You are on page 1of 15

KELAINAN HEMATOLOGI PADA

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN SIANOTIK

I. PENDAHULUAN

Anak-anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik mengalami perubahan


yang kompleks dalam komposisi darah dan profil koagulasinya secara keseluruhan
dikarenakan hipoksemia jangka panjang. Mereka mengalami defisiensi transportasi oksigen
ke jaringan yang mungkin diperberat oleh polisitemia dengan potensi risiko cedera otak dan
abnormalitas mekanisme hemostatik: trombosis atau diatesis pendarahan. Komplikasi
hematologis yang terkait dengan penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik terutama pada anak-
anak yang tidak dioperasi memerlukan perhatian khusus. Dengan adanya hipoksemia,
muncullah mekanisme adaptif untuk meningkatkan pengiriman oksigen, yakni peningkatan
kandungan oksigen dan terjadinya pergeseran ke kanan pada kurva disosiasi oxyhemoglobin.
Pengiriman oksigen meningkat disertaio peningkatan kadar hematokrit; produksi eritropoietin
akan dirangsang sehingga dapat terjadi polisitemia diikuti dengan hyperviskositas dan
defisiensi besi. Tingkat hematokrit yang meningkat dan sel defisit besi yang abnormal
meningkatkan risiko terjadinya tromboemboli dan cedera otak.(1)
Selain itu, penurunan volume plasma yang menyertainya menyebabkan defisiensi
signifikan pada beberapa protein koagulasi termasuk platelet, fibrinogen dan faktor
pembekuan lainnya. Di satu sisi, pasien-pasien ini mungkin menderita hiperviskositas berat
dan subklinis 'sludging' di pembuluh darah perifer dengan peningkatan risiko trombosis. Di
sisi lain, mereka menghadapi peningkatan risiko pendarahan pasca operasi akibat gangguan
yang rumit dalam profil hemostatik mereka dikarenakan berbagai defek hemostatik, termasuk
trombositopenia, pemendekan umur trombosit dan supresi agregasi trombosit. Kekurangan
faktor pembekuan, seperti faktor II, V, VII, X dan faktor von Willebrand juga sudah
ditemukan.(1)
I. Polisitemia
Polisitemia didefinisikan sebagai peningkatan volume sel darah merah; dimana nilai Hb
atau hematokrit berada di dua standar deviasi di atas nilai rata-rata sesuai usia. Polisitemia
dapat diklasifikasikan oleh respon progenitor erythroid terhadap sitokin (mis., Eritropoietin).
Pada polisitemia primer, progenitor erythroid menunjukkan respons yang berlebihan terhadap
sitokin akibat mutasi genetik yang diturunkan atau didapat (polisitemia vera atau mutasi
reseptor eritropoietin). Polisitemia sekunder ditandai oleh respon normal progenitor erythroid
terhadap peningkatan kadar sitokin. Polisitemia sekunder biasanya merupakan respons
fisiologis terhadap hipoksia kronis (pada PJB sianotik atau sleep apnea), produksi
eritropoietin otonom (sekresi tumor), atau pemberian eritropoietin eksogen. Jarang,
polisitemia sekunder dapat disebabkan oleh varian Hb dengan perubahan afinitas terhadap
oksigen atau mutasi genetik yang mengakibatkan gangguan pada deteksi hipoksia.(2)

I.1. Patofisiologi
Pada PJB sianotik, hipoksemia lama dan berkurangnya oksigenasi jaringan akan
merangsang produksi eritropoietin (EPO) dari ginjal yang menyebabkan eritrositosis
sekunder. Eritrositosis sekunder ini adalah mekanisme fisiologis adaptif yang bertujuan untuk
mengkompensasi oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Namun, dengan adanya hipoksemia
persisten dan menetap (dikarenakan, dari shunt kanan-ke-kiri yang signifikan), perbaikan
oksigenasi jaringan tidak dapat melampaui batas tertentu. Namun, sekresi EPO akan terus
berlanjut dan meningkatkan massa sel darah merah dan viskositas darah dan bertambahnya
efek negatif pada oksigenasi jaringan.(2)
Sejauh ini belum ada penelitian yang dapat menentukan kadar optimal dari hematokrit
pada pasien PJB sianotik. Pada pasien dengan PJB sianotik terjadi right to left shunt yang
akan mengakibatkan desaturasi arteri sistemik dan hipoksia. Hipoksia merupakan stimulus
untuk meningkatkan produksi erythropoietin dan menyebabkan kenaikan massa eritrosit
dalam upaya memperbaiki hipoksia. Hal inilah yang akan menyebabkan munculnya gejala
hiperviskositas seperti sakit kepala, pusing, komplikasi thrombosis, serebrovaskular dan
kerusakan organ.(3)

