You are on page 1of 11

Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...

) MUDRA Jurnal Seni Budaya


p 209 - 219
P- ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407

Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara


1 2 3
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar
1. Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Universitas Negeri Makassar Indonesia
2. Jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Indonesia
3. Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Halu Oleo, Indonesia

E-mail: amiruddinunm@yahoo.co.id

Pendidikan pada dasarnya berbasis sosial budaya berupa kegiatan pembelajaran yang didasarkan pada
unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat setempat. Penelitian ini bertujuan: (1) untuk menganalisis
fungsi kalosara dalam masyarakat Tolaki, (2) untuk mendeskripsikan fungsi kalosara sebagai media etnope-
dagogik dalam pengembangan karakter bangsa. Metode penelitian digunakan etnografi dengan pendekatan
fenomenologis. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, pengamatan, dan wawancara. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kalosara merupakan sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki. Kalosara sebagai
adat pokok dapat digolongkan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat pokok dalam pemerin-
tahan; (2) sara mbedulu, yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan persatuan pada umumnya; (3)
sara mbe’ombu, yaitu adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; (4) sara mandarahia, yaitu adat
pokok dalam pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan; dan (5) sara monda’u, mom-
bopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak,
berburu, dan menangkap ikan. Ada empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide, (2) focus dan pengintegrasian
unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup, serta (4) pemersatu. Fungsi kalosara sebagai media etnopeda-
gogik merupakan praktek pendidikan berbasis kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni
bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, pemerintahan, dan sistem penanggalan. Melalui media
kalosara, maka pengetahuan, nilai, dan keterampilan berbasis sosial budaya Tolaki dapat tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai pengembangan karakter bangsa.

Kata kunci : Kalosara, Media etnopedagogi, Pengembangan karakter nasional

Kalosara in Tolaki Society in South East Sulawesi


Education is essentially a social and cultural events based learning activities that are based on cultural
elements that exist in the local community. This study aims to: (1) to analyze the functions Tolaki kalosara
in society, (2) to describe the function kalosara as etnopedagogik media in the development of the nation's
character. Methods used ethnographic research with phenomenological approach. Data were collected
through literature study, observation, and interviews. The analysis showed that kalosara is the source of all
mores People Tolaki. Kalosara as principal customs can be classified into five branches, namely: (1) sara
wonua, namely traditional staple in government; (2) sara mbedulu, namely traditional staple in family
relations and unity in general; (3) sara mbe'ombu, the principal indigenous in religious activities and beliefs;
(4) sara mandarahia, namely traditional staple in jobs related to their expertise and skills; and (5) sara
monda'u, mombopaho, mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, ie indigenous staple in farming, garden-
ing, farming, hunting, and fishing. Kalosara four functions, namely: (1) idea, (2) focus and integrating
elements of the custom, (3) a rule of life, and (4) a unifier. Etnopedagogik media kalosara function as an
educational practices based on local wisdom in various domains such as medicine, martial arts, environ-
ment, agriculture, economy, government, and the calendar system. Kalosara through the media, the knowl-
edge, values, and skills-based socio-cultural Tolaki can grow and develop in the midst of society as a
positive character development.

