You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Corporate Social Responsibility (CSR) saat ini sudah tidak asing lagi di
kalangan masyarakat umum, sebagai respon perusahaan terhadap lingkungan
masyarakat. CSR berkaitan dengan tanggung jawab sosial, kesejahteraan sosial
dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat. Industri dan korporasi dalam hal ini
berperan untuk mendorong perekonomian yang sehat dengan mempertimbangkan
faktor lingkungan hidup. Melalui CSR perusahaan tidak semata memprioritaskan
tujuannya pada memperoleh laba setinggi-tingginya, melainkan meliputi aspek
keuangan, sosial, dan aspek lingkungan lainnya. Konsep tanggung jawab
perusahaan yang telah dikenal sejak 1970-an, merupakan kumpulan kebijakan
dan praktik yang berhubungan dengan stakeholders, nilai-nilai, pemenuhan
ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen
perusahaan untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan.
Konsep tanggung jawab sosial perusahan atau corporate social
responsibility (CSR) merupakan salah satu bentuk tanggung jawab perusahan
terhadap masyarakat yang menekankan bahwa pemilik perusahaan mempunyai
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya (Musa Obaloha: 2008).
CSR semakin popular dan menjadi ukuran penting dalam menilai keberhasilan
perusahaan dalam operasinya di serata dunia. Adanya prinsip Good Corporate
Governance (GCG), semakin menyempurnakan niat perusaan untuk serius
memberi perhatian terhadap program CSR( Muhammad Yasir Yusuf:2010).
Isu CSR telah lama diperbincangkan di seluruh dunia semenjak tahun
1950 (Siti Norasmarina Ismail: 2009) dan 1960-an di negara-negara barat
(Norajilah Chie man: 2011). Pada tahun 1970-an, dimana perusahaan di Amerika
mendapat kritikan tajam, karena telah menjadi suatu yang sangat berkuasa dan
antisosial. Pada tahun 1990-an, idea CSR ini mula diterima dan
diimplimentaskan di seluruh dunia oleh setiap perdagangan dalam masyarakat
dari pemerintah dan pihak swasta hingga pelaku bisnis lokal. Menanggapi
Konsep CSR dalam sejarah ekonomi perusahaan maka, Islam sangat menyambut

1
baik kegiatan CSR ini, pelaku ekonomi dalam Islam bertanggung jawab untuk
menyantuni masyarakat dan memperhatian lingkungan sekitar. Kegiatan sosial
perlu satu konsep dalam Islam, sehingga selaras dengan tujuan ekonomi Islam.
CSR dalam Islam merupakan salah satu cara dalam mencapai tujuan
ekonomi Islam, yaitu kesejahteraan ekonomi, keadilan, distribsi pendapatan
yang yang adil, kebebasan indivisul dalam konteks kesejahteraan social.
Moralitas dan legalitas adalah dua hal yang berbeda. Etika dan hukum saling
tumpang tindih, tetapi keduanya merupakan hal yang berbeda. Sebagian orang
berpikir bahwa sepanjang mereka tidak melakukan hal-hal yang melanggar
hukum, mereka sudah memenuhi semua syarat berperilaku sesuai etika. Salah
satu cara untuk melihat perbedaan antara etika dan hukum adalah dengan
mempertimbangkan kenyatan bahwa disepanjang sejarah, orang-orang yang
memiliki etika sering merasa bahwa secara moral mereka berkewajiban
menentang hukum-hukum yang tidak adil sampai berusaha mengubahnya.
Etika atau Moralitas, satu hal yang membuat orang bingung yaitu ada
sebagian orang yang menggunakan istilah “etika” dan “moralitas” secara
berbeda, membatasi kata pertama hanya dalam konteks professional dan bisnis
dan kata kedua untuk masalah-masalah pribadi. (Tom Morris,2007). Bagi penulis
ini adalah membedakan dua hal yang sama sekali tidak berbeda. Jangan sampai
kita mengotak-otakan kehidupan kita seperti itu, dalam hal kita bagaimana kita
memperlakukan orang. Orang lain berhak dihormati, dihargai dan dipedulikan,
baik dalam konteks bisnis maupun keluarga, dikantor maupun dilingkungan
bertetangga.
Nilai-nilai seperti kejujuran atau hal-hal baik seperti keberanian
membentang antara pembedaan secara personal maupun professional tanpa ada
perubahan sama sekali. Karena itu, pada dasarnya lebih menganggap kata “etika”
dan “moralitas” sebagai sinonim, dengan arti yang kurang lebih sama. Jika kita
menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang
pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang
muslim. Dalam Al Qur‟an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan

2
kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal”Allah telah
menghalalkan perdagangan dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas
perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia
mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah
SAW ”Perhatikan olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia
perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo
justru mencurigai tesis Weber tentang Etika Protestantisme, yang menyitir
kegiatan bisnis sebagai tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya
dari ajaran Islam.
Berdasarkan latar belakang diatas, Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis tertarik mengangkat permasalahan tersebut untuk dikaji lebih lanjut
dalam makalah ini dengan judul "Implementasi Corporate Social
Responsibility Dalam Perspektif Konvensional, Etika Bisnis Islam Dan Fiqh
Sosial”.

3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan judul di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus dalam
makalah ini adalah:
1. Apa definisi dan orientasi csr ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan csr ?
3. Bagaimana teori corporate citizenship?
4. Bagaimana praktek csr di Indonesia ?
5. Bagaimana wacana csr dari berbagai perspektif ?
6. Bagaimana csr dalam konsep fikih social ?
7. Bagaimana implementasi fikih sosial melalui csr ?
8. Bagaimana analisis corporate social responsibility dalam perspektif etika
bisnis islam ?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui definisi dan orientasi csr.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan csr.
3. Untuk mengetahui teori corporate citizenship.
4. Untuk mengetahui praktek csr di Indonesia.
5. Untuk mengetahui wacana csr dari berbagai perspektif.
6. Untuk mengetahui csr dalam konsep fikih sosial.
7. Untuk mengetahui implementasi fikih sosial melalui csr.
8. Untuk mengetahui analisis corporate social responsibility dalam perspektif
etika bisnis islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Orientasi CSR

Definisi CSR sangat menentukan pendekatan audit program CSR.


