You are on page 1of 80

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Investasi merupakan peranan penting bagi Negara-negara berkembang

seperti Indonesia. Karena investasi menjadi prasyarat penting dalam

pembangunan ekonomi suatu Negara. Melalui investasi akan meningkatkan

kapasitas ekonomi dan menjaga kesinambungan laju pertumbuhan ekonomi.

Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan akan menciptakan kegiatan-kegiatan

produksi, membuka kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan dalam negeri

sehingga pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat.

Menurut teori ekonomi neo-klasik yang dipelopori oleh George H. Bort

(1960), pertumbuhan ekonomi suatu wilayah akan sangat ditentukan oleh

kemampunan wilayah tersebut untuk meningkatkan kegiatan produksinya.

Sedangkan kegiatan produksi pada suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh

potensi daerah bersangkutan, tetapi juga ditentukan pula oleh mobilitas tenaga

kerja dan mobilitas modal antar daerah (Sjafrizal, 2012:98).

Potensi ekonomi Indonesia sangat menjanjikan bagi para investor

domestik maupun asing. Jumlah penduduk Indonesia 220 juta jiwa merupakan

potensi pasar yang sangat menjanjikan. Di tunjang dengan stabilitas ekonomi dan

kondisi infrastruktur yang memadai merupakan modal utama bagi para investor

untuk masuk ke Indonesia. Berikut laju pertumbuhan PMA dan PMDN Indonesia

1
Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan PMA dan PMDN di Indonesia Tahun 2010-
2015
Tahun PMA PMDN
Investasi Pertumbuhan Investasi Pertumbuhan
(triliun) investasi (%) (triliun) investasi (%)
2011 19.474,5 - 76.000,70 -
2012 24.564,7 26,13% 92.182,00 21,29%
2013 28.617,5 16,49% 128.150,60 39,01%
2014 28.529,7 -0,30% 156.126.30 21,83%
2015 29.275,9 2,62% 179.465,90 14,95
Rata-rata - 10,73% - 23,96%
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia

Dari tabel diatas dapat dilihat laju pertumbuhan PMA dan PMDN 5 Tahun

terakhir. Tabel di atas menunjukkan semakin meningkatnya nilai investasi PMA

dan PMDN di Indonesia. tetapi laju pertumbuhan dari ke-dua investasi tersebut

menunjukkan PMDN lebih tinggi dari pada PMA dengan rata-rata PMDN 23,96%

dan PMA 10,73%. Hal ini membuktikan bahwa peran PMDN dalam

perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat besar.

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) merupakan kunci utama

pertumbuhan ekonomi nasional. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) akan

membawa menuju kearah kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi pada

gilirannya membawa kearah spesialisasi dan penghematan produksi dalam skala

yang luas. Investasi di barang modal tidak hanya meningkatkan produksi tetapi

juga meningkatkan penggunaan tenaga kerja.

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berdasarkan pasal 1 angka 2

UUPM diartikan sebagi kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha di

wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam

2
negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal dalam negeri

(PMDN) pertamakalinya dituangkan dalam UU No. 6 Tahun 1968 (Yuliadi,

2009:95).

Indonesia dengan 34 provinsinya kaya akan sumber daya alam yang sangat

melimpah, dan ini juga menjadi sasaran empuk bagi para invesrtor untuk

berinvestasi di Negara Indonesia. Salah satu provinsi yang kaya akan SDA nya

adalah Provinsi Riau, nilai PMDN di Riau merupakan yang terbesar di

bandingkan Provinsi lainya di pulau Sumatera. Berikut realisasi PMDN menurut

Provinsi di Sumatera :

Tabel 1.2 Nilai Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut
Provinisi di Sumatera Tahun 2011-2015 (Triliun rupiah).
Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-rata

Provinsi
Aceh 259,40 60,20 3.636,40 5.110,30 4.192,41 2.651,76
S. Utara 1.673,00 2.550,30 5.068,90 4.223,90 4.287,42 3.560,76
S. Barat 1.026,20 885,30 677,80 421,10 1.552,49 912,59
Riau 7.462,60 5.450,40 4.874,30 7.707,60 9.943,04 7.087,59
Kep. Riau 1.370,40 43,50 417,70 28,50 612,05 494,43
Jambi 2.134,9 1.445,70 2.799,60 908,00 3.540,24 2.165,69
S. Selatan 1.068,90 2.930,60 3.396,00 7.042,80 10.944,09 5.076,48
Bangka 514,40 533,50 608,20 615,50 1.944,09 843,13
Belitung
Bengkulu - 52,60 109,60 7,80 553,92 144,78
Lampung 824,4 304,20 1.325,30 3.495,70 1.102,29 1.410,38
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia

Dari data tersebut, rata-rata Riau menunjukkan nilai tertinggi dibanding

provinsi lainnya di Sumatera yaitu sebesar Rp7.087,79 triliun . kemudian di

tempat kedua diduduki oleh Sumatera Selatan dengan rata-rata Rp5.076,48 triliun.

Tempat ke-tiga diduduki oleh Sumatera Utara dengan rata-rata Rp3.560,76 triliun.

Kemudian diikuti oleh Aceh, Jambi, Lampung, Sumbar, Bangka Belitung,

3
Kep.Riau, yang terakhir adalah provinsi Bengkulu dengan rata-rata terendah di

Sumatera.

Riau salah satu provinsi yang dimanjakan dengan sumber daya alam

berlimpah ruah, secara detail dapat dikatakan hampir semua sektor yang

dibutuhkan investor ada di Riau. Terutama sektor pertanian, industri,

perdagangan, keuangan dan lain sebagainya. Pada kurun Waktu 1990-1995

pemerintah mengambil tindakan swastanisasi yang bertujuan untuk pengalihan

kepemilikian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada non pemerintah dalam

pengoperasian BUMN. Swastanisasi diharapkan membawa efisiensi dan

meningkatkan kekayaan pemegang saham (pemerintah) dan membawa

peningkatan Negara di sektor pajak dan deviden.

Swastanisasi diyankini akan meningkatkan kinerja perusahaaan seperti

yang akan terjadi di semua Negara di dunia. Kinerja yang baik akan membuat

kepercayaaan investor terhadap prospek perusahaaan meningkat dan terefleksikan

oleh kenaikan harga sahamnya di pasar sekunder.

Ada beberapa faktor penghambat yang menyebabkan iklim investasi Riau

dan juga nasional mengalami stagnasi dan cenderung menurun. Salah satunya

gonjang ganjing politik dalam negeri dan penerapan otonomi daerah yang

menyebabkan proses perizinan investasi menjadi hal pokok kerap dipertanyakan

oleh calon investornya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia

melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah. Diberlakukannya otonomi daerah dengan maksud

4
tercapainya pembangunan yang berkualitas yaitu investasi, tetapi otonomi daerah

tersebut kurang memberikan pengaruh positif terhadap PMDN di Riau.

Benturan untuk kepentingan baik tingkat kabupaten, provinsi hingga

tingkat pusat dalam pemberian izin ini melahirkan keraguan kalangan investor

sehingga mereka lebih bersikap menunggu hingga otonomi daerah benar-benar

dapat menghasilkan solusi positif dalam menciptakan iklim berusaha yang

kondusif.

Berdasarkan teori investasi neo-klasik yang dikembangkan oleh Dale

Jorgenson pada permulaan tahun 1960an, faktor-faktor yang akan mempengaruhi

perbelanjaan perusahaan untuk memperoleh modal dan melakukan investasi

adalah (Sukirno, 2012:382) :

a. Suku bunga
b. Tingkat depresiasi
c. Tingkat pendapatan nasional
d. Barang modal yang sekarang tersedia
e. Kebijakan pemerintahan.

Tabel 1.3 Indikator Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi


Riau Tahun 2011-2015

Tahun Pennanaman Modal Suku Bunga Inflasi (%)


Dalam Negeri di Riau Kredit Investasi
(Triliun) (%)
2011 7.462,60 12,50 5,09
2012 5.450,43 12,21 3,35
2013 4.874,27 12,23 8,83
2014 7.707,55 12,28 8,65
2015 9.943,04 12,33 4,80
Sumber : lampiran 1, 2016

5
Dari tabel diatas, bahwa PMDN di Riau sangat berfluktuatif periode

2011-2015. Nilai investasi PMDN di riau pada tahun 2011 berjumlah Rp7.462,60

triliun . Pada Tahun 2012 mengalami penurunan yaitu sebesar Rp5.450,43 triliun.

Kemudiap Pada Tahun 2015 nilai investasi di Riau mengalami kenaikan menjadi

nilai tertinggi yaitu sebesar Rp9.943,04 triliun.

Fluktasi PMDN yang cenderung tidak menentu salah satunya disebabkan

karena tingkat suku bunga yang juga yang berfluktasi. Pada Tahun 2011 suku

bunga kredit mencapai 12,50%. Kemudian pada Tahun 2012 sedikit mengalami

penurunan menjadi 12,21%. Pada Tahun 2013 hingga 2015 suku bunga kredit

terus mengalami kenaikan yaitu menjadi 12,33% pada Tahun 2015

Teori Klasik juga menyatakan bahwa semakin tinggi suku bunga maka

investasi yang dilakukan akan mengalami penurunan, ketika suku bunga

mengalami penurunan maka investasi akan mengalami peningkatan, sedangkan

data perkembangan tersebut malah menyatakan kebalikan dari teori Klasik.

Selanjutnya, inflasi juga turut mempengaruhi PMDN. Dalam berinvestasi

tentunya banyak hal yang harus dipertibangakan dalam mengambil keputusan

untuk berivestasi. Dibalik semakin baik dan meningkatnya investasi di Indonesia

dapat mempengaruhi faktor ekonomi yang lainnya salah satu nya yaitu semakin

tingginya laju inflasi yang terjadi di Indonesia. Investasi dan inflasi mempunyai

hubungan yang negatif, tingginya tingkat inflasi di suatu Negara , mengakibatkan

penawaran uang atau money supply meningkat yang diikuti tingginya tingkat suku

bunga. Sesuai dengan teori ekspansi permintaan agregat kasus klasik (Dornbusch,

6
2008) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara inflasi

dengan investasi yang artinya kenaikan inflasi akan menurunkan investasi.

Dari tabel diatas terlihat fluktasi laju inflasi yang relatif tidak stabil hal ini

juga yang menyebabkan PMDN di Riau juga mengalami fluktasi. Pada Tahun

2011 dapat dilihat bahwa nilai inflasi di Riau adalah sebesar 5,09 %. Kemudian

pada Tahun 2012 kembali mengalami penurunan menjadi 3,35 %. Pada Tahun

2013 kembali mengalami kenaikan menjadi 8,83 %. Kemudian pada Tahun 2014

kembali mengalami penurunan hingga Tahun 2015 menjadi 4,80 %.

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan diatas, maka

penyusun tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Riau

Tahun 1996-2015”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas , maka

rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri

(PMDN) di Provinsi Riau periode 1996-2015?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian :

Sesuai latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas,

maka tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan penelitian ini adalah :

7
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Penanaman Modal

Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Riau periode 1996-2015.

Manfaat dari penelitian :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka manfaat yang dapat

diberikan dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas mengenai

faktor-faktor yang mempengruhi penanaman modal dalam negeri di

provinsi Riau.

2. Sebagai masukan dan informasi bagi penelitian selanjutya yang

berhubungan dengan masalah PMDN di Riau.

3. Menambah, melengkapi sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian

yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

8
BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 INVESTASI

2.1.1.1. Pengertian Investasi

Investasi merupakan prasyarat penting dalam pembangunan ekonomi suatu

Negara. Karena melalui investasi akan meningkatkan kapasitas ekonomi dan

menjaga kesinambungan laju pertumbuhan ekonomi. Agar roda pembangunan

dapat berjalan, maka perlu diciptakan iklim yang kondusif bagi para investor

untuk menanam investasinya baik investor domestik (PMDN) maupun investor

asing (PMA) (Yuliadi, 2009:95).

Di Provinsi Riau perkembangan PMDN pada Tahun 2001-2003

menunjukkan slop yang negatif, ini diakibatkan krisis ekonomi dan moneter yang

diikuti dengan instabilitas politik menyebabkan melemahnya kepercayaan investor

terhadapa prospek ekonomi yang selanjutnya menekan rencana PMDN, sejak

diberlakukannya otonomi daerah pada Tahun 2000 juga memberikan dampak

buruk terhadap PMDN di Riau. Faktor lain menyebabkan penurunan terhadap

PMDN di Riau adalah tingkat suku bunga dan inflasi yang tinggi. Sesuai dengan

teori investasi yang dikembangkan oleh Dale Jorgenson dimana faktor-faktor

mempengaruhi perbelanjaan perusahaan untuk memperoleh modal dalam investasi

adalah tingkat suku bunga, pendapatan nasional, dan kebijakan pemerintah.

