You are on page 1of 20

BAB V PEMODELAN DAN ANALISIS

Pada bab ini akan diuraikan beberapa pemodelan dan analisis terkait dengan pemetaan
karakteristik penurunan muka tanah dan estimasi kerugian ekonomi akibat penurunan
muka tanah di Cekungan Bandung. Pemodelan terkait penurunan muka tanah meliputi
pemodelan penurunan muka tanah dari integrasi data GPS dan InSAR dengan
menggunakan konsep pembobotan. Hasil pemodelan penurunan muka ini akan
dijadikan input untuk pemodelan selanjutnya (estimasi kerugian keekonomian akibat
penurunan muka tanah). Selain itu akan dijelaskan hubungan antara penurunan muka
tanah dengan penurunan muka airtanah, kondisi geologi, dan juga proses tektonik
serta dampak yang ditimbulkan oleh penurunan muka tanah. Pemodelan terkait
estimasi kerugian keekonomian akibat penurunan muka tanah meliputi pemodelan
dampak penurunan muka tanah terhadap banjir besar pada tahun 2010, serta estimasi
kerugian ekonomi tidak langsung (banjir) akibat penurunan muka tanah, dan
pemodelan untuk estimasi kerugian ekonomi langsung akibat penurunan muka tanah.

V.1. Pemodelan Penurunan Muka Tanah Dari Integrasi Data GPS dan
InSAR

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masing-masing metode pengamatan geodetik


mempunyai kelebihan dan kelemahan. Metode GPS mempunyai kelebihan pada
ketelitiannya yang relatif lebih baik khususnya dibandingkan dengan metode InSAR,
tetapi kelemahannya adalah metode pengukurannya yang hanya titik per titik. Hal ini
menjadikan titik-titik lain di luar titik pengamatan diperoleh dengan menggunakan
metode interpolasi sehingga kadangkala tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan.
Sebaliknya, metode InSAR mempunyai kelebihan di metode pengukurannya yang
bersifat area sehingga untuk kasus penurunan muka tanah dapat diperoleh nilai
penurunan muka tanah di semua wilayah pengamatan. Kekurangan dari metode
InSAR adalah ketelitiannya yang masih kurang baik dibandingkan dengan GPS. Hal
ini disebabkan oleh masih terbatasnya data, masih ada reduksi kesalahan yang belum
teroptimalkan (kesalahan atmosfer, kesalahan akibat panjang baseline yang terlalu
besar dll). Integrasi kedua hasil data GPS dan InSAR merupakan salah satu solusi
untuk mendapatkan hasil yang lebih baik secara spasial dan temporal dibandingkan

149
dengan dianalisis secara terpisah. Pemodelan integrasi data GPS data InSAR ini akan
menggunakan konsep pembobotan seperti telah dijelaskan pada Bab III.8.

Hasil pemodelan penurunan muka tanah dari integrasi data GPS dan InSAR ini akan
dijadikan input untuk pemodelan estimasi kerugian keekonomian akibat penurunan
muka tanah di Cekungan Bandung. Hasil akhir pemodelan ini merupakan peta total
penurunan muka tanah dari tahun 1999-2010 di Cekungan Bandung dari data GPS
dan InSAR.

Input dari pemodelan ini adalah kecepatan penurunan muka tanah rata-rata pada
periode 1999-2010 untuk masing-masing metode (telah dibahas di bab IV). Khusus
untuk data InSAR, karena datanya sangat besar (datanya yang bersifat area) maka
untuk proses penggabungan dengan data GPS akan terlebih dahulu dilakukan proses
pengambilan sampel. Proses pengambilan sampel selain akan menghemat memori dan
waktu pemrosesan data, hal ini juga dilakukan untuk menyaring data-data yang
diduga tidak sesuai dengan di lapangan. Hal ini dilakukan agar data yang dimasukan
pada model adalah data-data yang sudah benar. Proses pengambilan sampel sendiri
dilakukan dengan melakukan proses griding setiap 500 meter seperti terlihat pada
Gambar V.1.

.
Gambar V.1. Titik-titik pengambilan sampel hasil pengolahan data InSAR yang digunakan
untuk proses integrasi dengan data GPS

150
Dari hasil pengambilan sampel hasil InSAR menghasilkan data-data penurunan muka
tanah di 2500 titik pantau untuk masing-masing periode seperti terlihat pada Tabel
V.1. perlu dicatat bahwa masing-masing periode tidak mempunyai interval waktu
pengamatan yang sama.
Tabel V.1. Penurunan muka tanah di setiap titik sampel tahun 2006-2010 hasil
pengolahan data InSAR

Easting (m) Northing (m) Des 2009- Mei Jan 2009-Des Jan 2007-Des Jun 2006 - Maret
2010 (m) 2009 (m) 2007 (m) 2007 (m)

