You are on page 1of 175

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

HIPERTENSI DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN

INDONESIA TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan

Masyarakat (SKM)

Oleh:

Dina Adlina Amu


1111101000036

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015
i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2015

Dina Adlina Amu


NIM. 1111101000036
ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
Skripsi, 18 Agustus 2015

Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036


Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan
dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

xv + 159 halaman, 14 tabel, 4 bagan, 4 lampiran

ABSTRAK

Latar Belakang: Prevalensi hipertensi di perkotaan Indonesia lebih besar


dibandingkan di pedesaan, yaitu 26,1% versus 25,5%. Perubahan gaya hidup
akibat urbanisasi dan globalisasi berperan dalam perbedaan prevalensi hipertensi
tersebut. Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti diet tidak sehat dan kurang
aktivitas fisik membuat masyarakat perkotaan lebih berisiko mengalami
hipertensi. Sedangkan, diet tradisional dan gaya hidup aktif melindungi
masyarakat desa dari hipertensi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah
perkotaan dan pedesaan Indonesia tahun 2013. Metode: Penelitian ini adalah
analisis lanjut dari Riskesdas tahun 2013 sehingga desain studi yang digunakan
pun mengikuti Riskesdas, yaitu cross sectonal. Jumlah sampel penelitian ini
adalah 616.986 masyarakat berusia ≥ 15 tahun. Hubungan antara faktor risiko
dengan hipertensi ditentukan melalui nilai Prevalence Odds Ratio (POR) dan 95%
confidence interval (CI). Hasil: Aktivitas fisik < 600 MET/minggu [PORkota 1,051
(1,025-1,078)] [PORdesa 1,184 (1,152-1,217)], pernah merokok [PORkota 2,133
(2,06-2,31)] [PORdesa 2,024 (1,95-2,10)], konsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari
[PORkota 0,970 (0,950-0,991)] [PORdesa 1,028 (1,008-1,048)] dan konsumsi buah
< 2 porsi/hari [PORkota 0,821 (0,771-0,847)] [PORdesa 0,883 (0,808-0,965)] adalah
faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun
pedesaan Indonesia. Sedangkan, konsumsi sayur < 3 porsi/hari [POR 0,952
(0,933-0,970)] hanya berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dan konsumsi
makanan berlemak ≥ 1 kali/hari [POR 1,046 (1,027-1,064)] hanya berhubungan
dengan hipertensi di pedesaan. Simpulan: Hampir tidak ada perbedaan antara
faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di
pedesaan. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian hipertensi sangat penting
dilakukan untuk menurunkan prevalensi dan risiko hipertensi di wilayah
perkotaan dan pedesaan Indonesia.

Kata Kunci: hipertensi, kota, desa

Daftar bacaan: 141 (2000-2015)


iii

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH


FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
EPIDEMIOLOGY CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, 18th August 2015

Dina Adlina Amu, NIM: 1111101000036


Factors that Related to Hypertension in Urban and Rural Indonesia 2013

xv + 159 pages, 14 tables, 4 charts, 4 attachments

ABSTRACT

Background: The prevalence of hypertension in urban areas of Indonesia is


greater than in the rural areas, i.e. 26.1% versus 25.5%. Lifestyle changes due to
urbanization and globalization has different roles in the hypertension prevalence.
The lifestyles in urban communities, such as unhealthy diet and the lack of
physical activity make urban communities has the higher risk for hypertension.
Meanwhile, traditional diet and physically active lifestyles tend to protect the rural
communities from hypertension. Therefore, this study aims to determine the
associated factors of hypertension in urban and rural Indonesia in 2013. Methods:
This study is an advanced Riskesdas 2013 data analysis, so that the study design is
the same as Riskesdas, cross sectional. The number of samples of this study is
616,986 individuals aged ≥ 15 years. The relationship between risk factors and
hypertension is determined by the value of Prevalence Odds Ratio (POR) and
95% confidence intervals (CI). Results: Physical activity <600 MET/week
[PORurban 1.051 (1.025 to 1.078)] [PORrural 1.184 (1.152 to 1.217)], ex-smoker
[PORurban 2.133 (2.06 to 2.31)] [PORrural 2.024 (1.95 to 2.10)], salty foods
consumption ≥ 1 time/day [PORurban 0.970 (0.950 to 0.991)] [PORrural 1,028
(1,008- 1.048)] and fruit consumption <2 servings/day [PORurban 0.821 (0.771 to
0.847)] [PORrural 0.883 (0.808 to 0.965)] are the factors that associated with
hypertension in urban and rural areas. Meanwhile, vegetable consumption <3
servings/day [POR 0.952 (0.933 to 0.970)] are only associated with hypertension
in urban areas and fatty foods consumption ≥ 1 time/day [POR 1.046 (1.027 to
1.064)] is only associated with hypertension in rural areas. Conclusion: There are
almost no differences between the factors associated with hypertension in the
urban and rural areas. Therefore, prevention and control of hypertension are
essential to decrease the prevalence and risk of hypertension in urban and rural
area in Indonesia.

Keywords: hypertension, urban, rural

Reading list: 141 (2000-2015)


iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan Judul:

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI DI

WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN INDONESIA TAHUN 2013

Disusun Oleh:

Dina Adlina Amu


NIM. 1111101000036

Telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 18 Agustus 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Catur Rosidati, SKM, MKM Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D


NIP. 197502102008012018 NIP. 197904272005012005
v

PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Jakarta, 18 Agustus 2015

Penguji I

dr. Yuli Prapanca Satar, MARS


NIP. 19530730 198011 1 001

Penguji II

Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.Kes


NIP. 19750215 200901 2 003

Penguji III

dr. Sholah Imari, M.Kes


vi

Kupersembahkan Skripsi ini untuk Mama dan Papa yang tak henti berdoa

untukku hingga selalu ada semangat dan harapan baru untukku bangkit dari

segala kesedihan dan kelelahan dalam menuntut ilmu…

Dina Sayang Mama Papa.. ^_^ :*


vii

RIWAYAT HIDUP PENULIS

DATA DIRI
Nama : Dina Adlina Amu
Tempat, tanggal : Manado, 10 Desember 1993
lahir
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Suku : Gorontalo
No. Telp : 081244714014/081527412391
Alamat email : dina.amu@gmail.com
Alamat : Linawan, RT 001, Desa Linawan, Kecamatan Pinolosian,
Kabupaten Bolmong Selatan, Sulawesi Utara
Hobi : Membaca, traveling, penelitian
Kemampuan : Public speaking, pengoperasian komputer, bahasa
Inggris, enumerator, analisis data (SPSS, Epidata)
Nama Orang Tua : Ayah : Drs. Sofyan Amu, M.Si
Ibu : Djartin Monoarfa
Pekerjaan Orang : Ayah : PNS
Tua Ibu : Ibu rumah tangga

RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Al-Hasanah, Yogyakarta (1998-1999)
SDN 1 Sagan, Yogyakarta (1999-2001)
SDN 05 Manado (2001)
SDN 1 Tataaran, Tondano Selatan (2001-2005)
Mts. Pondok Pesantren Assalam Manado (2005-2008)
MAN Insan Cendekia Gorontalo (2008-2011)
Peminatan Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat (2011-2015)
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT. atas rahmat dan karuniaNya sehingga skripsi

ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi dengan judul “Faktor-Faktor

yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

Indonesia Tahun 2013” ditujukan untuk menjelaskan secara ilmiah faktor-faktor

apa saja yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

Indonesia tahun 2013 sehingga kedepannya diharapkan dapat dilaksanakan

penanggulangan dan pengendalian yang tepat.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik

karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima

kasih kepada:

1. Orangtua yang senantiasa memberikan dukukungan moral dan materi

sehingga penulis menjadi lebih bersemangat dalam menyelesaikan proposal

skripsi ini.

2. Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM dan Ibu Hoirun Nisa, M.Kes, Ph.D selaku

Dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan saran, arahan dan

motivasi.

3. Laboratorium data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik

Indonesia yang telah memenuhi permintaan data Riskesdas tahun 2013

sebagai bahan penelitian

4. Bapak Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta
ix

5. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Teman-teman seperjuangan Epidemiologi 2011 tercinta yang selalu

memberikan dukungan semangat, perhatian dan saran untuk perbaikan skripsi

ini. “Kalian luar biasa!”

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 PSKM FKIK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang juga memberi dukungan semangat sehingga

memotivasi penulis agar bisa wisuda bersama

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan proposal

skripsi ini, dimana tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Dalam pembuatan skripsi ini tentu masih memiliki keterbatasan dan perlu

perbaikan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun demi kemajuan penelitian selanjutnya.

Jakarta, 18 Agustus 2015

Dina Adlina Amu


x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

ABSTRAK ............................................................................................................. ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN...................................................................... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................... vii

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv

DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang ..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah .............................................................................................5

C. Pertanyaan Penelitian ........................................................................................5

D. Tujuan Penelitian ..............................................................................................6

1. Tujuan Umum ............................................................................................6

2. Tujuan Khusus ...........................................................................................6

E. Manfaat Penelitian ............................................................................................7

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .......................7

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia ..........................................................8

3. Manfaat bagi Peneliti Lain .........................................................................8

F. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................................8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 9

A. Hipertensi ..........................................................................................................9
xi

1. Definisi Hipertensi .....................................................................................9

2. Pengukuran Tekanan Darah .....................................................................10

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi ..........................................................12

4. Gejala Klinis ............................................................................................13

B. Epidemiologi Hipertensi .................................................................................14

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan .......................................15

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah

Perkotaan dan Pedesaan ...........................................................................22

D. Kerangka Teori ...............................................................................................46

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ............ 49

A. Kerangka Konsep ............................................................................................49

B. Definisi Operasional .......................................................................................53

C. Hipotesis .........................................................................................................57

BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 59

A. Desain Penelitian ............................................................................................59

B. Waktu dan Lokasi Penelitian ..........................................................................59

C. Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................................59

1. Populasi Penelitian ...................................................................................59

D. Metode Pengumpulan Data .............................................................................61

E. Instrumen Pengumpulan Data .........................................................................63

F. Manajemen Pengumpulan Data ......................................................................71

1. Filter ........................................................................................................71

2. Cleaning Data ..........................................................................................71

3. Coding Data .............................................................................................73


xii

G. Analisa Data ....................................................................................................75

BAB V HASIL ..................................................................................................... 77

A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di

Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ...............................77

B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .......79

C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan

dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ..............................................................79

D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ..............................................................81

E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah

Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .............................................83

F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan

Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .....................................................................84

BAB VI PEMBAHASAN.................................................................................... 87

A. Keterbatasan Penelitian ...................................................................................87

B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ..............................................................89

1. Faktor Sosiodemografi .............................................................................89

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit ..........................................................99

3. Faktor Gaya Hidup .................................................................................103

BAB VII PENUTUP.......................................................................................... 117

A. Simpulan .......................................................................................................117

B. Saran .............................................................................................................119
xiii

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 121

LAMPIRAN 1 .................................................................................................... 132

LAMPIRAN 2 .................................................................................................... 134

LAMPIRAN 3 .................................................................................................... 136

LAMPIRAN 4 .................................................................................................... 139


xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa ................................. 10

Tabel 2.2 Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia . 21

Tabel 3.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013 .................... 50

Tabel 3.2 Definisi Operasional Penelitian ............................................................ 53

Tabel 4.1 Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik

.............................................................................................................. 69

Tabel 4.2 Daftar Variabel dan Kuesioner ............................................................. 71

Tabel 4.3 Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data .............................................. 73

Tabel 4.4 Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013 .......... 74

Tabel 5.1 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di

Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 77

Tabel 5.2 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun

2013 .................................................................................................... 79

Tabel 5.3 Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan

Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ........................................................ 79

Tabel 5.4 Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah

Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................ 82

Tabel 5.5 Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di

Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 .................. 83

Tabel 5.6 Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan

dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013 ................................................. 84


xv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit Tidak

Menular .............................................................................................. 30

Bagan 2.2 Kerangka Teori ................................................................................... 48

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 50

Bagan 4.1 Alur Penyeleksian Data........................................................................ 72


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit

kardiovaskular yang menjadi isu kesehatan global saat ini. Data World Health

Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi

pada orang dewasa berusia ≥ 25 tahun di dunia adalah sekitar 38,4%. Data

tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di Asia Tenggara

mencapai 36,6%. Indonesia adalah negara dengan prevalensi hipertensi

tertinggi kedua setelah Myanmar untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu sekitar

41% (WHO, 2013; Krishnan dkk., 2013).

Trend kasus hipertensi pun terus meningkat dari tahun ke tahun seiring

dengan terjadinya transisi epidemiologi. Berdasarkan data WHO diketahui

terjadi peningkatan kasus sebanyak 400 kasus dari tahun 1980 sampai dengan

tahun 2008 dan diprediksikan kasus hipertensi akan mencapai 1,56 miliar di

tahun 2025 (WHO, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di

Indonesia menunjukkan bahwa 7,2% responden pernah didiagnosis dokter

mengalami hipertensi di tahun 2007 dan meningkat menjadi 9,4% di tahun

2013 (Kemenkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2013).

Karakteristik penyakit hipertensi yang asimtomatis menyebabkan

penyakit hipertensi diketahui setelah penyakit sudah parah (WHO, 2013). Jika

penyakit hipertensi tidak segera diobati maka berisiko menyebabkan penyakit

lain seperti, stroke, infark miokard, kerusakan jantung, demensia, kerusakan

1
2

ginjal dan kebutaan (WHO, 2014). Hasil penelitian Walker di Tanzania,

penderita hipertensi berisiko 2,14 kali terkena stroke (Walker, 2013). Hasil

meta-analisis Fowkes di seluruh negara di dunia menunjukkan bahwa orang

dengan hipertensi juga memiliki risiko 1,47 kali menderita penyakit arteri

periferal (Fowkes dkk., 2013).

Hipertensi juga menyebabkan kehilangan sekitar 3 tahun kesempatan

hidup pada penderita penyakit kardiovaskular (Rapsomaniki, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Cina, hipertensi merupakan

risiko terjadinya disability-adjusted life-years (DALYs), dimana terjadi

peningkatan kasus DALYs lebih dari 40% dari tahun 1990 sampai dengan

tahun 2010 (Yang dkk., 2013).

Dampak terburuk dari hipertensi adalah kematian dimana saat ini

hipertensi diperkirakan dapat menyebabkan 7,5 miliar kematian atau 12,8%

dari seluruh kematian (WHO, 2014). Penelitian Lim SS et al tahun 2012 juga

menunjukkan bahwa komplikasi akibat hipertensi menyebabkan 9,4 miliar

kematian di seluruh dunia setiap tahun (WHO, 2013). Di Asia Tenggara,

hipertensi menyebabkan 1,5 miliar kematian setiap tahun (WHO, 2011).

Urbanisasi dan globalisasi merupakan penyebab tidak langsung dari

peningkatan prevalensi hipertensi (Peer dkk., 2013). Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa keduanya merupakan faktor terjadinya perbedaan

prevalensi hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan (Addo dkk.,

2007; Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi dan

Nuwaha, 2013).
3

Penelitian Musinguzi dan Nuwaha pada masyarakat Uganda tahun 2012

menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di wilayah perkotaan lebih besar

dibandingkan pedesaan, yaitu 23,6% di perkotaan dan 21% di pedesaan

(Musinguzi dan Nuwaha, 2013). Hasil analisis Riskesdas di Indonesia tahun

2013 juga menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi di perkotaan lebih besar

dibandingkan pedesaan, yaitu 26,1% di perkotaan dan 25,5% di pedesaan.

Dampak dari urbanisasi dan globalisasi paling nyata terjadi di perkotaan

dimana gaya hidup masyarakat kota yang tidak sehat berisiko menyebabkan

hipertensi (Prabhakaran dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Peer dkk.,

2013). Masyarakat kota memiliki gaya hidup modern yang diikuti dengan

perubahan pola konsumsi makanan yang mengandung garam dan lemak

tinggi. Pola konsumsi makanan tersebut dapat mempengaruhi berat badan,

dimana biasanya disertai dengan konsumsi rokok, kurangnya aktivitas fisik

dan stres sehingga meningkatkan risiko terkena hipertensi (The Lancet,

2012).

Namun, gaya hidup masyarakat desa justru menunjukkan hal sebaliknya.

Diet tradisional masyarakat desa yang tinggi protein seperti susu fermentasi

yang mengandung bahan tambahan saponin dan fenolik dari tumbuhan dapat

mencegah hipertensi dengan menurunkan kadar kolesterol dalam darah

(Ngoye, 2014). Selain itu, gaya hidup aktif seperti lebih sering berjalan kaki

setiap hari memungkinkan masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi

(Moore, 2001). Oleh karena itu, kemungkinan ada perbedaan antara faktor-

faktor yang berhubungan dengan hipertensi di perkotaan dengan di pedesaan.


4

Penelitian Moreira dkk. (2013) menunjukkan bahwa jenis kelamin, usia,

kebiasaan merokok dan riwayat diabetes berisiko merupakan faktor risiko

hipertensi di wilayah perkotaan Brazil. Sedangkan, jenis kelamin, usia,

pendapatan rumah tangga yang rendah dan tidak adanya asuransi kesehatan

merupakan faktor risiko hipertensi di pedesaan.

Penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) menunjukkan bahwa

usia, jenis kelamin, obesitas dan kebiasaan merokok merupakan faktor-faktor

yang berhubungan dengan hipertensi pada masyarakat perkotaan. Sedangkan,

penelitian Mohan dkk. (2007) dan Hou dkk. (2008) pada masyarakat desa

memperlihatkan bahwa faktor ekonomi dan kurangnya pengetahuan terkait

risiko hipertensi berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah

peredesaan.

Tempat tinggal di pedesaan dan perkotaan berperan terhadap perubahan

gaya hidup berisiko hipertensi pada masyarakat di kedua tempat tersebut.

Penelitian terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia belum pernah dilakukan. Selain itu, sampel

Riskesdas telah mewakili seluruh masyarakat Indonesia sehingga dapat

mendiskripsikan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

Indonesia. Oleh karena itu, dengan tersedianya data terkait hipertensi dalam

Riskesdas tahun 2013, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan

dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun

2013 penting untuk dilakukan.


5

B. Rumusan Masalah

Kecenderungan prevalensi hipertensi secara global maupun nasional

terus meningkat seiring dengan terjadinya transisi epidemologi. Di samping

itu, prevalensi hipertensi di Indonesia lebih tinggi di wilayah perkotaan

dibandingkan di pedesaan. Urbanisasi dan globalisasi menjadi faktor yang

berperan penting karena keduanya mempengaruhi gaya hidup masyarakat.

Gaya hidup masyarakat perkotaan, seperti pola konsumsi makanan yang tidak

sehat dan aktivitas fisik yang kurang membuat masyarakat perkotaan lebih

berisiko mengalami hipertensi. Sebaliknya, diet tradsional dan budaya

berjalan kaki membuat masyarakat desa lebih terlindungi dari hipertensi.

Oleh karena itu, penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan

hipertensi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan di Indonesia pada tahun

2013 perlu dilakukan.

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)

masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

2. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik dan

riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di perkotaan

dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

3. Bagaimana proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya hidup

(aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi


6

makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah) masyarakat di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

4. Apakah ada hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur,

pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di perkotaan dan

pedesaan Indonesia pada tahun 2013

5. Apakah ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas

dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

6. Apakah ada hubungan antara faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan

merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,

konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan

pedesaan di Indonesia pada tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari dilakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan karakteristik

sosiodemografi (jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan)

masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013


7

b. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor fisik

dan riwayat penyakit (obesitas dan riwayat diabetes) masyarakat di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

c. Diketahuinya proporsi kejadian hipertensi berdasarkan faktor gaya

hidup (aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi makanan asin,

konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan konsumsi buah)

masyarakat di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

d. Diketahuinya hubungan faktor sosiodemografi (jenis kelamin,

umur, pendidikan dan pekerjaan) dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

e. Diketahuinya hubungan faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas

dan riwayat diabetes) masyarakat dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

f. Diketahuinya hubungan faktor gaya hidup (aktivitas fisik, kebiasaan

merokok, konsumsi makanan asin, konsumsi makanan berlemak,

konsumsi sayur dan konsumsi buah) dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

E. Manfaat Penelitian

Berikut ini adalah berbagai manfaat dari penelitian ini.

1. Manfaat bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dalam pembuatan program

pencegahan dan penanggulangan masalah hipertensi di Indonesia,


8

khususnya dalam menentukan program yang tepat untuk wilayah

perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

2. Manfaat bagi Masyarakat Indonesia

Penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan untuk memperbanyak

pengetahuan masyarakat, baik penderita hipertensi maupun bukan

penderita hipertensi, terkait berbagai faktor yang berhubungan dengan

hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia. Selanjutnya,

masyarakat diharapkan mampu untuk mencegah dan menanggulangi

masalah hipertensi baik secara individu maupun komunitas.

3. Manfaat bagi Peneliti Lain

Peneliti lain dapat melakukan analisis lanjutan berupa analisis multivariat

untuk melihat faktor gaya hidup apa yang lebih dominan dalam

mempengaruhi kejadian hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

Indonesia.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain

cross sectional yang dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia

pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli

tahun 2015 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penelitian ini

menggunakan data Riskesdas tahun 2013 sebagai bahan analisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan suatu kondisi ketika

pembuluh darah terus-menerus mengalami peningkatan tekanan (WHO,

2015). Tekanan darah adalah kekuatan yang dibutuhkan untuk

mendorong atau memompa darah agar dapat mengalir di dalam

pembuluh darah (Gunawan, 2001). Semakin tinggi tekanan, semakin kuat

jantung memompa darah (WHO, 2015).

Tekanan darah diukur dalam satuan milimeter merkuri (mmHg) dan

dinyatakan dalam dua angka, yaitu sistolik dan diastolik. Sistolik adalah

tekanan tertinggi pada pembuluh darah dan terjadi ketika jantung

berkontraksi atau berdetak. Sedangkan, diastol adalah tekanan terendah

ketika otot-otot jantung mengalami relaksasi (WHO, 2013).

Tekanan darah orang dewasa normal adalah kurang dari 120 mmHg

untuk diastol dan 80 mmHg. Sedangkan, tekanan darah tinggi atau biasa

disebut hipertensi adalah ketika tekanan darah telah mencapai ataupun

melebihi 140 mmHg (sistol) dan 90 mmHg (diastol). Berikut ini adalah

klasifikasi tekanan darah menurut Joint National Committee 7 (JNC 7)

(JNC, 2004).

9
10

Tabel 2.1
Klasifikasi Tekanan Darah untuk Orang Dewasa

Klasifikasi Tekanan Darah SBP* (mmHg) DBP** (mmHg)


Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Level 1 140-159 90-99
Hipertensi
Level 2 ≥160 ≥100
*Systolic Blood Pressure **Diastolic Blood Pressure
Sumber: Joint National Comitee (JNC), 2004

Beberapa referensi menyebutkan bahwa hipertensi adalah kondisi

dimana tekanan darah sistolik ≥140 dan tekanan darah diastolik ≥90

seperti yang dijelaskan dalam JNC 7. Namun, nilai tekanan darah

tersebut merupakan hasil rata-rata dari dua kali pengukuran tekanan

darah pada setiap dua atau lebih kunjungan setelah skrining awal. Selain

itu, kenaikan tekanan darah ini harus mempertimbangkan kondisi pasien,

dimana terdapat kondisi yang menyebabkan kenaikan tekanan darah

sesaat (Aiyagari, 2011; Kaplan dan Michael, 2010; Klabunde, 2005).

2. Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah sebaiknya memperhatikan jenis alat yang

digunakan, ukuran dan penempatan manset, penempatan stetoskop, posisi

tubuh dan lengan, keahlian pengukur serta frekuensi pengukuran

(Pickering dkk., 2005). Berikut ini adalah cara mengukur tekanan darah

yang sebaiknya dilakukan (Pickering dkk., 2005).

a. Spignomanometer merkuri sejauh ini masih menjadi gold standar

dalam pengukuran tekanan darah. Namun, penggunaan

spinomanometer ini dapat mengontaminasi lingkungan. Oleh karena

belum ada pengganti yang berlaku umum untuk spignomanometer


11

ini maka penggunaannya masih diperbolehkan dengan syarat harus

dilakukan pemeliharaan yang baik untuk menghindari kontaminasi

merkuri ke lingkungan. Selain itu petugas yang mengukur tekanan

darah pun harus: (1) terlatih; (2) mengetahui keadaan pasien yang

dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti kecemasan

dan baru mengonsumsi nikotin, sebaiknya pasien tidak mengonsumsi

rokok 30 menit sebelum pengukuran (Aiyagari, 2011); (3) mengatur

posisi pasien dengan benar (4) pemilihan dan penempatan manset

yang tepat dan (5) mengukur dengan metode oskilometrik auskulasi

atau otomatis serta merekam hasilnya dengan akurat.

b. Pasien harus duduk dengan nyaman menggunakan sandaran

punggung dan lengan atas dibiarkan terbuka tanpa tertupi oleh

pakaian yang tebal (Kaplan dan Michael, 2010). Lengan baju tidak

boleh digulung semedikan rupa sehingga memberikan efek torniket.

Kaki tidak perlu disilangkan.

c. Lengan harus disejajarkan dengan posisi jantung dan kantung manset

harus mengelilingi minimal 80% dari lingkar lengan (Kaplan dan

Michael, 2010). Apabila pengukuran dilakukan pada pasien dengan

posisi berbaring maka sebaiknya lengan ditopang dengn bantal.

d. Jarak antara fossa antecubital dengan ujung bahwah manset harus

sekitar 2-3 cm sehingga ada ruang untuk menempatkan stetoskop

(Kaplan dan Michael, 2010). Ukuran manset harus sesuai dengan

lingkar lengan pasien.


12

e. Kolom merkuri harus turun hingga 2 sampai 3 mm/s, suara pertama

yang terdengar akan menjadi tekanan sistolik dan suara yang

didengar terakhir kali akan menjadi tekanan diastolik. Kolom harus

dibaca dengan ketelitian 2 mmHg.

f. Baik pasien maupun pengamat harus berbicara selama pengukuran.

g. Pengukuran sebaiknya dilakukan 2 kali dengan selang waktu 1-2

menit (Kaplan dan Michael, 2010). Rata-rata dari kedua hasil

tersebut kemudian menjadi hasil akhir tekanan darah pasien. Namun,

ketika ada perbedaan 5 mmHg atau 10 mmHg antara pengukuran

pertama dengan kedua maka dilakukan pengukuran ulang kemudian

hasilnya dirata-ratakan (Kaplan dan Michael, 2010; Kemenkes RI,

2013). Hasil rata-rata dari semua pengukuran tersebut kemudian

menjadi tekanan darah akhir pasien.

3. Jenis dan Patofisiologis Hipertensi

Hipertensi terbagi 2, yaitu hipertensi primer dan hipertensi sekunder.

Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang hingga sekarang tidak

jelas penyebabnya. Interaksi faktor genetik dengan lingkungan yang

rumit kemudian dihubungkan oleh pejamu mediator neuro-hormonal

merupakan ciri dari hipertensi esensial. Sejauh ini hipertensi primer

disebabkan oleh peningkatan aktifitas sistem rennin-angiotensin-

aldosteron, system saraf simpatis, gangguan transport garam dan

interaksi yang kompleks antara resistensi insulin dengan fungsi endotel

(Brashers, 2003).
13

Berbeda dengan hipertensi primer, hipertensi sekunder lebih jelas

penyebabnya, yaitu karena adanya penyakit atau gangguan tertentu.

Contohnya, penyakit renovaskular yang terjadi karena aterosklerosis

yang menyebabkan penyempitan arteri renalis dikarenakan berkurangnya

perfusi ginjal. Selain itu ada juga hipertensi akibat peningkatan volume

darah (Baradero, 2005).

4. Gejala Klinis

Gejala klasik dari hipertensi adalah sakit kepala, epistaksis,

perdarahan hidung, dan pusing. Namun, berbagai studi mengindikasikan

frekuensi yang rendah atas gejala-gejala tersebut di populasi. Gejala lain

yang lebih umum di populasi adalah kemerahan, berkeringat, dan

pandangan kabur. Walaupun begitu, tidak sedikit juga yang asimtomatik

(tidak menunjukkan gejala) (Lilly, 2011).

Peningkatan tekanan, termasuk hipertropi ventrikel kiri dan

retinopati adalah beberapa tanda-tanda dari hipertensi. Selain itu,

hipertensi dengan komplikasi aterosklerosis akan menyebabkan arterial

bruits, khususnya pada karotid dan arteri femoral (Lilly, 2011).

