Referensi Jurnal

Rizki Widya Kirana

03012236

1. Leukotriene antagonists in nasal polyposis: A meta-analysisand systematic

review

Background: Leukotriene antagonists (LTAs) provide a potential strategy for the management
of chronic rhinosinusitis with nasal polyposis (CRSwNP), which is often refractory to medical
and surgical treatment. The purpose of this study is to determine the impact of LTA treatment
alone and in conjunction with intranasal corticosteroids (INCSs) on nasal symptoms, objective
clinical outcomes, and immune parameters in CRSwNP.
Latar belakang: Antagonis leukotriene (LTAs) adalah salah satu strategi yang tepat untuk
tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip nasal (CRSwNP), dimana sering dilakukan
tindakan bedah sebagai tatalaksananya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efek dari
terapi LTA sendiri dan bersamaan dengan kortikosteroid intranasal (INCSs) pada gejala nasal,
hasil klinis, dan parameter kekebalan di CRSwNP
Methods: A systematic review was performed including studies that assessed the effectiveness
of LTAs on clinical outcome measures of CRSwNP. Exclusion criteria were trials assessing
LTAs in CRS without nasal polyps or asthma symptoms only. Quantitative analysis was
performed using a random effects model.
Metode: Pemeriksaan sistematis dilakukan termasuk studi yang menilai keefektifan LTA pada
pengukuran hasil klinis CRSwNP. Kriteria eksklusi adalah uji coba yang menilai LTA di CRS
tanpa polip hidung atau gejala asma saja. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan
metode acak
Results: Twelve studies fulfilled eligibility: five randomized control trials and seven case
series. LTAs showed significant improvements in CRSwNP symptoms over placebo; however,
these randomized trials were unable to be combined via meta-analysis. The two studies used in
meta-analysis showed a standardized mean difference of pooled overall symptom scores of
0.02 (95% confidence interval, 0.39–0.44) between LTA and INCS study arms, indicating no
difference between the treatment modalities. Improvement was described by all studies in
symptoms, clinical outcomes, and/or immune parameters after LTA treatment, with greater
improvements in a subset of symptoms beyond that observed with INCSs. Concomitant
asthma, aspirin-exacerbated respiratory disease, and atopy did not significantly or consistently
affect these results.
Hasil: 12 penelitian memenuhi persyaratan: 5 uji coba kontrol acak dan 7 kasus. LTA
menunjukkan perbaikan yang signifikan pada gejala CRSwNP dibandingkan plasebo; Namun,
percobaan acak ini tidak dapat digabungkan melalui meta-analisis. Dua penelitian yang
digunakan dalam meta-analisis menunjukkan perbedaan rata-rata standar skor keseluruhan
gabungan skor 0,02 (interval kepercayaan 95%, _0.39-0.44) antara studi LTA dan INCS, yang
menunjukkan tidak ada perbedaan antara modalitas pengobatan. Perbaikan digambarkan oleh
semua penelitian tentang gejala, hasil klinis, dan atau parameter kekebalan setelah pengobatan
LTA, dengan perbaikan lebih besar pada gejala di luar yang diamati dengan INCSs. Asma,
penyakit pernafasan akibat aspirin, dan atopi tidak secara signifikan mempengaruhi hasil ini.
Conclusion: LTAs are an effective tool for treating CRSwNP, with limited benefit as an
adjunctive therapy. Additional study is required to determine themost beneficial strategy and
patient population for their use.
Kesimpulan: LTA efektif digunakan dalam mengobati CRSwNP, dengan manfaat terbatas
sebagai terapi tambahan. Studi tambahan diperlukan untuk menentukan strategi yang
menguntungkan dan populasi pasien untuk penggunaannya.

