You are on page 1of 18

Referat

Abses Peritonsilar

Pembimbing :

dr. Armiyanto, Sp. THT-KL

Presentan :
Melissa Judi Koesyanto 2012-061-145
Myrna Adiwijaya 2012-061-146
Bryan John Junior 2012-061-147
Revy Aditya Suryadi 2012-061-148
Chin Edward Chandra 2012-061-153

Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta
Periode 19 Agustus 2013 – 21 September 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga
penulis bisa menyelesaikan referat “Abses Peritonsilar” sebagai salah satu tugas kepanitraan
klinik Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher di RS Atma Jaya.

Kami juga menyampaikan terima kasih kepada dr. Armiyanto, Sp. THT-KL atas waktu
dan bimbingan yang telah diberikan kepada kami.

Penyusun menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam referat ini. Oleh karena itu
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kekeliruan, baik dalam penulisan
maupun isi dari refrat ini. Masukan dan kritikan sangat kami harapkan, demi perbaikan
dikemudian hari. Penulis berharap referat ini bermanfaat tidak hanya bagi penyusun namun juga
pembaca.

Jakarta, September 2013

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Abses peritonsilar merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan terkumpulnya pus
pada jaringan ikat longgar antara M. konstriktor faring dengan tonsil pada fossa tonsil. Seringkali
abses peritonsilar merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.1

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.2

Abses peritonsiler termasuk salah satu abses leher bagian dalam. Selain abses peritonsil,
abses parafaring, abses retrofaring, dan angina ludavici (Ludwig’s angina), atau abses
submandibula juga termasuk abses leher bagian dalam. Abses leher dalam terbentuk di antara
fascia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut,
tenggorokan, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Penjalaran infeksi disebabkan oleh
perembesan peradangan melalui kapsula tonsil. Peradangan akan mengakibatkan terbentuknya
abses dan biasanya unilateral. Gejala dan tanda klinik setempat berupa nyeri dan pembengkakan
akan menunjukkan lokasi infeksi.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Embriologi
Embriologi kepala dan leher dibentuk pertama kali dari minggu ke 4 berasal dari
lengkung faring (pharyngeal arch), celah faring (pharyngeal cleft), kantung faring (pharyngeal
pouch). Rongga faring akan terbentuk berasal dari rongga di dalam lengkung faring. Tonsil
palatina merupakan perkembangan lebih lanjut dari kantung faring kedua.

2.2 Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat
dengan kriptus di dalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
Waldeyer.4

Gambar 1. Cincin Waldeyer.5

2.2.1 Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsilaris
pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-
masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu
mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring.6 Dibatasi oleh:
 Lateral  Muskulus konstriktor faring superior
 Anterior  Muskulus palatoglosus
 Posterior  Muskulus palatofaringeus
 Superior  Palatum mole
 Inferior  Tonsil lingual

Gambar 2. Anatomi Tonsil.7

2.2.2 Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri
palatina asenden.
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden.
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal.
4. Arteri faringeal asenden.

Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian
posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.8

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil.9

2.2.3 Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda
(deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke
kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus toraksikus.8

2.2.4 Persarafan
Tonsil bagian atas dipersarafi oleh serabut nervus trigeminus (Nervus V) dan bagiah bawah
mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal).

Gambar 4. Persarafan Tonsil.9


2.2.5 Ruang Peritonsilar
Ruang peritonsilar letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul tonsila palatina,
sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior, sebelah anterior dengan pilar anterior
dan sebelah posterior dengan pilar posterior. Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil
palatina dan otot-otot konstriktor faring.10,11

Gambar 5. Potongan melintang leher setinggi orofaring.1. Ruang faringomaksila; 2. Ruang


vascular dalam; 3. Ruang retrofaringal; 4. Danger space; 5. Ruang prevertebra.12

2.3 Imunologi Tonsil


Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-
kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40%.8 Tonsil
mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan
efektif serta 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.13
2.4 Abses Peritonsiler

2.4.1 Definisi

Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang


terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis.14

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di spatium peritonsiler, yaitu
daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m. kontriktor superior, biasanya unilateral dan
didahului oleh infekrsi tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.14

2.4.2 Etiologi

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan
kuman penyebab tonsilitis.(4) Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk
kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik.(11) Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-
Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.4

2.4.3 Patofisiologi

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun teori yang paling banyak
diterima adalah perkembangan dari episode tonsilitis eksudatif ke peritonsillitis dan kemudian
terjadi proses pembentukan abses.1

