You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama hampir 68 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah
perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-
beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya
tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif,
seperti Orde Lama, Orde Baru Dan Kini Orde Reformasi.
Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat
apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan
ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis
sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini
sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde
Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya
dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan
kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak
memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui
konvergensi nilai-nilai sosial-budaya, Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih
dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi
penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan
HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang
terjadi.
Dari segala bentuk pemerintahan dan model kepemminan dari pemimpin negara mulai
dari Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi tentunya mempunyai model memimpin bangsa
yang berbeda-beda demi tujuan yang sama, yaitu tegaknya Negara Republik Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang hendak diuraikan dalam makalah ini, Yaitu:
1. Bagaimana kondisi politik indonesian pada masa Orde Lama ?
2. Bagaimana proses peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru ?
3. Bagaimana Latar Belakang Lahirnya Masa Orde Baru?
4. Bagaimana Kondisi Kehidupan Politik Masa Orde Baru?
5. Bagaimana penyimpangan-penyimpangan pada Masa Orde Baru?
6. Mengetahui perkembangan poltik dan ekonomi pada masa reformasi?
7. Bagaiman perkembangan politik setelah 21 mei 1998?
8. Bagaimana perbandingna antar rezim dalam menafsirkan Pancasila?
1.3 Tujuan Penulisan
Dalam makalah ini mengkaji tentang tujuan yang akan dicapai adalah :
1. Mengetahui kondisi politik indonesian pada masa Orde Lama
2. Mengetahi proses peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru
3. Mengetahui Latar Belakang Lahirnya Masa Orde Baru
4. Mengetahui Kondisi Kehidupan Politik Masa Orde Baru
5. Mengetahi penyimpangan-penyimpangan pada masa Orde baru
6. Bagaimana perkembangan politik dan ekonomi pada masa reformasi
7. Mengetahui perkembangan politik setelah 21 mei 1998
8. Mengetahui perbandingna antar rezim dalam menafsirkan Pancasila
1.4 Manfaat
Setelah mempelajari makalah ini maka manfaat yang akan di dapat adalah pengetahuan
tentang sejarah Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi dalam bingkai kebangsaan,
mengetahui latar belakang, perjalanan dan keruntuhan antar rezim pemerintahan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Orde Lama
2.1.1 kondisi politik indonesian pada masa Orde Lama
1. Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan
pula sistem demokrasi yang dipakai yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini
presiden hanya bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur
pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada kabinet. Presiden
tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala pemerintahan dipegang oleh perdana
menteri.
Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai besar seperti Masyumi, Pni dan PKI mempunyai
partisipasi yang besar dalam pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung
jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai
besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen (DPR
pusat). Bila mayoritas dalam parlemen tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus
mengemblikan mandat kepada presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk
mengendalikan pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan
sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang menjalankan
pemerintahan.
Kabinet yang pertama kali terbentuk pada tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir.
Sebagai formatur ditunjuk Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai
politik terbesar saat itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis
besar sebagai berikut ;
a) Menyelenggarakan pemilu untuk konstituante dalam waktu singkat.
b) Memajukan perekonomian, keeshatan dan kecerdasan rakyat.
c) Menyempurnakan organisasi pemerintahan dan militer.
d) Memperjuangkan soal Irian Barat tahun 1950.
e) Memulihkan keamanan dan ketertiban.
Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini banyak memenuhi hambatan terutama dari
tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih
berada ditangan pemerintahan Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut.
Perbedaan politik antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan antara presiden
dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah berlaku sebelumnya,
bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang sealiran dengan parlemen. Secara
berturut-turut setelah kejatuhan kabinet Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal,
presiden membentuk kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.
Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan
pada 29 september 1955 dengan agenda pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20
Maret 1956. Pemilu pertama tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat
UUD). Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam
badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi partai-partai besar
seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut dapatlah diketahui bahwa
lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi. Konstituante melaksanakan tugasnya
ditengah konflik berkepanjangan yang muncul diantara pejabat militer, pergolakan daerah
melawan pusat dan kondisi ekonomi tak menentu.

2. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)


a. Sistem politik Demokrasi Terpimpin
Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara Republik Indonesia yang disebabkan
oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya
sistem demokrasi liberal. Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu
tersebut memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku
presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan Demokrasi
Terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah
dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu
hal pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin adalah
kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar
terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi
Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959 terjadi pergantian kabinet dari Kabinet
Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan
pembentukan Kabinet Kerja yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan
Ir.Djuanda sebagai menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki program khusus yang
berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat.
Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS), pemebntukan
DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan dalam sistem pemerintahan selanjutnya adalah pernetapan GBHN
pertama. Pidato Presiden pada acara upacara bendera tanggal 17 agustus 1959
berjudu”Penemuan Kembali Revolusi Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik
Indonesia(Manipol),yang berintikan USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Kepribadian Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan
sejumlah badan eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan
tugas sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang selanjutnya ikut
merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu
Nasionalis, Agama dan Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan
kekuasaannya. Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut
sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu kebijakan utama
terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .

b. Gerakan 30 September 1965


Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas dalam perjalanan sejarah
Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa tersebut sampai saat ini masih
menimbulkan kontrofersi dalam pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang
gerakan 30 S tersebut telah dikemukakan diantaranya;
Peristiwa G 30 S versi Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan
makar yang dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta
tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa
Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur hidupberdasarkan konsep Demokrasi
Terpimpin. Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan sejumlah
organisasi onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.

c. Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik


Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
 Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam
sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan
dilaksanakan. Berbagai aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan
masalah tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-pemuda dan
pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul pula kasi yang dilakukan oleh
KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front Pancasila.
 Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965
Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD.
Bersamakan itu diadakan tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan
ormasnya.
 Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk. Pada saat itu politik sebagai panglima,
akibatnya masalah lain terabaikan. Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang
pada puncaknya menimbulakan pemberontakan.
 Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila
tersebut berkumpul di halaman gedung DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a) Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
b) Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
c) Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai dikeluarkannya surat perintah 11 Maret
1966.
 Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden Soekarno mengumumkan perubahan
kabinet (reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama kabinet Dwikora yang disempurnakan.

2.1.2 peralihan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru.


