You are on page 1of 12

Pagi itu aku dalam perjalanan ke supermarket.

Aku sedang memeriksa daftar belanja, siapa tahu ada


yang tidak kucatat.

“sepertinya semuanya sudah kucatat,” kataku masih membaca daftar belanja.

“awas,” teriak seseorang di belakangku. Aku memalingkan pandangan dari daftar belanja, dan tahu-
tahu sebatang pohon sudah ada di depanku.

“aww,” teriakku. Pandanganku seketika menghitam, dan aku bisa melihat bintang berkelap-kelip.
Seseorang menghampiriku.

“kamu tidak apa-apa?,” tanyanya. aku menatap orang itu walau kepalaku masih terasa berputar. Dia
seorang cowok dengan suara manis. Oke, Sepertinya kepalaku terbentur terlalu keras.

“iya, aku tidak apa-apa,” kataku mencoba berdiri, orang itu membantuku berdiri. Penglihatanku
sudah mulai kembali.

“kamu yakin, sepertinya kepalamu terbentur cukup keras,” kata orang itu. Aku kembali menatapnya
dan saat itulah aku sadar kalau dia bukan hanya seorang cowok dengan suara manis. Dia..

“hei,” katanya sambil melambai di depan wajahku. Sepertinya aku melamun tadi.

“iya, kamu nggak usah khawatir, makasih udah nolongin aku,” kataku padanya. Dia tersenyum
memperlihatkan sesuatu di pipi kanannya.

“kalau gitu, aku duluan,” katanya berjalan meninggalkanku. Aku menatap punggungnya sampai
menghilang. Aku memegang kepalaku yang benjol lalu tersenyum. Oke aku sudah gila.

+++

Aku Dion, seorang mahasiswa tahun pertama di salah satu universitas di Makassar. Orang tuaku
adalah warga negara yang baik, jadi mereka hanya punya dua anak. Aku adalah anak bungsu dengan
kakak yang beda delapan tahun dariku.

Hari ini adalah satu bulan aku menjadi menjalani kehidupan sebagai mahasiswa. Aku mungkin akan
sangat menyukai kehidupan kampus kalau tidak ada makhluk yang bernama ”senior”. Yup
mahasiswa yang lahirnya Cuma lebih cepat setahun dari kita, tapi tingkahnya kayak udah makan
garam seton.

“Dion,” teriak seseorang. Aku berbalik dan mendapati Budi berlari menghampiku.

“itu muka kenapa pagi-pagi, setan kalau liat muka lo bakal nyerah buat nakutin lo,” katanya lancar
padahal dia baru aja lari sejauh itu. Jauh itu maksudnya 100 m.

“emang mukaku kenap..” aku tidak jadi melanjutkan kalimatku saat melihat mukaku di layar
smartphone Budi. Aku menepuk mukaku pelan.

“lagi mikir apa sih?” tanya Budi.

“lagi mikir... mereka,” kataku pelan. Budi mengikuti arah pandanganku dan mengerti apa yang ku
maksud.
“nggak usah dipikir. Entar sore kita juga bakal ketemu mereka lagi,” kata Budi kalem. Kepalaku tiba-
tiba pusing, memikirkan duduk berjam-jam hanya buat mendengarkan ocehan mereka yang tidak
mutu tapi dibuat terdengar masuk akal atau lebih tepatnya cuci otak massal. Pipiku tiba-tiba terasa
ngilu. Ternyata si Budi menarik pipiku.

“ gue bilang nggak usah dipikirin. Kita ke kelas sekarang,” katanya masih menarik pipiku.

“ahh, lepas nggak. Sakit nih,” kataku berontak. Percuma saja aku berontak, aku yang cuma 157 cm
terlihat mini di samping Budi yang 185 cm. Budi masih menarik pipiku saat beberapa senior lewat di
samping kami. Aku mengeluarkan jurus pamungkasku dan meninju perut Budi, spontan dia melepas
tangannya. Aku berhasil menyeimbangkan tubuhku tapi Budi menabrak sesuatu dan sialnya dia
nabrak senior yang tadi.

“lo punya mata nggak sih?,” kata senior yang rambutnya nggak sisir.

“maaf kak, saya nggak sengaja,” kata Budi menunduk. si sisir malah mendorong kepala Budi dengan
telunjuk.

“masih maba udah banyak tinggah lo,” kata temannya yang lain. Dia berjalan mengelilingi Budi.

“maaf kak,” kata Budi lagi. Emang dasar senior alay yang sok kuasa, tiba-tiba senior yang satunya
lagi mencoba memukul Budi dari belakang. Aku yang dari tadi diam, bergerak refleks dan mencegah
senior itu.

