Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Terapi Bahasa untuk afasia adalah ilmu pengetahuan yang tidak pasti yang
dipengaruhi oleh pendidikan klinikus dan falsafah mereka tentang sifat sifat afasia.
Ditambah lagi beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi cara terapi, misalnya berat
gangguan Bahasa, adanya gangguan penyerta, waktu pasca onset afasia, lingkungan.
Dalam refrat ini akan dijelaskan sedikit terapi terapi yang bisa digunakan untuk
pasien pasien yang mengalami afasia.
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologi pada area lobus frontal, temporal , atau parietal yang
mengatur kemampuan berbahasa, yaitu area broca, area Wernicke, dan jalur yang
menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di hemisfer
kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan tempat
kemampuan berbahasa diatur. ( Lumbantobing SM, 2008)
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek
samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
(Kirshner HS, 2009)
2.3 Patofisiologi
2
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi
terletak pada hemisfer kiri. ( Guyton Ac, 1997)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke. ( Kirshner HS, 2009)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam artikulasi
tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan. ( Guyton AC, 1997)
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan penurunan
hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu Bahasa. ( Guyton AC, 1997)
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di
atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal.
Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung antara
area Broca dan area Wernicke. ( Lumbantobing, 2008)
2.4 Klasifikasi
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan
kepada:
Manifestasi klinik
Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik
3
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan:
1. Sindrom afasia peri-silvian
Afasia Broca (motorik, ekspresif)
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Afasia konduksi
4.6 Diagnosa
Melihat manifestasi klinis dan riwayat trauma/penyakit
Tes kognitif/fungsi bahasa Boston Diagnostic Aphasia Examination, Western
Aphasia Battery, Boston Naming Test, Token Test, dan Action Naming Test
pemeriksaan yang dilakukan harus mencakup semua komponen bahasa (bicara
spontan, penamaan, pengulangan, pemahaman, membaca, dan menulis)
Pemeriksaan radiologis CT Scan, MRI, PET Scan, EEG
4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya
stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia
adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.
4
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika
pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan
dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang
lebih banyak pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai
bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik,
dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis stimulus
ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.
Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi
terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan:
Terapi kognitif linguistik.
Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen emosional bahasa. Sebagai
contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk menginterpretasikan
karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga yang meminta
pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan seperti ini akan
membantu pasien mempraktekkan kemampuan komprehensif sementara tetap fokus
pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.
Program stimulus.
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori. Termasuk gambar-gambar dan
musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat kesukaran yang meningkat dari
tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy.
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat)
dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah stimulus audio.
5
Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik jika
dilakukan dengan pengulangan.
program ini pasien dilatih untuk mengasosikan gambar benda atau aksi, dan melakukan
6
beberapa tugas yang berhubungan dengan gambar tersebut. Selama latiah ini tidak ada
verbalisasi.
Halm- Estabrooks dan kawan kawan melaporkan efek positif yang bermakna pada
gestural. Pertama, komunikasi gestural tidak tergantung pada komunikasi vocal. Kedua,
gerakan tangan untuk komunikasi manual kurang membutuhkan control motoric halus
dibandingkan gerakan artikulasi pada bicara, tidak seperti gerakan wajah dan extremitas
dikontrol secara unilateral, karena lengan dan tungkai kiri mendapatkan intervensi dari
hemisfer kanan yang utuh. Terakhir, tidak seperti apparatus bucofacial, lengan dan
Tujuan utama TAV adalah untuk melatih pasien afasia global untuk membuat gestur
yang melambangankan stimulus yang tak tampak melalui manipulasi obyek yang nyata.
Walupun focusnya gestur pada terapi ini yang terjadi generalisasi ke modalitas lain. Hal
lingustik.
Tingkat 1
7
Membantu pasien menjiplak tangan pemeriksa di atas kertas.
Pasien diberikan benda satu per satu, disuruh meletakan pada gambar.
meniru.
8
Setiap benda diletakan satu persatu di muka pasien. Pelatih memperagakan
memperagakan gerakan sesuai benda tersebut. Bila sulit, benda bisa diletakan di tangan
pasien.
Langkah 11 : latihan gerakan untuk benda yang tersembunyi, kemudian satu benda
dikeluarkan lagi. Pelatih membuat gerakan seperti bertanya :benda aoa yang
yang disembunyikan.
benda.
Tingkat II
Tingkat III
Dua benda diletakan di muka pasien dan pelatih memperagakan gerakan yang
sesuai dengan dua benda. Kedua benda disembunyikan, kemudian satu benda
9
dikeluarkan lagi. Pelatih membuat gerakan seperti bertanya, benda apa yang
disembunyikan
Terapi intonasi melodic adalah suatu cara terapi afasia yag mengunakan melodic untuk
memperbaiki produksi verbal. Pengunaan melodi dan intonasi pada program ini
berdasarkan pemikiran bahwa hemisfer kanan yang masih utuh, yang dihubungkan
dengan fungsi melodic, dapat digunakan untuk memfasilitasi respon verbal. Keempat
kalimat yang sering dijumpai. Digunakan intruksi yang telah deprogram, dan jumlah
perlahan lahan dikurangi pada setiap program TIM. Bermacan- macam form digunakan,
dari menyanyikan suatu melodi dan mengetuk dengan tangan sampai menjawab
pertanyaan menggunakan frasa dan kalimat yang sudah dilatih. TIM tampaknya sangat
efektif untuk pasien dengan afasia broca dan aprksia bicara dengan output verbal yang
relative baik baik. Tes ini lebih sering digunakan pada pasien afasia broca derajat 1 dan
Tehnik :
Bila ada kesalahan pada satu langkah, ulangi dari langkah sebelumnya.