2. Expression of Prostaglandin D2 Synthase in Activated Eosinophils in Nasal Polyps

Objective: To clarify the relationship between prostaglandin. D2 production and eosinophil

accumulation
Tujuan: Untuk lebih memperjelas hubungan antara prostaglandin. Produksi D2 dan akumulasi
eosinofil
Design: Screening and diagnostic tests (skrining dan tes diagnosis)
Subjects: Nineteen patients with chronic rhinosinusitis (19 pasien dengan rinosinusitis kronik)
Results: Nasal polyps were divided into 3 groups by the degree of eosinophilic infiltration.
Western blot analysis revealed that HPGDS was more intensely and frequently expressed in
the group with high infiltration than in the groups with low or medium infiltration.
Hasil : Polip hidung dibagi menjadi 3 kelompok dengan tingkat infiltrasi eosinofilik. Analisis
Western Blot menunjukkan bahwa HPGDS lebih intens dan sering diekspresikan pada
kelompok dengan infiltrasi tinggi dibandingkan kelompok dengan infiltrasi rendah atau
sedang.
Conclusion: Prostaglandin D2 was actively produced by an EG2 and HPGDS double-positive
subpopulation of activated eosinophils that had infiltrated into nasal polyps.
Kesimpulan: Prostaglandin D2 secara aktif diproduksi dari EG2 dan HPGDS dua kali lipat
dari eosinofil yang teraktivasi yang di polip hidung

3. Effect of Subcutaneous Dupilumab on Nasal Polyp Burden in Patients With

Chronic Sinusitis and Nasal Polyposis

Objective: To assess inhibition of interleukins 4 and 13 with dupilumab in patients with

chronic sinusitis and nasal polyposis
Tujuan: Untuk menilai penghambatan interleukin 4 dan 13 dengan dupilumab pada pasien
dengan sinusitis kronis dan polip hidung
Design, setting, participants: A randomized, double-blind, placebo-controlled parallel-group
study conducted at 13 sites in the United States and Europe between August 2013 and August
2014 in 60 adults with chronic sinusitis and nasal polyposis refractory to intranasal
corticosteroids with 16 weeks of follow-up.
Disain penelitian: metode acak, double-blind, placebo-controlled studi kelompok paralel
dilakukan di 13 lokasi di Amerika Serikat dan Eropa antara bulan Agustus 2013 dan Agustus
2014 pada 60 orang dewasa dengan sinusitis kronis dan polip hidung yang sulit disembuhkan
dengan kortikosteroid intranasal di amati dalam 16 minggu
Conclusions and relevance: Among adults with symptomatic chronic sinusitis and nasal
polyposis refractory to intranasal corticosteroids, the addition of subcutaneous dupilumab to
mometasone furoate nasal spray compared with mometasone alone reduced endoscopic nasal
polyp burden after 16 weeks. Further studies are needed to assess longer treatment duration,
larger samples, and direct comparison with other medications.
Kesimpulan: Di antara orang dewasa dengan sinusitis kronis simtomatik dan polip hidung
yang sulit disembuhkan terhadap kortikosteroid intranasal, penambahan dupilumab subkutan
ke semprotan nasal mometasone furoate dibandingkan dengan mometasone saja mengurangi
beban polip nasal. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menilai durasi pengobatan yang lebih
lama, sampel yang lebih besar, dan perbandingan langsung dengan obat lain.

4. Effect of budesonide transnasal nebulization in patients with eosinophilic chronic

rhinosinusitis with nasal polyps

Background: There is little evidence on the efficacy of glucocorticoid transnasal nebulization