“teman saya udah minta maaf kak,” kataku menatap tajam senior yang hampir memukul Budi. aku
melepas tangannya.

“ siapa lo? Nggak usah jadi pahlawan. Lo masih baru disini jadi jaga sopan santun lo,” teriak si sisir.

“sopan santun?,” ulangku. Aku mendengus ”kalian aja nggak ngerti apa itu sopan santun,” lanjutku
membuat Ketiga senior tadi menatapku dengan tatapan membunuh. Aku hanya menatap mereka
sedingin yang kubisa. Budi menarikku.

“maaf kak, teman saya udah bicara ngaco,” kata Budi membuatku murka.

“apa maksud lo, mereka yang...”

“kita harus berhenti sekarang atau akan lebih banyak dari mereka yang bakal dateng ke sini,” bisik
Budi. Aku memperhatikan sekeliling, benar kata Budi beberapa orang menatap kami dengan muka
penasaran.

“sekali lagi maaf kak. Kami permisi ada kelas,” kata Budi lalu menyeretku menjauh dari ketiga senior
yang marah besar.

Setelah cukup jauh, Budi melepaskan tanganku. Aku baru mau ngamuk saat Budi tiba-tiba merosot
ke lantai.

“lo nggak apa-apa?,” aku bertana dengan cemas. Budi mengangkat tangannya sebagai tanda kalau
dia baik-baik saja.
“gue baik-baik aja,” kata Budi , detik berikutnya dia tertawa lepas. “ternyata nyali lo nggak sekecil
badan lo yah,” lanjutnya.

“bukan nyali gue yang besar tapi lo aja yang cemen. Kenapa lo nggak lawan itu senior tadi, badan lo
aja yang bongsor,” kataku berjalan meninggalkannya. Budi berteriak di belakangku. Aku tahu alasan
Budi tidak melawan, dan aku kesal karena alasan itu.

+++

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore saat aku berpisah dengan Budi. oh iya
sepertinya aku lupa mengatakannya. Budi dan aku sudah berteman dari smp, namanya boleh
standar, tapi mukanya di bawah standar. Satu hal yang bisa dibanggakan dari dia hanya fisiknya yang
atletis. Maklum dia itu atlet voli yang udah ikut PON.

Ternyata jadi mahasiswa tidak segampang film-film yang melalangbuana di teve. Dimana jadi
mahasiswa kita bebas dengan sedikit tugas. Kenyataannya, setiap hari harus mengerjakan tugas dari
dosen dan cloningnya dosen alias asisten. Aku kuliah di bidang sainstek, jadi kuliahnya plus
praktikum yang menurut penelitian merupakan salah satu penyebab mahasiswa mati muda. Nggak
percaya coba tanya anak-anak sainstek.

Aku berjalan sambil membaca materi untuk praktikum besok. Asisten besok terkenal killer bahkan
tidak segan-segan mengusir praktikan yang tidak menguasai materi. Aku mencoba mengingat nama-
nama latin dari bahan-bahan yang digunakan.

“Buukk,” aku menabrak sesuatu, karena pandanganku tidak kabur aku tahu kalau aku tidak
menabrak pohon atau tembok.

“maaf,” kataku lalu mendongak. Aku berharap yang kutabrak tadi adalah pohon. Senior yang tadi
siang berdiri di depanku dengan wajah diseram-seramkan.

“lo ngga bisa yah jalan nggak nabrak orang? Kayaknya kurang pelajaran ni anak,” kata si sisir.

“betul, biar ni anak tahu caranya hormat sama senior,” timpal senior berbadan kurus. Aku hanya
menatap mereka datar.

“enaknya kita apain ni anak?,” tanya si sisir. Memang mereka pikir aku bahan makanan atau apa.

“oi, maba, ikut kita sebentar,” kata senior yang tadi siang berniat memukul Budi. mereka lalu
memegang kedua tanganku dan mengiringku ke gang sempit.

“lepasin gue, kalian apa-apaan,” kataku setengah berteriak. Aku berusaha berontak tapi si sisir
melayangkan bogem mentah ke perutku yang membuat aku berhenti bergerak. Detik berikutnya dia
membogem pipiku. Aku kehilangan keseimbangan dan tersungkur ke tanah. Kedua teman si sisir
kembali memegangiku dan membuatku kembali berdiri.

“ jangan macam-macam dengan kami, lo itu cuma anak kemarin sore. Jadi jaga sikap lo,” kata si sisir
lalu kembali membogem perutku. Aku terbatuk-batuk kali ini.

“dasar pecundang,” kataku.


“apa lo bilang? Pengen di hajar ni anak,” kata si kurus. Aku menyiringai.