Tingkat 1
10
Stimulus : mengunakan melodi 2 kali dengan ketukan tangan.
Tingkatan II
Langkah I
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Tingkatan III
Langkah 1
Langkah 2
11
Respon : mengulangi kalimat
Langkah 3
Respon : menjawab
Tingkatan IV
Langkah 1
Langkah 2
Langkah 3
Langkah 4
Respon : menjawab
Contoh kalimat : slemat pagi. Saya lapar, ayo mandi. Saya mau srapan.
Latihan elaborasi respon adalah program yang dibuat untukmeningkatan panjang da nisi
informasi respons verbal pasien afasia tidak lancer. LER adalah suatu program latihan
12
lepas yang dibuat sebagai reaksi terhadap program terapi dimana klinikus hanya
menangani respon yang sangat sempit. Diasumsikan bahwa program terapi yang terlalu
berstuktur dapat menghambat pasien dalam menggunakan Bahasa secara kreatif dan
flesifel dengan pembatasan pilihan respon. Pada LER pasien dirancang untuk bercerita
tentang apa yang mereka pikirkan ketika diberikan gambar sebagai stimulasi.
Gambarnya sangat sederhana sehingga pasien tidak hanya menerangkan gambar yang
dilihat tetapi juag dibutuhkan pengetahuan umum dan pengalaman pribadi untuk
Program LER dibuat untuk menguatkan isi informasi dan bukan bentuk lingustik. Jadi
respon yang sangat informative walaupun telegrafik dapat diterima. Setelah terapi LER
terjadi peningkatan jumlah informasi yang dapat diproduksi penderita fasia dan juga
terjadi sedikit generalisasi pada stimulus, orang dan seting. Terapi ini digunakan pada
Langkah langkah
respon yang telah diberikan terhadap suatu gambar. Kemudian meminta pasien
Catatan :
13
Dalam LER jawaban tidak langsung dikoreksi pemeriksa. Berikan dorongan
positif
Pada pasien dengan afasia Wernicke terapi yang bisa dipilih adalah rehabilitasi stimulasi
Schuell. Terapi ini digunakan stimulasi audiotorik. Terdiri dari beberapa jenis perintah
respon. Tingkat kesulitannya dapat dihubah dengan variasi kecepatan, jeda, penekanan,
Menunjuk :
2. Tunjuk benda yang dijabarkan fungsinya ( tunjuk benda yang digunakan untuk
menulis)
..kompor)
7. Tunjuk benda yang dijabarkan dengan kalimat ( mereka sangat sibuk.. gambaran
14
9. Tunjuk benda yang dijabarkan dengan beberapa keterangan ( tunjuk benda yang
Mengikuti perintah
4. Intruksi 2 kata kerja dengan batas wakt. ( sebelum menyentuh piring, ambil
sendok)
kaki)
5. Membutuhkan retensi verbal. ( apakah sapi, kuda, anjing, pohon, dan singa
semua hewan? )
Mengubah respon
1. Tunjuk pintu
4. Eja namamu
15
7. Baca ini dan lakukan perintahnya.
1. System dopaminergic
A. Bromokriptin
sendiri melainkan oleh eksitasi yang kurang atau inhibisi yang berlebihan
perbaikan kelancaran bicara pada dua orang pasien afasia non fluen
kronis, sedangkan satu orang pasien memburuk dengan dosis lebih dari
B. Levodopa
2. System nonadrenergik
16
Stimulasi system nonadrenergik merupakan cara yang paling efektif hanya jika
10-15 mg selama 10 hari sebelum 10 hari sebelum terapi bicara pada 6 orang
3. System serotonergic
dilaporkan mempengaruhi tidak aja kondisi terapi dan rehabilitasi, tetapi juga
hasil rehabilitasi jangka panjang stroke. Penderita afasia memiliki resiko depresi
yang lebih tinggi. Pemakaian obat antidepresi jenis trisiklik dapat menyebabkan
1988)
SSRI misalnya citalopram ternyata memperlihatkan hasil yang baik pada depresi
17
Enderby melakukan penelitian terkontrol dengan placebo dan secara tersamar
menunjukan perbaikan afasia yang lebih cepat pada kelempok yang diberikan
positif terhadap pemulihan pasien afasia yang sedang menjalani terapi wicara
intensif. Efek aditif dari piracetam diduga berkaitan dengan sifat neuroprotektif
dan fasilitasi neurotrasmisi kolinergik dan aminergik pada kondisi hipoksia otak.
(Huber, 1997)
BAB III
Kesimpulan
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakakn otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan Bahasa. Afasia terdiri dari beberapa
jenis antara lain afasia global, afasia broca, afasia trascortical motoric, afasia trascortical
18
Dalam penanganan afasia terdiri dari terapi non farmakologi dan farmakologi.
Kedua terapi ini tidak dapat dipisahkan, dan harus berjalan sinergis. Terapi non
farmakologi diantaranya yang sering digunakan antara lain, terapi aksi visual, terapi
Untuk farmakologi bisa digunakan obat obatan yang bekerja dalam system
BAB IV
Daftar Pustaka
1. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual
19
3. Huber W, Wilmes K, Poeck K. Piracetam as an adjuvant to language therapy
2009.
20