You are on page 1of 23

JOURNAL READING

Atonic Postpartum Hemorrhage: Blood Loss, Risk Factors, and Third Stage
Management

Pembimbing :
dr. Marta Isyana Dewi , Sp. OG

Disusun Oleh:

Imelda Widyasari S G4A015095


Yudith Anindita G4A015096
Fathul Barry G4A015097
Muhammad Faishal Hidayat G4A016020

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi review jurnal dengan judul :


Atonic Postpartum Hemorrhage: Blood Loss, Risk Factors, and Third Stage
Management

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian


di Bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter
di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Imelda Widyasari S G4A015095
Yudith Anindita G4A015096
Fathul Barry G4A015097
Muhammad Faishal Hidayat G4A016020

Purwokerto, November 2016

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Marta Isyana Dewi , Sp. OG


I. PENDAHULUAN

Perdarahan post partum merupakan kondisi maternal yang sering


dialami dengan angka mortalitas yang terus meningkat setiap tahunnya,
terutama di Negara-negara maju. Peningkatan kejadian perdarahan post
partum dialporkan pertama kali di Australia (4.7/100 pada 1994 menjadi
6.0/100 kelahiran pada 2002) dan Kanada (4.1/100 pada 1991, 5.1/100 pada
2004, dan 6.2/100 kelahiran pada 2010). Di Amerika perdaahan post partum
meningkat dari 2.1/100 kelahiran pada 1994 menjadi 2.9/100 kelahiran pada
2006. Laju kejadian terus bertambah dari 1.9/1000 kelahiran pada 1999
menjadi 4.2/1000 kelahiran pada 2008.
Penelitian-penelitian sebelumnya mengidentifikasi peningkatan
insiden perdarahan post partum mayoritas disebabkan oleh peningkatan
insiden perdarahan post partum atonik, namun peningkatan insiden ini
belum dijelaskan secara adekuat. Beberapa perbahan faktor risiko seperti
kehamilan usia lanjut, obesitas, multipara, persalinan induksi, dan
persalinan dengan SC tidak dijelaskan dalam peningkatan kasus perdarahan
post partum. Penelitian lain menyebutkan penggunaan obat dalam
kehamilan tidak berpengaruh terhadap kejadian perdarahan post partum.
Meskipun pada beberapa penelitian lain pemberian antidepresan, termasuk
serotonine selective reuptake inhibitor (SSRI) dapat meningkatkan angka
kejadian perdarahan post partum, namun temuan tersebut tidak dapat
menjelaskan peningkatan kejadian perdarahan post partum.
Hipotesis yang dapat diajukan berdasarkan peningkatan kejadian
perdarahan post partum atonik yang belum pernah diinvestigasi adalah
hubungannya dengan manajemen aktif kala III persalinan, termasuk
penggunaan uterotonika, klem tali pusat, dan pemotongan tali pusat.
Peregangan tali pusat terkendali dan massage uterus dapat dimasukan
sebagai komponen tambahan. Kendala yang dapat dialami untuk melakukan
penelitian ini adalah kurangnya kelengkapan data yang disebabkan efikasi
konsesus yang kurang baik dan bervariasi dalam praktik klinis. Data
tersebut jarang menyertakan informasi manajemen aktif kala III, estimasi
perdarahan, riwayat obstetric, dan faktor yang berhubungan lainnya.
Berdasarkan hal tersebut peneliti melakukan penelitian multi-senter
(PMC) untuk menentukan hubungan estimasi perdarahan dengan kejadian
perdarahan post partum atonik dan mengkuantifikasi asosiasi antara faktor
risiko, termasuk riwayat obstetri, penggunaan obat, dan MAK III dengan
perdarahan post partum atonik.
II. ISI JURNAL

