You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beragam agama.
Kemajemukan yang ditandai dengan keanekaragaman agama itu mempunyai kecenderungan
kuat terhadap identitas agama masing- masing. Indonesia merupakan sebuah negara dengan
berbagai macam keanekaragaman. Baik itu suku, budaya, adat, ras maupun agama. Indonesia
adalah negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia, sekali lagi, terbanyak di dunia.
Maka melihat keterangan di atas, seharusnya Indonesia menjadi negara yang indah, damai,
dan beradab. Tapi lihat saja kenyataannya, kita tidak bisa menutup mata dan telinga dengan
pemberitaan sehari-hari yang mengabarkan tentang kisah-kisah menyedihkan dan tak beradab.
Mulai dari anak-anak yang melakukan pencabulan, berjudi, menghisab sabu. Remaja tawuran
antar sekolah, kumpul kebo, menjadi pengedar, minum-minuman keras. Orang tua yang
mencabuli anaknya sendiri, membunuh anggota keluarga sendiri, membunuh karena masalah
sepele, bunuh diri, mutilasi, dan sebagainya. Sampai kepada pejabat kita yang melakukan tindak
asusila, dan korupsi besar-besaran. Hampir setiap hari kejadian semacam ini keluar di
pemberitaan. Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana moral mereka? Bukankah sebagian besar
dari mereka adalah muslim? Bukankah orang muslim seharusnya menjadi rahmatan lil ‘alamin?
Jika ingin merasakan Indonesia yang damai sejahtera, maka yang harus dibenahi adalah
moral bangsanya, bukan sekedar pendidikan belaka. Dan pendidikan moral yang sesungguhnya,
yang komplit, dan yang diperintahkan oleh pencipta manusia adalah Islam. Setiap muslim wajib
untuk belajar tentang agamanya. Dengan begitu kita akan mampu menjadi khalifah
sesungguhnya di bumi sesuai tujuan diciptakannya kita, yaitu menjadi rahmat bagi semesta alam.

Sedangkan kita tahu, dari firman Allah didalam QS.Ali Imran:110

110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada

1
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli
kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Islam Agama Rahmat bagi Seluruh Umat Manusia. Kata Islam berarti damai, selamat,
sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam
adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan kedamaian, keselamatan, dan
kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya dan seluruh alam pada umumnya. Agama
islam adalah agama yang Allah turunkan sejak manusia pertama, Nabi pertama, yaitu Nabi
Adam AS. Agama itu kemudian Allah turunkan secara berkesinambungan kepada para Nabi dan
Rasul-rasul berikutnya.

Agama Islam mengakui keberagaman agama yang dianut oleh manusia, karena itu agama
Islam tidak hanya mengajarkan tata cara hubungan sesama umat Islam, tetapi juga hubungan
dengan umat beragama lain.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah agama “Kerukunan Antar Umat Beragama” adalah:

1. Apa yang dimaksud agama merupakan rahmat tuhan bagi umat manusia?
2. Apa yang dimaksud pluralitas dalam beragama?
3. Apa yang dimaksud kebersamaan dalam pluralitas beragama?
4. Mengapa agama dapat menjadi factor perekat dan konflik dalam masyarakat?
5. Apa factor penghambat kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama?
6. Bagaimana mencegah konflik antar umat beragama?
7. Apa saja langkah dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah “Kerukunan Antar Umat Beragama”, antara lain:

1. Mengetahui agama merupakan rahmat tuhan bagi umat manusia.

2
2. Mengetahui pluralitas dalam beragama.
3. Mengetahui kebersamaan dalam pluralitas beragama.
4. Memberikan informasi mengenai agama dapat menjadi factor perekat dan konflik
dalam masyarakat.
5. Mengetahui factor penghambat kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama.
6. Memberikan informasi mengenai pencegahan konflik antar umat beragama.
7. Memberikan informasi mengenai langkah dalam mewujudkan kerukunan antar umat
beragama.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Agama Merupakan Rahmat Tuhan Bagi Umat Manusia

Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera, penyerahan diri, taat dan patuh. Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah agama yang mengandung ajaran untuk
menciptakan kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan hidup umat manusia pada khususnya
dan seluruh alam pada umumnya. Agama islam adalah agama yang Allah turunkan sejak
manusia pertama, Nabi pertama, yaitu Nabi Adam AS. Agama itu kemudian Allah turunkan
secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rasul-rasul berikutnya.

