Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
I.1. Patofisiologi
Pada PJB sianotik, hipoksemia lama dan berkurangnya oksigenasi jaringan akan
merangsang produksi eritropoietin (EPO) dari ginjal yang menyebabkan eritrositosis
sekunder. Eritrositosis sekunder ini adalah mekanisme fisiologis adaptif yang bertujuan untuk
mengkompensasi oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Namun, dengan adanya hipoksemia
persisten dan menetap (dikarenakan, dari shunt kanan-ke-kiri yang signifikan), perbaikan
oksigenasi jaringan tidak dapat melampaui batas tertentu. Namun, sekresi EPO akan terus
berlanjut dan meningkatkan massa sel darah merah dan viskositas darah dan bertambahnya
efek negatif pada oksigenasi jaringan.(2)
Sejauh ini belum ada penelitian yang dapat menentukan kadar optimal dari hematokrit
pada pasien PJB sianotik. Pada pasien dengan PJB sianotik terjadi right to left shunt yang
akan mengakibatkan desaturasi arteri sistemik dan hipoksia. Hipoksia merupakan stimulus
untuk meningkatkan produksi erythropoietin dan menyebabkan kenaikan massa eritrosit
dalam upaya memperbaiki hipoksia. Hal inilah yang akan menyebabkan munculnya gejala
hiperviskositas seperti sakit kepala, pusing, komplikasi thrombosis, serebrovaskular dan
kerusakan organ.(3)
I.3. Komplikasi
Gejala neurologis dari hiperviskositas terkadang dapat disalahartikan sebagai TIA atau
stroke, yang menjadikan tindakan flebotomi menjadi tidak tepat. Pasien dengan PJB sianotik
dan eritrositosis sekunder yang menjalani flebotomi berulang akan berisiko mengalami
defisiensi besi dan terbentuknya eritrosit mikrositik dalam sirkulasi. Eritrosit mikrositik ini
terbukti rigid dan dapat menahan deformasi pada tingkat gesekan yang tinggi dalam
mikrosirkulasi, dan akan kembali meningkatkan risiko munculnya gejala hiperviskositas dan
stroke pada orang dewasa dan anak-anak dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder.
Oleh karena itu, manfaat potensial jangka pendek dari flebotomi untuk menurunkan
hematokrit pada pasien PJB sianotik dan eritrositosis sekunder dapat diimbangi dengan
terjadinya defisiensi besi kronis disertai peningkatan risiko gejala hiperviskositas dan
kejadian serebrovaskular.(5)
3
Tabel 1. Simptom dari Hiperviskositas / Transient Ischemic Attack (TIA)(5)
4
rendah dengan pemantauan ketat jumlah darah untuk menghindari peningkatan respons
eritrositosis yang berlebihan, yang nantinya akan memperberat hiperviskositas. Setelah
dehidrasi dan defisiensi zat besi dieksklusi sebagai penyebab gejala hiperviskositas,
flebotomi dapat dilakukan dengan aman disertai dengan penggantian volume secara
bersamaan. Tindakan flebotomi yang cepat tanpa penggantian volume yang memadai dapat
menyebabkan penurunan aliran darah sistemik secara mendadak, dan berpotensi
meningkatkan risiko stroke trombotik.(5) Pengobatan polisitemia diindikasikan pada pasien
yang simtomatik (sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri tulang, kelelahan, atau
trombosis) dan yang paling umum adalah flebotomi dengan tujuan mengurangi hematokrit
sampai <65%. Flebotomi kronik dari waktu ke waktu dapat menyebabkan defisiensi besi
yang dapat meningkatkan risiko trombosis sekunder akibat peningkatan viskositas karena
rigiditas sel darah merah abnormal yang diproduksi selama hematopoiesis restriksi besi.(2)
I.4. Tatalaksana
I.4.1. Phlebotomi
Phlebotomi preoperatif pertama kali diusulkan untuk pasien PJB sianotik pada tahun
1964. Pada tahun 1975, Maurer dkk melaporkan empat pasien yang dilakukan phlebotomy
dengan menggantikan 15 - 20 mL / kg BB darah pasien dengan plasma disertai penambahan
50 mL dalam waktu 1-2 jam. Prosedur ini memperbaiki agregasi trombosit menjadi normal
