Professional Documents
Culture Documents
Badan Geologi
2010
ISBN 978-602-9105-01-8
PEMBINA
Kepala Badan Geologi
PENGARAH
Sekretaris Badan Geologi
PENULIS
Sutikno Bronto
EDITOR
Udi Hartono
Nana Suwarna
JURU GAMBAR
Novan P. M. Mustofa
DESAINER COVER
Gunawan
PENATA LETAK
Rian Koswara
PENERBIT
Badan Geologi
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung - 40122, Telp. 022 - 7215297, Faks. 022-7218154
website: http://.www.bgl.esdm.go.id; e-mail:geologi@bgl.esdm.go.id
Menara-menara alami gunung api yang menjulang itu, membentang sepanjang Pulau Sumatra, Pulau
Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Di dasar laut pun terdapat gunung api aktif, yang
sewaktu-waktu meletus. Namun, sesungguhnya, Indonesia bukan hanya mempunyai gunung api aktif berumur
Kuarter, tetapi juga mempunyai batuan gunung api berumur Tersier sampai Pratersier.
Saat ini, penelitian lebih terpusat dan menjadi prioritas utama pada gunung api aktif, karena besarnya
nilai kemanusiaan yang melekat dengan gunung api tersebut. Lereng-lereng gunung api dengan tanahnya
yang subur, kini telah dipadati penduduk yang harus menjadi tujuan utama dalam upaya penyelamatan ketika
gunung itu meletus.
Rintisan penelitian gunung api purba, yaitu gunung api yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi
sekarang sudah mati dan tererosi, yang penampakannya tidak sejelas gunung api aktif, akan memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu geologi gunung api dan ilmu kebumian pada umumnya. Penelitian
gunung api purba mempunyai manfaat terapan, yaitu untuk mendukung upaya pencarian sumber baru energi
dan mineral, serta pengelolaan lingkungan geologi. Informasi geologi gunung api purba akan memberikan
pemahaman mengenai perilaku gunung api sejak masa lalu, sehingga bermanfaat untuk mitigasi bencana
geologi.
Dengan terbitnya buku Geologi Gunung Api Purba ini, saya memberikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada penulis, Prof. Dr. Sutikno Bronto (salah seorang peneliti) dari Badan Geologi. Buku
ini akan memberikan sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu kegunungapian khususnya, dan akan
memperkaya khasanah ilmu kebumian.
Diharapkan buku ini dapat menginspirasi dan memberikan dorongan bagi kegiatan penelitian dan pendidi-
kan ilmu kebumian di Indonesia, sekaligus mampu menciptakan gagasan-gagasan baru tentang sumber daya
geologi, lingkungan geologi, dan mitigasi bencana geologi, serta bermanfaat dalam menunjang peningkatan
kesejahteraan dan perlindungan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dr. R. Sukhyar
v
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas rahmat yang diberikan-Nya
sehingga penyusunan buku ini dapat diselesaikan. Buku berjudul Geologi Gunung Api Purba ini dimaksud-
kan untuk membuka pemikiran baru mengenai ilmu kebumian, khususnya di daerah berbatuan gunung api
seperti halnya di Indonesia. Sekalipun di daerah ini banyak gunung api, pembelajaran geologi selama ini
lebih banyak mengacu kepada pemikiran pandangan geologi sedimenter sehingga analisis terhadap peristiwa
geologi dan terapan di bidang penemuan sumber daya serta penanganan bencana geologi masih kurang sesuai.
Untuk memahami geologi gunung api purba, pada awal pembahasan disampaikan kejadian kegunungapian
pada masa kini, baik menyangkut asal-usul, proses maupun hasil kegiatan. Data geologi gunung api masa kini
tersebut kemudian digunakan sebagai dasar untuk menganalisis keberadaan gunung api purba. Dengan asumsi
bahwa peristiwa geologi gunung api pada masa kini juga pernah terjadi pada masa lalu. Pada bab terakhir
dikemukakan beberapa contoh hasil penelitian geologi gunung api purba di beberapa wilayah di Indonesia.
Penelitian ini masih bersifat pendahuluan sehingga diperlukan penelitian lanjutan pada masa mendatang.
Dengan selesainya penyusunan buku ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Badan
Geologi beserta jajaran pimpinan di bawahnya, yang telah membantu mulai dari persiapan penulisan sampai
dengan penerbitan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Nana Suwarna dan Prof.
Ris. Dr. Ir. Udi Hartono, yang telah bersusah payah menelaah dan memberikan masukan selama dilakukan
penyusunan buku ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Saudara Novan Priyagus Mirza Mustofa
A.Md., yang dengan tekun telah membantu menyiapkan dan menyusun gambar di dalam naskah. Kepada
saudara Rian Koswara dan Gunawan, staf Badan Geologi, juga diucapkan terima kasih atas bantuannya
dalam persiapan penerbitan buku.
Diharapkan buku ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan ilmu kebumian terutama yang terkait
dengan kegunungapian serta penerapannya dalam rangka penemuan sumber-sumber baru energi dan mine
ral, serta pengelolaan lingkungan dan bencana geologi. Untuk lebih menyempurnakan isi buku ini pada
waktu mendatang maka kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan. Semoga buku ini dapat
bermanfaat untuk kita semua. Amin.
Penulis,
Sutikno Bronto
vii
ISBN 978-602-9105-01-8
DAFTAR ISI
Kata Sambutan ........................................................................................................................................... v
Prakata ....................................................................................................................................................... vii
Daftar Isi .................................................................................................................................................... ix
ix
5.3 Penamaan Batuan Gunung Api secara Pemerian .................................................................... 53
5.3.1 Lava Koheren ................................................................................................................ 53
5.3.2 Batuan Klastika Gunung Api ......................................................................................... 55
5.4 Penamaan Batuan Gunung api Secara Genesis ........................................................................ 56
5.4.1 Lava Koheren ................................................................................................................. 56
5.4.2 Batuan Klastika Gunung api .......................................................................................... 63
5.5 Penamaan Tuf .......................................................................................................................... 73
5.5.1 Pengertian secara Deskripsi ....................................................................................... 73
5.5.2 Pengertian secara Genesis ............................................................................................ 73
5.5.3 Permasalahan ............................................................................................................. 73
5.6 Penamaan Breksi Gunung Api ............................................................................................... 74
5.6.1 Pengertian secara Deskriptif ....................................................................................... 74
5.6.2 Pengertian secara Genesis .......................................................................................... 75
5.7 Ringkasan ............................................................................................................................... 76
x
Geologi Gunung Api Purba 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Permasalahan
Sekalipun gunung api dan batuan hasil kegiatannya di Indonesia sangat melimpah, pembelajaran geologi
gunung api selama ini, baik melalui pendidikan maupun penelitian, masih kurang berkembang. Penelitian
secara vulkanologis terhadap gunung api tersebut masih sangat terbatas pada gunung api aktif masa kini
saja. Penelitian dasar kegunungapian ini pun lebih banyak dimaksudkan untuk mendukung usaha penang-
gulangan bahaya letusan gunung api, yang bersifat sosial atau non profit oriented, seperti tercermin di dalam
tugas dan fungsi instansi pemerintah yang menangani masalah kegunungapian. Sejauh ini, belum ada pene-
litian vulkanologis yang dikaitkan dengan aspek profit oriented, seperti halnya pencarian sumber-sumber
baru mineral dan energi, baik energi asal fosil maupun non-fosil. Peristilahan nama batuan atau endapan
yang digunakan di dalam pembelajaran gunung api masa kini juga lebih banyak bersifat genetis, terutama
menyangkut mekanisme bahan yang dikeluarkan dan nama gunung api atau sumber erupsi. Sebagai con-
Publikasi Khusus
2 Geologi Gunung Api Purba
toh: Endapan awan panas guguran Gunung Api Merapi, endapan awan panas letusan Gunung Api Semeru,
kubah lava Gunung Api Kelud, aliran lava Gunung Api Anak Krakatau, dan endapan longsoran Gunung Api
St. Helens. Hal ini dapat dimaklumi karena para ahli gunung api yang bekerja pada gunung api aktif masa
kini dapat mengamatinya secara langsung, bagaimana kegiatan suatu gunung api mulai dari gerak-gerak
dinamika magma di bawah permukaan hingga kemunculannya di permukaan dalam berbagai bentuk dan
kegiatan. Pengamatan secara langsung itu dapat dilakukan menggunakan mata telanjang dan atau meng-
gunakan peralatan pemantauan, secara fisis maupun kimiawi. Kegiatan vulkanisme di permukaan itu dapat
diamati mulai dari proses erupsi, mekanisme transportasi bahan erupsi sampai dengan proses pembekuan
lava, dan pengendapan bahan klastika atau rempah gunung api. Peristilahan secara genetis ini selain dapat
mengetahui asal-usul pembentukannya juga tersirat di dalamnya perihal tingkatan bahayanya, misalnya
awan panas lebih berbahaya daripada aliran lava.
Sejauh ini hampir tidak ada institusi geologi yang secara berkelanjutan melakukan penelitian ke
gunungapian, apalagi mengkhususkan diri di bidang geologi gunung api. Padahal hampir semua pusat-pusat
pendidikan dan penelitian geologi terutama di Jawa, terletak di kawasan gunung api, misalnya di Bogor,
Bandung, Purwokerto, dan Yogyakarta. Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
terletak di atas batuan gunung api di daerah Bandung. Pendidikan tinggi geologi di Yogyakarta menempati
kaki selatan Gunung Api Merapi dan berdekatan dengan batuan gunung api Tersier di Pegunungan Selatan
dan Pegunungan Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan yang berada di Jakarta, Se-
marang, dan Surabaya juga berdiri di atas endapan fluvium gunung api Kuarter, masing-masing dari Gunung
Gede - Pangrango, Gunung Ungaran, serta Gunung Arjuno - Welirang - Penanggungan.
