You are on page 1of 21

Menurut Schiffman & Kamuk,1[1] perilaku agresif dapat diekspresikan dalam tiga

kelompok. Pertama, agresi fisik yaitu aktivitas yang dilakukan secara sengaja dan bertujuan

merugikan dan atau merusak fisik seseorang, binatang atau objek-objek lain; seperti:

menendang, meninju, menembak, melempar, merusak jendela, membanting pintu, dan

lainnya. Kedua, agresi verbal yaitu penggunaan kata-kata untuk merugikan atau menyakiti

orang lain, baik yang dilakukan dengan perkataan maupun tulisan. Contoh dari bentuk agresi

ini adalah: ancaman, ejekan, sumpah serapah, dan bentuk lainnya. Ketiga, agresi relasional

yaitu perilaku untuk merusak/menyakiti orang lain dengan tujuan merusak hubungan sosial,

persahabatan, atau pun bentuk hubungan lainnya. Contoh-contoh yang bisa ditunjukkan

adalah menyebar gosip dan mengasingkan seseorang.

Jika ekspresi perilaku agresif yang pertama dan kedua (agresi fisik dan agresi verbal)

lebih banyak ditemukan pada remaja laki-laki, maka agresi yang ketiga (agresi relasional)

lebih banyak ditemukan di antara remaja putri. Agresi relasional cenderung bersifat tidak

langsung serta relatif lebih kejam. Hal ini disebabkan oleh kesamaan jenis kelamin dan

hubungan interpersonal yang didasarkan pada pertemanan dan nilai persahabatan.2[2]

Shchiffman & Kamuk,3[3] selanjutnya membagi ketiga kelompok agresi ini dalam

bentuk :

a. Gertakan (bullying)

Bullying adalah perilaku agresif atau manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik,

verbal, atau psikologis; dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang

yang merasa kuat/berkuasa dengan tujuan menyakiti atau merugikan seseorang atau

1[1] L.G. Schiffman & Kamuk, L.L., Behavior 7th Edition, (New Jersey: Prentice Hall.Inc, 2000), hlm.3.
2[2]Ibid.
3[3]Ibid., hlm.3-7.
sekelompok orang yang merasa tidak berdaya.4[4] Elemen-elemen utama yang menjadi ciri

bullying adalah ketidakseimbangan power, di mana pelaku merasa memersepsikan dirinya

memiliki power lebih dibandingkan korbannya, yang memersepsikan dirinya tidak berdaya

untuk melawan. Bullying biasanya terencana, tetapi terselubung dan dipersepsikan korban

akan berulang.5[5]

Gertakan (bullying) adalah bentuk agresi yang sering terjadi pada anak-anak maupun

remaja terutama di sekolah. Gertakan (bullying) dapat berupa agresi fisik atau emosional,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang membedakan dengan perilaku agresi

lainnya adalah dilakukan secara berulang-ulang terhadap korban yang dipandang memiliki

kelemahan fisik maupun psikologis. Biasa juga dikategorikan sebagai agresi “PIC” yaitu

Purposful (memiliki tujuan tertentu), Imbalance in power (tidak seimbang dalam kekuatan),

dan Continual (terus menerus).

Bullying bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Jika menggunakan pendekatan

General Aggressive Model dari Anderson dan Carnagey,6[6] maka bullying dapat disebabkan

faktor-faktor yang dibawa oleh pribadi pelaku maupun korban (misalnya, norma yang

berlaku dan kesesakan). Oleh karena itu, dalam mengatasi masalah bullying ini,

penyelesaiannya tidak bisa hanya dengan menghukum pelaku. Sering kali terjadi pelaku

hanya merupakan korban yang melampiaskan rasa frustrasinya pada pihak yang lebih lemah.

Selain harus melibatkan pelaku dan korban, intervensi bullying yang efektif harus melibatkan

semua unsur lain di sekolah (pimpinan sekolah, guru, siswa yang menjadi penonton maupun

karyawan/pedagang yang ada di lingkungan sekolah).7[7]

4[4] Sarlito W. Sarwono, dkk, “Psikologi Sosial Terapan”, dalam Psikologi Sosial, hlm.277.
5[5] Ibid.
6[6] Ibid, hlm.278
7[7] Ibid, hlm.279.
Gertakan (bullying) memiliki karakteristik sangat unik yaitu dilakukan untuk hanya

sekadar kesenangan sampai untuk mendapatkan pengakuan kekuatan oleh kelompok

sebayanya atau hanya ingin menghukum saja. Gertakan (bullying) dapat juga terjadi dalam

bentuk agresi fisik, agresi verbal maupun kombinasi dari keduanya. Selain itu juga dapat

terjadi dalam bentuk agresi relasional.

Perilaku gertakan (bullying) juga dapat dibagi menjadi empat macam; pertama

godaan (teasing) atau juga biasa disebut dengan kekerasan verbal. Kedua, eksklusi atau

relational bullying, terjadi dengan memanipulasi kehidupan sosial dengan menggunakan

struktur sosial untuk menyerang korban. Tujuan dari perilaku agresif bentuk ini adalah untuk

menciptakan identitas kelompok yang mempunyai kekuatan mengontrol lingkungannya.