Agama islam mempunyai karakter sebagai berikut :

1. Sesuai dengan fitrah manusia. Artinya ajaran agama islam mengandung petunjuk yang
sesuai dengan sifat dasar manusia ( Q.S Ar-Rum : 3 )
2. Ajarannya sempurna, artinya materi ajaran islam mencakup petunjuk seluruh aspek
kehidupan manusia. ( Q.S Al-Maidah )
3. Kebenaran mutlak. Kemutlakan ajaran islam dikarenakan berasal dari Allah yang Maha
Benar. Di samping itu kebenaran ajaran islam dapat dibuktikan melalui realita ilmiyah
dan ilmu pengetahuan. ( Q.S Al-Baqarah: 147 )
4. Mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
5. Fleksibel dan ringan. Artinya ajaran islam memperhatikan dan menghargai kondisi
masing-masing individu, dan tidak memaksakan umatnya untuk melakukan perbuatan di
luar batas kemampuannnya.
6. Berlaku secara universal, artinya ajaran islam berlaku untuk seluruh umat manusia di
dunia sampai akhir masa. ( Q.S Al- Ahzab:40 )
7. Sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal
pikirannya. ( Q.S Al- Mujadalah:11 ).
8. Inti ajarannya “tauhid” dan seluruh ajarannya mencerminkan ketauhidan kepada Allah
SWT.
4
Fungsi islam sebagai rahmat bagi sekalian alam tidak tergantung pada penerimaan atau
penilain manusia.

Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran Islam tersebut adalah:

1. Islam menunjuki manusia jalan hidup yang benar.


2. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan potensi yang
diberikan Allah secara bertanggung jawab.
3. Islam menghargai dan menghormati semua manusia sebagai hamba Allah,baik
muslim maupun non muslim.
4. Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional.
5. Islam menghormati kondisi spesifik individu dan memberikan perlakuan yang
spesifik pula

B. Pengertian Pluralitas dalam Beragama dan Ruang Lingkupnya

Pluralisme termasuk gagasan yang sedang aktual diperbincangkan dimasyarakat, dan


merupakan istilah yang baru. Namun gagasan yang baru tersebut banyak menimbulkan persoalan
dan menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak karna perbedaan presepsi tentang
pluralisme itu sendiri.
Pada awalnya konsep pluralisme berasal dari pemikiran barat yang menganggap dan
mengartikan pluralisme dengan memandang semua agama sama, namun setelah gagasan itu
masuk dan berkembang di wilayah muslim istilah pluralisme mengalami metamorfosis
sebagaimana hakikat islam itu sendiri sebagai rahmatal lil’alamin.
Secara etimologis pluralisme berasal dari kata Plural yang berarti “jama’” atau lebih dari
satu. Pengertian pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama-sama antar agama yang
berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik (ajaran
agama masing-masing). Sedangkan Pluralitas sendiri adalah realitas terhadap keanekaragaman
yang ada.
Para tokoh yang bersifat ekstrim terhadap pluralisme mereka mengartikan pluralisme
agama adalah sebuah keyakinan bahwa semua agama didunia ini adalah sama. Memeluk dan
meyakini satu agama sama saja memeluk dan meyakini semua agama karena semua agama
tertuju pada inti yang sama yaitu menuju kebenaran hakiki.
5
Sejarah mengenai awal pertama kali munculnya pluralisme agama ada beberapa versi.
Versi pertama pluralisme agama berawal dari agama kristen yang dimulai setelah Konsili
Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yanng mendeklarasikan “keselamatan umum” bahkan
untuk agama-agama diluar kristen. Gagasan pluralisme agama ini sebenarnya merupakan upaya-
upaya peletakan landasan teologis kristen untuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-
agama lain. Versi kedua menyebutkan bahwa pluralisme agama berasal dari India. Misalnya
Rammohan Ray (1773-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj, ia mencetuskan pemikiran Tuhan
satu dan persamaan antar agama (ajaran ini penggabungan antara Hindu-Islam). Serta masih
banyak lagi pencetus pluralisme dari India, pada intinya teori pluralisme di India didasari pada
penggabungan ajaran agama-agama yang berbeda.
Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralisme agama muncul setalah perang
dunia kedua. Diantara pencetus pemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Rene Guenon
(Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sarat
dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh kembangnya wacana
pluralisme agama.selain kedua orang tersebut juga ada Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh
muslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggap paling bertanggung jawab dalam
mempopulerkan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Pemikiran-pemikiran Nasr
tentang plurlaisme agama tertuang pada tesisnya yang membahas tentang sophia perennis atau
perennial wisdom (al-hikmat al-kholidah atau kebenaran abadi) yaitu sebuah wacana
menghidupkan kembali kesatuan metefisika yang tersembunyi dalam tiap ajaran-ajaran agama
semenjak Nabi Adam as. hingga sekarang.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Pluralisme Agama


