You are on page 1of 16

Urban berarti sesuatu yang bersifat kekotaan yang secara langsung maupun tidak, terkait dengan urbanisasi

(perpindahan penduduk dari desa ke kota) (Setijowati (Ed), 2010: 101). Fenomena urban pada hakikatnya terkait erat
dengan persoalan tradisi dan modernitas. Masyarakat urban identik dengan industrialisasi dan konsumsi gaya hidup
telah menyuburkan keberadaan “ anggota masyarakat modern” atau sosialita. Sosialita dalam artian fenomena
gemerlap.

Sekilas tentang Masyarakat Urban


Written by disriani.latifah on October 31, 2008 – 2:59 pm -

Sekilas tentang masyarakat urban Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain
dalam kehidupannya, sekelompok manusia yang saling membutuhkan tersebut akan membentuk suatu
kehidupan bersama yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat itu sendiri dapat didefinisikan sebagai
suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang
sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama[1]. Dalam hidup
bermasyarakat, manusia senantiasa menyerasikan diri dengan lingkungan sekitarnya dalam usahanya
menyesuaikan diri untuk meningkatkan kualitas hidup, karena itu suatu masyarakat sebenarnya
merupakan sistem adaptif karena masyarakat merupakan wadah untuk memenuhi pelbagai kepentingan
dan tentunya untuk dapat bertahan namun disamping itu masyarakat sendiri juga mempunyai pelbagai
kebutuhan yang harus dipenuhi agar masyarakat tersebut dapat hidup terus[2]. Dalam kehidupan
masyarakat modern sekarang ini sering dibedakan antara mayarakat urban atau yang sering disebut
dengan masyarakat kota dengan masyarakat desa. Pembedaan antara masyarakat kota dengan
masyarakat desa pada hakikatnya bersifat gradual, agak sulit memberikan batasan apa yang dimaksud
dengan perkotaan karena adanya hubungan antara konsetrasi penduduk dengan gejala-gejala sosial
yang dinamakan urbanisme[3] dan tidak semua tempat dengan kepadatan penduduk yang tinggi dapat
disebut dengan perkotaan[4]. Pada masyarakat kota ada beberapa ciri-ciri yang menonjol, pada
umumnya masyarakat kota dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain;
masyarakat kota mempunyai jalan pikiran rasional yang meenyebabkan interaksi-interaksi yang terjadi
lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi; jalan kehidupan yang cepat di kota
mengakibatkan pentingnya faktor waktu sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting untuk
dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu; dan perubahan-perubahan sosial tampak
dengan nyata di kota-kota karena kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh luar[5]. Beberapa
ciri-ciri masyarakat kota yang selalu berusaha meningkatkan kualitas hidupnya dan terbuka dalam
menerima pengaruh luar tersebut menyebabkan teknologi terutama teknologi informasi berkembang
dengan pesat dalam masyarakat kota karena bagi masyarakat kota penggunaan teknologi informasi di
segala bidang telah sangat signifikan meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

 Home »
 Esai »
 Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak Muda yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis

Mengenal Kaum Miskin Urban: Anak-Anak


Muda yang Kere, Kelaparan, tapi Eksis
Ditulis oleh Marli Haza Pada 27 June 2016 71 Comments
(Catatan Editor: Ini adalah terjemahan artikel “The Urban Poor You Haven’t Noticed: Millennials
Who’re Broke, Hungry, But On Trend” yang ditulis Gayatri Jayaraman di laman Buzzfeed tanggal 5
Mei 2016. Artikel asli tulisan ini bersituasi di negara India. Nama tempat, mata uang, dan aspek
lainnya menyesuaikan yang sebenarnya di India.)

