You are on page 1of 12

STUDI KASUS SISTEM DIGESTI

Program Profesi Dokter Hewan Rotasi Interna Hewan Kecil


Di Klinik dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya

Oleh:
Deasy Andini Ersya Putri
NIM. 160130100111036

GELOMBAG VIII - KELOMPOK 2

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
SISTEM DIGESTI
Chronic intestinal pseudoobstruction associated with enteri ganglionitis in a Persian
cat
Pseudo-obstruksi intestinal kronis yang diakibatkan oleh ganglionitis saluran
pencernaan pada kucing persia

I. Latar Belakang
Saluran gastrointestinal (saluran pencernaan, saluran pencernaan, saluran
pencernaan, GIT, usus, atau saluran pencernaan) adalah sistem organ di dalam
manusia dan hewan lain yang mengkonsumsi makanan, mencernanya untuk
menyerap energi dan nutrisi, dan membuang sisa limbah sebagai kotoran. Mulut,
kerongkongan, lambung, dan usus adalah bagian dari saluran pencernaan.
Gastrointestinal adalah kata sifat yang berarti atau berkaitan dengan perut dan
usus. Saluran adalah kumpulan struktur anatomi yang terkait atau rangkaian
organ tubuh yang terhubung (Watson, 2002).
Saluran pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar
dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan
(pengunyahan, penelanan, dan pencampuran) dengan enzim dan zat cairyang
terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus. Dari saluran pencernaan akan
terbentuk sistem pencernaan yang terdiri dari organ-organ pencernaan yang
tergabung membentuk saluran pencernaan. saluran pencernaan tersebut terdiri
dari Oris(mulut), Faring(tekak), Esofagus(kerongkongan) Ventrikulus(lambung),
usus halus,usus besar, rektum, anus. Selain itu alat penghasil getah cerna terdiri
dari Kelenjar ludah, kelenjar getah lambung, kelenjar hati, kelenjar pankreas,
kelenjar getah usus (Fox and Wang, 2007).
Pencernaan protein terjadi di perut dan duodenum dimana 3 enzim utama,
pepsin yang disekresikan oleh perut dan tripsin dan chymotrypsin yang
disekresikan oleh pankreas, memecah protein makanan menjadi polipeptida yang
kemudian dipecah oleh berbagai exopeptidase dan dipeptidase menjadi asam
amino. Enzim pencernaan bagaimanapun sebagian besar disekresikan sebagai
prekursor tidak aktifnya, zymogens. Sebagai contoh, trypsin disekresi oleh
pankreas dalam bentuk tripsinogen, yang diaktifkan dalam duodenum oleh
enterokinase untuk membentuk tripsin. Trypsin kemudian membelah protein
menjadi polipeptida yang lebih kecil .
Banyaknya organ dan sistem lain yang mendukung kerja sistem pencernaan
mengakibatkan proses pencernaan dalam tubuh dapat menjadi lebih kompleks,
begitu pula dengan penyakit yang dapat menyerang sistem pencernaan. Selain
disebabkan oleh sistem pencernaan itu sendiri, banyak sistema dan organ lain
yang juga dapat menyebabkan penyakit sekunder pada saluran pencernaan.
Organ lain tersebut antara lain adalah hepar, pankreas, limfonodus dan ganglion
mesenterika. Maka dari itu diperlukan studi kasus lebih lanjut terhadap
kemungkinan penyakit secara sekunder yang dapat menyebabkan kelainan pada
sistem pencernaan salah satunya adalah adanya pseudo-obstruksi pada intestine
yang diakibatkan karena ganglioneuritis.

