You are on page 1of 34

Laporan Kasus

Musa bed 2-6

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Amini
Usia : 43 tahun
Tanggal masuk : 19 Januari 2015

Keluhan utama : nyeri perut bagian atas

Pasien mengeluh nyeri perut bagian atas sejak 2 tahun yang lalu. Dia mengatakan
nyeri yang dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan nyerinya dirasakan hilang timbul.
Rasa sakit dirasakan tidak menyebar ke daerah lain. Hal ini dirasakan biasanya
setelah makan makanan berlemak pasien. Dalam 4 hari ini sakit yang dirasakan
lebih berat. Mual +, muntah -, demam -. Buang air kecil dan buang air besar
dalam batas normal. Pasien sudah pergi ke dokter dan didiagnosis sakit maag dan
ia mendapat antasida. Dia memiliki 2 anak, anak terakhir berusia 20 tahun.
Sampai saat ini pasien masih menstruasi.

Keadaan umum :
Kesadaran : compos mentis
Kesan sakit : sakit sedang

TTV:
Tensi : 110/60 mmHg
Respirasi : 18 X/menit
Suhu : 36,5 C
Nadi : 88 X/ menit

Pemeriksaan laboratorium :
Hematologi rutin 17 Januari 2015
• Eritrosit : 4,56 juta/mm3
• Leukosit : 13.800 /mm3
• Trombosit : 428.000 /mm3
• Ht : 40 %
• Hb : 13,3 mg/dL
• MCV : 88 femtoliter
• MCH : 29 picogram
• CT : 5 menit
• BT : 1 menit
• Golongan darah :A
• SGOT : 37
• SGPT : 83
• Ureum : 24,2 mg/dL
• Kreatinin : 0,3 mg/dL
• Glukosa : 121 mg/dL
• HbsAg : negatif
• Bilirubin direk : 0,67 mg/dL
• Bilirubin indirek : 0,23 mg/dL
• Total bilirubin : 0,90 mg/dL

Elektrolit 19 Januari 2015 :


• Kalium : 3,0 mmol/L (1/21) : 3,86 mmol/L
• Natrium : 139 mmol/L

Urinalisis rutin 20 Januari 2015


Makroskopis
• Warna : kuning
• Kekeruhan : jernih
• Glukosa : negatif
• Bilirubin : negatif
• Keton : 40
• BJ : 1.025
• pH : 6.0
• Protein : 30 mg/dL
• Urobilinogen : 0.2 EU/dL
• Nitrit : negatif
• Blood : negatif
• Leukosit : negatif

Mikroskopis
• Epitel : 2-3/lpk
• Leukosit : 0-1/lpk
• Eritrosit : 0-1/lpk
• Kristal : negatif
• Lain-lain : negatif

Pemeriksaan USG :

Hepar: Ukuran dalam batas normal, echogenisitas normal, tepi reguler ujung
lancip, nodul (-)
Vesica fellea: dinding menebal, batu (+) multipel ukuran 0,6 cm, 0,5 cm, dan 0,5
cm

Kesan: Cholelithiasi multipel

Pemeriksaan foto thorax :


Kesan : tidak ada kardiomegali, tidak ada kesan TB paru aktif / bronkopneumonia
Diagnosis kerja: Cholelithiasis multipel

Terapi yang diberikan :


 IV line K3B + 25 meq KCL/12 hours (2 fls) via pump
 Ceftriaxon 2x1 gr (iv)
 Metrofusin 3x500 mg (iv)
 Urdahex 3x1 cap
 Magtral syr 4x1 C
 Omeprazole cap 1x1 cap
 Zegavit 1x1
 Lacoldin 3x1 tab
 Cefixime 200mg 2x1

Direncanakan untuk dilakukan cholecystectomy pada tanggal 22 Januari 2015

FOLLOW UP

19 Januari 2015 (RANAP HARI 1)


TTV : TD : 110/80 mmHg
S : 36,9 C
N : 88 x/menit, regular, isi cukup
R : 20 X/menit

Pasien mengeluh sakit sedang uka operasi, mual +, muntah -

20 Januari 2015 (RANAP HARI 2)


TTV : TD : 110/70 mmHg
S : 37,2C
N : 64x/menit, regular, isi cukup
R : 18x/menit

Pasien mengeluh sakit ringan luka operasi, mual -, muntah -


Lanjutkan terapi, injeksi Ceftriaxon dihentikan

21 Januari 2015 (RANAP HARI 3)


TTV : TD : 130/70 mmHg
S : 37,2°C
N : 96x/menit, regular, isi cukup
R : 20/menit

Lanjutkan terapi, injeksi Metrofusin dihentikan, Recana operasi cholecystectomy


besok 22 Januari 2015.
Hasil Kalium (21/1) : 3,86 mmol/L
Terapi pre op: injeksi Ceftriakson 2x1 gr
22 Januari 2015 (RANAP HARI 4)
TTV : TD : 110/70 mmHg
S : 36,9C
N : 88x/menit, regular, isi cukup
R : 18x/menit

Dilakukan operasi Cholecystectomy  lalu dipasang drain ??? and folley catheter
no 16
Terapi post op:
 O2 nasal 2 L/menit
 IV Tridex 27 B + 1 amp Ketesse
 ??????