Untuk batuan gunung api yang berumur Tersier dan Pratersier, kebanyakan penelitian hanya terbatas
pada lingkup petrologi-geokimia (contoh: Soeria-Atmadja dkk., 1986; Hartono dan Sulistiyawan, 2010)
dan hubungannya dengan tektonika (contoh: Katili, 1975; Baharuddin dan Rusmana, 2007). Sementara itu
penelitian yang lebih hilir tentang hubungan magmatisme dan mineralisasi mulai dikembangkan, misalnya
Hartono (2003; 2006). Penelitian terhadap aspek vulkanologi fisis (physical volcanology) dapat dikatakan
belum pernah dilakukan pada batuan gunung api berumur Tersier dan yang lebih tua. Hal itu disebabkan
bentuk dan tata letak gunung api sudah tidak teramati secara jelas seperti halnya pada gunung api Kuarter
dan aktif masa kini, karena proses perombakan yang semakin lanjut dan kemungkinan sudah mengalami
deformasi tektonika secara intensif. Selain itu para ahli geologi yang bekerja pada batuan gunung api tua
juga kurang membekali diri dengan pengetahuan tentang vulkanologi fisis dan peristilahan nama secara ge-
netis. Para ahli geologi tersebut lebih menekankan pada penamaan batuan berdasarkan aspek pemerian atau
deskriptif, yang menyangkut tekstur, struktur, komposisi, dan warna; sebagai contoh breksi, konglomerat,
batupasir kuarsa, batulumpur berlapis, dan batulempung merah. Apabila ada indikasi berasal dari kegiatan
gunung api masa lalu cukup diberi nama breksi gunung api atau tuf, tanpa dirinci lebih lanjut secara gene-
tis terhadap batuan gunung api tersebut. Pemahaman ini menjadi lebih sulit berubah karena pembelajaran
geologinya lebih didasarkan pada pandangan geologi sedimenter (Bronto dkk., 2009a).
Kenyataan tersebut tentunya tidak terlepas dari sejarah pendidikan dan penelitian geologi yang selama
ini mengikuti pemikiran ahli geologi dari negara-negara barat yang lingkungan geologinya jauh dari gu-
nung api. Pemikiran tersebut antara lain pedataran (peneplanisasi) dalam geomorfologi, pandangan geologi
sedimenter (stratigrafi kueh lapis atau layered cake geology) di bidang sedimentologi dan stratigrafi, serta
prinsip horisontalitas di bidang struktur geologi dan tektonika. Pemikiran para ahli geologi non gunung api
tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada batuan gunung api, karena secara geomorfologi terdapat
topografi awal yang tertimbun (pre-existing topograhy), secara struktur geologi ada kemiringan awal (initial
dips), dan pengendapan batuan gunung api juga tidak selalu mengikuti hukum stratigrafi kue lapis (Bronto
dkk, 2004a). Bahkan, dalam beberapa hal kegiatan gunung api mampu membentuk struktur geologi berupa
sesar dan lipatan, selain kekar dan rekahan.
Kekurangan itu menjadi kendala untuk menerapkan ilmu gunung api ke dalam pembelajaran geologi di
daerah yang tersusun oleh batuan gunung api berumur lebih tua dari Kuarter. Padahal untuk daerah busur
gunung api, seperti di Indonesia, keberadaan gunung api tersebut sangat ekstensif dan sangat berpengaruh
Publikasi Khusus
Pendahuluan 3
terhadap pembentukan batuan lain, misalnya batuan karbonat. Suatu hal yang kurang tepat apabila mem-
bahas batuan karbonat di Pegunungan Selatan Yogyakarta tetapi model pengendapannya dikaitkan dengan
model di Teluk Persia atau kepulauan Bahama, yang terjadi pada cekungan yang bebas dari gunung api. Di
bagian timur Pegunungan Selatan misalnya, pengendapan batuan karbonat jelas terpengaruh oleh kegiatan
gunung api (Sartono, 1964).
Gambar 1.1 Bagan pengetahuan Geologi Gunung Api sebagai landasan untuk pembelajaran lebih lanjut terhadap potensi sumber
daya geologi dan bencana geologi di daerah berbatuan gunung api. Potensi sumber daya geologi dapat berupa mineral, energi,
dan lingkungan geologi. Potensi bencana geologi terutama disebabkan oleh letusan gunung api, tetapi dapat berkembang ke
gempa bumi, tanah longsor, tsunami, dan gunung api lumpur (mud volcano).
Publikasi Khusus
4 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Pendahuluan 5
pat merupakan kumpulan gunung api poligenesis. Dengan demikian secara umum dapat dinyatakan bahwa
lapangan gunung api adalah suatu daerah cukup luas yang banyak terdapat gunung api, dan daerah itu tidak
berhubungan dengan daerah gunung api yang lain.
Istilah vulkanisme (volcanism) adalah proses alam yang berhubungan dengan kegiatan kegunungapian,
mulai dari asal-usul pembentukan magma di dalam bumi hingga kemunculannya di permukaan bumi dalam
berbagai bentuk dan kegiatannya. Kegiatan magma di dalam bumi dapat direkam dengan peralatan geofisika
dan geokimia, sedangkan kegiatan di permukaan berupa letusan gunung api, lapangan solfatara, fumarola,
mata air panas, bualan lumpur, dan penampakan-penampakan lain yang biasanya dijumpai di daerah gu-
nung api dan lapangan panas bumi. Pengertian ini memberikan pencerminan bahwa cakupan ilmu gunung
api sangat luas mulai dari magmatologi atau petrologi batuan beku hingga sedimentologi batuan hasil
kegiatan gunung api. Sedemikian luas lingkup vulkanologi sehingga para ahli membentuk organisasi profesi
internasional bernama International Association on Volcanology and Chemistry of Earth Interior (IAVCEI).
Dengan demikian, lingkup ilmu gunung api atau vulkanologi meliputi bahasan khuluk (bentuk fisik alamiah,
nature), mula jadi (asal-usul, origin, genesis), bahaya dan penanggulangannya (volcanic hazards and their
mitigations), serta manfaat sumber daya gunung api. Prinsip pemahaman terhadap lingkup vulkanologi itu
dapat dipelajari secara bertahap mulai dari pemerian (descriptive), tafsiran (interpretative), dan kemanu-
siaan (humanistic). Pemerian adalah uraian tentang obyektivitas data yang diamati terhadap gunung api dan
vulkanisme. Data tersebut menjadi dasar untuk melakukan penafsiran terhadap hal-hal yang tidak teramati,
misalnya asal-usul sumber erupsi, lingkungan asal, mekanisme letusan, mekanisme pengendapan batuan
gunung api, lingkungan pengendapan, dan umur kejadian. Prinsip humanistik di sini dimaksudkan sebagai
hubungan antara gunung api dengan kehidupan manusia, baik berupa ancaman bahaya gunung api terhadap
kehidupan dan lingkungan hidup manusia, usaha penanggulangan bencana letusan gunung api, maupun
pemanfaatan sumber daya alam gunung api.
Istilah yang juga sangat penting adalah gunung api aktif, namun sejauh ini pemahamannya belum ada
keseragaman di antara para ahli gunung api. Berdasarkan analisis umur batuan gunung api, terutama penari-
khan umur secara radiometri, para ahli gunung api di Jepang dan Selandia Baru menyatakan bahwa seluruh
gunung api yang pernah meletus antara 50.000 tahun yang lalu hingga sekarang dinyatakan sebagai gunung
api aktif. Gunung api yang kegiatannya antara 50.000 dan 100.000 tahun yang lalu dinyatakan mempunyai
potensi aktif kembali (capable volcanoes), sedangkan gunung api yang kegiatannya lebih tua dari 100.000
tahun yang lalu dipandang sudah mati atau sebagai fosil gunung api. Mengacu pendapat Neumann van
Padang (1951), Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral, Republik Indonesia menyatakan bahwa gunung api aktif adalah semua gunung api
yang pernah meletus sejak tahun 1600 (Tipe A), gunung api yang belum pernah meletus sejak 1600 tetapi
masih memperlihatkan kenampakan vulkanisme (Tipe B), serta daerah yang bentuk gunung apinya tidak
jelas tetapi masih dijumpai lapangan solfatara dan fumarola, serta kenampakan panas bumi lainnya (Tipe C).
Dari pembahasan Gunung Muria di Jawa Tengah (Anonim, 1997) dinyatakan bahwa keaktifan suatu
gunung api sangat erat hubungannya dengan kegiatan tektonika daerah setempat. Selama kegiatan tektonika
di daerah itu masih berlangsung maka hal itu dapat menyebabkan reaktivasi kegiatan gunung api. Pada
waktu sekarang mungkin saja gunung apinya tidak menunjukkan kegiatan, apalagi teramati di permukaan,
tetapi dengan dipicu oleh gerak-gerak tektonika, maka gunung api itu dapat meletus kembali. Oleh sebab
itu untuk gunung api yang berumur kurang dari 5 juta tahun masih perlu diperhatikan kemungkinan terjadi
letusan kembali. Salah satu contoh kawasan gunung api yang sebelumnya dipandang sudah tidak aktif tetapi
setelah beristirahat selama 14.500 tahun kemudian meletus pada tahun 1987 - 1989 adalah Gunung Api
Anak Ranakah di Pulau Flores bagian barat (Abdurachman dkk., 1988). Di Filipina, Mt. Pinatubo yang
sebelumnya dianggap bukan gunung api aktif ternyata telah meletus hebat pada tahun 1991 (Newhall dan
Punongbayan, 1996). Setelah dilakukan penelitian, ternyata diketahui bahwa aktivitas gunung api itu sudah
mulai sejak 1 juta tahun yang lalu, dan sebelum letusan 1991 gunung api itu telah mengalami istirahat
panjang selama lebih kurang 500 tahun. Pada 29 - 31 Agustus 2010 Gunung Api Sinabung di Sumatera
Utara meletus setelah beristirahat panjang, paling tidak sejak tahun 1600. Hal ini diduga sangat erat hu-
Publikasi Khusus
6 Geologi Gunung Api Purba
bungannya dengan kegiatan tektonika yang sangat intensif di kawasan itu, paling tidak sejak tahun 2000
(Bronto dan Setianegara, 2010).
Ferari (1995) memandang gunung api aktif bila lama hidupnya, dari lahir sampai menjelang mati, secara
statistik belum terlampaui. Tabel 1.1 menunjukkan lama hidup dan waktu istirahat setiap tipe gunung api
di dunia. Sebagai contoh, gunung api kaldera tunggal mempunyai durasi hidup rata-rata 846.000 tahun dan
maksimum 3,8 juta tahun. Apabila batuan termuda gunung api itu berumur 500.000 tahun maka gunung api
itu masih tergolong gunung api aktif. Sebaliknya jika umur kaldera itu sudah lebih dari 4 juta tahun, atau
waktu istirahat terkini sudah lebih dari waktu istirahat maksimum (> 850.000 ribu tahun) maka gunung api
itu sudah dapat dianggap mati.
