Professional Documents
Culture Documents
ASMA BRONKIALE
Pembimbing :
dr. Rina Rahardiani Sp. A
Disusun Oleh :
Nabila Islamiyati (030.12.181)
I. IDENTITAS
PASIEN
Nama : An. KP Suku Bangsa : Betawi
Umur : 3 th 6 bl Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Pendidikan :-
Alamat : Komp. Sandang blok Q 23 RT/RW 10/017 klender, duren sawit
IBU
Nama : Ny. D Agama : Islam
Umur : 39 th Pendidikan : SMA
Suku bangsa : Jawa Pekerjaan : IRT
Hubungan dengan orang tua : anak kandung/angkat/tiri/asuh
2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien, pada Jum’at 4 Agustus 2017 pukul 20.00 WIB
KELUHAN UTAMA
Batuk sejak 3 minggu SMRS
KELUHAN TAMBAHAN
Sesak, demam, muntah
3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran RSAL Mintohardjo
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 8 bulan
Berjalan : 9 bulan
Bicara : 12 bulan
Baca dan tulis : -
Perkembangan pubertas :-
4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)
BCG 1 bulan - - -
DPT/ DT 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Saat lahir 2 bulan 3 bulan - - -
MMR - - - - - -
TIPA - - - - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap, namun tidak dilakukan ulangan karena ibu pasien tidak
mengerti.
RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (Bulan) ASI/ PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI+PASI v v -
8-10 ASI+PASI v v -
10-12 ASI+PASI v v v
Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, berikutnya diikuti PASI secara bertahap
dan variatif.
5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
11 tahun Perempuan v - - - -
8 tahun Perempuan v - - - -
3 tahun Perempuan v - - - Pasien
DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 26 tahun 25 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Sehat Sehat
penyakit bila ada
7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
tiap 2 minggu sekali. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah besar berjarak 20 meter
dari rumah.
Keadaan lingkungan:
Rumah berada di perumahan asri, di dalam gang yang cukup lebar. Aliran got terbuka, lancar,
sering dibersihkan. Tempat pembuangan sampah berada di depan rumah dan tertutup, diambil
oleh petugas sampah seminggu 2 kali. Cukup banyak pepohonan di lingkungan sekitar rumah.
Kesan: Kondisi rumah dan lingkungan sekitar tempat tinggal cukup baik.
Status Gizi : menurut kurva NCHS tinggi badan dibandingkan berat badan
BB/U: (13/14) x 100% = 92,8%
TB/U: (90/97) x 100% = 92,7%
BB//TB: (13/13) x 100% = 100 %
o Kesan gizi: Gizi Normal
8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak tampak cekung, palpebra tidak ada kelainan, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-, RCL +/+ RCTL +/+
Telinga : Normotia, nyeri tarik & tekan -/-, liang telinga lapang
Hidung : Normosepti, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
Bibir : Merah muda, mukosa tampak kering
Mulut : Mukosa mulut tampak kering
Gigi-geligi : Gigi susu lengkap, caries (-)
Lidah : normoglotia, lidah tampak kering, atrofi papil lidah (-)
Tonsil : T2-T2 tenang, hiperemis
Faring : permukaan licin, hiperemis (+), arcus faring simetris, uvula di tengah
LEHER :
tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak terdapat kaku kuduk
THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, retraksi sela iga
minimal
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar : Linea midclavikularis dextra setinggi ICS V
Batas paru kiri-gaster: Linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VII
A: Suara nafas vesikuler, wheezing +/+, ronki -/-
9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
JANTUNG
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
Batas atas jantung pada linea parasternalis sinistra setinggi ICS II
A: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
I : bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : bising usus (+)
P : supel, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan (-)
P: Timpani pada seluruh kuadran abdomen
ANUS
Tidak ada kelainan
GENITAL
Jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan
ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada keempat ekstremitas
KULIT
Warna kulit sawo matang, ikterik kurang terlihat, kelembapan baik, tidak ada efloresensi
bermakna
10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)
Air seni
Tidak dilakukan
Tinja
Tidak dilakukan
Lain-lain
Foto Thorax AP: Jantung dan paru dalam batas normal
11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
V. RINGKASAN
Pasien anak perempuan usia 3 tahun 6 bulan dengan batuk sejak 3 minggu. Keluhan
disertai sesak nafas, demam, muntah, nafsu makan berkurang, BAB dan BAK normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan KU lemah, tampak sakit sedang, kesadaran compos
mentis. Nadi: 128x/menit reguler, pernafasan: 25x/menit, suhu: 36,6oC. Pada status generalis
didapatkan retraksi sela iga minimal dan suara nafas tambahan mengi pada kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan lab didapatkan leukositosis yaitu leukosit 24.900/mm3, hematokrit 34
%, peningkatan LED 21 mm/jam, dan peningkatan netrofil segmen 85%.
