You are on page 1of 34

ILEUS OBSTRUKTIF

Disusun oleh:
Syifa Febriana (2013730181)

Pembimbing:
dr. Amir S. Lubis, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau oleh gangguan
peristaltik. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik. Obstruksi mekanik dapat disebabkan
karena adanya lesi pada bagian dinding usus, di luar usus maupun di dalam lumen usus. Obstruksi
usus dapat akut atau kronik, parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon
sebagai akibat adanya karsinoma. Sebagian besar obstruksi justru mengenai usus halus : Ileus
obstruktif merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai dan merupakan
60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen. Obstruksi total usus halus merupakan kegawatan yang
memerlukan diagnosa dini dan tindakan bedah darurat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Markogiannakis et al, ditemukan 60%
penderita yang mengalami ileus obstruktif rata rata berumur sekitar 16 98 tahun dengan
perbandingan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki laki (Markogiannakis et al.,
2007).
Terapi ileus obstruktif biasanya melibatkan intervensi bedah. Penentuan waktu kritis
tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi dilakukan secepat yang layak
dilakukan dengan memperhatikan keadaan keseluruhan pasien.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI USUS

A. Anatomi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang dewasa, yang
terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum, merupakan segmen yang
paling proksimal, terletak retroperitoneal berbatasan dengan kaput dan batas inferior dari korpus
pankreas. Doudenum dipisahkan dari gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh batas
Ligamentum Treitz. Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan bertambat ke retroperitoneal
melalui mesenterium. Tak ada batas anatomi yang jelas untuk membedakan antara Jejunum dan
Ileum; 40% panjang dari jejunoileal diyakini sebagai Jejunum dan 60% sisanya sebagai Ileum.
Ileum berbatasan dengan sekum di katup ileosekal (Whang et al., 2005)
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau valvula
conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga terlihat secara radiografi
dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas
pada bagian proksimal usus halus daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat digunakan untuk
membedakan bagian proksimal dan distal usus halus ialah sirkumferensial yang lebih besar, dinding
yang lebih tebal, lemak mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang lebih panjang.
Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya folikel limfoid. Folikel tersebut,
berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer Patches. (Whang et al., 2005)

Gambar 2.1 : Gambaran Usus Halus


(Sumber : Simatupang, 2010)

Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar terdiri atas segmen
awal (sekum), dan kolom asendens, transversum, desendens, sigmoid, rectum dan anus. Sisa
makanan dan yang tidak tercerna dan tidak diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam usus
besar oleh gerak peristaltik kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus
besar itu berbentuk semi cair; saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi semi
solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel goblet pada epitel usus
besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus halus. Sel goblet ini juga bertambah dari
bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus besar tidak memiliki plika sirkularis maupun vili intestinales,
dan kelenjar usus/intestinal terletak lebih dalam daripada usus halus (Eroschenko, 2003).

Gambar 2.2 : Sistem Saluran Pencernaan Manusia


(Sumber: Simatupang, 2010)

Suplai Vaskuler
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari Aorta tepat dibawah A.
Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali Duodenum yang sebagian atasnya
diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu cabang dari A. Gastroduodenalis.
Sedangkan separuh bawah Duodenum diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu
cabang A. Mesenterika Superior. Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi Jejunum dan
Ileum ini beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian Ileum
yang terbawah juga diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V. Messentericus
Superior yang menyatu dengan V. lienalis membentuk vena porta. (Price, 2003).
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memperdarahi belahan bagian kanan (sekum,
kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1) ileokolika, (2) kolika
dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior memperdarahi bagian kiri (sepertiga
distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1)
kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3) rektalis superior (Price, 1994) (Whang et al., 2005).

Pembuluh limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe; 1. Ke atas
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici gastroduodenalis dan
kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan 2. ke bawah, melalui nodi lymphatici
pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterica
superior.
Pembuluh limfe jejunum dan ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici
mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang terletak sekitar
pangkal arteri mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus superior. Pembuluh
limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe yang terletak di sepanjang
perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan dua pertiga dari kolon transversum
cairan limfenya akan masuk ke nodi limphatici mesentericus superior, sedangkan yang berasal
dari sepertiga distal kolon transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici
mesentericus inferior (Snell, 2004).

Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus) dari pleksus
mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan ileum berasal dari saraf
simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus mesentericus superior (Snell, 2004).
Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas sekresi dan pergerakan, sedangkan rangsangan
simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut - serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan
nyeri, sedangkan serabut - serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak dalam lapisan
muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa (Price, 2003).
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan pengecualian pada
sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar (Price, 2003). Sekum, appendiks dan
kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari
pleksus saraf mesentericus superior. Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis
nervus vagus dan saraf parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus
mesentericus superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua
pertiga proksimal kolon transversum; sepertiga distal dipersarafi oleh saraf parasimpatis nervus
pelvikus. Sedangkan pada kolon descendens dipersarafi serabut - serabut simpatis dari pleksus
saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis nervus pelvikus (Snell, 2004). Perangsangan
simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum,
sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek berlawanan. (Price, 2003).

B. Fisiologi
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan absorbsi bahanbahan nutrisi, air,
elektrolit dan mineral. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin,
asam klorida dan pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum
terutama oleh kerja enzim enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein
menjadi zat zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu
menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim enzim. Sekresi empedu dari
hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan
permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.

Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sukus enterikus).
Banyak di antara enzim enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat zat
makanan sambil diabsorbsi. Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat zat yang
dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan peristaltik
mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan kecepatan yang sesuai untuk
absorbsi optimal dan suplai kontinu isi lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe
untuk digunakan oleh sel sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi bahan bahan makanan dapat
berlangsung secara maksimal. Pergerakan usus halus terdiri dari :
Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang mencampur makanan dengan
enzim enzim pencernaan agar mudah untuk dicerna dan diabsorbsi.
Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan ke arah usus besar.

Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus yang terdiri dari 2 lapis yaitu
lapisan otot longitudinal dan lapisan otot sirkuler. Otot yang terutama berperan pada kontraksi
segmentasi untuk mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami distensi
oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal. Tiap kontraksi ini melibatkan
segmen usus halus sekitar 1 4 cm. Pada saat satu segmen usus halus yang berkontraksi
mengalami relaksasi, segmen lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila
usus halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini berulang terus
sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan dan mengadakan hubungan dengan
mukosa usus halus dan selanjutnya terjadi absorbsi.

Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang lambat yang merupakan basic
electric rhytm (BER) dari otot polos saluran cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8
sampai 12 kali/menit pada duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik
pada usus halus mendorong makanan menuju ke arah kolon dengan kecepatan 0,5 sampai 2
cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada bagian distal. Gerakan peristaltik
ini sangat lemah dan biasanya menghilang setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm

Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama diatur oleh adanya gelombang
lambat yang menghasilkan potensial aksi yang disebabkan oleh adanya sel sel pace maker yang
terdapat pada dinding usus halus, dimana aktifitas dari sel sel ini dipengaruhi oleh sistem saraf
dan hormonal.

Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini sebagian besar disebabkan
oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga menimbulkan refleks peristaltik yang akan
menyebar ke dinding usus halus. Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga
meningkatkan pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat pergerakan
usus halus.

Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang kadang terhambat selama beberapa jam
sampai seseorang makan lagi. Pada saat tersebut, refleks gastrileal meningkatkan aktifitas
peristaltik dan mendorong makanan melewati katup ileocaecal menuju ke kolon. Makanan yang
menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum oleh adanya sfingter ileocaecal berfungsi agar
makanan dapat diabsorbsi pada daerah ini. Katup ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan
kembali dari caecum masuk ke ileum.

Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila tekanan di dalam caecum
meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan
gerakan peristaltik ileum akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila
terjadi peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan mengalami
spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga pengosonga ileum sangat terhambat.
BAB III
ILEUS OBSTRUKTIF

A. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya
daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan
penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi intestinal untuk
melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan
mekanik atau nonmekanik parsial atau total dari usus besar dan usus halus.

B. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati urutan pertama. Maingot
melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari Ileus adalah perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di
RSUD DR. Soetomo pada tahun 2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan
usus, kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.(5,10).

C. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar pembedahan pada akut
abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena
adanya sumbatan yang menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan
oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau lesi intrinsik dari dinding
usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi
yang menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama.
Satu pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata dijumpai lebih dari satu
faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan operasi. (Thompson, 2005)
Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan umur dan tempat
terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus
halus. Pada pasien yang tidak pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena
inflamasi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan. Adhesi,
hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus obstruktif. Pada anak-anak,
hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari
ileus obstruktif yang terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus
komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus obstruktif ini terjadi
pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon, pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan
obstruksi lebih sering daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus
merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan karsinoma kolorektal.
(Thompson, 2005).

Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al., 2005)
(Thompson, 2005)
Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Benda Asing Adhesi Kongenital
- Iatrogenik Benda Asing - Atresia, stenosis,
- Tertelan Hernia dan webs
- Batu Empedu - Eksternal - Divertikulum
- Cacing - Internal Meckel

Intususepsi Massa Inflamasi


Pengaruh Cairan - Anomali organ atau - Divertikulitis
- Barium pembuluh darah - Drug-induced
- Feses - Organomegali - Infeksi
- Meconium - Akumulasi Cairan - Coli ulcer
- Neoplasma

Neoplasma
- Tumor Jinak
Post Operatif - Karsinoma
Volvulus - Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Trauma
- Intramural
Hematom

D. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster, intestinal dan
pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya. Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal
bagian proksimal, sebagian besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon.
Ileus obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah obstruksi disebabkan
karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi
lumen untuk mencapai daerah distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi dalam beberapa jam dan
akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi lumen yang terus bertambah terkumpul dalam
intestinal. Aliran darah meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama
di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi intestinal. Hal ini bertujuan
untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif.
Pengguyuran cairan intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke
dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi normal. Distensi lumen
menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus obstruktif. Sebagian kecil
dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas
Nitrogen (70%), Oksigen (12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan
udara bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk berdifusi dari
lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi mekanik dengan cara
meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik,
intermittent quiescent interval, dan pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera
menjadi kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan penurunan dari
frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas gelombang spike, namun intestinal masih
memberikan respon terhadap rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi
mekanik terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga menyebabkan aliran cairan dari
lumen ke pembuluh darah berkurang dan sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen
meningkat. Perubahan yang serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan
Khlorida. Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme sekresi. Peningkatan sekresi juga
dipengarui oleh hormon gastrointestinal, seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal
polipeptida, prostaglandin, atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi intestinal di bagian
proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan muntah. Proses obstruksi yang berlanjut,
kerusakan progresif dari proses absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi
mekanik ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan oleh
terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan transudasi cairan
intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah memperparah terjadinya defisit cairan melalui
external loss. Hipokalemia, hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering
dari obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan terjadinya
insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi bakteri. Bakteri Aerob dan
Anaerob berkembang pada daerah obstruksi. Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang
absorbtif dan fungsi motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan
komplikasi sepsis.
Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif
(Sumber : Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen obtruksi dari intestinal.
Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat
perubahan lokal pada dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada kolon paling sering
disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi dan peningkatan tekanan
pada intramural dapat menyebabkan kongesti dari vena, kebocoran kapiler, edema dinding usus
besar dan perdarahan serta thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri
terjadi dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan produksi toksin intralumen
dan dapat merangsang pelepasan mediator vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal
lebih peka terhadap iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan radikal bebas. Mukosa
pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat
terjadi nekrosis mukosa, bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding
intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan sirkulasi sistemik. Hal ini
menggiring pada terjadinya iskemia, sepsis, perforasi frank yang dapat disertai dengan peritonitis
dan kematian akibat syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung
terjadinya gagal organ, seperti paru.
Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

Obstruksi Gelung Tertutup


Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan sebab yang paling
sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya perputaran mesenterium. Obstruksi di bagian
distal dari usus besar juga dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup
ileocekal masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat, sekresi cairan ke
dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun. Kepentingan klinis yang mungkin
terjadi akibat fenomena ini ialah meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada
obstruksi gelung tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih dahulu
bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi merupakan penyebab
tersering dari gangguan ini dan jarang sekali mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi
parsial kronis dapat menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi otot.
Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi merupakan karakteristik
yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan
bakteri dapat menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan intestinal. Kolon khususnya
yang bagian distal memiliki kemampuan yang terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas
di kolon terjadi lebih lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi yang terjadi secara
perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi dan dekompresi dapat terjadi karena katup
ileocecal yang inkompeten. Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan penipisan dinding cecum
akibat penambahan diameter dapat meningkatkan resiko terjadinya rupture. Rupture dapat
disebabkan oleh iskemia yang terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun
karena invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas abnormal namun
tidak hiperperistaltik.

Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga kelompok (Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Berdasarkan Lokasi Obstruksi :


a. Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
b.Letak Tengah : Ileum Terminal
c. Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat & Jong, 2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan terjepitnya pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya penjepitan pembuluh darah
sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai
dengan gejala umum berat yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan keluar suatu gelung
usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus obstruktif dibagi dua (Ullah
et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai duodenum, jejunum dan
ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai kolon, sigmoid dan
rectum.

F. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan obstipasi. Adanya flatus
atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram
abdomen bisa merupakan gejala penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal
proksimal daerah obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering dikeluhkan
nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi intermiten, nyeri kolik juga menyertai.
Saat nyeri menetap dan terus menerus kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark.
(Whang et al., 2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen yang akan sangat terlihat
pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di
bagian proksimal usus halus, dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan
volume intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin didapatkan
leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi lebih sering saat telah
terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi
tanda yang lebih sering ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus. (Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting untuk membedakan
terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih terjadi pada obstruksi letak tinggi karena
perjalan isi lumen di bawah daerah obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda
adanya obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya, namun distensi akan
segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah. Tanda awal yang muncul ialah penderita segera
mengalami dehidrasi. Massa yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses,
ataupun strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga kategori : loud,
high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan tanda awal terjadinya obstruksi mekanik.
Saat bising usus tak terdengar dapat diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik
atau terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-tanda strangulasi mulai
tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui adanya hernia serta rectal toucher untuk
mengetahui adanya darah atau massa di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus, demam, takikardia, dan nyeri
tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi
sulit untuk ditegakkan. Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate dehidrogenase, fosfat,
dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk
membedakan antara obstruksi sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

G. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu harus ditegakkan atas
dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan laboraorium harus dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi
yang segera. Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat ditemukan
penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena pernah dioperasi sebelumnya atau
terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong, 2004). Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di
sekitar umbilkus, sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar
suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun dan pada ileus obstruktif
usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup kehilangan turgor kulit
maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen harus dilihat adanya distensi, parut abdomen,
hernia dan massa abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat ditemukan
darm contour (gambaran kontur usus) maupun darm steifung (gambaran gerakan usus),
biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan
muntah dan juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan menggeliat
sewaktu serangan kolik.

Gambar 2.5 Gerakan Peristaltik Usus (Sumber : Faradilla, 2009)


b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani yang menandakan
adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau
nyeri tekan, yang mencakup defance muscular involunter atau rebound dan pembengkakan
atau massa yang abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik gemerincing logam
bernada tinggi dan gelora (rush) diantara masa tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam
perjalanan penyakit dan usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga
juga bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri usus bisa juga
ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah pemeriksaan rectum dan pelvis.
Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula
recti sering ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi. Mukosa
rectum dapat ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi merupakan massa atau tumor pada
bagian anorectum maka akan teraba benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan,
konsistensi, serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati oleh jari.
Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general misalnya pada keadaan peritonitis. Kita
juga menilai ada tidaknya feses di dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak
teraba pada colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung tangan dapat
ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi intrinsik di dalam usus
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi mekanik dengan ileus;
menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan antara obstruksi parsial atau komplit dan
membedakan obstruksi sederhana dengan strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat
anamnesis adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya kelainan
abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi usus) yang dapat membantu kita
menentukan etiologi terjadinya obstruksi. Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan.
Feses juga harus diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah menuntun kita
ke arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami obstruksi intestinal
terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase.
Obstruksi intestinal yang sederhana tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium
jadi pemeriksaan ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi intestinal yang
sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal dapat mendeteksi adanya hipokalemia,
hipokhloremia dan azotemia pada 50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau posisi dekubitus) dan
posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus halus ( diameter > 3
cm ), adanya air-fluid level pada posisi foto abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara
di kolon. Sensitifitas foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai
70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat ditemukan beberapa
gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi udara dan gelung usus
yang berbentuk U yang dibedakan dari dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan gambaran serupa dengan
obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis
ketika letak obstruksi berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi tampaknya air-fluid level
atau distensi usus. Keadaan selanjutnya berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup.
Meskipun terdapat kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan yang
penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena kegunaannya yang luas namun
memakan biaya yang sedikit.

