You are on page 1of 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Material Penyusun dan Peralatan Pekerjaan


a. Beton
Beton adalah suatu campuran yang terdiri dari pasir,
kerikil, batu pecah atau agregat-agregat lain yang
dicampur menjadi satu dengan pasta yang terbuat dari
semen dan air membentuk suatu massa mirip batuan,
terkadang ada satu atau lebih bahan aditif ditambahkan
untuk menghasilkan beton dengan karakteristik tertentu,
seperti kemudahan pengerjaan (workability), durablitas,
dan waktu pengerasan (McCormac, 2003). Beton memiliki
kuat tekan yang tinggi dan kuat tarik yang rendah,
sedangkan baja memiliki kuat tarik yang tinggi dan kuat
tekan yang rendah, maka digabungkan menjadi beton
bertulang. Beton bertulang adalah kombinasi antara beton
dengan baja dimana tulangan baja berfungsi menyediakan
kuat tarik yang tidak dimiliki beton.
b. Semen
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 3 menyatakan bahwa
material sementisius harus memenuhi salah satu dari
ketentuan berikut:
1. Semen portland: ASTM C150M
2. Semen hidrolis blended: ASTM C595M kecuali tipe IS
(≥ 70), yang tidak diperuntukkan sebagai unsur
pengikat utama beton struktural
3. Semen hidrolis ekspansif: ASTM C845
4. Semen hidrolis: ASTM C1157M
5. Abu terbang (fly ash) dan pozzolan alami: ASTM C618
6. Semen slag: ASTM C989
7. Silica fume: ASTM C1240

5
6

c. Agregat
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 3 menyatakan bahwa
agregat beton harus memenuhi salah satu dari ketentuan
berikut:
1. Agregat normal: ASTM C33M
2. Agregat ringan: ASTM C330M
Perkecualian: agregat yang telah terbukti melalui
pengujian atau penggunaan nyata dapat menghasilkan
beton dengan kekuatan dan keawetan yang baik dan
disetujui oleh instansi tata bangunan.
Ukuran maksimum nominal agregat kasar halus
tidak melebihi:
1. 1/5 jarak terkecil antara sisi cetakan
2. 1/3 ketebalan slab
3. 3/4 jarak bersih minimum antara tulangan atau
kawat, bundel tulangan, atau tendon prategang, atau
selongsong.
d. Air
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 3 menyatakan bahwa
air yang digunakan pada campuran beton harus bersih
dari bahan-bahan merusak yang mengandung oli, asam,
alkali, garam, bahan organik, atau bahan-bahan lainnya
yang merugikan terhadap beton atau tulangan.
e. Baja Tulangan
Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 3 menyatakan bahwa
baja tulangan dibagi menjadi 2 (dua) jenis antara lain:
1. Baja Tulangan Beton Polos (BJTP)
Baja tulangan beton polos adalah batang baja yang
sisi luarnya rata, tidak bersirip, dan tidak berukir.
Tulangan polos biasanya digunakan untuk tulangan
geser atau begel atau sengkang, dan mempunyai
tegangan leleh (fy) minimal sebesar 240 MPa (disebut
7

BJTP-24), dengan ukuran ø 6, ø 8, ø 10, ø 12¸ ø 14, dan ø


16 (dengan ø adalah simbol yang menyatakan diameter
tulangan polos).
2. Baja Tulangan Beton Ulir (BJTD)
Baja tulangan beton ulir adalah batang baja yang
permukaan sisi luarnya tidak rata, tetapi bersirip atau
berukir. Tulangan beton ulir digunakan untuk
tulangan longitudinal atau tulangan memanjang, dan
mempunyai tegangan leleh (fy) minimal 300 MPa
(disebut BJTD-30). Ukuran diameter nominal tulangan
ulir yang umumnya tersedia di pasaran yaitu D10, D13,
D16, D19, D22, D25, D29, D32, D36.
f. Bekisting ( formwork )
Bekisting atau formwork adalah cetakan
sementara yang digunakan untuk menahan beton selama
beton dituang dan dibentuk sesuai dengan bentuk yang
diinginkan. Dikarenakan berfungsi sebagai cetakan
sementara, bekisting akan dilepas atau dibongkar apabila
beton yang dituang telah mencapai kekuatan yang cukup.
(Stephens, 1985).
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan
pada pemakaian bekisting dalam suatu pekerjaan
konstruksi beton yaitu aspek pertama adalah kualitas
bekisting yang akan digunakan harus tepat dan layak
serta sesuai dengan bentuk pekerjaan struktur yang akan
dikerjakan. Permukaan bekisting yang akan digunakan
harus rata sehingga hasil permukaan beton baik; aspek
kedua adalah keamanan bagi pekerja konstruksi tersebut,
maka bekisting harus cukup kuat menahan beton agar
beton tidak runtuh dan mendatangkan bahaya bagi
pekerja sekitarnya; aspek ketiga adalah biaya pemakaian
8

bekisting yang harus direncanakan seekonomis mungkin.