1. Faktor Internal
Faktor internal disini yaitu mengenai masalah teologis. Keyakinan seseorang yang mutlak
dan absolut terhadap apa yang diyakini dan diimaninya merupakan hal yang wajar. Sikap
absolutisme agama tak ada yang mempertantangkannya hingga muncul teori tentang relativisme
agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor Sosio-Politik

6
Faktor ini berhubungan dengan munculnya pemikiran mengenai masalah liberalisme yang
menyuarakan kebebasan, toleransi, kesamaan, dan pluralisme. Liberalisme inilah yang menjadi
cikal bakal pluralisme. Pada awalnya liberalisme hanya menyangkut mengenai masalah politik
belaka, namun pada akhirnya menyangkut masalah keagamaan juga. Politik liberal atau proses
demokratisasi telah menciptakan perubahan yang sistematis dan luar biasa dalam sikap dan
pandangan manusia terhadapa agama secara umum. Sehingga dari sikap ini timbullah pluralisme
agama.
Situasi politik global yang kita alami saat ini menjelaskan kepada kita secara gamblang
tentang betapa dominannya kepentingan politik ekonomi barat terhadap dunia secara umum. Dari
sinilah terlihat jelas hakikat tujuan yang sebenarnya sikap ngotot barat untuk memonopoli tafsir
tunggal mereka tentang demokrasi. Maka pluralisme agama yang diciptakan hanya merupakan
salah satu instrumen politik global untuk menghalangi munculnya kekuatan-kekuatan lain yang
akan menghalanginya.
b. Faktor Keilmuan
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan munculnya
pluralisme. Namun yang berkaitan langsung dengan pembahasan ini dalah maraknya studi-studi
illmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering dikenal dengan perbandingan
agama. Diantara temuan dan kesimpulan penting yang telah dicapai adalah bahwa agama-agama
di dunia hanyalah merupakan ekspresi atau manifestasi yang beragam dari suatu hakikat
metafisik yang absolut dan tunggal, dengan kata lain semua agama adalah sama.
Pada umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat yang
didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan sebagainya. Dalam arti
lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar umat beragama. Jika kita merujuk pada
pendapat pada orientalis barat yang mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama
sama, maka definisi ini tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas.
Karena Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan agama-
agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi pendahulunya (yahudi dan
kristen).
Jika kita membuka lembaran-lembaran para ulama klasik maupun kontemporer tidak akan
kita temukan istilah pluralisme (ta’addudiyah). Namun masalah ini sama sekali tidak berarti
pluralitas agama tidak mendapatkan perhatian yang cukup dalam dunia Islam. Tidak adanya