Ketiga adalah gertakan fisik yaitu menyerang sesorang yang dianggap lemah, baik secara

langsung seperti meninju atau menendang maupun secara tidak langsung seperti

menyembunyikan barang milik korban. Keempat, gangguan (harassment), yang biasanya

dilakukan secara berulang-ulang kepada korban baik melalui perkataan maupun serangan

yang berkaitan dengan gender, seks, ras, agama maupun kebangsaan.

Gertakan (bullying) merupakan bentuk perilaku agresif yang banyak terjadi di

sekolah, baik di sekolah sendiri mau pun luar sekolah. Dalam berbagai bentuk sekolah, baik

swasta maupun negeri, berbasis agama mau pun tidak berbasis agama, konservatif maupun

progresif, umum maupun privat. Di dalam sekolah, gertakan (bullying) terjadi di dalam ruang

kelas, di taman, kantin, toilet, fasilitas olahraga maupun ruang ganti sekolah. Di luar sekolah

dapat terjadi ketika dalam perjalanan ke dan dari sekolah, pusat perbelanjaan maupun di

asrama.

b. Agresi reaktif (reactive aggression)


Agresi reaktif adalah kemarahan yang timbul sebagai respon balasan atas

provokasi.8[8] Merupakan perilaku “darah panas” yang dimotivasi oleh rasa marah dan

frustrasi. Bentuk agresi ini biasanya adalah ekspresi kemarahan, sifat temperamental, dan

sifat pendendam. Akar teori bentuk agresi ini adalah frustration-aggression model.

c. Agresi proaktif (proactive aggression)

Agresi proaktif adalah kebalikan dari agresi reaktif. Bentuk perilaku “darah dingin”

sebagai respon terencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan tidak dimotivasi oleh rasa

marah. Bentuk agresi ini antara lain adalah dominasi, menggoda (teasing), dan pemaksaan.

Akar teori dari bentuk agresi ini adalah social learning theory dari Albert Bandura, yaitu

perilaku agresif disebabkan oleh lingkungan yang agresif.

Selanjutnya, Goldstein berpendapat bahwa agresif di tingkat kelompok dapat terjadi

dalam tiga bentuk, yaitu :9[9]

a. Agresi tingkat rendah (Low-Level Aggression)

Agresi tingkat rendah didefinisikan sebagai perilaku melukai baik fisik maupun

psikologis yang sedikit atau rata-rata membahayakan orang lain. Hal ini bisa dilihat baik dari

pelaku, korban, maupun pihak ketiga. Jika dilihat dari sisi kronologis terjadinya peristiwa

agresif kelompok pada agresif tingkat rendah tidak terlalu berbahaya (dari sisi korban), tidak

intens (dari sisi pelaku). Bentuk-bentuk agresif tingkat rendah antara lain adalah :

1) Pengasingan (ostracism), yang dibedakan menjadi pengasingan secara fisik seperti

pengusiran, isolasi sosial seperti pengabaian, pengasingan defensif seperti memproteksi diri,

dan pengasingan dengan melupakan.

8[8]Ibid, hlm.5.
9[9]Ibid, Satjipto Rahardjo, hlm.39-115.
2) Gosip, yakni desas desus, laporan, informasi rahasia dari teman dekat. Secara definisi

sebenarnya gosip memiliki makna yang positif tetapi praktik perilaku ini akan menimbulkan

masalah baik berupa kemarahan, dengki bagi pihak yang digosipkan. Apalagi jika melibatkan

banyak pihak. Dalam percakapan sehari-hari, gosip diidentikkan dengan haditsul ifki (berita

bohong).10[10]

3) Perploncoan (hazing), yaitu kebiasaan dalam masa perkenalan organisasi berbentuk agresi

verbal dan fisik yang dilakukan terhadap calon atau anggota baru.

4) Godaan (teasing), biasanya dilakukan oleh remaja maupun anak-anak terhadap teman sebaya

dengan maksud bercanda atau bermain. Godaan dibedakan berdasarkan kualitasnya dalam

tiga hal, agresi, humor, dan ambiguitas tentang sesuatu yang serius.

5) Penyiksaan (baiting), meskipun perilaku penyiksaan ini masuk dalam kategori agresi level

rendah tetapi memiliki dampak serius terhadap korban.

6) Mengutuk (cursing), merupakan bentuk agresi tingkat rendah paling awal dilakukan oleh

manusia, berupa kata-kata yang menyakitkan. Intensitasnya meningkat dari sejak anak-anak

menuju masa remaja.

b. Gertakan (bullying) dan gangguan seksual (sexual harassment)

Gertakan adalah perilaku untuk melukai/menyakiti baik verbal maupun fisik dengan

yang dilakukan berulang-ulang (repeted) dan karena diprovokasi. Perilaku agresif yang

dilakukan secara sengaja dan intens biasanya tidak berdampak buruk terhadap korban.

Apalagi biasanya bentuk agresi ini dilakukan kepada korban yang berjumlah lebih dari satu.

Tidak heran jika kemudian agresi bentuk ini tidak terlalu mendapat perhatian dari pemerintah

atau lembaga terkait. Di tingkat kelompok, gertakan menandakan dominasi sosial.

10[10] Yunahar Ilyas, Cakrawala al-Qur’an, Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan, hlm.273.
Korban dari perilaku gertakan ini dibedakan menjadi tiga tipe. Pertama, korban yang

akan melakukan hal yang sama terhadap pelaku (re-agresi). Kedua, korban yang merasa tak

berdaya terhadap apa yang terjadi pada dirinya, biasanya diekspresikan dengan menangis.