Perdarahan Post Partum Atonik: Kehilangan Darah, Faktor Reisko, Dan


Manajeman Kala Tiga

Tujuan: angka kejadian perdarahan postpartum atonik di negara industri telah


meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Dalam penelitian ini, kami akan
mengamati jumlah kehilangan darah, faktor resiko dan manajemennya pada kala III
persalinan.
Latar Belakang: Perdarahan postpartum merupakan penyebab terbesar morbiditas
maternal di seluruh dunia, dan telah dilaporkan memiliki peningkatan frekuensi
kejadian di beberapa negara industri.
Metode: penelitian ini menggunakan desain case-control di delapan rumah sakit
tersier di Kanada selama bulan Januari 2011 sampai bulan Desember 2013.
Kelompok kasus merupakan pasien wanita dengan diagnosis perdarahan
postpartum atonik, dan kelompok control merupakan pasien tanpa perdarahan
postpartum. Kedua kelompok ini telah dicocokkan dengan jumlah kasus di rumah
sakit dan tanggal persalinan pasien.
Hasil: Peneitian ini melibatkan 383 kasus dan 383 kontrol. Nilai rerata estimasi
perdarahan pada kelompok kasus lebih banyak dibanding kontrol dan signifikan
secara statistik (16.7% kasus pervaginam, 34.1% kasus Sectio Caesarean (SC)).
Faktor yang berhubungan dengan perdarahan post partum atonik terdiri atas faktor
protektif (SC) dan faktor risiko (nullipara, persalinan pervaginam dengan riwayat
SC). Penggunaan uterotonika lebih sering pada kelompok kasus (97.6%)
disbanding kontrol (92.9%) dengan P < 0.001. waktu klem tali pusat yang
memanjang hanya terjadi pada pasien dengan persalinan pervaginam (kasus 7.7%,
kontrol 14.6%, P = 0.06).

Kesimpulan: Terdapat misklasifikasi substansial pada diagnosis perdarahan post


partum atonik. Hal ini dapat menjelaskan peningkatan kasus perdarahan post
partum.
Latar Belakang
Perdarahan postpartum merupakan penyebab terbesar morbiditas maternal
di seluruh dunia, dan telah dilaporkan memiliki peningkatan frekuensi kejadian di
beberapa negara industri. Peningkatan angka kejadian perdarahan postpartum ini
pertama kali dilaporkan di Australia ( terjadi peningkatan dari 4,7 kasus per 100
jumlah persalinan pada tahun 1994 ke 6,0 pada tahun 2002) dan di negara Kanada
(terjadi peningkatan dari 4,1 kasus per 100 jumlah persalinan pada tahun 2004 ke
6,2 pada tahun 2010). Negara industri lainnya juga menunjukan adanya
peningkatan temporer yang sama, di Amerika Serikat terjadi peningkatan dari 2,1
kasus per 100 jumlah persalinan pada tahun 1993 ke 2,9 kasus per 100 jumlah
persalinan pada tahun 2006, dan terjadi juga peningkatan perdarahan postpartum
yang buruk dari angka 1,9 per 1000 jumlah persalinan pada tahun 1999 ke 4,2 kasus
per 1000 jumlah persalinan pada tahun 2008.

Belum terdapat penjelasan pasti mengenai trend peningkatan angka


kejadian perdarahan postpartum ini. Perubahan sementara pada faktor resiko seperti
usia wanita hamil yang semakin tua, obesitas, kehamilan ganda, induksi persalinan,
dan persalinan melalui SC juga tidak dapat menjelaskan mengenai fenomena
peningkatan angka kejadian perdarahan postpartum ini. Pada penelitian sebelumnya
yang mengamati penggunaan obat selama kehamilan juga tidak menunjukan suatu
implikasi antara penggunaan obat dan peningkatan angka kejadian perdarahan
postpartum ini. Beberapa obat seperti antidepressant (inhibitor reuptake serotonin
selektif) dicurigai dapat meningkatkan angka kejadian perdarahan postpartum, akan
tetapi rendahnya angka penggunaan obat jenis ini pada wanita hamil menunjukan
bahwa obat ini bukanlah suatu hal yang mendasari trend ini.

Salah satu hipotesis peningkatan angka kejadian perdarahan postpartum ini


adalah manajemen kala II persalinan. Manajemen aktif kala III ini meliputi
pemberian agen uterotonika (oksitosin atau ergometrin), klem tali pusat,
pemotongan tali pusar, dan tarikan tali pusat terkendali yang diikuti dengna
pemijatan uterus. Rendahnya kosensus mengenai keamanan dari tiap-tiap
komponen ini, dan variasi yang dilakukan tiap-tiap praktisi klinis menyebabkan
sulitnya mengamati efek dari komponen ini terhadap peningkatan angka kejadian
perdarahan postpartum.

