You are on page 1of 21

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MASYARAKAT MADANI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Disusun oleh:

Cindy Putri Novita Sari

Eni Elianti

Karmila Sari

Ramadhani Adjar Mustaqim

PRODI ANALIS KESEHATAN

POLITEKNIK UNGGULAN KALIMANTAN

BANJARMASIN

2017
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul Masyarakat Madani dalam Perspektif Islam dengan tepat waktu.
Sholawat serta salam tak lupa penulis sanjungkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW
yang kita nanti-nantikan syafaatnya kelak di yaumul kiamah.

Penulis menyadari didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan
Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan
ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami.

Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT, maka penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan dan penulisan makalah ini masih banyak kekuarangan dan kesalahan, baik
dalam penulisan maupun penyajian materi. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan guna penyempurnaan dalam
penyusunan dan penulisan tugas kelompok ini dan tugas-tugas selanjutnya.

Banjarmasin, 23 November 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii


DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iii
BAB I.......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1. Latar belakang............................................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
3. Tujuan Masalah ............................................................................................................. 2
BAB II......................................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 3
1. Islam dan Masyarakat Madani ..................................................................................... 3
2. Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani ......................................... 6
3. Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah ................................... 7
4. Karakteristik Masyarakat Madani ................................................................................ 8
a. Islam yang Humanis ................................................................................................. 9
b. Islam yang Moderat................................................................................................. 10
c. Islam yang Toleran .................................................................................................. 11
BAB III...................................................................................................................................... 17
PENUTUP ................................................................................................................................ 17
1. KESIMPULAN .............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Term Civil Society atau Masyarakat Madani, merupakan wacana dan fokus utama
bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini, kebutuhan dan tuntutan
atas kehadiran bangunan masyarakat madani, bersamaan dengan maraknya issu
demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh manakah Islam
merespon masyarakat tersebut. Jawabannya adalah bahwa Islam yang ajaran dasarnya
Alquran, adalah shlih li kulli zamn wa makn (ajaran Islam senantiasa relevan dengan
situasi dan kondisi). Karena demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran memiliki konsep
tersendiri tentang masyarakat madani.

Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera


sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan makmur bagi seluruh
lapisan masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul, seperti
demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas

Sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan
bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan
masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia yang
berperadaban.

Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses yang dapat merubah watak,


sikap dan prilaku masyarakat ke arah pembangunan yang dicita-citakan. Indikator dalam
menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung pada situasi dan kondisi serta
kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia mencuatkan suatu
kemakmuran yang didambakan yaitu terwujudnya masyarakat madani. Munculnya istilah
masyarakat madani pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik negara yang
berlangsung selama ini. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat belum merasakan makna
kemerdekaan yang sesungguhnya. Pemerintah atau penguasa belum banyak member
kesempatan bagi semua lapisan masyarakat mengembangkan potensinya secara maksimal.
Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan masyarakat madani, asalkan semua
potensi sumber daya manusia

1
2. Rumusan Masalah
a) Bagaimana Pengertian Masyarakat Madani?
b) Bagaimana Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani?
c) Bagaimana Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah?
d) Bagaimana Karakteristik Masyarakat Madani?

3. Tujuan Masalah
a) Untuk Mengetahui Pengertian Masyarakat Madani
b) Untuk Mengetahui Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani
c) Untuk Mengetahui Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah
d) Untuk Mengetahui Karakteristik Masyarakat Madani

2
BAB II

PEMBAHASAN

Cita-cita sosial Islam menempati posisi strategis dalam kerangka ajaran Islam, karena
ia merupakan arah dan acuan kehidupan keberislaman. Gerakan Islam, apapun bentuknya,
sepanjang diorientasikan dalam rangka memperjuangkan cita-cita sosial Islam, dengan
demikian, merupakan faktor instrumental untuk mengantarkan umat kepada pencapaian
(tepatnya penghampiran) cita-cita tersebut.