Tabel 1.1 Lama Hidup atau Durasi dan Waktu Istirahat setiap Tipe Gunung Api di Dunia (Ferari, 1995)
Newhall dan Dzurisin (1988) memperkenalkan istilah volcanic unrest yang didefinisikan sebagai a signifi-
cant change (usually an increase) in seismicity, ground deformation, fumarolic activity, or other parameters,
within or adjacent to a volcanic system (suatu perubahan penting, biasanya berupa suatu peningkatan, pada
kegempaan, deformasi muka tanah, aktivitas fumarol, dan lain-lain parameter di dalam atau di sekitar suatu
sistem gunung api). Di sini paling tidak ada empat tipe kegiatan yang diperhatikan, yaitu:
- keaktifan yang langsung mengarah kepada suatu letusan, dan ini suatu tanda-tanda awal (precursor) yang
jelas terhadap kegiatan gunung api.
- Keaktifan yang tidak segera menuju suatu erupsi, tetapi mencerminkan salah satu rangkaian kejadian
pada jangka waktu lama (misalnya penerobosan magma secara berulang-ulang) yang setelah dilakukan
analisis secara terpadu dengan data lain mengarah ke letusan gunung api
- Keaktifan yang terjadi di antara fase-fase suatu letusan yang memanjang/menerus.
- Keaktifan yang tidak berhubungan dengan letusan gunung api, contohnya kegiatan tektonika regional
di dekat suatu gunung api, atau perubahan-perubahan panas sebagai hasil pengembangan dan perekahan
pada suatu sistem hidrotermal.
Dari pendapat ini jelas bahwa di daerah yang secara tektonika masih aktif, berumur Kuarter, maka gu-
nung apinya juga dipandang aktif atau setidak-tidaknya mempunyai potensi untuk aktif kembali, sekalipun
di permukaan tidak memperlihatkan kegiatan. Gunung api itu mungkin saja sedang menghimpun kekuatan
di bawah permukaan bumi, misalnya melalui diferensiasi magma atau percampuran magma, sehingga pada
suatu saat bila energinya sudah sangat kuat dan mempunyai jalan keluar ke permukaan dapat terjadi letus
an. Pendapat ini senada dengan pendapat Anonim (1997) di atas bahwa kegiatan gunung api sangat erat
Publikasi Khusus
Pendahuluan 7
berhubungan dengan kegiatan tektonika. Kegiatan tektonika menyebabkan terbentuknya magma sebagai
bahan utama gunung api dan sekaligus membentuk rekahan-rekahan yang memungkinkan magma keluar
ke permukaan bumi.
Dari uraian di atas penulis dapat menarik batasan gunung api aktif sebagai gunung api yang kegiatan
magmanya masih dapat diamati di permukaan dan atau di bawah permukaan bumi. Kegiatan magma di
permukaan antara lain berupa letusan gunung api, semburan gas gunung api, mata air panas dan berbagai
bentuk penampakan panas bumi di kawasan gunung api. Kegiatan magma di bawah permukaan bumi dapat
diidentifikasi dengan menggunakan berbagai metode dan peralatan pemantauan gunung api, baik secara
geofisika maupun geokimia.
Publikasi Khusus
8 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba
Magma 9
BAB 2
MAGMA
Gunung api merupakan jendela keluarnya magma dari dalam bumi (atau Sistem Solar) ke permukaan.
Pernyataan itu dapat lebih ditegaskan lagi bahwa setiap magma yang keluar ke permukaan bumi atau Sistem
Solar disebut gunung api. Untuk memberikan gambaran secara lebih lengkap dari pembentukan magma di
bawah permukaan sampai dengan kemunculannya di permukaan, maka di dalam Bab 2 ini dibahas secara
khusus tentang magma. Berhubung pembaca terutama geologiawan sudah mendapatkan pengetahuan
mengenai geologi dasar dan petrologi batuan beku, maka pembahasan mengenai magma di dalam buku ini
bersifat umum. Pembahasan magma di sini mencakup definisi, asal-usul, tipe, sifat fisis dan kimiawi, serta
hubungannya dengan kedudukan tektonikanya. Dengan uraian ini diharapkan pembaca dapat lebih mema-
hami perihal magma dalam kaitannya dengan kegiatan gunung api.
2.1 Definisi
Mengacu kepada para ahli geologi dan gunung api, beberapa definisi tentang magma dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. The molten rock, whether it is still within the earth or has been ejected onto the surface (Macdonald,
1972). Magma adalah batuan kental pijar yang masih berada di dalam bumi atau yang sudah dilontarkan
ke permukaan bumi.
b. A completely or partly molten natural substance which, on cooling, solidifies as a crystalline or glassy
igneous rocks (Williams dan McBirney, 1979). Magma adalah suatu substansi alam yang seluruhnya
atau sebagian berupa bahan kental pijar yang pada proses pendinginan akan membeku dan membentuk
batuan beku yang tersusun oleh kristal atau gelas.
c. Cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara ilmiah, bersifat mudah bergerak (mobile), bersuhu
antara 900 - 11000 C, dan berasal atau terbentuk pada kerak bumi bagian bawah hingga selubung bumi
bagian atas (Gambar 2.1 dan 2.2; Alzwar dkk., 1988).
d. Berdasarkan pengertian kimia-fisika,
magma adalah bahan yang mempu-
nyai sistem berkomponen ganda (a
multi componen system) yang terdiri
atas fase cair sebagai komponen
utama, sejumlah kristal sebagai fase
padat, dan fase gas pada kondisi
tertentu.
Publikasi Khusus
10 Geologi Gunung Api Purba
~3 - 10 km Dapur Magma
Dangkal
KERAK Retas
BAGIAN ATAS
20 km
KERAK
Zona Panas
BAGIAN BAWAH
30 km Seismik Moho
tidak ada
SELUBUNG Proporsi cairan magma cairan magma
Kerak
100% 0
0
Basal
100%
Gambar 2.2 Penampang bumi yang memperlihatkan sumber-sumber magma di zona panas, antara selubung bagian atas sampai
dengan kerak bagian bawah, kedalaman 20 - 30 km, serta pembentukan dapur magma di dalam kerak bumi bagian atas di
bawah tubuh gunung api. Disederhanakan dari Williams dan McBirney (1979).
yang lain yang lebih stabil akan menghasilkan panas sekitar 0,94 erg/detik atau sekitar 0,03 kalori/ta-
hun. Sementara 1 gram 40K akan menghasilkan panas sebanyak 0,28 erg/detik. Apabila panas itu sudah
mencapai temperatur antara 800 - 1000oC, maka akan terjadi peleburan material bumi menjadi magma.
Secara teori, perhitungan dapat digunakan rumus: Kalori (Q) = massa x kalor jenis x kenaikan suhu. Jika
diketahui jumlah massa unsur radioaktif dan suhu awal material, maka dapat diperkirakan kapan akan
tercapai temperatur magma tersebut.
b. Meleburnya batuan sebagai akibat gesekan deformasi. Ini dibuktikan dengan terjadinya magma granit yang
berasal dari batuan malihan, misalnya di Zona Gunung Api Taupo (Taupo Volcanic Zone), New Zealand.
c. Penunjaman lempeng kerak bumi ke dalam selubung bumi (Ringwood, 1974). Berdasarkan teori Tek-
tonik Lempeng maka ada bagian lempeng kerak bumi yang menunjam hingga mencapai selubung bumi.
Karena tekanan yang besar hasil penunjaman
dan suhu yang tinggi di lingkungan selubung
bumi itu maka kerak bumi yang menunjam Jarak dari tunjaman (km)
er
ak
dkk., 1983; Gambar 2.3). te
rtu
nj
am 100
e. Pembubungan selubung bumi (upwelling A 140
0C
mantle atau plumbing mantle). Dalam hal
Astenosfer
ini sebagai akibat tertentu (gerak-gerak dina ec
log
mika bumi) bahan selubung bumi meleleh it B
Publikasi Khusus
Magma 11
Publikasi Khusus
12 Geologi Gunung Api Purba
1 2 3 4 5 6
SiO2 50,0 - 49,0 49,4-49,1 49,39 49,71 49,7 49,1
TiO2 0,8 - 0,7 1,0-0,9 0,85 0,74 0,72 0,62
Al2O3 16,4 - 15,1 18,0-17,2 15,70 14,97 16,4 16,5
FeO* 8,3 - 9,2 9,5-9,7 9,76 10,57 7,89 8,78
MgO 10,0 - 12,5 8,4-10,3 12,5 13,03 10,1 10,3
CaO 10,9 - 11,7 10,2-9,7 9,43 9,0 13,0 12,4
Na2O 2,4 - 1,9 2,8-2,6 2,33 1,56 1,98 1,92
K2O 0,4 - 0,3 0,3-0,3 0,34 0,28 0,01 0,07
Ni (ppm) 119 - 193 200 232
Cr (ppm) 418 - 711 479 410
Mg# 69 - 75 64-68 71,4 71,37 71,7 69,9
Keterangan: 1. Bronto (1989; 2002), 2. Nicholls dan Whitford (1976), Tatsumi dkk. (1983; 3. basal alumina
dan 4. basal olivine), 5. Frey dkk. (1974), serta 6. Langmuir dkk. (1977). Besi total sebagai FeO*. Mg#: nomor
magnesium. Satuan untuk oxida mayor dalam % berat.
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Magma, mulai dari Pikrit sampai dengan Riolit
Oxida 1 2 3 4 5 6 7
Mayor Pikrit Mg-Basal Basal Andesit basal Andesit Dasit Riolit
SiO2 40,62 49,33 49,67 55,02 58,20 66,00 7,36
TiO2 0,82 0,81 1,03 0,71 0,82 1,14 0,77
Al2O3 8,93 16,29 20,74 18,75 17,20 15,23 12,26
Fe2O3* 13,18 9,85 9,62 7,58 7,54 5,87 3,08
MnO 0,39 0,17 0,19 0,17 0,15 0,16 0,07
MgO 26,31 10,02 4,38 4,37 3,20 1,87 0,26
CaO 5,64 11,03 10,85 8,45 6,80 3,73 1,00
Na2O 1,32 2,24 2,99 3,18 3,30 3,94 2,22
K2O 0,13 0,35 0,37 0,68 1,70 2,07 2,98
P2O5 0,15 0,10 0,13 0,18 0,23 - -
LOI 2,83 0,37 0,52 0,56 1,3 - -
Jumlah 100,32 100,56 100,49 99,65 100,44 100,00 100,00
Keterangan: Besi total sebagai Fe2O3*. LOI= loss on ignition (bahan habis dibakar). Satuan dalam % berat. Sumber data:
Middlemost (1985).