Hampir seluruh penelitian epidemiologi mengenai peningkatan angka


kejadian perdarahan postpartum menggunakan data perinatal, dimana data perinatal
ini memiliki sedikit sekali informasi klinis mengenai manajemen aktif kala III
persalinan. Penelitian sebelumnya tidak mengamati seberapa banyak jumlah darah
yang hilang, riwayat obstetri pasien, dan faktor lain yang masih memiliki kaitan
dengan perdarahan post partum. Kami selaku peneliti memberikan suatu gambaran
dari berbagai hal untuk mengetahui seberapa banyak jumlah darah yang hilang dan
hubungannya dengan perdarahan postpartum, serta mencari hubungan antara faktor
resiko lain (riwayat obstetri, penggunaan obat selama kehamilan, dan menajemen
kala III persalinan) dari perdarahan postpartum ini.

Metode
Peneliti melakukan studi case-control pada wanita yang bersalin pada
Januari 2011 hingga Desember 2013 di delapan fasilitas pelayanan kesehatan tersier
di Kanada. Kasus perdarahan post partum atonik dipilih dari setiap rumah sakit dan
kontrol dari setiap rumah sakit yang sama. Kasus adalah wanita dengan diagnosis
perdarahan post partum atonik yang dipilih berdasarkan rekam medis. Kontrol
yang dipilih adalah wanita tanpda diagnosis perdarahan post partum dan dilakukan
matching terhadap kelompok kasus berdasarkan waktu persalinan ( 3 hari).
Informasi mengenai kondisi maternal, riwayat obstetri, kehamilan, dan persalinan
diambil dari rangkuman rekam medis setiap kasus dan kontrol. Waktu dan estimasi
perdarahan kasus-kontrol diperoleh dari rekam medis. Diagnosis perdarahan post
partum atonik ditegakkan berdasarkan estimasi perdarahan, termasuk blood clots
dan karakteristik tambahan lain pada perdarahan. Perdarahan post partum atonik
didefinisikan sebagai kehilangan darah 500cc pada persalinan pervaginam dan
1000cc pada SC. Karena perbedaan kriteria perdarahan pada persalinan pervaginam
dan SC, analisis diaktegorikan berdasarkan jenis persalinan. Diagnosis akhir
perdarahan post partum ditentukan berdasarkan ICD-10 yang dipilih oleh dokter
penanggungjawab pasien.
Crude dan adjusted OR dengan CI 95% dipilih untuk menentukan efek dari
faktor risiko dan protektif pada perdarahan post partum atonik yang diestimasi
dengan uji regresi logistic kondisional. Tiga tahapan sekuensial uji digunakan untuk
mengidentifikasi faktor risiko independen terhadap perdarahan post partum atonik.
Pada tahapan pertama, karakteristik maternal dan riwayat obstetric dimasukan
kedalam uji. Tahap kedua dimasukan karakteristik kehamilan, komplikasi, dan
intervensi kehamilan, kemudian diuji bersama faktor risiko independen pre-
kehamilan yang berasosiasi dengan perdarahan post partum atonik (hasil uji tahap
pertama). Pada tahap terakhir ditambahkan intervensi selama persalinan, termasuk
penggunaan obat. Taraf signifikansi variabel adalah p < 0.05 pada setiap tahapan
uji, sehingga pada tahapan akhir menyertakan variabel yang signifikan pada uji
sebelumnya.

Penggunaan obat selama kehamilan, selama perawatan, dan persalinan


dikategorikan berdasarkan kelompok analgesic, anti-asma, anti-hipertensi,
antibiotic, anti-depresan, obat tiroid, vitamin, dan suplemen herbal. Terakhir, efek
dari setiap komponen yang terlibat pada MAK III diuji, termasuk waktu dan dosis
oksitosin, uterotonika lain, obat lain yang bertujuan mengontrol perdarahan, waktu
klem tali pusat, dan peregangan tali pusat terkendali.

Analisis sensitivitas dilakukan setelah mengeksklusi kelompok kasus dan


kontrol yang tidak memenuhi kriteria kasus dan kontrol berdasarkan rekam medis.
Penelitian telah memenuhi persetujuan etik dari Komisi Etik Penelitian Universitas
British Kolombia untuk setiap RS yang dipilih.
Hasil
1. Estimasi perdarahan

Kehilangan darah pada kelompok kasus lebih banyak dan signifikan


secara statistik dibandingkan kelompok kontrol (P < 0.001) baik untuk
persalinan pervaginam maupun SC. Perdarahan diatas 2000cc terjadi pada
2.1% kelompok kasus pervaginam dan 3.5% kelompok kasus SC. Pada
kelompok kasus pervaginnam dengan perdarahan <500cc sebanyak 16.8%
sedangkan kontrol pervaginam 91.8%. kelompok kasus pervaginam dengan
perdarahan 500cc adalah 14.6% sedangkan pada kontrol pervaginam 7.41%.
Kelompok kasus SC dengan perdarahan 1000cc sebanyak 23.0% sedangkan
kontrol SC 5.71%.

