You are on page 1of 20

TSUNAMI ACEH : Habis Bencana Terbitlah Terang

(sumber foto: Buku BRR seri pertama)

RANGKUMAN ISI BUKU BRR seri Pertama


Setelah saya membaca buku BBR seri pertama ada berapa hal yang ingin saya
sampai kan dalam rangkuman buku BRR seri pertama ini:

a. Tsunami dan aceh


Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung
menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer
ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285
orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-
an orang mendadak berstatus tunakarya.Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen
dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan
kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593
hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik,
sedikitnya 669 unit gedung
pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek
berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan
pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.
Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7
skala
Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa
melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang
sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin
meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia
semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu
operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik,
benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan
internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar.
Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa
sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya
belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup
pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan
handai-taulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti
bahwa program
pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga
nonfisik.
Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan
pertumbuhan daerah pada masa depan.
Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas
untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan
pada partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh-Nias
secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan
semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola
kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional.
Pemulihan Aceh-Nias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan
rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa
tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap
program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang
mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan “kisah
sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya” dan “teladan bagi kerja sama
internasional”. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat
“kepemimpinan efektif dari Pemerintah”. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia,
tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR,
telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta
komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan
Nias yang porak-poranda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini.

B. Tsunami, Aceh dan Dunia

Tak berlebihan orang menyebut 26 Desember 2004 sebagai “kiamat kecil”. Di sebagian
besar wilayah yang terisolasi, mereka yang selamat harus mengalami kelaparan dan
kehausan lebih dari 24 jam sebelum bantuan dikirimkan, tepatnya dijatuhkan, dari
udara. Wilayah–wilayah yang disapu tsunami menjelma bak daerah tak bertuan. Yang
membedakan daerah tak bertuan dengan wilayah yang terkena tsunami hanya satu: di
tempat bekas tsunami mengamuk, mayat berserakan.
Pemandangan itulah yang membuat para pemimpin yang mengunjungi daerah
bencana langsung meningkatkan besarnya bantuan yang dijanjikan. Presiden George
W. Bush Sr. semula menjanjikan bantuan US$ 15 juta. Kritik dari Perserikatan Bangsa–
Bangsa membuat George W. Bush Sr. menambah bantuan dari Amerika Serikat menjadi
US$ 20 juta. Setelah ia menyaksikan daerah bencana, ia naikkan lagi bantuan itu
menjadi
US$ 35 juta. Angka ini ternyata masih diubah lagi setelah Colin Powell menyaksikan
sendiri Aceh yang hancur. Powell, Menteri Luar Negeri AS kala itu, setelah berunding
dengan Presiden Bush, meningkatkan angka bantuan negaranya sepuluh kali lipat:
menjadi US$ 350 juta.

