You are on page 1of 10

A.

Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara sistematis,
baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat
dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai
persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam
Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual
Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki oleh agama-agama
lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang
didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Hukum Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa hukum
Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah
satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan
diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal
yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang
kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan
diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah perbuatan yang menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. Pengertian Sadd Az-Zari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “Menutup” dan kata az-zari’ah berarti
“wahsilah” atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian sadd az-zari’ah secara
bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan.

1
Imam al-satibi mendefenisikan dzari’ah dengan “melakukan suatu pekerjaan
yang semula mengandung suatu kemaslahatan untuk menuju kesuatu
kemasadatan.1
Maksudnya adalah seseorang melakukan suatu pekerjaan yang pada
dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatantetapi tujuan yang
akan dia capai berahir pada suatu kemafsadatan.
Menurut istilah ushul fiqih seperti dikemukakan oleh abdul karim zaidan
Sadd Az-Zari’ah berarti:

‫انه من باب منع الوسا ئل المؤديةإلى الفا سد‬


Artinya: menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.2
C. Dasar Hukum Sadd Az-Zari’ah
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini terdapat dalam Al-Qur’an dan hadist nabi
diantaranya:
1. Q.S. Al-An’am ayat 108
  
   
  
   
  
   
 
  

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

1
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.161
2
Satria efendi, Ushul Fiqih, (jakarta: kencana, 2005), hlm 172

2
Pada dasarnya menghina dan mencaci penyembah selain Allah itu boleh
saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci
dan menghina itu menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah,
maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu boleh-boleh saja bagi perempuan,
namun karena menyebabkan perhiasan yang tersembunyi dapat diketahui orang
sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka
menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.
2. Q.S al-Baqarah: 104
Dasar hukum saad al-dzari’ah ini juga terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
204 yang artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(kepada Muhammad) ‘raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘unzurna’, dan dengarlah.”
(Q,S. al-Baqarah:104).
Adanya larangan tersebut dikarenakan ucapan “ra’ina” oleh orang-orang
Yahudi dimanfaatkan untuk mencaci nabi. Oleh karena itu, kaum muslimin
dilarang mengucapkan kalimat itu untuk menghindarkan timbulnya dzari’ah.
3. Sabda Nabi Muhammad SAW tentang larangan menimbun harta

‫ال تحتكر اال خاطئ‬


Artinya: “tidak berbuat orang yang menimbun harta kecuali orang yang
berbuat salah”.

Sebab penimbunan harta merupakan dzari’ah (perantara) yang


menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian dalam masyarakat.3
D. Kedudukan Saddu Dzari’ah
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode dalam
menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa

3
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), hlm. 399

3
diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)
yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.
a. Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama
di kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam
berbagai pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan
lebih luas.
b. Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata
lain, kelompok ini menolak sadd al-dzarỉ‘ah sebagai metode istinbath pada
kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain.
c. Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual(zhâhir al-
lafzh). Sementara sadd al-dzarỉ‘ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu
perbuatan yang masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai
tingkatan dugaan yang kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-
dzarỉ‘ah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada
nashsecara langsung.
Masalah ini menjadi perhatian para ulama’ karena banyaknya ayat-
ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya:
Surat Al-An’am ayat 108 yang artinya: Janganlah kamu caci orang yang
menyembah selain Allah, karena nanti ia akan memushi tanpa pengetahuan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh
saja, bahkan jika perlu boleh memeranginya, namun karena perbuatan mencaci dan
menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah,
maka perbuatan mencaci dan menghinanya menjadi dilarang.

4
Surat al-Nur ayat 31 yang artinya: Janganlah perempuan itu
menghentakkan kakinya supaya diketahui orang perhiasan yang tersembunyi
didalamnya.
Sebenarnya menghentakkan kaki itu bagi perempuan boleh saja, tapi kaena
menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi doketahui orang sehingga
menimbulkan angsangan bagi yang mendengarnya, maka menghentakkan kaki
bagi perempuan itu menjadi terlarang.4
Dari dua contoh ayat diatas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang
dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun pada dasarnya perbuatan itu
boleh hukumnya.
Dari ayat yang sudah dibahas diatas juga dapat diketahui bahwa Saddus
Zari,ah mempunyai dasar dari al-Qur,an, sedangkan dasar-dasar saddus zari’ah
dari sunnah adalah:
a. Nabi melarang membunuh orang munafik, karena membunuh orang munafik
bisa menyebabkan nabi dituduh membunuh sahabatnya.
b. Nabi melarang kreditor untuk menerima hadiah dari debitor karena cara
demikian bisa mengarah kepada riba, atau untuk ikhtiyat.
c. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesai perang, karena dikhawatikan tentara-tentara lari
bergabung bersama musuh.
d. Nabi melarang melakukan penimbunan karena penimbunan bisa
mengakibatkan kesulitan manusia.5
e. Nabi melarang fakir miskin dari bani hasyim menerima bagian dari zakat agar
tidak menimbulkan fitnah bahwa nabi memperkaya diri dan keluarganya dari
zakat
E. Kehujjahan Sadd Az-Zari’ah

4
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), hlm.440
5
Romli., Ushul Fikh, (Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006), hlm.161