Perdarahan pada persalinan pervaginam <500cc terjadi pada 47


orang kelompok kasus yang terdiagnosis perdarahan post partum
dibandingkan sisanya yang mengaami perdarahan 500cc. Hanya sedikit
dari kelompok ini yang merupakan primigravida yang dilakukan
augmentasi oksitosin, kala II lama, dan tuptur perineum derajat 3-4
(P<0.05), serta lebih sering terinfeksi Streptococcus grup B dan mengalami
pecah ketuban artifisial (P<0.05). Tiga dari pasien ini juga diberikan
trasnfusi PRC karena kadar Hb dan atau Ht rendah.

Diantara kontrol pervaginam dengan perdarahan 500cc tidak


dilakukan prosedur tambahan untuk mengontrol perdarahan kecuali dosis
oksitosin yang lebih tinggi. Perdarahan pada kelompok kasus SC (n=30)
<1000cc dibanding 1000cc tidak berbeda signifikan (P>0.05) dengan 26.7%
mengalami perdarahan banyak, dan 16.7% terdapat gumpalan darah pada
jalan lahir.

2. Faktor risiko perdarahan post partum


Regresi logistic kondisional menunjukan bhwa multiparitas, riwayat
aborsi, dan merokok berhubungan dengan Odds lebih rendah untuk
mengalami perdarahan post partum atonik. Riwayat SC berhubungan
dengan peningkatan perdarahan post partum atonik pada wanita yang
melahirkan pervaginam (aOR 3.88; CI 95% 1.24 12.20) dibandingkan
dengan wanita yang melahirkan pervaginam tanpa riwayat SC sebelumnya.
Penyesuaian tambahan pada faktor kehamilan juga menunjukan bahwa
penggunaan vitamin dan analgetik pada kehamilan, preeklamsia, dan
penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan kejadian perdarahan
post partum atonik. Penyesuaian tambahan pada faktor persalinan
menunjukan induksi persalinan dengan oksitosin, pemecahan ketuban,
demam intrapartum, persalinan dengan forceps dan penggunaan antibiotik
saat persalinan meningkatkan Odds perdarahan post partum atonik.

Persalinan pervaginam dengan riwayat SC meningkatkan Odds


perdarahan post partum (aOR = 3.70; 95% CI 1.08 - 12.71). Persalinan SC
(aOR = 0.53; 95% CI 0.32 - 0.88) dan SC berulang (aOR = 0.47; 95% CI
0.24 - 0.95) memiliki Odds lebih kecil untuk mengalami perdarahan post
partum atonik dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat SC. Faktor risiko
yang jarang, termasuk plasenta akreta, hipertensi kronik, dan penggunaan
beberapa obat tidak dapat dimasukan dalam uji, karrena memiliki korelasi
kuat dengan variabel lain dan hanya berjumlah sedikit.

3. Prosedur untuk mengontrol perdarahan

Uterotonika sering digunakan selama kala III persalinan dan untuk


mengontrol perdarahan post partum. Penggunaan uterotonika lebih banyak
ditemukan pada kelompok kasus dengan perdarahan post partum atonik
(97.6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (92.9%, P = 0.003).
Oksitosin merupakan uterotonika yang paling sering digunakan, diikuti
prostaglandin dan ergometrin. Transfusi darah dilakukan pada 12.5% kasus
(8.8% pervaginam, 25.3% SC). Perdarahan post partum atonik berhubungan
dengan dosis pemberian oksitosin yang semakin banyak (p < 0.001).

4. Manajemen aktif kala III (MAK III) persalinan

Informasi MAK III persalinan dari rekam medis tidak lengkap pada
kebanyakan tempat studi. Data dari 3 RS dengan missing values < 10%
untuk peregangan tali pusat terkendali (n = 271) menunjukan beda yang
tidak signifikan secara statistik antasa kasus dan kontrol (p = 0.40). tindakan
klem tali pusat menunjukan tidak ada pengkleman tali pusat yang
memanjang pada wanita yang dilakukan SC (n = 102). Pengkleman tali
pusat memanjang pada wanita yang bersalin pervaginam merupakan faktor
protektif yang tidak signifikan secara statistik (p = 0.06).

