Professional Documents
Culture Documents
Tak berlebihan orang menyebut 26 Desember 2004 sebagai “kiamat kecil”. Di sebagian
besar wilayah yang terisolasi, mereka yang selamat harus mengalami kelaparan dan
kehausan lebih dari 24 jam sebelum bantuan dikirimkan, tepatnya dijatuhkan, dari
udara. Wilayah–wilayah yang disapu tsunami menjelma bak daerah tak bertuan. Yang
membedakan daerah tak bertuan dengan wilayah yang terkena tsunami hanya satu: di
tempat bekas tsunami mengamuk, mayat berserakan.
Pemandangan itulah yang membuat para pemimpin yang mengunjungi daerah
bencana langsung meningkatkan besarnya bantuan yang dijanjikan. Presiden George
W. Bush Sr. semula menjanjikan bantuan US$ 15 juta. Kritik dari Perserikatan Bangsa–
Bangsa membuat George W. Bush Sr. menambah bantuan dari Amerika Serikat menjadi
US$ 20 juta. Setelah ia menyaksikan daerah bencana, ia naikkan lagi bantuan itu
menjadi
US$ 35 juta. Angka ini ternyata masih diubah lagi setelah Colin Powell menyaksikan
sendiri Aceh yang hancur. Powell, Menteri Luar Negeri AS kala itu, setelah berunding
dengan Presiden Bush, meningkatkan angka bantuan negaranya sepuluh kali lipat:
menjadi US$ 350 juta.
penanganan bencana ini. Tapi ia tak punya wewenang. Seorang wartawan televisi
swasta
akhirnya berinisiatif menyampaikan hal ini kepada Ketua Harian Tim Nasional Alwi
Shihab,
dan pada 2 Januari 2005 Bambang resmi masuk menjadi anggota tim sebagai komandan
pelaksana penanganan bencana.
Banda Aceh memang lumpuh total. Sementara mayat tersebar di semua sudut kota
yang tersapu tsunami, evakuasi awal hanya dilaksanakan oleh 300 relawan mahasiswa
dengan kemampuan minimal, dikoordinasi oleh Ketua PMI Mar’ie Muhammad. Lalu
Iskandar A.S., seorang pedagang setempat, menggerakkan rekan–rekannya dengan
meminjamkan alat–alat berat, antara lain buldoser. Sebagian di antaranya tidak bisa
dipakai lantaran tak ada yang mengoperasikannya. “Kami kekurangan tenaga,” kata
seorang petugas PMI, kepayahan. Sedangkan pihak militer dan polisi, dipimpin
Panglima
Kodam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya, sudah bergerak sejak hari pertama.
Tapi
masing–masing bergerak sendiri, kurang terkoordinasi. Segera Mayjen Bambang
Darmono, yang menjadi panglima komando operasi
tatkala darurat militer diterapkan pertama kali (19 Mei–18 November 2003) di Aceh,
mengoordinasi tenaga yang ada. Ia membuat rencana kerja untuk tiga bulan. Unsur
utama yang digunakan dalam tahap ini adalah tentara, termasuk tentara asing. “Karena
unsur militer inilah yang paling siap dan terlatih untuk menghadapi situasi seperti di
Aceh saat itu,” katanya. “Mereka bekerja berdasarkan prosedur standar; misalnya, dari
mana pun mereka datang, apa pun pangkat dan jabatannya, tetap menganggap tuan
rumah sebagai komandan.” Untuk lebih melancarkan bantuan asing, Bambang Darmono
meminta Departemen Luar Negeri menempatkan staf kepengurusan visa di Bandara
Iskandar Muda, agar pengurusan visa masuk buat orang asing cepat dan mudah.
Yang menerima perintah pertama kali Bambang Darmono adalah pasukan Pakistan
yang terdiri atas 200 personel. Pasukan ini sudah berada di Banda Aceh sejak akhir
Desember, dan selama itu mereka sudah membantu mengevakuasi jenazah korban.
