You are on page 1of 37

SEORANG ANAK 4 TAHUN TONSILITIS KRONIK,

ADENOID HIPERTROFI, OBSTRUCTIVE SLEEP APNEU


SYNDROME

Diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan


Ilmu Kesehatan THT-KL Kedokteran Universitas Diponegoro

Penguji kasus : Dr. dr. Riece, Sp. THT-KL, MSi.Med

Pembimbing : dr. Aryo .

Dibacakan oleh : Tri Uji Rahayu

Dibacakan tanggal : 14 September 2015

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr. KARIADI SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

Melaporkan kasus “Seorang Anak Perempuan 4 tahun dengan Tonsilitis

Kronik, Adenoid Hipertrofi, Obstructive Sleep Apneu Syndrome”.

Penguji kasus : Dr. Riece Hariyati, Sp.THT-KL (K), Msi.Med

Pembimbing : dr. Aryo Yunian R

Dibacakan oleh : Theresia Meisky

Dibacakan tanggal : 15 September 2015

Diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan di Bagian Ilmu Kesehatan THT-

KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, September 2015

Mengetahui,

Penguji kasus, Pembimbing,

Dr. Riece Hariyati, Sp.THT-KL (K), Msi.Med dr. Aryo Yunian


LAPORAN KASUS

± 1 tahun SMRS, anak sering batuk pilek, hampir tiap bulan sekali. Batuk,

dahak (+), warna putih, darah (-). Kedua hidung buntu, hilang timbul, keluar ingus

kental berwarna putih dari kedua hidung, mimisan (-). Demam (+), kadang tinggi

kadang nglemeng. Kesulitan saat menelan (+), sakit saat menelan (+). Anak jika

tidur sering mengorok. Anak kadang terbangun malam hari karena sesak. Anak

sering bernafas lewat mulut. Telinga gemrebeg (-), kurang pendengaran (-)

Orangtua mengeluh anak sering ngantuk pada siang hari, nafsu makan menurun.

Orang tua juga membawa anak berobat ke Puskesmas, diberi obat, anak membaik,

namun kambuh-kambuhan.

± 3 bulan terakhir, anak sering batuk pilek, dahak (+), warna putih, darah (-),

hidung tersumbat (+) hilang timbul, keluar ingus kental berwarna bening, mimisan

(-), demam (-), sulit menelan saat makan (-), nyeri saat menelan (-), nafsu makan

menurun. Saat tidur anak mendengkur (+), sering terbangun pada mala hari karena

sesak, nafas seperti berhenti. Guru di sekolah mengeluhkan anak sering tidur di

kelas, prestasi menurun. Orangtua membawa ke RSUD setempat kemudian

dirujuk ke RSDK.

Keadaan umum pasien baik, kesadaran composmentis. Pemeriksaan tanda

vital : tekanan darah : tidak diperiksa, nadi : 80 kali/menit regular, respiratory

rate : 20 kali/menit, suhu : afebris. Status generalis : dalam batas normal. Status

lokalis, pada pemeriksaan hidung rinoskopi anterior didapatkan: pemeriksaan

tenggorok ditemukan: ukuran tonsil T3-T3, permukaan tidak rata, kripte melebar
(+/+), detritus (+/+). Pemeriksaan telinga ditemukan serumen hampir menutupi

MAE, keras, berwarna kehitaman, sehingga membrane timpani sulit dinilai.

