosis total opioid IM diabsorbsi ke dalam sirkulasi.
 Untuk setiap cedera ortopedi, selalu ingat untuk mencatat status neurovascular sebelum dan
sesudah manipulasi/reduksi atau aplikasi gips.

Tips Khusus Bagi Dokter Umum :


 Ingat untuk memberikan analgesic dan splint fraktur atau dislokasi sebelum merujuk px ke
ED. Ingat bahwa splingting merupakan salah satu cara untuk mengurangi nyeri.
 Jangan berikan opioid IM jika anda tidak yakin apakah px membutuhkan M & R untuk frak-
tur atau dislokasinya.

Fraktur Klavikular
 Mekanisme trauma
1. Sebagian besar terjadi karena jatuh dengan tangan yang terulur.
2. Dapat juga terjadi karena hantaman langsung pada bahu, cth: terjatuh pada posisi
samping.
 Manifestasi klinis :
1. Nyeri Tekan pada lokasi fraktur
2. Deformitas dengan pembengkakan local.
 X Ray: bisaanya Foto AP bahu cukup adekuat.
 Komplikasi : jarang, fragment fraktur dapat membahayakan struktur neurovascular subklavial.
 Terapi: Broad arm sling dan control ke klinik ortopedik 5 hari kemudian.

Dislokasi Sternoklavikular
 Mekanisme trauma : bisaanya akibat jatuh atau hantaman pada daerah anterior bahu:
1. Asimetri dari inner end klavikula
2. Nyeri tekan local
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan dan bengkak pada sendi sternoklavikular
2. Nyeri pada saat lengan digerakkan dan pada saat kompresi bahu ke lateral.
3. Dengan cedera berat, klavikula medial bergeser relative terhadap manubrium.
4. Dispneu, disfagi, atau tersedak (pada px dengan dislokasi posterior karena kompresi
struktur mediastinal).
 X ray : AP dan Oblique view sulit untuk diinterpretasi. Dx bisaanya berdasarkan pemeriksaan
klinis. Namun tomogram atau CT mungkin dapat dilakukan.
 Komplikasi : jarang, dislokasi mungkin dapat membahayakan pembuluh darah posterior dari
klavikula.
 Terapi:
1. Subluksasi minor : Broad arm sling, Analgesic dan control ke klinik ortopedi setelah 3
hari.
2. Gross Displacement : MRS dibagian Ortopedi untuk eksplorasi / reduksi di bawah GA.
Catatan : Cedera yang mengancam nyawa, bila mengenai struktur didekatnya terjadi pada 25%
kasus dislokasi posterior.
294

Cedera Sendi akromioklavikular


 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan menumpu pada bahu dengan lengan tera-
duksi atau jatuh pada lengan yang terulur.
 Manifestasi : penonjolan lateral end dari klavikula dan adanya nyeri local.
 X Ray : Foto AP dari sendi AC (bagian/sisi inferior dari akromion dan klavikula harus mem-
bentuk suatu garis lurus).
Catatan : Weight Bearing view menunjukkan hasil tambahan yang hanya sedikit, dan hanya
akan menyebabkan nyeri serta tidak akan mengubah terapi yang diberikan.
 Terapi : Broad arm sling dan control ke klinik ortopedi setelah 5 hari.

Fraktur Skapula
 Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma langsung pada dada posterolateral.
 Manifestasi klinis : nyeri local dan pembengkakan serta adanya associated injury.
 X ray : AP bahu, dengan atau tanpa Scapular View.
 Komplikasi : Fraktur scapular bisaanya terkait dengan cedera intrathorax yang signifikan
seperti kosta, fraktur vertebral, fraktur klavikular, cedera pembuluh darah pulmonal dan
pleksus brachialis.
 Terapi :
1. Isolated Scapular Fracture : Broad arm sling dan analgesic, control ke klinik ortopedi
setelah 3 hari.
2. Bersamaan dengan cedera intratoraks yang lain: MRS ke bedah umum.

Dislokasi bahu
Secara statistic : 96% dislokasi anterior, 3,4% posterior, 0,1% inferior (luxatio ercto).

Dislokasi Anterior
 Mekanisme trauma : jatuh yang menyebabkan rotasi eksternal bahu.
 Manifestasi :
1. Khas : px bisaanya menyangga lengan yang cedera pada bagian siku dengan
menggunakan tangan sebelahnya .
2. lengan dalam posisi abduksi ringan
3. Kontur terlihat ‘squared off’
4. Nyeri yang sangat.
 X ray : AP dan axial atau Y-Scapular view akan membantu membedakan dislokasi anterior
dengan posterior.
Catatan : X ray sangat penting menurut standar medikolegal untuk menyingkirkan fraktur lain
yang terjadi sebelum dilakukannya manipulasi dan Reduksi ( M & R). ada peningkatan bukti
yang menunjukkan bahwa dislokasi bahu yang rekuren dan atraumatis tidak membutuhkan
pre-M&R X ray. Namun, keadaan ini tidak diterima secara luas dalam kalangan ahli ortopedi.
 Komplikasi :
1. Rekuren
Catatan : Hill-Sachs lesion (fraktur kompresi aspek posterolateral dari humeral head) dapat
terlihat pada px yang sebelumnya menderita dislokasi anterior.
2. Avulsi Tuberositas mayor (banyak terjadi pada px > 45 tahun).
3. Fraktur anterior Plenoid lip
4. Kerusakan arteri aksilaris dan pleksus brakialis.
Catatan : Harus memeriksa :
1. Fungsi Nervus axillaris dengan memeriksa sensasi jarum pada deltoid atau ‘regimental
badge’area.
2. Pulsasi pada pergelangan tangan
3. Fungsi Nervus radialis.
295

 Terapi :
1. Isolated anterior dislocation : M&R (dengan bermacam-macam teknik) dibawah con-
scious sedation.
2. Dislokasi anterior dengan fraktur tuberositas humerus mayor atau minor : M&R dibawah
conscious sedation.
3. dislokasi anterior dengan fraktur proksimal shaft humeral : M&R dibawah GA, pertim-
bangkan ORIF.
 Manajemen lanjutan : analgesic IV, BUKAN IM (tempatkan IV plug untuk antisipsi M&R),
kemudian X ray yang diikuti M&R dibawah conscious sedation.
 M&R : merupakan teknik traksi yang disukai untuk digunakan daripada teknik terdahulu
seperti maneuver Hippocratic/Kocher’s.
Traksi harus dilakukan pada area critical care atau intermediate care dimana px dapat dimoni-
toring, dan px berada pada kondisi conscious sedation (lihat bab Conscious sedation).
1. Teknik Cooper-Milch
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px pada posisi supine dengan siku fleksi
90o.
b. Luruskan siku dan dengan sangat perlahan pindahkan lengan pada posisi abduksi
penuh yang ditahan pada traksi lurus dimana seorang asisten mengaplikasikan
tekanan yang lembut pada sisi medial dan inferior dari humeral head.
c. Adduksi lengan secara bertahap.
d. Pasang collar dan cuff, kemudian lakukan X ray post reduksi.
2. Teknik Stimson’s
Metode yang memanfaatkan gaya gravitasi, yang sering dilakukan pada ED yang sangat
sibuk.
a. berikan analgesic IV dimana px berbaring pada posisi pronasi dengan lengan
tergantung di sebelah trolley dengan beban seberat 2,5-5kg terikat pada lengan
tersebut.
b. Perlahan setelah 5-30 menit, lakukan relokasi bahu.
c. Pasang collar dan cuff, periksa x ray post reduksi.
3. Teknik Countertraction
Bermanfaat sebagai sebuah maneuver back-up ketika cara-cara diatas gagal.
a. Dibawah conscious sedation, tempatkan px berbaring supine dan tempatkan
rolled sheet dibawah aksila dari bahu yang terkena.
b. Abduksi lengan sampai 45o dan aplikasikan sustained in line traction sementara.
Asisten memasang traksi pada arah yang berlawanan menggunakan rolled sheet.
c. Setelah relokasi, paang collar dan cuff, periksa X ray post reduksi.
d. Penempatan : klinik ortopedik setelah 3 hari.
4. Teknik Spasso, walaupun teknik ini tidak dikenal secara luas, namun teknik ini telah
digunakan pada departemen kami, dan kami anggap bahwa metode ini merupakan metode
yang paling mudah dilakukan dengan angka keberhasilan yang tinggi.
a. Dibawah conscious sedation, letakkan lengan yang sakit dengan dengan dinding
dada.
b. Fleksikan lengan pada bahu, dan lakukan rotasi eksternal secar simultan. Pada
kebanyakan kasus, sebelum bahu mencapai fleksi kedepan 90o, akan terdengar
bunyi ‘clunk’, dan head humerus telah kemabali pada posisinya.
c. Adduksi lengan
d. Pasang collar & cuff dan periksa X ray post reduksi.

Dislokasi posterior
 Mekanisme Trauma
1. Bisaanya karena jatuh pada tangan yang terotasi ke dalam serta terjulur atau karena han-
taman pada bagian depan bahu.
296

2. Terkait dengan kontraksi otot saat kejang atau cedera akibat tersetrum listrik.
 Manifestasi
1. Lengan terletak berotasi internal dan adduksi
2. Px merasakan nyeri, dan terdapat penurunan peregerakan dari bahu
 X ray : AP (Gambar 2a) dan Y scapular view (Gambar 2b)
Catatan : sangat mudah terjadi missdiagnosa dislokasi bahu posterior pada bahu AP. Suspek
dislokasi posterior jika terdapat ‘light bulb sign’ karena rotasi internal bahu dan terdapat over-
lap antara head humerus dan glenoid labrum pada foto bahu AP.
 Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
 Terapi : prinsip sama dengan dislokasi anterior
1. Untuk isolated dislokasi posterior, coba M&R dibawah IV conscious sedation.
2. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur tuberositas, coba M&R dibawah conscious seda-
tion.
3. Untuk dislokasi posterior dengan fraktur humeral shaft, MRS untuk M&R di bawah GA,
pertimbangkan ORIF.
 Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, pasang traksi pada lengan pada posisi abduksi
90o.
2. Kadang countertraction dengan seorang asisten menggunakan rolledsheet dibawah aksilla
perlu dilakukan.
3. Secara perlahan lengan dirotasikan ke eksternal.
4. Setelah relokasi dilakukan pada kasus yang pertamakali terjadi pada seorang dewasa
muda, aplikasikan strapping bersama dengan collar dan cuff.
5. Setelah relokasi pada lansia, aplikasikan collar & cuff dan pertimbangkan early
mobilization.
 Penempatan : Klinik ortopedi setelah 3 hari.

Dislokasi Inferior
 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan lengan berada pada posisi abduksi.
 Manifestasi klinis :
1. Abduksi lengan atas dengan posisi ‘hand over head’
2. Hilangnya kontur bulat dari bahu.
 X ray : foto AP cukup untuk mendiagnosa.
 Komplikasi : kerusakan arteri aksilaris dan nervus brakialis.
 Terapi : prinsipnya sama dengan dislokasi yang lain:
1. Untuk dislokasi dengan atau tanpa fraktur tuberosita, coba M&R dibawah IV conscious
sedation.
2. Untuk dislokasi dengan fraktur humeral neck, coba M&R dibawah GA, KIV ORIF>
 Teknik :
1. Dibawah kondisi IV conscious sedation, aplikasi traksi yang steady pada lengan yang
dibduksi.
2. kadang diperlukan counter traction dengan seorang asisten menggunakan rolled sheet
yang ditempatkan pada akromion.
3. Setelah relokasi, pasang collar & cuff.
 Penempatan : control ke poli ortopedi setelah 3 hari.

Fraktur Humeral Proksimal


Fraktur ini mungkin melibatkan struktur anatomi neck humeral juga tuberositas atau dengan kombinasi
yang bermacam-macam.

.................................................
..............................................
297

Fraktur shaf humeral


 Mekanisme trauma : jatuh pada satu sisi, pukulan langsung pada area tersebut, atau jatuh
dengan tangan yang terulur.
 Manifestasi klinis:
1. Nyeri tekan, pembengkakan pada proksimal humerus.
2. Lebih lanjut, akan terdapat memar yang besar yang menuju pada bagian bawah lengan
karena gravitasi.
 X ray : foto AP dan lateral humerus
 Komplikasi :
1. Adhesive capsulitis (frozen shoulder)
2. Cedera struktur neurovascular
3. Nekrosis avascular humeral head.
 Terapi : pasang collar & cuff
 Penempatan :
1. Fraktur displaced tuberositas mayor yang berat mungkin membutuhkan MRS untuk ORIF
dengan GA.
2. Fraktur displaced yang ringan dapat KRS, kemudian control ke klinik ortopedik dalam 3
hari.

Fraktur Shaft Humeral


 Mekanisme trauma: bisaanya karena indirect force, seperti jatuh pada saat tangan terulur, atau
hantaman langsung pada area tersebut.
 Manifestasi :
1. Nyeri tekan local dan pembengkakan
2. Mungkin dapat timbul deformitas.
 X ray : Foto AP dan lateral humerus
 Komplikasi : Palsy nervus radialis (drop wrist) dan vascular compromise.
 Terapi :
1. untuk fraktur angulasi minimal, pasang U slab, lebih mudah dilakukan pada saat px duduk
pada trolley daripada pada saat px berbaring terlentang, kemudian diikuti dengan collar&
cuff, serta control ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced yang parah, lakukan M & R dibawah IV conscious sedation,
pasang U salb dan Collar & cuff, kemudian rujuk ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
3. Untuk kasus dengan komplikasi kerusakan neurovascular, MRS dibagian ortopedi.

Fraktur Shaft Humerus Supracondylar


 Mekanisme trauma : jatuh dengan tangan terulur, bisaanya pada anak kecil.
 Manifestasi klinis :
1. Nyeri tekan dan bengkak pada distal humerus dan siku.
2. Deformitas mungkin terjadi
3. Bentukan segitiga yang disusun oleh olekranon, epikondilus lateral dan medial.
 X ray : AP dan lateral siku (waspada terhadap adanya fraktur kondilus lateralis, sarankan OR-
IF). Cari tanda ‘fat pad’ (gambar 3).
 Komplikasi :
1. Kerusakan arteri brakialis
a. Cek pulsasi radialis dan capillary refill.
b. Cari adanya kepucatan dan dingin pada ekstremitas, nyeri, parestasi atau pa-
ralysis pada lengan bawah.
2. Cek jari dan ibu jari untuk mencari deficit neurologist terkait dengan kerusakan Nervus
radialis, ulnaris atau medianus.
Catatan : Dokumentasikan hasil pemeriksaan tersebut.
298

Terapi :
1. Jika terdapat displacement minimal (<10-15o) pasang long arm back slab dan control ke
klinik ortopedi setelah 1-2 hari. Berikan KIE yang jelas mengenai ancaman Compartment
syndrome (gejala dan tandanya).
2. Jika terdapat pembengkakan pada daerah siku dengan minimal angulated fracture. Per-
timbangkan meng-MRS-kan px untuk observasi sirkulasi.
3. Jika displacement > 15o, pasang long arm backslab dan rencanakan M&R.

Fraktur Epicondilus Medialis Humerus


 Mekanisme trauma :
1. dapat terjadi avulse oleh ligamentum collateral ulnaris ketika siku dipaksakan untuk ber-
posisi abduksi.
2. Avulsi karena kontraksi otot fleksor lengan bawah secara mendadak.
3. trauma langsung
 manifestasi klinis : pembengkakan dan nyeri tekan local.
 X ray : AP dan lateral siku
 Komplikasi : disposisi/terapi cedera nervus ulnaris.
1. jika minimal atau tidak ada displacement, pasang long arm back slab dan control ke poli
ortopedi setelah 3 hari.
2. Jika fraktur disertai displaced yang lebih parah, pertimbangkan M&R dibawah GA, KIV
ORIF.