Keywords : Kalosara, Media Etnopedagogi, National Character Development

Proses Review : 19 April - 4 Mei 2017, Dinyatakan Lolos : 8 Mei 2017

209
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Mei 2017

I. PENDAHULUAN Kebudayaan merupakan suatu proses belajar.


Misalnya dalam kesenian, manusia terus-menerus
Setiap suku bangsa berusaha memberikan pembela- mencari bentuk-bentuk ekspresi baru. Dalam
jaran kepada generasinya yang bertujuan untuk bidang religi manusia berusaha untuk menanggapi
melestarikan budaya mereka, dan menyesuaikan kekuasaan ilahi dengan simbol bahasa, tanda-tanda
diri dengan lingkungannya. Untuk dapat memper- dan perbuatan yang terus menerus diperbaharuinya.
tahankan masyarakat sebagai kesatuan fungsional, Meskipun demikian melalui kebudayaan tidak
harus selalu diadakan training bagi para anggota selalu menghasilkan yang positif. Melalui trial and
baru untuk dapat menempati posisi-posisi khusus error, kita menjadi bijaksana, namun dapat juga
dalam masyarakat. Para anggota masyarakat harus terjadi sebaliknya, bahwa manusia melalui kekeli-
dibagi-bagi dalam berbagai kategori, dan setiap ruan dan kesalahan menjadi makin bodoh, bahkan
kategori harus dididik untuk melakukan berbagai sukses dan kesejahteraan tidak selalu menambah
macam hal. Masyarakat juga harus mengembang- pengetahuan. Kebudayaan sebagai proses belajar
kan pola-pola tingkah-laku yang harus dilakukan tidak menjamin kemajuan dan perbaikan yang
individu dalam menghadapi situasi tertentu. sejati. Namun sebagai bangsa atau individu yang
Dengan adanya pola-pola semacam ini, maka baik diharapkan menjadikan kebudayaan sebagai
muncul garis pegangan untuk memberikan training proses belajar untuk menjadi lebih baik dari kehidu-
bagi individu. Dalam cultural continuum ada pan sebelumnya (Peursen, 1988).
perwjudan baru yang ditambahkan, dan ada perwu-
judan lainnya yang dilepaskan (Linton 1984). Proses pembelajaran keterampilan dan nilai meru-
pakan proses transmisi kebudayaan. Dalam trans-
Pendidikan pada dasarnya berbasis sosial budaya misi menurut Fortes terdapat tiga unsur utama,
berupa kegiatan pembelajaran yang didasarkan yaitu: (1) unsur-unsur yang ditransmisi, (2) proses
pada unsur-unsur budaya yang ada pada masyarakat transmisi, dan (3) cara transmisi (Tilaar, 1999).
setempat oleh Koentjaraningrat (1981) diidenti- Unsur-unsur budaya yang ditransmisi adalah nilai-
fikasi seperti: sistem religi dan upacara keagamaan, nilai budaya (adat-istiadat, pandangan mengenai
sistem organsisasi kemasyarakatan, sistem pengeta- hidup), kebiasaan sosial dalam pergaulan, sikap dan
huan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian peranan, tata makanan untuk dapat bertahan hidup.
hidup, serta sistem teknologi dan peralatan.
Proses transmisi meliputi proses: imitasi, identi-
Proses pembelajaran dalam bidang kebudayaan fikasi, dan sosialisasi (Tilaar, 1999). Imitasi adalah
dikenal ada tiga istilah: discovery, invention, dan meniru tingkah-laku dari sekitar, mulai dari
diffusion. Discovery adalah setiap penambahan lingkungan keluarga kemudian meluas terhadap
pengetahun, invention adalah sebuah penggunaan masyarakat lokal. Proses identifikasi berjalan sepa-
baru daripada pengetahuan, diffusion adalah trans- njang hayat sesuai dengan tingkat kemampuan
fer unsur-unsur kebudayaan dari suatu masyarakat manusia itu sendiri. Selanjutnya unsur-unsur
ke masyarakat lainnya. budaya itu harus disosialisasikan yaitu diwujudkan
dalam kehidupan nyata sehingga mendapat
Setiap kebudayaan merupakan sebuah formasi yang pengakuan sosial. Proses transmisi dilakukan dalam
bagian-bagiannya saling menyesuaikan. Gejala dua bentuk yaitu peran serta dan bimbingan. Cara
saling menyesuaikan antara unsur-unsur kebu- transmisi melalui peran serta antara lain dengan
dayaan ini disebut integration. Proses integrasi perbandingan atau ikutserta dalam kegiatan sehari-
merupakan perkembangan progresif dalam rangka hari di lingkungan masyarakat. Bentuk bimbingan
mewujudkan persesuaian yang sempurna antara dapat berupa instruksi, persuasi, dan ransangan.
berbagai unsur yang secara bersama mewujudkan
budaya sempurna (total culture). Linton (1984) Pengetahuan, nilai, dan keterampilan berbasis sosial
memberi contoh terjadinya perubahan dalam budaya Tolaki telah tumbuh di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Suku Tanala di Madagaskar masyarakat. Pengetahuan, nilai, dan keterampilan
sebagai akibat masuknya sistem teknologi tradisional yang telah dimiliki oleh masyarakat
bersawah, yang sebelumnya mereka hanya menge- Tolaki, tidak semuanya harus ditinggalkan, tetapi
nal sistem penanaman padi ladang. sebagian diantaranya dapat dikembangkan

210
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

berdasarkan pertimbangan tertentu, sebagaimana dalam banyak hal masalah-masalah sosial yang
tersimpul dari empat fungsi kalosara, yaitu: (1) ide berasal dari isu-isu lokal juga.
(2) focus dan pengintegrasian unsur-unsur
kebudyaan, (3) pedoman hidup serta (4) pemersatu Pemimpin lebih mudah untuk mengarahkan anak
(Tarimana, 1989). buahnya dengan norma-norma yang umum di
masyarakat. Kearifan lokal bisa menjadi kendaraan
Etnopedagogi adalah praktek pendidikan berbasis yang Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian
kearifan lokal dalam berbagai ranah seperti pengo- keunggulan lokal. Bagi Masyarakat Sulawesi Teng-
batan, seni bela diri, lingkungan hidup, pertanian, gara, khususnya Masyarakat Tolaki yang memiliki
ekonomi, pemerintahan, sistem penanggalan, dan kearifan lokal dalam bentuk kalosara yang
lain-lain. Etnopedagogi memandang pengetahuan berfungsi sebagai media dalam etnopedagogi.
atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan
keterampilan yang dapat diberdayakan demi Etnopedagogi didefinisikan sebagai model pem-
kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal mengand- belajaran lintas-budaya. Guru mampu mengajar
ung koleksi fakta, konsep kepercayaan, persepsi di setting budaya yang setempat yang mungkin
masyarakat ihwal dunia sekitar, menyelesaikan berbeda. Siswa adalah pembelajar lintas budaya.
masalah, dan memvalidasi informasi. Kearifan Siswa mana pun di dunia biasanya menunjukkan
lokal merupakan rangkaian pengetahuan dihasilkan, ada pola pikir serupa. Hal ini dapat diartikan
disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan bahwa untuk memberikan pemahaman baru harus
(Surya, 20113). Ada beberapa ciri kearifan lokal, disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
yaitu: (1) berdasarkan pengalaman, (2) teruji setelah berlaku di lingkungan setempat. Hal baru dapat
digunakan berabad-abad, (3) dapat diadaptasi dengan mudah diterima jika mengandung nilai-
dengan kultur ini, (4) padu padan dalam praktek nilai yang sejalan dengan nilai-nilai lokal. Pendidi-
keseharian masyarakat dan lembaga, (5) lazim kan juga menyediakan nilainilai universal yang
dilakukan oleh individu atau masyarakat secara harus ada di setiap nilai order di dunia. Seba-
keseluruhan, (6) bersifat dinamis dan terus berubah, liknya, nilai-nilai lokal yang sangat baik juga bisa
dan (7) sangat terkait dengan sistem kepercayaan diangkat dan disosialisasikanke dalam dunia yang
(Alwasilah, 2008). lebih luas. Pendidikan melalui pendekatan etnope-
dagogi, melihat pengetahuan lokal sebagai
Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berbasis sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diber-
pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidu- dayakan (Surya, 2011).
pan. Ini akan tumbuh menjadi ethnophilosophy,
ethnopsychology, ethnomusicology, ethnopolitics, Etnopedagogi terkait erat dengan pendidikan
dan lain-lain. Etnopedagogi memandang pengeta- multikultural. Pendidikan multikultural memuat
huan atau kearifan lokal (indigenous knowledge, perangkat kepercayaan yang memandang penting
local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keter- kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki
ampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahter- komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup,
aan masyarakat. Menurut Alwasilah (2008) ada pengalaman sosial, identitas pribadi, dan kelompok
beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) sosial maupun negara. Ketika etnopedagogi
berdasarkan pengalaman, (2) diuji setelah diguna- memandang pengetahuan atau kearifan lokal
kanselama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan sebagai sumber inovasi dan keterampilan, dilan-
dengan budaya sekarang, (4) terpadu di setiap hari jutkan dengan pendidikan multicultural yang
praktik dan lembaga-lembaga masyarakat, (5) memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar
umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat dapat menyumbangkan masukan positif bagi
secara keseluruhan, (6) adalah dinamis dan selalu kelompok sosial lain dan budaya nasional.
berubah, dan (7) sangat terkait dengan sistem
kepercayaan. Pemberdayaan melalui adaptasi Beberapaka penelitian terkait dengan penelitian ini,
pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasinilai- seperti Hasil penelitian Taena (2016) menyimpul-
nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa, kan bahwa pendidikan karakter terintegrasi dalam
dengan kondisi kontemporer adalah strategi pendidikan seni budaya yang berbasis budaya lokal
cerdas untuk memecahkan masalah sosial karena sangat penting diterapkan di sekolah. Makna yang