Pemeriksaan gigi, diperoleh karies pada geligi 1.1 1.2 2.1 2.2

Diagnosis untuk pasien ini adalah tonsillitis kronik hipertrofi, adenoid

hipertrofi dan obstructive sleep apneu syndrome. Rencana terapi yang diusulkan

adalah terapi adenotonsilektom. Pasien dipantau tentang keadaan umum, tanda

vital dan progresivitas penyakitnya. Pasien juga diedukasikan tentang penyakit

yang diderita, yaitu nyeri telan dan sulit menelan dikarenakan timbul karena ada

pembesaran tonsil di tenggorok. Sedangkan, batuk pilek yang semakin sering

dikarenakan adeoid yang membesar yang berpengaruh pada system kekebalan

imun pasien. Untuk tidur ngorok dan terbangun di malam hari karena sesak,

dipengaruhi oleh gabungan dari pembesaran tonsil dan adeoid, sehingga

menimbulkan sumbatan pada jalan napas. Menjelaskan kepada pasien tentang

terapi, komplikasi dan prognosis penyakit yaitu rencana terapi yang akan

dilakukan adalah operasi pengambilan adenoid dan pengambilan tonsil yang

membesar. Operasi ini dilakukan di bawah general anesthesia, yang memiliki

beberapa komplikasi seperti perdarahan, syok dan kematian. Prognosis penyakit

pada pasien ini baik tentang quo ad vitam, quo ad sanam dan quo ad fungsionam

adalah ad bonam.
TINJAUAN PUSTAKA

I. EPIDEMOLOGI

Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

waldeyer.Fungsi cincin waldeyer adalah sebagai benteng bagi saluran makanan

maupun saluran napas terhadap serangan kuman-kuman yang ikut masuk bersama

makanan/ minuman dan udara pernapasan.1Tonsilitis kronis merupakan penyakit

yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit THT. Berdasarkan data

epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia, prevalensi tonsilitis

kronis 3,8% tertinggi setelah nasofaringitis akut 4,6%. Insiden tonsilitis kronis di

RS Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2007 adalah 23,36% dan 47% diantaranya

pada usia 6-15 tahun. 2

II. EMBRIOLOGI TONSIL

Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-selepitel yang melapisi kantong

faringeal kedua.Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserapdan

bagian dorsal menetap kemudian menjadi epiteltonsil. Pilar tonsil dibentuk dari

arkus brankial ke-2 danke-3. Secara nyata perkembangan tonsil terlihat pada

usia14 minggu kehamilan dengan terjadinya infiltrasi sel-sellimfatik ke dalam

mesenkim di bawah mukosa yangdibentuk di dalam fossa tonsil. Pembentukan

kriptatonsil terjadi pada usia 12-18 minggu kehamilan. Kapsuldan jaringan ikat

lain tonsil terbentuk pada usiakehamilan 20 minggu dengan demikian terbentuk

massa jaringan tonsil.3,4


III. ANATOMI TONSIL

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin

Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang

terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil

tubal. Cincin Waldeyer ini merupakan pertahanan terhadap infeksi.Tonsil dan

adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer.Adenoid akan

mengalami regresi pada usia puberitas.5,6

A. Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa

tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang

meluas ke dalam jaringan tonsil.Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,

daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.Tonsil terletak di

lateral orofaring.5,6
Dibatasi oleh:

Lateral – muskulus konstriktor faring superior

Anterior – muskulus palatoglosus

Posterior – muskulus palatofaringeus

Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi

invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat

dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan

ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting

mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur

pembuluh limfatik.Tonsila palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain.

Fosa Tonsil

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot

palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau

dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior.

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1)

arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan

arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri

palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4)

arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh

arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.Kutub atas tonsil

diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.Vena-vena

dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran

balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus

faringeal.7

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening

servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus

sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju

duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan

sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.8

Persarafan

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus

glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.8.

B. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid

yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun

teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong

diantaranya.Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian

tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai

kriptus.Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di

nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius.Ukuran adenoid

bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai

ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. 5,6

C. Tonsil Lingual

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen

sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata.5,6

IV. HISTOLOGI

Secara mikroskopis tonsil memiliki tigakomponen yaitu jaringan ikat, jaringan

interfolikuler,jaringan germinativum.Jaringan ikat berupa trabekulayang berfungsi

sebagai penyokong tonsil.Trabekulamerupakan perluasan kapsul tonsil ke

parenkim tonsil.Jaringan ini mengandung pembuluh darah, syaraf, saluranlimfatik

efferent.Permukaan bebas tonsil ditutupi olehepitel statified squamous.