Fraktur Condilus Lateralis Humerus


Catatan : sering terlewatkan karena dikaburkan dengan fraktur suprakondiler.
 Mekanisme trauma : cedera adduksi pada siku
 Manifestasi : nyeri tekan dan pembengkakan local
 X ray : AP dan lateral siku
 Komplikasi : tidak ada komplikasi akut, komplikasi yang terlambat, a.l:
1. mal-union dan non-union menyebabkan posisi cubitus valgus dan tardy ulnar nerve palsy.
2. Kekakuan siku terutama pada dewasa.
 Terapi :
1. Fraktur undisplaced atau minimal displaced, pasang long arm backslab : control ke klinik
ortopedi setelah 3 hari.
2. jika fraktur displaced > 2mm atau terotasi, MRS pada bagian ortopedi untuk M7R di
bawah GA, ORIF.

Dislokasi Siku
 Mekanisme trauma : karena pada posisi tangan terulur, yang paling sering ditemukan adalah
dislokasi posterolateral.
 Manifestasi :
1. Deformitas siku dengan nyeri tekan dan bengkak
2. Bentukan segitiga antara olekranon, epicondilus lateral dan medial mengalami kerusakan.
 X ray : AP dan lateral siku.
 Komplikasi : cedera arteri brakialis, nervus ulnaris atau medianus
 Terapi : M & R di bawah IV conscious sedation
1. Dengan posisi px supine, paang traksi pada garis lengan
2. Fleksi ringan siku mungkin dipelukan selama mempertahankan traksi.
3. setelah relokasi, pasang long arm back slab
4. Jika tidak ada bukti kerusakan neurovascular, control ke klinik ortpedi setelah 3 hari.
5. jika terdapat kerusakan neurovascular walaupun sangat ringan, MRS di bagian ortopedi
untuk observasi.
6. pastikan bahwa sendi telah tereduksi, X ray kadang bisa menipu.
299

Pulled Elbow (Subluksasi Radial head)


 Mekanisme trauma : bisaanya terjadi pada anak usia 9 bulan-6 tahun, karena tarikan yang kuat
pada tangan yang terulur, yakni adanya tenaga yang menarik dengan kuat pada ligament annu-
lar di radial head.
 Manifestasi :
1. Lengan tergantung lemah
2. Anak mengeluh nyeri pada lengan dan tidak mau menggerakkannya.
3. Nyeri tekan local pada bagian proksimal lengan bawah.
4. Nyeri yang ditimbulkan sat memfleksikan siku atau men-supinasikan lengan bawah.
5. tidak ada pembengkakan dan deformitas
 X ray : pada situasi klasik tidak dibutuhkan, namun bila terdapat riwayat jatuh atau adanya
hantaman langsung pada lengan bawah pada posisi foto AP dan lateral siku.
 Terapi : manipulasi tanpa anestesi dapat dilakukan.
1. Pegang tangan dari lengan yang cedera dengan posisi berjabat tangan sementara tangan
pemeriksa yang lain memegang belakang siku dengan ibu jari terletak pada head radius.
2. Secara lembut dan perlahan, dorong lengan bawah ke dalam siku, dan paksa untuk men-
supinasikan lengan atau secara cepat ganti ke posisi pronasi dan supinasi sampai menden-
gar atau merasakjan bunyi ‘pop’. Tidak diperlukan sling karena anak akan mulai
menggunakannya secara normal dalam 5-10 menit.
3. jika maneuver tersebut tidak berhasil, lengan harus diistirahatkan pada sebuah sling, dan
reduksi spontan bisaanya terjadi dalam waktu 48 jam.
4. Tidak dibutuhkan control ke klinik ortopedi. KIE pada keluarga bahwa mereka jangan
mengangkat anak mereka secara langsung dengan menarik lengannya.

Fraktur Olekranon
 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh pada siku, juga karena kontraksi yang kuat pada
otot trisep.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak/bruising (memar) di daerah olekranon.
 X ray : AP dan lateral siku.
 Terapi :
1. Jika tidak terdapat displacement dari fraktur, atau ada tapi minimal, pasang long arm back
slab dan control ke klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS untuk M&R dibawah GA,
KIV ORIF

Fraktur Radial Head/Neck


 Mekanisme trauma : karena jatuh dengan tangan terulur atau hantaman langsung pada lengan
bawah.
 Manifestasi klinis : nyeri local dan nyeri tekan, dengan pembengkakan pada siku lateral.
 X ray : AP dan Lateral siku
Catatan : Occult fracture dari radial neck/head mungkin hanya menunjukkan ‘positive
posterior fat pad sign’ pada foto lateral (Gambar 3), selalu carilah tanda ini !
 Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang long arm backslab dan control ke klinik ortopedi setelah
5 hari.
2. Jika fraktur displaced, pasang long arm back slab dan MRS ke bagian ortopedi untuk M
& R dibawah GA, KIV ORIF.
300

Fraktur Lengan Bawah


 Mekanisme trauma : bisaanya karena trauma langsung, namun juga karena jatuh dengan tan-
gan terulur.
 Manifestasi klinis : Nyeri tekan dan pembengkakan lengan bawah, dengan deformitas jika
fraktur displaced.
 X ray : AP dan lateral view lengan bawah
Catatan : Pastikan bahwa film menampakkan siku dan peregelangan tangan sehingga fraktur
monteggia atau Galeazzi dapat dieksklusi. Jangan pernah memebrikan terapi pada single fore
arm bone fracture sampai anda telah menyingkirkan fraktur-dislokasi yang tersebut di atas.
1. Fraktur-dislokasi Monteggia adalah fraktur pada ulna disertai dengan dislokasi radial
head.
Catatan : banyak gugatan hukum diajukan karena missed dx bowed ulna (green stick)!
2. fraktur-dislokasi Galeazzi adalah fraktur radius dengan dislokasi pada inferior radio-
ulnar joint.
 Komplikasi : cedera vascular atau compartment syndrome.
 Terapi :
1. untuk fraktur dengan minimal atau tidak ada displacement, pasang ong arm back slab dan
rujuk ke klinik ortopedi setelah 3 hari.
2. Untuk fraktur displaced, lakukan M&R di bawah Bier Block.

Fraktur Colle’s
 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan terulur.
 Manifestasi klinis : khas : Deformitas bentuk ‘dinner fork’ dengan nyeri tekan local.
 X ray : lateral (gambar 4a) dan AP (gambar 4b) pergelangan tangan.
 Komplikasi : malunion : delayed rupture dari M. Extensor pollicis longus; kompresi nervus
medianus; sudeck’s atrophy.
 Terapi reduksi :
1. pasang longitudinal traction untuk ‘disimpact’ fracture.
2. Kemudian pasang flexion and ulnar deviation force pada fragmen menggunakan jari atau
ibu jari.
3. Setelah reduksi pasang short arm backslab dengan posisi lengan bawah pronasi, ulnar de-
viasi dan fleksi ringan pada pergelangan tangan.
4. Jika X ray ulang menunjukkan reduksi yang memuaskan, pasang sling dansarankan px
untuk mobilisasi bahu, siku dan jari.
 Penempatan :
1. jika reduksi memuaskan : control ke klinik ortopedi dalam 2 hari.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M&R dibawah GA
atau ORIF.

Fraktur Smith’s (Reverse Colle’s)


 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh pada punggung tangan, dan fragmen distal miring
ke depan.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak dan deformitas.
 X ray : AP (gambar 5a) dan lateral (gambar 5b) dari pergelangan tangan.
 Terapi :
1. Reduksi di bawah Bier’s block, jika fraktur tertutup dan bukan intraartikular.
2. Membutuhkan monitoring tanda vital dan EKG
 Teknik reduksi :
1. traksi dengan lengan pada posisi supinasi sampai dis-impaksi tercapai.
2. Aplikasikan tekanan ke arah dorsal dari fragmen.
301

3. Pasang short arm volav slab dengan lengan bawah pada supinasi penuh, pergelangan tan-
gan pada posisi dorsiflexion dan siku dalam posisi ekstensi, kemudian pasang long arm
backslab dengan siku fleksi 90o.
Penempatan :
1. Jika reduksi memuaskan control ke klinik ortopedi setelah 2 haru.
2. Jika fraktur terbuka atau intraartikular, MRS ke bagian ortopedi untuk M & R dibawah
GA atau ORIF.

Fraktur Barton’s
Merupakan bentuk fraktur Smith dimana hanya bagian anterior radius yang terlibat.
 Mekanisme trauma : karena jatuh pada saat tangan terulur.
 Manifestasi klinis: nyeri tekan local, pembengkakan dan deformitas.
 X ray : foto AP dan lateral pergelangan tangan.
 Terapi : pasang short arm volar slab dan MRS pada bagian ortopedi untuk ORIF.

Fraktur Scaphoid (Carpal Navicular)


 Mekanisme trauma :
1. bisaanya karena jatuh pada posisi tangan terulur
2. kadang karena ‘kickback’ ketika menggunakan ‘starting handle’, pompa atau kompresor.
 Manifestasi klinis
1. Nyeri pada tepi radial pergelangan tangan
2. nyeri tekan pada anatomical snuffbox dan aspek ventral serta dorsal dari scapoid.
 X ray : AP dan lateral view dari pergelangan tangan (gambar 7b), juga Scaphoid view (gambar
7a).
Catatan : Scaphoid view harus dilakukan pada semua px dengan nyeri tekan pada ‘snuffbox’
area.
 Komplikasi : nekrosis avaskular nekrosis/ non-union/osteoarthritis/suddeck’s atrophy.
 Terapi :
1. pada kasus fraktur scaphoid definitive : pasang scaphoid spica splint dan control pada
klinik ortopedi setelah 5 hari.
2. Pada kasus dengan kecurigaan fraktur scapoid namun tidak ada gambaran fraktur pada X
ray, maka paang scaphoid spica splint dan control pada klinik ortopedi setelah 10-14 hari.

Dislokasi Lunate
 Mekanisme trauma : bisaanya karena jatuh dengan tangan yang terulur.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local dan bengkak
 X ray : AP dan lateral pergelangan tangan (gambar 8)
 Komplikasi : palsy nervus medianus/avaskularnekrosis/sudeck’s atrophy.
 Terapi :
1. Reduksi dibawah Bier’s Block
2. Monitor tanda vital dan EKG.
 Teknik Reduksi
1. Pasang traksi untuk mensupinasi pergelangan tangan
2. Luruskan pergelangan tangan, pertahankan tarikan tersebut.
3. Aplikasikan tekanan dengan ibu jari pada lunate.
4. Fleksikan pergelangan tangan secepatnya ketika anda merasakan lunate masuk ke dalam
tempatnya.
5. Pasang short arm back slab pada posisi pergelangan tangan agak fleksi.
 Penempatan
1. bila reduksi berhasil, control ke klinik ortopedi setelah 2 hari.
2. Jika percobaan reduksi tidak berhasil, pasang backslab dan MRS untuk ORIF
302

Dislokasi Perilunate
 Mekanisme trauma : karena jatuh saat tangan terulur atau hantaman langsung pada tangan.
 Manifestasi klinis : nyeri tekan local, bengkak, dan deformitas.
 X ray : AP dan oblique view dari metacarpal.
 Terapi :
1. Jika fraktur undisplaced, pasang short arm backslab dan control ke klinik ortopedi dalam
2-3 hari.
2. Jika fraktur displaced, coba reduksi di bawah Bier’s block, diikuti dengan aplikasi back-
slab. Control ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.
3. Jika fraktur melibatkan metacarpal neck, splint harus diluruskan diluar PIPJ dengan
MCJP pada saat fleksi 90o. control ke klinik ortopedi dalam 2-3 hari.

Fraktur Bennett’s
Merupakan fraktur metacarpal ibu jari, dimana ada fragmen medial kecil dari tulang yang miring, na-
mun tetap terhubung dengan ‘trapezium’.
 X ray : AP dan Lateral view dari metacarpal ibu jari.
Catatan : garis vertical fraktur melibatkan trapezo-metacarpal joint dan terdapat subluksasi
proksimal dan lateral dari metacarpal ibu jari.
 Terapi : pasang scaphoid thumb spica backslab dan MRs pada bagian hand surgey untuk OR-
IF.

Fraktur Phalang proksimal dan tengah dari jari


 Jika fraktur displaced, lakukan M&R dengan Entonox atau digital block.
 Kemudian pasang alumunium splint, dari bagian pergelangan tangan sampai ke ujung jari,
dengan MCJP pada posisi fleksi 90o dan IPJ diluruskan.
 Jika fraktur undisplaced, pasang alumunium splint tanpa M&R.

Fraktur Phalang terminalis


 Terapi cedera jaringan lunak harus diutamakan.
 Fraktur tertutup : tidak butuh M&R; pasang short alumunium splintpada bagian posterior jari.
 Fraktur terbuka (hanya pada bagian terminal tuft) :
1. Irigasi dengan saline minaml 500ml.
2. berikan IV Cefazolin 1 g dalam 1 jam sejak kedatangan px, sebelum dilakukannya X ray.
3. pasang short alumunium splint pada bagian posterior, control ke klinik Hand surgery da-
lam 3 hari.
 Fraktur terbuka (shaft atau basis) : berikan antibiotik IV seperti diatas, pasang kassa atau alu-
munium splint dan MRS ke bagian Hand surgery untuk ORIF.
303

105. Urolithiasis
Caveats

 Kolik ureter menyebabkan pasien gelisah daripada posisi diam.


 Kebanyakan dapat diterapi dengan konservatif, missal dengan meningkatkan intake cairan.
 Analgesik adekuat dengan NSAIDS atau agonis opioid.
 Obstruktif uropati dan infeksi merupakan emergency urology dan perlu opname.
 Sebanyak 75-80% batu dapat keluar spontan
 Faktor kontribusi:
1. Dehidrasi, diet tinggi protein dan tinggi natrium.
2. Hipertensi esensial.
3. Hipercalsiuria. Diet kalsium dan oksalat tidak meningkatkan pembentukan batu.
4. Pria lebih sering dari wanita.
 Kolik renal pada pasien > 50 tahun, tanpa riwyat masalah ginjal sebelumnya, mungkin
robeknya aneurisma aorta abdominal atau diseksi aorta abdomen.
Tips khusus
 Batu ginjal kebanyakan dapat diterapi konservatif
 Nyeri pinggang sampai paha dengan hematuria indikasi batu ginjal.
 Pria dengan nyeri pada fossa iliaca kanan diduga appendicitis sampai dibuktikan tidak
 Waspada kehamilan ektopik pada wanita dan lihat riwayat menstruasi dan HCG urine.
 Berikan analgesik adekuat dengan NSAIDs atau narkotik opioid.
 Batu ginjal disertai demam merupakan emergency urology dan harus dikirim ke rumah sakit
segera.