Ketiga, cuek/tidak ambil pusing, karena sudah biasa dialami dan umum terjadi.

Bentuk agresi lainnya adalah gangguan seksual (sexual harassment). Agresi bentuk

ini biasanya diidentikkan dengan perilaku gertakan lebih lanjut. Bentuk pelecehan yang

masih relatif baru menurut Shariff,11[11] adalah pelecehan di internet, yang dia katakan

sebagai gudang persenjataan baru bagi kekerasan di sekolah-sekolah. Pelecehan di internet

adalah sebuah bentuk pelecehan psikologis secara diam-diam yang diungkapkan melalui

media elektronik, seperti ponsel, weblog, situs web (laman) atau chatting room (ruang

mengobrol) di internet.

Perkembangan yang mengganggu ini menurut Sharrif,12[12] sangat membahayakan

karena pelecehan dapat dengan anonim, dengan cara bersembunyi di belakang nama-nama

layar dan dengan cepat dapat meraih cukup banyak teman sebaya. Apalagi para korban dari

pelecehan di internet ini dapat dicapai di rumah dan jam berapa pun di siang dan malam hari.

Pelecehan anak perempuan melalui kata-kata ataupun e-mail, menurut survey Noret dan

Rivers,13[13] juga tengah meningkat, hingga seperlima dari mereka yang telah disurvey

menyatakan bahwa mereka telah dikirimi pesan-pesan jahil selama tahun sebelumnya.

Selanjutnya Helen Cowie & Dawn Jennifer,14[14] menjelaskan pelecehan di internet

mencakup bentuk-bentuk sebagai berikut :

11[11] Shariff, S., “Cyber-dilemmas in the new millennium:balancing free expression and student safety in cyber-space,”
special issue:Schools and Courts:Competing Right in the New Millenium, McGill Journal of Education, 40 (3), 2005, hlm.467-
487.
12[12]Ibid.
13[13]Ibid.
14[14]Ibid, hlm.2.
1) Pesan kata-kata/pelecehan telepon; seseorang mengirimkan atau menelepon pesan-pesan

yang menakut-nakuti atau melecehkan ke ponsel seseorang.

2) Tamparan yang menyenangkan; perorangan atau kelompok membuat klip film dari seseorang

berisi situasi yang merendahkan, seperti dipukuli dan kemudian diedarkan kepada

sekelompok teman sebaya semata untuk mempermalukan atau melukai perasaan orang itu.

3) Pelecehan di e-mail; pesan-pesan melecehkan dituliskan tentang atau kepada seseorang di

chatroom di situs web atau multi user doiamin (MUP dengan nama samaran).

4) Blogging; pesan-pesan jahil tentang seseorang muncul di situs-situs.

Sharrif selanjutnya menunjukkan bahwa walaupun pelecehan di e-mail dimulai tanpa

nama di ruang nyata, ia memiliki pengaruh negatif yang sangat besar terhadap pembelajaran

serta hubungan antar pribadi dalam dunia fisik sekolah, dan berbahaya bagi para korbannya,

para pelaku kejahatan dan para penontonnya. Semakin lama ia bertahan, maka semakin

banyak penonton yang bergabung, menciptakan atmosfir yang sangat tidak menyenangkan di

sekolah. Takut akan para pelaku pelecehan tak dikenal di internet ini dapat sepenuhnya

membahayakan bagi para korban.15[15]

c. Genk

Istilah ini biasanya digunakan untuk merujuk kepada kelompok-kelompok kecil yang

terikat dalam loyalitas dan wilayah, serta secara hierarkis terstruktur sekitar pemimpin

genk.16[16] Genk adalah kelompok yang memiliki ciri-ciri seperti memiliki anggota, struktur

organisasi, pemimpin, wilayah kekuasan, tujuan khusus, dan identik dengan perilaku negatif

atau illegal. Istilah “genk” berasal dari vocabulary Inggris “gang”, yang berarti kelompok

15[15] Ibid.
16[16] Nicholas Abercrombie, Hill, S, & Turner, B.S., The Penguin Dictionary of Sociology, terjemah Desi Noviyani, dkk,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.227.
atau gerombolan.17[17] Kependekan dari gangster yang terjemahannya adalah bandit atau

penjahat.

Itulah makanya di Amerika Serikat (USA), genk diasosiasikan dengan kekerasan dan

obat-obatan terlarang. Sedangkan penulisan “genk” sebagai kata serapannya dalam bahasa

Indonesia, jelas menyesuaikan pada fonetik asalnya. Paling tidak, agar berbeda dengan

“gang” yang berarti celah atau lorong berkaitan dengan letak geografis suatu tempat.18[18]

Mengenai genk remaja ini, kebanyakan remaja ingin masuk ke dalam genk atau

kelompok yang populer, di mana antara remaja putra dan remaja putri memiliki sudut

kepopuleran yang berbeda. Bagi remaja laki-laki, tubuh kekar, olahragawan, dan humoris

merupakan ciri anak populer. Bagi para gadis, yang diperhatikan adalah penampilan, gaya,

keramahan, dan rasa percaya diri.19[19]

Di dunia yang mengerikan ini, di mana perubahan terjadi begitu cepat sehingga

segala sesuatunya terasa tidak aman, para remaja merasa perlu pegangan sosial dan

emosional. Adalah Susan Kurugawa, seorang peneliti remaja dari Jepang, mencoba

menguraikan kelompok-kelompok yang diciptakan oleh remaja sebagai identifikasi dan

dukungan sebagai berikut:20[20]