Pasukan Pakistan ini diminta Bambang membenahi Pelabuhan Malahayati di Banda
Aceh
agar bisa digunakan mengatur bantuan lewat laut. Selain mengoordinasi militer asing,
Bambang mengatur pembagian kerja untuk 1.700 tenaga dari Partai Keadilan Sejahtera,
ribuan anggota Front Pembela Islam, dan juga ratusan anggota Muhammadiyah.
Hasilnya,
menurut Ketua Harian Tim Nasional Alwi Shihab, sangat efektif. Misalnya, sebelum
Mayjen
Bambang Darmono terlibat langsung, mayat yang terapung atau tersangkut di sungai
belum tertangani. Evakuasi mayat di daerah sungai memang tidak mudah, memerlukan
keberanian dan keterampilan tersendiri, juga membutuhkan peralatan. Setelah ada
koordinasi, segera Bambang memimpin evakuasi wilayah sungai dan sekitarnya.
“Dalam
sehari, ratusan mayat kami evakuasi,” tutur Alwi. Lantas, di perairan pantai barat,
Bambang
menyediakan beberapa gudang terapung. Berikutnya dibangun gudang sementara
bekerja sama dengan World Food Programme di kota–kota tepi pantai barat, seperti di
Lhok Nga, Lamno, Lhong, Teunom, Calang, dan Meulaboh, sehingga daerah sekitar
bisa
mendapat pasokan bahan makanan secara rutin. Front Pembela Islam, yang mendapat
bantuan 50 kapal motor dari Kuwait, diminta Bambang melayani pengangkutan bahan
makanan dan lain–lain di kawasan pantai barat.
Pasukan asing di Aceh sebenarnya melanggar status darurat sipil. Status itu
menyatakan, tak sembarang orang asing boleh keluyuran di wilayah ini, apalagi militer
asing. Tapi, berdasarkan antisipasi Panglima TNI bahwa kita memerlukan transportasi
udara, lantas adanya desakan dari pemerintah dan lembaga nonpemerintah luar negeri
agar mereka diizinkan masuk Aceh membawa bantuan, serta kesadaran berbagai pihak
akan keterbatasan kita, bantuan asing baik sipil maupun militer sesungguhnya sangat
diperlukan. Itu sebabnya Wapres Jusuf Kalla pada 28 Desember petang menghubungi
Kepala Deputi United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs
(UNOCHA) di Indonesia, Michael Elmquist. Wapres meminta lembaga Perserikatan
Bangsa–Bangsa itu mengoordinasi bantuan dari luar Indonesia untuk Aceh. Wapres pun
mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah memberikan lampu hijau: bantuan
dipersilakan masuk. Malam itu juga mulai masuk berbagai bantuan. Pintu ke Aceh
kemudian benar–benar terbuka setelah di akhir tahun Presiden menyatakan bahwa udara
“Aceh terbuka untuk penerbangan sipil asing yang membawa bantuan korban bencana”.
Apa yang kemudian terjadi? Serambi Mekkah, terutama Banda Aceh, seolah menjadi
kawasan internasional yang warganya terdiri atas berbagai warna kulit dan berbicara
dengan bermacam bahasa. Bandara Iskandar Muda, yang biasanya hanya melayani
enam
penerbangan dalam sehari, menjelma jadi bandara internasional yang sangat sibuk.
Setiap beberapa menit sekali Bandara Iskandar Muda disinggahi helikopter Seahawk
milik marinir Amerika Serikat, Chinook dari Singapura, atau pesawat dari Australia.
Karena
peralatan menara pengendali macet gara–gara gempa, Singapura meminjamkan alat
kendali operasi udara portable. Truk–truk pengangkut, alat berat, dan kendaraan medis
yang bukan milik Indonesia pun terlihat lalu–lalang. Kapal induk Amerika Serikat, USS
Abraham Lincoln, merapat di perairan dekat Banda Aceh membawa kebutuhan logistik.