9
Kegiatan investasi memungkinkan suatu masyarakat terus menerus

meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf kemakmuran

masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan investsi

perekonomian. Yang pertama, investasi merupakan salah satu kompenen dari

pengeluaran agregat, maka kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan

agregat dan pendapatan nasional. Peningkatan seperti ini akan selalu diikuti

pertambahan kesempatan kerja. Yang kedua, pertambahan barang modal sebagai

akibat investasi akan menambahkan kapasitas memproduksi dimasa depan dan

perkembangan ini akan menstimulir pertambahan produksi nasional dan

kesempatan kerja. Ketiga, investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi.

Perkembangan akan memberi sumbangan penting ke atas produktivitas dan

pendapatan per kapita masyarakat (Sukirno, 2012:367).

Investasi sendiri dapat didefenisikan sebagai tambahan bersih terhadap

stok kapital yang ada. Istilah lain dari investasi adalah pemupukan modal atau

akumulasi modal. Dengan demikian, di dalam makroekonomi investasi memiliki

arti yang lebih sempit, yang secara teknis berarti arus pengeluaran yang

menambah stok modal fisik. Dengan kata lain, investasi adalah jumlah yang

dibelanjakan sektor bisnis untuk menambah stok modal dalam periode tertentu.

Sedangkan modal merupakan stok ketika nilai uang dari gedung-gedung, mesin-

mesin, dan investasi lainya adalah tetap pada suatu waktu (Nanga, 2005:123-124).

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berdasarkan pasal 1 angka 2

UUPM diartikan sebagai kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha di

wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam

negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman Modal Dalam

10
Negeri (PMDN) pertamakalinya dituangkan dalam UU no. 6 Tahun 1968

(Yuliadi, 2009:95). Didalam UU No.6/ 1968 tentang PMDN itu dijelaskan bahwa

pengertian PMDN adalah :

Pasal 1 :

- Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-

benda baik yang dimiliki oleh Negara maupun oleh swsta nasional atau

swasta asing yang berdomisili di Indonesia.

- Pihak swasta yang memiliki modal dalam negeri tersebut pasal 1 dapat

terdiri dari perorangan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan

hukum yang berlaku di Indonesia.

Pasal 2 :

- PMDN adalah penggunaan pada kekayaan seperti tersebut dalam pasal 1

baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Selanjutnya

diterangkan bahwa modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif

dari masyarakat Indonesia yang dapat dipergunakan bagi pembangunan

ekonomi pada umumnya. Modal dalam negeri adalah modal yang

merupakan bagian kekayaan masyarakat Indonesia, temasuk hak-hak dan

benda-benda. Kekayaan tersebut dapat dimiliki oleh Negara atau Swasta.

Kekayaan yang dimiliki oleh swasta dapat dibagi lagi menjadi:

a. Yang dimiliki oleh swasta nasional WNI, baik yang perorangan

maupun badan hukum termasuk koperasi.

b. Yang dimiliki oleh swsta asing WNA, baik perorangan maupun

badan hukum.

11
Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 diterangkan bahwa yang dimaksud

dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) adalah penggunaan modal

tersebut pasal 1 bagi usaha-usha yang mendorong pembentukan ekonomi pada

umumnya. Penanaman modal tersebut dilakukan dengan cara langsung yakni oleh

pemiliknya sendiri melalui pembelian obligasi, surat-surat kertas, perbendaharaan

Negara, emisi-emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan serta deposito dan

tabungan berjangka sekuarng-kurangnya 1 tahun (Lembaran Negara RI:1998:55-

67).

Berdasarkan pasal 5 ayat (1) UUPM, dijelaskan bahwa PMDN dapat

dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, atau usaha

perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan, pasal 5 ayat

(3) UUPM lebih lajut menjelaskan, penanaman modal dalam negeri dan asing

melakukan penanaman modal dalam bentuk PT dilakukan dengan melakukan hal

– hal sebagai berikut :

1. Mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas

2. Membeli saham

3. Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

2.1.1.2. Teori Investasi

1. Teori Klasik

Menurut klasik, bunga adalah harga dari penggunaan pinjaman atau harga

yang terjadi dipasar dana investasi dalam suatu periode tertentu. Dalam

teori klasik juga berlaku apa yang disebut diminishing marginal produk.

Ini menjelaskan bentuk kurva permintaan akan dana investasi yang

12
mempunyai slope negatif. Tingkat bunga keseimbangan tercipta di pasar

dana investasi atau pasar barang dengan bertemunya antara penawaran dan

permintaan akan dana investasi (Widayatsari dan Mayes, 2012:64).

2. Teori Investasi dari Keynes

Di dalam bukunya The General Theory of Employment, Interest, and

Money (1936), Keynes mendasarkan teori tentang permintaan investasi

atas konsep efisiensi marjinal capital (marginal efficiencyof capital atau

MEC). Dimana MEC merupakan tingkat diskonto yang menyamakan

aliran perolehan yang diharapkan dimasa yang akan datang dengan biaya

sekarang dari capital tambahan.

3. Teori Neo-klasik

Berdasarkan teori investasi neo-klasik yang dikembangkan oleh Dale

Jorgenson pada permulaan Tahun 1960an, faktor-faktor yang akan

mempengaruhi perbelanjaan perusahaan untuk memperoleh modal dan

melakukan investasi adalah (Sukirno, 2012:382) :

1. Suku Bunga

Dalam analisis neo-klasik yang lebih dipentingkan adalah suku bunga rill,

bukan suku bunga nominal. Apabila berlaku inflasi, suku bunga rill akan

semakin rendah. Pada ketika inflasi harga barang yang dijual perusahaan

meningkat dan barang modalnya juga meningkat. Apabila suku bunga

tidak berubah maka investasi akan lebih menguntungkan perusahaan.

Maka biaya investasi dalam bentuk pembayaran bunga menjadi lebih

murah. Oleh sebab itulah suku bunga yang perlu dipertimbangkan adalah

suku bunga riil.

13
2. Tingkat Depresiasi

Setiap barang modal yang digunakan akan didepresiasikan. Dalam

prakteknya depresiasi ini dilakukan secara bertahap, yaitu nilai barang

modal dikurangi sedikit demi sedikit setiap tahun.

3. Tingkat Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional yang semakin meningkat akan memerlukan barang

modal yang semakin banyak. Dengan demikian perusahaan perlu

melakukan investai yang tinggi dan lebih banyak modal perlu dipinjam.

4. Barang Modal yang Sekarang Tersedia

5. Kebijakan Pemerintahan.

Sikap pemerintah dalam kegiatan usaha sangat penting perananya dalam

kegiatan investasi perusahaan. Pajak keuntungan yang terlalu tinggi,

hambatan memperoleh izin usaha dan kesukaran untuk memperoleh

pinjaman atau devisa untuk mengimpor barang modal dari luar negeri akan

mengurangi gairah sektor perusahaan untuk melakukan investasinya.

4. Teori Investasi

Berdasarkan teori investasi pada ummnya ada banyak faktor-faktor yang

mempengaruhi investasi. Beberapa faktor yang diduga kuat pengaruhnya

terhadap investasi antara lain (Nopirin, 2000:133) :

1. Tingkat bunga

2. Inflasi

3. Kebijakan perpajakan

4. Perkiraan tentang penjualan serta kebijaksanaan ekonomi.

14
2.1.1.3. Kompenen-Kompenen Pengeluaran Investasi

Secara statistik, investasi atau pengeluaran untuk membeli barang-barang

modal dan peralatan produksi, dibedakan kepada 4 kompenen, yaitu (Sukirno,

2012:366-367) :

1. Investasi perusahaan-perusahaan swasta

Investasi perusahaan-perusahaan merupakan kompenen terbesar dari

investasi dalam suatu negara pada suatu tahun tertentu. Pengeluaran

investasi ini pulalah yang terutama diperhatikan oleh ahli-ahli ekonomi

dalam membuat analisis mengenai investasi. Pengeluaran investasi

tersebut terutama meliputi mendirikan bangunan industri, membeli

mesin-mesin dan peralatan produksi lain dan pengeluaran untuk

menyediakan bahan mentah.

2. Pengeluaran untuk mendirikan tempat tinggal

Tempat tinggal atau perumahan merupakan suatu aktiva atau harta

yang umur ekonomisnya panjang, sehingga bentuk aktiva ini dapat

digolongkan sebagai investasi. Permintaan perumahan dipengaruhi

beberapa faktor, pertama: jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin

besar kekayaan yang dimiliki maka semakin besar jumlah perusahaan

yang diminta. Kedua: perubahan harga jenis investasi lain akan

berpengaruh pada permintaan perumahan. Ketiga: tingkat

pengembalian riil netto yang diperoleh dengan memiliki perumahan.

Apabila tingkat keuntungan yang diterima dari investasi perumahan

sangat rendah, maka orang enggan menginvestasikan hartanya dalam

bentuk perumahan.

15
3. Perubahan dalam inventaris (inventory) perusahaan

Investasi ke atas inventaris atau inventory yaitu stok barang simpanan

perusahaan. Barang-barang yang digolongkan sebagai “inventory”

meliputi bahan mentah yang belum diproses, barang setengah jadi yang

sedang diproses dan barang yang sudah dihasilkan oleh perusahaan-

perusahaan itu tetapi masih dalam simpanan dan belum dijual

kepasaran. Menyediakan barang-barang seperti itu penting artinya

dalam menciptakan efisiensi dan kelancaran kegiatan perusahaan.

4. Investasi yang dilakukan pemerintah

Pemerintah juga melakukan investasi. Berbeda dengan investasi

perusahaan yang bertujuan untuk mencari keuntungan, investasi

pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, investasi pemerintah dinamakan juga investasi sosial.

Investasi-investasi tersebut meliputi pembangunan jalan raya,

pelabuhan dan irigasi, mendirikan sekolah, rumah sakit, dan

bendungan.

2.1.1.4. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik

oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk

melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia, sedangkan pengertian

PMDN yang terkandung dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di

wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam

negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

16
Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga Negara

Indonesia, badan usaha Indonesia, Negara Republik Indonesia, atau daerah yang

melakukan penanaman modal di wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan

modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh Negara Republik Indonesia,

perseorangan warga Negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan

hukum atau tidak berbadan hukum. Penanaman modal dalam negeri dapat

dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak

berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

2.1.1.5. Syarat-Syarat PMDN

Adapun syarat-syarat dari penyelenggaraan PMDN adalah :

1. Permodalan: menggunakan modal yang merupakan kekayaan masyarakat

Indonesia (Pasal 1:1 UU No. 6/1968) baik langsung maupun tidak langsung

2. Pelaku Investasi : Negara dan swasta. Pihak swasta dapat terdiri dari orang

dan atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum di Indonesia

3. Bidang usaha : semua bidang yang terbuka bagi swasta, yang dibina,

dipelopori atau dirintis oleh pemerintah

4. Perizinan dan perpajakan : memenuhi perizinan yang ditetapkan oleh

pemerintah daerah. Antara lain : izin usaha, lokasi, pertanahan, perairan,

eksplorasi, hak-hak khusus, dll

5. Batas waktu berusaha : merujuk kepada peraturan dan kebijakan masing-

masing daerah

6. Tenaga kerja: wajib menggunakan tenaga ahli bangsa Indonesia, kecuali

apabila jabatan-jabatan tertentu belum dapat diisi dengan tenaga bangsa

17
Indonesia. Mematuhi ketentuan UU ketenagakerjaan (merupakan hak dari

karyawan).

2.1.1.6. Tujuan PMDN

Tujuan penyelenggaraan PMDN antara lain untuk :

1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

2. Menciptakan lapangan kerja.

3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

4. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional.

5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional.

6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan.

7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan

menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar

negeri.

8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2.1.1.7. Fasilitas-Fasilitas Yang Diberikan Kepada Investor PMDN

Bentuk fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada

penanaman modal dapat berupa :

1. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat

tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu

tertentu.

2. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau

peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam

negeri.

18
3. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong

untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan

tertentu.

4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang

modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat

diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu.

5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat.

6. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha

tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

2.1.2. SUKU BUNGA KREDIT

2.1.2.1. Pengertian

Menurut klasik, bunga adalah harga dari penggunaan pinjaman atau harga

yang terjadi di pasar dana investasi dalam suatu periode tertentu. Jadi tingkat

bunga adalah harga yang harus dibayar bila terjadi pertukaran antara satu rupiah

sekarang dan satu rupiah dimasa yang akan datang (Widayatsari dan Mayes,

2012:64).

Pembayaran keatas modal yang dipinjam dari pihak lain dinamakan bunga.

Ia biasannya dinyatakan sebagai persentasi dari modal yang dipinjam, seperti

misalnya 10%, 12% atau 15%. Bunga yang dinyatakan sebagai persentasi dari

modal dinamakan suku bunga. Pada umumnya persentasi yang dinyatakan

menunjukkan suku bunga dari sejumlah modal di dalam satu tahun (Sukirno,

2009:375).