803291,093 9224939,381 -0,121 -0,154 -0,082 -0,033


790791,093 9226439,381 -0,072 -0,140 -0,082 -0,009
790291,093 9226439,381 -0,082 0,000 -0,102 -0,027
789791,093 9225939,381 -0,089 -0,129 -0,083 -0,012
789791,093 9226439,381 -0,09 -0,127 -0,098 -0,021
782291,093 9234939,381 -0,082 -0,126 -0,106 -0,050
782291,093 9233439,381 -0,09 -0,126 -0,084 -0,022
790291,093 9225939,381 -0,075 -0,125 -0,087 -0,041
781791,093 9232939,381 -0,089 -0,123 -0,117 -0,036
798791,093 9228439,381 -0,096 -0,123 0,000 -0,008
781291,093 9234939,381 -0,092 -0,120 -0,180 -0,106
781791,093 9228939,381 -0,106 -0,118 -0,044 0,012
798291,093 9229439,381 -0,098 -0,120 0,000 0,016
782291,093 9235439,381 -0,081 -0,119 -0,146 -0,052
781791,093 9232439,381 -0,088 -0,118 -0,090 -0,021
781791,093 9234939,381 -0,091 -0,117 -0,153 -0,099
782291,093 9234439,381 -0,082 -0,115 -0,101 -0,044
782291,093 9233939,381 -0,091 -0,115 -0,087 -0,020
781291,093 9235439,381 -0,086 -0,114 -0,182 -0,109
782291,093 9232939,381 -0,087 -0,114 -0,078 -0,018
790791,093 9225939,381 -0,073 -0,114 -0,073 -0,016
789291,093 9226439,381 -0,093 -0,113 -0,061 -0,001
805791,093 9227939,381 -0,076 -0,113 0,000 0,032
782791,093 9235439,381 -0,074 -0,112 -0,089 -0,032
790291,093 9226939,381 -0,083 -0,112 -0,079 -0,007
781291,093 9229939,381 -0,096 -0,111 -0,042 0,008
803791,093 9226939,381 -0,05 -0,111 -0,034 0,003
781791,093 9229439,381 -0,098 -0,110 -0,052 -0,001
782291,093 9232439,381 -0,085 -0,110 -0,072 -0,017
789791,093 9226939,381 -0,089 -0,110 -0,071 -0,003
798791,093 9228939,381 -0,087 -0,110 -0,061 0,169
781791,093 9234439,381 -0,094 -0,109 -0,138 -0,054
782291,093 9229439,381 -0,106 -0,108 -0,044 0,013
782291,093 9228939,381 -0,109 -0,108 -0,043 0,017
789291,093 9225939,381 -0,095 -0,108 -0,084 0,007
798291,093 9228939,381 -0,101 0,000 0,000 0,118

151
Kecepatan rata-rata per tahun untuk masing-masing di beberapa titik sampel periode
dapat dilihat pada Tabel V.2. Rata –rata kecepatan penurunan dari data InSAR untuk
periode 2006 – 2010 didapat dengan melakukan regresi linier di semua titik sampel.
Kecepatan maksimum penurunan muka tanah mencapai 20 cm per tahun.

Tabel V.2. Rata-rata kecepatan penurunan muka tanah di setiap titik sampel tahun
2006-2010 hasil pengolahan data InSAR
Rata-rata/
Rata-rata (m)
Easting (m) Northing (m) tahun
( )
2010-2011 2009-2010 2007-2008 2006-2007
(m/tahun)
803291,093 9224939,381 -0,290 -0,154 -0,082 -0,068 -0,149
790791,093 9226439,381 -0,173 -0,140 -0,082 -0,058 -0,113
790291,093 9226439,381 -0,197 -0,125 -0,102 -0,073 -0,124
789791,093 9225939,381 -0,214 -0,129 -0,083 -0,070 -0,124
789791,093 9226439,381 -0,216 -0,127 -0,098 -0,058 -0,125
781291,093 9234939,381 -0,221 -0,120 -0,180 -0,191 -0,178
782291,093 9234939,381 -0,197 -0,126 -0,106 -0,073 -0,125
782291,093 9233439,381 -0,216 -0,126 -0,084 -0,069 -0,124
790291,093 9225939,381 -0,180 -0,125 -0,087 -0,035 -0,107
781791,093 9232939,381 -0,214 -0,123 -0,117 -0,031 -0,121
798791,093 9228439,381 -0,230 -0,123 -0,117 -0,067 -0,134
798291,093 9229439,381 -0,235 -0,120 -0,110 -0,100 -0,141
782291,093 9235439,381 -0,194 -0,119 -0,146 -0,045 -0,126
781791,093 9232439,381 -0,211 -0,118 -0,090 -0,058 -0,119
781791,093 9228939,381 -0,254 -0,118 -0,044 -0,040 -0,114
781791,093 9234939,381 -0,218 -0,117 -0,153 -0,085 -0,143
782291,093 9234439,381 -0,197 -0,115 -0,101 -0,078 -0,123
782291,093 9233939,381 -0,218 -0,115 -0,087 -0,057 -0,119
781291,093 9235439,381 -0,206 -0,114 -0,182 -0,093 -0,149
782291,093 9232939,381 -0,209 -0,114 -0,078 -0,105 -0,127
790791,093 9225939,381 -0,175 -0,114 -0,073 -0,064 -0,106
789291,093 9226439,381 -0,223 -0,113 -0,061 -0,081 -0,120
805791,093 9227939,381 -0,182 -0,113 -0,089 -0,081 -0,116
782791,093 9235439,381 -0,178 -0,112 -0,089 -0,067 -0,112
790291,093 9226939,381 -0,199 -0,112 -0,079 -0,076 -0,117
781291,093 9229939,381 -0,230 -0,111 -0,042 -0,057 -0,110
803791,093 9226939,381 -0,120 -0,111 -0,034 -0,053 -0,079
781791,093 9229439,381 -0,235 -0,110 -0,052 -0,051 -0,112
782291,093 9232439,381 -0,204 -0,110 -0,072 -0,055 -0,110
789791,093 9226939,381 -0,214 -0,110 -0,071 -0,083 -0,119
798791,093 9228939,381 -0,209 -0,110 -0,061 -0,145 -0,131
781791,093 9234439,381 -0,226 -0,109 -0,138 -0,086 -0,140