23 Januari 2015 (RANAP HARI 5, POST OP HARI 1)


TTV : TD : 110/60 mmHg
Suhu : 36,6C
Nadi : 80 x/menit, regular, isi cukup
R : 18 x/menit
Pasien mengeluh malaise, nyeri luka post operasi, nausea –
Lanjutkan terapi

A. ANATOMI

 Vesica fellea

Vesica fellea adalah sebuah kantung berbentuk buah pir, panjangnya


sekitar 7-10 cm, dengan kapasitas rata-rata 30-50 ml. Ketika terjadi obstruksi
vesica fellea dapat terdistensi dan terisi hingga 300 ml. Vesica fellea terletak di
sebuah fossa pada permukaan bawah hepar. Sebuah garis dari fossa tersebut
hingga vena cava inferior membagi hepar menjadi lobus kanan dan kiri. Vesica
fellea dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu: fundus, corpus, infundibulum,
dan juga collum. Bagian fundus dari vesica fellea berbentuk bulat, meluas hingga
1-2 cm sampai ke pinggiran hepar. Fundus terdiri dari sebagian besar otot polos,
berbanding terbalik dengan bagian corpus yang merupakan tempat penyimpanan
utama dan sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Corpus memanjang dari
fundus dan miring kedalam bagian collum, collum merupakan bagian berbentuk
terowongan yang terhubung dengan ductus cysticus. Bagian collum biasanya
mengikuti sebuah curva, konveksitas yang dapat diperbesar membentuk bagian
infundibulum atau Hartmann’s pouch. Collum terletak dibagian terdalam dari
fossa vesica fellea dan meluas ke bagian bebas dari ligamentum hepatoduodenale.

Lapisan peritoneum yang sama yang meliputi hepar juga meliputi fundus
dan permukaan inferior dari vesica fellea. Vesica fellea dilapisi oleh epitel
silindris bertingkat yang mengandung kolesterol dan tetesan lemak. Lendir yang
disekresikan ke dalam vesica fellea berasal dari kelenjar tubuloalveolar yang
ditemukan pada mucosa yang melapisi infundibulum dan collum. Tetapi kelenjar
ini tidak ditemukan pada bagian fundus dan corpus. Epitel yang melapisi vesica
fellea di bagian bawahnya terdapat lamina propria. Lapisan otot memiliki serat
circular longitudinal dan oblique. Bagian perimuskular subserosa terdiri dari
jaringan ikat, saraf, pembuluh darah, pembuluh limphatic dan sel lemak. Dilapisi
oleh lapisan serosa kecuali bagian vesica fellea yang tertanam didalam hepar.

Arteri cystica yang memperdarahi vesica fellea merupakan cabang dari


arteri hepatica dextra (>90%). Trigonum calot terdiri dari ductus cysticus, ductus
hepaticus communis, dan pinggiran hepar. Ketika arteri cystica mencapai collum
vesica fellea, arteri ini terbagi menjadi cabang anterior dan posterior. Aliran balik
vena melalui vena-vena kecil yang masuk secara langsung ke dalam hepar atau
dapat juga melalui vena cystica membawa darah ke vena porta tetapi jarang.
Aliran limphatic vesica fellea menuju ke kelenjar getah bening yang terletak di
collum vesica fellea.

Persarafan vesica vellea berasal dari nervus vagus dan nervus simpatis
yang merupakan cabang dari plexus celiaca. Preganglion simpatis terletak setinggi
T8 dan T9. Impuls dari hepar, vesica fellea, dan saluran empedu melewati serabut
saraf afferen dari nervus simpatis menuju nervus splanchnic dan memediasi nyeri
kolik bilier. Cabang-cabang nervus vagus juga memiliki peptida yang
mengandung saraf yang mengandung zat seperti substansi P, somatostatin,
enkephalins, dan vasoactive intestinal polypeptida.
 Saluran Empedu

Ductus extrahepatic terdiri dari ductus hepaticus dextra dan sinistra,


ductus hepaticus communis, ductus cysticus, dan ductus choledochus. Ductus
choledochus masuk ke dalam duodenum melalui sebuah struktur otot yang
dikenal dengan sphincter Oddi.

Ductus hepaticus sinistra lebih panjang dari pada ductus hepaticus dextra
dan memiliki kemampuan untuk berdilatasi lebih saat terjadi obstruksi dibagian
distal. Kedua ductus ini akan bergabung menjadi ductus hepaticus communis.
Ductus hepaticus communis memiliki panjang 1-4 cm dan berdiameter 4 mm.
Terletak di anterior dari vena porta dan disebelah kanan dari arteri hepatica.
Panjang ductus cysticus sangat bervariasi. Variasi dari ductus cysticus dan
hubungannya dengan ductus hepaticus communis merupakan bagian penting
dalam proses pembedahan. Segmen ductus cysticus yang berdekatan dengan
collum memiliki sejumlah lipatan mukosa yang bervariasi disebut katup spiral
Heister. Katup ini tidak memiliki fungsi tetapi dapat menyebabkan kanulasi
ductus cysticus.
Ductus choledochus memiliki panjang 7-11 cm dan berdiameter 5-10 mm.
Ductus choledochus terdiri dari 3 bagian yaitu: bagian supraduodenal,
retroduodenal dan pacreatic. Ductus choledochus berjalan oblique ke arah bawah
menuju dinding duodenum 1-2 cm sebelum ampulla vatery, sekitar 10 cm distal
terhadap pylorus. Sphincter Oddi merupakan otot polos circular yang tebal,
mengelilingi ductus choledochus di bagian ampulla vatery. Sphincter ini
mengontrol aliran empedu menuju duodenum.

Ductus extrahepatic dilapisi oleh mucosa silindris dengan glandula


mucosa pada ductus choledochus. Jaringan fibroareolar terdiri dari otot polos
yang mengelilingi mucosa. Aliran darah yang memperdarahi saluran empedu
berasal dari arteri gastroduodenal dan arteri hepatica dextra. Densitas serabut saraf
dan ganglia disekitar sphincter Oddi meningkat, tetapi persarafan pada ductus
choledochus dan sphincter Oddi sama seperti pada kantung empedu.

