You are on page 1of 3

Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari

berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti
saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.

Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan
agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga
keagamaan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung
paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.

Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi.

Paradigma ini menyatakan bahwa negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya saling melengkapi dan memberi kekuatan. Dalam sebuah negara pasti terdapat lembaga
negara sekaligus lembaga politik, karena paham ini tidak mengenal adanya pemisahan antara keduanya.
Jadi dalam menjalankan kehidupan selain mengunakan kaidah politik, juga digunakannya nilai-nilai
agama untuk mengatur segala tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Segala tata pemerintahan
berbangsa dan bernegara didasarkan atas firman Tuhan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan politik, karena
didalamnya diyakini bahwa kekuasaan berasal dari Tuhan. Dalam Islam, Allah berfirman memerintahkan
khalifah untuk menjaga bumi. Kemudian Imam adalah pemimpin dalam keagamaan sekaligus pemimpin
dalam politik atau negara.

3. Paradigma Sekuleristik

Sekularisme yang dalam bahasa Arabnya dikenal “al-’Ilmaniyyah”, diambil dari kata ilmu. Konon, secara
mafhum, ia bermaksud mengangkat martabat ilmu.Dalam hal ini tentu tidak bertentangan dengan
paham Islam yang juga menjadikan ilmu sebagai satu perkara penting manusia. Bahkan, sejak awal,
Islam menganjurkan untuk memuliakan ilmu. Tetapi sebenarnya, penerjemahan kata sekular kepada “al-
’Ilmaniyyah” hanyalah tipu daya yang berlindung di balik slogan ilmu.

Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh penulis Inggris George Holoyake pada tahun 1846.
Walaupun istilah yang digunakannya adalah baru, konsep kebebasan berpikir yang darinya sekularisme
didasarkan, telah ada sepanjang sejarah. Ide-ide sekular yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama
dapat dirunut baik ke Ibnu Rushdi dan aliran filsafat Averoisme. Holyoake menggunakan istilah
sekularisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama,
tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama.

Paradigma ini menolak kedua paradigma di atas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan
pemisahan (disparitas) agama atas Negara dan pemisahan Negara atas agama. (Marzuki Wahid dan
Rumadi, 2001: 28)
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan
bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomisini, maka hokum positif yang berlaku
adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada
kaitannya dengan hukum Agama. (Agus Thohir, 2009: 4)

Paradigma ini memunculkan Negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara system
kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia
lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini,
menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.

Dalam Negara sekuler, system dan norma hokum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama.
Norma hokum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman
Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama.
Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler
membebaskan warganegaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak
intervensif dalam urusan – urusan Agama (Syari’at).

Sekularisme, seringkali dikaitkan dengan Era Pencerahan di Eropa, dan memainkan peranan
utama dalam perdaban barat. Prinsip utama Pemisahan gereja dan negara di Amerika Serikat, dan
Laisisme di Perancis, didasarkan dari sekularisme.

Kebanyakan agama menerima hukum-hukum utama dari masyarakat yang demokratis namun mungkin
masih akan mencoba untuk memengaruhi keputusan politik, meraih sebuah keistimewaan khusus atau.
Aliran agama yang lebih fundamentalis menentang sekularisme. Penentangan yang paling kentara
muncul dari Kristen Fundamentalis dan juga Islam Fundamentalis. Pada saat yang sama dukungan akan
sekularisme datang dari minoritas keagamaan yang memandang sekularisme politik dalam
pemerintahan sebagai hal yang penting untuk menjaga persamaan hak.

Negara-negara yang umumnya dikenal sebagai sekuler di antaranya adalah Kanada, India, Perancis,
Turki, dan Korea Selatan, walaupun tidak ada dari negara ini yang bentuk pemerintahannya sama satu
dengan yang lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Relasi antara agama dan negara dapat dipandang dari beberapa paham, diantaranya adalah paham
teokrasi, sekulerisme, dan komunisme.
a. Paham Teokrasi menjelaskan negara adalah amanat dari agama.

b. Paham sekularisme antara agama dan negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

c. Paham komunisme beranggapan bahwa antara negara dan agama tidak dapat disatukan.

2. Paradigma hubungan Negara dan agama dalam Islam diantaranya,

a. paradigma simbiotik mutualistik yaitu hubungan timbal balik yang saling menguntungkan,

b. paradigma integralistik yaitu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,

c. paradigma sekuleristik yaitu pemisahan (disparitas) agama atas Negara dan pemisahan Negara
atas agama.

DAFTAR PUSTAKA

Makhrus, dkk. 2005. Pancasila dan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga

Toriqudin, Moh. 2009. Relasi Agama dan Negara. Malang: UIN Malang Press

Syamsudin, M. Dien. 1994. Islam dan Politik Orde Baru. Jakarta : Logos

You might also like