Adapun proses peraliahan kekuasaan politik dari orde lama ke orde baru adalah sebagai
berikut ;
 Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan
Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati
presiden AD tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai
mengurangi dukungannya dan lebih mulai tertarik bekerja sama dengan KAMI dan KAPPI.
 Keberanian KAMI dan KAPPI terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD.
Kesempatan ini digunakan oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya
kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf,
Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan
tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret
1966 .
 Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui
perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai
pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
 Pada 8 Februari 1967 oleh Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat
panglima angkatan bersenjata.
 Disaat belum tercapainya kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara
dan semakin bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan
resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa dilaksanakan.
 Tanggal 10 Februari 1967 Jend. Soeharto menghadap kepada presiden Soekarno untuk
membicarakan masalah negara.
 Pada tanggal 11 Februari 1967 Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk
mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan
atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar sesuai dengan
ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk
mempelajarinya.
 Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden,
presiden tidak dapat menerima konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya
berhalangan.
 Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan
konsep yang telah telah disusun sebelum diajukan kepada presiden.
 Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit
perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
 Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris
MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
 Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan
pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat
presiden RI.

2.2 Orde Baru


2.2.1 Latar Belakang lahirnya Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru
hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada
masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut,
ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi
yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
Dengan menggunakan Orde Baru pimpinan militer di bawah Suharto telah selama
puluhan tahun mengebiri kehidupan demokratik, menindas kebebasan bersuara dan berorganisai,
mengontrol pers, membungkam suara kritis, memalsu Pancasila, melakukan terror berjangka
lama, membunuhi dan menculik para penentangnya, sambil mengeruk kekayaan publik dengan
cara-cara haram, serta melakukan korupsi dan pencurian dengan berbagai bentuk dan cara.
tindakan Orde Baru (yang selama puluhan tahun didukung Golkar dan golongan militer) ini
sebagian terbesar rakyat Indonesia telah mengalami berbagai macam penderitaan, walaupun
yang paling menderita adalah golongan kiri atau anggota-anggota PKI dan simpatisannya.
2.2.2 Kondisi Kehidupan Politik Masa Orde Baru.
1. Periodisasi Politik Orde Baru
Jadi politik Orde Baru adalah fenomena kompleks sehingga jauh dari monolitik. Dengan
demikian ada manfaatnya melihat Orde Baru dengan melakukan pentahapan seperti di lakukan
oleh Andreas Vickers seorang associate professor di Universitas Wollongong Australia. Vikers
membagi sejarah Orde Baru dalam tiga babak yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu fase
Honeymoon, Stalinist dan fase Keterbukaan.
Vikers tidak memasukkan secara khusus periode krisis pemerintahan Orde Baru,
terutama pada tahun-tahun terakhir menjelang kejatuhan rezim soeharto. Selayaknya masa krisis
ini dicatat tersendiri, sehingga genapnya periodesiasi politik masa Orde Baru itu meliputi sebagai
berikut:
a. Periode Honeymoon
Fase pertama, mengutip pendapat Umar Kayam, Vikers menyebut periode 1967-1974
sebagai fase Honeymoon. Pada periode ini sistem politik di negeri ini relative terbuka. Bangsa
Indonesia bisa menikmati kebebasan pers. Militer tidak mendominasi banyak aspek
pemerintahan. Sebaliknya, militer menjalin aliansi dengan mahasiswa, kelompok islam dan
sejumlah tokoh politik pada masa soekarno. Soeharto menjalin hubungan erat sehingga menjadi
jalinan triumvirate yang kuat dengan Adam malik yang dikenal sebagai tokoh politik kekirian (
Tan Malakaist) dan Hamengkubuwono IX (9) yang dikenal sebagai Soekarnois liberal.
Periode ini di akhiri dengan peristiwa Malari yang sertai dengan dimulainya tekanan atas
kekuatan mahasiswa di satu pihak dan di lain pihak sebuah upaya Soeharto membangun
kekuatan dari tekanan lawan politik di tubuh militer. Arus politik pada masa itu memunculkan
tokoh popular, Ali Moertopo dengan para pengikutnya yang menyebar di hamper semua posisi
politik dan birokrasi. Bersamaan dengan itu, arus politik membawa Indonesia untuk melakukan
pengintegrasian Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada Tahun 1976.
b. Periode Stalinist
Fase kedua adalah periode tahun 1974-1988/1989 yang disebut sebagai fase Stalinist.
Pada fase ini otoritarianisme menjadi cirri yang mengedepankan dalam arena kepolitikan di
Indonesia. Pemerintahan menerapkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, Menteri P dan
K mengeluarkan SK 028/1978 dan Kopkamtib mengeluarkan Skep 02/Kopkam/1978 yang
membekukan kegiatan Dewan Mahasiswa, menyusul kemudia dikeluarkan SK Menteri P dan K
No.0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang disertai pula dengan
perangkat BKK.
Kebijakan normalisasi kehidupan kampus itu diterapkan dengan dalih agar mahasiswa
menjadi man of analysis dan bukan moral force atau apalagi sebagai man political force. Dalam
praktik, kebijakan itu berhasil mendepolitisasi mahasiswa. Tidak ada gerakan mahasiswa pada
periode ini, kecuali gerakan-gerakan yang lingkup dan isi perjuangannya bersifat lokal, seperti
gerakan protes mahasiswa terhadap pembangunan Waduk kedugombo, penurun SPP, protes
pemecatan Arief Budiman di Universitas Satyawancana, protes mahasiswa Ujungpadang atas
kenaikan tarif angkot.
Pada fase ini militer bergandengan erat dengan Birokrasi sehingga menjadi instrument
politik penguasa Orde Baru yang sangat tangguh. Lawan-lawan politik Soeharto
dimarginalisasikan. Pemerintahan memberlakukan indoktrinasi ideology pancasila dalam bahasa
penguasa melalui penataran P4, pengasastunggalan organisasi politik, kemasyarakatan maupun
keagamaan; pemberlakuan politik masa mengambang (floating mass) setelah penasehat politik
soeharto, Ali Moertopo pertama kali berbicara tentang konsep tersebut.
c. Periode keterbukaan
Periode ini berlangsung pada akhir 1980-an. Pada masa ini mulai muncul kekuatan yang
selama itu berseberangan dengan kekuasaan. Di parlemen muncul “interupsi” dari salah seorang
anggota fraksi ABRI (sekarang TNI dan POLRI). Ada yang bilang periode ini merupakan saat-
saat orang mengucapkan “good-bye” untuk menjadi manusia “yes-men”, menunggu petunjuk
Bapak presiden. Dalam dunia ekonomi pemerintah mengeluarkan sejumlah deregulasi, yang
mempercepat arus massuknya modal asing. Investasi dunia perbankan menjadi dipermudah.
Bank tumbuh bukan hanya di kota tetapi sampai ke kecamatan-kecamatan. Dengan modal
Rp 50 juta bisa membuat bank, Bank perkreditan Rakyat (BPR). Bersamaan dengan itu,
perkembangan sejarah politik internasional ditandai dengan munculnya keterbukaan ( glasnost)
dan reformasi (perestroika) yang digulirkan oleh presiden Uni soviet, Michael Gorbachove.
d. Periode krisis
Puncak dari keterbukaan yang berlangsung di Indonesia adalah masa krisis. Dimulai
dengan krisis moneter. Kurs Rupiah di mata dolar AS merosot tajam. Ibarat kapal, negeri ini
sedang dihantam ombak besar. Sejumlah petinggi negeri ini mengatakan tidak ada masalah,
karena fundamental ekonomi kita cukup kuat. Ternyata tidak demikian. Indonesia terus diterpa
badai moneter, kurs rupiah benar-benar tidak terkendali, sampai lebih Rp 10 ribu per dolar AS.
Krisis ini disertai dengan krisis sosial politik yang tak terkendali. Kelompok kritis, dosen-dosen
