You are on page 1of 11

STUDI KASUS SISTEM INTEGUMENT

Program Profesi Dokter Hewan Rotasi Interna Hewan Kecil


Di Klinik dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

Oleh:
Deasy Andini Ersya Putri
NIM. 160130100111036

GELOMBAG VIII - KELOMPOK 2

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
SISTEM INTEGUMENT
Canine dermatomyositis: A case report.
Studi Kasus: Dermatomyositis pada Anjing

I. Latar Belakang
Memahami bahwa ada lebih dari 160 kelainan kulit anjing yang berbeda,
beberapa di antaranya hingga menyebabkan masalah kronis, adalah kunci dalam
membantu dokter hewan untuk memecahkan masalah yang ada. Sebagai tim,
klien dan dokter hewan harus proaktif dalam menentukan masalah secara akurat
dan tepat waktu. Untuk mencapai hasil yang memuaskan, dibutuhkan keahlian
dan ketekunan dokter ditambah dengan izin dan komitmen finansial klien.
Ada beberapa tantangan dalam kedokteran hewan lebih menakutkan
daripada mengobati pasien karena kelainan kulit jangka panjang. Kasus
dermatitis kronis . Kontrol adalah tujuannya karena pastinya tidak ada obatnya.
Untuk menyederhanakan sedikit, hanya ada dua jenis kelainan kulit pada anjing:
bisa disembuhkan dan tidak dapat disembuhkan. Dokter hewan perlu memahami
apa yang sebenarnya terjadi dan di dalam kulit sebelum strategi terapeutik yang
tepat dapat digunakan. Karena dibutuhkan sel kulit baru yang sehat sekitar empat
minggu untuk matang dan hadir di dekat permukaan kulit, penyakit kulit yang
dapat disembuhkan mungkin memerlukan waktu berminggu-minggu untuk
dipecahkan. Untuk kasus yang tidak dapat disembuhkan, mengendalikan
kelainan kulit yang sedang berlangsung melalui diet, obat, shampo, semprotan,
asam lemak dan suplemen vitamin yang terbaik adalah yang terbaik yang dapat
kita lakukan.
Mengelola kelainan kulit kronis mengandaikan bahwa diagnosis yang
tepat telah dilakukan. Membuat diagnosis itu memerlukan beberapa protokol
diagnostik yang harus dilakukan agar dokter memiliki pemahaman yang jelas
tentang proses patologis yang berdampak pada pasien. Banyak penyebab yang
berbeda mungkin bisa menampakkan diri dengan sangat mirip dengan tanda
visual yang serupa.
Gangguan kulit kronis yang tidak dapat disembuhkan bisa menjadi mimpi
buruk bagi anjing dan membuat frustrasi para dokter hewan dan pemilik anjing.
Ketidakseimbangan hormonal seperti hipotiroidisme pada penyakit Golden
Retriever dan Cushings (kelainan kelenjar adrenal) yang sering terlihat pada
anjing ras kecil, umumnya tidak dapat disembuhkan namun dikelola dan akan
menunjukkan peningkatan yang luar biasa setelah terapi yang tepat dilakukan.
Untuk itu dokter hewan harus memiliki skill yang baik untuk menentukan
diagnosa kelainan kulit pada pasien.

