You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alasan untuk intervensi Bahasa pada penderita afasia didasarkan pada
kepercayaan bahwa Bahasa merupakan eserisi manusia, dan pada sebagiab besar kasus
terapi dapat mengubah kemampuan Bahasa pasien. Afasia tidak dapat disembuhkan,
tetapi intervensi Bahasa memungkinkan pasien dapat memahami dan memproduksi
Bahasa lebih efektif. Terapi bicara adalah suatu usaha untuk meningkatkan potensi
seseorang sehingga dapat berfungsi maksimal dalam lingkungannya, sehingga
menimbulkan percaya diri dan mengembalikan kehormatannya. Para klinikus sering
menemukan bahwa sedikit perbaikan dalam Bahasa sangat besara peranannya dalam
memulihkan kepribadian , kedewasaan, dan kerhomatan pasien.

Terapi Bahasa untuk afasia adalah ilmu pengetahuan yang tidak pasti yang
dipengaruhi oleh pendidikan klinikus dan falsafah mereka tentang sifat sifat afasia.
Ditambah lagi beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi cara terapi, misalnya berat
gangguan Bahasa, adanya gangguan penyerta, waktu pasca onset afasia, lingkungan.

Juga harus dipikirkan apakah prosedur yang dilakukan memfasilitasi timbulnya


generalisasi. Sejak lama para afasiolog berasumsi bahwa generalisasi terjadi dengan
sendirinya pada intervensi Bahasa, ternyata asumsi ini salah. Jadi para klinikus
merencankan intervensi sedemikian rupa sehingga menimbulkan peningkatan
kemungkinan kemampuan Bahasa pasien afasia.

Dalam refrat ini akan dijelaskan sedikit terapi terapi yang bisa digunakan untuk
pasien pasien yang mengalami afasia.

1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi afasia


Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakakn otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan Bahasa ( disebut juga disfasia ).
Ganguan bicara motoric murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat gangguan
pikiran primer, misalnya skizofrenia. ( Sidiarto L, 1999)
Afasia mencangkup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di dalam
afasia adalag gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca( alexia) atau
gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia ( gangguan
belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan menghitung
( akalkulasi), serta deficit perilaku neurologis seperti demensia dan delirium. Ini semua
bisa muncul bersama sama dengan afasia atau muncul sendiri. ( Kirshner HS, 2009)

2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologi pada area lobus frontal, temporal , atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area broca, area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer
kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat
kemampuan berbahasa diatur. ( Lumbantobing SM, 2008)

Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek
samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
(Kirshner HS, 2009)

2.3 Patofisiologi

2
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi
terletak pada hemisfer kiri. ( Guyton Ac, 1997)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. ( Kirshner HS, 2009)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi
tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan. ( Guyton AC, 1997)
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan
hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu Bahasa. ( Guyton AC, 1997)
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di
atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal.
Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara
area Broca dan area Wernicke. ( Lumbantobing, 2008)

2.4 Klasifikasi
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan
kepada:
 Manifestasi klinik
 Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
 Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik

Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas:


 Afasia tidak lancar atau non-fluent
 Afasia lancar atau fluent

3
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:
1. Sindrom afasia peri-silvian
 Afasia Broca (motorik, ekspresif)
 Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
 Afasia konduksi

2. Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)


 Afasia transkortikal motorik
 Afasia transkortikal sensorik
 Afasia transkortikal campuran

3. Sindrom afasia subkortikal


 Afasia talamik
 Afasia striatal

4. Sindrom afasia non-lokalisasi


 Afasia anomik
 Afasia global

4.6 Diagnosa
 Melihat manifestasi klinis dan riwayat trauma/penyakit
 Tes kognitif/fungsi bahasa  Boston Diagnostic Aphasia Examination, Western
Aphasia Battery, Boston Naming Test, Token Test, dan Action Naming Test 
pemeriksaan yang dilakukan harus mencakup semua komponen bahasa (bicara
spontan, penamaan, pengulangan, pemahaman, membaca, dan menulis)
 Pemeriksaan radiologis  CT Scan, MRI, PET Scan, EEG

4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya
stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia
adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.