211
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Mei 2017

muncul dalam tekas kabanti kantola mengandung


nasehat, kritik membangun, membingbing dan
mengarahkan karakter masyarakat untuk menjadi
baik dan positif berdasarkan sudut pandang
masyarakatnya.

Hasil penelitian Suardika (2016) menyimpulkan


bahwa fungsi pendidikan iko-iko dalam Komunitas
Bajo bahwa terdapat sejumlah pengetahuan, nilai
dan sikap yang disampaikan oleh penutur kepada
pendengar berupa nilai kejujuran, kedisiplinan,
benar salah, baik buruk, anjuran rajin bekerja dan
berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan orang Gambar 1. Tampak Sebuah Kalosara
lain. (Wadah: kalo, kain kaci, dan Siwole)

Berdasarkan pemikiran hasil penelitian tersebut, Berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya,
maka penelitian ini dirancang dengan tujuan : (1) maka kalo banyak jenisnya, tetapi dalam tulisan ini
untuk menganalisis fungsi kalosara dalam hanya membahas kalosara yaitu kalo yang diguna-
masyarakat Tolaki, (2) untuk mendeskripsikan kan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara
fungsi kalosara sebagai media etnopedagogik dalam pelantikan raja, upacara penyambutan tamu pent-
pengembangan karakter bangsa. Metode penelitian ing, upacara perdamaian atas suatu sengketa, alat
digunakan etnografi dengan pendekatan fenom- bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu
enologis. Data dikumpulkan melalui studi pustaka, saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyam-
pengamatan, dan wawancara. Analisis data dilaku- paikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini
kan secara deskriptif kualitatif. dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah
anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih
II. PEMBAHASAN sebagai alas.

Konsep dan Fungsi Kalosara dalam Masyarakat


Tolaki
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang
berbentuk lingkaran, cara-cara mengikat yang
melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama
dengan pelaku membentuk lingkaran. Sebagai
benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada
juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas,
besi, perak, benang, kain putih, akar, daun pandan,
bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).

Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo,


berupa lilitan tiga rotan yang melingkar, (2) kain
putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu Gambar 2. Tampak Seorang Tolea Menghadapi Sebuah
anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat Kalosara (Wadah: kalo, kain kaci, dan Siwole)
(Misran Safar, wawancara 17 Juni 2016). Ketiga
wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan Peristiwa di mana seseorang, yang karena merasa
fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu sangat malu atas pelakuan seseorang lainnya yang
tatanan dengan struktur sebagai wadah pengalas tidak sopan terhadapnya di depan umum, melaku-
paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi kan reaksi keras berupa ancaman penganiayaan
di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua terhadap orang yang memperlakukannya demikian
wadah ini diletakkan kalo. untuk membela harga dirinya. Dalam situasi yang
demikian muncullah pihak ketiga menampilkan

