You are on page 1of 33

LAPORAN KASUS

ASMA BRONKIALE

Pembimbing :
dr. Rina Rahardiani Sp. A

Disusun Oleh :
Nabila Islamiyati (030.12.181)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT TNI-AL DR MINTOHARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSAL MINTOHARDJO

Dokter Pembimbing : dr. Rina Rahardiani, Sp.A Tanda tangan :


Nama Mahasiswa : Nabila Islamiyati
NIM : 030.12.181

I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : An. KP Suku Bangsa : Betawi
Umur : 3 th 6 bl Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan :-
Alamat : Komp. Sandang blok Q 23 RT/RW 10/017 klender, duren sawit

ORANG TUA/ WALI


AYAH
Nama : Tn. S Agama : Islam
Tgl lahir (Umur): 40 th Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Jawa Pekerjaan : TNI-AL
Alamat : Komp. Sandang blok Q 23 RT/RW 10/017 klender, duren sawit
Gaji : Rp. 5.000.000/bulan

IBU
Nama : Ny. D Agama : Islam
Umur : 39 th Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa Pekerjaan : IRT
Hubungan dengan orang tua : anak kandung/angkat/tiri/asuh

2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien, pada Jum’at 4 Agustus 2017 pukul 20.00 WIB

KELUHAN UTAMA
Batuk sejak 3 minggu SMRS

KELUHAN TAMBAHAN
Sesak, demam, muntah

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Pasien datang dibawa ibunya berobat ke poli anak RUMKITAL Mintoharjo dengan batuk
sejak 3 minggu SMRS. Batuk berdahak berwarna putih biasanya keluar bersamaan dengan pasien
muntah setelah batuk dan bersamaan dengan makanan. Pasien juga demam pada 1 minggu
pertama bersamaan dengan datangnya batuk. Demam tidak terlalu tinggi, tidak sampai
menimbulkan kejang. Kemudian demam hilang namun batuk yang diderita pasien tidak kunjung
hilang. Pasien kemudian sesak nafas sejak 3 hari SMRS. Sesaknya mulai terlihat saat malam hari
dan saat pasien tertidur sampai dini hari. Pasien juga terganggu tidurnya karena batuk-batuk dan
sesak nafasnya.
Sebelumnya pasien memang sudah sering batuk-batuk, namun biasanya hilang hanya
dalam seminggu. Kini pasien sudah mengalami batuk-batuk selama 3 minggu disertai juga sesak
nafas, ibu pasien menyangka hal ini terjadi dikarenakan pasien yang sangat menyukai konsusmsi
cokelat dan makanan laut seperti kepiting. Ibu pasien menyangkal jika pasien memiliki riwayat
alergi, dalam keluarga pasien kakek dari ibu pasien memiliki penyakit asma. Tidak terdapat
kelainan dalam BAK dan BAB pasien. Nafsu makan pasien agak berkurang.

3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN


KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Rutin memeriksa kehamilan ke dokter kandungan
Penyakit Kehamilan Tidak ada penyakit selama kehamilan

KELAHIRAN
Tempat Kelahiran RSAL Mintohardjo

Penolong Persalinan Dokter spesialis kandungan

Cara Persalinan Sectio cesarea atas indikasi ketuban kering

Masa Gestasi Cukup bulan (41 minggu)

Riwayat kelahiran Berat Badan : 3300 gram


Panjang Badan Lahir : 50 cm
Lingkar kepala : ibu pasien tidak ingat
Langsung menangis/tidak langsung menangis
APGAR score : ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 8 bulan
Berjalan : 9 bulan
Bicara : 12 bulan
Baca dan tulis : -
Perkembangan pubertas :-

4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Gangguan Perkembangan : tidak ada


Kesan Perkembangan :
Tidak terdapat gangguan perkembangan, tumbuh kembang pasien sesuai dengan usianya

RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 1 bulan - - -
DPT/ DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Saat lahir 2 bulan 3 bulan - - -
MMR - - - - - -
TIPA - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap, namun tidak dilakukan ulangan karena ibu pasien tidak
mengerti.

RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (Bulan) ASI/ PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI+PASI v v -
8-10 ASI+PASI v v -
10-12 ASI+PASI v v v
Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, berikutnya diikuti PASI secara bertahap
dan variatif.

5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA


Nasi/ pengganti 3x/hari, 1 piring
Sayur 4x/hari
Daging 1x/minggu
Telur 1x/hari
Ikan 1x/hari
Tahu 1x/hari
Tempe 1x/hari
Susu (merek/ takaran) 3x/hari, Dancow cokelat 250cc/hari
Kesan : Makanan cukup bervariasi dan cukup memenuhi kebutuhan gizi.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


PENYAKIT UMUR PENYAKIT KETERANGAN
Diare - Morbili -
Otitis - Parotitis -
Radang Paru - Demam Berdarah -
Tuberculosis - Demam Tifoid -
Kejang - Cacingan -
Ginjal - Alergi -
Jantung - Kecelakaan -
Darah
- Operasi -
(thalassemia)
Difteri - Herpes -

6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
11 tahun Perempuan v - - - -
8 tahun Perempuan v - - - -
3 tahun Perempuan v - - - Pasien

DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 26 tahun 25 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Sehat Sehat
penyakit bila ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat hipertensi (-), kencing manis (+) nenek dari ayah pasien, asma (+) kakek dari
ibu pasien, alergi (-)
Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga lain/ orang serumah
Tidak ada keluhan serupa pada anggota keluarga/orang serumah
DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: Rumah sendiri
Keadaan rumah:
Rumah berukuran 150m2 1 lantai dengan 3 kamar tidur, ruang tamu, 1 kamar mandi, dan dapur.
Sirkulasi udara di dalam rumah cukup baik, cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah
melalui jendela yang dibuka tiap pagi sampai sore hari. Untuk mandi dan mencuci memakai air
PAM. Untuk minum dan memasak memakai air galon isi ulang yang direbus. Jarak septic tank
ke sumber air 10 meter. Rumah dibersihkan tiap hari, 2 kali sehari. Sprei dan selimut diganti

7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

tiap 2 minggu sekali. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah besar berjarak 20 meter
dari rumah.

Keadaan lingkungan:
Rumah berada di perumahan asri, di dalam gang yang cukup lebar. Aliran got terbuka, lancar,
sering dibersihkan. Tempat pembuangan sampah berada di depan rumah dan tertutup, diambil
oleh petugas sampah seminggu 2 kali. Cukup banyak pepohonan di lingkungan sekitar rumah.

Kesan: Kondisi rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal cukup baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal : Jum’at 04 Agustus 2017 (perawatan hari ke-1)
Pukul : 20.00 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : lemah, tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Vital sign :
Nadi : 128 x/menit
Suhu : 36,60C
RR : 25x/menit
Data Antropometri : BB : 13 kg TB : 90 cm
Lingkar kepala : 49 cm
Lingkar dada : 60 cm
Lingkar lengan atas : 16 cm

Status Gizi : menurut kurva NCHS tinggi badan dibandingkan berat badan
 BB/U: (13/14) x 100% = 92,8%
 TB/U: (90/97) x 100% = 92,7%
 BB//TB: (13/13) x 100% = 100 %
o Kesan gizi: Gizi Normal

8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak tampak cekung, palpebra tidak ada kelainan, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, RCL +/+ RCTL +/+
Telinga : Normotia, nyeri tarik & tekan -/-, liang telinga lapang
Hidung : Normosepti, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
Bibir : Merah muda, mukosa tampak kering
Mulut : Mukosa mulut tampak kering
Gigi-geligi : Gigi susu lengkap, caries (-)
Lidah : normoglotia, lidah tampak kering, atrofi papil lidah (-)
Tonsil : T2-T2 tenang, hiperemis
Faring : permukaan licin, hiperemis (+), arcus faring simetris, uvula di tengah

LEHER :
tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak terdapat kaku kuduk

THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi sela iga
minimal
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar : Linea midclavikularis dextra setinggi ICS V
Batas paru kiri-gaster: Linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VII
A: Suara nafas vesikuler, wheezing +/+, ronki -/-

9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

JANTUNG
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
Batas atas jantung pada linea parasternalis sinistra setinggi ICS II
A: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
I : bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : bising usus (+)
P : supel, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan (-)
P: Timpani pada seluruh kuadran abdomen

ANUS
Tidak ada kelainan

GENITAL
Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan

ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada keempat ekstremitas

KULIT
Warna kulit sawo matang, ikterik kurang terlihat, kelembapan baik, tidak ada efloresensi
bermakna

KELENJAR GETAH BENING


Tidak teraba pembesaran

10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM dan RADIOLOGIS


Darah tepi (04/8/2017)
Leukosit : 24.900/mm3(↑) Hitung jenis : Basofil : 0%
Eritrosit : 4,82 juta/mm3 Eosinofil :0%
Hemoglobin : 11,4 g/dl Batang : 0 %(↓)
Hematokrit : 34 %(↓) Segmen : 85 %(↑)
Trombosit : 443.000/mm3 Limfosit : 11 %(↓)
LED : 21 mm/jam(↑) Monosit : 24%

Air seni
Tidak dilakukan

Tinja
Tidak dilakukan

Lain-lain
Foto Thorax AP: Jantung dan paru dalam batas normal

11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

V. RINGKASAN
Pasien anak perempuan usia 3 tahun 6 bulan dengan batuk sejak 3 minggu. Keluhan
disertai sesak nafas, demam, muntah, nafsu makan berkurang, BAB dan BAK normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU lemah, tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Nadi: 128x/menit reguler, pernafasan: 25x/menit, suhu: 36,6oC. Pada status generalis
didapatkan retraksi sela iga minimal dan suara nafas tambahan mengi pada kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan lab didapatkan leukositosis yaitu leukosit 24.900/mm3, hematokrit 34
%, peningkatan LED 21 mm/jam, dan peningkatan netrofil segmen 85%.

VI. DIAGNOSIS KERJA


 Asma bronkiale

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Bronchiolitis

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Spirometri

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 IVFD RL 10 tpm
 Ceftriaxone 1x1,5 mg
 Dexamethasone 2x1 amp
 Teofilin/salbutamol/ambroxol = 40/0,65/6,5 3x1

12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 Nebu ventolin : NaCl 0,9% = 1 : 1 2x/hari


Non Medikamentosa :
 Rawat inap, tirah baring
 Awasi keadaan umum dan tanda vital
 Edukasi menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pencegahan kekambuhan,
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
 Memberikan asupan gizi yang sesuai

XI. RESUME TINDAK LANJUT


Pasien anak usia 3 tahun 6 bulan BB: 13 kg TB: 90 cm dengan diagnosis Asma bronkiale. Masuk
ke bangsal anak RSAL 4 Agustus 2017 di rawat di ruangan. Perawatan dilakukan dengan infus RL
kecepatan 10 tetes/menit, injeksi ceftriaxone 1x1,5 mg intravena, injeksi dexamethasone 2x1 amp
untuk mengurangi inflamasi di bronkusnya, kemudian puyer teofilin/salbutamol/ambroxol 3x1, dan
nebu ventolin : NaCl 0,9% 1:1 2x/hari. Perawatan hari kedua pasien terapi masih dilanjutkan untuk
mengurangi gejala dan sesak yang diderita pasien. Perawatan hari ketiga batuk dan sesak sudah mulai
berkurang. Injeksi dexamethasone dihentikan, sementara terapi yang lain masih dilanjutkan. Pada hari
keempat pasien dipulangkan dan diberi edukasi tentang pencegahan kekambuhan, gizi seimbang,
imunisasi, lalu kontrol ke poli anak apabila serangan asma kembali datang.

