Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu analisa farmasi, yang ditentukan bukan hanya untuk uji kualitas, tetapi juga untuk
uji kuantitasnya. Atau dengan kata lain menentukan adanya suatu zat dalam sediaan dan menentukan
Analisa kualitatif dan kuantitatif suatu senyawa obat yang diproduksi sangat penting untuk
dilakukan, karena obat-obat yang beredar dipasaran harus diketahui kadar dan mutunya secara pasti.
Senyawa atau bahan kimia obat harus sesuai dengan yang tercantum dalam Farmakope dan buku-
Di bidang farmasi. Penetapan kadar suatu senyawa dalam sampel sangat bermanfaat. Hal ini
dapat berfungsi sebagai kontrol kualitas sediaan obat, apakah obat tersebut kadarnya sama dengan
Mengetahui dan memahami cara identifikasi dan penetapan kadar suatu senyawa dalam suatu
sediaan.
2. Menetapkan kadar kloramfenikol dalam sediaan kapsul dengan menggunakan metode Titrasi redoks,
yaitu dikromatometri dan menetapkan kadar ciprofloksasin dalam sediaan tablet dengan
1. Identifikasi senyawa yang terdapat dalam suatu sediaan, meliputi pemeriksaan organoleptis yang
meliputi warna, bau, rasa, bentuk, dan kelarutan yang dilanjutkan dengan uji reaksi kimia dengan
pereaksi tertentu berdasarkan terbentuknya gas, perubahan warna, dan endapan yang terbentuk.
2. Penetapan kadar kloramfenikol dalam sediaan kapsul dengan metode dikromatometri, berdasarkan
reaksi oksidasi-reduksi antara sampel dan larutan baku kalium dikromat dalam lingkungan asam
dengan penambahan kalium iodida sebagai katalisator dan dititrasi kembali dengan larutan baku
natrium tiosulfat, dengan menggunakan indikator kloroform atau kanji untuk menentukan titik akhir
titrasi.
3. Penetapan kadar Ciprofloksasin dalam sediaan tablet dengan metode Titrasi Bebas Air dimana sampel
ditambahkan asam asetat glasial dan dititrasi dengan larutan baku asam perklorat dengan penambahan
indikator Kristal violet, dimana titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna menjadi biru.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik merupakan senyawa khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organisme
hidup, termasuk struktur analognya yang dibuat sintetik yang dalam kadar rendah mampu
Penetapan antibiotik secara kimia makin sering digunakan sebab mempunyai ketelitian yang
tinggi, waktu analisis yang lebih cepat, dan lebih obyektif sehingga bisa menggantikan penetapan
secara hayati. Dengan mempelajari sifat kimia dan rumus bangun dari suatu antibiotik maka dapat
disusun penetapan secara kimiawi yang secara kuantitiatif tanpa diganggu oleh hasil peruraiannya
atau senyawa lain yang mempunyai sifat kimia yang serupa. Penetapan secara kimia diharapkan lebih
Dengan dapat dibuatnya antibiotik murni, maka penetapan secara kimia berkembang dengan
menetapkan jumlah zat dalam berat dan tidak lagi dalam unit, walaupun demikian beberapa antibiotik
masih diukur dalam aktivitas unit dan ini dapat diubah menjadi unit perberat jika diperlukan. (1)
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas dan sesuai untuk mengobati berbagai
macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kloramfenikol mempunyai rasa sangat pahit
karena itu untuk sediaan sirup digunakan bentuk ester palmitat atau suksinat supaya rasanya tidak
pahit. Kloramfenikol juga dapat mengalami kerusakan akibat cahaya (fotodegradasi) yang
menghasilkan warna kuning sampai kecoklatan karena terjadi proses oksidasi, reduksi, dan
kondensasi yang secara berurutan akan menghasilkan 4-nitrobenzaldehid, 4-nitrosobenzoat, dan asam
ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan
peptida pada proses sintesis protein kuman, kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada
(2)
2. β- Laktam
2.1 Penisilin
Penisilin mempunyai cincin tiazolidin dan cincin β-laktam. Atom H pada –COOH dapat
diganti dengan kation anorganik atau organik membentuk suatu garam. Kation yang digunakan
biasanya natrium, kalium, aluminium, prokain, dan benzatin. Penggantian gugus R akan berpengaruh
terhadap kelarutannya dalam pelarut organik, penyerapan, stabilitas terhadap asam dan resistensi
terhadap penisilinase. Penisilin mudah sekali terurai baik oleh asam atau basa. (1)
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
mikroba, terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan efek bakteriosid pada mikroba
2.2 Sefalosporin
generasi pertama. Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, mekanisme kerja antimikroba
3. Kuinolon
menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat bakterisidal. (2)
4. Tetrasiklin
sintesis protein bakteri pada ribosom. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke
dalam ribosom bakteri gram negatif, pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua
iialah sistem transpor aktif. Setelah masuk maka, antibiotik berikatan dengan ribosom 305 dan
menghalangi masuknya kompleks tRNA asam amino pada lokasi asam amino. (2)
5. Metronidazol
muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung.
Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazol. (2)
Analisis kimia farmasi kuantitatif biasanya dibagi menjadi beberapa analisis berdasarkan
1. Analisis gravimetri
3. Analisis gasometri
3. Reaksi pengendapan
Istilah analisis titrimetri mengacu pada analisis kimia kuantitatif yang dilakukan dengan
menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, yang diperlukan untuk
bereaksi secara kuantitatif dengan larutan dari zat yang akan ditetapkan (4).
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air sebagai pelarut, tetapi
menggunakan pelarut organik. Bila asam/ basa bersifat lemah seperti halnya asam-asam organik atau
alkaloida-alkaloida, cara titrasi dalam lingkungan berair ini tidak dapat dilakukan karena disamping
sukar larut air, juga kurang reaktif dalam air. Titrasi dalam lingkungan bebas air ini mempunyai
keuntungan-keuntungan misalnya zat-zat yang dapat larut dalam air, terutama basa-basa organik dapat
dititrasi dalam pelarut dimana zat itu dapat segera akan larut. Senyawa-senyawa yang mempunyai
sifat basa yang sangat lemah, yang tidak dapat dititrasi dalam air, masih memberikan titik akhir yang
cukup tajam dalam berbagai pelarut organik dan dapat langsung ditentukan.
Banyak senyawa-senyawa yang tidak larut dalam air, bila dilarutkan dalam pelarut organik
akan menaikkan sifat asam atau basanya. Dengan demikian perlu pemilihan pelarut yang sesuai untuk
menentukan berbagai macam senyawa dengan titrasi dalam lingkungan bebas air.
Garam-garam asam halida dapat dititrasi dalam asam cuka setelah penambahan raksa (II) asetat
yang dapat merubah ion halida menjadi raksa (II) halide yang tidak terdisossiasi. (3).
Teori TBA sangat singkat, sebagai berikut air dapat bersifat asam lemah dan basa lemah. Oleh
karena itu, dalam lingkungan air, air dapat berkompetisi dengan asam-asam atau basa-basa yang
Asam perklorat dalam larutan asam asetat merupakan asam yang paling kuat diantara asam-
asam umum yang digunakan untuk titrasi basa lemah dalam medium bebas air. Dalam TBA biasanya
ditambah dengan asam asetat anhidrida dengan tujuan untuk menghilangkan air yang ada dalam asam
perklorat
Jika basa yang dianalisis dalam bentuk garam yang berasal dari asam lemah, maka
penghilangan anion yang berasal dari asam kurang, begitu penting. Akan tetapi, jika basa dalam
bentuk garam klorida atau bromida, maka bromida atau klorida harus dihilangkan sebelum dititrasi.
Penghilangan bromida atau klorida dilakukan dengan penambahan merkuri asetat. Adanya asam
klorida atau bromida dan asam-asam kuat lain harus dihindari karena bisa mengakibatkan penetapan
kadar tidak kuantitatif karena asam-asam kuat ini juga bisa bereaksi dengan senyawa sampel yang
Pada pelaksanaan titrasi dalam pelarut bebas air sebenarnya tidak berbeda dengan titrasi dalam
larutan air. Titik akhir dalam hal ini dapat kembali ditentukan secara elektometri atau dengan bantuan
indikator. Harus diperhatikan bahwa larutan asam asetat menunjukkan pemuaian termik yang besar.
Berdasarkan ini maka harus bekerja dengan larutan dengan suhu sama atau volume pentitrasi harus
dikoreksi. Pada penggantian indikator atau pelarut, faktor larutan pengukur harus ditentukan kembali.
Dapat dimengerti, bahwa juga larutan volumetrik dan indikator serta larutan uji harus dibuat bebas air.
Pada penentuan yang sering dalam lingkungan bebas air lebih baik digunakan buret automatik.
Untuk penentuan tunggal digunakan buret yang lazim. Untuk wadah persediaan larutan pengukur dan
oksidator. Senyawa dikromat merupakan oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari permanganat. Kalium
dikromat merupakan standar baku primer. Penggunaan utama dikromatometri adalah untuk penentuan
Dikromatometri termasuk ke dalam titrasi redoks, karena dalam reaksinya terjadi perpindahan
elektron atau perubahan bilangan oksidasi. Seperti yang diketahui bahwa kemungkinan terjadinya
2. Bila ada zat reduktor maupun oksidator (dalam hal ini, kalium dikromat selain berfungsi sebagai
Kalium dikromat dalam keadaan asam mengalami reduksi menjadi Cr3+. Reaksi:
Karena daya oksidasinya lebih sedikit dibanding dengan KMnO4 dan Ce (IV). Maka hal ini
menyebabkan reaksi sangat lambat. Akan tetapi, dari sifat K2Cr2O7 larutannya sangat stabil, tidak
bereaksi dengan (inert terhadap) Cl-, dengan kemurnian tinggi, mudah diperoleh dan murah.