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD RL 10 tpm
Ceftriaxone 1x1,5 mg
Dexamethasone 2x1 amp
Teofilin/salbutamol/ambroxol = 40/0,65/6,5 3x1
12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
S O A P
Perawatan
Masih batuk-batuk, muntah KU : CM, tenang Asma bronkiale IVFD RL 10 tpm
2x setelah batuk berisi S: 36,3oC, N: 128 x/mnt, Inj Ceftriaxone
Sabtu makanan campur dahak RR: 25 x/mnt 1x1,5 mg iv
5/8/2017 berwarna putih, sesak Mata: KA -/- SI -/- Inj Dexamethasone
berkurang, tidur malam hari Tenggorokan: Tonsil T2-T2, 2x1 amp iv
tidak terganggu dengan faring hiperemis Teofilin/salbutamol
batuknya. Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh /ambroxol
+/+ (minimal) (40/0,65/6,5) 3x1
SI SII reg M(-) G(-) Nebu ventolin :
Abdomen: BU (+) nyeri Nacl 0,9% (1:1)
tekan (-) 2x/hari
Batuk (+) berkurang, muntah KU : CM, tenang Asma bronkiale IVFD RL 10 tpm
Minggu berisi makanan dan dahak S: 36,6oC, N: 125 x/mnt, Inj Ceftriaxone 1x1,5
6/8/2017 masih, sesak berkurang. RR: 24 x/mnt mg iv
Mata: KA -/- SI -/- Inj Dexamethasone
Tenggorokan: Tonsil T2-T2, 2x1 amp iv (stop)
faring hiperemis Teofilin/salbutamol/a
Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh mbroxol
+/+ (minimal) (40/0,65/6,5) 3x1
14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Tanggal
S O A P
Perawatan
Batuk sudah mulai KU : CM, tenang Asma bronkiale IVFD RL 10 tpm
berkurang, sesak (-), nafsu S: 36,3oC, N: 120 x/mnt, Inj Ceftriaxone 1x1,5
Senin makan membaik, RR: 22 x/mnt mg iv
7/8/2017 Mata: KA -/- SI -/- Teofilin/salbutamol/a
Tenggorokan: Tonsil T2-T2, mbroxol
faring hiperemis (40/0,65/6,5) 3x1
Thorax: SNV +/+ Rh -/- Wh Nebu ventolin : Nacl
-/- 0,9% (1:1) 2x/hari
SI SII reg M(-) G(-) Pasien dipulangkan
Abdomen: BU (+) nyeri karena sesak sudah
tekan (-) hilang dan batu mulai
berkurang
15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
ANALISA KASUS
An. KP, perempuan, usia 3 tahun 6 bulan, dengan diagnosis Asma bronkiale.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pasien datang dengan batuk sejak 3 minggu SMRS,
kemudian disertai sesak nafas sejak 3 hari SMRS. Sesak nafas biasanya muncul saat
menjelang malam sampai dini hari. Diagnosis banding pada pasien yaitu
Bronkhiolitis. Dari anamnesis pasien didapatkan batuk yang disertai sesak yang
biasanya muncul menjelang malam sampai dini hari, kemudian pada pemeriksaan
fisik didapatkan adanya wheezing dan retraksi sela iga yang minimal, namun tidak
ditemukan adanya ronki. Pasien juga masih mampu makan dan minum walaupun
sedikit kurang nafsu makan. Diagnosis bronchiolitis dapat disingkirkan karena tidak
ditemukannya ronki pada pemeriksaan fisik, kemudian dari hasil pemeriksaan foto
thorax didapatkan hasil jantung dan paru dalam batas normal. Maka diagnosis lebih
terarah ke Asma bronkiale dikarenakan gejala nya yang datang secara episodik saat
menjelang malam sampai dini hari dan pada pemeriksaan fisik auskultasi paru
ditemukan adanya wheezing.