7
terminologi pluralitas dalam Al-Quran, Sunnah maupun dalam tulisan-tulisan ulama Islam tidak
menunjukkan tidak adanya konsep tentang pluralitas dalam Islam.
Secara tidak lalngsung para ulama Islam memandang pluralitas sebagai bentuk interaksi
sosial yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus individu-individu ataupun
kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu tatanan masyarakat yang satu. Baik yang
menyangkut hak ataupun kewajiban untuk menjamin ketenteraman dan perdamaian umum. Jadi
permasalah pluralisme lebih mengarah pada masalah-masalah sosial daripada masalah ketuhanan
atau teologi, dimana wahyu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya pada
kebebasan dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai yang mereka
yakini, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kafirun: 109/6 ( ‫ ) لكم دينكم ولي دين‬yang artinya :
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. Dan juga Allah menerangkan pada QS. Al
Baqarah: 2/256
‫الاكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفرر با لطا غو ت ويؤ من با هلل فقد استمسك با لعروة الوثقي الانفصام‬
‫لها وهللا سميع عليم‬
Artinya : Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut [162]
dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori
pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena pluralisme
agama. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah hakikat yang tidak mungkin dinafikan lagi,
sementara teori-teori pluralisme agama hanya melihat pluralisme sebagai keberagaman yang
tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah yang menimbulkan perbedaan dalam menentukan
solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis oleh karena lebih bersiafa fiqhiyyah
(sosial), sementara teori-teori pluralisme memberikan solusi teologis.

C. Kebersamaan dalam Pluralitas Beragama

Pada bulan Maret 2009 ini, sebagian besar umat Islam khususnya di Pontianak memperingati
Maulid, kelahiran Nabi Muhammad SAW. Diantara harapan dan tujuan dalam peringatan
tersebut adalah meningkatkan kualitas diri dalam beragama, khususnya dalam meneladani

8
kehidupan Nabi Muhammad SAW. Salah satu yang perlu diteladani kehidupan Nabi Muhammad
SAW adalah penghargaan beliau terhadap pluralitas agama dan penolakan tegas terhadap
pluralisme agama. Hanya saja permasalahannya, istilah pluralisme agama dan pluralitas agama
terkadang ditukar atau disamakan pengertiannya.
Menggunakan istilah pluralisme agama, tetapi pengertian dan contoh yang dikemukakan
adalah pluralitas agama. Sesungguhnya dua istilah ini sangat berbeda pengertiannya. Pluralitas
agama ialah realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat berupa keragaman agama
yang hidup berdampingan dengan agama-agama yang lain. Pluralitas agama seperti ini
merupakan suatu keniscayaan yang diterima bahkan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW
di Madinah. Komunitas Madinah terdiri dari muslim, Yahudi, Nasrani, dan berbagai keyakinan
lainnya. Nabi Muhammad SAW berinteraksi secara damai dengan penganut agama dan
keyakinan yang bermacam-macam. Orang-orang Yahudi Khaibar di Madinah yang tidak
memusuhi Islam diberikan oleh Nabi Muhammad SAW berupa lahan untuk digarap dan ditanami
sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian hasilnya dimakan oleh mereka dan sebagiannya
diberikan kepada Baitul Mal di Madinah.
Dalam rangka membangun dan memelihara kerukunan hidup antar umat beragama dan
ketertiban dalam bermasyakat dan bernegara, Nabi Muhammad SAW membuat Piagam
Madinah. Piagam Madinah ini terdiri atas 37 pasal, diantaranya memuat perjanjian bahwa
apabila kota Madinah diserang musuh, maka semua penganut agama berkewajiban membela
Madinah dan melawan musuh secara bersama-sama. Bahkan dalam hadis sahih riwayat Bukhari
disebutkan bahwa ketika Asma' puteri Abu Bakar menolak pemberian hadiah dari ibunya
(mantan isteri Abu Bakar) karena masih musyrik, maka Allah menurunkan ayat 8 surat al-
Mumtahanah (S.60) "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-
orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu".
Dengan demikian, pluaralitas agama seperti ini harus dipelihara dan dibina dalam rangka
menjaga kebersamaan dan kedamaian dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan. Sedangkan
pluralisme agama ialah suatu paham dan keyakinan bahwa semua agama sama dan kebenaran
setiap agama bersifat relatif serta setiap penganut agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar. Pengertian seperti inilah yang dibangun oleh John Hick yang
pendapatnya menjadi acuan hampir semua kaum pluralis. Ia menegaskan bahwa semua agama
adalah sama dan tidak ada yang lebih baik daripada yang lain. Kata DR. Anis Malik Thoha,