Jaringan germinativum terletak dibagian tengahjaringan tonsil, merupakan sel

induk pembentukan sel-sellimfoid. Jaringan interfolikel terdiri dari jaringan

limfoiddalam berbagai tingkat pertumbuhan. Pada tonsilitis kronis terjadi infiltrasi

limfosit keepitel permukaan tonsil. Peningkatan jumlah sel plasmadi dalam

subepitel maupun di dalam jaringan interfolikel.Hiperplasia dan pembentukan

fibrosis dari jaringan ikatparenkim dan jaringan limfoid mengakibatkan

terjadinyahipertrofi tonsil.6,9
V. FISIOLOGI DAN IMUNOLOGI TONSIL

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang

dewasa. Proporsi limfosit B danT pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di

darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri

atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting cells)

yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi

APCs (sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T,

sel plasma dan sel pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder

yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah

disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:

1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif

2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang bersal dari

diferensiasi limfosit B.

Pada tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kriptaretikuler terjadi perubahan

epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas sel imun dan

menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal

sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum

germinativum juga berkurang.10

VI. TONSILITIS

Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis episode

tunggal masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil, sehingga

mengakibatkan terjadi multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil


didapatkan dalam kripta tonsil yang normal. Pendapat lain patogenesis terjadinya

infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan lokasi maupun fungsi tonsil sebagai

pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik inhalan maupun ingestan dengan mudah

masuk kedalam tonsil terjadi perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk fokus

infeksi.11,12,13

A. TONSILITIS AKUT

Tonsilitis akut merupakan suatu infeksi pada tonsil yang ditandai nyeri tenggorok,

nyeri menelan,panas, dan malaise. Pemeriksaan fisik dapat ditemukan pembesaran

tonsil, eritema dan eksudat pada permukaan tonsil, kadang ditemukan adanya

limadenopati servikal.Penyakit ini biasanya akansembuh setelah 7-14 hari.11,12

Tonsilitis akut berdasarkanpenyebab infeksi, yaitu:

1. Tonsilitis Viral

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus.Gejala lebih menyerupai common cold yang

disertai rasa nyeritenggorok. Penyebab yang sering Epstein Barr, influenza,para

influenza, coxasakie, echovirus, rhinovirus.14,

2. Tonsilitis Bakterial

Bakteri penyebab terbanyak dari berbagai literatur dikatakan adalah streptococcus

β haemolyticus group A. Padaberbagai penelitian belakangan ini terlihat

pergeseran bakteri penyebab tonsilitis, terbanyak adalah Staphilococcus

aures,kemudian diikuti oleh Streptococcusβ haemolyticus group A, Haemofilus

influenzae danStreptococcus pneumonia.16


Gambar 2. Tonsilitis akut dengan detritus17

Infiltrasi bakteri ke dalam jaringan tonsil akanmenimbulkan reaksi radang berupa

keluarnya leukositpolimorfonuklear sehingga terbentuk eksudat dikenaldengan

detritus. (Gambar2.) Eksudat yang terbentukbiasanya tidak melengket ke jaringan

di bawahnya.

B. TONSILITIS KRONIS

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi

akut atau subklinis yang berulang. Tonsilitis Kronis secara umum diartikan

sebagai infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina yang menetap lebih dari 3

bulan.Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi

fibrinoid dengan obstruksikripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang

relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.14

Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kriptatonsil mengakibatkan peningkatan

stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas

epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk keparenkim tonsil. Bakteri

yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi

tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta,

namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri
yang menetap didalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang

berulangterhadap tonsil.14

Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti nyeri

tenggorok yang tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang tertahan di

dalamkripta tonsil, yang kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya.14,15

Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi sehingga

timbulgangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan suara. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai ukuran,

dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil,arsitektur kripta yang

rusak seperti sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar.15

B.1 ETIOLOGI

Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptanya secara

aerogen yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung kemudian

nasofaring terus masuk ke tonsil maupun secara foodborn yaitu melalui mulut

masuk bersama makanan.2Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan

ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil,

atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak sempurna.