Metode dikromatometri digunakan terutama untuk penentuan Fe2+, ion klorida dalam jumlah
besar tidak mempengaruhi titer ini. Suatu cara tidak langsung untuk menentukan, oksidasi yang diberi
larutan Fe2+ berlebihan kemudian kelebihan dititrasi dengan standar Dikromat. Maka cara ini dipakai
Kalium Dikromat (K2Cr2O7) bukanlah zat pengoksidasi yang begitu kuat seperti Kalium
Permanganat (KMnO4), tetapi ia mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat diperoleh murni, stabil
sampai titik leburnya dan karenanya merupakan suatu standar primer yang sangat baik. Larutan
standar dengan kekuatan yang diketahui tepat dapat disiapkan dengan menimbang garam keringnya
yang murni dan kelarutannya dalam volume air yang sesuai. Lebih jauh larutannya dalam air adalah
stabil tanpa batas waktu jika dilindungi dengan memadai terhadap penguapan. Kalium Dikromat
(K2Cr2O7) digunakan hanya dalam larutan asam, dan direduksi dengan cepat pada temperatur biasa
menjadi garam Kromium (III) yang hijau. Ia tak direduksi oleh Asam Klorida (HCl) dingin, asalkan
larutan-larutan Permanganat dan juga stabil terhadap cahaya. Karena itu, Kalium Dikromat berharga
khusus dalam penetapan besi dalam bijih besi: Bijih besi itu biasanya dilarutkan dalam Asam Klorida,
Besi (III) direduksi menjadi Besi (II), dan dititrasi dengan larutan Dikromat standar.
Jadi ekuivalennya adalah seperenam mol, yaitu 294,18/6 atau 49,030 g. Maka suatu larutan
Warna hijau yang ditimbulkan oleh ion-ion Cr3+ yang terbentuk oleh reduksi Kalium
Dikromat membuat tak mungkin titik akhir suatu titrasi dengan Dikromat hanya dengan meneliti
larutan secara visual sehingga harus digunakan suatu indikator redoks yang memberi perubahan
warna yang kuat dan tak bisa disalahtafsirkan. Indikator yang sesuai untuk digunakan dengan titrasi
Dikromat meliputi asam 2 N-Fenilan Tranilat (larutan 0,1 % dalam NaOH 0,005 M) dan Natrium
Difenilaminasufonat atau senyawa Na/Badifenilamina Sulfonat (larutan 0,2 % dalam air). Indikator ini
RM/BM : H2O/18,02
: Sebagai pelarut
RM / BM : C2H4O2/60,05
: Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas menusuk, rasa yang tajam
: Cairan kental seperti minyak, korosif, tidak berwarna, jika ditambahkan ke dalam air menimbulkan panas
4. Amilum (9)
: Amilum solani
: Pati kentang
: Sebagai indikator
: Sukar larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%) P dan dalam asam asetat glasial P. larutannya
8. Kloramfenikol (9)
: Chloramphenicolum
: C11H12Cl2N2O5/323,12
: Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih, tidak berbau, rasa sangat pahit.
: Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol 95% P, sukar larut dalam kloroform P
dan eter P.
: Antibiotikum
: Sebagai sampel
ar : Mengandung tidak kurang dari 92,5% dan tidak lebih dari 107,5%.
: Ciprofloxacin Hydrochloride
: C12H18FN3O3.HCl / 367,8
: Larut dalam air, sedikit larut dalam metanol, sangat mudah larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam
: Cairan, mudah menguap ; tidak berwarna ; bau khas ; rasa manis dan membakar
: Larut dalam lebih kurang 200 bagian air ; mudah larut dalam etano mutlak P, dalam eter P dalam sebagian
besar pelarut organik dalam minyak atsiri dan dalm minyak lemah
: Larut dalam 0,5 bagian air ; praktis tidak larut dalam etanol (95%) P
RM/BM : KI / 166,00
: Hablur heksahedral ; transparan atau tidak berwarna, opak dan putih ; atau serbuk butiran putih,
higroskopik
: Sangat mudah larut dalam air, lebih mudah larut dalam air mendidih ; larut dalam etano (95%) P ; mudah
A. Uji Kuantitatif
1. Kloramfenikol
- Timbang seksama 500 mg. tambahkan 20 mL asam klorida P, kemudian 5 g debu seng P sedikit
demi sedikit. Tambahkan 15 mL asam klorida P, biarkan selama 1 jam. Saring melalui kapas, cuci 3
kali, tiap kali dengan 5 mL air. Dinginkan hingga suhu 15° , tambahkan lebih kurang 30 g es. Titrasi
perlahan-lahan dengan natrium nitrit 0,1 M hingga 1 tetes larutan segera menghasilkan warna biru
pada kertas kanji iodida P. titrasi dianggap selesai jka titik akhir dapat ditunjukkan lagi setelah larutan
- Titrasi bebas air setelah dihidrolisis dulu : kira-kira 150 mg zat, dilarutkan dalam 2 mL etanol 90 %,
lalu ditambahkan 5 mL HCl pekat. Larutan ini diuapkan di penangas air sampai kering. Sisanya
dikeringkan lagi pada 105°C selama 15 menit, didinginkan, kemudian dilarutkan dalam 10 mL asam
asetat. Sesudah ditambahkan 5 mL larutan raksa (II) asetat 120 mL dioksan, larutan dititrasi dengan
0,25 N asam perklorat (1/20 mmol) sampai timbul warna biru ; indikator 5 tetes larutan ungu Kristal.