“kalian hanya pencundang yang tahunya main keroyok. Buat apa gue hormatin pecundang,” kataku
membuat mereka menggila. Mereka menyerangku bersamaan. Tapi sekarang tanganku bebas. Jadi
dengan cepat aku menangkis pukulan si sisir dan menendang si kurus dan teman mereka yang lain.
Aku memutar tangan si sisir dan mendorongnya ke arah teman-temannya. Mereka mengerang.
Sepertinya aku terlalu bersemangat dan tidak menahan diri saat menyerang mereka.

“kalian yang jangan macam-macam sama gue,” kataku mengambil ranselku dan berjalan
meninggalkan mereka yang masih mengerang di tanah. Mereka tidak tahu berurusan dengan siapa.
Seperti aku belum menagatakannya yah, pekerjaan sampingan ayahku adalah pelatih karate dan
ibuku adalah mantan atlit nasional taekwondo, dan aku memegang sabuk hitam di kedua bela diri
itu. Maklum saja orang tuaku sedikit over sampai memaksaku untuk menguasai keduanya. Dan hari
ini sekali lagi aku bersyukur sudah mendengarkan mereka. Aku melanjutkan perjalanan pulang.

+++

Oke aku punya dua kabar hari ini, kabar baik dan kabar buruk sialnya. Kabar baiknya aku melewati
praktikum dengan asisten killer dengan lancar bahkan dapat pujian dari dia saat berhasil menjawab
pertanyaannya. Dan kabar buruk, kejadian kemarin sudah sampai ke BEM alias Badan Eksekutif
Mahasiswa fakultasku. Disinilah aku di depan ruang BEM, aku sebenarnya malas untuk menghadiri
panggilan ini tapi kalau aku tidak datang pasti merea akan melibatkan Budi. Aku menghela napas
panjang dan memasuki ruangan itu.

“permisi,” kataku pelan. Aku tertegun saat melihat ada banyak senior di dalam. Bahkan semua
petinggi BEM lengkap duduk di depanku. Ini bukan panggilan biasa, ini lebih seperti pengadilan
buatku.

“jadi kamu yang namanya Dion,” kata seorang senior yang kuketahui adalah ketua BEM dari PDH
(Pakaian Dinas Harian)-nya.

“iya kak,” jawabku pendek. Kulitku tersa terbakar di tatap tajam dari segala arah.

“ada yang melaporkan kalau kemarin kamu memukul 3 senior kamu. Apa itu benar?,” katanya kaku.
Aku tidak suka penekanannya di kata “memukul” seolah aku adalah terdakwa dan merea adalah
korban.

“benar. Tapi itu tindakan membela diri, saya tidak ada maksud untuk memukul mereka,” kataku
sedikit kelepasan. Aku seperti sedang diinterograsi dan ini membuatku tidak nyaman.

“mereka mengatakan kalau kamu tidak menghormati mereka,” kata ketua BEM dingin. Aku
menatapnya marah, dari perkataanya sudah jelas dia memihak.

“saya rasa tidak perlu menghormati mereka yang bahkan tidak punya sopan santun,” kataku berani
sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, mereka seperti sudah siap membunuhku. Aku
menangkap tiga sosok yang kukenal. Mereka berdiri dipojok sementara aku di tengah-tengah
ruangan, padahal kami semua terlibat.
“kamu benar-benar minta dihajar yah,” teriak seseorang di samping kanan ketua BEM. Aku tahu
orang itu, dia adalah koordinator pengkaderan.

“jaga sikap kamu, bagaimanapun mereka setahun diatas kamu. Jadi kamu harus minta maaf ke
mereka,” kata ketua BEM. Aku tahu ini akan terjadi, tidak akan ada yang mau mendengarkan
perkataan maba yang sudah di-judge kurang ajar. Aku baru mau mengeluarkan sumpah serapah,
tiba-tiba..

“kalian ini apa-apaan. Nggak malu main keroyokan, sama maba lagi,” kata seseorang dari arah pintu.
Aku berbalik dan seorang cowok sedang berdiri di pintu masuk. Dia cowok waktu itu. Aku tidak tahu,
apa cuma perasaanku tapi ekspresi semua orang berubah. Aku masih menatap cowok itu, dia juga
melihatku lalu tersenyum padaku.