Pada pendería Tonsilitis Kronis jenis kuman yang sering adalah Streptokokus beta

hemolitikus grup A. Selain itu terdapat Streptokokus pyogenes, Streptokokus grup

B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus Herpes.7


B.2 FAKTOR PREDISPOSISI TONSILITIS KRONIS

Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian tonsilitis kronik, yaitu : 18

 Rangsangan kronik (rokok, makanan)

 Higiene mulut yang buruk

 Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

 Alergi (iritasi kronik dari alergen)

 Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)

 Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

B.3 PATOLOGI

Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat

membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil. Pada

keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi

(fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh

misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun.2

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga

jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid

diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta

melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus

sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan

jaringan disekitar fossa tonsilaris. Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang

tidak tepat sehingga penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang

menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika yang tidak tepat dan
adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi medikamentosa

kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan

jaringan tonsil.2
B.4 MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis Tonsilitis Kronis yaitu: 1) nyeri menelan ringan. Dalam penelitian

mengenai aspek epidemiologi faringitis mendapatkan dari 63 penderita Tonsilitis

Kronis, sebanyak 41,3% diantaranya mengeluhkan sangkut menelan sebagai

keluhan utama. 2) Bau mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta

tonsil. 3) Sulit menelan dan sengau pada malam hari (bila tonsil membesar dan

menyumbat jalan nafas) 4) Pembesaran kelenjar limfe pada leher. 5) Detritus pada

tonsil.15

Tanda klinik pada tonsilitis kronis adalah:

• Kripte tonsil melebar

• Pembesaran kelenjar sub angulus mandibular

teraba

• Muara kripte terisi pus

• Tonsil tertanam atau membesar

Gambar 3. Manifestasi Klinis Tonsilitis


B.5 PEMERIKSAAN

Dari pemeriksaan dapat dijumpai:


1.
Tonsil dapat membesar bervariasi. Kadang-kadang tonsil dapat bertemu di

tengah.Standart untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik

diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari

medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. 15

 T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak

punyatonsil)

 T1: < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil

melewatipilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula)

 T2: > 25% sampai < 50% tonsil menutupi orofaring, (batas

medialtonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak

pilaranterior-uvula)

 T3:> 50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring,(batas medial

tonsilmelewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar

anterioruvula).

 T4: >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati

¾jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).


VII. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang

terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-

kadang ada demam dan nyeri pada leher.19

b. Pemeriksaan Fisik

Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan

parut.Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat

diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.Pada beberapa kasus, kripta

membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat

pada kripta. 19

c. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan

apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman

dengan berbagai derajat keganasan, sepertiStreptokokus beta hemolitikus

grup A, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.19

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan dibagi menjadi penatalaksanaan dengan: 18

Medikamentosa

yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang

bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis Cephaleksin ditambah metronidazole,


klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin

dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).

Operatif

Indikasi Tonsilektomi

Berdasarkan the American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery

( AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :20

1. Indikasi absolut

 Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia

berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal.

 Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan

drainase, kecuali jika dilakukan fase akut.

 Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.

 Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi.

2. Indikasi relatif

 Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan

pengobatan medik yang adekuat

 Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap

pengobatan medic

 Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak

membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap β-laktamas


Kontraindikasi7,21

1) Kontraindikasi relatif

 Palatoschizis

 Radang akut, termasuk tonsillitis

 Poliomyelitis epidemica

 Umur kurang dari 3 tahun

2) Kontraindikasi absolut

 Diskariasis darah, leukemia, purpura, anemia aplastik, hemophilia

 Penyakit sistemis yang tidak terkontrol: DM, penyakit jantung, dan

sebagainya.

IX. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi15:

a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai

jaringan sekitarnya.Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan

otot-otot yang mengelilingi faringeal bed.Hal ini paling sering terjadi pada

penderita dengan serangan berulang.Gejala penderita adalah malaise yang

bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan

melakukan aspirasi abses

b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di

sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral

faring sehingga menonjol kearah medial.


c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi

tonsil.Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular

akut.Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna.Tonsil terlihat membesar

dan merah.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis

bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris.Garam inorganik kalsium dan

magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu.Batu tersebut

dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari

tonsil.Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak

nyaman lokal atau foreign body sensation.Hal ini didiagnosa dengan mudah

dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada

perabaan.

e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai

pembesaran kekuningan diatas tonsil.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam penelitiannya

Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita

Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta

hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan

faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa

terjadinya penyakit Glomerulonefritis.