19
Suku bunga adalah ukuran keuntungan investasi yang dapat diperoleh

pemilik modal dan juga merupakan ukuran biaya modal yang harus dikeluaran

oleh perusahaan atas penggunaan dana dari pemilik modal. Bagi investor, bunga

deposito menguntungkan karna suku bunganya yang relatif lebih tinggi

dibandingkan bentuk simpanan lain, selain itu bunga deposito relatif kecil

risikonya. Kebijakan bunga rendah akan mendorong masyarakat untuk memilih

investasi dan konsumsinya daripada menabung, sebaliknya kebijakan menaikkan

tingkat suku bunga akan menyebabkan masyarakat akan lebih senang menabung

daripada melakukan investasi atau konsumsi (Ekananda, 2014:234).

Menurut Hubbard (2005), bunga adalah biaya yang harus dibayar borrower

atas pinjaman yang diterima dan imbalan bagi lender atas investasinya.

Sementara, Kem Guttman (1992) menganggap suku bunga merupakan sebuah

harga dan sebagaiman harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh

interaksi antara permintaan dan penawaran (Laksmono, 2001).

Suku bunga kredit adalah harga tertentu yang harus dibayar oleh nasabah

kepada bank atas pinjaman yang diperolehnya. Bagi bank, bunga pinjaman

merupakan harga jual yang dibebankan kepada nasabah yang membutuhkan

nasabah. Penetapan suku bunga kredit dilakukan berdasarkan risk based pricing

(RBP). Penetapan bunga kredit atas dasar RBP mempertimbangkan berbagai

unsur, diantaranya unsur biaya dana masyarakat, biaya premi resiko, biaya

regulasi Giro Wajib Minimum (GWM), dan biaya over head baik untuk

penghimpunan dana dan proses kredit, biaya modal dan margin keuntungan bank.

20
2.1.2.2. Teori Suku Bunga

1. Teori Tingkat Bunga Klasik

Menurut klasik, bunga adalah harga dari penggunaan pinjaman atau harga

yang terjadi di pasar dana investasi dalam suatu periode tertentu.

Teori klasik ini biasa disebut sebagai suatu real theory of interest. Oleh

karena tingkat bunga tidak tergantung pada pertimbangan-pertimbangan

moneter tingkat bunga ditentukan oleh tabungan riil dan investasi. Dalam

teori klasik juga berlaku apa yang disebut deminishing marginal produk.

Ini menjelaskan bentuk kurva permintaan akan dana investasi yang

mempunyai slope negatif. Tingkat bunga keseimbangan tercipta di pasar

dana investasi atau pasar dengan bertemunya antara penawaran dan

permintaan akan investasi (S=I) (Widayatsari dan Mayes, 2012:64).

2. Teori Tingkat Bunga Keynes

Menurut keynes, ada tiga motif orang memegang uang yaitu :

a. Motif transaksi

b. Motif berjaga-jaga

c. Motif spekulasi

3. Teori Neo Keynesia/Teori Modern

Teori ini dikembangkan oleh John Hicks. John Hicks menekankan tentang

adanya suatu tingkat bunga keseimbangan umum dalam perekonomian.

Tingkat bunga keseimbangan umum inilah yang disebut dengan tingkat

bunga murni. Alat analisa yang dipergunakan untuk menjelaskan teori ini

adalah kurva IS-LM. Kurva IS yaitu kurva yang menjelaskan

21
keseimbangan antara tingkat bunga dan pendapatan di pasar barang (pasar

dana investasi) (Widayatsari dan Mayes, 2012:66).

4. Teori Fisher

Teori Fisher mengenai tingkat bunga mengatakan bahwa dalam jangka

panjang, tingkat bunga riil tidak dipengaruhi oleh laju inflasi. Namun perlu

diingat bahwa tabungan ini berlaku untuk jangka panjang (Widayatsari dan

Mayes, 2012:70)

5. Pendekatan Transmisi Kebijakan Moneter

Sebagaimana dijelaskan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter

melalui saluran suku bunga, tingkat bunga SBI merupakan salah satu

instrumen yang bisa digunakan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar

di masyarakat yang pada akhirnya akan mempengaruhi inflasi. Ketika

Bank sentral ingin meredam laju inflasi, maka bisa menaikan tingkat suku

SBI untuk menarik dana masyarakat untuk membeli SBI melalui

mekanisme operasi pasar terbuka (OPT). dengan demikian jumlah uang

beredar akan turun dan inflasi akan juga turun (Widayatsari dan Mayes,

2012:147).

2.1.2.3. Fungsi Suku Bunga

Adapun fungsi suku bunga adalah:

1. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk

diinvestasikan.

2. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka

mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu

perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung suatu sektor industri

22
tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam

dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah

dibandingkan sektor lain.

3. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengatur jumlah uang

beredar. Ini berarti pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu

perekonomian.

Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan

kepada nasabahnya yaitu:

1. Bunga Simpanan merupakan bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau

balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga simpanan

merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya. Sebagai

contoh jasa giro, bunga tabungan, dan bunga deposito.

2. Bunga Pinjaman merupakan bunga yang diberikan kepada para peminjam atau

harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai cotoh

bunga kredit.

2.1.2.4. Suku Bunga Menurut Jenisnya

Suku bunga kredit sangat bergantung pada jenis kredit itu sendiri. Menurut

tujuan penggunaannya, suku bunga kredit dibedakan menjadi tiga yaitu kredit

modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumsi.

1. Suku bunga kredit modal kerja (working capital loan) adalah kredit yang

diberikan untuk membiayai kegiatan usahanya atau perputaran modal

misalnya pembelian barang dagangan. Kredit Modal Kerja (KMK) adalah

fasilitas kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta

23
asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan

jangka waktu maksimal 1 tahun.

2. Suku bunga kredit investasi adalah kredit jangka menengah/panjang yang

diberikan kepada (calon) debitur untuk membiayai barang-barang modal

dalam rangka rehabilitasi,modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek

baru, misalnya untuk pembelian mesin-mesin, bangunan dan tanah untuk

pabrik, yang pelunasannya dari hasil usaha dengan barang-barang modal yang

dibiayai. Jangka waktu kredit ini umumnya lebih dari satu tahun.

3. Suku bunga kredit kosumsi ( consumer loan ) adalah kredit yang diberikan

bank untuk membiayai pembelian barang, yang tujuannya tidak untuk usaha

tetapi untuk pemakaian pribadi. Jangka waktu kredit ini dapat berjangka waktu

panjang atau pendek.

2.1.2.5. Jenis-jenis Bunga Kredit

a. Bunga tetap (fixed rate) : suku bunga kredit ditentukan tetap sampai

kredit tersebut lunas. Pinjaman bunga tetap akan mengandung resiko

suku bunga, apabila selama masa kredit tingkat bunga pasar naik, maka

biaya bunga akan meningkat. Dengan memberikan bunga secara fixed

rate, maka otomatis pihak bank sudah mengambil alih perubahan resiko

suku bunga pasar. Hal inilah yang menyebabkan kenapa suku bunga

secara fixed rate lebih tinggi dibandingkan dengan bunga kredit floating

rete.

b. Floating rate (bunga fluktusif) : suku bunga fluktuatif dibuat

mengambang sesuai dengan fluktuasi biaya dana yang ada, misalnya:

besaran suku bunga kredit bergantung pada besaran bunga deposito dan

24
tabungan. Pinjaman dengan suku bunga fluktuatif secara otomatis akan

mengalihkan resiko mengalihkan resiko suku bunga dari bank kepada

debitur, namun justru hal ini dapat menaikkan resiko kredit pada

akhirnya juga dapat menaikkan resiko kredit yang pada akhirnya juga

dapat berdampak buruk bagi nasabah dan bank itu sendiri.

2.1.3. INFLASI

2.1.3.1. Pengertian

Dalam berinvestasi tentunya banyak hal yang harus dipertimbangakan

dalam mengambil keputusan untuk berivestasi. Dibalik semakin baik dan

meningkatnya investasi di Indonesia dapat mempengaruhi faktor ekonomi yang

lainnya salah satunya yaitu semakin tingginya laju inflasi yang terjadi di

Indonesia. Investasi dan inflasi mempunyai hubungan yang negatif, tingginya

tingkat inflasi di suatu Negara , mengakibatkan penawaran uang atau money

supply meningkat yang diikuti tingginya tingkat suku bunga.

Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-

harga secara umum dan terus-menerus (continue) berkaitan dengan mekanisme

pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi

masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar yang memicu

konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat adanya

ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses

menurunnya nilai mata uang secara kontiniu. Inflasi adalah proses dari suatu

peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang

dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk

25
melihat tingkat perubahan, dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga

berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi.

Lenin, konon pernah menyatakan bahwa cara terbaik untuk

menghancurkan sistem kapitalisme adalah dengan menghancurkan sistem

keuangannya. Dengan proses inflasi yang terus-menerus berlangsung, pemerintah

dapat mengambil alih, secara diam-diam dan sulit dilacak, sebagian besar jumlah

kekayaan warga negaranya.

Inflasi terjadi apabila tingkat harga-harga dan biaya-biaya umum naik

yaitu harga beras, bahan bakar, mobil naik, tingkat upah, harga tanah, sewa

barang-barang modal juga naik. Sedangkan deflasi terjadi apabila apabila harga-

harga dan biaya-biaya secara umum turun (Samuelson, 1997:296).

Inflasi merupakan peristiwa moneter yang sangat penting dan sering

dijumpai hampir pada semua Negara di dunia. Inflasi dapat didefenisikan sebagai

kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus- menerus.

Dengan kata lain inflasi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan harga-

harga barang dan jasa secara umum. Kenaikan harga-harga tersebut menyebabkan

turunnya nilai uang (Widayatsari dan Mayes, 2012:53).

2.1.3.2. Macam-Macam Inflasi.

Ada beberapa cara untuk menggolongkan macam inflasi.

1) Berdasarkan faktor-faktor penyebab timbulnya, inflasi dapat dibedakan ke

dalam tiga macam yaitu (Nanga, 2005:245-247) :

26
a. Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation).

Demand-pull inflation adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari

adanya kenaikan permintaan agregat (AD) yang terlalu besar atau

pesat dibandingkan dengan penawaran atau produksi agregat.

Gambar 2.1 Demand Pull Inflation

D1

D S

P1

Q Q1 Q

Keterangan :

P : harga

D : demand (permintaan) sebelum mengalami perubahan

D1 : demand (permintaan) setelah mengalami perubahan akibat

dala beli masyarakat meningkat.

b. Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation).

Cost push inflation adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari

adanya kenaikan biaya produksi yang pesat dibandingkan dengan

produktifitas dan efisiensi yang menyebabkan perusahaan mengurangi

supply barang dan jasa mereka ke pasar.

27
Gambar 2.2 Cost Push Inflation

D S1

P1

Q Q1 Q

Keterangan :

P : harga

D : demand (permintaaan) yang di asumsikan tetap

S : supply (penawaran)

S1 : supply ( penawaran) setelah berkurang

c. Inflasi Struktural (structural inflation).

Struktural inflation adalah inflasi yang terjadi sebagai akibat dari

adanya berbagai kendala atau kekakuan struktural yang menyebabkan

penawaran didalam perekonomian menjadi kurang atau tidak

responsif terhadap permintaan yang meningkat.

2) Penggolongan berdasarkan asal inflasi yaitu (widayatsari dan mayes,

2012:56) :

28
a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)

Inflasi yang timbul karena terjadinya defisit dalam pembiayaan dan

belanja negara yang terlihat pada anggaran belanja negara. Untuk

mengatasinya biasanya pemerintah mencetak uang baru. Selain, itu

harga-harga naik dikarenakan musim penceklik (gagal panen),

bencana alam berkepanjangan, dan lain-lain.

b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)

Inflasi ini terjadi karena negara-negara yang menjadi mitra dagang

suatu negara mengalami inflasi yang tinggi. Dapatlah diketahui bahwa

harga-harga barang dan juga ongkos produksi relatif mahal sehingga

bila terpaksa negara lain harus mengimpor barang tersebut maka harga

jualnya didalam negeri tentu saja bertambah mahal.

2.1.3.3. Teori-Teori Inflasi

Beberapa teori tentang inflasi adalah sebagai berikut :

1. Teori klasik dan moneteris

Penyebab timbulnya inflasi atau kenaikan harga menurut kaum klasik

adalah karena kenaikan atau pertumbuhan jumlah uang beredar.

Dengan perkataan laim, inflasi menurut mereka gejala atau fenomena

moneter (Nanga, 2005:239).

2. Teori Keyness

Keynes mengatakan bahwa kecepatan perputaran uang merupakan

sesuatu yang bersifat dapat berubah-ubah. Berbeda dengan kaum

klasik, Keynes sebaliknya mengatakan bahwa pengangguran dapat saja

terjadi untuk suatu jangka waktu yang panjang atau bahkan untuk

29
jangka waktu yang tidak terbatas. Dengan adanya pengangguran, maka

suatu kenaikan di dalam jumlah uang beredar akan menyebabkan baik

tingkat harga maupun tingkat output mengalami kenaikan. Dengan

kenaikan di dalam output tersebut, kenaikan di dalam tingkat harga

akan menjadi lebih kecil daripada kenaikan di dalam jumlah uang

beredar sekalipun kecepatan perputaran uang beredar itu konstan

(Nanga, 2005:241).