9
penulis disertasi at-Ta'addudiyyah ad-Diniyyah: Ru'yah Islamiyyah (Tren Pluralisme Agama:
Tinjauan Kritis) di Universitas Islam Internasional Islamabad Pakistan, bahwa pengertian
pluralisme agama yang dikemukakan diatas sangat jelas dan gamblang. Pluralisme agama ini
tidak dibenarkan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW menolak dengan sangat tegas. Ketika para
tokoh musyrik menawarkan usul kompromi kepada beliau agar mau beribadah selama setahun di
tempat ibadah mereka, dan mereka pun beribadah selama setahun di masjid, maka Allah
menurunkan teguran dan perintah tegas ayat 6 surat al-Kafirun: "Lakum Dinukum wa liya Din
(Bagi kamu agama kamu, dan bagiku agamaku). Tidak boleh atas nama toleransi dan
harmonisasi, lalu akidah dan agama dikorbankan. Toleransi dan harmonisasi adalah dalam
konteks kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan lainnya.
Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat ekslusif dalam masalah prinsip akidah dan ritual
ibadah, namun sangat inklusif dalam konteks hubungan sosial, ekonomi, politik, dan
kemanusiaan lainnya. Ketika ada acara penyembuhan dan doa yang diselenggarakan oleh umat
non Islam, bagi umat Islam tidak boleh ikut dalam acara tersebut, sebab di dalamnya ada upacara
ritual doa. Pemimpin upacara memohon penyembuhan kepada Tuhan mereka, lalu umat Islam
yang ikut meng-amin-kan. Hal ini merusak akidah, sebab sudah mempercayai bahwa ada yang
menyembuhkan selain Allah. Ini adalah kepercayaan musyrik. Demikian juga upacara ritual
lainnya yang diselenggarakan oleh agama dan kepercayaan apapun, umat Islam tidak boleh ikut
dalam acara tersebut.
Salah satu aliran dari pluralisme agama adalah teologi global. Dalam teologi global ini
memandang agama-agama lebih bersifat sosiologis, kultural, dan ideologis. Bersifat sosiologis
dan kultural maksudnya agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi
sosial budaya masyarakat modern yang plural. Dikatakan ideologis sebab ia telah menjadi bagian
dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat yang bertujuan
agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat
seperti demokrasi, hak asasi manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme.
Istilah pluaralisme dalam sejarahnya sebetulnya, lebih dikenal dalam dunia ilmu sosial dan
ilmu politik. Tapi kemudian diadopsi ke dalam ranah agama, menjadi pluralisme agama. Maka di
sinilah kemudian menimbulkan masalah. Pluralisme politik adalah sebuah teori yang menentang
kekuasaan monolitik negara dan semua partai politik mempunyai kedudukan yang sama
sehingga tidak boleh diperlakukan berbeda antara satu dengan lainnya. Pluralisme sosial dalam

10
pengertian bahwa semua suku dan ras yang ada dalam suatu komunitas mempunyai kedudukan
yang sama dan tidak diperlakukan berbeda antara satu dengan lainnya. Ketika keyakinan agama
yang sangat prinsip ini disamakan seperti halnya dalam pluralisme sosial dan pluralisme politik,
maka di sinilah kemudian bermasalah. Agama memiliki konsep teologi (akidah), ritual ibadah,
dan standar moralitas. Kalau semua agama sama, bagaimana mungkin Nabi Muhammad SAW
repot-repot berdakwah dan mengajak para tokoh dan penguasa di Jazirah Arab non Islam agar
masuk Islam? Sebagaimana diriwayatkan Bukhari dalam hadis sahih. Bahkan beliau bersabda:
"Demi Zat Yang menguasai jiwa Muhammad tak ada seorang pun, baik Yahudi maupun Nasrani
yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati tanpa beriman kepada
ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka. (HR. Muslim)

D. Agama Dapat Menjadi Faktor Perekat dan Konflik dalam Masyarakat

1. Agama Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat


Agama dalam satu sisi dipandang oleh pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai,
sementara di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad : Agama
pertama kali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang
disinyalir oleh John Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu
memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun
pada waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang- garang
menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam sejarah, menimbulkan peperangan.
Sebagaiman pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf juga mengatakan bahwa agama
juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan keenggaran untuk menyerah kepada kematian,
menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan terhadap penghancuranb ikatan-ikatan
kemanusiaan. Fakta yang terjadi dalam masyarakat bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh
suburnya konflik. Bibitnya pun bias bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja menjadi salah
satu factor pemicu konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.