Magma yang membeku jauh di dalam bumi membentuk tubuh batuan beku intrusi dalam atau pluton yang
bertekstur holokristalin karena seluruhnya tersusun oleh kristal dari berbagai mineral. Batuan beku intrusi
dangkal dan batuan beku luar serta bahan hamburan gunung api mempunyai kesamaan tekstur, yaitu gelas,
afanitik sampai hipokristalin porfir. Kelompok batuan beku itu tersusun oleh gelas gunung api dan sebagian
mineral yang mengkristal. Hal tersebut menunjukkan bahwa magma pluton yang karena lingkungannya jauh
di dalam bumi maka proses pendinginannya berlangsung secara perlahan-lahan sehingga pembentukan kristal
berbagai mineral berjalan sempurna. Sebaliknya, magma intrusi dangkal dan yang keluar ke permukaan bumi
karena perbedaan temperatur magma dan permukaan bumi sangat jauh maka terjadi pendinginan yang sangat
cepat. Akibatnya sebagian mineral tidak sempat membentuk kristal atau amorf berupa gelas gunung api.
Temperatur magma bervariasi tergantung pada komposisi kimianya. Magma basal mempunyai tempera-
tur yang paling tinggi antara 1000o hingga lebih dari 1400o C (misalnya Macdonald, 1972; Tatsumi dkk.,
1983). Untuk magma andesit mempunyai temperatur sekitar 1000 o C, magma dasit 900 o C, dan magma
riolit 850 o C.
Publikasi Khusus
Magma 13
Seperti halnya suhu magma, viskositas dan berat jenis magma ditentukan secara pendekatan laborato-
ris. Viskositas diartikan sebagai kepekatan atau ketahanan substansi (bahan) terhadap aliran. Magma yang
mempunyai viskositas rendah (relatif encer) berarti fluiditasnya tinggi (mudah mengalir) sehingga relatif
lambat membeku. Sebaliknya magma yang mempunyai viskositas tinggi (relatif pekat) berarti fluiditasnya
rendah (lambat/sulit mengalir) sehingga relatif cepat membeku.
4
Banakite
Latite
s
rie
Absarokite
3 se High-K
s
lin
e andesite erie
ka aline s
Al -alk
calc
High-K
h-K
K2O (wt. %)
basaltic
andesite Hig Rhyolite
2
Dacite
Alkali
basalt
Andesite
ries
aline se
Calc-alk
Basaltic
andesite
1 Basalt
Gambar 2.6 Klasifikasi batuan gunung api menurut Peccerilo dan Taylor (1976), dengan modifikasi BVSP (1981).
Publikasi Khusus
14 Geologi Gunung Api Purba
Tabel 2.3 menyuguhkan berbagai macam magma kalium tinggi. Kelompok terakhir itu juga banyak
mengandung natrium sehingga magma yang kaya kalium dan natrium sering disebut magma alkalin. Magma
basal alumina adalah magma basal yang banyak mengandung unsur aluminium (Al2O3 17 %). Magma
basal Mg tinggi (high magnesium basalts) mengandung MgO 8 %. Gambar 2.7 menyajikan klasifikasi
magma atau batuan beku luar berdasarkan persentase berat oksida utama SiO2 dan total alkali (Na2O + K2O).
Oxida mayor Nefelinit Basanit Hawaiit Mugearit Nefelin Sienit Ponolit Trasit
SiO2 40,60 44,30 47,48 50,52 54,99 56,19 61,21
TiO2 2,66 2,51 3,23 2,09 0,60 0,62 0,70
Al2O3 14,33 14,70 15,74 16,71 20,96 19,04 16,96
Fe2O3* 11,50 11,40 12,00 10,64 4,30 4,82 5,28
MnO 0,26 0,16 0,19 0,26 0,15 0,17 0,15
MgO 6,39 8,54 5,58 3,20 0,77 1,07 0,93
CaO 11,89 10,19 7,91 6,14 2,31 2,72 2,34
Na2O 4,79 3,55 3,97 4,73 8,23 7,79 5,47
K 2O 3,46 1,96 1,53 2,46 5,58 5,24 4,98
P2O5 1,07 0,74 0,74 0,75 0,13 0,18 0,21
LOI 2,55 1,50 1,37 2,10 1,67 2,02 1,71
Jumlah 99,50 99,55 99,74 99,60 99,69 99,86 99,94
Keterangan: Besi total sebagai Fe2O3*. LOI= loss on ignition (bahan habis dibakar). Satuan dalam % berat. Sumber data:
Middlemost (1985).
18
15
Phonolites
s
ite
12
lin
Na2O + K2O (wt %)
he
s Trachytes
ite
ep
hr
cn
ep
ct
i
lit
iti Benmorites
no
ol
o
on
ph
ph
9 sa
lts Rhyolites
ba Tranchyandesites
Mugearites ch
y
s
an
ite
s
Tr
ite
hir
Dacites
lin
tep
he
Hawaiites
p
6
nd
Ne
sa
ite
sn
Basalts
Ba
andesites
Andesites
Basalitic
3 Pic
rite
basalts
0
35 45 55 65 75
SiO2 (wt %)
Gambar 2.7 Klasifikasi magma/batuan beku luar berdasarkan persentase oksida utama SiO2 dan total alkali (Na2O + K2O)
(menurut Cox dkk; 1981).
Publikasi Khusus
Magma 15
Hasil penelitian bahan volatil atau gas di dalam magma melalui gas gunung api, menunjukkan bahwa
untuk setiap jenis magma ternyata mempunyai komposisi gas yang berbeda-beda (Tabel 2.4). Bahkan per-
bedaan itu juga terjadi dalam satu gunung api.
Tabel 2.4 Komposisi Gas dari Beberapa Gunung Api. Komposisi Gas Gunung Api di Indonesia dikutip dari Wirakusumah
dkk. (2000)
Permukaan laut
100 Km
Gambar 2.8 Penampang pemunculan gunung api berdasarkan Teori Tektonik Lempeng. Gunung api dapat terbentuk di daerah
pemekaran kerak bumi (kerak samudra dan kerak benua), di daerah penipisan kerak samudra dan sebagian besar dapat terbentuk
di daerah penunjaman kerak samudra ke bawah kerak benua (Decker dan Decker, 1981).
Publikasi Khusus
16 Geologi Gunung Api Purba
Mid-Atlantic ridge
ca Atlantic Ocean
ri Afr
me ica
th A
Trench Sou
Plate
Mantle
Low-velocity layer
Gambar 2.9 Penampang pergerakan lempeng kerak bumi. Kerak Benua Afrika dan Amerika Selatan dipisahkan oleh peme
karan dasar Samudra Atlantik yang mempunyai percepatan beberapa inci per tahun. Kerak Samudra Pasifik Timur menunjam
ke bawah Benua Amerika Selatan membentuk Pegunungan Andes (Decker dan Decker, 1981).
Berdasarkan konsep tersebut, pemunculan gunung api dapat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:
a. Gunung api yang muncul di pemekaran kerak tengah samudra. Gunung api ini muncul di tengah-tengah
samudra berasal dari pemekaran kerak bumi di dasar samudra (Gambar 2.10). Contoh: gunung api-
gunung api di Iceland dan The Reunion. Hasil kegiatan gunung apinya berkomposisi basal, sehingga
sering disebut Mid Oceanic Ridge Basalts (MORB) atau Ocean Floor Basalts (OFB).
b. Gunung api yang muncul di pemekaran kerak benua. Di sini diyakini bahwa kerak benua juga mengalami
pemekaran sehingga menghasilkan kegiatan gunung api (Mid Continental Volcanic Ridges). Contoh
kelompok gunung api ini adalah di Ethiopian Rift (Terban Ethiopia; Gambar. 2.11) dan Graben Rhine
di Jerman (Gambar 2.12).
c. Pulau gunung api lautan (Ocean Island Volcano). Gunung api ini muncul sebagai akibat menipisnya
kerak samudra, sehingga magma yang berasal dari selubung bumi (mantle) dengan mudah ke luar ke
permukaan bumi. Contoh gunung api jenis ini adalah di Hawaii.
d. Busur gunung api tepi benua. Busur gunung api ini muncul di tepi benua sebagai akibat penunjaman
kerak samudra (oceanic crust) ke bawah kerak benua (continental crust). Penunjaman tersebut menim-
bulkan panas yang mampu meleburkan selubung bumi sehingga terbentuk magma, yang karena sifatnya
cenderung bergerak ke atas dan keluar sebagai kegiatan gunung api. Contoh tipe gunung api ini adalah di
Indonesia, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, dan New Zealand. Beberapa ahli membagi kelompok gunung
api tepi benua menjadi dua sub kelompok berdasarkan kenampakan fisiografinya. Pertama, gunung api
yang secara sensu stricto benar-benar berada di tepi benua (continental margin), contohnya gunung api
di bagian barat benua Amerika Utara dan Amerika Selatan. Kedua, busur gunung api kepulauan (island
volcanic arcs) yaitu jajaran kepulauan gunung api yang letaknya di antara samudra dan benua, serta dengan
benua itu sendiri dipisahkan oleh laut, misalnya di Indonesia, Filipina, Jepang dan Kepulauan Aleutian.
Publikasi Khusus
Magma
ge
yk
EURASIA
rid janes
Re
PLATE EURASIA
h
NORTH AMERICA PLATE PLATE
trenc
tian GORDA
Kuril Aleu
Alps
Ro
trench PLATE
cki
es
Japan San Andreas fault
Him trench
alay CARRIBEAN
as Anatolian fault
Marianas
PLATE
PPI
trench Mexico
PACIFIC PLATE trench
PLATE NE
COCOS
PHILI
Ja New Hebrides PLATE Carlsberg
va trench
tre
SOUTH AMERICA ridge
nc
h AFRICA PLATE
NAZCA PLATE
Kermadec-Tonga
trench PLATE
AUSTRALIA PLATE
andes
So
ut
ge
hE
ast
rid
In Macquarie
t
dian rise ic ridge n
ridge rc ndia
t
ntic-I
Ana Atla
c -
i fi
P ac
ANTARCTIC PLATE ANTARCTIC PLATE
Key
Subduction zone Uncertain plate boundary
Ridge axis
Publikasi Khusus
Gambar 2.10 Pergerakan lempeng kerak bumi berdasarkan Konsep Tektonik Lempeng (Dewey, 1972 vide Decker dan Decker, 1981).
