You are on page 1of 21

REFERAT

EPILEPSI PADA ANAK

Pembimbing :
Dr. Persadaan Bukit, SpA

Disusun Oleh :
Raninda Riani
1261050034

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Epilepsi Pada Anak”.

Penyusunan referat ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi kegiatan pada
kepaniteraan ilmu kesehatan anak di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.
Dalam penulisan referat ini banyak pihak yang memberikan bantuan baik moril maupun materi
sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Persadaan Bukit, SpA selaku pembimbing materi referat yang selalu membagi
ilmunya kepada Penulis.

2. Kedua orang tua Penulis, yaitu Andreas dan Linda yang selalu mendoakan dan
memberikan semangat kepada Penulis.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga referat ini dapat bermanfaat
kepada yang membacanya.

Jakarta, 10 Agustus 2017

Raninda Riani
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................i

Daftar Gambar .............................................................................................iii

Bab I Pendahuluan .......................................................................................1

Bab II Tinjauan Pustaka ...............................................................................2

I. Respon Imunologi Terhadap Cacing .................................................2

II. Askariasis .........................................................................................2

III. Trichuriasis .....................................................................................7

IV. Infeksi Cacing Tambang .................................................................11

V. Oxyuriasis ........................................................................................16

Bab III Kesimpulan ......................................................................................19

Daftar Pustaka ..............................................................................................20


DAFTAR GAMBAR

Gambar I. Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides ...........................................3

Gambar II. Siklus Hidup Trichuris Trihiura ................................................8

Gambar III. Siklus Hidup Cacing Tambang ................................................11

Gambar IV. Siklus Hidup Cacing Enterobius Vermicularis ........................15


BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satunya
adalah infeksi cacing. Infeksi cacing merupakan salah satu infeksi yang tergolong dalam
neglected disease, yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa
menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam
jangka panjang, seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan gangguan kognitif
pada anak.1

Lebih dari 70% negara dilaporkan banyak terdapat neglected disease, dan biasanya
berhubungan dengan negara yang memiliki perekonomian yang rendah dikarenakan infeksi ini
terkait dengan penggunaan air yang kotor, kondisi rumah yang tidak layak dan sanitasi
lingkungan yang buruk. Populasi rentan terhadap infeksi ini adalah anak kecil.2

Menurut WHO, infeksi cacing akibat Soil-transmitted helminth (cacing yang ditularkan
melalui tanah) adalah salah satu infeksi yang paling umum terjadi pada masyarakat dengan
ekonomi rendah. Lebih dari 1,5 milyar orang, atau sekitar 24% populasi dunia terinfeksi
penyakit ini, dan secara menyeluruh tersebar pada daerah tropis dan subtropis.3

Cacingan dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan


produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena
menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga
menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya
masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu.4

STH yang banyak di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator
Americanus) Prevalensi infeksi STH pada anak di Indonesia tahun 2008 mencapai 24,1%
dimana distribusi A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang mencapai 14.5%, 13.9%,
3.6%.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kecacingan yang paling umum disebabkan oleh infeksi cacing usus, yaitu cacing yang
penyebarannya melalui tanah (soil-transmitted helminths/STH). Parasit STH termasuk Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichuria, dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) diperkirakan menginfeksi anak yang tinggal di pedesaan tropis dengan akses air
bersih dan sanitasi yang buruk. Kecacingan karena STH sering bersifat kronis dan sering
terdapat pada anak yang malnutrisi, kurus, retardasi intelektual, dan yang mengalami gangguan
kognitif dalam bidang pendidikan.6

I. Respon Imunologi Terhadap Cacing

Respon imun host terhadap infeksi cacing dimulai dengan teraktifasinya Th2 yang
ditandai dengan dengan peninngkatan yang signifikan dari IL-4, IL-5. yang menstimulasi
produksi Th2, yaitu interleukin 4 (IL-4) dan interleukin 5 (IL-5). Gambaran reaksi imun
terhadap infeksi cacing adalah eosinophilia dan peningkatan kadar IgE. IL-4 merangsang
produksi Ig-E sedangkan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinophil. (6) IL-5
merupakan sitokin paling penting pada transformasi dan pembentukan eosinophil dan
bertindak sebagai activator eosinophil. Salah satu penyebab peningkatan dari jumlah
eosinophil adalah penyakit penyakit ifeksi parasite seperti kecacingan. Eosinophil bekerja
sebagai efektor dalam melawan kecacingan. Selain itu, eosinophil juga berperan penting dalam
reaksi inflamasi alergi.6