Anak-anak muda meyakini bahwa untuk menghasilkan banyak uang, kita harus menghabiskan
banyak uang
Saya mulai menyadari hal ini sejak terkejut menyaksikan seorang pemenang kontes kecantikan level
nasional tampil di klub malam remang-remang di Santacruz West. Kata teman yang mengajak saya
ke situ, wanita itu mulai bekerja di sana waktu dia menunggu lowongan jadi artis Bollywood. Untuk
dapat peran, dia harus sering terlihat melenggang di karpet merah dan pesta-pesta, makanya dia
butuh beli sepatu hak tinggi dan gaun. Pertunjukan demi pertunjukan di klub itu memberikannya
banyak uang. Jadilah klub itu sumber penghasilan utamanya.
Saya kenal seorang manajer pemasaran, masih muda, yang nekat kredit mobil waktu dapat gaji
pertamanya tapi sekarang tidurnya di mobil. Gajinya habis untuk bayar kontrakan rumah dan cicilan
mobil, tak tersisa untuk makan. Dia parkir di suatu tempat, tapi untungnya Mumbai masih tergolong
kota yang aman.

Ada juga teman wartawan junior. Selama beberapa saat, dia jarang masuk kerja. Makin kelihatan
kurus pula. Dia bilang itu karena dia jogging setiap sore. Tapi saat dia jarang muncul waktu makan
siang, atau menyeruput kopi sepanjang hari, saya baru sadar. (Saya ngeh kalau ada yang janggal
karena saya dulu pernah begitu juga.)
Saya whatsapp dia. Itu satu-satunya cara mengobrol empat mata tanpa ketahuan orang lain.
“Kamu punya uang untuk makan siang, gak?”
Ternyata dia memang lagi bokek.

Dia bilang kalau lagi punya uang, dia sabar-sabar menahan lapar biar bisa mampir ke Le Pain
Quotidien* untuk beli sandwich sisa harian yang didiskon jadi 200 rupee atau sekitar Rp40 ribu kalau
malam.
Padahal dengan uang segitu, dia bisa beli makanan di kantin. Tapi menurutnya, makan tidak lebih
penting dibanding eksis untuk makan roti di Le Pain Quotidien.
Inilah kaum miskin urban, gejala yang lagi melanda sebagian besar orang India. Mereka sebenarnya
sama sekali tidak “miskin”. Tapi mereka lapar dan bokek. Inilah wujud masyarakat metropolitan
umur dua-puluhan yang terlalu memedulikan tekanan sosial di sekelilingnya dan menghabiskan
hampir seluruh gajinya demi gaya hidup dan penampilan yang mereka yakini berpengaruh pada
pekerjaan mereka.

Beban gaya hidup ini tidak bisa dicoret dari daftar pengeluaran mereka: baju-baju dan perawatan
tubuh,kongkow dan makan malam di tempat mewah, biaya transport naik Ola** atau Uber karena
harus kerja sampai jam satu pagi, dan tagihan kopi Starbucks yang harus dibeli buat ketemu klien.
Tidak lupa, sepatu hak tinggi dan gaun.
Kalau saldo rekening sudah sekarat di tanggal 20-an, mereka berpikir balasannya tidak mungkin saat
itu juga, tetapi nanti: waktu gaji naik, waktu dapat promosi jabatan, atau syukur-syukur orang tua lagi
baik mau transfer uang.

Pengaruh mereka luas. Inspirasi mereka datangnya dari kisah para pengusaha muda yang pinjam
uang dari perusahaan modal untuk membangun bisnis, yang katanya berhasil memutar setiap perak
uang menjadi seratus kali lipat. Tapi kisah yang mereka dengar adalah tentang Mukesh Ambani,
yang diwarisi perusahaan besar kemudian bisa membangun istana megah, bukannya
tentang Dhirubhai, yang tinggal di rumah kecil dan membangun perusahaan besar. Kisah yang
mereka dengar adalah tentang Katrina Kaif yang menghabiskan 50 ribu rupee atau sekitar Rp100 juta
rupiah untuk mengecat rambutnya. Itulah sebabnya mereka meyakini bahwa untuk menghasilkan
banyak uang, kita harus menghabiskan uang yang banyak pula.
Demi bisa kuliah di kampus yang bagus, kita rela keluar uang banyak untuk bayar semesterannya.
Demi dapat pekerjaan, kita habiskan tabungan untuk sekolah sampai S3 kalau perlu. Demi promosi
jabatan, kita beli jas dan minuman jamuan.