Differential Diagnosis dari kolik renal/ ureter


Appendicitis, Salpingitis, Diverticulitis, Pyelonephritis, Torsio ovarium, Prostatitis, Kehamilan ektopik,
Obstruksi usus, Karsinoma
Evaluasi tes laboratorium
 Urinalisa untuk hematuria mikroskopis. Adanya hematuria mikroskopik pada urolithiasis den-
gan tes dipstik urine 95,4%. Tidak adanya hematuria dengan nyeri fossa iliaca kanan atau kiri,
harus diperhatikan diagnosis alternatif.
 Jika memungkinkan, lakukan hitung darah lengkap, khususnya dengan demam tinggi. Pening-
katan leukosit berhubungan dengan demam menunjukkan abses atau infeksi merupakan emer-
gency urology.
 Radiologi: KUB dan rujuk ke klinik urology untuk IVU
Terapi

 Peningkatan intake cairan, meningkatkan disolusi batu. Dianjurkan intake cairan adekuat 3000
– 4000 ml per hari (cukup untuk produksi 2 quarts urine tiap 24 jam). Hati-hati pada pasien
tua dengan riwayat gagal jantung kongestif.
 Terapi citrate chelates kalsium dalam bentuk kompleks terlarut.
 Diet serat memiliki efek tidak langsung mencegah batu ginjal.
 Untuk kolik renal akut berat beri analgesik. NSAIDs seperti diklofenak menghambat produksi
prostaglandin-E2 pada tempat obstruksi. Narkotika seperti pethidine dapat meningkatkan
spasme otot polos, memperberat nyeri. Kedua obat tersebut kontraindikasi relatif pada
kehamilan dan ibu menyusui. Pada kehamilan, batu mudah keluar karena dilatasi normal dari
ureter. Allopurinol untuk batu asam urat.
304

Disposisi

 Rujuk ke urology
1. Nyeri menetap setelah analgesik
2. Ukuran batu > 8mm pada KUB
3. Pasien dengan batu solid
4. Adanya infeksi, khususnya dengan obstruksi
 Rujuk pasien hamil untuk poliklinik dini.
305

106. PERAWATAN LUKA

PENTING
 Anamnesis yang baik mengenai kejadian sangatlah penting untuk menentukan kemungkinan ced-
era penyerta dan derajat kontaminasi, misalnya punch bite, cedera akibat injeksi tekanan tinggi,
crush injuries.
 Pemeriksaan yang menyeluruh terhadap adanya benda asing, fungsi tendon, fungsi neurovaskuler,
kontaminasi dan infeksi sangatlah penting.
 Luka harus dieksplorasi dengan pemberian anestesi yang memadai untuk memungkinkan penilaian
yang menyeluruh.
 Jangan mengeksplorasi luka di leher di IRD, sesuperfisial apapun luka itu terlihat.
 Catat ada tidaknya abnormalitas. Pengambilan foto dapat berguna pada kasus tertentu, misalnya
penyiksaan.
 Pada kasus berikut ini harus dilakukan pemeriksaan X-Ray (AP/lateral):
1. Semua kasus dengan luka yang diakibatkan oleh kaca
2. Kasus tertentu untuk menyingkirkan adanya fraktur terbuka, keterlibatan sendi dan
menyingkirkan adanya benda asing.
 Petanda radioopak (misalnya penjepit kertas) yang dilekatkan pada luka dapat membantu untuk
identifikasi hubungan antara benda asing dengan luka.
 Pemeriksaan apusan luka tidak diperlukan pada cedera yang baru terjadi kecuali berkaitan dengan
adanya fraktur.
 Perdarahan harus dikontrol dengan bebat tekan dan elevasi tungkai: jangan gunakan forsep arteri
atau tourniquet.
 Jangan pernah mencukur alis.
 Jangan berusaha melepaskan benda asing berukuran besar yang tertancap pada luka.
 Jangan meresepkan antibiotika pada pasien dengan status imunitas normal dengan kontaminasi
luka yang minimal.
 Antibiotika tidak dapat menggantikan debridement luka yang baik.
 Pergunakan kesempatan untuk mengevaluasi status tetanus pasien (riwayat imunisasi, booster
terakhir)

TATA LAKSANA
 Jika perdarahan hebat:
1. Amankan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi.
2. Pasang jalur intravena ukuran besar dan lakukan resusitasi cairan.
3. Sediakan darah yang telah diuji silang 2-4 unit.
4. Elevasi anggota gerak yang mengalami perdarahan dan berikan bebat tekan.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Rujuk kasus ke IRD bila tidak dapat dilakukan debridement luka yang baik akibat keterbatasan
waktu atau kondisi non-steril.
 Waspadalah terhadap luka yang terlihat ‘jinak’ tetapi dapat terjadi keusakan jaringan yang lu-
as, misalnyacedera akibat tekanan tinggi atau crush injury.
 Waspadalah terhadap luka “kecil” di plantar pedis. Luka seperti itu tidaklah sederhana (lihat
hal 509).

 Teknik
1. Pembersihan luka merupakan bagian terpenting perawatan luka. Luka sebaiknya dibersihkan
dengan larutan chlorhexidine kecuali luka di daerah wajah (larutan salin normal steril).
2. Jika luka terjadi pada daerah berambut, harus dilakukan pemotongan rambut di sekitarnya
dengan gunting, pencukuran dapat menjadi predisposisi infeksi pada luka melalui kerusakan
epidermis.
306

3. Buang semua debu dan benda asing yang terlihat; luka dalam harus diirigasi dengan setid-
aknya 200 cc larutan steril salin normal.
4. Untuk anestesi lokal gunakan lignocaine 1%, yang digunakan untuk infiltrasi lokal dan blok
saraf.
5. Lakukan eksplorasi luka bila (a) kecurigaan adanya benda asing dan (b) dari riwayat terdapat
kecurigaan kerusakan yang dalam tanpa didapatkan konfirmasi klinis.
 Metode penutupan: jika terdapat keraguan, penjahitan luka merupakan pilihan terbaik
1. Steristrips
a. Cara ini relatif tidak terlalu nyeri, dan jarang menyebabkan iskemia jaringan.
b. Hemat waktu
c. Sesuai untuk anak-anak, laserasi flap pada orang berusia lanjut dan penutupan kulit
setelah dilakukan jahitan pada lapisan yang lebih dalam.
d. Tidak untuk digunakan di daerah persendian.
2. Perekat jaringan
a. Sesuai untuk luka kecil dan laserasi pada anak-anak dan paling sesuai untuk laserasi
dengan jarak antara kedua tepi luka <3mm.
b. Teknik: bersihkan luka dan lakukan hemostasis dengan baik. Dekatkan kedua tepi luka
dan aplikasikan perekat di sepanjang tepi luka dalam bentuk satu garis yang tak terputus.
Rekatkan kedua tepi luka dan tahan selama setidaknya 30 detik sampai perekat melekat
erat. Jangan meletakkan perekat ini di dalam luka, karena bahan tersebut berperan sebagai
benda asing.
3. Teknik penjahitan
a. Gunakan teknik 2 lapis (kulit dan subkutan) pada luka dalam untuk menghasilkan
penyembuhan luka yang lebih baik.
b. Gunakan benang yang dapat diserap, misal Dexon atau Vicryl untuk jaringan subkutan:
untuk badan dan ekstremitas: 4/0; untuk wajah: 5/0.
c. Gunakan benang yang tidak dapat diserap untuk kulit, misal Prolene atau Silk: untuk
scalp: silk 2/0; badan dan ekstremitas: Prolene 4/0; wajah: Prolene 6/0.
d. Secara umum, dapat digunakan benang dengan satu ukuran lebih kecil untuk anak-anak
dan jahitan dapat dibuka lebih dini.
 Disposisi: pertimbangkan rawat inap atau rujukan pada kasus berikut:
1. Jika luka meluas sampai otot, terkontaminasi hebat atau terdapat bukti adanya gangguan mo-
toris atau sensoris, atau tidak dapat memastikan debridement luka yang adekuat, rawat inap di
bagian Orthopedi.
2. Rawat inap untuk semua pasien dengan kerusakan tendon. Pasien dengan cedera di distal bahu
harus dirawat inap di bagian Bedah Tangan. Kasus lainnya dirawat di bagian Orthopedi.
3. Pasien immunocompromise, misal diabetes, GGK dan pasien onkologi.
4. Luka yang besar: perlu waktu lebih dari 30-60 menit untuk menanganinya.
5. Rujuk luka khusus, seperti laserasi kelopak mata, ke bagian Bedah Plastik.

LUKA YANG TIDAK SESUAI UNTUK PENUTUPAN PRIMER


 Luka akibat gigitan, kecuali di bagian wajah.
 Luka yang terkontaminasi hebat.
 Luka yang telah terinfeksi.
 Luka yang usianya sudah >12 jam, kecuali di bagian wajah.

Perawatan luka
 Luka harus dibalut dengan pembalut yang tidak melekat, misal Sofra-tulle.
 Tidak diperlukan pembalutan untuk luka di daerah wajah dan scalp.
 Luka harus dijaga tetap bersih dan kering selama setidaknya 48 jam setelah penutupan primer.
 Pengangkatan jahitan:
1. Scalp: 7 hari
307

2. Wajah: 3-5 hari


3. Tungkai: 10-14 hari
4. Tubuh: 10 hari
 Periksa kondisi luka yang terkontaminasi setiap hari; luka bersih dapat diperiksa setelah 3-5 hari.
 Pertimbangkan pemberian profilaksis antibiotik:
1. Fraktur ujung jari
2. Luka gigitan
3. Luka pada penderita berisiko tinggi, yaitu: penyakit katup jantung dan pasca splenektomi
4. Cedera tembus yang tidak ter-debridement dengan baik
5. Luka yang berusia >6 jam
6. Luka intraoral
7. Pekerja dengan resiko tinggi, misalnya petani, nelayan.
8. Pilihan antibiotika: cloxacillin dan penisillin (organisme yang tersering menimbulkan infeksi
adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus beta-hemolytic) adalah pilihan yang efektif
dari segi biaya, atau Augmentin®.

LUKA KHUSUS
Luka tusuk pada telapak kaki
 Walaupun luka tidak terlihat serius, ingatlah bahwa persendian pada kaki ridak terletak dalam,
sehingga mungkin terjadi penetrasi luka ke dalam sendi dengan peluang terjadinya komplikasi
infeksi serius. Area dari collum metatarsal ke distal jari merupakan daerah paling berisiko
terjadinya infeksi.
 Komplikasi meliputi:
1. Infeksi jaringan lunak oleh Staphylococcus dan Streptococcus pada sebagian besar pasien.
2. Osteomyelitis (90% osteomyelitis diakibatkan oleh Pseudomonas aeruginosa)
 Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya benda asing dan penetrasi sendi.
 Tata laksana luka tusuk merupakan hal yang kontroversial. Berikut ini adalah acuan tata laksana
pada berbagai presentasi klinis:
1. Luka tusuk sederhana
 Biasanya diakibatkan oleh benda yang bersih seperti paku payung, jarum, paku kecil yang
tidak berkarat. Jika tidak satupun dari berikut ini terlihat, yaitu:
a. Indikasi adanya benda asing yang tertahan dalam jaringan
b. Tepi luka yang kotor dan non vital, dan
c. Lokasi tusukan yang meninggi atau sangat nyeri
 Pembersihan luka dan pemberian salep antibiotika, diikuti dengan penutupan luka dengan
plester sudah memadai
 Berikan profilaksis tetanus
2. Luka tusuk dengan benda asing yang tertahan di dalam jaringan
a. Luka tusukan seringkali lebih besar dari yang disebutkan sebelumnya. Tepi luka ter-
kontaminasi, dengan bentuk yang tak beraturan.
b. Biasanya akibat paku yang sudah lama dan benda tidak bersih yang saat menusuk patah,
atau kemungkinan bagian dari kaus kaki atau sepatu yang terdesak masuk ke dalam luka.
c. Setelah diberikan anestesi, lakukan insisi paralel dengan garis kerutan kulit melalui lokasi
tusukan dan buang benda asing tersebut.
d. Lakukan irigasi luka.
e. Jangan menjahit luka. Cukup berikan salep antibiotik dan dekatkan dengan plester.
f. Berikan profilaksis tetanus.
g. Gunakan tongkat penyangga selama 2-3 hari.
h. Pulangkan dnegan pemberian antibiotika, misal Augmentin®.
i. Beri petunjuk pada pasien untuk mengenali tanda-tanda infeksi.
j. Segera periksa ulang keadaa luka.
3. Luka tusuk dengan komplikasi
308

a. Curigai adanya benda asing yang tertinggal bila lokasi tusukan mengalami infeksi.
b. Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan benda asing radioopak.
c. Berikan antibiotika spektrum luas IV, misal Unasyn® atau Uagmentin®.
d. Berikan profilaksis tetanus.
e. Rawat inap untuk tata laksana lebih lanjut, yaitu debridement dengan pembedahan.
Catatan:
 Penggunaan antibiotika profilaksis pada luka tusuk yang tak terinfeksi tidak didukung oleh hasil
penelitian klinis. Penggunaan antibiotika sebaiknya dipertimbangkan hanya pada pasien dan luka
yang berisiko tinggi.
 Debridement jaringan vital secara ektensif, pemberian irigasi dengan tekanan tinggi atau eksplorasi
yang dalam tidak menunjukkan perbaikan hasil akhir.

Luka flap
 Suplai darah pada luka flap seringkali terganggu, terutama pada flap distal.
 Luka flap sesuai untuk penjahitan primer bila terjadi pada daerah wajah, atau pada pasien muda
dimana kualitas kulitnya masih baik.
 Kulit pada pasien usia lanjut tipis, sehingga flap seringkali tidak dapat hidup jika dilakukan pen-
jahitan dengan tegangan. Pada kasus ini luka harus dibersihkan dan didekatkan dengan steristrips
dan dievaluasi dini. Metode ini meliputi eksisi primer dan tandur alih, terutama bila flap berukuran
besar.

Luka pada scalp


 Scalp memiliki kecenderungan untuk berdarah sampai pada derajat yang sampai memerlukan re-
susitasi cairan. Cara terbaik untuk mencapai hemostasis pada luka scalp adalah dengan mem-
bersihkan kontaminan kasat mata dan segera bersihkan luka. Setelah itu gunakan benang sutera 2/0
untuk melakukan jahitan langsung pada ke-5 lapisan scalp. Tindakan ini akan menghentikan
perdarahan. Tidak diperlukan penjahitan atau diatermi pada titik perdarahan.
 Seringkali laserasi scalp disertai dengan hematom luas dibawahnya. Hematom tersebut merupakan
sumber potensial terjadinya infeksi, dan harus dibuang sebelum dilakukan penutupan luka.
 Jangan mencukur rambut. Lebih baik pendekkan saja dengan gunting sedekat mungkin dengan
scalp. Tindakan mencukur merusak epidermis dan folikel rambut, dan merupakan predisposisi
terjadinya infeksi pada luka. Teknik aposisi rambut (HAT), dimana rambut pada kedua sisi laserasi
didekatkan dengan satu simpul dan ditahan dengan perekat jaringan, merupakan teknik baru untuk
menangani laserasi scalp.

Luka pada mata


 Diperlukan pemeriksaan lengkap mata, termasuk tajam penglihatan.
 Pemeriksaan X-Ray orbita diperlukan jika dicurigai adanya benda asing intraokuli, seperti bila
terdapat riwayat masuknya benda asing tetapi tidak terlihat adanya benda asing di permukaan kor-
nea atau bila terdapat distorsi bentuk iris.
 Laserasi kelopak mata yang melewati tepi kelopak mata, baik yang melalui kedua permukaan
kelopak mata, dan yang mungkin disertai kerusakan kelenjar atau duktus lakrimalis, harus dirujuk
ke bagian Penyakit Mata atau Bedah Plastik, tergantung dengan kebiasaan setempat.
Luka pada hidung
 Periksa kemungkinan adanya hematom septum nasi. Jika terdapat hematom, perlu dilakukan
drainase segera.
 Lakukan pemeriksaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya fraktur untuk menentukan kebutuhan
antibiotika profilaksis.
 Laserasi fell-thickness akan memerlukan penjahitan luka lapis demi lapis yang teliti. Jika hebat,
sebaiknya dirujuk ke bagian Bedah Plastik.
 Prinsip utamanya adalah untuk mendekatkan dengan tepat tepian kulit dan mukosa.
309

Luka pada bibir


 Yang amat sangat penting adalah secara akurat menyatukan bagian perbatasan antara kulit dan
mukosa bila garis luka melewati perbatasan kulit dan mukosa.
 Luka yang dalam harus diperbaiki lapis demi lapis.

Luka pada lidah


 Harus diperiksa apakah ada gigi yang tertanam.
 Pertimbangkan oenggunaan X-Ray untuk menyingkirkan adanya benda asing.
 Luka kecil tidak memerlukan penjahitan.
 Jika terdapat perdarahan yang bermakna, rujuk pasien ke bagian Bedah Mulut atau Bedah Plastik.
 Gunakan benang yang dapat diserap dengan waktu serap yang singkat, misalnya catgut 5/0.