212
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

kalosara di antara keduanya yang sedang ancam- kalo, yaitu: (1) tampak pada kesenian yaitu dalam
mengancam satu sama lain. Tanpa komentar dari hal bentuk, (2) terletak pada makna-makna simbolik
ketiganya, peristiwa ancam-mengancam tersebut yang terkandung di dalamnya (Muslimin Su”ud,
berhenti secara otomatis di mana keduanya akan wawancara, 24 Juni 2016).
saling maaf-memaafkan karena bagi mereka
kalosara identik dengan perkataan: “jangan, mohon Bentuk-bentuk disain dalam pola segi empat,
maaf, ampun, engkau, dia, dan aku, serta kita seka- lingkaran, ikat, dan pola gambar tumbuhan pakis,
lian adalah satu kesatuan, satu di dalam tiga, dan pola kepala orang; bentuk-bentuk rias tubuh dalam
tiga di dalam satu.” Menganiaya dia berarti menga- bulatan, bentuk-bentuk demikian berupa benda
niaya diri sendiri, dan menganiaya aku serta kita perhiasan dalam pola lingkaran; bentuk-bentuk
sekaliannya. Dengan tampilnya kalosara itu dalam alat-alat bunyi dalam pola bulatan; bentuk-bentuk
suasana demikian maka damailah keduanya. Bila teknik menari dalam pola lingkaran dan pola gera-
ternyata salah satu dari keduanya atau kedua- kan horisontal-vertikal yang membentuk pola segi
duanya menolak adanya kalosara dalam peristiwa empat; semua menunjukkan corak yang sama
itu, maka ia telah dipandang terkutuk dan akibatnya dengan bentuk pola kalo, yakni: lingkaran, ikatan,
mereka harus dikeluarkan dari warga Orang Tolaki dan segi empat.
atau menghukum mereka dengan ketentuan adat
yang berlaku. Konsep kalo dalam kebudayaan Tolaki sangat luas
ruang lingkup dan maknanya. Kalo secara umum
Selanjutnya,bagaimana hubungan antara asas mata meliputi o sara (adat istiadat), khususnya sara
pencaharian Orang Tolaki dengan kalosara? owoseno Tolaki atau sara mbu’uno Tolaki, yaitu
Hubungan itu tampak pada tiga kenyataan yang adat pokok (Instrumen utama), yang merupakan
digambarkan di bawah ini sebagai berikut: sumber dari segala adat-istiadat Orang Tolaki yang
Kenyataan bahwa kalosara selalu digunakan seba- berlaku dalam semua aspek kehidupan mereka.
gai tanda pemilikan, dan tanda larangan, penjaga Kalo sebagai adat pokok dapat digolongkan ke
tanaman terhadap gangguan hama dan gangguan dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu adat
orang lain. Selain itu kalosara secara simbolik pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu, yaitu
adalah ganti diri dari pemilik tanah dan tanaman di adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan
atasnya. persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu
adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan;
Selanjutnya, bagaimana hubungan antara asas (4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam
sistem teknologi tradisional Orang Tolaki dengan pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan
kalosara? Hubungan itu nampak pada kenyataan- keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho,
kenyataan yang digambarkan di bawah ini. mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu
Kenyataan bahwa pada umumnya alat-peralatan adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak,
memerlukan pengikat rotan, yang teknik mengikat- berburu, dan menangkap ikan (Tarimana, 1993;
nya adalah selalu identik dengan model ikatan Idam 2012).
kalosara yang melilit, melingkar, dan membulat.
Semua hulu dari alat-alat produktif dan senjata
selalu diikat dengan teknik khusus yang disebut
holungu (ikatan melingkar yang dianyam);
demikian pula semua wadah anyaman diperkuat
bobotnya dengan lingkaran rotan yang dipilin, dan
hampir semua dari model perhiasan identik dengan
model kalo yang melingkar, dan membulat.

Pergeseran nilai dan peranan kalosara masa kini.


Hubungan sistem kekerabatan dan organisasi sosial
dengan kalo, perlu memberi uraian mengenai sikap
orang Tolaki masa kini terhadap kalo. Untuk Gambar 3. Tampak Seorang Tolea Sedang Memperagakan
mengetahui sikap orang Tolaki masa kini terhadap Pemanfaatan Kalosara (Mengangakat Sebuah Kalosara)

213
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Mei 2017

Menurut Tarimana (1993) kalosara bagi sosial dan moral dalam kehidupan masyarakat,
masyarakat Tolaki merupakan sesuatu yang dapat penggunaan Kalo sebagai pedoman hidup untuk
mengintegrasikan unsur-unsur yang ada dalam terciptanya ketertiban sosial dan moral tampak
kebudayaan Tolaki, memiliki 4 fungsi: dalam usaha memulihkan suasana kelaparan karena
panen gagal atau karena bencana alam atau peris-
1) Kalo sebagai ide dalam kebudayaan dan sebagai tiwa lainnya. Masyarakat Tolaki menganggap
kenyataan dalam kehidupan orang Tolaki. Kalo bahwa timbulnya suasana yang tidak baik akibat
pada tingkat nilai budaya adalah sistem nilai yang dari manusia yang telah melanggar adat ataupun
berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsi- ajaran agama, atau telah melanggar ajaran Kalo
kan hal yang paling bernilai bagi Masyarakat sebagai instrumen adat utama mereka. Untuk
Tolaki, adalah apa yang disebut medulu memulihkan suasana semacam ini, maka diadakan-
mepoko’aso (persatuan dan kesatuan), ate pute lah upacara yang disebut mosehe wonua (upacara
penao moroha (kesucian dan keadilan), morini pembersihan negeri) yang diikuti oleh segenap
mbu’umbundi monapa mbu’undawaro besar warga masyarakat.
(kemakmuran dan kesejahteraan). Ide ini dinyata-
kan melalui penggunaan kalo dalam setiap upacara 4) Kalo sebagai pemersatu dan solusi terhadap
perkawinan, kematian, upacara tanam dan potong pertentangan-pertentangan sosial budaya dalam
padi atau pun pada setiap upacara penyambutan kehidupan masyarakat Tolaki.
tamu. Selain itu, ide ini juga diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya dalam apa yang Hubungan Kalosara Dengan Kesenian
disebut mete’ alo-alo (bantu-membantu) dan lain- Hubungan pertama yang tampak di antara kesenian
lain. Akhirnya ide kesejahteraan misalnya diwujud- dengan kalosara adalah dalam bentuk. Hubungan
kan dalam apa yang disebut kedua terletak pada makna-makna simbolik yang
mombekapona-pona’ako (saling hormat- terkandung di dalamnya. Bentuk-bentuk disain
menghormati), mombekamei-meiri’ako (saling dalam pola segi empat, lingkaran, ikat, dan pola
kasih-mengasihi), ndundu karandu (suasana gambar tumbuhan pakis, pola kepala orang,
ketenangan batin yang diliputi dengan alunan bunyi bentuk-bentuk rias tubuh dalam pola buatan,
gong yang merdu di tengah malam), dan tumotapa demikian bentuk benda-benda perhiasan dalam pola
rarai (suasana kegembiraan yang diliputi dengan lingkaran; bentuk alat-alat bunyi dalam pola buatan;
suara hura-hura, tawa, dan tepuk tangan yang bentuk teknik menari dalam pola lingkaran dan pola
meriah). gerakan horizontal-vertikal yang membentuk pola
segi empat; semuanya menunjukkan corak yang
2) Kalo sebagai fokus dan pengintegrasian unsur- sama dengan bentuk pola kalosara, yakni:
unsur kebudayaan Tolaki. Kalo bagi Masyarakat lingkaran, ikatan, dan segi empat.
Tolaki, bukan hanya sekedar simbol, tetapi juga
fokus dalam pengintegrasian unsur-unsur kebu- Dimensi diadik dalam pola garis-garis dan segi
dayaan Tolaki, yakni: (1) dalam bahasa, sebagai empat pada disain, pola dua dan empat baris per bait
lambang komunikasi; (2) dalam sistem ekonomi pada puisi, pola gerakan dua-tiga (ke kiri dua lang-
tradisional, sebagai penjaga tanaman, dan sebagai kah, ke kanan tiga langkah) dan membentuk
asas distribusi barang-baranag ekonomi; (3) sistem lingkaran, dan pola tiga bergandengan: laki-
teknologi tradisional, sebagai model mengikat dan perempuan laki, atau perempuan-laki-perempuan
bentuk alat-alat; (4) organisasi sosial, sebagai asas pada tarian, ide kesatuan dan persatuan yang tercer-
politik dan pemerintahan; (5) sistem pengetahuan, min dalam pola bulatan pada rias tubuh dan pola
dalam hubungannya dengan alam semesta; (5) lingkaran pada perhiasan; semuanya menunjukkan
sistem kepercayaan, dalam hubungan struktur alam ide atau asas yang sama pada kalosara, yaitu: asas
dunia; dan (6) sistem kesenian, dalam bubungan dualisme, asas triparti, dan asas kesatuan.
bentuk rias, dan teknik menari.
Pencerminan klasifikasi dua, klasifikasi tiga, dan
3) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya klasifikasi lima pada kalosara. Tiga macam
ketertiban sosial dan moral dalam kehidupan klasifikasi ini dalam makna simbolik dari kalosara.
Masyarakat Tolaki. Untuk terciptanya ketertiban Klasifikasi dua tercermin di dalam unsur dua ujung