II. Askariasis (Infeksi Cacing Gelang)

Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, yang merupakan
nematoda usus terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih banyak dari infeksi cacing lainnya,
diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia pernah terinfeksi cacing ini. Tidak jarang
dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain, terutama Trichiuris trichiura.7

Telur yang infektif ditemukan di tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia
mendapat infeksi dengan cara tertelan telur cacing Ascaris lumbricoides yang infektif (telur
yang mengandung larva). Hal ini terjadi karena termakan makanan atau minuman yang
tercemar oleh telur cacing.8

Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja


di sekitar halaman rumah, di bawah pohon, di tempat mencuci dan di tempat pembuangan
sampah. Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25◦-30◦C merupakan kondisi yang sangat baik
untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif. 8

Di daerah tropis, infeksi cacing ini mengenai hampir seluruh lapisan masyarakat, dan anak
lebih sering terinfeksi. Bayi akan terinfeksi dengan cacing ini melalui jari ibunya yang
mengandung telur Ascaris lumbriocides segera setelah lahir. Pencemaran tanah oleh telur
cacing lebih sering disebabkan oleh tinja anak.7

2.1 Morfologi dan Siklus Hidup Ascaris lumbricoides

Ascaris lumbricoides adalah cacing yang tersebar hampir di seluruh dunia, terutama di
daerah dengan sanitasi yang buruk. Cacing dewasa berbentuk silider, berwarna merah
muda. Cacing jantan lebih kecil (120-150 mm x 3-4 mm) dari betina (200-400 mm x 5-6
mm), dan ujung posterior pada cacing jantan sedikit melingkar. Cacing betina
menghasilkan berkisar 200.000 telur yang telah dibuahi (fertilized) dan tidak dibuahi
(unfertilized) per hari yang diletakkan di lumen usus. Telur yang telah dibuahi berukuran
40x60 µm yang ditandai dengan adanya mamillated outer coat dan thick hyaline shell.7,8

Gambar I. Siklus Hidup Ascaris Lumbricoides

Siklus hidup Ascaris lumbricoides dimulai sejak dikeluarkannya telur oleh cacing
betina di usus halus dan kemudian dikeluarkan bersama tinja. Dengan adanya mamillated
outer coat, telur ini dapat bertahan hidup karena partikel tanah melekat pada dinding telur
yang dapat melindunginya dari kerusakan. Dengan kondisi yang menguntungkan seperti
udara yang hangat, lembab, tanah yang terlindung matahari, embrio akan berubah di dalam
telur menjadi larva yang infektif, disebut second-age larva (berlangsung ±3 minggu).
Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larva akan keluar di
duodenum dan kemudian menembus dinding usus halus menuju ke venula mesenterika,
masuk ke sirkulasi portal, kemudian ke jantung kanan, melalui pembuluh darah kecil paru
sampai di jaringan alveolar paru.7,8

Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke
rongga alveolus, kemudian naik ke trake melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva
menuju faring, sehinga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena
rangsangan tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus halus.
Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai
cacing dewsa bertelur dibutuhkan waktu ± 2-3 bulan.7

2.2 Manifestasi Klinis Ascaris lumbricoides

Sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala, akan tetapi karena tingginya angka
infeksi morbiditasnya perlu diperhatikan.

