eee
ar A ayLt) DU Aaoa paling penting dalam.masa-masa
So oy ato Baa CIC ery
Deen ane a USCC Ma CTE WCHEaClEy
Da ai Rs) RCC CUCU ec ILeUy
Presiden Soekarno agar kembali ke Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan mendirikan Pemerintah
Pm et aed. Maal tele ees
Poet acc Can tea eic cane ne neal
De CRBC UMC EE TULC Umrao Uta
Send, Kari ingin kembali ke Undang-Undang Dasar. Kita tunduk
Se eM RE ue eg CLG Lu LN: kal
TENTANG politik & dakwah: “Bagi saya, politik dan dakwah
telak bisa dipisahkan, Seperti dua sisi dari keping uang yang sama.
De Reece RU ule Bele Re Race Sea
Pee Mao eae
BUKU ini hasi! wawancara belasan kali antara Agus Basri dengan
Pee eR CUCU Ret LC URI CCM 2B WCC at il
Pe nes CU CUCU CRMC UCR ome
PW Us RUM CUE UL PSI cee ATO ea
Pe a ar Me cic RNC LUE ee UTS Ss
De aC UCU UMAR ie eC ER kl To]MOHAMMAD NATSIR
POLITIKJudul :
Mohammad Natsir
POLITIK Melalui Jalur DAKWAH
Pewawancara:
Agus Basri
Hak cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
ISBN 979 - 8736 - 30-3
Cetakan I : Muharram 1429 H/Februari 2008
Penerbit :
Panitia Peringatan
Refleksi Seabad Mohammad Natsir
Pemikiran dan Perjuangannya
&
Penerbit Media Dakwah
liKata Pengantar
Bismillahirrahmaanirrahim
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang ma’aruf dan mencegah, kepada yang
mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
(Qs: Ali-Imran: 104).
Syukur alhamdulillah, berkat karunia dan
nikmat-Nya buku “Politik Melalui Jalur
Dakwah” yang merupakan hasil wawancara
saudata Agus Basti dengan almarhum Mohammad
Natsir dapat diterbitkan, meskipun naskah
wawancara ini sudah pernah diterbitkan oleh
majalah TEMPO, 2 Desember 1989. Naskah ini
menjadi salah satu pilihan Panitia Petingatan
Refleksi Seabad M. Natsir untuk diterbitkankembali, hal ini berdasarkan hasil keputusan rapat
pleno panitia pada Kamis, 3 Januari 2008 di
KAHMI Center.
Mohammad Natsir adalah seorang
negarawan Muslim, ulama intelektual, pembaru
dan politikus Muslim Indonesia yang sangat
disegani. Jasanya yang paling besar bagi Bangsa
Indonesia adalah menyelamatkan NKRI. Beliau
berhasil mempersatukan negata-negara bagian
yang dibentuk oleh van Mook ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Upaya Mohammad
Natsir ini kemudian dikenal dengan istilah “
MOSI INTEGRAL NATSIR “.
Pada 15 Agustus 1950 Bung Karno
mengumumkan kembalinya Indonesia menjadi
Negara Kesatuan, dan gugurlah negara — negara
boneka buatan Belanda. Atas jasanya itu,
Presiden Soekarno mempercayakan Mohammad
Natsir untuk menyusun dan memimpin
Pemerintahan Republik Indonesia pertama
setelah Indonesia menjadi Negara Kesatuan, dan
pada saat menjadi Perdana Menteri, beliau juga
ivmencetuskan kebijakan luar negeri Indonesia yang
“bebas dan aktif” yang kita kenal sekarang.
Komitmen dan kesetiaan terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
pertama kali dirumuskan oleh Natsit melalui most
integralnya, kemudian oleh Pimpinan TNI
dijadikan salah satu doktrin dalam Sapta Marga
TNI yang masih diikrarkan sampai hari ini.
Dalam dunia pendidikan, Mohammad Natsir
dikenal sebagai tokoh yang memiliki kepedulian
sangat tinggi terhadap pendidikan, hal ini dibuktikan
dengan kiprahnya menditikan sekolah Pendidikan
Islam (Pendis) di Bandung. Yaitu sekolah yang
mengintegrasikan pendidikan Agama Islam dengan
pendidikan umum, terakhir Mohammad Natsir
tercatat sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam
(STI) yang didirikan di Jakarta pada bulan Juli 1945.
Sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)
di Yogyakarta. Dan merupakan Perguruan Tinggi
Islam pertama dan tertua di Republik ini
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang
tulus panitia sampaikan kepada saudara Agus Bastiyang dengan suka rela menyiapkan naskah ini
untuk diterbitkan. Penghargaan dan ucapan terima
kasih yang tak tethingga'pula disampaikan kepada
keluarga almarhum, seluruh Panitia Peringatan
Refleksi Seabad M. Natsir, juga kepada pihak-
pihak lain yang tidak dapat panitia sebut satu
persatu, semoga apa yang kita lakukan ini
senantiasa didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas
sebagai wujud kecintaan kita terhadap perjuangan
almarhum Mohammad Natsir.
Akhirnya kita berdo’a semoga perjuangan
dan pengorbanan pak Mohammad Natsir diterima
di sisi Allah SWT. Amien.
Jakarta, 1 Februari 2008
Neto
Prof. DR. Laode M. Kamaluddin
Ketua Panitia
viDaftar Isi
Kata Pengantar .....c.sessssssessssesssessseesseesees iti
Daftar Ii ....ssessesssseesssesssseessssecssseeessneeesssees ix
Politik Melalui Jalur Dakwah ... 1
Dakwah Bil Hal 5
Diisap Politik
Tentang Kartosuwitjo
Menyelamatkan Republik ....
Permainan Soekarno
Sama-samalah PRRI
Politik dan Dakwah
Riwayat Hidup Pewawancata ........ 55
viiPOLITIK
MELALUIJALUR
DAKWAH
OHAMMAD NATSIR. Tokoh paling
penting dalam masa-masa penentuan
Negara Republik Indonesia: berbentuk Federal
atau Negara Kesatuan ini bagai ditepis dari
sejarah. Perdana Menteri pertama Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, setelah
mengingatkan Presiden Soekarno agar kembali ke
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone-
sia Tahun 1945 dengan mendirikan Pemerintah
Politik Metalut (alu Dakwah 1Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), bagaj
dilupakan. Namun justru di situlah lawan dalam
polemik di media masa pada dasawarsa ketiga
abad XX dan sahabat Soekarno di awal
kemerdekaan, ini meraih masa kematangannya
justru ketika dipinggirkan; menjadi negarawan
sejati, ulama kenamaan yang dipercaya menjadi
Wakil Presiden Muktamar Alam Islami, Anggota
Majelis Ta’sisi Rabithah Alam Islami dan Ketua
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDI).
Inilah hasil wawancara belasan kali yang
dilakukan di kantor DDII Jalan Kramat Raya 45
Jakarta Pusat, di dalam mobil sepanjang
perjalanannya menuju ke kediaman, dan di
rumahnya yang amat sederhana, dengan warna
hijau muda yang sudah kusam pula, di Jl.
Tjokroaminoto No. 42 kawasan Menteng, Jakarta
Pusat, beberapa waktu sebelum M. Natsir
menghadap ke haribaan Allah subhanahu wa ta’ala
pada 1993.
2 Poluik Meta. Jalur DakwahSebuah penggalian yang dilakukan dengan
beberapa cara. Suatu kali M. Natsir bertindak
sebagai seorang narasumber yang selevel duduk
berhadapan, dan pada kesempatan-kesempatan
lain Sang Negarawan Nan Teduh ini bertindak
sebagai seorang guru yang berdiri sembari
membuka-buka buku dan dokumen kepada mu-
rid yang duduk tepekur mencatat dengan b/ock note,
juga seorang Bapak yang duduk di kursi tua
kepada anak yang °ngelesot” di lantai. Sebuah
wawancara dan dialog sebagai ikhwan dan sesama
Muslim, seorang tua kepada Agus Basri, anak
bangsa generasi berikutnya.