Dalam perspektif ini, gerakan Islam, seyogyanya melakukan interpretasi dan


aktualisasi cita-cita sosial Islam dalam konteks seting sosial, budaya, dan dinamika
masyarakat yang dihadapinya. 1

1. Islam dan Masyarakat Madani


A. Pengertian Masyarakat

Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah


manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap
sama.2 Kata masyarakat tersebut, berasal dari bahasa Arab yaitu syarikat yang berarti
golongan atau kumpulan.3

Sedangkan dalam bahasa Inggeris, kata masyarakat tersebut diistilahkan


dengan society dan atau community. Dalam hal ini, Abdul Syani menjelaskan bahwa bahwa
masyarakat sebagai community dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, memandang
community sebagai unsur statis, artinya ia terbentuk dalam suatu wadah/tempat dengan
batas-batas tertentu, maka ia menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat
sehingga ia dapat disebut masyarakat setempat.

Kedua, community dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu
proses yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan antar manusia, maka di
dalamnya terkandung unsur kepentingan, keinginan atau tujuan yang sifatnya fungsional.

Terdapat kata kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat madani
(civil society), yakni kata ummah dan madinah. Dua kata kunci yang memiliki eksistensi
kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai dasar bagi terbentuknya masyarakat madani. Kata
ummah misalnya, yang biasanya dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti

1
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002,
hlm. 93.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia
3
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya:Pustaka Progessif, 1984) hlm. 82.

3
dalam istilah-istilah ummah Islamiyah, ummah Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain,
merupakan penata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW segera setalah
hijrah di Madinah.4

Ummah dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas keagamaan tertentu,


yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan yang sama. Secara umum, seperti
disyaratkan al-Quran, ummah menunjukan suatu komunitas yang mempunyai basis
solidaritas tertentu atas dasar komitmen keagamaan, etnis, dan moralitas.5

Dalam perspektif sejarah, ummah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW di
Madinah dimaksudkan untuk membina solidaritas di kalangan para pemeluk Islam (kaum
Muhajirin dan kaum Ansahar). Khusus bagi kaum muhajirin, konsep ummah merupakan
sistem sosial alternatif pengganti sistem sosial tradisional, sistem kekabilahan dan kesukuan
yang mereka tinggalkan lantaran memeluk Islam.6

Hal di atas menunjukan bahwa konsep ummah mengundang konotasi sosial,


ketimbang konotasi politik. Istilah-istilah yang sering dipahami sebagai cita-cita sosial Islam
dan memiliki konotasi politik adalah khilafah, dawlah, dan hukumah. Istilah pertama,
khilafah, disebutkan sembilan kali dalam al-Quran, tapi kesemuanya bukan dalam
konotasi sistem politik, tapi dalam konteks misi kehadiran manusia di muka bumi. Oleh
karena itu, penisbatan konsep khilafah dengan institusi politik tidak mempunyai landasan
teologis.

Begitu pula dengan istilah dawlah, yang diartikan negara (nation state) dan dipahami
sebagai masyarakat madaniyang harus di tegakkan, tidak terdapat dalam al-Quran.

Kata hukumah yang diartikan pemerintah juga tidak terdapat dalam al-Quran. Al-
Quran memang banyak menyebut bentuk-bentuk dari akar kata hukumah yaitu hukama,
tapi dalam pengertian dan konteks yang berbeda. Ayat-ayat al-Quran yang dipakai untuk
menunjukan adanya pemerintahan Islam, seperti yang terdapat dalam teori hakamiyan
(pemerintahan ilahi) adalah dala surah al-Maidah ayat 44, 45, dan 47. Namun, perlu dicatat
bahwa pengertian kata-kata yahkumu dalam ayat-ayat tersebut tidak menunjukan konsep
pemerintahan.7

Kata ummah disebut sebanyak 45 kali dalam al-Quram. Baik dalam bentuk tunggal
maupun dalam bentuk jamak. Penyebutan al-Quran dan juga hadis menunjukan

4
Ibid., hlm. 95.
5
Ibid.,
6
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002,
hlm. 95.
7
Ibid., hlm. 96.

4
masyarakat madani. Sebagai masyarakat madani, konsep umat Islam ditegaskan atas dasar
solidaritas keagamaan dan merupakan manifestasi dari keprihatinan moral terhadap
eksistensi dan kelestarian masyarakat yang berorientasi kepada nilai-nilai Islam.

Islam merupakan agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-nilai Islam
harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan dan kemestaan ini
menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk menjadi nilai-nilai nasional
ataupun global.8

Seperti telah disebutkan diatas, penyebutan kata ummahdalam al-Quran dan al-
Hadis dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukan bahwa ummah,
sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai relatif. Artinya bahwa perwujudan
ummah dalam keragaman realitas sosial budaya kaum muslimin tidak mungkin seragam
dan bercorak tunggal. Perwujudan ummah akan sangat tergantung kepada realitas sosial
budaya tertentu.