senior perguruan tinggi negeri di Indonesia “turun gunung” dan gelombang demonstrasi
mahasiswa pecah dimana-mana. Rezim soeharto benar-benar sedang di terpa badai, dan akhirnya
menyerahkan Kekuasaan kepada BJ. Habibie pada tahun 1998. Sejak itu berakhirlah rezim
soeharto, dan dimulailah era baru, era reformasi. Indonesia memulai lembaran baru dalam
sejarah politik, dengan awal yang tidak mudah. Tertatih-tatih bangsa ini, mengatasi kerusuhan,
pembakaran, perusakan, separatism, hingga penjambretan, penodong dan berbagai bentuk
kriminalitas yang tak terkendali oleh aparat.
2.2.3 Penyimpangan-penyimpangan pada masa Orde Baru
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam mengendalikan pemerintahan,
muncul suatu keinginan untuk terus menerus mempertahankankekuasaannya atau status quo. Hal
ini menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakinjauh dari tekad awal Orde Baru tersebut.
Akhirnya penyelewengan dan penyimpangandari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan
yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Adapun beberapa
penyelewengan yang dilakukanpada masa pemerintahan orde baru yang menyebabkan terjadinya
beberapa krisis yangmelanda negara indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Krisis Politik
Dalam UUD 1945 Pasal 2 telahdisebutkan bahwa “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan
dilaksanakan sepenuhnya olehMPR”. Pada dasarnya secara de jore (secara hukum) kedaulatan
rakyat tersebut dilakukanoleh MPR sebagai wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam
kenyataannya)anggota MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR
itudiangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme)
Gerakan reformasi menuntut agar dilakukan pembaharuan terhadap lima paket undang-undang
politik yang dianggap menjadi sumber ketidakadilan, di antaranya :
 UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
 UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas danWewenang DPR /MPR
 UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
 UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul tekananpada kepemimpinan Presiden
Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan kalanganintelektual.
Berikut adalah petikan pidato pengunduran diri Soeharto:
"Sejak beberapa waktu terakhir, saya mengikuti dengan cermat perkembangan situasi nasional
kita, terutama aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa
dan bernegara. Atas dasar pemahaman saya yang mendalam terhadap aspirasi tersebut dan
terdorong oleh keyakinan bahwa reformasi perlu dilaksanakan secara tertib, damai, dan
konstitusional.
Demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kelangsungan pembangunan nasional,
saya telah menyatakan rencana pembentukan Komite Reformasi dan mengubah susunan Kabinet
Pembangunan VII. Namun demikian, kenyataan hingga hari ini menunjukkan Komite Reformasi
tersebut tidak dapat terwujud karena tidak adanya tanggapan yang memadai terhadap rencana
pembentukan Komite tersebut.
Dalam keinginan untuk melaksanakan reformasi dengan cara sebaik-baiknya tadi, saya menilai
bahwa dengan tidak dapat diwujudkannya Komite Reformasi, maka perubahan susunan Kabinet
Pembangunan VII menjadi tidak diperlukan lagi...
Mulai hari ini pula Kabinet Pembangunan VI demisioner dan kepada para menteri saya ucapkan
terima kasih. Oleh karena keadaan tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan pengucapan
sumpah di hadapan DPR, maka untuk menghindari kekosongan pimpinan dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara, kiranya saudara wakil presiden sekarang juga akan
melaksanakan sumpah jabatan presiden di hadapan Mahkamah Agung RI."
Sesaat kemudian, Presiden Soeharto menyerahkan pucuk pimpinan negeri kepada Prof Dr
Ing BJ Habibie. Setelah melaksanakan sumpah jabatan, akhirnya BJ Habibie resmi memangku
jabatan presiden ke-3 RI. Ucapan selamat datang mulai dari mantan Presiden Soeharto, pimpinan
dan wakil-wakil pimpinan MPR/DPR, para menteri serta siapa saja yang turut dalam pengucapan
sumpah jabatan presiden ketika itu
2. Krisis Moneter
Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie. Pada pertengahan
1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia, disertai kemarau terburuk dalam 50
tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah
jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang
awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak
kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR,
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa
bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi
presiden ketiga Indonesia.
Pada masa Orde Baru, perekonomian lebih menberikan kentungan bagikaum modal atau
konglomerat. Hal tersebut adalah wujud dari prakti-praktik KKN yangmengakibatkan rakyat
semakin miskin dan tidak berdaya. Berikut adalah krisis ekonomi:
a) Kurs rupiah terhadap dolar Amerika melemah pada tanggal 1Agustus 1997.
b) Pemerintah melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir tahun1997.
c) Pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional(BPPN) yang mengawasi empat
puluh bank bermasalah.
d) Kepercayaan Internasion`l terhadap Indonesia menurun.
e) Perusahaan milik negara dan swasta banyak yang tidak dapatmembayar utang luar negeri yang
akan dan telah jatuh tempo.
f) Angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat karenabanyak perusahaan yang melakukan
efisisensi atau menghentikan kegiatansama sekali.
g) Persediaan barang nasional, khususnya sembilan bahanpokok di pasaran mulai menipis pada
akhir tahun 1997.
Untuk mengatasi kesulitan moneter tersebut, pemerintah meminta bantuan dana
pembangunan dari institusi nasional, yaitu International Monetory Fund ( IMF ).Pada tanggal 15
Januari 1998 di jalan Cendana Jakarta, Presiden Soehartomenandatangani 50 butir Letter Of
Intent ( Lol ) yang disaksikan oleh Direktur IMF Asia,Michel Camdessus, sebagai sebuah syarat
untuk mendapatkan kucuran dana bantuan luar negeri tersebut.Faktor yang menyebabkan krisis
ekonomi di Indonesia adalah masalah utangluar negeri, penyimpangan terhadap pasal 33 UUD
1945, dan pola pemerintahan yang sentralistik.
a. Utang Luar Negeri Indonesia
Utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang negara,tetapi sebagian
merupak utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan negara hingga 6Februari 1998 mencapai
63,462 miliar dolar Amerika Serikat, sedangkan utang pihak swasta mencapai 73,962 miliar
dolar Amerika Serikat. Ketika terjadi krisis moneter tahun1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat merosot tajam, bahkan sempatmencapai Rp 16.000,00. akibat dari utang-utang
tersebut, maka kepercayaan luar negeriterhadap Indonesia semakin menipis. Para pedagang luar
negeri tidak percaya lagitergadap importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu
membayar barangdagangan. Hampir semua negara luar tidak mau menerima Letter Of Credit (
L/C ) dariIndonesia.
b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde Baru sudah jauhmenyimpang dari
sistem perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD 1945 tercantumbahwa dasar demokrasi
ekonomi , produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawahpimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatditafsirkan bukan merupakan
kemakmuran orang per orang, melainkan kemakmuranseluruh masyarakat dan bangsa Indonesia
berdasarkan atas asas kekeluargaan.Perekonomian berdasarkan asas demokrasi ekonomi
bertujuan untuk menciptakankemakmuran bagi semua orang. Oleh karena itu, cabang-cabang
produksi yang pentingdan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.
Jika tidak maka akan jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan akan merugikan rakyat.
Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945
dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari
Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang
Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan pasal 33 UUD 1945
yang memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancur hutan dan sumber alam kita.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan
Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil
di masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat
pendidikan yang masih rendah.