Di dalam model Keynes, jumlah uang beredar hanyalah salah satu

faktor penentu tingkat harga. Namun di dalam jangka pendek, ada

banyak faktor lain menurut Keynes mempengaruhi tingkat harga,

seperti pengeluaran konsumsi rumahtangga ( C), pengeluaran investasi

(I), pengeluaran pemerintah (G), dan pajak (T) (Edgmand, 1987:280).

3. Pandangan aliran ekspektasi rasional dan ekonomi sisi penawaran

Para teoritis dari aliran ekspektasi rasional juga memandang inflasi

sebagai fenomena moneter. Namun, mereka juga percaya bahwa

perubahan yang bersifat antisipatif di dalam jumlah uang beredar

hanya akan membawa dampak terhadap tingkat harga dan tidak

mempunyai pengaruh terhadap output dan kesempatan kerja (Nanga,

2005:242).

4. Teori strukturalis

Teori strukturalis berkembang dari pemikiran sejumlah ahli ekonomi

amerika latin, dimana mereka , melihat inflasi itu sebagai sesuatu yang

berakar dari adanya berbagai kendala atau kekuatan struktural

termasuk didalamnya kelembagaan yang ada dalam perekonomian

30
negara-negara yang sedang berkembang tersebut. Kaum strukturalis

mengatakan bahwa inflasi merupakan sesuatu yang tidak dapat

dihindarkan oleh perekonomian yang sedang berkembang. Dengan

perkataan lain, inflasi merupakan sesuatu hal yang melekat di dalam

proses pembangunan ekonomi itu sendiri.

Teori strukturalis mengidentifikasi ada beberapa kendala atau

hambatan yang menjadi penyebab kenaikan harga atau inflasi di

negara-negara sedang berkembang, yaitu (Nanga, 2005:243):

a) Kendala penawaran bahan pangan yang bersifat inelastis.

b) Kendala devisa (foreign exchange constraint).

c) Kendala fiskal (fiscal constraint)

2.1.3.4. Bentuk Inflasi.

1. Inflasi moderat

Bentuk inflasi ini terjadi ketika harga-harga meningkat dengan

perlahan-lahan. Kita bisa mengatakan inflasi bersifat moderat bila

angkanya masih dibawah 10 persen per tahun, atau inflasi satu angka/

satu digit. Dalam situasi inflasi moderat dan stabil, haraga-harga relatif

tidak akan bergerak jauh menyimpang. Orang tidak terlalu banyak

berfikir untuk menggunakan uangnya karena tingkat suku bunga riil

tidaklah terlalu rendah.

2. Inflasi ganas

Bentuk inflasi ini terjadi jika harga-harga mulai melonjak 20, 100, atau

200 persen per tahun, yang sering disebut dengan inflasi dua atau tiga

angka/digit.

31
3. Hiperinflasi

Sementara kegiatan ekonomi bisa bertahan, dan mungkin harus

berhemat, bentuk inflasi ketiga dan yang mematikan adalah

hiperinflasi. Tak ada sesuatu yang baik yang bisa dkatakan mengenai

membubungnya harga berlipat kali. Inflasi semacam ini pernah terjadi

di Jerman pada tahun 1920-1923, atau Cina dan Hongoria sesudah

perang dunia II (Samuelson, 1997:298).

2.1.3.5. Dampak Inflasi

Selama masa inflasi, semua harga dan upah tidaklah bergerak dengan

kecepatan sama, dengan perkataan lain terjadilah apa yang disebut perubahan

harga relatif. Dengan adanya harga-harga relatif berbeda ini, maka dua akibat

inflasi yang jelas adalah:

1. Redistribusi pendapatan dan kekayaan antara berbagai kelompok yang

berlainan.

2. Gangguan/distorsi pada harga relatif dan output dari berbagai barang

atau kadang-kadang pada output dan penggunaan tenaga kerja

(kesempatan kerja) bagi perekonomian secara keseluruhan.

2.2. Hubungan Antara Variabel Independen Dengan Variabel Dependen

Variabel independen merupakan variabel bebas yaitu variabel yang

mempengaruhi variabel dependennya. Sedangkan variabel dependen merupakan

variabel tidak bebas yaitu variabel yang terikat / dipengaruhi oleh variabel

independenya. Pada penelitian ini variabel independennya adalah suku bunga

32
kredit dan inflasi sedangkan variabel dependennya investasi dalam negeri di

Provinsi Riau.

2.2.1. Hubungan Antara Suku Bunga Kredit terhadap Investasi

Dengan menggunakan konsep efisiensi marjinal dari investasi Keynes

menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara suku bunga dengan jumlah

investasi. “suku bunga yang tinggi mengurangi investasi dan sebaliknya semakin

rendah suku bunga, semakin besar pula investasi” (Sukirno, 2012:374).

Teori neo-klasik mengatakan bahwa tingkat suku bunga merupakan faktor

penentu dari stok capital yang diinginkan. Jadi, kebijakan moneter, melalui efek

atau pengaruhnya atas tingkat bunga dapat mempengaruhi stok capital dan

investasi yang diinginkan (Nanga,2005:130).

Makin tinggi tingkat bunga, maka keinginan melakukan investasi semakin

kecil. Alasannya seorang investor akan menambah pengeluaran investasinya

apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari tingkat bunga

yang harus dibayar untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos untuk

penggunaan dana atau cost of capital. Makin rendah tingkat bunga maka

pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan invstasi, sebab biaya

penggunaan dana juga semakin kecil.

2.2.2. Hubungan Antara Inflasi terhadap Investasi

Hubungan antara inflasi dengan investasi adalah negatif. Menurut Mc

Kinnon (1973) mengemukakan inflasi cenderung memperendah tingkat bunga riil,

menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan di pasar modal. Hal ini akan

33
menyebabkan penawaran dana untuk investasi akan menurun, sebagai akibatnya

investasi sektor swasta tertekan sampai kebawah tingat keseimbangannya, yang

disebabkan oleh terbatasnya penawaran dana yang dipinjamkan. Oleh karena itu,

selama inflasi menuntun kearah tingkat bunga riil yang rendah dan

ketidakseimbangan pasar modal, maka inflasi tersebut akan menurunkan investasi

dan pertumbuhan (Nanga, 2005:248).

Seorang investor akan cenderung melakukan investasi apabila tingkat

inflasi disuatu Negara itu stabil. Hal ini dikarenakan dengan adanya kestabilan

dalam tingkat inflasi, maka tingkat harga barang-barang secara umum tidak akan

mengalami kenaikan dalam jumlah yang signifikan. Oleh karena itu, investor akan

merasa lebih terjamin untuk berinvestasi pada saat tingkat inflasi disuatu Negara

cenderung stabil atau rendah, dengan kata lain kenaikan inflasi akan menurun kan

minat investor untuk melakukan investasi, sebaliknya jika inflasi turun maka

invetasi akan meningkat.

2.3. PENELITIAN TERDAHULU

Beberapa penelitian terdahulu akan diuraikan secara ringkas karena

penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian terdahulu, melalui jurnal-jurnal

yang telah dipublikasikan. Meskipun ruang lingkup hampir sama tetapi karena

objek dan periode waktu yang digunakan berbeda maka terdapat banyak hal yang

tidak sama sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk saling melengkapi.

Berikut ringkasan beberapa penelitian terdahulu :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Eni Setyowati dan Siti Fatimah NH (2007)

mengenai “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Dalam

34
Negeri di Jawa Tengah Tahun 1980-2002”. Dengan variabel dependent

Investasi Dalam Negeri dan variabel indpendennya Suku Bunga, Inflasi, PDRB

dan Tenaga Kerja. Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah model

koreksi kesalahan Engle-Granger (EG-ECM), dengan kesimpulan hasil

estimasi OLS (Ordinary Least Square) dengan model koreksi kesalahan E-G

(Engle Granger) menunjukkan bahwa variable yang berpengaruh dan

signifikan secara statistik dalam jangka waktu pendek adalah investasi dalam

negeri tahun sebelumnya mempunyai pengaruh yang negatif terhadap investasi

dalam negeri, hasil estimasi jangka panjang menunjukkan bahwa variabel yang

berpengaruh dan signifikan secara statistik adalah varianbel suku bunga

mempunyai pengaruh yang negatif terhadap investasi dalam negeri.

2. Sri Wahyuning dan Sindhu Rakasiwi (2010) dalam penelitiannya mengenai

“Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Dalam Negeri di

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009”. Dengan variabel dependent

Investasi Dalam Negeri dan variabel independentnya PDRB, angkatan kerja,

inflasi, infrastruktur. Model yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis

regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap

variabel terikat. Dengan kesimpulan variabel PDRB berpengaruh negatif dan

signifikan, variabel angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan, variabel

inflasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan, dan variabel panjang jalan

berpengaruh positif dan sigifikan terhadap PMDN di Provinsi Jawa Tengah.

3. Hadi Sasana (2008) dengan penelitiannya mengenai “Analisis Faktor-faktor

yang Mempengaruhi Investasi Swasta di Jawa Tengah 1998-2003”. Dengan

variabel dependent PMDN di Jawa Tengah, dan variabel independentnya

35
tingkat suku bunga, inflasi, dan pengeluaran pemerintah. Penelitian ini

menggudakan analisis medel regresi linier berganda dengan metode Ordinary

Least Square (OLS). Dari hasil penelitian didapatkan kesimpulan, tingkat suku

bunga memiliki hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap

perkembangan investasi swasta di Jawa tengah. Tingkat Inflasi memiliki

hubungan positif dan berpengaruh signifikan dan pengeluaran pemerintah

berpengaruh positif dan signifikan terhadap perkembangan investasi swasta di

Jawa Tengah.

4. Djames Siahaan (2010) dalam penelitiannya mengenai “Analisis Pengaruh

Tenaga Kerja, ekspor non migas dan krisis ekonomi terhadap penanaman

modal dalam negeri (PMDN) di Provinsi Sumatera Utara Tahun 1985-2008”.

Dengan variabel dependent PMDN, variabel independent tenaga kerja, ekspor

non mogas, krisis ekonomi. Menggunakan metode analisis regresi kuadrat

terkecil atau Ordinary Least Square (OLS). Menyimpulakn bahwa variabel

tenaga kerja mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap PMDN di

Sumatera Utara, varabel ekspor non migas mempunyai pengaruh positif dan

signifikan terhadap PMDN di Sumatera Utara, variabel krisis ekonomi

mempunyai pengaruh buruk atau negatif terhadap PMDN di Sumatera Utara.

5. Azar Fuadi (2012) mengenai “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jawa Tengah periode 1985-

2010”. Dengan variabel dependent PMDN dan Variable independent suku

bunga kredit, PDRB, inflasi. Menggunakan metode analisis linier berganda.

Menyimpulkan bahwa variabel suku bunga mempunyai parameter negatif dan

signifikan terhadap PMDN di Jawa Tengah, variabel PDRB mempunyai tanda

36
parameter positif dan signifikan terhadap PMDN di Jawa Tengah, variabel

inflasi mempunyai tanda parameter positif dan signifikan terhadap PMDN di

Jawa Tengah.

6. Vio Acfhuda Putra (2010) dengan jurnal “Analisis Pengaruh Suku Bunga

Kredit, PDB, Inflasi dan Tingkat Teknologi terhadap PMDN di Indonesia

periode 1986-2008”. Dengan variable dependent PMDN, variabel indepenent

suku bunga kredit, PDB, inflasi, tingkat teknologi. Menggunakan metode

analisis regresi kuadrat terkecil atau OLS. Menyimpulkan bahwa variabel suku

bunga dan inflasi mempunyai pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap

PMDN, kemudian variabel PDB dan tingkat teknologi mempunyai pengaruh

positif dan signifikan terhadap PMDN di Indonesia .

7. Cok Istri Sinta Regina Trisnu dan Ida Bagus Putu Purbadharmaja (2014)

dengan jurnal “Pengaruh PMDN dan PMA terhadap PDRB di Provinsi Bali”.

Dengan variabel dependent PDRB dan variable independent PMDN dan PMA.

Menggunakan metode analisis regresi linier berganda dengan program SPSS,

menyimpulkan bahwa PMDN dan PMA secara simultan berpengaruh

signifikan terhadap PDRB di provinsi Bali. PMDN dan PMA secara parsial

berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB di provinsi Bali.