Lebih dari itu, ummah islamiyah yang di bangun Nabi Muhammad di Madinah
merupakan model yang baik (uswatun hasanah) yang mengandung nilai-nilai ideal pada
masanya (abad ke-7). Ia mungkin saja tidak seluruhnya relevan dengan kehidupan
masyarakat pada abad modern dewasa ini (abad 21). Masyarakat Madani sebagai cita-cita
sosial Islam perlu memiliki relevansi dengan kemodernan dan dinamika kebudayaan.

B. Pengertian Madani

Hal inilah yang tersirat dalam konsep madinah, satu kata kunci yang lain yang
terjalin erat dalam pembangunan masyarakat madani. Jika konsep ummah merupakan
piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat madani), maka konsep
madinah merupakan piranti kerasnya (hardware). Madinah yang berarti kota
berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama dengan kata tamaddun yang berarti
peradaban. Perpaduan pengertian ini membawa suatu persepsi ideal bahwa madinah
adalah lambang peradaban yang kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata madinah
juga merupakan kata benda tempat dari kata din (agama). Korelasi demikian menunjukan
bahwa cita-cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan
yang berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat Islam.9

8
Ibid., 97.
9
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Logos,2002,
hlm. 98.

5
Dengan berdasar pada pengertian masyarakat dan madani yang telah diuraikan
maka istilah masyarakat madinah dapat diartikan sebagai kumpulan manusia dalam satu
tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum,
serta tatanan kemasyarakatan yang telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat
madani tersebut sering disebut dengan istilah civil society(masyarakat sipil) atau al-mujtama
al-madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada pola hidup masyarakat yang
berkeadilan, dan berperadaban.

Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut dikonteks-kan


dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafr yang secara harfiyah diarti-kan negeri yang
baik dalam keridhaan Allah.Istilah yang digunakan Alquran sejalan dengan makna
masyarakat yang ideal, dan masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan
keridahan-Nya. Masyarakat ideal inilah yang dimaksud dengan masyarakat madani.

2. Konsepsi Islam dalam Membangun Masyarakat Madani

Istilah masyarakat madani, menurut sebagian kalangan, pertama kali dicetuskan oleh
Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia.10 Jika ditelusuri
lebih jauh, istilah itu sejatinya berasal dari bahasa Arab dan merupakan terjemahan dari al-
mujtama al-madany. Jika demikian, besar kemungkinan bahwa istilah yang dicetuskan oleh
Naquib al-Attas diadopsi dari karakteristik masyarakat Islam yang telah diaktualisasikan oleh
Rasulullah di Madinah, yang kemudian disandingkan dengan konteks kekinian.

Istilah tersebut kemudian diperkenalkan di Indonesia oleh Anwar Ibrahimyang saat itu
menjabat sebagai Deputi Perdana Menteri Malaysiapada Festival Istiqlal September 1995.
Dalam ceramahnya, Anwar Ibrahim menjelaskan secara spesifik terkait karakteristik
masyarakat madani dalam kehidupan kontemporer, seperti multietnik, kesalingan, dan
kesedian untuk saling menghargai dan memahami.11 Inilah yang kemudian mendorong
beberapa kalangan intelektual Muslim Indonesia untuk menelurkan karya-karyanya terkait
wacana masyarakat madani. Sebut saja di antaranya adalah Azyumardi Azra dalam
bukunya "Menuju Masyarakat madani" (1999) dan Lukman Soetrisno dalam bukunya
"Memberdayakan Rakyat dalam Masyarakat Madani" (2000).

10
Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani,
(Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10

11
Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani, (Jurnal
Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hlm. 12

6
Kemudian di dalam ranah pemikiran Islam belakangan ini, substansi, karakteristik, dan
orientasi masyarakat madani yang sesungguhnya seperti kehilangan jejak, Menguat
dugaan, hal ini memang sengaja dilakukan oleh beberapa kalangan untuk mereduksi nilai-
nilai Islam yang ideal. Setidaknya integrasi konsep masyarakat madani terhadap konsep civil
societymengindikasikan kalau diskursus tersebut mengalami pembiasan esensi dan proses
integrasinya pun cenderung kompulsif. Inilah kemudian yang menjadi alas an utama betapa
perlunya menghadirkan kembali dan menarasikan secara utuh, ide-ide dalam masyarakat
madani yang pernah diaktualkan Rasulullah di Madinah dalam pembahasan ini. Sehingga
tidak ada lagi tumpang-tindih konsepsi yang mengaburkan cara pandang dan pemahaman
khalayak terhadap diskursus ini.