1) Ravers

Kelompok ini mudah dikenal dengan dentuman musik konstan yang dibangkitkan

melalui tekno-komputer yang terdengar dari musik di kamar mereka atau dari headphone dan

17[17] Sidik Jatmika, Genk Remaja, Anak Haram Sejarah ataukah Korban Globalisasi?, hlm.5.
18[18]Ibid.
19[19] John Irvine, A Handbook For Happy Families, A Practical and Fun-Filled Guide To Managing Children,s Behavior,hlm.209.
20[20]Ibid, hlm.209-211.
mobil mereka. Tantangan yang selalu ingin dicoba oleh kelompok ini adalah dapat menari

dengan iringan musik itu.

2) Gothic

Prinsipnya hitam itu indah—pakaian hitam, rambut dicat hitam, sepatu Doc Marten

hitam, lipstik hitam, eyeliner hitam, dan kuteks hitam. Kelompok ini pandai, mendalam dan

tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan vampire dan kematian. Mereka berdansa

perlahan-lahan—salah satunya karena aksesories yang terlalu banyak melekat di tubuh

mereka. Mereka seperti penghuni kuburan meski sebetulnya mereka bersekolah di sekolah-

sekolah mahal.

3) Punk

Kelompok ini dikenal dengan penampilan mereka warna-warni—hijau, kuning, biru,

pink, atau ungu, dengan rambut model spike atau terurai. Tindik juga menjadi ciri kelompok

ini—tindik telinga, hidung, alis, lidah, dan bibir, kadang dikaitkan dengan rantai.

4) Surfer

Sesuai namanya, dengan rambut di-bleach dan dibiarkan terurai, tujuan hidup mereka

adalah mendatangi pantai-pantai dan bersenang-senang. Surfer sejati benar-benar bermain

surfing.

5) Skater

Kelompok ini suka mengganggu orang-orang yang lewat. Biasanya berpakaian santai

tetapi khas—celana kargo—atau jins, kaos gombrong, sepatu tinggi, satu telinga ditindik, dan

biasanya rambut model spike.

6) Hippies
Kumpulan orang-orang yang nongkrong ini tidak banyak memperhatikan pakaian,

sehingga uang bisa digunakan untuk menjalankan kebiasaan mereka. Baunya membuat orang

yang berpapasan pusing, bukan hanya bau badan tetapi juga bau-bau yang lain, bisa jadi bau

ganja atau lainnya. Jenis ini bisa membuat orangtuanya menjadi gila.

7) Jock

Ini merupakan kelompok/genk yang suka memakai berbagai krem, aroma, dan pakain

sport ketat, celana pendek bermerek, dan sepatu terbuka. Laki-laki kelompok ini biasanya

perlu banyak uang untuk mengikuti mode, sementara yang perempuan tidak demikian.

8) Homie

Kelompok ini ditandai dengan pakaian gombrong, topi bisbol, dan suka sekali

berkumpul di mall, stasiun kereta api, dan telepon umum. Meski tidak mampu, kelompok

homie berusaha memiliki handphone dan pura-pura menelepon.

9) Nerd (Kutu Buku)

Ini merupakan kelompok yang paling tidak perlu banyak uang. Mereka ada di

perpustakaan atau gedung olahraga. Mereka menyelesaikan pendidikan dan menjadi

profesional. Bagian dari kelompok ini adalah kutu buku komputer, yang lebih banyak

menghabiskan waktu untuk berhadapan dengan komputer daripada dengan manusia.

d. Gerombolan (mob)

Perkembangan intensitas emosi pada sebuah kelompok dapat berubah menjadi

gerombolan. Gerombolan adalah tindakan yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang

banyak di bawah pengaruh emosi yang kuat dan dengan mudah dapat berubah menjadi
tindakan kekerasan dan ilegal. Biasanya dari gerombolan inilah kemudian muncul tokoh

sebagai penjamin institusi, yaitu jagoan.21[21] Para pakar kesusastraan dan sinema

tampaknya mengenal mereka lebih baik daripada sosiolog atau psikolog kontemporer,

melalui berbagai kisah persilatan yang menokohkan jagoan sebagai pelindung tuan tanah

pada zaman dahulu.22[22] Istilah lain yang dekat dengan mitologi pembelaan kepentingan

umum terhadap penindas adalah bandit.23[23]

e. Vandalisme

Vandalisme berasal dari kata vandal atau vandalus, yang mengacu pada nama suatu

suku pada masa Jerman Purba yang menempati wilayah sebelah selatan Baltik antara Vistula

dan Oder. Di abad keempat dan kelima Masehi suku Vandal ini mengembangkan wilayahnya

sampai menjangkau Spanyol dan Afrika Selatan. Pada tahun 455 Masehi suku Vandal

memasuki kota Roma dan menghancurkan karya seni dan sastra Romawi yang terdapat pada

waktu itu. Dari perilaku suku Vandal tersebut, vandal kemudian diberi makna seseorang yang

dengan sengaja menghancurkan atau merusak sesuatu yang indah-indah. Tidak jelas apa

motifnya merusak karya yang indah tersebut, sangat mungkin merupakan keirihatian terdapat

prestasi yang dihasilkan oleh pihak lain

Menurut kamus Webster vandalism diberi makna willful or malicious destruction or

defacement of thing of beauty or of public or private property. Vandalisme adalah perusakan