X. PROGNOSA

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif.Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat

penderita Tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi

infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan

yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu

yang singkat.Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita

mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi yaitu infeksi

pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis dapat menjadi

sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumoni.15

B. Adenoid Hipetrofi

Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding

posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin

waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami

hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil

dan menghilang sama sekali padausia 14 tahun. 4,5

Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat

terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana,

sumbatan tuba eustachius serta gejala umum. Akibat sumbatan koana maka pasien

akan bernapas lewat mulut sehingga terjadi :

a. Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi

tinggi dan sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada
arcus dentalis inferior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus atas

lebih menonjol ke depan).

b. Muka penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai

facies adenoidea.

c. Mouth breathing juga menyebabkan udara pernafasan tidak disaring dan

kelembabannya kurang, sehinnga mudah terjadi infeksi saluran pernafasan bagian

bawah.

d. Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren

maupun otitis medis akut residif, otitis media kronik dan terjadi ketulian.

Obstruksi ini juga menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.2

Gejala umum yang ditemukan pada hipertrofi adenoid yaitu gangguan tidur,

tidur ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan fisis kurang dan

dapat menyebabkan sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat

mencetuskan kor pulmonale dimana sukar disembuhkan dengan penggunaan

diuretik tetapi memberikan respon yang cepat terhadap adenoidektomi.2,4

EPIDEMIOLOGI

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,

adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika serikat.

Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996,

diperkirakan anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau

tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani

tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja.


Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia

16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun

1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).4

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau

tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM

selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan

jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi

tonsiloadenoidektomi dengan puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan

terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit

Fatmawati dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan

kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi

tonsiloadenoidektomi.

III.ETIOLOGI

Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16

kehamilan. Normalnya, pada saat lahir pada nasofaring dan adenoid banyak di

temukan organisme dan terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai

aktif sesaat setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus,

streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai

berkembang. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain alfa-

hemolytic streptococcus, euterococcus, corynebacterium, staphylococcus, neissria,

micrococcus,stomatococcus.5

Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara


fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi

pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup

membesar akanmenyebabkangejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak

yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau

ISPA (2,3,5)

IV.ANATOMI

Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar di

bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak

terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas,

faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan

berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah

berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.

Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. bagian

ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding laring dibentuk

oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia

bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring

(hipofaring).3
Gambar 4. Anatomi faring dan pembagiannya

Atap nasopharynx sesuai dengan dasar dari corpus ossis sphenoidalis yang

mengandung sinus sphenoidalis. Batas depan dari nasopharynx adalah choana

yang merupakan muara dari cavum nasi. Dinding belakangnya sesuai dengan

vertebra sevikalis I dan II. Batas bawahnya dibentuk oleh palatum molle dan

rongga nasofaring terpisah dari orofaring pada waktu menelan oleh kontraksi otot-

otot palatum malle (m.tensor veli palatini dan m.levator veli palatini) bersama

denganm.constrictorfaringissuperior.2,3,4

Nasofaring relatif kecil mengandung serta berhubungan erat dengan struktur

seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan ressesus

faring yang disebut fossa Rosenmuller. Kantong Rathke yang merupakan

invaginasi struktur embrional hipofisis serebri. Torus tubarius merupakan suatu

refleksi mukosa faring, di atas penonjolan kartilago tuba eustachius, koana,

foramen jugulare yeng dilalui oleh n. Glosofaring, n.vagus, dan n.asecorius spinal
saraf cranial dan v. jugularis intema, bagian atas petrosus os temporalis dan

foramen laserum serta muara tuba eustachius.2,3

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.

Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur

yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar

limfoid yang tersebar dalam fossa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding

posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.2,4

FISIOLOGI

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara

danuntukartikulasi. Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid

merupakan jaringan limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer.

