You are on page 1of 5

ISLAM SEBAGAI MABDA (IDELOGI)

Mabda’ secara etimologis adalah mashdar mimi dari kata bada’ayabdau bad’an wa mabda’an
yang berarti permulaan. Secara terminologis berarti pemikiran mendasar yang dibangun diatas
pemikiran-pemikiran (cabang ) dalam Al-Mausu’ah al-Falsafiyah, entry al-Mabda. Al-
Mabda’(ideologi) : pemikiran mendasar (fikrah raisiyah) dan patokan asasi (al-qaidah al-
asasiyah) tingkah laku.

Dari segi logika al-mabda adalah pemahaman mendasar dan asas setiap peraturan [lihat catatan
tepi kitab Ususun Nahdhah ar-Rasyidah, hal 36]

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de
Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap
sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, secara umum dan
beberapa arah filosofis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada
seluruh anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan
perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak yang
diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara
implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai
sistem berpikir yang eksplisit.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Ideologi(mabda’) adalah pemikiran yang mencakup
konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran
tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari
pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.Sehingga dalam Konteks
definisi ideologi inilah tanpa memandang sumber dari konsepsi Ideologi, maka Islam adalah
agama yang mempunyai kualifikasi sebagai Ideologi dengan padanan dari arti kata Mabda’
dalam konteks bahasa arab.

Salah satu prinsip Ahlus-Sunnah dalam perkara sifat-sifat Allah adalah beriman kepada
sifat-sifat (Allah) tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-
Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa tahrif (penyelewengan makna), ta’thil
(meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimana/kaifiyyah), dan tamtsil
(mempermisalkannya/menyamakannya dengan makhluk); dan mengimani bahwa Allah
subhaanahu wa ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun, Dia Maha Mendengar dan Maha
Melihat

Lahirnya Sistem Islam dari Akidah Islam

Sebagai akidah rasional yang memancarkan sistem, ideologi Islam mempunyai proses
yang berbeda dengan Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika realitas kehidupan dan akal manusia
merupakan satu-satunya sumber bagi Kapitalisme untuk melahirkan sistemnya, sementara faktor
produksi dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Sosialisme untuk melahirkan
sistemnya, maka Islam berbeda dengan keduanya. Sistem Islam lahir dari sumber yang tetap,
yaitu nash-nash syara’ yang tetap, Al Quran dan As Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh
keduanya sebagai sumber sistem yang layak, yakni Ijma’ Sahabat Rasulullah saw. dan Qiyas;
dengan cara memahami nash-nash tersebut, memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan,
dan mengkompatibelkan realitas dengan nash. Jika realitas itu kompatibel dengan nash, berarti
hukum yang terdapat dalam nash tersebut merupakan hukum atas realitas itu. Dan demikian
sebaliknya. Dengan mekanisme ini, sistem Islam tidak akan mengalami perubahan sepanjang
waktu dan tempat. Pada waktu yang sama, di setiap waktu dan tempat akan lahir para ahli hukum
Islam (fuqaha/mujathid) yang akan mampu menggali hukum (ijtihad) dari nash-nash tersebut
untuk menyelesaikan berbagai persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Adapun sistem yang lahir dari akidah Islam adalah sistem yang mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya
sendiri. Sistem tersebut meliputi dua aspek: Pertama, penyelesaian masalah (mu'âlajah li
masyâkil al-insân), yang meliputi: 'ibadâh, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; mu'âmalah
seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; serta akhlâq.
Kedua, metode (tharîqah), baik untuk menerapkan Islam, seperti Khilafah Islam, atau menjaga
Islam, seperti sanksi hukum ('uqûbât) yang dterapkan oleh Khilafah Islam, ataupun
menyebarluaskan Islam, seperti dakwah dan jihad yang diemban oleh Khilafah Islam.
Maka, dengan adanya Khilafah Islam, seluruh penyelesaian masalah yang lahir dari akidah Islam
tersebut bisa diterapkan dan dijaga, sehingga tidak ada satupun hukum Islam yang diabaikan,
atau bahkan ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:

"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa saja yang
(tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada) tanpa penjaga, pasti juga
akan hilang."