II. Tinjauan Pustaka


Dermatomiositis adalah kondisi yang jarang terjadi pada anjing yang
terutama mempengaruh kulit hingga otot lurik. Penyebab pasti penyakit ini tidak
diketahui tapi patogenesisnya dapat melalui imun mediasi yang dihasilkan yang
bersifat dermatopati iskemik. Dermatomyositis lebih sering dilihat pada anjing
ras collie dan shetland sheepdogs. Ras anjing lain juga dapat terkena (Shelton,
2007). Gejala klinis pada anjing sangat bervariasi dari ringan hingga parah. Lesi
kutaneus biasanya terlihat pada umur 6 bulan dan terjadi pada kulit wajah
(bagian periokular, perioral dan moncong), telinga, ekstremitas distal dan ekor.
Lesi biasanya dikarakterisasikan dengan adanya erythema, alopesia, scalling,
crusting dan dapat terjadi alopesia cicatrix. Ketika gejala klinis myositis terjadi,
semuanya berkorelasi menjadi gangguan kulit yang parah dan bermanifestasi
menjadi kesulitan mengunyah makanan, atropi muskulus maseter, otot
ekstremitas distal, regurgitasi sekunder hingga megaesofagus (Morris, 2013).
Lesi dapat meningkat dan menurun seiring berjalannya waktu. Mereka
ditandai dengan derajat variabel dari daerah berkerak, dengan hilangnya
permukaan atas kulit (mereka disebut sebagai erosi atau borok, berdasarkan pada
kedalaman kehilangan jaringan) dan alopecia. Kemerahan pada kulit (eritema),
dan akumulasi sel kulit permukaan, seperti ketombe, skin scalling, dapat menjadi
manifestasi dari penyakit ini. Lesi kulit awal bisa meninggalkan bekas luka pada
kulit. Anjing yang terkena dampak lebih parah mungkin mengalami kesulitan
makan, minum, dan menelan (Miller et al., 2013).
Diagnosa didasarkan oleh signalement, perubahan yang terjadi pada kulit
dan untuk menghapuskan diagnosis diferensial lainnya maka diperlukan
pemeriksaan histopatologi. Biopsi otot dan elektromyografi dapat menegakkan
diagnosa myositis namun jarang dilakukan. Diagnosa diferensial lainnya antara
lain demodekosis, pyoderma, dermatofitosis, dermatitis alerrgi dengan infeksi
sekunder, iskemi vaskulopati dan discoidal lupus erithematosus (Shelton, 2007).
Pengobatan yang direkomendasikan secara umum antara lain termasuk
meminimalkan paparan sinar ultraviolet dan membatasi aktivitas yang
menimbulkan trauma pada kulit, karena keduanya mungkin dapat memperburuk
lesi. Suplemen harian dengan asam lemak dan vitamin E (200-600 unit PO q12h)
mungkin bermanfaat pada kasus ringan. Pada penyakit sedang-ke-berat berulang,
terapi dengan pentoxifylline (15-25 mg / kg PO q8-12h) biasanya
diimplementasikan dan secara historis merupakan obat pilihan kondisi ini. Terapi
kombinasi dengan tambahan agen imunomodulator (misalnya tetrasiklin
derivatif, niacinamide, glukokortikoid, siklosporin, tacrolimus topikal) (Marcella
et al., 2000).
Prognosis sangat bervariasi dan tergantung kepada keparahan penyakit dan
kemampuan untuk mengendalikan gejala dan meminimalkan efek samping
sekunder akibat intervensi farmasi. Terlepas dari keparahan penyakit, anjing
yang terkena dampak tidak boleh dibiakkan (Miller et al., 2013). Untuk
melindungi kulit hewan peliharaan dari iritasi atau kerusakan lebih lanjut, harus
dihhindari aktivitas yang dapat menimbulkan trauma pada kulit. Jauhkan hewan
peliharaan di dalam ruangan di siang hari untuk menghindari paparan sinar
matahari yang intens, karena paparan sinar ultraviolet dapat memperburuk lesi
kulit. Pemilik hewan mungkin perlu mengubah makanan hewan peliharaan jika
memiliki kerongkongan yang membesar, atau sulit makan dan / atau menelan
(Marcella et al., 2000).
III. Studi Kasus
3.1 Signalement
Jenis hewan : anjing
Ras : german shepherd cross
Jenis kelamin : jantan
Usia : 5 bulan
3.2 Anamnesa
Terdapat adanya lesi pada kulit muka dan ekor sejak dua bulan
terakhir. Lesi pada kulit menyebar secara progresif hingga ke bagian perut
dan ekstremitas. Berdasarkan sejarahnya, terdapat adanya pruritus dan
kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Anjing ini telah diberikan
antibiotik yang dilanjutkan dengan pemberian glukokortikoid dan tidak
terdapat progres. Hanya pruritus yang hilang karena pemberian antibiotik.
Terdapat tiga anjing lainnya ditempat yang sama namun tidak mengalami
masalah kulit.
3.3 Pemeriksaan Fisik

Gambar 1. Adanya alopecia dan erosi pada wajah, hiperkeratosis nasal


planum, hypotrichosis dan pengerakan pada ‘’jembatan’
hidung dan ujung telinga
Gambar 2. Terdapat alopecia, erythema dan erosi serta pengerakan pada
ekstremitas

Gambar 3. Eritrema, erosi dan pengerakan pada bagian dalam daun telinga

Gambar 4. Alopecia, erosi dan pengerakan pada ekor.