Kita berpenampilan demi pekerjaan yang diimpikan, tetapi lupa bahwa sebagian besar gaji kita yang
terpangkas untuk itu seharusnya digunakan untuk berpenampilan sesuai pekerjaan yang sekarang.

Setiap koran dan media memasang tajuk utama tentang apa yang perlu kita makan, tampilkan, dan
pakai untuk jadi sukses. Ke mana kita harus liburan, apa parfum yang kita pakai, mobil apa yang
harus kita kendarai. Tapi mereka tidak mengajarkan kita cara membayarnya.

Apa yang tersisa di diri kita adalah segerombolan anak umur dua-puluhan yang berusaha lari
meninggalkan identitas pengonsumsi nasi kucing dan es teh manis, demi disangka pengonsumsi
burger dan kola. Dari situ kemudian lari lagi demi dikira penggemar keju dan champagne.
Waktu saya mulai tinggal mandiri, sekitar 15 tahun lalu, gaji saya cuma 10.000 rupee. Untuk kontrak
rumah habis 4.000 rupee, penitipan anak 4.000 rupee, dan 2.000 rupee sisanya untuk ongkos dan
listrik. Untuk belanja kebutuhan sehari-hari, saya pakai kartu kredit. Saya masih umur 25 tahun, anak
saya satu tahun, dan kadang kami beli es krim, nonton bioskop, atau menikmati hiburan juga pakai
kartu kredit. Ketika pindah kerja dengan gaji yang lebih tinggi, kartu kredit saya mencapai limitnya
dan harus segera dibayar. Selisih kenaikan gaji itu saya gunakan untuk melunasi, karena saya sudah
memakai uang yang malah belum saya terima.

Cepat saya pahami, bersama kenaikan gaji, biaya kebutuhan juga semakin tinggi. Selama menjalani
pekerjaan saya yang pertama, rasanya punya satu jins dengan tiga atasan yang dipakai bergantian tiap
hari juga sudah cukup. Jabatan yang semakin meningkat membuat saya perlu pakaian yang lebih
bagus. Saya diharuskan tampil “berwibawa”. Makan siang di sini, senang-senang di situ, lalu rapat di
kedai kopi mewah.

Saya berusaha keras menentang lingkungan yang bersekongkol menjerat profesional muda ke jurang
kebangkrutan. Saya selalu menghitung dalam hati sebelum memutuskan beli sesuatu. Terkadang saya
hanya beli satu botol bir dan meminumnya sedikit-sedikit.

Sekarang, di mana pun, saya bisa menebak mana orang-orang yang di ambang kebangkrutan:
vegetarian yang tidak makan salad pembuka, orang yang cuma minum air putih, atau junior yang
mengaku sudah makan untuk menolak tawaran makan malam. Dan ketika, setelah makan bareng,
orang yang bersama mereka dengan santainya mengajak untuk patungan, kelihatan mereka inilah
yang pura-pura menunduk.

Saya juga pernah seperti itu. Kita tidak bisa menolak ajakan seperti itu karena nanti kita terkesan
pelit. Jadi, terlepas dari apakah kita mampu membayar makanan yang memang kita pesan untuk kita
sendiri, mau tidak mau kita juga harus ikut bayar makanan yang dipesan teman kita.
Kemudian, recehan logam terasa sangat berharga. Kita mencari-cari recehan yang menyelip di pojok
sofa. Kita menunggu kantor sepi lalu naik bus pulang ke rumah.

Sekarang, saya kadang sengaja berpapasan dengan teman kantor yang masih junior dan bertanya,
“Udah makan belum? Saya traktir kopi, yuk? Nanti pulangnya mau bareng, nggak?” Terkadang,
mereka gengsi dan menolak tawaran itu. Terkadang juga, gengsi mereka runtuh dan mereka
mengangguk.
Orang tua mereka, generasi yang jarang berdiskusi soal uang, mengajari mereka bahwa tidak ada
harga yang terlalu mahal untuk kebahagiaan diri sendiri. Kalau orang tua mereka menelepon dan
menawarkan diri mentransfer mereka uang, mereka bilang tak perlu, semuanya masih bisa diatur.
“Iya, Pah, makannya dijaga kok, di kantor baik-baik saja.” Dibesarkan oleh orang tua yang
mengorbankan segalanya untuk kebahagiaan mereka, anak-anak ini sebenarnya diam-diam belajar
hidup prihatin.