(11)
- Metode titrasi bebas air : lebih kurang 150 mg kloramfenikol yang ditimbang seksama dilarutkan
dalam 2 mL alkohol 90% dan ditambah 5 mL asam klorida pekat lalu dipanaskan di atas penangas air
sampai kering. Residu dikeringkan pada suhu 105° C selama 15 menit. Setelah dingin, residu
dilarutkan dalam 10 mL asam asetat glasial dan ditambah 5 mL raksa (II) asetat 5 % dalam asam
asetaat dan 20 mL dioksan serta 5 tetes indikator Kristal violet. Larutan dititrasi dengan asam
- Metode Nitritometri : lebih kurang 500 mg kloramfenikol yang ditimbang seksama dilarutkan dalam
20 mL asam klorida pekat lalu ditambah 500 mg debu seng sedikit demi sedikit. Campuran
ditambahkan 15 mL asam klorida pekat lagi dan dibiarkan selama satu jam. Campuran disaring
melalui kapas, dicuci 3 kali, tiap kali dengan 5 mL air, didinginkan hingga suhu 15° C, dan diletakkan
pada bejana berisi es. Filtrat dan hasil cuciannya dititrasi perlahan-lahan dengan baku natrium nitrit
0,1 M hingga satu tets larutan segera memberikan warna biru pada kertas kanji-iodida. Titrasi
dianggap selesai jika titik akhir titrasi dapat ditunjukkan lagi setelah larutan dibiarkan selama lima
menit. (1)
- Metode argentometri : lebih kurang 300 mg kloramfenikol yang ditimbang seksama, dipijarkan
bersama dengan 500 mg kalium karbonat hingga tidak ada warna hitam. Hasil pemijaran dipindahkan
secara kuantitatif dengan pertolongan 25 mL air. Larutan dinetralkan dengan asam nitrat encer,
ditambah 15 mL asam nitrat encer lagi, dan 25,0 mL perak nitrat 0,1 N. larutan dititrasi dengan
larutan baku amonium tiosianat 0,1 N menggunakan indikator besi (III) amonium sulfat sebanyak 1
mL. (1)
dikromat 0,2 N dan dicampur lalu dipanaskan dalam water bath selama 2 jam, menggunakan
condenser. Kemudian didinginkan dan ditambahkan 15 mL 40% 0,1 N natrium tiosulfat dengan 5 mL
- Metode iodimetri : lebih kurang 500 mg Na ampisilin yang ditimbang seksama dilarutkan dalam air
secukupnya hingga 100 mL. sebanyak 5,0 mL larutan dipipet ke dalam labu bersumbat kaca,
ditambah 1 mL natrium hidroksida 1 N dan dibiarkan selama 20 menit. Larutan selanjutnya ditambah
5 mL larutan dapar yang dibuat dengan mencampurkan 5 mL asam asetat 12 %, 5 mL larutan natrium
asetat 27 % dan 15 mL air. Larutan lalu ditambah 1 mL asam klorida 1 N dan 10 mL iodium 0,01 N,
dibiarkan selama 20 menit dan terlindung dari cahaya. Larutan dititrasi dengan baku natrium tiosulfat
0,01 N menggunakan indikator kanji. Dilakuka-n titrasi blanko dengan cara : diambil 5,0 mL larutan
yang sama dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer bersumbat kaca. Larutan ditambah 5 mL
larutan dapar dan 10,0 mL iodium 0,01 N, dibiarkan selama 20 menit dan terlindung dari cahaya.
Larutan dititrasi dengan baku natrium tiosulfat 0,01 N menggunakan indikator kanji. Selisih volume
larutan baku tiosulfat blanko dengan volume tiosulfat awal setara dengan jumlah iodium yang
- Metode Asidi-alkalimetri : pH penisilinase diatur menjadi 7,5 dengan menggunakan indikator merah
fenol. Dibuat warna pembanding dengan mencampur 1 mL larutan tersebut dengan 10 mL air yang
mengandung 0,2 mL merah fenol. Lebih kurang 50 mg penisilin yang ditimbang seksama dilarutkan
dalam 10 mL air yang mengandung 0,2 mL, indikator merah fenol. pH larutan diatur dengan
sama dengan warna pembanding, didiamkan beberapa saat dan jika perlu dititrasi lagi.