4
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
 Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika
pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan
dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang
lebih banyak pula.
 Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai
bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik,
dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis stimulus
ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
 Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi
terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.

Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan:
Terapi kognitif linguistik.
Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen emosional bahasa. Sebagai
contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk menginterpretasikan
karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga yang meminta
pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan seperti ini akan
membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap fokus
pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.

Program stimulus.
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk gambar-gambar dan
musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang meningkat dari
tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.

Stimulation-Fascilitation Therapy.
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat)
dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah stimulus audio.

5
Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik jika
dilakukan dengan pengulangan.

Terapi kelompok (group therapy).


Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks sosial untuk mempraktekkan kemampuan
berkomunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga
akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga
dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat
komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta mereka.

PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness).


Ini merupakan bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini
bertujuan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan
sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk
menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-
lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien
sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi secara
bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS).


Terapi ini dilakukan dengan mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga
menghambat pemulihan kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi
dari bagian otak tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa
studi telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi
yang lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.

Metode Terapi Aksi Visual ( Visual Action Terapi )


Diciptakan oleh Helm dan Benson sebagai program terapi untuk afasia global. Dalam

program ini pasien dilatih untuk mengasosikan gambar benda atau aksi, dan melakukan

6
beberapa tugas yang berhubungan dengan gambar tersebut. Selama latiah ini tidak ada

verbalisasi.

Halm- Estabrooks dan kawan kawan melaporkan efek positif yang bermakna pada

terapi TAV. Mereka juga menemukan beberapa keuntungan dibandingkan latihan

gestural. Pertama, komunikasi gestural tidak tergantung pada komunikasi vocal. Kedua,

gerakan tangan untuk komunikasi manual kurang membutuhkan control motoric halus

dibandingkan gerakan artikulasi pada bicara, tidak seperti gerakan wajah dan extremitas

dikontrol secara unilateral, karena lengan dan tungkai kiri mendapatkan intervensi dari

hemisfer kanan yang utuh. Terakhir, tidak seperti apparatus bucofacial, lengan dan

tangan lebih mudah terlihat dan dipantau secara visual.

Tujuan utama TAV adalah untuk melatih pasien afasia global untuk membuat gestur

yang melambangankan stimulus yang tak tampak melalui manipulasi obyek yang nyata.

Walupun focusnya gestur pada terapi ini yang terjadi generalisasi ke modalitas lain. Hal

ini mungkin dapat diterangkan dengan hipotesis berikut :

1. Pasien mungkin menggunakan pemantauan verbal internal selama latihan.

2. TAV mungkinmemperbaiki kemampuan atensi umum.

3. TAV mungkin memperbaiki kemampuan visuospasial.

4. TAV mengintegrasi kembali system konsep yang dibutuhkan untuk penampilan

lingustik.

Lampiran terapi aksi visual

Tingkat 1

Langkah 1 : latihan jiplak

 Menjiplak tangan pasien di atas kertas

7
 Membantu pasien menjiplak tangan pemeriksa di atas kertas.

 Membantu pasien menjiplak 2 benda

 Gambar diletakan di depan pasien.

 Pasien disuruh meletakan benda pada gambar yang cocok

Langkah 2 : mencocokan gambar besar

 Mencocokan benda ke gambar : 8 gambar benda besar diletakan di muka pasien.

Pasien diberikan benda satu per satu, disuruh meletakan pada gambar.

 Mencocokan gambar ke benda : 8 benda diletakan di muka pasien. Pasien

diberikan gambar untuk diletakan pada benda.

 Menunjukan gambar ke benda.

 Menunjukan benda ke gambar

Langkah 3 : mencockan gambar kecil

Ulangi ke 4 langkah dari langkah 2 dengan menggunakan gambar kecil

Langkah 4 : latihan menggunakan benda

Setiap benda diperagakan penggunaannya. Pasien diminta meniru

Langkah 5 : latihan dengan perintah gambar aksi

Setiap benda dipresentasikan dengan gambar aksinya ( satu persatu). Pelatih

menunjukan gambar aksi, mengambil benda dan memperagakan penggunaannya pasien

meniru.