Orang yang bisa melewati masa sulit selalu dilabeli “tangguh”, padahal “tangguh” berarti perut lapar
dan isak tangis yang tertahan. Terkadang, saya merasa saya sudah melalui masa-masa itu.

Baru-baru ini, saya sedang mewawancarai seorang pelamar yang memotong pertanyaan saya hanya
untuk bilang, “Sis, supir saya HP-nya lebih bagus dari punyamu,” sambil tertawa. “Beli iPhone, kek!”
Penampilan saya sudah mentereng. Saya punya rumah. Tabungan juga lebih dari cukup. Tapi bahan
ledekankok tidak juga berubah selama 10 tahun.
Bulan lalu, saya mulai nge-twit kaum miskin urban ini, dan banyak yang merespon, “saya juga”.
Satu orang mengaku bahwa selama tiga tahun di Jerman, dia cuma makan tomat, menghemat uang
agar bisa beli coklat untuk keluarganya ketika pulang kampung. Ada yang bilang, “Semuanya baik-
baik saja kok!” lewat telepon jarak-jauh ke kampung halaman hanya agar ibunya berpikir
pengorbanan ibunya menjual gelang untuk ongkosnya mengembara tidak sia-sia.

Ada yang tidur di kasur single dan menyimpan sepatu kets di kolong meja kerja untuk dipakai jalan
kaki sepanjang 8 km saat pulang kantor setiap malam.
Saya juga pernah dengar cerita soal anak-anak bagian pemasaran yang kelaparan setiap hari hanya
untukngopi di hotel bintang lima.
Ada juga seorang ayah yang tidak pernah liburan selama 13 tahun hanya agar bisa membiayai
pendidikan anaknya di luar negeri.

Ada yang pernah bertahan seharian hanya minum air dan menumpang di truk untuk berangkat ke
kampus.

Ada yang dijuluki pelit karena tidak pernah makan di luar.

Di negara yang wabah kelaparan nyata terjadi di mana-mana, “kelaparan” yang semacam ini
datangnya dari pilihan gaya hidup. Entah bagaimana, kita telah membangun budaya yang
menempatkan penampilan sebagai nilai utama, hingga kita rela menghabiskan banyak uang
untuk kelihatan kenyang ketimbang menyisihkan sedikit uang untuk benar-benar makan.
“Kelaparan” ini menyentuh setiap orang dengan cara yang berbeda-beda—bisa sementara atau
selamanya, bisa ringan atau parah, bisa sekali atau berkali-kali. Tapi sekali kita menyadari hal itu di
sekeliling kita, sulit sekali untuk mengabaikannya. Kita jadi anggota suatu kaum yang mengerti
kenapa rekan kerja kita tumben-tumbennya bawa bekal makan, kelihatan kurusan, dan menghabiskan
waktu sampai malam di kantor agar tidak perlu bayar jemputan. Kalau dahulu, walau sebentar, kita
pernah merasakan “kelaparan” seperti itu, kita akan sadar bahwa ternyata semua orang pun begitu.

____

Catatan Kaki:

*) restoran roti mewah dari Brussel yang kini telah terwaralaba secara internasional

**) layanan transportasi daring yang populer di India


Pahitnya Kehidupan Kota
Ulasan Film "Blusukan Jakarta"