Angkatan bersenjata asal Meksiko, Norwegia, Pakistan, Jerman, Australia, Malaysia,
Prancis, dan beberapa negara lain ikut ambil bagian. Menyaksikan semua itu—sebuah
gerakan internasional atas inisiatif semua pihak—
ada yang berpikir, ini mestinya bisa lebih luas dan efektif bila PBB melibatkan diri dan
mengoordinasinya. Sebab, bukan hanya Indonesia, hampir semua negara yang berpantai
Lautan Hindia tersapu tsunami. Dan sejak awal, simpati berbagai negara kepada negara
yang sedang tertimpa musibah ini besar. Misalnya saja, ucapan belasungkawa serta
tawaran bantuan kepada Indonesia sudah sejak di awal bencana mengalir masuk.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari–hari pertama bencana menerima
ucapan dukacita dan tawaran bantuan dari kepala negara, kepala pemerintahan, serta
pejabat sejumlah negara, baik lewat telepon maupun telegram, antara lain dari Menteri
Luar Negeri Australia Alexander Downer, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi,
Raja Harald dan Perdana Menteri Kjell Magne Bondevik dari Norwegia, serta Duta
Besar
Amerika Serikat Lynn Pascoe.
Gagasan untuk lebih mengefektifkan bantuan ini dengan cara menyelenggarakan
gerakan bersama dunia internasional disampaikan Presiden Yudhoyono kepada
Sekretaris
Jenderal (Sekjen) PBB Kofi Annan. Gagasan pun bergulir. Dari Singapura, datang usul
agar diselenggarakan konferensi tingkat tinggi ASEAN pascagempa dan pascatsunami
Seperti diketahui, sejak dibentuk pada 16 April 2005, lembaga yang didirikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‑Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun
2005 yang kemudian dikukuhkan sebagai Undang‑Undang (UU) Nomor 10 Tahun
2005
ini memikul mandat untuk memimpin proses rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan)
Aceh‑Nias pascatsunami. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah—kalau tidak boleh
dibilang berat.
Diawali, tentu saja, dengan kerusakan akibat gempa bertsunami yang menewaskan
sekurang‑kurangnya 126.741 jiwa dan menghilangkan sekitar 93.285 jiwa lainnya.
Ratusan kilometer pesisir Aceh porak‑poranda pada 26 Desember 2004. Tiga bulan
kemudian, tepatnya pada 28 Maret 2005, gempa susulan berkekuatan 8,7 skala Richter
(SR) bergerak ke tenggara, mengguncang Kepulauan Nias.
Padahal, lebih dari 60 tahun merdeka, negeri ini belum pernah memiliki panduan
yang memadai terkait dengan penanganan pascabencana seperti itu. Panduan
yang menyangkut hal fisik saja belum tersedia, apalagi yang terkait dengan upaya
membangkitkan semangat mereka yang masih bertahan hidup (penyintas). Tak sedikit
pihak beropini bahwa bahkan di bagian lain mana pun di dunia belum ada panduan
penanganan pascabencana pada skala katastrofik alam sebesar ini.
Di Aceh, tantangan dan kendalanya semakin berlipat. Pasalnya, selama 30‑an tahun,
bagi sebagian masyarakat di Aceh, sikap anti‑Pemerintah Indonesia atau antimiliter
bukan isapan jempol. Hal itulah yang akhirnya membuahkan kondisi yang kurang
menguntungkan, sehingga dibutuhkan pendekatan tersendiri dan khas. Konflik pulalah
yang pada akhirnya berperan membuat Aceh—daerah kaya hasil bumi—menjadi
kawasan tertinggal dan miskin.
Pada masyarakat Kepulauan Nias, minus faktor konflik separatis, derajat ketertinggalan
dan kemiskinannya malah lebih memprihatinkan. “Takdir” sebagai wilayah terluar
Indonesia secara geografis telah menempatkan Nias sebagai kawasan yang
terpinggirkan.
Akibatnya, akses terhadap pengembangan sosial‑ekonomi menjadi terbatas. Nias dan
Nias Selatan (Nisel), meski memiliki potensi pariwisata pantai yang molek, tercatat
sebagai dua kabupaten termiskin di Sumatera Utara (Sumut). Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) serta indikator ekonomi dan prasarananya sangat rendah dibanding
rata‑rata nasional.