21[21] Jerome Tadie, Les territories de la violence a Jakarta, terjemah oleh Rahayu S. Hidayat, (Depok: Masup Jakarta, 2009),
hlm.211.
22[22]Ibid.
23[23] Ibid., hlm. 229, mencatat ada sekitar empat puluhan istilah untuk menunjukkan jagoan di suatu daearah pada masa
tertentu; yaitu maling aguna, maling sunthi, bandit, begal, crossboy, durjana, garong, gedhor, gali, grayak, residivis. Selain itu,
ada istilah daerah yang lain : brandhal, berandalan, durjana, lun, kampak, kecu, maling krowodan, maling tengah, maling
ketut, rampok, koyok, benggol (di Yogyakarata dan Surakarta), badjingan (di Pekalongan), bangkrengan, gentho (Tegal),
bengseng (Banyumas), lenggaong (Pemalang), letjet (lintah) (Rembang), weri (Semarang dan Madiun), bromocorah, koyok
(kelompok kecil garong), rampok kesitan (rampok kilat) (di Pasuruan dan Probolinggo), moetawir (kesal) (Kedu dan Madura),
warok (Ponorogo). Boeaja, centeng, garong, perusuh, rampok (Batavia/Jakarta), doreng, jegger (Bandung), kenong-kenong
(sekitar Bandung), jawara (Banten), semoet gatel, djoeara, djahat (Bogor), koenang-koenang (Cirebon), doersilo (Karawang,
Desuki, Madura), parewa (Sumatra Barat).
atau menjadikan jelek dengan sengaja terhadap benda-benda yang indah serta benda-benda

yang menjadi fasilitas umum atau milik pribadi. Ternyata perilaku vandalis ini tidak hanya

menjadi monopoli suku Vandal, tetapi juga dapat ditemui di belahan bumi yang lain. Sebagai

contoh karya agung bangsa Indonesia seperti peninggalan Sriwijaya, Majapahit, Mataram

Lama dan Siliwangi sangat sukar ditemukan kembali situsnya, karena peninggalan-

peninggalannya telah rusak atau hilang dari muka bumi. Sampai sekarang masih menjadi

teka-teki hilang dan hancurnya peninggalan kerajaan tersebut akibat dari bencana alam atau

karena sifat vandalis rakyat yang hidup setelah itu.

Definisi mengenai vandalisme diterapkan untuk segala macam perilaku yang

menyebabkan kerusakan atau penghancuran benda pribadi atau publik24[24]. Canter,25[25]

menekankan tidak adanya definisi yang jelas tentang vandalisme secara khusus. Meskipun

sebagian besar ahli melihat bahwa vandalisme pada dasarnya adalah perilaku yang

membahayakan, para ahli tidak menemukan kesepakatan dalam mendefinisikan vandalisme

secara spesifik. Istilah vandalisme tidak hanya mengacu pada perilaku pelaku, tetapi juga

mencakup motivasi dari masing-masing pelaku. Beberapa ahli yang lainnya menyarankan

klasifikasi yang berbeda dengan mempertimbangkan jenis vandalisme yang mengacu pada

motivasi para pelaku dan tingkat kerusakan yang diperoleh oleh objek vandalisme. Untuk

itulah para ahli sepakat untuk melakukan pendefinisian vandalisme melalui tiga pendekatan,

yaitu definisi vandalisme berdasarkan pelaku, nilai, dan kerusakan.26[26]

Definisi vandalisme berdasarkan pelaku merupakan pendekatan yang berorientasi

pada bidang psikologi (psikologi klinis). Definisi ini menekankan pada latar belakang pelaku

24[24] Haryadi dan Setiawan, B. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. (Jakarta: Proyek Pengembangan Pusat Studi Lingkungan,
Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995), hlm 30.
25[25] D. Canter, Vandalism: Overview and Prospect, (New York: Elsevier Science Publishers, 1984), hlm 67.
26[26] Gabriel Moser, “Environmental Psychology of the New Millenium: Toward on Integration of Cultural and Temporal
Dynamics”, Psychology, Vol III, 1987, hlm. 98.
untuk menghancurkan, dengan mengacu pada faktor kejiwaan yang mempengaruhi mereka

dalam melakukan vandalisme. Dengan pendekatan ini, dapat diberikan pemahaman bahwa

vandalisme merupakan suatu tindakan yang disengaja dengan tujuan untuk merusak atau

menghancurkan suatu objek. Definisi ini menegaskan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan

vandalisme apabila ada niat dari pelaku vandalisme untuk merusak. Pendekatan kedua untuk

mendefinisikan vandalisme adalah dengan mendasarkan pada nilai sosial yang berlaku.

Definisi ini melakukan pendekatan yang mengacu pada bidang sosiologi untuk mengetahui

penyebab sosial dari vandalisme.

Dalam penelitian Moser,27[27] telah dikemukakan bahwa perbuatan itu dapat

memenuhi syarat sebagai vandalisme hanya melalui penilaian pengamat (masyarakat) yang

mengidentifikasi perilaku sebagai pelanggaran dari nilai dan atau norma sosial yang berlaku.