therapy in patients with eosinophilic chronic rhinosinusitis with nasal polyps (CRSwNP).
Latar Belakang: Ada sedikit bukti tentang keberhasilan terapi nebulisasi transnasal
glukokortikoid pada pasien rinosinusitis eosinofilik dengan polip hidung (CRSwNP).
Objective: We sought to evaluate the immunologic and remodeling effects of budesonide
transnasal nebulization in patients with eosinophilic CRSwNP.
Tujuan: mengevaluasi kekebalan dan efek remodeling pada budesonide nebulisasi transnasal
pada pasien dengan CRSwNP tipe eosinofilik
Methods: Sixty patients with eosinophilic CRSwNP were randomized to receive budesonide
or placebo treatment for 14 days by means of transnasal nebulization in a double-blind manner.
Endoscopic polyp size scores (maximum 56 points, Kennedy score) and visual analog scale
scores for nasal symptoms were assessed before and after treatment. Similarly, polyp samples
were evaluated for inflammatory cytokines, matrix metalloproteinases (MMPs), and tissue
inhibitors of metalloproteinases (TIMPs) by using an immunoassay; collagen by using
histochemistry; eosinophils by using hematoxylin and eosin stain; and T-cell subsets by using
flow cytometry.
Metode: 60 pasien dengan CRSwNP tipe eosinofilik diacak untuk menerima pengobatan
budesonide atau plasebo selama 14 hari dengan cara nebulisasi transnasal secara double-blind.
Skor ukuran polip endoskopi (maksimal 56 poin,Skor Kennedy) dan skor skala analog visual
untuk gejala hidung dinilai sebelum dan sesudah perawatan. Demikian pula, sampel polip
dievaluasi untuk sitokin inflamasi, matrik metaloproteinase (MMP), dan penghambat jaringan
metaloproteinase (TIMPs) dengan menggunakan immunoassay; kolagen dengan menggunakan
histokimia; eosinofil dengan menggunakan hematoxylin dan eosin stain; dan subset sel T
dengan menggunakan flow cytometry.
Conclusion: Short-term budesonide transnasal nebulization is an effective and safe treatment
option in patients with eosinophilic CRSwNP, achieving clinical improvement by regulating
remodeling, cytokine expression, and T-cell subset distribution.
Kesimpulan: Nebulisasi transnasal budesonide jangka pendek adalah pilihan pengobatan yang
efektif dan aman pada pasien dengan CRSwNP tipe eosinofilik, perbaikan klinis diperoleh
dengan pengaturan remodeling, ekspresi sitokin, dan distribusi sel T-sel.

5. Vascular Endothelial Growth Factor Expression in Nasal Polyps of Aspirin-

Intolerant Patients

Objective: To study differences between aspirin tolerant patients and aspirin-intolerant

patients concerning vascular endothelial growth factor (VEGF) expression. Recent
publications strongly suggest the involvement of VEGF and its receptors in the
pathophysiologic process of nasal polyps.
Tujuan: Untuk mempelajari perbedaan antara pasien aspirin toleran dan pasien dengan pasien
intoleransi aspirin. Adanya ekspresi faktor pertumbuhan endometrium vaskular (VEGF).
Publikasi terbaru sangat menyarankan keterlibatan VEGF dan reseptornya dalam proses
patofisiologis polip hidung.
Design: We subjected 43 polyp specimens to semiquantitative immunohistochemical analysis.
We quantified VEGF and its receptors (Flk, Flt, and neuropilin) in all samples. To gain insight
into potential VEGF-mediated cellular responses.
Disain penelitian: Kami memasukkan 43 spesimen polip ke analisis imunohistokimia
semiquantitatif. Kami menghitung VEGF dan reseptornya (Flk, Flt, dan neuropilin) di semua
sampel. Untuk mendapatkan hasil mengenai respons seluler yang dimediasi VEGF
Results: We found higher expressed levels of VEGF and neuropilin and stronger proliferation
in nasal polyps from aspirin-tolerant and aspirin-intolerant patients compared with controls. In
polyps from aspirin-intolerant patients, VEGF was expressed at considerably higher levels
compared with those from aspirin-tolerant subjects. Apoptotic activity remained unchanged in
all 3 groups.
Hasil: Kami menemukan kemunculan VEGF dan neuropilin yang lebih tinggi dan proliferasi
yang lebih kuat pada polip hidung dari pasien yang toleransi terhadap aspirin dan intoleransi
aspirin dibandingkan dengan kontrol. Pada polip dari pasien yang tidak toleran terhadap
aspirin, VEGF diekspresikan pada tingkat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok yang toleransi terhadap aspirin. Aktivitas apoptosis tetap tidak berubah pada ketiga
kelompok.
Conclusions: Nasal polyps from aspirin-tolerant and aspirin- intolerant patients are
characterized by strong proliferation and high levels of VEGF and neuropilin expression. Nasal
polyps from aspirin-intolerant patients show distinctly increased VEGF levels. The relevance
of these findings for future therapeutic approaches is yet to be determined.
Kesimpulan: Polip hidung dari pasien dengan toleransi aspirin dan intoleransi aspirin ditandai
oleh proliferasi yang kuat dan tingkat VEGF dan munculnya neuropilin yang tinggi. Polip
hidung dari pasien intoleransi aspirin menunjukkan tingkat VEGF yang meningkat secara jelas.
Relevansi temuan ini untuk pendekatan terapeutik di masa depan masih harus ditentukan.
 6. Categorizing Nasal Polyps by Severity and Controller Therapy