Pradhana Adimukti

27 Mar 2016

 301 Views

 11

Shares





Sumber: tokosinopsis.com

“Jakarta, mungkin bukan kota tercantik di dunia, tetapi jelas yang paling
dirindukan oleh masyarakatnya”
Disambut alur cepat kejar-kejaran seorang bule dengan anak jalanan,
Blusukan Jakarta sejak awal telah memberi petunjuk. Petunjuk bahwa
penonton akan disuguhi alur cepat dan kejar-kejaran dengan latar suara
menegangkan sepanjang film.
Membaca sinopsis dan melihat trailer film ini, akan terbayang di kepala
cerita gabungan Laskar Pelangi (2008) plus Iseng (2016) dan serial
TV Dunia Tanpa Koma (2006). Film tentang perjuangan anak-anak miskin
mendapat pendidikan dicampur kriminalitas serta kisah jurnalisme
investigasi.
Blusukan Jakarta mendeskripsikan sudut-sudut getir kehidupan masyarakat
urban Jakarta. Lingkungan kumuh, premanisme, prostitusi dan eksploitasi
anak merupakan tema utama film ini. Mirip dengan Something In The
Way (2013) dan Iseng (2016).
Blusukan Jakarta, Something In The Way dan Iseng sama-sama
menampilkan kepahitan kehidupan urban. Bedanya, jika Something In The
Way menyajikan isu prostitusi dan perdagangan perempuan sementara
Iseng menyajikan kriminalitas yang mencekam, Blusukan Jakarta
menyuguhkan kehidupan miskin perkotaan lebih kompleks.
Tony (Marcio Sebsam), jurnalis asal AS, ditugaskan kantornya membantu
tim investigasi stasoun TV Berita Satu. Tony diharapkan mampu
mengangkat lagi Indonesia Berbicara yang belakangan kekurangan topik
menarik. Indonesia Berbicara adalah program talkshow yang mengangkat
sisi kemanusiaan secara ringan namun berisi.
Setibanya di Jakarta, Tony terinspirasi mengangkat kehidupan anak jalanan.
Tony kemudian mewawancarai Acil (Clinton Lubis), seorang anak jalanan.
Dia menggali kehidupan Acil, bagaimana Acil hidup dan teman-teman anak
jalanan lain.
Semua menjadi kacau saat tas Tony yang berisi perlengkapan penting
seperti kamera dan paspor dicuri Acil. Tony terjebak di perkampungan
nelayan dan harus berhadapan dengan geng preman pimpinan Jampang
(Ence Bagus).
Masalah menjadi lebih rumit karena Tony tak bisa berbahasa Indonesia.
Terjebak di kampung yang tak dikenal sambil berlari dari kejaran preman
dan mengejar Acil, Tony ditolong Marni (Shita Destya). Marni adalah seorang
PSK kampung itu
Follow Qureta Now!

