You are on page 1of 8

Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil.

Klenteng adalah rumah


ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yang ke
wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk dibedakan,
karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfuciusisme.[1]
Salah satu contohnya adalah Vihara Kalyana Mitta yang terletak di daerah Pekojan, Jakarta
Barat.

Banyak umat awam yang tidak mengerti perbedaan antara klenteng dan wihara. Klenteng dan
wihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat dan fungsi. Klenteng pada dasarnya
berarsitektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat
selain fungsi spiritual. Wihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja.
Namun, wihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada wihara Buddhis
aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.

Perbedaan antara klenteng dan wihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa G30S pada
tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa, termasuk kepercayaan
tradisional Tionghoa, oleh pemerintah Orde Baru.[2] Klenteng yang ada pada masa itu terancam
ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi istilah dari bahasa Sanskerta
ataupun bahasa Pali, mengubah nama sebagai wihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan
agama Buddha demi kelangsungan peribadatan. Dari sinilah kemudian umat awam sulit
membedakan klenteng dengan wihara.

Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak wihara yang kemudian mengganti
nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai
klenteng daripada wihara.
Pura
Pura adalah istilah untuk tempat ibadah agama Hindu di Indonesia. Pura di Indonesia terutama
terkonsentrasi di Bali sebagai pulau yang mempunyai mayoritas penduduk penganut agama
Hindu

Etimologi
Kata "Pura" sesungguhnya berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -
pore), yang artinya adalah kota, kota berbenteng, atau kota dengan menara atau istana. Dalam
perkembangan pemakaiannya di Pulau Bali, istilah "Pura" menjadi khusus untuk tempat ibadah;
sedangkan istilah "Puri" menjadi khusus untuk tempat tinggal para raja dan bangsawan.

Tata letak
Pelinggih Meru berbentuk atap bersusun tinggi serupa pagoda ini adalah salah satu ciri khas
arsitektur pura.

Tidak seperti candi atau kuil Hindu di India yang berupa bangunan tertutup, pura dirancang
sebagai tempat ibadah di udara terbuka yang terdiri dari beberapa lingkungan yang dikelilingi
tembok. Masing-masing lingkungan ini dihubungkan dengan gerbang atau gapura yang penuh
berukiran indah. Lingkungan yang dikelilingi tembok ini memuat beberapa bangunan seperti
pelinggih yaitu tempat suci bersemayam hyang, meru yaitu menara dengan atap bersusun, serta
bale (pendopo atau paviliun). Struktur tempat suci pura mengikuti konsep Trimandala, yang
memiliki tingkatan pada derajat kesuciannya, yakni:

1. Nista mandala (Jaba pisan): zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari
lingkungan luar. Pada zona ini biasanya berupa lapangan atau taman yang dapat
digunakan untuk kegiatan pementasan tari atau tempat persiapan dalam melakukan
berbagai upacara keagamaan.
2. Madya mandala (Jaba tengah): zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas
pendukung. Pada zona ini biasanya terdapat Bale Kulkul, Bale Gong (Bale gamelan),
Wantilan (Bale pertemuan), Bale Pesandekan, dan Perantenan.
3. Utama mandala (Jero): yang merupakan zona paling suci di dalam pura. Di dalam zona
tersuci ini terdapat Padmasana, Pelinggih Meru, Bale Piyasan, Bale Pepelik, Bale
Panggungan, Bale Pawedan, Bale Murda, dan Gedong Penyimpenan.

Meskipun demikian tata letak untuk zona Nista mandala dan Madya mandala kadang tidak
mutlak seperti demikian, karena beberapa bangunan seperti Bale Kulkul, atau Perantenan atau
dapur pura dapat pula terletak di Nista mandala.

Pada aturan zona tata letak pura maupun puri (istana) di Bali, baik gerbang Candi bentar maupun
Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur. Candi bentar merupakan gerbang untuk
lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan Nista mandala zona terluar
kompleks pura. Sedangkan gerbang Kori Agung atau Paduraksa digunakan sebagai gerbang di
lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona Madya mandala dengan Utama
mandala sebagai kawasan tersuci pura Bali. Maka disimpulkan baik untuk kompleks pura
maupun tempat tinggal bangsawan, candi bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan
paduraksa untuk lingkungan dalam.

Jenis Pura
Terdapat beberapa jenis pura yang berfungsi khusus untuk menggelar beberapa ritual keagamaan
Hindu dharma, sesuai penanggalan Bali.

1. Pura Kahyangan Jagad: pura yang terletak di daerah pegunungan. Dibangun di lereng
gunung, pura ini sesuai dengan kepercayaan Hindu Bali yang memuliakan tempat yang
tinggi sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan hyang.
2. Pura Segara: pura yang terletak di tepi laut. Pura ini penting untuk menggelar ritual
khusus seperti upacara Melasti.
3. Pura Desa: pura yang terletak dalam kawasan desa atau perkotaan, berfungsi sebagai
pusat kegiatan keagamaan masyarakat Hindu dharma di Bali.