I.2. Klasifikasi pada PJB Sianotik


Pasien dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder (polisitemia) dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yakni : (1) mereka dengan eritrositosis "terkompensasi" yang stabil,
cadangan besi yang memadai, dan tidak adanya / jarang timbulnya simptom hiperviskositas,
2
dan (2) pasien dengan eritrositosis yang "tidak terkompensasi", keadaan defisiensi zat besi,
dan berulangnya gejala hiperviskositas. Pada eritrositosis terkompensasi, keseimbangan baru
terbentuk dengan peningkatan hematokrit yang sesuai sebagai respons terhadap hipoksemia
kronis. Metabolisme zat besi akan terjaga dan tidak ada gejala hiperviskositas. Sebaliknya,
pada eritrositosis dekompensasi, titer EPO tetap meningkat meski terjadi peningkatan adaptif
pada massa sel merah. Akhirnya akan terjadi deplesi cadangan besi dikarenakan asupan zat
besi yang tidak mampu memenuhi tuntutan fisiologis. Konsekuensinya, keseimbangan besi
akan negatif dan terjadi 'eritropoiesis defisiensi besi. Hal ini menyebabkan turunnya kadar
feritin dan produksi RBC. Pada akhirnya akan muncul anemia defisiensi besi. Keadaan
defisiensi zat besi ini penting dikarenakan eritrosit terbentuk karenanya akan bersifat
mikrositik dan kurang dapat berubah bentuk dalam mikrosirkulasi dibandingkan normositnya.
Perubahan sifat viskoelastik eritrosit akan mempengaruhi viskositas darah pada tiap tingkatan
hematokrit dan bertanggung jawab atas munculnya gejala klinis hiperviskositas.(4)

I.3. Komplikasi
Gejala neurologis dari hiperviskositas terkadang dapat disalahartikan sebagai TIA atau
stroke, yang menjadikan tindakan flebotomi menjadi tidak tepat. Pasien dengan PJB sianotik
dan eritrositosis sekunder yang menjalani flebotomi berulang akan berisiko mengalami
defisiensi besi dan terbentuknya eritrosit mikrositik dalam sirkulasi. Eritrosit mikrositik ini
terbukti rigid dan dapat menahan deformasi pada tingkat gesekan yang tinggi dalam
mikrosirkulasi, dan akan kembali meningkatkan risiko munculnya gejala hiperviskositas dan
stroke pada orang dewasa dan anak-anak dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder.
Oleh karena itu, manfaat potensial jangka pendek dari flebotomi untuk menurunkan
hematokrit pada pasien PJB sianotik dan eritrositosis sekunder dapat diimbangi dengan
terjadinya defisiensi besi kronis disertai peningkatan risiko gejala hiperviskositas dan
kejadian serebrovaskular.(5)

3
Tabel 1. Simptom dari Hiperviskositas / Transient Ischemic Attack (TIA)(5)

Pada pasien dengan eritrositosis terkompensasi, Broberg dkk (2011). menemukan


bahwa kadar hemoglobin optimal untuk saturasi O2 tertentu dapat diprediksi berdasarkan
persamaan regresi linier [Predicted Hgb = 61 - (O2sat / 2)] dan berkorelasi dengan perbaikan
kapasitas (uji berjalan enam menit dan durasi uji treadmill). Sebaliknya, pada pasien dengan
eritrositosis dekompensasi dan saturasi O2 <75%, tidak mungkin untuk menghitung kadar
hemoglobin yang optimal tanpa gejala hyperviscositas yang berat. Temuan ini berkorelasi
dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya tingkat saturasi aorta <75% sering
dikaitkan dengan peningkatan kadar EPO dan merepresentasikan batas bawah tingkat saturasi
kritis dimana kurang dari ini akan banyak pasien yang tidak memiliki respon eritrositik
memadai.(6)
Penting untuk dicatat bahwa pada pasien PJB sianotik dan eritrositosis sekunder dengan
hematokrit >65%. faktor-faktor lain, seperti dehidrasi dan defisiensi besi, dapat memicu atau
memperberat simptom hiperviskositas dan harus diperbaiki dahulu sebelum beralih ke
flebotomi. Dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan yang cepat dari kadar hematokrit dan
memicu gejala hiperviskositas sehingga terapinya adalah dengan penggantian volume, bukan
flebotomi. Jika ditemukan ada defisiensi zat besi, tatalaksananya adalah terapi besi dosis