Adapun bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara
lain:
1. Terjadi pemusatan kekuasaan di tangan presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara
otoriter
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan
pemerintah (presiden)
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan
kekuasaan presiden, sehingga presiden terus menerus dipilih kembali
4. Terjadi monopol penafsiran Pancasila. Pancasila ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk
membenarkan tindakan – tindakannya.
5. Pembatasan hak hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat
6. Pemerintah campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak
merdeka
7. Pembentukan lembaga lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu Kopkamtib yang
kemudian menjadi Bakorstanas
8. Terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme yang luar biasa parahnya sehingga merusak segala aspek
kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multidimensi
9. monopoli, oligopoli, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.

c. Pola Pemerintahan Sentralistik


Pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan sistem pemerintahanbersifat sentralistis,
artinya semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara di atur secara sentral dari pusat
pemerintah ( Jakarta ), sehingga peranan pemerintah pusat sangatmenentukan dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat.Pelaksanaan politik sentralisasi ini sangat terlihat pada bidang
ekonomi,sebagian besar kekayaan daerah dibawa ke pusat dan pemerintah daerah tidak
dapatberbuat banyak karena dominasi pusat terhadap daerah sangat kuat. Hal
tersebutmenimbulkan ketidakpuasan pemerintah dan rakyat di daerah terhadap pemerintah
pusat.Krisis moneter dan ekonomi semakin meluas dan menjadi krisismultidimensional. Di
tengah situasi yang semakin melemahnya nilai rupiah, aksi massa,aksi buruh, dan aksi
mahasiswa terjadi dimana-mana. Mereka menuntut agar pemerintahsegera mengadakan
pemulihan ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagiada PHK dan lain-lain.
1. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak ketidakadilan.
Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum
juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang
hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang
sebenarnya.
2. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah
mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4Mei 1998. Puncak
aksi para mahasiswa terjadi tanggal 12 Mei 1998 di UniversitasTrisakti Jakarta. Aksi mahasiswa
yang semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasansetelah tertembaknya empat orang
mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, HeriHartanto, Hendriawan Lesmana, dan
Hafidhin Royan.Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari kalangan
kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang dipandang tidak
demokratis dan tidak merakyat.Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat
agar PresidenSoeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan. Rencana
kunjunganmahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan dialog dengan para pimpinan
DPR /
MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal
digedung wakil rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan
para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diriakhirnya
mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka padatanggal 18 Mei
1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar PresidenSoeharto mengundurkan
diri.Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh
masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden mengumumkan tentang pembentukanDewan
Reformasi, melakukan perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umumdan tidak bersedia
dicalonkan kembali sebagai Presiden.Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan
Reformasi danperubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
PresidenSoeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti sebagai Presiden Republik
Indonesiadan menyerahkan Jabatan Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia,
B.J.Habibie dan langsung diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai PresidenRepublik
Indonesia yang baru di Istana Negara
3. Krisis Sosial
Pada masa akhir pemerintahan Orde Baru, Indonesia mengalami gejolak politik yang tinggi
baik di tatanan pemerintahan maupun ditingkat pergerakan rakyat danmaahsiswa.Suhu politik
yang memanas menimbulkan berbagai potensi perpecahan sosialdi masyarakat.Pola transmigrasi
yang diterapkan oleh pemerintah tidak diiringi denganpenanganan solidaritas sosial di daerah
tujuan. Pada akhirnya kecemburuan sosial akibatadanya disparitas tingkat perekonomian tidak
daapt dihindari. Kondisi inilah yangkemudian memicu tuntutan kepada pemerintah pusat untuk
mereformasi polapembangunan ekonomi. Tuntutan inilah yang kemudian memunculkan
kesadaranmasyarakat Indonesia akan pentingnya reformasi bagi kehidupan bangsa.
2.3 Era Reformasi
2.3.1 perkembangan politik dan ekonomi pada masa reformasi
1. Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama dengan tatanan
perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada
tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama
perbaikan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan hukum. Buah perjuangan dari reformasi itu
tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat, namun membutuhkan proses dan waktu. Masalah
yang sangat mendesak, adalah upaya untuk mengatasi kesulitan masyarakat banyak tentang
masalah kebutuhan pokok (sembako) dengan harga yang terjangkau oleh rakyat. Sementara itu,
melihat situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat
menjadi semakin kritis menyatakan pemerintah Orde Baru tidak berhasil menciptakan kehidupan
masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Oleh karena itu, munculnya gerakan reformasi
bertujuan untuk memperbaharui tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan para mahasiswa anatara lain sebagai berikut :
• Adili Soeharto dan kroni-kroninya.
• Amandemen UUD 1945
• Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
• Otonomi daerah yang seluas-luasnya
• Supremasi hukum
• Pemerintahan yang berisi dari KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