penanganan bencana ini. Tapi ia tak punya wewenang. Seorang wartawan televisi
swasta
akhirnya berinisiatif menyampaikan hal ini kepada Ketua Harian Tim Nasional Alwi
Shihab,
dan pada 2 Januari 2005 Bambang resmi masuk menjadi anggota tim sebagai komandan
pelaksana penanganan bencana.
Banda Aceh memang lumpuh total. Sementara mayat tersebar di semua sudut kota
yang tersapu tsunami, evakuasi awal hanya dilaksanakan oleh 300 relawan mahasiswa
dengan kemampuan minimal, dikoordinasi oleh Ketua PMI Mar’ie Muhammad. Lalu
Iskandar A.S., seorang pedagang setempat, menggerakkan rekan–rekannya dengan
meminjamkan alat–alat berat, antara lain buldoser. Sebagian di antaranya tidak bisa
dipakai lantaran tak ada yang mengoperasikannya. “Kami kekurangan tenaga,” kata
seorang petugas PMI, kepayahan. Sedangkan pihak militer dan polisi, dipimpin
Panglima
Kodam Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya, sudah bergerak sejak hari pertama.
Tapi
masing–masing bergerak sendiri, kurang terkoordinasi. Segera Mayjen Bambang
Darmono, yang menjadi panglima komando operasi
tatkala darurat militer diterapkan pertama kali (19 Mei–18 November 2003) di Aceh,
mengoordinasi tenaga yang ada. Ia membuat rencana kerja untuk tiga bulan. Unsur
utama yang digunakan dalam tahap ini adalah tentara, termasuk tentara asing. “Karena
unsur militer inilah yang paling siap dan terlatih untuk menghadapi situasi seperti di
Aceh saat itu,” katanya. “Mereka bekerja berdasarkan prosedur standar; misalnya, dari
mana pun mereka datang, apa pun pangkat dan jabatannya, tetap menganggap tuan
rumah sebagai komandan.” Untuk lebih melancarkan bantuan asing, Bambang Darmono
meminta Departemen Luar Negeri menempatkan staf kepengurusan visa di Bandara
Iskandar Muda, agar pengurusan visa masuk buat orang asing cepat dan mudah.
Yang menerima perintah pertama kali Bambang Darmono adalah pasukan Pakistan
yang terdiri atas 200 personel. Pasukan ini sudah berada di Banda Aceh sejak akhir
Desember, dan selama itu mereka sudah membantu mengevakuasi jenazah korban.
Pasukan Pakistan ini diminta Bambang membenahi Pelabuhan Malahayati di Banda
Aceh
agar bisa digunakan mengatur bantuan lewat laut. Selain mengoordinasi militer asing,
Bambang mengatur pembagian kerja untuk 1.700 tenaga dari Partai Keadilan Sejahtera,
ribuan anggota Front Pembela Islam, dan juga ratusan anggota Muhammadiyah.
Hasilnya,
menurut Ketua Harian Tim Nasional Alwi Shihab, sangat efektif. Misalnya, sebelum
Mayjen
Bambang Darmono terlibat langsung, mayat yang terapung atau tersangkut di sungai
belum tertangani. Evakuasi mayat di daerah sungai memang tidak mudah, memerlukan
keberanian dan keterampilan tersendiri, juga membutuhkan peralatan. Setelah ada
koordinasi, segera Bambang memimpin evakuasi wilayah sungai dan sekitarnya.
“Dalam
sehari, ratusan mayat kami evakuasi,” tutur Alwi. Lantas, di perairan pantai barat,
Bambang
menyediakan beberapa gudang terapung. Berikutnya dibangun gudang sementara
bekerja sama dengan World Food Programme di kota–kota tepi pantai barat, seperti di
Lhok Nga, Lamno, Lhong, Teunom, Calang, dan Meulaboh, sehingga daerah sekitar
bisa
mendapat pasokan bahan makanan secara rutin. Front Pembela Islam, yang mendapat
bantuan 50 kapal motor dari Kuwait, diminta Bambang melayani pengangkutan bahan
makanan dan lain–lain di kawasan pantai barat.
Pasukan asing di Aceh sebenarnya melanggar status darurat sipil. Status itu
menyatakan, tak sembarang orang asing boleh keluyuran di wilayah ini, apalagi militer
asing. Tapi, berdasarkan antisipasi Panglima TNI bahwa kita memerlukan transportasi
udara, lantas adanya desakan dari pemerintah dan lembaga nonpemerintah luar negeri
agar mereka diizinkan masuk Aceh membawa bantuan, serta kesadaran berbagai pihak
akan keterbatasan kita, bantuan asing baik sipil maupun militer sesungguhnya sangat
diperlukan. Itu sebabnya Wapres Jusuf Kalla pada 28 Desember petang menghubungi
Kepala Deputi United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs
(UNOCHA) di Indonesia, Michael Elmquist. Wapres meminta lembaga Perserikatan
Bangsa–Bangsa itu mengoordinasi bantuan dari luar Indonesia untuk Aceh. Wapres pun
mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sudah memberikan lampu hijau: bantuan
dipersilakan masuk. Malam itu juga mulai masuk berbagai bantuan. Pintu ke Aceh
kemudian benar–benar terbuka setelah di akhir tahun Presiden menyatakan bahwa udara
“Aceh terbuka untuk penerbangan sipil asing yang membawa bantuan korban bencana”.
Apa yang kemudian terjadi? Serambi Mekkah, terutama Banda Aceh, seolah menjadi
kawasan internasional yang warganya terdiri atas berbagai warna kulit dan berbicara
dengan bermacam bahasa. Bandara Iskandar Muda, yang biasanya hanya melayani
enam
penerbangan dalam sehari, menjelma jadi bandara internasional yang sangat sibuk.
Setiap beberapa menit sekali Bandara Iskandar Muda disinggahi helikopter Seahawk
milik marinir Amerika Serikat, Chinook dari Singapura, atau pesawat dari Australia.
Karena
peralatan menara pengendali macet gara–gara gempa, Singapura meminjamkan alat
kendali operasi udara portable. Truk–truk pengangkut, alat berat, dan kendaraan medis
yang bukan milik Indonesia pun terlihat lalu–lalang. Kapal induk Amerika Serikat, USS
Abraham Lincoln, merapat di perairan dekat Banda Aceh membawa kebutuhan logistik.
Angkatan bersenjata asal Meksiko, Norwegia, Pakistan, Jerman, Australia, Malaysia,
Prancis, dan beberapa negara lain ikut ambil bagian. Menyaksikan semua itu—sebuah
gerakan internasional atas inisiatif semua pihak—
ada yang berpikir, ini mestinya bisa lebih luas dan efektif bila PBB melibatkan diri dan
mengoordinasinya. Sebab, bukan hanya Indonesia, hampir semua negara yang berpantai
Lautan Hindia tersapu tsunami. Dan sejak awal, simpati berbagai negara kepada negara
yang sedang tertimpa musibah ini besar. Misalnya saja, ucapan belasungkawa serta
tawaran bantuan kepada Indonesia sudah sejak di awal bencana mengalir masuk.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada hari–hari pertama bencana menerima
ucapan dukacita dan tawaran bantuan dari kepala negara, kepala pemerintahan, serta
pejabat sejumlah negara, baik lewat telepon maupun telegram, antara lain dari Menteri
Luar Negeri Australia Alexander Downer, Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi,
Raja Harald dan Perdana Menteri Kjell Magne Bondevik dari Norwegia, serta Duta
Besar
Amerika Serikat Lynn Pascoe.
Gagasan untuk lebih mengefektifkan bantuan ini dengan cara menyelenggarakan
gerakan bersama dunia internasional disampaikan Presiden Yudhoyono kepada
Sekretaris
Jenderal (Sekjen) PBB Kofi Annan. Gagasan pun bergulir. Dari Singapura, datang usul
agar diselenggarakan konferensi tingkat tinggi ASEAN pascagempa dan pascatsunami