1. Migrasi Larva

Walaupun kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan siklus dari usus
melalui hati ke paru, tetapi organ yang sering dikenai adalah paru, yang mana semua
larva Ascaris lumbricoides harus melalui paru-paru sebelum menjadi cacing dewasa di
usus. Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah untuk masuk ke dalam
alveoli paru.7

Pada infeksi ringan, trauma yang terjadi bisa berupa perdarahan (petechial
hemorrhage), sedangkan pada infeksi yang berat, kerusakan jaringan paru dapat terjadi,
sejumlah kecil darah mungkin mengumpul di alveoli dan bronkhiol kecil yang bisa
mengakibatkan terjadinya edema pada organ paru. Semua hal ini disebut pneumonitis
Ascaris.7

Pneumonitis Ascaris biasanya terjadi pada 1-2 mingu setelah terinfeksi (8)
disebabkan oleh karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan
temperatur sampai 39,5-40◦C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe asmatik), batuk
kering atau berdahak (ditandai dengan kristal Charcot-Leyden), ronkhi atau wheezing
tanpa krepitasi yang berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrat pada
gambaran radiologi yang menghilang dalam waktu 3 minggu (sindroma Loeffler)
sehingga diduga sebagai pneumonia viral atau tuberkulosis.7

2. Cacing Dewasa

Cacing dewasa biasanya hidup di usus halus. Gejala klinis yang paling menonjol
adalah rasa tidak enak di perut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera
makan, diare atau konstipasi. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada
dinding usus. Pada anak, kejadian ini bisa diikuti dengan demam. Komplikasi yang
ditakuti (berbahaya) adalah bila cacing dewasa menjalar ke tempat lain (migrasi) dan
menimbulkan gejala akut.7

Pada keadaan infeksi yang berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak
sekolah dan yang paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan menimbulkan
komplikasi penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat
terjadi ileus oleh karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun appendisitis
sebagai akibat masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan
ampulla vateri ataupun saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.7

Keadaan umum pasien tampak sakit, ditandai dengan tanda-tanda vital yang tidak
normal (takikardia, demam) dan mungkin secara aktif muntah dan mengeluh terdapat
nyeri perut yang hebat. Saat di palpasi, akan teraba massa (bolus dari cacing) yang dapat
diamati. Jika terdapat rasa sakit yang hebat, takikardia, takipnea, demam, nyeri tekan
perut, dan muntah maka bisa mengindikasikan bahwa penyakit sedang berkembang
menjadi obstruksi, sepsis atau perforasi.9

Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di
dalam usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena
sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial, konjungtivitis akut, fotofobia dan terkadang
hematuria. Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascaris lumbricoides,
tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih banyak
menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi
Ascaris lumbricoides.7
2.3 Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja secara langsung.
Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain itu, diagnosis dapat
dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah
maupun melalui tinja.8

2.4 Pengobatan

Pada saat ini, pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari dalam usus.
Obat-obatan yang digunakan :

a. Pirantel pamoat, dosis 20 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan hasil yang


memuaskan
b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari berturut-
turut. Hasil pengobatan baik, tetapi efek samping berupa iritasi terhadap cacing,
sehingga cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat lain harus
dipertimbangkan.
c. Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil
yang baik (dapat digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T.
trichiura)
d. Albendazol dapat diberikan 2 tablet Albendazol (400 mg) atau 20 ml suspense,
berupa dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.

Pencegahan infeksi Ascariasis, dengan cara perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi
serta lingkungan sangat mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi cacing gelang ini.7

III. Trichuriasis (Infeksi Cacing Tambang)

Trichuriasis trichiura adalah salah satu penyakit yang banyak terdapat pada manusia.
Diperkirakan sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini namun jumlahnya
hanya sedikit di bawah askariasis. Penyakit ini sering dihubungkan dengan terjadinya kolitis
dan sindrom disentri pada derajat infeksi sedang.7

Trichuris trichiura, cacing ini tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak terdapat di
daerah panas dan lembab dan sering terlihat bersama-sama dengan infeksi Ascariasis.
Trichuriasis banyak ditemukan di Asia di mana prevalensinya lebih dari 50% di daerah
pedesaan.7

Cacing ini ditemukan di seluruh dunia. Di daerah dengan endemisitas yang tinggi, anak
kecil sering terkena infeksi berat. Pada saat ini infeksi sering dijumpai pada anak usia sekolah.
Pencemaran tanah oleh telur cacing umumnya disebabkan oleh tinja anak dengan endemitas
yang tinggi. Umur yang paling rentan untuk mendapatkan infeksi cacing ini adalah 5-15 tahun.8

Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur
tumbuh di tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimum 30◦C. pemakaian tinja sebagai
pupuk kebun merupakan sumber infeksi.8

3.1 Morfologi dan Siklus Hidup

Panjang cacing betina kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4 cm. bagian
anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian
posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing
jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon asenden dan sekum
dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-20.000 butir.7,8

Gambar II. Siklus Hidup Trichuriasis Trichiura

Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua
kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur
yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam
waktu 3-6 minggu dalam linkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan teduh.
Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. 7,8

Manusia mendapat infeksi dengan menelan telur yang infektif (telur yang mengandung
larva), kemudian di duodenum larva akan keluar, menembus dan berkembang di mukosa usus
halus dan menjadi dewasa di sekum dan kolon. Siklus ini berlangsung ±3 bulan. Cacing betina
dapat menghasilkan 2000-6000 telur setiap harinya. Telur akan keluar bersama tinja dan
menjadi infektif di tanah yang memerlukan waktu 10-14 hari. Cacing ini dapat hidup dalam
tubuh manusia bertahun-tahun lamanya.7,8

3.2 Manifestasi Klinis

Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan
di kolon asendens.7

Terdapat dua proses yang berperan untuk sampai dapat menimbulkan gejala, yaitu :

1. Trauma Oleh Cacing


Cacing ini biasanya menetap di daerah sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di
kolon asendens. Trauma (kerusakan) pada dinding usus yang terjadi oleh karena cacing
ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.7
Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah anak menjadi gugup, susah tidur, nafsu
makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrium atau nyeri perut, muntah atau
konstipasi, perut kembung, buang angin. Pada infeksi berat dijumpai mencret yang
mengandung darah, lender, nyeri perut tenesmus (nyeri sewaktu buang air besar);
anoreksia; anemia dan penurunan berat badan. Pada infeksi yang sangat berat dapat
terjadi prolapse rekti akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.7

2. Efek toksik
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit. Infeksi cacing
ini memperlihatkan respons imunitas humoral yang ditunjukkan dengan adanya reaksi
anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE, akan tetapi peran imunitas seluler tidak
terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi berat
ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa akan mudah berdarah, namun cacing tidak
aktif menghisap darah.7

3.3 Diagnosis

Dengan pemeriksaan tinja, dijumpai telur Trichuriasis trichiura ataupun cacing


dewasa.8

3.4 Pengobatan

Pengobatan yang bisa diberikan untuk mengobati trichuriasis adalah :

a. Mebendazol 100 mg, dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut


b. Albendazol, pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dengan dosis 400 mg (2 tablet)
atau 20 ml suspensi berupa dosis tunggal. Sedangkan anak di bawah 2 tahun diberikan
separuhnya
c. Gabungan Pirantel-pamoat dengan Mebendazol

Pencegahan untuk trichuriasis yaitu dengan perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi /
lingkungan untuk mencegah terjadinya pencemaran tanah oleh tinja manusia yang
terinfeksi dengan cacing cambuk.7

IV. Infeksi Cacing Tambang

Penyakit cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Di Indonesia infeksi oleh N. americanus lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan infeksi oleh A. duodenale.7

Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada
mukosa dinding halus. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk
kebun penting dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah
tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N.americanus 28◦-32◦C,
sedangkan untuk A. duodenale lebih rendah (23◦-25◦C). Untuk menghindari infeksi, antara
lain dengan memakai sandal dan sepatu.7,8

4.1 Morfologi dan Siklus Hidup


Cacing betina N. americanus setiap hari mengeluarkan telur 5.000-10.000 butir,
sedangkan A. duodenale kira-kira 10.000-25.000 telur.Telur cacing tambang terdiri dari
satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan yang jelas antara dinding dan sel
didalamnya. Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang di tanah.7,8

Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A. duodenale


menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar, N. americanus mempunyai
benda kitin, sedangkan A. duodenale ada dua pasang gigi.8

Gambar III. Siklus Hidup Cacing Tambang

Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal (23-33◦C), telur akan menetas
dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhamditiform yang berukuran 250-300 µm. setelah 2
kali mengalami perubahan, akan terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke
larva filariform adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke
sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva
bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkhiolus ke bronchus, trakea, faring, kemudian
tertelan, turun ke esophagus dan menjadi dewasa di usus halus.7,8

Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan larva filariform ataupun dengan cara
larva filariform menembus kulit. Pada Necator americanus, infeksi melalui kulit lebih
disukai, sedangkan pada Ancylostoma duodenale infeksi lebih sering terjadi dengan tertelan
larva A. duodenale dan N. americanus yang cara infeksinya dengan menelan larva, maka
cacing ini tidak mempunyai siklus di paru.7,8
4.2 Epidemiologi

Cacing tambang adalah penyakit yang penting pada manusia. N.americanus maupun A.
duodenale ditemukan di daerah tropis dan subtropics seperti Asia dan Afrika. Infeksi pada
manusia umumnya dapat terjadi oleh pengaruh beberapa factor, yaitu :

- Adanya sumber infeksi yang adekuat di dalam populasi


- Kebiasaan buang air besar yang jelek, yang mana tinja yang mengandung telur
cacing tambang ikut mencemari tanah
- Kondisi setempat yang menguntungkan untuk dapat terjadinya perkembangan telur
menjadi larva
- Kesempatan larva berkontak dengan manusia

Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing tambang. Endemitas infeksi
tergantung pada kondisi lingkungan untuk menetaskan telur dan maturase larva. Kondisi
yang optimal ditemukan di daerah pertanian di negara ropis. Morbiditas dan mortalitas
infeksi cacing tambang terutama terjadi pada anak-anak.7

4.3 Manifestasi Klinis


Migrasi Larva

Bila banyak larva filariform sekaligus yang menembus kulit, maka dapat
menimbukkan rasa gatal pada kulit (ground itch). Creeping eruption (cutaneous larva
migrans), umumnya disebabkan larva cacing tambang yang berasal dari hewan seperti
kucing ataupun anjing, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh larva Necator
americanus ataupun Ancylostoma duodenale. Infeksi larva filariform A. duodenale
secara oral menyebabkan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher, dan
serak. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi tidak sesering
oleh larva Ascaris lumbricoides.7

Cacing Dewasa

Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat
pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi tergantung pada berat ringannya
infeksi; makin berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok seperti :7
1. Gangguan gastrointestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare, penurunan berat
badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan ileum.
2. Pada pemeriksaan laboratorium, umumnya dijumpai anemia hipokromik
mikrositik.
3. Pada anak, dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat dengan
tingkat kecerdasan anak.

Bila penyakit berlangsung kronis, akan timbul gejala anemia, hipoalbuminemia dan
edema. Hemoglobin kurang dari 5 g/dL dihubungkan dengan gagal jantung dan
kematian yang tiba-tiba. Patogenesis anemia pada infeksi cacing tambang tergantung
pada 3 faktor yaitu :7

1. Kandungan besi dalam makanan


2. Status cadangan besi dalam tubuh pasien
3. Intensitas dan lamanya infeksi

Pada infeksi cacing tambang, kehilangan darah yang terjadi adalah 0.03-0.05 ml
darah/cacing/hari pada Necator americanus dan 0.16-0.34 ml darah/cacing/hari pada
Ancylostoma duodenale.7

4.4 Diagnosis

Pada pemeriksaan tinja ditemukan telur cacing tambang ataupun cacing dewasa. Pada
kultur tinja, dijumpai larva cacing tambang. Untuk membedakan spesies N.americanus dan
A.duodenale dapat dilakukan misalnya dengan Harada-Mori.8

4.5 Pengobatan

Berikut adalah pengobatan yang dapat diberikan apabila terdapat infeksi cacing
tambang:7

1. Creeping eruption : Krioterapi dengan liquid nitrogen atau kloretilen spray,


tiabendazol topical selama 1 minggu.
2. Pengobatan terhadap cacing dewasa : di bangsal anak RS Pirngadi Medan,
pengobatan yang digunakan adalah gabungan pirantel-pamoat dengan
mebendazol, dengan cara pirantel-pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB diberikan
pada pagi harinya diikuti dengan pemberian mebendazol 100 mg dua kali sehari
selama 3 hari berturut-turut. Hasil pengobatan ini sangat memuaskan, terutama
bila dijumpai adanya infeksi campuran dengan cacing yang lain