2. Kronologi Reformasi

Pada awal bulan Maret 1998 melalui Sidang Umum MPR, Soeharto terpilih kembali
menjadi Presiden Republik Indonesia, serta melaksanakan pelantikan Kabinet Pembangunan VII.
Namun pada saat itu semakin tidak kunjung membaik. Perekonomian mengalami kemerosotan
dan masalah sosial semakin menumpuk. Kondisi dan siutasi seperti ini mengundang keprihatinan
rakyat. Mamasuki bulan Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak
menggelar demostrasi dan aksi keprihatinan yang menuntut turunya Soeharto dari kursi
kepresidenannya. Pada tanggal 12 Mei 1998 dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas
Trisakti, terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan tertembaknya empat
mahasiswa hingga tewas. Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa dari berbagai
perguruan tinggi di Jakarta dan sekitarnya berhasil menduduki Gedung DPR/MPR. Pada tanggal
itu pula di Yogyakarta terjadi peristiwa bersejarah. Kurang lebih sejuta umat manusia berkumpul
di alun-alun utara kraton Yogyakarta untuk mndengarkan maklumat dari Sri Sultan Hamengku
Bowono X dan Sri Paku Alam VII. Inti isi dari maklumat itu adalah menganjurkan kepada
seluruh masyarakat untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tanggal 20 Mei
1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk dimintai
pertimbangannya membentuk Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto,
namun mengalami kegagalan. Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana
Negara, Presiden Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan
beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie untuk
menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah
Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J.
Habibie sebagai presiden yang ke-3.