 Sphincter Oddi

Sphincter Oddi mengatur aliran empedu menuju duodenum, mencegah


regurgitasi isi duodenum ke dalam saluran empedu, dan membelokan cairan
empedu ke dalam vesica fellea. Merupakan struktur yang komplek berfungsi
secara independent dari otot-otot duodenum dan membuat zona bertekanan tinggi
antara saluran empedu dan duodenum. Panjang sphincter oddi 4-6 mm dan
memiliki tekanan basal sekitar 13 mmhg diatas tekanan duodenum. Pergerakan
spontan dari sphincter oddi diatur oleh sel cajal usus melalui input intrinsik dan
ekstrinsik dari hormon dan saraf pada otot polos. Relaksasi sphincter oddi terjadi
akibat peningkatan cholecystokinin dan menyebabkan peningkatan aliran empedu
ke dalam duodenum.

B. FISIOLOGI PEMBENTUKAN DAN KOMPOSISI EMPEDU

Hepar memproduksi empedu secara terus menerus dan mengekskresikannya


pada kanalikuli empedu. Orang dewasa normal memproduksi 500-1000 ml
empedu per hari. Sekresi empedu bergantung pada neurogenik, humoral, dan
rangsangan chemical. Stimulasi vagal meningkatkan sekresi empedu, sebaliknya
rangsangan nervus splanchnic menyebabkan penurunan aliran empedu. Asam
hydrochloric, sebagian protein pencernaaan dan asam lemak pada duodenum
menstimulasi pelepasan sekretin dari duodenum yang akan meningkatkan
produksi dan aliran empedu. Aliran empedu dari hepar melewati Ductus
hepaticus, menuju CBD dan berakhir di duodenum. Dengan sphincter Oddi yang
intak, aliran empedu secara langsung masuk ke dalam kandung empedu
(Brunicardi, 2007).
Empedu terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lemak,
dan pigmen empedu. Natrium, kalium, kalsium, dan klorin memiliki konsentrasi
yang sama baik di dalam empedu, plasma atau cairan ekstraseluler. PH dari
empedu yang di sekresikan dari hepar biasanya netral atau sedikit alkalis, tetapi
bervariasi sesuai dengan diet. Peningkatan asupan protein menyebabkan empedu
lebih asam. Garam empedu, cholate dan chenodeoxycholate, di sintesis di hepar
dari kolesterol. Mereka berkonjugasi dengan taurine dan glycine dan bersifat
sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium (Brunicardi,
2007).
Garam empedu di ekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan di tambah
dari hasil pencernaan dan penyerapan dari lemak pada usus. Pada usus sekitar
80% dari asam empedu di serap pada ileum terminal. Sisanya didekonjugasi oleh
bakteri usus membentuk asam empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate.
Ini di serap di usus besar ditransportasikan ke hepar, dikonjugasi dan disekresikan
ke dalam empedu. Sekitar 95% asam empedu direabsorpsi dan kembali lewat vena
porta ke hepar sehingga disebut sirkulasi enterohepatik. 5% diekskresikan di feses
(Brunicardi, 2007).

Gambar Aliran empedu


Kolesterol dan fosfolipid di sintesis di hepar sebagai lipid utama yang
ditemukan di empedu. Proses sintesis ini di atur oleh asam empedu (Brunicardi,
2007).
Warna dari empedu tergantung dari pigmen bilirubin diglucuronide yang
merupakan produk metabolik dari pemecahan hemoglobin, dan keberadaan pada
empedu 100 kali lebih besar daripada di plasma. Pada usus oleh bakteri diubah
menjadi urubilinogen, yang merupakan fraksi kecil dimana akan diserap dan
diekskresikan ke dalam empedu (Brunicardi, 2007).

Fisiologi sekresi cairan empedu


Kandung empedu, Ductus biliaris dan Sphincter Oddi bekerja bersama-sama
dalam menyimpan dan meregulasi aliran empedu. Pengaliran cairan empedu di
atur oleh 3 faktor yaitu sakresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan
tahanan sfingter choledocus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan
dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran
tersebut sewaktu-waktu seperti di semprotkan karena secara intermiten tekanan
saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter (Syamsuhidajat &
Wim de Jong, 2005) .
Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD dari selaput lendir usus halus di
keluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen
usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Dengan demikian CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan (Syamsuhidajat & Wim de Jong, 2005).

Aktivitas motorik
Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari Sphincter
Oddi. Sebagai respon terhadap makanan, pengosongan kandung empedu terjadi
karena respon motorik yang terkoordinasi dari kontraksi kandung empedu dan
relaksasi Sphincter Oddi. Stimuli utama dari pengosongan kandung empedu
adalah hormon cholecystokinin (CCK). CCK dilepaskan secara endogen oleh
mukosa duodenum sebagai respon terhadap makanan. Pengosongan kandung
empedu mencapai 50-70% dalam 30-40 menit. 60-90 menit kemudian kandung
empedu scara gradual terisi kembali. Hal ini berhubungan dengan pengurangan
kadar CCK (Brunicardi, 2007).

Regulasi Neurohormonal
Nervus vagus dan obat-obat parasimpatomimetik menstimulasi kontraksi
kandung empedu, dan rangsangan simpatis splanchnic dan atropin akan
menghambat aktivitas motorik. Reflek yang dimediasi oleh sistem syaraf akan
menghubungkan Sphincter Oddi dengan kandung empedu, gaster dan duodenum
untuk mengkoordinasi aliran empedu. Distensi bagian antral dari gaster akan
menyebabkan kontraksi kandung empedu dan relaksasi dari Sphincter Oddi.
Reseptor hormonal terdapat pada otot polos, pembuluh darah, syaraf, dan
epitel dari kandung empedu. CCK adalah peptida yang dilepaskan ke dalam aliran
darah oleh karena adanya asam, lemak, dan asam amino di dalam duodenum.
CCK bekerja secara langsung pada reseptor di otot polos kandung empedu
sehingga akan menstimulasi kontraksi kandung empedu. Stimulasi kandung
empedu dan sistem bilier oleh CCK juga di mediasi oleh syaraf vagal kolinergik.
Pada pasien yang telah menjalani vagotomy, respon terhadap CCK berkurang dan
ukuran serta volume kandung empedu akan meningkat (Brunicardi, 2007).