Selama dilakukan pemeriksaan klinis, mulut anjing tidak dapat


dibuka lebih dari beberapa sentimeter. Terdapat atropi pada otot temporal
dan maseter. Lesi pada kulit terlihat pada wajah, area sekitar mata, ujung
telinga dan pada ekstremitas khususnya pada area yang memiliki
predisposisi trauma mekanis seperti bagian karpal dan tarsal, dan pada ujung
ekor serta pada daerah sekitar kaki medial. Terdapat adanya alopecia,
eritrema, small scars, scalling dan crusting. Terdapat adanya erosi kecil pada
ujung ekor dan pada hidung (Gambar 1, 2, 3 dan 4). Lesi primer tidak
ditemukan. Didapatkan beberapa diagnosa banding antara lain
dermatomyositis, dermatophytosis, demodicosis, foliculitis bakterial, lupus
erythematosus, bullous pemphigoid, epidermolysis bullosa acquisita dan
leishmaniosis.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Skin Scrapping
Hasil skin scrapping menunjukkan hasil yang negatif terhadap
Demodex canis, kultur fungal dan trikogram menunjukkan hasil yang
negatif terhadap dermatofit.

b. Complete Blood Count (CBC) dan Biokimia darah


Profil CBC dan biokimia darah berada pada range normal.

c. Indirect Fluorcene Antibody (IFA)


Hasil IFA terhadap antibodi antinuklear Leishmania infantum
(ANA) menunjukkan hasil negatif.

d. Biopsi Kulit

Gambar 5. Terdapat degenerasi vakuolar pada basal sel epidermis,


lekukan dermoepidermal dan dermatitis interstitial (H&E
200x)
Gambar 6. Atropi folikular dan fibrosis perifolicular (H&E 400x)

Gambar 7. Vaskulitis pada dermis bagian dalam (H&E 400x)

Pada hasil biopsi kulit terdapat adanya degenerasi area sel basal
yang bersifat multifocal pada epidermis, dan terdapat apoptosis
sepanjang lekukan intraepidermal dan dermoepidermal. Terdapat
dermatitis dengan adanya limfosit, plasmosit dan histiosit yang cukup
moderat pada dermis perivaskular dan interstitial. Terdapat adanya
inkontinen melanin, edema fibrosis dan vaskulitis pada dermis dalam.
Pada folikel rambut terdapat atropi dan fibrosis perifolikular. (Gambar
5, 6 dan 7).
Gambar 8. Vaskulitis, fragmentasi sel otot dan inflamasi otot maseter (H&E 400x)

Biopsi otot maseter juga dikoleksi dan diapatkan peningkatan


jumlah dari jaringan ikat dan sedikit area yang diisi oleh serabut otot,
fagositosis oleh makrofag dan infiltrasi sel inflamatori secara focal. Area
yang terdapat serabut otot mengalami degenerasi dan fragmentasi dengan
akumulasi nukleus yang diikuti dengan vaskulitis (Gambar 8).

3.5 Diagnosa
Dermatomyositis

3.6 Prognosa
Dubius

3.7 Pengobatan
Vitamin E (200 IU / BID / per-os) dan pentoxyphyline (400mg / SID
/ per-os) diberikan sebagai terapi. Sebagai tambahan, pemberian treatment
topical dengan shampo yang mengandung etil aktat dan benzoyl alkohol
setiap satu minggu sekali bersamaan dengan perubahan manajemen untuk
menghindari adanya trauma. Sayangnya, tidak ada respon yang baik
terhadap treatmen yang diberikan dan pemilik memilih agar dilakukan
euthanasi saja.
meminimalkan paparan sinar ultraviolet dan membatasi aktivitas yang
menimbulkan trauma pada kulit, karena keduanya mungkin dapat memperburuk
lesi. Suplemen harian dengan asam lemak dan vitamin E (200-600 unit PO q12h)
mungkin bermanfaat pada kasus ringan. Pada penyakit sedang-ke-berat berulang,
terapi dengan pentoxifylline (15-25 mg / kg PO q8-12h) biasanya
diimplementasikan dan secara historis merupakan obat pilihan kondisi ini. Terapi
kombinasi dengan tambahan agen imunomodulator (misalnya tetrasiklin
derivatif, niacinamide, glukokortikoid, siklosporin, tacrolimus topikal) (Marcella
et al., 2000).