2.3.2 Perkembangan politik setelah 21 mei 1998


1. Pengangkatan Habibie Menjadi Presiden Republik Indonesia
Setelah B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei
1998. Tugas Habibie menjadi Presiden menggantikan Presiden Soeharto sangatlah berat yaitu
berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997.
Habibie yang manjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba
parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Langkah-langkah yang dilakukan oleh
Habibie adalah berusaha untuk dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Untuk menjalankan
pemerintahan, Presiden Habibie tidak mungkin dapat melaksanakannya sendiri tanpa dibantu
oleh menteri-menteri dari kabinetnya. Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia
yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi
Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-
unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, dan PDI. Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Habibie
berusaha keras untuk melakukan perbaikan. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintahan
Habibie untuk meperbaiki perekonomian Indonesia antaranya:
 Merekapitulasi perbankan
 Merekonstruksi perekonomian Indonesia.
 Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
 Manaikan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat hingga di bawah sepuluh ribu rupiah
 Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
Presiden Habibie sebagai pembuka sejarah perjalanan bangsa pada era reformasi
mangupayakan pelaksanaan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan serta merencanakan
pelaksanaan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pemilihan
umum yang akan diselenggarakan di bawah pemerintahan Presiden Habibie merupakan
pemilihan umum yang telah bersifat demokratis. Habibie juga membebaskan beberapa
narapidana politik yang ditahan pada zaman pemerintahan Soeharto. Kemudian, Presiden
Habibie juga mencabut larangan berdirinya serikat-serikat buruh independent.
2. Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Pada masa pemerintahan Habibie, orang bebas mengemukakan pendapatnya di muka
umum. Presiden Habibie memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin menyampaikan pendapat,
baik dalam bentuk rapat-rapat umum maupun unjuk rasa atau demontrasi. Namun khusus
demontrasi, setiap organisasi atau lembaga yang ingin melakukan demontrasi hendaknya
mendapatkan izin dari pihak kepolisian dan menentukan tempat untuk melakukan demontrasi
tersebut. Hal ini dilakukan karena pihak kepolisian mengacu kepada UU No.28 tahun 1997
tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun, ketika menghadapi para pengunjuk rasa, pihak
kepolisian sering menggunakan pasal yang berbeda-beda. Pelaku unjuk rasa yang di tindak
dengan pasal yang berbeda-beda dapat dimaklumi karena untuk menangani penunjuk rasa belum
ada aturan hukum jelas. Untuk menjamin kepastian hukum bagi para pengunjuk rasa,
pemerintahan bersama (DPR) berhasil merampungkan perundang-undangan yang mengatur
tentang unjuk rasa atau demonstrasi. adalah UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Adanya undang – undang tersebut menunjukkan
bahwa pemerintah memulai pelaksanaan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Namun
sayangnya, undang-undang itu belum memasyarakat atau belum disosialisasikan dalam
kehidupan masarakat. Penyampaian pendapat di muka umum dapat berupa suatu tuntutan, dan
koreksi tentang suatu hal.
3. Masalah Dwifungsi ABRI
Menanggapi munculnya gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI menyusul turunnya
Soeharto dari kursi kepresidenan, ABRI melakukan langkah-langkah pembaharuan dalam
perannya di bidang sosial-politik.Setelah reformasi dilaksanakan, peran ABRI di Perwakilan
Rakyat DPR mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 orang menjadi 38 orang. Langkah lain
yang di tempuh adalah ABRI semula terdiri dari empat angkatan yaitu Angkatan Darat, Laut, dan
Udara serta Kepolisian RI, namun mulai tanggal 5 Mei 1999 Polri memisahkan diri dari ABRI
dan kemudian berganti nama menjadi Kepolisian Negara. Istilah ABRI pun berubah menjadi
TNI yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
4. Reformasi Bidang Hukum
Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie dilakukan reformasi di bidang hukum
Reformasi hukum itu disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tindakan
yang dilakukan oleh Presiden Habibie untuk mereformasi hukum mendapatkan sambutan baik
dari berbagai kalangan masyarakat, karena reformasi hukum yang dilakukannya mengarah
kepada tatanan hukum yang ditambakan oleh masyarakat.Ketika dilakukan pembongkaran
terhadapat berbagai produksi hukum atau undang-undang yang dibuat pada masa Orde Baru,
maka tampak dengan jelas adanya karakter hukum yang mengebiri hak-hak. Selama
pemerintahan Orde Baru, karakter hukum cenderung bersifat konservatif, ortodoks maupun
elitis. Sedangkan hukum ortodoks lebih tertutup terhadap kelompok-kelompok sosial maupun
individu didalam masyarakat. Pada hukum yang berkarakter tersebut, maka porsi rakyat
sangatlah kecil, bahkan bias dikatakan tidak ada sama sekali. Oleh karena itu, produk hukum dari
masa pemerintahan Orde Baru sangat tidak mungkin untuk dapat menjamin atau memberikan
perlindungan terhadap Hak-hak Asasi Manusia (HAM), berkembangnya demokrasi serta
munculnya kreativitas masyarakat.
5. Sidang Istimewa MPR
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, telah dua kali lembaga tertinggi Negara
melaksanakan Sidang Istimewa, yaitu pada tahun 1967 digelar Sidang Istimewa MPRS yang
kemudian memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto menjadi Presiden
Rebuplik Indonesia. Kemudian Sidang Istimewa yang dilaksanakan antara tanggal 10 – 13
Nopember 1998 diharapkan MPR benar-benar menyurahkan aspirasi masyarakat dengan
perdebatan yang lebih segar, lebih terbuka dan dapat menampung, aspirasi dari berbagai
kalangan masyarakat. Hasil dari Sidang Istimewa MPR itu memutuskan 12 Ketetapan.
6. Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilihan Umum yang dilaksanakan tahun 1999 menjadi sangat penting, karena pemilihan
umum tersebut diharapkan dapat memulihkan keadaan Indonesia yang sedang dilanda
multikrisis. Pemilihan umum tahun 1999 juga merupakan ajang pesta rakyat Indonesia dalam
menunjukkan kehidupan berdemokrasi. Maka sifat dari pemilihan umum itu adalah langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Presiden Habibie kemudian menetapkan tanggal 7 Juni
1999 sebagai waktu pelaksanaan pemiliahan umum tersebut. Selanjutnya lima paket undang-
undang tentang politik dicabut. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang
politik baru. Ketiga udang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Februari 1999 dan ditandatangani
oleh Presiden Habibie. Ketiga udang-udang itu antara lain undang-undang partai politik,
pemilihan umum, susunan serta kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Munculnya undang-undang
politik yang baru memberikan semangat untuk berkembangnya kehidupan politik di Indonesia.
Dengan munculnya undang-undang politik itu partai-partai politik bermunculan dan bahkan tidak
kurang dari 112 partai politik telah berdiri di Indonesia pada masa itu. Namun dari sekian banyak
jumlahnya, hanya 48 partai politik yang berhasil mengikuti pemilihan umum. Hal ini disebabkan
karena aturan seleksi partai-partai politik diberlakukan dengan cukup ketat. Pelaksanaan
pemilihan umum ditangani oleh sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Anggota KPU terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah dan wakil-wakil dari partai-partai politik
peserta pemilihan umum. Banyak pengamat menyatakan bahwa pemilihan umum tahun 1999
akan terjadi kerusuhan, namun pada kenyataannya pemilihan umum berjalan dengan lancar dan
aman. Setelah penghitungan suara berhasil diselesaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),
hasilnya lima besar partai yang berhasil meraih suara-suara terbanyak di anataranya PDI
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan pembangunan, Partai Pembangkitan Bangsa, Partai
Amanat Nasional. Hasil pemilihan umum tahun 1999 hingga saat terakhir pengumuman hasil
perolehan suara dari partai-partai politik berjalan dengan aman dan dapat di terima oleh suara
partai peserta pemilihan umum.
7. Sidang Umum MPR Hasil Pemilihan Umum 1999
Setelah Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR,
maka MPR segera melaksanakan sidang. Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak
tanggal 1 – 21 Oktober 1999. Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi Ketua
MPR dan Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR. Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII,
pidato pertanggung jawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting
dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah. Akibat penolakan
pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi Presiden Republik
Indonesia. Akibatnya memunculkan tiga calon Presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang
ada di MPR pada tahap pencalonan Presiden diantaranya Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
Megawati Soekarnoputri, dan Yuhsril Ihza Mahendra. Namun tanggal 20 Oktober 1999, Yuhsril
Ihza Mahendra mengundurkan diri. Oleh karena itu, tinggal dua calon Presiden yang maju dalam
pemilihan itu, Abdurrahaman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Dari hasil pemilihan presiden
yang dilaksanakan secara voting, Abudurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik
Indonesia. Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan Wakil Presiden dengan
calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan Wakil Presiden ini kemudian
dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri. Kemudian pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden
Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri berhasil membentuk Kabinet
Persatuan Nasional. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menduduki jabatan sebagai Presiden
Republik Indonesia tidak sampai pada akhir masa jabatanya. Akibat munculya ketidakpercayaan
parlemen pada Presiden Abdurrahman Wahid, maka kekuasaan Abdurrahman Wahid berakhir
pada tahun 2001. DPR/MPR kemudian memilih dan mengangkat Megawati Soekarnoputri
sebagai Presiden Republik Indonesia dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia. Masa
kekuasaan Megawati berakhir pada tahun 2004. Pemilihan Umum tahun 2004 merupakan
momen yang sangat penting dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia. Untuk pertama
kalinya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia.
Pada pemilihan umum ini Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2004-
2009.