C. DEFINISI

Cholelithiasis merupakan suatu keadaan dimana terdapat batu empedu di


dalam kantung empedu yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang
bervariasi. Dikenal juga sebagai batu empedu, gallstones, atau biliary calculus.

D. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi cholelithiasis dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk etnis,


jenis kelamin, komorbiditas dan genetika. Di Amerika Serikat sekitar 20 juta
orang (10-20% orang dewasa) memiliki batu empedu. Setiap tahun 1-3%
mengembangkan batu empedu dan sekitar 1-3% menjadi bergejala. Setiap tahun
di Amerika Serikat sekitar 500.000 orang mengalami gejala atau komplikasi batu
empedu yang memerlukan cholecystectomy.

Penyakit batu empedu bertanggung jawab untuk sekitar 10.000 kematian


pertahun di Amerika Serikat. Sekitar 7000 kematian yang disebabkan oleh
komplikasi batu empedu akut, seperti pankreatitis akut. 2000-3000 kematian
disebabkan oleh keganasan kantung empedu. Meskipun operasi batu empedu
relatif aman, kolesistektomi adalah prosedur yang sangat umum dan komplikasi
langka menghasilkan beberapa ratus kematian setiap tahun.

Statistik internasional mengatakan prevalensi cholelithiasis sedikit lebih


rendah di Asia dan Afrika. Sebuah studi epidemiologi swedia menemukan bahwa
kejadian batu empedu adalah 1,39 per 100 orang per tahun. Dalam sebuah
penelitian di italia, 20% wanita memiliki batu dan 14% dari laki-laki memiliki
batu. Dalam sebuah studi Denmark, prevalensi batu empedu pada orang yang
berusia 30 tahun adalah 1,8% untuk laki-laki dan 4,8% perempuan. Prevalensi
batu empedu pada orang berusia 60 tahun adalah 12,9% untuk laki-laki dan 22,4%
untuk perempuan.

E. FAKTOR RISIKO

1. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena cholelithiasis dibandingkan


pria. Ini dikarenakan oleh hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan
ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar
estrogen juga meningkatkan risiko terkena cholelithiasis.

2. Usia

Risiko terkena cholelithiasis meningkat dengan bertambahnya usia. Orang dengan


usia lebih 60 tahun lebih cenderung untuk terkena cholelithiasis dibandingkan
dengan usia lebih mudah.
3. Berat badan (BMI)

Seseorang dengan BMI yang tinggi dapat meningkatkan risiko untuk terjadi
cholelithiasis.

4. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan


gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan
kontraksi kandung empedu.

5. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga dengan cholelithiasis memiliki risiko lebih besar
untuk terkena penyakit ini.

6. Aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terkena


cholelithiasis.

7. Penyakit usus halus

Penyakit yang dikatakan berhubungan dengan cholelithisis adalah crohn disease,


diabetes, anemia, trauma, dan ileus paralitik.

F. KLASIFIKASI

Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu


digolongkan atas 3 golongan, yaitu:

a. Batu kolesterol

Berbentuk oval, multifokal dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Batu
kolesterol ini bisa berupa batu kolesterol murni, batu kombinasi, batu campuran.
b. Batu kalsium bilirubin (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium bilirubinat sebagai komponen utama. Batu bilirubin bisa berupa batu
kalsium bilirubinat (pigmen kalsium) dan batu pigmen murni.

c. Batu pigmen hitam

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tidak terektraksi

G. TEORI PEMBENTUKAN BATU

Pembentukan batu empedu kolesterol melalui tahap yaitu : penjenuhan


empedu oleh kolesteol, pembentukan nidus, kristalisasi dan pertumbuhan batu.

1. Supersaturasi kolesterol
Derajat penjenuhan empedu dapat dihitung melalui kapasitas daya larut.
Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau
penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi empedu
antara lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan
kolesterol dan pemakanan obat yang menggandung ekstrogen atau klofibrat.
Sekresi asam empedu akan menurun pada penderita dengan gangguan
absorbsi di ileum atau gangguan daya pengosongan primer kandung empedu.

Kolesterol dibentuk di retikulum endoplasma dari asetil koenzymA (asetil-


coA) melalui tahapan enzymatik dengan enzym HMG coA Reduktase sebagai
enzym yang penting dalam reaksi tersebut. Sebagai tambahan pada sintesa
kolesterol endogen, hepar mengambil beberapa gram kolesterol yang
berhubungan dengan lipoprotein melalui jalur endositosis primer. Kilomikron,
LDL, VLDL, ditangkap oleh reseptor LDL dan proteinnya. Penyimpanan
kolesterol terjadi oleh proses enzym ACAT (Acyl coA Cholesterol
Transferase) dalam bentuk kolesterol ester. Kolesterol ester menyediakan
kolesterol bebas untuk pembentukan asam empedu.
Metabolisme kolesterol mempengaruhi secara langsung jumlah asam
empedu dan sekresi kolesterol. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pasien dengan batu di Vesica fellea memiliki aktivitas HMG coA Reduktase
dan sintesa kolesterol yang lebih tinggi dari pasien kontrol.

Esterifikasi kolesterol memiliki pengaruh terhadap produksi kolesterol


bilier karena obat-obat yang menghambat esterifikasi (progesteron dan
klofibrat) cenderung untuk meningkatkan kolesterol. Peningkatan sintesis
kolesterol atau uptake atau penurunan esterifikasi kolesterol potensial untuk
meningkatkan kolesterol bebas.