+++

Seorang cowok memarkirkan motor di depan cafe bergaya minimalis. Dia melepaskan helm dan
seketika semua orang yang lewat menatapnya. Rambutnya yang sedikit gondorng namun masih
terlihat rapi, mata cokelat, dan tentu saja mukanya nggak kalah dengan cowok-cowok korea yang
lagi wara wiri di teve. Oh iya cowok itu namanya Ian. Beberapa cewek bahkan berhenti untuk
memperhatikannya. Ian melihat mereka dan tersenyum membuat cewek-cewek itu meleleh
kemudian pergi setelah bergenit-genit ria. Ian ingin memasuki cafe, seorang cowok bertubuh pendek
tiba-tiba melewati Ian dan hampir menabraknya kalau saja Ian tidak menghentikan langkahnya
dengan cepat. Ian baru akan mengamuk saat melihat cowok itu masih berjalan dan menuju pohon.

“AWAS,” teriak Ian tapi terlambat karena cowok itu sudah menabrak pohon dan seidkit terlempar ke
belakang. Ian menghampiri cowok itu, membantunya berdiri.

“kamu nggak apa-apa?” tanya Ian membantu cowok itu berdiri.

“iya, aku tidak apa-apa,” kata cowok itu. Ian menatap cowok itu sangsi.

“kamu yakin, kepalamu terbentur cukup keras tadi,” kata Ian. Cowok itu menatap Ian lama. Ian balik
menatap cowok itu. Tapi setelah beberapa detik tidak ada respon.

“hei,” kata Ian melambaikan tangan di depan wajah cowok itu. Cowok itu tersadar, ternyata benar
dia melamun tadi.

“kamu nggak usah khawatir, makasih udah nolongin aku,” kata cowok itu dengan muka serius
padahal jidatnya benjol. Ian tersenyum, ia menahan diri untuk tertawa karena sikap si cowok pendek
di depannya. ian tersenyum lebar si cowok kembali menatapnya.

“kalau gitu, aku duluan,” kata Ian lalu meninggalkan cowok pendek dengan jidat benjol itu. Ternyata
orang dengan kepribadian seperti itu ada yah, pikir Ian berjalan memasuki kafe.

+++

“selamat pagi kak,” sapa seseorang pada Ian yang sedang mengecek hape.
“pagi,” balas Ian. Ia hanya melihat sepintas orang tadi. hapenya yang dari tadi bergetar membuat Ian
mempercepat langkah. Ian menuruni tangga dan tiba di sebuah ruangan dengan tulisan Majelis
Permusyawaratan Mahasiswa di pintu, Ian memasuki ruangan itu.

“hai semua,” kata Ian ramah, orang-orang yang berada di dalam ruangan seketika mengentikan
aktivitas mereka sejenak. Beberapa cewek langsung tersihir dengan ketampanan Ian. Ian melihat
mereka sambil senyum lebar.

“BUKK,” tiba-tiba ada sebuah buku melayang dan mendarat mulus dimuka Ian.

“nggak usah tebar pesona segala, lo telat setengan jam,” teriak laki-laki yang menjadi pelaku
pelemparan. Cewek-cewek tadi dengan segera menatapnya tajam tapi di balas dengan tatapan
membunuh oleh Olid.

“aww, lo kenapa si Min, pagi-pagi udah sensi? Lagi dapet yah,” kata Ian sambil mengelus jidatnya
pelan. Olid sudah siap membunuhnya kalau saja tidak ada orang lain di ruangan itu, ian kembali
nyengir pada Olid. “sorry gue telat, gue ketiduran,” lanjut Ian lalu duduk di dekat Olid.

“lo itu ketua divisi . Serius dikit bisa kan?,” kata Olid.

“siap pak ketua,” kata Ian tersenyum ala pangerannya. Semua orang tersihir kecuali Olid tersihir oleh
Ian.

“kita mulai rapatnya,” kata Olid. Semua orang kembali fokus dan melepaskan pandangan dari Ian.
Rapat berjalan lancar dipenuhi dengan tukar pikiran dan diskusi yang santai tapi serius.

“jadi pengkaderan untuk mahasiswa baru sudah berjalan sekarang ini. dan sudah menjadi tugas kita
untuk mengawal berjalannya proses pengkaderan. Dan gue harap kerja sama kalian semua untuk
menjalankan tugas ini,” kata Olid mengakhiri rapat.

***

Ian keluar dari ruangan dosen pembimbingnya dengan muka murung. Ia menyisir rambutnya dengan
tangan dan memijat kepalanya pelan. Kelakuannya itu seperti biasa membuat orang terbius dan
tersihir. Ian berjalan meninggalkan tempat itu, dia baru saja di tolak oleh dosen, bukan.. bukan di
tolak cintanya tapi judul tugas akhir yang dia usulkan di tolak mentah-mentah. Dia udah nungguin itu
dosen sebulan yang lalu. Sang dosen baru aja pulang dari penelitian di tempat terpencil. Saking
terpencilnya sinyal aja nangis kalau disuru ke tempat itu.