III. Pembahasan
Gambaran sejarah dan klinis sangat disarankan untuk membantu
diagnosa dermatomiositis (Scott et al, 2001). Kesulitan dalam mengunyah dan
menelan, adalah karena Peradangan otot maseter dimana pada lesi
histopatologis dalam biopsi otot mengonfirmasi hal tersebut. Tidak hanya selalu
bersifat herediter, penyakit ini juga diduga disebabkan oleh agen infeksius
tertentu namun hanya bersifat penelitian saja (Scott et al, 2001). Dengan
demikian, vaksinasi anjing, 20 hari sebelumnya munculnya lesi kulit, mungkin
tidak terkait dengan penyakit.
Berbagai faktor endogen (hormon, estrus, laktasi) atau faktor eksogen
(trauma, sinar matahari) dilibatkan dalam perkembangan penyakit. Anjing
kasus ini tinggal disebuah kebun, hewan ini cenderung lebih sering terpapar
sinar matahari dan trauma mikro kulit, sehingga perkembangan lesi kulit bisa
dijelaskan dari penjelasan ini. Menurut sejarah, pruritus mereda setelah
pemberian antibiotik, Mungkin pruritus folikulitis sekunder karena bakteri
superfisial. Lesi primer (vesikula) tidak ditemukan, begitu juga dengan lesi
kuku, onychorhexis, onychomadesis dan onychoschisis. Meskipun hadir dalam
beberapa kasus dermatomiositis, pada kasus ini tidak ditemukan. Meski
pemeriksaan laboratorium tidak lengkap, keterlibatan organ internal mungkin
tidak ada dalam kasus ini. Namun, beberapa anjing dengan dermatomiositis
terdapat adanya megaesofagus, vaskulitis dan amyloidosis ginjal.
Lesi otot yang mungkin terbatas dalam kasus ini disa dijelaskan kadar
serum Creatinine Kinase (CK) yang normal, walaupun Konsentrasi serum CK
biasanya meningkat pada anjing dengan lesi otot (Scott et al, 2001). Meski
tidak ada dalam kasus ini, leukositosis dan Anemia telah dilaporkan pada anjing
collies dengan dermatomiositis. Sebaliknya, daerah degenerasi vakuolar sel
epidermis basal multifokal dan vaskulitis dari dermis yang lebih dalam yang
diamati dalam kasus ini merupakan temuan yang jarang terjadi pada kasus
dermatimyositis. Di sisi lain, histopatologis berupa lesi pada otot lebih sering
ditemui.

IV. Kesimpulan
Berdasarkan anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, anjing ini didiagnosa menderita dermatomyositis dengan prognosa
dubius.

V. Daftar Pustaka
.Miller WH, Griffin CE, Campbell KL. Familial canine dermatomyositis. In:
Miller WH, Griffin CE, Campbell KL, eds. Muller and Kirk’s Small
Animal Dermatology. 7th ed. St Louis, MO: Elsevier Mosby; 2013:585-
587.
Marsella R, Nicklin CF, Munson JW, Roberts SM. 2000. Pharmacokinetics of
pentoxifylline in dogs after oral and intravenous administration. Am J
Vet Res. 2000;61(6):631-637.
Morris DO. 2013. Ischemic dermatopathies. Vet Clin North Am Small Anim
Pract. 2013;43(1):99-111.
Scott DW, Miller WH, Griffin CE. 2001 Familial Canine Dermatomyositis. In
Small Animal Dermatology, 6th ed., WB Saunders Co, Philadelphia:
940-946.
Shelton GD. 2007. From dog to man: the broad spectrum of inflammatory
myopathies. Neuromuscul Disord.;17 (9-10):663-670.

You might also like