- Campuran zat yang setara dengan 15 mg ampisilin trihidrat dilarutkan dalam 10 mL air, kemudian
ditambahkan 4 mL larutan formaldehida yang netral. Dua menit kemudian larutan ini dititrasi dengan
0,02 N NaOH sampai timbul warna merah muda yang tahan selama 30 detik. (11)
- 10 mL larutan murni dari obat setara dengan 2-16 mg amoksisilin dipindahkan ke dalam Erlenmeyer.
6 mL dari asam klorida 5 M dan 2 tetes metal orang sebagai indikator ditambahkan dan dititrasi
dengan bromate-bromide larutan (5mM KBrO3-50 mM KBr) sampai warna dari indikator hilang.
- 10 mL larutan obat setara denan 1-9 mg amoksisilin dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 mL. 2
didiamkan selama 10 menit. Kemudian dicuci dengan air dan 5 mL kalium iodida 10 % ditambahkan
ke dalam Erlenmeyer. Kelebihan iodine dititrasi dengan 0,03 N natrium tiosulfat dengan indikator
- Ukur 25,0 mL larutan dan masukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup. Tambahkan 10 mL larutan
NaOH 1 M, kocok larutan dan biarkan selama 10 menit diatas penangas air. Dinginkan dan
tambahkan 10 mL larutanHCl 2 N dan 25,0 mL larutan baku I2 0,1 N, biarkan selama 15 menit di
tempat gelap. Titrasi dengan larutan baku Natrium tiosulfat 0,1 N sampai berwarna kuning, lalu
ditambahkan indikator kanji. Lanjutkan titrasi hingga warna biru tepat hilang. Lakukan titrasi blanko.
- Ukur 25,0 mL larutan dan masukkan ke dalam Erlenmeyer bertutup. Tambahkan 15 mL larutan
NaOH 1 N, kocok larutan dan biarkan selama 10 menit diatas penangas air. Dinginkan dan tambahkan
- Larutkan 0,250 g dalam campuran 5,0 mL 0,01 M asam perklorat dan 50 mL alkohol. Titrasi dengan
- Metode : Iodatometri. Transfer sampel 1 unit secar kuantitatif ke dalam 250 mL Erlenmeyer yang
berisi iodine dan tambahkan 0,1 mol/L NaOH, sebanyak 2 mL. kocok dan biarkan bereaksi (panaskan
pada suhu 80° di water bath dengan panas yang terkontrol selama 10-15 menit. Setelah dibiarkan
bereaksi, campuran tersebut didinginkan pada suhu ruangan. Kemudian tambahkan 0,3 mL HCl 1,0
mol/ L dan 5 mL karbon tetraklorida. Titrasi campuran dengan 0,01 mol/L KIO3 sambil dikocok
4. Ciprofloksasin
- Timbang setara tablet 0,1 g , 0,2 g atau 0,3 g ciprofloksasin hidroklorida. Larutkan dengan 15 mL
asam aseta glasial dan juga tambahkan raksa (II) asetat (0,5 mL, 1,0 mL, dan 1,5 mL) dan tambahkan
dengan asetat anhidrat (2 mL, 4 mL, dan 5 mL). Titrasi larutan dengan 0,1 M asam perklorat 0,5 %
w/v dan gunakan Kristal violet sebagai indikator. Catat perubahan warna.
5. Doksisiklin Hyclate
- Metode Iodometri : timbang setara tablet doksisiklin hyclate sebanyak 1-8 mg. Transfer ke dalam
Erlenmeyer 100 mL dan tambahkan dengan 10 mL air. Larutan diasamkan dengan penambahan 5 mL
menggunakan pipet. Campur dengan baik dan diamkan selama 20 menit. Cuci dengan air sebanyak 5
mL dan 5 mL kalium iodida 10 %. Kelebihan iodine kemudian dititrasi dengan 0,03 M natrium
- Metode TBA : sebanyak 4,0-40,0 mg doksisikline dan transfer ke Erlenmeyer bersih dan kering dan
tambahkan dengan 10 mL asam asetat glasia. Kemudian, tambahkan 2 mL raksa (II) asetat 5 % dan
campur / kocok selama 2 menit. Tambahkan 2 tetes Kristal violet sebagai indikator dan titrasi dengan
asam perklorat 0,01 M dengan titik akhir titrasi berwarna biru. Lakukan titrasi blanko.
6. Metronidazol
- Ukur secar akurat sebanyak 0,1 g metronidazol dan suspensikan dengan 30 mL 6 N asam klorida.
Tambahkan 0,5 g serbuk zink dan kocok hingga terjadi reaksi komplit. Campuran reaksi di saring
dengan menggunakan filter whatman dengan kertas ukuran no.41 dan pindahkan endapan, residu
tersebut kemuidan dicuci dengan 10 mL air sebanyak 3 kali. Dinginkan larutan dengan suhu 5-10° C.