5. Pencegahan Hipertensi

Penanggulangan kejadian hipertensi di masyarakat dapat dilakukan

dengan pengendalian faktor risiko. Pengendalian faktor risiko hipertensi

dapat dilakukan melalui upaya promosi kesehatan, yaitu komunikasi-

informasi-edukasi (KIE). Posbindu berperan besar dalam pelaksanaan

KIE di masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Pengendalian faktor risiko

meliputi (Kemenkes RI, 2013):


14

a. Makan gizi seimbang, yaitu dianjurkan untuk mengonsumsi sayur

dan buah 5 porsi/hari, melakukan pembatasan konsumsi gula, garam

dan makanan berlemak.

b. Mengatasai obesitas.

c. Olahraga teratur, yaitu disarankan senam aerobik atau jalan cepat

selama 30-45 menit (sejauh 3 kilometer) lima kali per minggu.

d. Berhenti merokok. Saran untuk berhenti merokok mungkin sulit

untuk dilakukan, tetapi konseling terkait rokok harus dilakukan agar

perokok dapat terus mendapatkan dorongan untuk berhenti merokok.

Selain itu, metode lain yang dapat digunakan adalah menyarankan

perokok untuk mennganti rokok dengan permen yang mengandung

nikotin dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu kebiasaan

merokok perlahan-lahan dapat ditinggalkan.

B. Epidemiologi Hipertensi

Hipertensi telah menjadi masalah global. Data WHO tahun 2008

menunjukkan bahwa prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25

tahun atau lebih adalah sekitar 38,4% (WHO, 2014). Penelitian Rapsomaniki

dkk. (2014) terhadap 1,25 miliar orang di Inggris diketahui bahwa 87% di

antaranya mengalami hipertensi.

Di Afrika, prevalensi pada tahun 2010 adalah sebesar 30,8% (Adeloye

dan Basquill, 2014). Di Brazil, prevalensi hipertensi tahun 2008 mencapai

20,9% (Moreira dkk., 2013). Di Cina, prevalensi hipertensi tahun 2006 pada

orang dewasa sebesar 26,6% (Xu dkk., 2008).


15

1. Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan

Urbanisasi dan globalisasi merupakan faktor penyebab tidak

langsung dari hipertensi (WHO, 2014; Peer, 2013; Sobngwi, 2004).

Beberapa penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa urbanisasi dan

globalisasi menjadi faktor penting yang menyebabkan adanya perbedaan

prevalensi hipertensi antara wilayah urban dengan rural (Prabhakaran

dkk., 2007; Addo dkk., 2007; Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Musinguzi

dan Nuwaha, 2013). Prevalensi hipertensi di wilayah urban lebih tinggi

dibandingkan wilayah rural (Prabhakaran dkk., 2007; Addo dkk., 2007;

Hou, 2008; Katz dkk., 2012; Chang, 2003; Paibul, 2003).

Urbanisasi sendiri didefinisikan sebagai perpindahan penduduk dari

desa ke kota. Berbagai alasan masyarakat desa memilih untuk migrasi ke

kota di antaranya adalah (Santy dan Buhari, 2015):

a. Masyarakat ingin hidup modern dan mewah. Media masa cetak dan

eloktronik memberikan informasi terkait kehidupan modern dan

mewah di kota sehingga mempengaruhi masyarakat desa untuk bisa

menikmatinya juga.

b. Kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perkembangan

industri di kota mempengaruhi masyarakat desa berpikir akan

memperoleh pekerjaan yang lebih baik jika mereka tinggal di kota.

c. Pendidikan. Kualitas pendidikan di desa yang minim menjadi alasan

masyarakat pindah ke kota agar memperoleh pendidikan yang lebih

baik. Fasilitas dan jenjang pendidikan di desa juga minim sehingga


16

masyarakat desa pindah ke kota agar dapat melanjutkan

pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, seperti universitas.

d. Fasilitas dan infrastruktur di kota lebih lengkap, seperti pelayanan

kesehatan, lapangan pekerjaan dan pendidikan. Selain itu, ada juga

fasilitas lain seperti tempat hiburan (bioskop, pusat perbelanjaan

modern, dan lain-lain).

e. Kesempatan untuk menjadi lebih maju dan hebat.

f. Memperoleh kebebasan personal. Beberapa orang menghindari

kehidupan di desa yang penuh kontrol sosial yang ketat.

Saat ini, kondisi urbanisasi di Indonesia semakin berkembang.

Pertambahan penduduk kota Indonesia yang diperkirakan mencapai 95%

dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2025 (Santoso, 2006). Selain itu,

perbedaan laju pertumbuhan penduduk daerah perkotaan dan pedesaan di

Indonesia tahun 2010-2015 adalah 17,26%. Perbedaan tersebut

diprediksikan akan terus meningkat setiap 5 tahun, yaitu mencapai

20,98% di periode tahun 2030-2035 (BPS, 2013).

Selain perkembangan urbanisasi, globalisasi juga semakin

berkembang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi terus

berkembang di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia. Walaupun

penggunaan internet di pedesaan masih minim, tetapi bukan berarti tidak

ada pengguna internet di pedesaan. Selain itu, telepon dan televisi bukan

merupakan hal baru di pedesaan (APJII, 2012; Hadiyat Y. D., 2014).

Pada tahun 2011, 95,56% rumah tangga di Indonesia adalah pengguna

televisi, 90% adalah pengguna telepon dan hanya 37,51% rumah tangga
17

yang memiliki akses internet. Artinya, sebagian besar masyarakat kota

maupun desa memperoleh informasi dari media televisi (Kemenkominfo,

2011).

Dampak buruk dari kemudahan memperoleh informasi di antaranya

adalah masyarakat tergiur dengan pengaruh iklan. Contohnya iklan

makanan cepat saji dan produk tekonologi yang mendorong masyarakat,

terutama remaja untuk mengonsumsinya dan menjadikannya gaya hidup

(Hutagalung I., 2004; Emalia R. D. dkk., 2009; Arief E. dkk., 2011;

APJII, 2013).

Selain itu, gadget atau smartphone yang tersambung dengan jaringan

internet sedang digemari oleh para generasi muda saat ini. Hal ini

membuat mereka menjadi jarang bergerak dan berolahraga karena

digunakan terlalu sering. Hasil penelitian Syamsoedin W. K. P. dkk

(2015) diketahui 30,6% remaja SMA Negeri 9 Manado mengakses

internet 5-6 jam/hari. Artinya, hampir seperempat dari kehidupan sehari-

hari mereka digunakan untuk mengakses internet.

Perkembangan urbanisasi dan globalisasi menjadi masalah ketika

tanpa didukung oleh fasilitas, peluang pekerjaan dan tempat tinggal.

Dampaknya adalah terjadi perubahan gaya hidup masyarakat desa,

dimana masyarakat desa mulai mengikuti gaya hidup modern (Santy dan

Buhari, 2015). WHO (2014) juga menjelaskan bahwa urbanisasi

memberikan pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat sehingga

masyarakat berisiko mengalami hipertensi. Gaya hidup berisiko yang


18

dimaksud adalah diet tidak sehat, aktvitas fisik kurang, merokok dan

konsumsi alkohol (WHO, 2014).

Penelitian di India menunjukkan prevalensi hipertensi lebih tinggi

pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural. Penelitinya berpendapat

bahwa urbanisasi berperan penting dalam hal ini karena urbanisasi

mengubah siklus kehidupan dan secara otomatis mengubah gaya hidup,

terutama terkait pola makan dan aktivitas fisik. Pola makan lebih

cenderung pada makanan yang mengandung lemak dan garam

dibandingkan yang mengandung serat seperti sayuran dan buah-buahan

(Prabhakaran dkk., 2007).

Sebuah penelitian di Afrika juga menununjukkan prevalensi

hipertensi lebih tinggi pada wilayah urban dibandingkan wilayah rural

disebabkan oleh adanya perbedaan gaya hidup di antara kedua wilayah

tersebut. Tingkat obesitas yang tinggi, konsumsi makanan berlemak dan

bergaram yang berlebih serta komitmen dengan jenis pekerjaan yang

menyebabkan kurangnya aktivitas fisik menjadi alasan mengapa

prevalensi hipertensi lebih tinggi di wilayah urban (Addo dkk., 2007).

Keberadaan dan ketersediaan sistem transportasi, mesin pencuci piring,

mesin cuci dan remote control di era globalisasi mengurangi aktivitas

fisik masyarakat kota (Ekezie dan Anthony, 2011).

Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa prevalensi

hipertensi antara wilayah urban dengan rural tidak jauh berbeda (Adeloye

dan Basquill, 2014; Moreira dkk, 2013; Okpechi dkk., 2014). Misalnya,

prevalensi hipertensi pada wilayah urban dengan wilayah rural di Brazil


19

yang tidak jauh berbeda, yaitu 21% dan 20,1% (Moreira dkk., 2013). Hal

ini karena golabalisasi tidak selamanya memberikan dampak buruk bagi

kesehatan masyarakat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi

serta berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di

perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh

informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P. dkk.,

2010).

Selain itu, sebenarnya sulit untuk melakukan pembedaan antara

masyarakat perkotaan dengan pedesaan. Seberapa kecilnya suatu desa

masih bisa terpengaruh oleh masyarakat kota. Hal ini karena adanya

hubungan antara konsentrasi masyarakat dengan gejala-gejala sosial

berupa urbanisme. Urbanisme merupakan kondisi dimana adanya

masyarakat desa yang tinggal di kota sesekali kembali ke desa dan

membawa gaya hidup di kota sehingga sebagian masyarakat desa ada

yang menirunya (Soekanto, 2009). Penduduk desa yang datang ke kota

bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya

berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony, 2011)

Berdasarkan peraturan No. 37 Tahun 2010, pengertian perkotaan dan

pedesaan adalah sebagai berikut.

a. Perkotaan adalah status suatu wilayah administrasi setingkat

desa/kelurahan yang memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.

b. Pedesaan adalah suatu wilayah administrasi setingkat/desa/kelurahan

yang belum memenuhi klasifikasi wilayah perkotaan.


20

Kriteria klasifikasi wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia terdapat

dalam Tabel 2.3. Sedangkan, berikut ini adalah perbedaan antara

masyarakat kota dan desa (Soekanto, 2009).

a. Masyarakat Perkotaan

1) Jumlah penduduk tidak tentu

2) Masyarakat bersifat individualis

3) Perubahan sosial terjadi secara cepat, menimbulkan konflik

antara golongan muda dengan golongan orang tua

4) Interaksi lebih disebabkan faktor kepentingan daripada faktor

pribadi

5) Perhatian lebih pada penggunaan kebutuhan hidup yang

dikaitkan dengan masalah gengsi

6) Kehidupan keagamaan lebih longgar

7) Banyaknya pengangguran, meningkatnya kriminalitas, persoalan

rumah dan lain-lain yang merupakan dampak negatif dari

kedatangan para migran yang berasal dari daerah

b. Masyarakat Pedesaan

1) Antarwarga memiliki hubungan yang lebih erat

2) Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar

kekeluargaan

3) Umumnya hidup dari pertanian

4) Golongan orang tua berperan penting

5) Dari sudut pemerintahn, hubungan antara penguasa dengan

rakyat bersifat informal


21

6) Masyarakat lebih mengutamakan kebutuhan pokok

7) Kehidupan keagamaan lebih kental

8) Banyak yang berurbanisasi ke kota

Dalam penentuan wilayah sesungguhnya tidak dapat langsung

digolongkan menjadi desa atau kota. Hal ini karena tidak semua desa

merupakan daerah tertinggal. Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi

di wilayah Barat Indonesia sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian

Timur. (Kemendesa, 2013). Oleh karena itu, sebaiknya ada tingkatan

dalam pengkategorian wilayah desa atau kota.

Tabel 2.2
Penentuan Klasifikasi Wilayah Perkotaan dan Pedesaan di
Indonesia

No. Variabel/Klasifikasi Skor


Total Skor
 Skor minimum 2
 Skor maksimum 26
1. Kepadatan penduduk
< 500 1
500 - 1.249 2
1.250 - 2.499 3
2.500 - 3.999 4
4.000 - 5.999 5
6.000 - 7.499 6
7.500 - 8499 7
8.500 < 8
2. Persentase rumah tangga pertanian
70,00 < 1
50,00 – 69,99 2
30,00 – 49,99 3
20,00 – 29,99 4
15,00 – 19,99 5
10,00 – 14,99 6
5,00 – 9,99 7
< 5,00 8
3. Akses fasilitas umum 0, 1, 2, …, 10
a. Sekolah Taman Kanak-Kanak (TK)
1) Ada atau ≤ 2,5 km 1
2) > 2,5 km 0
22

No. Variabel/Klasifikasi Skor


b. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
1) Ada atau ≤ 2,5 km 1
2) > 2,5 km 0
c. Sekolah Menengah Umum (SMU)
1) Ada atau ≤ 2,5 km 1
2) > 2,5 km 0
d. Pasar
1) Ada atau ≤ 2 km 1
2) > 2 km 0
e. Pertokoan
1) Ada atau ≤ 2 km 1
2) > 2 km 0
f. Bioskop
1) Ada atau ≤ 5 km 1
2) > 5 km 0
g. Rumah Sakit
1) Ada atau ≤ 5 km 1
2) > 5 km 0
h. Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon
1) Ada 1
2) Tidak ada 0
i. Persentase Rumah Tangga Telepon
1) ≥ 8,00 1
2) < 8,00 0
j. Persentase Rumah Tangga Listrik
1) ≥ 90,00 1
2) < 90,00 0
Total Skor ≥ 10 = Desa/Kelurahan Perkotaan (Urban)
Total Skor < 10 = Desa/Kelurhan Pedesaan (Rural)
Sumber: BPS, 2010

2. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah


Perkotaan dan Pedesaan

WHO (2014) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berkontribusi

terhadap peningkatan prevalensi hipertensi adalah usia, kemiskinan,

pelayanan kesehatan, genetik, stres, obesitas, aktivitas fisik, merokok,

konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan lemak berlebih dan

kurang mengonsumsi sayur dan buah. Berikut ini merupakan pejelasan


23

faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi

hipertensi.

a. Jenis Kelamin

Penelitian Kannan dan Satyamoorthy (2009) dan Mohan dkk.

(2007) menyebutkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin

dengan hipertensi. Penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil, risiko

hipertensi lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-

laki, baik wilayah rural maupun urban.

Di wilayah rural Liaoning Cina, perempuan berisiko 1,293

mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008). Di

wilayah urban India, prevalensi hipertensi juga lebih tinggi pada

perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran dkk., 2007).

Perempuan akan lebih berisiko pada usia >50 tahun dibandingkan

dengan laki pada usia yang sama (Howteerakul dkk., 2006).

Perempuan berusia >40 tahun lebih berisiko mengalami

hipertensi daripada laki-laki karena pengaruh hormon estrogen.

Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah istirahat

ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari peningkatan

aktivitas saraf simpatis otot. Oleh karena itu, prevalensi ataupun

risiko hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah

menopouse (Robertson, 2012).

Namun, pada beberapa penelitian prevalensi ataupun risiko

hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki. Di Chennai, prevalensi

hipertensi pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan (laki-


24

laki: 23,2% perempuan: 17,1%) (Mohan, 2007). Penelitian

Howteerakul dkk. (2006) di wilayah rural Thailand menunjukkan

bahwa rata-rata tekanan darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi

pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.

Penelitian Howteerakul dkk. (2006) menjelaskan bahwa laki-

laki berusia <50 tahun berisiko mengalami hipertensi lebih tinggi

dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena

mereka cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko

hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.

Hasil penelitian Peer dkk. (2013) juga menjelaskan prevalensi

hipertensi lebih laki-laki tinggi dibandingakan perempuan karena

perempuan lebih baik dalam mengontrol hipertensi. Hal tersebut

dikarenakan perempuan lebih mudah menerima pengobatan dan

lebih mudah mengubah gaya hidup. Selain itu, perempuan lebih

sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan untuk keperluan

kesehatan Ibu dan Anak sehingga mereka memiliki kesempatan

memeriksakan tekanan darah. Sedangkan, laki-laki lebih tertarik

pada urusan pekerjaan dibandingkan mengunjungi pelayanan

kesehatan, terutama saat jam kerja masih berlangsung (Peer dkk.,

2013).

b. Umur

Umur sering dihubungkan dengan kejadian hipertensi. Hal ini

karena seiring dengan pertembahan usia, elastisitas pembuluh darah

arteri semakin berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh adanya


25

penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis,

berfragmen dan patahan dari serat elastin. Selain itu, seiring

pertambahan usia terjadi abnormalitas struktural berupa disfungsi

endotel sehingga meningkatkan kekakuan pada pembuluh darah

arteri orang tua (Black dkk., 2007).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan

antara usia dengan hipertensi (Kannan dan Satyamoorthy, 2009;

Howteerakul dkk., 2006; Xu dkk., 2008). Prevalensi dan risiko

hipertensi akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya

usia (Hou, 2008; Musingizi dkk., 2013; Howteerakul dkk., 2006;

Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, risiko hipertensi terus meningkat

seiring dengan bertambahnya usia bahkan hingga 11,53 kali ketika

seseorang berusia 75 tahun (Rahajeng dan Tuminah., 2009). Laporan

hasil Riskesdas tahun 2013 juga menunjukkan bahwa sebagian besar

lansia cenderung mengalami hipertensi, yaitu 57,6% kemudian

disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013)

Di Brazil, baik di wilayah rural maupun urban, risiko hipertensi

semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang.

Namun, risiko hipertensi lebih besar pada wilayah urban

dibandingkan dengan wilayah rural (Moreira dkk., 2013). Selain itu,

penelitian di wilayah rural Thailand menunjukkan adanya hubungan

antara usia dengan hipertensi dan orang dengan usia >40 tahun

berisiko 4,2 kali mengalami hipertensi dibandingkan yang berusia

≤40 tahun (Howteerakul dkk., 2006).


26

c. Pendidikan

Hasil penelitian Yang dkk. (2006) dan Okpechi dkk. (2013)

membuktikan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan

hipertensi. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia

dan Penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina menunjukkan bahwa

semakin rendah tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi

pula risiko mengalami hipertensi. Penelitian di wilayah urban Afrika

Selatan menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan ≤7

tahun dengan kejadian hipertensi (Peer dkk., 2013). Selain itu, di

Brazil, orang yang menempuh pendidikan selama ≥15 tahun dapat

terlindungi dari risiko hipertensi sebesar 0,69 kali di wilayah urban

dan 0,75 kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

Hubungan antara pendidikan dengan hipertensi bisa dikatakan

hubungan tidak langsung. Hal ini karena adanya peran pengetahuan,

dimana tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang, pengetahuan yang baik kemudian akan menimbulkan

kesadaran. Kesadaran masyarakat tentang faktor risiko hipertensi

akan membuat mereka dengan sukarela mengubah gaya hidup (Aung

dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

Tingkat pendidikan formal yang rendah merupakan salah satu

hambatan untuk menimbulkan kesadaran terhadap faktor risiko

hipertensi pada masyarakat desa dan penduduk minoritas (Aung

dkk., 2012). Hasil penelitian Aung dkk. (2012) pada masyarat desa

etnis Karen di Thailand membuktikan bahwa responden yang


27

memperoleh pendidikan formal 6,5 kali lebih tahu tentang hipertensi

dibandingkan yang tidak memperoleh pendidikan formal. Penelitian

Viera dkk. (2008) di California juga membuktikan bahwa responden

dengan tingkat pendidikan rendah berisiko 2,43 kali memiliki

pengetahuan tentang hipertensi yang rendah.

Namun, tingkat pengetahuan cukup pun belum bisa menjamin

terciptanya perilaku yang baik karena menurut teori Lehendroff dan

Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga

kemauan (Sudarma M., 2008). Informasi yang diterima masyarakat

di luar lingkungan pendidikannya juga berperan penting terhadap

peningkatan pengetahuan (Suhardi dkk., 2014; Shaikh, 2011). Oleh

karena itu, metode penyuluhan yang diterapkan pun perlu

diperhatikan agar menarik minat masyarakat. Hal ini karena setiap

masyarakat memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Maulana H.

D. J., 2009).

d. Pekerjaan

Penelitian Peer dkk. (2013), Kannan L. dan Satyamoorthy

(2009) dan Yang dkk. (2006) diketahui bahwa ada hubungan antara

status pekerjaan dengan kejadian hipertensi. Di Brazil, orang yang

bekerja dapat terhindar dari hipertensi sebesar 0,73-0,88 kali pada

wilayah urban dan 0,79-0,81 kali pada wilayah rural dibandingkan

dengan yang tidak bekerja (Moreira dkk., 2013). Sedangkan di

Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami

hipertensi (Rahajeng dan Tuminah., 2009).


28

Orang yang bekerja dapat terlindungi dari hipertensi karena

dirinya melakukan aktivitas fisik yang baik untuk peredaran darah

(Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Namun, Yang dkk. (2006)

menjelaskan bahwa jam kerja yang panjang dapat meningkatkan

risiko hipertensi melalui beberapa hal. Pertama, jam kerja yang

panjang akan mengurangi waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur

sehingga berdampak gangguan proses psikologis. Kedua, jam kerja

yang panjang berhubungan dengan gaya hidup dan perilaku,

termasuk merokok, diet tidak sehat dan kurang aktivitas fisik. Lebih

jauh lagi, jam kerja yang panjang membuat pekerja terpajan kondisi

psikologis berbahaya di lingkungan kerja dalam waktu yang lama.

Selain itu jenis dan kondisi lingkungan kerja dapat menjadi

faktor risiko dari hipertensi. Contohnya, pekerja industri yang

terpapar kondisi lingkungan kerja yang panas dan bising dapat

berisiko terkena hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P.,

2005; Rodahl K., 2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk.,

2014). Kondisi lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres

yang dapat tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi (Rodahl

K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014).

Peningkatan tekanan darah juga dapat terjadi ketika kondisi

lingkungan bising karena dapat mempengaruhi viskositas plasma dan

menyebabkan penyempitan pembuluh darah (Greenberg M. I. dkk.,

2003; Juan P., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Selain itu, jenis

pekerjaan seperti pegawai negeri sipil, pekerja bank, supir, petugas


29

pengamanan (security) dan pekerjaan yang mengandalkan mesin

otomatis membuat para pekerja menjadi kurang beraktivitas fisik

sehingga berisiko hipertensi (Kumar P. dkk., 2002; Divan V. dkk.,

2010; Bosu, 2014).

Pengendalian risiko kesehatan kerja penting dilakukan sebagai

upaya pencegahan hipertensi akibat kerja, baik itu melalui

manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun

penguran sumber pemapar. Pengaturan waktu kerja penting untuk

mengurangi keterpaparan suhu tinggi dan kebisingan di lingkungan

kerja. Penyediaan alat pendingin ruangan ataupun ruang ruang

pendingin khusus pekerja juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi

lingkungan kerja yang panas. Selain itu, penggantian alat sumber

kebisingan dengan alat yang lebih rendah tingkat kebisingannya

dapat menjadi solusi untuk mengurangi kebisingan di lingkungan

kerjaa (Hughes P. dan Ferret E., 2011).

e. Kemiskinan

WHO (2011) menjelaskan bahwa kemiskinan secara tidak

langsung dapat menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti yang

terlihat pada Bagan 2.1. Lebih khusus, pendapatan keluarga yang

tinggi akan mempermudah seseorang dalam memperoleh informasi,

cara pencegahan, pengobatan dan diagnosis segera penyakit

hipertensi (Mion dkk., 2004). Hasil penelitian Mion dkk. (2004) di

Brazil menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah

meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66 kali.


30

Penelitian kohort oleh Conen dkk. (2009) pada tenaga kesehatan

perempuan di Rumah Sakit juga membuktikan bahwa pendapatan

yang rendah berhubungan dengan hipertensi (P = 0,05). Semakin

rendah pendapatan maka semakin meningkat risiko hipertensi.

Penelitian Conen dkk. (2009) juga menjelaskan bahwa status sosial

ekonomi yang rendah menyebabkan hipertensi karena adanya

pengaruh akses ke pelayanan bekualitas, diet, dukungan sosial, stres

emosional, dan lingkungan tetangga yang tidak menguntungkan.

Bagan 2.1
Konsep Kemiskinan Berkontribusi terhadap Masalah Penyakit
Tidak Menular

Sumber: WHO, 2010

Kearney dkk. (2005) menjelaskan bahwa kemiskinan menjadi

faktor dalam pemilihan makanan. Pendapatan yang rendah akan

menurunkan kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu,

pendapatan yang rendah mendorong individu untuk bekerja lebih

giat sehingga lebih memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar

rumah. Hal ini sering terjadi pada masyarakat perkotaan.


31

Di Indonesia, status ekonomi berhubungan dengan kejadian

hipertensi pada masyarakat miskin (P = 0,000) (Indrawati dkk.,

2009). Penelitian Khanam dkk. (2015) pada masyarakat pedesaan di

Bangladesh juga menunjukkan bahwa status ekonomi berhubungan

dengan hipertensi (P < 0,0001). Sebaliknya, penelitian Khan dkk.

(2013) tidak menunjukkan adanya hubungan dari status sosial

ekonomi dengan hipertensi.

f. Akses ke Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan berperan penting dalam penanggulangan

penyakit kardiovaskular, terutama pelayanan kesehatan primer.

Pelayanan kesehatan diharapkan dapat menyediakan obat-obatan

yang cukup dan pemeriksaan untuk penyakit kardiovaskular.

Sulitnya akses untuk memperoleh pelayanan kesehatan akan

mempersulit masyarakat untuk memperoleh informasi, pemeriksaan

dan pengobatan penyakit kardivaskular (WHO, 2014).

Hasil systematic review Maimaris dkk. (2013) menunjukkan

bahwa jarak ke pelayanan kesehatan berhubungan dengan hipertensi,

dimana dalam penelitian Ambaw dkk (2012) jarak >30 menit

meningkatkan risiko hipertensi sebesar 2,02 kali. Di Indonesia,

sebagian besar masyarakat memerlukan waktu 16-30 menit (34,4-

37,7%) untuk sampai ke sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah

Sakit. Selain itu, sebagian besar masyarakat memerlukan waktu < 15

menit (60-80%) untuk sampai ke Puskesmas, Puskesmas pembantu,

praktik dokter/klinik, praktik bidan atau rumah bersalin, Pos


32

Kesehatan Desa (Poskesdes), Pos Lintas Desa (Polindes) dan

Posyandu (Kemenkes RI, 2013).

Untuk pergi ke sarana pelayanan kesehatan, sebagian besar

masyarakat menggunakan sepeda motor (sekitar 70%) dan biaya

transportasi menuju unit kesehatan berbasis masyarakat terdekat

adalah ≤ Rp.10.000.. Namun, ada sekitar 5% masyarakat dengan

status ekonomi rendah yang harus menggunakan alat transportasi

lebih dari satu. Selain itu, sekitar 45% masyarakat ekonomi rendah

menempuh perjalanan ke Rumah Sakit pemerintah terdekat selama >

60 menit (Kemenkes RI, 2013).

Secara finansial, upaya pencegahan hipertensi dan pelayanan

kesehatan terhadap penderita hipertensi telah ditanggulangi oleh

pemerintah Indonesia melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

(BPJS, 2014). Indonesia juga memiliki Pos Pembinaan Terpadu

(Posbindu) sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan berbasis

masyarakat yang berperan penting terhadap deteksi dini penyakit

jantung dan pembuluh darah dan pembinaan gaya hidup sehat pada

masyarakat (Kemenkes RI, 2013). Namun, berdasarkan hasil

penelitian Handayani (2012) pemanfaatan Posbindu oleh para lansia

di Kecamatan Ciomas masih rendah, yaitu 23%. Jarak, dukungan

keluarga, peran kader dan peran petugas kesehatan adalah faktor

yang berhubungan dengan rendahnya pemanfaatan Posbindu

(Handayani, 2012).
33

g. Genetik

Faktor genetik berpengaruh terhadap hipertensi karena memiliki

peran dalam metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel

(Depkes, 2006). Namun, Hipertensi secara patofisiologis tidak hanya

dipengaruhi oleh regulasi otak dan ginjal. Namun, menurut paradigma

biologi molekular, hipertensi juga dipengaruhi oleh regulasi endotel

Relaxing factor dapat diproduksi oleh endotel yang berperan sebagai gas

vasoaktif, yaitu nitric oxide (NO) (Sulastri, 2011).

Produksi NO dikendalikan oleh gen eNOS3. Glu298Asp merupakan

salah satu polimorfisme gen eNOS3 yang berhubungan dengan kejadian

hipertensi. Mutasi yang terjadi berupa subtitusi guanine menjadi timin pada

exon 7 posisi 894 yang menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi

protein matur dari glutamat menjadi aspartat pada posisi 298. Polimorfisme

Glu298Asp (G894T) sebagai varian yang berperan terjadinya hal tersebut

menyebabkan penurunan ketersediaan biologi dari senyawa NO (Sulastri,

2011).