Pada empedu yang tidak tersaturasi, kolesterol terdapat pada micelles


sederhana dan campuran. Micelles merupakan agregat lemak yang memiliki
kelompok hidroksil atau fosfat polar. Seiring peningkatan saturasi kolesterol
dalam empedu, kolesterol dibawa dalam bentuk vesikel. Vesikel 10 kali lebih
besar daripada micelles dan memiliki dua lapisan fosfolipid tetapi tidak
memiliki garam empedu.

Kelompok polar memiliki dua rantai hydrokarbon hydrofobic


berhubungan dengan dua lapisan fosfolipid tersebut. Hal ini memungkinkan
kolesterol untuk memasuki inti. Vesikel unilamelar kemudian berubah
menjadi vesikel multilameral yang kurang stabil dan memungkinkan
pertumbuhan kristal kolesterol pada permukaan. Pada pasien dengan dengan
batu empedu kolesterol mensekresi vesikel dalam lumen canaliculer yang
memiliki 33% kolesterol yang lebih kaya.

Garam empedu secara aktif disekresikan dalam kanalikuli melewati


gradien konsentrasi yang tampaknya tidak tergantung terhadap kolesterol dan
molekul fosfolipid. Lebih hidrofobik asam empedu dan lebih besar
kemampuan untuk menginduksi sekresi lemak dan menghambat ativitas 7α-
hydroxylase maka sintesis asam empedu berkurang. Kedua hal tersebut
menghasilkan peningkatan empedu litogenik.
Pasien dengan batu Vesica fellea memiliki area asam cholic dan metabolit
bakteri asam deoxycholic. Asam deoxycholic sangat hidrofobik dan
meningkatkan sekresi kolesterol dan waktu pembentukan inti. Lebih lanjut
lagi, ukuran area asam deoxycholic berhubungan dengan produksi asam
arachidonat. Asam arachidonat merupakan prekursor prostaglandin, yang
menstimulasi sekresi mucin, yang merupakan pronekleasi (faktor untuk
pembentukan inti). Sementara itu asam ursodeoxycholic , asam empedu
terlarut dan mencegah pembentukan batu Vesica fellea. Asam
ursodeoxycholic menurunkan saturasi kolesterol dan memperpanjang waktu
pembentukan inti, kemungkinan sebagai hasil penurunan protein pronukleasi
pada empedu (Ahrend and Pitt, 2004 & Brunicardi, 2007).

2. Faktor Pembentukan Inti.


Pada empedu yang mengalami supersaturasi, langkah pertama
pembentukan batu Vesica fellea yaitu pembentukan inti (nukleasi) atau
pembentukan nidus. Pembentukan nidus merupakan bentuk proses kondensasi
atau agregasi oleh kristal submiroskopis atau partikel amorf yang terbentuk
dari supersaturasi empedu, yang berasal dari micelle dan vesikel. Setelah
pembentukan inti, maka proses kristalisasi terjadi, yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat. Kristal tersebut akan bersatu dan membentuk batu
Veica fellea yang makroskopis.

Beberapa faktor spesifik yang diperkirakan berperan yaitu glikoprotein


mucin. Inti protein ini bersifat hidrofobik yang dapat berikatan dengan
kolesterol dan fosfolipid dan bilirubin. Ikatan dengan vesikel yang kaya
dengan kolesterol dengan area hirofobik tersebut tampaknya memediasi proses
pembentukan inti yang cepat. Selain itu agregasi vesikel khas pada
peningkatan konsentrasi mucin. Glikoprotein mucin disekresi rutin dari
kandung empedu, tetapi pada empeu yang litogenik sekresinya berlebihan.

Hipersekresi tersebut mengakibatkan pembentukan kristal kolesterol.


Sekresi tersebut dimediasi oleh prostaglandin dan dapat dihambat oleh aspirin.
Faktor penting lain yaitu konsentrasi kalsium bilier karena kalsium karbonat,
kalsium bilirubin dan kalsium fosfat berperan dalam kristalisasi kolesterol
(Ahrend and Pitt, 2004 & Brunicardi, 2007). Pertumbuhan batu terjadi karena
pengendapan kristal kolesterol di atas matriks inorganik dan kecepatan relatif
pelarutan dan pengendapan.

3. Hipomotilitas Vesica Fellea


Konsentrasi empedu yang tinggi mempengaruhi pembentukan vesikel.
Selain itu asidifikasi empedu meningkatkan kelarutan garam kalsium. Kedua
hal tersebut dapat terjadi karena sifat mukosa Vesika fellea yang menyerap air
dalam jumlah tinggi dan menyerap bikarbonat dan mensekresi ion hidrogen.
Pasien dengan batu empedu mengalami kelainan dalam motilitas. Yang
sebabnya belum diketahui. Hal tersebut dapat menyebabkan stasis pada
kandung empedu sehingga terbentuk lumpur dalam Vesica fellea (Ahrend and
Pitt, 2004 & Brunicardi, 2007).

Diagram tentang 3 prinsip pembentukan batu kolesterol.