Luka pada telinga


 Gunakan anestesi blok melingkar.
 Periksa apakah bagian tulang rawan terkena, karena jika ya perlu dilakukan penjahitan terlebih
dahulu sebelum menutup kulit.
 Selalu berikan bebat tekan (dengan tampon pita) setelah pembersihan dan penjahitan, untuk
mencegah akumulasi hematoma subperikondrium. Jika hal ini tidak dilakukan, dapat terjadi
fibrosis dan pembentukan jaringan parut pada pasien (‘cauliflower ear’).
 Selalu berikan antibiotik dan periksa ulang keadaan luka setelah 1-2 hari.

107. .................
310

108 BRONCHIOLITIS

PERHATIAN
 Istilah bronchiolitis mengacu pada suatu sindroma virus pada bayi (< 2 tahun) yang ditandai
dengan:
1. Diawali dengan riwayat gejala common cold, misalnya, batuk,pilek, 2-3 hari.
2. Diikuti dengan gejala saluran nafas bawah: dyspnoea,wheezing, sulit makan, dan
gelisah karena obstruksi jalan nafas.
3. Gambaran klinis ,meliputi takipnea, nasal flaring, retraksi intercostal atau subcostal,
ekspirasi memanjang dengan rhonchi dan creps, sianosis.
 Organisme penyebab:
1. RSV merupakan causa paling umum (50-90%)
2. Parainfluenza, influenza,mump, adenovirus,echovirus, rhinovirus, Mycoplasma
pneumoniae,Chlamydia trachomatis.
CATATAN: Mycoplasma adalah agen prinsip pada anak usia sekolah dengan bronchiolitis.
 Differential Diagnosis :
1. Pneomonia
2. Benda asing
3. Gastroesophageal reflux
4. Congenital heart disease dengan gagal jantung, yang tidak tediagnose sebelumnya
5. Abnormalitas anatomi jalan nafas yang tidak terdiagnose sebelumnya, misalnya
fistula tracheooesophageal.
6. Asthma dini
 Identifikasi kelompok resiko tinggi untuk komplikasi apnoe dan pemburukan akut, misalnya:
1. Bayi prematur dengan disertai penyakit paru-paru kronis atau bronchopulmonary
dysplasia.
2. Congenital heart disease
3. Cystic fibrosis

Tips khusus untuk dokter umum:


Bronkiolitis adalah short-lived, dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari. Jika pasien
dipulangkan,maka di follow up selama 24 jam
MRS-kan pasien dengan riwayat prematury, kongenital heard disease, penyakit bronkopulmunar,
mempunyai penyakit dasar paru dan imunokompromise

MANAJEMEN
Sebagian besar kasus bronchiolitis sembuh sendiri. Monitoring yang cermat pada apnoea, hypoxia, dan
perawatan supportive yang baik tetap merupakan pokok dari management.
 Bacaan SpO2 : <92% menunjukkan bahwa terjadi distress nafas yang sedang sampai berat.
 Nilai hidrasi: Intake per oral yang jelek akibat sesak dan muntah akibat batuk mengakibatkan
dehidrasi.
 Nilai beratnya distress nafas:
1. Ringan: tidak ada retraksi
2. Sedang :retraksi intercostal, tanpa sianosis
3. Berat: sianosis, apnoea, hypoxia(<92%), dehidrasi, retraksi intercostal yang berat.
 Foto rontgent thorax diindikasikan pada bayi yang sakit, dengan tanda yang tidak khas, dan
pemeriksaan respirasi yang sulit pada bayi yang menangis.
 Indikasi rawat inap:
1. Bayi dalam kelompok resiko tinggi (jika tidak gejalanya sangat ringan dan
orangtuanya konfiden menangani pasien di rumah)
2. Bayi muda < 4 bulan yang beresiko apnoea dan berkembang cepat menjadi penyakit
yang lebih parah.
311

3. Makanan buruk, dehidrasi, agitasi/gelisah.


4. Pada mulanya terlihat oleh beberapa dokter umum selama penyakit ini berlangsung
dengan potensial pemburukan kondisi khususnya dalam 3-4 hari onset penyakit.
 Pasien yang dipulangkan:
1. Jika tidak distress sedang atau berat, bisa makan dan hidrasinya baik.
2. Orang tua dapat mengerti dan mengenali tanda-tanda pemburukan: makan buruk,
gelisah.
3. Review follow up di klinik pediatri dalam 1-2 hari

Terapi supportif :
 Terapi oksigen yang dilembabkan
 Hidrasi (jaga jangan sampai over hidrasi)

Terapi spesifik:
 Bronchodilator:
1. Sering digunakan tetapi manfaatnya diperdebatkan.
2. Tidak ada bukti yang mendukung bahwa oba ini efektif, dan pada beberapa kasus
bisa disertai dengan efek yang memburuk (hypoxia dari peningkatan V/Q mismatch
khususnya jika nebulasi tanpa oksigen).
3. Pada bayi yang lebih tua dimana bisa jadi sulit membedakan bronchiolitis dari bentuk
lain wheezing akibat virus, suatu trial bronchodilator ternyata beralasan karena
proporsi pasien tersebut memberi respon.
4. Pada umumnya hindari peresepan untuk pasien yang dipulangkan (alternatifnya
mocolitik, misalnya bisolvon, bisa jadi pilihan yang lebih baik)
 Steroids: tidak ada aturan konsisten dalam menajemen bronchiolitis pada fase akut.
 Antibiotika:
1. Tidak diindikasikan secara rutin jika tidak ada kecurigaan infeksi ganda (misal RSV
dan infeksi bakteri) tetapi ini tidak umum
2. Hindari penggunaan empiris dari antibiotika pada pasien rawat jalan. Untuk pasien
dimana diperlukan antibiotika , pertimbangkan rawat inap .
 Ribavirin tidak secara rutin digunakan tapi bisa memberikan peran pada pasien resiko tinggi
tertentu.
312

109. Kejang Demam

Definisi :
-Pengalamam kejang pertama pada anak-anak dihubungkan suhu lebih dari 38o C dan biasanya dalam
24 jam pertama sakit, seringkali cepat meningkat.
- Anak antara 6 bulan dan 6 tahun
- Tidak ada infeksi atau inflamasi CNS
- Tidak ada kelainan metabolik sistemik akut.

Kejang Demam Benign :


- Ketika kejang berakhir kurang 15 menit
- Kejang tidak punya gambaran fokal yang signifikan
- Kejang tidak terjadi dalam serial dalam total durasi > 30 menit.

Kejang demam kompleks


- Jika kejang demam lebih lama durasinya dari pada kejang demam benign dan gambaran fokal.
- Jika kejang terjadi berkepanjangan.

Perhatian
- 4% anak normal umur 6 bulan – 6 tahun akan mengalami kejang demam
- Kejang berulang lebih banyak terjadi pula riwayat keluarga mengalami kejang demam, atau
kejang demam pertama muncul diatas satu tahun.
- Riwayat : Maloxon merangsang okulogirik krisis yang menyerupakan kejang demam dan
mempunyai managemen yang berbeda sama sekali, misalnya benzotropin IM/IV (cogentin)
- Ingat untuk mencatat sejarah alergi akibat pemberian panadol rktal atau voltaren.
- Catat postur dan temperamen anak:
1. postur opistotonik pada anak yang gelisah yang dicurigai peningkatan tekanan intra
kranial
2. anak yang iritabel sulit diperiksa bisa mengalami iritasi meningeal : catat ada
perbedaan antara iritabilitas dan crankiness yang ditujukkan oleh anak yang merasa
tidak baik.
3. Anak dengan palasia post ictal lebih menyerupai mengalami tanda-tanda neurologis
abnormal.
- Ingat kaku kuduk menjadi tidak bisa pada bayi atau sulit disingkirkan pada anak yang tidak
kooperative
- Sianosis bisa menunjukkan adanya obstruksi atau aspirasi jalan napas.
- Ingat untuk menilai hepaomegali, yang biasanya umum ditemukan pada anak dengan sepsis
atau sindroma reye.
- Rujuk semua pasien dengan kejang demam pertama ke ED.
- Berikan antipiretik dan lakukan kompres dingin sebelum mengirim pasien ke ED.

Managemen
Anak dengan kejang aktif
- Amankan jalan napas
- Beri oksigen dengan masker
- Berikan diazepam 0,1-0,25 mg/Kg BB dengan kecepatan tidak lebih dari 2 mg/menit atau
berikan diazepam perrektal (valium/stesolid). Cara i8ni lebih baik untuk praktek dokter
umum :
1. 5 mg > 1 tahun
2. 2,5 mg untuk bayi
313

Catatan : jika kejang melampau 30 menit tangani sebagai status epilepsi, yang meliputi infus phenitoin
IV dalam NS 20 mg/kgBB dsengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit dibawah monitor ECG
- Monitor : ECG, pulse oximetri.
- Pasang IV line pherifer
- Laborat : segera gula darah kapiler, ureum – creatinin, kalsium dan magnesium.
- Ukur dan catat suhu dan nadi.
Anak tidak kejang
- Ukur nadi dan suhu : jika suhu > 38,5 oC , berikan antipiretik atau kompres dingin.
- Berikan oksigen dengan masker jika cyanosis.
- Pertimbangkan pemeriksaan urinalisa (UC9) untuk menyingkirkan UTI

Disposisi
Kriteria MRS
- Kejang demam pertamasetelah keluarga atau pengasuhnya terlalu stress untuk menangani di
rumah.
- Kecurigaan penyakit intrakranial atau metabolik
- Anak mengalami lebih dari satu kali kejang selama sakit berlangsung.
- Kejang status epileptikus
- Riwayat baru mengalami cidera kepala( dalam 72 jam)

Kriteria dipulangkan
- MRS tidak diperlukan jika seluruh kriteria berikut ditemukan :
1. barusaja terjadi (<15 menit) kejang demam sederhana dengan pulih sepenuhnya dan
tidak ada tanda neurologis abnormal. Hal ini berarti bahwa jika anda mereview anak
dalam satu jam terakhir, anak menjadi normal dan dapat bicara, berjalan atau berlari
sekitar ruangan.
2. anak diatas 2-3 tahun (yang lebih mudah memeriksa anak lebih tua, dan anda lebih
konfiden dengan tanda-tanda klinisnya).
3. kejang muncul dalam 24 jam pertama demam.
4. anda konfiden bahwa kausa demamnya dikarenakan virus (misalnya anda telah
menyingkirkan meningitis otitis media, pneumonia dan bahwa anaknya bukan
sepsis).
5. orang tua percayadiri, tenang dan berkeinginan mengobservasi di rumah secara
tertutup, dan follow up rawat jalan diarahkan dalam 24-48 jam berikutnya.
6. anda telah memberikan instruksi yang jelas bagaimana memberikan antipiretik dan
stesolit rektal (catatan:jangan resepkan NSAID untuk lebih dari 48 jam).
Kadang-kadang , orangtua yang melaporkan bahwa pasien sibling mengalami menyerupai
kejang demam yang lalu bisa menggantikan tidak meng MRS kan anak. ini tanggung
jawab anda bahwa diatas 6 kriteria ditemukan sebelum anda memulangkan pasien.
314
315

110. Cedera non kecelakaan pada anak

- Definisi WHO : kekerasan pada anak atau salah asuh baik dalam bentuk fisik dan emosional,
penyimpangan seksual, penelantaran atau komersial atau eksploitasi pada anak, dimana hal ini
mengakibatkan potensial membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, perkembangan atau
harkat martabat anak.
- Diperlukan pertimbangan budaya, perilaku, dan nilai-nilai masyarakat untuk mendiagnosa
cedera non kecelakaan pada anak. Tipe-tipe cedera selain kecelakaan :
1. Kekerasan fisik
2. Kekerasan emosional
3. Penelantaran dan kelalaian
4. Penyimpangan seksual
5. Eksploitasi
Beberapa tips untuk dokter umum
- Jika dijumpai kecurigaan yang kuat terjadinya hal tersebut diatas , rujuk segera
- Pengetahuan tentang perkembangan anak adalah penting untuk mendeteksi hal tersebut di
atas, seperti anak usia 1 tahun jatuh dari tempat tidur dan ditemukan fraktur tulang kepala
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas kecurigaan yang kuat dan disertai temuan pada pemeriksaan fisik yang tidak
jelas hubungan dengan anamnesa, jenis cederanya yang mengarah pada kekerasan, serta ciri dan kebia-
saan dari anak dan keluarga

Indikator sosial cedera non kecelakaan


- Kekerasan anak
1. Tidak diinginkan
2. Terpisah dari ibunya setelah lahir
3. Hubungan tidak harmonis dengan orang tuanya
4. Kekecewaan, karena jenis kelamin atau cacat
5. Mudah marah dan tuntutan yang tinggi
6. Berbeda dengan anggota keluarga lain
- Kekejaman orang tua
1. Kurangnya pengalaman orang tua dalam mengasuh
2. Lemahnya dukungan keluarga dan ketakutan dalam merawat anak tanpa alasan yang jelas
3. Kurangnya ketrampilan dan pengetahuan tentang perkembangan anak
4. Kurang dapat mengendalikan emosi dan terlalu otoriter
5. Orang tua terlalu muda
6. Mempunyai ganguan jiwa
- Keluarga
1. Stres terhadap jumlah anggota keluarga dan keuangan
2. Konflik perkawinan dan masalah pribadi
3. Kejadian luar biasa seperti kejadian yang membuat stres misalnya kemayian anggota
keluarga, perpindahan tempat tinggal, perkelahian
4. Kesepian atau terisolasinya ibu ketika suami pergi atau kerja jauh dari rumah, beban berat
dalam mengasuh anak
5. Terisolasi karena faktor geografis, tidak ada sarana transportasi, dan fasilitas umum

Gejala klinis
- Cedera pada anak tidak sesuai atau berlawanan dengan anamnesa
- Terlambat untuk segera memeriksakan anak
- Respon orang tua yang kurang tanggap dalam mengasuh nak
- Anak tidak diimunisasi
- Gagal dalam perkembangan anak baik disertai keterlambatan atau tidak
316

- Tingkah laku dan pengetahuan seksual anak seusianya tidak sesuai


- Cedera multipel tidak sesuai dengan usia
- Bentuk memar atau luka bakar, misalnya 3 atau 4 memar oval kemungkinan dari tamparan
pada wajah atau bekas genggaman pada anggota badan
- Memar pada pantat, payudara, abdomen bagian bawah, atau pada bagian tengah paha
- Tanda melingkar pada pergelangan tangan atau kaki kemungkinan akibat ikatan
- Cedera pada genital dengan anamnesa yang tidak jelas
- Cedera kepala dengan anamnesa tidak jelas
- Hematon subdural disertai dengan perdarahan bilateral retina pada bayi, kemungkinan
“Shaken Baby Syndrome”
- Fraktur pada tepi metafise, fraktur sternum, fraktur iga posterior dan fraktur spiral tulang
panjang pada anak
- Anggota badan bawah dan abdomen terkena air mendidih dengan tidak ada tanda-tanda
tamparan, bentuk seperti donat, sarung tangan dan stoking; kemungkinan luka bakar karena
tersiram air panas
- Luka bakar puntung rokok
- Penyakit menular seksual pada anak
- Perlu disingkirkan beberapa penyakit yang mirip dengan cedera non kecelakaan seperti osteo-
genesis imperfecta, hemofilia dan idiopatik trombositopenia, Ehlers- Danlos syndrome

Munchausen Syndrome by Proxy (MSP)


Waspadai tanda-tanda :
- Penyakit yang tidak dapat dijelaskan , berkepanjangan atau jarang terjadi
- Tanda dan gejala pada temporal yang sama dengan ibunya
- Hasil terapi yang tidak efektif dan tidak sembuh
- Saudara kandung lainnya mempunyai gejala yang sama dan mungkin telah terjadi cedara non
kecelakaan atau kematian tidak wajar pada anak yang lain