C. Aceh, Jalan Damai Pasca Tsunami


PERINTAH itu datang dari Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal
Endriartono Sutarto, petang di hari ketika gempa dan tsunami mengguncang Aceh,
26 Desember 2004. “Saya perintahkan pasukan untuk tidak ofensif meski harus tetap
waspada.”
Untuk pertama kalinya setelah sekitar 30 tahun konflik di Aceh, terdengar komando
yang bukan perintah untuk mengejar Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Rupanya,
tsunami tak hanya memorakporandakan segala hal yang tampak. Bencana itu juga
mengguncangkan kesadaran, membukakan hati, serta mendatangkan perdamaian antara
gerakan separatis tersebut dan pemerintah Indonesia.
Guncangan itu mengalir hingga ribuan kilometer dari Aceh. Di Jakarta, hari itu
juga, setelah mendapat gambaran tentang kedahsyatan bencana tersebut, Jenderal
Endriartono segera mafhum bahwa Aceh memerlukan bala bantuan secepatnya. Korban
sudah harus segera ditolong. Sebagai Panglima TNI, yang terpikirkan pertama kali
adalah
menggerakkan tentara untuk menolong korban.
Militer merupakan organisasi yang bisa digerakkan dengan cepat. Militer juga memiliki
perlengkapan yang sebenarnya hanya digunakan untuk perang, tapi dalam keadaan
darurat peralatan itu bisa sangat berguna. Dengan alasan seperti itulah Panglima TNI
segera memerintahkan pasukannya di Aceh segera membantu menyelamatkan mereka
yang masih hidup, agar jumlah korban meninggal tidak bertambah. Jenderal
Endriartono
menuturkan ihwal perintah “membantu menyelamatkan korban” itu dalam peringatan
satu tahun gempa dan tsunami Aceh dan Sumatera Utara.
Demikianlah, Aceh tiba–tiba menjadi daerah bencana yang memerlukan pertolongan
segera, dan militer memiliki kemampuan yang diperlukan. Keputusan Panglima TNI
Jenderal Endriartono itu sesuai dengan memo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
yang
diterimanya beberapa saat setelah bencana menimpa Aceh.
Syahdan, ketika itu, hampir sepa
ruh dari 30.000 personel militer di Aceh mengganti
senjata dengan kantong mayat, sekop, buldoser, dan peranti lain untuk menangani masa
tanggap darurat, masa ketika pencarian dan penguburan jenazah serta pertolongan
pertama untuk korban bencana yang selamat serentak dilakukan.
Menurut Panglima Daerah Militer Iskandar Muda Mayjen Endang Suwarya, tugas
tambahan menjalankan misi kemanusiaan pascatsunami ini menyebabkan “operasi
militer” boleh dikatakan hampir berhenti dengan sendirinya. Para prajurit dan polisi
dialihtugaskan ke daerah–daerah yang terkena bencana. Itu sebabnya Presiden pun tak
merasa perlu mencabut status Nanggroe Aceh
Darussalam, yakni Darurat Sipil Tahap II, status yang baru akan berakhir pada 18 Mei
2005. Tanpa pencabutan status yang ditentukan pada November 2004 itu, karena
kondisi
Aceh yang porak–poranda, kegiatan masyarakat lumpuh, dan prasarana komunikasi
mati, dengan sendirinya operasi militer dikesampingkan. Sebab, dalam kondisi yang
memerlukan penanganan segera, yang sangat mendadak, yang paling mungkin
secepatnya turun tangan adalah pasukan yang sudah siaga di lapangan.
Karena itu, Jenderal Endriartono segera mengambil keputusan dengan cepat—
memerintahkan agar tentara tidak ofensif—walau dia belum mempunyai gambaran
yang jelas tentang bencana itu. Yang ia bayangkan, bila ada gempa besar disusul
air laut yang menyapu ke daratan sejauh lebih dari lima kilometer, dan kawasan itu
merupakan daerah padat penduduk, bukan hanya jumlah korban pasti besar, kawasan
itu pun untuk sementara akan lumpuh, tanpa makanan dan minuman, dan tanpa sarana
telekomunikasi. Korban yang masih hidup harus cepat dibantu agar tetap hidup.
Dan GAM, menurut Panglima, pastilah menghadapi hal yang serupa: memilih tetap
berperang atau menyimpan senjata untuk membantu korban bencana. Bila selama
ini GAM selalu menyatakan berjuang untuk rakyat Aceh, lantas ketika rakyat yang
diperjuangkannya itu mengalami musibah besar tapi GAM tak memedulikannya dan
tetap berjuang dengan angkat senjata, “Itu sama saja [GAM] bunuh diri,” kata
Panglima.
GAM akan kehilangan legitimasi perjuangannya, akan dikecam dari segala penjuru.
Singkat kata, tsunami telah mengubah sikap para pemimpin GAM. Tak ada lagi agenda
merdeka di benak mereka. “Kami melihat [dampak tsunami], begitu banyak warga Aceh
yang mati, begitu juga TNI. Kami berpikir, buat apa lagi berperang,” kata Teungku Nur
Djuli, juru bicara GAM yang tinggal di Malaysia. “Yang dibutuhkan rakyat Aceh
adalah
bantuan untuk meringankan nasib mereka.”
Petinggi GAM di Swedia hari itu juga mengambil keputusan: memerintahkan Tentara
Neugara Aceh atau TNA meletakkan senjata dan berhenti berperang. “Tak ada yang
lebih
penting daripada rakyat yang menjadi korban,” itulah salah satu kalimat dari perintah
yang dikirimkan dari Swedia.
Benarlah bahwa tsunami, di samping membawa bencana, membawa pula berkah
tersembunyi, blessing in disguise. Tanpa bertemu apalagi berunding, masing–masing
pihak yang sudah sekitar 30 tahun bermusuhan itu memutuskan untuk mengistirahatkan
senjata dan mengubah operasi militer menjadi misi kemanusiaan.
Secara tak langsung, gelombang dahsyat yang mengempas jauh ke darat itu
menghentikan konflik di Aceh. Sebelumnya, usaha menciptakan perdamaian bukannya
tak ada. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, misalnya, pernah
tercapai juga perdamaian, tapi usianya tak panjang. Perdamaian ini tercapai berkat
campur tangan pihak ketiga yang menjembatani perundingan antara GAM dan
pemerintah Indonesia. Henry Dunant Center, pihak ketiga itu, merupakan organisasi
Aceh kini tengah melangkah, tidak hanya membenahi kembali wajah fisiknya setelah
diporakporandakan gempa dan tsunami, tapi juga menciptakan sistem pemerintahan
dan tata hidup yang lebih demokratis. Hal tersebut hampir–hampir tak terbayangkan
ketika wilayah ini masih dilanda konflik. Sekali lagi, kita ternyata mampu membangun
kembali Aceh dari puing–puing bencana. Dan semua ini berkat kerja keras serta kerja
sama semua pihak yang tak hendak menyerah kepada konflik ataupun tsunami. Itulah
yang perlu dicatat: kerja keras dan kerja sama. Kalaulah itu baru bisa dilakukan setelah
terjadi bencana dahsyat, baiklah dicatat kata Wapres Jusuf Kalla: “Ya, setidaknya
[tsunami
merupakan berkah yang] mempercepat perdamaian.”
Buku kedua