Obat-obatan yang dapat digunakan :

1. Pirantel-pamoat, dosis tunggal 10 mg/kgBB.


2. Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
3. Albendazol, pada anak usia di atas 2 tahun dapat diberikan 400 mg (2 tablet) atau
setara dengan 20 ml suspense, sedangkan pada anak yang lebih kecil diberikan
dengan dosis separuhnya, dilaporkan hasil cukup memuaskan.7

4.6 Terapi Penunjang

Pemberian makanan yang bergizi dan preparat besi dapat mencegah terjadinya
anemia. Pada keadaan anemia yang berat (Hb < 5 g/dL), preparat besi diberikan
sebelum dimulai pengobatan dengan obat cacing. Besi elementer diberikan secara oral
dengan dosis 2 mg/kgBB tiga kali sehari sampai tanda-tanda anemia hilang.

Pencegahan :7,8
1. Pemberantasan sumber infeksi pada populasi
2. Perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi/lingkungan
3. Mencegah terjadinya kontak dengan larva

V. Oxyuriasis (Infeksi Cacing Kremi)

Oxyuriasis vermicularis (Enterobius vermicularis) atau thread pin atau seat worm atau
disebut juga cacing kremi. Oxyuriasis umumnya adalah infeksi yang terjadi pada
kelompok, maksudnya infeksi ini lebih sering terjadi dalam satu keluarga atau pada orang
yang tinggal dalam satu rumah dibandingkan dengan infeksi yang terjadi pada populasi
yang luas. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak dari pada orang dewasa.7

Cacing betina dewasa berukuran 8-13 mm x 0.3-0.5 mm dengan ekor yang runcing.
Bentuk jantan 2-5 mm x 0.1-0.02 mm. Seekor cacing betina dapat menghasilkan 11.000
telur. Telur ini bentuknya ovoid 50-60 mm x 20-30 mm, pada salah satu sisinya datar
sehingga berbentuk seperti sampan atau bola tangan (American football).10
Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif, kemudian menetas di sekum dan
berkembang menjadi dewasa. Siklus hidup cacing ini adalah ± 1 bulan.10

Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan akan mati dan dikeluarkan bersama
tinja. Cacing betina yang gravid umumnya pada malam hari akan turun ke bagian bawah
kolon dan keluar melalui anus. Telur akan diletakkan di perianal dan di kulit perineum.
Kadang-kadang cacing betina dapat 1 ke vagina. Diperkirakan setelah meletakkan telur
cacing betina kembali ke dalam usus.7

5.1 Morfologi dan Siklus Hidup

Cacing ini diperkirakan merupakan penyebab infeksi parasite pada manusia yang paling
sering dijumpai di dunia. Infeksi lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim dingin dan
sedang, oleh karena itu orang lebih jarang mandi dan mengganti pakaian dalamnya.7

Gambar IV. Siklus Hidup Enterobius vermicularis

Terdapat empat cara terjadinya infeksi yaitu :7

1. Langsung dari anus ke mulut, melalui tangan yang terkontaminasi oleh telur cacing.
Hal ini terjadi karena anak merasa gatal di sekitar dubur, digaruk dan telur cacing
lengket di kuku anak dan sewaktu makan telur ini ikut tertelan
2. Orang yang satu tempat tidur dengan pasien, yang mana terkena infeksi melalui
telur yang ada di alas tempat tidur, sarung bantal, ataupun pada benda yang
terkontaminasi.
3. Melalui udara, dalam hal ini telur cacing yang berada di udara terhirup oleh orang
lain (misalnya pada saat membersihka tempat tidur).
4. Retroinfection, pada keadaan yang memungkinkan telur cacing segera menetas di
kulit sekitar anus, dan larva yang keluar, masuk kembali ke dalam usus melalui
anus.