152
Kemudian semua data InSAR ini digabung dengan data GPS seperti telah dijelaskan
sebelumnya. Distribusi titik-titik GPS dan InSAR dapat dilihat pada Gambar V.2.
Sebelum dilakukan interpolasi dengan konsep integrasi dengan pembobotan, terlebih
dahulu dilakukan pengecekan terhadap titik-titik GPS dan InSAR yang berdekatan.
Hal ini untuk memastikan tidak adanya loncatan saat interpolasi dikarenakan
penurunan muka tanah yang berbeda jauh di posisi yang sama. Setelah pengecekan
dilakukan untuk semua titik-titik GPS dihasilkan hampir di semua titik perbedaan
antara penurunan muka tanah dari GPS dan InSAR hanya berkisar 1 - 3 cm,
perbedaan cukup besar hanya terjadi di titik sekitar titik BM9L dan titik BM19L.
Kedua titik tersebut selama periode tahun 1999-2012 hanya diukur dua kali yaitu
tahun 2002 dan 2003 sehingga kedua titik tersebut tidak dimasukkan kedalam model.

Titik GPS
Titik InSAR

Gambar V.2. Titik-titik pengambilan sampel hasil pengolahan data InSAR dan GPS yang
digunakan untuk proses integrasi

Pengolahan data tanpa pembobotan menggunakan metode kolokasi kuadrat terkecil


sederhana dengan asumsi parameter fisis yang interpolasi sama dengan pengamatan.
dengan formulasi sebagai berikut (Moritz, 1980):

 h1 
h 
l  h2  s  ; A  l ;H s (V.1)
hB 
 h3 
dimana:

153
l : data penurunan muka tanah dari GPS dan InSAR
s : data penurunan muka tanah di titik yang diinterpolasi

sˆ  Csl Cll1 l (V.2)

C h ,h C hA ,h2 C hA ,h3 


C sl   A 1
C hB ,h1 C hB ,h2 C hB ,h3  (V.3)

Ch1 , h1 Ch1 , h2 Ch1 , h3 


 
Cll  Ch2 , h1 Ch2 , h2 Ch2 , h3  (V.4)
Ch , h Ch3 , h2 Ch3 , h3 
 3 1
Dimana Cll merupakan matriks kovariansi antar pengamatan dan C sl merupakan
matriks kovariansi antar pengamatan dan titik yang akan diinterpolasi. Fungsi
kovariansi menggunakan informasi jarak untuk melihat hubungan fisis antar titik.
Hasil total penurunan muka tanah untuk periode tahun 1999-2010 berdasarkan data
kecepatan penurunan sebelum pembobotan dapat dilihat pada Gambar V.3.

Cimahi

Gedebage
Dayeuhkolot Rancaekek

Katapang
Majalaya

Gambar V.3. Peta penurunan muka tanah hasil integrasi data InSAR dan GPS tanpa
pembobotan (bobot 1 : 1) tahun 1999 - 2010

Data InSAR yang jauh lebih banyak menyebabkan hasil interpolasi bila menggunakan
hanya dengan menggunakan data InSAR saja sama dengan Gambar V.4. Peta
penurunan muka tanah hanya dengan menggunakan data GPS saja dapat dilihat pada
Gambar V.4.

154
Gambar V.4. Peta penurunan muka tanah hasil data GPS tahun 1999-2010

Terlihat pada kedua peta di atas bahwa nilai penurunan muka tanah dari data GPS
relatif lebih kecil dibandingkan dengan data InSAR saja atau gabungan InSAR dan
GPS tanpa pembobotan. Konsep pembobotan untuk integrasi data GPS dan InSAR
pada persamaan III.37 – III.41 digunakan untuk memperbaiki hasil penggabungan
kedua data tersebut. Hasil total penurunan muka tanah dengan konsep pembobotan
tahun 1999 – 2010 dapat dilihat pada Gambar V.5.