Dalam penelitian ini pendefinisian vandalisme mengacu pada pendekatan terakhir yang

berorientasi pada bidang psikologi lingkungan. Pendekatan ini mendefinisikan vandalisme

berdasarkan pada tingkat kerusakan yang terjadi pada sasaran vandalisme akibat pengaruh

lingkungan. Levy dan Leboyer,28[28] mengemukakan bahwa kerusakan yang dialami dalam

suatu lingkungan tidak semuanya dapat dijelaskan dengan menggunakan kedua pendekatan

sebelumnya, sehingga dikemukakannya pendekatan lainnya yang dapat menjelaskan tingkat

kerusakan objek vandalisme dengan memperhitungkan hubungan individu dengan

lingkungannya.

Definisi vandalisme berdasarkan pengaruh lingkungan mendalami lebih spesifik

terhadap identifikasi objek yang menjadi sasaran vandalisme, mengapa vandalisme dapat

terjadi di lingkungan tersebut, dan apa yang mempengaruhi pelaku untuk melakukan

27[27] Ibid.,, hlm. 101.


28[28] Levy dan Leboyer, Vandalism, Behaviour and Motivations, (Canada, Elsevier Science Pub. Co., 1984), hlm. 360.
vandalisme terhadap objek tersebut. Pendekatan ini tidak dapat disamaratakan terhadap

seluruh lingkungan tempat terjadinya vandalisme karena terkadang faktor lingkungan yang

mempengaruhi di suatu tempat tidak mempengaruhi di tempat lainnya dan begitu pula

sebaliknya. Pengorganisasian pengelolaan tapak tersebut turut menentukan hubungan antara

pengguna dan lingkungan. Hal inilah yang menyebabkan terdapatnya beberapa lingkungan

yang dirusak sedang yang lain tetap terjaga.

Untuk menjelaskan fenomena keterkaitan kerusakan objek vandalisme dengan faktor

lingkungan ditetapkan tiga hipotesis yang dapat menjawab hal tersebut, yaitu terdapat

ketidaksesuaian dalam perancangan setting dengan lingkungannya, lingkungan tidak dapat

mengakomodir kebutuhan penggunanya, dan karena adanya akumulasi dari kerusakan.29[29]

Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Tidak sesuainya perancangan setting dengan lingkungannya.

Vandalisme yang terjadi karena didorong oleh ketidaksesuaian setting terhadap

lingkungannya disebabkan oleh perancang yang kurang memperhatikan faktor lingkungan

dan penggunanya sehingga ditemukannya kerusakan terhadap fasilitas. Salah satu contoh

perancangan setting yang kurang tepat adalah penggunaan material kaca pada fasilitas yang

berada di taman bermain anak-anak. Hal ini dapat menyebabkan tingginya kemungkinan

kehancuran fasilitas tersebut akibat dari pemilihan material yang rentan untuk taman dengan

pengunjung anak-anak.

2) Lingkungan tidak dapat mengakomodir kebutuhan penggunanya.

Vandalisme yang dilakukan karena lingkungan tersebut tidak dapat memenuhi

kebutuhan dari penggunanya yang menyebabkan kelebihan kapasitas sehingga menimbulkan

perilaku yang dilakukan secara sadar atau tidak dapat merusak objek dan lingkungan

29[29] Ibid.
sekitarnya. Salah satu contohnya adalah kerusakan yang dialami oleh boks tanaman akibat

dari minimnya tempat duduk pada taman publik sehingga pengguna taman menggunakan

boks tanaman sebagai tempat duduk.

3) Akumulasi kerusakan

Vandalisme mengalami peningkatan pesat pada lingkungan yang tampaknya

diabaikan. Lingkungan yang dirusak cenderung memberikan kesan ditinggalkan dan tidak

terawat sehingga memberikan kesan diizinkan untuk dirusak.30[30] Kerusakan tidak hanya

dihasilkan oleh perilaku perusakan yang berat yang dapat menyebabkan degradasi kualitas

lingkungan secara drastis, tetapi juga dapat dihasilkan oleh akumulasi perilaku-perilaku

merusak ringan sehingga kemudian menarik pelaku vandalisme lainnya untuk melakukan

perusakan dan pada akhirnya menyebabkan degradasi kualitas lingkungan yang tidak jauh

berbeda dengan perilaku perusakan yang berat.

2 Jenis-jenis Perilaku Agresif

Agresi dapat dimanifestasikan dalam banyak bentuk, misalnya dalam bentuk fisik

atau verbal dan dilakukan secara aktif serta secara langsung. Akan tetapi manifestasi agresi

sebenarnya lebih beragam lagi daripada itu. Menurut Buss & Perry,31[31] agresi pada

manusia sangat beragam karena dilakukan bukan hanya secara fisik misalnya memukul atau

secara verbal misalnya dengan membentak, dan secara aktif misalnya menyerang tanpa

provokasi, serta secara langsung yaitu dilakukan tanpa perantara, tapi bisa juga dilakukan

secara tidak langsung dan secara pasif.

Agresi tidak langsung merupakan salah satu contoh dari kecenderungan manusia

30[30] Lavrakas, “Block Crime and Fear: Defensible Space, Local Social Ties, and Territorial Functioning”, Journal of
Research in Crime and Delinquency, November, 1984, hlm 331.
31[31] A.H. Buss and Perry, M., “The Agression Questionnare”, Journal of Personality and Social Psychology, No. 63, 1992, hlm.3.
untuk bertindak dalam cara yang tidak kasat mata. Dalam hal ini, pelaku agresi menyerang

korbannya dengan cara yang tidak langsung, mereka bisa menyerang secara verbal tanpa

perlu hadir di hadapan korban, misalnya dengan menyebar fitnah, mereka pun bisa

menyerang secara fisik tanpa perlu berhadap-hadapan dengan korbannya, misalnya dengan

cara menghancurkan sesuatu yang bernilai bagi korban. Meski agresi tidak langsung

kemungkinan besar tidak memuaskan pelaku, tetapi mereka bisa lepas dari kemungkinan

balas dendam yang akan dilakukan oleh korban agresi.