2.4. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka yang diuraikan

sebelumnya, maka kerangka pemikirannya adalah pengaruh suku bunga kredit,

inflasi terhadap penanaman modal dalam negeri (PMDN). Berikut gambaran

kerangka pemikiran tersebut :

37
Gambar 2.3

Kerangka Pemikiran Teoritis

Suku Bunga
Kredit (%)
PMDN
(Triliun)
Inflasi (%)

2.5. Hipotesis Peneletian

Hipotesa adalah suatu penjelasan sementara tentang prilaku, fenomena,

atau keadaan tertentu yang telah terjadi atau akan terjadi. Hipotesa merupakan

pernyataan peneliti tentang hubungan antara variable-variabel dalam penelitian,

serta merupakan pernyataan yang paling spesifik (Kuncoro, 2013:59).

Dalam penelitian ini akan dirumuskan hipotesis guna memberikan arah

dan pedoman dalam melakukan penelitian. Hipotesis yang digunakan dalam

penelitian ini adalah diduga suku bunga kredit dan inflasi mempunyai hubungan

yang negatif terhadap terhadap penanaman modal dalam negeri (PMDN) di

Provinsi Riau Tahun 1996-2015.

38
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Riau dengan menganalisis data Provinsi Riau

periode 1996-2015, dengan tujuan untuk memenuhi syarat estimasi koefisien

yang akurat agar dapat menghasilkan interpretasi dan kesimpulan yang akurat.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, yaitu

data yang dapat diukur dalam suatu skala numeric (angka). Data kuantitatif disini

berupa data runtun waktu (time series) yaitu data yang disusun menurut waktu

pada suatu variabel tertentu yaitu data tahunan.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang telah

dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data serta telah dipublikasikan ke

masyarakat pengguna data. Sumber data berasal dari berbagai sumber, antara lain

website Bank Indoesia, Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Provinsi

Riau, Badan Pusat Statistik (BPS), meliputi data PMDN Riau, Suku bunga kredit,

Inflasi yang berbentuk data tahunan periode 1996-2015.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pengumpulan data

adalah metode dokumentasi. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan

informasi melalui pendalaman literature-literatur yang berkaitan dengan objek

39
studi. Teknik dokumentasi dilakukan dengan menelusuri dan

mendokumentasikan data-data dan informasi yang berkaitan dengan objek studi.

3.4. Defenisi Operasional Variabel

Penelitian ini menggunakan satu variable dependen dan dua variable

independen. Defenisi operasional masing-masing variable dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

a. Variable Dependen

Investasi dalam negeri (PMDN). PMDN berdasarkan pasal 1 Undang-

Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), yaitu

kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara

Republik Indonesia yaitu dilkukan oleh penanam modal negeri dengan

menggunakan model dalam negeri. Data yang digunakan yaitu data realisasi

PMDN Provinsi Riau tahun 1996 sampai tahun 2015, dinyatakan dalam

satuan jutaan rupiah.

b. Variable Independen

1. Suku bunga kredit

Suku bunga kredit adalah harga dari suatu penggunaan uang atau

biasa juga dipandang sebagai sewa atas penggunaan uang untuk jangka

waktu tertentu. Atau harga dari meminjam uang untuk menggunakan daya

belinya dan biasanya dinyatakan dalam persen (%). Data tingkat suku

bunga Kredit yang digunakan adalah data tahunan dari tahun 1996 sampai

dengan 2015, dinyatakan dalam satuan persen (%).

40
2. Inflasi

Inflasi adalah tingkat kenaikan harga barang secara umum yang

terjadi secara terus-menerus. Tingkat inflasi yang digunakan adalah

tingkat inflasi yang diperoleh dari Indeks Harga Konsumen (IHK). Data

yang diguakan adalah data inflasi tahun 1996 sampai tahun 2015, yang

dinyatakan dalam satuan persen (%).

3.5.Metode Analisis

Dalam penelitian ini penulis mengolah data dengan menggunakan analisis

model regresi berganda dengan metode kuadrat terkecil sederhana (Ordinary

Least Square/OLS). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan alat bantu

yaitu dengan perhitungan pogram SPSS 17.0 (Statistical Product and Service

Solution). Analisis regresi ini adalah studi ketergantungan dari variable dependen

pada satu atau lebih variable lain, yaitu variable independen . Atau OLS ini juga

disebut untuk mengestimasi suatu garis regresi dengan jalan meminimalkan

jumlah dari kuadrat kesalahan setiap observasi terhadap garis tersebut (Kuncoro,

2013:242)

Untuk menganalisis besarnya hubungan dan pengaruh variable

independen terhadap variable dependen digunakan analisis kuantitatif yaitu

metode analisi regresi berganda dengan fungsi sebagai berikut :

𝑃𝑀𝐷𝑁 (𝑌) = 𝑓(𝑆𝑢𝑘𝑢 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 (𝑋1 ), 𝐼𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 (𝑋2 ), … … … , 𝑋𝑛 )

Dari bentuk fungsi regresi diatas kemudian dibentuk kedalam fungsi

Regresi Linier Berganda yang bentuk perkembangannya sebagai berikut :

𝑃𝑀𝐷𝑁 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑠𝑢𝑘𝑢 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 + 𝛼2 𝑖𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 + 𝜇 … … (1)

41
Dari persamaan diatas ditransformasikan kedalam bentuk persamaan semi-

log, untuk menormalkan distribusi data yang ada, sehingga model persamaan

regresi menjadi :

𝐼𝑛 𝑃𝑀𝐷𝑁 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑠𝑢𝑘𝑢 𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑘𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 + 𝛽2 𝑖𝑛𝑓𝑙𝑎𝑠𝑖 + 𝜇 … … (2)

Dimana:

β0 dan α0 = konstanta
β1…… β2 = koefisien regresi masing-masig variabel penjelas terhadap
PMDN
α1 …. α2 =koefisien regresi masing-masing variabel penjelas
terhadap PMDN
µ = error sampling
PMDN = realisasi investasi dalam negeri

Pengujian Hipotesis akan dilakukan beberapa uji yaitu Uji Asumsi Klasik

(Normalitas, Multikulinieritas, Heretoskedastisitas, dan Autokorelasi), Uji statistik

(simultan/ uji-F, uji koefisien regresi secara individual/ uji-t, koefisien korelasi/R,

dan koefisien determinasi berganda/R2).

3.5.1. Uji Asumsi Klasik

Pengujian ini dilakukan untuk memeriksa ada atau tidaknya pelanggaran

terhadap asumsi klasik model regresi. Pelanggaran terhadap asumsi klasik akan

menyebabkan koefisien-koefisien regresi memiliki standar eror yang besar dan

hasil statistik tidak akurat. Model regresi yang baik adalah tidak akan

menyebabkan pelanggaran terhadap asumsi klasik, adapun yang termasuk dalam

uji asumsi klasik sebagai berikut :

42
1. Normalitas

Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel

pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak.

Pengujian normalitas residual dapat dilihat dari grafik normal p-plot.

Apabila pancaran titik atau data residual berada disekitar garis lurus

melintang atau diagonal, maka dikatakan bahwa residual mengikuti

fungsi distribusi normal (Yamin dan Kurniawan, 2009:85).

2. Multikolinieritas

Uji Multikolinieritas adalah pengujian untuk mengetahui ada atau

tidaknya hubungan linier secara sempurna antara variable independen

dalam model regresi. Pemeriksaan uji Multikolinieritas dilakukan dengan

melihat nilai Variance Inflated Factor atau VIF , dimana jika nilai VIF

lebih besar dari 10, maka dikatakan terdapat gejala Multikolinieritas. Dan

sebaliknya apabila VIF lebih kecil dari 10, dan maka tidak terdapat gejala

Multikolinieritas (Yamin dan Kurniawan, 2009:91).

3. Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah suatu penyimpangan asumsi OLS dalam

bentuk varian gangguan estimasi yang dihasilkan oleh estimasi OLS tidak

bernilai konstan (Yuwono, 2005:122).

Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi terjadi

ketidaksamaan varian residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain.

Uji mengenai asumsi tidak adanya heteroskedastisitas pada residual dapat

dilihat dari scatter plot antara data residu yang telah distandarkan (sdresid)

43
dengan hasil prediksi variable dependen yang telah distandarkan (Zpred).

Dasar pengambilan keputusan tidak adanya heteroskedastisitas yaitu titik-

titik atau data tersebar tidak membentuk suatu pola tertentu (gujarati,

2006:91).

Ada empat kemungkinan pola varians dari heteroskedastisitas ini,

yaitu (Yuwono, 2005:122) :

a) Pola menyebar dengan varian semakin besar jika X semakin

besar

b) Pola memusat dengan varian semakin kecil jika X semakin

besar

c) Pola cekung dengan varian kecil untuk x sekitar rerata

d) Pola cembung dengan varians besar untuk X sekitar rerata.

Solusi masalah heteroskedastisitas dapat diselesaikan dengan

motode Goldfeld-Quant dan metode Glejser (Yowono, 2005:132).

4. Autokolerasi

Autokorelasi merupakan hubungan yang terjadi antara residual dari

pengamatan satu dengan pengamatan lain. Metode untuk menguji adanya

autokorelasi dilihat dari uji Durbin Waston. Kriteria pengambilan

keputusan yaitu (Yuwono, 2005:144) :

a) jika nilai DW mendekati nol ( 0 ), maka terdapat adanya

korelasi positif sempurna.

44
b) Jika nilai DW mendekati empat ( 4 ), maka tedapat adanya

korelasi negatif sempurna.

c) Jika nilai DW mendekati dua ( 2 ), maka menunjukkan tidak

adanya autokorelasi .

Masalah autokorelasi dapat diselasaikan dengan menggunakan

metode Two Stage Least Square (TSLS). Prinsip metode ini adalah dengan

meniadakan korelasi gangguan estimasi dengan memodifikasi model

(Yowono, 2005:146).

3.5.2. Uji Statistik

Adapun yang termasuk uji statistic adalah sebagai berikut :

1. F-Statistik (Uji F)

Uji F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebsar yang

dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap

variabel terikatnya (Kuncoro, 2013:245).

Uji F dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas yaitu suku bunga

kredit dan inflasi bersama-sama berpengaruh terhadap bvariabel tidak bebas yaitu

PMDN, dengan mencari F terlebih dahulu meggunakan perhitungan SPSS 17.0.

dengan kriteria kepuasan :

- Jika F hitung > F table, maka Ho ditolak, variabel bebas secara bersama-

sama mempengaruhi variabel terikat.

- Jika F hitung < F table, maka Ho diterima, tidak adanya pengaruh antara

variabel bebas dengan variabel terikat.

45
2. T-Statistik (uji-t)

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh suatu

variabel penjelas secara invidual dalam menerangkan variasi variabel terikat

(Kuncoro, 2013:244).

Kriteia pengambilan keputusan :

Dengan kriteria keputusan sebagai berikut :

- Jika t hitung > t table, maka Ho ditolak, variabel bebas tertentu berpengaruh

dengan variabel terikat.

- Jika t hitung < t table, maka Ho diterima, tidak adanya pengaruh antara

variabel bebas dengan variabel terikat.

3. Koefisien Korelasi (R )

Digunakan untuk mengukur keeratan hubungan antara variable independen

dengan variable dependen. Semakin besar nilai koefisien korelasi maka semakin

erat hubungan antara variable independen dan variable dependen atau sebaliknya

(Gujarati, 2007:53).

4. Koefisien Determinasi Berganda (R2)

Besaran R2 didefenisikan Sebagai koefisien determinasi (sampel dan

merupakan besaran yang paling lazim digunakan untuk mengukur kecocokan dari

suatu garis regresi (Gujarati, 2007:161).

46
Koefisien determinasi berganda digunakan untuk mengukur tingkat

ketepatan atau kecocokan (goodness of fit) dari regresi linier berganda yaitu

besarnya persentase sumbangan dari variable X terhadap variasi (naik turunya)

variable Y secara bersama-sama. Makin dekat R2 dengan satu, makin cocok garis

regresi untuk meramalkan Y. oleh karena itu R2 digunakan sebagai suatu criteria

untuk meramalkan variable tak bebas Y (goodness of fit criteria) dengan criteria

nilai R2 nya antara nol dan satu : 0 ≤ R2 ≤ 1.

47
BAB IV

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

4.1. Keadaan Geografis

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Riau menyatakan

bahwa, Provinsi Riau memiliki luas area sebesar 8.915.016 hektar. 12 ibukota

kabupaten/kota yang berjarak antara 60 kilometer hingga 240 kilometer dari

ibukota provinsi dan berada pada ketinggian sekitar 2 hingga 91 meter dari

permukaan laut. Keberadaannya terletak antara 01o05'00’’ Lintang Selatan

sampai 02o25'00’’ Lintang Utara atau antara 100o00'00’’Bujur Timur-105o05'00’’

Bujur Timur.

Di daerah daratan terdapat 15 sungai, di antaranya ada 4 sungai yang

mempunyai arti penting sebagai prasarana perhubungan seperti Sungai Siak (300

kilometer) dengan kedalaman 8-12 meter, Sungai Rokan (400 kilometer) dengan

kedalaman 6-8 meter, Sungai Kampar (400 kilometer) dengan kedalaman lebih

kurang 6 meter dan Sungai Indragiri (500 kilometer) dengan kedalaman 6-8

meter.