Sebelum tsunami 2004, tingkat kemiskinan, indikator kesehatan, tingkat melek
huruf, serta akses pada air bersih dan listrik di Kepulauan Nias tertinggal jauh di
lingkup
nasional dan terendah di tingkat provinsi.1 Bahkan jurang telah menganga sejak 1975.
antara kawasan pesisir utara (termasuk Kepulauan Nias) dan kawasan lain di Sumut.
Pada
2000, saat tingkat kemiskinan provinsi di sektor pertanian mencapai 11,5 persen, angka
kemiskinan mencapai puncaknya, yakni 14,5 persen, di kawasan pesisir barat, termasuk
Nias.2
Simpati meluncur dari seluruh penjuru dunia, yang mungkin sebelumnya tak
pernah
mendengar nama Meulaboh atau Calang. Dukungan (inter)nasional yang menembus
sekat‑sekat antar‑ras, agama, afiliasi politik, bahkan benua itu mengalir deras: tenaga
manusia, dana, logistik, peralatan evakuasi, atau sekadar ucapan keprihatinan
“Tugas kita di Aceh ini sudah pasti tidak akan mudah. Sungguh berat. Ini adalah
tugas
kemanusiaan yang diamanatkan Tuhan. Karenanya, perlu tangan‑tangan yang bersih
dan hati nurani yang tulus untuk membantu saudara‑saudara kita yang sedang ditimpa
musibah. Pekerjaan ini juga tidak menjanjikan apa‑apa. Jadi, kalau ada yang
memikirkan
uang atau jabatan, lupakan saja.”
Buku 3 KEUANGAN
Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif
DAHSYATNYA kerusakan yang disebabkan tsunami pada Desember 2004
menimbulkan reaksi luar biasa, baik dari Indonesia maupun dari komunitas
internasional.
Sebelum Januari 2005, beberapa minggu setelah berlangsungnya pertemuan
Consultative Group for Indonesia (CGI), terkumpul dana sebesar US$ 7,2 miliar guna
mendukung upaya pemulihan.1
Dana bantuan sebesar itu diperoleh hampir merata dari pemerintah Indonesia, donor
bilateral dan multilateral, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berbagai
komunitas di dalam dan di luar Indonesia juga menyumbangkan tambahan dana. Hal
ini belum pernah terjadi sebelumnya: yang lazim berlangsung adalah pemberi dana
multilateral memberikan sumbangan terbesar, melampaui jumlah yang bisa diberikan
oleh pemerintah dan LSM. Dalam kasus Aceh dan Nias, “pemberi bantuan yang baik”
tidak
terbatas pada para donor multilateral.
Reaksi ini bukan yang terbesar yang pernah terjadi, kalau dilihat dari segi jumlah dana
yang terkumpul; namun terbesar dalam jumlah negara yang memberikan sumbangan
dan tercepat dari segi diwujudkannya janji yang diajukan menjadi dana cair. Sebanyak
133 negara memberikan bantuan bagi misi kemanusiaan (Masyrafah and McKeon
2008),
sebagian besar negara-negara tersebut belum pernah memberikan bantuan bagi para
korban bencana alam sebelumnya. Patut dicatat, porsi dana bantuan dalam jumlah besar
diperoleh dari tingkatan masyarakat umum. Harian New York Times melaporkan pada
27
November 2008, dana bantuan dari kalangan awam untuk membantu korban tsunami
memecahkan rekor pengumpulan dana bagi krisis kemanusiaan internasional.
Jumlah dana yang dijanjikan menggambarkan besarnya tanggung jawab yang harus
diemban. Janji pemberian dana untuk Aceh dan Nias begitu besar, sehingga jumlah
minimal yang diperlukan untuk memulihkan kembali keadaan sebelum terjadinya
tsunami terlampaui sebesar US$ 1,3 miliar (Gambar 1.1.). Kelebihan dana ini
memberikan
ruang gerak yang leluasa terkait dengan inflasi yang meningkat cepat dan membuka
peluang untuk membangun kembali menjadi lebih baik, tak hanya sekadar membangun
barang dan jasa yang rusak, sehingga daerah yang telah lama tertutup ini dan pulaupulau
terpencil di sekitarnya dapat segera kembali ke fase pembangunan yang sejajar
dengan daerah-daerah lain yang tak terkena bencana. Namun, proses ini harus dikelola
hati-hati, antara lain karena melibatkan tanggung jawab dan risiko hukum.