(Blake, 1975).
Material bekisting terdiri dari:
1) Plywood
Berdasarkan ada tidaknya lapisan pelindung
permukaan, plywood dibagi atas dua jenis yaitu
dilapisi oleh polyfilm dan yang tidak dilapisi polyfilm.
Plywood yang dilapisi polyfilm memiliki keawetan
yang lebih tinggi sehingga dapat digunakan berulang
kali dan lebih lama dibandingkan yang tidak dilapisi
polyfilm.
2) Kayu
Dalam dunia konstruksi, kayu merupakan bahan
bekisting yang banyak digunakan pada bekisting
konvensional dimana keseluruhan bahan bekisting
dibuat dari kayu. Begitu juga dengan bekisting semi
konvensional, dimana material kayu masih banyak
digunakan meski penggunaan kayu papan telah
digantikan oleh plywood. Untuk menghasilkan hasil
beton yang sesuai dengan yang direncakan, maka
diperlukan acuan mengenai jenis kayu, sehingga
syarat kekuatan dan kekakuan kayu masih dalam
batas-batas yang diijinkan.
3) Baja Profil
Pada bekisting semi konvensional dan bekisting
sistem bahan baja profil dipakai sebagai bahan
bekisting terutama sebagai support atau sabuk pada
bekisting kolom dan dinding. Penggunaan material
ini terutama digunakan pada pekerjaan dengan
pemakaian ulangnya banyak sekali. Selain untuk
menghasilkan hasil beton yang sesuai dengan yang
direncanakan, maka diperlukan acuan mengeani
9

kekukatan material dari bahan baja, sehingga syarat


kekuatan dan kekakuan baja masih dalam batas-batas
yang diijinkan serta dengan pertimbangan faktor
ekonomis sehingga perlunya perencanaan baja
dengan metode elastis.
g. Perancah (scaffolding)
Pengertian perancah menurut Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 1 PER/MEN/1980
tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada
konstruksi bangunan, perancah atau scaffolding adalah
bangunan peralatan (platform) yang dibuat sementara dan
digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan
serta alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan
termasuk pekerjaan pemeliharaan dan pembongkaran.
Perancah adalah konstruksi dari batang bambu,
kayu, atau pipa baja yang didirikan ketika suatu gedung
sedang dibangun untuk menjamin tempat kerja yang
aman bagi tukang yang membangun gedung, memasang
sesuatu, atau mengadakan pekerjaan pemeliharaan.
(Frick, Heinz dan Setiawan, Pujo L., 2002)
h. Peralatan Konstruksi
Pada proses pelaksanaan pekerjaan konstruksi
bangunan, peralatan penunjang untuk proyek sangat
memiliki peran yang sangat penting untuk kelancaran
pekerjaan proyek (Husein A, 2012). Untuk pekerjaan
konstruksi gedung, peralatan berat yang digunakan dapat
berupa:
1. Alat-alat berat seperti bulldozer, dumptruck, motor
grader, scraper, atau backhoe biasa digunakan untuk
pekerjaan-pekerjaan berat. Tower crane digunakan
pada bangunan bertingkat untuk mengangkut
material secara vertical dan horizontal. Batching plant
10

dan truck mixer adalah tempat pabrikasi beton dan


alat angkut menuju proyek.
2. Peralatan ringan seperti mixer bar pengaduk beton
dilokasi proyek atau bar bender dan bar cutter untuk
pembengkokan dan pemotongan besi, serta perancah
untuk menopang bekisting.

B. Pengertian dan Jenis Tangga


Tangga merupakan salah satu sarana penghubung dari dua
tempat yang berbeda level atau ketinggiannya. Pada bangunan
gedung bertingkat, umumnya tangga digunakan sebagai
sarana penghubung antara lantai tingkat yang satu dengan
lantai tingkat yang lain, khususnya bagi para pejalan kaki.
(Asroni, 2010).
Untuk bangunan gedung bertingkat yang lebih dari lima
lantai, penggunaan tangga tidak efektif lagi karena sangat
melelahkan, sehingga dipakai sarana penghubung yang lain
yaitu dengan lift. Lift ini dapat bekerja atau berfungsi dengan
baik apabila ada arus listrik. Pada keadaan darurat, yaitu pada
saat arus listrik terputus oleh sesuatu sebab misalnya listrik
padam atau ada perbaikan jarinan listrik, lift tidak dapat
berfungsi lagi sehingga penyediaan fasilitas lift tersebut harus
dilengkapi dengan fasilitas tangga. Di toko-toko swalayan di
kota besar, pada saat ini banyak pula disediakan sara
penghubung antar lantai dengan tangga berjalan atau escalator,
sehingga para pengunjung tidak perlu berjalan kaki untuk naik
ke lantai tingkat di atasnya. (Asroni, 2010).
Tingkatan lantai bangunan yang perlu dihubungkan
antara lain:
1. Dari tanah ke lantai dasar (ground floor)
11