Buss & Perry,32[32] selanjutnya menyatakan bahwa perilaku agresif dapat

digolongkan menjadi dua, yaitu: hostile aggression dan instrumental aggression. Kedua jenis

agresi ini membagi agresi berdasarkan emosi yang tampil, tujuan dari perilaku, serta akibat

dari perilaku agresi tersebut. Secara berturut-turut dapatlah dijelaskan sebagai berikut :

a. Hostile aggression

Hostile aggression atau agresi marah adalah perilaku yang mempunyai tujuan untuk

melukai orang lain. Emosi yang menyertainya biasanya adalah marah yang berlebihan

sehingga hanya dapat diselesaikan dengan cara menampilkan perilaku agresif dan dapat

membuat orang lain menjadi cidera atau menderita. Pada individu yang tergolong

mempunyai “agresi marah”, ia akan dengan sengaja melukai orang lain, dan biasanya

sebelum muncul perilaku agresif terdapat stimulus atau rangsangan tertentu yang sifatnya

tidak menyenangkan, dapat berupa peristiwa yang tidak menyenangkan atau provokasi dari

orang lain.

Sehubungan dengan hal ini, Buss & Perry,33[33] berpendapat bahwa dengan tipe

hostile ini manusia memiliki suatu perangkat khusus, yang dikategorikan ke dalam suatu

32[32]Ibid.
33[33] Buss, A.H. and Perry, M., “The Agression Questionnare”, Journal of Personality and Social Psychology, hlm.4
bentuk kerangka, antara lain: pertama, bentuk fisik-verbal, yaitu fisik jika perilaku

ditampilkan dalam bentuk melukai tubuh orang lain, dan verbal jika individu menyerang

dengan menggunakan kata-kata. Kedua, bentuk aktif-pasif, yaitu aktif apabila perilaku agresif

ditampilkan dalam bentuk tindakan yang tampak, dan pasif jika individu tidak mau untuk

menampilkan relasi yang dibutuhkan. Ketiga, bentuk langsung-tidak langsung, yaitu

langsung apabila individu memperlihatkan perilaku agresi secara fisik antara individu dengan

target agresi, dan tidak langsung jika kontak antara individu dengan target tidak terjadi

melalui tatap muka (face to face contact).

Buss & Perry34[34] menggolongkan perilaku agresi tipe hostile, dibagi menjadi 8

bentuk indikator perilaku agresif, yaitu :

1) Agresi fisik aktif langsung, yaitu perilaku agresi yang dilakukan secara langsung oleh

individu atau kelompok individu kepada individu atau kelompok individu lainnya dan terjadi

kontak fisik secara langsung, seperti memukul, mendorong, menampar, dan lain-lain.

2) Agresi fisik aktif tidak langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan oleh individu

atau kelompok individu dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau

kelompok individu lainnya yang menjadi sasaran, seperti merusak harta benda, membakar

rumah, menyewa tukang pukul.

3) Agresi fisik pasif langsung, yaitu tindakan agresi fisik yang dilakukan individu atau

kelompok individu dengan cara berhadapan dengan individu atau kelompok individu yang

menjadi sasaran, tetapi tidak terjadi kontak fisik, seperti demonstrasi, aksi mogok makan.

4) Agresi fisik pasif tidak langsung, yaitu perilaku agresi yang dilakukan dengan cara tidak

berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok individu yang menjadi sasaran

dan tidak terjadi kontak fisik secara langsung, seperti tidak peduli, apatis dan masa bodoh.

34[34]Ibid, hlm.5-6
5) Agresi verbal aktif langsung, yaitu merupakan tindakan agresi verbal yang dilakukan dengan

cara berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok individu yang menjadi

sasaran agresi.

6) Agresi verbal aktif tidak langsung, yaitu merupakan tindakan agresi verbal yang dilakukan

dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan individu atau kelompok individu yang

menjadi sasaran agresi, seperti menyebar fitnah, mengadu domba, dan sebagainya.

7) Agresi verbal pasif langsung, yaitu suatu tindakan agresi verbal yang dilakukan oleh individu

atau kelompok individu dengan cara berhadapan secara langsung dengan individu atau

kelompok individu yang menjadi sasaran agresi tetapi tidak terjadi bentuk verbal secara

langsung, misalnya bungkam, menolak bicara, dan sebagainya.

8) Agresi verbal pasif tidak langsung, yaitu perilaku agresi yang dilakukan dengan cara tidak

berhadapan secara langsung dengan target agresi dan tidak terjadi kontak verbal langsung,

seperti tidak member dukungan, tidak memberikan hak suara.