214
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

rotan yang membentuk kalosara. Menurut konsepsi Kalosara dalam fungsinya sebagai pengikat rumah,
masyarakat Tolaki, dua ujung rotan itu adalah juga melambangkan unsur-unsur klasifikasi lima,
simbol dari laki dan perempuan, dan semua unsur berdasarkan asosiasi Masyarakat Tolaki yang
dua yang saling bertentangan atau yang dapat diper- mengidentifikasi kalosara dengan tiang tengan
tentangkan, misalnya: jasmani dan rokhani, manu- rumah, di mana tiang tengah rumah berfungsi seba-
sia dan hewan, manusia dan tumbuhan, dunia nyata gai pusat tata ruang rumah yang mencerminkan
dan dunia gaib, dan seterusnya. unsur-unsur ruang rumah, yaitu: sisi kanan-kiri-
muka-belakang-pusat rumah.
Makna simbolik dari dua ujung rotan yang menun-
jukkan klasifikasi dua tampak ketika upacara pemi- Implementasi Kalosara Sebagai Media Etnope-
nangan. Dalam ruang upacara duduk kelompok dagogi Dalam Kehidupan Masyarakat
peserta upacara dari pihak laki-laki di satu sisi ruan- Secara historis, instrumen adat kalosara merupakan
gan, dan peserta upacara dari perempuan di sisi landasan dasar dari keseluruhan sistem sosial
yang lain secara berhadap-hadapan. Kedua pihak itu budaya masyarakat Tolaki termasuk pendidikan,
saling bersaingan dalam hal menetapkan jenis dan kaidah-kaidah hidup bermasyarakat, sistem norma-
jumlah mas kawin dan biaya perkawinan yang akan norma, sistem hukum dan aturan-aturan lainnya.
datang. Pihak perempuan meminta banyak dan Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Tolaki
pihak laki-laki minta sedikit yang satu minta turun, sehari-hari secara umum baik merupakan rakyat
yang lain minta teta tidak turun dari jumlah yang biasa, sebagai seorang tokoh formal maupun
telah dimintanya. Gejala lain di mana dua ujung nonformal, nilai-nilai kepemimpinan yang terkand-
rotan itu tampak sebagai klasifikasi dua kanan ung dalam instrumen adat kalo berintikan persatuan
adalah keluarga pengantin perempuan pihak ayah, dan kesatuan, keserasian dan keharmonisan,
yang duduk pada posisi kiri adalah keluarga keamanan dan kedamaian. Lembaga kalosara juga
pengantin laki-laki pihak ibu, yang duduk pada menjadi landasan kultural bagi setiap individu
posisi muka-belakang adalah masing-masing kelu- dalam menciptakan suasana kehidupan bersama
arga dari masing-masing keluarga pengantin laki- yang aman damai serta dalam menegakkan aturan
laki dari pihak ayah, dan keluarga pengantin perem- baik berupa hukum adat maupun hukum negara
puan dari pihak ibu. Sedangkan yang duduk di (Tawulo dkk, 1991; Tarimana, 1993; Su’ud, 1992;
tengah di mana kalosara ditempatkan adalah dua Tondrang, 2000). Karena itu bagi Masyarakat
juru bicara dari masing-masing keluarga pengantin Tolaki menghargai, mengkeramatkan dan mensuci-
dan dua pasang suami-istri, ialah paman-bibi dari kan kalo berarti mentaati ajaran-ajaran nenek
masing-masing pengantin, yang duduk saling berh- moyang mereka. Apabila mereka berbuat seba-
adapan. Demikian juga peserta upacara, misalnya liknya, diyakini akan mendatangkan bala atau
dalam upacara pergantian tahun pertanian, biasanya durhaka (Tarimana, 1993; Su’ud, 1992).
diatur demikian rupa, sehingga mereka yang
mengambil tempat di bagian timur lapangan adalah Kalosara secara antropologis merupakan unsur
penduduk yang berasal dari wilayah timur desa, budaya yang merupakan suatu pusat dalam kebu-
yang mengambil tempat di bagian barat lapangan dayaan Tolaki, sehingga mendominasi bany ak
berasal dari wilayah barat desa, yang mengambil aktivitas atau pranata lain dalam kehidupan sehari-
tempat di bagian utara lapangan berasal dari hari. Fokus kebudayaan dari suatu masyarakat, oleh
wilayah utara desa, yang mengambil tempat di Linton (1936) disebut cultural interest atau social
bagian selatan lapangan berasal dari wilayah selatan interest, yaitu suatu kompleks unsur-unsur keb u-
desa, sedangkan mereka duduk di tengah lapangan dayaan yang tampak amat digemari warga
upacara di mana kalosara dan alat-alat upacara serta masyarakatnya sehingga tampak seolah-olah me n-
bangunan panggung berada adalah dukun upacara dominasi seluruh kehidupan masyarakat yang
yang dikelilingi oleh para tokoh adat dan tokoh bersangkutan (Koentjaraningrat, 1981).
masyarakat setempat (Su’ud, 2012).