Objective: To analyze a new categorization of chronic rhinosinusitis with nasal polyposis

(CRSwNP) according to severity and controller therapy, modified from the 2007 stepwise
treatment for asthma.
Tujuan: Untuk menganalisis kategori baru rhinosinusitis kronis dengan polip hidung
(CRSwNP) sesuai dengan tingkat keparahan dan terapi pengendali, dimodifikasi dari
pengobatan bertahap 2007 untuk asma.
Design: Prospective categorization of 50 new or established patients over a 3-month period.
DisainPenelitian: Kategori prospektif terhadap 50 pasien baru atau pasien selama periode 3 bulan.
Results: Ten new medication-naïve patients with CRSwNP were categorized by severity,
which directed the subsequent treatment plan. All patients showed improvement in severity
with the stepwise treatment plan. Thirty-seven of 40 patients with established CRSwNP seen
in follow-up were easily categorized by degree of control, and subsequent treatment directed
by therapy guidelines resulted in improvement.
Hasil: Sepuluh pasien pengobatan baru dengan CRSwNP dikategorikan berdasarkan tingkat
keparahan, yang mengarahkan rencana perawatan selanjutnya. Semua pasien menunjukkan
perbaikan dalam tingkat keparahan dengan rencana perawatan bertahap. Tiga puluh tujuh dari
40 pasien dengan CRSwNP yang teramati dengan mudah dikategorikan berdasarkan tingkat
kontrol, dan perawatan selanjutnya yang diarahkan oleh pedoman terapi menghasilkan
perbaikan.

Conclusions: Initial categorization of medication naıve patients with CRSwNP and patients
with established CRSwNP facilitated delivery of successful directed stepwise therapy that
resulted in improvement of classification of severity in most patients. This proposed
classification may provide a useful template for future studies comparing patients with
CRSwNP.
Kesimpulan: Kategorisasi pengobatan pada pasien baru dengan CRSwNP dan pasien dengan
CRSwNP didapatkan hasil yang baik dalam pengklasifikasi terapi berdasarkan tingkat
keparahan. Klasifikasi ini dapat memberikan gambaran untuk penelitian selanjutnya pada
pasien dengan CRSwNP
 7. Oral steroids and doxycycline: Two different approaches to treat nasal polyps
Background : There is little scientific evidence to support the current practice of using oral
glucocorticosteroids and antibiotics to treat patients with chronic rhinosinusitis and nasal
polyps
Latar belakang: Ada sedikit bukti ilmiah untuk mendukung praktik penggunaan
glukokortikosteroid dan antibiotik oral untuk mengobati pasien dengan rhinosinusitis kronis
dan polip hidung
Objective: We evaluated the effects of oral glucocorticoids and doxycycline on symptoms and
objective clinical and biological parameters in patients with chronic rhinosinusitis and nasal
polyps.
Tujuan: Mengevaluasi efek glukokortikoid oral dan doksisiklin pada gejala klinis dan objektif
pada pasien dengan rhinosinusitis kronis dan polip hidung.
Results: Methylprednisolone and doxycycline each significantly decreased nasal polyp size
compared with placebo. The effect of methylprednisolone was maximal at week 3 and lasted
until week 8, whereas the effect of doxycycline was moderate but present for 12 weeks.
Methylprednisolone significantly reduced levels of ECP, IL-5, and IgE in nasal secretions,
whereas doxycycline significantly reduced levels of myeloperoxidase, ECP, and matrix
metalloproteinase 9 in nasal secretions.
Hasil: Methylprednisolone dan doksisiklin masing-masing secara signifikan mengurangi
ukuran polip hidung dibandingkan dengan plasebo. Efek methylprednisolone maksimal pada
minggu ke 3 dan berlangsung sampai minggu ke 8, sedangkan efek doksisiklin bersifat moderat
namun muncul selama 12 minggu. Methylprednisolone secara signifikan mengurangi kadar
ECP, IL-5, dan IgE yang disekresi oleh hidung, sedangkan doksisiklin secara signifikan
mengurangi kadar myeloperoxidase, ECP, dan matriks metaloproteinase 9 yang disekresi
hidung.
Conclusion: This is the first double-blind, placebo-controlled study to show a significant effect
of oral methylprednisolone and doxycycline on size of nasal polyps, nasal symptoms, and
mucosal and systemic markers of inflammation.
Kesimpulan: Ini adalah studi double-blind dengan kontrol plasebo pertama untuk
menunjukkan efek signifikan metilprednisolon oral dan doksisiklin terhadap ukuran polip
hidung, gejala pada hidung, dan penanda inflamasi mukosa dan sistemik.
 8. Effects of Fluticasone Furoate on Clinical and Immunological Outcomes (IL-17)
for Patients With Nasal Polyposis Naive to Steroid Treatment