Buku 4
Kisah‑kisah tentang terobosan ini diakhiri pada pengelompokan siklus
pengawasan dan pemantauan. Hal ini bukan tidak disengaja. Dalam suatu sistem
operasional proyek, pengawasan dan pemantauan mengiringi setiap langkah rehabilitasi
dan rekonstruksi. Setelah pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai pembelajaran dari
kegiatan pemantauan, maka siklus berputar kembali ke awal. Dimulai kembali dengan
perencanaan ulang dan kemudian dilanjutkan dengan pembaruan data, identifikasi
proyek, tinjauan sumber pendanaan, persiapan proyek, manajemen dan pelaksanaan
proyek yang disertai pemantauan kemudian evaluasi dan seterusnya. Satu siklus tersebut
dalam suatu organisasi pemerintah setara dengan satu tahun anggaran.
Dalam perjalanan empat tahun mandat BRR, siklus tersebut berulang empat kali—
selaras dengan periode tahun anggaran pemerintah, yaitu tahun anggaran 2005‑2008.
Pada tahun anggaran 2009, mata anggaran khusus untuk BRR sudah dihapuskan dan
pendanaan pun hanya digunakan untuk persiapan penutupan BRR pada 16 April 2009.
Terlepas dari bagaimana uniknya organisasi ini dibandingkan lembaga pemerintah
lain, BRR adalah badan pemerintah yang berjalan dengan roda anggaran nasional.
Setiap
terobosan yang dibahas dan dikategorikan dalam tiap anak tangga siklus tersebut
tentunya tidak tercipta sekonyong‑konyong sesuai dengan rentetan waktu. Kadang
suatu siklus sudah berputar dua kali, baru terpikir hal yang dapat dilakukan, kemudian
baru terlaksana pada tahun anggaran atau siklus ketiga. Ada yang memang sedari awal
.
pembentukan sudah langsung dipikirkan dan kemudian disempurnakan sejalan dengan
roda Perputaran siklus tersebut.
Komitmen internasional dalam proses pemulihan bencana terbesar awal abad 21 ini
tergolong luar biasa. Ini tak terlepas dari inovasi pemerintah Indonesia membentuk
suatu badan bernama BRR dengan pelbagai kebijakan dan sistem yang kemudian
dikembangkan pada masa tugasnya. Terobosan yang diuraikan dalam buku ini
adalah pilar sistem akuntabilitas pengelolaan program dan anggaran rehabilitasi dan
rekonstruksi. Transparansi terbukti mampu mendongkrak kepercayaan pelbagai negara
maupun lembaga donor, baik nasional maupun internasional.
Demi menjaga kepercayaan dan komitmen internasional tersebut, semua sistem
operasi setiap lini kerja di BRR didesain dengan prinsip membuang jauh kerumitan
sehingga mencapai kemudahan dalam penerapan. Sistem operasi kerja diusahakan
mudah dimengerti dan dilaksanakan bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sistem yang mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan
oleh semua orang dapat memperkecil risiko terjadinya penyimpangan yang mungkin
terjadi. Sejalan dengan kepercayaan internasional, realisasi komitmen bantuan yang
direalisasikan ke Aceh‑Nias pun meningkat.
Dukungan lembaga internasional ini tentu saja merupakan akumulasi dari berbagai
kebijakan inovasi dan terobosan yang diuraikan dalam bagian‑bagian sebelumnya.
Bukti
nyata kepercayaan dunia internasional dalam kinerja BRR ini juga melahirkan pelbagai
skema pemberian hibah yang belum pernah ada di Indonesia. Selain itu, BRR berhasil
juga
melakukan lobi dan menjalin kerja sama yang melibatkan beberapa negara dalam
proyek
pembangunan sektoral kawasan. Semua terobosan itu menjadi anak‑anak tangga bagi
BRR dalam meraih kepercayaan internasional.