Sayangnya, belum ada definisi CSR yang secara universal diterima oleh berbagai
lembaga. Beberapa definisi CSR di bawah ini menunjukkan keragaman pengertian
CSR menurut berbagai organisasi (Sukada dan Jalal, 2008). (World Business
Council for Sustainable Development: Komitmen berkesinambungan dari
kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan
ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya,
serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya.
 International Finance Corporation: Komitmen dunia bisnis untuk
memberi kontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan
melalui kerjasama dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal
dan masyarakat luas untuk meningkatkan kehidupan mereka melalui cara-
cara yang baik bagi bisnis maupun pembangunan.
 Institute of Chartered Accountants, England and Wales: Jaminan bahwa
organisasi-organisasi pengelola bisnis mampu memberi dampak positif
bagi masyarakat dan lingkungan, seraya memaksimalkan nilai bagi para
pemegang saham (shareholders) mereka.
 Canadian Government: Kegiatan usaha yang mengintegrasikan ekonomi,
lingkungan dan sosial ke dalam nilai, budaya, pengambilan keputusan,
strategi, dan operasi perusahaan yang dilakukan secara transparan dan
bertanggung jawab untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan
berkembang.
 European Commission: Sebuah konsep dengan nama perusahaan
mengintegrasikan perhatian terhadap sosial dan lingkungan dalam operasi
bisnis mereka dan dalam interaksinya dengan para pemangku kepentingan
(stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan.
 CSR Asia: Komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan

5
berdasarkan prinsip ekonomi sosial dan lingkungan, seraya
menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders. Selain itu, ISO
26000 mengenai Guidance On Social Responsibility juga memberikan
definisi CSR. Meskipun pedoman CSR Standard Internasional ini baru
akan ditetapkan tahun 2010, draft pedoman ini bias dijadikan rujukan.
Menurut ISO 26000, CSR adalah: Tanggung jawab sebuah organisasi
terhadap dampak-dampak dari keputusan- keputusan dan kegiatan-
kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembanguna
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan
pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dengan
norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi
secara menyeluruh (Draft 3, 2007).
Berdasarkan pedoman ini, CSR tidaklah sesederhana sebagaimana
dipahami dan dipraktikkan oleh kebanyakan perusahaan. CSR mencakup tujuh
komponen utama, yaitu: the environment, social development, human rights,
organizational governance, labor practices, fair operating practices, dan consumer
issues . Jika dipetakan, menurut penulis, pendefinisian CSR yang relatif lebih
mudah dipahami dan bisa dioperasionalkan untuk kegiatan audit adalah dengan
mengembangkan konsep Tripple Bottom Lines dan menambahkannya dengan satu
line tambahan, yakni procedure (Suharto, Edi, 2007). Dengan demikian, CSR
adalah: Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya
(profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet)
secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional.
Dalam aplikasinya, konsep 4P ini bisa dipadukan dengan komponen dalam
ISO 26000. Konsep planet jelas berkaitan dengan aspek The Environment.
Konsep people di dalamnya bisa merujuk pada konsep social development dan
human rights yang tidak hanya menyangkut kesejahteraan ekonomi masyarakat
(seperti pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan kerja). Melainkan pula,
kesejahteraan sosial (semisal pemberian jaminan sosial, penguatan aksesibilitas
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan pendididikan, penguatan kapasitas

6
lembaga-lembaga sosial dan kearifan lokal). Sedangkan konsep prosedur bisa
mencakup konsep organizational governance, labor practices, fair operating
practice, dan consumer issues. CSR merupakan upaya perusahaan yang bersifat
proaktif, terstruktur, dan berkesinambungan dalam mewujudkan operasi bisnis
yang dapat diterima secara sosial (socially acceptable) dan ramah lingkungan
(environmentally friendly) guna mencapai kesuksesan finansial, sehingga dapat
memberikan nilai tambah bagi seluruh stakeholder.
Pelaksanaan CSR memang banyak berorientasi korporat diantaranya
bertujuan untuk membangun citra perusahaan, meningkatkan loyalitas konsumen,
mencapai kesuksesan financial, meningkatkan saham, menaikan penjualan, dan
meminimalisir konflik antara perusahaan dengan lingkungan sosialnya. Sehingga
CSR telah menjadi salah satu strategi pemasaran dan manajemen yang cukup
intens dilakukan oleh perusahaan. Perkembangan awalnya, CSR hanya dilakukan
oleh perusahaan beresiko tinggi seperti perusahaan pertambangan, perkebunan,
kimia, penebangan kayu. Perwujudan awal CSR ini lebih fokus pada hutang yang
harus dibayar atas dampak yang diakibatkan pada Lingkungan dan masyarakat,
bukan merupakan kewajiban dan tanggung jawab sosial. Pelaksanaannya pun,
terbatas hanya pada ekosistem yang berada di sekitar perusahaan, dengan kegiatan
yang masih terbatas (limited) dan berjangka pendek (short term).
Pada era kedua, telah terjadi pergeseran orientasi. CSR tidak lagi ditujukan
untuk membayar utang sosial, melainkan menjadi sebuah tanggung jawab mutlak
yang mesti dilakukan oleh perusahaan. Coverage area penerapannya- pun semakin
meluas, tidak lagi terbatas lingkungan sekitar perusahaan, melainkan telah
menjadi program nasional. Era pertama dan kedua ini masih sangat berorientasi
corporate, dan biasanya CSR diposisikan dibawah kordinasi Departemen Humas
atau Departemen Komunikasi, dan memang CSR ditujukan untuk media
komunikasi dan kampanye sosial perusahaan. Selanjutnya di era ketiga,
perkembangan CSR mengarah kepada Branded CSR, yang ditujukan untuk
menjadi „umbrella‟ bagi produk-produk perusahaan. CSR tidak lagi terbatas pada
komunikasi, melainkan sudah bermetamorfosis menjadi nilai dan filosofi
perusahaan. Coverage area-nya meliputi seluruh stakeholder, baik internal dan

7
eksternal. Sehingga semua pihak dapat meresapi dan mengimplementasikan
seluruh nilai dan tujuan CSR perusahaan. Perkembangan terakhir inilah yang
merupakan kematangan proses implementasi CSR, dengan demikian penerapan
CSR tidak hanya menguntungkan salah satu pihak melainkan keuntungan yang
integral bagi seluruh stakeholder. Pengertian CSR sebagai sebuah konsep yang
makin populer, CSR ternyata belum memiliki definisi yang tunggal; The World
Business Council for Sustainable Development (WBCSD), Lembaga Internasional
yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120 negara.
Multinasional Company yang beranggotakan lebih dari 30 negara itu,
dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR, sebagai
komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan
peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga
peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Magnan dan Ferrel (2004) yang mendefinisikan CSR sebagai memberikan
perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai stakeholders yang
beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pelaku
bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab. The Jakarta
Consulting Group tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal)
maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan
kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas serta kepada karyawan dalam
bentuk kompensasi-kompensasi yang adil. Ke luar, tanggung jawab sosial ini
berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia
lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta
memelihara lingkungan tempat mereka beroperasi demi peningkatan kualitas
hidup masyarakat dalam jangka panjang, baik untuk generasi saat ini maupun bagi
generasi penerus.