Cimahi

Gedebage
Rancaekek
Dayeuhkolot

Katapang
Majalaya

Gambar V.5. Peta penurunan muka tanah hasil integrasi data InSAR dan GPS dengan
pembobotan tahun 1999 - 2010

155
Hasil integrasi dengan pembobotan di atas menunjukkan pola yang hampir sama
dengan data gabungan InSAR dan GPS tanpa pembobotan, hanya karena pada kasus
ini GPS dijadikan pembobot menyebabkan penurunan muka tanah secara global
menjadi lebih kecil mengikuti pola GPS.

Hasil dari pembobotan ini secara spasial mempunyai kecenderuan penurunan yang
hampir sama dengan penelitian Estelle dkk. (2012). Berdasarkan pengukuran
penurunan muka tanah langsung di lapangan dengan metode geometris-historis
memang terdampak indikasi penurunan di zona merah pada Gambar V.6. Perbedaan
hasil model integrasi dengan hasil geometris-historis dapat dilihat Tabel V.3.

Tabel V.3. Kecepatan dan total penurunan hasil lapangan (vlap dan Total lap) dan hasil
model (vmodel dan Totalmodel) serta koreksi kecepatan (selisih kecepatan
antara hasil lapangan dan model)

Total Total
No Lintang Bujur
vlap vmodel koreksi
lap model (cm/tahun)
(cm/tahun) (cm/tahun)
(cm) (cm)

0 6° 58' 52,63199" S 107° 37' 13,89601" E 4.6 50.8 6.5 71 -1.8


1 6° 58' 51,43799" S 107° 37' 13,23600" E 4,7 51,8 6,2 67,9 -1,5
2 6° 58' 48,32401" S 107° 37' 12,01799" E 5,0 55,0 6,6 72,5 -1,6
3 6° 58' 44,76599" S 107° 37' 11,49001" E 4,7 51,6 7,0 77,5 -2,4
4 6° 58' 44,01600" S 107° 37' 10,95001" E 3,1 33,8 7,0 77,5 -4,0
5 6° 58' 24,19201" S 107° 37' 10,77601" E 2,3 25,0 7,3 80,1 -5,0
6 6° 59' 12,84599" S 107° 37' 57,69601" E 4,1 45,3 7,5 82,9 -3,4
7 6° 59' 14,23801" S 107° 37' 57,43799" E 6,7 73,3 7,5 82 -0,8
8 6° 59' 17,15999" S 107° 37' 56,84999" E 5,5 60,0 7,5 82,6 -2,1
9 6° 59' 17,53801" S 107° 37' 57,03600" E 3,1 34,4 7,3 80 -4,1
10 6° 59' 52,95599" S 107° 37' 52,33199" E 2,9 31,4 5,5 60,8 -2,7
11 6° 59' 56,18999" S 107° 37' 41,42401" E 5,7 62,9 5,8 63,3 0,0
12 6° 59' 46,03201" S 107° 37' 36,37800" E 4,5 49,5 6,7 74,2 -2,2
13 6° 59' 44,50800" S 107° 37' 36,05400" E 5,6 61,1 7,2 78,8 -1,6
14 6° 59' 44,53799" S 107° 37' 35,86800" E 7,5 82,5 7,0 77,2 0,5
15 6° 59' 43,46998" S 107° 37' 33,49801" E 4,8 52,3 7,0 77,2 -2,3
16 6° 59' 44,50800" S 107° 37' 36,05400" E 4,2 46,0 6,8 75 -2,6
17 6° 59' 43,27800" S 107° 37' 25,67999" E 5,0 55,0 6,8 75,2 -1,8
18 6° 59' 41,90401" S 107° 37' 26,32198" E 3,4 37,5 6,8 75,2 -3,4
19 6° 55' 19,44601" S 107° 33' 25,83601" E 10,9 120,1 12,7 140,1 -1,8
20 6° 55' 19,57199" S 107° 33' 20,89799" E 7,7 84,3 14,4 158,1 -6,7
21 6° 55' 19,69200" S 107° 33' 19,95599" E 9,2 100,8 14,8 162,3 -5,6
22 6° 55' 19,51201" S 107° 33' 18,45599" E 8,3 91,7 15,5 170,3 -7,1
23 6° 54' 16,05493" S 107° 32' 02,31197" E 8,3 91,7 6,7 74,1 1,6