Hubungan fungsi NO dengan kejadian hipertensi adalah NO

menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dengan cara menghambat

pelepasan renin dan norepinefrin secara tidak langsung. Sintesis NO juga

di bawah nilai basal (normal 25 µM/L-45 µM/L) pada penderita hipertensi

esensial. Akibatnya, terjadi peningkatan tahanan perifer karena efek

vasodilatasi terhadap pembuluh darah menurun (Sulastri, 2011).

Selain gen eNOS3, gen CYP11B2 varian T(-344)C adalah salah satu

polimorfisme yang berhubungan dengan hipertensi. Gen ini merupakan

polimorfisme single nucleotide varian T(-344)C dan satu-satunya penyandi

aldosterone synthase. Polimorfisme gen yang lebih sering ditemukan pada


34

ras Asia ini terjadi pada promoter region yang mempengaruhi putative

binding site steroidogenic transcription factor-1 (SF-1) (Sundari, 2013).

Penelitian Sundari dkk, (2013) menjelaskan bahwa telah terjadi mutasi

genetik pada gen CYP11B2 varian T(-344)C, yaitu basa Thymine (T)

substitusi menjadi Cytosine (C) pada kodon 344. Mutasi terjadi pada 8,3%

individu dengan genotip homozigot CC. Hal ini berarti dapat diasumsikan

bahwa telah terjadi polimorfisme pada promoter region gen CYP11B2

varian T(-344)C pada pasien hipertensi di wilayah pantai. Mutasi ini

kemudian terkait dengan peningkatan kadar aldosteron yang dapat

merangsang aktivitas epithelial Na+ channel (EnaC) yang merupakan

etiologi hipertensi esensial.

Penelitian Sundari (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan

homozigot TT akan lebih rentan terkena hipertensi dibandingkan TC dan

CC. Hal ini dimungkinkan individu homozigot TT kurang adaptif sehingga

promoter region polimorfisme gen CYP11B2 varian T(-344)C sensitif

terhadap stimulus angitensin II. Akibatnya, terjadi peningkatan angiotensin

II dalam plasma yang membuat individu homozigot rentan mengalami

hipertensi.

Selain mutasi dua gen tersebut, ada juga mutasi gen NPHS2

(412C→T, 419delG) yang manifestasi klinisnya adalah hipertensi. Namun,

penelitian Rachmadi dkk. (2011) tidak menemukan adanya hubungan

antara mutasi gen tersebut dengan kemunculan hipertensi sebagai

manifestasi klinis dari sindrom nefrotik resisten steroid pada anak. Selain

itu, ada beberapa mutasi gen lain yang menyebabkan terjadinya hipertensi.

Ada sekitar sepuluh mutasi genetik yang terkait dengan kejadian hipertensi

berdasarkan hukum Mendelian. Liddle’s syndrome adalah salah satu

contohnya (Carretero, 2000).


35

h. Stres

Stres dapat merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon

adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat

sehingga dapat meningkatkan tekanan darah. Stres yang kronis akan

berdampak pada perubahan patologis tubuh karena adanya kelainan

organis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit

maag (Kemenkes RI, 2006).

Berdasarkan penelitian Sirait dan Riyadina (2010) pada pekerja

industri di kawasan industri Pulogadung, stres berhubungan dengan

hipertensi (0,013). Penelitian South dkk. (2014) juga menunjukkan

adanya hubungan antara stres dengan hipertensi (P = 0,002).

Sebaliknya, penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) dan Agyei

dkk. (2014) menunjukkan tidak adanya hubungan antara stres

dengan hipertensi.

Selain berhubungan langsung dengan hipertensi, stres juga

memicu orang untuk berperilaku merokok. Penelitian Liu dkk.

(2015) dan Cui dkk. (2012) menjelaskan bahwa faktor stres adalah

penyebab perilaku merokok pada imigran Cina yang tinggal di kota,

terutama stres kerja. Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota

Makassar juga menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor

pemicu para mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay, dkk., 2014).

Stres juga menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki

di kota Medan (Hasnida dan Kemala, 2005).


36

i. Obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2

(Kemenkes RI, 2013). Namun, WHO mendefinisikan obesitas

sebagai keadaan dimana indeks masa tubuh ≥30 kg/m2 (WHO,

2014). Hasil penelitian sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa

indeks massa tubuh pada masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi

dibandingkan dengan masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang,

2015). Berbagai penelitian membuktikan bahwa obesitas berisiko

menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk.,

2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009).

Penelitian di wilayah rural Brazil menunjukkan bahwa obesitas

berisiko 1,21 kali menyebabkan hipertensi pada laki-laki dan 5,45

kali pada perempuan (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas

menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan

orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang

mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi

(Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Penderita obesitas akan lebih mudah mengalami hipertensi. Hal

ini karena pada penderita obesitas terjadi ketidaknormalan

mekanisme kontrol terhadap tekanan arterial. Ketidaknormalan itu

umumnya berupa hiperinsulinemia yang meyebabkan aktivasi

system saraf simpatis dan penyimpanan sodium sehingga

menyebabkan peningkatan tekanan darah dan hipertensi (Goran M. I.

dan Sothern, 2006; Hu, 2008). Penderita obesitas juga dapat


37

menyebabkan diabetes terlebih dulu sebelum hipertensi. Berdasarkan

penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa obesitas merupakan

faktor yang berhubungan dengan diabetes (Jelantik dan Heryati,

2014; Hussain A. dkk., 2010).

j. Riwayat Diabetes

Diabetes merupakan salah satu faktor risiko dari hipertensi. Hal

ini karena orang dengan diabetes dapat menderita resistensi insulin.

Resistensi insulin akan meningkatkan tekanan darah karena

hilangnya aktivitas vasodilator normal dari insulin atau efek jangka

panjang dari hiperinsulinemia (Holt, 2011).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antra

diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di

Brazil, riwayat diabetes meningkatkan risiko hipertensi sebesar 4,43

kali (urban) dan 4,61 kali (rural) (Moreira dkk., 2013). Di India,

orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi

(Kannan dan Satyamoorthy, 2009).

Penelitian Basuki dan Setianto (2001) pada masyarakat Sunda di

Kabupaten Bogor membuktikan bahwa riwayat diabetes berisiko

2,45 kali mengalami hipertensi. Namun, penelitian Rahajeng di

Indonesia justru menunjukkan bahwa riwayat diabetes tidak

memberikan risiko yang signifikan untuk mengalami hipertensi

(Rahajeng dan Tuminah, 2009).


38

k. Konsumsi Alkohol

Peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume eritrosit

serta kekentalan darah diduga berperan dalam menaikkan tekanan

darah. Konsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap hari

akan memberikan efek terhadap tekanan darah (Depkes RI, 2006).

Penelitian kohort Forman (2009) pada para mahasiswa keperawatan

di Amerika Serikat menunjukkan bahwa risiko hipertensi semakin

meningkat seiring dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan adanya hubungan

antara konsumsi alkohol dengan hipertensi (Sobngwi dkk., 2003; Xu

dkk., 2008; Hou, 2008; Kannan dan Satyamoorthy, 2009; Yao dkk.,

2010; Khan dkk., 2013). Penelitian Kannan dan Satyamoorthy

(2009) di Tamilnadu menunjukkan bahwa seorang alkoholik berisiko

3,812 kali mengalami hipertensi. Penelitian Agyemang dkk. (2006)

di Ghana membuktikan bahwa orang yang mengonsumsi alkohol

berisiko 1,60 kali mengalami hipertensi

l. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah karena aktivitas

fisik terkait dengan peningkatan dan reduksi saraf simpatis dan para

simpatis (Mohler dan Townsend, 2006). Selain itu, aktivitas fisik

yang rutin dapat mengurangi lemak jenuh, meningkatkan eliminasi

sodium akibat terjadinya perubahan fungsi ginjal dan mengurangi

plasma renin serta aktivitas katekolamin. Oleh karena itu, aktivitas


39

fisik yang rutin dapat menurunkan tekanan darah sistolik maupun

diastolik sehingga mampu mencegah hipertensi (Rahl, 2010).

Durasi, intensitas dan frekuensi aktivitas fisik akan

mempengaruhi manfaat aktivitas fisik bagi kesehatan (Carnethon,

2009). WHO menganjurkan aktivitas fisik sebaiknya berlangsung

selama ≥ 600 MET (WHO, 2013). MET merupakan ukuran lamanya

waktu (menit) beraktivitas dalam satu minggu dikalikan bobot

tertentu (Kemenkes RI, 2013). Berikut ini jenis tingkatan aktivitas

fisik (Kemenkes RI, 2013).

1) Berat: kegiatan yang dilakukan selama minimal 10 menit secara

terus-menerus sampai denyut nadi meningkat dan napas lebih

cepat dari biasanya (misalnya menimba air, mendaki gunung,

lari cepat, menebang pohon, mencangkul, dll) selama minimal

tiga hari dalam satu minggu dan total waktu beraktivitas ≥1500

MET minute. Bobot (MET value) untuk aktivitas fisik berat

adalah 8 kalori

2) Sedang: apabila melakukan aktivitas fisik sedang (menyapu,

mengepel, dll) minimal lima hari atau lebih dengan total

lamanya beraktivitas 150 menit dalam satu minggu. Bobot (MET

value) untuk aktivitas fisik sedang adalah 4 kalori (WHO, 2015)

3) Ringan: aktivitas yang tidak termasuk dalam aktivitas berat

maupun sedang.

Hasil penelitian Peer N. (2013) menunjukkan bahwa ada

hubungan antara aktivitas fisik yang rutin yang kurang (<150 menit)
40

dengan kejadian hipertensi. Penelitian Forman (2009) pada wanita

dewasa yang berpofesi sebagai perawat menunjukkan bahwa latihan

rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko hipertensi hingga

0,87 kali dibandingkan yang <1 hari per minggu. Sedangkan di

Brazil, semakin meningkat aktivitas fisik responden justru semakin

meningkatkan risiko hipertensi. Namun, hal ini hanya terjadi pada

wilayah rural, sedangkan wilayah urban tidak menunjukkan

hubungan yang signifikan (Moreira dkk., 2013).

Penelitian di daerah Urban Uttarakhand membuktikan adanya

hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (P = 0,046) (Pooja

dan Mittal, 2013). Hasil penelitian South dkk. (2014) di Minahasa

Utara menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan kuat dengan

hipertensi (P = 0.000, r = 0,584). Hasil penelitian Rahajeng dan

Tuminah (2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa ada

hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi. Namun, perbedaan

risiko hipertensi antara responden yang memiliki aktivitas fisik

kurang dengan yang memiliki aktivitas fisik cukup hanya 1,05 kali.

m. Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok dapat memicu terjadinya hipertensi karena

rokok mengandung bahan-bahan berbahaya, seperti nikotin dan

karbon dioksida. Nikotin akan meningkatkan asam lemak dan

mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan

pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan

karbon monoksida akan membuat hemoglobin dalam darah rusak


41

sehingga akan ditampung di membran pembuluh kapiler dan

menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000;

Depkes RI, 2006).

Di wilayah urban Chennai, merokok berhubungan dengan

kejadian hipertensi dan risiko orang merokok adalah 1,5 kali lebih

besar dibandingkan yang tidak merokok (Mohan dkk., 2007).

Penelitian di Brazil mengungkapkan bahwa perilaku merokok dapat

meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,2 kali pada masyarakat

perkotaan dan 1,24 kali pada masyarakat pedesaan (Moreira dkk.,

2013).

Selain itu, Di India, orang yang merokok 2,4 kali lebih berisiko

mengalami hipertensi dibandigkan yang tidak merokok (Kannan dan

Satyamoorthy, 2009). Penelitian Anggara dan Prayitno (2013) di

Cikarang Barat juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara perilaku merokok dengan hpertensi dan merokok

dapat meningkatkan risiko hipertensi sebesar 8,1 kali. Namun, Di

China, perokok ringan tidak menunjukkan risiko yang signifikan

terhadap hipertensi dan perokok berat justru dapat terhindar 0,96 kali

dari hipertensi (Hou, 2008). Durasi merokok juga berperan dalam

meningkatkan risiko hipertensi. Penelitian Thuy A. B. (2010)

menunjukkan bahwa kebiasaan merokok menyebabkan hipertensi

dipengaruhi oleh lama waktu menjadi perokok.

Perokok pasif pun dapat berisiko mengalami hipertensi. Hal ini

dibuktikan dengan hasil penelitian Lina dkk. (2013) di wilayah kerja


42

Puskesmas Mulyorejo Kota Surabaya yang menunjukkan bahwa

perokok pasif berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,37 kali

dibandingkan yang bukan perokok pasif. Dalam penelitian tersebut,

hubungan keluarga, jenis rokok, jumlah perokok, lama paparan,

jumlah rokok dan lokasi merokok merupakan variabel paparan asap

rokok yang berisiko menimbulkan hipertensi.

n. Konsumsi Makanan Asin

Konsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi

dapat menyebabkan volume cairan dalam tubuh meningkat. Hal ini

karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan oleh

tubuh sehingga meningkatkan volume dan tekanan darah (Depkes

RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung

dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa salah satu faktor risiko

penyakit jantung dan pembuluh darah pada penduduk umur 18 tahun

ke atas adalah sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) (Kemenkes

RI, 2010).

Data WHO menunjukkan bahwa 1,7 juta orang meninggal di

tahun 2010 karena penyakit kardiovaskular, dimana konsumsi garam

berlebih merupakan salah satu faktor pemicunya. Data WHO juga

menunjukkan bahwa secara global rata-rata konsumsi garam

masyarakat adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari sodium). Asia

Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat konsumsi garam yang

tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5 g/hari (lebih dari 1


43

sendok teh per hari) berkontribusi terhadap peningkatan tekanan

darah (WHO, 2014).

Hasil penelitian He (2005) diketahui bahwa pengurangan

konsumsi garam berhubungan dengan penurunan tekanan darah (P =

0,002). Penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani membuktikan

bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan hipertensi (x2 =

12,42). Hasil analisis multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009)

menunjukkan ada hubungan antara konsumsi makanan asin dengan

hipertensi (P = 0,001) walaupun tidak ada perbedaan risiko

hipertensi antara yang sering atau jarang makan makanan asin

dengan yang tidak pernah makan makanan asin.

Penelitian terkait pola konsumsi makanan harus dapat

menjelaskan pola konsumsi makanan dengan baik. Pengukuran pola

konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah

berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif

(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Oleh karena itu, penelitian Rahajeng

dan Tuminah (2009) justu menunjukkan bahwa konsumsi makanan

asin berlebih tidak ada berhubungan dengan kejadian hipertensi.

o. Konsumsi Makanan Berlemak

Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan akan

menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan

peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL

dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol

berperen penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang


44

kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi

tinggi (Depkes RI, 2006).

Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1

kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis konsumsi lemak pada

penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total

penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu

25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga

melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO yaitu 10%

(Hardiansyah, 2011). Penelitian Stefhany (2012) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara (P = 0,010) dan pra lansia dan

lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko 2,785 kali

mengalami hipertensi.

Di Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan

hipertensi (P = 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga

2,08 kali (Ramirez dkk., 2010). Penelitian Indrawati dkk. (2009)

juga menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi makanan

berlemak dengan hipertensi. Namun, sering mengonsumsi lemak

justru memberikan efek protektif terhadap hipertensi

p. Konsumsi Sayur dan Buah

Konsumsi sayur dan buah dapat memproteksi diri dari

hipertensi. Sayuran mengandung serat yang merupakan jenis

karbohidrat istimewa karena resisten terhadap enzim pencernaan

manusia. Serat ini dapat mengurangi tingkat insulin, dimana

hiperinsulinemia menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat


45

menyebabkan hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, buah

mengandung polifenol yang dapat melindungi jantung. Selain itu,

beberapa jenis buah memiliki beban glikemik yang rendah sehingga

tidak berisiko menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris,

2012).

Konsumsi buah < 3 kali (porsi)/hari dan sayur < 2 kali

(porsi)/hari dapat berisiko mengalami penyakit kardiovaskular.

Sedangkan, DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)

menganjurkan untuk mengonsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5

porsi/hari (Grodner dkk., 2004).

Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan

bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang banyak berhubungan

dengan rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari

Bazzano dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur

berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil

penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa

konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P =

0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015)

Di Indonesia, konsumsi buah dan sayur berhubungan dengan

kejadian hipertensi (P = 0,000). Namun, tidak ada perbedaan risiko

hipertensi antara yang mengonsumsi buah dan sayur < 3 porsi/hari

dengan yang ≥ 3 porsi/hari (Indrawati dkk., 2009). Sebaliknya,

penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) di Indonesia menunjukkan


46

bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi sayur dan buah dengan

hipertensi.

D. Kerangka Teori

WHO (2013-2014), Kemenkes RI (2013) dan Rahajeng serta Tuminah

(2009) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan

prevalensi hipertensi adalah faktor sosiodemografi, faktor fisik dan riwayat

penyakit serta faktor gaya hidup. Faktor sosiodemografi di antaranya adalah

jenis kelamin, usia, kemiskinan, akses pelayanan kesehatan yang tidak

memadai. Faktor fisik dan riwayat penyakit di antaranya adalah genetik, stres,

obesitas, riwayat diabetes. Faktor gaya hidup di antaranya adalah kurang

aktivitas fisik, merokok, konsumsi alkohol, konsumsi makanan asin dan

berlemak berlebih serta kurang konsumsi sayur dan buah. Namun, faktor-

faktor tersebut tidak secara langsung menyebabkan hipertensi.

Beberapa faktor akan mendahului faktor yang lain sebelum menyebabkan

hipertensi. Contohnya faktor kemiskinan yang terlebih dulu mempengaruhi

akses ke pelayanan kesehatan kemudian pengetahuan (Mion dkk., 2014;

Conen dkk., 2009; WHO, 2014). Dari faktor pengetahuan, kemudian

menyebabkan perubahan gaya hidup. Salah satu di antaranya adalah

kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok kemudian secara biologis dapat

menyebabkan hipertensi melalui aterosklerosis yang menyebabkan

peningkatan tahanan perifer pembuluh darah, seperti yang tergambarkan pada

Bagan 2.2 (Schnitzer, 2000; Depkes RI, 2006; Cahyono, 2008).


47

Pada Bagan 2.2, faktor umur, jenis kelamin, kelainan genetik, riwayat

diabetes dan obesitas juga menyebabkan serangkaian kondisi biologis

(biological plausibility) yang kemudian dapat menyebabkan hipertensi.

Namun, sebelum faktor-faktor tersebut, tidak ada faktor lain yang

mempengaruhinya. Contohnya faktor jenis kelamin dimana penurunan

hormon estrogen yang dialami perempuan menyebabkan aktivasi berlebih

saraf simpatis sehingga dapat menyebabkan hipertensi (Robertson, 2012).


Bagan 2.2
Kerangka Teori

HIPERTENSI

Perubahan Peningkatan volume Hiperinsulinemia Peningkatan Jantung Dinding Aktivasi berlebih


membran sel dan tekanan darah tahanan perifer berdetak lebih pembuluh darah saraf simpatis
pembuluh darah cepat dan kuat menjadi kaku

Insulin tidak terkontrol Sekresi


Kelainan
Aterosklerosis Disfungsi atau Hormon
Genetik
kerusakan lapisan Adrenalin
Riwayat endotel pembuluh
Volume Cairan dalam Diabetes Peningkatan kolesterol
darah arteri
Tubuh Meningkat Melitus total, trigliserida,
kolesterol LDL Stres

Asupan garam Perubahan struktur


Obesitas Penurunan
berlebih Hiperlipidemia pembuluh darah besar
hormon
Estrogen
Peningkatan Sering Konsumsi Kurang Konsumsi Sering Konsumsi Umur
Kadar Kortisol Makanan Asin Sayur dan Buah Makanan Berlemak
Jenis Kelamin

Konsumsi Alkohol Diet tidak sehat Kebiasaan Merokok Kurang Aktivitas Fisik

Pengetahuan Gaya hidup tidak sehat Sumber: WHO, 2014; Santy, 2015; Robertson dkk.,
2012; Black dkk., 2007; Anggara dkk., 2013; Mion = Biological Plausibility
dkk., 2004; Depkes RI, 2006; Goran dan Sothern,
2006; Holt, 2011; Cahyono, 2008; Schnitzer, 2000; = Faktor Sosiodemografi
Urbanisasi & Globalisasi
Akses ke pelayanan Mohler dan Townsend, 2006; Lin dan Laura, 2012;
(tempat tinggal)
kesehatan kurang McFarlane dan Bakris, 2012 = Faktor Gaya Hidup

Kemiskinan = Faktor Fisik dan Riwayat


Pendidikan Pekerjaan
Penyakit

48
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Kerangka teori menggambarkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh

dengan hipertensi di antaranya adalah faktor sosiodemografi (jenis kelamin,

umur, pekerjaan, pendidikan, kemiskinan dan pelayanan kesehatan), faktor

fisik dan riwayat penyakit (stres, genetik, obesitas dan riwayat diabetes) serta

faktor gaya hidup (konsumsi alkohol, kebiasaan merokok, kurang aktivitas

fisik, sering konsumsi makanan asin, sering konsumsi makanan berlemak dan

kurang konsumsi sayur dan buah). Namun, tidak semua faktor-faktor tersebut

diteliti. Untuk faktor sosiodemografi, hanya jenis kelamin, umur, pekerjaan

dan pendidikan yang diteliti dalam penelitian ini. Untuk faktor fisik dan

riwayat penyakit, faktor yang diteliti adalah obesitas dan riwayat diabetes.

Sedangkan, untuk faktor gaya hidup, faktor-faktor yang diteliti adalah

kebiasaan merokok, kurang aktivitas fisik, sering konsumsi makanan asin,

sering konsumsi makanan berlemak dan kurang konsumsi sayur dan buah.

Adapun faktor kemiskinan, akses pelayanan kesehatan, genetik, stres dan

konsumsi alkohol tidak diteliti dalam penelitian ini karena keterbatasan dari

data Riskesdas 2013. Berikut uraiannya:

1. Faktor kemiskinan tidak diteliti dengan pertimbangan data yang tersedia

kurang valid sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis penelitian ini

(lihat Tabel 3.1). Selain itu, kemiskinan berkaitan dengan status ekonomi

berupa pendapatan yang bisa dijelaskan melalui variabel pekerjaan.

49
50

2. Faktor akses pelayanan kesehatan juga tidak diteliti karena data yang

tersedia kurang reliabel sehingga dapat mempengaruhi hasil analisis

penelitian ini. Tabel 3.1 menunjukkan hasil uji validitas dan reliabilitas

data Riskesdas 2013

3. Faktor genetik, stres dan konsumsi alkohol tidak bisa menjadi variabel

penelitian karena tidak diukur dalam Riskesdas tahun 2013.

Tabel 3.1
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Data Riskesdas 2013

Validasi
No. Kelompok Variabel Kesimpulan Keterangan
Proses Isi
Keterangan Anggota
Rumah Tangga (Jenis Valid dan
1. 77,5 83,1
Kelamin, Umur, reliabel
Pendidikan, Pekerjaan)
Valid tetapi
Akses dan Pelayanan
2. 79,0 73,2 kurang
Kesehatan
reliabel
Pemukiman dan Kurang
3. 75,0
Ekonomi Valid
Ada
masalah
Baik
Penyakit Tidak pengukurn
4. - 88,8 reliabilitasn
Menular reliabilitas
ya
asma dan
kanker
Ada
Pengukuran Tekanan
5. 89,8 Valid penyimpang
Darah
an SOP
Sumber: Kemenkes RI, 2013

Bagan 3.1 menjelaskan bahwa faktor sosiodemografi, faktor fisik dan

riwayat penyakit serta faktor gaya hidup berhubungan dengan hipertensi.

Berikut penjelasannya:

1. Faktor sosiodemografi

Faktor sosiodemografi berhubungan dengan hipertensi karena secara

teoritis hipertensi lebih berisiko pada perempuan, usia lanjut, masyarakat


51

berpendidikan rendah dan masyarakat yang tidak bekerja. Perempuan lebih

berisiko mengalami hipertensi karena setelah mengalami menopous hormon

estrogen perempuan yang berfungsi melindungi tekanan darah istirahat

menjadi berkurang. Risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan

pertembahan usia karena fungsi fisiologis tubuh juga ikut menurun sehingga

usia lanjut sangat berisiko mengalami hipertensi.

Risiko hipertensi juga semakin meningkat seiring dengan rendahnya

tingkat pendidikan seseorang karena pendidikan yang rendah mempengaruhi

pengetahuan masyarakat terkait hipertensi. Pengetahuan yang rendah

berdampak pada perilaku pencegahan hipertensi. Status tidak bekerja

berhubungan dengan hipertensi karena dapat mempengaruhi pendapatan

seseorang sehingga sulit untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang

adekuat. Akibatnya, informasi terkait pencegahan dan pengobatan hipertensi

yang diinformasikan melalui pelayanan kesehatan pun sulit diperoleh.

Faktor pendidikan dan pekerjaan dapat juga menjadi salah satu alasan

masyarakat melakukan urbanisasi. Urbanisasi kemudian dapat menimbulkan

perubahan gaya hidup masyarakat menjadi gaya hidup tidak sehat sehingga

berisiko hipertensi.

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

Faktor fisik diukur melalui variabel obesitas dimana obesitas

berhubungan dengan hipertensi karena orang yang mengalami obesitas

umumnya mengalami hyperinsulinemia yang dapat meningkatkan

tekanan darah. Sedangkan faktor riwayat penyakit diukur melalui riwayat

diabetes respnden. Riwayat diabetes berhubungan dengan hipertensi


52

karena dapat menyebabkan resistensi insulin yang merupakan efek

jangka panjang dari hiperinsulinemia. Kedua faktor ini merupakan faktor

yang berhubungan dengan hipertensi karena faktor biologis sehingga

tidak ada perbedaan risiko baik di perkotaan maupun pedesaan.

3. Faktor Gaya Hidup

Masyarakat kota akan lebih berisiko mengalami hipertensi

dibandingkan masyarakat pedesaan karena masyarakat perkotaan

cenderung memiliki aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan merokok dan

diet tidak sehat. Waktu bekerja yang lama dan pendapatan yang rendah

membuat masyarakat kota lebih mementingkan urusan pekerjaan

dibandingkan memperhatikan pola makan dan aktivitas fisik.