Kenyataan-kenyataan tersebut di atas menunjukkan


bahwa kalosara dalam upacara merupakan simbol
dari unsur-unsur klasifikasi lima.

215
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Mei 2017

Dalam sistem pendidikan keluarga dan


kemasyarakatan juga diimplementasikan oleh
pendidik atau orang yang dituakan sebagai pendidik
yang memperlihatkan keteladanan dan pemberi
semangat.

Dalam masyarakat Tolaki, terdapat filsafat pendidi-


kan yang berakar pada ungkapan Inae kosara ie
pinesara; ie liasara ie pinekasara = siapa yang tahu
adat akan dihormati; siapa yang melanggar adat
akan dikasari. Dari filsafat ini kemudian tersimpul
dalam simbol kalosara yang mengatur tata hubun-
gan antar manusia dan lingkungannya (Tamburaka,
Gambar 4. Tampak Seorang Tolea dan Pabitara Sedang
Melaksanakan Amanah Kedua Pelah Pihak (Keluarga 2004).
Calon Mempelai Laki-laki dan Keluarga Calon Mempelai
Perempuan) Dalam hubungan antar anggota masyarakat ini,
terdapat unsur-unsur yang mengandung nilai filsa-
Etnopedagogi yang didasarkan nilai-nilai tradisi fat tinggi. Mereka menjadikannya sebagai tongkat
Jawa misalnya telah diungkap oleh beberapa ahli. pegangan untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Nilai kepemimpinan pendidikan Jawa yang paling Adapun jenis budaya hasil karya dan cipta yang
dikenal luas adalah konsep yang disampaikan oleh mempunyai nilai sosial tinggi dan merupakan
Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari 3 aspek perwujudan karakter positif yang lahir dari etnope-
kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung tuladha, dagogi melalui media kalosara antara lain:
(2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri 1. Kohanu
handayani. Konsep pendidikan ini bahkan diadopsi Kohanu, sering juga disebut dengan budaya malu.
menjadi nilai pendidikan nasional di Indonesia Kohanu, merupakan sistem pertahanan moral bagi
(Surya, 2011). Bagi masyarakat Bugis etnopeda- diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan
gogi didasarkan pada nilai-nilai yang telah lebih malas bekerja, maka selanjutnya mereka menerap-
dahulu dikembangkan oleh La Mellong yang berge- kan budaya kohanu ini dengan cara lebih tekun dan
lar Kajao Laliddong seorang cendekiawan rajin dalam bekerja, sehingga sebutan sebagai
(negarawan) dari Kerjaan Bone atau penasehat Raja pemalas akan hilang dari dirinya, berganti dengan
Bone ke-6 La Uliyo memerintah 1543-1568 dan sebutan pekerja keras yang rajin dan tekun. Secara
Raja Bone ke-7 La Tenri Rawe memerintah 1568- tidak langsung budaya ini mengajak setiap orang
1584. (Ali, 1986). Semboyang tersebut berbunyi: untuk selalu memaksimalkan tenaga maupun
Ri oloi napatiroang = di depan memberi pikiran yang dimilikinya untuk memajukan dia
contoh/pentunjuk sendiri atau anggota kelompok yang lain.
Ri tengngai nasiraga-raga = di tengah memberi
semangat 2. Merau
Ri munri nappong lopi = di belakang memberi Merau, adalah budaya yang mengajak orang untuk
dorongan selalu mengedepankan sikap sopan dan santun
dalam pergaulan, serta mau memberikan rasa
Semboyang ini kemudian mengilhami sikap dan hormat bagi semua anggota masyarakat Tolaki
perilaku dalam sistem pendidikan masyarakat maupun orang lain.
Bugis/Makassar. Secara bersistem konsep pendidi-
kan tersebut diaplikasikan dalam lembaga Pendidi- 3. Samaturu
kan Kedinasan bernama Anreguru Ana Karung Samaturu, merupakan salah satu budaya yang men-
(Sejenis Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam gutamakan hidup untuk selalu menjalin persatuan,
Negeri) yang khusus mendidik anak bangsawan suka menolong orang lain yang sedang membutuh-
yang dipersiapkan akan menjadi calon pemimimpin kan pertolongan dengan senang hati. Ini juga meru-
di berbagai tingkatan dalam sistem pemerintahan pakan wujud dari gotong royong yang menjadi
Kerajaan Bone (Hafid, 2013a). pandangan hidup utama dari masyarakat Tolaki.

