You are on page 1of 14

7.

Baik Buruk Aliran Theologis


Aliran ini berpendapat bahwa yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, adalah
didasarkan atas ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan/dilarang oleh-Nya. Dengan perkataan
theologies saja nampaknya masih samara karena di dunia ini terdapat bermacam-macam agama yang
mempunyai kitab suci sendiri-sendiri yang antara satu dengan yang lain tidak sama. Sebagai jalan keluar
dari kesamaran itu ialah dengan mengkaitkan etika, theologies ini dengan jelas kepada agama, missal
etika theologies menurut Kristen, etika theologies menurut Yahudi dan Theologis menurut Islam.

Perilaku Baik Dan Buruk Menurut Beberapa Aliran Teologi Islam


Di dalam teologi Islam terdapat beberapa aliran yang mengkaji masalah perbuatan baik
dan perbuatan buruk,1[5] yaitu: (a) aliran Mu’tazilah; (b) aliran qadariyah; (c) aliran jabariyah;
(d) aliran Ays’ariyah (ahli sunnah wal jama’ah); (e) aliran Al-Maturidi. Untuk dapat mengetahui
lebih jelasnya bagaimana dari beberapa aliran tersebut berpendapat tentang perbuatan baik dan
perbuatan buruk manusia, diantaranya sebagai berikut:
1. Pandangan Mu’tazilah
Pada dasarnya mu’tazilah adalah merupakan aliran yang mengetengahkan
pendapatnya-pendapatnya yang rasionalistis tentang berbagai macam masalah, sungguh menurut
mereka akallah yang sangat berperan ketimbang wahyu, salah satu pendapatnya yang
rasionalistis adalah pandangannya tentang perbuatan baik dan pebuatan buruk manusia. Pada
prinsipnya, masalah ini berkaitan erat dengan prinsip keadilan di mana Tuhan Maha adil yang
menunjukkan kesempurnaan pada segala hal. Pada manusia ajaran ini bertujuan ingin
menunjukkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia karena alam semesta ini
diciptakan untuk kepentingan manusia.
Aliran Mu'tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh
karena itu, Mu'tazilah menganut faham qodariyah atau free will.2[6] Menurut Al-Juba'i dan Abd
Aljabbra, Manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya antara yang baik dan buruk
kepada Tuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya
sendiri. Daya (al-istita'ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum
adanya perbuatan. Untuk memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-
argumen rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang
dimajukan oleh Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut: manusia dalam berterima
kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia
yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas
perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya manusia menyatakan rasa tidak senangnya
kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-
perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa
terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada
manusia.3[7] Selain itu, untuk membela fahamnya, aliran Mu'tazilah mengungkapkan ayat
berikut:

۷: ‫ألذى أحسن كل شێ خلقه (السجدة‬

Artinya:
"Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya". (QS. As-Sajdah:
7).
Qs. Al-Kahfi ayat 29

ُ ‫من ربك ْم فمن شاَء فليؤ من و َم ْن شاَء فليكفر إنا َّ أعتدنا للظلمين نارا أحاط بهم‬
َ‫سرا‬ ْ ‫الحق‬
ُّ ‫وقل‬
.ً‫ بئسالشراب وساَءت مرتفقا‬,َ‫ وإن يستغيثوا بماَءٍ كالمه ِل يش ِوى الوجوه‬, َ ‫دِقها‬

Artinya:
“Dan katakanlah:”Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barang siapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)biarlah ia kafir.”
Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang yang dzalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum
dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling
buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
Disamping argumentasi naqliah di atas, aliran Mu'tazilah mengemukakan argumentasi
berikut ini:
a. Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai
perbuatan, batAllah taklif syar'i. hal ini karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan
yang merupakan thalap pemenuhan thalap tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan
pilihan.
b. Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya. Runtuhlah teori pahal dan hukuman
yang muncul dari konsep faham al-wa'dwaal-wa'id(janji dan ancaman). Hal ini karma perbuatan
itu menjadi tidak dapat di sandarkan kepadanya secara mutlak sehingga bersekoensi pujian atau
celaan.
c. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya
sama skali.