Diskusi
Pada penelitian ini ditemukan ketidaksesuaian yang signifikan
antara diagnosis perdarahan post partum atonik dengan volume perdarahan
post partum yang dilihat dari rekam medis. Hal ini menunjukan adanya
kesulitan untuk memperkirakan estimasi jumlah perdarahan selama
persalinan dan pemahaman mengenai perdarahan post patum atonik yang
digunakan di masing-masing RS. Analisis faktor risiko yang telah dilakukan
sesuai dengan berbagai literature yang telah dirilis sebelumnya. Persalinan
pervaginam dengan riwayat SC meningkatkan Odds kejadian, sementara SC
dan SC berulang menurunkan Odds kejadian dibandingkan persalinan
pervaginam tanpa riwayat SC. Kajian mengenai MAK III persalinan
terkendala dengan dokumentasi RS yang minim.
Definisi perdarahan post partum berbeda di beberapa Negara. Di
Amerika dan Kanada perdarahan post partum didefinisikan sebagai
terjadinya perdarahan 500cc pada persalinan pervaginam dan 1000cc pada
persalinan SC. Inggris mendefinisikan perdarahan post partum sebagai
perdarahan 500cc pada persalinan pervaginam maupun SC, dan Australia
mendefinisikan sebagai perdarahan 500cc pada persalinan pervaginam dan
750cc pada SC. pada studi ini ditemukan bahwa diagnosis perdarahan post
partum tidak konsisten karena perbedaan kriteria perdarahan secara
signifikan.
Temuan penelitian ini bertentangan dengan sebuat laporan dari
Australia yang menyebutkan bahwa adanya underestimasi dari
freksuensidiagnosis perdarahan post partum yang diambil dari jumlah
perdarahan berdasarkan rekam medis. Penelitian ini juga menunjukan
ketidaksesuaian antara estimasi perdarahan dengan dokumentasi jumlah
gumpalan darah dan perdarahan banyak. Temuan ini menunjukan adanya
diagnosis yang subjektif atau dokumentasi yang tidak lengkap pada rekam
medis serta adanya sikap kurang cermat dan peduli dari pemberi pelayanan
kepada parturient. Adanya kesalahan diagnosis perdarahan post partum
mungkin dapat menjadi penyebab potensial peningkatan kejadian
perdarahan post partum pada beberapa Negara, namun tidak dapat
menjelaskan peningkatan kasus perdarahan post partum yang berat.
Pada penelitian ini diperoleh hasil yang sesuai antara berbagai faktor
risiko perdarahan post partum dengan berbagai literatur, namun asosiasi
antara riwayat aborsi, penggunaan vitamin dan analgesik pada perdarahan
post partum atonik memerlukan konfirmasi dari penelitian lain. Penelitian
ini juga menunjukan persalinan SC dapat menurunkan kejadian perdarahan
post partum, adanya hubungan preeclampsia dengan perdarahan post
partum, dan adanya asosiasi kuat antara penggunaan magnesium sulfat
dengan perdarahan post partum karena efek tokolitiknya, namun pada
separuh wanita pada studi ini menerima magnesium sulfat sebagai
neuroprotektor janin.
Penggunaan oksitosin selama MAK III persalinan hampir selalu
diberikan dengan dosis lebih tinggi pada kelompok kasus, meskipun pada
kasus perdarahan post partum atonik menerima uterotonika lain secara
signifikan, termasuk ergotamine dan prostaglandin. Transfuse lebih sering
dilakukan pada kelompok kasus dengan SC dibanding pervaginam, karena
jumlah perdarahan lebih banyak pada persalinan SC. peregangan tali pusat
terkendali dapat menurunkan risiko manual plasenta dan menurunkan
perdarahan sekitar 500cc atau lebih, namun manfaat maternal dari klem tali
pusat memanjang masih belum jelas.