Adapun batas-batas Provinsi Riau bila dilihat posisinya dengan Negara

tetangga dan provinsi lainnya adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara

b. Sebelah Selatan : Provinsi Jambi dan Provinsi Sumatera Barat

c. Sebelah Timur : Provinsi Kepulauan Riau dan Selat Malaka

d. Sebelah Barat : Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara

48
4.2. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi Riau tahun 2015 sebanyak 6.344.402 jiwa yang

terdiri dari penduduk laki-laki 3.257.561 jiwa dan 3.086.841 jiwa penduduk

perempuan dengan jumlah rumah tangga 1.522.673 dan rata-rata penduduk per

rumah tangga adalah 4,17 jiwa.

Distribusi penduduk menurut kabupaten/kota di Provinsi Riau masih

terkonsentrasi di Kota Pekanbaru sebagai ibukota provinsi dengan jumlah

penduduk 1.038.118 jiwa atau sekitar 16,36 persen dari seluruh penduduk Riau.

Sedangkan kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terkecil adalah Kabupaten

Kepulauan Meranti sebesar 181.095 jiwa.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Provinsi Riau Menurut Jenis Kelamin Tahun
1996-2015
Jenis Kelamin
Jumlah
Tahun Laki-laki Perempuan
(Jiwa)
(Jiwa) (Jiwa)
1996 1.918.687 2.018.687 3.937.374
1997 2.043.820 2.023.820 4.067.640
1998 2.076.073 2.046.073 4.122.146
1999 2.106.796 2.106.000 4.212.796
2000 2.405.283 2.328.665 4.733.948
2001 2.339.592 2.386.617 4.726.209
2002 2.670.175 2.637.688 5.307.863
2003 2.847.636 2.710.244 5.557.880
2004 2.314.182 2.177.211 4.491.393
2005 2.363.669 2.251.261 4.614.930
2006 2.437.733 2.326.472 4.764.205
2007 2.678.084 2.392.868 5.070.952
2008 2.735.828 2.453.326 5.189.154
2009 2.794.617 2.511.916 5.306.533
2010 2.854.989 2.688.042 5.543.031
2011 2.943.836 2.782.405 5.726.241
2012 3.021.494 2.857.615 5.879.109
2013 3.099.760 2.933.508 6.033.268
2014 3.178.486 3.009.956 6.188.442
2015 3.257.561 3.086.841 6.344.402
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2016

49
Tebel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota tahun 2011-2015
Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 2014 2015
Kuantan Singingi 302.674 310.06 317.265 310.619 314.276
Indragiri Hulu 376.578 388.916 401.201 400.901 409.431
Indragiri Hilir 685.698 689.938 697.814 694.614 703.734
Pelalawan 312.738 332.075 352.207 377.221 369.990
Siak 390.359 405.85 421.477 428.499 440.841
Kampar 713.078 739.655 766.351 773.171 793.005
Rokan Hulu 492.006 517.577 543.857 568.576 592.278
Bengkalis 516.348 530.191 543.786 536.138 543.987
Rokan Hilir 573.211 595.695 618.355 627.233 644.680
Kepulauan Meranti 182.662 183.135 183.912 179.894 181.095

Pekanbaru 930.215 964.558 999.031 1.011.467 1.038.188


Dumai 262.976 271.522 280.027 280.109 285.967
Jumlah
5.738.543 5.929.172 6.125.283 6.188.442 6.344.402
Sumber : Badan Pusat Statistik Riau, 2016

4.3. Gambaran Investasi Provinsi Riau

Riau sebagai daerah yang kaya dengan potensi dan kekayaan alam yang

melimpah, baik daratan dan bahari, menjadikan provinsi ini sebagai salah satu

daerah dengan perkembangan investasi baik di tanah air. Salah satu kelebihan lain

adalah suasana kondusif yang selalu terjaga, sehingga investor melirik daerah ini

dalam memanamkan modal usaha baik dari luar negeri ataupun domestik.

Potensi Riau dalam investasi sangat tinggi, bisa dilihat dari pertumbuhan

ekonomi yang selalu di atas rata-rata nasional. Sangat baik, karena geliat ekonomi

Riau akan terus meningkat. Di samping itu, kondisi kondusif di Riau merupakan

salah satu modal utama dalam mengembangkan usaha.

Kontribusi minyak bumi dalam pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau

memang besar. Implikasi dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut juga

telah meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat

dilihat dari PSB Riau yang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dari tahun

ke tahun. Untuk tingkat inflasi di Provinsi Riau sedikit banyak dipengaruhi oleh

50
tingkat inflasi secara nasional yang kondisinua relatif cukup tinggi sebesar 17,11

persen pada tahun 2005. Angka inflasi naik dari 8,92 persen pada tahun 2004

menjadi 17,11 persen. Tatapi pada tahun 2006 inflasi dapat ditekan menjadi 6,32

persen dan terus mengalami fluktasi hingga akhir 2015 inflasi Riau sebesar 4,80

persen.

Sebagai daerah yang memiliki potensi kekayaan alam yang sangat besar

maka sangat potensial untuk mendukung proses industrialisasi di Provinsi Riau.

Tercatat saat ini beberapa industri yang sangat menonjol diantaranya adalah

pengolahan kelapa sawit, industri kertas, dan industi kimia.

Realisasi investasi di Provinsi Riau yang berasal dari Penanaman Modal

Dalam Negeri (PMDN) secara kumulatif, investasi PMDN tahun 2011 sampai

tahun 2015 secara berturut-turut adalah Rp.7.462,6 trliun, Rp.5.450,43 triliun, Rp.

4.874,27 triliun, Rp.7.707,55 triliun, dan Rp.9.943,04 triliun. Sementara untuk

investasi Penanaman Modal Asing (PMA) berturut-turut dari tahun 2011 sampai

2015 adalah 212,34 juta US Dollar, 1.152,85 juta US Dollar, 1.304.95 juta US

Dollar, 1.369,56 juta US Dollar, dan 653,39 juta US Dollar. Oleh

51
BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Riau

Isu tentang investasi merupakan masalah yang krusial dalam pembahasan

pemulihan perokonomian Indonesia. keterpurukan Indonesia dalam krisis

ekonomi yang berlarut-larut adalah salah satu akibat dari ketidakmampuan

pemerintah untuk mengembalikan tingkat investasi seperti sebelum krisis. Padahal

pada awalnya invstasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam

pembangunan ekonomi suatu Negara. Melalui investasi diharapkan akan

meningkatkan kapasitas ekonomi dan menjaga kesinambungan laju pertumbuhan

ekonomi, salah satunya dengan adanya penanaman modal dalam negeri (PMDN).

Pengertian PMDN yang terkandung dalam Undang-Undang no. 25 tahun

1997 tentang penanaman modal adalah kegiatan menanam modal untuk

melakukan usaha di wilayah republik Indonesia yang dilkukan oleh penanam

modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal

merupakan langkah langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi suatu Negara.

Oleh karena itu PMDN merupakan peranan penting sebagai alternative sember

dana dalam negeri yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Riau dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

52
Tabel 5.1. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri di Riau tahun
1996-2015

Tahun PMDN Riau Perkembangan (%)


1996 575,31 -
1997 947,32 64,66
1998 659,18 (30,42)
1999 648,51 (1,62)
2000 1.969,07 203,63
2001 690,48 (64,93)
2002 452,41 (34,43)
2003 251,69 (44,36)
2004 830,38 229,91
2005 1.230,83 48,22
2006 2.501,07 103,20
2007 3.095,36 23,76
2008 3.700,40 19,54
2009 1.830,40 (50,53)
2010 1.037,12 (43,33)
2011 7.462,60 619,54
2012 5.450,43 (26,96)
2013 4.874,27 (10,57)
2014 7.707,55 58,12
2015 9.943,04 29,00
Sumber : Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah (Riau dalam angka)

Pada tabel 5.1 dapat dilihat Penanaman Modal Dalam Negeri setiap

tahunnya mengalami fluktasi. Pada tahun 2015 merupakan nilai investasi tertinggi

di Riau yaitu sebesar Rp. 9.943,04 triliun dengan perkembangan sebesar 29,00%.

Tertinggi kedua terjadi pada tahun 2014 yaitu sebesar Rp.7.707,55 triliun dengan

perkembangan sebesar 58,12%. Selanjutnya tertinggi tiga terjadi pada tahun 2011

yaitu sebesar Rp.7.462,60 triliun dengan perkembangan sebesar 619,54%. Pada

tahun 2003 merupakan investasi terendah 20 Tahun terakhir yaitu sebesar 251,69

milyar dengan perkembangan -44,36%.

53
5.2. Perkembangan Suku Bunga Kredit di Provinsi Riau

Seseorang atau suatu badan yang memberikan kredit (kreditur) percaya

bahwa penerima kredit (debitur) dimasa mendatang akan sanggup memenuhi

segala sesuatu yang telah disepakati yaitu dapat berupa barang, uang, atau jasa.

Suku bunga merupakan imbalan jasa untuk penggunaan uang atau modal yang

dibayar pada waktu yang disetujui, umumnya dinyatakan sebagai persentase dari

modal pokok atau bisa juga sebagai pendapatan atas setiap investasi modal. Pada

perekonomian suatu negara, tingkat suku bunga mempunyai peranan penting baik

pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro. Dalam tingkat mikro, tingkat

suku bunga merupakan harga yang mempunyai peran dalam alokasi sumber untuk

penggunaan alternatif. Pada tingkat makro, tingkat suku bunga merupakan faktor

yang dapat berpengaruh tingkat harga umum, pendapatan dan kesempatan kerja.

(Mukhlis dan Agus Irwanto, 2012:44).

Ekspansi moneter selain mendorong masyarakat menukarkan uangnya

dengan barang dan jasa dapat juga mendorong masyarakat menukarkan uangnya

kedalam bentuk asset keuangan (financial assets). Preferensi masyarakat untuk

membeli asset tersebut akan mengakibatkan kenaikan harga-harga asset keuangan

tersebut yang berarti pula terjadinya penurunan suku bunga dari asset keuangan

tersebut. Penurunan suku bunga tersebut akan mengurangi biaya modal (cost of

capital) dan pada gilirannya akan mendorong kegiatan produksi dan investasi

sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta memperluas kesempatan

kerja. Namun disisi lain penurunan suku bunga sebagai akibat ekspansi moneter

dapat mendorong perpindahan capital ke luar negeri atau capital flight, khususnya

54
ke Negara dimana tingkat bunga dinegara tersebut lebih menguntungkan. Capital

flight pada gilirannya akan merugikan neraca pembayaran (Aulia Pohan, 2008:6).

Adapun perkembangan suku bunga kredit di Provinsi Riau dari tahun ke

tahun dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5.2. Perkembangan Suku Bunga Kredit di Provinsi Riau tahun 1996-
2015

Tahun Suku Bunga Kredit (%) Perkembangan (%)


1996 15,30 -
1997 15,00 (1,96)
1998 16,00 6,67
1999 15,00 (6,25)
2000 16,20 8,00
2001 17,80 9,87
2002 18,00 1,12
2003 17,20 (4,44)
2004 16,24 (5,58)
2005 15,51 (4,49)
2006 15,28 (1,48)
2007 14,61 (4,38)
2008 13,52 (7,46)
2009 13,05 (3,47)
2010 12,62 (3,29)
2011 12,50 (0,95)
2012 12,21 (2,32)
2013 12,23 0,16
2014 12,28 0,41
2015 12,33 0,40
Sumber: Bank Indonesia, 2015

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa Suku Bunga Kredit cenderung

mengalami penurunan setiap tahun nya, ini juga dapat dilihat dari perkembangan

suku bunga setiap tahunnya. Pada tahu 2002 merupakan suku bunga tertinggi

dimana mencapai angka 18,00% dengan perkembangan 1,12%. Hal ini merupakan

55
sebagai akibat dari terjadi nya kerusahan di beberapa daerah, munculnya isu

politik, dan belum tuntasnya pemberantasan kkn yang juga menyebabkan

penurunan investasi pada tahun 2001 sampai 2003. Pada tahun 2003 sampai tahun

2012 suku bunga terus mengalami penurunan dengan perkembangan yang negatif

setiap tahunnya. Kemudian suku bunga terendah terjadi pada tahun 2012 yaitu

sebesar 12,21% denga perkembangan -2,32%.

5.3. Perkembangan Inflasi di Provinsi Riau tahun 1996-2015

Kondisi perekonomian suatu Negara dapat ditentukan dari besarnya angka

inflasi. Angka inflasi merupakan salah satu stabilitas ekonomi yang mencerinkan

perubahan harga suatu Negara . laju inflasi biasanya disebabkan oleh naik turunya

produksi barang dan jasa, distribusinya, dan juga disebabkan oleh peredaran uang

disuatu wilayah.