Sad Kahyangan
Sad Kahyangan atau Sad Kahyangan Jagad, adalah enam pura utama yang menurut kepercayaan
masyarakat Bali merupakan sendi-sendi pulau Bali. Masyarakat Bali pada umumnya
menganggap pura-pura berikut sebagai Sad Kahyangan:

1. Pura Besakih di Kabupaten Karangasem.


2. Pura Lempuyang Luhur di Kabupaten Karangasem.
3. Pura Goa Lawah di Kabupaten Klungkung.
4. Pura Uluwatu di Kabupaten Badung.
5. Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
6. Pura Pusering Jagat (Pura Puser Tasik) di Kabupaten Gianyar.

Selain pura-pura Sad Kahyangan tersebut di atas, masih banyak pura-pura di lainnya di berbagai
tempat di pulau Bali, sesuai salah satu julukannya Pulau Seribu Pura.

Pura Besakih adalah komplek pura utama di Pulau Bali, dan merupakan pusat kegiatan dari
seluruh pura yang ada di Bali. Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang
Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia.

Salah-satu pura terkenal lainnya adalah Pura Tanah Lot di Desa Beraban, Kecamatan Kediri,
Kabupaten Tabanan. Di Tanah Lot terdapat dua buah pura yang terletak di atas tebing batu besar,
yang merupakan tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut.
Masjid
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bagian dari seri tentang

Islam

Iman[tampilkan]

Ritual[tampilkan]

Teks dan hukum[tampilkan]


Sejarah dan pemimpin[tampilkan]

Denominasi[tampilkan]

Budaya dan masyarakat[tampilkan]

Topik terkait[tampilkan]

 Portal Islam

 l
 b
 s

Masjid atau mesjid adalah rumah tempat ibadah umat Islam atau Muslim. Masjid artinya tempat
sujud, dan sebutan lain bagi masjid di Indonesia adalah musholla, langgar atau surau. Istilah
tersebut diperuntukkan bagi masjid yang tidak digunakan untuk Sholat Jum'at, dan umumnya
berukuran kecil. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat
kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama,
ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam,
masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan hingga kemiliteran.

Etimologia
Masjid berarti tempat beribadah. Akar kata dari masjid adalah sajada di mana sajada berarti
sujud atau tunduk. Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d)
ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid (m-s-g-d) ini
berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan".[1]

Kata masjid dalam bahasa Inggris disebut mosque. Kata mosque ini berasal dari kata mezquita[1]
dalam bahasa Spanyol. Dan kata mosque kemudian menjadi populer dan dipakai dalam bahasa
Inggris secara luas[2].

Sejarah
Menara-menara, serta kubah masjid yang besar, seakan menjadi saksi betapa jayanya Islam pada
kurun abad pertengahan. Masjid telah melalui serangkaian tahun-tahun terpanjang di sejarah
hingga sekarang. Mulai dari Perang Salib sampai Perang Teluk. Selama lebih dari 1000 tahun
pula, arsitektur Masjid perlahan-lahan mulai menyesuaikan bangunan masjid dengan arsitektur
modern.
Masjid pertama

Ketika Nabi Muhammad saw tiba di Madinah, dia memutuskan untuk membangun sebuah
masjid, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Nabawi, yang berarti Masjid Nabi. Masjid
Nabawi terletak di pusat Madinah. Masjid Nabawi dibangun di sebuah lapangan yang luas. Di
Masjid Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad saw[1]. Masjid
Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan untuk kegiatan politik,
perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di
area sekitar masjid digunakan sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin.

Saat ini, Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsa adalah tiga masjid tersuci di
dunia.[3]

Penyebaran masjid

Masjid kemudian dibangun di daerah luar Semenanjung Arab, seiring dengan kaum Muslim
yang bermukim di luar Jazirah Arab. Mesir menjadi daerah pertama yang dikuasai oleh kaum
Muslim Arab pada tahun 640. Sejak saat itu, ibu kota Mesir, Kairo dipenuhi dengan masjid.
Maka dari itu, Kairo dijuluki sebagai kota seribu menara.[4] Beberapa masjid di Kairo berfungsi
sebagai sekolah Islam atau madrasah bahkan sebagai rumah sakit.[5] Masjid di Sisilia dan
Spanyol tidak menirukan desain arsitektur Visigoth, tetapi menirukan arsitektur bangsa Moor.[6]
Para ilmuwan kemudian memperkirakan bahwa bentuk bangunan pra-Islam kemudian diubah
menjadi bentuk arsitektur Islam ala Andalus dan Magribi, seperti contoh lengkung tapal kuda di
pintu-pintu masjid.[7]