Manajemen
- Ketika kekerasan anak dicurigai, anak sebaiknya dirujuk ke ahli anak
- Disarankan rawat inap. Ini untuk menggali lebih dalam lagi anamnesa dan pemeriksaan fisik
sementara anak berada di lingkungan yang aman
- Tegas, sopan, dan ramahlah terhadap orang tuanya untuk menggali lebih dalam tentang cedera
anak demi masa depan anak tersebut
- Jika keselamatan anak terancam, atau orang tua tidak kooperatif dan menolak berbagai saran
medis, maka staff medis dapat menghubung departemen sosial atau kepolisian untuk memaksa
anak tersebut tetap berada di rumah sakit
- Rawat anak di bagian yang terkait untuk mengatasi problem medis yang ditemukan seperti ba-
gian orthopedi untuk frakturnya. Anak tersebut sebaiknya langsung dirujuk ke bagian ahli
anak pada saat itu. Dokter anak bersama timnya akan merawat dan mengobati selama di ru-
mah sakit.
- Kekerasaan seksual pada anak :
1. Korban wanita dirujuk ke bagian ginekologis dan diperiksa sesegera mungkin di IRD. Ahli Bedah
anak biasanya memeriksa korban pria, sesuai protokol yang berlaku
2. Anamnesa dan pemeriksaan medis dilakukan seminimal mungkin untuk menghindari trauma pada
anak
- Polisi mempunyai hak untuk mengambil foto seluruh cedera yang ada sebagai bukti. Mereka
sebaiknya segera dihubungi.
- Buatlah catatan yang baik.
317

111. Trauma, Pediatrik

Caveats
 Anak dengan cedera multisistem dapat mengalami deteriorasi yang cepat serta akan mengala-
mi komplikasi yang serius.
 Karakteristik anatomic yang unik membutuhkan pertimbangan yang khusus dalam pemerik-
saan dan tatalaksananya.
 Tulang pada anak lebih lentur, sehingga kerusakan organ dalam dapat terjadi tanpa adanya
fraktur. Sehingga bila didapatkan adanya fraktur kosta, dapat dipastikan anak tersebut telah
mengalami high impact injury yang multiple, sehingga harus dicurigai adanya cedera pada or-
gan lain yang serius.
 Waspada terhadap kemungkinan non-accidental injury sebagai penyebab cedera yang terlihat.
Tips Khusus Bagi Dokter Umum :
 Ingat ABC. Buka dan pertahankan jalan nafas dengan tetap mengkontrol cervical. Berikan
oksigen aliran tinggi jika anak dapat bernafas spontan. Atau jika tidak, mulai bag-valve-mask
ventilasi.
 Jika mungkin, pasang akses vena dengan kanul ukuran 22G sebelum ambulan datang.
 Hubungi ambulan secepatnya.

Manajemen
Jalan Nafas
 Intubasi orotrakeal dibawah direct vision dengan immobilisasi yang adekuat serta proteksi ter-
hadap cervical spine.
 Preoksigenasi sebelum melakukan intubasi.
 Gunakan uncuffed endotracheal tubes (ETT) untuk intubasi anak-anak. Ukuran ETT dapat di-
perkirakan dengan mengukur diameter external nares atau jari kelingking anak tersebut. Lihat
Bab Paediatrics Drugs Equipment
 Atropin (0,1-0,5mg) harus diberikan sebelum intubasi untuk mencegah bradikardia selama in-
tubasi.
 Ketika akses dan control jalan nafas tidak bisa dipenuhi oleh bag-valve mask atau orotracheal
intubation, maka needle cricothyroidotomy merupakan metode yang dipilih. Surgical crico-
thyroidotomy jarang digunakan, jika ada, harus ada indikasinya.

Bernafas
 Respiratory Rate (RR) pada anak menurun seiring usia
Bayi : 40-60 x/menit
Anak yang lebih besar : 20 x/menit
 Pemberian Ventilasi berlebihan dengan high tidal volume dan airway pressure dapat berakibat
pada iatrogenic bronchoalveolar injury. Volume tidal : 7 sampai 10ml/kg.
 Dekompresi pleural dilakukan dengan tube thoracostomy, sama seperti dewasa yakni pada
ICS 5, anterior dari midaxillary line. Chest tube ditempatkan pada cavum thorax dengan me-
masukkan tube melewati kosta pada lokasi kulit yang telah diinsisi.
Sirkulasi
 Peningkatan physiologic reserves pada anak memberikan kemungkinan untuk mempertahan-
kan tanda vital berada pada kisaran normal, walaupun px berada pada keadaan severe shock.
Tanda awal adanya syok hipovolemik pada anak adalah takikardia dan perfusi kulit yang bu-
ruk. Penurunan volume darah sirkulasi minimal sebesar 25% akan menunjukkan
tanda/manifestasi syok:
1. Takikardi
2. Perfusi kulit yang buruk
3. Penurunan pulse pressure
4. Skin mottling
318

5. ekstremitas dingin bila dibandingkan dengan kulit bagian torso.


6. penurunan tingkat kesadaran dengan respon yang tumpul terhadap nyeri.
7. penurunan BP
8. urin output yang sedikit
 Hipotensi pada anak menunjukkan keadaan shock yang tidak terkompensasi dan mengindi-
kasikan kehilangan darah yang banyak > 45% dari volume darah sirkulasi. Takikardi akan
berubah menjadi bradikardi sering disertai dengan keadaan hipotensi serta tanda lainnya :
SBP = 70 + (2x usia dalam tahun)
DBP = 2/3 x SBP

Resusitasi Cairan
 Resusitasi cairan pada anak didasarkan pada berat badan anak. Gunakan Broselow resuscita-
tion measuring tape.
 Untuk syok, bolus cairan 20ml/kg kristaloid yang hangat dapat diberikan. Mungkin akan di-
perlukan total cairan sebesar 3 bolus 20ml/kgBB jika terjadi kehilangan darah 25% volume
darah sirkulasi.jika sedang memberikan bolus cairan yang ketiga, pertimbangkan untuk
pemeberian 10ml/kg darah dengan tipe yang spesifik untuk px. Rujuk ke bagian bedah jika
tidak ada perbaikan setelah pemberian bolus cairan yang pertama.
 Lokasi akses vena pada anak a.l:
1. perkutaneus peripheral (2 percobaan)
2. intraosseus (anak usia < 6 tahun)
3. Venous cutdown : vena saphena pada pergelangan kaki.
4. perkutaneus placement : vena femoralis
Infus intraosseus harus dihentikan ketika akses peripheral yang baik telah didapatkan. Lokasi
infus intraosseus yang disarakan adalah pada permukaan anteromedial tibia proksimalis, 2 cm
dibawah tuberoseus tibia. Lokasi ini tidak disarankan bila terdapat fraktur pada bagian
proksimalnya; kanulasi kemudian dapat dilakukan pada bagian distal femur. Output urin yang
diharapkan pada px yang telah mendapatkan resusitasi adekuat adalah 1-2ml/kg/jam.

Manajemen Cedera yang Spesifik


Trauma dada
 cedera pada dada merupakan petunjuk adanya cedera organ yang lain karena lebih dari 2/3
anak dengan cedera dada juga mengalami cedera system organ yang lainnya.
 Fraktur kostae menunjukkan adanya severe injuring force.
 Cedera spesifik serta penatalaksanaannya sama seperti pada dewasa.

Trauma Abdominal
 Cedera penetrasi pada abdomen membutuhkan perhatian yang besar dari ahli bedah.
 Pemeriksaan abdomen pada anak dengan trauma tumpul dapat sulit dilakukan karena anak bi-
saanya tidak kooperatif, terutama bila mereka mengalami ketakutan akibat trauma yang telah
dialami.
 Dekompresi gaster dan urinary dapat memfasilitasi evaluasi.
 Alat pembantu diagnostic a.l:
1. Computed tomography (CT)
e. bermanfaat pada anak dengan hemodinamik yang normal dan stabil.
f. Harus dilakukan dengan menggunakan double atau triple contrast.
g. Bisaanya membutuhkan sedasi.
h. Tindakan ini tidak boleh sampai menunda terapi yang lain
i. Dapat menunjukkan identifikasi cedera secara tepat.
2. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
a. digunakan untuk mendeteksi perdarahan intraabdominal pada anak yang hemodina-
mikanya abnormal.
319

b. Digunakan NS hangat 10ml/kg (sampai 1000ml) selama 10 menit.


c. Cedera organ retroperitoneal tidak dapat dideteksi
d. Definisi hasil lavage yang positif sama dengan dewasa.
e. Adanya darah pada peritoneum saja tidak menjadikannya sebagai indikasi untuk
dilakukannya laparotomi.
f. Harus dilakukan oleh ahli bedah anak.
3. Focus Assessment using Sonography in Trauma (FAST)
a. Hanya sedikit penelitian mengenai efikasi ultrasonografi pada anak yang telah
dilaporkan.
b. Selektif, manajemen non-operatif pada anak dengan trauma tumpul pada abdomen
dilakukan pada berbagai trauma center. Telah ditunjukkan bahwa perdarahan yang
berasal dari cedera spleen, liver dan ginjal bisaanya bersifat self limiting.
c. Anak-anak ini harus dimonitor secara ketat pada intensive care dengan pemeriksaan
yang berulang oleh ahli bedah.

Trauma Kepala
 Manajemennya sama seperti pada orang dewasa. GCS sangat bermanfaat. Namun komponen
skor verbal pada anak harus dimodifikasi :
Respon Verbal Skor V
1. kata-kata yang terarah, atau tersenyum, menurut 5
2. Menangis, namun dapat dihibur 4
3. ‘lekas marah/irritabel’ yang persisten 3
4. Gelisah, agitasi 2
5. Tidak ada respon 1
 Sama seperti dewasa, hipotensi jarang terjadi, jika ada, kemungkinan disebabkan oleh cedera
kepala itu sendiri, serta penyebab lainnya. Pada bayi, sekalipun jarang terjadi, hipotensi akibat
kehilangan darah terjadi akibat perdarahan di sub galeal atau epidural space, karena sutura
krnialis dan fontanella yang masih terbuka pada bayi.
 Restorasi yang cepat dan adekuat dari volume darah sirkulasi harus dilakukan, juga harus
menghindari terjadinya hipoksia.
 Pada anak kecil dengan fontanella terbuka dan garis sutura cranial yang mobile, tanda
expanding mass mungkin tidak terlihat sampai timbul dekompensasi yang cepat. Sehingga ha-
rus diterapi sebagai cedera kepala berat.
 Vomiting, kejang dan amnesia sering terjadi pada anak setelah cedera kepala. Selidiki anak
yang mengalami vomiting persisten atau memburuk, atau kejang yang berulang dengan CT
scan kepala.
 Obat-obatan yang sering digunakan pada cedera kepala anak a.l:
1. Fenobarbital 2-3 mg/kg
2. Diazepam 0,25 mg/kg, bolus Iv pelan
3. Fenitoin 15-20 mg/kg, diberikan pada 1mg/kg/menit sebagai loading dose, kemudian 4-7
mg/kg/hari untuk maintenance
4. Mannitol 0,5-1,0g/kg (jarang diperlukan). Obat ini dapat memperburuk hipovolemi dan
harus diberikan hati-hati pada awal resusitasi pada anak dengan cedera kepala.

Cedera Spinal Cord (Spinal Cord Injury)


 Cedera spinal cord pada anak jarang terjadi.
 Anak dengan Spinal Cord Injury Without Radiographic Abnormalities (SCIWORA) lebih
banyak ditemukan daripada pada dewasa. Hasil radiografi spine yang normal ditemukan pada
sekitar 2/3 anak dengan spinal cord injury, sehingga hasil yang normal tersebut tidak dapat
digunakan untuk menyingkirkan dx spinal injury yang signifikan.
 Cedera spinal cord pada anak diterapi sama seperti pada orang dewasa. Untuk spinal injury
non-penetrating yang terjadi dalam 8 jam sejak cedera, dapat diberikan methylprednisolone
320

30mg/kg dalam 15 menit pertama, dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg per jam untuk 23 jam
selanjutnya.
321

112. PENATALAKSANAAN TRANSFUSI DI IRD

Pemberian darah dan produk darah hanya diberikan saat dibutuhkan saja.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian transfusi darah;
1. pemberian awal 2 unit labu WBC atau PRC bisa langsung diberikan setelah disimpan di
kulkas .Penghangatan diperlukan untuk pemberian dalam jumlah volume besar dan cepat kira-
kira > 50 mg /kg/jam
2. Komponen darah harus ditransfusi sesuai standar filter dimana mengeluarkan clothing dan de-
bris
3. Umumnya darah tidak ditransfusikan menggunakan alat infus biasa tapi dengan infus khu-
sus.Dalam banyak kasus terjadi haemolisa pada D5% dan terjadi clotting pada cairan Hart-
mann.Hanya dgn NS bisa dipakai tanpa gangguan
4. Kecepatan tekanan tinggi dan digunakan jarum 18/19G
5. Selama pemberian cairan dimonitoring tanda-tanda reaksi transfusi

PRODUK DARAH DAN DARAH


Whole blood:
Pada penderita perdarahan akut penting diberikan darah dlm jumlah cukup daripada sel darah
merah saja.Kristaloid atau koloid dapat dipakai jika tidak ada darah

Indikasi transfusi dgn Whole Blood


A. Perdarahan acut dgn HB normal dan normal hematokrit
1. Pasien beresiko untuk diberikan volume intravascular:
1. Pasien IMA
2. Penyakit koroner
3. Penyakit katup
4. CHF
5. Ischaemia cerebral
6. Riwayat TIA
7. Stroke trrombotic
2. Gejala dan tanda pada pasien beresiko dengan normo volemik
1. Syncope
2. Sesak
3. Postural hipotensi
4. Takikardi
5. Anginal
6. TIA
Pada pengeluaran darah akut, HB dan hematokrit biasanya normal dan bisa dikoreksi jika hilangnya
20% dengan kristaloid.

B. Kehilangan 25% darah dari total cairan tubuh


C. Pasien dengan resiko dan pasien dengan gejala dan tanda beresiko

Sel darah merah


Indikasi pemberian sel darah merah
1. Kehilangan darah yang lambat
2. Acut dan kronik leukemia
3. Kronik anemia dengan kegagalan sumsum tulan, uraemia, gejala yang berat dari kekurangan besi
atau anemia megaloblastik.
WB kontraindikasi untuk pasien kronik anemia karena resiko overload.
Satu unit sel darah merah dapat meningkatkan Hb 1 gr/dl atau 3% hematokrit
322

Platelet
1. Indikasi :
- Trombositopeni berat mengancam jiwa diberikan 20 X 10 9/l
- Setelah tranfusi 15 – 20 unit WB /RBC
Hitung plateled sebelum 80 –100 X 10 9 /l karena pemberian plateled indikasi untuk keadaan hemo-
stasis yang adekuat dengan trauma mayor bedah atau pengobatan trauma yang berat.
Penting memperhatikan keadaan klinis pasien dan bukan hasil lab saja.

Fresh frozen plasma (FFP)


Diberikan jika terjadi gangguan faktor pembekuan darah
Indikasinya :
1. Menggantikan satu faktor kekurangan dengan spesifik atau gangguan konsentrai tidak dianjurkan .
2. Pasien dengan warfarin beresiko jika diberikan.
Pada tranfusi masif dimana mengganti total kebutuhan pasien selama 24 jam maka bisa diberikan FFP
dengan perdarahan abnormal. Jadi FFP hanya diberikan jika ada gangguan faal hemostasis berupa
bleeding dan coagulasi.

Cryoprecipitale
Cryoprecipitale adalah faktor VIII, fibronogen dan von Willebrond’s. Faktor dimana digunakan untuk
terapi pada pasien Willebrond’s sindrom atau hemophili A tapi jika penyebabnya virus tidak
dianjuarkan.

Faktor VIII & IX


Virus menginaktifkan faktor VIII & IX sehingga dipakai untuk mengobati hemofili A dan B.