156
Tabel V.3. Kecepatan dan total penurunan hasil lapangan (vlap dan Total lap) dan hasil
model (vmodel dan Totalmodel) serta koreksi kecepatan (selisih kecepatan
antara hasil lapangan dan model) (lanjutan)
Total Total
No Lintang Bujur
vlap vmodel koreksi
(cm/tahun) lap (cm/tahun) model (cm/tahun)
(cm) (cm)
24 6° 54' 54,92291" S 107° 32' 59,13471" E 7,1 77,6 15,5 170 -8,4
25 6° 59' 08,95130" S 107° 41' 24,36581" E 5,0 55,0 4,9 53,5 0,1
26 7° 00' 08,62226" S 107° 44' 54,47931" E 5,3 58,0 8,5 93 -3,2
27 7° 00' 09,75549" S 107° 44' 54,80898" E 3,5 38,0 8,5 93 -5,0
28 7° 00' 13,95599" S 107° 44' 55,38570" E 4,3 47,0 8,1 89 -3,8
29 7° 00' 26,35860" S 107° 44' 55,41320" E 2,0 22,0 8,2 90,7 -6,2
30 7° 00' 00,32584" S 107° 44' 54,06657" E 5,0 55,0 8,4 92,6 -3,4
31 7° 00' 41,21876" S 107° 44' 53,36205" E 5,3 58,0 6,9 75,5 -1,6
32 7° 01' 06,17634" S 107° 46' 14,93603" E 3,5 38,0 1,9 20,8 1,6
33 7° 00' 19,32282" S 107° 44' 54,04762" E 4,3 47,5 9,1 99,7 -4,7
34 6° 59' 34,31294" S 107° 44' 52,31907" E 3,1 34,6 6,9 76,4 -3,8
35 6° 58' 40,53552" S 107° 45' 04,70152" E 9,2 100,8 5,6 62 3,5
36 6° 58' 40,43983" S 107° 45' 04,37541" E 9,2 100,8 5,6 62 3,5
37 6° 59' 31,04723" S 107° 44' 54,51381" E 8,3 91,7 6,3 68,9 2,1
38 6° 57' 32,80610" S 107° 45' 44,51044" E 6,3 69,7 3,9 42,9 2,4
39 6° 57' 53,82708" S 107° 48' 06,86046" E 8,0 88,0 6,0 66,4 2,0
40 6° 57' 53,80584" S 107° 48' 10,44118" E 5,7 62,9 5,5 60,5 0,2
41 6° 56' 23,16270" S 107° 41' 24,19705" E 9,0 99,0 7,2 79 1,8
42 6° 56' 31,23591" S 107° 41' 34,66036" E 7,3 80,7 8,9 98 -1,6
43 6° 56' 31,77820" S 107° 41' 30,82202" E 3,7 40,5 8,9 98 -5,2
44 6° 56' 33,48803" S 107° 41' 27,60885" E 8,8 97,1 8,9 98,4 -0,1
45 6° 56' 36,97421" S 107° 41' 20,92241" E 6,7 73,2 8,9 98,4 -2,3
46 6° 56' 42,15138" S 107° 41' 20,07286" E 4,3 47,1 9,2 101 -4,9
47 6° 57' 52,64636" S 107° 37' 22,51517" E 11,7 128,3 11,8 130 -0,2
48 6° 58' 08,57401" S 107° 37' 59,94776" E 5,0 55,0 8,4 92,2 -3,4
49 6° 59' 03,96337" S 107° 37' 21,34937" E 2,2 24,2 7,1 77,6 -4,9
50 6° 58' 27,89136" S 107° 36' 03,82133" E 5,0 55,0 5,4 59,3 -0,4
51 6° 59' 50,29790" S 107° 37' 19,78455" E 5,9 65,0 6,2 68 -0,3
52 6° 58' 27,89136" S 107° 36' 03,82133" E 8,8 96,3 5,6 61,5 3,2

Berdasarkan data di atas, terdapat perbedaan antara penurunan muka tanah hasil
model (pembobotan) dengan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan
metode geometris – historis. Data pengukuran yang diambil adalah data-data di
wilayah yang mengalami penurunan muka tanah yang besar seperti: Cimahi,
Dayeuhkolot, Baleendah, Rancaekek, Bojongsoang, Solokan jeruk, Gedebage, dan
Sapan. Koreksi atau selisih kecepatan penurunan antara pengukuran di lapangan dan
hasil model berkisar antara 0 – 4 cm/tahun, hanya ada beberapa titik yang mempunyai

157
selisih lebih dari 4 cm tetapi kurang dari 8 cm/tahun. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa hasil model menunjukkan kecenderungan yang sama dengan
kondisi di lapangan. Beberapa daerah yang mempunyai penurunan muka tanah yang
cukup besar tidak terdapat fenomena penurunan muka tanah secara geometris –
historis seperti daerah Katapang dan Alun-alun. Meskipun demikian, banyak terdapat
retakan-retakan yang banyak dan cukup besar di kedua wilayah tersebut yang
mengindikasikan adanya perbedaan penurunan muka tanah.

V.2. Analisis Korelasi Penurunan Muka Tanah Dengan Penurunan Muka


Airtanah dan Kondisi Geologi Di Cekungan Bandung

Masalah penurunan muka airtanah menjadi salah satu masalah di Cekungan Bandung.
Beberapa tempat di Cekungan Bandung telah mengalami penurunan muka airtanah
(MAT) yang besar setiap tahunnya seperti daerah Cimahi, Dayeuhkolot, Rancaekek,
Majalaya, dan Banjaran. Di daerah-daerah tersebut banyak terdapat pabrik tekstil
yang diduga mengambil airtanah dari akuifer dalam (artesis) dalam jumlah yang besar.