Berikut penuturannya yang panjang, hasil
perolehan yang coba disuguhkan dalam bentuk
penuturan sebagai orang pertama, saya, yang
bertutur bercerita. Sesuai dengan perjanjian.
tulisan ini sebelum dipublikasikan untuk pertama
kalinya di Majalah TEMPO 2 Desember 1989
terlebih dulu dibaca dan dikoreksi oleh M. Natsir
Politik Metalut /Jalur Dakwah 3— yang juga bekas wartawan, kolomnis handal,
yang sedari muda mahir berbahasa Inggris, Arab,
Belanda, Prancis, dan Latin. Tulisan ini adalah
hasil penulisan ulang Agas Basri untuk Panitia
Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir
Pemikiran dan Perjuangannya.
‘Politik Metatut (Jalus DaknahADA tanggal 17 Juli 1908, saya dilahirkan
dari pasangan suami-istri Idris Sutan
Saripado — Khadijah di Alahan Panjang, Lembah
Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Saya
dibesarkan di tengah-tengah keluarga Muslim yang
taat. Ayah saya, seorang juru tulis kontrolir,
banyak mendorong saya agar mendalami agama.
Kebetulan, pada waktu itu letak rumah kami
berdekatan dengan masjid.
Politik Melatut (Jalur Dakwah 5Demikianlah, sejak kecil mengaji jadi
makanan saya sehari-hari. Sejak di HIS (Hollandsch
Inlandsche School) saya sudah mengaji di surau.
Menginjak kelas dua, saya tinggal di rumah
seorang saudagar, Haji Musa namanya, di Solok.
Selepas maghrib, malam hari saya mengaiji.
Mencati guru, tempat saya untuk berdialog.
Kebetulan waktu itu ada guru mengaji tamatan
sekolah di Sumatera Thawalib.
Dakwah Bil Hal
DORONGAN untuk belajar agama dari
orangtua begitu kuat. Pagi saya sekolah umum,
sore masuk sekolah agama (Madrasah Diniyyab),
dengan belajar bahasa Arab, dan malam hari
mengaji. Di situ, guru-gurunya sangat aktif
berdakwah. Melihat saya bersungguh-sungguh,
guru itu tertarik. Lalu, saya diberikan pelajaran
ekstra. Lama-lama saya bisa mengaji kitab
kuning, sementara teman-teman lain belum bisa
6 Polteth Melalut (Jatue Dakwahmembacanya.
Waktu itu, seorang meester in de rechten
(sekarang disebut Satjana Hukum) adalah seorang
yang luar biasa. Jadi, cita-cita saya menjadi
Meester. Sampai di MULO (Meer Uitgebretd Lager
Ondernijs), semuanya saya lalui dengan nilai baik.
Malah dapat beasiswa dua puluh rupiah sebulan.
Bisa beli buku dan keperluan lain.
Padahal saya sekolah sambil cari kayu
bakar, memasak, membuat sambal, dan mencuci
pakaian sendiri. Masih sempat pula ikut pandu
Natipij (Nationale Islamitische Padvindrij)' dati
organisasi pemuda Jong Is/amieten Bond (JIB).
Akhirnya, saya lolos dan masuk AMS (Algemeene
Middelbare School) di Bandung, juga dengan
' Menurut aktivis JIB, pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) yang
kelak menjadi salah seorang tokoh Masyumi, A.R. Baswedan,
Natpij adalah singkatan dari Nationale Indoneische Padvinrij
(Kepanduan Nasional Indonesia). Menurut Baswedan, ini
menunjukkan, sejak awal, JIB sudah berwawasan kebangsaan.
Potttik Melalut (Jalur Dakwah amendapatkan beasiswa sebesat tiga puluh rupiah
sebulan. Di Bandung itulah pikiran saya berubah.
Ternyata yang bagus itu tak cuma seester.
Di AMS (A-II), bahasa Belanda saya tidak
fasih. Saya sering diejek. Soalnya, waktu sekolah
di Padang, yang dipakai sebagai bahasa pengantar
adalah bahasa Indonesia. Sedangkan di Bandung,
saya bertemu dengan anak-anak dari Jawa yang
kemampuan bahasa Belandanya jauh lebih tinggi.
Saya kebingungan juga. Makanya saya belajar
sungguh-sungguh. Saya dapat angka tinggi untuk
bahasa Latin yang begitu sulit.
Di Bandung, sejak kelas satu, saya tetap
belajar agama tanpa mengurangi ketekunan
belajar di sekolah. Malah saya sempat jadi
anggota perpustakaan museum dengan membayar
iuran tiga rupiah sebulan. Saya selalu dikirimi
buku-buku baru dari perpustakaan itu. Membaca
jadi tabiat saya waktu di Bandung,
Ada tiga guru yang mempengaruhi alam
8 Pottetk Metatut (Jala Dakwahpikiran saya. Pertama, Tuan A. Hassan —
Pimpinan Persis (Persatuan Islam) Bandung — Haji
Agus Salim, dan Syekh Ahmad Sjoorkati — pendiri
Al Irsyad Al Islamiyah. Kalau ke rumah Tuan
Hassan, saya selalu menanyakan sesuatu
persoalan, lalu kami berdiskusi. Dari situ, saya
diberi sejumlah buku, seperti Tafsir A+-Furgon dan
Tafsir The Holy Qur'an karya Muhammad Ali,
Saya juga aktif di JIB Cabang Bandung. Di
situ saya belajar politik, mengetahui bagaimana
perjuangan kita, mengenal Prawoto
Mangkusasmito, Haji Agus Salim, dan lain-lain.
Budi Utomo yang berdiri tahun 1908, PSI (Partai
Syarikat Islam) —sebelum akhirnya menjadi PSII,
dan Muhammadiyah pada 1912, saya ikuti. Saya
mulai terlibat dalam gerakan Islam di bidang
politik.
Setelah tamat AMS, sebetulnya saya
mendapat beasiswa untuk kuliah di Fakultas
Hukum, tapi saya memilih tidak melanjutkan
Potitik Melatut (Jalur Dakwah 9 -kuliah. Saya lebih tertarik melihat persoalan.
persoalan masyarakat, persoalan politik. Politik
oposisi di mata saya waktu itu sebagai orang
jajahan sangat mengesankan. Persoalan
masyatakat yang saya hadapi lebih menarik. Saya
metasa berdosa kalau itu saya tinggalkan. Waktu
saya mengambil keputusan untuk tidak kuliah,
banyak juga yang terkejut. Tuan Hassan senditi,
yang dekat dengan saya, kaget.
Persoalannya tinggal bagaimana
menjelaskan kepada orangtua. Waktu saya sakansi
terakhir setamat AMS, saya temui Ibu dan Bapak.
Saya katakan terus terang bahwa saya tidak
tertarik lagi jadi meester. Saya mau terjun
mendirikan sekolah saja. Takut juga saya kalau-
kalau orangtua jadi kecil hatinya. Ternyata mereka
tertarik juga dengan gagasan saya. Umi, ibu saya,
setuju. Bapak saya juga setuju. Jadi, itu saya
anggap sebagai karunia Ilahi. Sebab, kalau beliau-
beliau mengerenyut, ya, saya merasa salah juga ‘kan.
10 Politik Melatut /Jalur DakwahSaya mulai mengajar di sebuah sekolah
MULO. Salah seorang muridnya adalah Dahlan
Djambek, yang belakangan terlibat dalam PRRI.
Saya mengajar karena terdorong untuk
mengajarkan agama. Tak diberi gaji apa-apa. Saya
juga mengajar di kursus pegawai kereta api. Bentuk
pengajarannya sistem diskusi. Ketika saya lihat
sekolah-sekolah kita sama sekali tidak diisi
dengan pengajaran agama, saya berniat
membentuk pendidikan modern yang sejalan
dengan pendidikan agama. Kemudian saya
mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis).
Dengan gaya Muhammadiyah, sekolah saya
itu tidak banyak berbeda. Cuma, kami lebih
praktis. Misalnya, waktu itu, kami memelopori
melakukan shalat Jum’at di sekolah. Juga
mengajarkan kesenian untuk menghaluskan
perasaan. Islam kan tidak melarang kesenian,
termasuk tonil. Saya yang mengajar main biola.