“gue salah apa sih dapat dosen pembimbing dengan mulut nggak punya saringan. Udah telat ngasih
gue bimbingan, sekarang malah ngatain gue nggak kreatif nyari judul dan penelitian itu sudah
banyak dilakukan oleh orang lain,” kata Ian frustasi. Ian berjalan meninggalkan ruangan itu sebelum
benar-benar gila karena dosen itu. Apalagi dengar-dengar sang dosen akan pergi ke tempat
penelitian lain minggu depan. Artinya Ian hanya punya waktu kurang dari seminggu buat miirin judul
tugas akhirnya. Ian menghela napas.

“lo kenapa? Jalan kayak kakek-kakek gitu,” kata seseorang dari belakang. Ian berbalik dan
mendapati Olid.
“hai bro, gue baru balik dari neraka,” kata Ian dramatis. Olid menyesali sudah bertanya sama
pangeran alay di depannya ini.

“oh oke. Gue pergi dulu,” kata Olid dingin.

“bercanda Min, gue dari ruangannya Pak Anwar,” kata Ian sambil menahan sahabatnya itu.

“biar gue tebak, pasti dia nolak proposal lo, iya kan?,” kata Olid dengan muka berseri.

“lo jahat banget sih, orang lagi kena bencana lo malah bahagia sehat sentosa gitu,”

“salah lo sendri yang nggak mau dengerin gue. Udah dari awal gue bilang kalau judul itu bakan di
tolak karena penelitiannya udah banyak dilakuin sama senior-senior kita,” kata Olid sambil
memainkan handphone-nya.

“iya deh gue salah. jadi tolong gue mikirin judul yang baru yah,” kata Ian memohon pada Olid.

“malah gue, ngapain gue bantuin orang yang mau ninggalin gue sendirian,”kata Olid meninggalkan
Ian yang sekarang pasang muka memelas. Karena jabatan ketua yang sedang dipeang oleh Olid
sekarang, dia belum bisa mengajukan tugas akhir seperti Ian walapun sebenarnya Olid sudah
memenuhi syarat. Ian menatap sahabatnya yang pergi menjauh.

“Min tungguin gue,” kata Ian berlari mengejar Olid. Ian baru akan berteriak lagi saat seorang cewek
mungil mendekati Olid dengan senyum manis. Ian menatap cewek itu, Olid menyambut cewek itu
dengan senyum, mereka lalu berjalan bersama menuju parkiran kampus. Ian masih terdiam melihat
kejadian tadi. Ian ingin tersenyum melihat mereka tapi bibirnya terasa kaku untuk bisa tersenyum.
Ian masih terdiam menatap arah kepergian mereka.

“liat, kayaknya mereka bakal bertengkar,” kata seseorang membuat Ian tersadar. Ia mengedarkan
pandangan dan menemukan sumber suara itu.

“iya dan sepertinya itu maba deh,” kata temannya. Ian melihat ke arah pandang mereka. tiga orang
yang Ian kenal, mereka adalah anggota himpunan mahasiswa di fakultasnya, di depan mereka
tampak dua orang yang sedang berselisih dengan mereka bertiga.

“kenapa mereka?,”tanya Ian pada dua orang tadi. mereka menoleh dan langsung terpana saat
melihat Ian. dengan segera kedua cewek itu merapikan penampilan mereka.

“ehmm... kak Ian. mereka daritadi beradu mulut bahkan tadi sempat hampir bertengkar,” kata
cewek itu malu-malu.

“memang apa masalahnya sampai mereka hampir bertengkar?,” tanya Ian lagi.

“yang aku liat kak salah satu dari dua orang itu tidak sengaja menabrak orang yang rambutnya kayak
sarang tawon itu kak, dia nggak terima bahkan setelah mereka minta maaf. Dia bahkan sempat
hampir meninju orang yang tinggi itu kak,” kata yang satunya lagi dengan semangat. Ian kembali
melihat orang-orang tadi. si tinggi tampak sedang menyeret si pendek dari tempat itu. Ian
memperhatikan si pendek dan tersadar kalau itu adalah cowok yang menabrak pohon tempo hari.
Ian tersenyum saat menyadari itu.
“ternyata dia kuliah disini,” gumam Ian.

***

“Ian capuchino dua,” kata Rendi. Ian mengangguk pada Rena.

“oke,” kata Ian lalu dengan cepat membuat capuchino dengan mesin pembuat kopi di depannya.
sekarang Ian sedang bekerja sebagai barista di cafe yang di kelola oleh saudaranya.

“dua capuchino siap,” kata Ian setelah membuat gambar daun di atas kopi itu.