Ajaran tentang keadilan terkait erat dengan perbuatan manusia. Menurut mu’tazilah
manusia melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan
kekuasaan Tuhan baik secara langsung atau tidak.4[8] Perbuatan apa saja yang dilahirkan adalah
perbuatan manusia itu sendiri kecuali dalam mempersepsi warna, bau, dan sesuatu lainnya yang
dialaminya tidak diketahui manusia. Pemahaman dan pengetahuan yang timbul dengan selain
melalui informasi dan instruksi itu diciptakan sendiri oleh Allah dan bukan perbuatan manusia.
Kalau dilihat pendapat ini memang Allah maha adil atas segala makhluknya karena alam ini
berserta isinya diciptakan untuk manusia, tapi dalam masalah perbuatan sudah pasti ada campur
tangan Tuhan karena apapun yang dikerjakan oleh manusia bukan karena kehendaknya sendiri
akan tetapi ada yang menggerakkan sehingga ia berbuat .
Kalau manusia berbuat baik dan buruk sudah pasti ada konsekwensi logis yang harus
diterima, karena konsep ajaran Islam yang dijelaskan oleh wahyu bahwa kebenaran dan
kesesatan itu sudah jelas, jadi manusia tinggal memilih mana perbuatan menurut kehendaknya
yang harus dilaksanakan, akan tetapi di dalam masalah pemberian ganjaran Mu’tazilah
berpendapat bahwa Tuhan wajib memberikan ganjaran kepada seseorang yang berbuat baik dan
memberi hukuman kepeda seseorang yang berbuat salah. Asy’ari berkata urusan ganjaran dan
hukuman itu terserah kepada Allah semata-mata .
Akal memang merupakan media yang paling istimewa yang diberikan Tuhan kepada
manusia.5[9] Anugerah akal inilah yang menjadi ukuran seseorang untuk menerima taklif dalam
syariat Islam. Akal ditinjau dari sudut pandang fungsi dan tugasnya dapat dibagi menjadi dua
bagian, berurusan dengan penerapan universal dan berkaitan dengan urusan partikular. Dengan
akal universalnya manusia dapat menungkapkan bahwa setelah menciptakan manusia, Tuhan
menurunkan kitab dan mengutus nabi untuk memberikan penjelasan dari apa yang terkandung di
dalam kitab tersebut. Karena dalam pandangan akal (universal), sangat tidak fair Tuhan
menciptakan manusia lalu membiarkannya tanpa petunjuk visual dan eksternal yang dapat
mengantarkannya meraih kesempurnaan insaniah. Dengan akal universal, ia mampu dengan
lantang mengatakan bahwa dua hal yang kontradiktif tidak akan pernah bersatu pada ruang dan
waktu yang bersamaan. Atau menerapkan segala yang universal lebih besar dari yang partikular.
Dibalik fungsi universal ini, akal dalam beberapa hal tertentu akal tidak mampu menerapkan
secara pasti sejarah nabi diutus, menikah dengan beberapa orang, usia berapa ,dan juga hukum-
hukum praktis, seperti jumlah rakaat, bagaimana melaksanakan shalat dan sebagainya. Ia perlu
bimbingan seorang Nabi yang bertugas memaparkan secara elaboratif masalah-masalah
partikular ini. Maksudnya adalah untuk menjelaskan perkara dan fungsi akal sehingga tidak
secara general memandang akal sebagai media tunggal dalam beragama, akan tetapi harus
melalui dua sumber naql (Qur’an dan hadis) dan aqli (akal).
2. Pandangan Qadariyah
Ada hal yang berbeda dengan paham Qadariyah dimana aliran ini mengatakan bahwa
dalam masalah perbuatan baik dan buruk manusia, manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya dan mereka menolak adanya qada’ dan
qadar.6[10] Menurut paham ini perbuatan manusia merupakan hasil usaha manusia itu sendiri
dan bukan perbuatan Tuhan, artinya manusia mempunyai kemampuan untuk mengerjakan dan
meninggalkan suatu perbuatan tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalin bahwa manusia berkuasa atas


perbuatan-perbuatannya.7[11] Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai
kemampuan dan dengan kemampuan itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya. Dengan
demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Dianatara
dalil yang digunakan untuk mendukung faham ini ialah:

QS. Al-Kahfi :29

‫فمن شاء فليؤمن ومن شاء فليكفر‬


Artinya:

”Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir.”