Tambahkan 0,5 g kalium bromide dan titrasi dengan 0,1 natrium nitrit dan gunakan kertas kanji iodida
sebagai indikato.
- Pindahkan sejumlah serbuk tablet setara dengan 200 mg metronidazol ke dalam penyaring kaca
masir, saring 6 kali, tiap kali dengan 10 mL aseton P. titrasi dengan asam perklorat 0,1 N
menggunakan indikator 2 tetes lrutan hijau berlian P 1 % b/v dalam asam asetat glasial P hingga
panaskan sebentar. Dinginkan dan tambahkan 1 tetes hijau malakit dan titrasi dengan 0,1 N asam
perklorat. Dan titik akhir berwarna kuning-kehijauan. Lakukan titrasi blanko. (12)
B. Uji Kualitatif
1. Kloramfenikol
- Sejumlah 10 mg zat dan 2,0 g NaOH ditambahkan 3 ml air, lalu dipanaskan samapi mendidih,
larutan berwarna kuning kuat. (11)
- Sejumlah 50 mg zat dilarutkan dalam 3 ml etanol 70 %, ditambahkan 7 ml air dan 200 mg bubuk
Zink. Dipanaskan dipenangas air selama 10 menit, kemudian disaring. Ke dalam 2 ml filtrate
ditambahkan dua tetes benzoiklorida, dikocok 1 menit, lalu ditambahkan 3 tetes larutan besi (III)
klorida, terbentuk warna merah jingga. Filtrate yang diasamkan dengan asam nitrat dan ditambah
AgNO3, membentuk endapan perak klorida. (11)
2. Ampisilin
- Ke dalam suspensi 10 mg zat dalam 1 ml air ditambahkan 2 ml larutan Fehling encer (2:6), timbul
warna ungu (faksin). (11)
- Reaksi asam hidroksamat : ke dalam larutan (5 mg zat dalam 2 ml NaOH) ditamahkan 0,3 g
Hidroksilamin hidroklorida dan biarkan selama 5 menit. Larutan di asamkan dengan beberapa tetes 6
N HCl, kemudian ditambahkan 1 ml besi(III)klorida 1 %, timbul warna ungu merah kotor. (11)
- Reaksi iodazida : positif. (11)
- Teteskan 0,1 ml larutan ninhidrina P 0,1 % b/v di atas kertas saring, keringkan pada suhu 105oC,
lapiskan 0,1 ml larutan uji 0,2 b/v, panaskan pada suhu 105oC selama 5 menit, biarkan hingga dingin,
terjadi warna lembayung muda. (9)
- Suspensikan 10 mg dalam 1 ml air, tambahkan 2 ml larutan kalium tembaga (II) tartrat P dan 6 ml
air, segera terjadi warna violet. (9)
3. Tetrasiklin
- Kira-kira 0,5 mg zat direaksikan dengan 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk warna ungu. Setelah
ditambah 1 tetes larutan besi (III) klorida 1 %, warna berubah menjadi coklat/merah coklat. (11)
4. Doksisiklin
- 2 mg sampel ditambahkan 5 ml asam sulfat. Warna kuning. (10)
C. Prosedur Preparatif
1. Kloramfenikol
Dua kapsul setara dengan 300 mg kloramfenikol ditimbang seksama, dilarutkan dalam alcohol 95%
v/v dan disaring endapan yang tidak larut. Endaan tersebut kemudian dikeringkan di water bath.
Material yang telah kering kemudian dilarutkan di air hangat, disaring jika perlu, dan buat volume
hinga 500 ml.
3. Sefadroksil
- Larutan Injeksi:
Larutan dilarutkan dengan air 1 mg/ml larutan dan ikuti prosedur yang telah disarankan tanpa
modifikasi.
- Kapsul:
Timbang dan campurkan 4 kapsul. Timbang setara 250 mg sefalosforin dan larutkan dengan air.
Kocok larutan, saring residu dengan whatmann no.1 kertas saring dan cuci dengan air.
4. Ciprofloksasin
Timbang setara tablet 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g ciprofloxacin murni tablet.
5. Doksisklin hyclate
20 tablet setara dengan 100 mg DCH ditimbang seksama dan dipindahkan ke erlenmeyer 100 ml,
kemudian kocok dengan 70 ml air selama 20 menit. Disaring dengan whatmann no.42 filter paper. 10
ml larutan pertama dibuang dan 5 ml diambil untuk dilakukan analisis.
6. Metronidazol
Timbang 20 tablet setara 0,1 g metronidazol dan serbukkan.
BAB III
METODE KERJA
III.1.1 Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain tabung reaksi, batang pengaduk, botol semprot, buret,
Erlenmeyer, gelas ukur, timbangan analitk, pipet tetes, dan pipet skala, sendok tanduk, statif dan
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara aluminium foil, air suling, sampel kapsul kloramfenikol
dan tablet ciprofloksasin, reagen seperti asam asetat glasial, indikator kanji atau indikator kloroform,
indikator Kristal violet, larutan baku asam perklorat, dan larutan baku natrium tiosulfat, larutan baku
kalium dikromat.