Tapi, ya, tidak gila-gilaan. Yang mengajar seperti
Politik Melalut /Jalur Dakwah 11Indratjahja, mahasiswa THS (Technische Hooege
School, sekarang menjadi ITB), dan Umi Nur
Nahar yang tadinya mengajar di sekolah swasta,
punya motivasi perjuangan. Saya kenal dengan
Umi di JIB. Tapi, ya, kenal begitu saja. Belakangan
dia jadi istri saya.
Berat juga ternyata bergelut di dunia
pendidikan. Beberapa kali Umi mencopot
gelangnya untuk digadaikan, demi eksistensi
Pendis. Sampai sekarang gelang itu masih
disimpan baik-baik.
Syahdan, pada suatu ketika, kami mendapat
satu hektar tanah dari seorang kaya. Tanah itu
kami manfaatkan untuk. mengajar anak-anak
berpraktik bagaimana bercocok tanam. Mereka
memang tidak akan tinggi ilmunya, tapi di bawa
terjun ke masyarakat, biar tahu bagaimana petani
bekerja. Biar tahu bagaimana sulitnya petani
menumbuhkan suatu barang yang bisa dijual ke
pasar. Biar tahu berapa harganya. Itu kan
12 ‘Politik Melalut /Dalur Dakwahpersoalan hidup. Jadi, bukan dibaca di buku,
melainkan dibaca di masyarakat.
Anehnya, setelah siswa-siswa itu tamat,
mereka pun mengembangkan pendidikan
semacam itu di berbagai daerah, sehingga Pendis
berkembang di Bogor, Cirebon, dan bahkan
sampai di Banjarmasin. Mereka juga tidak mau
bekerja pada pemerintah, melainkan memilih
terjun ke masyarakat saja. Apakah doktrinnya
begitu? Tidak didoktrinkan. Hanya dibawa ke arah
berpikir demikian. Itu namanya dakwah bil hal.
Diisap Politik
SAYA tertarik pada pidato Bung Karno, tapi
tidak setuju seratus persen. Lalu saya
menanggapinya dengan menulis. Bung Karno dulu
kan suka mengejek-ejek Islam. Pada 1930 saya
diminta Pak Sabitin, Ketua PSI Cabang Bandung,
supaya jadi anggota PSI sebelum organisasi Is-
lam ini berubah menjadi PSII. Sejak itu saya
Potitik Melalut (Jalue Dakwah 13berkecimpung dalam politik. Apalagi saya lihat,
waktu itu, PNI begitu kuat. Makanya saya perlu
memperkuat diri di PSI. Tekanan saya waktu itu
masih mengarah pada penulisan di Majalah
Bulanan Pembela Islam yang tersebar ke seluruh
Indonesia, ke pesantren-pesantren dan dibaca oleh
para ulama. Op/agnya mencapai 2.000 (dua ribu)
eksemplar. Pada waktu itu, untuk majalah
bulanan, op/ag 2000 itu sudah banyak.
Ketika Jepang datang, saya sempat bekerja
di Bandoeng Siicho, menjadi pegawai pemerintah
daetah Jepang, bagian Pendidikan dan Pengajaran,
Lalu Jepang merasa perlu merangkul Islam. Maka
dibentuklah MIAI (Mayekis Islam Ala Indonesia) di
Jakarta, yang kemudian diberi nama Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi), dan semula itu
bukan merupakan organisasi politik. Dulu kan
partai-partai tidak ada. Padahal orang Islam mesti
dikumpulkan. Paling enak sebagai wadah untuk
itu adalah Majelis Islam, kendati tidak berurat
14 Polish Metalut (Jatur Dakwahseperti organisasi formal. Beberapa kiai dan
pemimpin kita kumpulkan. Mereka menyampai-
kan informasi ke bawah, dan kita dapat informasi.
Menjelang kemerdekaan, saya ikut PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia),
kendati tidak begitu aktif. Yah, itu kan urusan
orang-orang besar, dan lagi waktu itu saya masih
muda. Saya sudah bolak-balik Jakarta-Bandung,
karena saya sekretaris STI (Sekolah Tinggi Islam)?
-sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia
2? Didirikan di Jakarta pada bulan Juli 1945. Bersamaan dengan
hijrahnya ibukota ke Yogyakarta, STI pun turut hijrah ke
Yogyakarta. Di antara para mahasiswa STI angkatan pertama
ialah Anwar Harjono (salah seorang pendiri Gerakan Pemuda
Islam Indonesia, terakhir sebagai Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia), Soebianto Djojohadikoesoemo (gugur
di masa revolusi dalam pertempuran di Lengkong), Soeroto
Koento (hilang di front perjuangan Karawang, namanya
diabadikan sebagai nama jalan di Karawang). Sesudah dibuka
kembali di Yogyakarta, salah seorang mahasiswa STI adalah
Lafran Pane (pemerakarsa dan pendiri Himpunan Mahasiswa
Islam).
Politik Melatut (Jalur Dakwah 15(UI) di Yogyakarta~ yang dipimpin oleh Bung
Hatta. Walaupun masih muda, karena termasuk
salah seorang inti di JIB, saya sudah bergaul
dengan Bung Hatta, Haji Agus Salim, Prawoto
Mangkusasmito, Mohamad Roem, dan Jusuf
Wibisono dalam organisasi tersebut. Di situ
kewajiban saya bukan lagi mengurusi masalah-
masalah sosial dan pendidikan, melainkan politik.
Tidak bisa melepaskan diri dari politik. Saya
sudah diisap oleh politik.
Belakangan, saya jadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kebetulan? Ha
ha ha....Ya, ita suatu kebetulan. Suatu ketika, di
Gedung Komedi di Pasar Baru — sekarang
Gedung Kesenian Jakarta— diadakan rapat Cuo
Sangi In. Waktu ita saya menginap di rumah A.
Kahar Muzakkir* di Jalan Teuku Umar, Menteng.
* Salah seorang penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.
Pernah menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia (UI).
16 Politik Melalut-/Jalur DakwahKahat Muzakkir mengajak saya jalan-jalan ke
Pasar Baru untuk menghadiri sidang KNIP,
padahal saya bukan anggota KNIP. Ketika
sampai di depan Gedung Komedi, saya mau
menunggu saja di luar, tapi Pak Kahar Muzakkir
mendorong-dorong saya agar ikut masuk. Katanya
pada penjaga pintu, “Ini Saudara Mohammad
Natsir.”
Demikianlah, nama saya pun ditulis oleh
penjaga pintu itu dalam daftar hadir. Sejak itulah,
saya jadi anggota KNIP. Ha ha ha.... Dulu caranya
memang tidak pakai formalitas-formalitasan.
Bung Karno senditi, waktu itu, mengangkat
anggota KNIP hanya berdasarkan ingatannya aja.
Si Fulan, si Fulan, dan si Fulan. Begitu.
Pada 30 Oktober 1945, KNIP
meningkatkan diri dari Badan Pembantu Presiden
menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam
tapat pada tanggal 25 November, diumumkan
Politik Metalui (Jalur Dakwah 17jumlah anggota KNIP mencapai 232 orang. Rapat
itu kemudian memutuskan membentuk Badan
Pekerja, dan nama-nama Dr.Sarwono,
Mohammad Natsir, serta Sudarsono diminta
menyusun anggota BP sejumlah 25 orang. Saya
diminta jadi ketua panitianya. Ketika pada 3
Januari 1946 saya ditunjuk menjadi Menteri
Penerangan dalam Kabinet RI yang pertama, saya
berhenti dari keanggotaan KNIP.