“tankyu, satu americano buat meja dua yah,” kata Rena saat mengambil pesanan. Kafe sekarang
sedang ramai- ramainya. Sebenarnya sejak Ian mulai kerja paruh waktu di kafe ini pelanggan yang
semula bisa dihitung pake jari tangan plus kaki sekarang meningkat tiga ratus kali lipat. Mereka
semua datang hanya untuk melihat wajah tampan Ian. dan berkat hal itu, Ian jadi harus bekerja
keras. Padahal niat awalnya hanya ingin bantu-bantu karena saudaranya yang meminta. Awalnya dia
menolak, tapi setelah diiming-iming gaji yang besar oleh saudaranya, Ian setuju dengan syarat dia
hanya bekerja paruh waktu.

“dasar pembohong, apanya yang bantu-bantu, ini mah kerja rodi,” kata Ian yang sedang istirahat di
bagian belakang.

“kenapa Ian?,”kata Gio, rekan kerjanya yang lain.

“nggak kak, gue cuman agak capek hari ini,” kata Ian.

“kamu udah datang?,” kata Rena pada Gio. Rena tamak sedang membawa kantung sampah.

“iya sekarang aku baru mau ganti baju,” kata Gio membuka lokernya. Ian berdiri dan mengambil
kantung sampah dari Rena.

“aku aja yang buat sampah, sekalian nyari angin,” kata Ian membuat Rena tersenyum lebar.

“makasih yah adik manis,” kata Rena sambil menepuk pudak Ian. oh iya, saudara Ian itu adalah Rena.

“tapi bisa nggak aku pulang lebih cepat hari ini? ada hal yang harus gue kerjain,” kata Ian dengan
muka memelas. Rena tampak berpikir sebentar, Ian melemparkan muka memelasnya.

“oke aku ngalah kamu bisa pulang cepat hari ini tapi besok kamu kerja lebih cepat, oke,” kata Rena.

“apanya yang ngalah,” kata Ian sebal. Gio tersenyum melihat tingkah kakak-beradik itu.

“mau nggak?,” kata Rena membuat Ian mengangguk setuju. Kepalanya benar-benar sudah berat
dengan semua kejadian yang terjadi hari ini.

Ian meletakkan kantung sampah itu di tempat sampah di belakang cafe.

“setelah ini gue bisa pulang, “ kata Ian dan berjalan kembali ke kafe, tapi ia melihat tiga orang cowok
sedang menyeret satu cowok. Ian tahu kalau ini bukan urusannya tapi Ian tetap mengikuti mereka.
Ian mengikuti mereka ke gang kecil yang sepi dan dengan segera mendengar suara erangan
kesakitan seseorang, Ian mempercepat langkahnya dan melihat cowok yang diseret tadi sudah
terbaring di tanah sambil memegangi perutnya. Ian baru akan membantu cowok itu, saat cowok itu
berdiri dan menghajar mereka bertiga dengan cepat. Ian menatap punggung cowok itu.

“ternyata dia bisa juga,” kata Ian.

“kalian yang jangan macam-macam dengan gue,” teriak cowok itu dan berbalik. Ian dengan segera
berlindung di balik pohon tidak jauh dari sana. Cowok itu berjalan melewati Ian dan saat itulah Ian
melihat wajah cowok itu. Ian kembali menatap punggung cowok itu, senyum segera menghias bibir
Ian saat cowok itu menghilang di belokan.

***

Aku masih menatap cowok yang tiba-tiba datang dan membelaku di ruang BEM. Beberapa orang
tampak berbisik dan beberapa senior cewek bahkan terhipnotis saat melihat cowok itu tersenyum
padaku. Dia menatap ketua BEM,

“maaf kalau gue lancang sudah mengganggu. Tapi gue rasa kalau kalian menghakimi tanpa memberi
dia kesempatan untuk menjelaskan,” kata cowok itu dengan muka santai tapi nada serius. Ketua
BEM berdehem.

“kami sedang melakukan pertemuan internal sekarang, jadi aku rasa kanda tidak bisa ikut campur
masalah ini. biar kami anggota BEM yang menyelesaikannya sendiri,” kata ketua BEM. Udara
disekitar tiba-tiba terasa berat, beberapa orang bahkan menahan napas kurasa. Aku masih belum
mengerti apa yang sedang terjadi sekarang.

“kamu memang benar, maaf sekali lagi sepertinya udah bikin kalian tersinggung,” kata cowok itu
masih sesantai. “sekarang ini gue datang bukan sebagai anggota MAPERWA, tapi sebagai saksi buat
dia,” lanjutnya sambil menunjukku.