Pada umumnya dikenal 2 macam jenis batu empedu, yaitu :

1. Batu kolesterol :
Merupakan 80% kasus Cholelithiasis. Umumnya ditemukan pada pasien-
pasien wanita dan pasien-pasien yang menderita obesitas, serta berhubungan
dengan obstruksi dan inflamasi. Batu kolesterol murni jarang di dapatkan dan
terdapat hanya kurang dari 10%. Batu ini biasanya multipel, ukurannya
bervariasai, bila keras berbentuk ireguler, bila lunak berbentuk mulberi.
Warnanya bervariasi dari kuning, hijau, dan hitam. Batu kolesterol biasanya
radiolusen, kurang dari 10% radioopak. Baik batu kolesterol murni atau
campuran, proses pembentukan batu kolesterol yang terutama adalah
supersaturasi empedu dengan kolesterol. Kolesterol adalah nonpolar dan tidak
larut dalam air dan empedu. Kelarutan kolesterol bergantung pada konsentrasi
dari kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama pada empedu).
Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh hipersekresi kolesterol di
bandingkan pengurangan sekresi dari fosfolipid atau garam empedu (Ahrend
and Pitt, 2004).

2. Batu pigmen:
 Batu cokelat
 Komposisi : garam-garam kalsium dari bilirubin unconjugated
dan sedikit kolesterol dan protein
 Biasanya didapatkan dalam Ductus biliaris dan seringkali
menyebabkan obstruksi dan biasanya didapatkan pada kondisi
dimana terdapat infeksi biliaris
 Merupakan hasil infeksi anaerobic pada empedu yang
menghasilkan beta glukoronidase, fosfolipase, dan asam
hidrolase yang mengakibatkan proses enzim dan menghasilkan
garam kalsium
 Banyak didapatkan di negara-negara Asia.
 Batu hitam
 Komposisi : kalsium bilirubinat atau gabungan kalsium,
cupprum dan 20% nya terdiri dari glikoprotein mucin
 Di hubungkan dengan kondisi hemolitik atau sirosis. Pada
keadaan hemolitik beban bilirubin dan konsentrasi dari bilirubin
tidak terkonjugasi meningkat.
 Batu biasanya tidak berhubungan dengan empedu yang tidak
terinfeksi dan lokasinya selalu di kandung empedu.

H. Gejala Klinis

Klinis :

Nyeri kolik khas :

 Nyeri di daerah epigastrik dan perut kanan atas, menyebar ke daerah


punggung bagian tengah, atau ke puncak bahu, skapula.
 Onset mendadak dengan durasi singkat.
 ± 40% dipresipitasi oleh makanan berlemak.
 Tidak ada faktor yang meringankan.
 Nausea dan vomit.
 Dapat ditemukan pada perut tengah bagian atas.
 Dapat menyerupai angina atau AMI.
 Terkadang dapat ditemukan pada daerah RLQ, sehingga dapat dikacaukan
dengan appendicitis.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan yang paling berguna untuk mengevaluasi fisiologi dari traktus


billier antara lain adalah tingkat Bilirubin, alkali fosfatase, dan serum
transaminase yang dapat menentukan kerusakan hepatoselular. Bilirubin dapat
dibagi menjadi bilirubin conjugated dan unconjugated. Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan karena peningkatan sintesis bilirubin, gangguan uptake hepatosit dari
bilirubin unconjugated, berkurangnya konjugasi interselular, berkurangnya
transportasi intraselular dan ekskresi dari bilirubin unconjugated, atau obstruksi
traktus bilier. 1

Tipe Jaundice Hemolitik Early late Obstruktif

Bilirubin ↑ N/↑ N/↑ N


unconjugated

Bilirubin N N ↑ ↑↑
conjugated

Bilirubin urine N/↑ ↑ ↑ ↑↑

Urobilinogen N/↑ N ↓ ↓↓

Alkali fosfatase N N ↑ ↑↑

Gamma-GT N ↑ ↑ ↑↑
transaminase

Transaminase N ↑ ↑↑ N/↑

Laktat N ↑ ↑↑ N/↑
dehidrogenase

retikulosit >2% N N N
2. Imaging

 Foto polos

Penggunaan foto polos sangat terbatas untuk mengevaluasi traktus biliaris secara
keseluruhan. Batu empedu sulit terlihat secara jelas dengan menggunakan metode
ini. Selain itu, penggunaan foto polos dalam mengevaluasi batu empedu tidak
dapat mengeksklusi diagnosis lain seperti ulcus duodenum dengan free air,
obstruksiusus kecil, atau pneumonia lobus kanan bawah yang menyebabkan nyeri
RUQ.

 Ultrasonografi

Ultrrasonografi transabdominal merupakan cara yang sensitif, murah, dapat


dipercaya, dan dapat diperbanyak untuk mengevaluasi traktus biliaris. Cara ini
dapat membedakan diagnosis jaundice medical dengan jaundice surgical dengan
tepat. Terdapatnya dilatasi CBD dalam jaundice mengiundikasikan adanya
obstruksi akibat batu empedu yang disertai dengan nyeri, atau tumor yang tidak
disertai dengan nyeri. Penyakit kantung empedu dapat didiagnosa dengan USG,
hal ini karena lokasinya yang superfisial sehingga tidak terhalang oleh gas usus
sehingga dapat dievaluasi menggunakan gelombang suara. USG memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk cholelithiasis. Densitas dari batu
empedu mengakibatkan pantulan gelombang suara, yang menghasilkan gambaran
fokus echogenic dengan bayangan di belakang batu. Dengan demikian USG dapat
membedakan dengan baik antara surgical jaundice dengan medical jaundice
dengan melihat gambaran batu di CBD atau bahkan cholangiocarcinoma.
Gambaran CBD yang melebar akibat batu empedu

 Hepatic Iminodiacetic Scan (HIDA)


Biliary scintigraphy atau HIDA dapat digunakan untuk mengevaluasi fisiologi
sekresi empedu meskipun tidak dapat menggambarkan anatomi yang tepat.
Penyuntikan dari asam iminodiacetic yang di cerna dalam hepar dan disekresi
empedu dapat mengidentifikasi aliran empedu. Kegagalan pengisian kantung
empedu setelah 2 jam pasca penyuntikan mengindikasikan adanya obstruksi di
ductus cysticus. Selain itu cara ini juga dapat digunakan untuk memantau post
operasi dengan melihat adanya obstruksi atau kebocoran cairan empedu. HIDA
scan juga dapat berfungsi untuk menilai fungsi kantung empedu dengan
penyuntikan CCK saat scan akan mendokumentasikan ejeksi fisiologis dari
kantung empedu. Hal ini baik untuk mendiagnosis pasien dengan nyeri traktus
biliaris tetapi tidak ditemukan batu empedu pada pemeriksaan lain, karena rasa
nyeri dapat timbul saat pengosongan kantung empedu yang dikenal sebagai
biliary dyskinesia.
Gambar HIDA scan yang menunjukkan pengisian kantung empedu.