3. Sosio-Historis Masyarakat Madinah pada Masa Rasulullah

Dengan kondisi geografis yang cukup subur, jauh sebelumnya lahir masyarakat
madani, Madinah telah ditempati oleh masyarakat plural yang terdiri dari beragam suku dan
aliran kepercayaan. Daerah tersebut dulunya bernama Yatsrib, yang kemudian diganti
menjadi Madnah al-Raslatau yang lebih popular disebut Madinah sajasetelah
Rasulullah tiba di sana. Setidaknya ada delapan suku yang eksis ketika Rasulullah tiba di
Madinah. Selain itu, pada masing-masing suku terdapat beragam aliran kepercayaan;
seperti penganut agama Islam, penganut agama Yahudi, dan penganut paganisme. Dengan
kondisi yang amat plural, dari sini akan terlihat jelas bagaimana Rasulullah merancang
sebuah konsep yang sangat ideal dalam rangka membangun masyarakat madani.

Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah bagaimana Rasulullahyang baru
tiba di Madinah, berikut sambutan masyarakat Madinah yang begitu antusias dengan
kedatangan Rasullangsung melakukan konsolidasi dengan penduduk setempat. Dalam
hal ini, Rasulullah sebagai seorang pemimpin, melihat secara jelas tiga tipologi masyarakat
Madinah dalam perspektif keyakinan dan aliran kepercayaannya.

Pertama, penganut agama Islam yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar.
Merupakan sesuatu yang baru bagi kaum muslimin, jika di Mekah, hak-hak dan kebebasan
kebebasan kaum muslimin dalam beribadah dan berinteraksi sosial dipasung sedemikian
rupa, berikut ketiadaan basis dan kekuatan untuk melakukan konsolidasi dan proses
islamisasi. Maka keadaan di Madinah berbalik 180 dari keadaan di Mekah, kini mereka
memiliki basis dan kekuatan yang mumpunidi samping melakukan konsolidasi dan proses
islamisasiuntuk menggerakkan dan mengelola berbagai sektor kehidupan bermasyarakat
dan bernegara; seperti sektor ekonomi, politik, pemerintahan, pertahanan, dan lain-lain.

7
Kedua, penganut agama Yahudi, yang terdiri dari tiga kabilah besar, yaitu Bani
Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzha. Ketiga kabilah inilah yang dulu menghegemoni
konstelasi politik dan perekonomian di Madinah, hal tersebut disebabkan karena keahlian
dan produktivitas mereka dalam bercocok tanam dan memandai besi. Sementara kabilah-
kabilah Arab yang lain masih hidup dalam keadaan nomadik, atau karena keterbelakangan
mereka dalam hal tersebut. Adapun imbasnya adalah pengaruh mereka yang begitu besar
dalam memainkan peranannya yang cenderung destruktif dan provokatif terhadap kabilah-
kabilah selain mereka. Hal tersebut berlangsung dalam tempo yang sangat lama, hingga
akhirnya Rasulullah tiba di Madinah dan secara perlahan mereduksi pengaruh kaum Yahudi
yang oportunistis tersebut dengan prinsip-prinsip agung Islam yang konstruktif dan solutif.

Ketiga, penganut paganisme, dalam hal ini yang dimaksud adalah komunitas
masyarakat Madinah yang masih menyembah berhala seperti halnya penduduk Mekah. Di
dalam buku-buku sejarah, komunitas ini disebut kaum musyrik. Mereka inilah yang masih
mendapati keraguan dalam diri mereka untuk mempercayai dan meyakini kebenaran ajaran
yang dibawa oleh Rasulullah. Namun pada akhirnya komunitas tersebut masuk Islam secara
berbondong-bondong terutama pascaperang Badar.