II. Tinjauan Pustaka


pseudo-obstruksi intestine kronis adalah gangguan motilitas
gastrointestinal yang jarang terjadi dimana kontraksi terkoordinasi (peristalsis) di
saluran usus menjadi berubah dan tidak efisien. Bila ini terjadi, kebutuhan nutrisi
tidak dapat dipenuhi secara memadai. "Motilitas" adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan kontraksi otot pada saluran gastrointestinal (GI). Untuk
memfasilitasi pencernaan normal dan penyerapan nutrisi, kandungan makanan
didorong melalui saluran GI melalui kontraksi tersinkronisasi atau terkoordinasi
dalam suatu proses yang disebut "peristalsis." Peristalsis bergantung pada
koordinasi antara otot, saraf, dan hormon dalam saluran pencernaan (Eastwood et
al., 2005).
Pada kasus pseudo-obstruksi intestine kronis, usus bereaksi seolah ada
penyumbatan mekanis atau penyumbatan mekanis. Namun, saat tes dilakukan,
tidak ada bukti fisik penyumbatan yang ditemukan. Tidak ada tanda atau gejala
unik yang memungkinkan diagnosis positif dari pseudo-obstruktif. Istilah
"pseudo-obstruction" mengacu pada sekelompok gangguan gastrointestinal
dengan karakteristik serupa yang dapat memiliki berbagai penyebab. Gejala
obstruksi pseudo usus disebabkan oleh masalah bagaimana otot (miopati viseral)
dan saraf (neuropati viseral) di usus bekerja. Ketika tes menunjukkan bahwa
disfungsi ini disebabkan oleh kontraksi yang tidak sinkron, kelainan ini tergolong
neurogenik (timbul dari saraf). Jika disfungsi ini disebabkan oleh kontraksi yang
lemah atau tidak ada, kelainan ini tergolong miogenik (timbul dari otot) (Harvey
et al., 2005).
Gejala pseudo-obstruksi bervariasi dalam dari tingkat keparahannya.
Gejala paling umum dari obstruksi pseudo antara lain mual, muntah, distensi dan
nyeri abdomen, dan konstipasi. Diare, kenyang awal (kepenuhan), keengganan
makanan, dan penurunan berat badan juga mungkin ada. Seiring waktu,
penyumbatan semu dapat menyebabkan infeksi bakteri, malnutrisi, dan masalah
otot di bagian tubuh yang lain (Johnson et al., 2005).
Terapi yang diberikan spesifik untuk individu hewan dengan berbagai
macam variasi, tergantung pada banyak faktor termasuk gejala spesifik yang ada,
lokasi dan luasnya bagian yang terkena dari saluran GI, usia individu dan
kesehatan keseluruhan, toleransi terhadap obat atau prosedur tertentu, preferensi
pribadi dan faktor lainnya. Keputusan mengenai penggunaan intervensi
terapeutik tertentu harus dilakukan oleh dokter dan anggota tim kesehatan
lainnya dengan seksama (Johnson et al., 2005).

III. Studi Kasus


3.1 Signalement
Jenis hewan : kucing
Umur : 7 tahun
Ras : persia
Jenis kelamin: jantan steril
Berat badan : 4.7 kg
3.2 Anamnesa
Seekor kucing jantan steril dengan ras persia datang ke National
veterinary School of toulouse Teaching Hospital (NVST-TH) dengan
keluhan sudah 2 hari mengalami muntah akut dan distensi abdomen.
Terdapat suara abnormal ketika minum sekali waktu tanpa adanya tanda
kelainan sistem pencernaan. Kucing ini sudah pernah mengalami
dermatofitosis dan gingivostomatitis tetapi sudah sembuh. Kucing sudah
diberi vaksin lengkap dan obat cacing. Kucing sedang tidak menjalani
pengobatan pada saat ini. Kucing ini sudah di tes Feline Leukaemia Virus/
Feline Immunodeficiency Virus (FIV) dua tahun lalu dengan hasil negatif.

3.3 Pemeriksaan Fisik


pada pemeriksaan fisik awal terdapat adanya distensi abdominal
disertai dengan adanya ketidaknyamanan ringan. Auskultasi dan respirasi
normal, membran mukosa berwarna pink. Tidak terdapat adanya myosis dan
midriasis, dan reflek pupil masih normal. Kemudian kucing datang lagi
dengan keluhan pembesaran pada perut yang semakin parah dan kucing
mengalami syncope. Didapatkan adanya takikardi (190 bpm) dan distensi
abdomen parah dengan timpani dan diikuti dengan rasa sakit pada saat
pemeriksaan fisik.

3.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Hematologi dan Kimia Darah
Pemeriksaan complete blood count (CBC) semua nilai berada pada
ambang normal, pada pemeriksaan kimia darah (total protein, albumin,
chloride, potassium, sodium, transaminase, gamma-glutamyl transferase,
kalsium, pH darah, kreatinine dan fosfat) berada pada ambang normal.
Setelah 24 jam hewan kembali dibawa ke rumah sakit hewan karena adanya
distensi abdominal yang semakin parah dan dilakukan pemeriksaan darah
kembali. Pada pemeriksaan darah kedua hasil complete blood cells (CBC)
terdapat meningkatan neutrofil muda (band cells 2,29 × 109/l), neutrofilia,
basofilia tanpa leukositosis, sedangkan kimia darah masih dalam rentang
normal. Nilai titer antibodi terhadap reseptor anti-asetilkolin negatif.
Kemudian dilakukan pemeriksaan darah selama dirawat inap lima hari
setelah pemeriksaan darah kedua. Setelah diberikan terapi, band cells
mengalami penurunan (0.56 ×109/l), limfopenia (0.58 × 109/l; RI 1.5–7.0 ×
109/l) dan monocytosis (2.93 × 109/l; RI 0–0.85 × 109/l). Kimia darah
menunjukkan adanya hypoproteinaemia (49.4 g/l; RI 55–71 g/l) dan
hypoalbuminaemia (17.9 g/l; RI 27–39 g/l).

