Professional Documents
Culture Documents
Fakta Kasus
Ahok ninyatakan mejelis hakim terbukti melakukan tindak pidana dalam Pasal
156a KUHP, yakni secara sengaja di muka umum mengeluarkanperasaan atau
melakukan perbuatan permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap
agama.1
Issue Hukum
Tidak sedikit isu di masyarakat yang mengangap bahwa putusan hakim terhadap
Ahok dinilai tidak mencerminkan keadilan. Adapun alasannya yang diantaranya
adalah : pertama,penerapan pasal 156A KUHP ini bernuansa dipaksakan, karena
yang menjadi tolak ukur penodaan atau penistaan agama tidak memiliki
kualifikasi yang jelas. kedua,pasal 156A KUHP merupakan pasal karet dan
bersifat subjektif sesuai dengan keinginan penguasa apalagi mendapat tekanan
dari mayoritas ini terbukti dengan kecepatan proses yang terjadi, ketiga, kasus ini
dinilai penuh dengan muatan politis, dimana Ahok merupakan Calon Gubernur
Petahana yang dianggap bersih, sukses dalam memimpin Jakarta, sehingga salah
satu cara untuk melengserkan Ahok dan tidak memiliki tempat di hati rakyat
dengan cara tuduhan penistaan atau penodaan agama, walaupun ini harus
1
News detik .com,”Ahok Divonis 2 Tahun Penjara”,berita, diakses dari
https://news.detik.com/berita/3496185/ahok-divonis-2-tahun-penjara pada tanggal 30 September
2017 Pukul 21.23
mendapat konfimasi nantinya dari pengadilan Keempat, majelis hakim Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Utara memvonis Ahok dengan 2 tahun penjara atau lebih
tinggi dari tuntutan JPU dengan 1 tahun penjara dengan 2 tahun percobaan yang
dinilai bahwa vonis hakim tersebut tekanan masa yang saat itu melakukan
demonstrasi sampai berjilid-jilid.2
Aturan Hukum
Perumusan sanksi pidana dalam KUHP pada umumnya memakai dua pilihan
misalnya penjara atau denda (system alternative). Jika dipandang dari sudut
sifatnya, sanksi merupakan akibat hukum dari pada penyelenggara suatu kaidah,
hukuman dijatuhkan berhubung dilarangnya suatu norma oleh seseorang. Menenai
aturan penodaan agama, sanksi yang dikenakan adalah sanksi penjara sebagai
bagian dari sanksi pidanna dengan membuat pelaku tersebut menderita, sanksi
penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo Undang-
Undang No 2/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No 1/1965
menyebutkan : Ayat (1) “Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal
1 diberi perintah peringatan keras utuk menghentikaan perbuatannya itu di
dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri” Ayat (2) “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1)
dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden
Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan
organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi atau aliran terlarang, satu dan
lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/
Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri,
Analisis Kasus
3
Sudut Hukum. Com “Sanksi Pidana Terhadap Penista Agama” diakses dari
http://www.suduthukum.com/2016/11/sanksi-pidana-terhadap-penistaan-agama.html pada
Tanggal 30 September 2017 Pukul 22.03
Semua tindakan yang dilakukan oleh setiap warga Negara/setiap orang
mendapatkan jaminan dan aturan dalam hukumnya, mana yang tidak boleh dan
mana yang boleh. Setiap orang/setiap warga Negara tidak dapat bertindak atas
keinginannya sendiri dengan cara mengesampingkan aturan hukum yang ada. Ia
harus patuh terhadap pembatasan-pembatasan yang berlaku. Dengan kata lain,
bahwa hampir semua aktifitas warga Negara mendapatkan pengturan didalam
hukum, baik sifatnya yang berupa hak ataupun kewajiban. Karena Indonesia
dibangun atas dasar hukum, tapi bukan atas dasar kekuasaan belaka sebagai mana
diatur dalam pasal 1 ayat 3 UU 1945.