Setelah membaca dan memahami karakter ketiga golongan tersebut, barulah


Rasulullah melakukan konsepsiyang tidak lain merupakan wahyuyang dilanjutkan
dengan aktualisasi konkret terhadap konsep tersebut. Jika orientasi dakwah Rasulullah di
Mekah adalah memperkokoh akar keimanan para pengikutnya, maka orientasi Rasulullah di
Madinah adalah membangun tatanan keislaman yang meliputi penyampaian dan penegakan
syariat Tuhan secara utuh, dan tatanan kemasyarakatan yang meliputi pembangungan
masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip agung Islam, berikut nilai dan norma yang
ada pada al-Quran dan petunjuk Nabi. Sementara terkait dengan penganut kepercayaan
lain, seperti kaum Yahudi dan kaum Musyrikin, Nabi membuat sebuah piagam kebersamaan
untuk memperkokoh stabilitas sosial-politik antarwarga Madinah. Piagam inilah yang
kemudian disebut sebagai Piagam Madinah.

4. Karakteristik Masyarakat Madani

Jika dicermati secara komprehensif, maka di dalam ajaran Islam terdapat karakteristik-
karakteristik universal baik dalam konteks relasi vertikal, maupun relasi horizontal. Dalam
hal ini Yusuf al-Qaradhawi mencatat, ada tujuh karakteristik universal tersebut, yang
kemudian ia jelaskan secara spesifik di dalam bukunya al-Khash'ish al-Ammah li al-Islm.
Ketujuh karakteristik tersebut antara lain; ketuhanan (al-rabbniyah), kemanusiaan (al-

8
insniyyah), komprehensifitas (al-syumliyah), kemoderatan(al-wasathiyah), realitas (al-
wqi`iyah), kejelasan (al-wudhh), dan kohesi antara stabilitas dan fleksibelitas (al-jam
bayna al-tsabt wa al-murnah).

Ketujuh karakteristik inilah yang kemudian menjadi paradigma integral setiap Muslim
dari masa ke masa. Dari ketujuh karakteristik tersebut, ada dua karakteristik fundamental
yang menjadi tolak ukur pembangunan masyarakat madani, yaitu humanisme (al-
insniyyah) dan kemoderatan (al-wasathiyyah). lima karakteristik yang lainkecuali al-
rabbniyyahsetidaknya bisa diintegrasikan ke dalam kategori toleran (al-samhah).
Karena al-rabbniyah, menurut al-Qaradhawi, merupakan tujuan dan muara dari masyarakat
madani itu sendiri. Pengintegrasian karakteristik-karakteristik tersebut tidak lain merupakan
upaya untuk menyederhanakan konsep masyarakat madani yang dibahas dalam makalah
ini, sebab Islam sendirimenurut Umar Abdul Aziz Quraysymerupakan agama yang
sangat toleran, baik di dalam masalah akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlaknya.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Rasulullah mengajarkan tiga karakteristik


keislaman yang menjadi fondasi pembangunan masyarakat madani, yaitu Islam yang
humanis, Islam yang moderat, dan Islam yang toleran.

a. Islam yang Humanis

Yang dimaksud dengan Islam yang humanis di sini adalah bahwa substansi ajaran
Islam yang diajarkan Rasulullah, sepenuhnya kompatibel dengan fitrah manusia. Allah
berfirman Q.S al-Rum ayat 30,

Artinya:

"Maka hadapkalah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia sesuai dengan fitrah tersebut. Tidak ada perubahan
terhadap fitrah Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya."

Karena itu, dalam aktualisasinya, ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah
dengan mudah diterima oleh nurani dan nalar manusia. Dengan kata lain, ajaran Islam
sejatinya adalah ajaran yang memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya.

9
Muhammad Athiyah al-Abrasyi mengatakan bahwa manusiaberdasarkan
fitrahnyamemiliki tendensi untuk melakukan hal-hal yang bersifat konstruktif dan destruktif
sekaligus. Dalam hal ini, lingkungan memberikan pengaruh yang begitu kuat dalam
membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Islam, sebagai agama paripurna,
diturunkan tiada lain untuk mengarahkan manusia kepada hal yang bersifat konstruktif dan
mendatangkan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam permasalahan ini, manusia
diberikan kebebasan untuk memilih jalannya sendiri tatkala telah dijelaskan, mana yang baik
dan mana yang buruk; mana yang terpuji dan mana yang tercela.