dan menghilangkan gejala perdarahan sebelumnya. Laporan awal ini menunjukkan
pengurangan volume sel darah merah dapat bermanfaat jika dilakukan sebelum operasi pada
pasien PJB sianotik dengan defek fungsi trombosit, untuk mengurangi risiko perdarahan
serius selama periode perioperatif. Teknik ini menjadi prosedur paliatif pada anak-anak yang
sangat sianotik, ec mereka yang mengalami cyanotic spell. Phlebotomi telah menjadi populer,
terutama pada pasien sianosis dewasa. Phlebotomi didasarkan pada tingkat hematokrit per se,
dan batas cutoff diserahkan kepada kebijaksanaan dokter penanggung jawab pasien. Pada
anak yang lebih tua (5 tahun), flebotomi dapat dilakukan sesuai dengan metode yang
dijelaskan oleh Maurer, dkk. Jika gejala hiperviskositas tidak membaik, haruslah
dipertimbangkan kemungkinan adanya defisiensi besi dan dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium, seperti mean corpuscular volume atau kadar feritin serum. Phlebotomi
umumnya tidak diperlukan pada pasien dengan eritrositosis terkompensasi dikarenakan dapat
menyebabkan defisiensi besi simtomatik dan peningkatan viskositas glukosa darah jika tidak
diindikasikan secara tepat. Teknik ini hanya dianjurkan pada pasien dengan hiperviskositas
5
simtomatik saat kadar hematokrit > 65% dan telah menyingkirkan kemungkinan adanya
dehidrasi.(7)
Pada anak-anak <5 tahun, haruslah dilakukan penarikan volume yang lebih kecil
secara proporsional. Terapi balon atrium septostomi atau prostaglandin-E1 mungkin
diperlukan pada neonatus untuk memperbaiki hipoksia, yang menyebabkan cyanotic spell
berulang. Bayi dan neonatus dengan konsentrasi hemoglobin > 20 g / dL rentan terhadap
acidosis, trombosis organ, atau infark sekunder akibat sumbatan perifer dan abnormalitas tes
koagulasi, seperti pemanjangan Prothrombin Time (PT). Phlebotomi preoperatif juga bisa
dilakukan pada pasien-pasien tersebut. Parameter koagulasi harus diukur sebelum phlebotomi
dan 24 jam kemudian.(7)
Peningkatan massa eritrosit juga telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
kejadian serebrovaskular, mungkin sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah serebral
sekunder akibat hiperviskositas. Phlebotomi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
mengurangi kadar hematokrit ke tingkat aman akan mengurangi risiko infark serebral.
Definisi aman dibiarkan sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing praktisi. Kurangnya
data menyebabkan variasi yang luas dalam metode phlebotomy. Satu studi pada orang
dewasa menunjukkan bahwa risiko kejadian serebrovaskular meningkat pada pasien dengan
riwayat flebotomi dan mikrositosis. Diperlukan pendekatan yang cermat untuk flebotomi dan
bilamana tidak ada gejala hiperviskositas, disarankan agar tidak melakukan phlebotomi pada
kadar hematokrit per se bahkan ketika kadarnya 70%.(7) Dehidrasi dipicu oleh demam,
diare, dan muntah dapat menyebabkan peningkatan kadar hematokrit dan gejala
hiperviskositas. Pasien tersebut memerlukan penggantian volume bukan phlebotomi. Untuk
alasan yang sama, phlebotomi tanpa penggantian volume mungkin berbahaya dan berdampak
buruk bagi oksigenasi jaringan. (7)
Anemia defisiensi besi (ADB) sering dijumpai pada anak dengan PJB sianotik dan
hubungannya dengan kejadian cyanotic spell telah dibahas dalam literatur. ADB merupakan
salah satu faktor penentu kualitas hidup yang penting pada anak dengan PJB sianotik. Adanya
ADB akan memperburuk gejala hiperviskositas karena adanya eritrosit mikrositik yang tidak
dapat dimodifikasi dalam mikrosirkulasi. Sehingga adanya ADB pada anak-anak ini semakin
meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi serebrovaskular dan cyanotic spell.