4
rendah dengan pemantauan ketat jumlah darah untuk menghindari peningkatan respons
eritrositosis yang berlebihan, yang nantinya akan memperberat hiperviskositas. Setelah
dehidrasi dan defisiensi zat besi dieksklusi sebagai penyebab gejala hiperviskositas,
flebotomi dapat dilakukan dengan aman disertai dengan penggantian volume secara
bersamaan. Tindakan flebotomi yang cepat tanpa penggantian volume yang memadai dapat
menyebabkan penurunan aliran darah sistemik secara mendadak, dan berpotensi
meningkatkan risiko stroke trombotik.(5) Pengobatan polisitemia diindikasikan pada pasien
yang simtomatik (sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri tulang, kelelahan, atau
trombosis) dan yang paling umum adalah flebotomi dengan tujuan mengurangi hematokrit
sampai <65%. Flebotomi kronik dari waktu ke waktu dapat menyebabkan defisiensi besi
yang dapat meningkatkan risiko trombosis sekunder akibat peningkatan viskositas karena
rigiditas sel darah merah abnormal yang diproduksi selama hematopoiesis restriksi besi.(2)

I.4. Tatalaksana
I.4.1. Phlebotomi
Phlebotomi preoperatif pertama kali diusulkan untuk pasien PJB sianotik pada tahun
1964. Pada tahun 1975, Maurer dkk melaporkan empat pasien yang dilakukan phlebotomy
dengan menggantikan 15 - 20 mL / kg BB darah pasien dengan plasma disertai penambahan
50 mL dalam waktu 1-2 jam. Prosedur ini memperbaiki agregasi trombosit menjadi normal
dan menghilangkan gejala perdarahan sebelumnya. Laporan awal ini menunjukkan
pengurangan volume sel darah merah dapat bermanfaat jika dilakukan sebelum operasi pada
pasien PJB sianotik dengan defek fungsi trombosit, untuk mengurangi risiko perdarahan
serius selama periode perioperatif. Teknik ini menjadi prosedur paliatif pada anak-anak yang
sangat sianotik, ec mereka yang mengalami cyanotic spell. Phlebotomi telah menjadi populer,
terutama pada pasien sianosis dewasa. Phlebotomi didasarkan pada tingkat hematokrit per se,
dan batas cutoff diserahkan kepada kebijaksanaan dokter penanggung jawab pasien. Pada
anak yang lebih tua (5 tahun), flebotomi dapat dilakukan sesuai dengan metode yang
dijelaskan oleh Maurer, dkk. Jika gejala hiperviskositas tidak membaik, haruslah
dipertimbangkan kemungkinan adanya defisiensi besi dan dibuktikan dengan pemeriksaan
laboratorium, seperti mean corpuscular volume atau kadar feritin serum. Phlebotomi
umumnya tidak diperlukan pada pasien dengan eritrositosis terkompensasi dikarenakan dapat
menyebabkan defisiensi besi simtomatik dan peningkatan viskositas glukosa darah jika tidak
diindikasikan secara tepat. Teknik ini hanya dianjurkan pada pasien dengan hiperviskositas