Hemophili A
Faktor VIII (IU) dibutuhkan = Berat (kg) X level 1 X 0,5
1 Vial faktor VIII = 250 IU

Hemophili B
Fakto IX (IU) dibutuhkan = Berat (kg) x level 1
1 Vial faktor IX = 500 IU
pasien hemophlili dikonsulkan penyakit dalam

1 level konsentrasi faktor


Perdarahan ringan Sedang Berat
30% 50% 75-1005
1. Minor/perdarahan 1. Mayor/multiple 1. Perdarahan intracranial
sendi tunggal perdarahan sendi
2. Perdarahan otot 2. Perdarahan leher 2. Operasi besar
lidah atau paring.
3. Epistaxis 3. Perdarahan abdomen 3. Trauma besar
4. Perdarahan gusi ------------- 4. Compartemen syndrn
5. Haematuri 5. Trauma kepala 5. Perdarahan leher
tanpa defisit neorologi lidah dan paring.

Transfusi Gawat Darurat


- Golongan darah O tidak bisa digunakan untuk tranfusi gawat darurat dengan beban lebih aman
dengan kristaloid atau koloid baru darah.
- Golongan O positif biasanya pada etnis Cina dan Malaysia.
- Golongan O negatif biasanya pada India dan Kaukrasia terutama wanita.
323

Kategori darah untuk keadaan urgen :


1. Tidak ada kecocokan darah ( Golongan darah dan antibodi tidak sama)
2. Kecocokan cepat 5 - 10 menit ( gol. Daarah cocok tapi antibodi tidak)
3. Semua cocok 30 – 45 menit (gol darah dan antibodi cocok)

Komplikasi Transfusi
Reaksi hemolitik (0,03% dari 10 – 40 % mortality rate) tanda-tanda :
a. Pasien dengan panas dingin, nyeri punggung atau sendi dan dada serta sensasi terbakar pada
tempat infus bisa manifestasi shock
b. Pengobatan awal sebelum shock dan renal cortical hipoperfusi adalah:
1. Melepas transfusi.
2. Memberi infus cairan dan furosemide 80 – 100 mg untuk keluarnya kencing 30 mg/jam.
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).
4. Konsul haematologi
Reaksi panas (3 – 4 %) dan kurang gawat dibanding reaksi tranfusi
Tandanya :
a. Pasien mengeluh panas dingin lemas.
b. Pengobatan
1. Lepas transfusi
2. Beri antipiretik
3. Injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5 mg/kg untuk anak).
4. Konsul hematologi.
Reaksi alergi (1%) sedikit terjadi sebelum 10 ml darah ditransfusikan
a. Pasen kedinginan dan seluruh tubuh gatal.
b. Tanda : hipotensi, kulit memerah, urtikaria, agioedema.
Penatalaksanaan
- Infus lambat terutama jika urtikaria terjadi transfusi dihentikan saja juga jika panas, angioedema
dan hypotensi menghebat.
- Pemberian injeksi anatihistamin
- Pemberian injeksi hidrocortison 200 mg untuk dewasa (5mg/kg untuk anak).
324

113. Airway ( Manajemen Jalan nafas/ Rapid sequence Intubation )

Definisi
Rapid sequence Intubation (RSI) merupakan pemberian agen induksi potensial yang secepatnya diikuti
dengan rapidly acting neuromuscular blocking agent untuk menginduksi penurunan kesadaran serta
paralysis motorik untuk intubasi trakea pada px dengan resiko aspirasi gastric. Asumsi pada RSI:
 Pasien tidak berpuasa sebelum dilakukannya intubasi, sehingga merupakan factor resiko ter-
jadinya aspirasi.
 Pasien tidak diketahui atau tidak pernah diperiksa mengenai apakah akan terdapat kesulitan
dalam intubasinya.
 Pemberian obat-obatan didahului dengan fase preoksigenasi (lihat pada ‘P’ yang kedua pada
RSI untuk lebih detailnya) untuk memungkinkan terlewatinya periode apneu dengan selamat
selama pemberian obat-obatan dan intubasi trakea tanpa memberikan bantuan ventilasi tamba-
han.
 Gunakan tekanan pada krikoid atau Sellick’s manoeuvre untuk mencegah aspirasi cairan gas-
ter.
Indikasi
 Keputusan intubasi berdasarkan 3 hasil pemeriksaan klinik yang fundamental :
1. Apakah ada kegagalan mempertahankan atau memproteksi jalan nafas?
Catatan: jalan nafas yang adekuat dikonfirmasi dengan kemampuan px untuk
bicara/mengeluarkan suara. Kemungkinan adanya jalan nafas yang inadekuat adalah
ketidakmampuan px untuk mengeluarkan fonasi sederhana, stridor, serta AMS. Gag
reflex juga tidak sensitive atau spesifik digunakan sebagai indicator hilangnya refleks
proteksi jalan nafas.
2. Apakah ada kegagalan Ventilasi (cth status asmatikus) atau oksigenasi (cth severe
pulmonary oedema)?
3. Apa manifestasi klinik lain yang harus diantisipasi?
Px akan dapat mengalami deteriorasi dalam usaha nafas bila mengalami multiple major
injuries.
 Jika laringoskopi tidak berhasil, pertimbangkan:
1. apakah posisi px optimal?
2. gunakan straight blade jika epiglottis panjang, terkulai, atau ‘in the way’
3. apakah petugas yang melakukan sellick’s manoeuvre menekan airway keluar dari midline
yang mengaburkan lapang pandang?
4. BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) displacement dari laring

Tips khusus Bagi Dokter Umum:


 Jika initial atau standard bag-valve-mask gagal, pertanyakan 4 hal ini:
1. Apakah saya telah memposisikan px pada optimum sniffing position? Hati-hati pada px trauma.
2. Apakah saya telah menggunakan semua perlengkapan tambahan untuk jalan nafas bagian atas?
3. Apakah saya telah melakukan optimum mask seal? Yakni:
a. Aplikasikan KY jelly pada ‘beard/janggut’
b. isi rongga pipi yang cekung dengan kassa/kain tipis yang ditempatkan antara gigi dengan mukosa
bukal.
c. Pasang kembali gigi palsu px.
4. Apakah saya telah merekrut seorang asisten untuk membantu mengoptimalisasikan teknik BVM?

Pedoman kapan kita tidak Menggunakan Intubasi


 Jika tidak nyaman menggunakan teknik intubasi yang dibutuhkan, dan ventilasi masih adekuat
 Jika kondisi px membaik selama percobaan dilakukannya intubasi
 Jika respiratory arrest bersifat reversible dengan obat-obatan (nalokson, flumazenil).
 Jika px memiliki deformitas pada jalan nafas atau lehernya (serta keadaannya stabil).
 Jika px memiliki ‘do not resuscitate order’.
325

Manajemen
Ingat 7 Ps RSI.
 Preparation (persiapan)
1. Px harus ditangani pada area resusitasi
2. Monitoring EKG, pulse oximetry, tanda vital tiap 5 menit.
3. Sediakan obat sedative dan obat paralyzing yang dapat dijangkau segera.
4. Persiapkan perlengkapan airway meliputi stylets, Mess berbagai ukuran,
orofaringeal airway atau cricothrotomy tray yang dapat dijangkau segera.
5. susun rencana alternative bila gagal melakukan intubasi.
6. harus memiliki asisten yang terampil.
7. Pasang setidaknya 2 jalur IV peripheral: Hartmann’s atau NS.
8. selalu antisipasi vomiting pada semua pasien trauma. Jika px muntah, lakukan 3
manuver berikut ini :
a. lakukan suction segera dengan large bore yankauer sucker
b. putar pasien ke posisi lateral atau pada posisi recovery.
c. Letakkan px pada posisi trendelenburg (jika mungkin).
9. pemeriksaan pada ‘jalan nafas yang sulit’ harus dilakukan. Gunakan ‘LEMON
law’ :
L Look externally (cth trauma maksilofasial, trauma penetrasi pada leher,
trauma tumpul leher, dan identifikasi kesulitan ventilasi seperti pasien yang
berjenggot, obesitas morbid, cachexia yang ekstrim, ‘edentulous mouth den-
gan pipi yang cekung, struktur wajah yang abnormal).
E Evaluate ‘2-3 rule’ yakni paling tidak 2 jari pemeriksa dapat melewati
mulut atau Patil’s test (indikasi pembukaan mulut yang adekuat), sedangkan
3 jari harus bisa ditempatkan antara tepi atas kartilago tiroid dan tepi dalam
mentum, yang merupakan jarak thyromental (mengindikasikan bahwa lokasi
laring pada leher cukup rendah untuk dilakukannya akses melalui jalur oral).
M Mallampati Score (gambar 1) dan Grade dari laryngeal view (Gambar 2)
untuk memprediksi kesulitan airway. Skor Mallampati (oropharyngeal vi-
sualization) berkorelasi dengan laryngeal visualization.
Skor Mallampati :
Kelas I : pallatum molle, uvula, fauces, pillars terlihat :
Tidak ada kesulitan
Kelas II : pallatum molle, uvula, fauces terlihat : Tidak
ada kesulitan
Kelas III : Pallatum molle, basis uvula terlihat : kesulitan
Moderate
Kelas IV : Hanya terlihat pallatum durum : Kesulitan
Berat
Grade Laringeal view: Cormack-Lehane Laryngoscopic grading
system
Grade 1 : terlihat seluruh aperture glottis
Grade 2 : hanya terlihat kartilago arytenoid atau bagian
posterior aperture glottis.
Grade 3 : Hanya terlihat epiglottis
Grade 4 : Hanya terlihat lidah dan palatum molle
Mallampati kelas I dan II berkaitan dengan superior laryngeal ex-
posure (laryngeal grade 1 dan 2) pada saat intubasi serta kegagalan
intubation yang rendah. Mallampati view kelas III dan IV berkaitan
dengan poor laryngeal visualization (laryngeal grade 3 dan 4) dan
dengan angka kegagalan intubasi yang tinggi. Pada ED, Assess-
ment skor Mallampati formal, sering tidak mungkin untuk dil-
326

akukan walaupun pemeriksaan pasien pada posisi supine dengan


tongue blade dapat bermanfaat.
O Obstruction (cth adanya benda asing pada jalan nafas, kerusakan integri-
tas jalan nafas).
N Neck Mobility : untuk keberhasilan ventilasi, leher px harus diposisikan
pada ‘sniffing morning air position’, yaitu fleksi pada cervical spine, dan
ekstensi pada atlanto-occipital joint. Terdapat penurunan mobilitas leher pa-
da px trauma yang diimmobilisasi serta px dengan systemic arthritis.
 Preoksigenasi
1. Merupakan usaha untuk membuat ‘oxygen reservoir’ didalam paru dan jaringan
tubuh untuk memberikan waktu beberapa menit pada keadaan apneu yang ter-
jadi, tanpa arterial oxygen desaturation. Hal ini sangat esensial pada prinsip ‘no
bagging’ dalam RSI.
2. Pemberian oksigen 100% dengan non-rebreathing mask’ selama 5 menit meng-
gantikan nitrogen yang terdapat dalam udara ruang pada Functional Residual
Capacity (FRC) pada paru dengan oksigen, memberikan keadaan apneu selama
beberapa menit (pada dewasa sehat dengan BB 70kg, dan waktu apneu sampai 8
menit) sebelum SpO2 < 90%.
3. Jika px tidak bisa dilakukan preoksigenasi selama 5 menit sebelum mendapatkan
obat paralitik, biarkan px untuk mendapatkan 3-5 vital capacity breaths dalam
rapid sequence dengan oksigen 100%.
 Pretreatment
1. Merupakan tindakan pemberian obat-obatan (Tabel 1) untuk mengurangi efek
samping yang terkait dengan intubasi. Lignokain (1,0-1,5mg/kg) Atropin (0,02
mg/kg)
2. Diberikan 3 menit sebelum intubasi.
 Paralysis dengan Induction (lihat tabel 2 untuk ringkasan obat induksi)
1. Merupakan langkah yang paling vital/penting
2. Agen induksi diberikan sebagai bolus cepat diikuti dengan bolus cepat succinyl-
choline : 1 mg/kg atau rokuro 0,6 mg/kg
 Thiopentone
i. Lansia : 2,5-3mg/kg
ii. Dewasa : 3-4mg/kg
iii. Anak-anak : 5-6 mg /kg
 Midazolam 0,1mg/kg
 Etomidate 0,3mg/kg (vena besar)
 Ketamin 2mg/kg

 Protection dan positioning


1. Sellick’s maneuver atau aplikasi tekanan pada cricoid harus dilakukan sejak awal
secara cepat dimana pada saat observasi px menunjukkan penurunan kesadaran.
2. pasien kemudian diposisikan untuk dilakukan laringoskopi.
 Placement dan Proof
1. penempatan tube di dalam trakea harus dikonfirmasi menggunakan monitoring
end tidal CO2 dan teknik aspirasi seperti oesofageal detection device.
2. Tekanan pada cricoid dilepaskan setelah ketepatan penempatan tube dikonfirma-
si dan endotracheal tube telah diamankan
 Postintubation management
1. Amankan endotracheal tube
2. Mulai ventilasi mekanik
3. Lakukan CXR untuk memastikan bahwa mainstem intubation tidak terjadi. Cara
lain yang dilakukan secara cepat adalah memastikan bahwa proximal end dari
327

Cuff ditempatkan pada 2-3 cm distal dari vocal cord atau dimana black marking
dari ETT telah ditempatkan.

Tabel 1: Obat-obatan Pretreatment untuk RSI


Lignokain (1,0-1,5mg/kg) Untuk airway disease yang reaktif (tight lung) atau tekanan
intracranial yang tinggi (ICP) atau ‘tight brains’.#
Ketika respon simpatetik harus ditahan (ICP yang tinggi,
Opioid (Fentanyl 2µg/kg diberikan diseksi aorta, rupture aortic atau berry aneurysm, ischaemic
selama 30-60 detik) heart disease)*.
Untuk mencegah suksinil kolin menginduksi bradikardi.
Atropin (0,02 mg/kg) Untuk anak ≤ 10tahun dan dewasa dengan preexisting
bradikardi.
Untuk ICP yang tinggi, trauma penetrasi pada mata.
Defasikulasi : non-depolarizing mus-
cle relaxant
# hanya terdapat sedikit bukti yang menyatakan bahwa IV lignokain mensupresi peningkatan ICP yang
terkait dengan RSI pada pasien HI.
* Tidak ada perbedaan respon hemodinamik yang signifikan terhadap intubasi orotracheal dengan
laryngoskopi yang menggunakan pretreatment IV Fentanil. atau tidak menggunakannya.

Tindakan Pencegahan Terhadap Keadaan ‘Difficult Airway’ yang Telah Diprediksi


Jangan terburu-buru melakukan RSI. Pertimbangkan melakukan ‘awake Oral Intubation’. Sedasi px
dengan IV Midazolam 1-2 mg. Semprot faring dan laring dengan lignokain. Lakukan Laringoskopi dan
coba untuk melihat laring/vocal cords. Semprot juga vocal cord. Intubasi bila ada kekhawatiran
terjadinya deteriorasi. Jika tidak, bersiaplah untuk RSI. Sedasi berikutnya mungkin dibutuhkan dengan
menggunakan IV succinilkolin 1,5mg/kg pada dewasa.

Teknik Alternatif jika terjadi Kegagalan Intubasi


Terdapat 2 teknik untuk mempertahankan SpO2 > 90% berdasarkan kemampuan BVMnya.
 Jika BVM mampu untuk mempertahankan SpO2 > 90%, pertimbangkan teknik jalan nafas
sbb:
1. Intubasi laryngeal mask airway
2. Lighted Stylets
3. Intubasi retrograde
4. Krikotirotomy
 Jika BVM tidak dapat mempertahankan SpO2 > 90%, krikotirotomi merupakan prosedur pili-
han

Terapi Obat
Obat Induksi
Penting bagi px yang sadar ketika RSI dilakukan untuk mengurangi efek fisiologi dan efek memori dari
prosedur yang dilakukan terhadap diri px. (lihat ringkasan obat-obatan induksi pada tabel 2).