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikta longgar, okeh karena itu
infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini. Pada stadium
permulaan (tadium infiltrate), terjadi proses pembengkakan dan tampak permukaan peritonsil
hipere,is. Bila prosses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses
berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid
interna sehingga timbul trismus.15

Teori lain menyatakan abses peritonsil di kelenjar Weber. Kelenjar ludah minor ini ditemukan di
ruang peritonsil dan diperkirakan berfungsi membantu pembersihan debris dari amandel.
Kemungkinan, obstruksi kelenjar Weber akibat infeksi, nekrosis jaringan dan proses
pembentukan abses, mengakibatkan terjadinya abses peritonsil.1

2.4.4 Manifestasi Klinis

Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat
diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum molle. Terdapat riwayat
faringitis akut, tonsillitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral
yang semakin memburuk. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus.
Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat.16

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah terasa sakit
karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia) ipsilateral,
foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah yang menumpuk
di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi
menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya
kemampuan untuk membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat
keparahan dan progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi dinding
lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut.
Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan
terbatasnya gerakan leher (torticolis).17,18
Gambar 6. tonsillitis akut (sebelah kiri) dan abses peritonsil (sebelah kanan).17

Gambar 7. Abses peritonsiler.17


2.4.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil. Adanya
riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya
abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman
pada pharingeal unilateral.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi terperinci
daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan pasien membuka mulut.
Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral
didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke
arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa
supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil.
Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan
jaringan dari garis tengah.19 Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke
depan, serta pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.

3. Pemeriksaan Penunjang

Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami


gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle
aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan menggunakan lidokain atau
epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe
berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organisme penyebab infeksi demi
kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:20

 Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
 Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
 Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme
yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
 Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.

Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil. 21


 Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena
disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk rencana operasi.

Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra.21

 Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.


Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %.
Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %.
merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang
lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.
Gambar 10. Ultrasonografi dari abses peritonsil.21

2.4.6 Terapi Definitif

Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :

a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.


b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau
peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang
tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug
of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan
metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24
jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg
dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan
selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral
incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di
lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-
gejala pasien.

Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil.4

Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di ganglion
sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.4

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai
kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses
peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8
minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian
lagi menganjurkan tonsilektomi segera.6
Gambar 12. Tonsilektomi.22

Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek


mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik
parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan
kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.19
DAFTAR PUSTAKA
1. Gosselin BJ. Peritonsillar Abscess. February 4, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/194863-overview#aw2aab6b2b1aa. Accessed on:
October 8, 2011.
2. Steyer TE. Peritonsillar Abscess. January 1, 2001. Available at :
http://www.aafp.org/afp/2002/0101/p93.html. Acessed on : October 8, 2011.
3. Q
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at: http://www.tulip.ccny.cuny.edu .
Accessed on September 23th, 2012.
6. Wanri, A. Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan Tenggorok,
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
7. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm . Accessed on
September 23th, 2012.
8. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam Cummings
Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby Inc.; 2005.
9. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on September
23th, 2012.
10. Anurogo, Dito. 2008. Tips Praktis Mengenali Abses Peritonsil. Accessed:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080125161248
11. Preston, M. 2008. Peritonsillar Abscess (Quinsy). accessed:
http://www.patient.co.uk/showdoc/40000961/
12. Q
13. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar, H.N.
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta: Health Technology Assessment (HTA)
Indonesia; 2004.
14. Bailey, Byron J, MD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and
Neck Surgey-Otolaryngology 2nd Edition. Lippincott_Raven Publisher. Philadelphia. P
:1224, 1233-34
15. Rusmarjono, Hermani B. Abses Leher Dalam. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Editor : Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. 6th edition. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2008;226-7.

16. Steyer, T. E. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment.


accessed:http://www.aafp.org/afp/20020101/93.html
17. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses pada tanggal 31 Maret
2011
18. Hasibuan R, A.H. Sp THT. Pharingologi, Jala Penerbit, Jakarta, 2004. hal. 38, 55-8
19. Anggraini, D., Sikumbang, T. Atlas Histologi Di Fiore Dengan Korelasi Fungsional.
Edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.
20. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
21. Henry. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.revolutionultrasound.com .
Accessed on September 23th, 2012.
22. Kaneshiro, Neil. Tonsillitis. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov . Accessed on
September 23th, 2012.

You might also like