“Waktu itu di Jakarta ada tiga kekuasaan:
kekuasaan Belanda —yang mau masuk, tapi
secara formal kekuasaan masih di tangan
sekutu— lalu kekuasaan sekutu, dan RI. Ketiga
lembaga ini bersama-sama menggunakan corong
tadio yang sama seminggu sekali, untuk berbicara
tentang Republik Indonesia. Yang menguasai ra-
dio sebenarnya, ya, Sekutu. Kita diberi
kesempatan untuk itu. Belanda juga diberi
kesempatan. Umpama kita sekarang bicara,
esoknya dibantah Belanda di radio itu pula. Lucu
18 Polit Melatui (Jalur Dakswahjuga, ya, ba ha ba...
Sekutu tidak bisa meninggalkan Indonesia,
sebab diwajibkan mengeluarkan orang-orang
Jepang. Mereka tidak bisa mengeluarkan orang
Jepang kalau tidak dibantu oleh RI. Karena or-
ang-orang Jepang itu ada di pedalaman. Mereka
kemudian minta kepada Republik Indonesia
supaya membantu. Supaya mereka lekas petgi.
Kita juga berusaha supaya Jepang keluar. Kalau
Jepang keluar, kita tinggal menghadapi Belanda
saja.
Dalam pettemuan KNIP dengan Kabinet
-yaitu kabinet presidensial- diputuskan supaya
dibentuk kabinet parlementer. Maka dipanggillah
Sutan Sjahrir untuk membentuk kabinet baru,
kabinet patlementer. Saya belum jadi menteri
waktu itu, melainkan cuma anggota Badan
Pekerja KNIP. Bersama-sama dengan kabinet,
kami menghadapi berbagai persoalan. Dalam
bekerja, kami sepakat membagi-bagi pekerjaan.
Politik Melalut Jalux Dakwah 19Sebagai anggota BP KNIP, sebenarnya kami tidak
usah turut mencampuri urusan lembaga eksekutif,
tapi ketika itu batas eksekutif dan legislatif belum
begitu jelas.
Kita harus memikirkan kekuatan kita di luar
negeri. Kalau di dalam negeri ada tiga kekuatan
(RI, Belanda, dan Sekutu), kita mesti memikirkan
cata mengusit Belanda dengan bantuan kekuatan
luar negeri. Ini politis. Oleh karena, itu penting
sekali. Satu-satunya hubungan ke luar negeri yang
cepat, waktu itu, adalah dengan menggunakan
radio, Dan radio yang masih dalam kekuasaan kita,
ketika itu, ada juga yaitu radio yang di Bandung.
Malam-malam, lewat pukul 21.00 sesudah
rapat, kami telepon ke Bandung memberitahukan
apa saja yang perlu kita siarkan. Bandung pun
menyiatkan ke luar negeri, dan luar negeri,
terutama radio India, menyambut. Dengan
demikian, keesokan harinya sudah tersiar apa yang
kita bicarakan semalam. Pada tahun 1945 itu,
20 Politth Metatui (Palue Dakwahsaya, walaupun belum jadi menteri, sudah
melakukan pekerjaan sebagai Menteri
Penerangan. Ha ha ha.... Jadi, apa saja yang dapat
kita kerjakan, ya, kita kerjakan saja. Begitu.
Saya jadi anggota KNIP pada September
1945, lalu pada Januari 1946 jadi Menteri
Penerangan. Itu kan waktu yang sangat singkat.
Apa saja yang dilakukan selama tempo eriam bulan
itu sebagai Meteri Penerangan tidak formal?
Membina hubungan dengan luar negeri.
Umpamanya, ada kabar dari mahasiswa kita di
Baghdad, Irak, bahwa mereka memerlukan
majalah. Lalu ditertbitkanlah Majalah Bulanan
Merdeka di Baghdad, untuk memperkenalkan In-
donesia kepada dunia luar. Itu salah satu usaha
pusat penerangan kita pada waktu itu. Pemimpin
Redaksinya Imron Rosjadi, yang kemudian jadi
anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
DPR RI. Jadi saya lebih dulu dari orang-orang NU
dalam berhubungan dengan Imron Rosjadi.
Politik Melalui (Jalur Dakwah 21Waktu saya jadi anggota KNIP, kantornya
terletak di lantai paling atas; sedangkan lantai IT
dipakai untuk kantor Menteri Penerangan. Yang
jadi menterinya waktu itu Ali Sastroamidjojo dati
PNI. Karena saya dianggap sudah tahu apa yang
dikerjakan oleh seorang menteri penerangan,
Sjahrir, sewaktu menjadi Perdana Menteri,
meminta saya menjadi Menteri Penerangan.
Ketika saya jadi Menteri Penerangan yang
pertama —saya jadi Menpen tiga kali— ada satu
meja besar di kamar. Di situlah saya duduk sebagai
Menteri Penerangan selama beberapa hari,
sebelum kabinet pindah ke Yogya. Di Yogya lah,
kami mulai membentuk Kementerian Penerangan
yang’serius. Kantornya itu, lho, dekat Kali Code.
Perihal sempat jadi orang kepercayaan
Bung Karno, itu ada ceritanya. Begini: dimulai
ketika Sjahrir mengajukan usul kepada Bung
Karno agar saya jadi Menteri Penerangan. “Hj is
de man (dialah orangnya),” kata Bung Karno
22 Politik Melalut (Jalur Dakwahkepada Sjahrir. Saya belum bertemu dengan beliau
waktu itu. Lantas, waktu bertemu di Yogya, kami
lebih baik menghadapi yang ada, dan melepaskan
apa yang telah terjadi, karena kita sedang
menghadapi perjuangan yang besar. “Bagaimana
kita ini, kita dulu kan cekcok,” kata Bung Karno.
“Ya,” jawab saya agak bercanda. “Sekarang tidak
usah, nanti saja kita ulangi.” Jadi, hubungan kami
kemudian memang dekat.
Selama saya jadi Menteri Penerangan,
semua pidato 17 Agustus saya yang bikin. State-
ment-statement yang penting dibuat oleh Bung
Hatta, dan Bung Katno yang menandatangani.
Saya selalu dilibatkan. Pokoknya, kami bertiga
sama-samalah. Sebagai Menteri Penerangan, saya
harus tahu isinya.
Di situ saya kadang membuat amandemen
sedikit, tapi tidak mendasar. Statement yang
penting-penting, entah tentang Uni Indonesia-
Belanda dan segala macam, saya selalu dibawa,
Politik Melalut (Jalur Dakwah 23diajak bicara. Sebab, fungsi Menteri Penerangan
memang itu. Dialah yang akan menjual roti itu
ke masyarakat. Dia harus tahu apa isinya, basi
atau tidak.
Kendati demikian, tidak bisa dikatakan
bahwa sayalah yang mengendalikan mereka.
Semua yang penting-penting diputuskan oleh
Bung Hatta. Bung Karno tidak mau
mengeluarkan sesuatu perhyataan kalau Bung
Hatta belum setuju. Misalnya, dalam menghadapi
persoalan yang keras, seperti pemberontakan PKI,
Madiun Affair dan affair yang lain, itu Bung Hatta
yang maju untuk menentukan politiknya. ,
Kita berkumpul sebagai kabinet, karena
dulu kabinet parlementer. Perdana Menteri bisa
mengerjakan dan bertanggung jawab. Hanya saja,
dalam praktiknya Dwitunggal Soekarno-Hatta itu
tidak kita tinggalkan, Jadi, ada kerjasama antata
perdana menteri dan Dwitunggal.
24 Politik Melatut (Jatur DakwahTentang Kartosuwirjo
DALAM Konferensi Meja Bundar (KMB),
Belanda akan menyerahkan pemerintahan Indo-
nesia kepada RI, kecuali Irian Barat (sekarang
Papua). Lama kita berunding, Soekarno, Hatta,
dan lain-lain menerima, tapi dua orang tidak, yakni
Agus Salim dan saya. Kalau soal Irian Barat tidak
diputuskan, itu akan jadi soal yang akan
mengacaukan dan menimbulkan kesulitan terus-
menerus. Tapi kami berdua kalah suara.
Sesudah kembali dari Bangka ke Yogya,
saya katakan kepada Bung Hatta, berat buat saya
untuk jadi menteri penerangan lagi. Sebab,
menteri penerangan harus menjelaskan pada
rakyat, kenapa Irian Barat ditinggalkan. Saya
minta mundur —ini jabatan menteri yang ketiga
kalinya saya pegang. “Saya mengerti,” kata Bung
Hatta. Tapi Bung Karno bilang, “Tidak bisa
Natsir berhenti. Lebih baik sepuluh menteri
berhenti daripada satu orang Natsir.” Itulah cara
Polttth Melatut (Jalur Dakwah 25Bung Karno membujuk supaya saya jangan
mundur.