Apa pun terobosan baik dalam konsep, mediasi, maupun prosedur yang dilakukan
adalah dengan napas untuk menciptakan karakter lembaga pemerintah yang lebih
baik. Dalam artian, lebih cepat dan juga lebih baik secara kualitas demi terpenuhi tujuan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sistem birokrasi pemerintahan yang lebih baik dengan
sendirinya akan memudahkan negara maupun lembaga donor melakukan kegiatan
pembangunan pascabencana di Aceh dan Nias sehingga meningkatkan nilai serapan
untuk pembangunan tersebut. Misinya adalah tidak memperumit prosedur namun tetap
dapat memantau perkembangan dan arah pembangunan secara makro.
Salah satu bukti pencapaian kumpulan terobosan yang telah dibahas dalam buku
ini serta tonggak akhir penanda kepercayaan dunia internasional dan keberhasilan
dari seluruh terobosan yang dibahas dalam buku ini adalah jumlah serapan dana yang
mencapai 93 persen dari janji sumbangan internasional. Terobosan‑terobosan yang
telah
diuraikan membuktikan bahwa kinerja suatu badan organisasi pemerintah dapat lebih
baik dan hal ini dapat diterapkan di mana pun. Tentu saja dengan prakondisi tertentu.
Contoh organisasi dengan sistem operasi fleksibel dan bergerak cepat akan sangat
berguna pada daerah mana pun yang rawan bencana, tertinggal, maupun terisolasi.
TEROBOSANI: Beribu Jalan Menuju Solusi
Sedangkan pilihan organisasi ad hoc akan lebih optimal diterapkan pada lembaga
dengan sistem yang rusak atau malfungsi karena suatu bencana atau kondisi yang di luar
batas kewajaran. BRR adalah gabungan dari kedua contoh tersebut.
Terobosan yang dilakukan pada akhirnya memang tidak hanya untuk mencapai
serapan pembangunan yang tinggi. Sebagaimana disebutkan di awal buku dan
ditegaskan kembali di sini bahwa inovasi terobosan adalah untuk menembus sekaligus
menata ulang birokrasi dan prosedur yang ada demi menciptakan karakter pemerintahan
yang didambakan. Pemerintahan yang baik adalah yang dapat melakukan pelayanan
publik dengan lebih cepat, dengan kualitas yang lebih baik, serta lebih tepat sasaran
dalam mencapai tujuan pelaksanaan proyek—dalam lingkup kecil—serta meningkatkan
hajat hidup masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Dengan demikian, terobosan yang dibahas di sini seyogyanya merupakan prosedur
inovatif yang dapat diterapkan di tempat lain—walau tentu saja dalam konteks
persoalan
dan wilayah yang berbeda tetap membutuhkan pengembangan dan penyesuaian. Aceh
dan Nias telah membuktikan bahwa terobosan kebijakan dapat diterapkan. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan untuk pelaksanaan di lokasi rawan bencana,
rawan konflik, maupun daerah tertinggal atau terpencil tidak hanya di Indonesia namun
di belahan penjuru dunia lain dengan konteks kewilayahan atau persoalan serupa.
Buku 5.
Komitmen para donor dari berbagai belahan dunia untuk membantu
rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias hingga Desember 2008 mencapai US$
7,2
miliar. Dari jumlah tersebut, sebesar US$ 6,7 miliar (93 persen) telah direalisasi.
Kenyataan
ini merupakan bukti kepercayaan dunia internasional terhadap BRR NAD‑Nias selaku
lembaga yang memegang mandat Pemerintah RI untuk pembangunan kembali Aceh dan
Nias menjadi lebih baik selepas bencana alam.
Tingginya tingkat kepercayaan tersebut tak lepas dari peran fungsi pengendalian
dan pengawasan BRR. Sejak awal berdirinya, lembaga ad hoc ini telah mengambil
prinsip tegas tidak menolerir praktik‑praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dalam
melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD‑Nias.
Berbagai program komprehensif antikorupsi untuk mengikis korupsi dan menegakkan
integritas sekaligus menyiratkan keseriusan BRR melawan praktik‑praktik
menyimpang.