2.2 Sejarah Perkembangan CSR


Gema CSR semakin terasa pada tahun 1950-an. Pada waktu itu, persoalan-
persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai

8
mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Beberapa kalangan
bahkan menyebutkan bahwa saat inilah era modern dari CSR dimulai. Mereka
menganggap bahwa buku yang bertajuk Social Responsibilities of the
Businessman karya Howard R.Bowen yang ditulis pada tahun 1953 merupakan
literatur awal yang menjadi tonggak sejarah modern CSR. Dan karena karyanya
itu Bowen diganjar dengan sebutan Bapak CSR. Sejalan dengan bergulirnya
wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan perusahaan terus
berkembang dalam kemasan philanthropy serta Community Development (CD).
Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan penekanan dari fasilitasi dan
dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah sektor-sektor sosial. Latar
belakang perpindahan ini adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas
hanya akan dapat terjadi manakala variabel-variabel yang menahan orang miskin
tetap miskin, misalnya pendidikan dan kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai
program populis kemudian banyak dilakukan seperti penyediaan sarana dan
prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih dan kegiatan lain. Di era 1980-an
makin banyak perusahan yang menggeser konsep filantropisnya ke arah
Community Development (CD).
Kegiatan kedermawanan berkembang kearah pemberdayaan masyarakat.
Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan
seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan Civil
Society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek CD. CD
menjadi suatu aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas
produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi
berkembangnya keterlibatan berbagai pihak. Pada tataran global, tahun 2000
dibentuk Global Compact oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Tujuannya adalah
menyusun perilaku standar korporasi global. Ada 10 aturan Global Compact,
mencakup soal HAM, bisnis harus menghormati HAM, standar perburuhan,
lingkungan hidup dan antikorupsi. Gaung CSR makin bergema setelah
diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun
2002 di Johannesburg Afrika Selatan.sebagai negara yang membangun
pemerintahan dengan berlandaskan Pancasila. Dalam konteks global, istilah CSR

9
mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama setelah
kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting
sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan
social equity, yang digagas The World Commission On Environment And
Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas
CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan
yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan
pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people). Maka Indonesia pun mengatur CSR ini dalam
bentuk Undang- Undang, agar terjadinya masyarakat yang saling mengasihi di
dalam suatu negara yang berdaulat dan menjunjung tinggi moral. Dalam UU PT.
BAB V No.40 Tahun 2007 Pasal 74 dan ayat terpilih yang berbunyi:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau
bersangkutan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan.
2. Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan
yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenakan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para
pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders dapat mencakup
karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku
regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan
dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan
(Supomo, 2004). Sebagai contoh, PT.Aneka Tambang, Tbk. dan Rio Tinto
menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai stakeholders dalam

10
skala prioritasnya. Sementara itu, stakeholders dalam skala prioritas bagi produk
konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para customernya.

2.3 Teori Corporate Citizenship

Salah satu teori CSR yang dikembangkan oleh Garriga dan Mele (2004)
adalah teori corporate citizenship. Secara historis, istilah ini diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1980an dalam bisnis dan hubungan masyarakat melalui
praktisi. Eilbirt dan Parket, pada tahun 1970an, mencermati pengertian yang lebih
baik dari tanggung jawab social, dengan menggunakan istilah „good
neighborliness‟, yang tidak jauh dari istilah „good citizen‟. Menurut kedua ahli ini,
ada dua makna yang melekat pada „good neighborliness‟. Pertama, „tidak
melakukan hal yang merusak lingkungan‟; dan kedua, „komitmen bisnis secara
umum, terhadap peran aktif dalam solusi masalah social secara luas, seperti
diskriminasi rasial, polusi, transportasi atau pelemahan daerah urban‟ (Eilbirt dan
Parket dalam Mele, 2008:69).
Meski ide untuk melihat perusahaan layaknya warga negara (citizen)
bukanlah konsep yang baru, ketertarikan kembali atas konsep ini baru-baru ini di
kalangan praktisi dikarenakan factor-faktor tertentu yang memiliki dampak pada
hubungan bisnis dan masyarakat. Beberapa faktor penting diantaranya adalah
fenomena globalisasi dan kekuatan perusahaan multi nasional. Pentingnya
memberikan perhatian dimana perusahaan beroperasi telah mendorong 34 CEO
perusahaan multinasional besar menandatangani sebuah dokumen dalam World
Economic Forum di New York pada tahun 2002, Global Corporate Citizenship:
The Leadership Challenge for CEOs and Boards. Bagi World economic Forum,
„Corporate Citizenship adalah mengenai bagaimana perusahaan memberikan
kontribusi bagi masyarakat melalui aktivitas bisnis inti mereka, investasi social
mereka dan program filantropi, serta keterlibatan dalam kebijakan publik‟.
Teori ini memiliki konotasi rasa memiliki terhadap komunitas. Pada
prinsipnya teori ini menekankan bahwa perusahaan, layaknya warga negara,
memiliki hak dan kewajiban. Artinya bahwa ketika perusahaan menjalankan
aktivitasnya dalam rangka mengejar keuntangan, maka saat bersamaan

11
seharusnya perusahaan mempertimbangkan kewajibannya untuk memperhatikan
komunitas dan lingkungan. Karena alasan ini manajer atau instansi bisnis sadar
bahwa mereka harus mempertimbangkan komunitas dimana mereka beroperasi.
Teori corporate citizenship difokuskan pada hak, tanggung jawab dan
kemungkinan kemitraan bisnis dalam masyarakat. Meski demikian, dalam
prakteknya, perusahaan yang mengadopsi teori ini, tidak membatasi diri semata
hanya melihat komunitas sebagai stakeholder sasaran dalam menjalankan
kebijakan CSR mereka, tapi juga memberikan perhatian pada stakeholder lain,
seperti karyawan.

2.4 Praktek CSR di Indonesia


Satu fenomena menarik melihat perkembangan konsep CSR di Indonesia
adalah ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.40/2007 tentang
Perseroan Terbatas. Hal ini telah menimbulkan salah konsep dan persepsi karena
akhirnya menggantikan karakteristik dasar dari implementasi CSR yang baik dan
benar. Bab V Pasal 74 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan
dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat 1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan


diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Konsekuensi dari keluarnya undang-undang ini, menimbulkan
mispersepsi di kalangan pelaku bisnis. Pertama, bahwa CSR dianggap sebagai
sebuah kewajiban dan bukan kebutuhan. Konsekuensinya, hal ini bisa
mempengaruhi keseriusan perusahaan dalam mengembangkan kebijakan CSR.