b. Radiografi

Gambar 1. Penampakan radiografi lateral left recumbency kucing dengan


adanya distensi gas pada esofagus, lambung dan usus.

Pemeriksaan radiografi awal menunjukan adanya megaesofagus dan


terdapat distensi gas pada ileum dan lambung, pada faring tidak terdapat
abnormalitas (Gambar 1).

Gambar 2. Penampakkan radiografi left lateral recumbency kucing


kedua kali. Terdapat adanya pneumoperitoneum
Pada pemeriksaan radiografi kedua (Gambar 2) keesokan harinya
ketika adanya keluhan distensi abdominal yang semakin parah,
didapatkan adanya pneumoperitoneum dan distensi ileus.
Pemeriksaan radiografi lanjutan dilakukan untuk mengetahui
perkembangan pasien. Pada pemeriksaan radiografi lanjutan didapatkan
adanya perbaikan dari pneumoperitoneum intestine. Setelah dua bulan,
kucing terlihat lebih segar tanpa muntah dan diare; dan sudah mengalami
penambahan berat badan. Timpani dan distensi pada abdomen masih ada
namun tidak parah. Radiografi abdomen menunjukkan adanya dilatasi
lambung dan kolon.

c. Laparotomi
Setelah didapatkan adanya distensi abdominal yang memburuk
maka dilakukan eksplorasi laparotomi. Sebelum dilakukan prosedur
operasi, hewan diberi terapi cairan melalui intravena dengan NaCl 0,9%
mL/kg/h. Premedikasi yang diberikan pada kucing ini yaitu acepromazine
0,05 mg/kgBB secara intravena; dan kemudian diberikan anastesi general
dengan propofol yang diberikan secara perlahan melalui intravena dengan
maintanance berupa anasthesi inhalasi menggunakan isoflurane. Morfin
0,2 mg/kgBB lalu 0,1 mg/kgBB q2h diberikan, kemudian analgesik dan
amoxicillin-clavulanat dengan merk dagang augmentin 20 mg/kgBB IV.
Hasil laparotomi didapatkan adanya distensi dan penebalan pada usus halus
dan usus besar namun tidak ditemukan adanya gerakan peristaltik. Tidak
ditemukan adanya perforasi dan obstruksi mekanis, dari penampakan
makroskopis tidak menunjukkan adanya peritonitis. Limfonodul pada
abdomen masih dalam rentang normal.

d. Histopatologi, sitologi dan Bakteriologi


Hasil sitologi dan bakteriologi dari cairan peritoneal menunjukkan
adanya peritonitis sepsis karena bakteri Pasteurella multocida, bakteri ini
sensitif terhadap amoxicillin-clavulanat. Hasil biopsi difiksasi dalam 10%
neutral-buffered formalin (NBF) dan dilanjutkan sesuai prosedur
pembuatan histopatologi.

Gambar 3. (a) Jejunum (haematoxylin dan eosin, × 100) dan (b) Jejunum, Pleksus
mesenterika pada tunica submukosa (haematoxylin and eosin, × 400)
Keterangan gambar:
V = villi
LP = lamina propria
G = intestinal glands
LM = lamina muscularis
TS = tela submucosa
TM = tunica muscularis
Pada gambar (a) Terdapat adanya atropi pada lamina propia, pada gambar (b)
terdapat adanya penurunan densitas sel mesenterika (degenerasi neural)
dan infiltrasi limfosit ringan.