Seperti diketahui, sejak dibentuk pada 16 April 2005, lembaga yang didirikan
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang‑Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun
2005 yang kemudian dikukuhkan sebagai Undang‑Undang (UU) Nomor 10 Tahun
2005
ini memikul mandat untuk memimpin proses rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan)
Aceh‑Nias pascatsunami. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah—kalau tidak boleh
dibilang berat.
Diawali, tentu saja, dengan kerusakan akibat gempa bertsunami yang menewaskan
sekurang‑kurangnya 126.741 jiwa dan menghilangkan sekitar 93.285 jiwa lainnya.
Ratusan kilometer pesisir Aceh porak‑poranda pada 26 Desember 2004. Tiga bulan
kemudian, tepatnya pada 28 Maret 2005, gempa susulan berkekuatan 8,7 skala Richter
(SR) bergerak ke tenggara, mengguncang Kepulauan Nias.
Padahal, lebih dari 60 tahun merdeka, negeri ini belum pernah memiliki panduan
yang memadai terkait dengan penanganan pascabencana seperti itu. Panduan
yang menyangkut hal fisik saja belum tersedia, apalagi yang terkait dengan upaya
membangkitkan semangat mereka yang masih bertahan hidup (penyintas). Tak sedikit
pihak beropini bahwa bahkan di bagian lain mana pun di dunia belum ada panduan
penanganan pascabencana pada skala katastrofik alam sebesar ini.

Di Aceh, tantangan dan kendalanya semakin berlipat. Pasalnya, selama 30‑an tahun,
bagi sebagian masyarakat di Aceh, sikap anti‑Pemerintah Indonesia atau antimiliter
bukan isapan jempol. Hal itulah yang akhirnya membuahkan kondisi yang kurang
menguntungkan, sehingga dibutuhkan pendekatan tersendiri dan khas. Konflik pulalah
yang pada akhirnya berperan membuat Aceh—daerah kaya hasil bumi—menjadi
kawasan tertinggal dan miskin.
Pada masyarakat Kepulauan Nias, minus faktor konflik separatis, derajat ketertinggalan
dan kemiskinannya malah lebih memprihatinkan. “Takdir” sebagai wilayah terluar
Indonesia secara geografis telah menempatkan Nias sebagai kawasan yang
terpinggirkan.
Akibatnya, akses terhadap pengembangan sosial‑ekonomi menjadi terbatas. Nias dan
Nias Selatan (Nisel), meski memiliki potensi pariwisata pantai yang molek, tercatat
sebagai dua kabupaten termiskin di Sumatera Utara (Sumut). Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) serta indikator ekonomi dan prasarananya sangat rendah dibanding
rata‑rata nasional.
Sebelum tsunami 2004, tingkat kemiskinan, indikator kesehatan, tingkat melek
huruf, serta akses pada air bersih dan listrik di Kepulauan Nias tertinggal jauh di
lingkup
nasional dan terendah di tingkat provinsi.1 Bahkan jurang telah menganga sejak 1975.
antara kawasan pesisir utara (termasuk Kepulauan Nias) dan kawasan lain di Sumut.
Pada
2000, saat tingkat kemiskinan provinsi di sektor pertanian mencapai 11,5 persen, angka
kemiskinan mencapai puncaknya, yakni 14,5 persen, di kawasan pesisir barat, termasuk
Nias.2

Gamang pada awalnya. Namun peresmian pembangunan rumah ke‑100.000 di Desa


Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, pada Desember 2007
telah
menjadi penanda penting dari kemajuan nyata pemulihan Aceh‑Nias. Dalam acara yang
juga menandai akhir masa kerja British Red Cross di Aceh, Kabapel BRR dan Nicholas
Young, sebagai perwakilan lembaga palang merah itu, menyampaikan sertifikat rumah
kepada Muhammad Nasir, bocah 14 tahun asal Pulau Lampoh Kawat. Tsunami telah
mensyahidkan kedua orang tuanya. Kini siswa kelas III SMP Padang Kleng itu tinggal
bersama kakaknya. Peristiwa itu membukakan mata dan meyakinkan banyak pihak,
bahkan BRR sendiri, perihal capaian BRR dan para mitranya dalam pemulihan
Aceh‑Nias.
Sampai akhir Februari 2009, BRR dan mitra pemulihan mencatat kemajuan dalam
membangun rumah: 140.304 unit. Selain itu, BRR telah mendirikan 1.115 unit fasilitas
kesehatan dan 1.759 gedung sekolah. Prasarana dan sarana dasar (PSD) berupa 3.696
kilometer jalan dan 363 unit jembatan sudah dapat digunakan publik. Turut dikelola
pembangunannya oleh BRR: 13 bandara, 23 pelabuhan laut, 996 gedung pemerintahan,
dan 3.781 rumah ibadah.
Bukan pembangunan fisik semata yang dipulihkan BRR. Bersama mitra pemulihan,
dalam rangka meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, hingga akhir 2008 telah
dilatih 39.663 guru dan 155.182 tenaga kerja lain. Sebanyak 7.109 unit kapal nelayan
disediakan. Sedangkan 195.726 unit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah
dibantu. Seluas 69.979 hektare lahan pertanian pun telah direhabilitasi sehingga dapat
digunakan untuk bercocok tanam kembali.
Lalu apakah yang menjadi bekal BRR dalam melaksanakan mandatnya? Ada,
sebenarnya. Bekal itu adalah sebuah Rencana Induk yang disusun Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan mitra internasional. “Cetak Biru Pemulihan
Aceh‑Nias” yang disusun dalam waktu sangat singkat itu tentu saja amat berguna
sebagai
pijakan awal, meskipun belum sepenuhnya persis sesuai dengan kondisi di lapangan.
Bagaimana dengan pemulihan Nias? Gempa mengguncang kepulauan itu saat Rencana
Induk hampir rampung disusun. Tim penyusun seperti berlomba dengan waktu.
Rencana
ini harus sudah terbit ketika badan khusus yang akan memimpin pemulihan di dua
tempat yang tertimpa bencana berskala besar itu terbentuk.
Bagian 1. Perahu Under Construction Larungi Samudra
5
Alhasil, badan khusus pemulihan ini harus bekerja ekstrakeras. Tim perintis, yang
sebelumnya pontang‑panting memperjuangkan agar badan ini bisa setingkat
kementerian serta bertanggung jawab langsung kepada presiden, harus bersigegas
melakukan evaluasi terhadap Rencana Induk. Ibaratnya, mereka seperti perahu yang
berangkat menuju samudra yang luas dan, uniknya, perahu itu masih under construction
(dalam status dibangun).