Khilafah Islam akan mengadopsi hukum Islam untuk menjadi UUD dan perundang-undangan
negara. Dengan cara itulah, hukum-hukum Islam tersebut bisa diterapkan. Ini didukung dengan
ketakwaan rakyat, dan kontrol masyarakat yang tinggi terhadap setiap bentuk penyimpangan atau
penyelewengan dari hukum tersebut.
Sementara untuk menjaga Islam, sistem sanksi (nizhâm al-'uqûbat) yang dilaksanakan oleh
khalifah sebagai bagian dari hukum Islam, benar-benar terbukti mampu menjaga keutuhan ajaran
Islam. Mengingat sanksi ini berfungsi sebaga zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif); preventif
bagi orang lain, supaya tidak melakukan kesalahan yang sama, sebagamana firman Allah:

ِ ‫اص َحيَاة ٌ يَاأُو ِلي اْأل َ ْلبَا‬


 َ‫ب لَ َعلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫ص‬َ ‫ولَ ُك ْم فِي ْال ِق‬
َ
"Dan dalam qishaas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa." (Q.s. al-Baqarah: 179)

Dan kuratif bagi orang-orang yang dijatuhi sanksi, sehingga di akhirat tidak akan dijatuhi lagi
hukuman oleh Allah, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan:

«ُ‫ارة ٌ لَه‬
َ َّ‫ب ِفي الدُّ ْن َيا فَ ُه َو َكف‬
َ ‫ش ْيئًا فَ ُع ْو ِق‬
َ َ‫اب ِم ْن ذَلِك‬
َ ‫ص‬َ َ ‫» َو َم ْن أ‬
"Dan siapa saja yang melakukan sesuatu dari perbuatan (dosa) itu, kemudian dikenakan sanksi di
dunia, maka itu merupakan tebusan baginya (di akhirat)." (H.r. al-Bukhâri).

Maka, dengan diterapkannya sanksi tersebut, bukan hanya Islam saja yang terjaga, tetapi juga
kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharûriyyah) ummat manusiapun akan terjaga, baik
berkaitan dengan agama, keturunan, akal, jiwa, harta, kehormatan, keamanan maupun negara.
Sementara untuk menyebarluaskan Islam, Khilafah Islam akan melakukan dakwah secara praktis
(dalam istilah orang Indonesia dakwah bil hal) di tengah masyarakat, baik muslim maupun non-
muslim, dengan menerapkan Islam secara utuh. Dengan begitu cahaya Islam akan bersinar
kembali, dan orang-orang non-muslim akan masuk Islam secara berbondong-bondong.
Sementara keluar, Khilafah Islam akan melakukan propaganda tentang Islam, dengan berbagai
sarana yang memungkinkan, serta melaksanakan jihad sebagai langkah terakhir untuk
menghancurkan tembok penghalang, yang menghalangi sampainya Islam kepada seluruh umat
manusia. Firman Allah SWT.:

ِ َ‫ َوقَاتِلُو ُه ْم َحتَّى الَ ت َ ُكونَ فِتْنَةٌ َو َي ُكون‬


ِ‫الدينُ ِلل‬
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah." (Q.s. al-Baqarah [2]: 193).

Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah para sahabat Rasulullah saw. berhasil
melanjutkan dakwah dan kehidupan Islam yang dibangun Rasulullah saw. sehingga Islam di
masa mereka tersebar luas dan berdaulat sampai ke hampir 2/3 belahan dunia. Panji-panji tauhid
pun berkibar, hukum-hukum Allah yang sempurna ditegakkan, keadilan dan kesejahteraan
ditebarkan. Kalau hari ini umat ini ingin mengulangi sukses Rasul dan para sahabatnya serta para
pelanjut kejayaan Islam berikutnya, pertama kali yang harus ditempuh adalah melakukan
rekonstruksi pemikiran mereka tentang Islam yang utuh, yakni menanamkan kembali
pemahaman Islam sebagai mabda atau ideologi. Tidak ada jalan lain.
Sedangkan keyakinan mengenai al-Qur'an sebagai firman Allah, sesuai dengan realitas
al-Qur'an yang merupakan kitab suci berbahasa Arab. Sebagai kitab suci yang berbahasa Arab,
ada tiga kemungkinan bagi al-Qur'an: Pertama, al-Qur'an adalah kata-kata orang Arab (kalâm al-
'Arab), dan kemungkinan ini jelas batil, karena terbukti sejak diturunkannya al-Qur'an hingga
sekarang, atau sekitar 14 abad, tidak ada satu orang Arab pun yang bisa membuatnya, atau
membuat satu surat sepertinya, padahal tantangan al-Qur'an kepada mereka sejak turunnya tetap
berlanjut sepanjang masa. Kedua, al-Qur'an adalah sabda Muhammad saw. (kalâm Muhammad),
dan kemungkinan ini juga batil, karena dua alasan: Pertama, Muhammad saw. adalah orang
Arab, sehingga kepadanya berlaku tantangan terhadap bangsa Arab pada kemungkinan pertama
tersebut, dan jika semua orang Arab terbukti tidak mampu, maka demikian juga dengan
Muhammad saw. Sebab, beliau merupakan bagian dari orang Arab. Kedua, dari mulut Rasul
telah keluar dua nash yang berbeda, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, sementara masing-masing
mempunyai gaya bahasa yang berbeda. Jika keduanya keluar dari mulut yang sama, dan sabda
atau kata orang yang sama, tentu keduanya pasti sama, dari sisi gaya bahasa dan ungkapannya.

You might also like