Objectives: We investigated the effect of topical steroids on clinical outcomes and related
immune response of chronic rhinosinusitis with nasal polyp (CRSwNP) patients and in
eradicating some polyps. We want to explore a new potential mechanism linked to Th-17 cells.
Tujuan: Kami menyelidiki efek steroid topikal pada hasil klinis dan respon imun yang terkait
dengan rhinosinusitis kronis dengan pasien dengan polip hidung (CRSwNP) dan dalam
memberantas beberapa polip. Kami ingin mengeksplorasi suatu mekanisme baru yang terkait
dengan sel Th-17
Methods: Prospective, double-blind, placebo-controlled studies with 24 allergic and
nonallergic patients were randomized to either placebo or fluticasone furoate for 12 weeks.
Assessment of clinical response, endoscopic score with biopsies of the inferior turbinate, and
polyps before and after treatment were performed. Biopsies were stained for T-cells,
eosinophils, neutrophils, and IL-17A/F.
Metode: Penelitian prospektif, double-blind, placebo-controlled dengan 24 pasien alergi dan
non-alergi secara acak baik dengan plasebo atau fluticasone furoate selama 12 minggu.
Penilaian respon klinis, skor endoskopi dengan biopsi turbinate inferior, dan polip sebelum dan
sesudah perawatan dilakukan. Biopsi diwarnai untuk sel T, eosinofil, neutrofil, dan IL-17A / F
Results: Steroid treatment improved the mean symptoms scores from 7.12 to 4.02 (P < .01)
and the polyp score from 5.13 to 3.31 (P < .05), but the comparison with placebo was not
statistically significant in nonallergics due to insufficient study power. Steroid treatment
decreased eosinophil counts on allergics but not neutrophils or T-cells. The IL-17A/F
expression was higher in nonallergics with high neutrophil counts and was inclined by steroids.
Compared to baselines, IL-17 cells were significantly less in allergic individuals
Hasil: Pengobatan steroid meningkatkan skor gejala rata-rata dari 7.12 menjadi 4,02 (P <.01)
dan skor polip dari 5,13 menjadi 3,31 (P <0,05), namun perbandingan dengan plasebo tidak
signifikan secara statistik pada non alergi. Pengobatan steroid menurunkan jumlah eosinofil
pada alergi tapi bukan neutrofil atau sel T. Kemunculan IL-17A / F lebih tinggi pada non alergi
dengan jumlah neutrofil tinggi dan cenderung disebabkan oleh steroid. Dibandingkan dengan
sel IL-17 secara signifikan berkurang pada individu alergi
Conclusion: Topical steroids were more effective on certain nasal polyp phenotypes.
Identification of polyp phenotype might be essential to ensure a better therapeutic response to
intranasal corticosteroids.
Kesimpulan: Steroid topikal lebih efektif pada fenotipe polip nasal tertentu. Identifikasi
fenotipe polip mungkin penting untuk memastikan respons terapeutik yang lebih baik terhadap
kortikosteroid intranasal