17
18 Geologi Gunung Api Purba
RE
D
15
SE
Siebengebirge
A
Siebengebirge Hesse
Hesse
Westerwold
Westerwold
ARDENNES
ARDENNES Rhon Dike
Eifel Rhon Dike
swarm
Eifel Vogelsberg swarm
Vogelsberg
LAKE
ABBE
N
Ries basin
BE
ST
RA
E GEN
RE
10 Ries basin
INAB
G ES
FOT
S
Steinhelm basin
CKE
RHGR
LAOR
VOS
ES
NE
Swabian diatremes
Steinhelm basin
KB F
G
ADDIS ABABA
I
VOS
RH
Kaiserstuhl
AC
Freiburg Swabian diatremes
BL
Hegau
Kaiserstuhl
Freiburg
EXPLANATION Hegau
0 50 Mil
Fault of outer riff margin
e. Gunung api di batas kerak samudra (oceanic plate boundary). Gunung api ini muncul sebagai akibat
bertumbukannya dua kerak samudra, sebagai contoh Kepulauan Mariana di bagian barat Samudra Pasifik.
Kelompok gunung api ini pada hakekatnya sama dengan kelompok d, hanya kedua kerak bumi yang
saling bertumbukan adalah kerak samudra
Magma gunung api yang berada di daerah penunjaman pada umumnya berkomposisi andesit dengan
afinitas kapur alkali. Namun karena sebab-sebab petrogenesis, misalnya proses diferensiasi magma, kom-
posisinya dapat beragam mulai dari basal sampai dengan dasit atau bahkan riolit. Demikian pula afinitas-
nya dapat berkisar mulai dari toleiit kalium rendah sampai dengan kapur alkali tinggi, tetapi sangat jarang
mencapai susunan alkalin atau sosonit. Khusus di daerah tumbukan antar lempeng kerak samudra, seperti
halnya di Kepulauan Mariana, dapat terbentuk magma berkomposisi boninit, yaitu andesit yang mengandung
magnesium tinggi, yang diduga merupakan magma primer didaerah itu.
Di daerah pemekaran dasar samudra, lebih dikenal dengan sebutan Mid-Oceanic Ridge Basalts (MORB)
magma gunung api sangat khas bersusunan basal (Ocean Floor Basalts - OFB) dengan afinitas toleiit kalium
rendah (BVSP, 1981). Sebaliknya, pada daerah pemekaran kerak benua dan titik api di kontinen, magma
gunung api lebih bersifat alkalin (Ragland and Rogers, 1984; Middlemost, 1985). Variasi yang lebih banyak
terjadi pada magma gunung api sebagai titik api di lautan, seperti halnya di Hawaii (Decker dkk., 1987). Di
daerah itu magma gunung api dapat berkomposisi basal sampai dasit dengan afinitas toleiit kalium rendah
sampai dengan alkalin.
2.6 Ringkasan
Magma merupakan bahan kental pijar yang terbentuk secara alamiah di dalam bumi, mempunyai tem-
peratur antara 900o - 1400o C, dan jika sudah mendingin membentuk batuan beku, baik batuan beku terobosan
dalam, batuan beku terobosan dangkal maupun batuan beku luar. Semakin asam komposisi magma, tem-
peraturnya semakin rendah sesuai dengan tingkat kristalisasi mineral pembentuknya. Pembentukan magma
berhubungan dengan sumber panas yang dapat berasal dari peluruhan unsur radioaktif, deformasi batuan,
Publikasi Khusus
Magma 19
penunjaman lempeng kerak bumi, dan peleburan sebagian bahan selubung bumi oleh sesuatu sebab. Magma
primer terbentuk sebagai hasil peleburan sebagian dari selubung bumi yang berkomposisi peridotit. Magma
primer ini sering juga disebut magma primitif atau magma induk yang selalu berkomposisi pikrit atau basal
kaya akan magnesium yang dicirikan oleh tingginya rasio Mg/Mg + Fe, Ca/Ca+Na+K serta banyak me
ngandung Ni, Cr, dan unsur-unsur kompatibel lainnya. Hasil diferensiasi magma induk membentuk magma
turunan, mulai dari basal Mg rendah, andesit basal, andesit, dasit, dan riolit. Antara magma basa dengan
magma asam, apalagi yang sumbernya berbeda, dapat bercampur membentuk magma campuran. Magma
yang terkontaminasi oleh batuan dinding disebut magma hibrid.
Secara fisik, magma berupa bahan cair kental pijar yang bersifat mudah bergerak dan cenderung menuju
ke permukaan bumi. Magma yang membeku jauh di dalam bumi membentuk tubuh batuan terobosan dalam
atau pluton yang bertekstur holokristalin, seluruhnya tersusun oleh kristal. Magma yang berhubungan dengan
kegiatan gunung api biasanya terletak di bawah gunung api menerobos perlapisan batuan atau menyisip, mem-
bentuk dapur/kantong magma yang apabila membeku di bawah permukaan berupa berbagai bentuk batuan
beku terobosan dangkal. Apabila magma itu sampai keluar ke permukaan bumi akan membentuk batuan beku
luar dan bahan hamburan letusan gunung api. Baik batuan beku terobosan dangkal maupun batuan beku luar
dan bahan hamburan mempunyai kesamaan di dalam tekstur, yaitu gelas sampai hipokristalin porfir yang
tersusun oleh gelas gunung api dan sebagian kristal mineral pembentuk batuan beku. Secara kimiawi magma
tersusun oleh unsur-unsur utama, unsur jejak, unsur tanah jarang, serta bahan gas. Pembagian komposisi
magma dari basa sampai asam didasarkan pada persentase kandungan oksida silika (SiO2), sedangkan jenis
magmanya mulai dari toleiit, kalk-alkali sampai alkali didasarkan pada besarnya kandungan alkali (K2O dan
Na2O). Bahan gas di dalam magma terutama H2O, CO, CO2, SO2, dan HCl.
Publikasi Khusus
20 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 21
BAB 3
BENTUK DAN STRUKTUR GUNUNG API
Magma yang keluar ke permukaan bumi menghasilkan berbagai bentuk dan struktur gunung api. Pengertian
bentuk gunung api di sini dimaksudkan untuk menguraikan bermacam-macam penampakan atau fitur bentang
alam gunung api. Sementara itu, pengertian struktur gunung api ditekankan pada penampakan dalam dari
setiap bentuk bentang alam gunung api. Namun demikian, dalam beberapa hal bentuk dan struktur gunung
api kadang-kadang sulit untuk dipisahkan. Bentuk gunung api sangat beragam mulai dari bentuk tinggian
(bukit atau gunung) sampai dengan bentuk rendahan atau lubang, dalam ukuran sangat kecil, berdiameter
dan mempunyai ketinggian/kedalaman beberapa puluh meter saja, hingga ukuran sangat besar, berdiameter
puluhan kilometer dan ketinggian lebih dari 5000 m dpl.
Gambar 3.1 memperlihatkan berbagai macam bentuk gunung api menurut Simkin dan Siebert (1994).
Dalam ukuran sangat kecil gunung api dapat berupa kubah lava dan berbagai ragam kerucut piroklastika.
Untuk cincin tuf (tuff ring) dan maar lebih memperlihatkan fitur rendahan daripada tinggian. Deretan gunung
api kecil dalam satu garis membentuk erupsi celah atau erupsi linier. Sementara itu gunung api berukuran
besar mulai dari gunung api komposit, kaldera sampai dengan perisai. Gunung api berukuran sangat ke-
cil - kecil, mulai dari kubah lava sampai dengan maar, dikelompokkan ke dalam gunung api monogenesis
(monogenetic volcanoes), sedangkan yang berukuran besar - sangat besar disebut gunung api poligenesis
(polygenetic volcanoes). Gunung api monogenesis adalah gunung api yang terbentuk oleh satu erupsi atau
satu fase erupsi saja, sehingga waktu hidupnya pendek dan ukurannya kecil. Gunung api poligenesis adalah
gunung api yang terbentuk oleh banyak atau berulangkali erupsi, yang fase erupsi satu dengan lainnya dapat
dipisahkan oleh waktu istirahat panjang dan sering melibatkan berbagai jenis magma. Sistematika pemba-
hasan di dalam bab ini dimulai dari bentuk dan struktur gunung api yang sederhana dan berukuran relatif
kecil, yaitu kelompok gunung api monogenesis. Uraian itu diteruskan terhadap gunung api poligenesis, dan
pada akhir pembahasan diberikan ringkasan.
Cincin tuf
Gambar 3.1 Berbagai bentuk gunung api menurut Simkin dan Siebert (1994). Besar kecilnya penampang setiap bentuk gunung
api menggambarkan perbandingan besar kecilnya masing-masing bentuk gunung api.
Publikasi Khusus
22 Geologi Gunung Api Purba
(c)
Publikasi Khusus
Bentuk dan Struktur Gunung Api 23
mempunyai diameter kawah bervariasi antara 100 - 3000 m (Gambar 3.3 dan 3.4), yang kadang-kadang
terisi air sehingga membentuk danau.
Sebagian besar maar ini terbentuk oleh letusan hidroklastika. Letusan non magmatik itu dapat berlanjut
menjadi letusan magmatik sehingga terbentuk kerucut sinder atau kubah lava di tengah-tengah maar seperti
terjadi di Setu Patok dan Situ Sangiang di kaki Gunung Ciremai, Jawa Barat (Gambar 3.5 a dan b; Bronto
dan Fernandy, 2000). Maar juga dijumpai di lereng bawah Gunung Api Muria, Jawa Tengah, antara lain
Maar Bambang, Gembong dan Gunungrowo (Bronto dan Mulyaningsih, 2007; Gambar 3.6) serta di kaki
Gunung Gamalama di Pulau Ternate (Bronto dkk., 1982), yang dinamakan Danau Tolire Besar dan Tolire
Kecil. Gunung api maar yang cukup terkenal dan tersebar sangat banyak adalah di sekitar Gunung Lamongan,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur (Sukhyar dkk., 1986; Gambar 3.7 dan 3.8). Wood (lihat Cas dan Wright,
1987) membedakan maar, cincin tuf, dan kerucut
tuf seperti tersebut pada Tabel 3.1.
108 02 108 18
6 45
U
G. Kromong
Gunung.api maar
Setu Patok
G. Ciremai
a b Skala
7 00
5 0 5 km
Gambar 3.5 Gunung api maar Setu Patok; a. Terletak 7 km di selatan kota Cirebon, Jawa Barat. Di dalam kawah maar muncul
kerucut sinder. Sebagai latar belakang adalah Gunung Api Ciremai, lebih kurang 30 km di barat daya Setu Patok; b. Di lihat
dari citra satelit, terletak di kaki timur laut Gunung Api Ciremai. Warna putih di dalam Setu Patok adalah air. Di sebelah selatan
(bawah) Gunung Ciremai adalah Situ Sangiang, yang diduga juga sebagai gunung api maar. Puncak Gunung Api Ciremai terletak
pada 6,892o LS - 108,08o BT.