Kelebihan penelitian ini adalah dapat memberikan informasi


detail mengenai kasus perdarahan post partum atonik dan kontrol tanpa
perdarahan post partum melalui protokol yang terstandarisasi dari berbagai
RS di Kanada. Rincian estimasi perdarahan, tipe persalinan, dan waktu
pemberian obat tidak pernah dilaporkan sebelumnya. Keterbatasan
penelitian ini adalah adanya ketidaklengkapan data klem tali pusat,
peregangan tali pusat terkendali, dan massase uterus di beberapa RS karena
minimnya data yang tertulis di RM. Penelitian ini juga belum bias
mendeteksi asosiasi kejadian perdarahan post partum atonik dengan kondisi
yang relatif jarang, seperti polihidramnion, kehamilan multifetal, plasenta
previa, dan korioamnionitis. Adanya overdiagnosis dan underdiagnosis
perdaratah post partum atonik menjadi permasalahan pada penelitian kali
ini, karena pencatatan di RM tidak konsisten mengenai diagnosis
perdarahan post partum atonik, serta minimnya data yang disertakan dalam
RM. Terakhir, peneliti melakukan kuantifikasi efek persalinan pervaginam
dan SC pada pasien dengan riwayat SC tanpa melihat indikasi dilakukan
SC untuk memudahkan uji regresi dan mengurangi kerumitan uji.

Kesimpulan
Penelitian ini menunjukan bahwa diagnosis perdarahan post partum
sering mengalami misklasifikasi secara signifikan karena
ketidakkonsistenan antara kehilangan darah dan diagnosis secara signifikan
pada RM. Peningkatan kejadian perdarahan post partum dapat disebabkan
karena adanya perubahan sekuler pada pemberi pelayanan kesehatan
terhadap jumlah perdarahan. Meskipun penelitian ini menunjukan
hubungan yang lemah antara komponen MAK III persalinan dengan
kejadian, peneliti belum dapat menentukan apakah hal ini disebakan karena
dokumentasi yang kurang baik atau adanya kesalahan pelaksanaan
intervensi pada MAK III persalinan. Perbaikan dalam penulisan
dokumentasi dapat memudahkan untuk mendeteksi penyebab peningkatan
kejadian peradrahan post partum di beberapa Negara maju.
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Perdarahan postpartum didefinisikan sebagai keluarnya darah dari
vagina sebanyak minimal 500 cc setelah janin lahir pervaginam atau
minimal 1000 cc setelah persalinan perabdominam. Bila perdarahan
sebanyak minimal 1000 cc setelah persalinan pervaginam, dikatakan
sebagai perdarahan postpartum masif (Lisonkova et al, 2016; WHO, 2009).
Sedangkan untuk klasifikasinya, perdarahan postpartum dibagi menjadi
primer dan sekunder. Perdarahan postpartum primer bila berlangsung
sampai dengan 24 jam, sedangkan sekunder bila lebih dari 24 jam sampai
2 minggu (Lutomski, 2011; WHO, 2009).
Sedangkan atonia uteri sebagai salah satu penyebab perdarahan
postpartum dan merupakan yang tersering, didefinisikan sebagai kegagalan
myometrium untuk berkontraksi setelah persalinan. Kontraksi myometrium
yang kuat dan efektif sangat penting untuk menghindari perdarahan lebih
lanjut. Namun, pada atonia uteri, uterus menjadi lunak sehingga timbul
perdarahan per vaginam (Lim, 2012).

B. Etiologi
Penyebab dari perdarahan postpartum adalah atonia uteri (tonus),
inversion uteri, ruptur uteri, laserasi jalan lahir (tear), retensi plasenta atau
sisa plasenta (tissue), dan kelainan pembekuan darah (thrombin). Namun,
penyebab terbanyak adalah atonia uteri, sebanyak 80% kasus (Lutomski,
2011).
Perdarahan postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri dapat
berhubungan dengan overdistensi uterus, infeksi, distorsi uterus.
Overdistensi uterus, misalnya dalam keadaan multigravida, kehamilan
multipel, dan polihidramnion, dapat menyebabkan kontraksi uterus tidak
langsung membaik.
C. Epidemiologi
Angka kejadian perdarahan postpartum diperkirakan sekitar 6-11 %
di dunia. Di Afrika prevalensinya sebanyak 10.5%, 8.9 di Amerika Latin,
6.3% di Amerika Utara dan Eropa, serta 2.6% di Asia. Sedangkan untuk
perdarahan postpartum dengan volume minimal 1000 cc prevalensinya
lebih kecil, yaitu sekitar 1.9-2.8%. Namun, kejadiannya terus meningkat di
beberapa negara, salah satunya Amerika Serikat yang meningkat 26%
dalam 12 tahun. Atonia uteri sendiri menyebabkan sebanyak 75-90% kasus
perdarahan postpartum (Khan, 2006).
Menurut WHO, 2005, perdarahan postpartum masih menjadi
penyebab kematian yang cukup tinggi di dunia. Mortalitas perdarahan
postpartum terjadi di Asia (48%) dan Afrika (2006). Di Kanada dan
Amerika Serikat, prevalensinya juga meningkat 23-26% (Lim, 2012).