12
Kedua, aktivitas CSR yang dijalankan dianggap sebagai sebuah beaya daripada
investasi. Hal ini akan mendorong perusahaan berpikiran sempit untuk
semaksimal mungkin memanfaatkan aktivitas CSR sebagai upaya semata
mendatangkan profit perusahaan. Ketiga, CSR yang diwajibkan seperti ini akan
berpotensi menciptakan bentuk korupsi dan kolusi baru antara perusahaan dan
pejabat pemerintah. Misalnya dengan memanipulasi penggunaan dana yang di
mark up seolah perusahaan sudah memenuhi kewajiban alokasi dana CSR.
Pejabat pemerintah yang mengaudit disuap untuk menghindari adanya
pemenuhan batas minimal penggunaan dana CSR perusahaan. Keempat, aktivitas
CSR semata hanya wajib dijalankan oleh perusahaan yang berhubungan dengan
atau mengeksplorasi sumber daya alam. Di luar bidang ini, tidak ada sebuah
keharusan perusahaan menjalankan kebijakan CSR.
Bisa disimpulkan bahwa UU No 40/2009 tentang PT dan BUMN diatas
masih sangat baru dan masih menimbulkan pro dan kontra. Tidak ada penjelasan
detil tentang apa yang dimaksud tanggung jawab social, bagaimana seharusnya
aktivitas tanggung jawab social dijalankan dan apa sanksi bagi yang tidak
menjalankan. Intinya, seharusnya CSR menjadi sebuah pendekatan yang bersifat
sukarela yang dirancang untuk membawa manfaat bagi semua stakeholder
perusahaan.
Bahwa kebijakan CSR sebuah perusahaan sebaiknya juga memperhatikan
rencana pembangunan pemerintah daerah adalah penting, tapi bukan berarti apa
yang diusulkan pemerintah wajib dijalankan. Inisiasi kebijakan dan program
CSR yang dijalankan harus berasal dari perusahaan dengan memperhatikan
masukan dari komunitas, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat atau
pihak terkait. Gagasan di balik tanggung jawab sosial adalah bagaimana
perusahaan bisa memberikan kontribusi pada pembangunan berkelanjutan, yakni
pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED,
1987). Hal ini diyakini akan bisa tercipta jika ada kesesuaian diantara 3 aspek:
sosial, lingkungan dan ekonomi. Komitmen ini lebih dikenal dengan istilah triple
bottom line Dalam istilah praktis, tripple bottom line berarti memperluas

13
kerangka pelaporan tradisional untuk mempertimbangkan kinerja ekologi dan
sosial sebagai tambahan kinerja keuangan. Pada tahun 1981, Freer Spreckley
pertama kali mengartikulasikan triple bottom line dalam publikasi yang disebut
'Social Audit - A Management Tool for Co-operative Working' saat dia
menjelaskan apa yang harus perusahaan masukkan dalam pengukuran kinerja
mereka.

Grafik 1. Tripple bottom line: sosial, lingkungan, dan ekonomi

Konsep triple bottom line menekankan bahwa tanggung jawab


perusahaan terletak pada pemangku kepentingan (stakeholder) mereka daripada
pemegang saham. Dalam hal ini, stakeholder mengacu kepada publik yang
dipengaruhi, baik secara langsung atau tidak langsung, oleh tindakan
perusahaan. Menurut teori pemangku kepentingan, entitas bisnis harus
digunakan sebagai sarana untuk mengkoordinasikan kepentingan pemangku
kepentingan, daripada memaksimalkan keuntungan pemegang saham. Dari
penelitian yang penulis lakukan, implementasi konsep triple bottom line pada

14
sebagian perusahaan di Indonesia pada akhirnya di fokuskan pada
pengembangan program CSR yang ditujukan untuk komunitas disekitar wilayah
operasi perusahaan dan pengembangan lingkungan. Hal ini misalnya terlihat
pada perusahaan tambang yang diteliti oleh penulis. Artinya, program CSR di
Indonesia ada penekanan yang agak berbeda jika dibandingkan dengan isu-isu
CSR di negara maju.
Meski terdapat perbedaan penekanan isu-isu CSR; pada beberapa
perusahaan di Indonesia, praktek CSR sudah dianggap sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari kebijakan strategis perusahaan. Hal ini, misalnya, dapat dilihat
dari keseriusan perusahaan yang penulis teliti. Pada PT Aqua Danone, aktivitas
CSR bahkan terwujud dalam sebuah departemen yang diberi nama Pembangunan
Berkelanjutan. Hal ini sebagai bentuk keseriusan dan komitmen perusahaan
untuk menempatkan aktivitas CSR sejalan dengan aktivitas bisnis perusahaan.
Penting kiranya disadari oleh pihak manajemen untuk mengembangkan strategi
CSR sesuai dengan bisnis inti perusahaan. Hal ini karena beberapa pertimbangan
berikut:
a. Meminimalkan dampak negatif dengan menerapkan standar sektor bisnis dan
praktik terbaik.
b. Lebih mudah untuk memaksimalkan dampak positif, karena sumber daya
sudah tersedia.
c. Proses belajar untuk memperoleh kompetensi dalam menerapkan CSR lebih
pendek.
d. Lebih cepat dan lebih sedikit upaya yang perlu dilakukan dalam
meningkatkan “visibility” terhadap pemangku kepentingan.
e. Dapat memanfaatkan sumber daya dari institusi eksternal terkait.
(wawancara dengan Binahidra Logiardi, PT Aqua Danone, Oktober 2011).
Mencermati perkembangan praktek CSR di Indonesia, bisa disimpulkan
bahwa kebijakan CSR masih dalam tahap perkembangan awal. Sebagian
manajemen perusahaan masih belum menempatkan CSR sebagai kebijak
stratejik perusahaan. Mereka masih melihat CSR sebagai beban; sehingga
kalaupun CSR mereka jalankan, biasanya setelah perusahaan mendapatkan

15
profit. Idealnya, kebijakan CSR dikembangkan seiring dengan ketika perusahaan
hendak didirikan. Itulah mengapa CSR disebut sebagai „investasi sosial‟, sebagai
upaya untuk mendapatkan kepercayaan dari stakeholder.

2.5 Wacana CSR dari Berbagai Perspektif

Saat ini CSR telah menjadi sebuah isu global. Tetapi walaupun telah
menjadi sebuah isu global, sampai saat ini belum ada definisi tunggal dari CSR
yang diterima secara global. Secara etimologis CSR dapat diartikan sebagai
tanggung jawab sosial perusahaan atau korporasi. Istilah umum ini dikenal di
berbagai negara terutama Amerika. Meskipun kata corporate identik dengan
korporasi atau perusahaan, sesungguhnya pengertian korporasi tidak semata-
mata dimaknai sebagai perusahaan besar, tetapi lebih luas lagi, yaitu badan
hukum. CSR secara sederhana dapat diartikan bagaimana sebuah perusahaan
mengelola proses usaha yang dijalankan untuk menghasilkan pengaruh positif di
masyarakat. CSR adalah memberi timbal balik usaha terhadap masyarakat.
Menurut Lord Home dan Richard Watts: Corporate Social Responsibility (CSR)
adalah komitmen berkelanjutan perusahaan untuk berperilaku secara etis dan
berkontribusi kepada pengembangan ekonomi dengan tetap meningkatkan
kualitas hidup dari para pekerja dan keluarga mereka, begitu juga halnya
dengan masyarakat sekitar perusahaan dan masyarakat secara keseluruhan.