QS. Ar-Ra’d 11

,‫ى يغيّروا ما بأنفسهم‬


ّ ‫بقوم حت‬
ٍ ‫إن هللا ال يغيّر ما‬
Artinya:

“ Sesenguuhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

QS. Ali-Imran 165

َّ ‫ قلتم ان‬,‫أولما اصا بتكم مصيبة قد اصبتم مثلَيها‬


‫ ان‬,‫ قل هوا من عند انفسكم‬, ‫ى هذا‬
.‫قدير‬ ‫شيئ‬
ٍ ‫هللا على كل‬
Artinya:

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan uhud), padahal kamu
telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan badar)
kamu berkata: ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ katakanlah: ‘itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri’. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

QS. An-Nisa 111

‫ومن يكسب اثما فإنّما يكسبه على نفسه‬


Artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk


(kemudharatan) dirinya sendiri.”

Dalam menanggapi masalah ini Abd Jabbar8[12] mengemukakan bahwa perbuatan


manusia bukanlah diciptakan oleh Tuhan akan tetapi pada manusia, manusia sendirilah yang
mewujudkannya . Keterangan-keterangan telah jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat
adalah kehendak manusia, tetapi tidak jelas apakah daya untuk mewujudkan perbuatan itu daya
manusia sendiri ataukah bukan dan dalam hubungannya dengan ini perlu kiranya di tegaskan
bahwa dalam menlaksanakan perbuatan itu harus ada kemauan atau kehendak dan daya untuk
meleksanakan kehendak itu dan barulah perbuatan itu dilaksanakan. Karena manusia bebas,
merdeka, dan memiliki kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, maka ia harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Allah SWT., jika ia banyak berbuat
kebaikan, maka ia akan mendapat balasan berupa nikmat dan karunia yang besar dan sebaliknya
apabila ia lebih banyak melakukan perbuatan yang tidak baik maka ia akan mendapatkan
ganjarannya Karen perbuatan itu sendiri diwujudkan oleh manusia itu sendiri dan merupakan
suatu kewajaran apabila Tuhan menyiksa atau memberikan pahala .

3. Pandangan Jabariyah
Paham jabariyah merupakan pecahan dari aliran Qadariyah dimana manusia
mewujudkan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan, akan tetapai dalam paham aliran
jabariyah maka manusia tidak berkuasa atas perbutannya, yang menentukan perbuatan itu adalah
kehendak Allah . Dalam paham Jabariyah , perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
Tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam yang diikat dengan tali digantungkan di
udara,9[13] ke mana angin itu bertiup, maka ia akan terbang ia tidak mampu menentukan
perbuatannya sendiri, akan tetapi terserah angin dan apabila perbuatan manusia itu
diumpamakan seperti ayam , maka angin itu adalah Tuhan yang menetukan ke arah mana dan
bagaimana perbuatan itu dilakukan.

Dalam paham ini manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun di setiap
perbuatannya meskipun perbuatan yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang
menentukannya. Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan
yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak
mempunyai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh
manusia merupakan Qodrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah SWT. Ulama aliran
Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak
mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan
Qadar Allah. Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah
mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

‫تلك حدودهللا ومن يطع هللا ورسوله يدخله جنات تجرى من تحتها األنهار خالدين فيها‬
ً َ‫ ومن يعص هللاَ ورسولهُ ويتعدَّ حدودهُ يدخله‬,‫وذلك الفوز العظيم‬
‫ناراخالدًا فيها وله عذاب‬
.‫ّمهين‬
Artinya:

"Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam
surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah
kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: An-Nisa’:13-14)

Dilihat dari sisi lain pendapat ' Ulama Jabariyah kurang kuat karena, untuk apa pula
Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya
agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah SWT.