D. Faktor risiko
Identifikasi bagi ibu hamil yang berisiko mengalami perdarahan
postpartum atonik penting untuk diketahui dan dalam penanganan lebih
lanjut untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Faktor risiko dari
perdarahan postpartum atonik, antara lain (Bateman, 2010):
1. Usia ibu, di mana usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 40 tahun lebih
berisiko untuk mengalami perdarahan post partum.
2. Multigravida
3. Kehamilan ganda
4. Polihidramnion
5. Chorioamnionitis
6. Riwayat perdarahan antepartum
7. Adanya riwayat hipertensi dalam kehamilan dan diabetes mellitus
8. Adanya riwayat aborsi sebelumnya
9. Fibroid uterus atau jaringan parut uterus
10. Partus lama
11. Persalinan perabdominam (section cesarean) atau riwayat persalinan
perabdominam sebelumnya.
Menurut Lim, 2012, faktor risiko dari perdarahan postpartum atonik dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Overdistensi uterus: kehamilan ganda, polihidramnion, makrosomia
2. Faktor terkait persalinan: induksi dan augmentasi persalinan, partus lama,
partus presipitatus, manual plasenta
3. Penggunaan relaxan uterus: anestesi, magnesium sulfat.
4. Factor intrinsik: usia lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat perdarahan
postpartum sebelumnya, riwayat perdarahan antepartum

E. Patofisiologi
Atonia uteri sebagai penyebab paling sering dari perdarahan
postpartum terjadi karena myometrium uterus yang terdistensi sebelumnya,
gagal untuk berkontraksi kembali ke ukurannya semula. Hal ini
menyebabkan pembuluh darah pada bagian myometrium yang seharusnya
terkonstriksi karena kontraksi otot polos myometrium, gagal terkonstriksi
sehingga menimbulkan perdarahan (Khan, 2006).
Kegagalan dari kontraksi uterus ini tidak diketahui secara pasti
penyebabnya. Beberapa hormon yang dapat dikaitkan dengan kontraktilitas
uterus adalah oksitosin dan prostaglandin. Selama persalinan, distensi
uterus dan cervix merangsang pelepasan oksitosin. Kemudian oksitosin
akan berikatan dengan reseptornya di myometrium, dan meningkatkan
kontraksi uterus. Prostaglandin juga berperan sebagai stimulan unuk
kontraksi myometrium. Dalam kehamilan, prostaglandin dihasilkan oleh
jaringan desidua, plasenta dan membrane fetus. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa pelepasan prostaglandin meningkat saat persalinan kala
3 (Khan, 2006).

F. Tanda dan Gejala


Perdarahan post partum adalah kehilangan darah >500mL atau 2 gelas
setelah perdarahan pervaginam atau kehilangan darah 1L setelah operasi
caesaria. Perdarahan post partum dapat menyebabkan syok hipovolemik. Tanda
dan gejala syok hipovolemik pada ibu post partum adalah:

1) Nadi meningkat sebagai indikator awal yang diikuti dengan penurunan


tekanan darah, pucat, berkeringat, penurunan aliran capillarry refill dan akral
dingin.
2) Gejala lain adalah pusing sampai pingsan, mual dan haus.
3) Apabila sudah terjadi kehilangan darah masif, mengganti cairan lewat IV line
satu atau 2 jalur.
4) Posisikan pasien dalam bidang datar, kaki lebih tinggi daripada kepala.
5) Masase fundus sampai uterus berkontraksi.
6) Kosongkan kandung kemih dengan menyuruh pasien buang air kecil atau
memasang kateter.
7) Berikan oksigen jika diperlukan.
8) Beri uterotonika sesegera mungkin:
a) Oksitosin 10 IU i.m
b) Atau 20-40 IU dalam 1L saline atau cairan IV 60 tpm.
c) Lanjutkan oksitosin 20 IU dalam 1 L 40 tpm

Atau

a) Ergometrin / metilergometrin (jika oksitosin tidak ada) 0,2 mg atau 0,5


mg IM atau dapat diberi IV tetesan pelan.
b) Jika perdarahan masih berlangsung, 0.2 mg i.m dapat diulang setiap 2-4
jam dengan dosis maksimum 1 mg dalam 24 jam.
c) Kontraindikasi pada penyakit hipertensi karena merupakan faktor risiko
dari penyakit stroke atau krisis hipertensi.
d) Kontraindikasi pada pengobatan bersama terapi HIV.
Gambar. (Queensland, H. 2013)