Publikasi Khusus
24 Geologi Gunung Api Purba
110 39
06 52 111 5
G.Genuk
1. Bambang
G. Muria
2. Gunungrowo
3. Gembong
G. Patiayam
07 15
Skala
4 0 4 km
Gambar 3.6 Citra satelit daerah Semenanjung Muria yang menunjukkan adanya gunung api maar Bambang, Gunungrowo, dan
Gembong pada lereng timur laut-tenggara Gunung Api Muria, Jawa Tengah. Penampakan gunung api maar berupa cekungan
melingkar atau bulan sabit, yang sebagian terisi air (warna hitam). Semenanjung Muria terletak pada koordinat 6,50-6,75 o
LS dan 110,75-111,00 o BT.
Gambar 3.7 Gunung Api Maar Ranu Bedali di sebelah barat Gunung Api Lamongan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang,
Provinsi Jawa Timur. Bukit-bukit di latar belakang adalah kerucut sinder.
Publikasi Khusus
Bentuk dan Struktur Gunung Api 25
Gambar 3.8 Gunung Api Maar Ranu Pakis di sebelah barat Gunung Api Lamongan, Kecamatan Klakah, Kabupaten Lumajang,
Provinsi Jawa Timur. Bukit di latar belakang adalah bocca lava.
Tabel 3.1 Perbedaan Ciri-ciri Gunung Api Maar, Cincin Tuf, dan Kerucut Tuf (Wood, vide Cas dan Wright, 1987)
Dasar kawah di bawah dataran lebih tinggi daripada lebih tinggi daripada
sekitarnya dataran sekitarnya dataran sekitarnya
Bahan magmatik 0 - 100 90 - 100 90 - 100
(%)
Gambar 3.9 Skema struktur gunung api komposit yang memperlihatkan bentuk kerucut, kawah (crater), pipa kepundan
(conduit), dapur/kantong magma (magma reservoir), retas (D), gunung api parasit (L), aliran lava (F), kerucut sinder terkubur
(C), dan sill (S) (Macdonald, 1972).
Publikasi Khusus
26 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 3.10 Sketsa tiga dimensi gunung api komposit, yang memperlihatkan dapur magma, retas, korok atau pipa kepundan,
kawah puncak, aliran lava dan awan abu, dan gas gunung api (Sumber: Google Volcano, Wikipedia).
Gambar 3.11 Kiri: Gunung Api Merapi di sebelah utara kota Yogyakarta, Jawa Tengah sebagai salah satu gunung api kom-
posit di Indonesia, mempunyai ketinggian + 2911 m dpl. Kanan: Gunung Api Semeru di Lumajang, Jawa Timur sebagai
gunung api komposit tertinggi (+ 3.676 m dpl.) di Pulau Jawa.
Pemilihan nama gunung api komposit didasarkan pada pemahaman bahwa kata strato atau strata hanya
bermakna berlapis atau perlapisan yang hal itu dapat terjadi pada gunung api kerucut sinder, perlapisannya
tersusun oleh rempah gunung api, atau seperti gunung api di Hawaii yang perlapisannya hanya tersusun oleh
aliran lava. Sementara pengertian komposit mengandung arti bahan penyusunnya beragam/berselang-seling
antara bahan rempah gunung api, misalnya breksi dan tuf, dengan aliran lava. Bahkan dalam beberapa hal,
komposisi bahan penyusun kerucut gunung api komposit dapat bervariasi dari basa ke asam. Selain itu juga
sering ditemukan tubuh intrusi dangkal yang memotong (retas) atau menyisip (sill) di antara perlapisan
batuan gunung api tersebut (Gambar 3.12 dan 3.13) sekalipun hal ini dapat pula terjadi pada bentuk gunung
api yang lain. Gunung api komposit pada umumnya terbentuk di daerah dengan kedudukan tektonikanya
berhubungan dengan zona penunjaman, seperti halnya di Indonesia.
Publikasi Khusus
Bentuk dan Struktur Gunung Api 27
Apabila gunung api komposit terdiri atas dua kerucut atau lebih dengan ukuran relatif sama besar dan
sama tinggi maka gunung api tersebut disebut gunung api jamak (compound volcanoes, Gambar 3.14).
Kegiatan gunung api berbentuk kerucut komposit dan kerucut jamak tersebut dapat dipandang sebagai
fase pembangunan (construction periods) gunung api. Gunung api yang berukuran lebih kecil atau gunung
api monogenesis apabila kemudian tumbuh dan berkembang menjadi lebih besar dapat dipandang sebagai
awal pembangunan gunung api komposit atau gunung api jamak.
Salah satu kerucut gunung api komposit tertinggi di dunia dan daratan adalah Gunung Api Fuji di Jepang.
Gunung api itu mempunyai ketinggian 3.700 m di atas dataran di sekitarnya, berdiameter alas sekitar 30 km
dan volume 870 km3 (Williams dan McBirney, 1979). Di Eropa kerucut komposit tertinggi adalah Gunung
Api Etna (+ 3210 m dpl), berdiameter alas 40 km dan volume 527 km3. Gunung api tertinggi di Benua Afrika
adalah Gunung Kilimanjaro (+ 5895 m dpl.; Simkin dan Siebert, 1994) yang terletak di Tanzania. Kerucut
komposit gunung api tertinggi di dunia adalah Gunung Cotopaxi (+ 5911 m dpl.) yang terletak di Equador,
Pegunungan Andes, Benua Amerika Selatan. Kerucut gunung api komposit di daerah itu sekalipun mem-
Gambar 3.12 Perlapisan tidak menerus aliran lava dan breksi piroklastika yang dipotong oleh retas pada fasies dekat gunung
api komposit Galunggung, Tasikmalaya Jawa Barat.
Gambar 3.13 Perlapisan aliran lava, breksi piroklastika dan Gambar 3.14 Gunung Api Sumbing (+3.371 m) dan Gunung
tuf yang dipotong oleh retas pada dinding Kaldera Tengger, Api Sindoro (+ 3.151 m) di Jawa Tengah memperlihatkan
Probolinggo Jawa Timur; sebagai bukti adanya gunung api sebagai gunung api kembar atau jamak. Di sebelah kanan
komposit Tengger sebelum hancur sebagai akibat letusan Gunung Api Sindoro adalah Kompleks Gunung Api Dieng.
Kaldera Tengger.
Publikasi Khusus
28 Geologi Gunung Api Purba
punyai tinggi mutlak lebih dari 5000 m, tetapi separoh dari ketinggian itu berupa batuan dasar pra-gunung
api. Di Indonesia sendiri gunung api komposit yang sangat tinggi antara lain Gunung Kerinci (+ 3800 m;
Kusumadinata, 1979) di Provinsi Jambi, Pulau. Sumatra, Gunung Semeru (+ 3676 m) dan Gunung Raung
(+ 3332 m) di Provinsi Jawa Timur; Gunung Merapi (+ 2911 m) di Jawa Tengah, dan Gunung Agung
(+ 3014 m) di Pulau Bali.
Gambar 3.15. Kompleks Gunung Api Bandung Raya di daerah Bandung dan sekitarnya, Jawa Barat. Data umur dicuplik dari
Soeria-Atmadja dkk. (1994) dan Sunardi dan Kusumadinata (1999).
Publikasi Khusus
Bentuk dan Struktur Gunung Api 29
letusan. Pembentukan kaldera letusan itu dapat disebabkan oleh terakumulasinya gas gunung api bertekanan
sangat tinggi di bawah tubuh suatu gunung api, terutama yang berbentuk kerucut komposit. Pembentukan
gas gunung api itu dapat dihasilkan oleh proses diferensiasi lanjut dari suatu magma basal menjadi magma
berkomposisi menengah - asam (andesit, dasit atau bahkan riolit), biasanya berlangsung dalam waktu yang
sangat lama, atau adanya percampuran magma basal dengan magma asam yang terjadi secara mendadak.
Gunung api kaldera letusan sangat banyak jumlahnya, sebagai contoh Kaldera Toba di Pulau Sumatra,
Kaldera Krakatau di Selat Sunda, Kaldera Sunda di Jawa Barat, Kaldera Tengger dan Kaldera Ijen di Jawa
Timur, Kaldera Batur di Pulau Bali dan Kaldera Rinjani di Pulau Lombok (Gambar 3.16 - 20).
Kaldera amblesan terjadi pada gunung api tipe perisai. Karena terlalu banyak magma basal yang keluar ke
permukaan bumi, sedangkan sumbernya relatif dekat permukaan, maka terjadi kekosongan di dapur magma
dan berat batuan di atasnya tidak ada yang menahan sehingga terjadi amblesan. Magma tersebut umumnya
berkomposisi basal dan encer. Salah satu kaldera amblesan yang sangat terkenal di dunia adalah Kaldera
Galapagos di sebelah barat Benua Amerika Selatan.
Kaldera longsoran terbentuk pada gunung api-gunung api kerucut komposit yang sangat khas terjadi
pada letusan Gunung St. Helens 1980 di Amerika Serikat (misal, Voight dkk., 1981; Glicken, 1986). Magma
yang naik tidak dapat keluar melalui kawah pusat
karena adanya sumbat lava yang sangat kuat di
bawahnya. Oleh karena itu magma kemudian berger-
ak menyamping mencari daerah yang lebih lemah
pada bagian lereng dari gunung api itu. Dorongan
magma ke atas menyebabkan lereng gunung api itu
menggembung (bulging) yang setelah melampaui
Publikasi Khusus
30 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 3.20 Citra satelit Kaldera Sunda yang di dalamnya terdapat Gunung Tangkubanparahu dan Danau Lembang di sebelah
utara kota Bandung, Jawa Barat. Gunung Burangrang diduga sebagai gunung api parasit daripada gunung api komposit Sunda.
titik maksimum penggembungan akhirnya tubuh gunung api itu longsor ke suatu arah. Kaldera longsoran
selalu berbentuk seperti tapal kuda, dan di Indonesia jumlahnya sangat banyak, misalnya di Gunung Galung-
gung, Tasikmalaya Jawa Barat dan Gunung Raung di Jember, Jawa Timur (Neumann van Padang, 1939;
Bronto, 1986, 1995 dan 2001; Siebert dkk., 1997; Bronto dan Hartono, 2002). Kaldera longsoran yang
berasosiasi dengan letusan gunung api magmatik termasuk kaldera longsoran Tipe Bezymianny atau Tipe
Gunung St. Helens. Dalam beberapa hal, kaldera longsoran dapat disebabkan oleh letusan hidrotermal di
daerah gunung api yang sudah mengalami alterasi hidrotermal sangat lanjut yang dikenal dengan kaldera
longsoran Tipe Bandai. Sebagai contoh letusan Gunung Papandayan 1772 di Garut Jawa Barat (misal, Neu-
mann van Padang, 1951; Kusumadinata, 1979) dan Gunung Bandai di Jepang pada tahun 1888 (Nakamura
dan Glicken, 1997). Namun demikian, longsoran tubuh gunung api juga dapat disebabkan oleh gempa bumi
tektonika di daerah itu (Ui, 1995).