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pencatatan Dinas Pertambangan Propinsi
Jawa Barat dan Dinas Pertambangan Kabupaten Bandung pada tahun 1999,
pengambilan air tanah oleh industri dan usaha komersial melalui 2.401 sumur bor di
wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, Kota Bandung, dan Kabupaten
Sumedang yang termasuk daerah survei mencapai 45,4 juta m3 (DTLGP, 2004).
Pengambilan airtanah pada tahun 2000 diperkirakan 46,6 juta m3 yang diambil
melalui 2.484 sumur bor. Kemudian pada tahun 2003 tercatat 50,6 juta m3 dengan
jumlah sumur bor 2.258, sedangkan tahun 2004 berdasarkan data hingga bulan Mei,
tercatat volume pengambilan 27 juta m3 (dalam setahun diperkirakan 58,5 juta m3)
yang diambil melalui 2.237 sumur bor. Angka tersebut tentunya lebih kecil
dibandingkan yang sebenarnya, karena diperkirakan masih ada sumur-sumur produksi
yang masih belum terdaftar (DTLGP, 2004). Pengambilan airtanah secara berlebihan
ini tentunya menimbulkan kerusakan pada akuifer terutama akuifer dalam. Kerusakan
akuifer ini dapat dilihat dalam Gambar V.6.

158
Gambar V.6. Zonasi penurunan muka airtanah tahun 2013 hasil simulasi numerik
(Hutasoit, 2009)

Berdasarkan hasil simulasi numerik, pada tahun 2013 beberapa wilayah mengalami
kerusakan akuifer diantaranya Cimahi, Dayeuhkolot, Rancaekek, Majalaya, dan
Banjaran. Perlu dicatat bahwa hasil di atas merupakan hasil simulasi numerik dengan
mengasumsikan tidak dilakukan resapan buatan. Warna merah menunjukkan zona
rusak dimana penurunan MAT > 80%, sedangkan warna kuning menunjukkan zona
kritis yang menunjukkan penurunan MAT 60 – 80%, dan warna hijau merupakan
zona rawan yang menunjukkan penurunan MAT 40 – 60%. Warna biru merupakan
zona aman dimana penurunan MAT < 40% (Hutasoit, 2009).

Beberapa sumur bor di sekitar titik pantau yang mengalami penurunan muka airtanah
(MAT) lebih dari 1 meter per tahun dapat dilihat pada grafik yang ditunjukkan pada
Gambar V.7. Lokasi sumur-sumur tersebut mayoritas berada di area industri tekstil
yang diduga mengambil airtanah secara berlebihan dan bukan tidak mungkin ada
beberapa sumur yang tidak terdaftar.

159
1986 1990 1994 1998 2002 2006 2010

-5
-15
-25
-35
Muka Airtanah (m.bmt)

-45
-55
-65
-75
-85
-95
-105
-115
-125

Dewantex (Cimahi) Hintex (Cimahi)


Asia Agung CP (Rancaekek) Wintai Garment (Majalaya)
Luen Fung (Dayeuh Kolot) Delimatex (Ciparay)
Inti Gunawan (Dayeuh Kolot) Trisulatex (Cimahi)
Cempaka (Cimahi) BSSM (Cimahi)
Kukje Adetex (Banjaran)

Gambar V.7. Grafik penurunan muka airtanah (MAT) pada sumur bor di sekitar titik
pantau
Tabel
(BadanV.4 menunjukkan
Geologi, 2004) rata-rata per tahun penurunan muka tanah untuk sumur-
sumur di atas. Sumur – sumur di daerah Cimahi mengalami penurunan MAT yang
paling besar.
Tabel V.4. Rata – rata penurunan muka airtanah (MAT) pada sumur bor di sekitar
titik pantau
NO 2004) Sumur
(Badan Geologi, Lokasi Rata-rata penurunan (m)
1 Dewantex Cimahi 3,23
2 Hintex Cimahi 3,25
3 Asia Agung CP Rancaekek 1,74
4 Wintai Garment Majalaya 1,24
5 Luen Fung Dayeuhkolot 1,15
6 Inti Gunawan Dayeuhkolot 2,87
7 Delimatex Ciparay 1,34
8 Cempaka Cimahi 2,3
9 Kukje Adetex Banjaran 2,51
10 Trisulatex Cimahi 1,48
11 BSSM Cimahi 5,8