 CT Scan

Meskipun USG merupakan pilihan pertama dalam mendiagnosis patologi bilier,


CT scan dapat menunjukkan gambaran anatomis yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan batu empedu kebanyakan isodense dengan cairan empedu secara
radiologis, sehingga banyak batu empedu yang tidak dapat dibedakan dengan
cairan empedu. Tetapi karena pemeriksaan USG tergantung pada operator dan
tidak dapat merekonstruksi dengan baik traktus biliaris, CT scan lebih dapat
digunakan untuk mengidentifikasi lokasi obstruksi bilier dengan baik.
Gambaran CT scan yang menunjukkan pelebaran traktus billiaris

 Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Magnetic Resonance


Cholangiopancreatography (MRCP)

MRI dapat memberikan gambaran anatomi yang baik untuk traktus biliaris
ekstrahepatal dan intrahepatal serta pankreas. MRI merupakan pemeriksaan non
invasif, tidak memberikan eksposur radiasi pada pasien , dan sangat berguna saat
perencanaan reseksi neoplasma di bilier atau pankreas. Cholangiopancreatogram
dapat dibuat dengan memanfaatkan kandungan cairan dari empedu .
Gambaran MRCP normal.

 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

ERCP merupakan pemeriksaan invasif menggunakan endoskopi dan fluoroskopi


untuk menginjeksi kontras melalui ampulla sehingga dapat menggambarkan
traktus biliaris. Pada pasien dengan obstruksi malignant ERCP dapat berguna
untuk mengambil sampel (biopsi) jaringan bersamaan dengan mendekompresi
obstruksi. Sedangkan untuk obstruksi jinak seperti choledocholithiasis dapat
dengan muddah di terapi dengan endoskopi . ERCP terbukti sangat berguna
untuk mendiagnosis dan menterapi komplikasi dari operasi bilier.

 Intraoperative Cholangiography

Intraoperative cholangiography dilakukan dengan cara memasukkan kateter ke


dalam duktus cysticus saat dilakukan cholecystectomy, sehingga dapat
menggambarkan anomali bilier, adanya batu di CBD, atau guiding rekonstruksi
bilier . indikasi dari cholangiography intraoperatif antara lain nyeri saat intervensi
intraoperatif, fungsi hepar abnormal, anomali anatomi bilier, ketidakmampuan
menggunakan ERCP, dan kecurigaan adanya choledocholithiasis.

 Endoscopic Ultrasound

Pemeriksaan Endoscopic ultrasound (EUS) berguna dalam menilai CBD dan


ampulla. Gelombang suara yang dihasilkan EUS akan memberikan evaluasi
mendetail dari CBD dan ampula yang dapat menilai invasi tumor ke dalam
struktur vaskular. Endoskop pada pemeriksaan ini terdiri dari endoskop radial dan
endoskop linear. Endoskop radial berfungsi dalam memberikan evaluasi
tomografi traktus bilier, sedangkan endoskop linier berfungsi untuk guiding
intervensi seperti biopsi jarum dengan bantuan ultrasound secara real time.

Endoscopic Ultrasound (EUS)

 Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography

Fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FDG-PET) memberikan


gambaran perbedaan antara jaringan normal dan neoplasma. Dengan menginjeksi
molekul radiolabeled glucose, FDG-PET scan dapat mendeferensiasi lesi jinak
dan maligna, mendeteksi rekurensi tumor, dan mengidentifikasi adanya metastase.

Jaundice

U/S CBD and


gallbladder

CBD Dilated Other cause


found
CBD dilated
No gallstones Gallstones

? Ca pancreas / ERCP
ERCP CT scan
CBD Surgery

ERCP +/– stent


CT scan/MRCP Surgery

I. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan non operatif

Penatalaksanaan secara non operatif pada batu empedu sering kali tidak berhasil
dan jarang digunakan. Pilihan pada metode ini antara lain terapi garam empedu
per oral, disolusi kontak, dan ESWL (extracorporeal shockwave lithotripsy).
Terapi dengan disolusi mempunyai persentasi rekurensi sebanyak 50%,
sedangkan metode ESWL memiliki persentasi rekurensi 20% dan dapat
digunakan pada pasien yang memiliki batu empedu tunggal sebesar 0,5-2 cm.
2. Penatalaksanaan operatif