CSR dapat dipahami sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis,
beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan
dengan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya,
komunitas lokal dan komunitas secara lebih luas. CSR menurut K.Bertens adalah
tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat. Tanggung jawab moral
perusahaan dapat diarahkan kepada banyak hal, baik kepada diri sendiri,
karyawan, serta perusahaan lain. Jika bicara tentang tanggung jawab sosial
yang disoroti adalah tanggung jawab moral terhadap masyakarat dimana
perusahaan menjalankan kegiatannya. UUPT Bab V Pasal 74, menyebut CSR
dengan istilah “Tanggung jawab sosial dan lingkungan”. Dalam Pasal 1 butir 3

16
UUPT didefinisikan: Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen
perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi
perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. The
World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) adalah
sebuah lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih
dari 120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu, dalam
publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau tanggung
jawab sosial perusahaan, sebagai “Continuing commitment by business to behave
etnically and contribute to economic development while improving the quality of life
of the workforce and their families as well as of the local community and society at
large.” Maksudnya adalah komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan
ekonomi, bersama dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan
keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan
keluarganya sekaligus juga peningkatan komunitas lokal dan masyarakat secara
lebih luas.
Konsep CSR berkembang pesat selama 20 tahun terakhir ini, yang lahir
sebagai akibat dari desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan
jaringannya di tingkat global. Hingga dekate 1980-1990an, konsep CSR terus
berkembang.
Munculnya KTT Bumi di Rio pada tahun 1992 menegaskan konsep
suistanibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang harus
diperhatikan, tak hanya oleh negara tetapi juga oleh kalangan korporasi. Konsep
pembangunan berkelanjutan menurut korporasi, dalam menjalankan usahanya,
untuk turut memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: ketersediaan dana,
misi lingkungan, tanggung jawab sosial, terimpelementasi dalam kebijakan
(masyarakat, korporat, pemerintah), dan mempunyai nilai keuntungan. Pertemuan
Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan
konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu
economic dan environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi

17
perusahaan dalam CSR. Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss,
Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari
berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta perusahaan untuk
menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal
dengan CSR.
The Commission for European Communities dalam publikasi Green Paper-
nya memandang CSR sebagai sebuah konsep yang penting dimana perusahaan
memutuskan secara sukarela untuk memberi kontribusi bagi masyarakat yang
lebih baik dan lingkungan yang lebih besar. Green Paper mencatat bahwa bagi
sebuah organisasi untuk menjadi bertanggungjawab secara lingkungan berarti
tidak hanya memenuhi sebuah ekspektasi legal, tetapi juga menginvestasikan lebih
dalam hal sumber daya manusia, lingkungan dan hubungan dengan para
stakeholders. Green Paper juga mendeskripsikan CSR dalam dua kategori yaitu
dimensi internal diinterpretasikan termasuk dalam manajemen sumber daya
manusia, kesehatan dan keamanan saat kerja, adaptasi pada perubahan, dan
manajemen dari dampak lingkungan dan sumber daya alam.
Dimensi eksternal termasuk komunitas lokal, rekan bisnis termasuk
pemasok dan konsumen dan kepedulian lingkungan global. Magnan dan Farrel
mendefinisikan CSR sebagai: “A business acts in socially resposible manner when
its decision and account for and balance diverse stakeholders interest”. Definisi
ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang
terhadap kepentingan berbagai stakeholders (pihak- pihak lain yang
berkepentingan) yang beragam dalam setiap keputusan dan tindakan yang
diambil para pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial
bertanggungjawab.
Sedangkan komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, pada
dasarnya bagaimana perusahaan yang secara sukarela memberi kontribusi bagi
terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih.
Sedangkan Elkington mengemukakan bahwa sebuah perusahaan yang
menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian kepada
peningkatan kualitas perusahaan (profit); masyarakat, khususnya komunitas

18
sekitar (people); serta lingkungan hidup (planet earth). Hal tersebut dikenal
dengan teori triple botton line yang dikemukakan oleh John Elkington pada
tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Botton Line of
Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep triple botton
line dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice.
Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus
memperhatikan “3P”. Selain mengenai keuntungan (profit), perusahaan juga harus
memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people)
dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang
merefleksikan dalam kondisi finansialnya saja, namun juga harus memperhatikan
aspek sosial dan lingkungan.
Profit (Keuntungan)

Profit merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap
kegiatan usaha. Tak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan
adalah mengejar profit atau mendongkrak harga saham setinggi- tingginya, baik
secara langsung ataupun tidak langsung. Inilah bentuk tanggung jawab ekonomi
yang paling esensial terhadap pemegang saham.

Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang


dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan
aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan
meningkatkan produktivitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan
mempunyai keuntungan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah
semaksimal mungkin. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja melalui penyederhanaan proses, mengurangi
aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Termasuk
juga menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah
mungkin.

19
People (Masyarakat)

Menyadari bahwa masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu


stakeholder penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sekitar sangat
diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan,
maka sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat lingkungan,
perusahan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-
besarnya kepada masyarakat. Selain itu juga perlu disadari bahwa operasi
perusahaan berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat sekitar.
Karenanya pula perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang
menyentuh kebutuhan masyarakat. Intinya, jika ingin eksis dan acceptable,
perusahaan harus menyertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.
Menghadapi tren tersebut, saatnya perusahaan melihat serius pengaruh
dimensi sosial, dari setiap aktivitas bisnisnya, karena aspek tersebut bukanlah
suatu pilhan yang terpisah, melainkan berjalan beriringan untuk meningkatkan
keberlanjutan operasi perusahaan.
Untuk memperkokoh komitmen dalam tanggung jawab sosial ini
perusahaan memang perlu memiliki pandangan bahwa CSR adalah investasi masa
depan. Artinya, CSR bukan lagi dilihat sebagai sentra biaya (cost centre),
melainkan sentra laba (profit centre) pada masa yang akan datang. Karena melalui
hubungan yang harmonis dan citra yang baik, timbal baliknya masyarakat juga
akan ikut menjaga eksistensi perusahaan.

Planet (Lingkungan)

Unsur ketiga yang mesti diperhatikan juga adalah planet atau


lingkungan. Jika perusahaan ingin eksis dan acceptable maka harus disertakan pula
tanggung jawab kepada lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang terkait
dengan seluruh bidang kehidupan kita. Semua kegiatan yang kita lakukan
berhubungan dengan lingkungan. Lingkungan dapat menjadi teman atau musuh
kita, tergantung bagaimana kita memperlakukannya. Hubungan kita dengan
lingkungan adalah hubungan sebab akibat, dimana jika kita merawat
lingkungan, maka lingkungan pun akan memberikan manfaat kepada kita.