160
Sumur-sumur bor seperti yang dijelaskan dalam Gambar V.8 merupakan sumur –
sumur bor yang mengalami penurunan MAT dengan rata-rata lebih dari satu meter per
tahun. Sumur - sumur bor tersebut juga berada di daerah yang mengalami rata-rata
penurunan muka tanah yang cukup besar per tahunnya seperti Cimahi, Rancaekek,
Dayeuhkolot, Banjaran, Ciparay, dan Majalaya. Gambar V.8 memperlihatkan daerah-
daerah yang mengalami kerusakan akuifer akibat penurunan muka airtanah dan juga
daerah yang mengalami penurunan muka tanah. Kerusakan pada akuifer banyak
terjadi di wilayah industri. Gambar V.9 menunjukkan distribusi pabrik-pabrik yang
mengalami penurunan muka airtanah lebih dari 1 meter per tahun. Secara spasial
terlihat jelas penurunan muka tanah terjadi di dekat pabrik-pabrik yang mengambil
airtanah secara berlebihan. Namun demikian, ada beberapa pabrik tekstil yang
memiliki penurunan MAT lebih dari 1 meter per tahun tetapi mengalami penurunan
muka tanah yang kecil (0,5 – 1 cm per tahun) seperti sumur di Perumahan Sari Mas,
PT. Waitex, dan di CV. Wiska. Persentase sumur pantau yang mengalami penurunan
muka airtanah lebih dari 1 meter dan mengalami penurunan muka tanah adalah
90,6%.

Gambar V.8. Hubungan penurunan muka tanah dari data integrasi GPS dan InSAR dan
kerusakan akuifer

161
Penurunan MAT di daerah tersebut diduga kuat menjadi salah satu penyebab
penurunan muka tanah di daerah tersebut. Data pengolahan data gayaberat
menunjukkan pola yang sama untuk daerah Cimahi, dimana penurunan muka airtanah
dari data hasil gayaberat sebesar 1,79 m per tahun.

-2.0 m 0m

Gambar V.9. Penurunan muka tanah tahun 1999-2010 dari data integrasi GPS dan InSAR
di Cekungan Bandung dan distribusi pabrik yang sumur bornya mengalami
penurunan muka airtanah lebih dari 1 meter per tahun

Di beberapa sumur pantau didekat titik pantau GPS terlihat korelasi positif antara
penurunan muka airtanah dan penurunan muka tanah seperti terlihat pada sumur
pantau PT. Hintex (Cimahi), PT. Luen Fung (Dayeuhkolot), PT Kukje Adetex
(Banjaran), dan PT Asia Agung (Rancaekek). Korelasi yang terjadi bisa bersifat
positif dan juga negatif. Nilai koefisien korelasi () dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut:

∑ ∑ ∑
(V.5)
√{ ∑ ∑ ∑ ∑ }

162
X merupakan nilai penurunan muka airtanah, Y merupakan penurunan muka airtanah,
dan merupakan jumlah data. Jika nilai koefisien korelasi =1 atau mendekati 1
maka korelasi antara dua variabel tersebut positif. Jika nilai koefisien korelasi = -1
atau mendekati -1 maka korelasi antara dua variabel tersebut negatif. Setelah
dilakukan perhitungan dengan rumus tersebut maka didapatkan nilai koefisien
korelasi () dari grafik penurunan muka tanah dan muka airtanah yang terjadi di titik
tersebut. Gambar V.10 menunjukkan penurunan muka airtanah dan penurunan muka
tanah di empat wilayah tersebut beserta nilai korelasinya.

Penurunan Penurunan
=0,91 muka tanah =0,96 muka tanah

Penurunan
muka
airtanah
Penurunan
muka
airtanah

a b

Penurunan
Penurunan muka tanah =0,84 Penurunan
muka muka tanah
airtanah

=0,97 Penurunan muka


airtanah

c d

Gambar V.10. Penurunan muka tanah dan penurunan muka airtanah di sumur pantau
Dayeuhkolot (a), Cimahi (b), Banjaran (c), dan Rancaekek (d)

Pemilihan beberapa titik pemantauan di atas didasarkan pada kedekatan antara titik
pantau GPS dengan sumur pantau sehingga diharapkan dapat lebih merepresentasikan
hubungan antara penurunan MAT dan penurunan muka tanah. Gambar V.11
menunjukkan daerah dengan penurunan muka tanah yang besar seperti Cimahi, Kopo
Katapang, Dayeuhkolot, Majalaya, Rancaekek, dan Gedebage merupakan wilayah
industri khususnya industri tekstil. Survei lapangan dilakukan untuk memvalidasi data
yang diambil dari google earth tersebut (Gambar V.12).

163
Cimahi Gedebage Rancaekek

Majalaya
Katapang

Dayeuhkolot

Gambar V.11. Penurunan muka tanah dan penggunaan lahan di sekitar wilayah yang
mengalami penurunan muka tanah besar

a
b

c d

Gambar V.12. Pabrik tekstil di Kopo Katapang (a), Dayeuhkolot (b), Rancaekek (c), dan
Majalaya (d)

Selain penurunan muka airtanah, ada beberapa penyebab lain yang mungkin
menyebabkan penurunan muka tanah di Cekungan Bandung. Wilayah Cekungan
Bandung masih mungkin mengalami kompaksi alamiah. Seperti dijelaskan