5
simtomatik saat kadar hematokrit > 65% dan telah menyingkirkan kemungkinan adanya
dehidrasi.(7)
Pada anak-anak <5 tahun, haruslah dilakukan penarikan volume yang lebih kecil
secara proporsional. Terapi balon atrium septostomi atau prostaglandin-E1 mungkin
diperlukan pada neonatus untuk memperbaiki hipoksia, yang menyebabkan cyanotic spell
berulang. Bayi dan neonatus dengan konsentrasi hemoglobin > 20 g / dL rentan terhadap
acidosis, trombosis organ, atau infark sekunder akibat sumbatan perifer dan abnormalitas tes
koagulasi, seperti pemanjangan Prothrombin Time (PT). Phlebotomi preoperatif juga bisa
dilakukan pada pasien-pasien tersebut. Parameter koagulasi harus diukur sebelum phlebotomi
dan 24 jam kemudian.(7)
Peningkatan massa eritrosit juga telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
kejadian serebrovaskular, mungkin sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah serebral
sekunder akibat hiperviskositas. Phlebotomi dilakukan berdasarkan asumsi bahwa
mengurangi kadar hematokrit ke tingkat aman akan mengurangi risiko infark serebral.
Definisi aman dibiarkan sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing praktisi. Kurangnya
data menyebabkan variasi yang luas dalam metode phlebotomy. Satu studi pada orang
dewasa menunjukkan bahwa risiko kejadian serebrovaskular meningkat pada pasien dengan
riwayat flebotomi dan mikrositosis. Diperlukan pendekatan yang cermat untuk flebotomi dan
bilamana tidak ada gejala hiperviskositas, disarankan agar tidak melakukan phlebotomi pada
kadar hematokrit per se bahkan ketika kadarnya 70%.(7) Dehidrasi dipicu oleh demam,
diare, dan muntah dapat menyebabkan peningkatan kadar hematokrit dan gejala
hiperviskositas. Pasien tersebut memerlukan penggantian volume bukan phlebotomi. Untuk
alasan yang sama, phlebotomi tanpa penggantian volume mungkin berbahaya dan berdampak
buruk bagi oksigenasi jaringan. (7)

II. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi (ADB) sering dijumpai pada anak dengan PJB sianotik dan
hubungannya dengan kejadian cyanotic spell telah dibahas dalam literatur. ADB merupakan
salah satu faktor penentu kualitas hidup yang penting pada anak dengan PJB sianotik. Adanya
ADB akan memperburuk gejala hiperviskositas karena adanya eritrosit mikrositik yang tidak
dapat dimodifikasi dalam mikrosirkulasi. Sehingga adanya ADB pada anak-anak ini semakin
meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi serebrovaskular dan cyanotic spell.
Adanya polisitemia menyebabkan kadar hemoglobin dan hematokrit meningkat sehingga

6
nilai normal sesuai usia-pun tidak dapat mencerminkan status kekurangan zat besi pada
kelompok ini.(3)

Tabel 2. Parameter Laboratorium untuk Anemia Mikrositik(2)

II.1. Epidemiologi
Hanya ada beberapa literatur yang membahas kekurangan zat besi pada anak-anak
dengan PJB sianotik dan beberapa penelitian ini memberikan hasil yang bervariasi. West, dkk
(1990), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga pasien dengan PJB
sianotik mengalami kekurangan zat besi. Dalam studi lain yang dilakukan oleh Olcay dkk
(1996), prevalensi IDA ditemukan sebesar 52,2%. Dalam sebuah penelitian di India oleh
Gaiha dkk (1993), dilaporkan prevalensi sebesar 18%, namun subjek penelitian ini adalah
remaja dan dewasa muda. Sedangkan Mukherjee, dkk (2016) menemukan bahwa 5 dari 10
anak-anak dengan PJB sianotik mengalami defisiensi besi dan anak-anak dengan defisiensi
besi ini memiliki risiko 8x lebih sering mengalami cyanotic spell dibandingkan mereka yang
tidak memiliki ADB. Semua anak dengan ADB memiliki gambaran hipokromik mikrositik
pada pemeriksaan preparat apusan darah tepi, distribusi sel darah merah mereka meningkat
dan memiliki nilai MCV yang rendah. RDW sangat penting untuk mendiagnosis kekurangan
zat besi. Penelitian sebelumnya telah menyimpulkan bahwa defisiensi besi dapat didiagnosis
dengan mengevaluasi RDW dan MCV bersama-sama dengan tingkat akurasi sebesar 98%.(3)