20
Sebaliknya, jika kita merusaknya, maka kita akan menerima akibatnya. Dengan
kata lain, apa yang kita lakukan terhadap lingkungan setempat kita tinggal pada
akhirnya akan kembali kepada kita sesuai dengan apa yang telah kita lakukan.
Apakah kita akan menerima manfaat atau justru menderita kerugian, semuanya
bergantung pada bagaimana kita menjaga lingkungan. lakukan. Apakah kita
akan menerima manfaat atau justru menderita kerugian, semuanya bergantung pada
bagaimana kita menjaga lingkungan. Mendongkrak laba dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi memang penting, namun tak kalah pentingnya juga
memperhatikan kelestarian lingkungan. Disinilah perlunya penerapan konsep triple
bottom line atau 3BL, yakni profit, people dan planet. Dengan kata lain, “jantung
hati” bisnis bukan hanya profit (laba) saja, tetapi juga people (manusia) dan
jangan lupa, planet (lingkungan).
Meskipun memiliki banyak definisi, namun secara esensi CSR
merupakan wujud dari giving back dari korporat kepada komunitas. Perihal hal ini
dapat dilakukan dengan cara melakukan dan menghasilkan bisnis berdasar pada
niat tulus guna memberi kontribusi yang paling positif pada komunitas
(stakeholders).

Merujuk pada Saidin dan Abidin sedikitnya ada empat model atau pola
CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu: pertama,
keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung
dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan
ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan
biasanya menugaskan salah satu pejabat senior, seperti corporate secretary atau
public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation.
Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan
yayasan sendiri di bawah perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi
dari model yang lazim diterapkan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang
dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang
didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company,
Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra,
Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund.

21
Kedua, bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR
melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi non-pemerintah (Ornop),
instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana
maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Berbagai lembaga
sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR
antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu
Pemerintahan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depsos,); Universitas (UI, ITB, IPB);
media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut
mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang
didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola
ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai
oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra
kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan
program yang disepakati bersama.

2.6 CSR Dalam Konsep Fikih Sosial

Dalam prakata buku Masdar F. Mas‟udi, Abdurrahman Wahid (Gusdur)


menjelaskan bahwa dalam rentang sejarahnya yang sangat panjang, lebih dari 10
abad, umat Islam telah mengabaikan amanat sosial (kekhalifahan)- nya yang
nota bene begitu jelas dalam ajaran agama. Bukan tidak ada dimensi sosial yang
telah ditegakkan oleh umat Islam dalam peri kehidupan politik, ekonomi maupun
sosial lainnya, akan tetapi semuanya itu tampak sebagai sesuatu yang tidak
mempunyai kaitan organik dan fungsional dengan jantung keyakinan agamanya.
Islam, dengan komitmen sosialnya yang begitu eksplisit, telah direduksi menjadi
agama yang hanya berurusan dengan peri kehidupan yang berskala personal dan
bersifat ritual sehingga untuk dimensi kehidupan individual umatnya barangkali
Islam masih memberikan pengaruhnya, akan tetapi untuk dimensi kehidupan
sosial pengaruh itu hampir tidak lagi terasa, bahkan seolah-olah seperti tatanan

22
masyarakat borjuis-kapitalis. Kegelisahan intelektual Gus Dur di atas
menyadarkan umat Islam untuk bisa keluar dari pemahaman fikih yang terlalu
mekanis serta formalistis dan kembali pada tujuan syariat (maqashid al-syari’ah)
yaitu terciptanya kemaslahatan bagi manusia. Kemudian gagasan ini bergulir dan
dituangkan dalam wacana yang lebih konkret dengan menyebut istilah fikih
sosial. Setidaknya ada dua orang tokoh yang melontarkan wacana ini, yaitu Sahal
Mahfudh yang menulis buku Nuansa Fikih Sosial dan Ali Yafie yang menulis buku
Wacana Baru Fikih Sosial.

Dalam dua buku ini gagasan tentang fikih sosial secara operasional dapat
dicerna dengan baik walaupun kedua ulama tersebut belum mendeskripsikan
secara lugas makna fikih sosial secara terminologis. Sebagai tahap awal hal ini
dapat dimaklumi karena term fikih sosial belum dikenal dalam diskursus fikih
klasik. Namun prinsipnya sudah tertangkap jelas yaitu term fikih sosial (al-fiqh
al-ijtimai) merupakan bandingan dari terma fikih individu (al-fiqh al-infiradi).
Jika fikih individu menekankan pada aspek relasi individu dengan Allah Swt. dan
hubungan manusia dengan manusia dalam bentuk personal maka fikih sosial
lebih menekankan pada aspek ajaran tentang hubungan antar sesama manusia
dan bermasyarakat. Dengan pendekatan ini maka fikih sosial dapat dipahami
sebagai fikih yang berdimensi sosial atau fikih yang dibangun atas dasar hubungan
antar individu atau kelompok di dalam masyarakat.
Fikih sosial diharapkan dapat mengeluarkan manusia dari jurang kebekuan
(statis) dan keterbelakangan karena berhubungan, berkaitan dan berkelindan
dengan problematika sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
ekonomi, keilmuan, budaya dan politik. Tujuan pokok fikih sosial adalah
membentuk satu konsep fikih yang berdimensi sosial atau fikih yang dibangun
dengan sejumlah peranan individu atau kelompok dalam proses bermasyarakat dan
bernegara.
Hakikat dari gagasan fikih sosial adalah sebuah upaya untuk merubah
paradigma berfikir tentang ibadah sosial. Pengentasan kemiskinan, misalnya, harus
dimulai dari proses penyadaran kepada masyarakat tentang kemiskinan dan tata
cara penanggulangannya. Masyarakat diajak untuk sadar bahwa kemiskinan

23
adalah musuh yang harus dilawan dan dihilangkan. Kemiskinan bukanlah takdir
Allah Swt. yang harus diterima tanpa reserve. Cara mengentaskannya adalah
dengan usaha keras, sistematis, terus menerus dan serius. Hal ini sesuai dengan
firman Allah Swt. yang menyebutkan bahwa “Sungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum sehingga kaum itu merubah nasibnya sendiri (dengan
berusaha)” (Q.S. al-Ra‟d: 11). Masyarakat juga perlu disadarkan tentang bahaya
laten kemiskinan yaitu dapat menjerumuskan pada kekafiran sebagaimana Hadis
Nabi ”Kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran”. (HR. Abu Na‟im dari Anas).