13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
S O A P
Perawatan
Masih batuk-batuk, muntah KU : CM, tenang Asma bronkiale  IVFD RL 10 tpm
2x setelah batuk berisi S: 36,3oC, N: 128 x/mnt,  Inj Ceftriaxone
Sabtu makanan campur dahak RR: 25 x/mnt 1x1,5 mg iv
5/8/2017 berwarna putih, sesak Mata: KA -/- SI -/-  Inj Dexamethasone
berkurang, tidur malam hari Tenggorokan: Tonsil T2-T2, 2x1 amp iv
tidak terganggu dengan faring hiperemis  Teofilin/salbutamol
batuknya. Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh /ambroxol
+/+ (minimal) (40/0,65/6,5) 3x1
SI SII reg M(-) G(-)  Nebu ventolin :
Abdomen: BU (+) nyeri Nacl 0,9% (1:1)
tekan (-) 2x/hari
Batuk (+) berkurang, muntah KU : CM, tenang Asma bronkiale  IVFD RL 10 tpm
Minggu berisi makanan dan dahak S: 36,6oC, N: 125 x/mnt,  Inj Ceftriaxone 1x1,5
6/8/2017 masih, sesak berkurang. RR: 24 x/mnt mg iv
Mata: KA -/- SI -/-  Inj Dexamethasone
Tenggorokan: Tonsil T2-T2, 2x1 amp iv (stop)
faring hiperemis  Teofilin/salbutamol/a
Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh mbroxol
+/+ (minimal) (40/0,65/6,5) 3x1

14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

SI SII reg M(-) G(-)  Nebu ventolin : Nacl


Abdomen: BU (+) nyeri 0,9% (1:1) 2x/hari
tekan (-)

Tanggal
S O A P
Perawatan
Batuk sudah mulai KU : CM, tenang Asma bronkiale  IVFD RL 10 tpm
berkurang, sesak (-), nafsu S: 36,3oC, N: 120 x/mnt,  Inj Ceftriaxone 1x1,5
Senin makan membaik, RR: 22 x/mnt mg iv
7/8/2017 Mata: KA -/- SI -/-  Teofilin/salbutamol/a
Tenggorokan: Tonsil T2-T2, mbroxol
faring hiperemis (40/0,65/6,5) 3x1
Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh  Nebu ventolin : Nacl
-/- 0,9% (1:1) 2x/hari
SI SII reg M(-) G(-) Pasien dipulangkan
Abdomen: BU (+) nyeri karena sesak sudah
tekan (-) hilang dan batu mulai
berkurang

15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

ANALISA KASUS

An. KP, perempuan, usia 3 tahun 6 bulan, dengan diagnosis Asma bronkiale.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien datang dengan batuk sejak 3 minggu SMRS,
kemudian disertai sesak nafas sejak 3 hari SMRS. Sesak nafas biasanya muncul saat
menjelang malam sampai dini hari. Diagnosis banding pada pasien yaitu
Bronkhiolitis. Dari anamnesis pasien didapatkan batuk yang disertai sesak yang
biasanya muncul menjelang malam sampai dini hari, kemudian pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya wheezing dan retraksi sela iga yang minimal, namun tidak
ditemukan adanya ronki. Pasien juga masih mampu makan dan minum walaupun
sedikit kurang nafsu makan. Diagnosis bronchiolitis dapat disingkirkan karena tidak
ditemukannya ronki pada pemeriksaan fisik, kemudian dari hasil pemeriksaan foto
thorax didapatkan hasil jantung dan paru dalam batas normal. Maka diagnosis lebih
terarah ke Asma bronkiale dikarenakan gejala nya yang datang secara episodik saat
menjelang malam sampai dini hari dan pada pemeriksaan fisik auskultasi paru
ditemukan adanya wheezing.