216
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

4. Taa Ehe Tinua-Tuay Kedelapan jenis aturan tersebut, berawal dari


Taa ehe tinua-tuay, merupakan ajakan untuk selalu kalosara dan juga berakhir pada kalosara. Kondisi
merasa bangga karena menjadi bagian dari tersebut terjadi karena kalosara merupakan norma
masyarakat Masyarakat Tolaki. Sesungguhnya tertinggi dalam kehidupan social, sehingga
budaya ini menjadi bagian dari Kohanu. Namun berfungsi sebagai landasan filosofis dan dapat diap-
karena adanya suatu perbedaan yang bersifat men- likasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
gutamakan kemandirian, maka budaya yang satu ini demikian Implementasi kalosara dapat ditelaah
selanjutnya dipisah menjadi budaya sendiri. secara empiris, misalnya sejauhmana kalosara
dijadikan nmedia untuk mentransformasikan
5. O’Sapa pengetahuan, nilai, dan keterampilan dari seorang
Istilah O’sapa ialah semacam aturan-aturan klasik kepada orang lain baik secara individual maupun
yang mengatur hubungan hukum antara manusia kelompok. Secara cultural semua aktivitas social
dengan hewan. Hubungan-hubungan itu timbul harus disandarkan pada kalosara, sehingga tidak
manakala manusia melakukan pemburuan satu orangpun anggota masyarakat Tolaki yang
(berburu) terhadap binatang liar seperti kerbau, rusa tidak pernah menyaksikan alat kalosara, termasuk
dan anoa, dengan menggunakan tombak, menggu- menjadi partsipan dalam kegiatan implementasi
nakan anjing, perangkap, dan alat-alat penangkap pemanfaatan kalosara.
lainnya, Aturan-aturan O’sa¬pa itu berwujud
ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengam- Upaya kristalisasi nilai-nilai tersebut, maka pemer-
bil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi intah Kerajaan Konawe dahulu kala telah mendiri-
ketentuan “O’sapa.,” misalnya: Bila binatang kan suatu lembaga pendidikan pengkaderan calon
buruan itu mati berkat bantuan peralatan tombak pemimpin yang bernama Inae Sinumo yang
dan anjing, maka bagian tertentu dari daging kerbau berkedudukan di Abuki mirip dengan fungsi Seko-
atau rusa itu, harus diberikan kepada anjing lah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri. Melalui
(pemilik anjing) dan tombak (yang menombak lembaga Inae Sinumo ini diharapkan internalisasi
pertama) diluar dari bagian tertentu yang biasa nilai-nilai kalosara dapat dipertahankan dan dikem-
diberikan/diambil/dikuasai si pemburu (3/4 bagian) bangkan oleh seluruh lapisan masyarakat, yang
dan bagian penguasa wilayah untuk daging dan senantiasa didukung dan dipelopori oleh pemimpin
tulang-tulang tertentu. Bila binatang, tersebut yang benar-benar memahami dan berkomitmen
adalah binatang liar, tetapi bekas binatang mengembangkan kalosara dalam kehidupan
peliharaan, maka aturan pembagiannya telah masyarakat Tolaki.
tertentu pula bagi pemburunya, untuk anjing, untuk
tombak dan untuk penguasa wilayah/pu’utobu atau Kalosara difungsikan baik sebagai penyebab suatu
kepala kampung. kegiatan/acara, maupun sebagai akibat. Contoh
sebagai penyebab: Dalam suatu rangkaian pernika-
Aturan-aturan pembagian itulah disebut O’sapa, han, kalosara wajib diadakan sebagai instrumen
yang menurut kaidah hidup bermasyarakat harus utama adat dan sekiranya kalosara tidak ada, maka
dipatuhi oleh semua Masyarakat Tolaki termasuk acara tidak bisa dilaksanakan. Contoh sebagai
Penguasa/Raja. Bila aturan hukumnya tidak akibat: jika terdapat dua orang yang berselisih
dijalankan, maka da¬pat menimbulkan dampak paham, maka untuk mendamaikan harus diadakan
negatif terhadap kehidupan masyarakat dan negeri. kalosara. Akhirnya, apapun aktivitas masyarakat
Tolaki, maka kalosara harus ada, sehingga semua
8. O’liwi aktivitas seseorang dan kelompok orang harus
O’liwi ialah seperangkat pesan wasiat, nasihat dan selalu bersandar pada kalosara.
petunjuk hidup yang ditinggalkan/diwasiatkan
untuk diikuti oleh anak cucu /generasi berikut dari III. SIMPULAN
para leluhur, secara turun temurun terutama dalam
hal ini dapat disamakan dengan Yurisprudensi Fungsi kalosara dalam masyarakat Tolaki merupa-
artinya putusan Hakim tertinggi yang telah berlaku kan sumber dari segala adat-istiadat dapat digolong-
tetap yang dapat dicontoh oleh Hakim-hakim kan ke dalam 5 cabang, yaitu: (1) sara wonua, yaitu
berikutnya dalam perkara yang sama maupun adat pokok dalam pemerintahan; (2) sara mbedulu,
selainnya (Hafid, 2012b).