Langkah 6 : mengikuti perintah gambar aksi

Kedelapan benda diletakan di muka pasien. Gambar aksi diperlihatkan satu

persatu, pasien diminta mencari bendanya dan memperagakan penggunaannya.

Langkah 7 : peragaan pantomin

8
Setiap benda diletakan satu persatu di muka pasien. Pelatih memperagakan

gerakan pantomin sesuai dengan benda.

Langkah 8 : Mengenal gerakan pantomin

Kedelapan benda diletakan dimuka pasien. Pelatih memperagakan gerakan dan

pasien diminta menunjukan benda yang sesuia dengan gerakan tersebut.

Langkah 9 : latihan gerakan pantomin

Setiap benda diletakan di muka pasien satu persatu. Pasien disuruh

memperagakan gerakan sesuai benda tersebut. Bila sulit, benda bisa diletakan di tangan

pasien.

Langkah 10 : produksi gerakan pantomin

Setiap benda diletakan di muka pasien. Pasien disurh memperagakan gerakan.

Langkah 11 : latihan gerakan untuk benda yang tersembunyi, kemudian satu benda

dikeluarkan lagi. Pelatih membuat gerakan seperti bertanya :benda aoa yang

disembunyikan?, kemudian pelatih memperagakan gerakan yang sesuai dengan benda

yang disembunyikan.

Langkah 12 : produksi gerakan untuk benda tersembunyi`

Langkah 11 diulangi pasien. Proses diulangi untuk setiap kombinasi pasangan

benda.

Tingkat II

Langkah 7 sampai 12 dari tingkat I diulang menggunakan gambar aksi.

Tingkat III

Langkah 7 sampai 12 diulang dengan gambar benda kecil.

Dua benda diletakan di muka pasien dan pelatih memperagakan gerakan yang

sesuai dengan dua benda. Kedua benda disembunyikan, kemudian satu benda

9
dikeluarkan lagi. Pelatih membuat gerakan seperti bertanya, benda apa yang

disembunyikan

Terapi Intonasi Melodik (TIM)

Terapi intonasi melodic adalah suatu cara terapi afasia yag mengunakan melodic untuk

memperbaiki produksi verbal. Pengunaan melodi dan intonasi pada program ini

berdasarkan pemikiran bahwa hemisfer kanan yang masih utuh, yang dihubungkan

dengan fungsi melodic, dapat digunakan untuk memfasilitasi respon verbal. Keempat

tingkatan TIM dirancang untuk meningkatkan kemampuan mengucapkan frasa dan

kalimat yang sering dijumpai. Digunakan intruksi yang telah deprogram, dan jumlah

perlahan lahan dikurangi pada setiap program TIM. Bermacan- macam form digunakan,

dari menyanyikan suatu melodi dan mengetuk dengan tangan sampai menjawab

pertanyaan menggunakan frasa dan kalimat yang sudah dilatih. TIM tampaknya sangat

efektif untuk pasien dengan afasia broca dan aprksia bicara dengan output verbal yang

sangat terbatas dan kemampuan mengulang buruk, dimana pemahaman auditorik

relative baik baik. Tes ini lebih sering digunakan pada pasien afasia broca derajat 1 dan

afasia broca derajat 2.

Terapi Intonasi Melodik

Tehnik :

 Pakai ketukan tangan

 Bila ada kesalahan pada satu langkah, ulangi dari langkah sebelumnya.

 Bantuan dikurangi pelan-pelan mulai dari suara, kemudian ketukan.

 Ada 4 tingkatan, tiap tingkatan terdiri dari 5 tingkatan

Tingkat 1

10
Stimulus : mengunakan melodi 2 kali dengan ketukan tangan.

Respon : menggumam bersama sama dengan ketukan tangan, kemudian pelatih

mengurangi partisipasi, tetapi meneruskan ketukan tangan.

Tingkatan II

Langkah I

Stimulus : menggumam melodi dengan ketukan tangan, kemudian menyanyikan

kalimat dengan ketukan tangan.

Respon : bersama sama menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan.

Langkah 2

Stimulus : sama seperti langkah 1

Respon : pelatihan mengurangi partipasinya, kecuali ketukan tangan

Langkah 3

Stimulus : menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan.