Kemudian saya disuruh pergi ke mana-
mana. Ke Pasundan, misalnya, untuk merapatkan
hubungan kita dengan Negara Pasundan. Saya,
yang sudah 17 tahun bermukim di Bandung,
menghubungi (Sekarmadji Maridjan)
Kartosuwirjo, karena saya telah dianggap orang
Bandung. Kartosuwirjo, salah seorang murid
HOS.Tjokroaminoto yang kemudian memimpin
Darul Islam, sudah saya kenal waktu saya masih
sekolah di Bandung. Waktu itu saya masih belajar
pada Tuan A.Hassan, dan Kartosuwirjo pun, dari
Garut, pulang-balik menemui Tuan Hassan. Tapi
saya lebih dekat pada Tuan Hassan. Kadang-
kadang kami -saya, Tuan Hassan, dan
Kartosuwirjo — saling bertemu di sana.
Kontak dengan Negara Pasundan itu tetap
saya kerjakan, walaupun bukan sebagai menteri
penerangan lagi. Saya pergi dengan Sultan
26 Politik Melatut (Jalur DakwahHamengku Buwono IX atas permintaan Bung
Hatta. Hamengku Buwono berunding dengan
para menteri Pasundan, saya dengan
masyarakatnya, termasuk dengan Kartosuwirjo.
Waktu itu, sebenarnya saya sudah memusatkan
pikiran pada pembangunan Partai Masyumi.
Ketika DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indo-
nesia) diproklamasikan, kebetulan saya sedang
berada di Hotel Homan, Bandung. Saya sudah
bertemu dengan Tuan Hassan, dan kemudian
Tuan Hassan-lah yang membawa tulisan tangan
saya kepada Kartosuwirjo.
Surat itu sampai di tangan Kartosuwirjo tiga
hari kemudian, pas ketika DI/TII
diproklamasikan. Yah, terlambat. Imm namanya
takdir Tuhan. Kenapa terlambat? Kartosuwirjo
itu memang dijaga betul. Tidak sembarang orang
boleh menemuinya. Orang-orangnya, para
penjaganya, baru mengenal Tuan Hassan sesudah
beliau memperkenalkan diri, “Saya Hassan,
Politik Melatut (Jalur Dakswah 27Hassan Bandung,” —itu setelah tiga hari
menunggu. Kalaupun tidak terlambat, tidak
mudah meyakinkan Kartosuwirjo. Bagi dia, yang
berat menjilat ludah kembali. Itu kan sulit.
Saya bertemu dengan organisasi, dengan
para pemimpinnya, di Bandung. Mereka bilang,
kalau Kartosuwirjo sudah terima, mereka tunduk.
Tidak banyak cerita, Namun, Kartosuwitjo tidak
memberi perintah untuk menyetah.
Hubungan kami dengan Kartosuwirjo pada
masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga
selalu berhubungan dengannya. Soalnya,
persetujuan Renville telah mengusir TNI “hirah”
dari Jawa Barat ke Yogyakarta. Orang-orang Jawa
Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan.
Maka, Kartosuwirjo pun tampil untuk
mempertahankan Jawa Barat. Waktu itu,
Kartosuwirjo pulang balik ke Yogyakarta dan
langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta
memberi bantuan supaya Kartosuwirjo bisa
28 Politik Melalut (Jalur Dakwahsedikit mendinginkan orang-orang Jawa Barat
yang merasa ditinggalkan oleh Republik. Secara
tidak resmi Bung Hatta membantu kalau
Kartosuwirjo ke Yogya minta begroting (anggaran),
bantuan makanan, atau keperluan sosial buat or-
ang-orang yang di hutan.
Bung Hatta sedih melihat hasil persetujuan
Renville yang menyebabkan Jawa Barat
ditinggalkan oleh TNI. Itu kan gara-gara Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin, yang tanpa pikir
panjang memberikan Jawa Barat begitu saja
kepada Belanda. Bung Hatta sendiri sebenarnya
tidak setuju, tapi karena kabinet bukan kabinet
ptesidensial lagi, ya, apa boleh buat.
Jadi, begitulah peranan saya dalam
membantu menyelesaikan kasus Darul Islam. Ya,
tidak berhasil. Sesudah kegagalan itu, hubungan
saya dengan Kartosuwirjo masih tetap berjalan
terus dengan baik. Belakangan, sesudah kabinet
saya jatuh, Dokter Soekiman Wirjosandjojo yang
Polttthk Metalut (Jalur Dakwah 29pegang kabinet. Dan sejak itu Kartosuwirjo
bilang, “Dari sekarang, tidak ada hubungan lagi
dengan RI.”
Setelah tidak menjabat menteri
penerangan, saya aktif di Masyumi. Waktu di
parlemen, tatkala KMB yang mengakui 15 negara
bagian telah disepakati, saya menjabat Ketua
Fraksi masyumi. Salah satu negara bagian yang
diakui adalah Negara Republik Indonesia yang
berkedudukan di Yogya.
Mulanya saya diminta oleh Bung Hatta
pergi ke Yogya untuk menjadi Perdana Menteri.
Saya tidak mau. Biarlah orang Yogya saja, kata
saya. Saya sudah terikat di Jakarta, di Partai
Masyumi. Masyumi sebagai alat perjuangan, saya
anggap lebih penting daripada suatu negara
bagian.
Menyelamatkan Republik
FAKTA memang betbicara. Republik In-
30 Polish Metatut Jatur Dakwahdonesia di Yogyakarta, sesudah KMB, menjadi
negara bagian. Tapi kami tetap bertekad
mengembalikan RI seperti .sedia kala. Saya
berbicara dengan fraksi-fraksi, seperti Kasimo dati
Partai Katolik, Tambunan dari Partai Kristen, dan
sebagainya. Dari situ saya mendapat kesimpulan
bahwa mereka, negara-negara bagian itu, mau
membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya,
asal jangan disuruh bubar sendiri.
Sepanjang dua setengah bulan saya
melakukan /obby. Tidak mudah. Terlebih dengan
negara-negara bagian di luar Jawa. Umpamanya
dengan negara bagian di Sumatera dan Madura.
Setelah semua selesai, saya adakan Mosi Integral
yang kabur-kabur, begitulah, 4a ha ba.... Kabur,
sebab kita tengah menghadapi Belanda. Jangan
sampai nanti Belanda bikin kacau lagi. Belanda
tidak boleh tahu mau ke mana perginya rencana
itu. Sesudah itu saya perlu datang ke Yogya, yang
ternyata tidak mau membubarkan diri. Lantas saya
Politik Melalut /Jalur Dakwah 31katakan bahwa kita punya program menyatukan
kembali semuanya. Kita bayar semua ini dengan
sama-sama membubarkan diri. Walaupun
bebetapa pemimpin sudah setuju, masyarakatnya
belum mau; karena harga diri mereka tersinggung.
Sampai pukul tiga dinihari kami
membicatakan soal itu dengan sejumlah jurnalis,
orang-orang penting, dan para pemimpin di Yogya.
Ada yang bilang, “Kalau kita memulihkan keadaan
dengan cara membubarkan diri, apa tidak sulit
nanti? Akan hilang negara kita.” Wah, itu masuk
akal juga.
Lantas saya katakan, kita punya program,
yakni program mempersatukan kembali. Ada dua
alternative untuk melaksanakannya. Pertama, kita
berperang dulu dengan semuanya, dengan Negara
Pasundan, Negara Madura, dan lain-lain. Mereka
semua akan kalah, dan kita menjadi satu. Kedua,
kita tidak perlu berperang. Kita ajak mereka
membubarkan diri dengan maksud untuk bersatu.
32 Politik Melatui (Jalur DakwahNah, kita, Negara RI di Yogya ini punya
Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mereka tidak.
Saya katakan lagi, “Dalam sejarah jangan
kita lupakan faktor pribadi. Mutu pribadi orang
itu menunjukkan ‘siapa itu’ Soekarno-Hatta.