2. Dari lantai dasar ke lantai pertama (first floor) dan dari


lantai pertama ke lantai ke-dua (second floor), dari lantai ke-
dua ke lantai ke-tiga (third floor), dan seterusnya ke atas.
3. Juga dari tanah atau lantai dasar ke lantai di bawah tanah
(basement).
Secara umum, tangga dapat dibedakan menjadi lima
jenis berdasarkan bahan yang digunakan untuk membuatnya,
yaitu:
1. Tangga alumunium, umumnya digunakan untuk
pekerjaan ringan dan sederhana, misalnya: perbaikan arus
listrik di dalam rumah, pemasangan dekorasi panggung,
dan sebagainya.
2. Tangga bambu, umumnya untuk pekerjaan ringan, seperti
tangga alumunium
3. Tangga kayu, digunakan pada bangunan rumah tinggal.
Tangga kayu ini dapat dibuat dengan betnuk arsitektur
yang baik bagi rumah mewah.
4. Tangga baja, umumnya untuk bangunan ditempat
terbuka, misalnya tangga pada jembatan penyeberangan
jalan raya.
5. Tangga beton bertulang, umumnya untuk bangunan
gedung rumah tinggal, pasar, maupun gedung
perkantoran.

C. Persyaratan Tangga
Pada prinsipnya, suatu tangga harus memenuhi
dua persyaratan yaitu mudah dilihat dan mudah
dipergunakan. Persyaratan pertama yaitu mudah dilihat,
terutama berhubungan dengan letak tangga di dalam
abangunan agar dengan amudah diketahui oleh orang.
Syarat ini penting sekali terutama untuk bangunan-
bangunan yang bersifat umum atau dipakai untuk
12

melayani kepentingan umum, misalnya: bangunan pasar,


kantor pemerintahan atau swasta, maupun gedung-
gedung sekolah. Untuk bangunan perumahan atau
gedung rumah tinggal, persyaratan ini tidak begitu perlu
karena yang menggunakan tangga hanyalah orang-orang
yang sudah tertentu, yaitu dari kalangan keluarga sendiri.
(Asroni, 2010).
Persyaratan ke-dua, yaitu mudah dipergunakan,
terutaman berhubungan dengan sudut kemiringan dari
tangga, agar tidak perlu banyak tenaga untuk melalui
tangga tersebut. Semakin datar suatu tangga, semakin
mudah untuk dipergunakan, karena tenaga yang
diperlukan hanya sedikit (tidak melelahkan). Sebaliknya,
semakin curam suatu tangga, semakin sulit untuk
digunakan karena tenaga yang diperlukan lebih banyak
(sehingga mudah lelah). Menurut Djojowirono (1984),
penentuan sudut kemiringan tangga ini bergantung pada
fungsi atau keperluan tangga yang akan dibangun.
Sebagai pedoman dapat diambil ketentuan sebagai
berikut:
1. Untuk tangga mobil masuk garasi, diambil sudut
maksimal 12,5˚ atau dengan kemiringan 1 : 4,5.
2. Untuk tangga di luar bangunan, diambil sudut 20˚
atau kemiringan 1 : 2,75.
3. Untuk tangga perumahan dan bangunan gedung
pada umumnya, diambil sudut kemiringan 30˚
sampai dengan 35˚ atau kemiringan 1 : 1,7 sampai 1 :
1,4.
4. Untuk tangga dengan sudut kemiringan sama atau
lebih besar dari 41˚, disebut tangga curam. Misalnya
tangga untuk basement dapat diambil sudut 45˚,
13

sedangkan untuk menara atau tandon air boleh


diambil lebih curam lagi yaitu 75˚ sampai dengan 90˚.

D. Penentuan Lebar Tangga


Ukuran lebar tangga dari suatu bangunan
biasanya bergantung pada jenis bangunan yang akan
didirikan. Tangga untuk bangunan perumahan
diperlukan ukuran lebar yang berbeda dengan bangunan
untuk umum. (Asroni, 2010).