“saksi? Buat gue?,” kataku refleks sambil menunjuk mukaku sendiri, sekarang ini aku sadar kalau
sdah memasang wajah dongo. Cowok itu menahan tawanya saat melihatku.

“apa maksud kanda? Memang apa hubungan kanda dengan orang ini?,” tanya ketua BEM
menatapku penasaran.

“seperti yang gue bilang tadi, gue bakal jadi saksi. Kalau hubungan, gue nggak punya hubungan apa-
apa, gue cuma nggak suka melihat ada yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan
pribadi,”katanya lancar membuatku melongo.

“jadi apa kesaksiaan kanda? Apa kanda ada pada saat kejadian itu?,” tanya ketua BEM lagi. cowok itu
mengangguk membuat tiga orang yang dipojok tiba-tiba gelisah.

“iya gue ada pas kejadian, dan yang gue liat tiga orang adek-adek yang disana,”kata cowok itu sambil
menunjuk mereka bertiga. “lagi ngeroyok orang ini. dan betul kalau yang dilakukannya itu adalah
pembelaan diri,” lanjutnya membuat semua orang melihat tiga orang yang objek pembicaraan
menciut.

“apa benar begitu? Kalian ngeroyok bukannya bicara baik-baik seperti yang kalian bilang
sebelumnya?,” tanya ketua BEM dengan nada marah.
“kanda.. itu.. itu, kami hanya tidak terima dengan sikapnya yang kurang ajar,” kata si sisir dengan
nada rendah. Aku menatap mereka tidak percaya, bagaimana mungkin memukulku hanya karena
alasan kekanakan seperti itu.

“jadi kalian benar-benar mengeroyok dia?,”tanya seseorang disamping ketua BEM dengan tatapan
membunuh, kukira, aku tidak tahu bagaimana mengambarkannya. Yang pasti semua menatap ngeri
orang itu. aku tidak mengenal orang itu tapi dari struktur organisasi yag tertempel di dinding di
depanku aku tahu kalau dia adalah ketua divisi pengkaderan.

“maafkan kami kanda,” kata teman si sisir. “kami sadar kalau yang kami lakukan salah. seharusnya
sebagai senior kami tidak melakukan hal itu,” lanjutnya. Si sisir tampak tidak terima namun tidak
angkat bicara. Hening beberapa menit hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak. Aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan dan pandanganku terhenti pada cowok yang sudah
membantuku dengan alasan yang tidak jelas menurutku. Aku menatapnya dan ternyata dia sudah
lebih dulu menatapku. Aku bertanya lewat tataan apa maksudnya menolongku, entah apa dia
mengeti maksud tatapanku, dia tersenyum lebar dan mengangguk padaku. Seolah mengatakan
bahwa dia hanya ingin menolongku tanpa ada tujuan lain. Aku terdiam sebentar tai dengan segera
menggeleng dan kembali menatap ketua BEM.

“maaf sebelumnya kak, saya kira masalahnya sudah sangat jelas dan kalau memang saya kurang ajar
saya minta maaf kepada kakak bertiga dan semua kakak yang ada di ruangan ini,” kataku santai
semua orang kini menatapku serius. “saya akan menjadikan kejadian ini sebagai pelajaran bagi saya.
Kalau sudah tidak ada urusan lagi dengan saya, saya mohon diri dulu karena masih ada kelas yang
harus saya ikuti sekarang,” lanjutku sambil melihat jam. Semua orang masih terdiam saat aku
menginggalkan ruangan. Aku tidakpeduli dengan tatapan yag mereka berikan padaku. Aku hanya
ingin cepat keluar dari ruangan ini.

“tunggu,”kata cowok itu lagi sebelum aku membuka pintu ruangan. Aku menatapnya di sampingku,
dia menatapku sebentar lalu melanjutkan kalimatnya, “ gue pikir adek-adek juga harus minta maaf
karena kalian sudah memukul, siapa nama kamu?,” katanya sambil menatapku.

“Dion,” kataku refleks.

“iya, sama Dion,” katanya lagi. membuat ketiga orang itu menatap cowok itu tidak terima tapi tetap
menggumamkan permintaan maaf kurasa. Aku hanya mengangguk mendengarnya dan
meninggalkan ruangan itu. aku melangkah secepat yang aku bisa, aku baru saja keluar dengan
selamat dari kandang singa. Aku berjalan dengan cepat sampai tidak sadar kalau ada yang
mengikutiku. Aku hampir saja menabrak dinding kalau saja seseorang tidak menarikku. Aku terkejut
selain hampir saja masuk rumah sakit dengan geger otak ringan juga karena tahu siapa yang
menarikku.