- Didinginkan sesegera mungkin dimana Erlenmeyer yang berisi sampel tersebut diletakkan di dalam
- Diambil 10 ml sampel
- Ditambahkan 5 ml NaOH 0,1 N
- Dikocok dan dipanaskan hingga 10 – 15 menit pada suhu 80o C dan dinginkan.
- Ditambahkan 5 ml kloroform
IV.1 Tabel
Kel Sampel Metode Berat Sampel Volume Normalitas Persen
(mg) Titran (mL) Titran (N) Kadar (%)
1 Kloramfenikol Dikromatometri 50 V1 : 20 N1 : 0,134 102,61
V2 : 10,5 N2 : 0,098
Cyprofloksasin TBA 100 2,6 0,0539 51,54
2 Doksisiklin TBA 100 Vblanko 0,0539 17,44
:0,4
Vtitran : 1,8
3 Ampisilin Iodometri 100 V1 : 10 N1:0,1006 93,96
V2 : 7,5 N2:0,1005
Doksisiklin TBA 150 V1: 10 0,0539 19,10
V2 :7,7
4 Amoksisilin Bromometri 100 V1 :10 N1:0,1070 15,74
V2 : 8 N2:0,1005
Amoksisilin Iodimetri 100 9 0,1505 79,10
5 Doksisiklin TBA 100 5,9 0,0539 51,09
6 Ampisilin Iodometri 100 V1 : 15 N1:0,1006 64,2
V2:13,3 N2:0,1005
Data Kualitatif
Pereaksi Y3 W5 W2 Q3 Z7
Zat + 2 g NaOH + 3 Kuning kuat Kuning Kuning Kuning Kuning
mL air (+) muda (+) muda (+) kuat (+) muda (+)
Zat + fehling A & B _ _ _ Hijau (-) _
Zat + formaldehid + Kuning (+) Kuning Kuning (+) Kuning Kuning
H2SO4 (+) (+) (+)
Zat + H2SO4 pekat Kuning _ _ Kuning _
muda (+) muda (+)
Zat + pereaksi _ Jingga (-) Jingga (-) Kuning Jingga (-)
marquis (+)
FeSO4 + HNO3 _ Jingga (-) Jingga (-) _ Jingga (-)
Zat + NaoH Jingga (+) _ _ Jingga (+) Jingga
(panaskan) (+)
Keterangan :
+ Amoxicilin
W5= + kloramfenikol
+ ampicillin
W2= + kloramfenikol
+ ampicillin
Q3= + Kloramfenikol
Z7= + Kloramfenikol
+ Cefadroxil
BAB V
PEMBAHASAN
Antibiotik merupakan senyawa khas yang dihasilkan atau diturunkan oleh organism
hidum termasuk struktur analognya yang dibuat sintetik yang dalam kadar rendah mampu
Penetapan antibiotik secara kimia makin sering digunakan sebab mempunyai ketelitian yang
tinggi, waktu analisis yang lebih cepat, dan lebih obyektif sehingga bisa menggantikan penetapan
secara hayati.
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas dan sesuai untuk mengobati berbagai
macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kloramfenikol mempunyai rasa sangat pahit.
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat ialah enzim
peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptide pada
proses sintesis protein kuman. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi
sebagai bakteriosid. Ciprofloksasin bekerja dengan cara menghambat kerja enzim DNA girase pada
kuman yang merupakan bagian esensial dalam proses sistesa DNA bakteri. Karena mekanisme
kerjanya spesifik, maka tidak terjadi resistensi parallel dengan antibiotika lain yang bukan golongan
kuinolon karboksilat.
Pada percobaan ini, dilakukan penetapan kadar kloramfenikol dengan metode dikromatometri.
Dikromatometri adalah titrasi redoks yang menggunakan senyawa dikromat sebagai oksidator.
Senyawa dikromat merupakan oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari permanganate. Kalium dikromat
digunakan hanya hanya dalam larutan asam dan direduksi dengan cepat pada temperature biasa
menjadi garam kromium (III) yang hijau. Warna hijau yang ditimbulkan oleh ion-ion Cr3+ yang
terbentuk oleh reduksi kalium dikromat membuat tak mungkin titik akhir suatu titrasi dengan
dikromat hanya dengan meniliti larutan secara visual sehingga harus digunakan suatu indikator.