E. Komponen dan Bentuk Tangga


Komponen atau bagian-bagian utama dari
tangga beton bertulang beserta fungsinya, pada garis
besarnya meliputi empat macam, yaitu (Asroni, 2010)
(lihat gambar 2.1):
1. Badan atau pelat tangga, digunakan sebagai sarana lalu
lintas naik dan turun antar lantai.
2. Bordes, digunakan sebagai tempat berhenti sementara
bagi pejalan yang merasa lelah pada saat melewati
tangga.
3. Anak tangga, digunakan sebagai tempat kaki berpijak
ketika melalui tangga.
4. Sandaran, digunakan sebagai pegangan agar lebih aman
dapat melewati tangga.
14

Gambar 2.1 Bagian-bagian Tangga

Bentuk tangga sebaiknya disesuaikan dengan luas


ruangan yang tersedia pada bangunan, misalnya seperti
berikut:
1. Jika ruangan luas, maka tangga dapat dibuat dengan
bentuk “L”.
2. Jika ruangannya agak sempit, maka tangga dapat dibuat
dengan bentuk “U”.
3. Jika ruangan sempit dan panjang, maka tangga dibuat
dengan bentuk “I”.
4. Jika ruangannya sempit dan tidak panjang, maka dibuat
tangga putar.
5. Jika ruangan luas dengan pertimbangan arsitektur,
maka dibuat tangga layang.
15

Gambar 2.2 Tangga “L” Gambar 2.3 Tangga “U”

Gambar 2.4 Tangga “I” Gambar 2.5 Tangga Putar

Gambar 2.6 Tangga Layang


16

F. Ukuran Anak Tangga


Agar tangga dapat digunakan atau dilalui dengan
mudah, nyaman, dan tidak melelahkan, maka ukuran
anak tangga perlu diperhitungkan dengan mengingat
beberapa pertimbangan sebagai berikut (Asroni, 2010):
1. Jarak satu langkah orang berjalan, berkisar antara 61
cm sampai dengan 65 cm. untuk ukuran orang
Indonesia dapat diambil 61 cm.
2. Pada saat orang berjalan, tenaga untuk mengangkat
kaki diperlukan dua kali lipat daripada tenaga untuk
memajukan kaki.
3. Semakin kecil sudut kemiringan tangga, semakin
mudah untuk dilalui atau didaki.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka ukuran
anak tangga dapat ditentukan menurut rumus berikut:

2 . T + I = (61 – 65) cm

Dengan (lihat gambar 2.7):


T= tinggi tanjakan (optrade) atau tinggi anak tangga, cm
I = lebar injakan (antrade) atau lebar anak tangga, cm

Gambar 2.7 Ukuran Anak Tangga (T dan I)


17

G. Balok
Balok adalah satu dari elemen struktur portal dengan
bentang yang arahnya horizontal, balok juga berfungsi sebagai
pengikat kolom-kolom (portal) agar apabila terjadi pergerakan
kolom-kolom tetap bersatu padu mempertahankan bentuk
dan posisi semula, sedangkan portal ialah kerangka utama
dari struktur bangunan, khususnya bangunan gedung. Beban
yang bekerja pada balok biasanya beban lentur, beban geser,
maupun beban torsi (momen puntir), sehingga perlu baja
tulangan memanjang atau tulangan longitudinal (yang
menahan lentur) serta tulangan geser atau sengkang (yang
menahan beban geser dan torsi). (Asroni, 2010).

H. Pelat
Pelat beton adalah struktur tipis yang dibuat dari beton
bertulang dengan bidang yang arahnya horizontal, dan beban
pekerja tegak lurus pada bidang struktur pelat. Pelat beton
bertulang banyak digunakan pada bangunan sipil, baik sebagai
lantai bangunan, lantai atap dari suatu gedung, lantai jembatan
maupun lantai pada dermaga. (Asroni, 2010).

I. Pelaksanaan Pekerjaan Beton Struktur


Pekerjaan beton struktur terdiri dari pekerjaan bekisting,
pekerjaan pembesian, dan pekerjaan beton.
1. Pekerjaan Bekisting
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 6.1 tentang desain
cetakan menyatakan bahwa:
a. Cetakan harus menghasilkan struktur akhir yang
memenuhi bentuk, garis, dan dimensi komponen
struktur seperti yang disyaratkan oleh dokumen
kontrak.
18