Pasien diberi penatalaksanaan rawat inap, infus RL 10 tetes per menit, injeksi
intra vena ceftriaxone 1x1,5 mg, dexamethasone 2x1 ampul, kemudian racikan
teofilin/salbutamol/ambroxol masing-masing 40mg/0,65mg/6,5mg didalam puyer
diminum 3x1, serta nebu ventolin : NaCl 0,9% 1 : 1 2 kali per hari. Medikasi tersebut
diberikan selama pasien berada dalam perawatan di bangsal, injeksi dexamethasone di
hentikan pada hari kedua perawatan.
Anjuran pemeriksaan lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan faal paru,
pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu
kita menegakkan diagnosis asma.
Prognosis pada pasien dengan asma umumnya baik, karena asma sifatnya
tidak progresif walaupun dapat terjadi perubahan fungsi paru yang irreversible.
Penting hukumnya untuk melakukan edukasi terhadap pasien dengan asma untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas.

16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah
gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
mengakibatkan gejalaepisode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan,
dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan
obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan1.

2. Epidemiologi

Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma
pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta
gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur
13,8  0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent
asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik.

Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia
SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi
dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara
acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan,
didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001,
Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur,
sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC (International Study
of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi
bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan
prevalensi asma (recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma)
11,5%.2

17
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan
sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa
pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan
(NHLBI, 2007).Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma
di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).

3. Faktor predisposisi

Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara
umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Asma
adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat atau kecenderungan untuk
terjadinya asma.3 Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran
subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma
dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut
tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28,
IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen
yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13,
IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan
sebagainya.

Alergen – alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung
sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang
kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah
di perkotaan.4

Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi dan
mengakibatkan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang
terdapat di luar rumah.

Faktor lainnya yang berpengaruh diantaranya alergen makanan (susu, telur,


udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap,

18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum, household spray, asap rokok,
cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker seperti aspirin),
stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas fisik. Riwayat penyakit
infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut
sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma
dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus
menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya5.

4. Patofisiologi Asma

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran
nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding
saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan.6 Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai
respon terhadap berbagai macam rangsang.

Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2. Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ
sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas.

19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Faktor lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-


obatan, latihan, udara dingin, dan stress.6 Selain merangsang sel inflamasi, terdapat
keterlibatan sistem saraf otonom pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa
inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel
mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus vagus, sedangkan
pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan
pada beberapa keadaan seperti pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2.

Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.

20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

5. Diagnosis

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.7

a. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:

 Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa


pengobatan
 Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala
musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
 Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di
dada dan berdahak yang berulang
 Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
 Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
 Respon positif terhadap pemberian bronkodilator

b. Pemeriksaan Fisik

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat


normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada
saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002).8
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena
kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat
menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume
paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal
ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi
(GINA, 2009)

21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

c. Faal Paru

Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu
kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan
kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap
asma (Pellegrino dkk, 2005).9 Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan
(2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spiro metri merupakan
pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direko mendasi oleh
GINA(2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak
penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP(%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian

APE malam - APE pagi

Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %

 (APE malam + APE pagi)

Nilai Variabilitas harian normal, pagi dan sore tidak lebih dari 20%. Untuk
mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari
sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan
nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).

22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

6. Klasifikasi Asma

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola


keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.10
Tabel 1. Klasifikasi Asma

23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

7. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari penatalaksanaan asma adalah dapat mengontrol manifestasi


klinis dari penyakit untuk waktu yang lama, meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. GINA(2009) dan PDPI (2006) menganjurkan untuk
melakukan penatalaksanaan berdasarakan kontrol.11 Untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma yang terkontrol terdapat dua faktor yang perlu
dipertimbangkan, yaitu:

1. Medikasi

2. Pengobatan berdasarkan derajat

Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara
seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui
inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal
ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi
dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI),
breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang,
terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma

24
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut
sebagai pencegah terdiri dari:

1.Glukokortikosteroid inhalasi dan sistemik

2.Leukotriene modifiers

3.Agonis β-2 kerja lama (inhalasi dan oral)

4.Metilsantin (teofilin)

5.Kromolin (Sodium Kromoglikat dan Nedokromil Sodium)

Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat
ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas.