Fase letusan besar pembentukan kaldera itu disebut periode perusakan (destructive periods) dari suatu
gunung api. Pada kegiatan berikutnya di dalam kaldera dapat muncul kegiatan gunung api baru yang mem-
bentuk anak gunung api (somma volcanoes; Gambar 3.1). Di Indonesia hampir semua gunung api kaldera
mempunyai anak gunung api di dalamnya, misalnya Kaldera Krakatau, Kaldera Tengger, dan Kaldera Batur.
Gunung api baru itu pada perkembangannya dapat tumbuh menjadi besar, sebagai fase konstruksi kedua, dan
mampu mengisi seluruh cekungan kaldera yang ada sehingga bentuk bentang alam kaldera tidak kelihatan
lagi. Sebagai contoh kasus ini adalah Gunung Guntur (Bronto dan Pratomo, 1997), Gunung Gede - Gunung
Pangrango (van Bemmelen, 1949) dan Gunung Ciremai (Bronto dkk., 2000) di Jawa Barat, Gunung Sindoro
dan Gunung Merapi di Jawa Tengah (Newhall dkk., 2000; Bronto, 2001).
Publikasi Khusus
Bentuk dan Struktur Gunung Api 31
b 0m
c
0m
Gambar 3.22 Penampang tiga tipe gunung api perisai digambar pada skala yang berbeda untuk membandingkan bentuknya
(Williams dan McBirney, 1979).
Publikasi Khusus
32 Geologi Gunung Api Purba
3.6 Ringkasan
Bentuk dan struktur gunung api dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu gunung api monogenesis dan
gunung api poligenesis. Gunung api monogenesis adalah gunung api yang terbentuk oleh satu erupsi atau
satu fase erupsi saja, sehingga waktu hidupnya relatif pendek dan ukurannya relatif kecil. Gunung api mono-
genesis bentuk dan strukturnya lebih sederhana dan lebih kecil dibanding dengan gunung api poligenesis,
terdiri atas kubah/aliran lava, kerucut sinder, dan maar yang dapat membentuk titik-titik erupsi segaris dan
disebut erupsi linier. Gunung api poligenesis adalah gunung api yang terbentuk oleh banyak atau berulangkali
erupsi, dan fase erupsi satu dengan lainnya dipisahkan oleh waktu istirahat panjang dan sering melibatkan
berbagai jenis magma. Termasuk gunung api poligenesis adalah gunung api komposit, gunung api jamak,
kompleks gunung api, gunung api kaldera, dan gunung api perisai. Gunung api komposit dan gunung api
jamak biasanya terdapat di daerah penunjaman kerak bumi. Gunung api kaldera terdiri atas kaldera letusan,
kaldera amblesan, dan kaldera longsoran.
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 33
BAB 4
ERUPSI GUNUNG API
Isi Bab 4 ini dimaksudkan agar pembaca dapat memahami proses vulkanisme berupa erupsi gunung api,
yang pada hakekatnya adalah gerakan magma dari dalam bumi keluar ke permukaan. Uraiannya dimulai
dari definisi, klasifikasi, mekanisme erupsi, indeks letusan gunung api (VEI: Volcanic Explosivity Index),
dan diakhiri dengan ringkasan. Dengan demikian uraian tersebut merupakan kelanjutan pembahasan tentang
magma di Bab 2 serta pendahuluan dari bentuk dan struktur gunung api yang disajikan di dalam Bab 3, yang
bersifat deskriptif, yakni berdasarkan data objektif atau fakta yang kebenarannya sudah tidak diragukan lagi.
Penempatan bahasan erupsi gunung api setelah bab-bab tersebut di atas adalah untuk menyatakan bahwa
proses kegunungapian ini masih ada yang bersifat interpretatif dengan kebenarannya yang sangat tergantung
pada kelengkapan data dan kemampuan analisis. Sebagai contoh, pernyataan intrusi dangkal, proses pene
robosan magma hingga dekat permukaan itu tidak pernah terlihat secara nyata dengan mata kepala, tetapi
dengan berbagai data pendukung maka pernyataan itu dapat dibenarkan.
4.1 Pengertian
Erupsi gunung api adalah proses keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Dari pernyataan
proses keluarnya magma itu diartikan bahwa magma dapat benar-benar keluar (ekstrusi) ke permukaan
bumi, atau sebelum mencapai permukaan bumi sudah membeku di dalam bumi (intrusi). Magma yang
benar-benar keluar ke permukaan bumi berupa bahan cair liat dan pijar, yang setelah membeku dan membatu
membentuk batuan ekstrusif (extrusive rocks), baik berupa batuan beku luar maupun batuan piroklastika.
Di lain fihak, magma yang sudah membeku sebelum mencapai permukaan bumi disebut batuan beku intrusi
dangkal atau batuan beku terobosan di dekat permukaan (shallow intrusions atau sub-volcanic intrusions).
Baik proses keluarnya magma ke permukaan bumi maupun hanya menerobos sampai di dekat permukaan
tersebut digolongkan sebagai erupsi gunung api. Hal itu dengan pertimbangan bahwa keduanya mempunyai
kesamaan di dalam lokasi kejadian atau keterdapatannya, yaitu di daerah gunung api dan keduanya selalu
mengandung gelas gunung api yang mencerminkan pembekuan magma sangat cepat. Penjelasan argumentasi
ini lebih lanjut dapat dibaca pada Bab 5.
Untuk erupsi yang membentuk intrusi dangkal, bahan magma yang dapat keluar ke permukaan bumi
hanya berupa gas gunung api. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa intrusi dangkal itu dapat dima-
sukkan sebagai bagian dari erupsi gunung api, apabila terjadi di lingkungan gunung api atau di dalam tubuh
gunung api sehingga tubuh intrusi dangkal itu selalu berasosiasi dengan batuan ekstrusif (Gambar 3.9 &
10). Dengan demikian, kalau ditemukan batuan beku yang hanya menerobos batuan non-gunung api, seperti
batuan sedimen dan atau malihan, serta tidak berasosiasi dengan batuan ekstrusif maka batuan beku intrusi
itu bukan atau belum tentu sebagai hasil erupsi gunung api. Dikatakan belum tentu karena mungkin saja
batuan beku intrusi itu merupakan bagian dari tubuh gunung api purba tetapi karena sudah mengalami proses
erosi sangat lanjut maka batuan ekstrusifnya sudah habis tererosi.
Dalam erupsi gunung api juga dimungkinkan bahwa sebagian magma bagian atas sudah keluar ke per-
mukaan bumi tetapi magma bagian bawah masih berada di bawah permukaan bumi. Kondisi yang demikian
biasanya magma berada di dalam pipa kepundan atau retas yang menerobos sampai ke permukaan bumi.
Magma yang mempunyai kenampakan seperti itu disebut sumbat lava atau leher gunung api (volcanic necks).
Publikasi Khusus
34 Geologi Gunung Api Purba
asap letusan
Bahan : permukaan
- gas fragmentasi
- cair
- padat
permukaan awal
saturasi pembentukan gas
3
2 2
1
1
uap tekanan tinggi
Akuifer Akuifer
magma
Gambar 4.1 Penampang erupsi magmatis (atas) dan erupsi freatik (bawah). Erupsi magmatis melibatkan magma langsung
dari reservoir (dapur magma), sehingga material yang dilontarkan ke luar melalui lubang kepundan atau kawah gunung api
(volcanic vent) adalah bahan magma. Di dalam erupsi freatik magma berfungsi sebagai sumber panas yang memanaskan air
bawah permukaan sehingga menghasilkan uap yang bertekanan tinggi. Letusan freatik terjadi jika tekanan uap air panas itu
sudah lebih besar daripada batuan penudungnya. Bahan lontaran berupa bahan hamburan (hidroklastika) yang berasal dari
batuan penudung (batuan tua atau batuan non magmatis). Sumber: Fischer dan Schmincke (1984).
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 35
terubah maupun yang terubah. Sebagai contoh erupsi freatik adalah letusan yang membentuk Kawah
Sinila di kompleks Gunung Api Dieng, Jawa Tengah pada tahun 1979. Letusan itu selain melontarkan
batuan gunung api tua juga fragmen batugamping (fragmen koral) dan batuan sedimen lainnya. Pada
saat terjadi letusan gas gunung api tidak hanya keluar dari lubang Kawah Sinila, tetapi juga keluar
melalui rekahan-rekahan di dekat pemukiman, sehingga menimbulkan korban jiwa karena menghirup
gas gunung api yang beracun itu. Letusan sekunder (secondary explosions) adalah letusan yang terjadi
bila bahan ekstrusif gunung api yang masih panas berinteraksi dengan air permukaan seperti air hujan,
air sungai, air danau, dan air laut.
c. Letusan freatomagmatis (phreatomagmatic explosions, hydromagmatic explosions), adalah erupsi/letusan
yang sebagian besar bahan dilontarkan berasal dari batuan lama, dengan sebagian kecil langsung dari
magma. Dengan kata lain letusan freatomagmatis adalah letusan bersifat transisi atau campuran antara
letusan freatik dan letusan magmatis. Letusan freatomagmatis dapat juga terjadi apabila magma yang
sangat panas itu sudah berada di dekat permukaan sehingga berinteraksi dengan air tanah, air laut atau
air danau yang masuk ke dalam tubuh gunung api sehingga menjadi uap air bertekanan tinggi. Perbedaan
dengan letusan freatik ialah adanya bahan padat langsung dari magma yang ikut terlontar keluar. Pada
gunung api yang sudah beristirahat cukup lama erupsi berikutnya selalu diawali dengan letusan freatik,
yang kemudian dapat dilanjutkan dengan letusan freatomagmatis, dan akhirnya letusan magmatis. Letusan
freatik pada awal kegiatan itu menunjukkan bahwa setelah lama beristirahat dan magma yang dierupsikan
sebelumnya sudah membeku dan mendingin, maka air hujan yang jatuh di puncak dan lereng gunung
api itu sebagian meresap ke dalam tubuh gunung api sehingga membentuk akumulasi air tanah. Pada
erupsi berikutnya, magma yang bergerak naik menuju ke permukaan terlebih dulu berinteraksi dengan
air tanah itu sehingga terbentuk uap air yang semakin lama semakin banyak serta bertekanan tinggi dan
kemudian terjadi letusan freatik, yang berlanjut ke letusan freatomagmatis.