Salah satu tindakan yang dilakukan oleh manusia tidak hanya dimaknai sebagai
perbuatan semata, akan tetapi yang sifatnya formalitas pun mendapatkan perhatian
dimata hukum, contohnya saja apa yang terjadi di dalam kasus ini. Dalam hukum
pidana apa yang dilakukan dalam bentuk ucapan disatu sisi merupakan perbuatan
yang terkualifikasi sebagai delik formil sebagaimana diatur dalam pasal 156A
KUHP yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”
Dan berdasar pada pasal tersebut Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dihukum 2
tahun penjara Ahok dinyatakan terbukti bersalah melakukan penodaan agama
karena pernyataannya soal Aurat Al-Maidah 51 saat berkunjung ke Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu.
Banyak yang beranggapan bahwa penerapan pasal ini sangatlah beresiko tinggi,
sebab pasal 156A KUHP merupakan pasal yang bersifat karet, tidak memiliki
tolak ukur sedikitpun apa yang menjadi parameter seseorang telah melakukan
penistaan atau penodaan terhadap agama dalam arti bahwa pasal tersebut bersifat
subjektif yang dibangun berdasarkan suka tidak sukanya seseorang terhadap orang
lain.
Dalam bahasa sederhana ialah pasal 156A KUHP tidak memiliki nilai objektif
sebagaimana norma pasal yang sesungguhnya. Sehinga setiap orang/setap warga
Negara yang memiliki jaminan hak secara konstitusional selalu dihantui dengan
keberadaan pasal a quo yang berakibat matinya daya kritis, matinya rasa saling
menghormati, matinya rasa keadilan, matinya kebebasan lainnya serta memasung
hak-hak yang telah mendapatkan jaminan sebagaimana aturannya.
Dan penjatuhan hukuman ini dikatakan sarat dengan nuansa politisasi dan
berdasarkan pada tekanan dari masa yang pada saat itu melakukan demonstrasi
sampai berjilid-jilid. Melihat juga pada saat yang bersamaan Ahok mencalonkan
diri sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta sehinga isu ini kadang diamin oleh
lawan politiknya untuk menjegal terpilihnya Ahok sebagai Gubernur.
Jika hal tersebut memang terjadi maka di Indonesia ini tengah terjadi kemunduran
hukum dan demokrasi dimana semestinya hukum itu bertujuan untuk memberikan
keadilan,kepastian, dan kebermanfaatan dan asas equality before the law yang
tepatnya terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 seakan dikesampingkan oleh
para penegak hukum karena tuntutan masa mayoritas di Indonesia. dan begitu
juga dalam penerapan demokrasi dimana demokrasi yang sehat seharusnya
menghargai orang bukan karena identitas agama ataupun etnisnya, tapi
penghargaan terhadap warga negara Indonesia. Pejabat publik dipilih sebagai
warga negara. Hate spin untuk pilkada DKIJakarta dijalankan oleh elit-elit
tertentu yang punya kepentingan politik.
Ini terbukti dari hasil survei yang menyatakan 85 persen warga Jakarta tidak
melihat video Ahok yang disebut menistakan agama. Elit-elit yang punya
kepentingan politik memanfaatkan hoax.
Elit-elit itu melupakan masa depan Indonesia dan menggunakan segala cara untuk
memenangkan pilkada. Pidato Ahok yang berujung pada kasus penistaan agama
dipelintir. Kasus Ahok ini sangat krusial karena menyangkut kebencian minoritas.
Vonis Ahok 2 tahun karena kasus penistaan agama, sehinga menjadi kemunduran
demokrasi yang berujung memecah belah warga Indonesia.
Kesimpulan
o sanksi penodaan agama ini diatur dalam pasal 2 UU PNPS No 1/1965 (jo
Undang-Undang No 2/1965) dan pasal 156a KUHP. Pasal 2 UU PNPS No
1/1965