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Sosiodemografi:

Jenis kelamin
Umur
Pendidikan
Pekerjaan

Faktor Fisik dan Riwayat


Penyakit: Hipertensi di
Perkotaan
Obesitas dan Pedesaan
Riwayat diabetes Indonesia

Gaya Hidup:

Aktivitas fisik
Kebiasaan merokok
Konsumsi makanan asin
Konsumsi makanan berlemak
Konsumsi sayur
Konsumsi buah
B. Definisi Operasional

Tabel 3.2
Definisi Operasional Penelitian

Cara
Skala
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Pengambilan Hasil Ukur
Ukur
Data
1. Hipertensi Rata-rata hasil 2 kali pengukuran Kuesioner Observasi 0. Hipertensi (≥ Ordinal
tekanan darah. Jika terdapat RKD13.IND kuesioner 140/90 mmHg)
perbedaan ≥10 mmHg antara hasil K05A, K05B, Riskesdas tahun 1. Normal (<
pengukuran tekanan darah sistolik K05C, K06A, 2013 140/90 mmHg)
maupun diastolik yang pertama dan K06B, K06C, (Kemenkes RI, 2013;
yang kedua maka dilakukan K07A, K07B, Kaplan dan Michael,
pengukuran tekanan darah yang K07C 2010)
ketiga sehingga status hipertensi
ditentukan melalui rata-rata hasil 3
kali pengukuran tekanan darah.
(Kemenkes RI, 2013)
2. Jenis Jenis kelamin responden berdasarkan Kuesioner Observasi 0. Perempuan Ordinal
Kelamin hasil konfirmasi menggunakan kartu RKD13.RT kuesioner 1. Laki-laki
keluarga dan pengamatan langsung B4K4 Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2013)
terhadap ciri-ciri fisik responden. 2013
(Kemenkes RI, 2013)
3. Umur Umur responden yang dihitung sejak Kuesioner Observasi 0. ≥ 65 tahun Ordinal
lahir hingga ulang tahun terakhir saat RKD13.RT kuesioner 1. 55-64 tahun
penelitian berdasarkan kalender B4K7THN Riskesdas tahun 2. 45-54 tahun
Masehi dengan pembulatan ke 2013 3. 35-44 tahun
bawah. (Kemenkes RI, 2013) 4. 25-34 tahun
5. 15-24 tahun

53
Cara
Skala
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Pengambilan Hasil Ukur
Ukur
Data
(Kemenkes RI, 2013)

4. Pendidikan Status pendidikan tertinggi yang Kuesioner Observasi 0. Tidak Ordinal


ditamatkan responden. RKD13.RT kuesioner sekolah/Tidak
(Kemenkes RI, 2013) B4K10 Riskesdas tahun tamat SD/MI
2013 1. Tamat SD/MI
2. Tamat
SLTP/MTs
3. Tamat SLTA/MA
4. Tamat perguruan
tinggi
(Kemenkes RI, 2013)
5. Pekerjaan Pekerjaan responden atau kegiatan Kuesioner Observasi 0. Tidak Bekerja Ordinal
terbanyak yang dilakukan responden. RKD13.RT kuesioner 1. Bekerja
(Kemenkes RI, 2013) B4K9 Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2013)
2013
6. Obesitas Nilai indeks massa tubuh (kg/m2) Kuesioner Observasi 0. Ya Ordinal
menunjukkan >27 kg/m2. RKD13.IND kuesioner 1. Tidak
(Kemenkes RI, 2013) K01A-K02B Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2013)
2013
7. Riwayat Responden yang pernah didiagnosis Kuesioner Observasi 0. Ya Ordinal
Diabetes dokter menderita diabetes mellitus RKD13.IND kuesioner 1. Tidak
Melitus atau kencing manis. B12 Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2013)
(Kemenkes RI, 2013) 2013
8. Aktivitas Frekuensi aktivitas fisik responden Kuesioner Observasi 0. < 600 MET Ordinal
Fisik dalam seminggu terakhir sebelum RKD13.IND kuesioner 1. ≥ 600 MET

54
Cara
Skala
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Pengambilan Hasil Ukur
Ukur
Data
penelitian dilakukan. G16- Riskesdas tahun (WHO, 2015)
(Kemenkes RI, 2013) G22MNT 2013
9. Kebiasaan Perilaku merokok responden sebulan Kuesioner Observasi 0. Merokok Ordinal
Merokok terakhir sebelum penelitian RKD13.IND kuesioner 1. Pernah merokok
dilakukan. (Kemenkes RI, 2013) G05 Riskesdas tahun 2. Tidak pernah
2013 merokok
(Kemenkes RI, 2013)
10. Konsumsi Frekuensi kebiasaan seseorang Kuesioner Observasi 0. ≥1 kali/hari Ordinal
Makanan mengonsumsi makanan yang RKD13.IND kuesioner 1. <1 kali/hari
Asin mengandung natrium tinggi. G27B Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2010)
Makanan yang lebih dominan rasa 2013
asin, seperti ikan asin, ikan pindang,
telur asin, snack asin, makanan yang
mengandung terasi, kecap, dan saos.
(Kemenkes RI, 2013)
11. Konsumsi Frekuensi kebiasaan seseorang Kuesioner Observasi 0. ≥1 kali/hari Ordinal
Makanan mengonsumsi makanan yang RKD13.IND kuesioner 1. <1 kali/hari
Berlemak mengandung lemak jenuh dan G27B Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2010)
makanan yang mengandung 2013
kolesterol. Bahan makanan yang
mengandung banyak lemak seperti
daging berlemak, sop buntut,
makanan gorengan, makanan
bersantan, makanan yang
mengandung banyak margarin.
Sedangkan, makanan yang banyak
mengandung kolesterol, contoh

55
Cara
Skala
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Pengambilan Hasil Ukur
Ukur
Data
jeroan (usus, babat), telur, udang.
(Kemenkes RI, 2013)
12. Konsumsi Kebiasaan seseorang mengonsumsi Kuesioner Observasi 0. <3 porsi/hari Ordinal
Sayur sayur yang dinyatakan dalam bentuk RKD13.IND kuesioner 1. ≥3 porsi/hari
frekuensi makan per hari dalam G24 Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2010)
seminggu dan banyaknya sayur yang 2013
dikonsumsi dalam satu sajian.
(Kemenkes RI, 2013)
13. Konsumsi Kebiasaan seseorang mengonsumsi Kuesioner Observasi 0. <2 porsi/hari Ordinal
Buah buah yang dinyatakan dalam bentuk RKD13.IND kuesioner 1. ≥2 porsi/hari
frekuensi makan per hari dalam G26 Riskesdas tahun (Kemenkes RI, 2010)
seminggu dan banyaknya buah yang 2013
dikonsumsi dalam satu sajian.
(Kemenkes RI, 2013)

56
57

C. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

2. Ada hubungan antara faktor umur dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

3. Ada hubungan antara faktor pendidikan dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

4. Ada hubungan antara faktor pekerjaan dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

5. Ada hubungan antara faktor obesitas dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

6. Ada hubungan antara faktor riwayat diabetes dengan kejadian hipertensi

di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

7. Ada hubungan antara faktor aktivitas fisik dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

8. Ada hubungan antara faktor kebiasaan merokok dengan kejadian

hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

9. Ada hubungan antara faktor konsumsi makanan asin dengan kejadian

hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

10. Ada hubungan antara faktor konsumsi makanan berlemak dengan

kejadian hipertensi di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013

11. Ada hubungan antara faktor konsumsi sayur dengan kejadian hipertensi

di perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013


58

12. Ada hubungan antara faktor konsumsi buah dengan kejadian hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia pada tahun 2013


BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi analitik dengan desain

cross sectional. Desain penelitian ini mengikuti desain penelitian Riskesdas

tahun 2013. Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari data Riskesdas

2013 terkait hipertensi sehingga diperoleh penjelasan mengenai faktor-faktor

yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan

Indonesia tahun 2013.

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Riskesdas 2013 dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2013.

Selanjutnya, data Riskesdas yang dimanfaatkan peneliti dianalisis pada bulan

Februari hingga Juli tahun 2015 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah total sampel Riskesdas 2013.

Total sampel Riskesdas diperoleh setelah dilakukan pemutakhiran data

rumah tangga, kunjungan dan wawancara anggota rumah tangga.

Pemutakhiran data rumah tangga dilakukan sebelum sampel ditentukan.

Pemutakhiran dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut

(Kemenkes RI, 2013):

59
60

a. Blok sensus yang sudah tidak ditemukan/hilang karena bencana

(banjir, longsor, gempa bumi), seperti di Mentawai, beberapa

Kabupaten di Kalimantan

b. Blok sensus yang merupakan daerah konflik dan sangat sulit untuk

dijangkau seperti Papua

c. Bangunan sensus yang tidak ditemukan, karena berubah fungsi,

bukan rumah tangga biasa

Setelah pemutakhiran dilakukan, blok sensus yang berhasil

dikunjungi sebanyak 11.986 blok sensus yang tersebar di 33 provinsi,

497 kabupaten/kota. Ada 14 blok sensus yang tidak berhasil dikunjungi

karena penolakan warga setempat dan lokasi sulit dijangkau, yaitu 12

blok sensus di Papua, 1 blok sensus di Papua Barat dan 1 blok sensus di

Jakarta. Adapun dari 300.000 rumah tangga yang ditargetkan, terdapat

294.959 rumah tangga yang berhasil dikunjungi. Dari 294.959 rumah

tangga yang dikunjungi, ada 1.027.763 anggota rumah tangga (ART)

yang berhasil diwawancarai. Jadi, populasi dalam penelitian ini adalah

sebanyak 1.027.763 orang.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini adalah seluruh responden Riskesdas 2013

berusia ≥ 15 tahun yang berhasil diwawancarai oleh para enumerator

Riskesdas 2013, yaitu sebanyak 722.329 orang. Namun, untuk keperluan

analisis dalam penelitian ini maka ditentukan kriteria eksklusi sebagai

berikut.

a. Responden Riskesdas 2013 yang berstatus hamil

60
61

b. Data responden tidak lengkap (missing data).

c. Data numerik hasil pengukuran bernilai ekstrim

Setelah mempertimbangkan kriteria eksklusi, jumlah sampel

penelitian ini berkurang menjadi 616.986 sampel sehingga hanya 85,42%

dari total 722.329 sampel Riskesdas yang bisa dianalisis dalam penelitian

ini. Namun, saat analisis variabel umur dan obesitas, secara berturut-turut

jumlah sampel penelitian menjadi 616.983 dan 613.479 sampel karena

terdapat nilai ekstrim dan missing data (lihat Tabel 4.3).

Teknik pengambilan sampel dari penelitian ini adalah multistage

sampling mengikuti teknik pengambilan sampel Riskesdas tahun 2013.

Namun, dilakukan perhitungan nilai kekuatan uji dan derajat kemaknaan

yang sesuai dengan besar sampel penelitan ini. Hal ini karena penelitian

ini bertujuan untuk menguji hipotesis. Berdasarkan hasil perhitungan

diketahui bahwa dengan jumlah sampel sebesar 616.986, proporsi

hipertensi pada perempuan dan laki-laki secara berturut-turut sebesar

0,503 dan 0,497 (Rahajeng dan Tuminah, 2009) sehingga diperoleh nilai

derajat kemaknaan sebesar 5% dengan kekuatan uji sebesar 99%.

D. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas tahun 2013.

Data ini diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

(Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Indonesia. Sebelum pengambilan

data, peneliti melakukan observasi kuesioner Riskesdas tahun 2013 untuk

mengetahui pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hipertensi. Dengan

61
62

demikian, dapat diperoleh variabel-variabel yang akan dianalisis sebagai

faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi.

Pengumpulan data Riskesdas tahun 2013 dilakukan oleh para enumerator

terlatih dengan metode wawancara, observasi dan pengukuran langsung.

Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh

informasi terkait umur, pekerjaan, pendidikan, riwayat diabetes, kebiasaan

merokok dan aktivitas fisik responden. Sedangkan, metode observasi

dilakukan untuk memperoleh informasi terkait jenis kelamin responden.

Pengukuran langsung dilakukan untuk memperoleh informasi terkait

berat badan dan tinggi badan. Pengukuran berat badan dan tinggi badan

dilakukan oleh enumerator terlatih sehingga posisi tubuh dan cara pembacaan

hasil pengukuran diupayakan sesuai dengan pedoman.

Tim enumerator dan Tim manajemen data dibentuk di setiap

kabupaten/kota. Setiap Tim enumerator bertanggung jawab untuk 6 BS (150

Rumah Tangga). Setiap Tim enumerator terdiri dari lima orang yang diketuai

oleh ketua tim. Setiap anggota maupun ketua dari Tim enumerator dan

manajemen data minimal mempunyai pendidikan D3 Kesehatan.

Perekrutan tenaga enumerator dan Tim manajemen data dilakukan di

Poltekkes, STIKES, Universitas (Fakultas Kedokteran, Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Keperawatan, Fakultas Kedokteran Gigi), dan lain-lain.

Kekurangan tenaga pengumpul dan manajemen data di beberapa daerah

diatasi dengan merekrut para staf Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang

telah memperoleh peresetujuan kepala bidang masing-masing untuk

dibebaskan dari tugas rutin.

62
63

E. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner individu

(RKD13.IND) dan kuesioner rumah tangga (RKD13.RT) Riskesdas tahun

2013. Kuesioner telah diuji validasi oleh tim gabungan dari Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Airlangga dan

Universitas Hasanudin agar kualitas data Riskesdas 2013 terjamin. Berikut

penjelasan cara pengukuran masing-masing variabel yang digunakan dalam

penelitian ini.

1. Hipertensi

Variabel ini diukur melalui pengukuran tekanan darah dengan

menggunakan spignomanometer digital. Pengukuran tekanan darah

dilakukan sebanyak 2 kali kali dalam satu waktu. Namun, jika terdapat

perbedaan hasil pengukuran sebesar ≥ 10 mmHg maka dilakukan

pengukuran ketiga. Hasil beberapa kali pengukuran tekanan darah

tersebut kemudian dirata-ratakan.

Untuk menjamin kevalidan data maka cara pengukuran dipastikan

harus benar. Posisi duduk tenang atau berbaring telentang bagi yang tidak

mampu duduk. Responden diharuskan tidak melakukan aktivitas fisik

seperti olah raga, merokok dan makan minimal 30 menit sebelum

pengukuran tekanan darah. Selain itu, responden diminta duduk istirahat

minimal 10 menit sebelum pengukuran. Petugas yang mengukur pun

dilarang untuk mengajak responden berbicara ataupun tertawa saat

pengukuran tekanan darah berlangsung.

63
64

2. Tempat Tinggal

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok I

dengan kode B1R5. Penentuan desa atau kota mengikuti hasil sensus

penduduk tahun 2010 (SP2010).

3. Jenis Kelamin

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok

IV dengan kode B4K4. Enumerator Riskesdas tahun 2013 menentukan

jenis kelamin berdasarkan observasi langsung dan kartu keluarga serta

bertanya langsung pada responden maupun keluarga responden yang ada

saat wawancara berlangsung.

4. Umur

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada

blok IV dengan kode B4K7THN. Umur ditanyakan langsung pada

responden dan dihitung dengan pembulatan ke bawah atau ulang tahun

yang terakhir berdasarkan kalender masehi. Enumerator Riskesdas 2013

melakukan probing melalui dokumen atau catatan kelahiran/akte

kelahiran dan kartu pengenal seperti KTP, SIM, dan sebagainya ketika

responden tidak mengetahui umurnya dengan pasti atau lupa. Namun,

jika dokumen-dokumen tersebut tidak ada maka waktu kelahiran

responden dihubungkan dengan tanggal, bulan, dan tahun penting atau

peristiwa penting di Indonesia. Umur responden kemudian dikategorikan

menjadi 6 kategori mengikuti kategorisasi yang terdapat dalam laporan

Riskesdas tahun 2013, yaitu 1) 15-24 tahun, 2) 25-34 tahun, 3) 35-44

tahun, 4) 45-54 tahun, 5) 55-64 tahun, 6) ≥ 65 tahun.

64
65

5. Pendidikan

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok

IV dengan kode B4K8. Enumerator Riskesdas menanyakan langsung

pada responden terkait pendidikan apa yang terakhir kali ditamatkan

responden. Berikut ini adalah kategori tingkatan pendidikan dalam

Riskesdas 2013.

a. Tidak/belum pernah sekolah

b. Tidak tamat SD/MI. Tidak tamat SD termasuk Madrasah Ibtidaiyah

(MI)

c. Tamat SD/MI. Tamat SD, termasuk tamat Madrasah Ibtidaiyah/

Paket A dan tidak tamat SLTP/ MTS.

d. Tamat SLTP/MTS. Tamat SLTP, termasuk tamat Madrasah

Tsanawiyah (MTS)/ Paket B dan tidak tamat SLTA/MA.

e. Tamat SLTA/MA. Tamat SLTA, termasuk tamat Madrasah Aliyah

(MA)/Paket C

f. Tamat D1, D2, D3, atau mahasiswa strata 1 drop-out.

g. Tamat Perguruan Tinggi, termasuk tamat Strata-1, Strata-2, Strata-3.

Dalam penelitian ini, variabel pendidikan akan dikategorikan menjadi

tidak sekolah/tidak tamat SD/MI, tamat SD/MI, tamat SLTP/MTs, tamat

SLTA/MA dan tamat perguruan tinggi.

6. Pekerjaan

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner rumah tangga pada blok 4

dengan kode B4K9. B4K9 memuat pertanyaan terkait status pekerjaan

65
66

responden yang ditujukan pada responden yang berusia ≥ 10 tahun.

Status pekerjaan dibagi dalam 4 kategori, yaitu:

a. Tidak bekerja

b. Bekerja, adalah jenis kegiatan yang menghasilkan uang

c. Sedang mencari kerja, adalah sedang mencari pekerjaan,

mempersiapkan suatu usaha, atau sudah mempunyai pekerjaan tetapi

belum mulai bekerja.

d. Sekolah, adalah kegiatan bersekolah di sekolah formal baik pada

pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi yang

di bawah pengawasan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, atau

institusi pendidikan swasta.

Namun, pada penelitian ini status pekerjaan hanya digolongkan menjadi

bekerja dan tidak bekerja.

7. Obesitas

Variabel ini tidak secara langsung terdapat di dalam kuseioner

Riskesdas 2013. Variabel obesitas diperoleh setelah peneliti melakukan

perhitungan indeks massa tubuh yang memanfaatkan data tinggi badan

dan berat badan. Nilai indeks masa tubuh ≥ 27 kg/m2 digolongkan

sebagai obesitas.

Data berat badan diperoleh melalui kuesioner individu dengan kode

K01a dan K01b. Sedangkan, data tinggi badan diperoleh melalui

kuesioner individu dengan kode K02a dan K02b. K01a dan K02a

memuat pertanyaan “Apakah anggota rumah tangga dilakukan

66
67

pengukuran berat badan dan tinggi badan?”. Sedangkan, K01b dan K02b

memuat hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan

Pengukuran berat badan menggunakan timbangan digital Camry

berkpasitas 150 kg dan ketilitian 100 gram. Alat timbangan ini diletakkan

pada permukaan lantai yang keras dan datar. Sebelum penimbangan,

responden harus membuka alas kaki, jaket, topi dan mengeluarkan isi

kantong yang berat seperti kunci. Posisi tubuh responden juga dipastikan

benar, yaitu kaki berada di tengah-tengah timbangan tanpa menutupi

layar baca, tubuh tegap dan tenang serta pandangan lurus kedepan. Hasil

pengukuran berat badan kemudian muncul setelah angka di layar baca

statis.

Pengukuran tinggi badan menggunakan pengukur multifungsi

berkapasitas 2 meter dan ketelitian 0,1 cm. Alat ukur diletakkan di atas

permukaan lantai yang keras dan datar serta menempel pada permukaan

dinding yang rata. Sebelum pengukuran responden diminta melepaskan

alas kaki, penutup kepala/topi/peci.

Posisi responden berdiri di atas alat ukur dengan posisi

membelakangi alat ukur yang sejajar dengan dinding rumah, berdiri

tegak, pandangan lurus ke depan dan titik cuping telinga dengan ujung

mata membentuk garis imajiner yang tegak lurus terhadap dinding

belakang alat ukur (membentuk sudut 90º). Lima bagian badan yaitu

kepala, punggung, pantat, betis, dan bagian dalam tumit menempel di alat

ukur. Jika ini tidak mungkin dilakukan, minimal punggung, pantat dan

betis yang menempel pada alat ukur.

67
68

Dinding belakang alat ukur diletakkan tepat ditengah bagian

belakang responden dan alat digeser sampai menyentuh kepala bukan

rambut. Hasil pengukuran dibaca tepat pada garis jendela baca.

8. Riwayat Dabetes

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013

dengan kode B12. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden adalah

“Apakah anda pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh

dokter?”. Jawaban pertanyaan ini menentukan status riwayat diabetes

responden.

9. Aktivitas Fisik

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013

dengan kode G16-G33. Sebelum menanyakan pertanyaan aktivitas fisik,

enumerator Riskesdas 2013 mengarahkan responden untuk menyebutkan

semua kegiatan mulai dari bangun pagi sampai tidur malam. Enumerator

kemudian mencatat semua kegiatan tersebut beserta waktu dan jenis

kegiatan yang dilakukan responden secara terus-menerus selama ≥10

menit dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan:

a. Pekerjaan di lingkungan kerja yang dibayar maupun yang tidak

dibayar, pekerjaan rumah tangga, memanen hasil pertanian,

memancing ikan atau berburu hewan, mencari pekerjaan, dan lain-

lain;

b. Waktu senggang termasuk olahraga dan rekreasi; dan

c. Perjalanan (jalan kaki atau naik sepeda) menuju ke tempat kerja,

pasar, tempat rekreasi.

68
69

Setelah itu, kegiatan dikelompokkan sesuai dengan jenis aktivitas

fisik dan waktu atau lama kegiatan berlangsung. Langkah-langkah ini

berlaku untuk pertanyaan G16-G33. Kartu peraga menjadi alat bantu agar

responden lebih mudah menjawab pertanyaan. Berikut ini adalah

penjelasan mengenai jenis aktivitas fisik.

a. Berat: aktivitas fisik yang memerlukan kerja fisik berat dan

menyebabkan nafas atau denyut nadi meningkat cepat.

b. Sedang: aktivitas fisik yang membutuhkan kerja fisik sedang dan

sedikit peningkatan denyut nadi atau nafas

Dalam penelitian ini, hasil ukur dari variabel aktivitas fisik

dikategorikan menjadi dua, yaitu < 600 (tidak direkomendasikan) MET

dan ≥ 600 MET (rekomendasi WHO). Kategorisasi tersebut diperoleh

dari hasil penjumlahan antara durasi beraktivitas fisik berat selama

seminggu yang dikali 8 (MET value aktivitas fisik berat) dengan durasi

beraktivitas fisik ringan selama seminggu yang dikali 4 (MET value

aktivitas fisik ringan) (WHO, 2015), seperti yang ditunjukkan pada Tabel

4.1.

Tabel 4.1
Perhitungan Skor MET Berdasarkan Kriteria Intensitas Aktivitas Fisik

Jenis
MET Hasil Ukur
Aktivitas Perhitungan Aktivitas Fisik
Value (MET)
Fisik
Durasi Jumlah hari
Berat 8
beraktivitas x beraktivitas x < 600 ≥ 600
Sedang (menit/hari) dalam seminggu 4

69
70

10. Merokok

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner individu Riskesdas 2013

dengan kode G05. Pertanyaan yang ditanyakan pada responden adalah

“Apakah anda merokok selama 1 bulan terakhir?”. Hasil ukur dari

variabel ini ada 5 kategori, tetapi akan dikode ulang oleh peneliti menjadi

3 kategori (lihat Tabel 4.3).

11. Konsumsi Makanan Asin dan Berlemak

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan kode G27A-

G27C, G27G. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “Biasanya berapa kali

Anda mengonsumsi makanan-makanan tersebut?”. Jawaban dari

pertanyaan ini terkategori menjadi enam kategori, tetapi peneliti

melakukan pengkategorian ulang menjadi dua kategori (lihat Tabel 4.3).

12. Konsumsi Sayur dan Buah

Variabel ini diukur menggunakan kuesioner dengan kode G24 dan

G26. Pertanyaan yang ditanyakan adalah “Berapa porsi rata-rata Anda

mengonsumsi buah-buahan dan sayur-sayuran dalam sehari?". Jawaban

responden jika tidak mencapai ukuran satu porsi maka digolongkan

menjadi satu porsi.

Untuk membantu responden dalam menjawab pertanyaan,

enumerator berusaha mengingatkan responden terhadap seluruh jenis

sayur-sayuran maupun buah-buahan yang ada di Indonesia. Selain itu,

ada kartu peraga sebagai alat bantu untuk mendapatkan gambaran besar

porsi dalam satu sajian.

70
71

F. Manajemen Pengumpulan Data

Manajemen data tetap dilakukan untuk penelitian ini dengan rincian kegiatan

sebagai berikut.

1. Filter

Peneliti mengoreksi kelengkapan dan keseusaian data yang diperoleh dari

Balitbangkes dengan data yang dibutuhkan peneliti. Berikut ini adalah

daftar data yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Tabel 4.2
Daftar Variabel dan Kuesioner
No. Variabel Kode Kuesioner
1. Hipertensi K05A-K07C RKD13.IND
2. Tempat Tinggal B1R5 RKD13.RT
3. Jenis Kelamin B4K4 RKD13.RT
4. Umur B4K7THN RKD13.RT
5. Pendidikan B4K10 RKD13.RT
6. Pekerjaan B4K9 RKD13.RT
7. Obesitas K01A-K02B RKD13.IND
8. Riwayat Diabetes B12 RKD13.IND
9. Aktivitas Fisik G16-G22MNT RKD13.IND
10. Kebiasaan Merokok G05 RKD13.IND
11. Konsumsi Makanan Asin G27B RKD13.IND
12. Konsumsi Makanan Berlemak G27C RKD13.IND
13. Konsumsi Sayur G24 RKD13.IND
14. Konsumsi Buah G26 RKD13.IND
15. Status Kehamilan B4K11 RKD13.RT

2. Cleaning Data

Peneliti menghilangkan/mengeluarkan data ibu hamil melalui

variabel status kehamilan. Selain menyeleksi ibu hamil, penyeleksian

juga dilakukan terhadap missing data dan/atau nilai ekstrim dari variabel

dependen, yaitu variabel tekanan darah yang digunakan dalam penentuan

71
72

status hipertensi. Bagan 4.1 menjelaskan alur penyeleksian data ibu hamil

dan missing data ataupun nilai ekstrim pada variabel tekanan darah.

Bagan 4.1
Alur Penyeleksian Data

Ibu hamil
Sampel = 722.329
n = 71.401

Tidak diukur tekanan


Laki-laki dan perempuan tidak hamil
darah pertama
n = 650.928
n = 4.560

Diukur tekanan darah Tidak diukur tekanan


pertama darah kedua
n = 646.368 n = 29.382

Kota
Diukur tekanan darah n = 287.476
kedua
n = 616.986 Desa
n = 329.510

Hasil akhir penyeleksian data menunjukkan bahwa idealnya ada

616.986 data yang dapat dianalisis. Namun, ada dua variabel independen

yang mengandung missing data maupun nilai ekstrim, yaitu variabel

umur dan obesitas. Agar tidak mengurangi validitas dalam analisis

variabel independen yang lain, penyeleksian missing data maupun nilai

ekstrim hanya dilakukan saat menganalisis variabel umur dan obesitas.

Oleh karena itu, jumlah sampel yang dapat digunakan saat menganalisis

variabel umur dan obesitas pun berbeda dengan jumlah sampel ideal

yang berlaku pada variabel-variabel independen lain yang tidak terdapat

missing data dan nilai ekstrim. Tabel 4.3 menunjukkan perbedaan

tersebut

72
73

Tabel 4.3
Jumlah Sampel Hasil Penyeleksian Data

Data yang terseleksi akibat: Jumlah


No. Variabel Sampel
Missing Data Nilai Esktrim
(n)
1. Umur 0 3 616.983
2. Jenis Kelamin 0 0 616.986
3. Pendidikan 0 0 616.986
4. Pekerjaan 0 0 616.986
5. Obesitas 3.507 0 613.479
6. Riwayat Diabetes Melitus 0 0 616.986
7. Kebiasaan Merokok 0 0 616.986
8. Aktivitas Fisik 0 0 616.986
9. Konsumsi Makanan Asin 0 0 616.986
10. Konsumsi Makanan Berlemak 0 0 616.986
11. Konsumsi Sayur 0 0 616.986
12. Konsumsi Buah 0 0 616.986

3. Coding Data

Pada tahap ini peneliti membuat kode baru ataupun melakukan

pengkodean ulang terhadap variabel yang membutuhkan perubahan

kategori sesuai dengan kebutuhan analisis. Variabel umur, aktivitas fisik,

konsumsi sayur dan buah, berat badan dan tinggi badan akan dibuat kode

baru karena merupakan data numerik yang perlu diubah menjadi data

kategorik. Sedangkan, variabel pekerjaan, pendidikan, kebiasaan

merokok, aktivitas fisik, konsumsi makanan asin dan makanan berlemak

akan dilakukan pengkodean ulang sesuai dengan definisi operasional

penelitian ini. Tabel 4.4 menjelaskan pengkodean yang dilakukan

peneliti.