Simpati meluncur dari seluruh penjuru dunia, yang mungkin sebelumnya tak
pernah
mendengar nama Meulaboh atau Calang. Dukungan (inter)nasional yang menembus
sekat‑sekat antar‑ras, agama, afiliasi politik, bahkan benua itu mengalir deras: tenaga
manusia, dana, logistik, peralatan evakuasi, atau sekadar ucapan keprihatinan

Lihat sekeliling Anda! Siapa yang bisa menghancurkan semua ini?


Hanya Tuhan! Sekarang pikir, bagaimana mungkin sesuatu yang telah
dihancurkan Tuhan dapat dibangun oleh manusia? Satu‑satunya jalan
adalah kalau Tuhan mau memakai tangan manusia; tangan‑tangan
kita yang begitu kecil. Jadi, kalau mau dipakai Tuhan, jangan pernah
kotori tangan ini

“Tugas kita di Aceh ini sudah pasti tidak akan mudah. Sungguh berat. Ini adalah
tugas
kemanusiaan yang diamanatkan Tuhan. Karenanya, perlu tangan‑tangan yang bersih
dan hati nurani yang tulus untuk membantu saudara‑saudara kita yang sedang ditimpa
musibah. Pekerjaan ini juga tidak menjanjikan apa‑apa. Jadi, kalau ada yang
memikirkan
uang atau jabatan, lupakan saja.”

Gempa bertsunami mempercepat munculnya berkah tersembunyi


yang tak terbayangkan sebelumnya: perdamaian di tanah Aceh. Setelah
30‑an tahun berseteru, RI dan GAM bersepakat untuk menghentikannya
dan membangun Aceh. BRR turut menjaganya

Pada 15 Agustus 2005, RI dan GAM menandatangani MOU di Helsinki, Finlandia.


Mereka
berdamai demi mewujudkan perdamaian di Aceh secara permanen dan bermartabat.
Akhirnya, jalan keluar gemilang itu disepakati. Usaha damai sudah dirintis sejak masa
pemerintahan B.J. Habibie, kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid,
hingga
Megawati Soekarnoputri. Berbagai pembicaraan dan perundingan turun‑naik. Gempa
bertsunami pula yang turut memicu dan memacu agar jalan damai cepat ditempuh.
Diyakini, inilah hikmah tersembunyi dari ie beuna (air bah, bahasa Aceh) tsunami.

Buku 3 KEUANGAN
Tujuh Kunci Pengelolaan Dana Bantuan yang Efektif
DAHSYATNYA kerusakan yang disebabkan tsunami pada Desember 2004
menimbulkan reaksi luar biasa, baik dari Indonesia maupun dari komunitas
internasional.
Sebelum Januari 2005, beberapa minggu setelah berlangsungnya pertemuan
Consultative Group for Indonesia (CGI), terkumpul dana sebesar US$ 7,2 miliar guna
mendukung upaya pemulihan.1
Dana bantuan sebesar itu diperoleh hampir merata dari pemerintah Indonesia, donor
bilateral dan multilateral, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berbagai
komunitas di dalam dan di luar Indonesia juga menyumbangkan tambahan dana. Hal
ini belum pernah terjadi sebelumnya: yang lazim berlangsung adalah pemberi dana
multilateral memberikan sumbangan terbesar, melampaui jumlah yang bisa diberikan
oleh pemerintah dan LSM. Dalam kasus Aceh dan Nias, “pemberi bantuan yang baik”
tidak
terbatas pada para donor multilateral.
Reaksi ini bukan yang terbesar yang pernah terjadi, kalau dilihat dari segi jumlah dana
yang terkumpul; namun terbesar dalam jumlah negara yang memberikan sumbangan
dan tercepat dari segi diwujudkannya janji yang diajukan menjadi dana cair. Sebanyak
133 negara memberikan bantuan bagi misi kemanusiaan (Masyrafah and McKeon
2008),
sebagian besar negara-negara tersebut belum pernah memberikan bantuan bagi para
korban bencana alam sebelumnya. Patut dicatat, porsi dana bantuan dalam jumlah besar
diperoleh dari tingkatan masyarakat umum. Harian New York Times melaporkan pada
27
November 2008, dana bantuan dari kalangan awam untuk membantu korban tsunami
memecahkan rekor pengumpulan dana bagi krisis kemanusiaan internasional.