“huffft, selamat....,” katanya lega .” lo nggak apa-apa? lo emang hobi nabrak yah,” lanjutnya dengan
muka geli. Aku tersadar dan melepaskan genggamannya.

“siapa juga yang hobi nabrak, gue cuma nggak perhatiin jalan aja,” kataku membuat cowok itu
kembali tersenyum lebar. aku menatapnya, kenapa orang ini sangat suka tersenyum pikirku. Ia
membalas menatapku, menatap mataku. Aku tidak suka tatapan orang ini, dia seperti bisa melihat
ke dalam jiwaku.
“ehmm.. tentang yang.. tadi....,” kataku tergagap, sial kenapa aku bisa tergagap begini. Aku
berdehem untuk menghilangkan gagap instanku.

“makasih buat yang tadi, kakak udah bantuin saya,” kataku tiba-toba formal.

“oh itu, bukan apa-apa, gue cuman nggak suka orang yang nge-judge orang tanpa mengetahui
kebenarannya,” katanya sambil menatap pesawat yang melintas di atas kami. “dan lo nggak usah
seformal itu sama gue, santai aja. Gue sebenarnya nggak terlalu suka dengan senioritas, jadi santai
aja ngomongnya,” lanjutnya.

“oke kalau gitu. Dari tadi kita ngomong tapi gue belum tahu nama lo?,” tanya ku santai membuatnya
terkejut. Tapi detik berikutnya tertawa geli.

“iya yah, nama gue Ian,” katanya sambil mengulurkan tangan padaku. Aku baru akan menyambut
tangannya saat tiba-tiba seseorang memanggil namaku.

“Diooooonnnn,” Budi tampak berlari kesetanan menuju ke arahku. “lo nggak kenapa-napa?,”
tanyanya sambil memeriksa badanku. Aku hanya menatap Ian dengan tawa garing.

“terlalu dekat, muka lo terlalu dekat,” kataku sambil mendorong Budi dari wajahku. “seperti yang lo
liat gue masih sehat wal afiat. Kenapa lo?,” lanjutku. Budi menghela napas panjang.

“sykurlah kalau gitu, gue baru dengar kalau lo dapat panggilan dari BEM. Apa karena masalah
kemarin?,” tanya Budi, aku mengangguk.

“mereka nyidang gue tapi sekarang udah selesai karena dia bantuin gue,” kataku lalu menatap Ian
yang dari tadi cuma diam melihat tingkah Budi. Budi mengikuti arah pandanganku.

“ini kak Ian, dia yang udah tolongin gue di ruang BEM tadi,” lanjutku.

“beneran kak? Makasih yah udah nolongin teman saya yang ceroboh ini. dia memang suka cari
masalah,” kata budi sambil menjabat tangan Ian. aku sudah siap membunuhnya.

“kalau itu gue udah tau, kalian ini teman dekat yah?,” tanya Ian. Budi dengan segera merangkulku.
Aku berontak untuk melepaskan diri dari raksasa ini.

“begitulah kami teman dekat sejak smp sampai sekarang,” kata Budi masih merangkulku. Aku geli
dan menyikut rusuk Budi, dia dengan segere guling-guling di tanah.

“siapa juga yang mau jadi teman dekat lo, lo aja yang ngikutin gue kemana-mana,” kataku keki. Aku
melihat Ian dan wajahnya tampak lega atau bagaimana.

“lo tega banget sih sama gue,” kata Budi melankolis, dia masih memegang tempat aku menyikutnya.

“oh iya, sekarang kan udah masuk waktu makan siang, gimana kalau kita makan siang bareng,” kata
Budi kemudian, ini anak daya sembuhnya menakutkan. “kak Ian juga ikut sama kita?,” lanjutnya.

“emang nggak apa-apa kalau gue ikut kalian?,” tanya Ian sambil melirikku.

“nggak apa-apa kak, anggap aja sebagai tanda terima kasih karena kakak udah nolongin teman saya
ini,” kata Budi mengacak rambutku. “iyakan Dion? Kak Ian boleh ikut sama kita?,” tanya Budi
padaku. Aku melihat mereka berdua kemudian menghela napas. Aku sebenarnya tidak ingin Ian
gabung dngan kami, karena ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman dengan Ian tapi tidak tahu
apa itu.

“oke, kita pergi bareng-bareng,” kataku membuat Budi bersorak gembira.

“kita berangkat,” kata Budi sambil merangkulku. Ian mengikuti kami dengan muka kalem, dia
melihatku dan memberiku senyum manis saat mata kami bertemu. Aku kembali merasa tidak
nyaman, apa-apaan ini? ada apa dengan orang ini?....

***

Aku memasuki rumah dengan menyeret kaki.

You might also like