73
74

Tabel 4.4
Pengkodean Baru dan Pengkodean Ulang Data Riskesdas 2013

No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan


1. Umur Data numerik 0. ≥ 65 tahun Kategoorisasi data
1. 55-64 tahun numerik
2. 45-54 tahun
3. 35-44 tahun
4. 25-34 tahun
5. 15-24 tahun
2. Pendidikan 1. Tidak sekolah/belum 0. Tidak Penggabungan kategori
pernah sekolah sekolah/Tidak tidak sekolah (1) dan
2. Tidak tamat SD/MI tamat SD/MI tidak tamat SD/MI (2)
3. Tamat SD/MI 1. Tamat SD/MI menjadi satu kategori,
4. Tamat SLTP/MTs 2. Tamat yaitu “tidak
5. Tamat SLTA/MA SLTP/MTs sekolah/tidak tamat
6. Tamat D1, D2, D3 3. Tamat SD/MI” (0)
7. Tamat perguruan tinggi SLTA/MA Penggabungan kategori
4. Tamat tamat D1, D2, D3 (6)
perguruan tinggi dengan kategori tamat
perguruan tinggi (7)
menjadi “tamat
perguruan tinggi (4)
3. Pekerjaan Status Pekerjaan 0. Tidak Bekerja Penggabungan kategori
1. Tidak bekerja 1. Bekerja “sedang mencari
2. Bekerja pekerjaan” (3) dan
3. Sedang menjari “sekolah” (4) menjadi
pekerjaan “tidak bekerja” (1)
4. Sekolah
4. Obesitas Data numerik 0. Ya Kategoorisasi data hasil
1. Tidak perhitungan data berat
badan dan tinggi badan
brupa nilai indeks masa
tubuh
5. Kebiasaan 1. Ya, setiap hari 0. Merokok Pengkodean ulang
Merokok 2. Ya, kadang-kadang 1. Pernah merokok terhadap kode awal 1
3. Tidak, namun 2. Tidak pernah dan 2 digabungkan
sebelumnya pernah merokok menjadi “merokok” (0),
merokok tiap hari kode 3 dan 4
4. Tidak, namun digabungkan menjadi
sebelumnya pernah “pernah merokok” (1)
merokok kadang-kadang
5. Tidak pernah sama
sekali
Aktivitas Data Numerik 0. < 600 MET Kategorisasi data
6.
Fisik 1. ≥ 600 MET numerik
Konsumsi 1. >1 kali/hari 0. ≥1 kali/hari Pengkodean ulang
7.
Makanan 2. 1 kali/hari 1. <1 kali/hari terhadap kode awal 1

74
75

No. Variabel Kode Awal Kode Akhir Keterangan


Asin 3. 3-6 kali/minggu dan 2 yang digabungkan
4. 1-2 kali/minggu menjadi satu kode, yaitu
5. <3 kali/bulan “0“ (≥1 kali/hari) dan
6. Tidak pernah kode awal 3-6
digabungkan menjadi
satu kode, yaitu, “1” (<1
kali/hari)
1. >1 kali/hari 0. ≥1 kali/hari Pengkodean ulang
2. 1 kali/hari 1. <1 kali/hari terhadap kode awal 1
3. 3-6 kali/minggu dan 2 yang digabungkan
Konsumsi 4. 1-2 kali/minggu menjadi satu kode, yaitu
8. Makanan 5. <3 kali/bulan “0“ (≥1 kali/hari) dank
Berlemak 6. Tidak pernah ode awal 3-6
digabungkan menjadi
satu kode, yaitu, “1” (<1
kali/hari)
Konsumsi Data Numerik 0. <3 porsi/hari Kategoorisasi data
9.
Sayur 1. ≥3 porsi/hari numerik
Konsumsi Data Numerik 0. <2 porsi/hari Kategoorisasi data
10.
Buah 1. ≥2 porsi/hari numerik

G. Analisa Data

Analis data penelitian ini akan diawali dengan analisis univariat terhadap

variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu variabel hipertensi,

jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, tempat tinggal, obesitas, riwayat

diabetes, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi maknan asin,

konsumsi makanan berlemak dan konsumsi sayur dan buah. Semua variabel

tersebut ditampilkan dalam satu tabel yang memuat jumlah dan presentasi

dari masing-masing variabel.

Selanjutnya, analisis bivariat dengan uji chi-square dilakukan untuk

melihat hubungan antara variabel jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan,

obesitas, riwayat diabetes, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, konsumsi

makanan asin, konsumsi makanan berlemak, konsumsi sayur dan buah

dengan hipertensi pada masing-masing wilayah tinggal (desa/kota).

75
76

Penentuan adanya hubungan dan risiko antara variabel independen dengan

dependen ditentukan berdasarkan nilai prevalence odds ratio (POR) dan

confidence interval (CI). Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel yang

memuat persentase, POR dan 95% CI.

Nilai POR memiliki makna tertentu yang ditentukan sebagai berikut

(Merrill, 2011; Webb P. dan Bain C., 2011).

1. Jika nilai POR > 1 maka terdapat hubungan antara faktor risiko atau

pajanan dengan dampak atau penyakit dan faktor risiko akan

meningkatkan risiko orang yang terpajan faktor risiko untuk terkena

penyakit.

2. Jika nilai POR = 1 maka tidak ada hubungan yang bermakna antara

faktor risiko dengan penyakit

3. Jika nilai POR < 1 maka terdapat hubungan antara faktor risiko atau

pajanan dengan dampak atau penyakit dan faktor risiko akan menurunkan

risiko orang yang terpajan faktor risiko untuk terkena penyakit.

Interpretasi nilai POR juga harus diiringi dengan nilai 95% CI, dimana ketika

nilai antara lower limit dengan upper limit 95% CI mengandung angka 1

maka tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor risiko atau pajanan

penyakit dengan dampak atau penyakit (Katz, 2006).

76
77

BAB V

HASIL

A. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Karakteristik


Sosiodemografi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun
2013

Tabel 5.1
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Karakteristik Sosiodemografi di
Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Perempuan 31070 45,26 10947 47,96 33878 45,98 118055 46,14
Laki-laki 37574 54,74 113885 52,04 39798 54,02 137779 53,85
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Umur (tahun)
≥ 65 5993 8,73 4547 2,08 7649 10,38 6918 2,70
55-64 7993 11,64 9935 4,54 8351 11,34 12772 4,99
45-54 22789 33,20 36606 16,73 22431 30,45 43149 16,87
35-44 18165 26,46 51980 23,75 19577 26,57 62788 24,54
25-34 10179 14,83 62997 28,79 11523 15,64 73716 28,81
15-24 3525 5,14 52764 24,11 4142 5,62 56488 22,08
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255831 100,00

Pendidikan
Tidak Sekolah/Tidak
9327 13,59 18291 8,36 20227 27,45 49973 19,53
tamat SD/MI
Tamat SD/MI 18152 26,44 43087 19,69 28965 39,31 19,53 33,61
Tamat SLTP/MTs 12167 17,72 51550 23,56 11384 15,45 59929 23,42
Tamat SLTA/MA 21179 30,85 80605 36,83 10224 13,88 49811 19,47
Tamat perguruan
7819 11,39 25299 11,56 2876 3,90 10127 3,96
tinggi
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Pekerjaan
Tidak Bekerja 26033 37,92 91648 41,88 23163 31,44 92955 36,33
Bekerja 42611 62,07 127184 58,12 50513 68,56 162879 63,67
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa proporsi kejadian hipertensi lebih tinggi

pada laki-laki (kota: 54,74% dan desa: 54,02%) dibandingkan perempuan

(kota: 45,26% dan desa: 45,98%), baik di perkotaan maupun pedesaan.

77
78

Proporsi laki-laki di perkotaan yang mengalami hipertensi lebih besar

dibandingkan laki-laki di pedesaan yang mengalami hipertensi. Sebaliknya,

proporsi perempuan yang mengalami hipertensi justru lebih besar di

pedesaan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sekitar 30-33% masyarakat kota dan

desa yang mengalami hipertensi termasuk dalam kelompok umur 45-54

tahun. Namun, proporsi hipertensi pada masyarakat usia 45-54 tahun lebih

tinggi di wilayah perkotaan (33,20%) dibandingkan pedesaan (30,45%).

Walaupun begitu, secara keseluruhan proporsi hipertensi pada setiap

kelompok umur cenderung lebih tinggi di pedesaan.

Selain itu, proporsi hipertensi berdasarkan tingkat pendidikan di

perkotaan lebih tinggi pada masyarakat tamatan SLTA/MA (30,85%).

Sedangkan di pedesaan, proporsi hipertensi lebih tinggi pada masyarakat

tamatan SD/MI (39,31%).

Tabel 5.1 juga menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat perkotaan

dan pedesaan yang mengalami hipertensi adalah pekerja (62,07% dan

68,56%) dan proporsinya lebih tinggi di desa dibandingkan di kota.

Sebaliknya, proporsi hipertensi pada masyarakat kota yang tidak bekerja

(37,92%) lebih tinggi dibandingkan proporsi masyarakat desa yang tidak

bekerja (31,44%).

78
79

B. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat


Penyakit Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia
Tahun 2013

Berdasarkan Tabel 5.2 diketahui bahwa 30,28% penderita hipertensi di

perkotaan mengalami obesitas. Persentase tersebut pun lebih tinggi

dibandingkan di desa, yaitu 20,67%. Proporsi masyarakat kota yang

mengalami hipertensi dan memiliki riwayat diabetes pun lebih tinggi (3,97%)

dibandingkan masyarakat desa yang mengalami hipertensi dan memiliki

riwayat diabetes (1,96%).

Tabel 5.2
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit
Masyarakat di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Obesitas
Ya 20609 30,28 28682 13,15 15062 20,67 22028 8,66
Tidak 47447 69,72 189424 86,85 57817 79,33 232410 80,09
Jumlah 68056 100,00 218106 100,00 72879 100,00 254438 100,00
Riwayat Diabetes
Ya 2727 3,97 2774 1,27 1442 1,96 1901 0,74
Tidak 65917 96,03 216058 98,73 72234 98,04 253922 99,26
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

C. Proporsi Kejadian Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah


Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Tabel 5.3
Proporsi Hipertensi Berdasarkan Gaya Hidup di Wilayah Perkotaan dan
Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Aktifitas Fisik
< 600 MET/minggu 9258 13,53 28354 12,96 7562 10,26 22544 8,81
≥ 600 MET/minggu 59359 86,47 190478 87,04 66114 89,74 233290 91,88
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Kebiasaan Merokok
Merokok 21848 31,83 70985 32,44 25686 34,86 93313 36,47
Pernah Merokok 6137 8,94 9771 4,46 5234 7,10 9268 3,62
Tidak pernah merokok 40659 59,23 138076 63,10 42756 58,03 153253 59,90
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

79
80

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
n % n % n % n %
Konsumsi Makanan
Asin
≥ 1 kali/hari 14378 20,95 46948 21,45 16705 22,67 56778 22,19
< 1 kali/hari 54266 79,05 171884 76,12 56971 77,33 199056 77,81
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Konsumsi Makanan
Berlemak
≥ 1 kali/hari 25918 37,76 83538 38,17 22879 31,05 77020 30,10
< 1 kali/hari 42726 62,24 135294 61,83 50797 68,95 178814 69,89
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Konsumsi Sayur
< 3 porsi/hari 50443 73,49 162894 74,44 54985 74,63 190638 74,52
≥ 3 porsi/hari 18201 26,52 55938 25,56 18691 25,37 65196 25,48
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Konsumsi Buah
< 2 porsi/hari 67286 98,02 215266 98,37 73023 99,11 253829 99,22
≥ 2 porsi/hari 1358 1,98 3566 1,63 653 0,89 2005 0,78
Jumlah 68644 100,00 218832 100,00 73676 100,00 255834 100,00

Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi baik

di kota maupun desa memiliki aktivitas fisik ≥ 600 MET, tidak pernah

merokok, konsumsi makanan asin < 1 kali per hari, konsumsi makanan

berlemak < 1 kali/hari, konsumsi sayur ≥ 3 kali/hari dan konsumsi buah ≥ 2

porsi/hari. Namun, persentase penderita hipertensi yang memiliki aktivitas

fisik < 600 MET dan konsumsi makanan berlemak > 1 kali/hari lebih tinggi

di kota (13,53% dan 37,76%) dibandingkan di desa (10,26% dan 31,05%).

Sebaliknya, persentase penderita hipertensi yang merokok, mengonsumsi

makanan asin > 1 kali/hari, konsumsi sayur < 3 porsi/hari dan konsumsi buah

< 2 porsi/hari justru lebih tinggi di desa (34,86%, 22,67%, 74,63% dan

99,11% secara berturut-turut) dibandingkan di kota (31,83%, 20,95%,

73,46% dan 98,02% secara berturut-turut).

80
81

D. Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah


Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Ada tidaknya hbungan antara faktor sosiodemografi, gaya hidup, fisik

dan riwayat penyakit ditentukan melalui nilai POR dan 95% CI. Hasil analisis

menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan dengan hipertensi di

perkotaan (95% CI: 0,882-0,913). Namun, nilai POR menunjukkan bahwa

jenis kelamin perempuan menjadi faktor protektif hipertensi. Sebaliknya,

jenis kelamin tidak berhubungan dengan kejadian hipertensi di pedesaan

(95% CI 0,977-1,010).

Tabel 5.4 menunjukkan bahwa umur berhubungan dengan kejadian

hipertensi di perkotaan maupun di pedesaan. Selain itu, risiko hipertensi juga

semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur. Untuk kelompok

umur ≥ 65 tahun, risikonya mencapai 19,729 kali (95% CI: 18,739-20,771)

pada masyarakat kota dan 17,318 kali (95% CI: 14,411-15,778) pada

masyarakat desa. Jika diperbandingkan risiko setiap kelompok umur antara di

perkotaan dengan pedesaan maka diketahui risiko hipertensi pada setiap

kelompok umur di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan.

Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa pendidikan merupakan

Faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan hipertensi di wilayah

perkotaan maupun pedesaan. Namun, hanya tingkat pendidikan “tidak

sekolah/tidak tamat SD/MI” dan “tamat SD/MI” yang memiliki nilai POR >

1, baik di perkotaan (POR = 1,65 dan POR = 1,363) maupun pedesaan (POR=

1,425 dan POR = 1,186). Artinya, tingkat pendidikan “tidak sekolah/tidak

tamat SD/MI” dan “tamat SD/MI” dapat meningkatkan risiko hipertensi di

perkotaan maupun pedesaan.

81
Secara statistik, faktor pekerjaan juga berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan (95% CI: 0,833-0,863

dan 95% CI: 0,790-0,818). Namun, nilai POR keduanya menunjukkan penurunan risiko hipertensi.

Tabel 5.4
Hubungan Faktor Sosiodemografi dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
Jumlah POR 95%CI Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Perempuan 31070 22,8 10947 77,2 136017 0,897 0,882-0,913 33878 22,3 118055 77,7 151933 0,993 0,977-1,010
Laki-laki 37574 24,8 113885 75,2 151459 1,000 Reference 39798 22,4 137779 77,6 177577 1,000 Reference

Umur (tahun)
≥ 65 5993 56,9 4547 43,1 10540 19,729 18,739-20,771 7649 52,5 6918 47,5 14567 15,079 14,411-15,778
55-64 7993 44,6 9935 55,4 17928 12,043 11,512-12,598 8351 39,5 12772 60,5 21123 8,917 8,551-9,299
45-54 22789 38,4 36606 61,6 59395 9,319 8,972-9,679 22431 34,2 43149 65,8 65580 7,090 6,843-7,345
35-44 18165 25,9 51980 74,1 70145 5,231 5,036-5,434 19577 23,8 62788 76,2 82365 4,252 4,104-4,405
25-34 10179 13,9 62997 86,1 73176 2,419 2,324-2,517 11523 13,5 73716 86,5 85239 2,132 2,054-2,213
15-24 3525 6,3 52764 93,7 56292 1,000 Reference 4142 6,8 56488 93,2 60630 1,000 Reference

Pendidikan
Tidak
Sekolah/Tidak 9327 33,8 18291 66,2 27618 1,650 1,592-1,710 20227 28,8 49973 71,2 70200 1,425 1,363-1,490
tamat SD/MI
Tamat SD/MI 18152 29,6 43087 70,4 61239 1,363 1,322-1,406 28965 25,2 85994 74,8 114959 1,186 1,136-1,239
Tamat SLTP/MTs 12167 19,1 51550 80,9 63717 0,764 0,740-0,789 11384 16,0 59929 84,0 71313 0,669 0,639-0,700
Tamat SLTA/MA 21179 20,8 80605 79,2 101784 0,850 0,825-0,876 10224 17,0 49811 83,0 60035 0,723 0,690-0,757
Tamat perguruan
7819 23,6 25299 76,4 33118 1,000 Reference 2876 22,1 10127 77,9 13003 1,000 Reference
tinggi

Pekerjaan
Tidak Bekerja 26033 22,1 91648 77,9 117681 0,848 0,833-0,863 23163 19,9 92955 80,1 116118 0,803 0,790-0,818
Bekerja 42611 25,1 127184 74,9 169795 1,000 Reference 50513 23,7 162879 76,3 213392 1,000 Reference

82
E. Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Tabel 5.5
Hubungan Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
Jumlah POR 95%CI Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Obesitas
Ya 20609 41,8 28682 58,2 49291 2,869 2,810-2,928 15062 40,6 22028 59,4 37090 2,749 2,687-2,811
Tidak 47447 20,0 189424 80,0 236871 1,000 Reference 57817 19,9 232410 80,1 290227 1,000 Reference

Riwayat Diabetes
Ya 2727 49,6 2774 50,4 5501 3,222 3,054-3,400 1442 43,1 1901 56,9 3343 2,667 2,489-2,857
Tidak 65917 23,4 216058 76,6 281975 1,000 Reference 72234 22,1 253922 77,9 326167 1,000 Reference

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa obesitas dan riwayat diabetes berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah perkotaan

maupun pedesaan. Masyarakat kota yang memiliki riwayat diabetes berisiko 3,222 kali (95% CI: 3,054-3,400) mengalami

hipertensi. Sedangkan di pedesaan risikonya lebih rendah, yaitu 2,667 kali (95% CI: 2,489-2,857). Masyarakat kota yang

obesitas pun berisiko 2,868 kali (95% CI: 2,810-2,928) mengalami hipertensi dan risiko masyarakat desa sedikit lebih rendah,

yaitu 2,749 (95% CI: 2,687-2,811).

83
F. Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Tabel 5.6
Hubungan Faktor Gaya Hidup dengan Hipertensi di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

Kota Desa
Variabel Hipertensi Normal Hipertensi Normal
Jumlah POR 95%CI Jumlah POR 95%CI
n % n % n % n %
Aktifitas Fisik
< 600 MET/minggu 9258 24,7 28354 75,3 37639 1,051 1,025-1,078 7562 25,1 22544 74,9 30106 1,184 1,152-1,217
≥ 600 MET/minggu 59359 23,8 190478 76,2 249837 1,000 Reference 66114 22,1 233290 77,9 299404 1,000 Reference

Kebiasaan Merokok
Merokok 21848 23,5 70985 76,5 92833 1,045 1,026-1,065 25686 21,6 93313 78,4 118999 0,987 0,970-1,004
Pernah Merokok 6137 38,6 9771 61,4 15908 2,133 2,062-2,206 5234 36,1 9268 63,9 14502 2,024 1,954-2,097
Tidak pernah merokok 40659 22,7 138076 77,3 178735 1,000 Reference 42756 21,8 153253 78,2 196009 1,000 Reference

Konsumsi Makanan
Asin
≥ 1 kali/hari 14378 23,4 46948 76,6 61326 0,970 0,950-0,991 16705 22,7 56778 77,3 73483 1,028 1,008-1,048
< 1 kali/hari 54266 24,0 171884 76,0 226150 1,000 Reference 56971 22,3 199056 77,7 256027 1,000 Reference

Konsumsi Makanan
Berlemak
≥ 1 kali/hari 25918 23,7 83538 76,3 109456 0,982 0,965-1,000 22879 22,9 77,1 30,10 99899 1,046 1,027-1,064
< 1 kali/hari 42726 24,0 135294 76,0 178020 1,000 Reference 50797 22,1 77,9 69,89 229611 1,000 Reference

Konsumsi Sayur
< 3 porsi/hari 50443 23,6 162894 76,3 213337 0,952 0,933-0,970 54985 22,4 190638 77,6 245623 1,006 0,987-1,025
≥ 3 porsi/hari 18201 24,5 55938 75,5 74139 1,000 Reference 18691 22,3 65196 77,7 83887 1,000 Reference

Konsumsi Buah
< 2 porsi/hari 67286 23,8 215266 76,2 282552 0,821 0,771-0,874 73023 22,3 253829 77,7 326852 0,883 0,808-0,965
≥ 2 porsi/hari 1358 27,6 3566 72,4 4924 1,000 Reference 653 24,6 2005 75,6 2658 1,000 Reference

84
85

Berasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan

hipertensi, baik di perkotaan maupun pedesaan. Namun, masyarakat desa dengan

aktivitas fisik < 600 MET/minggu memiliki risiko lebih besar untuk mengalami

hipertensi dibandingkan masyarakat kota. Aktivitas fisik < 600 MET/minggu

meningkatkan risiko hipertensi di perkotaan sebesar 1,051 kali (95% CI: 1,025-

1,078) dibandingkan aktivitas fsik ≥ 600 MET/minggu. Sedangkan di pedesaan,

aktivitas fisik < 600 MET/minggu meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,184

kali (95% CI: 1,152-1,217) dibandingkan aktivitas fsik ≥ 600 MET/minggu.

Hasil analisis menunjukkan bahwa status pernah merokok berhubungan

dengan hipertensi di perkotaan maupun di pedesaan. Masyarakat perkotaan yang

pernah merokok berisiko 2,133 kali (95% CI: 2,06-2,21) mengalami hipertensi

dibandingkan yang tidak pernah merokok. Sedangkan, risiko masyarakat desa

yang pernah merokok sedikit lebih kecil, yaitu 2,024 kali (95% CI: 1,95-2,10).

Sedangkan, masyarakat kota maupun desa yang merupakan perokok tidak

memiliki risiko hipertensi yang signifikan (PORkota = 1,045 dan PORdesa = 0,987).

Secara statistik, status merokok bahkan tidak berhubungan dengan hipertensi.

Konsumsi makanan asin dan konsumsi makanan berlemak juga merupakan

faktor gaya hidup yang menunjukkan hubungan dengan kejadin hipertensi, baik di

perkotaan maupun pedesaan. Di pedesaan, masyarakat yang mengonsumsi

makanan asin ≥ 1 kali/hari berisiko 1,028 kali (95% CI: 1,008-1,048) untuk

mengalami hipertensi. Sedangkan, masyarakat kota yang mengonsumsi makanan

asin ≥ 1 kali/hari dapat terlindungi dari hipertensi (POR = 0,970).

Masyarakat pedesaan yang mengonsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari

berisiko mengalami hipertensi sebesar 1,046 kali (95% CI: 1,027-1,064).


86

Sedangkan, konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari tidak berhubungan dengan

hipertensi pada masyarakat kota (95% CI: 0,965-1,000).

Konsumsi sayur < 3 porsi/hari pun tidak berhubungan dengan hipertensi

(95% CI: 0,987-1,064) di wilayah pedesaan. Ada hubungan antara konsumsi sayur

< 3 porsi/hari dengan hipertensi di wilayah perkotaan (95% CI 0,933-0,970),

walaupun nilai POR menunjukkan penurunan risiko hipertensi. Di wilayah

perkotaan dan pedesaan, konsumsi buah < 3 porsi/hari secara statistik juga

memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi walaupun nilai POR justru

menunjukkan bahwa konsumsi buah < 3 porsi/hari dapat meningkatkan risiko

hipertensi (PORkota = 0,281, 95% CI: 0,771-0,874) dan PORdesa = 0,883, 95% CI:

0,808-0,965).
87

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan yang kemudian

berpengaruh terhadap hasil penelitian. Penggunaan data sekunder Riskesdas

2013 sebagai bahan analisis membuat peneliti terbatas untuk meminimalisasi

bias, terutama bias informasi yang terjadi saat pengumpulan data. Adapun

pengontrolan bias yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan melakukan

cleaning data terhadap missing data dan nilai ekstrim. Selain itu,

pengontrolan terhadap confounding juga dilakukan peneliti, yaitu dengan

mengeksklusi perempuan yang sedang hamil ketika Riskesdas 2013

berlangsung. Pengelola Riskesdas 2013 juga telah melakukan upaya untuk

menjaga kualitas data, di antaranya dengan melakukan pelatihan terhadap

enumerator. Para enumerator yang direkrut juga dipastikan berlatar belakang

pendidikan di bidang kesehatan. Berikut ini adalah penjelasan terkait

beebrapa penyebab bias dalam penelitian ini.

1. Banyak dan beragamnya jenis aktivitas fisik yang dilakukan seseorang

membuat faktor lupa tidak dapat dihindari pada saat wawancara terkait

aktivitas fisik. Faktor lupa juga menjadi penyebab bias dalam

pengumpulan data kebiasaan merokok, terutama terkait waktu pertama

kali merokok sehingga cukup berisiko untuk menambahkan variabel

lama menjadi perokok dalam penelitian. Enumerator Riskesdas berusaha

mengatasi penyebab bias ini dengan melakukan probing.


88

2. Pengukuran aktivitas fisik juga tidak mempertimbangkan aktivitas fisik

yang dilakukan karena pekerjaan ataupun yang dilakukan karena bentuk

dari aktivitas sehari-hari.

3. Pengukuran pola konsumsi dilakukan berdasarkan frekuensi makan yang

kurang spesifik dan kategori pilihan jawabannya cukup sulit untuk

dimengerti. Selain itu jenis makanan yang ditanyakan masih umum.

Upaya yang telah dilakukan untuk mengontrol bias ini adalah dengan

bertanya sebanyak mungkin jenis, frekuensi dan porsi makanan yang

dikonsumsi dengan bantuan kartu peraga.

4. Pengukuran tekanan darah hanya dilakukan pada satu kali kunjungan

sehingga penentuan status hipertensi menjadi bias. Selain itu, pengukuran

tekanan darah menggunakan spignomanometer digital yang validitasnya

lebih rendah dibandingkan menggunakan spignomanometer raksa.

Namun, enumerator meminimalisasi bias ini dengan pengkalibrasian alat.

5. Penentuan wilayah desa-kota dalam Riskesdas 2013 mengikuti ketentuan

yang telah ditetapkan BPS sehingga tidak diketahui dengan pasti

indikator yang digunakan dan apakah indikator tersebut dapat diterapkan

untuk seluruh wilayah di Indonesia atau tidak. Kriteria desa/kota pada

Riskesdas tidak memiliki tingkatan sehingga menjadi bias karena tidak

semua desa merupakan desa tertinggal.


89

B. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi di Wilayah


Perkotaan dan Pedesaan Indonesia Tahun 2013

1. Faktor Sosiodemografi

a. Jenis kelamin

Perempuan rentan mengalami hipertensi karena peran hormon

estrogen. Hormon estrogen berperan dalam proteksi tekanan darah

istirahat ketika adanya aktivitas saraf simpatis akibat dari

peningkatan aktivitas saraf simpatis otot. Pada perempuan yang

berusia > 40 tahun, produksi estrogen mulai menurun sehingga

perlindungan terhadap tekanan darah ketika ada aktivitas saraf

simpatis pun berkurang. Oleh karena itu, prevalensi ataupun risiko

hipertensi akan meningkat pada perempuan yang telah menopouse

(Robertson, 2012).

Hasil penelitian Moreira dkk. (2013) di Brazil menunjukkan

risiko hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan lebih tinggi

pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu, penelitian

di pedesaan Liaoning Cina menunjukkan perempuan berisiko 1,293

mengalami hipertensi dibandingkan laki-laki (Xu dkk., 2008).

Penelitian di perkotaan India juga menunjukkan prevalensi hipertensi

lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki (Prabhakaran

dkk., 2007).

Namun, hasil analisis penelitian ini menunjukkan hal yang

berbeda. Persentase hipertensi lebih tinggi pada laki-laki-laki

dibandingkan perempuan, baik di wilayah perkotaan maupun

pedesaan. Selain itu, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan
90

hipertensi di wilayah pedesaan. Sedangkan di perkotaan, jenis

kelamin berhubungan dengan hipertensi, tetapi nilai POR

menunjukkan faktor protektif terhadap hipertensi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa prevalensi ataupun

risiko hipertensi justru lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan. Di Chennai, prevalensi hipertensi pada laki-laki sebesar

23,2% sedangkan perempuan 17,1% (Mohan, 2007). Penelitian di

wilayah rural Thailand juga menunjukkan bahwa rata-rata tekanan

darah sistolik maupun diastolik lebih tinggi pada laki-laki

dibandingkan dengan perempuan (Howteerakul dkk., 2006).

Peer dkk. (2013) dalam penelitiannya berasumsi bahwa

perempuan lebih sering mengunjungi tempat pelayanan kesehatan

untuk keperluan kesehatan Ibu dan anak sehingga mereka memiliki

kesempatan memperoleh penanganan hipertensi lebih besar.

Sedangkan, laki-laki lebih peduli terhadap urusan pekerjaan daripada

mengunjungi pelayanan kesehatan, terutama ketika jam kerja masih

berlangsung.

Penelitian Howteerakul dkk. (2006) juga menjelaskan bahwa

laki-laki berusia <50 tahun lebih berisiko mengalami hipertensi

dibandingkan perempuan pada usia yang sama. Hal ini karena laki-

laki cenderung lebih sering terpapar oleh perilaku berisiko

hipertensi, seperti konsumsi alkohol dan rokok.

Hasil perbandingan persentase antara perempuan dengan laki-

laki yang memiliki aktivitas fisik < 600 MET/minggu menunjukkan


91

bahwa persentase laki-laki yang beraktivitas fisik < 600

MET/minggu lebih besar dibandingkan perempuan, yaitu 57,2% di

perkotaan dan 55,9% di pedesaan. Hasil perbandingan antara

persentase perempuan dengan laki-laki perokok juga menunjukkan

bahwa baik di perkotaan maupun pedesaan, persentase perokok lebih

tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Setelah dilakukan perbandingan persentase lak-laki dan

perempuan berdasarkan aktivitas fisik dan kebiasaan merokok

diketahui bahwa laki-laki memang cenderung berperilaku berisiko

hipertensi baik di kota maupun di desa. Perbedaan risiko hipertensi

lebih ditentukan oleh faktor gaya hidup dimana baik perempuan

maupun laki-laki dapat berisiko mengalami hipertensi karena gaya

hidup yang diterapkan berisiko menimbulkan hipertensi. Artinya,

jenis kelamin cenderung tidak memberikan perbedaan risiko

hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Berdasarkan hasil pembahasan terkait hubungan antara jenis

kelamin dengan hipertensi dapat diketahui laki-laki lebih berisiko

mengalami hipertensi karena gaya hidup berisiko hipertensi yang

diterapkannya. Dalam buku Pedoman Teknis Penemuan dan

Tatalaksana Hipertensi, Kementerian Kesehatan RI menganjurkan

agar dilakukan pengendalian faktor risiko hipertensi melalui promosi

kesehatan (Kemenkes RI, 2013). Oleh karena itu, Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota perlu melakukan edukasi terkait bahaya dan faktor

risiko hipertensi pada mayarakat di perkotaan maupun pedesaan.


