Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Deasy Andini Ersya Putri
NIM. 160130100111036
I. Latar Belakang
Saluran gastrointestinal (saluran pencernaan, saluran pencernaan, saluran
pencernaan, GIT, usus, atau saluran pencernaan) adalah sistem organ di dalam
manusia dan hewan lain yang mengkonsumsi makanan, mencernanya untuk
menyerap energi dan nutrisi, dan membuang sisa limbah sebagai kotoran. Mulut,
kerongkongan, lambung, dan usus adalah bagian dari saluran pencernaan.
Gastrointestinal adalah kata sifat yang berarti atau berkaitan dengan perut dan
usus. Saluran adalah kumpulan struktur anatomi yang terkait atau rangkaian
organ tubuh yang terhubung (Watson, 2002).
Saluran pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar
dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan
(pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cairyang
terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. Dari saluran pencernaan akan
terbentuk sistem pencernaan yang terdiri dari organ-organ pencernaan yang
tergabung membentuk saluran pencernaan. saluran pencernaan tersebut terdiri
dari Oris(mulut), Faring(tekak), Esofagus(kerongkongan) Ventrikulus(lambung),
usus halus,usus besar, rektum, anus. Selain itu alat penghasil getah cerna terdiri
dari Kelenjar ludah, kelenjar getah lambung, kelenjar hati, kelenjar pankreas,
kelenjar getah usus (Fox and Wang, 2007).
Pencernaan protein terjadi di perut dan duodenum dimana 3 enzim utama,
pepsin yang disekresikan oleh perut dan tripsin dan chymotrypsin yang
disekresikan oleh pankreas, memecah protein makanan menjadi polipeptida yang
kemudian dipecah oleh berbagai exopeptidase dan dipeptidase menjadi asam
amino. Enzim pencernaan bagaimanapun sebagian besar disekresikan sebagai
prekursor tidak aktifnya, zymogens. Sebagai contoh, trypsin disekresi oleh
pankreas dalam bentuk tripsinogen, yang diaktifkan dalam duodenum oleh
enterokinase untuk membentuk tripsin. Trypsin kemudian membelah protein
menjadi polipeptida yang lebih kecil .
Banyaknya organ dan sistem lain yang mendukung kerja sistem pencernaan
mengakibatkan proses pencernaan dalam tubuh dapat menjadi lebih kompleks,
begitu pula dengan penyakit yang dapat menyerang sistem pencernaan. Selain
disebabkan oleh sistem pencernaan itu sendiri, banyak sistema dan organ lain
yang juga dapat menyebabkan penyakit sekunder pada saluran pencernaan.
Organ lain tersebut antara lain adalah hepar, pankreas, limfonodus dan ganglion
mesenterika. Maka dari itu diperlukan studi kasus lebih lanjut terhadap
kemungkinan penyakit secara sekunder yang dapat menyebabkan kelainan pada
sistem pencernaan salah satunya adalah adanya pseudo-obstruksi pada intestine
yang diakibatkan karena ganglioneuritis.
b. Radiografi
c. Laparotomi
Setelah didapatkan adanya distensi abdominal yang memburuk
maka dilakukan eksplorasi laparotomi. Sebelum dilakukan prosedur
operasi, hewan diberi terapi cairan melalui intravena dengan NaCl 0,9%
mL/kg/h. Premedikasi yang diberikan pada kucing ini yaitu acepromazine
0,05 mg/kgBB secara intravena; dan kemudian diberikan anastesi general
dengan propofol yang diberikan secara perlahan melalui intravena dengan
maintanance berupa anasthesi inhalasi menggunakan isoflurane. Morfin
0,2 mg/kgBB lalu 0,1 mg/kgBB q2h diberikan, kemudian analgesik dan
amoxicillin-clavulanat dengan merk dagang augmentin 20 mg/kgBB IV.
Hasil laparotomi didapatkan adanya distensi dan penebalan pada usus halus
dan usus besar namun tidak ditemukan adanya gerakan peristaltik. Tidak
ditemukan adanya perforasi dan obstruksi mekanis, dari penampakan
makroskopis tidak menunjukkan adanya peritonitis. Limfonodul pada
abdomen masih dalam rentang normal.
Gambar 3. (a) Jejunum (haematoxylin dan eosin, × 100) dan (b) Jejunum, Pleksus
mesenterika pada tunica submukosa (haematoxylin and eosin, × 400)
Keterangan gambar:
V = villi
LP = lamina propria
G = intestinal glands
LM = lamina muscularis
TS = tela submucosa
TM = tunica muscularis
Pada gambar (a) Terdapat adanya atropi pada lamina propia, pada gambar (b)
terdapat adanya penurunan densitas sel mesenterika (degenerasi neural)
dan infiltrasi limfosit ringan.
3.5 Diagnosa
Berdasarkan anamnesa, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
anjing tersebut mengalami pseudo-obstruksi usus karena ganglioneuritis
kronis pada pleksus mesenterika.
3.6 Prognosa
Dubius
3.7 Treatment
Pada saat dibawa pertama, hewan diberikan metoclopramide dengan
dosis 1mg/kgBB q12h selama lima hari. Kemudian setelah dibawa kembali
dengan keluhan distensi abdomen, hewan dirawat inap. Selama rawat inap,
hewan diberi amoxicillin-clavulanic acid (20 mg/kg IV q8h), buprenorphine,
dan diberi terapi cairan intravena. Pemberian amoxicillin-clavulanic acid
diberikan sebagai antibiotik pada saluran pencernaan dan sepsis peritonitis
yang terjadi pada kucing tersebut. Buprenorphine adalah analgesik opioid
yaang digunakan sebagai antinyeri karena adanya distensi pada abdomen.