b. Cetakan harus kokoh dan cukup rapat untuk


mempertahankan posisi dan bentuknya.
c. Cetakan harus diperkaku atau diikat dengan baik
untuk mempertahankan posisi dan bentuknya.
d. Cetakan dan tumpuannya harus direncanakan
sedemikian hingga tidak merusak struktur yang
dipasang sebelumnya.
e. Perancangan cetakan harus menyertakan
pertimbangan faktor-faktor berikut:
1) Kecepatan dan metoda pengecoran beton.
2) Beban selama pelaksanaan konstruksi, termasuk
beban vertikal, horisontal, dan tumbukan.
3) Persyaratan cetakan khusus untuk pelaksanaan
konstruksi cangkang, pelat lipat, kubah, beton
arsitektural, atau elemen-elemen sejenis.
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 6.2 tentang
pembongkaran cetakan menyatakan bahwa cetakan harus
dibongkar dengan cara sedemikian rupa agar tidak
mengurangi keamanan dan kemampuan layan struktur.
Beton yang akan terpapar dengan adanya pembongkaran
cetakan harus memiliki kekuatan yang cukup yang tidak
akan rusak oleh pelaksanaan pembongkaran.
2. Pekerjaan Besi
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 7.4.1 menyatakan
bahwa pada saat beton dicor, tulangan harus bebas dari
lumpur, minyak, atau pelapis bukan logam lainnya yang
dapat menurunkan lekatan. Pelapis epoksi tulangan baja
yang sesuai dengan standar yang dirujuk dalam 3.5.3.8
dan 3.5.3.9 diizinkan.
19

Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 7.1 menyatakan


bahwa:
a. Kait standar
1) Bengkokan 180 derajat ditambah perpanjangan
4db, tapi tidak kurang dari 65 mm, pada ujung
bebas batang tulangan.
2) Bengkokan 90 derajat ditambah perpanjangan
12db pada ujung bebas batang tulangan.
3) Untuk sengkang dan kait pengikat, batang
tulangan D-16 dan yang lebih kecil, bengkokan 90
derajat ditambah perpanjangan 6db pada ujung
bebas batang tulangan; batang tulangan D-19, D-
22, dan D-25, bengkokan 90 derajat ditambah
perpanjangan 12db pada ujung bebas batang
tulangan; batang tulangan D-25 dan yang lebih
kecil, bengkokan 135 derajat ditambah
perpanjangan 6db pada ujung bebas batang
tulangan.

b. Toleransi selimut beton


Toleransi untuk d dan untuk selimut beton
minimum pada komponen struktur lentur, dinding,
dan komponen struktur tekan harus setinggi berikut:

Tabel 2.1 Toleransi untuk Selimut Beton


Toleransi untuk
Toleransi
selimut beton
untuk d
yang disyaratkan
d≤ 200 mm ± 10 mm -10 mm
d≥ 200 mm ± 13 mm -13 mm
Sumber : SNI 2847 – 2013
20

3. Pekerjaan Beton
Menurut SNI 2847 – 2013 pasal 5.7 sampai dengan
pasal 5.11 tahap pelaksanaan pekerjaan beton adalah
sebagai berikut:
a. Persiapan peralatan dan tempat pengecoran
Persiapan sebelum pengecoran beton harus meliputi
hal berikut:
1) Semua peralatan untuk pencampuran dan
pengangkutan beton harus bersih.
2) Semua sampah atau kotoran harus dibersihkan
dari cetakan yang akan diisi beton.
3) Cetakan harus dilapisi dengan benar.
4) Bagian dinding bata pengisi yang akan
bersentuhan dengan beton harus dibasahi secara
cukup.
5) Tulangan harus benar-benar bersih dari lapisan
yang berbahaya.
6) Air harus dikeringkan dari tempat pengecoran
sebelum beton dicor kecuali bila tremie
digunakan atau kecuali bila sebaliknya diizinkan
oleh petugas bangunan.
7) Semua material halus (laitance) dan material
lunak lainnya harus dibersihkan dari
permukaan beton sebelum beton tambahan
dicor terhadap beton yang mengeras.
b. Pencampuran
Semua bahan beton harus dicampur sampai
menghasilkan distribusi bahan yang seragam dan
harus dituangkan seluruhnya sebelum alat
pencampur diisi kembali. Beton siap pakai (ready-
21

mixed) harus dicampur dan diantarkan sesuai dengan


persyaratan ASTM C94M atau ASTM C685M.
c. Pengantaran (conveying)
Beton harus diantarkan dari alat pencampur ke
tempat pengecoran akhir dengan metoda yang
mencegah pemisahan (segregasi) atau tercecernya
bahan. Peralatan pengantar harus mampu
mengantarkan beton ke tempat pengecoran tanpa
pemisah bahan dan tanpa sela yang dapat
mengakibatkan hilangnya plastisitas campuran.
d. Pengecoran
Beton harus dicor sedekat mungkin pada posisi
akhirnya untuk menghindari terjadinya segregasi
akibat penanganan kembali atau segregasi akibat
pengaliran. Pengecoran beton harus dilakukan
dengan kecepatan sedemikian hingga beton selama
pengecoran tersebut, tetap dalam keadaan plastis dan
dengan mudah dapat mengisi ruang di antara
tulangan. Semua beton harus dipadatkan secara
menyeluruh dengan menggunakan peralatan yang
sesuai selama pengecoran dan harus diupayakan
mengisi sekeliling tulangan dan seluruh celah dan
masuk ke semua sudut cetakan.
e. Perawatan
Beton (selain beton kekuatan awal tinggi)
harus dirawat pada suhu di atas 10°C dan dalam
kondisi lembab untuk sekurang-kurangnya selama 7
hari setelah pengecoran, kecuali jika dirawat dengan
perawatan dipercepat. Beton kekuatan awal tinggi
harus dirawat pada suhu di atas 10°C dan dalam
kondisi lembab untuk sekurang-kurangnya selama 3
22