‫شرين ومنذرين ويجادل الّذين كفروا بالباطل ليدحضوا به‬


ّ ‫وما نرسل المرسلين إالّ مب‬
‫أنذرواهزوا‬
ً ‫الحق واتخذُواايت ْى وما‬
ّ
Artinya:

"Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita


gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang kafir membantah dengan (cara) yang
batil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak (kebenaran), dan mereka
menjadikan ayat-ayatKu dan apa yang diperingatkan terhadap mereka sebagai olok-olokan.” "
(QS:18: Al-Kahfi: 56)

Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah
menjadi lemah10[14]. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran
Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan
kebijaksanaan-Nya. Sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah.
Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang
akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala
bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut
Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat
aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk
menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah
dan larangan.
Paham jabariyah merupakan paham yang di lontarkan oleh Jaham bin
Shofwan11[15], tokoh utama Jabariyah yang ekstrim sebab dalam paham tersebut manusia tidak
punya andil sama sekali dalam menentukan perbuatannya semua ditentukan oleh Tuhan, di
samping paham ini ada paham kelompok Jabariyah yang di anggap moderat. Menurut paham
Jabariayah yang moderat perbuatan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Tuhan, tetapi
manusia punya andil juga dalam mewujudkan perbuatannya seolah-olah ada kerja sama Tuhan
dengan manusia dalam mewujudkan perbuatannya sehingga manusia tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatanya. Kalau dilihat dari pendapat diatas bahwa disatu sisi perbuatan
manusia itu di tentukan oleh Tuhan dan disisi lain perbuatan manusia itu tidak sepenuhnya
campur tangan Tuhan akan tetapi manusia juga punya andil untuk mewujudkan perbuatanya,
dalam hal ini Asy’ari membantah pernyataan ini lewat argumentasinya.

Dalam faham Al-Jabariyah, terdapat dua kelompok,12[16] yaitu ekstrim dan moderat,
diantaranya ialah sebagai berikut:

a) Aliran ekstrin, di antara tokohnya ialah Jahm bin Shofwan berpendapat bahwa manusia tidak
mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri dan
tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang leterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan
dengan pendapatnya, yaitu:
i. Surga dan Neraka tidak kekal13[17], dan yang kekal hanya Allah;
ii. Iman, ma’rifat atau membenarkan dengan hati;
iii. Kalam Tuhan adalah Makhluk. Allah tidak serupa dengan manusia.
Dapat disimpulkan bahwa menurut faham ini manusia tidak mempunyai kehendak dan
kemauan bebas sebagaimana yang dimilki oleh faham Qadariyah.
b) Aliran Moderat ialah Tuhan menciptakan perbuatan Manusia, baik perbuatan baik maupun
perbuatan buruk, akan tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tokoh yang berfaham
seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar mengatakan14[18] bahwa Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akirat. Sedangkan Adh-
Dhirar (tokoh lainnya) berpendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.15[19]
4. Pandangan Asy’ariyah (ahli sunnah wal jama’ah)
Berbicara tentang aliran Asy’ari pada dasarnya merupakan pecahan dari aliran
Mu’tazilah yang mendewakan akal, rasionalistis dan filosofis . Dimana Asy’ariyah menganut
paham ini selama 40 tahun, namun setelah itu menyatakan dirinya keluar dan mengembangkan
ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan Mu’tazilah yang kemudian dikenal dengan
Asy’ariyah. Pandangan Asy’ariyah mengenai perbuatan baik dan buruk, sungguh sangatlah
berbeda dengan aliran-aliran yang lain, aliran ini sangat menolak keras bahwa perbuatan baik
dan buruk yang berasal dari akal, Asy’ariyah mengemukakan argumentasinya untuk
membenarkan atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal dari akal, yaitu jika akal yang
menetukan kebaikan dan keburukan, maka tidak akan pernah perbuatan buruk itu menjadi baik.
Oleh al-Asy’ari juga diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah
menghendaki manusia supaya menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.16[20]