Selain Marni, Tony juga bertemu Anggun (Mentari de Marrele). Anggun


adalah perempuan yang mencoba mengubah nasib anak-anak jalanan di
kampung itu dengan menjadi guru. Anggun juga satu-satunya orang yang
fasih berbahasa Inggris di kampung itu.
Melalui interaksi dengan para penghuni kampung nelayan tersebut, Tony
mendapat materi investigasi untuk “Indonesia Berbicara”. Di situ dia
menemukan kerumitan masalah pelacuran, premanisme, kemiskinan dan
eksploitasi anak Jakarta.
Alur mundur-maju film ini memberi variasi beberapa film, yang pada
umumnya,menyajikan alur maju. Latar suara menegangkan film ini mampu
menambah kuat alur cepat dan adegan kejar mengejar. Penonton takkan
mengantuk menonton Blusukan Jalanan.
Ide utama Blusukan Jakarta sangat menarik. Sayang, skenarionya tak
tergarap dengan baik. Terdapat beberapa lompatan-lompatan logika.
Misalnya, setelah berhasil keluar dari kampung, Tony kembali ke kantor lalu
mempresentasikan idenya. Tapi bahan presentasinya dari mana? Sedangkan
tas Tony belum ditemukan.
Latar belakang Anggun juga tidak jelas. Dari mana ia mempunyai uang
untuk membantu anak-anak, komputer dan mampu berbahasa Inggris?
Penonton hanya menduga-duga ia berasal dari keluarga berkecukupan
namun tak diuraikan jelas.
Anggun digambarkan dekat dengan anak-anak. Sayangnya, kedekatan
Anggun dengan anak-anak tidak terdeskripsikan mendalam. Anggun hanya
tergambarkan sebagai pelindung anak. Tidak ada adegan Anggun dengan
anak-anak yang sukses menyentuh hati.
Anggun juga disebut sebagai perempuan bernyali karena mengajar anak-
anak jalanan di perkampungan yang dikuasai preman. Tetapi, keberanian
Anggun tidak terlalu tereksplorasi. Tidak ada adegan Anggun melawan geng
preman pimpinan Jampang, misalnya.
Peran Pak RT (Tarzan) dan Pak Ustadz (Hengky Solaeman) sebagai tokoh
masyarakat juga tak digali mendalam. Akting kedua aktor senior tersebut
harusnya bisa lebih ditonjolkan. Sebagai panutan moral, Pak RT dan Pak
Ustadz bisa saja digambarkan melawan geng preman. Tetapi kedua aktor
senior itu hanya menjadi penghibur.
Dengan cerita yang tidak terlalu mendalam dan logika yang melompat
lompat, aking para aktor dan aktris di film ini tak tereksplorasi maksimal.
Para pemeran tak bisa dibilang bermain buruk namun tak terlalu istimewa
juga. Cukup disebut mereka bermain aman.
Film ini sukses menyuguhkan alur cepat serta ketegangan mengejar anak
jalanan dan dikejar preman. Sisi nyata kehidupan miskin kota juga
tereksplorasi utuh dalam film ini. Sayang skenarionya tidak sebaik deskripsi
realitas Jakarta yang ditampilkan.
Empati penonton berhasil diketuk saat disuguhkan kehidupan warga miskin
kota yang memprihatinkan. Lemahnya kedalaman cerita membuat film ini
menjadi semacam film documenter urban yang dibalut cerita. Bukan film
cerita yang bertutur tentang realita urban.
Blusukan Jakarta cukup aman untuk ditonton. Film ini bukan film yang buruk
tapi juga bukan film yang bagus sekali. Ekspektasi kuatnya cerita
perjuangan pendidikan ditambah kriminalitas Jakarta dan jurnalisme
investigasi tak terpenuhi. Tetapi ada empati dan pesan tentang kebutuhan
anak jalanan yang dapat diingat setelah keluar bioskop.
Mario Teguh dan Ironi Masyarakat
Urban


2633
Shares

ThinkstockIlustrasi kesibukan kaum urban

Terkait
 Proteksionisme Trump, Saat AS Rasakan Getirnya Pasar Bebas
 Mari Merasa Dihormati dengan "Bomber Jacket" Pak Presiden
 Dimas Kanjeng, Kekayaan, dan Pola Pikir "Karbitan"
 Mario Teguh dan Ironi Masyarakat Urban
 Kebangkitan Komunisme dan Kelas Menengah "Ngehek" di Indonesia