Dari aspek fikih sosial, perusahaaan sebagai subjek dan objek hukum harus
melaksanakan kewajiban, bukan saja kewajiban kepada negara seperti membayar
pajak namun juga melaksanakan kewajiban sosial yaitu dengan melaksanakan
CSR setidaknya di lingkungan dimana perusahaan itu berada. Adapun prinsip dan
etika dasar dari CSR dalam perpektif Ekonomi Islam dapat di lihat dari table di
bawah sebagai berikut:

Prinsip Dalil al-Qur’an Proposisi Aplikasi dalam Bisnis


Persatuan “Dan kepunyaan Hanya ada satu Bisnis yang jujur akan
(Tawhid) Allahlah segala Allah swt dan dipercaya dan kejujuran
warisan ( yang segala sesuatu di dalam transaksi bisnis
ada) di langit dan langit dan di bumi berarti tidak akan
di bumi”. ( QS . adalah milik Allah melakukan diskriminasi
3:180 ) . “ swt. Manusiaa dalam bentuk apapun,
Kepunyaan adalah wakil dan tidak akan
Allahlah (khalifah) Allah menimbun kekayaan
kerajaan langit swt di bumi, secara serakah.
dan bumi dan sehingga menjadi
apa yang ada di dipercaya ( al „
antara keduanya” amin ) untuk
(QS. 5:17) mengurus sumber
daya milik Allah
swt

24
Keseimbangan “Dan Berbagai elemen Keseimbangan harus
(al „Adl) sempurnakanlah kehidupan harus dilaksanakan dengan
takaran apabila diseimbangkan cara persaingan yang
kamu menakar, agar menghasilkan adil dalam pasar
dan timbanglah tatanan sosial yang terbuka,memperlakukan
dengan neraca ya terbaik, dimana pihak lain secara adil
ng benar ” kekuatan dan memelihara
(QS.17:35) kelompok sosial keadilan dalam
dan natural akan distribusi upah serta
menghasilkan menghindari semua
keharmonisan bentuk diskriminasi
sosial.

Kebebasan “Hai orang- Sebagai yang Bisnis yang jujur


berusaha orang yang dipercaya (al diharapkan dapat
(Ikhtiyar) beriman, „amin) untuk memenuhi semua
penuhilah aqad- mengurus kewajibannya;
aqad itu” (QS. sumber daya berkontribusi terhadap
5:1) milik Allah swt, kesejahteraan
manusia masyarakat; dan yang
diberikan terpenting - bersifat
kebebasan suka menolong -
berusaha untuk memperhatikan
mengendalikan kesejahteraan orang
kehidupannya. yang lemah dan miskin
Tidak seperti
makhluk lainnya
di dunia,
manusia dapat
memilih untuk
berperilaku etis
atau tidak
etis.
Tanggung “Tiap-tiap diri Setiap Tanggung jawab
jawab bertanggung individu dapat berkaitan dengan
(Fardh) jawab atas dipercaya dan adanya ketiga prinsip
apa yang telah pada akhirnya di atas dan bisnis
diperbuatnya” bertanggungjawab bertanggung untuk
(QS. 74;38). terhadap memenuhi ketiganya
apa yang telah dengan penuh
diperbuat. tanggung jawab

Selanjutnya dari semua prinsip tersebut, pada Gambar 1 dapat dilihat


Diagram kerangka kerja konseptual CSR dalam perspektif Islam. Pada lingkaran
yang paling dalam terdapat empat prinsip etika, yaitu persatuan, keseimbangan,
kebebasan berusaha dan tanggung jawab, yang merupakan nilai inti dari sistem
etika dalam perspektif Islam. Prinsip ini merupakan dasar dari setiap sistem
sosial ekonomi dalam perspektif Islam.

25
2.7 Implementasi Fikih Sosial melalui CSR

Keberadaan industri tidak dapat dihindarkan dari kehidupan manusia


karena pada hakikatnya dunia industri pun lahir dari upaya memenuhi kebutuhan
hidup manusia. Namun di sisi lain, industri juga meninggalkan residu yang tidak
baik bagi masyarakat sekitarnya. Dunia industri meninggalkan pencemaran bagi
lingkungan, membuat kesenjangan sosial yang semakin lebar dan friksi sosial
lainnya. Negara telah melakukan intervensi dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang mengatur bagaimana seharusnya dunia industri
berhubungan dengan masyarakat serta mewajibkan pada perusahaan untuk
melakukan CSR, disamping melakukan kewajiban-kewajiban lain seperti
membayar pajak dan retribusi lainnya. Disamping pendekatan normatif,
perusahaan juga harus mempunyai kesadaran tidak hanya melaksanakan norma
hukum tetapi juga akan lebih menguntungkan jika melakukan program yang bersifat
simbiosis mutualisme, terjadinya sinergi positif dan saling membutuhkan dengan
masyarakat.

Ketika melaksanakan program CSR, perusahaan tidak boleh


memaknai CSR sebagai sebuah kewajiban ansich, akan tetapi juga harus lahir dari
kesadaran yang mendalam akan pentingnya bersinergi dengan masyarakat sekitar
karena tanpa masyarakat maka perusahaan itu tidak bisa bermakna apa-apa.
Sebuah perusahaan mungkin telah membayar kewajiban pajaknya pada negara dan
uang pajak tersebut menjadi modal negara untuk pembangunan, akan tetapi
kewajiban perusahaan pada masyarakat sekitar, apalagi perusahaan yang
melakukan eksploitasi sumber daya alam atau yang menyebabkan polusi
lingkungan, belum cukup.

Masyarakat dan lingkungannya tidak mendapatkan keuntungan kecuali


segelintir orang yang bisa bekerja di perusahaan itu. Dan keuntungan itu tidak
sebanding dengan kebisingan, polusi atau gangguan lingkungan lainnya. Maka
upaya bijak dari perusahaan bukan hanya mengeluarkan pajak untuk negara tetapi
juga menyisihkan sedikit keuntungan yang diperoleh untuk dapat berbagi dengan
masyarakat sekitar perusahaan. Pendekatan yang dilakukan perusahaan tidak lagi

26
pendekatan legal formal, dimana perusahaan hanya melihat bahwa pemerintah
telah memberikan izin usaha kepadanya dan mereka telah membayar pajak, akan
tetapi harus melakukan hubungan simbiosis mutualisme, dimana antara
perusahaan dan masyarakat sekitar terjalin hubungan mesra yang saling mengisi
dan membutuhkan. Ketika perusahaan menjalin hubungan yang mesra dengan
masyarakat sekitar maka akan menguntungkan perusahaan itu sendiri karena
usahanya didukung oleh lingkungan yang kondusif, aman dan mereduksi konflik.
Penerapan CSR seharusnya tidak dianggap sebagai cost semata, melainkan juga
sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan
harus yakin bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan CSR dengan
meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan
bersangkutan. Dengan melaksanakan CSR secara konsisten dalam jangka panjang
maka akan menumbuhkan rasa penerimaan masyarakat terhadap kehadiran
perusahaan. Kondisi seperti itulah yang pada gilirannya dapat memberikan
keuntungan ekonomi bisnis pada perusahaan yang bersangkutan. CSR dapat
diartikan sebagai komitmen perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak
operasinya dalam dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan serta terus menerus
menjaga agar dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan
lingkungan hidupnya.
Kalau dalam kesehatan badan ada istilah al-aql al-salim fi al-jism al-salim
(akal yang sehat terdapat dalam badan yang sehat) maka dalam dunia bisnis
berlaku pula “perusahaan yang sehat berada dalam lingkungan masyarakat yang
sehat”. Artinya, kalau suatu perusahaan mau sehat maka harus dapat
menyehatkan lingkungannya. CSR merupakan fenomena strategi perusahaan yang
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder- nya. CSR timbul sejak
era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih
penting daripada sekedar profitability.
CSR bukan hanya sekedar kewajiban pada negara tetapi juga tanggung jawab
sosial. CSR harus menjadi jembatan penghubung (bridges/wasilah) agar
masyarakat yang kurang mampu dapat terentaskan kesulitan hidupnya bahkan
entitas CSR harus mampu menopang perekonomian nasional. Dalam bidang