Di dalam menyikapi masalah ini, sangatlah jelas bahwa kemampuan akal dalam
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan tidak memiliki independensi sama sekali, dan
meyakini bahwa yang ada hanyalah baik dan buruk yang ditentukan agama. Dengan demikian
perbuatan dikatakan baik menurut Asy’ariyah, apabila dihukumi oleh syariat adalah baik dan
perbuatan dikatakan buruk, jika dikatakan oleh syariat ialah buruk . Kalau manusia dalam
konteks ini tidak mampu mendeteksi dan menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan,
bahkan yang menjadi syarat keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada
perintah dan larangan Tuhan . Masalah perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia
aliran Asy’ariyah berada pada posisi tengah antara aliran Jabariyah dengan Mu’tazilah. Menurut
Mu’tazilah manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan sesuatu kekuasaan yang
diberikan Tuhan kepadanya, begitu pula dengan Jabariyah manusia tidak berkuasa mengadakan
atau menciptakan atau memperoleh sesuatu, bahkan ia ibarat bulu yang bergerak menurut arah
angin yang meniupnya, maka datanglah Asy’ari yang mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa
menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.17[21]

Berdasarkan pendapat di atas Asy’ariyah juga mengatakan: "Akal tidak dapat


menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, dan kewajiban mengetahui yang baik dan yang
buruk hanya diketahui lewat wahyu dan tidak dapat menentukan apakah suatu perbuatan
mendatangkan pahala atau siksa . Dengan demikian kalau dianalisa pendapat Asy’ariyah
perbuatan baik dan buruk dalam arti yang sebenarnya adalah yang bersifat syar’i (wahyu) bukan
aqli, artinya suatu perbuatan hanya bisa dipandang baik, jika terdapat dalil syar’i yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu baik dan demikian pula suatu perbuatan hanya dapat
dipandang buruk jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan itu buruk.18[22]
Selain itu juga, dalam aliran ini berpendapat bahwa seorang yang melakukan dosa
besar, tidaklah mengeluarkan si pelaku dari iman yaitu Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’19[23].
Allah berfirman:
َ ‫يشرك با هللاِ فقد افترى إثما‬
ْ ‫ ومن‬,‫إن هللاَ الَ يغفر أن يشرك ب ِه ويغفر ما دون ذَلك لمن يشاء‬
ّ
.‫عظيما‬
Artinya:
“sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa selain dari syirik itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa yang
mempersekutukan Allah , maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” (An-Nisa’: 48)
Menurut Imam Asy’Ari20[24] aliran ini berijma’ bahwasanya orang yang beriman
kepada Allah SWT dan beriman kepada semua yang diserukan oleh Nabi SAW , maka suatu
kemaksiatan tidak akan dapat mengeluarkannya dari keimanan dan tak ada yang bisa
menghapus Imannya kecuali kekufuran.
5. Pandangan Al-Maturidi
Al-Maturidi menyebut bahwa kebebasan manusia dalam berbuat adalah kekuasaan
yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.. Mengenai soal kehendak, menurut al Maturidi
manusialah yang menentukan pemakaiannya, baik untuk perilaku kebaikan maupun untuk
perilaku kejahatan. Karena salah atau benarnya seseorang dalam memakai kemampuan dan
kebebasannya maka manusia diberi hukuman atau upah. . Manusia tentu tidak dapat
mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan kemampuan yang
lebih kuat dari dirinya. Di dalam pendapat aliran maturidilah, baik golongan Samarkand maupun
golongan Buhhara kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa
perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia.
Dalam paham al Maturidi, mereka berpendapat bahwa kebebasan di sini bukanlah
kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan
kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa
yang tak disukai Tuhan. Kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan
kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.
Perbedaan lain yang terdapat pada paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa
daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang
bersangkutan. Kemampuan yang demikian kelihatannya lebih kecil dari kemampuan yang ada
pada paham mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas
manusia dalam paham dan persepsi mu’tazilah21[25]. Meskipun Aliran ini mempunyai paham
yang hampir sama dengan aliran Mu’tazilah dalam batasan iman. Bagi kaum Maturidiah, iman
lebih dari sekedar tashdiq , iman adalah ma’rifat. Batasan iman yang demikian itu sejajar
dengan pandangan aliran Maturidiah yang menyatakan bahwa akal dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan.

You might also like