92

Edukasi terkait hipertensi dan skrining penyakit jantung dan

pembuluh darah (PJPD) di tempat kerja juga dapat menjadi salah

satu solusi penanggulangan hipertensi di masyarakat, terutama laki-

laki di perkotaan.

b. Umur

Umur merupakan karakteristik sosiodemografi yang berperan

terhadap kejadian hipertensi. Hal ini karena seiring pertambahan usia

terjadi penumpukan kolagen dan hipertropi sel otot halus yang tipis,

berfragmen dan patahan dari serat elastin pembuluh darah.

Akibatnya, abnormalitas struktural berupa disfungsi endotel yang

meningkatkan kekakuan pembuluh arteri tidak dapat dihindari. Oleh

karena itu, elastisitas pembuluh darah arteri menjadi berkurang

(Black dkk., 2007).

Hasil peneltian ini menunjukkan fakta yang kurang sesuai

dengan teori dimana sebagian besar masyarakat Indonesia yang

mengalami hipertensi, baik di kota maupun desa, berusia 45-54

tahun. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh jumlah responden yang

diteliti juga sebagian besar berusia 45-54 tahun. Namun, secara

statistik umur berhubungan dengan hipertensi dan risiko hipertensi

semakin meningkat seiring dengan pertambahan umur.

Risiko hipertensi pun paling besar ditunjukkan pada kelompok

umur ≥ 65 tahun. Laporan hasil Riskesdas tahun 2013 mendukung

fakta tersebut dimana hipertensi merupakan penyakit yang

cenderung dialami sebagian besar lansia, yaitu 57,6% kemudian


93

disusul penyakit artritis 51,9% (Kemenkes RI, 2013). Penelitian

Moreira (2013) di Brazil juga menunjukkan bahwa prevalensi dan

risiko hipertensi semakin meningkat seiring dengan pertmbahan

umur.

Prevalensi dan risiko hipertensi yang meningkat seiring dengan

pertambahan umur terjadi di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Artinya, penyakit hipertensi saat ini dapat terjadi pada semua

golongan umur dan tidak ada perbedaan antara di kota maupun di

desa. Oleh karena itu, selain perlu dilakukan edukasi terkait bahaya

dan cara pencegahan hipertensi, skrining penyakit jantung dan

pembuuh darah (PJPD) juga perlu dilakukan sebagai upaya

pencegahan dini hipertensi pada kelompok masyarakat muda.

c. Pendidikan

Pendidikan merupakan hal penting untuk meningkatkan

pengetahuan. Penelitian Viera dkk. (2008) di California

membuktikan bahwa responden dengan tingkat pendidikan rendah

berisiko 2,43 kali memiliki pengetahuan tentang hipertensi yang

rendah. Pengetahuan yang baik akan menimbulkan kesadaran yang

positif. Masyarakat akan dengan sukarela mengubah gaya hidupnya

ketika memiliki kesadaran terkait faktor risiko dari hipertensi (Aung

dkk., 2012; Anggara dan Prayitno., 2013).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar

masyarakat desa yang menderita hipertensi hanya tamatan SD/MI.

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan hal serupa dimana


94

persentase hipertensi lebih banyak terjadi pada masyarakat tamatan

SD/MI (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat

pendidikan yang rendah (tidak sekolah/tidak tamat SD/MI dan

tamatan SD/MI) dengan hipertensi di wilayah perkotaan mapun

pedesaan.

Risiko hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan juga

meningkat seiring dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahajeng dan Tuminah

(2009) dan penelitian Zhang dkk. (2013) di Cina bahwa semakin

rendah tingkat pendidikan masyarakat maka semakin tinggi pula

risikonya mengalami hipertensi. Penelitian di Brazil juga

menunjukkan bahwa pendidikan selama ≥15 tahun dapat melindungi

responden dari risiko hipertensi 0,69 kali di wilayah urban dan 0,75

kali di wilayah rural (Moreira dkk., 2013).

Walaupun risiko hipertensi di perkotaan maupun pedesaan

semakin meningkat seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan

masyarakat, tetapi risiko hipertensi di perkotaan lebih besar

dibandingkan di pedesaan. Selain itu, proporsi penderita hipertensi

terbesar pada masyarakat kota adalah masyarakat yang justru

berhasil menempuh pendidikan hingga tamat SMA/MA. Artinya,

pengetahuan yang cukup pun belum bisa menjamin terciptanya

perilaku yang baik. Hal ini karena menurut teori Lehendroff dan
95

Tracy perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan tetapi juga

kemauan (Sudarma M., 2008).

Hasil analisis penelitian ini memang menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan hipertensi.

Risiko hipertensi pun semakin meningkat seiring dengan rendahnya

tigkat pendidikan, terutama di pedesaan. Namun, hal ini tidak dapat

menunjukkan hubungan ataupun risiko yang sebenernya antara

tingkat pendidikan yang rendah dengan kejadian hipertensi. Hal ini

karena proporsi masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah

(tamatan SD/MI) lebih besar di pedesaan, yaitu 34,88%. Sedangkan,

sebagian besar masyarakat kota adalah tamatan SLTA/MA, yaitu

35,41%.

Pada penelitian ini, tingkat pendidikan yang rendah tidak dapat

menunjukkan hubungan dan risiko sebenarnya terhadap kejadian

hipertensi. Namun, pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan RI

diharapkan dapat terus membuat kebijakan terkait kampanye gaya

hidup sehat yang dapat diselenggarakan oleh semua kabupaten/kota

di seluruh Indonesia. Hal ini agar tigkat pengetahuan masyarakat

dapat terus meningkat sehingga dapat mencegah dan mengendalikan

kejadian hipertensi di wilayah perkotaan maupun pedesaan

Indonesia.

d. Status Pekerjaan
96

Bekerja dapat mencegah terjadinya hipertensi karena dengan

bekerja, tubuh dapat melakukan aktivitas fisik yang baik untuk

peredaran darah (Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Hasil penelitian

Moreira dkk. (2013) di Brazil menunjukkan bahwa masyarakat kota

maupun desa yang bekerja dapat terhindar dari hipertensi. Di

Indonesia, orang yang tidak bekerja berisiko 1,42 kali mengalami

hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Namun, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori maupun

hasil-hasil penelitian tersebut dimana kejadian hipertensi sebagian

besar dialami oleh para pekerja. Selain itu, status pekerjaan

berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun

pedesaan. Namun, nilai POR justru menunjukkan bahwa orang yang

tidak bekerja justru terlindungi dari hipertensi.

Di perkotaan, masyarakat yang bekerja dengan pendapatan

minim tentu mengalami kendala dalam memenuhi kebutuhan hidup,

salah satunya kesehatan. Menurut Mion dkk. (2004), cara

pencegahan pengobatan dan diagnosisis dini penyakit hipertensi

dapat diperoleh ketika pendapatan keluarga tinggi. Hasil penelitian

Mion dkk. (2004) di Brazil menunjukkan bahwa pendapatan

keluarga yang rendah meningkatkan risiko hipertensi sebesar 1,66

kali. Conen dkk. (2009) dalam penelitiannya juga menjelaskan

bahwa status sosial ekonomi yang rendah secara tidak langsung

dapat menyebabkan hipertensi karena pengaruh akses ke pelayanan

kesehatan, diet, dukungan sosial dan tetangga serta stres emosional.


97

Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam

pemilihan makanan (Kearney dkk., 2005). Karney dkk. (2009)

menjelaskan bahwa pendapatan yang rendah akan menurunkan

kemampuan membeli makanan yang sehat. Selain itu, tuntutan untuk

meningkatkan pendapatan membuat masyarakat bekerja lebih giat.

Akibatnya, seperti yang sering terjadi di perkotaan, masyarakat lebih

memilih mengonsumsi makanan cepat saji di luar rumah ketika

sedang sibuk bekerja (Karney dkk., 2009).

Kemiskinan tentu menjadi masalah bagi masyarakat desa.

Namun, budaya kekeluargaan dan hubungan yang erat

antarmasyarakat di pedesaan membuat mereka saling membantu

antarsesama. Kehidupan masyarakat desa yang agamis juga

membuat mereka tidak mudah stres ketika mengalami masalah

kehidupan, termasuk masalah pekerjaan dan masalah ekonomi

(Soekanto, 2009). Hal-hal tersebut kemudian dapat menjadi faktor

terlindunginya masyarakat desa dari hipertensi sekalipun mereka

tidak bekerja dan miskin.

Dalam menentukan bahwa pekerjaan merupakan salah satu yang

berhubungan dengan hipertensi tidak dapat dilihat hanya dari status

seseorang bekerja atau tidak. Namun, perlu juga mempertimbangkan

lama waktu kerja. Waktu untuk pemulihan dan istirahat tidur akan

berkurang ketika lama waktu kerja terlalu panjang. Waktu kerja yang

panjang dapat mempengaruhi gaya hidup, seperti merokok, diet tidak


98

sehat dan kurang aktivitas fisik. Kondisi psikologis pekerja juga

dapat terganggu ketika bekerja terlalu lama (Yang dkk., 2006).

Studi kesehatan kerja dan beberapa buku tentang kesehatan

kerja menjelaskan bahwa pekerja industri yang terpapar kondisi

lingkungan kerja yang panas dan bising dapat berisiko terkena

hipertensi (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Rodahl K.,

2005; Levy B. S. dkk., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi

lingkungan yang panas dapat menyebabkan stres yang dapat

meningkatkan tekanan darah sehingga menyebabkan hipertensi

(Rodahl K., 2005; Arezes P. M. dkk., 2014). Kondisi lingkungan

yang bising dapat mempengaruhi viskositas plasma dan

menyebabkan penyempitan pembuluh darah sehingga tekanan darah

meningkat (Greenberg M. I. dkk., 2003; Juan P., 2005; Arezes P. M.

dkk., 2014).

Selain itu, beberapa jenis pekerjaan seperti, pegawai negeri sipil,

pekerja bank, supir, petugas pengamanan (security) dan pekerjaan

yang mengandalkan mesin otomatis membuat para pekerja menjadi

kurang beraktivitas fisik sehingga berisiko hipertensi (Kumar P.

dkk., 2002; Divan V. dkk., 2010; Bosu, 2014). Oleh karena itu, perlu

dilakukan penanggulangan risiko kesehatan kerja, baik melalui

manajemen kerja, penggunaan alat pelindung diri (APD), ataupun

penguran sumber pemapar. Selain itu, pelayanan skrining dan

kontrol hipertensi sebaiknya tersedia di tempat kerja agar kasus

hipertensi pada pekerja dapat segera diketahui dan ditanggulangi.


99

Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

diharapkan dapat mengawasi pelaksanaan kesehatan dan

keselematan di tempat kerja. Selain itu pihak Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota juga harus melakukan advokasi kepada para

pengelola tempat kerja untuk mengadakan skrining dan kontrol

penyakit hipertensi.

Jenis pekerjaan berperan penting terhadap kejadian hipertensi.

Namun, penelitian ini tidak meneliti variabel jenis pekerjaan

walaupun Riskesdas 2013 sesungguhnya memiliki variabel jenis

pekerjaan. Hal ini dikarenakan pengkategorian variabel jenis

pekerjaan dalam Riskesdas 2013 belum spesifik dan tidak

mempertimbangkan jenis pekerjaan yang berisiko hipertensi. Hal ini

kemudian menjadi kelemahan dalam penelitian ini.

2. Faktor Fisik dan Riwayat Penyakit

a. Obesitas

Obesitas adalah kondisi dimana indeks masa tubuh >27 kg/m2

(Kemenkes RI, 2013). Ketidaknormalan mekanisme kontrol terhadap

tekanan arterial, seperti hiperinsulinemia terjadi pada penderita

obesitas. Akibatnya, terjadi aktivasi sistem saraf simpatis dan

penyimpanan sodium sehingga menyebabkan peningkatan tekanan

darah dan hipertensi (Goran M. I. dan Sothern, 2006; Hu, 2008).

Hasil analisis menunjukkan bahwa persentase penderita

hipertensi di perkotaan yang mengalami obesitas (30,28%) lebih

tinggi dibandingkan di pedesaan (20,67%). Hasil penelitian


100

sebelumnya di Ghana menunjukkan bahwa indeks massa tubuh pada

masyarakat perkotaan (29,9) lebih tinggi dibandingkan dengan

masyarakat pedesaan (25,3) (Obirikorang, 2015).

Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa obesitas berisiko

menyebabkan hipertensi (Sobngwi dkk., 2004; Howteerakul dkk.,

2006; Mendez-Chacon, 2008; Gao dkk., 2013; Forman, 2009;

Natalia D., 2015). Obesitas berisiko 1,21 kali menyebabkan

hipertensi pada laki-laki dan 5,45 kali pada perempuan di wilayah

rural Brazil (Pimenta dkk., 2008). Di Chennai, obesitas

menimbulkan risiko 2,37 kali mengalami hipertensi dibandingkan

orang normal (Mohan dkk., 2007). Di Indonesia, seseorang yang

mengalami obesitas berisiko 2,79 kali mengalami hipertensi

(Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Hasil analisis penelitian ini juga menemukan bahwa obesitas

behubungan dengan hipertensi tidak hanya terjadi di wilayah

perkotaan tetapi di pedesaan juga terjadi. Besar risiko obesitas untuk

menyebabkan hipertensi di masing-masing wilayah pun hampir

sama. Masyarakat kota yang obesitas berisiko 2,869 kali mengalami

hipertensi sedangkan masyarakat desa sedikit lebih kecil, yaitu 2,749

kali. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peran obesitas untuk

menyebabkan hipertensi tidak dipengaruhi oleh wilayah desa atau

kota sehingga penanggulangan obesitas menjadi penting baik di

wilayah kota maupun desa.


101

Orang yang mengalami obesitas berisiko mengalami hipertensi

tanpa mengenal daerah atau wilayah tempat tinggal. Namun, jika

dilihat dari penyebab terjadinya obesitas, seperti pola konsumsi dan

aktivitas fisik maka adanya perbedaan persentase penderita

hipertensi yang mengalami obesitas antara di kota dengan di desa

dapat dijelaskan.

Hasil analisis proporsi pola konsumsi masyarakat yang

mengalami obesitas di perkotaan dan pedesaan menunjukkan bahwa

sebagian besar pola konsumsi tidak sehat dilakukan oleh masyarakat

kota yang. Persentase masyarakat kota yang mengalami obesitas dan

mengonsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari adalah sebesar 60,5%

sedangkan masyarakat pedesaan hanya 39,5%. Sekitar 56%

masyarakat penderita obesitas yang kurang mengonsumsi sayur dan

buah tinggal di kota. Selain itu, 66,3% masyarakat penderita obesitas

yang beraktivitas fisik < 600 MET/minggu juga tinggal di kota. Oleh

karena itu pencegahan dan pengendalian hipertensi melalui edukasi

dan pemberdayaan masyarakat terkait gaya hidup sehat perlu

dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di perkotaan.

b. Riwayat Diabetes

Resistensi insulin yang biasanya dialami oleh penderita diabetes

akan meningkatkan tekanan darah. Hal ini karena hilangnya aktivitas

vasodilator normal dari insulin atau efek jangka panjang dari

hiperinsulinemia (Holt, 2011). Oleh karena itu, secara biologis

riwayat diabetes menjadi salah satu faktor terjadinya hipertensi.


102

Hasil analisis penelitian ini menunjukkan bahwa persentase

penderita hipertensi yang memiliki riwayat diabetes lebih tinggi di

perkotaan dibandingkan pedesaan. Hal ini kemungkinan dipengaruhi

oleh faktor obesitas dimana dalam penelitian ini persentase penderita

hipertensi yang obesitas juga lebih tinggi di perkotaan dibandingkan

di pedesaan. Sebagaimana hasil penelitian sebelumnya yang

menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor yang berhubungan

dengan diabetes (Jelantik dan Heryati, 2014; Hussain A. dkk., 2010)

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara

diabetes dengan hipertensi (Peer dkk., 2013; Gao dkk., 2013). Di

India, orang yang diabetes berisiko 4,32 kali mengalami hipertensi

(Kannan dan Satyamoorthy, 2009). Penelitian Basuki dan Setianto

(2001) pada masyarakat Sunda di Kabupaten Bogor membuktikan

bahwa riwayat diabetes berisiko 2,45 kali mengalami hipertensi.

Namun, penelitian Rahajeng di Indonesia justru menunjukkan bahwa

riwayat diabetes tidak memberikan risiko yang signifikan untuk

mengalami hipertensi (Rahajeng dan Tuminah, 2009).

Tidak jauh berbeda dengan hasil analisis terhadap faktor

obesitas, riwayat diabetes juga berhubungan dengan hipertensi di

wilayah perkotaan maupun pedesaan. Risiko masyarakat yang

memilki riwayat diabetes untuk mengalami hipertensi pun hampir

sama antara di perkotaan dengan pedesaan. Penelitian sebelumnya

juga menunjukkan bahwa riwayat diabetes meningkatkan risiko


103

hipertensi sebesar 4,43 kali di perkotaan dan 4,61 kali pedesaan

Brazil (Moreira dkk., 2013). Oleh karena itu, penderita diabetes di

perkotaan maupun pedesaan harus segera diobati dan dicegah agar

tidak berdampak resistensi insulin yang dapat menyebabkan

hipertensi.

3. Faktor Gaya Hidup

a. Aktivitas Fisik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar

penderita hipertensi di perkotaan (86,47%) maupun di pedesaan

(89,74%) memiliki aktivitas fisik ≥ 600 MET. Penelitian Moreira

dkk. (2013) juga menunjukkan hal serupa dimana risiko hipertensi

justru semakin meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas

fisik, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Padahal, WHO

merekomendasikan untuk melakukan aktivitas fisik ≥ 600

MET/minggu agar dapat terhindar dari penyakit kardiovaskular

(WHO, 2013).

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan antara

aktivitas fisik dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun

pedesaan. Hasil beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan

ada hubungan antara aktivitas fisik dengan hipertensi (Peer N., 2013;

Pooja dan Mittal, 2013; South dkk., 2013; Rahajeng dan Tuminah,

2009). Namun, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa risiko

hipertensi sangat kecil pada responden dengan aktivitas fisik < 600

MET/minggu. Sebaliknya, penelitian Forman (2009) menunjukkan


104

bahwa latihan rutin 7 hari per minggu mampu menurunkan risiko

hipertensi pada perawat hingga 0,87 kali dibandingkan yang <1 hari

per minggu.

Secara teoritis, aktivitas fisik mempengaruhi tekanan darah

melalui peningkatan ataupun penurunan aktivitas saraf simpatis

(Mohler dan Towsend, 2006). Aktivitas fisik meningkatkan

penggunaan glukosa dalam otot dan meningkatkan sensitivitas

insulin yang menyebabkan penurunan aktivitas saraf simpatis

sehingga menurunkan tekanan darah sistolik dan siastolik (Lin dan

Laura, 2012). Selain itu, aktivitas fisik yang rutin dapat mengurangi

lemak jenuh, meningkatkan eliminasi sodium yang terjadi karena

perubahan fungsi ginjal, mengurangi plasma renin dan aktivitas

katekolamin yang dapat mencegah terjadinya peningkatan tekanan

darah (Rahl, 2010).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas fisik ≤

600 MET/minggu meningkatkan risiko hipertensi di wilayah

pedesaan. Besar risiko dan persentase masyarakat pedesaan dengan

aktivitas fisik ≤ 600 MET bahkan lebih besar daripada masyarakat

perkotaan. Padahal menurut Moore (2001), masyarakat desa lebih

terlindungi dari hipertensi karena gaya hidup mereka aktif, seperti

lebih sering berjalan kaki setiap hari.

Dampak urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan

masyarakat desa tidak lagi memiliki gaya hidup yang aktif.

Masyarakat desa yang berkunjung ke kota akan mengikuti gaya


105

hidup modern masyarakat kota. Penduduk desa yang datang ke kota

bahkan dapat mengalami peningkatan tekanan darah sekalipun hanya

berkunjung dalam rentang waktu satu bulan (Ekezie dan Anthony,

2011). Selain itu, teknologi informasi seperti televisi dan internet

mulai berkembang di pedesaan (APJII, 2012; Kemenkominfo, 2011;

Hadiyat Y. D., 2014). Masyarakat desa pun kini dapat memperoleh

informasi gaya hidup modern dengan mudah tanpa harus ke kota.

Oleh karena itu, Puskesmas di pedesaan perlu membuat kegiatan

yang dapat meningkatkan aktivitas fisik masyarakat, contohnya

senam sehat.

Selain itu, pengukuran aktivitas fisik yang kurang tepat mungkin

menyebabkan bias pada hasil penelitian ini. Dalam kuesioner

Riskesdas tahun 2013, dilakukan penggabungan pertanyaan untuk

mengukur aktivitas fisik pada hari-hari kerja dan aktivitas fisik pada

hari-hari libur. Sedangkan, WHO membuat pemisahan pertanyaan

untuk kedua kondisi tersebut (Kemenkes RI, 2013).

b. Kebiasaan Merokok

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar

penderita hipertensi di wilayah perkotaan dan pedesaan Indonesia

belum pernah merokok. Namun, 31,83% penderita hipertensi di

perkotaan dan 34,86% penderita hipertensi di pedesaan merupakan

perokok. Penelitian Rahajeng dan Tuminah (2009) juga

menunjukkan ada sekitar 30% penderita hipertensi yang merupakan

perokok.
106

Kebiasaan merokok ini berperan menyebabkan hipertensi karena

rokok mengandung nikotin dan karbondioksida yang mempengaruhi

tekanan darah. Nikotin dapat meningkatkan asam lemak,

mengaktiviasi trombosit, memicu aterosklerosis dan penyempitan

pembuluh darah (Cahyono, 2008; Depkes RI, 2006). Sedangkan

karbon monoksida mengakibatkan hemoglobin dalam darah rusak

sehingga menumpuk di membran pembuluh kapiler dan

menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah (Schnitzer, 2000;

Depkes RI, 2006).

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kebiasaan

merokok berhubungan dengan kejadian hipertensi di wilayah

perkotaan dan pedesaan Indonesia. Risiko hipertensi terdapat pada

masyarakat yang pernah merokok dan risiko masyarakat perkotaan

yang pernah merokok lebih tinggi dibandingkan masyarakat

pedesaan. Hasil penelitian Moreira dkk. (2013) di wilayah perkotaan

Brazil juga menunjukkan bahwa merokok berhubungan dengan

hipertensi dan risiko masyarakat kota yang pernah merokok adalah

1,20 kali lebih berisiko dibandingkan yang tidak pernah merokok.

Masyarakat yang pernah merokok berisiko terkena hipertensi

karena orang yang pernah merokok diasumsikan memiliki durasi

merokok yang lebih lama dibandingkan yang masih merokok. Hal

ini didukung oleh penelitian Thuy A. B. (2010) bahwa kebiasaan

merokok menyebabkan hipertensi dipengaruhi oleh lama waktu


107

menjadi perokok. Namun, dalam penelitian ini durasi merokok tidak

diteliti sehingga menjadi kelemahan dalam penelitian ini

Masyarakat kota yang pernah merokok lebih berisiko

mengalami hipertensi dibandingkan pedesaan dimungkinkan karena

faktor stres. Penelitian Liu dkk. (2015) dan Cui dkk. (2012)

menjelaskan bahwa faktor stres adalah penyebab perilaku merokok

pada imigran Cina yang tinggal di kota, terutama stres kerja.

Penelitian kualitatif pada mahasiswi di Kota Makassar juga

menunjukkan bahwa stres menjadi salah satu faktor pemicu para

mahasiswi berperilaku merokok (Tarupay dkk., 2014). Stres juga

menjadi penyebab perilaku merokok pada remaja laki-laki di kota

Medan (Kemala H., 2005).

Penerapan konsep kota sehat harus terus dilakukan oleh

pemerintah daerah di Indonesia. Hal ini dapat menjadi solusi untuk

mencegah dan mengendalikan perilaku merokok di masyarakat yang

bersifat pemberdayaan, contohnya kampanye anti rokok oleh

masyarakat. Selain itu, dapat mengatasi tingkat stres masyarakat

melalui taman-taman kota yang nyaman. Jadi, masyarakat diajak

untuk mandiri dalam menciptakan kehidupan kota yang aman,

nyaman dan sehat sebagaimana definisi kota sehat (Hidayat dan

Abikusno, 2003).

c. Konsumsi Makanan Asin


108

Volume cairan dalam tubuh meningkat ketika seseorang

mengonsumsi makanan asin atau yang mengandung garam tinggi.

Hal ini karena garam menarik cairan di luar sel agar tidak

dikeluarkan oleh tubuh sehingga volume dan tekanan darah

meningkat (Depkes RI, 2006). Dalam buku Deteksi Dini Faktor

Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dijelaskan bahwa

sering makan makanan asin (≥1 kali/hari) merupakan salah satu

faktor risiko dari penyakit jantung dan pembuluh darah pada

penduduk umur 18 tahun ke atas (Kemenkes RI, 2010).

Konsumsi garam berlebih merupakan salah satu faktor pemicu

meninggalnya 1,7 juta orang di tahun 2010 karena penyakit

kardiovaskular. Data WHO juga menunjukkan bahwa konsumsi

garam masyarakat secara global adalah sekitar 10 g per hari (4 g/hari

sodium). Asia Tenggara merupakan kawasan dengan tingkat

konsumsi garam yang tinggi. Padahal, konsumsi garam melebihi 5

g/hari (lebih dari 1 sendok teh per hari) berkontribusi terhadap

peningkatan tekanan darah (WHO, 2014).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 20,95% penderita

hipertensi di perkotaan mengonsumsi makanan asin ≥1 kali/hari

sedangkan di pedesaan persentasenya sedikit lebih tinggi, yaitu

22,67%. Selain itu, konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari juga

berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun

pedesaan. Hasil penelitian Bartwal dkk. (2014) di Haldwani juga


109

membuktikan bahwa ada hubungan antara asupan garam dengan

hipertensi (x2 = 12,42).

Urbanisasi dan globalisasi dapat menjadi alasan adanya

perubahan gaya hidup masyarakat desa dalam hal konsumsi

makanan asin sehingga berisiko hipertensi (WHO, 2014). Fenomena

urbanisasi dan globalisasi seharusnya diiringi oleh pengetahuan yang

baik agar tidak menimbulkan dampak buruk. Namun, hasil penelitian

di Desa Blulukan Karanganyar menunjukkan bahwa sebagian besar

dari lansia memiliki pengetahuan yang kurang (48,7%) tentang

hipertensi (Utomo P. T., 2013).

Hasil penelitian pada masyarakat desa Patobong Kecamatan

Pinrang pun menunjukkan bahwa 93,8% masyarakat memiliki

pengetahuan yang kurang terkait hipertensi (Maharani dkk., 2013).

Oleh karena itu, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten dibantu dengan

tenaga kesehatan Puskesmas desa dapat berperan dalam memberikan

edukasi terkait faktor risiko hipertensi dan cara pencegahannya.

Selain faktor urbanisasi dan globalisasi, karakteristik desa yang

diteliti dalam penelitian ini juga berperan penting dalam hasil

penelitian terkait hubungan konsumsi makanan asin dengan

hipertensi. Hal ini karena sesungguhnya terdapat tingkatan dalam

penentuan sebuah desa sehingga tidak semua desa adalah desa

tertinggal. Data dari situs Kementerian Desa (2015) menunjukkan

bahwa pada tahun 2013 sebanyak 70% desa tertinggal berlokasi di

wilayah Timur Indonesia. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya


110

disarankan untuk membuat tingkatan dalam pengkategorian desa-

kota.

Ada hubungan antara konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari

dengan hipertensi. Namun, risiko hipertensi akibat konsumsi

makanan asin ≥1 kali/hari ternyata hanya terjadi pada masyarakat

pedesaan. Sedangkan di perkotaan, konsumsi makanan asin ≥1

kali/hari justru menunjukkan faktor protektif. Hasil analisis

multivariat penelitian Indrawati dkk. (2009) mirip dengan hasil

penelitian di perkotaan dalam penelitian ini dimana ada hubungan

antara konsumsi makanan asin dengan hipertensi (P = 0,001).

Namun, konsumsi makanan asin yang sering atau jarang tidak

berisiko menyebabkan hipertensi.