4.2 Manifestasi Klinis


Pada anak bisa berupa:7
1. Anak menjadi penggugup, susah tidur (tidur tidak pulas), mimpi yang
menakutkan (nightmare) sehingga di kelopak mata bagian bawah dijumpai
bayangan kulit yang gelap.
2. Hal yang serius adalah rasa gatal di sekitar anus, yang menyebabkan anak
menggaruk kulit di sekitar anus, yang berakibat dapat terjadinya eksema yang
bisa diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Bila hal ini tidak segera
diatasi, akan berakibat terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak.

4.3 Diagnosis
Berikut cara yang bisa digunakan untuk menentukan diagnosis dari Enterobiasis :7
1. Dengan menggunakan anal swab atau cellophane swab, dan segera diperiksa di
bawah mikroskop, dijumpai telur cacing kremi.
2. Dengan melihat anus anak pada malam hari dan menemukan cacing dewasa
yang sedang keluar untuk bertelur.

4.4. Pengobatan

Umumnya semua obat cacing dapat digunakan terhadap cacing ini. Hal yang paling
penting dalam pengobatan adalah pengobatan harus dilaksanakan pada seluruh anggota
keluarga. Untuk mendapat hasil pengobatan yang baik, pengobatan secara periodik harus
dilakukan. Di samping itu, penerangan mengenai perbaikan kebersihan pribadi sangat berarti
dalam menunjang keberhasilan pengobatan.7
BAB III
KESIMPULAN

Infeksi cacing akibat Soil-transmitted helminth (cacing yang ditularkan melalui tanah)
adalah salah satu infeksi yang paling umum terjadi pada masyarakat dengan ekonomi rendah.
Lebih dari 1,5 milyar orang, atau sekitar 24% populasi dunia terinfeksi penyakit ini, dan secara
menyeluruh tersebar pada daerah tropis dan subtropis.

STH yang banyak di Indonesia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator
Americanus) Prevalensi infeksi STH pada anak di Indonesia tahun 2008 mencapai 24,1%
dimana distribusi A. lumbricoides, T. trichiura dan cacing tambang mencapai 14.5%, 13.9%,
3.6%.

Kecacingan karena STH sering bersifat kronis dan sering terdapat pada anak yang
malnutrisi, kurus, retardasi intelektual, dan yang mengalami gangguan kognitif dalam bidang
pendidikan. Dengan tatalaksana yang baik, umumnya infeksi cacing bisa sembuh dengan
sempurna. Di samping itu, penerangan mengenai perbaikan kebersihan pribadi sangat berarti
dalam menunjang keberhasilan pengobatan.
Daftar Pustaka

1. Winita, Rawina, Mulyati, dan Hendri Astuty. Upaya Pemberantasan Kecacingan Di


Sekolah Dasar. Makara Kesehatan 2012 vol. 16 no. 2 : 65-71
2. WHO. Neglected Tropical Disease. Department of Control of Neglected Tropical
Disease. 2009.
3. WHO. Soil-Transmitted Helminth Infections. 2017.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/ pada tanggal 21 Mei 2017.
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
424/MENKES/SK/VO/2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. 19 Juni 2006.
5. Simarmata, Nelly, Tiangsa Sembiring dan Muhammad Ali. Nutritional Status Of Soil-
Transmitted Helminthiasis Infected And Uninfected Children. Paediatrica
Indonesiana. 2015. Vol. 55 No. 3 hal 136-41.
6. Darmadi, Irawati N, Nasrul E. Perbandingan Kadar IL-5 dan Jumlah Eosinofil Antara
Anak dan Orang Dewasa yang Terinfeksi Ascaris Lumbricoides. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015;4(3) hal 756-64.
7. Soedarmo S S P, Gama H, Hadinegoro S R S, Satari I H. Infeksi Parasit (Askariasis,
Trichuriasis, Ankilostomiasis, Oxyuriasis). Dalam : Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. 2015. Jakarta : UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI. Hal:370-
88.
8. Supali T, Margono S S, Abidin S A N. Nematoda Usus. Dalam : Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. 2013. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. Hal:6-
24.
9. Shoff, William.Pediatric Ascariasis. 2015. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview#a4 tanggal 29 Mei 2017.
10. Abidin S A N. Enterobius Vermicularis. Dalam : Buku Ajar Parasitologi Kedokteran
Edisi Keempat. 2013. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. Hal:25-8.

You might also like