Tidak akan ada yang bisa mengatakan ‘tidak’
kalau kita majukan nama Soekarno-Hatta untuk
menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI.
Sedangkan kita, para pemimpin ini, diam sajalah
mengikuti. Kalau diperlukan, ya, dipakai; dan
kalau tidak, ya, tidak apa-apa. Pokoknya, tidak
ada satu pun dari negara-negara bagian itu yang
akan menolak Soekarno-Hatta menjadi
pemimpin. Di sinilah fungsi Soekarno-Hatta
untuk mempersatukan, untuk mem-
proklamasikan, dan untuk mempersatukan
kembali.
Setelah Most Integral berhasil, saya dipercaya
jadi Perdana Menteri, satu hal yang semula tidak
saya pikirkan. Saya juga heran. Asa Bafagih,
Politik Melatui (Jatur Dakwah 33wartawan Harian Merdeka, bertanya pada
Soekarno tentang siapa yang akan jadi perdana
menteri. Kata Soekarno, “Ya, siapa lagi kalau
bukan Natsit dari Masyumi. Mereka punya
konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui
konstitusi.”
Akan tetapi, seperti yang terlihat dengan
sangat jelas, ternyata menyusun kabinet itu tidak
mudah. Tawar-menawarnya susah sekali. Yang
paling sulit adalah mendapatkan persesuaian
dengan PNI. Sampai-sampai saya mau
kembalikan itu mandat pada Presiden. Akhirnya
kabinet bisa tersusun, tanpa PNI —ini atas
persetujuan Bung Karno.
Begitu pun, perlu saya katakan, sewaktu
jadi Perdana Menteri, banyak sekali persoalan
yang harus dihadapi. Misalnya, menyelesaikan
senjata yang ada di tangan para sukarelawan dati
berbagai ideologi. Tadinya mereka memiliki
senjata itu secara legal, karena sama-sama
34 Politik Melatut (Jalur Dakwahberjuang mempertahankan Republik. Mereka
adalah salah satu unsur perjuangan. Sesudah kita
merdeka, praktis mereka pret.
Laskar Hizbullah, umpamanya, setelah
kemerdekaan kembali ke pesantren dengan
inisiatif sendiri. Mereka punya pesantren. Bagi
mereka, pesantren lebih penting daripada duduk-
duduk pakai seragam. Bagi mereka, ya, buat apa
lagi. Belanda sudah lari. Mereka menganggap
tugas sudah selesai. Padahal dari kacamata politik,
barisan mereka itu adalah suatu kekuatan,
Mestinya jangan dilepaskan begitu saja. Tapi, ya,
itulah. Mereka kan terdiri atas para santri dan kiai
yang umumnya cuma punya prasangka baik.
Bahkan husnu dzan (ptasangka baik) mereka itu
terlampau berlebihan, sehingga kekuatan yang ada
di tangan —secara politis— dilepaskan begitu saja.
Saya waktu itu membuat pengumuman:
“Mari kita kembali ke Republik”. Pengumuman
itu ditujukan kepada kaum Darul Islam, orang-
Polish Melatut (Jalur Dakwah 35orang PKI, juga kepada gerombongan MMC
(Merapi Merbabu Complex). Di Sumatera Utara
juga ada Laskar Harimau Liar. Mereka sama saja,
yakni gerilyawan yang turut berperang. Nah,
marilah kembali. Bacalah maklumat saya itu.
Ternyata, pelaksanaannya tidak seperti yang
diinginkan. Sebab hal tersebut berkenaan dengan
good will TNI -tentara resmi Republik Indonesia—
untuk menerima mereka kembali dan menerima
senjata mereka sebagai teman seperjuangan.
Begitulah. Karena senjata mereka diambil
begitu saja, maka timbullah bentrokan-
bentrokan. Itu antara lain terjadi di Indramayu
dan Tegal, seperti juga yang dialami oleh Amir
Fatah, salah seorang pimpinan Darul Islam. Jadi,
ada yang ditangkap dan dibawa ke Bandung.
Padahal, maksud kita tidak begitu, Bukan untuk
ditangkapi. Melainkan menciptakan persatuan.
Yang saya inginkan adalah agar mereka kembali
ke pangkuan Republik. Mereka bisa dimasukkan
36 Politik Metatui /Jatur Dakeskke dalam tentara, jadi polisi, lurah, masyarakat
sipil. Kalau mau jadi tentara, ya, tentara Republik
Indonesia. Bukan tentara Darul Islam. Jadi,
pelaksanaan maklumat itu gagal. Ini belum
disadari betul oleh tentara Republik yang resmi.
Mungkin politik ini terlampau tinggi untuk
dipahami oleh serdadu-serdadu itu.
Memang kemudian ada pengumuman
tentang “pengurangan kekuatan angkatan
bersenjata”. Soalnya, tentara terlampau banyak.
Jadi kita ini tidak ada fu/us untuk menggaji mereka
semua. Kenapa mengundang mereka agar
bergabung ke dalam tentara Republik, kalau tidak
ada biaya? Iya — lah, untuk tahap pertama mereka
bergabunglah dulu. Nanti, kita adakan seleksi.
Dengan demikian, program itu tidak bisa
dilaksanakan sekaligus. Pelaksanaannya satu demi
satu. Andaikan saya diberi waktu enam bulan
untuk mengadakan suatu pendekatan step by step,
saya rasa akan berhasil. Tampaknya, waktu itu
‘Politik Metalui (Jalur Dakwah 37keadaan tidak mengizinkan. Kelemahan kebijak-
sanaan itu adalah karena tidak dipahami oleh orang,
oleh tentara. Juga karena mereka yang tadinya
berperang, kurang diberi waktu untuk menyadari.
Adapun tentang tuntutan otonomi Aceh,
saya sudah jelaskan kepada Tengku Daud
Beureue-eh, tokoh ulama dan pejuang yang
disegani di Tanah Rencong. Tuntutan otonomi
sebagai provinsi tersendiri masih perlu
dibicarakan di Pusat. Sedangkan Aceh tetap pada
tuntutannya. Makanya saya katakan lebih baik
saya mengundurkan diri. |
Sebenarnya, ada dua alternatif. Pertama,
Pemerintah Pusat terpaksa melakukan tindakan
kekerasan, dan kedua, saya meletakkan jabatan.
Setelah saya pikir-pikir, saya tak sampai hati
memerangi Aceh. Lalu saya bicara melalui radio
bahwa Pemerintah akan mengajukan Rancangan
Undang-Undang tentang Otonomi Aceh kepada
parlemen.
38 Politik Melatui /Jalur DakwakPermainan Soekarno
SETELAH itu, muncul permainan di
patlemen yang menyebabkan kabinet saya jatuh.
Ya, karena ulah Soekarno dan PNI. Jadi, tidak
far ita. Makanya, kabinet saya mengundurkan
diri. Itu lebih baik. Saya tidak mau dipermainkan
begitu.
Coba bayangkan, sudah dua kali kami
ditinggalkan dalam pertemuan dengan parlemen.
Dicibir-cibirkan kami. Mereka suruh kami
mengadakan pertemuan untuk membahas
masalah pembubaran perwakilan-perwakilan
DPRD. Waktu itu, di semua dewan di daerah,
Masyumi jadi mayoritas.
Mulanya dewan itu dibentuk berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 39, produk KNIP
di Yogya. Kaum oposisi, PNI, meminta supaya
dewan daerah ini dibubarkan. Kabinet tidak
keberatan, dengan cara menyerahkan penanganan
pelaksanaannya kepada Menteri Dalam Negeri
Politik Metatut (Jalur Dakwah 39Assaat. Selanjutnya, bagi kabinet, jika DPRD
dibubarkan, hendaklah terlebih dulu dibuatkan
undang-undang penggantinya, supaya tidak tetjadi
kevakuman. Tapi pihak oposisi tidak sabar.
Saya, yang bersama kabinet hendak
memberikan keterangan kepada DPR, diboikot
oleh mereka dalam sidang DPR. Mereka datang
juga ke gedung DPR, tapi tidak duduk di kursi
yang tersedia. Mereka tertawa-tawa di pintu-pintu
DPR, sehingga jumlah kursi yang diduduki tidak
memenuhi quorum. Ini namanya tidak mematuhi
aturan main yang ada. Main tenis tanpa net!