Globalisasi sebenarnya memiliki dampak positif di bidang

kesehatan. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta

berkembangnya kualitas dan fasilitas pelayanan kesehatan di

perkotaan justru dapat memudahkan masyarakat untuk memperoleh

informasi dan pelayanan kesehatan yang berkualitas (Martens P.

dkk., 2010). Jadi, mungkin tidak semua masyarakat kota bergaya

hidup tidak sehat. Masyarakat kota pun punya peluang yang besar

terlindungi dari hipertensi terutama jika mereka bijak dalam

menyikapi globalisasi.

Pengukuran pola konsumsi makanan yang kurang valid juga

dapat menjadi perilaku konsumsi makanan asin ≥1 kali/hari

masyarakat kota justru mengurangi risko hipertensi. Pengukuran


111

pola konsumsi makanan yang digunakan saat Riskesdas 2013 adalah

berdasarkan frekuensi makan sehingga kurang valid dan subjektif

(Rahajeng dan Tuminah, 2009). Selain itu, penelitian ini adalah

penelitian berskala nasional sehingga data yang diperoleh lebih

heterogen. Akibatnya, beberapa wilayah Indonesia yang memiliki

budaya makan makanan asin jadi tersamarkan pengaruhnya.

d. Konsumsi Makanan Berlemak

Konsumsi makanan berlemak terlalu sering adalah mencapai ≥ 1

kali/hari (Kemenkes RI, 2010). Hasil analisis penelitian ini

menunjukkan bahwa sebagian besar penderita hipertensi di

perkotaan dan pedesaan Indonesia justru mengonsumsi makanan

berlemak < 1 kali/hari. Hasil analisis konsumsi lemak pada

penduduk Indonesia menunjukkan bahwa persentase lemak total

penduduk Indonesia masih di bawah standar yang dianjurkan, yaitu

25%. Namun, persentase lemak jenuh mencapai 18,2% sehingga

melebihi persentase lemak jenuh yang dianjurkan WHO, yaitu 10%

(Hardiansyah, 2011).

Konsumsi makanan berlemak secara berlebihan dapat

menyebabkan hiperlipidemia. Hiperlipidemia akan menyebabkan

peningkatan kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL

dan/atau penurunan kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol

berperan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis yang

kemudian menghambat aliran darah sehingga tekanan darah menjadi

tinggi (Depkes RI, 2006).


112

Hasil penelitian ini menunjukkan baha ada hubungan antara

konsumsi makanan berlemak ≥ 1 kali/hari dengan hipertensi.

Penelitian Stefhany (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat

hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada lansia (P =

0,010). Lansia yang sering mengonsumsi lemak berisiko kemudian

berisiko 2,785 kali mengalami hipertensi (Stefhany, 2012). Di

Afrika, konsumsi lemak berlebih berhubungan dengan hipertensi (P

= 0,024) dan meningkatkan risiko hipertensi hingga 2,08 kali

(Ramirez dkk., 2010).

Hasil penelitian ini justru menunjukkan hal sebaliknya untuk

wilayah perkotaan dimana tidak ada hubungan antara konsumsi

makanan berlemak ≥ 1 kali/hari dengan hipertensi. Penelitian

Indrawati dkk. (2009) menunjukkan adanya hubungan antara

konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi. Namun, sejalan

dengan penelitian ini, penelitian Indrawati dkk. (2009) juga

menjelaskan konsumsi makanan berlemak yang terlalu sering justru

tidak meningkatkan risiko hipertensi.

Perubahan gaya hidup akibat pengaruh urbanisasi dan

globalisasi pada masyarakat desa juga merupakan alasan adanya

hubungan konsumsi makanan berlemak dengan hipertensi pada

masyarakat desa (WHO, 2013). Sedangkan, dampak positif

globalisasi seperti kemajuan teknologi informasi menjadi faktor

masyarakat kota juga dapat terlindungi dari risiko hipertensi, yaitu

konsumsi makanan berlemak (Martens P. dkk., 2010).


113

Cara pengukuran pola makan yang kurang valid dan subjektif,

tidak ada tingkatan pengkategorian desa-kota dan tidak

dipertimbangakannya budaya makan daerah-daerah yang diteliti pun

menjadi kelemahan dalam analisis konsumsi makanan berlemak

dengan hipertensi. Oleh karena itu, perbaikan metode pengukuran

konsumsi makanan dan penentuan desa-kota perlu diperhatikan

untuk penelitian selanjutnya.

e. Konsumsi Sayur dan Buah

Konsumsi buah < 3 porsi/hari dan sayur < 2 porsi/hari dapat

meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Konsumsi sayur dan

buah yang cukup dapat mencegah hipertensi. Serat yang terkandung

dalam sayuran resisten terhadap enzim pencernaan manusia. Serat

berperan dalam mengurangi tingkat insulin, dimana hiperinsulinemia

menyebabkan intoleransi glukosa yang dapat menyebabkan

hipertensi (Lin dan Laura, 2012). Sedangkan, polifenol yang

terkandung dalam buah-buahan dapat melindungi jantung. Beban

glikemik yang rendah pada beberapa jenis buah tidak berisiko

menyebabkan hipertensi (McFarlane dan Bakris, 2012). Oleh karena

itu, konsumsi buah dan sayur sebanyak 4-5 porsi/hari adalah yang

dianjurkan dalam DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension)

(Grodner dkk., 2004).

Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa konsumsi

sayur < 3 porsi/hari berhubungan dengan hipertensi di wilayah

perkotaan, tetapi tidak untuk di pedesaan. Selain itu, konsumsi buah


114

< 2 porsi/hari berhubungan dengan hipertensi di wilayah perkotaan

maupun pedesaan. Namun, nilai POR menunjukkan bahwa konsumsi

sayur < 3 porsi/hari dan konsumsi sayur < 2 porsi/hari justru

menurunkan risiko hipertensi pada masyarakat di wilayah perkotaan

maupun pedesaan.

Hasil peneletian Utsugi dkk. (2008) di Jepang menunjukkan

bahwa banyak mengkonsumsi buah dan sayur berhubungan dengan

rendahnya risiko terkena hipertensi. Hasil penelitian dari Bazzano

dkk (2002) menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayur

berhubungan dengan hipertensi (P < 0,001). Selain itu, hasil

penelitian pada masyarakat rural Bangladesh menunjukkan bahwa

konsumsi sayur dan buah berhubungan dengan hipertensi (P =

0,0006 dan P = 0,0138) (Khanam dkk., 2015).

Sejalan dengan hasil analisis dalam penelitian ini, penelitian

Indrawati dkk. (2009) di Indonesia menunjukkan bhwa konsumsi

buah dan sayur berhubungan dengan kejadian hipertensi (P = 0,000).

Namun, tidak ada perbedaan risiko hipertensi antara yang

mengonsumsi buah dan sayur < 3 porsi/hari dengan yang ≥ 3

porsi/hari (Indrawati dkk., 2009). Penelitian Rahajeng dan Tuminah

(2009) di Indonesia juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

antara konsumsi sayur dan buah dengan hipertensi.

Berdasarkan hasil penelitian ini dan didukung dari hasil

penelitian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara statistik

kurang mengonsumsi sayur dan buah bukan merupakan faktor risiko


115

hipertensi. Namun, hasil analisis penelitian ini juga menunjukkan

sebagian besar penderita hipertensi mengonsumsi sayur < 3

porsi/hari, bahkan persentasenya mencapai lebih dari 72%, baik di

perkotaan maupun di pedesaan Indonesia. Selain itu, sebagian besar

penderita hipertensi juga mengonsumsi buah < 2 porsi/hari, bahkan

persentasenya mencapai lebih dari 98%, baik di perkotaan maupun

di pedesaan Indonesia. Artinya, kurang mengonsumsi sayur dan

buah berkaitan dengan kejadian hipertensi walaupun tidak secara

statistik

Tingginya persentase penderita hipertensi yang kurang

mengonsumsi sayur dan buah seharusnya tidak terjadi di pedesaan.

Hal ini karena menurut Ngoye (2014) masyarakat desa memiliki

periaku konsumsi tradisional dimana makanan yang dikonsumsi

tinggi akan protein seperti susu fermentasi. Hal ini berarti perubahan

gaya hidup sebagai dampak globalisasi dan akulturasi budaya di

pedesaan juga turut berperan dalam pola konsumsi sayur dan buah

masyarakat desa sehingga berisiko hipertensi.

Seperti pembahasan terkait konsumsi makanan asin dan

berlemak dengan hipertensi, hasil analisis hubungan antara konsumsi

sayur dan buah dengan hipertensi pun dipengaruhi metode

pengukuran pola makan yang kurang valid. Pengelompokkan desa-

kota dalam Riskesdas 2013 yang tidak memperhatikan tingkatan

karakterstik perkotaan dan pedesaan Indonesia juga berperan dalam

hasil analisis penelitian ini. Oleh karena itu, kedua hal ini menjadi
116

keterbatasan dalam peelitian ini sehingga perlu diperhatikan pada

penelitian selanjutnya.

Tidak semua pedesaan di Indonesia tergolong desa terpencil.

Hanya 30% desa terpencil yang berlokasi di wilayah Barat Indonesia

sedangkan sisanya berada di Indonesia bagian Timur. (Kemendesa,

2013) Oleh karena itu, sebaiknya penelitian selanjutnya

mempertimbangkan karakteristik desa maupun kota agar dapat

diperoleh perbedaan yang jelas antara kejadian hipertensi di

perkotaan dengan pedesaan.


117

BAB VII

PENUTUP

A. Simpulan

1. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan lebih besar pada laki-

laki dibandingkan perempuan, yaitu 54,74% di perkotaan dan 54,02% di

pedesaan. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan lebih besar

pada kelompok umur 45-54 tahun, yaitu 33,20% di perkotaan dan

30,45% di pedesaan. Di wilayah perkotaan, proporsi hipertensi lebih

tinggi pada masyarakat tamatan SLTA/SMA, yaitu 30,85%. Sedangkan

di pedesaan, proporsi hipertensi lebih tinggi pada masyarakat tamatan

SD/MI, yaitu 39,31%. Proporsi hipertensi di perkotaan maupun pedesaan

lebih tinggi pada masyarakat yang bekerja daripada yang tidak bekerja,

yaitu 62,07% di perkotaan dan 68,56% di pedesaan.

2. Sebanyak 30,28% penderita hipertensi di perkotaan mengalami obesitas,

sedangkan di pedesaan ada 20,67% penderita hipertensi yang mengalami

obesitas. Selain itu, sebanyak 3,97% penderita hipertensi di perkotaan

memiliki riwayat diabetes. Sedangkan di pedesaan, hanya 1,96%

penderita hipertensi yang memiliki riwayat diabetes.

3. Di perkotaan, sebanyak 13,53% penderita hipertensi memiliki aktivitas

fisik < 600 MET/minggu. Sedangkan di pedesaan, ada 10,26% penderita

hipertensi memiliki aktivitas fisik < 600 MET/minggu. Berdasarkan

kebiasaan merokok, 31,83% penderita hipertensi di perkotaan adalah

perokok dan 8,94% mantan perokok. Sedangkan, 34,86% penderita


118

hipertensi di pedesaan adalah perokok dan 7,10 adalah mantan perokok.

Berdasarkan pola konsumsi maknan asin, sebanyak 20,95% penderita

hipertensi di perkotaan dan 22,67% penderita hipertensi di pedesaan

mengonsumsi makanan asin ≥ 1 kali/hari. Kemudian, proporsi penderita

hipertensi di perkotaan maupun pedesaan yang mengonsumsi makanan

berlemak ≥ 1 kali/hari, secara berturut-turut adalah 37,76% dan 31,05%.

Sebanyak 73,49% penderita hipertensi di perkotaan dan 74,63%

penderita hipertensi di pedesaan mengonsumsi sayur < 3 porsi/hari.

Selain itu, 98,02% penderita hipertensi di perkotaan dan 99,11%

penderita hipertensi di pedesaan mengonsumsi buah < 2 porsi/hari.

4. Ada hubungan antara faktor sosiodemografi (jenis kelamin, umur, tingkat

pendidikan dan pekerjaan) dengan hipertensi di wilayah perkotaan.

Sedangkan di pedesaan, jenis kelamin adalah satu-satunya faktor

sosiodemografi yang tidak berhubungan dengan hipertensi.

5. Ada hubungan antara faktor fisik dan riwayat penyakit (obesitas dan

riwayat diabetes) dengan hipertensi di wilayah perkotaan maupun

pedesaan Indonesia.

6. Faktor gaya hidup seperti aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi

makanan asin, konsumsi sayur dan konsumsi buah berhubungan dengan

hipertensi sedangkan konsumsi makanan berlemak tidak menunjukkan

adanya hubungan. Di pedesaan, hanya konsumsi sayur yang merupakan

faktor gaya hidup yang tidak berhubungan dengan hipertensi.


119

B. Saran

1. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia perlu membuat kebijakan

untuk mengkampanyekan gaya hidup sehat di Indonesia.

2. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota Indonesia

a. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disarankan untuk terus melakukan

peningkatan kemampuan petugas kesehatan di Puskesmas dalam

rangka mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat

mencegah dan mengendalikan faktor risiko hipertensi, seperti

skrining PJPD, peningkatan aktivitas fisik masyarakat dan edukasi

pola makan sehat.

b. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota perlu mengadvokasi para pengelola

tempat kerja untuk memberikan edukasi dan skrining PJPD di tempat

kerja. Selain itu, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga perlu

melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kesehatan dan

keselamatan kerja di tempat kerja.

c. Pemerintah kota bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota

disarankan untuk terus mengupayakan penerapan program kota sehat

di seluruh kota di Indonesia.

3. Bagi Puskesmas

Puskesmas diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan pemberdayaan

masyarakat dalam rangka skrining PJPD, peningkatan aktivitas fisik, dan

edukasi pola makan sehat melalui Posbindu di setiap Rukun Warga

(RW).
120

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk lebih memperhatikan metode

pengukuran pola konsumsi makanan. Pola konsumsi makanan

sebaiknya diukur dengan metode kuantitatif ataupun kombinasi

kualitatif-kuantitatif sehingga data terkait pola konsumsi makanan

dapat lebih valid dan objektif.

b. Peneliti selanjutnya disarankan untuk memberikan tingkatan dalam

penggolongan wilayah desa-kota. Selain itu, peneliti juga disarankan

untuk mempertimbangkan karakteristik budaya setiap wilayah yang

diteliti
121

DAFTAR PUSTAKA

Addo, dkk. 2007. Hypertension in Sub-aharan Africa: A Systematic Review.


Hypertension Journal of American Heart Association 2007; 50:1012-1018

Adeloye, D dan Basquill, C. 2014. Estimating the Prevalence and Awareness


Rates of Hypertension in Africa: A Systematic Analysis. Plose One August
2014 Vol. 9 Issue 8

Agyemang, dkk. 2006. Factors Associated with Hypertension Awareness,


Treatment, and Control in Ghana, West Africa. Journal Human
Hypertension. 2006 Jan; 20(1):67-71

Aiyagari, V. 2011. Hypertension and Stroke Pathophysiologis and Management.


Editor: Philip B. Gorelck. Springer

Ambaw, A. D., dkk,. 2012. Adherence to Antihypertensive Treatment and


Associated Factors Among Patients on Follow Up at University of Gondar
Hospital, Northwest Ethiopia. BMC Public Health, 2012; 12: 282

Anggara F. H. D. dan Prayitno N. 2013. Faktor-Faktor yang Berhubungan


dengan Tekanan Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang Barat Tahun
2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(1): Jan 2013

Arief, E. dkk. 2011. Konsumsi Fast Food Remaja di Restoran Fast Food,
Makassar Town Square. Artikel Mahasiswa Program Studi Ilmu Gizi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar

Arezes, P. M., dkk. 2014. Occupational Safety and Hygiene II. Netherlands: CRC
Press

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 2012. Profil Pengguna


Internet Indonesia.

Aung, M. N., dkk. 2012. Assessing Awareness And Knowledge of Hypertension in


An At-Risk Population in the Karen Ethnic Rural Community, Thasongyang,
Thailand. International Journal Gen. Med. 2012;5:553-61

Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). 2014. Panduan Praktis


Pelayanan Kesehatan.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No.
37 Tahun 2010.
122

Badan Pusat Statistik (BPS). 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035.


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United
Nation Population Fund

Baradero, M. 2005. Dayrit, M. W. dan Siswadi, Y. Seri Asuhan Keperawatan:


Klien Gangguan Kardiovaskular. Jakarta: EGC

Bartwal, J. dkk. 2014. Prevalence of Hypertension and Its Factors among


Individuals Attending Outpatent Department of Rural Health Training
Centre, Haldwani. Indian Journal of Community Health Vol. 26, Issue No. 01

Basuki, B. dan Setianto, B. 2001. Age, Body Posture, Daity Working Load, Past
Antihypertensive Drugs and Risk of Hypertension: A Rural Indonesian Study.
Rural Hypertensive Risk factor, Vol 10, No I , January - March 200 I

Bazzano L. A. dkk. 2002. Fruit and vegetable intake and risk of cardiovascular
disease in US adults: the first National Health and Nutrition Examination
Survey Epidemiologic Follow-up Study. American Journal of Clinical
Nutrition 2002;76:93–9

Black, H. R dan Elliot, W. J. 2007. Hypertension: A Companion to Braunwald’s


Heart Disease. USA: Elsevier

Brashers, V. L. 2003. Aplikasi Klinis Patofisiologi: Pemeriksaan & Manajemen.


Edisi 2. Jakarta: EGC

Bosu, W. K. 2015. The Prevalence, Awareness, and Control o Hypertension


among Workers in West Africa: A Systematic Review. Global Health Action
2015, 8; 26227

Cahyono, J. B. S. B. 2008. Hidup & Penyakit Modern. Jogjakarta: Kanisius

Carnethon, M., 2009. Physical Activity and Cardiovascular Disease: How Much
is Enough? Am J Lifestyle Med., 3(1), pp.44-49.

Carretero, O. A. dan Oparil S. 2000. Essential Hypertension: Part I: Definition


and Etiology. Circulation 2000; 101:329-335

Chang, L. 2003. Behavioral Change for Blood Pressure Control among Urban
and Rural Adults in Taiwan. Health Promotion International Vol. 18 No. 3
Oxford University Press 2003

Conen, D., dkk. 2009. Socioeconomic Status, Blood Pressure Progression, and
Incident Hypertension in A Prospective Cohort of Female Health
Professionals. European Heart Journal 30, 1378–1384

Cui, X., 2012. Work Stress, Life Stress, and Smoking among Rural-Urban
Migrant Workers in China. BMC Public Health, 12:979
123

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2006. Pedoman Teknis


Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi

Divan, V., dkk. 2010. Prevalence of Hypertension among Workers of A Fertilizer


Company in Surat District. National Journal of Community Medicine 2010,
Vol. I Issue 2

Ekezie, J., dkk. Impact o Urbanization on Obesity, Anthropometric Profile and


Blood Pressure in the Igbos of Nigeria. North American Journal of Medical
Sciences 2011 May; 3(5); 242-246

Emalia, R. D., dkk. 2009. Hubungan Iklan Makanan dan Minuman di Media
Massa dengan Frekuensi Konsumsi Junk Food pada Remaja di SMA Negeri
13 Palembang Tahun 2009. Artikel Mahasiswa Universitas Sriwijaya

Forman, J.P. 2009. Diet and Lifestyle Risk Factors Associated with Incident
Hypertension in Woman. JAMA 2009 July 22; 302(4): 401-411

Fowkes, F. G., dkk. 2013. Comparison of Global Estimates of Prevalences and


Risk Factors for Peripheral Artery Disease in 2000 and 2010: A systematic
Review and Analysis. Lancet 2013: 382: 1329-1340

Gao, Y. dkk. 2013. Prevalence of Hypertension in China: A Cross-Sectional


Study. Plose One June 2013 Vol. 8 Issue 6

Goran M. I. dan Sothern, M. S. 2006. Handbook of Pediatric Obesity: Etiology,


Pathophysiology and Prevention. USA: CRC Press Tylor & Francis Group

Greenberg, M. I. dkk. 2003. Occupational, Industrial and Environmental


Toxicology. Second Edition. Pennsylvania: Mosby

Grodner, M. dkk. 2004. Foundations and Clinical Applications of Nutrition: A


Nursing Approach. Third Edition. Missouri: Mosby

Gunawan, L. 2001. Hipertensi, Penyakit Darah Tinggi. Jogjakarta: Kanisius

Hadiyat, Y. D. 2014. Kesenjangan Digital di Indonesia (Studi Kasus di


Kabupaten Wakatobi). Jurnal Pekommas, Vol. 17, Agustus 2014: 81-90

Handayani, D. E. 2012. Pemanfaatan Pos Pembinaan Terpadu oleh Lanjut Usia


di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor Tahun 2012 dan Faktor yang
Berhubungan. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia.

Hardiansyah. 2011. Analisis Konsumsi Lemak, Gula dan Garam Penduduk


Indonesia. Gizi Indonesia 2011, 34(2):92-100
124

Hasnida dan Kemala I., 2005. Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada
Remaja Laki-Laki. Psikologia Vol. 1, No. 2, Desember 2005

He, F. J. 2005. Modest Salt Reduction Lowers Blood Pressure in Isolated Systolic
Hypertension and Combined Hypertension. Hypertension, 2005;46:66-70

Hidayat dan Abikusno, 2003. Membangun Kota Sehat Melalui Perilaku Sehat dan
Beradab Menyongsong Indonesia Sehat 2010. Jurnal Kedokteran Trisakti
Mei-Agustus 2003, Vol 22 No. 2

Holt, R. I. G. 2011. Textbook of Diabetes. 4th Edition. John Wiley & Sons

Hou, X. 2008. Urban-Rural Disparity of Overweight, Hypertension, Undiagnosed


Hypertension and Untreated Hypertension in China. Asia Pac J Public Health
2008 20: 159

Howteerakul, N., dkk. 2006. Health Risk Behaviors, Awareness, Treatment and
Control of Hypertension among Rural Community People in Thailand. Asia
Pac J Public Health 2006 18: 3

Hu, F. 2008. Obesity Epidemiology. New York: Oxford University Press

Hughes, P. dan Ferret, E. 2011. Introduction to Health Safety in Construction.


Fourth Edition. USA: Routledge

Hussain, A. 2010. Type 2 Diabetes and Obesity: A Review. Journal of


Diabetology, June 2010; 2:1

Hutagalung, I. 2004. Penggunaan Media TV di Indonesia. Jurnal Komunikologi,


Vol. 1 No. 1, Maret 2004

Indrawati, L. dkk. 2009. Hubungan Pola Kebiasaan Konsumsimakanan


Masyarakat Miskin dengan Kejadian Hipertensi di Indonesia. Media
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol. XIX Nomor 4

Jelantik dan Heryati. 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis Kelamin,
Kegemukan dan Hipertensi dengan Kejadian Diabetes Melitus Tipe II di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah ISSN No. 1978-3787

Joint National Comitee (JNC). 2004. The Seventh Report of the Joint National
Comitee on Prevention, Detecton, Evaluation and Treatment of High Blood
Pressure. Department of Health and Human Service, National Institute of
Health

Juan, P. 2005. Prevalence and Influence Factors of Hypertension among


Mechanic Factory Workers. Journal Central University (Medical Sciences)
2004, 30(3): 02764-04
125

Kannan, L. dan Satyamoorthy, T. S. 2009. An Epidemiological Study of


Hypertension in A rural Household Community. Sri Ramachandra Journal of
Medicine, June 2009 Vol. II Issue 2

Kaplan, M. K. dan Michael, A. W. 2010. Hypertension Essentials. Second


Edition. Physicians Press

Katz, E. G., dkk. 2012. Interactions between Obesity, Parental History of


Hypertension, and Age on Prevalent Hypertension: The People’s Republic of
China Study. Asia Pac J Public Health 2012 24: 970

Katz, M. H. 2006. Study Design and Statistical Analysis. London: Cambridge


University Press

Kearney, J., dkk. 2005. Human Nutrition: Food and Nutrient Patterns. Editor:
Lawrence Haddad. Edisi Ke-7. USA: Elsevier

Kementerian Desa (Kemendesa). Daerah Teringgal. Artikel diakses tanggal 23


Juli 2015 dari http://kemendesa.go.id/hal/300027/183-kab-daerah-tertinggal

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2007. Laporan Riset


Kesehatan Dasar 2007

_____. 2010. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
Editor: Yusharmen D. Comm. H. dan Toni Wardana.

_____. 2013. Buku Pintar Kader: Penyelenggaraan Posbindu PTM. Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular

_____. 2013. Laporan Riset Kesehatan Dasar 2013

_____. 2013. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana Hipertensi

Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo). 2011. Indikator TIK


Indonesia 2011. Jakarta: Puslitbang PPI-Kominfo

Khan, dkk. 2013. A Cross-Sectional Study of the Prevalence and Risk Factors for
Hypertension in Rural Nepali Women. BMC Public Health, 13:55

Khanam, M. A., dkk. 2015. Prevalence and Determinants of Pre-Hypertension


and Hypertension among the Adults in Rural Bangladesh: Findings from A
Community-Based Study

Klabunde, R. E. 2005. Cardiovascular Physiology Concepts. Editor: Betty Sun.


Lippincott Williams & Wilkins
126

Krishnan, A. dkk. 2013. Hypertension in the South-East Asia Region: an


Overview. Regional Health Forum Vol. 17, Number 1, 2013

Kumar, P. dkk. 2002. Prevalence of Hypertension amongst The Employees of A


Mega Industry of South Gujarat. Indian Journal of Community Medicine Vol.
XXVII, No. 1, Jan-Mar 2002.