2.4 Perbandingna antar rezim dalam menafsirkan Pancasila


2.4.1 Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Orde Lama

Pada masa orde lama, pancasila ditafsirkan berdasarkan dinamika politik yang berkembang
pada sistem internasional yang didominasi isu pergolakan ideologi. Di lain hal, sistem politik dan
kondisi domestik Indonesia dihadapkan pada situasi transisi masa terjajah menuju masa merdeka.
Dapat dikatakan bahwa, masa orde lama merupakan masa pencarian bentuk implementasi nilai-
nilai pancasila. Dalam orde lama, penafsiran pancasila dapat dibagi ke dalam 3 periode yang
berbeda yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
 Periode 1945-1950
Penafsiran pancasila di periode ini lebih terlihat dalam hal membangun nasionalisme
bangsa dalam melawan penjajahan Belanda. Akan tetapi dalam perkembangannya, implementasi
pancasila belum menemukan bentuk yang stabil akibat pergolakan politik dan gelombang
pertarungan ideologi. Terdapat upaya-upaya untuk mengganti pancasila sebagai ideologi dengan
faham komunisme oleh PKI di tahun 1948 dan DI/TII yang akan mendirikan negara dengan
dasar islam. Diterapkannya demokrasi parlementer dalam periode ini, menimbulkan instabilitas
pemerintahan dimana walaupun konstitusi yang digunakan adalah pancasila dan UUD 1945 yang
presidensil, akan tetapi praktek kenegaraan presidensil tak dapat terwujudkan. Dalam hal
kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah tidak dapat dilaksanakan.
 Periode 1950-1959
Pada periode ini, pancasila ditafsirkan sebagai ideologi liberal. Walaupun pancasila
sebagai dasar negara, sila keempat tidak berjiwakan musyawarah melainkan suara terbanyak atau
voting. Hal ini disebabkan karena sistem pemerintahan liberal yang menekankan hak-hak
individual. Para peridoe ini, stabilitas keamanan dihadapkan pada munculnya pemberontakan
RMS, PRRI dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik,
terlaksananya pemilu 1955 menjadi bukti keberhasilan demokrasi pada saat itu. Akan tetapi,
keberhasilan pemilu tersebut tidak disertai dengan keberhasilan anggota Konstituante dalam
menyusun UUD sehingga terjadi tarik ulur kekuasaan presiden dan parlemen.
 Periode 1959-1966
Periode ini dikenal dengan periode demokrasi terpimpin. Penafsiran pancasila tidak
diarahkan pada kekuasaan rakyat yang berlandaskan demokrasi, akan tetapi kekuasaan penuh
seorang pribadi Soekarno. Konsekuensinya, terjadi banyak penyimpangan terhadap penafsiran
pancasila di parlemen. Pemerintahan Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup dan penerapan politik konfrontasi. Hal ini menimbulkan distrust dan kemerosotan
moral pancasila di masyarakat. Pada periode ini, Soekarno menafsirkan pancasila dengan
paradigma USDEK yang memegang teguh UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi
terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Ketuhanan yang maha esa. Di masa demokrasi terpimpin,
Soekarno berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki bargaining position di
mata internasional dan mampu menjaga integritas wilayah dan semangat kebangsaan. Dapat
disimpulkan bahwa dalam periode ini, pancasila ditafsirkan sebagai ideologi otoriter yang tidak
memberikan ruang demokrasi bagi rakyat.

2.4.2 Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Orde Baru


Penafsiran pancasila di awal era orde baru diarahkan pada penafsiran pancasila secara
murni dan akomodatif sebagai kritik terhadap orde lama yang melakukan penyimpangan
terhadap pancasila. Pada masa ini, indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi,
sistem internasional diliputi dengan perang dingin dan di sisi lain, kondisi domestik mengalami
krisis ekonomi dan politik. Dalam perkembangannya, upaya Soeharto dalam menghadapi hal
tersebut dengan menerapkan paradigma berlandaskan pancasila yang esensinya adalah
menegakkan stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Pemahaman
pancasila di era Soeharto terlihat dalam konsep P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Hal ini terefleksikan dalam istilah
stabilitas politik yang dinamis dengan trilogi pembangunan. Paradigma ini tentunya didasarkan
pada pengalaman era orde lama yang dinilai memiliki banyak ketimpangan. Perencanaan dan
konseptualisasi kebijakan di awal era orde baru yang dilandaskan pada pancasila menunjukkan
semangat idealisme untuk memperbaiki tatanan pemerintahan.
Dalam pengamalan pancasila, konsep P4 Soeharto memunculkan harapan baru akan
adanya pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi, dalam perkembangannya, kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sering kali menyimpang dari jiwa pancasila. Walaupun
kesejahteraan rakyat meningkat dan Indonesia memiliki bargaining position di mata dunia
internasional, tetapi kondisi politik dan keamanan domestik menjadi rentan akibat pemerintahan
Soeharto yang sentralistik dan otoriter. Hal ini menyebabkan konflik internal dalam negeri.
Konsekuensinya, demokrasi tidak berjalan dan terjadi berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh aparat pemerintah untuk menekan daya kritis masyarakat terhadap pemerintah.
Dalam penafsirannya terhadap pancasila, Soeharto menjadikan pancasila sebagai doktrin untuk
melegitimasi segala bentuk kebijakan dan upaya untuk mempertahankan kekuasaan. Pancasila
dijadikan sebagai ideologi tertutup yang tidak memberikan ruang bagi kebebasan untuk
berekspresi. Dengan kata lain, pancasila dikeramatkan sebagai landasan stabilitas nasional.
Pancasila di era orde baru ditafsirkan sebagai ideologi yang menguntungkan satu golongan saja
yaitu kekuasaan pemerintah. Pancasila dikeramatkan sebagai fondasi stabilitas nasional dan
legitimator dari segala kebijakan pemerintah era orde baru.