hari pertama kecuali jika dirawat dengan perawatan


dipercepat.

J. Tahapan Pekerjaan Tangga


Pekerjaan tangga melibatkan beberapa kegiatan antara
lain persiapan, pemasangan bekisting, pekerjaan penulangan,
pengecoran tangga, pembongkaran bekisting, dan perawatan
tangga, sebagaimana flowchart dibawah ini:

Persiapan

Pemasangan Bekisting

Pekerjaan Penulangan

Pengecoran

Perawatan Tangga

Pembongkaran Bekisting

Gambar 2.8 Flowchart Pekerjaan Tangga


1. Persiapan
Persiapan dilakukan untuk melakukan marking untuk
menentukan kemiringan tangga serta untuk menentukan
tinggi optrade dan besarnya antrade.
2. Pemasangan Bekisting
23

Pekerjaan pemasangan bekisting merupakan tahapan


pekerjaan tangga sebelum penulangan. Bekisting sendiri
berfungsi sebagai wadah atau cetakan untuk beton.
Pekerjaan bekisting tangga menggunakan sistem semi
konvensional yang terlihat dengan adanya pemakaian
plywood dan scaffolding.
3. Pekerjaan Penulangan
Pekerjaan penulangan tangga menggunakan sistem
pemotongan di tempat los besi dan perakitan di tempat.
Pemasangan tulangan dikerjakan sesuai dengan jarak
yang telah ditentukan sebagaimana pada perencanaan.
4. Pengecoran
Pengecoran tangga menggunakan beton ready mix
dengan bantuan bucket yang disambungkan dengan selang
tremi untuk menuangkan beton ke lokasi pengecoran
tangga. Pengecoran dilakukan setelah pemasangan
bekisting dan pekerjaan penulangan telah selesai
dikerjakan dan telah mendapat persetujuan dari konsultan
pengawas.
5. Perawatan Tangga
Perawatan beton tangga bertujuan untuk menjaga
agar tidak terjadi kehilangan zat cair pada saat pengikatan
awal dan juga menjaga perbedaan temperatur di dalam
beton yang dapat menyebabkan terjadinya keretakan dan
penurunan kualitas beton. Untuk itu perawatan beton ini
dilakukan dengan cara penyiraman air pada pelat dan anak
tangga.
6. Pembongkaran Bekisting
Pekerjaan pembongkaran bekisting tangga dilakukan
apabila beton telah cukup umur. Beton yang cukup umur
ialah beton yang dapat menahan berat sendiri dan beban
dari luar. Bekisting yang telah dibongkar dibersihkan dari
24

sisa-sisa beton yang melekat dan disimpan pada tempat


yang terlindung untuk menjaga bekisting untuk pekerjaan
selanjutnya.
K. Kendali mutu atau Quality Control
Kendali mutu merupakan suatu usaha yang dilakukan
untuk menjaga dan memastikan beton sesuai dengan desain.
Cara yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas kekuatan
beton adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Uji Slump
Pengertian dari slump ialah penurunan ketinggian
pada pusat permukaan atas beton yang diukur segera
setelah cetakan beton diangkat. Tes uji slump bertujuan
untuk memantau homogenitas dan workability adukan
beton segar dengan suatu kekentalan tertentu dengan satu
nilai slump.

Gambar 2.9 Alat Uji Slump

Menurut SNI 1972-2008 menyatakan bahwa alat


uji slump beton terbuat dari logam yang tidak lengket dan
tidak bereaksi dengan pasta semen, ketebalan logam
tersebut tidak boleh lebih kecil dari 1,5 mm dan bila
25

dibentuk dengan proses pemutaran spinning, maka tidak


boleh ada titik dalam cetakan yang ketebalannya lebih
kecil dari 1,15 mm. Cetakan harus berbentuk kerucut
terpancung dengan diameter dasar 203 mm, diameter atas
102mm dan tinggi 305 mm. permukaan dasar dan
permukaan atas harus terbuka dan sejajar satu sama lain
serta tegak lurus pada sumbu kerucut. Batas toleransi
untuk masing-masing diameter dan tinggi kerucut harus
dalam rentang 3,2 mm dari ukuran yang telah ditetapkan.