Adenoid memproduksi IgA sebagai bagian penting system pertahanan tubuh garis

depan dalam memproteksi tubuh dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul

asing.10

PATOGENESIS

Pada balita jaringan limfoid dalam cincin waldeyer sangat kecil. Pada anak

berumur 4 tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid

(pharyngeal tonsil) merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang

menfagosit kuman-kuman patogen. Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai

peranan penting sebagai organ yang khusus dalam respon imun humoral maupun

selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid dan bagian

ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respons


terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganismepatogen.(2,5)

Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan

tersumbatnya jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha

yang keras untuk bernafas sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang

terbuka. Adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal

sehingga mempengaruhi suara. Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi

pada tuba eustachius yang akhirnya menjadi tuli konduktif karena adanya cairan

dalam telinga tengah akibat tuba eustachius yang tidak bekerja efisien karena

adanya sumbatan.

GEJALAKLINIS

Pasien dengan adenoid hipertrofi biasanya datang dengan keluhan rhinore,

kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan

lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa terjadi

gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit

sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan muka

adenoid.1,2,5

PemeriksaanPenunjang:

a.Radiologi

Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam mendiagnosis

hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena ruang postnasal kadang
sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan pengambilan foto lateral bisa

menunjukkan ukuran adenoid dan derajat obstruksi.

b.Endoskopi

Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis adenoid hipertrofi,

infeksi pada adenoid, dan insufisiensi velopharyngeal (VPi), juga dalam

menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.

PENATALAKSANAAN

Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang

menyebabkan obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang

menimbulkan penyulit lain. Operasi dilakukan dengan alat khusus (adenotom).

Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau insufisiensi palatum karena

operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta.6

Indikasi adenoidektomi:

1. Sumbatan  sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep

apnea, gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan

gigi ( adenoid face ).

2. Infeksi  adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik, otitis

media akut berulang.

3. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas.1

Teknik adenoidektomi terbagi atas dua cara yaitu :

1. Eksisi melalui mulut


 merupakan teknik yang paling banyak di gunakan. Adenoid di keluarkan melalui

mulut setelah mulut dibuka dengan menggunakan suatu alat dan menarik langit-

langit mulut. Suatu cermin digunakan untuk melihat adenoid karena adenoid

terletak pada rongga hidung bagian belakang melalui pendekatan ini beberapa

instrumen dapat dimasukkan.

a. Cold Surgical Technique:

• Curette adenoid : Merupakan patokan dan metode konvensional yang sukses

dilakukan. Alat adenoid currete mempunyai sisi yang tajam dan bengkok. Untuk

mengangkat adenoid digunakan mata pisau yang tajam setelah terlebih dahulu

memposisikan nasofaring. Perdarahan dapat dikontrol dengan elektrocauter.

• Adenoid Punch : Penekanan pada adenoid dengan menggunakan satu instrumen

bengkok yang mempunyai celah dan ditempatkan di atas adenoid kumudian celah

itu ditutup dan pisau bedah mengangkat adenoid.

• Magill Forceps : Adalah suatu instrumen yang berbentuk bengkok yang

digunakan untuk mencabut jaringan sisa pada adenoid.

b. Elektrocauter dengan suction bovie : Teknik kedua dengan menggunakan

elektrocauter dengan suatu suction bovie yang berfungsi untuk mencabut jaringan

adenoid.

c. Surgical microdebrider : Ahli bedah lain sudah menggunakan metode

microdebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan pasti

terjadi pada pengangkatan tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan dengan

menggunakan tradisional currete. Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid

yang sulit di jangkau oleh teknik lain.


2. Eksisi melalui hidung.

è Satu-salunya teknik bermanfaat untuk memindahkan adenoid melalui rongga hidung

dengan menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi

perdarahan dikontrol dengan menggunakan cauter suction.6,7

Komplikasi adenoidektomi:

Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan

adenoid kurang bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi kerusakan

dinding belakang faring. Bila kuretase terlalu ke lateral maka torus tubarius akan

rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba Eustachius dan akan timbul tuli

konduktif.1,4

Prognosis
Adenotonsillektomi merupakan suatu tindakan yang kuratif pada kebanyakan

individu. Jika pasien ditangani dengan baik diharapkan dapat sembuh sempurna,

kerusakan akibat cor pulmonal tidak menetap dan sleep apnea dan obstruksi jalan

nafas dapat diatasi.4,8

C. Obstructive Sleep Apneu Syndrome

OSAS adalah suatu sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan napas yang

menyebabkan gangguan fisiologis yang bermakna dengan dampak klinis yang

bervariasi. Adanya OSAS ditandai dengan timbulnya henti napas sewaktu tidur

(sleep apnea) yang berlangsung paling sedikit selama 10 detik.1

Prevalensi habitual snoring pada anak berkisar antara 3,2-12,1%,

sedangkan occasional snoring sekitar 28,1% bergantung kepada kriteria diagnosis


yang digunakan. Di Indonesia, Supriyatno et al.4 mendapatkan kejadian

mendengkur sekitar 31,6% anak usia 5-13 tahun denganrincian habitual snoring

(HS) pada 5.2% dan occasional snoring (OS) sebesar 26,4%. Prevalensi OSAS

pada seluruh anak berkisar antara 0,7-3% dengan persentase tertinggi pada anak

usia pra-sekolah.2,3

Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain hipertrofi adenoid dan

tonsil, disproporsi kraniofasial, dan obesitas. Penyakit yang berhubungan dengan

alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi

dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang

paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas

merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan

sebagai faktor risiko utama.1,5,6

Namun demikian, prevalens akan meningkat pada kelompok usia tertentu

dengan faktor risiko. Pada anak usia remaja dengan obesitas, prevalens OSAS

berkisar antara 36-60%.7 Supriyatno et al.di Jakarta mendapatkan prevalens

OSAS pada anak usia 10-12 tahun dengan obesitas adalah sebesar 8.2%.

Berbahayakan OSAS pada anak? Anak yang menderita OSAS terutama yang

berat akan mengalami gejala siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time

symptoms), anak tidur dengan mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami

henti napas. Akibatnya anak sering terbangun dari tidurnya karena gelagepan dan

mengalami kekurangan oksigen (hipoksia).2,3

Anak dengan OSAS yang berat juga sering mengalami enuresis. Sebagai

akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada siang hari timbul
gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur dalam kelas,

kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti matematika dan

sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan prestasi

akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal tumbuh

juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia yang

berlangsung lama pada anak OSAS dengan AHI (apneu/hypopnea index) yang

tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal.5,6

Penegakan diagnosis OSAS pada anak merupakan besaran masalah

tersendiri, mengingat diagnosis definitive ditegakkan dengan pemeriksaan

polisomnografi pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang

objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar

untuk mengevaluasi keadaannya setelah operasi.

Pemeriksaan polisomnografi akan merekam aktivitas anak selama tidur

dengan menilai frekuensi dan lama mendengkur, henti napas, aktivitas listrik

jantung, saturasi oksigen dan aktivitas listrik otak. Mengingat hipertrofi adenoid

dan tonsil yang merupakan faktor risiko tertinggi timbulnya OSAS pada

anak,maka tonsiloadenoidektomi merupakan upaya yang efektif untuk mengatasi

masalah OSAS pada anak. Seringkali orangtua atau kalangan awam mempercayai

bahwa tindakantonsiloadenoidektomi pada anak-anak dapat meningkatkan

performa atau prestasi akademik. Kemungkinan ini dapat terjadi pada anak

dengan OSAS yang mengalami gangguan belajar. Tindakan tonsiloadenoidektomi

pada anak OSAS juga mempunyai risiko komplikasi yang cukup banyak, mulai

dari tindakan anestesi, serta komplikasi pasca operasi yang kekerapannya lebih
tinggi pada anak dengan OSAS dibandingkan dengan pada anak tanpa OSAS.

Komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi supraglotis, desaturasi,

perdarahan, dan lain-lain. Pasien anak dengan OSAS yangmenjalani

tonsiloadenoidektomi perlu dirawat inap minimalsatu hari untuk mengobservasi

kemungkinan timbulnya komplikasi tersebut. Namun demikian, pada beberapa

kasus ternyata tindakan operatif tidak bisa mengatasi OSAS. Bila demikian maka

diperlukan evaluasi lebih lanjut dan mendalam mengenai penyulit-penyulit pada

kasus tersebut serta pertimbangan untuk pemasangan CPAP (continuous

positiveairway pressure).1,9
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, E A dan Nurbaiti Iskandar, Jonny Bashiruddin, Restuti, R. D,

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorokan-Kepala Leher, 6th

Ed, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2007: 221

2. Farokah, Suprihati, Suyitno S. Hubungan Tonsilitis kronik dengan prestasi

belajar pada siswa kelas II Sekolah Dasar di kota Semarang. Cermin Dunia

Kedokteran 2007;155:87-91

3. Eibling DE. The oral cavity, pharynx, and esophagus. In: Lee KJ editor,

Essential otolaryngology head and neck nurgery, 9th ed. New York : Mc

graw hill medical. 2008:530-51.(11)

4. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Tonsilektomi pada anak dewasa. Jakarta. 2004

5. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and adenotonsilar desease. In :

Cummings CW editor.Otolaryngology Head & Neck Surgery, 4th

ed.Philadelphia Elsevier Mosby. 2007:p.4136-65.

6. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and

tympanostomy tubes. In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors.

Ototlaryngology Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.

7. George LA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam:Adams,

Boies, Higler(eds).buku ajar penyakit THT edisi 6. Jakarta:EGC;1997.hal

327-337
8. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi 9,

Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2011.

9. Ugras S, Kutluhan A. Chronic tonsillitis can be diagnosed with

histopathologic findings. Eur J genmed 2008;5(2):95-103.

10. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Tonsilektomi pada anak dewasa. Jakarta. 2004

11. Brodsky L. Adenotonsillar disease in children. In: Cotton RT, Myer CM

editors. Practical pediatric otolaryngology. Philadelphia, New York

Lippincott- Raven, :p.15-38.

12. Tom LWC, Jacobs. Deseases of the oral cavity,oropharynx, and

nasopharynxn. In: Snow JB,Ballenger JJ editors.

Ballenger’sotorhinolaryngology head and neck surgery, 16th ed. Hamilton

Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.

13. Mawson SR. Diseases of the tonsils and adenoids. In:Ballantyne J, Groves J.

Editors. Scowt Brown’s Diseases of the ear, nose and throat 4th ed vol

4.London Butterworths 1984:p.123-71.

14. Kornblut AD. Non-neoplastic diseases of the tonsils and adenoids. In:

Paparella MM, Shumrick DA, Gluckman JL, Meyerhoff WL, editors

Otolaryngology 3th ed. Philadelphia WB Saunders Company 1991: p.2129-

46.

15. Brodsky L. Adenotonsillar disease in children. In: Cotton RT, Myer CM

editors. Practical pediatric otolaryngology. Philadelphia, New York

Lippincott- Raven, :p.15-38.


16. Novialdi N. Mikrobiologi Tonsilitis Kronis. Bagian Telinga Hidung

Tenggorok Kepala dan Leher Fak.Kedokteran Universitas Andalas/ RSUP

Dr.M.Djamil Padang

17. Drake AF, Carr MM. Tonsillectomy. Available from:

www.//emedicine.medscape/com. Up date May 14, 1994. Accessed

November 5, 2011

18. Brodsy L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adeneidectomy. In: Bailey

BJ. Johnson JT. Head and Neck Surgery. Otolaryngology. 4rd Edition.

Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2006. p1183-1208

19. Gotlieb J. The Future Risk of Childhood Sleep Disorder Breathing, SLEEP,

vol 28 No 7. 2005.

20. Derake A. Carr MM. Tonsilectomy. Dalam: Godsmith AJ. Talaveran F. E-

medicine.com.inc. 2010:1-10.

21. Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta. 2007.

22. Valentine MD, Plaut M. Allergic Rhinitis. In: The New England Journal of

Medicine. Available from URL : www.nejm.org. Article last updated 2005.

August 2008.

23. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic Rhinitis. In: Snow JB, Ballenger JJ editors.

Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 16th Ed. New

York: BC Decker; 2003. p. 708-39.

You might also like