Respon : mengulah { bila perlu dibantu cue)

Langkah 4

Stimulus : “ apa yang dikatakan?” ‘tadi biang apa?~

Respon : mengulang kalimat

Tingkatan III

Langkah 1

Stimulus : menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan

Respon : bersama sama menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan, pelatih

mengurangi partipasinya, kecuali ketukan tangan.

Langkah 2

Stimulus : menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan

11
Respon : mengulangi kalimat

Langkah 3

Stimulus : bertanya tentang informasi dalam kalimat

Respon : menjawab

Tingkatan IV

Langkah 1

Stimulus : menyanyikan kalimat dengan ketukan tangan, kemudian mengucapkan

kalimat 2 kali dengan nada biasa.

Respon : bersama sama mengucapkan kalimat dengan ketukan tangan

Langkah 2

Stimulus : mengucapkan kalimat dengan ketukan tangan. Penderita disuruh

menunggu 2-3 detik sebelum mengulang.

Respon : mengulang mengucapkan kalimat dengan ketukan

Langkah 3

Stimulus : sma seperti langkah 2 tapi tanpa ketukan

Respon : mengulangi mengucapkan kalimat dengan ketukan

Langkah 4

Stimulus : bertanya tentang informasi dalam kalimat

Respon : menjawab

Contoh kalimat : slemat pagi. Saya lapar, ayo mandi. Saya mau srapan.

Latihan Elaborasi Respons (LER)

Latihan elaborasi respon adalah program yang dibuat untukmeningkatan panjang da nisi

informasi respons verbal pasien afasia tidak lancer. LER adalah suatu program latihan

12
lepas yang dibuat sebagai reaksi terhadap program terapi dimana klinikus hanya

menangani respon yang sangat sempit. Diasumsikan bahwa program terapi yang terlalu

berstuktur dapat menghambat pasien dalam menggunakan Bahasa secara kreatif dan

flesifel dengan pembatasan pilihan respon. Pada LER pasien dirancang untuk bercerita

tentang apa yang mereka pikirkan ketika diberikan gambar sebagai stimulasi.

Gambarnya sangat sederhana sehingga pasien tidak hanya menerangkan gambar yang

dilihat tetapi juag dibutuhkan pengetahuan umum dan pengalaman pribadi untuk

memberi respon. Stimulasi LER mengambarkan kegiatan sehari-hari dan olahraga.

Program LER dibuat untuk menguatkan isi informasi dan bukan bentuk lingustik. Jadi

respon yang sangat informative walaupun telegrafik dapat diterima. Setelah terapi LER

terjadi peningkatan jumlah informasi yang dapat diproduksi penderita fasia dan juga

terjadi sedikit generalisasi pada stimulus, orang dan seting. Terapi ini digunakan pada

pasien afasia broca derajat 3 dan 4.

Lathan Elaborasi Respon

Langkah langkah

1. Memberi gambar sebagai stimulus, diharapkan respon spontan pasien

2. Memperkuat dan memodifikasi jawaban pasien

3. Bertanya untuk memperluas jawaban pasien

4. Memperkuat jawabam pasien dan memodifikasi kalimat menggunakan semua

respon yang telah diberikan terhadap suatu gambar. Kemudian meminta pasien

mengulang kalimat tersebut.

5. Memperkuat hasil pengulangan kalimat

Catatan :

13
 Dalam LER jawaban tidak langsung dikoreksi pemeriksa. Berikan dorongan

positif

 Setiap gambar atau stimulus diberikan 2 kali

 Setiap kali terapi diberikan kurang lebih 10 stimulus.

Rehabilitasi Stimulasi Schuell

Pada pasien dengan afasia Wernicke terapi yang bisa dipilih adalah rehabilitasi stimulasi

Schuell. Terapi ini digunakan stimulasi audiotorik. Terdiri dari beberapa jenis perintah

yaitu menunjuk, mengikuti perintah, menjawaban pertanyaan ya-tidak, dan mengubah

respon. Tingkat kesulitannya dapat dihubah dengan variasi kecepatan, jeda, penekanan,

kesamaan dan banyaknya pilihan respon, kompleksitas, sistatik, dan lain-lainnya.