217
MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 1, Mei 2017

yaitu adat pokok dalam hubungan kekeluargaan dan untuk berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampi-
persatuan pada umumnya; (3) sara mbe’ombu, yaitu lan yang dibutuhkan terutama pengembangan kara-
adat pokok dalam aktivitas agama dan kepercayaan; kter bangsa dengan memanfaatkan kalosara sebagai
(4) sara mandarahia, yaitu adat pokok dalam media utama.
pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan
keterampilan; dan (5) sara monda’u, mombopaho, DAFTAR RUJUKAN
mombakani, melambu, dumahu, meoti-oti, yaitu
adat pokok dalam berladang, berkebun, beternak, Ali, A. Muh. (1986). Bone Selayang Pandang.
berburu, dan menangkap ikan. Ada empat fungsi Damai, Watampone.
kalosara, yaitu: (1) ide, (2) fokus dan pengintegra-
sian unsur-unsur kebudyaan, (3) pedoman hidup, Alwasilah, A.C. (2008). Tujuh Ayat Etnopedagogi.
serta (4) pemersatu. Artikel dalam Pikiran Rakyat Bandung, 23 Januari
2008.
Fungsi kalosara sebagai media etnopedagogik
merupakan praktek pendidikan berbasis kearifan Arta, Arwan Tuti. (2009). Laku Spiritual Sultan:
lokal dalam berbagai ranah seperti pengobatan, seni Langkah Raja Jawa Menuju Istana. Galangpress,
bela diri, lingkungan hidup, pertanian, ekonomi, Yogyakarta.
pemerintahan, dan sistem penanggalan. Melalui
media kalosara, maka pengetahuan, nilai, dan keter- Khamaganova, Erjen. (21-23 September 2005).
ampilan berbasis sosial budaya Tolaki dapat Traditional Indigenous Knowledge: Local View.
tumbuh dan berkembang di tengah-tengah Paper presented in in International Workshop on
masyarakat sebagai pengembangan karakter positif. Traditional Knowledge. Panama City.
Berbagai pengetahuan, nilai, dan keterampilan
dapat ditransfer melalui etnopedagogi dengan Hafid, Anwar; Ahiri, Jafar; dan Haq, Pendais.
memanfaatkan kalosara, yaitu: Kohanu, budaya (2012a). Konsep Dasar Ilmu Pendidikan. Alfabeta,
malu, merau, budaya yang mengajak orang untuk Bandung.
selalu mengedepankan sikap sopan dan santun
dalam pergaulan, samaturu, budaya yang menguta- Hafid, Anwar. (27-29 November 2012b). Kalosara
makan hidup untuk selalu menjalin persatuan, suka Sebagai Instrumen Utama Dalam Kehidupan Sosial
menolong orang lain, taa ehe tinua-tuay, merupa- Budaya Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara.
kan ajakan untuk selalu merasa bangga karena men- Makalah Disajikan dalam Prakongres Kebudayaan
jadi bagian dari masyarakat Tolaki, o’sapa, Indonesia di Jakarta.
ketaatan/kepatuhan setiap orang/pemburu mengam-
bil bagian dari jerih payah yang tidak menyalahi Idaman. (2012). Kalosara sebagai Medium
ketentuan. O’wua aturan/ketentuan hukum tata-cara Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat
bercocok tanam, merambah hutan, menanam padi, Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara.
o’lawi aturan dasar yang mengatur tentang tata cara http://idamanalwi.multiply.com/journal. Akses, 5
pemberian upah, imbalan jasa, pembagian kerja. Oktober 2012
O’liwi, pesan/wasiat, nasihat dan petunjuk hidup
yang ditinggalkan/diwasiatkan untuk diikuti oleh Koentjaraningrat. (1981). Kebudayaan Mentalitas
anak cucu. dan Pembangunan. Gramedia, Jakarta.

Akhirnya, masyarakat Tolaki perlu memelihara La Taena, dkk. (2016). “Tradisi Khabanti Kantola
peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir sebagai Model Pendidikan Karakter Terintegrasi
menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan Kurikulum Lokal dalam Pendidikan Seni Budaya di
masyarakat dengan memanfaatkan instrumen Sekolah Menengah Kabupaten Muna”.Dalam
kalosara. Demikian pula peran Tolea yang selalu Mudra Jurnal Seni dan Budaya. 31/01. Pusat Pener-
hadir dalam urusan peminangan, pernikahan, dan bitan Institut Seni Indonesia Denpasar:
perceraian juga memanfaatakan instrument
kalosara. Kedua tokoh masyarakat tersebut menjadi
pendidik dalam sistem etnopedagogi

218
Amiruddin, I Ketut Suardika, Anwar (Kalosara di Kalangan Masyarakat...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Linton, R. (1984). The Study of Man (Antropologi Tamburaka, Rustam, E. dkk. (2004). Sejarah
Suatu Penyelidikan Manusia). Diterjemahkan oleh Sulawesi Tenggara dan 40 Tahun Sultra Memban-
Firmansyah. Jemmars, Bandung. gun. Unhalu Press. Kendari.

MacNeill, N. et al (2003). Beyond Instructional Tarimana, Abdurrauf. (1995). Kebudayaan Tolaki.


Leadership: Towards Pedagogic Leadership. Balai Pustaka. Jakarta.
Australian Association for Research in Education.
Auckland. Tawulo, Asrul, (1991). Mondau Sebagai Sistem
Perladangan Masyarakat Tolaki dan Pengaruhnya
Peursen, C.A. Van. (1988). Strategi Kebudayaan. Terhadap Kelesatarian Sumber Daya Hutan di
Kanisius. Yogyakarta. Kabupaten Kendari. Kendari: Balai penelitian
Universitas Haluoleo.
Suardika, I Ketut dan Hafid, Anwar. (2016). “Per-
anan Tradisi Lisan Iko-iko Berbasis Sastra Melayu Tilaar, H. A. R. (1993). Pengembangan Sumber
dalam Penguatan Komunitas Etnis Bajo”. Dalam Daya Manusia yang Berbudaya dalam Pembangu-
Mudra: Jurnal Seni dan Budaya. 31/01. Pusat nan Jangka Panjang Kedua. LPMP-IKIP Jakarta.
Penerbitan Institut Seni Indonesia Denpasar.
............. (1999). Pendidikan, Kebudayaan, dan
Surya, Priadi. (2011). Kepemimpinan Etnopeda- Masyarakat Madani Indonesia. Remaja Rosda-
gogi di Sekolah. Dalam Majalah Ilmiah Dinamika karya, Bandung.
UNY Bulan Mei 2011.
Tondrang, Azis, (3 Juni 2000). Peranan Kalosara
Su’ud, Muslimin, (1986). Asas-Asas Hukum Adat dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki.
Pertanahan Masyarakat Tolaki. Kendari: Balai Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat
Penelitian Universitas Haluoleo. I Suku Bangsa Tolaki.

Su’ud, Muslimin, (1992). Aneka Ragam Kebu- Narasumber


dayaan Tolaki. Kendari: Balai Penelitin Universitas Misran Safar (47 tahun) PNS, Peneliti Budaya
Haluoleo. Tolaki, Tinggal di Kota Kendari.

Su’ud, Muslimin, (2012). Kompilasi Hukum Adat Muslimin Su’ud (75 tahun) Praktisi Adat dan
Perkawinan di Sulawesi Tenggara. HISPISI Tokoh Masyarakat, Pensiunan PNS, Tinggal di
Cabang Sultra. Kendari. Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan.

219

You might also like