Jumlah dana yang dijanjikan menggambarkan besarnya tanggung jawab yang harus
diemban. Janji pemberian dana untuk Aceh dan Nias begitu besar, sehingga jumlah
minimal yang diperlukan untuk memulihkan kembali keadaan sebelum terjadinya
tsunami terlampaui sebesar US$ 1,3 miliar (Gambar 1.1.). Kelebihan dana ini
memberikan
ruang gerak yang leluasa terkait dengan inflasi yang meningkat cepat dan membuka
peluang untuk membangun kembali menjadi lebih baik, tak hanya sekadar membangun
barang dan jasa yang rusak, sehingga daerah yang telah lama tertutup ini dan pulaupulau
terpencil di sekitarnya dapat segera kembali ke fase pembangunan yang sejajar
dengan daerah-daerah lain yang tak terkena bencana. Namun, proses ini harus dikelola
hati-hati, antara lain karena melibatkan tanggung jawab dan risiko hukum.
Buku 4
Kisah‑kisah tentang terobosan ini diakhiri pada pengelompokan siklus
pengawasan dan pemantauan. Hal ini bukan tidak disengaja. Dalam suatu sistem
operasional proyek, pengawasan dan pemantauan mengiringi setiap langkah rehabilitasi
dan rekonstruksi. Setelah pemantauan dan evaluasi dilakukan sebagai pembelajaran dari
kegiatan pemantauan, maka siklus berputar kembali ke awal. Dimulai kembali dengan
perencanaan ulang dan kemudian dilanjutkan dengan pembaruan data, identifikasi
proyek, tinjauan sumber pendanaan, persiapan proyek, manajemen dan pelaksanaan
proyek yang disertai pemantauan kemudian evaluasi dan seterusnya. Satu siklus tersebut
dalam suatu organisasi pemerintah setara dengan satu tahun anggaran.
Dalam perjalanan empat tahun mandat BRR, siklus tersebut berulang empat kali—
selaras dengan periode tahun anggaran pemerintah, yaitu tahun anggaran 2005‑2008.
Pada tahun anggaran 2009, mata anggaran khusus untuk BRR sudah dihapuskan dan
pendanaan pun hanya digunakan untuk persiapan penutupan BRR pada 16 April 2009.
Terlepas dari bagaimana uniknya organisasi ini dibandingkan lembaga pemerintah
lain, BRR adalah badan pemerintah yang berjalan dengan roda anggaran nasional.
Setiap
terobosan yang dibahas dan dikategorikan dalam tiap anak tangga siklus tersebut
tentunya tidak tercipta sekonyong‑konyong sesuai dengan rentetan waktu. Kadang
suatu siklus sudah berputar dua kali, baru terpikir hal yang dapat dilakukan, kemudian
baru terlaksana pada tahun anggaran atau siklus ketiga. Ada yang memang sedari awal
.
pembentukan sudah langsung dipikirkan dan kemudian disempurnakan sejalan dengan
roda Perputaran siklus tersebut.
Komitmen internasional dalam proses pemulihan bencana terbesar awal abad 21 ini
tergolong luar biasa. Ini tak terlepas dari inovasi pemerintah Indonesia membentuk
suatu badan bernama BRR dengan pelbagai kebijakan dan sistem yang kemudian
dikembangkan pada masa tugasnya. Terobosan yang diuraikan dalam buku ini
adalah pilar sistem akuntabilitas pengelolaan program dan anggaran rehabilitasi dan
rekonstruksi. Transparansi terbukti mampu mendongkrak kepercayaan pelbagai negara
maupun lembaga donor, baik nasional maupun internasional.
Demi menjaga kepercayaan dan komitmen internasional tersebut, semua sistem
operasi setiap lini kerja di BRR didesain dengan prinsip membuang jauh kerumitan
sehingga mencapai kemudahan dalam penerapan. Sistem operasi kerja diusahakan
mudah dimengerti dan dilaksanakan bagi semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sistem yang mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan
oleh semua orang dapat memperkecil risiko terjadinya penyimpangan yang mungkin
terjadi. Sejalan dengan kepercayaan internasional, realisasi komitmen bantuan yang
direalisasikan ke Aceh‑Nias pun meningkat.
Dukungan lembaga internasional ini tentu saja merupakan akumulasi dari berbagai
kebijakan inovasi dan terobosan yang diuraikan dalam bagian‑bagian sebelumnya.
Bukti
nyata kepercayaan dunia internasional dalam kinerja BRR ini juga melahirkan pelbagai
skema pemberian hibah yang belum pernah ada di Indonesia. Selain itu, BRR berhasil
juga
melakukan lobi dan menjalin kerja sama yang melibatkan beberapa negara dalam
proyek
pembangunan sektoral kawasan. Semua terobosan itu menjadi anak‑anak tangga bagi
BRR dalam meraih kepercayaan internasional.
Apa pun terobosan baik dalam konsep, mediasi, maupun prosedur yang dilakukan
adalah dengan napas untuk menciptakan karakter lembaga pemerintah yang lebih
baik. Dalam artian, lebih cepat dan juga lebih baik secara kualitas demi terpenuhi tujuan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Sistem birokrasi pemerintahan yang lebih baik dengan
sendirinya akan memudahkan negara maupun lembaga donor melakukan kegiatan
pembangunan pascabencana di Aceh dan Nias sehingga meningkatkan nilai serapan
untuk pembangunan tersebut. Misinya adalah tidak memperumit prosedur namun tetap
dapat memantau perkembangan dan arah pembangunan secara makro.
Salah satu bukti pencapaian kumpulan terobosan yang telah dibahas dalam buku
ini serta tonggak akhir penanda kepercayaan dunia internasional dan keberhasilan
dari seluruh terobosan yang dibahas dalam buku ini adalah jumlah serapan dana yang
mencapai 93 persen dari janji sumbangan internasional. Terobosan‑terobosan yang
telah
diuraikan membuktikan bahwa kinerja suatu badan organisasi pemerintah dapat lebih
baik dan hal ini dapat diterapkan di mana pun. Tentu saja dengan prakondisi tertentu.
Contoh organisasi dengan sistem operasi fleksibel dan bergerak cepat akan sangat
berguna pada daerah mana pun yang rawan bencana, tertinggal, maupun terisolasi.
TEROBOSANI: Beribu Jalan Menuju Solusi
Sedangkan pilihan organisasi ad hoc akan lebih optimal diterapkan pada lembaga
dengan sistem yang rusak atau malfungsi karena suatu bencana atau kondisi yang di luar
batas kewajaran. BRR adalah gabungan dari kedua contoh tersebut.
Terobosan yang dilakukan pada akhirnya memang tidak hanya untuk mencapai
serapan pembangunan yang tinggi. Sebagaimana disebutkan di awal buku dan
ditegaskan kembali di sini bahwa inovasi terobosan adalah untuk menembus sekaligus
menata ulang birokrasi dan prosedur yang ada demi menciptakan karakter pemerintahan
yang didambakan. Pemerintahan yang baik adalah yang dapat melakukan pelayanan
publik dengan lebih cepat, dengan kualitas yang lebih baik, serta lebih tepat sasaran
dalam mencapai tujuan pelaksanaan proyek—dalam lingkup kecil—serta meningkatkan
hajat hidup masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Dengan demikian, terobosan yang dibahas di sini seyogyanya merupakan prosedur
inovatif yang dapat diterapkan di tempat lain—walau tentu saja dalam konteks
persoalan
dan wilayah yang berbeda tetap membutuhkan pengembangan dan penyesuaian. Aceh
dan Nias telah membuktikan bahwa terobosan kebijakan dapat diterapkan. Dengan
demikian, tidak menutup kemungkinan untuk pelaksanaan di lokasi rawan bencana,
rawan konflik, maupun daerah tertinggal atau terpencil tidak hanya di Indonesia namun
di belahan penjuru dunia lain dengan konteks kewilayahan atau persoalan serupa.
Buku 5.
Komitmen para donor dari berbagai belahan dunia untuk membantu
rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias hingga Desember 2008 mencapai US$
7,2
miliar. Dari jumlah tersebut, sebesar US$ 6,7 miliar (93 persen) telah direalisasi.
Kenyataan
ini merupakan bukti kepercayaan dunia internasional terhadap BRR NAD‑Nias selaku
lembaga yang memegang mandat Pemerintah RI untuk pembangunan kembali Aceh dan
Nias menjadi lebih baik selepas bencana alam.
Tingginya tingkat kepercayaan tersebut tak lepas dari peran fungsi pengendalian
dan pengawasan BRR. Sejak awal berdirinya, lembaga ad hoc ini telah mengambil
prinsip tegas tidak menolerir praktik‑praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dalam
melaksanakan rehabilitasi dan rekonstruksi NAD‑Nias.
Berbagai program komprehensif antikorupsi untuk mengikis korupsi dan menegakkan
integritas sekaligus menyiratkan keseriusan BRR melawan praktik‑praktik
menyimpang.
Meski tak luput dari ketidaksempurnaan, diharapkan hikmah ajar fungsi pengawasan
ini dapat menjadi catatan bermakna dari perjalanan sebuah lembaga pemerintah yang
berusia tak lebih dari empat tahun yang berkukuh mempertahankan integritasnya