Langkah kerja:
1) Basahi cetakan dan letakkan di atas permukaan datar,
lembab, tidak menyerap air dan kaku. Cetakan harus
ditahan secara kokoh di tempat selama pengisian, oleh
operator yang berdiri di atas bagian injakan. Bagi
menjadi 3 lapis dalam pengisian, setiap lapis sekira
sepertiga dari volume cetakan.
2) Padatkan setiap lapisan dengan 25 tusukan
menggunakan batang pemadat. Sebarkan penusukan
secara merata di atas permukaan setiap lapisan.
3) Dalam pengisian dan pemadatan lapisan atas, lebihkan
adukan beton di atas cetakan. Setelah lapisan atas
selesai dipadatkan, ratakan permukaan beton pada
bagian atas cetakan dengan cara menggelindingkan
batang penusuk di atasnya. Lepaskan segera cetakan
dari beton dengan cara mengangkat dalam arah
vertikal secara-hati-hati. Angkat cetakan dengan jarak
300 mm dalam waktu 5 ± 2 detik tanpa gerakan lateral
atau torsional.
4) Setelah beton menunjukkan penurunan pada
permukaan, ukur segera slump dengan menentukan
26

perbedaan vertikal antara bagian atas cetakan dan


bagian pusat permukaan atas beton.

2. Uji Tekan
Menurut SNI 2847-2013 yang berpedoman pada
SNI 03-1974-1990, tes uji tekan beton mempunyai tujuan
untuk memperoleh nilai kuat tekan dengan prosedur yang
benar. Metode ini dimaksudkan sebagai pegangan dalam
pengujian ini untuk menentukan kuat tekan (compressive
strength) beton dengan benda uji berbentuk silinder yang
dibuat dan dimatangkan (curring) di laboratorium
maupun di lapangan.

Persiapan pengujian tes tekan beton adalah sebagai


berikut:
1) Ambilah benda uji yang akan ditentukan kekuatan
tekannya dari bak pendam/pematangan (curing),
kemudian bersihkan dari kotoran yang menempel
dengan kain lembab.
2) Tentukan berat dan ukuran benda uji.
3) Lapislah (capping) permukaan atas dan bawah benda
uji dengan mortar belerang dengan cara sebagai
berikut: Lelehkan mortar belerang didalam pot
peleleh (melting pot) yang dinding dalamnya telah
dilapisi tipis dengan gemuk; kemudian letakkan
benda uji tegak lurus pada cetakan pelapis sampai
mortar belerang cair menjadi keras; dengan cara yang
sama lekukan pelapisan pada permukan lainnya.
4) Benda uji siap untuk diperiksa.

Langkah-langkah pengujian kuat tekan beton:


27

1) Letakkan benda uji pada mesin tekan secara sentris.


2) Jalankan mesin tekan dengan penambahan beban
2
yang konstan berkisar antara 2 sampai 4 kg/cm per
detik.
3) Lakukan pembebanan sampai uji menjadi hancur dan
catatlah beban maksimum yang terjadi selama
pemeriksaan benda uji.
4) Gambar bentuk pecah dan catatlah keadaan benda uji.

Beberapa ketentuan khusus yang harus diikuti sebagai


berikut:
1) Untuk benda uji berbentuk kubus ukuran sisi 20 x 20 x
20 cm cetakan diisi dengan adukan beton dalam 2 lapis,
tiap-tiap lapis dipadatkan dengan 29 kali tusukan;
tongkat pemadat diameter 16 mm, panjang 600 mm.
2) Untuk benda uji berbentuk kubus ukuran sisi 15 x 15 x
15 cm, cetakan diisi dengan adukan beton dalam 2 lapis,
tiap-tiap lapis dipadatkan dengan 32 kali tusukan;
tongkat pemadat diameter 10 mm, panjang 300 mm.
3) Benda uji berbentuk kubus tidak perlu dilapisi.
4) Pemeriksaan kekuatan tekan beton biasanya pada umur
3 hari, 7 hari, dan 28 hari.
5) Hasil pemeriksaan diambil nilai rata-rata dari minimum
2 buah benda uji.
6) Apabila pengadukan dilakukan dengan tangan (hanya
untuk perencanaan campuran beton), isi bak pengaduk
3
maksimum 7 dm dan pengadukan tidak boleh
dilakukan untuk campuran beton slump.
28

L. Penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)


Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor yang
memiliki resiko kecelakaan kerja yang cukup tinggi. Hal ini
tidak bisa dibiarkan begitu saja mengingat kerugian yang akan
ditimbulkan tidak hanya korban jiwa, materi yang tidak sedikit
baik bagi pekerja dan pengusaha, tertundanya proses produksi,
hingga kerusakan lingkungan yang akhirnya berdampak bagi
masyarakat luas. Untuk itulah diperlukan implementasi
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) pada semua
pekerjaan konstruksi.
OHSAS 18001 atau Occupational Health and Safety
Assesment Series-18001 merupakan standar internasional
untuk penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja atau biasa disebut manajemen K3. Tujuan
dari OHSAS 18001 adalah untuk mendorong penerapan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja dengan melaksanakan
prosuder yang mengharuskan organisasi secara konsisten
mengidentifikasi dan mengendalikan resiko bahaya terhadap
keselamatan dan kesehatan di tempat kerja serta
memperbaiki kinerja dan citra dari perusahaan.
Menurut OHSAS 18001, semua perusahaan konstruksi
berkewajiban menyediakan APK (Alat Pelindung Kerja) yaitu
sebagai berikut:
1. Helm
Helm sangat penting digunakan sebagai
perlindungan kepala dan sudah merupakan keharusan
bagi setiap pekerja konstruksi untuk menggunakannya
dengan benar sesuai peraturan. Helm ini digunakan untuk
melindungi kepala dari bahaya yang berasal dari atas,
misalnya saja ada barang, baik peralatan atau material
konstruksi yang jatuh dari atas.
29

2. Masker
Pelindung bagi pernapasan sangat diperlukan untuk
pekerjaan konstruksi mengingat kondisi lokasi proyek itu
sendiri. Berbagai material konstruksi berukuran besar
sampai sangat kecil yang merupakan sisa dari suatu
kegiatan, misalnya serbuk kayu sisa dari kegiatan
memotong, mengapelas, mengerut kayu dan sebagainya.
3. Sarung Tangan
Sarung tangan sangat diperlukan untuk beberapa
jenis pekerjaan. Tujuan utama penggunaan sarung tangan
adalah melindungi tangan dari benda-benda keras dan
tajam selama menjalankan kegiatan. Salah Satu kegiatan
yang memerlukan sarung tangan adalah mengangkat besi
tulangan, kayu dan sebagainya.
4. Sepatu Kerja
Sepatu kerja (safety Shoes) merupakan perlindungan
terhadap kaki. Setiap pekerjaan konstruksi perlu memakai
sepatu dengan sol yang tebal supaya bisa bebas berjalan
dimana-mana tanpa terluka oleh benda-benda tajam atau
kemasukan oleh kotoran dari bagian bawah. Bagian muka
sepatu harus cukup keras supaya kaki tidak terluka kalau
tertimpa benda dari atas
5. Pakaian Kerja
Tujuan pemakaian pakaian kerja adalah melindungi
badan manusia terhadap pengaruh-pengaruh yang
kurang sehat atau yang bisa melukai badan. Mengingat
karakter lokasi proyek konstruksi pada umumnya
mencerminkan kondisi yang keras maka selayaknya
pakaian kerja yang digunakan juga tidak sama dengan
pakaian yang dikenakan oleh karyawan yang bekerja
dikantor. Perusahaan yang mengerti betul masalah ini
30

umumnya menyediakan sebanyak 3 pasang dalam setiap


tahunnya.
6. Kacamata Kerja
Kacamata pengaman digunakan untuk melindungi
mata dari debu kayu, batu atau serpih besi yang
berterbangan ditiup angin. Mengingat partikel-partikel
debu berukuran sangat kecil yang tekadang tidak terlihat
mata. Oleh karenanya mata perlu diberikan perlindungan,
biasanya pekerjaan yang membutuhkan kacamata adalah
mengelas.
7. Sabuk Pengaman
Sudah selayaknya bagi pekerja yang
melaksanakan kegiatan pada ketinggian tertentu atau
pada posisi yang membahayakan wajib mengenakan tali
pengaman atau safety belt. Fungsi utama alat pengaman ini
adalah menjaga seorang pekerja dari kecelakaan kerja
pada saat bekerja, misalnya saja kegiatan erection baja pada
bangunan tower.
8. Penutup Telinga
Alat ini digunakan untuk melindungi telinga dari
bunyi-bunyi yang dikeluarkan oleh mesin yang memiliki
volume suara yang cukup keras dan bising. Terkadang
efeknya untuk jangka panjang, bila setiap hari mendengar
suara bising tanpa penutup telinga.
9. Tangga
Tangga merupakan alat untuk memanjat yang
umum digunakan oleh para pekerja. Pemilihan dan
penempatan alat ini harus menjadi pertimbangan utama,
agar pada saat pengerjaan yang mencapai di ketinggian
tertentu para pekerja dalam posisi aman.

You might also like