 Laparoscopic Cholecystectomy

Dengan kemajuan bedah laparoskopik, memungkinkan oprasi batu empedu


dengan sayatan yang lebih kecil, lebih tidak nyeri saat pasca operasi, dan rawat
inap yang lebih singkat. Kebanyakan cholecystectomy diindikasikan untuk kolik
bilier, namun bisa juga untuk profilaksis pada kasus inflamasi bilier. Anestesi
umum dan relaksasi otot dibutuhkan saat prosedur cholecystectomy, dengan
begitu salah satu kontraindikasi prosedur adalah ketidakmampuan pasien untuk
mentolerir general anestesi. Kontra indikasi lain adalah portal hypertension dan
coagulopathy. Akses ke rongga peritoneum dilakukan dengan teknik terbuka dan
tertutup tergantung operator. Teknik terbuka dilakukan dengan cara membuat
incisi kecil di umbilikus, menuju fascia abdomen , menembus peritoneum, lalu
memasukkan trokar tumpul yang dikenal dengan Hasson cannula. Teknik tertutup
dilakukan dengan membuat incisi kecil dan memasukkan jarum untuk
mengembangkan abdomen. Lalu dilakukan eksplorasi setelah pneumoperitoneum
terjadi, dan dipasangkan port 5 mm di line aksilaris anterior kanan, linea
midklavikula kanan, dan subxiphoid. Port yang dipasangkan tersebut berguna
untuk mengangkat fundus kantung empedu ke bahu kanan. Pengangkatan ini akan
memperlihatkan infundibulum dan porta hepatica. Sebuah kateter
cholangiographic dimasukkan melalui ductus yang telah di insisi dan traktus
biliaris. Kantung empedu di diseksi dengan menggunakan electrocauter,
bersamaan dengan proses hemostasis pada vena di sekitarnya. Lalu kantung
empedu dikeluarkan lewat sayatan di umbilikus , dan batu yang tersisa
dikeluarkan dan dimasukkan ke kantung steril.
Gambaran laparoscopic cholecystectomy yang memperlihatkan infundibulum dan
Porta hepatica

 Open cholecystectomy

Open Cholecystectomy dilakukan dengan cara incisi lewat midline atau subcostal.
Retraksi segmen abdomen akan memperlihatkan ductus cysticus dan arteri di
sekitarnya. Dengan traksi inferolateral terhadap infundibulum kantung empedu,
ductus cysticus di geser dari tempat awalnya. Identifikasi dan ligasi arteri sekitar
kantung empedu digunakan untuk membatasi perdarahan seminimal mungkin saat
diseksi kantung empedu.
 ERCP

Endoscopic sphincterectomy dengan ekstraksi batu merupakan terapi yang efektif


untuk cholelithiasis. Saat digunakan preoperatif prosedur ini akan mencegah
prosedur open laparotomy, dan bila gagal, maka keputusan tindakan berikutnya
akan dapat dirubah. Kegagalan pengangkatan batu secara endoskopik antaralain
akibat batu multiple, batu terlalu besar, batu intrahepatal, anatomi gaster atau
duodenal yang teralterasi, batu impaksi, dan divertikula duodenal. Ekstraksi batu
secara endoskopi tidak menutup kemungkinan rekurensi dari batu empedu. setelah
pelaksanaan, hampir 50% pasien mengalami rekurensi. Uniknya, pasien dengan
usia tua (>70 tahun) memiliki tingkat rekurensi yang lebih rendah sekitar 15%,
sehingga prosedur ini lebih cocok untuk kelompok usia ini.
 Laparoscopic Common Bile Duct Exploration

Cholangiogram intraoperatif saat cholecystectomy akan membantu


mengidentifikasi adanya choledocholithiasis. Eksplorasi CBD akan mengatasi
semua kalkulus yang ada di traktus biliaris tanpa harus menambah tindakan
anestesi atau prosedur lain. Akses ke CBD dicapai dengan memakai
cholangioscope kecil atau incisi terpisah ke duktus koledokus sendiri.
Kontraindikasi dari tindakan ini adalah CBD yang terlalu kecil, dan batu empedu
yang besar (>1 cm).

Postcholecystectomy symptoms

a. Bile duct injury


b. Lost stones
c. Postcholecystectomy pain
d. Retained biliary stones
e. Biliary leak
f. Galstone ileus
g. Acute cholangitis (karena ascending infection)

J. KOMPLIKASI

• Cholecystitis acuta
• Hydrops, Empyema, dan gangren
• Contracted gallblader
• Bile peritonitis
• Fistula cholecystoduodenale 
infeksi retrograde
Gallstone ileus
• Porcelain gallblader
• Carsinoma Vesica fellea
• Biliary pancreatitis
• Obstructive jaundice  Cholangitis
Cholecystitis
• Klinik
Nyeri di RUQ
Demam
Mual dan muntah
Konstipasi
• Tanda :
Murphy’s sign
Jaundice (jarang)
Leukositosis

Cholangitis
• Terjadi karena obstruksi saluran empedu yang menyebabkan bakteri naik dari
duodenum.
• GK khas  trias Charcot
- Nyeri perut kanan atas
- Jaundice
- Demam (tipe)
• Pentad Reynolds
Merupakan kumpulan gejala terdiri dari trias Charcot ditambah shock
dan gangguan mental (atau terkadang hanya terdapat hipotensi dan gelisah)

Biliary pancreatitic
Batu pada Ductus choledochus  menyumbat sehingga aliran enzim pankreas
ke duodenum terhambat  enzim pankreas kembali ke pankreas  iritasi 
inflamasi
• Gejala:
- Nyeri pada perut kiri atas (menjalar ke punggung)
- Sifat nyeri tiba-tiba, berat, seperti ditusuk dan melilit
- Mual dan muntah
K. PROGNOSIS

Apabila tidak diterapi, batu empedu akan mengakibatkan kondisi yang


lebih serius seperti infeksi dan kerusakan kantung empedu, liver, dan pancreas.
Apabila organ-organ tersebut telah rusak, maka akan terjadi berbagai komplikasi
yang mengancam nyawa pasien. Pasien yang telah melakukan prosedur
pengangkatan batu empedu atau diseksi kantung empedu secara laparoscopic
dapat meninggalkan rumahsakit 48 jam pasca operasi, dan dapat beraktivitas
normal setelah 3 minggu. Pasien yang telah mendapatkan operasi open
laparotomy dapat meninggalkan rumahsakit setelah 1 minggu dan dapat
beraktivitas normal setelah 6 minggu

You might also like