Adanya polisitemia menyebabkan kadar hemoglobin dan hematokrit meningkat sehingga
6
nilai normal sesuai usia-pun tidak dapat mencerminkan status kekurangan zat besi pada
kelompok ini.(3)
II.1. Epidemiologi
Hanya ada beberapa literatur yang membahas kekurangan zat besi pada anak-anak
dengan PJB sianotik dan beberapa penelitian ini memberikan hasil yang bervariasi. West, dkk
(1990), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga pasien dengan PJB
sianotik mengalami kekurangan zat besi. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Olcay dkk
(1996), prevalensi IDA ditemukan sebesar 52,2%. Dalam sebuah penelitian di India oleh
Gaiha dkk (1993), dilaporkan prevalensi sebesar 18%, namun subjek penelitian ini adalah
remaja dan dewasa muda. Sedangkan Mukherjee, dkk (2016) menemukan bahwa 5 dari 10
anak-anak dengan PJB sianotik mengalami defisiensi besi dan anak-anak dengan defisiensi
besi ini memiliki risiko 8x lebih sering mengalami cyanotic spell dibandingkan mereka yang
tidak memiliki ADB. Semua anak dengan ADB memiliki gambaran hipokromik mikrositik
pada pemeriksaan preparat apusan darah tepi, distribusi sel darah merah mereka meningkat
dan memiliki nilai MCV yang rendah. RDW sangat penting untuk mendiagnosis kekurangan
zat besi. Penelitian sebelumnya telah menyimpulkan bahwa defisiensi besi dapat didiagnosis
dengan mengevaluasi RDW dan MCV bersama-sama dengan tingkat akurasi sebesar 98%.(3)
7
Pada pasien PJB sianotik dengan anemia defisiensi besi, kadar hemoglobin total akan
normal, tinggi atau sedikit berkurang dibandingkan dengan individu normal tanpa sianosis
seumurannya. Namun, MCV, MCH dan serum feritin biasanya relatif lebih rendah
dibandingkan rekan mereka - sebuah fenomena yang dikenal sebagai anemia relatif. Terlepas
dari penyebabnya, defisiensi besi menyebabkan peningkatan viskositas darah secara
keseluruhan pada pasien eritrositosis, dan efek viskositas akan meningkat seiring penurunan
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) eritrosit. Pasien defisiensi zat besi akan memiliki
tingkat morbiditas lebih tinggi dengan disertai gejala hiperviskositas seperti kejadian
serebrovaskular, cyanotic spell, anoreksia, intoleransi latihan, buruknya nafsu makan,
kenaikan berat badan yang sulit, mudah tersinggung dan perkembangan mental yang buruk.
Pengobatan defisiensi zat besi terbukti bisa membalikkan semua gejala ini. Gaiha dkk (1993)
menunjukkan bahwa gejala hiperviskositas terjadi pada tingkat PCV yang lebih rendah (0,52-
0,58) pada pasien sianotik dengan defisiensi besi dibandingkan dengan mereka yang zat
besinya cukup dimana gejala muncul pada PCV rata-rata 0,68. Pada kelompok defisiensi zat
besi, gejala hipersianotik akan membaik dengan suplementasi zat besi, dengan disertai oleh
kenaikan hemoglobin rata-rata 2.1g / dl.(8)
Tabel 3. Perbandingan Parameter Hematologi pada Kelompok Defisensi Besi dan Normal Anak
dengan PJB Sianotik(3)
8
Tabel 4. Perbandingan Parameter Hematologi padal Anak PJB Sianotik yang Mengalami
Cyanotic Spell dan yang Tidak.(3)
III.1. Trombositopenia
9
hematopoietik pleuripotensial, berfungsi menghasilkan trombosit dan melepaskannya ke
dalam sirkulasi. Namun, mekanisme dimana trombosit terbentuk dan dilepaskan dari sel
prekursor ini - biosintesis trombosit masih menjadi perhatian para ahli hematologi. Pada
tahun 1893, Aschoff berhipotesis bahwa megakariosit berasal dari sumsum tulang, bermigrasi
ke aliran darah. dan karena ukurannya yang besar, akan tersangkut di pulmonary capillary
bed dimana trombsoit terbentuk. Lill, dkk (2006) menyebutkan ada 4 mekanisme
pathogenesis yang mungkin bertanggung jawab terhadap trombositopenia pada PJB sianotik,
yaitu : (1) berkurangnya produksi trombosit, (2) berkurangnya produksi megakariosit, (3)
meningkatnya destruksi trombosit, dan (4) meningkatnya aktivasi trombosit.(10) Mereka
berhipotesis bahwa patogenesis trombositopenia pada PJB sianotik mencerminkan right to
left shunt yang berperan menghantarkan megakariosit dari sirkulasi vena ke sirkulasi sistemik
tanpa melalui paru dan menurunkan jumlah trombosit yang diproduksi di paru-paru. Yang
mendukung hipotesis ini adalah data dari penduduk yang tinggal di ketinggian tinggi yang
memiliki jumlah trombosit normal walaupun terjadi hipoksemia dan eritrositosis karena tidak
terjadi right to left shunt yang menghantarkan megakariosit ke dalam sirkulasi sistemik.
Megakariosit yang masuk ke dalam kapiler digiti dan periostium melepaskan growth factor
yang diturunkan dari platelet dan mengubah growth factor-, sitokin dan mitogen yang ikut
berperan menyebabkan clubbing dan osteoarthropathy hipertrofik. Megakariosit yang
tersangkut ke dalam kapiler glomerulus melepaskan sitokin dan mitogen yang sama dan
bertanggung jawab atas kelainan glomerulus nonvaskular pada PJB asianotik.(10)
Penelitian terbaru menggunakan thromboelastography (TEG) telah menyanggah teori
bahwa trombositopenia merupakan penyebab utama gangguan hemostasis pada PJB sianotik.