Oleh: Bambang Priyo Jatmiko

Tuhan,
perpanjanglah daya tahanku untuk memikul beban kehidupan ini, jauhkanlah aku dari
rasa putus asa, bantulah aku menemukan sumber rezeki yang besar dan lancar.
Tuhan, aku sudah rindu sejahtera.
Mohon sejahterakanlah aku.
Aamiin.
(Mario Teguh)
Status doa yang terpampang pada timeline Facebook motivator kondang itu memang
terasa sangat mewakili kondisi keseharian kaum urban, yang selalu dihadapkan pada
persoalan karier, cinta, cita-cita, jati diri, hingga masalah spiritual.
Adalah kaum urban, yang selalu berusaha mencari makna hidup di tengah hubungan
fungsional yang tercipta dari rutinitas harian yang dihadapi.
Tekanan pekerjaan sehari-hari ditambah dengan tuntutan untuk tetap survive di tengah
ketatnya persaingan, membuat sebagian besar kaum urban merasa terasing.
Kerja berangkat pagi, pulang larut malam. Tidur beberapa jam, berangkat kerja lagi ke
tempat kerja, membuat sebagian besar masyarakat urban merasa dirinya sebagai
mesin. Mekanis. Tak ada kesempatan untuk menikmati dan memaknai hidup.
Mereka juga merasa kesepian di tengah hiruk pikuk kota. Merasa tak berharga
meskipun gaji selangit. Hidup terasa stagnan.
Karenanya tak heran banyak orang kota yang menjadi super sensitif, gampang marah,
mudah tersinggung, baper, hilang motivasi, yang ujung-ujungnya membuat mereka
merasa tak bahagia.
Industrialisasi dan urbanisasi telah membuat masyarakat urban kehilangan nilai-nilai
tradisional, seperti kekeluargaan, kebersamaan, cinta, religiusitas dan sebagainya,
yang sebelumnya dipegang.
Individualisme telah meluruhkan ikatan sosial dan kultural, yang mendorong mereka
berusaha melakukan pencarian nilai-nilai yang hilang itu.
Ironi inilah yang pada akhirnya membuat masyarakat urban mencari "pelarian" yang
memungkinkan mereka bisa lepas dari beragam masalah yang mereka hadapi tiap hari,
meski sifatnya hanya sesaat.
Bagi pelaku industri, kegetiran yang dirasakan masyarakat urban adalah sebuah
peluang yang menjanjikan. Kondisi di mana ceruk pasar terbuka lebar yang siap
dieksploitasi menjadi pundi-pundi keuntungan.
Industri motivasi
Bukan industri namanya, jika tak mampu mengubah masalah menjadi peluang. Ya,
industri yang dimaksud adalah "industri motivasi", yang dijalankan oleh para motivator.
Dengan produknya berupa ceramah dan pelatihan motivasi yang disampaikan melalui
berbagai media seperti talkshow, seminar, pelatihan, buku, hingga paket wisata,
mereka hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat urban yang tengah dilanda oleh
masalah-masalah psikologis.
Produk-produk industri motivasi tersebut juga dibungkus dengan berbagai pendekatan
untuk menyasar segmen yang bervariasi.
Ada yang dibalut dengan pendekatan sekuler seperti dengan memfokuskan pada
pentingnya cinta dan ikatan-ikatan keluarga, hingga menitikberatkan pada pentingnya
aspek religiusitas. Ada juga yang menawarkan pendekatan dengan mengambil jalan
tengah di antara keduanya.
Semua itu muaranya sama: kebutuhan psikologis masyarakat urban tercukupi.
Sementara di sisi lain kegiatan akumulasi modal oleh industri motivasi, berjalan.
Selama ada masyarakat urban, industri motivasi akan terus mendapatkan pasar.
Coba lihat, betapa tinggi rating dari tayangan-tayangan motivasi yang dilakukan oleh
para motivator papan atas. Selain acara on air, kegiatan off air juga berhasil meraup
banyak sekali peserta, hingga penyelenggaraan pelatihan digelar puluhan kali batch.
Tingginya minat atas pelatihan maupun talkshow tersebut merupakan bukti bahwa
industri motivasi juga sangat paham mengenai jenis produk yang paling digemari
masyarakat urban.
Sebagaimana diketahui, kelompok masyarakat ini selalu ingin mewujudkan segala
sesuatu secara cepat dan tidak mau letih dalam berproses. Pekerjaan dan rutinitas
harian telah menyita sebagian besar energinya.
Proses panjang menemukan kebahagiaan dengan melakoni kehidupan secara utuh dan
seimbang, hampir mustahil dilakukan. Waktu terlalu berharga untuk dipakai hal-hal
yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
Selain itu, jalan panjang dan terjal untuk mencapai kematangan spiritual juga tak
mungkin dilakoni. Lagi-lagi, hal ini terbentur pada terbatasnya waktu.
Karena itu, produk-produk yang berupa solusi instan sangatlah tepat untuk menjawab
kondisi tersebut. Kata-kata motivasi yang mampu mendamaikan pikiran serta mengurai