Rehabilitas stimulus Schuell

Menunjuk :

1. Tunjuk suatu benda atau gambar yang disebutkan

2. Tunjuk benda yang dijabarkan fungsinya ( tunjuk benda yang digunakan untuk

menulis)

3. Tunjuk benda untuk melengkapi kalimat. ( ambulkan saya roti dan….)

4. Tunjuk benda sebagai jawaban pertanyaan. ( apa yang di temukan di dapur?

..kompor)

5. Tunjuk 2 atau lebih benda yang disebutkan.

6. Tunjuk 2 atau lebih benda yang dijabarkan fungsinya

7. Tunjuk benda yang dijabarkan dengan kalimat ( mereka sangat sibuk.. gambaran

beberapa orang membangun rumah)

8. Tunjuk benda yang namanya dieja.

14
9. Tunjuk benda yang dijabarkan dengan beberapa keterangan ( tunjuk benda yang

panjang berwarna perak dan tajam,..pisau)

Mengikuti perintah

1. Intruksi satu kata kerja( ambil bolpen)

2. Intruksi untuk melatakan 2 obyek.( taruh pensil di depan cangkir)

3. Intruksi 2 kata kerja ( tunjuk cangkir ambil penghapus)

4. Intruksi 2 kata kerja dengan batas wakt. ( sebelum menyentuh piring, ambil

sendok)

Pertanyaan ya- tidak

1. Tentang pengetahuan umum.

2. Membutuhkan diskriminasi fonemik. ( apakah orang pakai sepatu dan binatu di

kaki)

3. Membutuhkan diskriminasi sematik. ( apakah anda makan dengan kaki)

4. Pertanyaan tentang gambar.

5. Membutuhkan retensi verbal. ( apakah sapi, kuda, anjing, pohon, dan singa

semua hewan? )

6. Pertanyaan tentang kalimat sebelumnya.

Mengubah respon

1. Tunjuk pintu

2. Ambilkan saya cangkir

3. Apakah lantai lebih rendah dari langit-langit

4. Eja namamu

5. Bagaimana perasaamu hari ini

6. Apakah saya sudah meminta kamu untuk mengambil cangkir

15
7. Baca ini dan lakukan perintahnya.

Terapi farmakologi pada afasia

1. System dopaminergic

A. Bromokriptin

Bromokriptin adalah zat agonis dopamine yang pertama kali dipakai

untuk afasia traskortikal motoric yang kronis dan hasilnya cukup

memuaskan bila dikombinasikan dengan terapi bicara. Afasia traskortikal

motoric berbeda dengan sindroma afasia lainnya karena kelainan ini

buka disebabkan oleh karena kerusakan system Bahasa serebral itu

sendiri melainkan oleh eksitasi yang kurang atau inhibisi yang berlebihan

dari system tersebut. Perbaikan jenis afasia ini dengan bromokriptin

adalah karena bromokriptin berfungsi sebagai pengganti proyeksi

dopaminergic mesokortikal yang terganggu.( Gupta SR, 1992)

Penelitian selanjutnya menunjukan hasil yang bervariasi. Gupta dkk

mendapatkan bahwa dosis bromokriptin 10-30 mg perhari, terjadi

perbaikan kelancaran bicara pada dua orang pasien afasia non fluen

kronis, sedangkan satu orang pasien memburuk dengan dosis lebih dari

30mg perhari. ( Sabe L, 1992)

B. Levodopa

Levodopa dapat meningkatkan kelancaran bicar pada penderita afasia

non fluen yang sedang-berat karena mempengaruhi sirkuit frontal

subkortikal ( Muller, 1994)

2. System nonadrenergik

16
Stimulasi system nonadrenergik merupakan cara yang paling efektif hanya jika

dikombinasi denga terapi fungsional. Penelitian oleh walker-batson dkk menunj

yang ukkan bahwa amfetamin, suatu psikoastimulansia, diberikan dengan dosis

10-15 mg selama 10 hari sebelum 10 hari sebelum terapi bicara pada 6 orang

penderita afasia, antara hari ke 10 dan ke 30 pasca stroke, ternyata

memperlihatkan pemulihan kemampuan yang lebih cepat daripada prediksinya

pada 5 orang penderita (Walker, 1992). Pemakaian amfetamin secara klinis

untuk penderita afasia masih terbatas karena efek samping.