Karena TEG dilakukan pada darah utuh, bukan hanya plasma, pemeriksaan ini menunjukkan
analisis menyeluruh yang lebih dinamis dan mencerminkan berbagai fase hemostatik yang
berbeda. Cui dkk. menggunakan TEG untuk mengkarakterisasikan profil hemostatik dari 31
anak dengan PJB sianotik berat dan eritrositosis sekunder. Baseline TEG anak-anak dengan
kadar HCT preoperasi >54% menunjukkan gangguan fungsi hemostatik yang signifikan
dibandingkan anak dengan HCT <54%. Amplitudo puncak secara signifikan lebih rendah dari
normal (44,16,8 mm) dengan komponen fibrinogen (MAf) berkontribusi paling besar
terhadap disfungsi hemostatik secara keseluruhan (MAf = 3,91,5 mm). Meskipun jumlah
trombosit rendah, fungsi trombosit (MAp) masih terjaga dengan baik. Ketiga pengukuran
(MA, MAf, dan Map) menunjukkan suatu korelasi negatif yang signifikan dengan HCT
preoperasi, dan semua parameter lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan HCT <54%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kelainan hemostatik pada anak PJB
10
sianotik dan eritrositosis sekunder berhubungan langsung dengan terganggunya fungsi
fibrinogen dan kekuatan clot berkorelasi negatif dengan meningkatnya kadar hematokrit. Para
peneliti juga menyimpulkan bahwa, meskipun konsentrasi fibrinogen meningkat, fungsinya
tetaplah terganggu dan walaupun jumlah trombosit rendah, fungsi trombosit tidak terlalu
terpengaruh seperti yang diasumsikan sebelumnya, dan disfungsi fibrinogen adalah penyebab
utama pembentukan clot normal pada anak-anak dengan PJB sianotik.(4)
Mekanisme lain yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya koagulopati pada
pasien dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder adalah adanya disseminated
intravascular coagulation (DIC) derajat ringan.(4) Polisitemia pada PJB sianotik, berbeda
dengan polisitemia rubra vera, ditandai dengan peningkatan volume sel darah merah
(hematokrit) dengan volume darah keseluruhan dalam sirkulasi yang normal. Peningkatan
volume sel darah merah meningkatkan viskositas, yang mempengaruhi aliran darah dan
perfusi jaringan. Stasis vaskular yang dihasilkan membuat pasien menjadi rentan terhadap
meluasnya deposisi trombi platelet dan fibrin intravaskular; Hal ini menyebabkan konsumsi
jumlah trombosit dan faktor koagulasi dalam jumlah yang cukup dalam pembentukan fibrin
(fibrinogen, faktor V dan VIII) untuk menguras darah yang beredar dan melemahkan
hemostatik, dimana fenomena ini disebut DIC. Darah yang beredar menjadi hypocoagulable,
dan pasien berisiko tinggi mengalami perdarahan.(7) Mikrovaskulariasi pulmonal adalah area
utama dari koagulasi intravaskular terlokalisir. Hipoksia sel hati dan cadangan sumsum
tulang akan menentukan keseimbangan harian antara produksi dan konsumsi faktor koagulasi
dan kadar plasmanya. Manifestasi perdarahan dari PJB sianotik dapat dijelaskan dengan
deplesi dari faktor-faktor koagulasi. Seringnya kejadian trombosis mungkin disebabkan oleh
interaksi antara stasis eritrosit dan koagulasi intravaskular yang dipercepat. DIC yang muncul
menjelaskan kenapa sering terjadi trombosis dan perdarahan pada pasien-pasien ini.(7)
Meskipun beberapa penelitian mendukung gagasan DIC dengan konfirmasi
peningkatan kadar D-dimer pada sebagian besar anak-anak dengan PJB sianotik, beberapa
studi koagulasi lain tidak menunjukkan bukti kaausatif dari DIC. Studi ini menyarankan
bahwa heparinisasi terapeutik tidak boleh diberikan secara rutin dan hanya diberikan pada
pasien dengan bukti DIC yang pasti. Kritik yang paling meyakinkan datang dari Dennis dkk
(1967) adalah kemungkinan kesalahan akibat kegagalan untuk mengurangi jumlah
antikoagulan dalam darah vena yang dikumpulkan dari pasien tersebut. Polisitemia akan
11
menurunkan jumlah plasma dalam volume darah utuh sehingga jumlah antikoagulan di
tabung koleksi juga harus dikurangi dengan tepat.
13
DAFTAR PUSTAKA
14
11. Ghasemi A, Horri M, Salahshour Y. Coagulation abnormalities in pediatric patients
with congenital heart disease: A literature review. International Journal of Pediatrics.
2014;2(2.2):141-3.
12. Soares R, Bydlowski S, Nascimento N, Thomaz A, Bastos E, Lopes A. Plasmatic
ADAMTS-13 metalloprotease and von Willebrand factor in children with cyanotic
congenital heart disease. Brazilian Journal of Medical and Biological Research.
2013;46(4):375-81.
15