You are on page 1of 8

Bab II

Analisa Kasus

Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran Limbah Pengelolaan
lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum Pengelolaan secara terpadu
menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang
dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas isu,
permasalahan, peluang dan tantangan.

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:

1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.

2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk

dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.

8) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.

Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH
disebutkan:

(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media
lingkungan hidup.

(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media
lingkungan hidup Indonesia.

(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berada pada Menteri.

(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.

(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.

Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:


(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan
hidup.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan
pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang
melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan,
memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut UU 23 Tahun 1997 juga menggunakan
asas kerja sama (cooperation principle) dalam upaya preventif terhadap terjadinya kerusakan
lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi: “Pengelolaan lingkungan hidup,
dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan
perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.” Pasal 11 ayat (1):
“Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat
kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri”. Juga tercantum dalam Pasal 13 ayat (1): “Dalam rangka
pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada
Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.”

Asas kerjasama ini penting mengingat lingkungan hidup merupakan permasalahan global dan lingkungan
hidup adalah miliki kita bersama.

Upaya preventif juga dilakukan melalui jalur perijinan antara lain:

Pasal 15:

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur dalam PP No 27 tahun 1999.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai berpotensi berdampak negatif terhadap
lingkungan. AMDAL sebagai salah satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan
belum terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan suatu misi mengenai
kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 16-
17:

Pasal 16

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha
dan/atau kegiatan.

(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.

(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17 :

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya
dan beracun.

(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang

Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di
samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran dan perusakan.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang
benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1) UUPLH merupakan argumentasi
hukum yang substantive bagi sesorang untuk melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan
kedua fungsi hak perseorangan termasuk forum pengadilan.

Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini memang belum ada upaya hukum
yang dilakukan. Hal ini dikarenakan kurangnya peran pemerintah salam hal pengawasan serta belum
adanya keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka merasakan dampak
negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam menyelesaikan kasus ini.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
penegakkan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.

2. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.

3. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana

Sanksi Administrasi

Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah satu instrumen hukum yang
berperan bila kita bicara tentang penegakkan hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen
hukum administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena penyelesaiannya adalah di luar
lembaga peradilan. Dengan demikian, efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan
lingkungan. Sanksi administratif tercantum dalam pasal:

Pasal 25

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap


penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran,
serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.

(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada
Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.

(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang
untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat
perintah dari pejabat yang berwenang.

(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat sesuai izin dan apabila tidak,
akan dikenakan sanksi yang paling keras pencabutan izin usaha perusahaan pengalengan ikan yang
terbukti membuang limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu pihak yang berkepentingan dapat
mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau
kegiatan karena merugikan kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya adminisrtatif
adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses peradilan. Dalam kasus pengerusakan
lingkungan upaya ini terasa lebih relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya
yang cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.
Sanksi Perdata

Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam UUPLH terdapat dalam pasal
30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup,
mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau
melakukan tindakan tertentu. Pada ayat (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu,
hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan
tertentu tersebut. Selanjutnya pasal 34 tidak menetapkan lebih lanjut mengenai tata cara menggugat
ganti kerugian. Pengaturan mengenai tanggunggugat dan ganti rugi masih berlaku pasal 1365 BW.

Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:

Kesalahan

Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah melakuakan


perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability).
Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus
mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar Pengambengan yang diwakili
oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran limbah,
penggugat harus membuktikan adanya kesalahan dari pelanggar.

Kerugian (Schade)

Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam syarat ini harus dibuktikan adanya
kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971 Nomor 177
K/Sip/1971 disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna dan tidak disertai
pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima oleh pengadilan tidak
dapat dikabulkan oleh pengadilan”

Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: ”Setiap perbuatan melanggar hukum
berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain
atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti
rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”

Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Pengertian tanggungjawab
mutlak adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran
ganti rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum
pada umumnya.

Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 35:

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau
menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian
yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat
terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan terjadinya kerugian dengan kata lain,
pembuangan limbah tersebut harus terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha berupa
kematian tambak udang.

Relativitas

Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang atau suatu syarat dalam iizin
dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang
dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan perizinan. Mengenai siapa yang
berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk
melakukan gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UUPLH:

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak
hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk
kepentingan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sanksi Pidana

Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum
dalam Pasal 41:

Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama
sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat sebagai upaya terakhir (ultimum
remidium), namun dalam penegakkan hukum lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium)
karena tingkat kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.

Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut pasal 41 sampai Pasal 47 UUPLH
ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :

a. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau komponen lain ke dalam
Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan/ atau hayati Lingkungan Hidup
b. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/ tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya

c. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;

d. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan penurunan kualitas Lingkungan
Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;

e. kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana

Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan bukan oleh individu saja tetapi
oleh beberapa orang atau perusahaan, mengenai pencemaran yang dilakukan secara kolektif merujuk
pada Pasal 46 UUPLH:

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta
tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum,
perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik
berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi
pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin
tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar
hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain,
panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di
tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata
tertib sesuai pasal 47 UUPLH, yaitu berupa:

(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau

(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau

(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

(3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

(4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau


(5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun

BAB III

Penutup

Kesimpulan

Dapat ditarik kesimpulan dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:

1.Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil Semarang diatur dalam
UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan
menegakkan hukum.

2. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus pencemaran di Lingkungan
Industri Kecil adalah dengan penerapan instrumen hukum secara Administratif, Hukum Perdata, dan
Hukum Pidana. Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan sarana sanksi pidana
sebagai senjata pamungkas.

Saran

1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment) dari Lingkungan Indutri Kecil
tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus
mempunyai kondisi oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan di wilayah
ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain, sehingga dengan demikian dampak
terhadap lingkungan dapat dibatasi

2. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran lingkungan hidup. Apabila
upaya admisnitratif kepada perusahaan mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera
kepada pelakunya.

3. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM, serta dunia usaha
adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan
monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan terpadu yang melibatkan
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.

You might also like