Pasien diberi penatalaksanaan rawat inap, infus RL 10 tetes per menit, injeksi
intra vena ceftriaxone 1x1,5 mg, dexamethasone 2x1 ampul, kemudian racikan
teofilin/salbutamol/ambroxol masing-masing 40mg/0,65mg/6,5mg didalam puyer
diminum 3x1, serta nebu ventolin : NaCl 0,9% 1 : 1 2 kali per hari. Medikasi tersebut
diberikan selama pasien berada dalam perawatan di bangsal, injeksi dexamethasone di
hentikan pada hari kedua perawatan.
Anjuran pemeriksaan lanjutan pada pasien ini adalah pemeriksaan faal paru,
pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu
kita menegakkan diagnosis asma.
Prognosis pada pasien dengan asma umumnya baik, karena asma sifatnya
tidak progresif walaupun dapat terjadi perubahan fungsi paru yang irreversible.
Penting hukumnya untuk melakukan edukasi terhadap pasien dengan asma untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Definisi asma menurut Global Initiative for Asthma (GINA), asma adalah
gangguan inflamasi kronik pada saluran napas dengan berbagai sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang rentan inflamasi,
mengakibatkan gejalaepisode mengi yang berulang, sesak napas, dada terasa tertekan,
dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan
obstruksi saluran napas yang luas dan bervariasi dengan sifat sebagian reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hipereaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan1.
2. Epidemiologi
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma
pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti bronkus serta
gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood
(ISAAC), didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur
13,8 0,8 tahun didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent
asthma) 6,2% yang 64% di antaranya mempunyai gejala klasik.
Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia
SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner modifikasi
dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara
acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan,
didapatkan 14,7% dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001,
Yunus dkk melakukan studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur,
sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun melalui kuesioner ISAAC (International Study
of Asthma and Allergies in Childhood), dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi
bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan
prevalensi asma (recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma)
11,5%.2
17
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Menurut GINA (2009) dan NHLBI (2007), jenis kelamin laki-laki merupakan
sebuah faktor resiko terjadinya asma pada anak-anak. Akan tetapi, pada masa
pubertas, rasio prevalensi bergeser dan menjadi lebih sering terjadi pada perempuan
(NHLBI, 2007).Pada manusia dewasa tidak didapati perbedaan angka kejadian asma
di antara kedua jenis kelamin (Maryono, 2009).
3. Faktor predisposisi
Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara
umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Asma
adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat atau kecenderungan untuk
terjadinya asma.3 Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran
subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau
keduanya. Karena kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma
dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut
tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan beberapa
kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma, antara`lain CD28,
IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, NOS1, reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen
yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13,
IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan
sebagainya.
Alergen – alergen ini dapat berupa kutu debu, kecoak, binatang, dan polen/tepung
sari. Kutu debu umumnya ditemukan pada lantai rumah, karpet dan tempat tidur yang
kotor. Kecoak telah dibuktikan menyebabkan sensitisasi alergi, terutama pada rumah
di perkotaan.4
Menurut Ownby dkk (2002) dalam GINA (2009), paparan terhadap binatang,
khususnya bulu anjing dan kucing dapat meningkatkan sensitisasi alergi dan
mengakibatkan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari dan spora jamur yang
terdapat di luar rumah.