Modal utama yang perlu dimiliki dalam melaksanakan fungsi pengawasan adalah
keberanian menentang arus di tengah masyarakat yang terbiasa dengan perilaku korup.
Salah satu contoh kasus keberanian BRR menentang arus adalah memasukkan sebuah
badan usaha milik negara (BUMN) ke dalam daftar hitam alias blacklist lantaran
BUMN itu
telah mensubkontrakkan proyek rekonstruksi yang diperolehnya.
Langkah berani BRR ini menjadi catatan prestasi tersendiri karena belum pernah ada
lembaga pemerintah yang mampu mendaftarhitamkan BUMN. Daftar hitam bagi pelaku
pengadaan barang/jasa yang diterapkan BRR ini menjadi hikmah ajar berharga bagi
semua pihak yang ingin turut serta dalam proses rehabilitasi‑rekonstruksi Aceh dan
Nias.
Lebih jauh, penguatan fungsi pengawasan di BRR diwujudkan lewat pembentukan
Satuan Anti Korupsi (SAK). Satuan itu menjadi kebanggaan bukan saja sebagai unit
antikorupsi pertama dan satu‑satunya yang ada di instansi pemerintah di negeri ini,
melainkan juga sebagai tumpuan harapan BRR dalam deteksi dini korupsi. Meskipun
masuk struktur organisasi BRR NAD‑Nias, SAK memiliki independensi dan
kewenangan
penuh untuk mengambil tindakan yang terkait dengan dugaan korupsi, termasuk
mengakses seluruh data di lingkungan BRR.
SAK mengembangkan suatu sistem atau mekanisme penanganan keluhan yang
terintegrasi dan komprehensif (integrated complaint handling mechanism) melalui unit
kepatuhan (compliance), yang mengharuskan semua pengaduan, baik dari internal
maupun dari masyarakat, ditindaklanjuti seluruhnya hingga tuntas.
Selain itu, BRR membentengi para karyawannya dengan Pakta Integritas dan
memberikan remunerasi tinggi, sehingga menjadi armada tangguh yang kokoh meski
diterpa angin KKN. Hanya berbekal tekad kuat dan niat tulus, Pakta Integritas dapat
ditegakkan. BRR tidak pandang bulu dalam melakukan pemecatan dan penonaktifan
beberapa personelnya yang jelas terbukti melanggar perjanjian sakral itu.
Pengawasan juga dikuatkan dengan memadukan tenaga‑tenaga auditor berlatar
belakang disiplin ilmu dan pengalaman bervariasi. Keanekaragaman tim auditor ini
terbukti
sangat efektif dalam mendeteksi sedini mungkin setiap permasalahan di lapangan,
mencari
jalan penyelesaian yang menunjang keberhasilan kegiatan setiap Satker, serta
memberikan
hasil pemeriksaan maksimal dari sisi keakuratan dan kualitas temuannya.
Dalam menjalankan tugasnya, para auditor BRR tidak menganggap diri mereka sebagai
pemeriksa dengan otoritas lebih tinggi, tetapi berprinsip menjadikan auditan (pihak
yang diaudit) sebagai mitra dengan kedudukan setara. Prinsip kemitraan ini dibangun
atas dasar pemahaman bahwa semua komponen dalam organisasi BRR NAD‑Nias
ingin
mewujudkan impian yang sama, yakni membangun kembali kehidupan masyarakat
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias menjadi lebih baik pascabencana.
Kenyataan ini membuat fungsi pengawasan di BRR bukan sekadar sebagai polisi atau
watchdog, melainkan menjadi mitra dan pakar yang memberikan nilai tambah, sehingga
kehadirannya sangat dinantikan sebagian besar Satker.