Pangkal permainan Soekarno itu bermula
dari masalah Uni Indonesia-Belanda sekitar soal
Irian Barat (kini Papua). Terbetik berita bahwa
Presiden Soekarno akan menyampaikan pidato
maulid Nabi Muhammad. Di situ dia akan
menuntut agar Irian Barat dikembalikan pada
Republik sebelum Januari 1951. Uni Indonesia-
Belanda akan dibubarkan secara unilateral, Saya
40 Politik Metatut Jatur Dakwahmeminta kepada Presiden agar diberi kesempatan
membaca naskah pidato itu terlebih dahulu. Saya
menginginkan agar pembatalan Uni hendaknya
jangan dimasukkan dalam pidato maulid.
Soekarno merasa dihalang-halangi.
Ketika diminta menjadi formatur kabinet,
ada kesepakatan antara saya dan Soekarno bahwa
dalam kabinet parlementer, untuk soal-soal
politik yang penting, hak pengambilan keputusan
ada di tangan kabinet dengan persetujuan
parlemen. Saya mengusulkan agar masalah
pembubaran Uni Indonesia-Belanda dibicarakan
terlebih dahulu dalam kabinet, dan saya meminta
agar Presiden berkenan hadir. Caranya, untuk
menjaga wibawa Presiden, para anggota kabinet
lah yang datang ke istana. Ini, walaupun dengan
muka merah padam, Soekarno setuju.
Dalam rapat kabinet, dari voting yang
dilakukan, tercatat ada 12 suara yang setuju
pembubaran Uni diadakan dalam sidang gabungan
‘Politik Melatui (Jalur Dakwah 41menteri-menteri Uni nanti pada pertengahan
tahun 1951. Sedangkan tiga suata memilih
pembubaran secara unilateral. Dati hasil voting itu
pun, saya katakan, persoalan tersebut masih akan
dibicarakan lagi di parlemen. Dari kejadian ini,
dapat dipahami jika Presiden Soekarno
merasakannya sebagai pukulan terhadap
kewibawaannya, satu hal yang tak bisa dimaafkan.
Sekitar waktu itulah Soekarno mengatakan bahwa
kedudukannya sebagai Presiden tidak lebih dati
stempel karet.
Saya mengembalikan mandat kepada
Presiden, dan Soekatno mengangguk sembati
berkata dalam bahasa Belanda: “Saya sudah duga
sejak semula.” Sejak itu, saya terus aktif di
Masyumi. Saya kan jadi Ketua Fraksi Masyumi.
Soekarno pun semakin berkilah, dan keadaan kian
tambah berlarut-larut. Soekarno malah kemudian
mulai berani melanggar Undang-Undang Dasat.
e Politik Metatut (Jalur DakwahSama-samalah PRRI
Pada suatu ketika, kami bertiga -saya,
Sjafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin
Harahap— saling bertemu. Dua minggu kami
menimbang-nimbang kemungkinan mendirikan
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI). Siapa yang punya gagasan lebih dulu? Ya,
sama-samalah. PRRI itu dibicarakan bersama
wakil komandan-komandan. Kami datang betul-
betul dengan niat untuk mencari penyelesaian,
Mereka, dipimpin Dahlan Djambek, kan datang
ke sana.
Sebelumnya, saya sudah menulis surat
kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
supaya diambil tindakan yang perlu untuk
menghadapi masalah itu. Pada waktu itu,
komandan-komandan militer sudah menguasai
provinsi-provinsi. Ajaklah mereka berunding,
Pangeil mereka ke Pusat atau kirim orang untuk
menanyakan duduk perkaranya. Jadi, sebenarnya,
Politik Metalut (Jalur Dakwah 43itu tidak meletus begitu saja.
Itu dimulai dengan kegagalan Musyawarah
Nasional (Munas) pertama, yang bermaksud
mempersatukan Soekarno-Hatta, dan disusul
dengan kegagalan Munas kedua, yang membahas
ekonomi yang sudah payah. Dalam keadaan
seperti ini, Perdana Menteri dan kabinetnya tidak
berbuat apa-apa. Waktu itulah Simbolon dengan
Dewan Gajahnya, di samping ada juga Dewan
Banteng dan Dewan Garuda, artinya militer ini,
mengambil over pemerintahan dari gubernur-
gubernur. Bayangkan, prajurit mengutus
negara.... Kami menjalin kontak pribadi dengan
mereka secara informal. Kami juga menanyakan
kemungkinan mempersatukan kembali negara kita
ini. Lalu diadakanlah pertemuan di Sungai Dareh,
Sumatera Barat.
Karena Soekarno sudah melanggat
Undang-Undang Dasar, kami mengajukan usul
agar dibuat kabinet yang dipimpin oleh Hatta
44 Potitik Metalut Jalur Daksahsebagai Perdana Menteri dan Hamengku Buwono
IX sebagai wakilnya. Kabinet yang ada sekarang
perlu menyerahkan mandat kepada Presiden, lalu
dibuat kabinet baru. Presiden tetap Presiden. Jadi,
kami ini ingin kembali ke Undang-Undang Dasar,
dan, yang penting, bagaimana menyatukan negara
ini kembali.
Kami memberi ultimatum. Kalau dalam
tempo lima hari terhitung sejak 10 Februari 1958
dari Jakarta tidak ada jawaban, berarti kami bebas
dati kewajiban taat kepada pemerintah yang
melanggar Undang-Undang Dasar.Tahu apa yang
terjadi kemudian? Kabupaten Painan di bom.
Kami dijatuhi mortir dan segala macamlah. Jadi,
ya, kami bebas. Lantas, kami umumkanlah
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai
Perdana Menteri.
Pada waktu itu pun, kami menyatakan,
kalau suatu saat Pemerintah Pusat di Jakarta mau
Potitik Melalut /Jalur Dakwah 45membubarkan kabinet dan kembali ke Undang.
Undang Dasar -dengan memberi mandat kepada
Hatta-Hamengku Buwono IX— maka kami
menyerahkan kembali kewajiban taat dan
menyerahkan kembali kekuasaan kepada
Pemerintah. Jadi, ini bukan mengambil
kekuasaan. Tidak. Sama sekali tidak. Kembali ke
Undang-Undang Dasar, itu yang penting.
Walaupun begitu, kami betul-betul bikin
pemerintahan. Betul-betul seperti kondisi
pemerintahan di Jakarta, malah, pemerintahan
takyat. Kami sungguh-sungguh mau serius, dan
bukan untuk kepentingan pribadi. Makanya, tiap-
tiap orang disumpah di hadapan rakyat. Dan
sumpah itu bukan main-main.
Sebutlah gerakan itu pemberontakan karena
kami melepaskan diri dari Pemerintah, tapi itu
bukan untuk kepentingan sendiri. Kami ingin
kembali ke Undang-Undang Dasar. Kita tunduk
sama-sama. Apa itu pemberontak namanya? Ha?
46 Politik Melatui /Jalue DakwahSjafruddin sendiri sudah mengatakan, kalau
Pemerintah di Jakarta mau kembali ke Undang-
Undang Dasar yang dilanggar itu, kami bersama-
sama akan menyerahkan kembali semuanya
kepada Pemerintah. Sebab, kita memerlukan
suatu budaya taat kepada konstitusi. Soekarno
sudah melanggar, dan komunis malah terus
memasukkan faham mereka sehingga
memperoleh kekuasaan.
Politik dan Dakwah
PADA MULANYA saya kembali dari PRRI
ke Jakarta baik-baik saja. Tak berapa lama, kami
mau diperiksa. Saya dipindahkan ke daerah di
antara Puncak dan Bogor. Lantas dipanggil lagi
ke Jakarta oleh Jenderal Nasution. Ada yang
menjaga kami, supaya kami aman, katanya.