Pelega terdiri dari:

1.Agonis β-2 kerja singkat

2.Kortikosteroid sistemik

3.Antikolinergik (Ipratropium bromide)

4.Metilsantin

Pengobatan Berdasarkan Derajat Menurut GINA (2009), pengobatan


berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:

1. Asma Intermiten

a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol

b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif
dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2
kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi

25
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan

2. Asma Persisten Ringan

a.Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus
atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi :

 Budenoside : 200–400 μg/hari


 Fluticasone propionate : 100–250 μg/hari
 Teofilin lepas lambat
 Kromolin
 Leukotriene modifiers

b.Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu

3. Asma Persisten Sedang

a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah

progresivitas asma, dengan pilihan:

 Glukokortikosteroid inhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis


 β-2 kerja lama inhalasi
 Budenoside: 400–800 μg/hari
 Fluticasone propionate : 250–500 μg/hari
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah teofilin lepas lambat
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah agonis β-2 kerja
lama oral
 Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μg/hari)
 Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μg/hari) ditambah leukotriene
modifiers

b.Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu

 Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari,
 Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
 Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat

26
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggu
nakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol

Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan


belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi. Dianjurkan
menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau kombinasi dalam satu
kemasan agar lebih mudah

1. Asma Persisten Berat


 Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala
seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variability APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin
 Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma,
dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis
β-2 kerja lama inhalasi
Beclomethasone dipropionate: >800 μg/hari
 Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene
modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai
ataupun sebagai tambahan terapi
 Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat
mencegah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan
batuk karena iritasi saluran
napas atas

27
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Kuesioner penilaian keberhasilan pengobatan dalam mengontol serangan asma

28
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

8. Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir


menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta12. Namun, angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas. Informasi mengenai perjalanan
klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80
persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma 7 sampai 10 tahun setelah
diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46
persen; akan tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relative
rendah (6 sampai 19 persen).

Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma
tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan
fungsi paru yang irreversible, pasien ini sering kali memiliki rangsangan
komorbid seperti perokok yang tidak dapat dimasukkan dalam penemuan ini.13
Bahkan bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit
yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen
pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih
diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang
sewaktu pasien menjadi tua.

9. Edukasi

Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita
agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena
berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat
darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi tidak hanya ditujukan untuk penderita
dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan seperti :pemegang
keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/ asma profesi kesehatan
(dokter, perawat, petugas farmasi, mahasiswa kedokteran dan petugas kesehatan
lain) masyarakat luas (guru, karyawan, dll). Pertama, penyuluhan/pendidikan
mengenai penyakit asma pada penderita asma dan keluarganya. Pengenalan