7
Pada pasien PJB sianotik dengan anemia defisiensi besi, kadar hemoglobin total akan
normal, tinggi atau sedikit berkurang dibandingkan dengan individu normal tanpa sianosis
seumurannya. Namun, MCV, MCH dan serum feritin biasanya relatif lebih rendah
dibandingkan rekan mereka - sebuah fenomena yang dikenal sebagai anemia relatif. Terlepas
dari penyebabnya, defisiensi besi menyebabkan peningkatan viskositas darah secara
keseluruhan pada pasien eritrositosis, dan efek viskositas akan meningkat seiring penurunan
Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) eritrosit. Pasien defisiensi zat besi akan memiliki
tingkat morbiditas lebih tinggi dengan disertai gejala hiperviskositas seperti kejadian
serebrovaskular, cyanotic spell, anoreksia, intoleransi latihan, buruknya nafsu makan,
kenaikan berat badan yang sulit, mudah tersinggung dan perkembangan mental yang buruk.
Pengobatan defisiensi zat besi terbukti bisa membalikkan semua gejala ini. Gaiha dkk (1993)
menunjukkan bahwa gejala hiperviskositas terjadi pada tingkat PCV yang lebih rendah (0,52-
0,58) pada pasien sianotik dengan defisiensi besi dibandingkan dengan mereka yang zat
besinya cukup dimana gejala muncul pada PCV rata-rata 0,68. Pada kelompok defisiensi zat
besi, gejala hipersianotik akan membaik dengan suplementasi zat besi, dengan disertai oleh
kenaikan hemoglobin rata-rata 2.1g / dl.(8)

Tabel 3. Perbandingan Parameter Hematologi pada Kelompok Defisensi Besi dan Normal Anak
dengan PJB Sianotik(3)

8
Tabel 4. Perbandingan Parameter Hematologi padal Anak PJB Sianotik yang Mengalami
Cyanotic Spell dan yang Tidak.(3)

III. Gangguan Perdarahan

III.1. Trombositopenia

Terjadinya trombositopenia pada pasien-pasien dengan PJB sianotik sudah banyak


ditemukan walaupun pathogenesis maupun mekanisme belum diketahui dengan jelas. Gross,
dkk (1968) menemukan bahwa pasien dengan PJB sianotik memiliki rata-rata jumlah
trombosit yang berbanding langsung dengan tingkat saturasi oksigen dan berbanding terbalik
dengan kadar hemoglobin rata-rata. Juga ada hubungan yang jelas dengan usia dimana
ditemukan jumlah rombosit yang lebih rendah pada anak-anak > 3 tahun yang kadar
hemoglobinnya >18 mg/mL. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi jumlah trombosit adalah usia, hemoglobin dan tingkat saturasi oksigen.(9)
Ada konsensus bersama yang menyatakan bahwa trombosit berasal dari
megakariosit sumsum tulang, suatu sel prekursor khusus yang berasal dari progenitor