kekusutan di kepala, menjadi begitu populer.
"Berdamailah dengan masa lalumu."
"Cinta tidak pernah salah. Yang salah adalah cara kita memilih kekasih, atau cara yang
salah dalam memperlakukan kekasih," adalah contoh beberapa kalimat dari motivator
kelas atas, Mario Teguh yang begitu populer, utamanya bagi masyarakat urban.
Belum lagi, status di Facebook dari sang motivator yang dikutip di awal tulisan ini.
Dalam waktu 4 jam setelah tulisan tersebut diposting berhasil menuai 15.300 like dan
telah di-share sekitar 1.500 kali.
Di luar itu, masih banyak industri motivasi lain yang mengandalkan produk yang kurang
lebih sama untuk menggaet pasar masyarakat urban, dengan pendekatan yang
mungkin agak berbeda.
Hanya sebatas industri
Tumbuhnya industri motivasi di Indonesia dimotori oleh mereka yang sebelumnya
bekerja sebagai profesional, seperti para CEO dan satu-dua level di bawahnya.
Selain itu, bangkitnya industri motivasi ini juga diinisiasi oleh mereka yang pernah
berkecimpung di dunia bisnis, baik mereka yang berhasil maupun yang gagal.
Rata-rata dari pelaku industri ini memiliki kemampuan public
speaking yang excellent dan penampilan yang meyakinkan. Mereka juga
melakukan self branding untuk menyasar segmen yang dibidiknya.
Para motivator kelas atas gaya bicaranya tak meledak-ledak, namun mengalir, tegas,
dan sangat paham kapan harus memberi penekanan pada materi yang
disampaikannya.
Saking mantapnya, tak sedikit yang memosisikan mereka tak sekedar sebagai
motivator. Lebih dari itu, mereka adalah idola yang setiap perkataannya bagai sebuah
sabda yang penting untuk dijalankan.
Mereka rata-rata juga punya asisten yang hampir setiap hari mendampingi ke manapun
sang motivator memberikan pelatihan. Tingginya intensitas interaksi dengan motivator,
membuat si asisten paham seluk beluk industri ini.
Sehingga tak jarang para asisten ini kemudian mendirikan perusahaan baru di bidang
yang sama. Mereka menawarkan tarif yang lebih kompetitif, namun dengan materi yang
kurang lebih sama dengan motivator kondang.
Begitulah ranah bisnis ini berkembang, hingga membuat industri motivasi cukup
bergeliat di Indonesia.
Kelebihan industri motivasi ini adalah mereka mampu memosisikan diri layaknya
lembaga tradisional (seperti keluarga, gerakan keagamaan/spiritual, dsb) yang menjadi
rujukan atas nilai-nilai yang dicari oleh masyarakat urban.
Kemampuan meyakinkan orang lain yang ditunjang dengan kalimat-kalimat puitis,
membuat kaum urban lupa bahwa para motivator itu adalah pelaku industri yang
tumbuh karena ada permintaan. Ada hukum ekonomi di balik munculnya para motivator
ini.
Meski jelas-jelas ini adalah industri, terkadang masyarakat urban tak mampu
membedakan mana lembaga tradisional dan mana industri.
Karena kaburnya batas-batas tersebut, ekspektasi masyarakat urban terhadap pelaku
industri motivasi terlampau tinggi. Bahwa apapun yang dilakukan oleh motivator,
haruslah sama seperti yang diucapkannya saat memberi ceramah.
Padahal, itu semua salah kaprah...
Seperti seorang penjual kopi enak yang didatangi ratusan pelanggan tiap harinya.
Belum tentu si pedagang kopi suka minuman tersebut. Bisa saja asam lambung si
pedagang akan kumat ketika dia menyeruput kopi.
Lainnya, penjual tongseng kambing tidak wajib untuk menyukai masakan yang dia bikin
sendiri. Karena, jika dia makan makanan tersebut, kolesterolnya akan naik. Tapi karena
pembeli senang dengan masakannya, dia terus membuat tongseng.
Di sinilah posisi konsumen. Dia berhak mendapatkan sesuatu dari produsen untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsumen berhak puas. Namun demikian, konsumen tak
berhak untuk memaksa si penjual menyenangi barang-barang yang dijualnya.
Begitulah analogi sederhananya. Karena itu, sungguh bukanlah hak saya, Anda,
maupun masyarakat urban lainnya untuk menuntut para motivator berperilaku seperti
apa yang disampaikannya dalam ceramah, talkshow, serta yang ditulisnya dalam buku.
Bagaimanapun, semua yang disampaikan para motivator pada dasarnya adalah
komoditas yang diproduksi untuk memenuhi permintaan pasar.
Karena hanya komoditas, nikmatilah hingga puas apa yang disampaikan, tanpa harus
terbebani dengan menuntut mereka melakukan hal yang sama dengan yang
diucapkannya.
Salam super!

You might also like