Penampakan histopatologi secara umum terlihat normal seperti histologi


normal lambung, duodenum dan jejunum; namun kerusakan terparah lebih
terlihat pada jejunum. Pada perbesaran lemah, tunika muskularis terlihat lebih
tebal daripada tunika submukosa. Lamina muskularis mukosa dan mukosa dapat
terlihat pada gambaran histopatologi. Muskularis mukosa dalam terlihat menebal
dimana vili intestine lebih pendek daripada normal. Terdapat atropi glandula
parah pada bagian atas lamina propia khususnya pada jejunum. Pada area
tersebut, jaringan ikat terlihat padat dan eosinofilik. Pewarnaan congo red dan
masson’s trichrome mengonfirmasi adanya fibrosis. Pada sebagian besar plexus,
densitas sel-sel neuron lemah dan menunjukan degenerasi sel parah. Adanya
sedikit infiltrasi limfosit terlihat pada pleksus mesenterika. Penemuan ini sejalan
dengan adanya atropi glandula intestinal; dapat dikatakan bahwa hal ini terjadi
secara sekunder akibat adanya ganglioneuritis kronis dari pleksus mesenterika
(Gambar 3).

3.5 Diagnosa
Berdasarkan anamnesa, hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
anjing tersebut mengalami pseudo-obstruksi usus karena ganglioneuritis
kronis pada pleksus mesenterika.

3.6 Prognosa
Dubius

3.7 Treatment
Pada saat dibawa pertama, hewan diberikan metoclopramide dengan
dosis 1mg/kgBB q12h selama lima hari. Kemudian setelah dibawa kembali
dengan keluhan distensi abdomen, hewan dirawat inap. Selama rawat inap,
hewan diberi amoxicillin-clavulanic acid (20 mg/kg IV q8h), buprenorphine,
dan diberi terapi cairan intravena. Pemberian amoxicillin-clavulanic acid
diberikan sebagai antibiotik pada saluran pencernaan dan sepsis peritonitis
yang terjadi pada kucing tersebut. Buprenorphine adalah analgesik opioid
yaang digunakan sebagai antinyeri karena adanya distensi pada abdomen.
(harvey et al., 2005). Kemudian untuk drainase abdomen pada melalui
drainase pasif dengan cairan salin yang dipasang selama laparotomi; hal ini
dilakukan selama lima hari pasca terapi. Setelah lima hari kucing tetap
anoreksik (tidak mau makan) sehingga feeding tube dipasang.
Distensi pada abdomen masih belum membaik, sehingga hewan
diberikan Pyridostigmine bromide (Mestinon 60 mg; Meda Pharma), 0.5
mg/kg q12h PO. Pyridostigmine digunakan untuk meningkatkan kekuatan
otot yaitu pada tunika muskularis saluran pencernaan, obat ini bekerja
dengan mencegah kerusakan asetilkolin di tubuh. asetilkolin dibutuhkan
untuk fungsi otot normal (harvey et al., 2005). Tiga hari kemudian, hewan
terlihat membaik dengan nafsu makan yang mulai membaik dan distensi
abdomen berkurang, sehingga diputuskan untuk tetap diberikan amoxicillin-
clavulanic acid (20 mg/kg q12h PO) selama 15 hari dan pyridostigmine
bromide (0.5 mg/kg q12h PO) juga dilanjutkan hingga 15 hari kedepan.
Dosis pyridostigmine ditingkatkan menjadi 1 mg/kg q12h namun dilatasi
abdomen masih ada setelah peningkatan dosis. Tiga bulan pasca pemberian,
kucing tetap diberikan pyridostigmine sebanyak 1 mg/kg q12h.
IV. Pembahasan
Kasus pseudo-obstruksi intestine kronis karena ganglioneuritis dengan
komplikasi pneumoperitoneum merupakan kasus pertama kali yang ditemukan
pada saat ini, biasanya pengobatan pada pseudo-obstruksi intestine kronis adalah
pemberian pyridostigmine pada hewan. Adanya pneumoperitoneum mungkin
merupakan penyebab syncope pada pasien. pneumoperitoneum merupakan akibat
dari migrasi gas dari dinding saluran pencernaan . hal ini terjadi sebanyak 7%
dari kasus adanya pseudoobstruksi. Kasus lain yang diakibatkan karena
pneumoperitoneum spontan tanpa ruptur pada dinding intestine (peritonitis sepsis
karena bakteri clostridium, abses hepatik dan ruptur vesika urinaria)
dikecualikan. Pada kasus ini, peritonitis sepsis diakibatkan oleh bakteri P
multocida. Bakteri ini diperkirakan bermigrasi melalui dinding intestine
bersamaan dengan gas (O’dea et al., 2010).
pseudo-obstruksi intestine kronis adalah sindrom yang terkarakterisasi
dengan adanya dilatasi intestine kronis tanpa obstruksi mekanis yang diakibatkan
karena dismotilitas loop intestin. Kasus ini banyak terjadi pada anjing dan pernah
terjadi ada kuda, kucing dan sapi. Pada kucing pernah dilaporkan terjadi pseudo-
obstruksi intestine kronis dengan myopati visera. Dengan adanya atropi
muskulus longitudinal pada jejunum dan pergantian menjadi jaringan ikat
fibroblast dengan pleksus mesenterika masih normal. Pada kasus ini, muskulus
bagian dalam usus mengalami hipertropi tanpa namun tidak ada inflamasi dan
degenerasi sel pada tunica ini. Adanya inflamasi limfosit ringan dengan sedikit
infiltrasi neutrofil terpusat pada pleksus mesenterika dan juga terjadi lesi yang
parah (Eastwood, et al., 2005).
Berdasarkan literatur banyak kasus pseudo-obstruksi intestine kronis terjadi
pada anjing. Banyak dari kasus tersebut terdapat fibrosis dan infitrasi sel radang
pada tunika muskularis. Beberapa kasus terdapat adanya ganglioneuritis dengan
lesi inflamasi parietal. Pada beberapa kasus anjing juga ditemukan adanya
myopati viseral, leiomyositis dan enteropati sklerosis. Pada mausia,
ganglioneuritis lebih banyak yang bersifat idiopatik dan neoplasia. Pada hewan,
infeksi oleh simian immunodeficiency virus dapat mengakibatkan ganglionitis
intestin pada hewan makaka. Ganglionitis pada kasus ini seharusnya bersifat
idiopatik. Namun, akan sangat menarik bila dapat menemukan adanya bukti
herpesvirus dan FIV dengan metode PCR dan immunohistopatologi. Sindrom
neuropati lain seperti atypical dysautonomia atau myasthenia gravis dapat
dijadikan diagnosa banding. Neuropati lainnya seperti disautonomia atipikal atau
myasthenia gravis dipertimbangkan, namun tanda klinisnya tidak konsisten
dengan disautonomia dan kucing itu seronegatif untuk antibodi terhadap reseptor
asetilkolin (Eastwood, et al., 2005).
Pengobatan pseudo-obstruksi intestine kronis primer seringkali
mengecewakan baik pasien manusia, anjing, maupun kuda, dan prognosis
biasanya buruk. Selain pemberian nutrisi yang bagus, treatment parenteral pada
manusia berupa agen prokinetik seperti cisapride, neostigmine, ranitidine dan
bethanechol merupakan treatment yang paling umum digunakan. Dalam kasus
ganglioneuritis pada anjing, pengobatan dengan imunosupresif berupa
prednisolon dan cisapride memberikan perbaikan yang cukup bagus pada anjing
untuk jangka waktu tertentu yaitu 2,5 bulan. Dalam kasus lain, Dosis
imunosupresif kortikosteroid berhasil dan anjing tersebut tidak lagi menunjukkan
tanda klinis setelah penghentian treatment (O’dea et al., 2010).