18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan (parfum, household spray, asap rokok,
cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan beta blocker seperti aspirin),
stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas fisik. Riwayat penyakit
infeksi saluran pernapasan juga telah dihubungkan dengan kejadian asma. Menurut
sebuat studi prospektif oleh Sigurs dkk (2000), sekitar 40% anak penderita asma
dengan riwayat infeksi saluran pernapasan (Respiratory syncytial virus) akan terus
menderita mengi atau menderita asma dalam kehidupannya5.
4. Patofisiologi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang
akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,
gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga
berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran
nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding
saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan.6 Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai
respon terhadap berbagai macam rangsang.
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2. Sel T penolong inilah yang akan
memberikan intruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk
IgE, sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ
sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas,
infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui
mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas
saluran napas.
19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Reflek saraf memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel
mast. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide
(CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema
bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.
20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
5. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal
paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.7
a. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
b. Pemeriksaan Fisik
21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
c. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru
menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu
kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan
kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap
asma (Pellegrino dkk, 2005).9 Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang
telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan
(2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE). Pemeriksaan spiro metri merupakan
pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direko mendasi oleh
GINA(2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri.
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak
penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP(%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian
Nilai Variabilitas harian normal, pagi dan sore tidak lebih dari 20%. Untuk
mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari
sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan
nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
6. Klasifikasi Asma
23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
7. Penatalaksanaan
1. Medikasi
Menurut PDPI (2006), medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara
seperti inhalasi, oral dan parenteral. Dewasa ini yang lazim digunakan adalah melalui
inhalasi agar langsung sampai ke jalan napas dengan efek sistemik yang minimal
ataupun tidak ada. Macam–macam pemberian obat inhalasi dapat melalui inhalasi
dosis terukur (IDT), IDT dengan alat bantu (spacer), Dry powder inhaler (DPI),
breath–actuated IDT, dan nebulizer. Medikasi asma terdiri atas pengontrol
(controllers) dan pelega (reliever). Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang,
terutama untuk asma persisten, yang digunakan setiap hari untuk menjaga agar asma
24
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
tetap terkontrol (PDPI, 2006). Menurut PDPI (2006), pengontrol, yang sering disebut
sebagai pencegah terdiri dari:
2.Leukotriene modifiers
4.Metilsantin (teofilin)
Pelega adalah medikasi yang hanya digunakan bila diperlukan untuk cepat
mengatasi bronkokonstriksi dan mengurangi gejala – gejala asma. Prinsip kerja obat
ini adalah dengan mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada, dan batuk. Akan tetapi golongan obat ini tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hipersensitivitas jalan napas.
2.Kortikosteroid sistemik
4.Metilsantin
1. Asma Intermiten
b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif
dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2
kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
25
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka
sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
a.Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas
asma, dengan pilihan Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus
atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi :
b.Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari,
Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
26
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggu
nakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol
27
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
28
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
8. Prognosis
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma
tidak progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan
fungsi paru yang irreversible, pasien ini sering kali memiliki rangsangan
komorbid seperti perokok yang tidak dapat dimasukkan dalam penemuan ini.13
Bahkan bila tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit
yang ringan menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen
pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih
diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang
sewaktu pasien menjadi tua.
9. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita
agar tetap masuk sekolah/ kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena
berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat
darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi tidak hanya ditujukan untuk penderita
dan keluarga tetapi juga pihak lain yang membutuhkan seperti :pemegang
keputusan, pembuat perencanaan bidang kesehatan/ asma profesi kesehatan
(dokter, perawat, petugas farmasi, mahasiswa kedokteran dan petugas kesehatan
lain) masyarakat luas (guru, karyawan, dll). Pertama, penyuluhan/pendidikan
mengenai penyakit asma pada penderita asma dan keluarganya. Pengenalan
29
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
tentang seluk beluk asma, bagaimana pengobatan serta pencegahan yang benar,
akan membuat penderita dan keluarganya mengerti sehingga termotivasi untuk
berusaha kuat mengatasi penyakitnya. Karena itu edukasi menjadi faktor kunci
dalam pengobatan asma. Kedua, mengetahui obat-obat asma, baik kegunaan
maupun efek sampingnya. Terdapat dua jenis obat asma yaitu, obat-obat kerja
cepat untuk mengatasi dengan segera serangan sesak nafas (reliver), dan obat obat
pencegahan jangka lama, untuk mengatasi peradangan saluran nafas
(preventer/controller). Yang termasuk obat reliver adalah obat-obat bronkodilator
kerja cepat seperti, salbuterol Albuterol, metaproterenol, erbutaline, dan
procaterol. Selain itu, obat golongan anti cholinergik, teofilin kerja cepat, suntikan
adrenalin atau epinefrin juga dapat dijadikan pilihan. Ketiga, mengobati atau
mengelola penyakit asma. Pengobatan tidak hanya dilakukan ketika serangan
asma sedang berlangsung, tetapi juga saat tidak dalam serangan. Pengelolaan
asma saat tidak dalam serangan dilakukan melalui pengobatan pencegahan dan
latihan olah raga terpimpin. Penderita asma dengan tipe intermiten (sangat ringan)
yang kekambuhannya dalam 1 minggu kurang dari 1 atau 2 kali, tidak
memerlukan pengobatan pencegahan. Namun, penderita asma dengan tipe
persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat, harus mendapatkan terapi
pencegahan secara bertahap disesuaikan dengan klasifikasinya. Keempat,
mempelajari dan memahami faktor-faktor pencetus serangan asma (allergen), dan
mengetahui cara mengendalikannya. Kelima, membuat rencana emergensi (Action
Plan). Action plan terutama diperlukan ketika serangan asma akan kambuh, dan
penderita membutuhkan pertolongan secepatnya. Keenam, rehabilitasi dan
peningkatan kebugaran jasmani dengan olah raga atau latihan jasmani terpimpin.
Penderita asma sering mengalami sesak sehingga sebagian otot-otot pernafasan
kerap digunakan, sementara sebagian otot yang lain tidak. Otot-otot pernafasan
yang banyak digunakan akan membesar dan yang jarang digunakan akan
melemah. Akibatnya, efisiensi dan koordinasi pernafasan menjadi kurang baik,
fungsi paru serta pertahanan paru pun menurun. Selain itu penderita asma juga
terkadang mengalami keterbatasan fisik atau membatasi pekerjaan fisik karena
takut sesak, sehingga kebugaran jasmaninya berkurang. Dengan melakukan
latihan jasmani secara teratur yang terpimpin, otot pernafasan akan kembali
berfungsi normal, kenaikan kapasitas vital paru meningkat dan kebugaran jasmani
pun menjadi lebih baik. Ketujuh, memonitor dan mengikuti perkembangan (follow
30
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
up) penyakit penderita asma secara teratur. Hingga kini penyakit asma belum
dapat disembuhkan, dan gejala asmanya sering bervariasi. Karena itu pengobatan
harus dilakukan seumur hidup dan dimonitor serta diiikuti perkembangannya terus
menerus. Hal ini diperlukan untuk melihat cocok tidaknya obat yang diberikan
dalam mengendalikan asma. Dokter akan mengevaluasi apakah obat perlu
ditambah, dikurangi atau dihentikan. Bila keadaan dan kebugaran jasmani
penderita memang telah membaik, pengobatan dapat dihentikan.
31
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
DAFTAR PUSTAKA
32
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
33