Di bidang moneter, laju inflasi yang tinggi dan tidak terkendali dapat

menggganggu upaya perbankan dalam pengerahan dana masyarakat. Ini

dikarenakan tingkat inflasi yang tinggi menyebabkan tingkat suku bunga riil

menjadi menurun. Fakta demikian akan mengurangi hasrat masyarakat untuk

menabung sehingga pertumbuhan dana perbankan yang bersumber dari

masyarakat akan menurun. Di samping itu, suku bunga riil yang relative rendah

dibandingkan dengan suku bunga riil di luar negeri dapat menimbulkan pengaliran

modal ke luar negeri. Masyarakat akan menyimpan uangnya di luar negeri.

Kenyataan tersebut akan menghambat upaya perbangkan dalam menghimpun

dana masyarakat. Keadaan dimana kemampunan bank sangan rendah dalam

menampung dana masyarakat (Aulia Pohan, 2008:54).

56
Adapun perkembangan inflasi di Riau dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5.3. Perkembangan Inflasi di Provinsi Riau tahu 1996-2015

Tahun Infalsi (%) Perkembangan inflasi (%)


1996 8,18 -
1997 11,55 41,19
1998 75,86 556,79
1999 4,35 (94,26)
2000 10,34 137,70
2001 14,65 41,68
2002 11,66 (20,41)
2003 6,65 (42,96)
2004 8,92 34,13
2005 17,10 91,70
2006 6,32 (63,04)
2007 7,53 19,14
2008 9,02 19,78
2009 1,94 (78,49)
2010 7,00 260,82
2011 5,09 (27,28)
2012 3,35 (34,18)
2013 8,83 163,58
2014 8,65 (2,03)
2015 4,80 (44,50)
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015

Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa inflasi diriau mengalami fluktasi

dari tahun ke tahun. Perkembangan inflasi pada periode sebelum krisis

menunjukkan kecenderungan untuk berfluktasi yang besarnya relative kecil.

Inflasi di provinsi Riau mengalami titik tertinggginya terjadi pada tahun 1998

yaitu sebesar 75,86% dengan perkembangan sebesar 556,79% , kondisi tersebut

terjadi sebagai dampak dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada waktu

itu. Pada tahun 1999 inflasi mengalami penurunan yang signifiakan berada pada

titik terendahnya yaitu sebesar 4,35% dengan perkembangan -94,26%. Hal ini

57
mengindikasikan adanya perbaikan dalam perekonomi Indonesia pasca krisis

ekonomi. Berbagai kebijakan pemerintah pasca krisis ekonomi dan ketersediaan

kebutuhan pokok mendorong terjadinya pemulihan kondisi perekonomian. Namun

pada tahun 2005 inflasi kembali mengalami kenaikan mencapai 17,10% dengan

perkembangan 91,70%. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan BBM yang

terutama didorong oleh naiknya harga minyak dunia.

5.4. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan disajikan hasil pengolahan data termasuk pembahasan

atas data hasil olahan tersebut. Selain itu, secara berurutan pada bab ini akan

dibahas gambaran umum hasil penelitian yang meliputi analisis regresi, pengujian

variabel secara parsial (uji t) sehingga pada akhirnya diperoleh hasil yang

merupakan tujuan dari penelitian ini. Berikut ini dapat dilihat ringkasan hasil

olahan data penelitian menggunakan SPSS 17.0 :

Tabel 5.3. Ringkasan Hasil Penelitian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Riau
tahun 1995 – 2015
Coefficients Collinearity statistics
Variabel Koefisien Std. t- Sig. Tolerance VIF
error Statistik
Suku bunga -0,189469625 0,083 -2,288 0,037 0,335 2,988
kredit (X1)
Inflasi (X2) -0,010269990 0,012 -0,842 0,413 0,241 4,147
C 15,985047187 1,179 13.562 0,000

R-squared 0,885 F-statistics 28,990


Adjusted R-squared 0,855 Sig. (F-statistics) 0,000
S.E. of the estimate 0,40624 Durbin-Waston stat 1,348
Sum squared resid 2,475 Sum squared regression 19,137
Sumber: Lampiran 2

58
Berdasarkan tabel ringkasan diatas didapatkan persamaan regresi linear

berganda sebagai berikut :

Ln Y = 15,985047187 – 0,189469625suku bunga - 0,010269990inflasi

5.4.1. Uji Asumsi Klasik

Persamaan regresi linear berganda harus bersifat BLUE (Best Linier

Unbiased Estimator), artinya pengambilan keputusan tidak boleh bias. Untuk

menghasilkan keputusan BLUE maka harus dipenuhi diantaranya 4 asumsi dasar,

yaitu uji normalitas, autokorelasi, heterokedastisitas, dan multikolniaritas. Berikut

hasil pengujian data berdasarkan Uji Asumsi Klasik :

1. Uji Normalitas Data

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah variabel bebas dan variabel

terikat mempunyai distribusi normal. Maksud data distribusi normal adalah data

akan mengikuti arah garis diagonal dan menyebar disekitar garis diagonal. Uji

normalitas dilakukan untuk menguji apakah nilai residual yang telah distandarisasi

pada model regresi berdistribusi normal atau tidak. Nilai residual dikatakan

berdistribusi normal jika nilai residual terstandarisasi tersebut sebagian besar

mendekati nilai rata-ratanya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji

normalitas dengan analisis garafik.

59
1) Analisa Grafik Histogram

Gambar 5.1

Sumber: Hasil SPSS 17.0 (diolah), 2016

Berdasarkan Gambar 5.1 diatas histogram regression residual membentuk

kurva lonceng maka nilai residual tersebut dinyatakan normal atau data

berdistribusi normal.

2) Analisa Grafik dengan Normal Probability Plot (Normal P-P Plot)

Gambar 5.2

Sumber: Hasil SPSS 17.0 (diolah), 2016

60
Berdasarkan hasil olahan data penelitian pada Gambar 5.2 dapat dilihat

bahwa titik-titik yang berada pada gambar tersebut menyebar mengikuti garis

diagonal. Sehingga grafik P-Plot ini membuktikan bahwa data yang digunakan

dalam penelitian ini berdistribusi normal.

3) Uji Kolmogorov-Smirnov (K-S)

Tabel 5.5. Hasil Uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual
N 20
Normal Mean .0000000
Parametersa,,b Std. Deviation .36095423
Most Extreme Absolute .078
Differences Positive .073
Negative -.078
Kolmogorov-Smirnov Z .347
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Sumber: Hasil SPSS 17.0 (diolah), 201

Berdasarkan hasil olahan data penelitian pada tabel 5.5 dapat dilihat bahwa

untuk mengambil keputusandata dikatakan berdistribusi normal jika nilai

probabilitas signifikan > 5% dan data dikatakan tidak berdistribusi normal jika

nilai probabilitas signifikan < 5%. Dari hasil olahan terdapat asymp. Sig (2-tailed)

sebesar 1,000 berarti data dapat dikatakan berdistribusi normal karena nilai

probabilitas signifikan > 5%.

2. Uji Multikolinearitas

Uji Multikoliniearitas bertujuan untuk mengetehui ada atau tidaknya

hubungan linear secara sempurna antara variabel independent dengan variabel

dependent.

61
Berdasarkan tabel 5.3 hasil perhitungan nilai tolerance value pada hasil

analisis data, diperoleh nilai VIF (Variance inflation factor) untuk suku bunga

sebesar 2,988 (<10), dengan nilai tolerance 0,335 (>0,1), selanjutnya VIF

(Variance inflation factor) inflasi sebesar 4,147 (<10), dan nilai tolerance 0,241

(>0,1). Sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi tersebut bebas dari

multikolinearitas.

3. Uji Heteroskedastisitas

Bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi

ketidaksamaan varian residual satu pengamatan ke pengamatan lain.

Heteroskedastisitas berarti ada varian variabel pada model regresi yang tidak sama

(konstan). Sebaliknya, analisis regresi menganggap kesalahan (error) bersifat

homoskedastisitas, yaitu asumsi bahwa residu atau deviasi dari garis yang paling

tepat muncul serta random sesuai dengan besarnya variabel-variabel independen

(Sri Endang Kornita, 2011: 120).

Untuk mendeteksi keberadaan heteroskedastisitas, peneliti menggunakan

alat pengujian sebagai berikut :

62
Gambar 5.3

Sumber: Hasil SPSS 17.0 (diolah), 2016

Berdasarkan Gambar 5.3 terlihat bahwa titik-titik menyebar secara acak,

tidak membentuk suatu pola tertentu yang jelas. Dapat disimpulkan bahwa model

regresi dalam penelitian ini bebas dari heteroskedastisitas.

4. Uji Autokerelasi

Pengujian autokorelasi dalam suatu model bertujuan untuk mengetahui ada

tidaknya korelasi antara variabel pengganggu pada periode tertentu dengan

variabel pengganggu pada periode sebelumnya.

Dari hasil perhitungan ditabel 5.3 diperoleh nilai D-W sebesar 1,348

sehingga D-W berada diantara -2 sampai +2 dan dapat disimpulkan bahwa model

ini tidak mengandung masalah autokorelasi.

63
5.4.2. Uji Statistik

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan SPSS 17.0 for windows maka

didapat persamaan analisis regresi linear berganda sebagai berikut :

lnPMDN = 15,985047187 – 0,189469625X1 – 0,010269990X2

Dari hasil persamaan regresi linier berganda tersebut diatas, maka dapat dianalisis

a) Nilai Konstanta

Nilai konstanta adalah 15,985047187 mempunyai arti bahwa jika variabel

suku bunga kredit dan inflasi bernilai nol, maka penanaman modal dalam negeri

di Provinsi Riau adalah sebesar 15,985047187.

b) Koefisien Regresi Suku Bunga Kredit

Nilai koefisien variabel suku bunga kredit sebesar -0,18946 mempunyai

arti bahwa disaat variabel lain dianggap tetap, maka kenaikan suku bunga kredit

sebesar 1% maka akan menurunkan PMDN sebesar 0,18946 persen.

c) Koefisien Regresi Inflasi

Nilai koefisien variabel inflasi sebesar -0,010269 mempunyai arti bahwa

disaat variabel lain dianggap tetap, maka kenaikan inflasi sebesar 1% akan

menurunkan PMDN sebesar 0,010269 persen.

8. Uji F-Simultan

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan SPSS 17.0 maka diperoleh

probabilitas (F-Statistic) sebesar 0.000 , dengan demikian probabilitas (F-Statistic)

< α (0,000 < 0,05) maka Ho ditolak dan H1 diterima. Ini berarti bahwa jumlah

uang beredar dan suku bunga berpengaruh secara simultan terhadap Penanaman

Modal Dalam Negeri (PMDN) di Provinsi Riau tahun 1996-2015.

64
9. Uji Parsial (uji t)

Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan uji parsial (uji t) maka

untuk menentukan nilai t statistik tabel digunakan tingkat signifikan α yaitu 5%.

Guna pengujian tingkat signifikan adalah untuk menentukan apakah hipotesis

yang dibuat diawal riset akan diterima atau ditolak. Atau suatu tingkat keyakinan

yang memadai untuk menerima suatu hipotesis.

Berdasarkan dari analisis regresi dari tabel 5.3 diperoleh data

mengenai perhitungan masing-masing variabel suku bunga kredit dan inflasi

terhadap variabel PMDN di Provinsi Riau periode 1996-2015, dimana :

1. Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa suku bunga kredit

berpengaruh sigifikan terhadap penanaman modal dalam negeri

(PMDN), karena memiliki nilai probabilitas sebesar 0,037 < α (0,05).

Hal ini juga dapat dilihat dari nilai t-statistiknya yaitu sebesar 2,288

lebih besar dari t-tabel yaitu 1,74, sehingga Ho ditolak dan H1 diterima.

Hal ini sesuai dengan hipotesis yang menyatakan suku bunga keredit

berpengarh negatif dan sifnifikan terhadap PMDN.

2. Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahiu bahwa inflasi mempunyai

pengaruh negatif terhadap PMDN, karena memilki nilai probabilitas

sebesar 0,413 > α (0,05). Hal ini juga dapat dilihat dari nilai t-

statistiknya yaitu 0,842 lebih kecil dari t-tabel yaitu 1,74, yang artinya

Ho diterima dan H1 ditolak . dari hasil uji t disimpulkan bahwa variabel

inflasi mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap

PMDN di Provinsi Riau tahun 1996-2015.

65
3. Koefisien Determinasi (Adjusted R-Square)

Berdasarkan hasil pengolahan yang dilakukan dapat dilihat pada tabel x

diperoleh nilai Adjusted R-Square 0,855. Hal ini berarti sekitar 85% Penanaman

modal dalam negeri dapat dijelaskan oleh variable, suku bunga kredit dan inflasi.

Sementara sekitar 15% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam

penelitian ini.

5.2. Pembahasan

5.2.1. Pengaruh Suku Bunga Kredit terhadap Penanaman Modal Dalam

Negeri (PMDN) di Provinsi Riau.