Meski tak luput dari ketidaksempurnaan, diharapkan hikmah ajar fungsi pengawasan
ini dapat menjadi catatan bermakna dari perjalanan sebuah lembaga pemerintah yang
berusia tak lebih dari empat tahun yang berkukuh mempertahankan integritasnya
Modal utama yang perlu dimiliki dalam melaksanakan fungsi pengawasan adalah
keberanian menentang arus di tengah masyarakat yang terbiasa dengan perilaku korup.
Salah satu contoh kasus keberanian BRR menentang arus adalah memasukkan sebuah
badan usaha milik negara (BUMN) ke dalam daftar hitam alias blacklist lantaran
BUMN itu
telah mensubkontrakkan proyek rekonstruksi yang diperolehnya.
Langkah berani BRR ini menjadi catatan prestasi tersendiri karena belum pernah ada
lembaga pemerintah yang mampu mendaftarhitamkan BUMN. Daftar hitam bagi pelaku
pengadaan barang/jasa yang diterapkan BRR ini menjadi hikmah ajar berharga bagi
semua pihak yang ingin turut serta dalam proses rehabilitasi‑rekonstruksi Aceh dan
Nias.
Lebih jauh, penguatan fungsi pengawasan di BRR diwujudkan lewat pembentukan
Satuan Anti Korupsi (SAK). Satuan itu menjadi kebanggaan bukan saja sebagai unit
antikorupsi pertama dan satu‑satunya yang ada di instansi pemerintah di negeri ini,
melainkan juga sebagai tumpuan harapan BRR dalam deteksi dini korupsi. Meskipun
masuk struktur organisasi BRR NAD‑Nias, SAK memiliki independensi dan
kewenangan
penuh untuk mengambil tindakan yang terkait dengan dugaan korupsi, termasuk
mengakses seluruh data di lingkungan BRR.
SAK mengembangkan suatu sistem atau mekanisme penanganan keluhan yang
terintegrasi dan komprehensif (integrated complaint handling mechanism) melalui unit
kepatuhan (compliance), yang mengharuskan semua pengaduan, baik dari internal
maupun dari masyarakat, ditindaklanjuti seluruhnya hingga tuntas.
Selain itu, BRR membentengi para karyawannya dengan Pakta Integritas dan
memberikan remunerasi tinggi, sehingga menjadi armada tangguh yang kokoh meski
diterpa angin KKN. Hanya berbekal tekad kuat dan niat tulus, Pakta Integritas dapat
ditegakkan. BRR tidak pandang bulu dalam melakukan pemecatan dan penonaktifan
beberapa personelnya yang jelas terbukti melanggar perjanjian sakral itu.
Pengawasan juga dikuatkan dengan memadukan tenaga‑tenaga auditor berlatar
belakang disiplin ilmu dan pengalaman bervariasi. Keanekaragaman tim auditor ini
terbukti
sangat efektif dalam mendeteksi sedini mungkin setiap permasalahan di lapangan,
mencari
jalan penyelesaian yang menunjang keberhasilan kegiatan setiap Satker, serta
memberikan
hasil pemeriksaan maksimal dari sisi keakuratan dan kualitas temuannya.
Dalam menjalankan tugasnya, para auditor BRR tidak menganggap diri mereka sebagai
pemeriksa dengan otoritas lebih tinggi, tetapi berprinsip menjadikan auditan (pihak
yang diaudit) sebagai mitra dengan kedudukan setara. Prinsip kemitraan ini dibangun
atas dasar pemahaman bahwa semua komponen dalam organisasi BRR NAD‑Nias
ingin
mewujudkan impian yang sama, yakni membangun kembali kehidupan masyarakat
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias menjadi lebih baik pascabencana.
Kenyataan ini membuat fungsi pengawasan di BRR bukan sekadar sebagai polisi atau
watchdog, melainkan menjadi mitra dan pakar yang memberikan nilai tambah, sehingga
kehadirannya sangat dinantikan sebagian besar Satker.
Biasanya sebuah lembaga melakukan audit setelah suatu kegiatan atau proyek selesai
dilaksanakan, sedangkan BRR sejak awal menetapkan strategi perlunya dilakukan audit
preventif agar kecurangan dan kebocoran dapat dicegah sebelum terjadi, sehingga
perbaikannya lebih mudah. Rekomendasi audit preventif mengarah pada tindak
pencegahan berupa pembatalan lelang, pemutusan kontrak, penghapusan duplikasi
paket kegiatan, serta penetapan daftar hitam rekanan.