5
Meskipun hampir semua dan penulis ushul fiqih menyinggung tentang sadd
az-zari’ah namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus
secara tersendiri, ada yang menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil
syara’ yang tidak disepakati oleh ulama. Ditempatkannya al-dzari’ah sebagai salah
satu dalil dalam menempatkan hukum meskipun diperselisihkan penggunaannya
mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai
hukum suatu perbuatan , namun karena perbuatan itu ditetapkan sebagai washilah
bagi suatu perbuatan yang dilarang secara jelas maka hal ini menjadi petunjuk atau
dalil bahwa hukum washilah itu adalah sebagaimana hukum yang ditetapkan
syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama karena
banyak ayat-ayat alquran mengisaratkan kearah itu. Umpamanya:
a) Qs. Al-an’am 6: 108
  
   
  
   
  
   
 
  

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Sebenarnya mencaci dan menghina penyembah selain Allah itu boleh-boleh
saja bahkan jika perlu boleh memeranginya. Namun karena perbuatan mencaci dan
menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah
maka perbuatan mencaci dan menghina itu menjadi dilarang.
b) QS. Al-Baqarah:104

6
 
  
 
  
 
 
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan
(Muhammad): "Raa'ina", tetapi katakanlah: "Unzhurna", dan "dengarlah". Dan
bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. Al-Baqarah:104)
Orang-orang Yahudi menggunakan lafal ‫ َرا ِعنَا‬untuk mencela atau
mengumpat Rasulullah Saw.. Kemudian Allah melarang orang-orang mukmin
untuk mengucapkan lafal ini agar dapat terhindar dari ungkapan yang kiranya
dapat mencela RasulullahSaw.. Larangan menggunakan sarana tersebut adalah
sadd al-dzarî`ah
c) Qs. Annur 24: 31
  
   
   
  
 
 
Artinya: Dan janganlah mereka (perempuan itu) memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Sebenarnya menghentakkan kaki boleh-boleh saja bagi perempuan namun
karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang
sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar maka
menghentakkan kaki itu menjadi terlarang.

7
Dari dua contoh di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat
menyebabkan sesuatu yang terlarang meskipun semula pada dasarnya perbuatan
itu boleh hukumnya.6
F. Macam-macam Tingkatan Sadd Az-Zari’ah
Ada 2 macam pembagian dzariah
1. Dzariah dilihat dari segi kualitas kemasadat annya
Imam asy-syatibi menyatakan bahwa dilihat dari segi kualitasnya dibagi
kepada 4 macam
a. Perbuatan yang dilakukan itu membawa itu membawa kepada kemassadatan
secara pasti
b. Perbuatan yang dilakukan itu boleh dilakukan karena jarang membawa
kemasadatan
c. Perbuatan yang dilakukan itu biasanya atau besar kemungkinan membawa
kemasadatan
d. Perbuatan itu pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung
kemaslahatan taetapi kemungkinan juga perbuatan itu membawa kemasadatan
2. Dzariah dilihat dari segi kemasadat nannya yang ditimbulkannya
Menurut ibnu qayyimaljauziyah dzariah dari segi ini terbagi kepada
a. Perbuatan itu membawa kepada ke suatu kemasadatan seperti meminum
minuman keras yang mengakibatkan mabuk dan mabuk itu kesuatu
kemasadatan
b. Perbuatan itu pada dasarnya perbuatan yang di bolehkan atau dianjurkan tetapi
jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram bai dengan tujuan yang
disengaja atau tidak.7
G. Aplikasi Sadd Az-Zari’ah di Zaman Kotenporer

6
Amir Saripudin, Ushul Fiqih 2, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 425-427
7
Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah), hlm. 295

8
Banyak sekali kasus sehari-hari yang sebenarnya merupakan salah satu
contoh kasus Saddul Adz Dzari’ah. Hanya saja karena istilahnya yang kurang
populer sehingga masyarakat kurang memperhatikannya.
Contoh Dalam Kehidupan Sehari-Hari
1) Perbuatan yang akibatnya pasti menimbulkan kerusakan atau bahaya. Maka
hukumnya dilarang secara kesepakatan ulama’.
Contoh: menggali lubang dibelakang pintu rumah atau dijalan umum.
2) Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya, atau pada
kebiasaannya berakibat kerusakan. Hukumnya haram.
Contoh: menjual senjata dimasa perang atau banyak fitnah, menjual anggur
untuk membuat khamr.
3) Perbuatan yang kebanyakan mengarah pada kerusakan tetapi tidak sampai
pada tingkat tinggi. Ulama’ berbeda dalam menghukuminya, apakah
ditarjihkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan Imam Ahmad
menetapkan keharamannya.
Contoh: menjual sesuatu yang didalamnya ada barang riba.
4) Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya. Maka dalam hal ini
hukumnya diperbolehkan.
Contoh: melihat lain jenis disaat melamar.8
H. Kesimpulan
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum
dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-
rambu syara’, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan
untuk menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat.
Apalagi jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan
kesalehan sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan
kelompok dan pribadinya.

8
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm.59-60.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amir Saripudin, Ushul Fiqih 2, Jakarta: Kencana, 2009.

M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011.

Nasrun Haroen, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Romli., Ushul Fikh, Palembang: IAIN Raden Fatah Press, 2006.

Satria efendi, Ushul Fiqih, Jakarta: kencana, 2005.

Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Jakarta: Sinar Grafika, 1995.

Totok Jumantoro, Kamus Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah.

10

You might also like