You are on page 1of 4

BAB III

DISKUSI

3.1 Diskusi

Spiramycin merupakan antibiotik makrolida paling aktif terhadap

toksoplasmosis di bandingkan dengan antibiotika lainnya, dengan mekanisme kerja

yang serupa dengan klindamisin. Spiramycin menghambat pergerakan mRNA pada

bakteri/parasit dengan cara menghambat 50s ribosom, sehingga sintesis protein

bakteri/parasit akan terhambat dan kemudian mati (Suparman, 2012). Berdasarkan

farmakodinamiknya, maka antibiotik ini digolongkan kedalam antibiotik yang

bersifat bakteristatik. Penggunaan antibiotik spiramycin selama kehamilan dengan

infeksi T. gondii akut dapat menurunkan frekuensi transmisi vertikal. Hal ini terlihat

lebih nyata pada wanita yang terinfeksi selama trimester pertama. Spiramycin tidak

dapat melewati plasenta, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi pada

kasus yang diduga telah terjadi infeksi pada janin. Sampai saat ini, tidak terdapat

fakta bahwa obat ini bersifat teratogenik (Suparman, 2012)

Pada wanita yang diduga mengalami infeksi toksoplasma akut pada trimester

pertama atau awal trimester kedua, spiramycin diberikan hingga persalinan meskipun

31
32

hasil pemeriksaan PCR negatif. Hal ini berdasarkan teori yang menyatakan bahwa

kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada saat kehamilan dari plasenta yang

sebelumnya telah terinfeksi di awal kehamilan. Spiramycin diberikan hingga

persalinan, juga pada pasien dengan hasil pemeriksaan cairan amnion negatif, karena

secara teoritis kemungkinan infeksi janin dapat terjadi pada kehamilan lanjut dari

plasenta yang terinfeksi pada awal kehamilan. Untuk ibu hamil yang memiliki

kemungkinan infeksi tinggi atau infeksi janin telah terjadi, pengobatan dengan

spiramycin harus ditambahkan pirimetamin, sulfadiazin, dan asam folat setelah usia

kehamilan 18 minggu. Pada beberapa pusat pengobatan, penggantian obat dilakukan

lebih awal (usia kehamilan 12-14 minggu). (Suparman, 2012)

Spiramycin sebaiknya tidak diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap

antibiotik makrolida. Sejumlah kecil ibu hamil menunjukkan gejala gangguan saluran

cerna atau reaksi alergi. Dosis spiramycin yang diberikan ialah 3 gram/hari.

(Suparman, 2012). Penggunaan spiramycin pada trimester pertama lebih dianjurkan

dibandingkan dengan penggunaan kombinasi pirimetamin dengan sulfadiazine karena

penggunaan kombinasi pirimetamin dengan sulfadiazine dapat membahayakan

(bersifat teratogenik), hanya digunakan setelah usia kandungan 18 minggu dan pada

keadaan emergensi tertentu. Selain itu, penggunaan antibiotik spiramycin memiliki

efek samping yang lebih minimal dibandingkan kombinasi pirimetamin dan

sulfadiazine. (Suparman, 2012)


33

Penelitian yang dilakukan Meroni, et al., menunjukkan bahwa terapi

Spiramycin pada ibu hamil yang terinfeksi Toxoplasma gondii dapat mengurangi

produksi dan maturasi aviditas dari antibodi Imunoglobuli G (IgG) spesifik

Toxoplasma gondii (Meroni, et al., 2008). Setelah infeksi toksoplasma terjadi, respon

antibodi spesifik imunoglobulin G (IgG) dimatangkan oleh seleksi dari klon sel B

yang memproduksi antibodi dengan meningkatnya aviditas yang lebih tinggi terhadap

antigen spesifik dari mikroorganisme yang menyerang. Pada infeksi Toxoplasma

gondii, pengukuran index aviditas (AI) IgG spesifik Toxoplasma gondii adalah

metode terbaik untuk menentukan waktu infeksi dan pengembangan lebih lanjut dari

uji diferensial aglutinasi. (Meroni, et al., 2008)

Pematangan respon IgG spesifik Toxoplasma gondii bervariasi antara

individu. Dalam suatu studi, dua ibu serokonversi sudah memiliki index aviditas IgG

di atas 20% pada saat diagnosis, tetapi kebanyakan pasien telah mengembangkan IgG

AI di atas 15% setelah 180 hari terinfrksi (Lappalainen, et al., 1993). Sebuah studi

dari Perancis menemukan index aviditas IgG rata-rata 0,2 pada wanita hamil yang

terinfeksi dalam 5 bulan terakhir. Terapi dengan spiramycin dalam tahap awal infeksi

juga memodifikasi respon antibodi IgG pada wanita hamil. Hasil ini jelas, meskipun

pada tingkat yang berbeda dengan semua tes yang digunakan dalam penelitian ini.

Pengaruh spiramycin pada trofozoit, dengan pengurangan berikutnya beban parasit,

mungkin menjelaskan keterlambatan respon serologis. efek tersebut harus


34

diperhitungkan oleh mereka yang terlibat dalam pengelolaan kesehatan ibu hamil.

(Meroni, et al., 2008)

Menurut Wallon, et al. (1999), beberapa alasan penggunaan spiramycin

sebagai antibiotik terhadap toksoplasmosis pada kehamilan di wilayah Eropa,

diantaranya :

a. Aktivitas intraselularnya yang sangat tinggi.

b. Konsentrasi di plasenta yang sangat tinggi (6.2 mg/L), sehingga

dapat mencegah infeksi maternal infiltrasi ke janin.

c. Aman bagi fetus. Spiramycin sedikit sekali kadarnya yang dapat

masuk ke janin. Oleh sebab itu, pada janin yang sudah terinfeksi

toksoplasma, efek terapi Spiramycin tidak akan maksimal.

Spiramycin tidak dapat mencegah kerusakan yang sudah terjadi

pada janin sebelum terapi Spiramycin dimulai.

d. Ditoleransi dengan baik oleh ibu hamil.

e. Studi-studi pendukung yang sangat banyak sebagai evidence based

medicine.

You might also like