Tabel 2.4 Perbedaan Radiologi obstruksi intestinal dan ileus


Temuan Radiologis Osbtruksi Mekanik Ileus
Air-fluid Level Present proximal to obstruction Prominent throughout
Gas in small intestine Large bowel shape loops; Gas present diffusely; moveable
stepladder pattern
gas ini colon Absent or diminished Increase throughout
Thickened bowel wall Present if chronic or Present with inflamation
strangulation
Intraabdominal fluid Rare Often present
Diapraghm Slightly elevated; normal Elevated; decrease motion
motion
Gastrointestinal contrast Rapid progression to point of Slow progression to colon
media obstruction
Gambar 2.6 Dilatasi usus (Nobie, 2009)

Gambar 2.7 Multipel air fluid level dan string of pearls sign (Nobie, 2009)
Gambar 2.8 Herring bone appearance (Nobie,2009)

Gambar 2.9 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002)


Gambar 2.10 Step ledder sign (Nobie, 2009)

b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan juga untuk
membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna jika pada foto polos abdomen
memperlihatkan gambaran normal namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau
jika penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini juga dapat
membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren dan kerusakan akibat radiasi.
Enteroclysis memberikan nilai prediksi negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua
kontras. Barium merupakan kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan aman
untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus maupun perforasi. Namun,
penggunaan barium berhubungan dengan terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus
dihindari bila dicurigai terjadi perforasi. (Nobie, 2009)
Gambar 2.11 Intususepsi (coiled-spring appearance).(Khan,2009)

c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau obstruksi strangulate dan
menyingkirkan penyebab akut abdomen lain terutama jika klinis dan temuan radiologis lain
tidak jelas. CT-scan juga dapat membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi,
hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron karena penyebab
intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus halus sekitar 2,5 cm pada bagian
proksimal menjadi bagian yang kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat spesifisitasnya sekitar
70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan
dilatasi usus proksimal, dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat
melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan dan gas. CT scan juga
dapat memberikan gambaran adanya strangulasi dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi
Gelung tertutup diketahui melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi
radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi ditandai dengan
penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara didinding usus), gas pada vena portal
dan kurangnya uptake kontras intravena ke dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan
juga digunakan untuk evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya mengetahui
etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya yang rendah (<50%)
untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi usus halus parsial. Zona transisi yang tipis akan
sulit untuk diidentifikasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.12 CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium


(Khan, 2009)

Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi usus halus yang tidak
diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)

d. CT enterography (CT enteroclysis)


Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan klinis. Pemeriksaan ini
merupakan pilihan pada ileus obstruksi intermiten atau pada pasien dengan riwayat
komplikasi pembedahan (seperti tumor, operasi besar). Pada pemeriksaan ini memperlihatkan
seluruh penebalan dinding usus dan dapat dilakukan evaluasi pada mesenterium dan lemak
perinerfon. Pemeriksaan ini menggunakan teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan
kontras dalam jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan pemeriksaan CT
biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs 50%), dan juga lokasi obstruksi (100%
vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam mendeteksi adanya obstruksi.
MRI juga efektif untuk menentukan lokasi dan etiologi dari obstruksi. Namun, MRI memiliki
keterbatasan antara lain kurang terjangkau dalam hal transport pasien dan kurang dapat
menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.14 Kehamilan dengan ileus obstruktif (Edelman, 2010)

f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari obstruksi dengan
melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien dengan ilues obtruksi, USG dapat dengan
jelas memperlihatkan usus yang distensi. USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari
usus yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat memperlihatkan
peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan obstruksi mekanik dari ileus paralitik.
Pemeriksaan USG lebih murah dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan
spesifitasnya dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2009)

Gambar 2.15 USG Abdomen tumor dinding epigastrium (Khan, 2009)


Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah menunjukkan distensi multiple dari
usus halus akibat invaginasi (Hagen-Ansert, 2010).