9. Topical antifungal treatment of chronic rhinosinusitis with nasal polyps: A

randomized, double-blind clinical trial
Background: Recently, fungal elements were suspected to be the causative agent of chronic
rhinosinusitis, and benefits of topical amphotericin B therapy have been reported.
Latar Belakang: Baru-baru ini, unsur jamur diduga menjadi agen penyebab rinosinusitis
kronis, dan manfaat terapi amfoterisin B topikal telah dilaporkan.
Methods: Patients with chronic rhinosinusitis were administered 200 μL per nostril
amphotericin B (3 mg/mL) or saline nasal spray 4 times daily over a period of 8 weeks. The
response rate, defined as a 50% reduction of pretreatment computed tomography score, was
the primary outcome variable. Additional outcome variables included a symptom score, a
quality of life score, and an endoscopy score. Before and after treatment, nasal lavages were
pretreated with dithiothreitol and examined for fungal elements by PCR and standard culture
techniques.
Metode: Pasien dengan rinosinusitis kronis diberikan 200 μL per nostril amfoterisin B (3 mg
/ mL) atau semprotan nasal saline 4 kali sehari selama 8 minggu. Tingkat respons, yang
didefinisikan sebagai pengurangan 50% perhitungan pre treatment dari skor tomografi,
merupakan hasil utama dari variabel. Variabel hasil tambahan mencakup skor gejala, kualitas
skor hidup, dan skor endoskopi. Sebelum dan sesudah perawatan, polip nasal diolah dengan
dithiothreitol dan diperiksa untuk elemen jamur dengan PCR dan teknik kultur standar.
Results: Seventy-eight patients were included, and 60 patients finished the study per protocol.
In the control group, no positive response (0 of 32) was observed, and 2 of 28 patients
responded in the amphotericin B group (P > .2). The symptom scores were distinctly worse
after amphotericin B therapy (P < .005). The other parameters investigated did not differ
remarkably between the treatment groups.
Hasil: 78 pasien disertakan, dan 60 pasien menyelesaikan penelitian per protokol. Pada
kelompok kontrol, tidak ada tanggapan positif (0 dari 32) yang diamati, dan 2 dari 28 pasien
menanggapi kelompok amfoterisin B (P> .2). Skor gejala jelas lebih buruk setelah terapi
amfoterisin B (P <.005). Parameter lain yang diselidiki tidak berbeda jauh antara kelompok
perlakuan.
Conclusions: Nasal amphotericin B spray in the described dosing and time schedule is
ineffective and deteriorates patient symptoms.
Kesimpulan: Semprotan nasal amfoterisin B dalam dosis dan jadwal pemberian yang telah
ditentukan tidak efektif dan memperburuk gejala pasien.

10. Non-surgical management of chronic rhinosinusitis with nasal polyps based on

clinical-cytological grading: a precision medicine-based approach

Summary: Chronic rhinosinusitis with nasal polyps (CRSwNP) is a common inflammatory