Berdasarkan uraian tentang perilaku agresif remaja di atas dapatlah dibuat tabel

berikut ini :

Tabel 14
Kategori Kecenderungan Berperilaku Agresif menurut Robert A. Baron dan Deborah
R. Richardson35[35]

Dimensi Sifat Obyek


Fisik Aktif Langsung
Aktif Tak Langsung
Pasif Langsung
Pasif Tak Langsung
Verbal Aktif Langsung
Aktif Tak Langsung
Pasif Langsung
Pasif Tak Langsung

35[35] Robert A Baron. dan Deborah R Richardson, Human Agression, hlm.10.


Dari tabel kategori kecenderungan berperilaku agresif di atas, dapatlah dibuat tabel

jenis-jenis perilaku agresif berikut ini :

Tabel 15
Jenis-jenis Perilaku Agresi menurut A.H. Buss36[36]

Perilaku Agresi yang Menyakiti


Agresi Langsung Agresi Tidak Langsung
Aktif Pasif Aktif Pasif
Fisik Secara fisik Secara fisik Membuat Menolak untuk
melukai orang menghalangi jebakan mengerjakan
lain, seperti orang lain terhadap sesuatu dengan
memukul, mencapai orang lain. cara mogok
menembak, tujuan. Seperti atau diam.
dan lain-lain. tidak
memberikan
jalan bagi
yang mau
lewat.
Verbal Melukai orang Menolak untuk Menyebark Tidak
lain melalui berbicara an fitnah mendukung
kata-kata, dengan orang dan secara verbal
seperti lain. mengadu meskipun
menghina, domba. setuju.
mengumpat.

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis perilaku agresif

adalah : agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak langsung, agresi fisik pasif

langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif lagsung, agresi verbal aktif

tidak langsung, agresi verbal pasif langsung, dan agresi verbal pasif tidak langsung.

36[36] A.H. Buss, Psychology Behaviors In Perspective, (Chicester : John Wiley, 1987), hlm. 296.
b. Instrumental aggression (agresi instrumental)

Persaingan atau kompetisi untuk meraih sesuatu yang berharga biasanya merupakan

hal umum dalam kehidupan sehari-hari (misalnya kebutuhan untuk makan minum atau

kebutuhan pokok). Tujuan dari perilaku agresi tipe instrumental adalah untuk “menang” dari

suatu persaingan atau kompetisi tertentu tanpa mempunyai tujuan utama yang sifatnya

merugikan atau melukai orang lain.

Taylor, dkk37[37] membagi perilaku agresif sebagai berikut:

1) Perilaku melukai dan maksud melukai.

Perilaku melukai belum tentu dengan melukai. Sebaliknya, maksud melukai

berakibat melukai. Perilaku agresif adalah yang paling sedikit mempunyai unsur maksud

melukai dan lebih pasti terdapat perbuatan yang bermaksud melukai dan berdampak

sungguh-sungguh melukai. Perilaku melukai yang tidak disertai dengan maksud melukai

tidak dapat digolongkan sebagai agresif.

2) Perilaku agresif yang antisosial dan prososial

Perilaku agresif yang prososial seperti tindakan seorang polisi menembak penjahat

biasanya tidak dianggap sebagai agresi, sebaliknya agresi yang antisosial seperti tindakan

teroris yang membunuh orang yang disandera dianggap sebagai perilaku agresif. Akan tetapi

untuk membedakan antara keduanya tidak mudah karena ukurannya sangat relatif, sangat

tergantung dengan norma sosial di mana perilaku itu terjadi. Karena sulitnya membedakan

antara yang prososial dan yang antisosial ini, seringkali tindakan polisi untuk menegakkan

hukum dituding sebagai police brutality.

3) Perilaku dan perasaan agresif

Perilaku dan perasaan agresif harus dibedakan meskipun kenyataannya sulit

37[37]David O. Sears, Fredman, J.L., and Paplan, L.A., Social Psychology,hlm. 241
dibedakan, karena sumbernya adalah pemberian atribusi oleh korban terhadap pelaku.

Hasilnya, orang yang terinjak kakinya di dalam kendaraan umum mungkin tidak merasa

menjadi korban kekerasan karena kondisi kendaraan umum waktu itu penuh sesak oleh

penumpang. Sebaliknya, usapan punggung kepada seorang perempuan oleh seorang pria

yang tidak dikenalnya dapat dirasakan sebagai pelecehan (pelecehan terhadap dirinya),

walaupun sebenarnya pelaku yang bersangkutan sama sekali tidak bermaksud melakukan

perilaku agresif.

Myers,38[38] membedakan perilaku agresi berdasarkan fungsinya; sebagai berikut:

1) Agresi yang berfungsi untuk mencari kepuasan dari lingkungan di sekitarnya. Merupakan

cara untuk memenuhi dorongan atau suatu ekspresi dari adanya ketidakpuasan terhadap

lingkungan sekitarnya.

2) Agresi berfungsi menghancurkan “pusat rasa sakit” yang dirasakan. Bertujuan untuk

mengurangi atau menghilangkan sumber yang menyebabkan rasa sakit dalam diri.

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan perilaku agresif yang telah

dikemukakan Buss yang terdiri dari agresi fisik aktif langsung, agresi fisik aktif tidak

langsung, agresi fisik pasif langsung, agresi fisik pasif tidak langsung, agresi verbal aktif

langsung, agresi verbal aktif tidak langsung, agresi verbal pasif langsung, dan agresi verbal

pasif tidak langsung.

38[38] D.G. Myers, Social Psychology 8th Edition, (New York: Mc.Graw-Hill International Edition, 2005), hlm.113.

You might also like