9
hematopoietik pleuripotensial, berfungsi menghasilkan trombosit dan melepaskannya ke
dalam sirkulasi. Namun, mekanisme dimana trombosit terbentuk dan dilepaskan dari sel
prekursor ini - biosintesis trombosit masih menjadi perhatian para ahli hematologi. Pada
tahun 1893, Aschoff berhipotesis bahwa megakariosit berasal dari sumsum tulang, bermigrasi
ke aliran darah. dan karena ukurannya yang besar, akan tersangkut di pulmonary capillary
bed dimana trombsoit terbentuk. Lill, dkk (2006) menyebutkan ada 4 mekanisme
pathogenesis yang mungkin bertanggung jawab terhadap trombositopenia pada PJB sianotik,
yaitu : (1) berkurangnya produksi trombosit, (2) berkurangnya produksi megakariosit, (3)
meningkatnya destruksi trombosit, dan (4) meningkatnya aktivasi trombosit.(10) Mereka
berhipotesis bahwa patogenesis trombositopenia pada PJB sianotik mencerminkan right to
left shunt yang berperan menghantarkan megakariosit dari sirkulasi vena ke sirkulasi sistemik
tanpa melalui paru dan menurunkan jumlah trombosit yang diproduksi di paru-paru. Yang
mendukung hipotesis ini adalah data dari penduduk yang tinggal di ketinggian tinggi yang
memiliki jumlah trombosit normal walaupun terjadi hipoksemia dan eritrositosis karena tidak
terjadi right to left shunt yang menghantarkan megakariosit ke dalam sirkulasi sistemik.
Megakariosit yang masuk ke dalam kapiler digiti dan periostium melepaskan growth factor
yang diturunkan dari platelet dan mengubah growth factor-, sitokin dan mitogen yang ikut
berperan menyebabkan clubbing dan osteoarthropathy hipertrofik. Megakariosit yang
tersangkut ke dalam kapiler glomerulus melepaskan sitokin dan mitogen yang sama dan
bertanggung jawab atas kelainan glomerulus nonvaskular pada PJB asianotik.(10)
Penelitian terbaru menggunakan thromboelastography (TEG) telah menyanggah teori
bahwa trombositopenia merupakan penyebab utama gangguan hemostasis pada PJB sianotik.
Karena TEG dilakukan pada darah utuh, bukan hanya plasma, pemeriksaan ini menunjukkan
analisis menyeluruh yang lebih dinamis dan mencerminkan berbagai fase hemostatik yang
berbeda. Cui dkk. menggunakan TEG untuk mengkarakterisasikan profil hemostatik dari 31
anak dengan PJB sianotik berat dan eritrositosis sekunder. Baseline TEG anak-anak dengan
kadar HCT preoperasi >54% menunjukkan gangguan fungsi hemostatik yang signifikan
dibandingkan anak dengan HCT <54%. Amplitudo puncak secara signifikan lebih rendah dari
normal (44,16,8 mm) dengan komponen fibrinogen (MAf) berkontribusi paling besar
terhadap disfungsi hemostatik secara keseluruhan (MAf = 3,91,5 mm). Meskipun jumlah
trombosit rendah, fungsi trombosit (MAp) masih terjaga dengan baik. Ketiga pengukuran
(MA, MAf, dan Map) menunjukkan suatu korelasi negatif yang signifikan dengan HCT
preoperasi, dan semua parameter lebih rendah dibandingkan anak-anak dengan HCT <54%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar kelainan hemostatik pada anak PJB
10
sianotik dan eritrositosis sekunder berhubungan langsung dengan terganggunya fungsi
fibrinogen dan kekuatan clot berkorelasi negatif dengan meningkatnya kadar hematokrit. Para
peneliti juga menyimpulkan bahwa, meskipun konsentrasi fibrinogen meningkat, fungsinya
tetaplah terganggu dan walaupun jumlah trombosit rendah, fungsi trombosit tidak terlalu
terpengaruh seperti yang diasumsikan sebelumnya, dan disfungsi fibrinogen adalah penyebab
utama pembentukan clot normal pada anak-anak dengan PJB sianotik.(4)

III.2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Mekanisme lain yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya koagulopati pada
pasien dengan PJB sianotik dan eritrositosis sekunder adalah adanya disseminated
intravascular coagulation (DIC) derajat ringan.(4) Polisitemia pada PJB sianotik, berbeda
dengan polisitemia rubra vera, ditandai dengan peningkatan volume sel darah merah
(hematokrit) dengan volume darah keseluruhan dalam sirkulasi yang normal. Peningkatan
volume sel darah merah meningkatkan viskositas, yang mempengaruhi aliran darah dan
perfusi jaringan. Stasis vaskular yang dihasilkan membuat pasien menjadi rentan terhadap
meluasnya deposisi trombi platelet dan fibrin intravaskular; Hal ini menyebabkan konsumsi
jumlah trombosit dan faktor koagulasi dalam jumlah yang cukup dalam pembentukan fibrin
(fibrinogen, faktor V dan VIII) untuk menguras darah yang beredar dan melemahkan
hemostatik, dimana fenomena ini disebut DIC. Darah yang beredar menjadi hypocoagulable,
dan pasien berisiko tinggi mengalami perdarahan.(7) Mikrovaskulariasi pulmonal adalah area
utama dari koagulasi intravaskular terlokalisir. Hipoksia sel hati dan cadangan sumsum
tulang akan menentukan keseimbangan harian antara produksi dan konsumsi faktor koagulasi
dan kadar plasmanya. Manifestasi perdarahan dari PJB sianotik dapat dijelaskan dengan
deplesi dari faktor-faktor koagulasi. Seringnya kejadian trombosis mungkin disebabkan oleh
interaksi antara stasis eritrosit dan koagulasi intravaskular yang dipercepat. DIC yang muncul
menjelaskan kenapa sering terjadi trombosis dan perdarahan pada pasien-pasien ini.(7)
Meskipun beberapa penelitian mendukung gagasan DIC dengan konfirmasi
peningkatan kadar D-dimer pada sebagian besar anak-anak dengan PJB sianotik, beberapa
studi koagulasi lain tidak menunjukkan bukti kaausatif dari DIC. Studi ini menyarankan
bahwa heparinisasi terapeutik tidak boleh diberikan secara rutin dan hanya diberikan pada
pasien dengan bukti DIC yang pasti. Kritik yang paling meyakinkan datang dari Dennis dkk
(1967) adalah kemungkinan kesalahan akibat kegagalan untuk mengurangi jumlah
antikoagulan dalam darah vena yang dikumpulkan dari pasien tersebut. Polisitemia akan