(harvey et al., 2005). Kemudian untuk drainase abdomen pada melalui
drainase pasif dengan cairan salin yang dipasang selama laparotomi; hal ini
dilakukan selama lima hari pasca terapi. Setelah lima hari kucing tetap
anoreksik (tidak mau makan) sehingga feeding tube dipasang.
Distensi pada abdomen masih belum membaik, sehingga hewan
diberikan Pyridostigmine bromide (Mestinon 60 mg; Meda Pharma), 0.5
mg/kg q12h PO. Pyridostigmine digunakan untuk meningkatkan kekuatan
otot yaitu pada tunika muskularis saluran pencernaan, obat ini bekerja
dengan mencegah kerusakan asetilkolin di tubuh. asetilkolin dibutuhkan
untuk fungsi otot normal (harvey et al., 2005). Tiga hari kemudian, hewan
terlihat membaik dengan nafsu makan yang mulai membaik dan distensi
abdomen berkurang, sehingga diputuskan untuk tetap diberikan amoxicillin-
clavulanic acid (20 mg/kg q12h PO) selama 15 hari dan pyridostigmine
bromide (0.5 mg/kg q12h PO) juga dilanjutkan hingga 15 hari kedepan.
Dosis pyridostigmine ditingkatkan menjadi 1 mg/kg q12h namun dilatasi
abdomen masih ada setelah peningkatan dosis. Tiga bulan pasca pemberian,
kucing tetap diberikan pyridostigmine sebanyak 1 mg/kg q12h.
IV. Pembahasan
Kasus pseudo-obstruksi intestine kronis karena ganglioneuritis dengan
komplikasi pneumoperitoneum merupakan kasus pertama kali yang ditemukan
pada saat ini, biasanya pengobatan pada pseudo-obstruksi intestine kronis adalah
pemberian pyridostigmine pada hewan. Adanya pneumoperitoneum mungkin
merupakan penyebab syncope pada pasien. pneumoperitoneum merupakan akibat
dari migrasi gas dari dinding saluran pencernaan . hal ini terjadi sebanyak 7%
dari kasus adanya pseudoobstruksi. Kasus lain yang diakibatkan karena
pneumoperitoneum spontan tanpa ruptur pada dinding intestine (peritonitis sepsis
karena bakteri clostridium, abses hepatik dan ruptur vesika urinaria)
dikecualikan. Pada kasus ini, peritonitis sepsis diakibatkan oleh bakteri P
multocida. Bakteri ini diperkirakan bermigrasi melalui dinding intestine
bersamaan dengan gas (O’dea et al., 2010).
pseudo-obstruksi intestine kronis adalah sindrom yang terkarakterisasi
dengan adanya dilatasi intestine kronis tanpa obstruksi mekanis yang diakibatkan
karena dismotilitas loop intestin. Kasus ini banyak terjadi pada anjing dan pernah
terjadi ada kuda, kucing dan sapi. Pada kucing pernah dilaporkan terjadi pseudo-
obstruksi intestine kronis dengan myopati visera. Dengan adanya atropi
muskulus longitudinal pada jejunum dan pergantian menjadi jaringan ikat
fibroblast dengan pleksus mesenterika masih normal. Pada kasus ini, muskulus
bagian dalam usus mengalami hipertropi tanpa namun tidak ada inflamasi dan
degenerasi sel pada tunica ini. Adanya inflamasi limfosit ringan dengan sedikit
infiltrasi neutrofil terpusat pada pleksus mesenterika dan juga terjadi lesi yang
parah (Eastwood, et al., 2005).
Berdasarkan literatur banyak kasus pseudo-obstruksi intestine kronis terjadi
pada anjing. Banyak dari kasus tersebut terdapat fibrosis dan infitrasi sel radang
pada tunika muskularis. Beberapa kasus terdapat adanya ganglioneuritis dengan
lesi inflamasi parietal. Pada beberapa kasus anjing juga ditemukan adanya
myopati viseral, leiomyositis dan enteropati sklerosis. Pada mausia,
ganglioneuritis lebih banyak yang bersifat idiopatik dan neoplasia. Pada hewan,
infeksi oleh simian immunodeficiency virus dapat mengakibatkan ganglionitis
intestin pada hewan makaka. Ganglionitis pada kasus ini seharusnya bersifat
idiopatik. Namun, akan sangat menarik bila dapat menemukan adanya bukti
herpesvirus dan FIV dengan metode PCR dan immunohistopatologi. Sindrom
neuropati lain seperti atypical dysautonomia atau myasthenia gravis dapat
dijadikan diagnosa banding. Neuropati lainnya seperti disautonomia atipikal atau
myasthenia gravis dipertimbangkan, namun tanda klinisnya tidak konsisten
dengan disautonomia dan kucing itu seronegatif untuk antibodi terhadap reseptor
asetilkolin (Eastwood, et al., 2005).
Pengobatan pseudo-obstruksi intestine kronis primer seringkali
mengecewakan baik pasien manusia, anjing, maupun kuda, dan prognosis
biasanya buruk. Selain pemberian nutrisi yang bagus, treatment parenteral pada
manusia berupa agen prokinetik seperti cisapride, neostigmine, ranitidine dan
bethanechol merupakan treatment yang paling umum digunakan. Dalam kasus
ganglioneuritis pada anjing, pengobatan dengan imunosupresif berupa
prednisolon dan cisapride memberikan perbaikan yang cukup bagus pada anjing
untuk jangka waktu tertentu yaitu 2,5 bulan. Dalam kasus lain, Dosis
imunosupresif kortikosteroid berhasil dan anjing tersebut tidak lagi menunjukkan
tanda klinis setelah penghentian treatment (O’dea et al., 2010).
V. Kesimpulan