V. Kesimpulan

Berdasarkan hasil anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan lanjutan


didapatkan kucing tersebut mengalami pseudo-obstruksi intestine kronis primer
karena ganglionitis. Terapi yang diberikan antara lain antibiotik, antiinflamasi
dan penguat otot. Kucing mengalami perbaikan selama tiga bulan diberikan
treatment.

VI. Daftar Pustaka


Eastwood JM, McInnes EF, White RN, et al. 2005. Caecal impaction and
chronic intestinal pseudo-obstruction in a dog. J Vet Med Ser A Physiol
Pathol Clin Med 2005; 52: 43–44.
Fox, James; Timothy Wang .2007. Inflammation, Atrophy, and Gastric Cancer.
Journal of Clinical Investigation. review.
Harvey AM, Hall EJ, Day MJ, et al. Chronic intestinal pseudo-obstruction in a
cat caused by visceral myopathy. J Vet Intern Med 2005; 19: 111–114.
Johnson, C.S.; Fales-Williams, A.J.; Reimer, S.B. Et Al. Fibrosing
Gastrointestinal Leiomyositis As A Cause Of Chronic Intestinal Pseudo-
Obstruction In An 8-Month-Old Dog. Vet. Pathol., V.44, P.106-109,
2007.
O’Dea CJ, Brookes JH and Wattchow DA. 2010. The efficacy of treatment of
patients with severe constipation or recurrent pseudo-obstruction with
pyridostigmine. Colorectal. Dis 2010; 12: 540–548.
Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi, Jakarta : EGC. 2002

You might also like