3. System serotonergic

Manipulasi system serotonergic pada penderita afasia lebih ditunjukan pada

depresi yang menyertainya. Gangguan emosi terutama depresi pasca stroke

dilaporkan mempengaruhi tidak aja kondisi terapi dan rehabilitasi, tetapi juga

hasil rehabilitasi jangka panjang stroke. Penderita afasia memiliki resiko depresi

yang lebih tinggi. Pemakaian obat antidepresi jenis trisiklik dapat menyebabkan

efek antikolinergik sentral dan kardiotoksik sehingga harus hati-hati. (Lingam,

1988)

SSRI misalnya citalopram ternyata memperlihatkan hasil yang baik pada depresi

pasca stroke baik efektivitas maupun tolerabilitasnya. Pengobatan yang baik

terhadap depresi pasca stroke terbukti dapat meningkatkan hasil rehabilitas

neuropskologik dan terapi wicara panderita stroke.

4. Sistem kolinergik dan aminergik eksitatorik

Piracetam suatu derivate GABA yang tidak memiliki aktivitas gabanergik

ataupun antagonis GABA. Terbukti dapat meningkatkan fungsi kognitif seperti

proses belajar dan memori dengan cara fasilitasi neurotrasmisi koligernik.

17
Enderby melakukan penelitian terkontrol dengan placebo dan secara tersamar

ganda pada penderita stroke yang sedang dilakukan rehabilitasi, ternyata

menunjukan perbaikan afasia yang lebih cepat pada kelempok yang diberikan

piracetam selama 12 minggu pasca stroke. Selanjutnya, penelitian yang

dilakukan oleh Huber W menunjukan bahwa piracetam memiliki efek adjuvant

positif terhadap pemulihan pasien afasia yang sedang menjalani terapi wicara

intensif. Efek aditif dari piracetam diduga berkaitan dengan sifat neuroprotektif

dan fasilitasi neurotrasmisi kolinergik dan aminergik pada kondisi hipoksia otak.

(Huber, 1997)

BAB III

Kesimpulan

Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakakn otak.

Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan Bahasa. Afasia terdiri dari beberapa

jenis antara lain afasia global, afasia broca, afasia trascortical motoric, afasia trascortical

sensorik, afasia wernick, dan afasia konduksi.

18
Dalam penanganan afasia terdiri dari terapi non farmakologi dan farmakologi.

Kedua terapi ini tidak dapat dipisahkan, dan harus berjalan sinergis. Terapi non

farmakologi diantaranya yang sering digunakan antara lain, terapi aksi visual, terapi

intonasi melodic, terapi elaborasi respon, dan terapi stimulasi schuell.

Untuk farmakologi bisa digunakan obat obatan yang bekerja dalam system

dopaminergic, nonadrenergik, serotonergic, dan kolinergik

BAB IV

Daftar Pustaka

1. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual

Otak; dan Proses Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi

Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.

2. Gupta SR, Micoch AG.Arch Phys Med Rehabil 1992:73-373

19
3. Huber W, Wilmes K, Poeck K. Piracetam as an adjuvant to language therapy

for aphasia: randomized double blind placebo-controlled pilot study. Arch

Phys Med Rehabil, 1997

4. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia.

2009.

5. Lumbantobing SM, Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental.


Bab XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2008

6. Muller U, Ziegler. Neuropsychopharmacology, 1994

7. Sidiarto L, Kusumoputro S. Cermin Dunia Kedokteran No.34, Afasia

Sebagai Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian

Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1994, Jakarta.

8. Suwono WJ. Afasia Sensorik atau Wernicke. Diagnosis Topik

Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi II. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta. 1995.

9. Sabe L, Leiguarda R, Starkstein SE. An open trial of bromocriptine in non

fluent aphasia Neurology 1992

10. Walker –Batson D, Unwin H. Use of amphetamine in the treatment aphasia.

Neurol Neurosci 1992

20

You might also like