2. Agama dan Indikasi Konflik

11
Factor Konflik yang ada di Masyarakat secara tegas telah dijelaskan dalam Al-qur’an
seperti dalam surat Yusuf ayat 5, disana dijelaskna tentang adanya kekuatan pada diri manusia
yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan Norma Ilahi. Atau,
secara kebih jelas, disebutkan bahwa kerusakan diakibatkan oleh tangan manusia, sebagaimana
dijelaskan dalam surat Al-Rom ayat 41. Ayat-ayat ini bisa dijadikan argumentasi bahwa
penyebar konflik sesungguhnya adalah manusia.
Salah satu cikal bakal konflik yang tidak bisa dihindari adalah adanya perbedaan
pemahaman dalam memahami ajaran agama masing-masing pemeluk. Peking tidak konflik
terjadi intra Agama atau disebut juga konflik antar Madzhab, yang diakibatkan oleh perbedaan
pemahaman terhadap ajaran Agama.
Ada dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, Agama di
pahami sebagai suatu doktrin dan ajaran. Kedua, Agama di pahami sebagai aktualisasi dari
doktrin tersebut yang terdapat dalam sejaran. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan
untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Oleh karena itu, dalam setiap agama ada istilah-istilah Dakwah, meskipun
dalam bentuk yang berbeda. Dakwah merupakan upaya mensosialisasikan ajaran agama.
Bahkan, tidak jarang masing-masing agama menjastifikasikan bahwa agamanyalah yang
paling benar. Apabila kepentingan ini di kedepankan, masing-masing agama akan berhadapan
satu sama lain dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini yang memunculkan adanya entimen
agama. Dan inilah yang kemudian melahirkan konflik antar agama, bukan intra agama.
Berdasarkan fenomena itu, sebenarnya timbullah konflik antarumat beragama tersebut didorong
oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Faktor tradisi, yang ada sejak nenek moyang mereka dengan sifat.
2) Faktor kekerabatan antarsuku bangsa, yang saling menonjolkan yang menimbulkan
sengketa.
3) Faktor misi dakwah, yang harusnya menekankan aspek kemanusiaan dan pemberdayaan
umat,malah menyimpang ke hal-hal yang radikal.
4) Faktor kerjasama antartokoh agama, pemimpin adat dan aparat pemerintah yang jarang
sekali berdialog.

12
5) Ada persepsi antarumat agama, bahwa perbedaan agama merupakan masalah yang tidak
lazim dan harus diperdebatkan. Adanya provokasi yang menimbulkan perpecahan, baik
oleh masyarakat, tokoh dan pemimpin maupun pihak ketiga.

E. Faktor Penghambat Kebersamaan dan Kerukunan antar Umat


Beragama

1. Rendahnya Sikap Toleransi

Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)
sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak
langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah
keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain.

Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu
sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap
kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan
konflik.

2. Kepentingan Politik

Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai
tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling
penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun
dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan
demikian kita pun hampir memetik buahnya.

13
Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan
mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang
terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini,
tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita,
yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib
teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga
kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.

3. Sikap Fanatisme

Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan
akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat
dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang
menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat.

Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat
menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala
perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi
Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau
aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran
dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan
yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan.

Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok
Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang

14
percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan
bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan
dianugerahi salvation atau keselamatan abadi.

Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut,


maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa
ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun
berkepanjangan.

F. Mencegah Konflik antar Umat Beragama

Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan
pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk
dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak
saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi
waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi
menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat
beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di
Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali.

Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang
tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka
membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam.
Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain,
jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan
hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan
mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan
memperkokoh persatuan Indonesia.

15
Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya
dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor
satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain
tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat
beragama di Indonesia.

Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin
dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat,
dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak
merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini
diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam.

Faktor-Faktor Penyebabkan Timbulnya Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama

1. Sikap prasangka stereotype etnik dan dijiwai oleh suasana persaingan yang tajam

2. Penyiaran agama yang ditujukan kepada kelompok yang sudah menganut agama

3. Penyendirian rumah beribadah, pendirian rumah ibadah kelompok minoritas ditengah


kelompok mayoritas juga dapat mengganggu hubungan antar umat beragama, keyakinan yang
bersifat mutlak ini menimbulkan penolakan yang bersifat mutlak pula terhadap kebenaran agama
lain yang diyakini oleh pemiliknya sebagai kebenaran mutlak.

Pola Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama

1. Manusia Indonesia satu bangsa, hidup dalam satu negara, satu ideologi Pancasila. Ini sebagai
titik tolak pembangunan.

2. Berbeda suku, adat dan agama saling memperkokoh persatuan.

3. Kerukunan menjamin stabilitas sosial sebagai syarat mutlak pembangunan.

4. Kerukunan dapat dikerahkan dan dimanfaatkan untuk kelancaran pembangunan.

5. Ketidak rukunan menimbulkan bentrok dan perang agama, mengancam kelangsungan hidup
bangsa dan negara.

16
6. Pelita III: kehidupan keagamaan dan kepercayaan makin dikembangkan sehingga terbina
hidup rukun di antara sesama umat beragama untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan
bangsa dalam membangun masyarakat.

7. Kebebasan beragama merupakan beban dan tanggungjawab untuk memelihara ketentraman


masyarakat.

G. Langkah dalam Mewujudkan Kerukunan antar Umat Beragama

1) Rendahnya Sikap Toleransi

Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang
ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance)
sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak
langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang
sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah
keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui
kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang
memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan
perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa
pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2) Kepentingan Politik

Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang
paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah
dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun,
dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul
kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-
porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan
17
dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak
hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir
bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di
sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama
dan memanfaatkannya.

3) Sikap Fanatisme

Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang
dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan
yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya
diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang
ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut
perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte


atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para
pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki
pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam
agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya,
berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk
meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi
kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam
agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.

18
Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama

1) Dialog Antar Pemeluk Agama

Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal


hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam
perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada
politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup
bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut
sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah
sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan
sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia
akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang
politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada
gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para
pemeluk agama yang berbeda.

Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan
terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi
teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-
agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak
ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan
komunitas umat-umat beragama lainnya.

Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002),
Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara
Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira,
Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan
saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami
konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan
politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh
jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita,
bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat

19
saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-
bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran
yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog
antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat
internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai
pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan
berdampingan secara damai.

2) Bersikap Optimis

Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling
pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis.
Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan
menyongsong masa depan dialog.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa
dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan
berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai
perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas
Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru
seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham
keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-
lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan
sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan
antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara
reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai
problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini.

Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi
juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah

20
antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang
awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri.
Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan
dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity)
keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik
oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali
masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa
membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama
autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para
pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk
tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu
domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya,
maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan
dan mitra daripada sebagai lawan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat disimpulkan bahwa kerukunan umat bragama
yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling
menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. berbagai macam bahasan mengenai kerukunan antar
umat beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat
beragama di Indonesia ada beberapa sebab, antara lain; rendahnya sikap toleransi, kepentingan
politik dan sikap fanatisme. Adapun solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan
dialog antar pemeluk agama dan menanamkan sikap optimis terhadap tujuan untuk mencapai
kerukunan antar umat beragama.

B. Saran

Dengan kerukunan antar umat beragama, diharapkan umat manusia dapat rukun dalam
beragama dengan agama lain tanpa adanya konflik antar agama.

22

You might also like