Levy, B. S., dkk. 2005. Preventing Occupational Disease and Injury. Second
Edition. Washington: American Public Health Association

Lilly, L. S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of


Medical Students and Faculty. Fifth Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins

Lin P. H. dan Laura. 2012. Nutrition, Lifestyle Factors and Blood Pressure.
United State: Taylor & Francis Group

Lina, N. dkk. 2013. Analisis Pengaruh Paparan Asap Rokok di Rumah pada
Wanita Terhadap Kejadian Hipertensi2013. Jurnal Berkala Epidemiologi,
Vol. 1, No. 2 September 2013: 244-253

Liu, Y. 2015. Determinants of Tobacco Smoking among Rural-to-Urban Migrant


Workers: A Cross Sectional Survey in Shanghai. BMC Public Health 15:131

Maimaris, W., dkk. 2013. The Influence of Health Systems on Hypertension


Awareness, Treatment and Control: A Systematic Literature Review. Plos
One July 2013 Volume 10 Issue 7

Maharani, dkk. 2013. Pengaruh Penyuluhan Kesehatan terhadap Pengetahuan


Masyarakat tentang Penyakit Hipertensi di Desa Patobong Kecamatan
Mattiro Sompe Kabupaten Pinrang. Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makassar
Vol. 3 No. 1 2013

Martens, P. dkk. 2010. Is Globalization Healthy: A statistical Indicator Analysis


of The Impacts of Globalization on Health. Global Health, 2010; 6: 16

Maulana, H. D. J. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC

McFarlane S. I. dan Bakris G. L. 2012. Diabetes and Hypertension: Evaluation


and Management. New York: Springer

Mendez-Chacon, E. 2008. Factors Associated with Hypertension Prevalence,


Unawareness and Treatment among Costa Rican Elderly. BMC Public
Helath 2008, 8:275

Merrill, R. M. 2011. Principles of Epidemiology Workbook: Exercise and


Activities. Canada: Jones & Barlett Learning
127

Mion, D., dkk. 2004. Hypertension in Employees of A University General


Hospital. Rev. Hosp. Clín. Fac. Med. S. Paulo 59(6):329-336

Mohan, V., dkk. 2007. Prevalence, Awereness and Control of Hypertension in


Chennai-The Chennai Urban Rural Epidemiology Study (CURES-52). JAPI
Vol. 5 May 2007

Mohler, E. R. dan Townsend, R. R. 2006. Advanced Therapy in Hypertension and


Vascular Disease. Ontario: BC Decker

Moreira J. P., Moraes, J. R. dan Luiz, R. R. 2013. Prevalence of Self-Reported


Systemic Arterial Hypertension in Urban and Rural Environments in Brazil:
A Population-Based Study. Cad Saude Publica, Rio de Janeiro, 29 (1): 62-72,
Jan. 2013

Moore, R. D. 2001. The High Blood Pressure Solution: A Scientifically Proven


Program for Preventing Strokes and Heart Disease. Vermont: Healing Arts

Musinguzi, G. dan Nuwaha, F. 2013. Prevalence, Awereness and Control of


Hypertension in Uganda. Plose One April 2013 Vol. 8 Issue 4

Natalia, D. 2015. Hubungan Obesitas dengan Kejadian Hipertensi di Kecamatan


Sintang, Kalimantan Barat. CDK-224/vol. 42 no. 5, th. 2015

Ngoye, A., dkk. 2014. Differences in Hypertension Risk Factors between Rural
Maasai in Ngorongoro and Urban Maasai in Arusha Municipal: A
Descriptve Study. Journal of Applied Life Sciences International 1(1): 17-31,
2014

Obirikorang, C., dkk. 2015. Obesity and Cardio-Metabolic Risk Factors in An


Urban and Rural Population in The Ashanti Region-Ghana: A Comparative
Cross-Sectional Study. Plose One DOI: 10. 137

Okpechi, I. G. dkk. 2014 Blood Pressure Gradients and Cardiovascular Risk


Factors in Urban and Rural Populations in Abia State South Eastern Nigeria
Using the WHO STEPwise Approach. Plose One September 2014. Vol. 8
Issue 9

Paibul, S. 2003. Cardiovascular Risk Factor Levels in Urban and Rural Thailand
– The International Collaborative Study of Cardiovascular Disease in Asia
(InterASIA); the InterASIA Collaborative Group. European Journal of
Cardiovascular Prevention & Rehabilitation 2003 10:249

Peer, N., dkk. 2013 A High Burden of Hypertension in The Urban Black
Population of Cape Town: The Cardiovascular Risk in Black South Africans
(CRIBSA) Study. Plose One November 2013 Vol. 8 Issue 11
128

Pickering, T. G. dkk. 2005. Recommendations for Blood Pressure Measurement


in Human and Experimental Animals: Part 1: Blood Pressure Measurement
in Humans: A Statement for Professional from the Subcommittee of
Professional and Public Health of the American Heart Association Council
on High Blood Pressure Research. Hypertension, 2005;45:142-161

Pimenta, A. M., et al. 2008. Association Between Central Obesity, Triglycerides


and Hypertension in a Rural Area in Brazil. Arq Bras Cardiol 2008; 90(6):
386-392

Pooja dan Mittal, Y. 2013. Prevalence of Hypertension and Its Determinants in


Urban Area of Uttarakhand. Asian Journal of Biomedicali & Pharmaceutical
Sciences; 3(21), 12-16

Prabhakaran, D., dkk. 2007. Difference in The Prevalence of Metabolic Syndrome


in Urban and Rural India: A Problem of Urbanization. Sage Pub. Chronic
Illness 2007 3:8

Rachmadi, D., dkk. 2011. Mutasi Gen NPHS2 (412CT, 419delG) dan
Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik Resisten Steroid Anak Indonesia. MKB,
vol. 43, No. 4
Rahajeng, E. dan Tuminah, S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, No. 12, Desember 2009

Rahl, R. L. 2010. Physical Activity and Health Guidelines: Recommendations for


Various Ages, Fitness Levels, and Conditions from 57 Authoriative Sources.
United States: Human Kinetics

Ramirez, S. S. dkk. 2010. Prevalence and Correlates of Hypertension: A Cross-


Sectional Study among Rural Populations in Sub-Saharan Africa. Journal of
Human Hypertension (2010) 24, 786–795

Rapsomaniki, E., et al. 2014. Blood Pressure and Incidence of Twelve


Cardiovascular Disease: Lifetime Risks, Healthy Life-Years Lost, and Age-
Specific Associations in 1.25 Million People. Lancet 2014; 383: 1899-1911

Robertson, D. et al. 2012. Primer on the Autonomic Nervous System. Third


Edition. USA: Elsevier

Rodahl, K. 2005. The Physiology of Work. USA: Taylor and Francis

Santoso, J. 2006. Menyiasati Kota Tanpa Warga. Editor: Rani Elsant. Jakarta:
KPG

Santy, R. D. dan Buhari, R. M. 2015. Urbanization and Migration as Factors


Affecting Global Economic Development: Economic Impact and Current
Results of Urbanization: The Case of Indonesia. Editor: Denis Ushakov.
Rusia: Information Science Reference
129

Schnitzer, J. G. 2000. Hypertension Causes & Cure: Life Threatening Risk Factor
1, Now Curable!. Jerman: Johann Georg Schnitzer

Shaikh, M. A., 2011. Hypertension Knowledge, Attitude and Practice in Adult


Hypertensive Patients at LUMHS.

Sobngwi, E. dkk. 2004. Exposure over the Life Course to an Urban Environment
and Its Relation with Obesity, Diabetes, and Hypertension in Rural and
Urban Cameroon. International Journal of Epidemiology 2004: 33:769-776

Soekanto, S. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Grafindo Persada

Stefhany, E. 2012. Hubungan Pola Makan, Gaya Hidup dan Indeks Masa Tubuh
dengan Hipertensi pada Pra Lansia dan Lansia di Posbindu Kelurahan
Depok Jaya Tahun 2012. Skripsi Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia

Sudarma, M. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Suhardi, dkk. 2014. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Hipertensi Setalah


Penyuluhan Kesehatan di Puskesmas Air Lais Bengkulu Utara Tahun 2011.
Journal of Nursing and Public Health Vol., No. 1 Juli 2014

Sulastri, D., dkk. 2011. Asupan Lemak dan Ekspresi Gen eNOS3 Alel Glu298Asp
pada Penderita Hipertensi Etnik Minangkabau. Media Medika Indonesia
Vol. 45, No. 1 tahun 2011

Sundari, dkk. 2013. Faktor Risiko Nongenetik dan Polimorfisme Promoter Region
Gen CYP11B2 Varian T(-344)C Aldosterone Synthase pada Pasien
Hipertensi Esensial di Wilayah Pantai dan Pegunungan. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 27, No. 3 Februari 2013

Syamsoedin, W. K. P., dkk. 2015. Hubungan Durasi Penggunaan Media Sosial


dengan Kejadian Insomnia pada Remaja di SMA 9 Manado. E-jurnal
Keperawatan Vol. 3, No. 1 Februari 2015

Tarupay, dkk. 2014. Perilaku Merokok Mahasiswi di Kota Makassar. Jurnal


Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanudin

The Lancet. 2012. Cardiovascular Disease 2012. London: Elsevier Ltd.

Thuy, A. B. 2010. The Association between Smoking and Hypertension in A


Population-Based Sample of Vietnamese Men. Journal of Hypertension 2010,
Vol. 28 No. 2
130

Utsugi, M. T., dkk. 2008. Fruit and Vegetable Consumption and the Risk of
Hypertension Determined by Self Measurement of Blood Pressure at Home:
The Ohasama Study. Hypertension Research Vol. 31, No. 7

Utomo, P. T. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan tentang Hipertensi dengan


Upaya Pencegahan Kekambuhan Hipertensi pada Lansia di Desa Blulukan
Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. Naskah Publikasi
Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Viera, A. J. 2008. High Blood Pressure Knowledge among Primary Care Patients
with Known Hypertension: A North Carolina Family Medicine Research
Network (NC-FM-RN) Study. (Journal Am. Board Fam. Med. 2008;21: 300-
308

Walker, R. W. 2013. Stroke Risk Factors in an Incident Population in Urban and


Rural Tanzania: A Prospective, Community-Based, Case Control. Lancet
Glob Health 2013; 1.

Webb P. dan Bain C. 2011. Essential Epidemiology: An Introduction for Students


and Health Professionals. Second Edition. United Kingdom: Cambridge
University Press.

World Health Organization (WHO). 2008. Mean Systolic Blood Pressure (SBP),
Ages 25+, Age Standardized Females, 2008. Artikel diakses tanggal 12
Oktober 2014 dari
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_BloodPressureMe
an_Females_2008.png

_____. 2008. Mean Systolic Blood Pressure (SBP), Ages 25+, Age Standardized
Males, 2008. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2014 dari
http://gamapserver.who.int/mapLibrary/Files/Maps/Global_BloodPressureMe
an_Males_2008.png

_____. 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010.

_____. 2011. Hypertension Fact Sheet. Department of Sustainable Development


and Healthy Environments

_____. 2013. A Global Brief on Hypertension: Silent Killer, Global Public Health
Crisis

_____. 2013. World Health Day 2013: High Blood Pressure Global and Regional
Overview. WHO Regional Office of South-East Asia

_____. 2014. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2014:


Attaining the Nine Global Noncommunicable Diseases Targets; A Shared
Responsibility.
131

WHO. 2014. Obesity. Artikel diakses tanggal 13 Oktober 2014 dari


http://www.who.int/topics/obesity/en/

_____. 2014. Raised Blood Pressure. Artikel diakses tanggal 12 Oktober 2014
dari
http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/

_____. 2015. Global Physical Activity Questionnaire (GPAQ): Analysis Guide.


Geneva: WHO

_____. 2015. Hypertension. Artikel diakses tanggal 9 Maret 2015 dari


http://www.who.int/topics/hypertension/en/

Xu, C. dkk. 2008. Prevalence of and Risk Factors for Isolated Systolyc
Hypertension in the Rural Adult Population of Liaoning Province, China.
Journal of International Medical Research 36:353

Yang, H., dkk. 2006. Work Hours and Self-Reported Hypertension Among
Working People in California. Hypertension 2006; 48: 744-750

Yang, G., dkk. 2013. Rapid Health Transition in China, 1990-2010: Findings
from the Global Burden of Disease Study 2010. Lancet 2013; 381: 1987-2015

Zhang, J., dkk. 2013. Prevalence, Awereness, Medication, Control, and Risk
Factors Associated with Hypertension in Bai Ethnic Group in Rural China:
The Yunan Minority Eye Study. Plose One August 2013 Vol. 8 Issue 8
132

LAMPIRAN 1

DISTRIBUSI SAMPEL RISKESDAS 2013


133
134

LAMPIRAN 2

HASIL UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS RISKESDAS 2013


135
136

LAMPIRAN 3

KUESIONER RISKESDAS 2013


137
138
139

LAMPIRAN 4

HASIL ANALISIS DATA

A. Kota

Jenis Kelamin * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Jenis Kelamin Perempuan Count 31070 104947 136017
% within Jenis Kelamin 22.8% 77.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 45.3% 48.0% 47.3%
Laki-laki Count 37574 113885 151459
% within Jenis Kelamin 24.8% 75.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 54.7% 52.0% 52.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Jenis Kelamin 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 152.277a 1 .000
b
Continuity Correction 152.169 1 .000
Likelihood Ratio 152.465 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 152.277 1 .000
b
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 32478,37.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Jenis Kelamin (Perempuan / Laki-laki) .897 .882 .913
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .921 .909 .933
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.026 1.022 1.030
N of Valid Cases 287476
140

Umur Responden * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Umur Responden >=64 Count 5993 4547 10540
% within Umur Responden 56.9% 43.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 8.7% 2.1% 3.7%
55-64 Count 7993 9935 17928
% within Umur Responden 44.6% 55.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.6% 4.5% 6.2%
45-54 Count 22789 36606 59395
% within Umur Responden 38.4% 61.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 33.2% 16.7% 20.7%
35-44 Count 18165 51980 70145
% within Umur Responden 25.9% 74.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.5% 23.8% 24.4%
25-34 Count 10179 62997 73176
% within Umur Responden 13.9% 86.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 14.8% 28.8% 25.5%
15-24 Count 3525 52767 56292
% within Umur Responden 6.3% 93.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 5.1% 24.1% 19.6%
Total Count 68644 218832 287476
% within Umur Responden 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 31165.533a 5 .000
Likelihood Ratio 32256.568 5 .000
Linear-by-Linear Association 30840.463 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
2516,76.

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Tingkat Tidak sekolah/tidak tamat Count 9327 18291 27618
Pendidikan SD/MI
% within Tingkat Pendidikan 33.8% 66.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.6% 8.4% 9.6%
Tamat SD/MI Count 18152 43087 61239
% within Tingkat Pendidikan 29.6% 70.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.4% 19.7% 21.3%
141

Tamat SLTP/MTs Count 12167 51550 63717


% within Tingkat Pendidikan 19.1% 80.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 17.7% 23.6% 22.2%
Tamat SLTA/MA Count 21179 80605 101784
% within Tingkat Pendidikan 20.8% 79.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.9% 36.8% 35.4%
Tamat perguruan tinggi Count 7819 25299 33118
% within Tingkat Pendidikan 23.6% 76.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.4% 11.6% 11.5%
Total Count 68644 218832 287476
% within Tingkat Pendidikan 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 3937.263a 4 .000
Likelihood Ratio 3827.444 4 .000
Linear-by-Linear Association 2096.994 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
6594,67.
Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Status Pekerjaan Tidak Bekerja Count 26033 91648 117681
% within Status Pekerjaan 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 37.9% 41.9% 40.9%
Bekerja Count 42611 127184 169795
% within Status Pekerjaan 25.1% 74.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 62.1% 58.1% 59.1%
Total Count 68644 218832 287476
% within Status Pekerjaan 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
142

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 338.196a 1 .000
b
Continuity Correction 338.033 1 .000
Likelihood Ratio 340.136 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 338.195 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28100,07.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Status Pekerjaan (Tidak Bekerja / Bekerja) .848 .833 .863
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .881 .870 .893
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.040 1.035 1.044
N of Valid Cases 287476

Status obesitas * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Status obesitas Ya Count 20609 28682 49291
% within Status obesitas 41.8% 58.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.3% 13.2% 17.2%
Tidak Count 47447 189424 236871
% within Status obesitas 20.0% 80.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 69.7% 86.8% 82.8%
Total Count 68056 218106 286162
% within Status obesitas 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 10677.730a 1 .000
b
Continuity Correction 10676.529 1 .000
Likelihood Ratio 9685.864 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 10677.693 1 .000
b
N of Valid Cases 286162
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11722,55.
143

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Status obesitas (Ya / Tidak) 2.869 2.810 2.928
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.087 2.060 2.115
For cohort Status Hipertensi = Normal .728 .722 .733
N of Valid Cases 286162

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Riwayat Diabetes Ya Count 2727 2774 5501
% within Riwayat Diabetes 49.6% 50.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 4.0% 1.3% 1.9%
Tidak Count 65917 216058 281975
% within Riwayat Diabetes 23.4% 76.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 96.0% 98.7% 98.1%
Total Count 68644 218832 287476
% within Riwayat Diabetes 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 2037.077a 1 .000
b
Continuity Correction 2035.636 1 .000
Likelihood Ratio 1738.505 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 2037.070 1 .000
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1313,54.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Riwayat Diabetes (Ya / Tidak) 3.222 3.054 3.400
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.121 2.063 2.180
For cohort Status Hipertensi = Normal .658 .641 .676
N of Valid Cases 287476
144

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Aktivitas Fisik <600 MET/Minggu Count 9285 28354 37639
% within Aktivitas Fisik 24.7% 75.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.5% 13.0% 13.1%
>= 600 MET/Minggu Count 59359 190478 249837
% within Aktivitas Fisik 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 86.5% 87.0% 86.9%
Total Count 68644 218832 287476
% within Aktivitas Fisik 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 14.885a 1 .000
b
Continuity Correction 14.835 1 .000
Likelihood Ratio 14.791 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 14.885 1 .000
b
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8987,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Aktivitas Fisik (<600 MET/Minggu / >= 600
1.051 1.025 1.078
MET/Minggu)
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.038 1.019 1.058
For cohort Status Hipertensi = Normal .988 .982 .994
N of Valid Cases 287476

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 2022.765a 2 .000
Likelihood Ratio 1827.980 2 .000
Linear-by-Linear Association 64.722 1 .000
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3798,54.
145

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Kebiasaan Merokok Count 21848 70985 92833
Merokok
% within Kebiasaan Merokok 23.5% 76.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 31.8% 32.4% 32.3%
Pernah merokok Count 6137 9771 15908
% within Kebiasaan Merokok 38.6% 61.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 8.9% 4.5% 5.5%
Tidak pernah Count 40659 138076 178735
merokok
% within Kebiasaan Merokok 22.7% 77.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 59.2% 63.1% 62.2%
Total Count 68644 218832 287476
% within Kebiasaan Merokok 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Makanan Asin >=1 kali/hari Count 14378 46948 61326
% within Konsumsi Makanan
23.4% 76.6% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 20.9% 21.5% 21.3%
<1 kali/hari Count 54266 171884 226150
% within Konsumsi Makanan
24.0% 76.0% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 79.1% 78.5% 78.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Makanan
23.9% 76.1% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square a
8.040 1 .005
b
Continuity Correction 8.010 1 .005
Likelihood Ratio 8.065 1 .005
Fisher's Exact Test .005 .002
Linear-by-Linear Association 8.040 1 .005
N of Valid Casesb 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14643,52.
b. Computed only for a 2x2 table
146

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Makanan Asin (>=1 kali/hari / <1 kali/hari) .970 .950 .991
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .977 .961 .993
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.007 1.002 1.012
N of Valid Cases 287476

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Makanan Berlemak >=1 kali/hari Count 25918 83538 109456
% within Konsumsi Makanan
23.7% 76.3% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 37.8% 38.2% 38.1%
<1 kali/hari Count 42726 135294 178020
% within Konsumsi Makanan
24.0% 76.0% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 62.2% 61.8% 61.9%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Makanan
23.9% 76.1% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 3.860a 1 .049
b
Continuity Correction 3.843 1 .050
Likelihood Ratio 3.863 1 .049
Fisher's Exact Test .050 .025
Linear-by-Linear Association 3.860 1 .049
b
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 26136,09.
b. Computed only for a 2x2 table
147

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Makanan Berlemak (>=1 kali/hari /
.982 .965 1.000
<1 kali/hari)
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .987 .973 1.000
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.004 1.000 1.008
N of Valid Cases 287476

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Sayur <2 porsi/hari Count 50443 162894 213337
% within Konsumsi Sayur 23.6% 76.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 73.5% 74.4% 74.2%
>=2 porsi/hari Count 18201 55938 74139
% within Konsumsi Sayur 24.5% 75.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.5% 25.6% 25.8%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Sayur 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 24.796a 1 .000
b
Continuity Correction 24.746 1 .000
Likelihood Ratio 24.694 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 24.796 1 .000
b
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17703,03.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Sayur (<2 porsi/hari / >=2 porsi/hari) .952 .933 .970
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .963 .949 .977
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.012 1.007 1.017
N of Valid Cases 287476

Crosstab
148

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Buah <3 porsi/hari Count 67286 215266 282552
% within Konsumsi Buah 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 98.0% 98.4% 98.3%
>=3 porsi/hari Count 1358 3566 4924
% within Konsumsi Buah 27.6% 72.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 2.0% 1.6% 1.7%
Total Count 68644 218832 287476
% within Konsumsi Buah 23.9% 76.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 37.754a 1 .000
b
Continuity Correction 37.547 1 .000
Likelihood Ratio 36.545 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 37.753 1 .000
b
N of Valid Cases 287476
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1175,76.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Buah (<3 porsi/hari / >=3 porsi/hari) .821 .771 .874
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .863 .825 .904
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.052 1.034 1.070
N of Valid Cases 287476
149

B. Desa

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Jenis Kelamin Perempuan Count 33878 118055 151933
% within Jenis Kelamin 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 46.0% 46.1% 46.1%
Laki-laki Count 39798 137779 177577
% within Jenis Kelamin 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 54.0% 53.9% 53.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Jenis Kelamin 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .610a 1 .435
b
Continuity Correction .603 1 .437
Likelihood Ratio .610 1 .435
Fisher's Exact Test .435 .219
Linear-by-Linear Association .610 1 .435
b
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33971,10.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Jenis Kelamin (Perempuan / Laki-laki) .993 .977 1.010
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .995 .982 1.008
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.001 .998 1.005
N of Valid Cases 329510

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Umur Responden * Status
Hipertensi 329504 100.0% 0 .0% 329504 100.0%
150

Umur Responden * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Umur Responden >=64 Count 7649 6918 14567
% within Umur Responden 52.5% 47.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 10.4% 2.7% 4.4%
55-64 Count 8351 12772 21123
% within Umur Responden 39.5% 60.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 11.3% 5.0% 6.4%
45-54 Count 22431 43149 65580
% within Umur Responden 34.2% 65.8% 100.0%
% within Status Hipertensi 30.4% 16.9% 19.9%
35-44 Count 19577 62788 82365
% within Umur Responden 23.8% 76.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 26.6% 24.5% 25.0%
25-34 Count 11523 73716 85239
% within Umur Responden 13.5% 86.5% 100.0%
% within Status Hipertensi 15.6% 28.8% 25.9%
15-24 Count 4142 56488 60630
% within Umur Responden 6.8% 93.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 5.6% 22.1% 18.4%
Total Count 73673 255831 329504
% within Umur Responden 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 28870.505a 5 .000
Likelihood Ratio 29348.275 5 .000
Linear-by-Linear Association 28595.142 1 .000
N of Valid Cases 329504
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3257,00.
151

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Tingkat Tidak sekolah/tidak tamat Count 20227 49973 70200
Pendidikan SD/MI
% within Tingkat Pendidikan 28.8% 71.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 27.5% 19.5% 21.3%
Tamat SD/MI Count 28965 85994 114959
% within Tingkat Pendidikan 25.2% 74.8% 100.0%
% within Status Hipertensi 39.3% 33.6% 34.9%
Tamat SLTP/MTs Count 11384 59929 71313
% within Tingkat Pendidikan 16.0% 84.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 15.5% 23.4% 21.6%
Tamat SLTA/MA Count 10224 49811 60035
% within Tingkat Pendidikan 17.0% 83.0% 100.0%
% within Status Hipertensi 13.9% 19.5% 18.2%
Tamat perguruan tinggi Count 2876 10127 13003
% within Tingkat Pendidikan 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 3.9% 4.0% 3.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Tingkat Pendidikan 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 4880.346a 4 .000
Likelihood Ratio 4966.179 4 .000
Linear-by-Linear Association 3324.857 1 .000
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
2907,37.

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Status Pekerjaan Tidak Bekerja Count 23163 92955 116118
% within Status Pekerjaan 19.9% 80.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 31.4% 36.3% 35.2%
Bekerja Count 50513 162879 213392
% within Status Pekerjaan 23.7% 76.3% 100.0%
% within Status Hipertensi 68.6% 63.7% 64.8%
Total Count 73676 255834 329510
% within Status Pekerjaan 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
152

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 600.619a 1 .000
b
Continuity Correction 600.405 1 .000
Likelihood Ratio 608.361 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 600.617 1 .000
b
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25963,13.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Status Pekerjaan (Tidak Bekerja / Bekerja) .803 .790 .818
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .843 .831 .854
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.049 1.045 1.053
N of Valid Cases 329510

Status obesitas * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Status obesitas Ya Count 15062 22028 37090
% within Status obesitas 40.6% 59.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 20.7% 8.7% 11.3%
Tidak Count 57817 232410 290227
% within Status obesitas 19.9% 80.1% 100.0%
% within Status Hipertensi 79.3% 91.3% 88.7%
Total Count 72879 254438 327317
% within Status obesitas 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 8132.366a 1 .000
b
Continuity Correction 8131.171 1 .000
Likelihood Ratio 7191.087 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 8132.341 1 .000
N of Valid Casesb 327317
153

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8258,30.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Status obesitas (Ya / Tidak) 2.749 2.687 2.811
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 2.038 2.010 2.068
For cohort Status Hipertensi = Normal .742 .735 .748
N of Valid Cases 327317

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Riwayat Diabetes Ya Count 1442 1901 3343
% within Riwayat Diabetes 43.1% 56.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 2.0% .7% 1.0%
Tidak Count 72234 253933 326167
% within Riwayat Diabetes 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 98.0% 99.3% 99.0%
Total Count 73676 255834 329510
% within Riwayat Diabetes 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 839.706a 1 .000
b
Continuity Correction 838.497 1 .000
Likelihood Ratio 719.609 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 839.703 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 747,47.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Riwayat Diabetes (Ya / Tidak) 2.667 2.489 2.857
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.948 1.872 2.026
For cohort Status Hipertensi = Normal .730 .709 .752
N of Valid Cases 329510
154

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Aktivitas Fisik <600 MET/Minggu Count 7562 22544 30106
% within Aktivitas Fisik 25.1% 74.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 10.3% 8.8% 9.1%
>= 600 MET/Minggu Count 66114 233290 299404
% within Aktivitas Fisik 22.1% 77.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 89.7% 91.2% 90.9%
Total Count 73676 255834 329510
% within Aktivitas Fisik 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 145.249a 1 .000
b
Continuity Correction 145.074 1 .000
Likelihood Ratio 141.672 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 145.248 1 .000
b
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6731,48.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Aktivitas Fisik (<600 MET/Minggu / >= 600
1.184 1.152 1.217
MET/Minggu)
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.137 1.114 1.161
For cohort Status Hipertensi = Normal .961 .955 .968
N of Valid Cases 329510
155

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Kebiasaan Merokok Merokok Count 25686 93313 118999
% within Kebiasaan Merokok 21.6% 78.4% 100.0%
% within Status Hipertensi 34.9% 36.5% 36.1%
Pernah merokok Count 5234 9268 14502
% within Kebiasaan Merokok 36.1% 63.9% 100.0%
% within Status Hipertensi 7.1% 3.6% 4.4%
Tidak pernah merokok Count 42756 153253 196009
% within Kebiasaan Merokok 21.8% 78.2% 100.0%
% within Status Hipertensi 58.0% 59.9% 59.5%
Total Count 73676 255834 329510
% within Kebiasaan Merokok 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Value df sided)
Pearson Chi-Square 1650.062a 2 .000
Likelihood Ratio 1479.695 2 .000
Linear-by-Linear Association .430 1 .512
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
3242,54.
Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Makanan Asin >=1 kali/hari Count 16705 56778 73483
% within Konsumsi Makanan
22.7% 77.3% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 22.7% 22.2% 22.3%
<1 kali/hari Count 56971 199056 256027
% within Konsumsi Makanan
22.3% 77.7% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 77.3% 77.8% 77.7%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Makanan
22.4% 77.6% 100.0%
Asin
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
156

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.616a 1 .006
b
Continuity Correction 7.588 1 .006
Likelihood Ratio 7.594 1 .006
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear Association 7.616 1 .006
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16430,26.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Makanan Asin (>=1 kali/hari / <1
1.028 1.008 1.048
kali/hari)
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.022 1.006 1.037
For cohort Status Hipertensi = Normal .994 .989 .998
N of Valid Cases 329510

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Makanan Berlemak >=1 kali/hari Count 22879 77020 99899
% within Konsumsi Makanan
22.9% 77.1% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 31.1% 30.1% 30.3%
<1 kali/hari Count 50797 178814 229611
% within Konsumsi Makanan
22.1% 77.9% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 68.9% 69.9% 69.7%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Makanan
22.4% 77.6% 100.0%
Berlemak
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
157

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 24.338a 1 .000
b
Continuity Correction 24.293 1 .000
Likelihood Ratio 24.260 1 .000
Fisher's Exact Test .000 .000
Linear-by-Linear Association 24.338 1 .000
N of Valid Casesb 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 22336,68.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Makanan Berlemak (>=1 kali/hari /
1.046 1.027 1.064
<1 kali/hari)
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.035 1.021 1.050
For cohort Status Hipertensi = Normal .990 .986 .994
N of Valid Cases 329510

Crosstab

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Sayur <2 porsi/hari Count 54985 190638 245623
% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 74.6% 74.5% 74.5%
>=2 porsi/hari Count 18691 65196 83887
% within Konsumsi Sayur 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 25.4% 25.5% 25.5%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Sayur 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%
158

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square .395a 1 .529
b
Continuity Correction .389 1 .533
Likelihood Ratio .396 1 .529
Fisher's Exact Test .533 .266
Linear-by-Linear Association .395 1 .529
b
N of Valid Cases 329510
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18756,51.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Sayur (<2 porsi/hari / >=2 porsi/hari) 1.006 .987 1.025
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi 1.005 .990 1.020
For cohort Status Hipertensi = Normal .999 .994 1.003
N of Valid Cases 329510

Konsumsi Buah * Status Hipertensi Crosstabulation

Status Hipertensi

Hipertensi Normal Total


Konsumsi Buah <3 porsi/hari Count 73023 253829 326852
% within Konsumsi Buah 22.3% 77.7% 100.0%
% within Status Hipertensi 99.1% 99.2% 99.2%
>=3 porsi/hari Count 653 2005 2658
% within Konsumsi Buah 24.6% 75.4% 100.0%
% within Status Hipertensi .9% .8% .8%
Total Count 73676 255834 329510
% within Konsumsi Buah 22.4% 77.6% 100.0%
% within Status Hipertensi 100.0% 100.0% 100.0%

Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-
Value df sided) sided) sided)
Pearson Chi-Square 7.526a 1 .006
b
Continuity Correction 7.398 1 .007
Likelihood Ratio 7.360 1 .007
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear Association 7.526 1 .006
N of Valid Casesb 329510
159

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 594,31.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Value Lower Upper


Odds Ratio for Konsumsi Buah (<3 porsi/hari / >=3 porsi/hari) .883 .808 .965
For cohort Status Hipertensi = Hipertensi .909 .851 .972
For cohort Status Hipertensi = Normal 1.030 1.007 1.052
N of Valid Cases 329510

You might also like