11
menurunkan jumlah plasma dalam volume darah utuh sehingga jumlah antikoagulan di
tabung koleksi juga harus dikurangi dengan tepat.

III.3. Gangguan Koagulasi


Penderita penyakit jantung bawaan rentan mengalami gangguan koagulasi. Beberapa
gangguan koagulasi dilaporkan seperti kadar trombosit yang rendah, defisiensi faktor
pembekuan, fibrinolisis dan DIC. Trombositopenia dan supresi agregasi trombosit menjadi
faktor yang mendasari terjadinya pendarahan pada pasien dengan PJB sianotik dan sindrom
Eisenmenger. Berbagai gangguan koagulasi yang diketahui dan menjadi faktor penyebab
yang bertanggung jawab termasuk hiperviskositas, DIC, dan fibrinolisis primer. Faktor
penyebab lainnya adalah kelainan fungsi trombosit, berkurangnya produksi faktor koagulasi
karena gangguan fungsi hati dan defisiensi vitamin K.(11)
Selain penyebab di atas, penurunan produksi faktor koagulasi telah ditemukan.
Sebagian besar faktor koagulasi diproduksi oleh hati. Banyak faktor koagulasi (II, VII, IX,
dan X) disintesis dalam hati namun pada awalnya berupa suatu bentuk yang tidak aktif dan
memerlukan vitamin K untuk modifikasi dan mengubahnya menjadi bentuk aktif. Vitamin K
diproduksi dalam jumlah yang cukup oleh flora usus dan diabsorbsi dengan adanya sekresi
cairan empedu yang normal. Defisiensi vitamin K, akibat dari berkurangnya sintesis atau
absorbsi, dapat menyebabkan gangguan aktivitas faktor II, VII, IX, dan X. Dengan
berkurangnya fungsi hati, aktivitas semua faktor koagulasi yang diproduksi di hati akan
terganggu, sehingga defek koagulasi yang dihasilkan cenderung resisten terhadap terapi
vitamin K. Namun, pada fungsi hati normal, aktivitas faktor V, VIII, dan XII tetap normal,
dan terapi vitamin K dapat menormalkan koagulasi darah. Dalam penelitian terhadap 15
anak, Goldschmidt, dkk (1970) menemukan bahwa pada sebagian besarkasus, aktivitas faktor
koagulasi (II dan V) akan meningkat dengan pemberian vitamin K1 5 8 mg intramuskuler
per hari selama 2 hari namun tidak meningkat pada pemberian secara oral, mengindikasikan
gangguan penyerapan pada usus. Pada beberapa kasus dalam penelitian tersebut, bahkan
pemberian vitamin K intramuskular pun tidak memberikan efek, menunjukkan bahwa
gangguan fungsi hati berkontribusi pada gangguan koagulasi pasien ini sampai tingkat
tertentu.(7)
Dalam salah satu penelitian di Mesir pada tahun 2012, oleh Ismail, dkk, dengan
mengevaluasi mikropartikel yang diturunkan dari trombosit dan profil fungsi trombosit dari
23 anak-anak dengan PJB sianotik dan 30 pasien dengan PJB asianotik dan 30 kelompok
kontrol sehat dengan Von Willebrand factor antigen (vWF Ag) sebagai penanda disfungsi
12
endotel. Hemoglobin, hematokrit (HCT), D-dimer, dan vWF Ag meningkat secara signifikan
pada PJB sianotik dibandingkan kelompok dewasa dengan penyakit jantung kongenital.
Mikropartikel trombosit dan ekspresi P-selectin meningkat pada pasien dibandingkan kontrol,
terutama pada PJB sianotik dan berkorelasi positif dengan HCT, D-dimer, dan vWF Ag
sementara jumlah trombosit, agregasi, dan ekspresi GP IIb / IIIa menurun pada kelompok
PJB sianotik dibandingkan dengan kelompok dewasa dan berkorelasi negatif dengan HCT.(11)
Perubahan konsentrasi faktor von Willebrand plasma (VWF:Ag) dan aktivitas
ADAMTS-13 (metaloprotease yang membelah VWF secara fisiologis) juga telah dilaporkan
terjadi pada pasien dengan PJB sianotik. ADAMTS adalah kependekan dari a desintegrin and
metalloprotease with thrombospondin type 1 motif, dan berkaitan dengan keluarga zinc
metalloprotease dengan domain desintegrin dan protease (ADAM-related), suatu region kaya
sistein dan trombospondin 1 ulangan. ADAMTS-13, disintesis pada sel stellata hepatik dan
sel endotel, dan merupakan protein utama pembentuk faktor von Willebrand (VWF). Mutasi
gen ADAMTS-13 dikaitkan dengan adanya multimer VWF yang besarnya abnormal dalam
plasma, dan dikaitkan dengan kejadian trombosis yang terjadi pada subjek dengan trombotik
trombositopeni purpura kongenital.(12)