Arah tanda koefisien regresi dari variabel suku bunga, mempunyai arah

yang negatif. Hal ini menunjukkan kesesuaian antara teori dan hipotesis yang

disusun secara empiris, bahwa peningkatan suku bunga akan menyebabkan

penurunan minat investasi. Koefisien regresi menunjukan koefisien sebesar -

0,18946. Hal ini memiliki makna untuk mendukung perkembangan PMDN di

Riau maka tingkat suku bunga yang stabil dan rendah sangat diperlukan dan harus

diusahakan oleh bank sentral. Karena kanaikan tingkat suku bunga sebesar 1

persen akan menurunkan PMDN sebesar 0,18946 %.

Prilaku investor dalam menanmkan modalnya dilandasi harapan untuk

mendapatkan keuntungan, sebelum melakukan investasi mereka akan

memperhitungkan tingkat keuntungan yang akan didapatkan dengan melihat

perkembangan tingkat suku bunga setahun sebelumnya, apabila terjadi penurunan

tingat suku bunga maka harapan untuk mendaptkan keuntungan akan meningkat.

66
Membesarnya tingkat keuntungan yang diharapkan akan mendorong pengusaha

meningkatkan/melakukan investasi.

Arah tanda variabel tingkat suku bunga bertanda negative dan signifikan

pada derajat kepercayaan 95 persen, hal ini mengandung arti bahwa dalam jangka

panjang PMDN mempunyai hubungan yang berkebalikan dengan tingkat suku

bunga, yang berarti dengan meningkatnya suku bunga maka investasi akan

menurun.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pramudi Traju

Trisno pada tahun 2003 dengan judul Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh

Terhadap PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Tengah tahun 1970-2000, yang

menyatakan bahwa suku bunga kredit berpengaruh negatif dan signifikan terhadap

investasi dalam negeri di Jawa Tengah tahun 1970-2000.

5.2.2. Pengaruh Infalsi terhadap Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

di Provinsi Riau.

hasil regersi persamaan PMDN menunjukan bahwa tingkat inflasi pada

periode tahun 1995-2015 berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap

PMDN di Provinsi Riau pada periode 1996-2015. Koefisien menunjukkaan nilai

koefisien -0,0102699 mempunyai arti bahwa apabila inflasi meningkat sebesar 1

persen maka realisasi PMDN akan mengalami penurunan sebesar 0,010269 %.

Tetapi inflasi secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap penanaman

modal dalam negeri di Provinsi Riau tahun 1996-2015.

Penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuning dan Shindu Rakasiwi

(2010) juga menemukan hasil yang sama, yaitu tingkat inflasi mempunyai

67
pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap PMDN di Jawa Tengah. Dengan

judul penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi investasi dalam negeri

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2009.

68
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya

diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut:

Variabel-variabel independen yaitu suku bunga kredit dan inflasi mampu

menjelaskan prilaku investasi dalam bentuk PMDN sebesar 85,5persen. Variabel

Suku Bunga Kredit berpengaruh negatif dan sigifikan dengan tingkat signifikan

sebesar 0,037 dan koefisien -0,1895 yang artinya setiap kenaikan kenaikan suku

bunga kredit 1 persen akan mengurangi PMDN sebesar 0,1895%. Variabel inflasi

berpengaruh negatif dan tidak signifikan dengan tingkat siginifikan sebesar 0,413

dan koefisien -0,0102 yang artinya setiap kenaikan inflasi sebesar 1 persen akan

mengurangi PMDN sebesar 0,0102%.

6.2. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh maka dapat diajukan beberapa

masukan sebagai berikut:

1. Pemerintah diharapkan dapat menciptakan kondisi perekonomian yang

lebih stabil untuk menjaga suku bunga tetap berada pada angka yang tidak

terlalu tinggi sehingga masyarakat mau berinvestasi untuk meggerakkan

roda perekonomian.

69
2. Pemerintah harus lebih lihai dalam menarik investor baik dalam maupun

luar negeri untuk menanamkan modalnya, dengan menciptakan iklim

investasi yang baik dan menguntungkan serta memberikan kemudahan-

kemudahan peraturan maupun kebijaksanaan dalam hal perizinan

investasi.

3. Pemerintah harus meningkatkan promosi investasi, tidak hanya pada

pemilik modal asing dan pemilik modal dalam negeri tetapi juga kepada

masyarakat, agar masyarakat bisa memahami lebih luas terhadap pengaruh

investasi terhadap pembangunan Riau.

4. Kepada pemilik modal harus meminimalkan dampak negatif bagi

masyarakat dan lingkungan menjadi kewajiban yang harus diperhatikan

oleh perusahaan, dan lebih menghargai hak-hak masyarakat.

70
DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia. 2015. Penanaman Modal Dalam


Negeri (PMDN) dan Asing (PMA). http//www.bkpm.go.id/
Badan Promosi dan Investasi Provinsi Riau. 2015. Riau dalam angka, Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut bidang usaha. Pekanbaru.
Badan pusat statistik. 2015. Inflasi Bulanan Indonesia.
http//www.bps.co.id/bpsweb/
Bank Indonesia. 2015. Penjelasan BI Rate sebagai Suku Bunga Acuan.
http//www.bi.go.id/id.moneter/bi-rate/penjelasan/.
Dornbusch, Rudiger, Stanley Fischer, dan Richard Startz. 2008. Makro Ekonomi.
Edisi kedelapan. Alih bahasa Roy Indra Mirazudin. Jakarta: PT. Media
Global Edukasi.
Edgmand, Michael R. 1987. Macroeconomics: Theory And Policy. Edisi ke-3.
New Jersey: Prentice-Hall.
Ekananda, Mahyus. 2014. Keuangan Internasional. Jakarta: Erlangga.
Fuadi, Azar. 2012. Analisis Factor-faktor yang Mempengaruhi Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) di Jawa Tengah periode 1985-2010.
Semarang, ISSN 2252-6560.
Gujarati, Damodar. 2006. Ekonometri Dasar. Jakarta : Ghalia.
. 2007. Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta: Erlangga.
Laksmono, Didy, R. 2001. Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Inflasi.
Nanga, Muana. 2005. Makro Ekonomi, Edisi Kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter, buku II edisi ke-4. Yokyakarta: BPEE.
Kornita, Sri Endang. 2011. Modul Perkuliahan Ekonometrika. Pekanbaru: Fekon-
UR
Kuncoro, Mudrajad. 2013. Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta:
Erlangga.
Putra, Vio Achfuda. 2010. Analisis Pengaruh Suku Bunga Kredit, PDB, Inflasi,
dan Tingkat Teknologi terhadap PDMN di Indonesia periode 1986-2008.
Semarang.
Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.

71
Samuelson, Paul A. dan William D.Nhurdhaus. 1997. Ekonomi (terjemahaan).
Jakarta: Erlangga.
Sasana, Hadi. 2008. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Investasi Swasta
di Jawa Tengah. FE-UNDIP. Vol-1(No.1).
Setyowati, Eni dan Siti Fatimah. 2007. Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Investasi Dalam Negeri di Jawa Tengah tahun 1980-2002.
Surakarta. Vol-8 (no.1).
Siahaan, Djames. 2010. Analisis Pengaruh Tenaga Kerja, Ekspor Non Migas dan
Krisis Ekonomi terhadap Penanaman Modal Dalam Negri (PMDN)
Propinsi Sumatera Utara Tahun 1985-2008. Staff Pengajar Jurusan
Administrasi Niaga Politeknik Negri Medan. Vol-1(No.2).
Sjafrizal.2012. Ekonomi Wilayah dan Perkotaan. Jakarta: Rajawali Pers.
Sukirno, Sadono. 2009. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2012. Makro Ekonomi Modren. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Supranto. 1990. Ekonometrika. Jakarta :FE-UI.
Trisno, Prambudi Traju. 2000. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh
Terhadap PMA dan PMDN di Provinsi Jawa Tengah Tahun 1970-2000.
Semarang.
Trisnu, Cok Istri Sinta Regina dan Ida Bagus Putu Purbadharmaja.2014.
Pengaruh PMDN dan PMA terhadap PDRB di Provinsi Bali.Bali.Vol-3
(no.3).

Wahyuning, Sri dan Sindhu Rakasiwi. 2010. Analisis Faktor-faktior yang


Mempengaruhi Investasi Dalam Negeri di Provinsi Jawa Tengah.
Semarang: STEKOM.
Widayatsari, Ani dan Anthony Mayes. 2012. Ekonomi Moneter II. Pekanbaru:
Cendekia Insani.
Wijaya, Faried dan Seotatwo Hadiwigeno. 1992. Ekonomi Moneter dan
Perbankan. Yokyakarta: BPFE.
Yamin, sofyan dan Heri Kurniawan, 2009. SSPS complete, Teknik Analisis
Statistik Terlengkap dangan Software SSPS. Jakarta: Salemba Empat.
Yuliadi, Imamudin. 2009. Perekonomian Indonesia. Yokyakarta: Unit Penerbitan
Fakultas Ekonomi (UPEE-UMY).
Yuwono, Prapto. 2005. Pengantar Ekonometrika. Yokyakarta: ANDI.
Lembaran Negara RI Undang-Undang No.6 tahun 1968.

72
http//www.academia.edu/4556500/investasi_riau_kebijakan_pemerintah_pemilik_
modal/
http//www.perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/f16792/riau
%20manfaatkan%20otonomi.htm/

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Indikator Penanaman Modal Dalam Negeri Tahun 1996-2015

Tahun PMDN Riau (triliun) Suku Bunga Kredit Inflasi (%)


(%)
1996 575,31 15,30 8,18
1997 947,32 15,30 11,55
1998 659,18 16,00 75,86
1999 648,51 15,00 4,35
2000 1.969,07 16,20 10,34
2001 690,48 17,80 14,65
2002 452,41 18,00 11,66
2003 251,69 17,20 6,65
2004 830,38 16,24 8,92
2005 1.230,83 15,51 17,10
2006 2.501,07 15,28 6,32
2007 3.095,36 14,61 7,53
2008 3.700,40 13,52 9,02
2009 1.830,40 13,05 1,94
2010 1.037,12 12,62 7,00
2011 7.462,60 12,50 5,09
2012 5.450,43 12,21 3,35
2013 4.874,27 12,23 8,83
2014 7.707,55 12,28 8,65
2015 9.943,04 12,33 4,80
Sumber: Badan Penananman Modal dan Promosi Daerah, Bank Indonesia,
Badan Pusat Statistik

73
Lampiran 2 : Hasil Olahan Data SPSS 17.0

Regression

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

ln_pmdn 14.3317 1.06654 20

suku bunga 14.6590 1.94523 20

inflasi 11.5895 15.56830 20

Model Summaryb

Adjusted R Std. Error of the


Model R R Square Square Estimate

1 .941a .885 .855 .40624

a. Predictors: (Constant), suku bunga, inflasi

b. Dependent Variable: ln_pmdn

Model Summaryb

Change Statistics

R Square
Model Change F Change df1 df2 Sig. F Change Durbin-Watson

1 .885 28.990 2 17 .000 1.348

b. Dependent Variable: ln_pmdn

74
ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 19.137 2 4.784 28.990 .000a

Residual 2.475 17 .165

Total 21.613 19

a. Predictors: (Constant), suku bunga, inflasi

b. Dependent Variable: ln_pmdn

Coefficientsa

Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients

Model B Std. Error Beta t Sig.

1 (Constant) 15.985047187 1.179 13.562 .000

suku bunga -.189469625 .083 -.346 -2.288 .037

inflasi -.010269990 .012 -.150 -.842 .413

a. Dependent Variable: ln_pmdn

Coefficientsa

Collinearity Statistics

Model Tolerance VIF

1 suku bunga .335 2.988

inflasi .241 4.147

a. Dependent Variable: ln_pmdn

75
Residuals Statisticsa

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N

Predicted Value 13.1911 16.5239 14.3317 1.00360 20

Std. Predicted Value -1.136 2.184 .000 1.000 20

Standard Error of Predicted .096 .404 .190 .074 20


Value

Adjusted Predicted Value 13.2454 17.5514 14.5583 1.24305 20

Residual -.76513 .60504 .00000 .36095 20

Std. Residual -1.883 1.489 .000 .889 20

Stud. Residual -2.118 1.551 -.068 1.030 20

Deleted Residual -4.15262 .66231 -.22654 1.03911 20

Stud. Deleted Residual -2.444 1.635 -.079 1.085 20

Mahal. Distance .113 17.875 3.800 4.128 20

Cook's Distance .000 20.706 1.103 4.615 20

Centered Leverage Value .006 .941 .200 .217 20

a. Dependent Variable: ln_pmdn

76
Charts

77
78
79
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardized
Residual

N 20

Normal Parametersa,,b Mean .0000000

Std. Deviation .36095423

Most Extreme Differences Absolute .078

Positive .073

Negative -.078

Kolmogorov-Smirnov Z .347

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

NPar Test
Runs Test

Unstandardized
Residual

Test Valuea -.00297

Cases < Test Value 10

Cases >= Test Value 10

Total Cases 20

Number of Runs 7

Z -1.608

Asymp. Sig. (2-tailed) .108

a. Median

80

You might also like