Jika kaum kapitalis lebih menjadikan manusia sebagai sosok egois dan pragmatis,
sehingga cenderung mendiskreditkan aspek-aspek sosial dengan mengatasnamakan
kebebasan personal; kaum sosialis melakukan sebaliknya, yaitu cenderung mengebiri hak-
hak personal dengan mengatasnamakan kepentingan sosial. Di sinilah Islam dengan
karateristiknya yang spesial, memiliki cara tersendiri dalam upaya untuk mengatur tatanan
kehidupan manusia. Islam berhasil mengatur hak-hak personal dan hak-hak sosial secara
seimbang, sehingga melahirkan nilai-nilai persaudaraan, kesetaraan, dan kebebasan
universal.

Hal lain yang perlu ditekankan pada poin ini adalah bagaimana Islam menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan berdasarkan naluri dan tabiat manusia itu sendiri. Secara
naluriah, setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup aman, damai, dan sejahtera dalam
konteks personal maupun komunal. Manusia juga telah diberikan berbagai kelebihan yang
tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk Allah lainnya. Dengan keistimewaan-keistimewaan
tersebut, manusia dianggap sebagai makhluk yang paling sempurna. Kesepurnaan itu akan
berimplikasi pada kesempurnaan tatanan hidup bermasyarakat jika manusia mengikuti
instruksi-instruksi Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam Surat al-Isr ayat 23-34.

b. Islam yang Moderat

Yang dimaksud dengan Islam yang moderat adalah keseimbangan ajaran Islam
dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, baik pada dimensi vertikal (al-wasathiyah al-
dniyah) maupun horizontal (al-tawzun al-ijtimiy). Kemoderatan inilah yang membedakan
substansi ajaran Islam yang diajarkan Rasulullah dengan ajaran-ajaran lainnya, baik
sebelum Rasulullah diutus maupun sesudahnya. Secara etimologis, kata 'moderat'
merupakan terjemahan dari al-wasathiyah yang memiliki sinonim al-tawzun(keseimbangan)
dan al-itidal (proporsional). Dalam hal ini Allah menjelaskan karakteristik umat Rasulullah
sebagai umat yang moderat.

10
Dalam catatan sejarahnya, karakteristik ini teraplikasikan secara sempurna pada diri
Rasulullah. Sesuai Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah pernah mengatakan
dalam penggalan doanya, "Ya Allah, perbaikilah agamaku sebab ia adalah penjaga
urusanku. Perbaikilah pula duniaku karena di sinilah tempat hidupku. Dan perbaikilah pula
akhiratku kerena di sanalah tempat kembaliku."

Jadi, kemoderatan merupakan salah satu karakteristik fundamental Islam sebagai


agama paripurna. Kemoderatan inilah yang sesungguhnya sangat kompatibel dengan naluri
dan fitrah kemanusiaan. Kemoderatan ini juga yang membuat Islam dengan mudah diterima
akal sehat dan nalar manusia. Diakui atau tidak, nilai-nilai kemoderatan inilah yang menjadi
lambang supremasi universalitas ajaran Islam sebagai agama penutup, yang
mengabolisikan ajaran Yahudi yang memiliki tendensi ekstremis dengan membunuh para
Nabi dan Rasul yang Allah utus kepada mereka, sedangkan ajaran Nasrani memiliki
tendensi eksesif dengan menuhankan Nabi Isa al-Masih dan lain-lain.

Dari kemoderatan inilah konsepsi-konsepsi kemasyarakatan yang asasi diturunkan


menjadi konsep yang utuh dalam membangun masyarakat Madinah yang solid dan
memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Konsep-konsep kemasyarakatan tersebut
adalah keamanan, keadilan, konsistensi, kesolidan, superioritas, dan kesentralan. Konsep
integral inilah yang kemudian merasuk ke alam bawah sadar setiap masyarakat madinah
yang diiringi dengan aktualisasi konsep tersebut secara multidimensi, sehingga lambat laun
konsep tersebut menjadi identitas eternal keislaman yang diajarkan Rasulullah di Madinah
dan menjadi masyarakat percontohan bagi siapa saja yang datang setelahnya.