2.4.3 Penafsiran Nilai-nilai Pancasila di Era Reformasi


Era reformasi muncul sebagai koreksi terhadap orde lama yang melakukan banyak
penyimpangan terhadap pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Era reformasi
menjadi era keterbukaan bagi masyarakat. Jaminan atas hak-hak masyarakat mulai
dikembangkan. Rakyat memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berserikat. Hal ini ditandai
dengan maraknya kemunculan LSM, partai politik dan organisasi lainnya. Penegakan hukum
dianggap lebih akomodatif dibandingkan orde baru. Akan tetapi, dalam perkembangannya
pemerintahan yang berjalan tidak efektif sehingga masih ada kerancuan dalam fungsi
kenegaraan. Selain itu, walaupun kebebasan telah menjadi jaminan dalam masyarakat, isu
etnisitas mencuat di berbagai daerah. Semangat primordialisme berkembang menjadi konflik
etnis yang menjadi ancaman politik dan keamanan negara. Benturan antar agama, antar suku dan
antar kelompok lainnya menjadi bagian dari hal tersebut. Terjadi eskalasi kriminalitas yang
berpotensi pada kekerasan sebagai penyelesaian masalah.
Kondisi ini tentunya menjadi refleksi dari degradasi pemahaman pancasila sebagai dasar,
falsafah dan ideologi negara. Kelima sila dari pancasila tentunya menekankan persatuan bangsa
tanpa adanya sekat-sekat primordialisme yang berpotensi pada perpecahan. Bhineka tunggal ika
yang menjadi sintesis pancasila mendorong terciptanya toleransi dan apresiasi terhadap segala
perbedaan menuju masyarakat multikultural. Selain itu dalam kerangka historisnya, lahirnya
pancasila didasarkan pada adanya acceptance (penerimaan) terhadap beragamnya etnis tanpa ada
kelompok superior di dalamnya. Permasalahan etnisitas di era reformasi ditandai dengan
munculnya gerakan disintegritas di Aceh, Maluku, Timur Timor dan Papua. Kompleksitas ethnic
relations ini tentunya menjadi tantangan di era reformasi.
Era reformasi yang memunculkan empat masa kepresidenan Indonesia memiliki
kecenderungan yang sama dalam menafsirkan pancasila yaitu pancasila hanya sebatas
pendekatan retorika politik. Era pemerintahan Habibie menafsirkan pancasila sebagai pendekatan
retorika politik, khususnya Bhineka Tunggal Ika dalam meredam konflik domestik yang ada.
Dengan kata lain, pancasila lebih ditafsirkan sebagai ideologi untuk mempersatukan bangsa
dengan berupaya menggalang dukungan inernasional. Tidak jauh berbeda dengan hal tersebut,
pemerintahan Gusdur dan Megawati Soekarno Putri memiliki arah yang sama dalam memandang
pancasila jika dikaitkan dengan intensitas konflik internal negara. Selain itu, salah satu yang
ditekankan dalam era pemerintahan Gusdur adalah penerapan pancasila sebagai ideologi terbuka
yang dituangkan dalam prinsip pluralisme. Gusdur mengakomodasi segala perbedaan. Hal ini
terlihat dengan adanya kebijakan mengenai pengakuan keyakinan Konghucu sebagai agama yang
diakui dalam konstitusi. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pancasila lebih
difungsikan sebagai pendekatan retorika politik dengan implementasi nilai-nilai pancasila yang
kurang efektif dan sering kali tidak akomodatif.
Degradasi pemahaman dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pancasila di era
reformasi disebabkan karena jatuhnya orde baru. Identitas pancasila disamakan dengan identitas
pemerintahan orde baru. Di zaman orde baru, pancasila adalah dewa, melebihi ideologi yang
menjadi tameng pemerintahan Soeharto. Jiwa pancasila dilekatkan pada berbagai penyimpangan
yang terjadi di era orde baru, terutama adanya pembatasan kebebasan bagi masyarakat. Selain
itu, pengaruh globalisasi dipersepsikan sebagai nilai-nilai baru dalam masyarakat sehingga ada
upaya untuk menggantikan nilai-nilai pancasila dan mengaburkan penafsiran masyarakat
terhadap pancasila itu sendiri yang juga dipengaruhi euforia kebebasan berekspresi. Dengan kata
lain, pancasila ditafsirkan hanya sebatas pendekatan retorika politik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Orde lama merupakan konsep yang di pergunakan untuk menyebut suatu periode
pemerintahan yang ditandai dengan berbagai penyimpangan terhadap pancasila dan UUD 1945.
Orde ini juga ditandai dengan dua bentuk demokrasi, yaitu Demokrasi Liberal dan Demokrasi
Terpimpin.
Demokrasi liberal di mulai pada tahun 1950-1959 dalam sistem demokrasi ini, partai-partai
besar seperti Masyumi, PNI dan PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam pemerintahan.
Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen (Dewan Perwakilan
Rakyat) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai besar berdasarkan UUDS 1950. Kemudian
dilanjutkan dengan demokrasi yang baru yang dilatar belakangi banyak Kekacauan terus
menerus dalam kesatuan Negara Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya
pertentangan terjadi dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem demokrasi liberal.
Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu tersebut memaksa untuk
dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku presiden memperkenalkan
konsep kepemimpinan baru yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Tonggak bersejarah di
berlakukannya sistem demokrasi terpimpin adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal
pokok yang membedakan antara sistem Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin adalah
kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen memiliki kewenangan yang terbesar
terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi
Terpimpin presiden memiliki kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan. Dalam Demokrasi
Terpimpin presiden mendapat dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan
Komunis. Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya.
Pada akhirnya kekuasaan Soekaro itu mulai runtuh semenjak PKI melakukan
pemberontakan dengan melakukan pembunuhan kepada enam jendral dan satu orang yang
berpangkat lettu, dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, PKI telah dua kali menghianati negara
(1948 dan 1965), bangsa dan dasa negara Pancasila. Atas dasar itulah rakyat menghendaki agar
PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang dan kemudian munculah wacana yang
disebut Tritura yang intinya pembubaran PKI dan menurunkan harga pangan.
Akhirnya pada tanggal 11 meret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah
yang dikenal dengan SUPERSEMAR yang menjadi toggak sejarah lahirnya Orde Baru.
Orde baru merupakan konsep yang dipergunakan untuk menyebut suatu kurun waktu
pemerintahan yang ditandai dengan keinginan untuk melaksanakan pancasila secara murni dan
konsekuen. pemerintah Orde Baru pada saat pembentukannya memperlihatkan adanya
kesejajaran. Dalam artian, mengenai kebijakan politik yang ada tidak lagi diserahkan pada peran
politis dan ideology, melainkan pada para teknokrat yang ahli. Sejalan dengan dasar empirik
sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan
politik di dalam Negara dan masyarakat, sebelumya pada Era Orde Lama kita tahu bahwa pusat
kekuasaan ada di tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran
pusat kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Banyak pula
krisis yang terjadi disana-sini yang terjadi dalam pemerintahan orde baru mulai dari krisis
politik, krisis moneter, krisis hukum dan krisis kepercayaan serta krisis sosial dan karena terjadi
banyak krisis ini mengantarkan Pemerintahan Orde Baru ke runtuhan yang pada akhirnya di
gulingkan oleh rakyat.
Setelah itu munculah Orde reformasi, yaitu Reformasi merupakan suatu perubahan
tatanan perikehidupan lama dengan tatanan perikehidupan yang baru dan secara hukum menuju
ke arah perbaikan. Gerakan reformasi, pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan untuk
mengadakan pembaharuan dan perubahan, terutama perbaikan dalam bidang politik, sosial,
ekonomi, dan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Budiarjo Miriam. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Joeniarto, S.H. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta. Bumi Aksara
M.C Ricklefs. 1989. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta. Gadjah Mada Universiti Press.
Soegito AT dkk. 2012. Pendidikan Pancasila. Semarang. Unnes Press.

You might also like