Strategi audit preventif yang dilakukan BRR ini mendapat apresiasi pada pertemuan
ESCAP/ASEAN Regional High‑Level Expert Group Meeting on Post‑Nargis Recovery
and
Livelihood Opportunities di Bangkok pada 27‑28 Oktober 2008 serta apresiasi pada
beberapa kuliah publik yang dihadiri berbagai perwakilan dari departemen/lembaga
pemerintah. Bahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) secara
khusus mengapresiasi penerapan audit tersebut.
Mengingat ada sekitar 12.500 proyek rekonstruksi yang dilakukan dalam setahun,
harus diakui tidak semua proyek dapat diaudit. Untuk itu, BRR membuat perencanaan
audit berbasis risiko. Berdasarkan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT),
disusunlah rencana audit dengan prioritas utama pada pekerjaan yang berisiko tinggi
Bagian 4. Mendulang Hikmah Pengawasan
67
terjadi kecurangan atau kebocoran. Pertimbangan utama dalam perencanaan audit
berbasis risiko ini antara lain besarnya anggaran, kerumitan pekerjaan, serta lemahnya
pengawasan, terutama karena lokasi pekerjaan yang jauh dan luas atau tersebar.
Namun amanat audit terhadap semua Satker tetap harus dilaksanakan, sesuai dengan
Rencana Induk BRR NAD‑Nias buku ke‑10 tentang Penerapan Prinsip‑Prinsip Tata
Kelola
yang Baik dan Pengawasan. Untuk itu, BRR menggandeng BPKP sebagai lembaga
profesional yang mempunyai kompetensi andal dalam bentuk bantuan teknis
pengawasan
(bantekwas), khususnya bantuan pelaksanaan audit operasional dan audit investigasi.
Ternyata bantekwas dari BPKP beserta pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sangat membantu pencapaian audit Satker BRR 100 persen serta pelimpahan
cepat
kasus‑kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi untuk dilakukannya audit
investigatif.
Sayangnya, beberapa kasus berindikasi tindak pidana korupsi yang telah dilimpahkan ke
aparat penegak hukum bergerak agak lambat ke proses pengadilan, sehingga kepastian
hukumnya belum bisa diketahui hingga buku ini ditulis. Kelambatan proses pengadilan
ini
besar kemungkinan tidak akan terjadi jika BRR NAD‑Nias telah jauh‑jauh hari
menandatangani
nota kesepahaman kerja sama secara tertulis (MOU) dengan aparat penegak hukum.
Dalam menjalankan rehabilitasi dan rekonstruksi, proses pengadaan barang/jasa
merupakan bagian penting. Proses ini dibangun melalui sistem yang telah ditetapkan
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Fungsi pengawasan dalam
proses pengadaan barang/jasa adalah mengawal proses pengadaan barang/jasa dan
memastikan proses tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Keppres itu bisa terjadi apabila ada benturan
kepentingan dari para pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu, perlu diperhatikan
bahwa proses pengadaan barang dan jasa tidak hanya secara formal memenuhi
peraturan, tetapi juga memastikan tidak terdapat benturan kepentingan yang dapat
memengaruhi pengambilan keputusan panitia lelang.
Setelah mengatur gerak langkah para karyawan dan auditor BRR serta menetapkan
sejumlah aturan main bagi para pelaku rehabilitasi‑rekonstruksi, fungsi pengawasan
perlu
dibarengi upaya berkesinambungan dalam mendidik masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran dalam menolak praktik‑praktik korupsi dan membangun integritas sebagai
bangsa yang bermartabat.
Masyarakat dapat diajak bekerja sama, menjadi mata dan telinga, untuk menyampaikan
kasus‑kasus yang ditengarai berbau KKN. Masyarakat bukan semata penerima bantuan
pasif, melainkan subyek pembangunan yang melalui peran aktifnya dapat membuat tata
kelola pemerintahan menjadi lebih baik.