Dalam hal ini Sayyid Quthb dalam bukunya al-Salm al-lamy wa al-
Islmymengamini bahwa keseimbangan sosial (al-tawzun al-ijtimiy) merupakan fondasi
utama guna mewujudkan keadilan sosial (al-adlah al-ijtimiyah)di tengah-tengah
masyarakat. Nilai keseimbangan sosial ini dalam tahapannya menjadi tolak ukur untuk
mewujudkan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan bermasyarakat dalam
konteks pembangunan masyarakat madani.

c. Islam yang Toleran

Kata toleran merupakan terjemahan dari al-samhah atau al-tasmuhyang


merupakan sinonim dari kata al-tashul atau al-luynah yang berarti keloggaran,
kemudahan, fleksibelitas, dan toleransi itu sendiri. Kata 'toleran' di dalam ajaran Islam

11
memiliki dua pengertian, yaitu yang berkaitan dengan panganut agama Islam sendiri
(Muslim), dan berkaitan dengan penganut agama lain (Nonmuslim).

Jika dikaitkan dengan kaum Muslimin, maka toleran yang dimaksud adalah
kelonggaran, kemudahan, dan fleksibelitas ajaran Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab
pada hakikatnya, ajaran Islam telah dijadikan mudah dan fleksibel untuk dipahami maupun
diaktualkan. Sehingga Islam sebagairahmatan li al-lamn benar-benar dimanifestasikan di
dalam konteks masyarakat Madinah pada masa Rasulullah.

Untuk itu, sebagai konsekuensi logis dari Islam sebagai rahmatan li al-
lamn yang shlih li kulli zamn wa makn, maka substansi ajaran Islam harus benar-
benar mudah dipahami dan fleksibel untuk diaplikasikan. Sehingga di dalam perjalanannya,
banyak didapati teks-teks al-Quran dan Hadis yang menyinggung masalah tersebut. Allah
berfirman, Q.S al-Baqarah : 286

Artinya:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia


mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan
kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang
sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak
sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami.
Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".

12
Demikian juga teks al-Qur'an yang mengatakan, Q.S al-Baqarah 185

Artinya :

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena
itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.

Maka tatkala ajaran Islam memiliki konsekuensi untuk kompatibel dengan fitrah dan kondisi
manusia, Allah pun mengetahui sifat lemah pada diri manusia sehingga Ia
mengatakan, Q.S al-Nisa:28

13
Artinya :

"Allah hanya menghendaki keringanan untuk kalian, dan manusia telah diciptakan dalam
keadaan lemah."

Adapun teks-teks dari Hadis mengenai keringanan dan kemudahan tersebut dapat
dilihat tatkala Nabi hendak mengutus Muadz dan Abu Musa ke negeri Yaman, dalam hal ini
Nabi berpesan, "Permudahlah, jangan mempersulit." Masih dalam konteks yang sama, Nabi
bahkan mengafirmasi bahwa ajaran agama Islam memang penuh dengan kemudahan dan
fleksibelitas. Di samping itu, Aisyah pernah bercerita tentang tabiat sang Nabi yang senang
dengan kemudahan dan fleksibelitas, ia mengatakan, "Tidak pernah Nabi diberi pilihan
kecuali ia memilih yang paling mudah di antaranya, asalkan tidak ada larangan untuk hal
tersebut."

Inilah bentuk kemudahan dan fleksibelitas ajaran Islam, dan tentu masih banyak
teks-teks al-Quran dan Hadis yang menjadi bukti eternal betapa ajaran Islam sangat
mencintai kemudahan, kasih sayang, dan kedamaian bagi para pemeluknya, maupun
terhadap mereka yang berbeda agama, sebagai upaya mewujudkan tatanan kehidupan
masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai dan norma keislaman. Sehingga ajaran Islam
yang mengarahkan kepada kekerasan dan sikap kompulsif tidak akan didapati sedikit pun,
kecuali pada dua hal; pertama, ketika berhadapan dengan musuh di dalam peperangan,
bahkan Allah memerintahkan untuk bersikap keras, berani, dan pantang mundur. Hal
tersebut diperintahkan sebagai bentuk konsekuensi dari keadaan yang tidak memungkinkan
untuk bersikap lunak dan lemah lembut, agar totalitas berperang benar-benar tejaga, untuk
meraup kemenangan yang gemilang. Kedua, sikap kompulsif dalam menegakkan dan
mengaktualkan hukuman syariat tatkala dilanggar. Dalam hal ini Allah tidak menghendaki
adanya rasa iba hati dan belas kasih, sehingga hukuman tersebut urung diaktualkan. Sikap
kompulsif ini tiada lain merupakan upaya untuk menghindari penyebab terganggunya
konstelasi kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan
norma kemanusiaan.