Scenario Intubasi yang berbeda


 Hipovolemia (dengan BP yang rendah) : etomidate atau ketamine. Jangan berikan obat jika
syok berat. Hindari thiopentone dan midazolam.
 Isolated Closed Head injury dengan ICP yang tinggi, BP yang normal atau tinggi (tujuannya
adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen serebral dan aliran darah serebral sehingga
tekana intracranial akan menurun); thiopentone, etomidate atau midazolam. Hindari ketamin.
 Closed Head injury (ICP yang tinggi) dan hipovolemi (dengan BP yang rendah, tidak respon-
sive terhadap cairan): etomidate atau ketamine,. Hindari Thiopentone dan midazolam.
 Asma : ketamin, etomidate atau midazolam. Hindari thiopentone.
328

Tabel 2: Ringkasan Obat-obatan Induksi


Obat Induksi (Dosis) Onset Pemulihan Keuntungan Kerugian Efek Samping/peringatan Penggunaan Khusus
Penuh
Thiopentone 15-30 detik 3-5 menit Serebroprotektif Depresi respirasi sen- Hipotensi, asma, porfiria Cedera kepala dengan pening-
Lansia : 2,5-3mg/kg tral, intermittent akut, variegate katan ICP
Dewasa : 3-4mg/kg Hipotensi, histamine porfiria
Anak-anak : 5-6 mg /kg releasing

Midazolam 0,1mg/kg Hipotensi, supresi


30-60 detik 0,5-2 jam Amnestik, sedative pernafasan
Etomidate 0,3mg/kg (ve-
na besar) Serebroprotektif
15-30 detik 15-30 menit stabilitas he- Nausea, vomiting, nyeri saat Merupakan obat induksi dengan
modinamik injeksi, gerakan mioklonik, hemodinamik yang paling sta-
hiccups bil, cedera kepala, px hipotensi
Ketamin 2mg/kg
Pelepasan kate- Peningkatan ICP Peningkatan ICP Px bronkospastik, px hipotensi
15-30 detik 15-30 menit kolamin tanpa cedera kepala, instabilitas
Analgesic, amnestik hemodinamik karena tam-
ponade jantung atau penyakit
miokard.

Tabel 3 : Hipotensi pada Periode Post intubasi Penyebab Deteksi Tindakan


Tension pneumothorax Peningkatan peak inspiratory Thoracostomy immediate
Pressure (PIP), kesulitan Bagging,
penurunan suara nafas

Penurunan Venous Bisaanya terlihat pada px dengan


return PIPs yang tinggi sekunder karena Bolus cairan, terapi resistensi jalan
tekanan intratorakik yang tinggi nafas (bronkodilator), peningkatan
expiratory time, coba menurunkan
Penyebab lain disingkirkan volume tidal.
Agen induksi Bolus cairan, expectant
Bisaanya pada compromised
Kardiogenik pasient, EKG, singkirkan penyebab Bolus cairan (dengan hati-hati), pres-
lain sors
329

Obat Paralyzing
Obat yang optimum memiliki onset yang cepat dan durasi yang pendek. Agen depolarizing lebih superior da-
ripada agent non-depolarizing untuk RSI.
 Suksinil kolin : agen utama yang digunakan untuk paralysis emergency yang bertujuan mengontrol
jalan nafas. Efek samping yang signifikan:
1. Bradikardi (terutama pada anak dan px dengan preeksistensi bradikardi).
2. Peningkatan tekanan intraocular /intraoccular (kontraindikasi pada penetrating globe trauma).
3. Peningkatan tekanan intragastrik (dapat mencetuskan emesis).
4. Hiperkalemi (terutama pada px dengan paralysis otot kronik, cth cerebrovascular accident dan
spinal cord injuries).
Catatan : peningkatan potassium plasma setelah pemberian suksinilkolin (bisaanya < 0,5 mmol/l).
5. hiperkalemia pada px gagal ginjal kronik sebelum potassium serum diketahui.
Catatan : ada bukti terbaru yang menyebabkan suksinilkolin cukup aman pada hiperkalemia,
walaupun resiko akan meningkat seiring dengan peningkatan kadar potassium. Tindakan terbaik
adalah menghindari penggunaan suksinilkolin pada px dengan serum K+ > 6 mmol/l; rocurium
merupakan alternative yang baik pada kasus tersebut. Jika kadar K+ tidak diketahui dan EKG
normal, penggunaan suksinilkolin dapat dilakukan, walaupun px menderita ESRF. Suksinilkolin
dieliminasi secara independent terhadap renal secretion, suatu kondisi yang diinginkan dalam
ESRF.
6. Fasikulasi : agravasi trauma musculoskeletal tambahan
7. jarang terjadi hipertermi malignan
Dosis suksinilkolin : 1,0-1,5mg/kgBB IV (2mg/kg pada anak).
Catatan : Rocuronium dipertimbangkan sebagai alternative untuk suksinilkolin karena onset yang
cepat sekitar 1 menit. Namun, memiliki durasi aksi yang lebih panjang dibandingkan dengan
suksinilkolin.
 Rocuronium : non-depolarizing agent yang digunakan untuk mencegah fasikulasi otot yang diinduksi
suksinilkolin, atau untuk menghasilkan efek paralysis yang lebih panjang selama prosedur, cth CT scan.
Dosis: 0,6mg/kgBB IV bolus sebelum suksinilkolin. Durasi kerja efektif adalah 20-45 menit.
 Atracurium (Tracium) : non-depolarizing agent.
Dosis : 0,3-0,6mg/kg IV bolus. Kerugian obat ini adalah bahwa ia menyebabkan pelepasan histamine;
hati-hati pada px yang menderita asma.

Tahapan Tindakan dengan menggunakan Mode Hitung Mundur


Waktu (menit)
- 5.00 : Preparasi
- 5.00 : Preoksigensi
- 3.00 : Pretreatment (pertimbangkan ‘LOAD’) Lignokain (1,0 mg/kg)
0.0 : Paralisis dengan Induksi Midazolam (0,1 mg/kg)Rocuronium (0,6 mg/kg)
+ 0.30 : Proteksi
+ 0.45 : Placement dan proof
+ 1.00 : Postintubasi manajemen
+ 10.00 : CXR untuk memeriksa kedalaman penempatan ETT

Penempatan
Pasien yang menjalani RSI merupakan kandidat untuk masuk pada ICU atau langsung menuju ke OT sesuai
konsultasi yang telah dilakukan.
330

114.................. .115. Cervical Spine Clearance

Caveats
 X ray dari C-spine tidak dibutuhkan jika terdapat criteria sbb:
1. Pasien sadar, bangun dan tenang
2. tidak ada keluhan nyeri pada leher
3. tidak ada distracting injuries pada tubuh atau nyeri selama pemeriksaan
4. tidak ada nyeri tekan pada pemeriksaan Spine.
5. dapat menggerakkan leher kekanan dan kekiri serta melakukan fleksi dan ekstensi
tanpa nyeri
6. Tidak ada deficit neurologist
 Jika memenuhi criteria diatas, banyak penelitian yang menyatakan bahwa pasien tidak
mengalami C-spine injury yang bermakna.
 Pada px trauma yang lainnya, lakukan pemeriksaan:
1. Foto polos C-Spine
c. posisi AP
d. Posisi lateral atau swimmer’s view : basis oksiput sampai batas atas
T1 harus terlihat
e. Open Mouth Odontoid View. Tidak mungkin dilakukan bila px tidak
kooperatif untuk melakukan foto dengan mulut terbuka. Posisi
oblique dari proscesus odontoid atau gambaran foramen magnum
dapat diperiksa untuk melihat densitas.
2. CT scan : diindikasikan sebagai pengganti foto polos C-spine pada area yang men-
curigakan atau area yang tidak adekuat untuk dilihat.
 C-collar harus dipasang pada situasi sbb:
1. ada keraguan pada pemeriksaan foto polos
2. Adanya masalah pembedahan akut lain yang membutuhkan pengiriman pasien ke
OT yang mendesak sebelum pemeriksaan Spine selesai dilakukan.
3. koma, AMS dan pasien pediatric (yang terlalu muda untuk menyatakan
keluhannya), sampai mendapatkan evaluasi yang tepat oleh orthopaedics atau
neurosurgeon.
331

Gambar 1 : Cervical Spine Clearance di ED

Periksa Pasien

Tidak Apakah Px sadar,


bangun dan tenang ?

Ya
Periksa adanya deficit Neurologikal

Tidak
Defisit neurologik Lepaskan C-collar

Ya

Biarkan pasien Supine


Asumsikan Unstabel dan C-spine netral
Spine

Lihat Bab Spinal


Cord Injury Suruh px untuk
Tanyakan adanya
nyeri leher dan Tidak menggerakkan leher
periksa nyeri tekan  Dari kiri ke kanan
pada C-Spine  Fleksi - ekstensi

Ya

Tidak
Nyeri atau
Ya Tidak perlu
Nyeri tekan
X-ray
positif?
Lepaskan C-Collar

Pemeriksaan Radiologis:
1. C-spine X ray
 Wajib pada posisi lateral. Coba untuk menekan bahu kebawah untuk mendapat-
kan paparan yang adekuat terhadap T1. lakukan swimmer’s view jika paparan
tidak adekuat.
 Posisi AP jika mungkin
 Open mouth Odontoid view jika mungkin
2. C-Spine lateral view dimana px secara sukarela melakukan fleksi dan ekstensi dari
lehernya
 Dipertimbangkan bila screening 3 view C-spine normal, namun px mengeluhkan
nyeri leher yang bermakna.
 Maneuver ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang berpengalaman.
332

116. Commonly used scoring system

manfaat
 membantu kita untuk menilai secara kwantitatif berat ringannya injury pada pasien-pasien trauma.
 Membantu kita untuk memperkirakan hasil akhir trauma tersebut. Bahkan sangat berguna dalam
pemeriksaan klinis dan untuk penelitian.
 Trauma score dilakukan di triage dan keputusan klinis dapat dipakai untuk menentukan kemana pasien
akan di transfer.

Score fisiologis
Glasgow Coma Score (GCS)
 GCS banyak dipakai untuk menilai kesadaran pasien melalui 3 respon yaitu; respon membuka mata, re-
spon verbal, dan respon motorik.

Table 1: Glasgow coma score


__________________________________________
Respons score
__________________________________________
Membuka mata
* spontan 4
* dengan suara 3
* dg rangsangan nyeri 2
* tidak ada respon 1

Respon verbal
* orientasi bagus 5
* bicara bingun 4
* hanya berupa kata-kata 3
* hanya keluar suara saja 2
* tidak ada respon suara 1

Respon motorik
* sesuai dengan perintah 6
* dengan rangsangan mampu melokalisir nyeri 5
* dg rangsang nyeri, respon witdrawl 4
* dg rangsang nyeri, respon gerakan fleksi 3
* dg rangsang nyeri, respon gerakan ekstensi 2
* tidak ada respon 1
________________________________________________________________
Total GCS poin (1+3+3) 3 s/d 15
_______________________________________________________

 GCS ini dapat dipakai untuk mengelompokkan pasien;


1. coma: pasien dikatakan koma bila respon membuka mata (E) = 1, respon verbal (V) = 1 sp 2, dan
respon motorik 1 sp 5. artinya pasien dengan GCS = atau < 8 dapat dikatakan koma.
2. beratnya trauma kepala. Berdasarkan GCS pasien dapat dikelompokkan menjadi;
a. trauma kepala berat bila GCS < 8
b. trauma kepala sedang bila GCS = 9-13
c. trauma kepala ringan bila GCS = 14-15
 GCS juga dapat diterapkan pada anak-anak.namun untuk verbal pada anak < 4 tahun harus dimodifikasi
(table 2).
333

 GCS dapst dikorelasikan dengan mortalitas dan dengan Glasgow outcome score, yang dapat mengukur
tingkat kerusakan fungsi otak. Score ini digunakan luas untuk prehospital triage dan untuk membedakan
tingkat kesadarn setelah pasien MRS.

Revised trauma score (RTS)


 RTS pada table 3 didasarkan pada GCS, tekanan darah sistolik dan respiratory rate. Ini telah digunakan
luas di triage, dengan variable antara 4 (normal) sampai 0. dan dengan code nilai tertentu yang berhub-
ungan dengan prognosa.

Table 2: pediatric verbal score


__________________________________________
Respon verbal score
__________________________________________________________________
Kata-kata yg sesuai atau senyuman, pegangan dan mengikuti 5
Menangis, tetapi dapat di redakan 4
Rewel yg sulit diredakan (irritable) 3
Anak malas, agitasi 2
Tidak ada respon 1

__________________________________________________________________

Tabel 3: RTS
__________________________________________
GCS SBP RR code value
___________________________________________________________
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1 – 49 1-5 1
3 0 0 0
___________________________________________________________
RTS=0.9368 GCS + 0.7326 SBP + 0.2908 RR.

Score Anatomi
Abbreviated Injury Scale (AIS)
 score AIS berkisar antara 1- 6 untuk masing-masing individu yang mengalami trauma. (table 4). Score
ini muncul sejak th 1971.
Injury Severity Score (ISS)
 ISS dibagi berdasakan 6 bagian region tubuh;
1. kepala / leher
2. wajah
3. dada
4. abdomen dan pelvis
5. extremitas
6. struktur luar/kulit

system scoring lain


TRISS. Metode ini dipakai secara kwantitatif untuk menilai kemungkinan harapan hidup pasien berdasarkan
beratnya trauma, dan secara luas telah dipakai untuk perbandingan antara satu rumah sakit dengan RS yang
lainnya. Pasien dinilai berdasarkan nilai kombinasi antara ISS dan RTS serta ditambahkan faktor umur. Pasien
dengan nilai survive < 0.5 dikatakan ‘unsuspected survivor’ (tidak harus hidup) dan pasien dengan nilai > 0.5
dikatakan ‘unsuspected deaths’ (tidak seharusnya mati).
334

Table 4: abbreviated injury scale


__________________________________
Scale attributes of injury
____________________________________________
AIS 1 minor injury
AIS 2 moderate injury
AIS 3 serious injury
AIS 4 severe injury
AIS 5 critical injury
AIS 6 fatal injury
_____________________________________________

******************************
335

117. CONSCIOUS SEDATION

DEFINISI
 Terminologi ini mengacu pada depresi minimal tingkat kesadaran dimana reflek proteksi jalan nafas dan
jantung pasien masih dapat dipertahankan, dan pasien masih mampu memberi respon dengan tepat terhadap
stimulasi fisk dan atau perintah verbal. Agen yang digunakan untuk mencapai keadaan ini termasuk obat
sedasi, dengan rentang keamanan yang cukup lebar yang jarang menimbulkan hilangnya kesadaran seperti
midazolam dan analgesic, yaitu agonis opiate, yang memiliki efek samping sedasi dan menimbulkan depresi
nafas.

 Istilah lain yang diajukan saat ini adalah sedasi dan analgesia prosedural, yangs erring disingkat PSA.

PERHATIAN
 Diasumsikan bahwa pasien telah dinilai kelayakan dan kesesuaian untuk sedasi, yang meliputi dokumentasi
akan adanya alergi, terapi medikamentosa yang sedang dijalani serta abnormalitas patensi jalan nafas.
 Pada keadaan tidak adanya dokter emergensi senior atau ahli anestesi, pertimbangkan rawat inap untuk
anestesi general pada pasien anak berusia <5 tahun.
 Jika terdapat keraguan terhadap kemampuan anda melakukan sedasi sadar pada seorang pasien, anda dapat
merawatinapkan pasien tersebut atau meminta advis dari dokter emergensi yang bertugas jaga.
 Penggunaan ketamin memerlukan dua operator. Operator pertama akan melakukan prosedur sementara yang
lain bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan secara konstan status jalan nafas dan hemodinamik
pasien.

INDIKASI
 Pasien dengan dislokasi sendi sedang dan besar
 Abses yang akan dilakukan insisi dan drainase
 Laserasi pada lokas yang secara anatomis rumit, misalnya pada wajah anak berusia <5 tahun.