Ternyata kemudian, saya dikirim ke Batu, Jawa
Timur; Sjafruddin Prawiranegara ke Kedu, Jawa
Tengah, dan Burhanuddin Harahap ke Pati, Jawa
Politth Melatut (Jalur Dakwah 47Tengah. Jadi, kami dipisah. Kalau Pak Soemitro
Djojohadikoesoemo lari ke luar negeri.
Waktu ditahan, saya bertemu dengan
mereka yang ditahan bukan karena masalah PRRI.
Mereka sama sekali tidak terlibat PRRI, melainkan
hanya dicurigai. Waktu itu PKI kan sudah
memegang Soekarno. Politiklah yang
menyebabkan kami yang sudah mendapatkan
amnesti kembali dijadikan orang tahanan. Di
dalam tahanan, orang yang tadinya tidak shalat
jadi shalat. Sutan Sjahrir belajar shalat di situ.
Dialog-dialog tentang politik kenegaraan ada juga,
sekadar dialog di antara kami. Kami juga
mendapat kiriman buku bacaan.
Namanya juga di dalam tahanan, ada saja
peristiwa yang lucu. Mula-mula kami diantari
makanan dan kemudian disuruh mengambil
sendiri, Lantas, di antara kami ada yang tidak mau
mengambil makanan itu. Ya, saya dan beberapa
teman. Kami mogok makan. Lama-kelamaan,
48 Politik Metatut (Jalus Dakwshlebih banyak yang mogok daripada yang tidak
mogok makan. Yang tidak mogok makan cuma
empat orang. Kami mogok makan karena dapat
kiriman makanan dari rumah, walaupun tidak
banyak. Makanya, kadang-kadang kami masak
sendiri. Saya kan sudah terbiasa masak sendiri,
sejak kecil. Jadi, ya, tidak ada masalah.
Oh, ya, dari balik jeruji penjara saya juga
sempat membantu Orde Baru. Waktu itu saya
masih di karantina di rumah tahanan Jalan
Keagungan 62, Jakarta. Pimpinan Kostrad
menyuruh seseorang untuk mendatangi saya.
Orang suruhan itu kenal dengan keponakan saya.
Dia ipar dari keponakan saya yang bekerja di
Departemen Penerangan. Saya ditanyai
bagaimana cara membawa utusan ke Malaysia,
sedangkan hubungan kita dengan Negeri
Serumpun itu belum baik.
Utusan itu, antara lain, Ali Moertopo dan
Leonardus Bernardus “Benny” Moerdani. Malay-
Politsk Melalut /Jalur Dakwah 49sia tidak keberatan kalau ada utusan ke Kua
Lumpur. Siapa yang akan menerima, tidak jel
Waktu itu, Tengku Abdul Rahman meningpalka,
Kuala Lumpur, satu hati sebelum delegasi Indo.
nesia datang. Jadi, seolah-olah Malaysia mengekk
tidak mau menerima.
Saya kenal dengan Tengku Abdul Rahman
Kenal baik. Waktu memperjuangkan
kemerdekaan Malaysia dari Inggris, dia pernah
datang ke Indonesia, dan bertemu dengan saya
dalam satu resepsi. Saya ambil kesempatan untuk
menulis dengan tangan dalam tahanan. “Ini adz
niat baik dari Pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki hubungan antara Indonesia dan
Malaysia. Mudah-mudahan Tengku bisa
menerima.” Pat, titik. Tidak banyak cerita
Waktu itu, Tengku Abdul Rahman mash
menjabat Perdana Menteri Malaysia, bahkan jug
sebagai Bapak Malaysia.
Surat itu diberikan kepada Sekretaté
50 Politik Metatat (jatar DebtPribadi Tengku oleh delegasi tadi, dan si sekretaris
mengantarkannya kepada Tengku Abdul Rahman.
Segera setelah Tengku membaca surat tulisan
tangan saya, Tengku bilang: “Datanglah mereka
besok di tempat saya.” Spontan. Padahal, tadinya,
tidak berniat menerima utusan itu.
Tapi pembebasan saya dari tahanan, lama
sesudah itu, bukan lantaran jasa tersebut. Saya
juga tidak terlalu mengharapkan yang macam itu;
di samping tidak merasa sangat berjasa.
Sebagai ustadz berpendidikan Barat dan
terjun ke politik, akhirnya saya “lari kembali” ke
dakwah. Saya lihat, dunia pendidikan memang
sudah digarap oleh banyak orang. Dulu kan saya
pernah mendirikan sekolah. Kalau saya bikin
sekolah, cuma satu sekolah yang bisa saya urus.
Dari pagi sampai malam habis waktu untuk satu
sekolah. Maka, lebih baik urusan sekolah itu
diserahkan kepada mereka yang bikin sekolah,
seperti pesantren atau Muhammadiyah. Lalu,
Politik Melani (Jalur Dakwah 51mereka kami bantu saja. Dewan Dakwah Islan
Indonesia (DDII), yang berdiri tahun 1967,
memberi usul-usul kepada mereka. Sehingga ad,
kerja sama dan ini lebih bermanfaat.
Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa
dipisahkan. Seperti dua sisi dari keping uang yang
sama. Kalau kita berdakwah, dengan membaca
Qur’an dan Hadis —itu berpolitik. Jadi, dulu
berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik
melalui jalur dakwah. Iya, mengaji politik,
begitulah. Saya merasa bahwa DDII tidak lebih
rendah daripada politik. Politik tanpa dakwah
hancur. Lebih dari itu, saya tidak bisa mengambil
sikap diam.
Adakah sesuatu yang belum tercapai?
Hingga sekarang ini, yang belum tercapai sama
seperti keinginan saya waktu jadi Perdana
Menteri: orang-orang yang rukun, beragama, 2d2
‘asamub, toleransi antara umat beragama yang sa
dengan umat yang lain, itu ndak tercapai. Iya,
52 Politik Melatni (Jalur Dakeotpaldatun thoyyibatun wa robbun ghafur (negara
sejahtera yang penuh ampunan Allah), itu yang
adak atau belum juga tercapai....
Agus BasriRiwayat Hidup
Pewawancata
Drs. H. Agus Basti Lahir : Tegal, 5
Desember 1956. Lulusan Tarbiyah LAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta 1981 dengan Skripsi
Pendidikan Islam sebagai Agent of Modernization
diterbitkan jadi buku oleh Al-Ma’arif, Bandung
1984.
Redaktur Politik dan Pendidikan di MBM
Tempo 1982-1994. Redpel MBM Gazsra 1984-1998,
Pimpinan Redaksi Tabloid Paron 1996-1998, Wakil
Pemimpin Redaksi MBM Gamma 1998-2001.
Dewan Redakdi-Majalah Aku Anak Saleh 1998-
2001. Penanggung Jawab acara pentas Polemik
Kerjasama MBM Gamma-ANTV 2000-2001.
Konseptor acara Pentas Kandidat Metro TV
‘Polietk Metalut Jalur Dakwah 552004. Direktur Institute of International Islam
Thought 2003-2004.
Buku lain yang pernah diterbitkan Memnir
Senarai Kiprah Sejarah (M. Natsir), Penerbit Graft)
1993, Tim Pewancara dan penulis buku Jendera/
Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partat. Perjalanan
Hidup .A.H. Nasution, Penerbit Grafiti Pers 199%,
Adapun yang pernah diwawancara khusus
adalah Mr. Moh. Roem, Sjafruddin Prawiranegara,
M. Natsit, BJ. Habibie, Perdana Menteti Malay-
sia Mahathir Muhammad, Anwar Ibrahim,
Jenderal A.H. Nasution, Try Sutrisno, Eddy
Sudrajat, Wiranto, R. Hartono, Letjen Prabowo
Subianto, Benny Moerdani, Letjen Alamsyah Ratu
Perwiranegara, Gus Dur, Hamzah Haz, Amien
Rais, dan Akbar Tandjung.
Negara-negara yang pernah dikunjungi
Bosnia, Ceko, Hongaria, Jepang, Australia,
Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura.
56 Potitth Metatut /Jatur Dakwah
Pemanfaatan Limbah Tongkol Jagung Untuk Memproduksi Biohidrogen Sebagai Alternatif Energi Terbarukan Yang Ramah Lingkungan Dengan Metode Gasifikasi Biomassa