Pada penetapan kadar kloramfenikol, ditimbang sampel setara 50 mg kemudian ditambahkan
dengan H2SO4 pekat sebanyak 10 mL dan ditambahkan kalium dikromat sebanyak 20 mL kemudian
dipanaskan. Penambahan H2SO4 pekat ini untuk membuat lingkungan sampel menjadi asam. Larutan
sampel dipanaskan selama 15 menit diatas kompor listrik, kemudian didinginkan segera. Larutan
sampel di dalam erlenmeyere didinginkan di dalam baskom yang berisi air. Kemudian larutan sampel
ditambahkan sedikit demi sedikti KI sebanyak 1 g dan didiamkan selama 5 menit ditempat gelap
sampai terus dikocok. Penambahan KI sebagai katalisator yang mempercepat reaksi, karena titrasi
atau indikator kanji dan titrasi dengan natrium tiosulfat. Diamati perubahan warna yang terjadi pada
Sedangkan pada penetapan kadar ciprofloksasin, menggunakan metode titrasi bebas air.
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air sebagai pelarut, tetapi menggunakan
pelarut organik. Dalam metode titrasi bebas air, tidak boleh ada air, sebab air dapat berkompetisi
dengan asam-asam atau basa-basa yang sangat lemah dalam hal menerima atau memberi proton.
Asam perklorat dalam larutan asam asetat merupakan asam yang paling kuat diantara asam-asam
umum yang digunakan untuk titrasi basa lemah dalam medium bebas air. Dalam titrasi bebas air
biasanya ditambah dengan asam asetat anhidrida dengan tujuan untuk menghilangkan air yang ada
dalam asam perklorat. Dalam percobaan ini juga ditambahkan raksa (II) asetat yang bertujuan untuk
menghilangkan bromide atau klorida, karena adanya asam klorida/bromida dan asam-asam kuat lain
harus dihindari karena bisa mengakibatkan penetapan kadar tidak kuantitatif karena asam-asam kuat
ini juga bisa bereaksi dengan senyawa sampel yang bersifat basa.
Ciprofloksasin ditimbang setara 100 mg dan ditambahkan 10 mL asam asetat glasial dan 1
mL raksa (II) asetat dan dititrasi dengan HClO4 dengan penambahan indikator Kristal violet.
Pada percobaan ini diperoleh hasil persen kadar kloramfenikol yaitu 102, 61 % dan persen
kadar ciprofloksasin yaitu 51,54 %. Persen kadar kloramfenikol memenuhi persyaratan sesuai dalam
literatur yaitu Farmakope Indonesi Edisi III yaitu tidak kurang dari 92,5 % dan tidak lebih dari 107,5
%. Sedangkan persen kadar ciprofloksasin tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan literatur yaitu
British Pharmacopeia yaitu tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 102,0 %.
Pada uji kualitatif, dilakukan uji terhadap sampel Y3, W5, W2, Q3, dan Z7. Pada sampel Y3
dan Q3, ketika sampel direaksikan NaOH dan air, menghasilkan warna kuning kuat. Dan pada sampel
W5, W2, dan Z7 menghasilkan warna kuning muda. Lalu, sampel Y3, W5, W2, Q3, dan Z7 ketika
direaksikan dengan formaldehid dan H2SO4, menghasilkan warna kuning. Sampel Y3 dan Q3 ketika
direaksikan denganH2SO4 menghasilkan warna kuning muda. Sampel Q3 direaksikan dengan pereaksi
Marquis menghasilkan warna kuning. Dan untuk sampel Q3 dan Z7, ketika direaksikan dengan NaOH
kloramfenikol dan amoksisilin, sampel W5 dan W2 mengandung kloramfenikol dan ampisilin, sampel
Adapun faktor kesalahan yang mungkin terjadi pada percobaan ini antara lain : reagen atau
pereaksi yangkurang baik kualitasnya, serta larutan baku yang kurang murni, alat-alat laboratorium
yang digunakan kurang bersih, kesalahan dalam prosedur preparasi, human of error, serta mengambil
PENUTUP
VI. Kesimpulan
Dari hasil percobaan, pada uji kuantitatif, diperoleh persen kadar kloramfenikol 102,61 %,
sedangkan persen kadar untuk ciprofloksasin yaitu 51,54 %. Hasil ini sesuai dengan persentase kadar
pada literature (FI.III) yaitu tidak kurang dari 92,5 % dan tidak lebih dari 107,5 % untuk
kloramfenikol dan tidak sesuai dengan persentase kadar pada literature (British Pharmacopeia) yaitu
tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 102,0% untuk ciprofloksasin
Pada uji kualitatif, diperoleh hasil bahwa sampel sampel Y3 mengandung kloramfenikol dan
VI.2 Saran
Sudjadi. 2008. Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 108, 119, 121
Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Universitas Indonesia. 622,
651
Susanti, S., Jeanny Wunas. 1997. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Makassar : UNHAS. 1, 29,30,
70, 71, 74. 75, 144, 151, 196-198
Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel; Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik Edisi 4. Jakarta : EGC.
259
Gandjar, Ibnu Gholib. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.142,143,144, 153,
154
Roth, Hermann J.1981. Analisis Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 241, 270, 271
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI. 42, 47, 48, 58, 94, 96, 151,
316, 598, 651, 698, 724
Auterhoff & Kovar. 2002. Identifikasi Obat. Bandung : ITB. 90, 141