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease
7. Pancreatitis akut

I. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan kekurangan Natrium,
Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian cairan intravena dengan cairan salin isotonic
seperti Ringer Laktat. Urin harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin
adekuat, KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan elektrolit
serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk menilai kekurangan cairan.
Antibiotik spektrum luas diberikan untuk profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri
pada ostruksi intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga penting untuk dilakukan
ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung,
mengurangi resiko terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya
distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara konservatif dengan
resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60
85% pada obstruksi parsial. (Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit membutuhkan terapi operatif.
Pendekatan non operatif pada beberapa pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah
diusulkan, dengan alasan bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan
masalah yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri tekan atau
leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini dilakulkan dengan berbagai
resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada
strangulasi hingga setelah terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel.
Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 24 jam masih dalam batas aman
namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi dapat diterapi dengan
melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk
mencegah terjadinya trauma pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu.
Hernia incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan penutupan
defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya riwayat keganasan akan
lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila
berhasil, merupakan jalan yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit
dapat berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana dapat memberikan
hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang dengan operasi yang rumit yang mungkin
membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai viabilitas dari segmen usus
setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas usus masih meragukan, segmen tersebut harus
dilepaskan dan ditempatkan pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan
kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali dan didapatkan adanya
peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan
Doppler atau kontras intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi
ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk
membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh
streng/adhesi atau pada volvulus ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus yang
tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada Ca
stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus untuk
mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata,
dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh
karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid
obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. (Ullah et al., 2009).

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus yang masih ada.
Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang terkumpul dalam lumen usus tidak
boleh dibersihkan sama sekali oleh karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif
yang sangat diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun
terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien,
sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca bedah.
Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga keseimbangan asam basa
darah dalam batas normal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut,
apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 -
7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran
kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan
spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.

J. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan keseimbangan elektrolit
dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan
kematian (Ullah et al., 2009).
K. Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan operasi dapat segera
dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau
komplikasi lainnya akan meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik
bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).

BAB IV
KESIMPULAN

Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh
sumbatanmekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun
di bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensiatau
dilatasi usus.Adhesi, hernia, dan tumor mencakup 90% etiologi kasus obstruksi mekanik usus halus.
Adhesidan hernia jarang menyebabkan obstruksi pada colon. Penyebab tersering obstruksi pada
colonadalah kanker, diverticulitis, dan volvulus.
Adhesi dapat timbul karena operasi yang sebelumnya, atau peritonitis setempat atau umum.
Pitaadhesi timbul diantara lipatan usus dan luka dan situs operasi. Adhesi ini dapat meyebabkanobstruksi
usus halus dengan menyebabkan angulasi akut dan kinking, seringnya adhesi ini timbul beberapa tahun
setelah operasi. Hal ini dikarenakan teknik operasi yang salah atau terlalu banyak trauma pada usus
sewaktu operasi sehingga usus rusak dan terbentuk jaringan parut yang dapatmengalami
penyempitan.Bahkan teknik pembedahan yang baik pun tidak dapat selalu mencegah pembentukan
adhesi.
Jadi, sebagai metode tambahan, banyak ahli bedah telah menggunakan adhesion barriers
sebagai pencegahan terjadinya adhesi pada bedah abdomen dan pelvis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs. studentBMJ April
2002;10:102-3
2. Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011, Available at:
http://www.mr-tip.com/serv1.php?type=img&img=Pregnancy%20and%20Small%20Bowel
%20Obstruction
3. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D. Anggraini, T.
M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
4. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed., pp. 1339-1340).
Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
6. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.gehealthcare.com/usen/education/proff_leadership/products/msucmeaa.html
7. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th, 2011, Available at
emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962-overview
8. Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D, Giannopoulos P,et al.
2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical presentation, etiology, management and outcome.
World Journal of gastroenterology. January 2007 21;13(3):432-437. Available
from:URL:http://www.wjgnet.com
9. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
10. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th, 2011, from
emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
11. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price, L. McCarty, &
Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
12. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th, 2011, Available at:
http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
13. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
14. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
15. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R. H. Bell, L. F.
Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119). Philadelphia:
Lippincott-Raven Publisher
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of causes. JPMI
2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach. Retrieved June 6th, 2011,
Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
18. Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.), Schwatz`s
Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
19. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L, Brown AFT,
Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd ed. New York: Churchill
Livingstone. p.306-9

You might also like