164
sebelumnya, secara geologi wilayah Bandung dialasi oleh beberapa formasi yakni
Formasi Kosambi, Cibeureum, dan Cikapundung. Bagian tengah Cekungan Bandung
(yang banyak mengalami penurunan muka tanah) didominasi oleh Formasi Kosambi
di permukaannya. Formasi Kosambi terutama terdiri dari batulempung, batulanau,
dan batupasir yang belum kompak dengan umur Holosen (Hutasoit, 2009). Patut
dicatat disini, bahwa berdasarkan data pengeboran di bawah Formasi Kosambi masih
terdapat formasi lain yakni Formasi Cibeureum dan Formasi Cikapundung. Khusus
untuk titik pantau GPS, semua titik berada pada batuan dengan Formasi Kosambi dan
Formasi Cibeureum yang sangat dimungkinkan terjadinya kompaksi alamiah dan
kemungkinan pengaruh proses tektonik (Gambar V.13). Daerah Dayeuhkolot, Cimahi,
dan Rancaekek mempunyai indeks kompresibilitas sedang dan tinggi (0,3 - 0,7)
(sumber data: PT. Bina Karya dan Pusat Litbang SDA, 1991).

Gambar V.13. Peta Geologi Cekungan Bandung (Hutasoit, 2009) dan titik pantau GPS

Apabila ditumpangtindihkan antara peta penurunan muka tanah dan formasi geologi
maka terlihat bahwa penurunan muka tanah terjadi di daerah yang secara geologi

165
terdiri dari batulempung, batulanau, dan batupasir yang belum kompak, dengan umur
Holosen (Formasi Kosambi), endapan kipas alluvial dan endapan gunung api klastik
(Formasi Cibeureum), dan sedikit di Formasi Vulkanik Tersier (Gambar V.14).

Gambar V.14. Peta penurunan muka tanah ditumpangtindihkan dengan peta geologi
(Hutasoit, 2009)

Selain itu masih dimungkinkan adanya pengaruh tektonik, hal ini didasarkan pada
beberapa penelitian (Gambar V.15). Struktur geologi yang ada di daerah Cekungan
Bandung dan sekitarnya adalah struktur sesar yang dijumpai dalam bentuk kelurusan-
kelurusan sesar, pergeseran sesar (gerak relatif). Berdasarkan peta geologi dan citra
Landsat Bandung dan sekitarnya, dapat diidentifikasi adanya sesar-sesar yang berarah
barat-timur, barat daya-timur laut, dan utara-selatan. Sesar yang berarah barat-timur di
bagian utara adalah Sesar Lembang, sedangkan di bagian selatan adalah Sesar G.
Geulis dan Sesar Citarum. Sesar berarah utara-selatan dikenal sebagai Sesar
Cihideung-Bandasari, dan sesar berarah barat daya-timur laut adalah Sesar Cicalengka
dan Sesar Cileunyi-Tanjungsari. Karakteristik Sesar Lembang merupakan sesar naik,
sedangkan Sesar Cileunyi-Tanjungsari, Sesar Cicalengka, dan Sesar Cihideung-
Bandarsari merupakan sesar mendatar mengiri (Wirakusumah dan Soehaemi, 2012).
Penelitian Hutasoit (2006) menunjukkan hasil pengeboran sedalam 250 m di sekitar
Gedebage teridentifikasi air panas. Sumber air panas di sekitar Bandung berada di
Maribaya di utara Bandung dan G. Wayang Windu di selatan Bandung. Hal ini
diduga menunjukkan adanya sesar utara selatan dari Maribaya ke arah G. Wayang

166
memotong Cekungan Bandung (Gedebage). Sesar ini kemungkinan tertutup sedimen
yang umurnya relatif lebih muda.

Gambar V.15. Peta Seismotektonik Kota Bandung dan sekitarnya (sumber: Soehaemi
dkk. 2010)
167
Hasil tumpang tindih antara peta penurunan muka tanah dan peta seismotektonik di
Cekungan Bandung (Gambar V.16) menunjukkan beberapa tempat yang mengalami
penurunan muka tanah terjadi dilewati oleh sesar. Daerah Majalaya, Gedebage,
Cimahi, Katapang, dan Dayeuhkolot merupakan daerah-daerah yang mengalami
penurunan muka tanah besar dan dilewati oleh sesar. Banjaran dan Rancaekek
merupakan wilayah yang mengalami penurunan muka tanah yang ckup besar tapi
tidak dilewati oleh sesar. Untuk memastikan kontribusi sesar-sesar tersebut diperlukan
kajian geologi lebih lanjut untuk memvalidasi kontribusinya terhadap penurunan
muka tanah.

Gambar V.16. Penurunan muka tanah dan lokasi sesar di Cekungan Bandung
Santoso (1993) pada penelitian dengan menggunakan data gayaberat yang
menghasilkan adanya Anomali Bouger di bagian tengah Cekungan Bandung yang
ditafsirkan sebagai patahan atau sesar terpendam (Gambar V.17).

CMHI DHYK RCK2

Gambar V.17. Penafsiran adanya sesar terpendam di Dayeuhkolot dari data gayaberat
(Santoso, 1993)
168

You might also like