G. Penegakan Diagnosis
Gejala dan tanda yang Gejala dan tanda DD
selalu ada yang kadang ada
1. Uterus tidak berkontraksi syok Atonia uteri
dan lembek
2. Perdarahan Post Partum
Primer (segera setelah
anak lahir)
1. Perdarahan post partum Pucat Robekan jalan lahir
primer Lemah
2. Perdarahan segera Menggigil
3. Uterus kontraksi baik
4. Plasenta lahir lengkap
1. Plasenta belum lahir Tali pusar putus Retensio plasenta
setelah 30 menit akibat traksi
2. Perdarahan post partum berlebihan
primer Inversio uteri akibat
3. Uterus kontraksinya baik tarikan
Perdarahan lanjutan
1. Plasenta atau sebagian Uterus berkontraksi Sisa plasenta
selaput (mengandung tetapi TFU tidak
berkurang
pembuluh darah) tidak
lengkap
2. Perdarahan post partum
primer
1. Uterus tidak teraba Syok neurogenik Inversio uteri
2. Lumen vagina terisi pucat
massa
3. Tampak tal pusat (jika
plasenta belum lahir)
4. Perdarahan post partum
primer
5. Nyeri ringan-berat
1. Sub involusi uterus Anemia Perdarahan
2. Nyeri tekan perut bawah Demam terlambat
3. Perdarahan >24jam Endometritis
setelah persalinan Sisa plasenta
(sekunder)
4. Perdarahan bervariasi (R-
B) atau tidak teratur dan
berbau (jika disertai
infeksi)
1. Perdarahan post partum Syok Ruptur uteri
primer Nyeri tekan perut
2. Nyeri perut berat Denyut nadi ibu cepat
Tabel. (Fransisca, 2010)
H. Tata Laksana
1) Tatalaksana Atonia Uteri

Gambar. Iman, B. 2011


2) Tatalaksana Perdarahan Post Partum

Gambar. (Queensland, H. 2013)


3) Tatalaksana menurut FIGO

Diagram (FIGO, 2012

I. Komplikasi
Komplikasi pada perdarahan post partum adalah kehilangan banyak
darah sehingga dapat terjadi syok hipovolemi, anemia, infeksi masa nifas serta
kegagalan fungsi organ seperti ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

Bateman, B. T., Mitchell F. B., Laura E. R., Lisa R. L. 2010. The Epidemiology of
Postpartum Hemmorhage in A Large, Nationwide Sample of Deliveries.
Society for Obstetric Anaesthesia and Perinatology Vol 110;No. 5. www.
Anaesthesia-analgesia.org
FIGO, 2012. Prevention And Treatment Of Postpartum Hemorrhage In Low
Resource Settings in International Journal of Gynecology and Obstetrics.
Available in www.elsevier.com/locate/ijgo
Fransisca, S. 2010. Perdarahan Post Partum. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma
Iman, B. 2011. Perdarahan Post Partum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Khan, R.U. and El-Refaey, H., 2006. Pathophysiology of postpartum hemorrhage
and third stage of labor. Postpartum Hemorrhage, pp.62-69.

Leduc, D., Vyta, S., Andre, B., 2009. Active Management Of The Third Stage Of
Labour: Prevention and Treatment of Postpartum Hemorrhage in Journal of
Obstetricians and Gynaecologists of Canada Vol 31 (10): 980-993.
Lim, P. S. 2012. Uterine Atony: Management Strategies. Dapat dilihat di:
http://cdn.intechopen.com/pdfs/32726/InTech-
Uterine_atony_management_strategies.pdf
Lutomski, J.E., Byrne B. M., Devianne D., Greene R. A. 2011. Increasing Trends
in Atonic Postpartum Haemorrhage in Ireland: An 11-Year Population-
Based Cohort Study. BJOG: An International Journal of Obstetrics &
Gynaecology, Vol 119, Issue 3. Irlandia: National Perinatal Epidemiology.
Dapat dilihat di: http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1471-
0528.2011.03198.x/pdf
Queensland, H. 2013. Primary Post Haemorrhage in Queensland Maternity and
Neonatal Cinical Guidline Program. Available in
www.health.gld.gov.au/gcg
WHO. 2009. Guidelines for the Management of Postpartum Haemorrhage and
Retained Placenta. Dapat dilihat di:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/44171/1/9789241598514_eng.pdf

You might also like