Biasanya sebuah lembaga melakukan audit setelah suatu kegiatan atau proyek selesai
dilaksanakan, sedangkan BRR sejak awal menetapkan strategi perlunya dilakukan audit
preventif agar kecurangan dan kebocoran dapat dicegah sebelum terjadi, sehingga
perbaikannya lebih mudah. Rekomendasi audit preventif mengarah pada tindak
pencegahan berupa pembatalan lelang, pemutusan kontrak, penghapusan duplikasi
paket kegiatan, serta penetapan daftar hitam rekanan.
Strategi audit preventif yang dilakukan BRR ini mendapat apresiasi pada pertemuan
ESCAP/ASEAN Regional High‑Level Expert Group Meeting on Post‑Nargis Recovery
and
Livelihood Opportunities di Bangkok pada 27‑28 Oktober 2008 serta apresiasi pada
beberapa kuliah publik yang dihadiri berbagai perwakilan dari departemen/lembaga
pemerintah. Bahkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) secara
khusus mengapresiasi penerapan audit tersebut.
Mengingat ada sekitar 12.500 proyek rekonstruksi yang dilakukan dalam setahun,
harus diakui tidak semua proyek dapat diaudit. Untuk itu, BRR membuat perencanaan
audit berbasis risiko. Berdasarkan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT),
disusunlah rencana audit dengan prioritas utama pada pekerjaan yang berisiko tinggi
Bagian 4. Mendulang Hikmah Pengawasan
67
terjadi kecurangan atau kebocoran. Pertimbangan utama dalam perencanaan audit
berbasis risiko ini antara lain besarnya anggaran, kerumitan pekerjaan, serta lemahnya
pengawasan, terutama karena lokasi pekerjaan yang jauh dan luas atau tersebar.
Namun amanat audit terhadap semua Satker tetap harus dilaksanakan, sesuai dengan
Rencana Induk BRR NAD‑Nias buku ke‑10 tentang Penerapan Prinsip‑Prinsip Tata
Kelola
yang Baik dan Pengawasan. Untuk itu, BRR menggandeng BPKP sebagai lembaga
profesional yang mempunyai kompetensi andal dalam bentuk bantuan teknis
pengawasan
(bantekwas), khususnya bantuan pelaksanaan audit operasional dan audit investigasi.
Ternyata bantekwas dari BPKP beserta pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sangat membantu pencapaian audit Satker BRR 100 persen serta pelimpahan
cepat
kasus‑kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi untuk dilakukannya audit
investigatif.
Sayangnya, beberapa kasus berindikasi tindak pidana korupsi yang telah dilimpahkan ke
aparat penegak hukum bergerak agak lambat ke proses pengadilan, sehingga kepastian
hukumnya belum bisa diketahui hingga buku ini ditulis. Kelambatan proses pengadilan
ini
besar kemungkinan tidak akan terjadi jika BRR NAD‑Nias telah jauh‑jauh hari
menandatangani
nota kesepahaman kerja sama secara tertulis (MOU) dengan aparat penegak hukum.
Dalam menjalankan rehabilitasi dan rekonstruksi, proses pengadaan barang/jasa
merupakan bagian penting. Proses ini dibangun melalui sistem yang telah ditetapkan
sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Fungsi pengawasan dalam
proses pengadaan barang/jasa adalah mengawal proses pengadaan barang/jasa dan
memastikan proses tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Penyimpangan terhadap pelaksanaan Keppres itu bisa terjadi apabila ada benturan
kepentingan dari para pelaku rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itu, perlu diperhatikan
bahwa proses pengadaan barang dan jasa tidak hanya secara formal memenuhi
peraturan, tetapi juga memastikan tidak terdapat benturan kepentingan yang dapat
memengaruhi pengambilan keputusan panitia lelang.
Setelah mengatur gerak langkah para karyawan dan auditor BRR serta menetapkan
sejumlah aturan main bagi para pelaku rehabilitasi‑rekonstruksi, fungsi pengawasan
perlu
dibarengi upaya berkesinambungan dalam mendidik masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran dalam menolak praktik‑praktik korupsi dan membangun integritas sebagai
bangsa yang bermartabat.
Masyarakat dapat diajak bekerja sama, menjadi mata dan telinga, untuk menyampaikan
kasus‑kasus yang ditengarai berbau KKN. Masyarakat bukan semata penerima bantuan
pasif, melainkan subyek pembangunan yang melalui peran aktifnya dapat membuat tata
kelola pemerintahan menjadi lebih baik.

You might also like