You are on page 1of 3

Nama: Ismi Ramadhani Sukma Jum’at, 15 September 2017

NIM: C54170076 Asprak: Nabila Dinantiar Adelianoor


Praktikum ke-1

Terkendala Biaya, Bayi pun Tak Selamat


Nibas Nada Nailufar

Cerita pilu bayi meninggal karena tak ditangani tepat waktu akibat
terbentur biaya kembali terjadi di Ibu Kota Indonesia. Bayi Debora meninggal
karena sebuah rumah sakit swasta tak mau melakukan perawatan tanpa uang
muka. Kini, Henny Silalahi dan suaminya Rudianto Simanjorang hanya bisa
mengenang bayi mereka, Tiara Debora, yang meninggal pada Minggu, 3
September 2017.
Henny dan Rudianto, orangtua dari Debora, menceritakan bagaimana
menyesalnya mereka memercayakan nyawa Debora kepada pihak RS Mitra
Keluarga Kalideres.
Kejadiannya bermula ketika Debora mengalami batuk pilek selama tiga
hari berturut-turut, akhirnya Debora pun dibawa ke RSUD Cengkareng untuk
pemeriksaan. Dokter di sana kemudian memberinya obat dan nebulizer untuk
mengobati pilek Debora.
Sampai suatu hari kedua orangtua debora ini menydari bahwa anak
mereka mulai sesak napas. Saat itu, pukul tiga pagi sang suami langsung
menyalakan motor dan membawa Debora ke rumah sakit terdekat yaitu RS Mitra
Keluarga Kalideres. Sesampainya di sana, petugas keamanan langsung
membantu Henny membawa Debora ke ruang instalasi gawat darurat (IGD).
Dokter jaga saat itu, Irene Arthadinanty Indrajaya, langsung melakukan
pertolongan pertama dengan melakukan penyedotan (suction).
Debora dipasangi berbagai macam alat monitor, infus, uap, dan
diberikan obat-obatan. Saat itu, pukul 03.30, Debora sudah bernapas dan
menangis kencang.
"Saya pikir sembuh nih, terus saya dipanggil dokter Irene, dia bilang ini
harus masuk pediatric intensive care unit (PICU) karena sudah empat bulan
usianya, tetapi dia bilang di sini enggak terima BPJS," kata Henny.
Rudianto dan Henny pun langsung mengurus administrasi agar anak
mereka dirawat di ruang PICU. Disana, ia menghadap bagian administrasi dan
disodori semacam daftar harga. Uang muka untuk pelayanan itu Rp 19.800.000.
"Saya bilang saya enggak bawa duit sama sekali, cuma bawa kunci sama
duit di kantong celana untuk tidur, tetapi mereka bilang harus bayar DP (uang
muka)," kata Rudianto.
Ia pun tancap gas ke rumah untuk mengambil dompet. Rudianto
kemudian langsung menarik semua uang di ATM yang dimilikinya dan
mencairkan sekitar Rp 5 juta.
Uang itu dibawa ke bagian administrasi dan dihitung oleh petugas saat
itu. Karena tak cukup, petugas administrasi saat itu mengambil uang dan
menghubungi atasannya.

1
Rudianto tak tahu pembicaraan pihak administrasi tersebut. Ia kemudian
dipanggil lagi dan uangnya dikembalikan. Petugas menyampaikan bahwa karena
uang kurang, anaknya tak bisa masuk PICU.
"Di situ saya memohon-mohon sangat, saya bilang nanti siang saya bayar
kekurangannya, saya punya saudara kan bisa diusahakan. Petugas hanya bilang
enggak bisa, ini sudah kebijakan dari manajemen," kata Rudianto.
Akhirnya, oleh dokter, Rudianto dan Henny dibuatkan surat rujukan ke
rumah sakit lain yang memiliki PICU dan menerima BPJS Kesehatan.
Semua rumah sakit diteleponnya, mulai dari Hermina, Siloam, RSCM,
Harapan Kita, Awal Bros, tetapi tak ada satu pun ruang PICU yang kosong.
Henny juga mengunggah status di Facebook dan menghubungi teman-
temannya untuk minta dicarikan rumah sakit. Ia juga menghubungi atasannya
untuk meminjam uang agar anaknya bisa dimasukan ke PICU RS Mitra Keluarga
Kalideres.
"Saya ngadep dokter lagi, dokternya ganti dokter Irfan, saya bilang saya
sudah nyari enggak ada yang kosong, saya bilang saya kerja, punya uang, nanti
siang saya lunasi, sambil nunggu anak saya dapat rumah sakit, kenapa tidak
ditangani di PICU dengan uang Rp 5 juta, saya sudah memohon-mohon," tutur
Henny.
Dokter, perawat, dan petugas administrasi tetap menolak serta meminta
uang dilunasi dulu sebesar Rp 11 juta.
Henny mengatakan, dokter saat itu sempat menyebut tarif perawatan di
ruang PICU semalam mencapai Rp 20 juta.
Sekitar pukul 09.00, Henny dihubungi temannya yang mengabarkan ada
ketersediaan ruang PICU di RS Koja.
Tanpa pikir panjang, Henny menyambungkan dokter anak di RS Koja
dengan dokter Irfan. Dokter Irfan menyampaikan di telepon bahwa Debora
kondisinya sudah stabil, pasukan oksigen lancar, dan layak untuk
ditransportasikan.
Namun, telepon tiba-tiba terhenti saat suster yang menjaga Debora
datang dengan muka panik. Sambungan telepon diputus dan dokter Irfan
langsung menangani Debora. Kondisi Debora kritis. Dokter dan suster
bergantian meresustasinya (CPR). Dokter menyebut Debora masih bernapas,
tetapi jantungnya berhenti.
Monitor jantung menunjukkan garis lurus tak berkelok. Henny dan
suaminya hanya bisa memegangi tangan anak malang itu. Ia menangis dan
meminta Debora bertahan. Dokter dan suster pun menyerah. Mereka langsung
pergi meninggalkan Debora. Suster hanya berkata mereka turut berduka cita.
Henny dan suaminya pun hanya bisa menangisi kepergian Debora
sembari melihat satu per satu peralatan dilepas dari tubuh bayi mungil itu.
Henny sempat berbicara kepada suster. Ia menanyakan penyebab
anaknya meninggal. Ia hanya mendapat penjelasan bahwa anaknya seharusnya
dirawat di ruang PICU.
Tanpa banyak berkata-kata, Rudianto dan Henny mengurus administrasi
rumah sakit serta surat kematian.

2
Ia membayar Rp 6 juta lebih atas perawatan di IGD. Ia pun meminta
surat kematian yang tak menjelaskan apa pun penyebab kematian Debora.
"Saya bilang, ini saya punya kewajiban saya tetap bayar, saya enggak lari
meskipun anak saya sudah meninggal," ujar Henny.
Ia kemudian membawa pulang anaknya dan menguburkan anak
kelimanya itu untuk selamanya.
Kisah memilukan ini pun menjadi viral setelah di posting di Facebook.
Banyak yang bersimpati mengenai ketidak adilan yang di alami Debora. Tak lama
setelah berita ini viral, RS Mitra mengeluarkan Press Release untuk menjelaskan
peristiwa pilu ini yang tentu saja dengan versi cerita yang berbeda.

Sumber:
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/09/09/17361871/orangtua-
terkendala-biaya-bayi-debora-meninggal-di-rs
https://news.detik.com/berita/3635460/cerita-pilu-di-jakarta-bayi-debora-
meninggal-karena-tak-ada-biaya

You might also like