Masjid pertama di Tiongkok berdiri pada abad ke 8 Masehi di Xi'an. Masjid Raya Xi'an, yang
terakhir kali di rekonstruksi pada abad ke 18 Masehi, mengikuti arsitektur Tiongkok. Masjid di
bagian barat Tiongkok seperti di daerah Xinjiang, mengikuti arsitektur Arab, di mana di masjid
terdapat kubah dan menara. Sedangkan, di timur Tiongkok, seperti di daerah Beijing,
mengandung arsitektur Tiongkok.[8]

Masjid mulai masuk di daerah India pada abad ke 16 semasa kerajaan Mugal berkuasa. Masjid di
India mempunyai karakteristik arsitektur masjid yang lain, seperti kubah yang berbentuk seperti
bawang. Kubah jenis ini dapat dilihat di Masjid Jama, Delhi.

Masjid pertama kali didirikan di Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke 11 Masehi, di mana pada
saat itu orang-orang Turki mulai masuk agama Islam. Beberapa masjid awal di Turki adalah Aya
Sofya, di mana pada zaman Bizantium, bangunan Aya Sofya merupakan sebuah katedral.
Kesultanan Utsmaniyah memiliki karakteristik arsitektur masjid yang unik, terdiri dari kubah
yang besar, menara dan bagian luar gedung yang lapang. Masjid di Kesultanan Usmaniyah
biasanya mengkolaborasikan tiang-tiang yang tinggi, jalur-jalur kecil di antara shaf-shaf, dan
langit-langit yang tinggi, juga dengan menggabungkan mihrab dalam satu masjid.[9] Sampai saat
ini, Turki merupakan rumah dari masjid yang berciri khas arsitektur Utsmaniyah.

Secara bertahap, masjid masuk ke beberapa bagian di Eropa. Perkembangan jumlah masjid secara pesat
mulai terlihat seabad yang lalu, ketika banyak imigran Muslim yang masuk ke Eropa. Kota-kota besar di
Eropa, seperti München, London dan Paris memilki masjid yang besar dengan kubah dan menara. Masjid
ini biasanya terletak di daerah urban sebagai pusat komunitas dan kegiatan sosial untuk para muslim di
daerah tersebut. Walaupun begitu, seseorang dapat menemukan sebuah masjid di Eropa apabila di
sekitar daerah tersebut ditinggali oleh kaum Muslim dalam jumlah yang cukup banyak.[10] Masjid
pertama kali muncul di Amerika Serikat pada awal abad ke 20. Masjid yang pertama didirikan di Amerika
Serikat adalah di daerah Cedar Rapids, Iowa yang dibangun pada kurun akhir 1920an. Bagaimanapun,
semakin banyak imigran Muslim yang datang ke Amerika Serikat, terutama dari Asia Selatan, jumlah
masjid di Amerika Serikat bertambah secara drastis. Dimana jumlah masjid pada waktu 1950 sekitar 2%
dari jumlah masjid di Amerika Serikat, pada tahun 1980, 50% jumlah masjid di Amerika Serikat
didirikan.[11]

Perubahan tempat ibadah menjadi masjid

Menurut sejarawan Muslim, sebuah kota yang ditaklukkan tanpa perlawanan dari penduduknya,
maka pasukan Muslim memperbolehkan penduduk untuk tetap mempergunakan gereja dan
sinagog mereka. Tapi, ada beberapa gereja dan sinagog yang beralih fungsi menjadi sebuah
masjid dengan persetujuan dari tokoh agama setempat. Misal pada perubahan fungsi Masjid
Umayyah, di mana khalifah Bani Umayyah, Abdul Malik mengambil gereja Santo Yohannes
pada tahun 705 dari Umat Kristiani. Kesultanan Utsmaniyah juga melakukan alih fungsi
terhadap beberapa gereja, biara dan kapel di Istanbul, termasuk gereja terbesar Ayasofya yang
diubah menjadi masjid, setelah kejatuhan kota Konstantinopel pada tahun 1453 oleh Muhammad
al-Fatih. Beberapa masjid lainnya juga didirikan di daerah suci milik Yahudi dan Kristen, seperti
di Yerusalem.[1] Penguasa Muslim di India juga membangun masjid hanya untuk memenuhi
tugas mereka di bidang agama.

Sebaliknya, masjid juga dialih fungsikan menjadi tempat ibadah yang lain, seperti gereja. Hal ini
dilakukan oleh umat Kristiani di Spanyol yang mengubah fungsi masjid di selatan Spanyol
menjadi katedral, mengikuti keruntuhan kekuasaan Bani Umayyah di selatan Spanyol.[12] Masjid
Agung Kordoba sekarang dialih fungsikan menjadi sebuah gereja. Beberapa masjid di kawasan
Semenanjung Iberia, Eropa Selatan dan India juga dialih fungsikan menjadi gereja atau pura
setelah kekuasaan Islam tidak berkuasa lagi.

You might also like