29
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

tentang seluk beluk asma, bagaimana pengobatan serta pencegahan yang benar,
akan membuat penderita dan keluarganya mengerti sehingga termotivasi untuk
berusaha kuat mengatasi penyakitnya. Karena itu edukasi menjadi faktor kunci
dalam pengobatan asma. Kedua, mengetahui obat-obat asma, baik kegunaan
maupun efek sampingnya. Terdapat dua jenis obat asma yaitu, obat-obat kerja
cepat untuk mengatasi dengan segera serangan sesak nafas (reliver), dan obat obat
pencegahan jangka lama, untuk mengatasi peradangan saluran nafas
(preventer/controller). Yang termasuk obat reliver adalah obat-obat bronkodilator
kerja cepat seperti, salbuterol Albuterol, metaproterenol, erbutaline, dan
procaterol. Selain itu, obat golongan anti cholinergik, teofilin kerja cepat, suntikan
adrenalin atau epinefrin juga dapat dijadikan pilihan. Ketiga, mengobati atau
mengelola penyakit asma. Pengobatan tidak hanya dilakukan ketika serangan
asma sedang berlangsung, tetapi juga saat tidak dalam serangan. Pengelolaan
asma saat tidak dalam serangan dilakukan melalui pengobatan pencegahan dan
latihan olah raga terpimpin. Penderita asma dengan tipe intermiten (sangat ringan)
yang kekambuhannya dalam 1 minggu kurang dari 1 atau 2 kali, tidak
memerlukan pengobatan pencegahan. Namun, penderita asma dengan tipe
persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat, harus mendapatkan terapi
pencegahan secara bertahap disesuaikan dengan klasifikasinya. Keempat,
mempelajari dan memahami faktor-faktor pencetus serangan asma (allergen), dan
mengetahui cara mengendalikannya. Kelima, membuat rencana emergensi (Action
Plan). Action plan terutama diperlukan ketika serangan asma akan kambuh, dan
penderita membutuhkan pertolongan secepatnya. Keenam, rehabilitasi dan
peningkatan kebugaran jasmani dengan olah raga atau latihan jasmani terpimpin.
Penderita asma sering mengalami sesak sehingga sebagian otot-otot pernafasan
kerap digunakan, sementara sebagian otot yang lain tidak. Otot-otot pernafasan
yang banyak digunakan akan membesar dan yang jarang digunakan akan
melemah. Akibatnya, efisiensi dan koordinasi pernafasan menjadi kurang baik,
fungsi paru serta pertahanan paru pun menurun. Selain itu penderita asma juga
terkadang mengalami keterbatasan fisik atau membatasi pekerjaan fisik karena
takut sesak, sehingga kebugaran jasmaninya berkurang. Dengan melakukan
latihan jasmani secara teratur yang terpimpin, otot pernafasan akan kembali
berfungsi normal, kenaikan kapasitas vital paru meningkat dan kebugaran jasmani
pun menjadi lebih baik. Ketujuh, memonitor dan mengikuti perkembangan (follow

30
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

up) penyakit penderita asma secara teratur. Hingga kini penyakit asma belum
dapat disembuhkan, dan gejala asmanya sering bervariasi. Karena itu pengobatan
harus dilakukan seumur hidup dan dimonitor serta diiikuti perkembangannya terus
menerus. Hal ini diperlukan untuk melihat cocok tidaknya obat yang diberikan
dalam mengendalikan asma. Dokter akan mengevaluasi apakah obat perlu
ditambah, dikurangi atau dihentikan. Bila keadaan dan kebugaran jasmani
penderita memang telah membaik, pengobatan dapat dihentikan.

31
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus asma. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html


2. Isselbacher, Kurt J., et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine). 2000.
USA: McGraw-Hill
3. Arif, et all. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 cetakan 1. Jakarta : EGC
4. Davey, Patrick .2005. At a glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
5. P e a r c e , E v e l yn C . 2 0 0 2 . Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis
/jakarta: P T Gramedia Pustaka Utama
6. Sedoyo, Aru N. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil 1 ed 4.
Jakarta : PusatP e n e r b i t a n Departemen Ilmu Penyakit
D a l a m F a k u l t a s K e d o k t e r a n Universitas Indonesia.
7. S u n d o yo A W , S e t i yo h a d i B , e t t a l l . A s m a B r o n k i a l . B u k u
Ajar Ilmu P e n ya k i t D a l a m . Ed. IV. Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Mei. 2007.
8. B a k t a M I d k k . P e n a t a l a k s a n a a n A s m a A k u t B e r a t d a n
S t a t u s A s m a t i k u s d a l a m G a w a t Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Edisi pertama. EGC Jakarta : 1999.
9. National Institute of Health. National Heart, Lung and Blood
Institute. Global Initiativefor Asthma. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. NIH Publication,2006.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma, pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan diIndonesia. Jakarta;Balai Penerbit FKUI.2004.
11. R e s p i n a t e a m . Respiratory Home Care : Integrated Care of
Patient. Updated October 2011. Available at: http//www.respina.org.
Accessed on June 23 Th 2017.
12. GINA Team. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention.
Updated Desember 2011. Available at: http://www.ginasthma.org. Accessed
on 23 JuniTh 2017.
13. Lazarus SC. Airway Remodeling in Asthma. American Academi of
Allergy, Asthma andImmunology 56th Annual Meeting, 2000. Available
from http//www.medscape.com

32
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

33

You might also like