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Osman SH, Ali AE. Hematological Complications of Cyanotic Congenital Heart


Disease: Profile of Unoperated Sudanese Children. CONGENITAL CARDIOLOGY
TODAY. 2012;10(10).
2. Therese M. Giglia CW. Hematologic Aspects of Pediatric and Adolescent Heart
Disease: Bleeding, Clotting, and Blood Component Abnormalities. Available from:
https://thoracickey.com/hematologic-aspects-of-pediatric-and-adolescent-heart-disease-
bleeding-clotting-and-blood-component-abnormalities/#R118-75.
3. Mukherjee S, Sharma M, Devgan A, Jatana S. Iron deficiency anemia in children with
cyanotic congenital heart disease and effect on cyanotic spells. Medical Journal Armed
Forces India. 2017.
4. Zabala LM, Guzzetta NA. Cyanotic congenital heart disease (CCHD): focus on
hypoxemia, secondary erythrocytosis, and coagulation alterations. Pediatric Anesthesia.
2015;25(10):981-9.
5. Rose SS, Shah AA, Hoover DR, Saidi P. Cyanotic congenital heart disease (CCHD)
with symptomatic erythrocytosis. Journal of general internal medicine.
2007;22(12):1775-7.
6. Broberg CS, Jayaweera AR, Diller GP, Prasad SK, Thein SL, Bax BE, et al. Seeking
optimal relation between oxygen saturation and hemoglobin concentration in adults
with cyanosis from congenital heart disease. The American journal of cardiology.
2011;107(4):595-9.
7. Tempe DK, Virmani S. Coagulation abnormalities in patients with cyanotic congenital
heart disease. Journal of cardiothoracic and vascular anesthesia. 2002;16(6):752-65.
8. Lang'o M, Gitchan'a J, Yuko-Jowi C. Prevalence of iron deficiency in children with
cyanotic heart disease seen at Kenyatta National Hospital and Mater Hospital, Nairobi.
East African medical journal. 2009;86(12):47-51.
9. Gross S, Keefer V, Liebman J. The platelets in cyanotic congenital heart disease.
Pediatrics. 1968;42(4):651-8.
10. Lill MC, Perloff JK, Child JS. Pathogenesis of thrombocytopenia in cyanotic congenital
heart disease. The American journal of cardiology. 2006;98(2):254-8.

14
11. Ghasemi A, Horri M, Salahshour Y. Coagulation abnormalities in pediatric patients
with congenital heart disease: A literature review. International Journal of Pediatrics.
2014;2(2.2):141-3.
12. Soares R, Bydlowski S, Nascimento N, Thomaz A, Bastos E, Lopes A. Plasmatic
ADAMTS-13 metalloprotease and von Willebrand factor in children with cyanotic
congenital heart disease. Brazilian Journal of Medical and Biological Research.
2013;46(4):375-81.

15

You might also like