 Tips Khusus Untuk Dokter Umum


 Conscious sedation bukan merupakan prosedur yang harus anda pertimbangkan untuk dilakukan
kecuali rancangan di tempat kerja anda meliputi kemampuan monitoring hemodinamik dan bantu-
an anesthesia segera
TATA LAKSANA
Penanganan suportif
 Pasien harus ditangani di area yang dilengkapi dengan monitor tanpa memandang usia dan kondisi fisik
yang terlihat baik ataupun riwayat medis lampau yang baik. Reaksi alergi dan idiosinkrasi sulit untuk di-
prediksi
 Monitoring: EKG, pulse oximetry dan tanda-tanda vita setia 5-10 menit.
 Suplementasi oksigen
 Peralatan resusitasi yang harus segera tersedia meliputi:
1. Alat bantu jalan nafas oral
2. Peralatan bad-valve-mask (BVM)
3. Pipa endotrakea
4. Defibrillator
5. Obat reversal: naloxone dan flumazenil

Terapi medikamentosa
 Benzodiazepin, mis. midazolam memiliki keuntungan akibat efek amnesia selain sedasi dan pelemas otot.
Akan tetapi obat ini tidak memiliki efek analgesia. Karenanya obat ini paling baik digunakan bersamaan
dengan analgesic agonis opiate.
 Analgesik opiate/obat sedasi, mis. morfin, meperidin, fentanyl: dari ketiga obat yang serupa ini fentanyl
memiliki keuntungan nyata yaitu tidak menimbulkan pelepasan histamin (reaksi anafilaktoid).
336

 Ketamin: obat sedasi dengan efek amnesia disosiasi dan anagesik yang lemah, terutama digunakan pada
anak-anak.

Komplikasi conscious sedation


 Depresi nafas akibat midazolam dan agonis opiat. Ditangani dengan:
1. Oksigen
2. Ventilas dengan BVM
3. Obat reversal: flumazenil dan naloxone
 Laringospasme akibat ketamin. Ditangani dengan
1. Ventilasi tekanan positif (VTP)
2. Suksinilkolin 1-2 mg/kgBB IV atau 4 mg/kgBB IM jika laringospasme menetap setelah VTP
3. Tata laksana jalan nafas dengan BVM atau intubasi setelah paralisis
 Hipotensi akibat midazolam dan agonis opiat. Ditangani dengan:
1. Posisi Trendelenburg
2. Infus NS 20 ml/kgBB
3. Obat reversal
 Kekakuan dinding dada akibat fentanyl. Ditangani dengan:
1. Naloxone
2. Suksinilkolin 1-2 mg/kgBB IV atau 4 mg/kgBB IM jika naloxone tidak berhasil
3. Tata laksana jalan nafas setelah paralisis
 Reaksi alergi. Ditangani dengan:
1. Adrenaline (1:1,000 SC sebanyak 0.01 ml/kgBB atau 1:10,000 IV sebanyak 0.05-0.1 ml/kgBB)
2. Antihistamin, mis diphenhydramin 1mg/kgBB IM atau IV
3. Hidrokortison (5 mg/kgBB IV)

Penggunaan obat reversal


 Penggunaan yang tidak tepat: lebih disukai untuk membiarkan pasien kembali sadar penuh secara alami
tanpa menggunakan antidotum seperti naloxone dan flumazenil karena waktu paruh obat yang digunakan
pada conscious sedation lebih panjang dari antidotum nya. Karenanya penggunaan antidotum yang tidak te-
pat dapat mengakibatkan tingkat kesadaran yang berfluktuasi.
 Penggunaan yang tepat: antidotum naloxone dan atau flumazenil diberikan bila pasien menjadi bradypneu
atau bahkan apneu selama prosedur dilakukan atau menjadi tidak sadar. Dosis:
Naloxone: Anak: 0.01 mg/kgBB IV setiap 1 jam
Dewasa: 2 mg IV setiap 1 jam
Flumazenil: Anak: 0.1 mg IV
Dewasa: 0.5 mg IV, dapat diulang 2 kali dengan interval 5 menit.

Setelah prosedur dilakukan


 Amankan tungkai atau pasangkan pembalut pada bagian yang dioperasi.
 Tempatkan pasien dalam posisi pemulihan dengan Trendelenburg ringan.
 Lanjutkan monitoring sampai pasien sadar penuh, dapat batuk (atau menangis) dan bergerak terarah.
 Atur pasien untuk pulang ke rumah dengan pengawasan keluarga atau teman.

Disposisi
Saat pasien dipulangkan, perlu diberikan instruksi bahwa untuk 24 jam berikutnya pasien sebaiknya tidak:
 Mengendarai kendaraan bermotor maupun sepeda
 Memanjat di ketinggian
 Berenang
 Mengkonsumsi alcohol ataupun obat-obatan yang menyebabkan kantuk.

 abel 1. Dosis dan panduan obat-obatan


337

Obat Dosis Keuntungan Kerugian


Dewasa Anak
Mid- 0.1 mg/kgBB IV Dosis awal 0.05 Onset cepat, Depresi pernafasan dan SSP terutama bila digunakan bersamaan dgn agonis opiat
azolam dalam dosis terbagi, mg/kgBB IV durasi kerja
(Dor- bergantian dengan kemudian diting- singkat, dapat
micum analgesia katkan sampai 0.1 dititrasi
®) mg/kgBB dalam
dosis terbagi,
bergantian dengan
analgesic
Morfin 0.1-0.2 mg/kgBB IV 0.01-0.04 Telah diuji coba Depresi pernafasan dan SSP, juga berefek emetic, onset lambat dengan masa kerja panjang, menyebabk
dalam dosis terbagi, mg/kgBB IV selama ber- pelepasan histamin
bergantian dengan dalam dosis tahun-tahun,
obat sedasi terbagi, bergantian dapat dititrasi
dengan obat
sedasi
Me- 1.0 mg/kg IV dalam Sama dengan Durasi lebih Sama dengan morfin, efek emetic lebih ringan, efek analgesia lebih lemah
peridi dosis terbagi, ber- dewasa singkat dan efek
ne gantian dengan obay depresi kardiak
(Peth- sedasi lebih ringan
idine dibandingkan
®) morfin, dapat
dititrasi
Fenta- 1-2 μg/kgBB IV Dosis awal 0.5 Onset cepat, Depresi nafas dan SSP, kekakuan dinding dada setelah pemberian dosis besar
nyl dalam dosis terbagi, μg/kgBB IV; kerja singkat,
(Sub- bergantian dengan sampai maksimal pemulihan
limaze obat sedasi 2 μg/kgBB dalam cepat, pelepasan
®) dosis terbagi, histamine min-
bergantian dengan imal
obat sedasi
Keta- 1-2 mg/kgBB IV 3 mg/kgBB IM Tidak men- Laringospasme pada dosis besar (jarang), sialogogue, hindari pada hipertensi, penyakit arteri koroner d
mine 1 mg/kgBB IV yebabkan de- CHF
bolus pelan presi kardiores-
piratori, bron-
kodilator dan
berguna pada
pasien asma
Atro- 0.6 mg IM atau IV 0.02 mg/kg BB IV Antisialogogue
pine sampai dosis 2.4 mg atau IM
Tam-
bahan
pada
keta-
mine

338

118.terapi cairan pada anak

*Terapi IV untuk pasien tidak syok


Cairan total yang dibutuhkan dalam 24 jam

Total cairan yang dibutuhkan ( cc/


24 jam)

(% dehidrasi/100) x BB= liter usia ml/kg


1 hari 60
2 hari 90
3 hari 120
4 hari-1 tahun 150
1-5 tahun 100
5-10 tahun 75
>10 tahun 50
DS (R) = Dextrose 2,5% Salin 0,45%
DS (M) = Dextrose 3,75% Salin 0,23%

Sebagian diberikan cairan hasil penjumlahan replacement dan maintenance 8 jam pertama

Contoh: Anak 1 tahun, 10 kg dengan dehidrasi 3%


Volume replacement = (3%x10 kg) lt = 300 cc
Volume maintenance = 10 kg x 100cc/kg = 1000 cc
Yang diberikan di UGD dalam jam I = (300/2 + 1000/2 ) / 8 jam = 650/8 jam = 81 cc/ jam

*Resuitasi untuk pasien syok

Kristaloid (NS atau Hatmann’s) = 10-20 cc/kg secepat mungkin dalam 15 menit untuk mengisi volume extrasel (
ulangi jika dibutuhkan )
339

119. DAFTAR OBAT YANG HARUS DIHINDARI PADA DEFISIENSI G6PD

ANALGESIK
 Asam asetilsalisilat (aspirin)
 Acetophenetidin (Phenacetin®)

SULFONAMID DAN SULFON


 Suphanilamide  Dapsone
 Sulphapyridine  Sulphoxone
 Sulphadimidine  Glucosulfone sodium
 Sulphacetamide  Co-trimoxazole
 Sulphafurazone

KOMBINASI ANTIBAKTERIAL LAIN


 Nitrofurans: nitrofurantoin, fura-  Chloramphenicol
zolidone, nitrofurazone
 Asam nalidiksat  Asam p-aminosalisilat

ANTIMALARIA
 Primakuin
 Pamakuin
 Klorokuin

KARDIOVASKULER
 Prokainamid
 Kuinidin

LAIN-LAIN
 Vitamin C  Biru metilen
 Analog vitamin K  Arsine
 Naphthalene (kapur barus)  Phenylhydrazine
 Probenecid  Biru toluidin
 Dimerkaprol (BAL)  Mepacrine
340

120. list of drugs to avoid in pregnancy

CAVEATS
Sebelum meresepkan pada ibu hamil, selalu pertimbangkan keuntungan maupun resiko pen-
gobatan. Daftar obat-obat berikut biasanya hanya digunakan dalam ED. Ada beberapa obat
yang mempunyai efek merugikan pada ibu hamil dan hanya ada beberapa yang aman kesela-
matan ibu lebih diprioritaskan daripada janinnya.
341

121. Paparan jarum/ cairan tubuh


Definisi
Kontaminasi ini biasanya akibat kecelakaan, potensial mengenai pelayan kesehatan atau anggota masyarakat.
Caveats

 Di rumah sakit, luka akibat memindahkan jarum dari satu orang kelainnya selama injeksi, punctie vena
atau kanulasi IV hampir sepertiga luka terjadi jauh dari waktu dan tempat perawatan pasien, misalnya
luka pada kulit dari jarum terbuka di tempat sampah..
 Paramedis mengalami paparan baik parenteral maupun non parenteral.
 Resiko hepatitis lebih besar dari HIV.
 Tipikal, infeksi HIV pada paramedis akibat sekunder dari kecelakaan dengan darah dari pasien HIV.
 Seorang dengan tes negatif untuk anti HIV serokonversi dapat lambat atau tidak ada setelah inokulasi
virus.
Tip khusus
 Kemoprofilaksis antiretroviral post paparan merupakan standar dan harus segera diberikan setalah papa-
ran HIV positif.
Penatalaksanaan

 Perawatan pasien:
1. Paparan percutaneus: cuci tempat inokulasi secepatnya dengan air mengalir. Desinfeksi dengan
Chlorhexidine atau Povidone iodine dan balut jika perlu.
2. Paparan membran mukosa; irigasi secepatnya dengan sejumlah besar air.
3. Paparan kulit non intak: cuci dengan sabun dan air atau antiseptik. Kemudian desinfeksi dengan
Chlorhexidine atau Povidon iodine.
Catatan: untuk semua kontak mengikuti kebijakan dan prosedur institusi.

 Darah/ cairan tubuh dari pasien yang teridentifikasi


1. Kirim darah paramedis yang terpapar untuk HbsAg, anti-HBS, dan anti HIV
2. Kirim darah dari pasien untuk HbsAg dan anti HIV
a. Identifikasi pasien sumber HbsAg negatif
i. Paramedis dengan imunitas alami HBV, tidak perlu tindakan.
ii. Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: tidak perlu tindakan
iii. Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: mulai/ lengkapi imunisasi
HBV.
iv. Paramedis dengan HbsAg positif: tidak perlu tindakan
b. Identifikasi pasien dengan HbsAg positif
(1) Paramedis dengan imunitas alami HBV: tidak perlu tindakan
(2) Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: dosis booster vaksin hepatitis B
(3) Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: hepatitis B spesifik HIGdalam
72 jam dan mulai/ lengkapi imunisasi HBV
(4) Paramedis dengan HbsAg positif: tidak perlu tindakan.
c. Identifikasi pasien sumber HIV antibody positif
(1) menentukan status hepatitis B pasien.
d. Identifikasi pasien sumber anti bodi HIV positif
 Paramedis dengan antibody HIV positif; tidak perlu tindakan
 Paramedis dengan antibody HIV negatif: berikan profilaksis post paparan segera dan
rujuk ke institusi.
342

 Menentukan status virus hepatitis B pada pasien sumber dan proses seperti disebutkan
diatas.
 Darah/ cairan tubuh pasien yang tidak diidentifikasi
1. Paramedis dengan imunitas alami pada HBV: tidak perlu tindakan
2. Paramedis dengan imunisasi HBV lengkap: dosis booster vaksin hepatitis B
3. Paramedis dengan imunisasi HBV tidak lengkap: berikan hepatitis B spesifik HIG dalam 72 jam
dan mulai/ lengkapi imunisasi hepatitis B.
 Profilaksis post paparan: jika paramedis terpapar darah atau cairan tubuh dari pasien HIV positif, beri
kemoprofilaksis post paparan dapat mengurangi serokonversi. Penelitian menunjukkan profilaksis yang
diberikan dalam 24 jam paparan menurun kan transmisi HIV.
1. berikan profilaksis segera: jangan tunggu dalam 3 hari atau lebih
2. Zidovudine (AZT, ZDV, retrovir). Dosis 200 mg peroral 3 kali dalam 3 hari
3. jika status HIV pasien sumber tidak diketahui tapi termasuk dalam resiko tinggi:
a. lakukan spesimen darah seperti diatas
b. rujuk untuk pengawasan < 48 jam.
343

122. OBAT-OBATAN DAN PERALATAN PADA ANAK

FORMULA UNTUK MEMPERKIRAKAN NILAI NORMAL


 Perkiraan berat (kg):
1. 2 x umur (thn) + 9 untuk umur < 9 thn
2. 3 x umur (thn) untuk umur > 9 thn
 Luas permukaan tubuh(m2): tinggi(cm) x berat badan(kg) /3600
 Tekanan darah sistolik terendah:
1. Neonatus: 60 mmHg
2. Bayi : 70 mmHg
3. Selanjutnya : 170 + (2xumur(thn)) mmHg

Umur ( tahun ) Nadi/menit Pernafasan


<1 110 - 160 30 - 40
2-5 95 - 140 20 -30
5 - 12 80 - 120 15 -20
> 12 60 -100 12 -16

Ctt.: Jika <5 th, nadi >180 pastikan sinus takikardi


Jika >5 th, nadi >160 pastikan sinus takikardi
Semua umur HR >220 pastikan SVT
Perkiraan jumlah darah anak (ml): 80 x BB (kg)

ALAT
 Ukuran ETT anak : 4 + umur(thn) /4 ( diatas umur 2 th )
 Panjang ETT anak (cm) dari mulut: 12 + umur(th) /2 tambahkan 3 cm bila melalui hidung ( untuk anak > 2 th
), atau ukuran ETT x 3
1. Kardioversi untuk gangguan irama atrium: 1
joule/kg
2. Kardioversi untuk gangguan irama ventrikel: 2-4
joule/kg
umur lahir 1 bln 3 bln 6 bln 1 thn
Ukuran ETT 3mm 3mm 3,5mm 4mm 4mm
Panjang ETT 9cm 10cm 10,5cm 11cm 12cm
Tube dada 8F 8F 10F 10F 10F

Kateter urin 5F 5F 8F 8F 8F

You might also like