27
lingkungan hidup, misalnya, residu industri telah merusak lingkungan hidup baik
secara langsung maupun tidak. Daya rusak industri, khususnya industri yang
menggunakan langsung sumber daya alam, sangat dahsyat dan dirasakan
langsung akibatnya oleh masyarakat. Adanya longsor, banjir, kebakaran hutan,
luapan lumpur, kekurangan air, polusi udara, pencemaran air, tumpukan sampah
dan pemanasan global (global warming) merupakan bukti konkret dari residu itu.
Oleh karenanya maka perusahaan tidak boleh melempar tanggung jawab dan
hanya mengatakan hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah karena sudah
membayar pajak. Perusahaan melalui program CSR-nya harus turun langsung dan
berbuat sesuatu untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran.

2.8 Analisis Corporate Sosial Responsibility Dalam Perspektif Etika Bisnis


Islam

Etika memiliki dua pengertian: Pertama, etika sebagaimana moralitas,


berisikan nilai dan norma-norma konkrit yang menjadi pedoman dan pegangan
hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis dan
rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat
dipertanggung jawabkan. Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56),
sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan
barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama
bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum
ekonomi, meningkatkan keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-
pihak luar untuk mencari aman dan sebagainya. Bisnis yang beretika adalah
bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang
sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami
ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi
jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara
memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram.
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi SAW saat menjalankan
perdagangan. Karakteristik Nabi SAW sebagai pedagang adalah, selain dedikasi

28
dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh, ciri-
ciri itu masih ditambah dengan sifat Istiqamah. Shidiq berarti mempunyai
kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar
nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-
nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam
kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga
menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan
menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat
ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukan berbagai macam
inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap
tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran,
pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig,
mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks Corporate Social


Responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap
tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya.
Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu mengakui kelemahan dan kekurangan
(tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara
berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku usaha atau
pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap
keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang
terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk
mengamalkan kewajiban- kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku
usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif dan persuasif akan
menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan
moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha
atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis
secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan

29
konsumen, bahkan dirinya sendiri. Allah SWT berfirman “Dan janganlah kamu
membuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan
berdo’alah kepada Allah dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
akan dikabulkan. Sesungguhnya Rahmat Allah sangat dekat kepada orang-
orang yang berbuat baik”.
Menurut Sayyid Qutb, Islam mempunyai prinsip pertanggungjawaban
yang seimbang dalam segala bentuk dan ruang lingkupnya. Antara jiwa dan raga,
antara individu dan keluarga, antara individu dan sosial dan, antara suatu
masyarakat dengan masyarakat yang lain. Tanggung jawab sosial merujuk pada
kewajiban-kewajiban sebuah perusahaan untuk melindungi dan memberi
kontribusi kepada masyarakat dimana perusahaan itu berada. Sebuah perusahaan
mengemban tanggung jawab sosial dalam tiga domain :
1. Pelaku-pelaku organisasi, meliputi :

 Hubungan Perusahaan dengan Pekerja (QS. An-nisa ayat 149).


 Hubungan Pekerja dengan Perusahaan.
 Hubungan Perusahaan dan Pelaku Usaha Lain; distributor, konsumen,
pesaing.
2. Lingkungan Alam (QS. Al-A‟raf ayat 56).
3. Kesejahteraan Sosial Masyarakat Beberapa prinsip dalam Islam dalam
menjalankan bisnis yang berkaitan dengan CSR yaitu:

1. Menjaga lingkungan dan melestarikannya ( Surat Al-Maidah ayat 32).


Upaya untuk menghapus kemiskinan (Surat Al-Hasyr ayat 7).
2. Mendahulukan sesuatu yang bermoral bersih daripada sesuatu yang
secara moral kotor, walaupun mendatangkan keuntungan yang lebih
besar (Surat Al-Maidah ayat 103).
3. Jujur dan amanah (Surat Al-Anfal ayat 27).

30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
CSR merupakan bentuk kepedulian perusahaan terhadap lingkungan
masyarakat dimana perusahaan itu berada. Dalam perspektif hukum Islam, CSR
merupakan salah satu bentuk implementasi fikih sosial yang dilakukan oleh
perusahaan. Optimalisasi manfaat dana CSR yang sangat besar akan terjadi kalau
ada sinergi yang positif antara perusahaan, perguruan tinggi dan pemerintah.
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi SAW saat menjalankan
perdagangan. Karakteristik Nabi SAW sebagai pedagang adalah, selain dedikasi
dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks Corporate Social Responsibility
(CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut bersikap tidak
kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya.
Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan
(tidak ditutup- tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara
berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku usaha atau
pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap
keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik)
dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Pelaku
usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis
secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan
konsumen, bahkan dirinya sendiri.

31
Daftar Pustaka
Ambadar, Jackie, CSR dalam Praktek di Indonesia, Jakarta: PT Elex Media
Komputundo, 2008.
Bertens, K., Etika Bisnis Menjadi Urusan Siapa, Jakarta: Pusat Pengembangan Etika
Univ. Atmajaya, 2000.
David J.Fritzche. (1997). Business Ethics, A Global and Managerial Perspective,
McGraw Hill Companies, Inc.
Mas‟udi, Farid F., Agama Keadilan, Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1993.
Muhammad, J.A., “Corporate Social Responsibility in Islam”, Ph.D Thesis
Faculty of Bussnes, (New Zealand: Auckland University of Technology,
2007),h.82-88,dalamhttp://scholar.google.co.id/
scholar?q=coorporate+social+responsibility+in+islam+auckland+universit
y&hl=en&as_sdt=0&as_vis=1&oi=scholart diakses pada tanggal 18 April
2016.

Untung, Hendrik Budi, Corporate Social Responsibility, Jakarta: Sinar Grafika,


2008,

Wibisono, Yusuf, Membedah Konsep & Aplikasi Corporate Social Responsibility


(CSR), Gresik: Fascho Publishing, 2007.
Widjaja, Amin, Business Ethics & Coprorate Social Responsibility (CSR),
Jakarta: Harvarindo, 2008.

Yafie, Ali, Wacana Baru Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 2015.

32
33

You might also like