disorder that strongly impacts patients’ quality of life. CRSwNP is still a challenge for ENT
specialists due to its unknown pathogenesis, difficult control and frequent relapse. We tested
the hypothesis that a new standardised therapeutic approach based on individual clinical-
cytological grading (CCG), may improve control of the disease and prevent the needing for
surgery. We analysed 204 patients suffering from bilateral CRSwNP, 145 patients of whom
regularly assumed therapy, respecting the planned check-up, and were considered cases; 59
patients were not assuming therapy as indicated and were considered as controls. After five
years of standardised treatment, 15 of 145 (10.5%) improved endoscopic staging, 61 of 145
(42%) did not change their endoscopic staging, and 69 of 145 (47.5%) were worse. In the
control group, 49 of 59 (83%) were worse by at least two stages (p < 0.05). Patients and controls
were stratified basing on clinical and cytological grading as mild, moderate and severe. After
patient stratification, in the mild group (n = 27) 92% patients had a constant trend, with no
worsening and no need for surgery over a 5-year period, whereas in the mild CCG control
group 1 of 59 (1.6%) required surgery (p < 0.05). In moderate GCC (n = 83), 44% of patients
did not modify or improve endoscopic staging and 3.6% needed surgery, compared to 13.6%
of controls with moderate GCC (p < 0.05). In severe CCG (n = 35), even though no patients
achieved significant amelioration of endoscopic grading, 40% of patients were considered as
“clinically controlled” and 5.7% of patients underwent surgery, but the percentage was
significantly higher (49%) in the control group significant (p = 0.0000). Finally, statistical
analyses revealed a clear trend that polyp size increased at a faster rate in the control group
than in the treatment group and for each subgroup (low, moderate and severe). The present
study suggests a new approach in the management of CRS according to clinical cytological
grading that allows defining the grade of CRSwNP severity and to adapt the intensity of
treatment. This approach limited the use of systemic corticosteroids to only moderate-severe
CRSwNP with a low corticosteroid dosage in comparison with those previously suggested. Our
protocol seems to improve the adherence by patients, control of disease and the need for surgery
in the long-term.
Ringkasan: Rinosinusitis kronis dengan polip hidung (CRSwNP) adalah kelainan inflamasi
umum yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. CRSwNP masih merupakan
tantangan bagi spesialis THT karena patogenesisnya yang tidak diketahui, sulit dikendalikan
dan sering kambuh. Kami menguji hipotesis yang baru dengan standar pendekatan terapeutik
berdasarkan penilaian klinis-sitologi individual (CCG), dapat memperbaiki pengendalian
penyakit dan mencegah operasi. Kami menganalisis 204 pasien yang menderita CRSwNP
bilateral, 145 pasien di antaranya secara teratur menjalankan terapi, dengan menjalankan
pemeriksaan yang direncanakan, dan dianggap sebagai kasus; 59 pasien tidak menjalankan
terapi seperti yang ditunjukkan dan dianggap sebagai kontrol.
Setelah lima tahun dengan standar terapi, 15 dari 145 (10,5%) mengalami perbaikan stadium
endoskopi, 61 dari 145 (42%) tidak mengubah stadium endoskopi mereka, dan 69 dari 145
(47,5%) menjadi lebih buruk. Pada kelompok kontrol, 49 dari 59 (83%) lebih buruk setidaknya
dua tahap (p <0,05).
Pasien dan kontrol dikelompokkan berdasarkan kriteria pada penilaian klinis dan sitologi
ringan, sedang dan berat. Setelah stratifikasi pasien, pada kelompok ringan (n = 27) 92% pasien
memiliki konstant tren, tanpa pemburukan dan tidak perlu operasi selama periode 5 tahun,
sedangkan pada kelompok kontrol CCG ringan 1 dari 59 (1,6%) memerlukan pembedahan
(p<0,05). Dalam GCC moderat (n = 83), 44% pasien tidak memodifikasi atau memperbaiki
stadium endoskopi dan 3,6% memerlukan pembedahan, dibandingkan dengan 13,6% kontrol
dengan GCC sedang (p <0,05). Pada CCG yang parah (n = 35), walaupun tidak ada pasien yang
mengalami perbaikan signifikan pada penilaian endoskopik, 40% pasien dianggap "terkontrol
secara klinis" dan 5,7% pasien menjalani operasi, namun persentasenya secara signifikan lebih
tinggi (49%) pada kelompok kontrol signifikan (p = 0.0000). Analisis statistik menunjukkan
kecenderungan yang jelas bahwa ukuran polip meningkat pada tingkat yang lebih cepat di
kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan dan untuk masing-masing sub kelompok
(rendah, sedang dan berat). Studi ini menunjukkan pendekatan baru dalam manajemen CRS
sesuai dengan penilaian sitologi klinis yang memungkinkan penentuan tingkat keparahan
CRSwNP dan untuk menyesuaikan intensitas pengobatan.
Pendekatan ini membatasi penggunaan kortikosteroid sistemik hanya dengan CRSwNP
sedang-berat dengan dosis kortikosteroid rendah dibandingkan dengan yang sebelumnya
disarankan.