Pada tataran aplikasi realnya, jika kita cermati hukum-hukum Islam seperti salat,
zakat, puasa, haji, dan lain-lain, kita akan mendapati kemudahan dan fleksibelitas di sana.
Kita juga akan mendapati berbagai indikasi augmentatif yangsecara tidak langsung
mengukuhkan eksistensi setiap anggota masyarakat sebagai khalifah di muka bumi, baik
aspek personal maupun sosial, seperti peningkatan mutu kepribadian seseorang, baik yang
berbentuk konkret maupun abstrak; atau perintah untuk membangkitkan kepekaan sosial

14
yang dibangun atas dasar persaudaraan, egalitarianisme, dan solidaritas. Karena itu, dalam
perjalanan sejarahnya syariat Islam tidak pernah menghambat laju peradaban. Islam justru
selalu mendorong umat manusia untuk melakukan inovasi demi kemaslahatan manusia
banyak. Islamlah yang senantiasa menyeru umat manusia untuk tekun menuntut ilmu dan
melakukan berbagai kegiatan ilmiah guna menunjang eksistensi mereka di dunia ini.

Sedangkan jika kata toleran dikatikan dengan Nonmuslim, maka yang dimaksud
adalah nilai-nilai toleransi yang dipahami oleh khalayak pada umumnya. Dalam hal ini,
ajaran Islam sangat menghargai perbedaan keyakinan. Mereka yang berbeda keyakinan
akan mendapatkan hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara. Dengan kata
lain, Islam benar-benar menjamin keselamatan dan keamanan jiwa raga mereka, selama
mereka mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Darah mereka
haram ditumpahkan sebagaimana darah kaum Muslimin. Allah berfirman, Q.S al-Anam
ayat 151

Artinya:

" Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua
orang ibu bapak, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.
Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu
kepadamu supaya kamu memahami (nya).

15
Rasulullah juga bersabda, "Barang siapa yang membunuh dzimmi(Nonmuslim yang
hidup di daerah kaum Muslimin dengan ketentuan yang telah disepakati) tanpa alasan yang
jelas, maka Allah mengharamkan baginya masuk surga."

Umar Abdul Aziz Quraisyi menjelaskan bahwa sikap toleran Islam terhadap
penganut agama lain dibangun atas empat dasar: pertama, dasar nilai-nilai keluruhan
sebagai sesama manusia, meskipun dari beragam agama, etnis, dan kebudayaan; kedua,
dasar pemikiran bahwa perbedaan agama merupakan kehendak Allah semata; ketiga, dasar
pemikiran bahwa kaum Muslim tidak berhak sedikit pun untuk menjustifikasi kecelakaan
mereka yang berlainan keyakinan selama di dunia, karena hal itu merupakan hak prerogatif
Allah di akhirat kelak; sedangkan keempat adalah pemikiran bahwa Allah memerintahkan
manusia untuk berbuat adil dan berakhlak mulia, meskipun terhadap mereka yang berlainan
agama.

16
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan uraian-
uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa Masyarakat
madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa atau negara di mana
mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan
kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering disebut
dengan istilah civil society(masyarakat sipil) atau yang pengertiannya selalu mengacu pada
pola hidup masyarakat yang tebaik, berkeadilan, dan berperadaban. Dalam istilah Alquran
, kehidupan masyarakat madani tersebut dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa
rabbun ghafr.

Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat


maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang
signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang
terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan bermasyarakat kita tidak
ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat saya ambil dari pembahasan
materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam mewujudkan masyarakat madani dan
kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-Quran dan As-Sunnah yang diamanatkan
oleh Rasullullah kepada kita sebagai umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui
dulu apa yang dimaksud dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan
suasana pada masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada
masyarakat madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi
manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri
manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin
besar potensi yang dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan
semakin baik pula hasilnya. Begitu pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi
yang kurang di dalam membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan.
Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir (Surabaya:Pustaka Progessif, 1984) hlm.


82.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Kamus Besar Bahasa Indonesia

Mansur Hidayat, Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat


Madani, (Jurnal Komunitas, vol. 4, no. 1, Juni 2008), hal. 10

Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat


Madani, Jakarta: Logos,2002, hlm. 93.

18

You might also like