Gambar 4.2 Kiri: Kubah lava Gunung Merapi di utara kota Yogyakarta, Jawa Tengah, yang dierupsikan secara lelehan di
puncak gunung pada 13 Mei 2006. Tengah dan kanan: Kubah lava Gunung Kelut, Jawa Timur yang dierupsikan secara lele-
han di dalam kawah pada 16 November 2007. Gambar kiri dan tengah dilihat pada malam hari, sedangkan gambar kanan
dilihat pada siang hari.
Publikasi Khusus
36 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 4.3 Kiri: Aliran lava hasil erupsi lelehan Gunung Oshima-oshima di Jepang pada 1986 (Sumber: S. Suto, Geological
Survey of Japan). Lava mengalir keluar dari dalam kawah ke lereng gunung dan membakar hutan yang terlanda. Gambar
kanan: aliran lava di gunung api Hawai, yang masuk ke Samudera Pasifik. Interaksi lava yang sangat panas dengan air laut
menghasilkan uap air panas berwarna putih. (Sumber: Google Volcano, Wikipedia).
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 37
atau hanya dalam beberapa tahun sampai sangat lama dalam hitungan ratusan tahun bahkan puluhan ribu
tahun. Di dalam satu periode erupsi jarang sekali terjadi selang-seling antara erupsi letusan dan erupsi
lelehan, tetapi dalam banyak hal erupsi diawali secara letusan, kemudian secara bertahap intensitas letusan
menurun dan diakhiri oleh erupsi lelehan yang membentuk aliran lava atau kubah lava. Bentuk bentang
alam gunung api yang dihasilkan oleh kombinasi erupsi lelehan dan letusan berupa kerucut komposit
atau gunung api jamak.
4. 5 Mekanisme Erupsi
Sesuai dengan sifat kegiatan atau me-
kanisme keluarnya magma ke permukaan
bumi, erupsi gunung api dapat secara
letusan (explosive eruptions) atau erupsi
a secara lelehan (effusive eruptions). Erupsi
secara letusan disebabkan oleh tingginya
tekanan gas di dalam magma, sedang
pada erupsi secara lelehan dikarenakan
rendahnya tekanan gas yang terkandung
b di dalam magma. Secara umum, magma
berkomposisi basal mempunyai tekanan
gas rendah karena temperaturnya sangat
tinggi, sehingga unsur-unsur volatil ma-
sih terlarut di dalam cairan magma. Oleh
c sebab itu, magma basal hanya mempu-
nyai kandungan gas sedikit dan tekanan
gasnya lemah. Dengan demikian, erupsi
yang terjadi pada umumnya juga secara
non-eksplosif atau lelehan. Sebaliknya,
d
EKSENTRIS
di dalam magma yang berkomposisi
menengah dan asam, karena proses dife-
rensiasi dan menurunnya temperatur
magma, unsur-unsur volatil menyatu dan
keluar dari cairan magma membentuk gas
(Gambar 4.8). Dengan demikian magma
Gambar 4.5 Pembagian jenis erupsi berdasarkan letak terhadap gunung
asam mempunyai kandungan gas paling
api utama yang menjadi erupsi pusat, erupsi lereng (terminal- atau fissure banyak sehingga tekanan gasnya juga
eruptions) dan erupsi eksentris (Rittmann, 1963 vide Macdonald, 1972). tinggi serta erupsi yang terjadi berupa
Publikasi Khusus
38 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 4.6 Erupsi linier Gunung Izu Oshima di Jepang pada 1986. Pada gambar kiri nampak empat titik letusan yang berderet
dan pada gambar kanan terlihat lubang letusan berderet membentuk garis lurus (Sumber: S. Suto, Geological Survey of Japan).
Magma + volatil
yang sudah keluar
dari cairan
Dapur magma
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 39
Gambar 4.9 Skema perbedaan erupsi letusan (kiri) yang menghasilkan bahan piroklastika dengan erupsi lelehan sebagai akibat
terjadinya degassing sehingga membentuk kubah lava (Eichelberger, 1995).
Penelitian Eichelberger (1995) tersebut dilakukan terhadap suatu jenis magma asam yang mempunyai
kandungan air 4 - 5 % berat. Air ini merupakan komponen utama gas di dalam magma. Pemisahan gas
dari cairan magma (vesiculation) terjadi pada kedalaman 4 km. Pada erupsi letusan magma yang sudah
mengalami vesikulasi di dekat permukaan terjadi proses fragmentasi, dari bahan cair liat menjadi bahan
padat tetapi terpecah-pecah, yang dilanjutkan dengan proses letusan ke luar dari lubang kawah. Sementara
itu, pada erupsi lelehan tidak terjadi proses fragmentasi tetapi penghilangan gas. Akibatnya, magma yang
keluar ke permukaan bumi hanya meleleh, membentuk kubah lava atau aliran lava. Perbedaan yang lain
adalah pada lebar pipa konduit dan kecepatan alir magma. Pada erupsi letusan jari-jari pipa konduit lebih
lebar (sekitar 50 m) daripada erupsi lelehan (10 m). Demikian pula pada erupsi letusan kecepatan aliran
magma (1 m/det.) lebih tinggi daripada erupsi lelehan (1 cm/det). Erupsi Gunung Galunggung pada 1918
(van Es, 1924; Bronto, 1989) dan Gunung Kelut pada 2007, yang di dalamnya terdapat danau kawah hanya
menghasilkan ekstrusi kubah lava (Gambar 4.10). Hal ini diduga sebagai akibat terjadinya kebocoran gas
di bawah permukaan sehingga tidak menimbulkan erupsi letusan.Proses erupsi letusan dapat secara tegak
(vertical explosive eruptions) maupun secara miring. Erupsi letusan tegak ditunjukkan pada Gambar 4.8.
Pada awalnya, di dalam reservoir, gas terlarut di dalam cairan magma. Namun di bagian atas dapur
magma itu fase gas telah mulai terpisah dari cairan magma yang ke arah atas semakin nyata untuk kemudian
dilanjutkan dengan proses fragmentasi dan peletusan. Kolom erupsi letusan selanjutnya dibagi menjadi gas
thrust yang mempunyai kecepatan 100 - 600 m/det, dan convective thrust yang menguasai tinggi kolom
atau tiang erupsi (Gambar 4.11). Pada posisi gas thrust, gerakan utama adalah secara tegak sebagai akibat
desakan yang sangat kuat dari dalam bumi ke permukaan; sedangkan pada convective thrust tekanan vertikal
sudah melemah sehingga gas serta bahan padat dan ringan dapat berkembang secara konveksi mendatar.
Pada letusan sangat besar sebagian atau bahkan beberapa kerucut gunung api dapat hancur sehingga mem-
bentuk kaldera letusan seperti terjadi pada Kaldera Danau Kawah (Crater Lake Caldera) di Oregon, Amerika
Serikat (Gambar 4.12) dan Gunung Krakatau di Selat Sunda, Indonesia (Gambar 4.13; Effendi dkk., 1986).
Publikasi Khusus
40 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 4.10 Kiri: Danau kawah Gunung Kelut pada saat terjadi peningkatan kegiatan sebelum muncul kubah lava pada tahun
2007. Kanan: Kubah lava Gunung Kelut yang lahir pada 3 November 2007 mengisi dasar kawah dan menghilangkan air danau.
Pembentukan kubah lava ini diduga sebagai akibat kebocoran gas di bawah permukaan sehingga tidak terjadi erupsi letusan.
Gambar 4.11 Erupsi letusan Gunung Pinatubo, Filipina, pada 1991, memperlihatkan kolom asap yang bergerak vertikal (gas
thrust) dengan kecepatan 100 600 m/detik (arah panah tegak), dan mengembang ke samping (convective thrust; arah panah
mendatar). Sumber foto: Philvolc.
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 41
Publikasi Khusus
42 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 4.13 Diagram memperlihatkan fase konstruksi dan destruksi Gunung Krakatau di Selat Sunda, Indonesia (van Bem-
melen, 1949; Effendi dkk., 1986). Fase Konstruksi I diperkirakan membentuk kerucut tunggal yang besar dengan ketinggian
mencapai 3000 m dpl. sebagai gunung api purba Krakatau. Fase destruksi I membentuk kaldera I Krakatau dan meninggalkan
tiga pulau, yaitu Pulau Rakata, Panjang dan Sertung. Pemunculan kerucut gunung api Rakata, yang disusul dengan Gunung
Danan dan Perbuwatan sebagai kegiatan Fase Konstruksi II dan III. Fase Destruksi II membentuk kaldera letusan 1883, dan
pemunculan awal Gunung Anak Krakatau di dalam kaldera Krakatau pada tahun 1927 hingga saat ini dipandang sebagai Fase
Konstruksi IV. Gunung Anak Krakatau itu sekarang telah tumbuh besar dengan ketinggian lebih dari 300 m dpl., yang pada
awalnya sebagai kerucut sinder, sekarang sudah berkembang menjadi kerucut komposit.
Erupsi Tipe Vulkano (Gambar 4.4) juga sangat khas terjadi di Gunung Vulcano Itali yang ditunjukkan
oleh letusan berskala menengah (VEI = 2-4, rata-rata 3), menyemburkan abu gunung api berwarna abu-abu
gelap sampai hitam, mempunyai periode letusan pendek dengan kolom erupsi mencapai ketinggian 3 - 15
km. Fisher dan Schmincke (1984) menyamakan letusan Tipe Vulkano dengan letusan freatik dan freatomag-
matis. Erupsi Tipe Vulkano ini hampir sebanding dengan erupsi Tipe Sub-Plini dan Tipe Surtsey, namun
agak berbeda di dalam tinggi kolom asap dan derajat letusannya. Endapan erupsi letusan Tipe Vulkano
membentuk perlapisan bagus, pemilahan buruk, dan kaya lubang bekas keluarnya gas gunung api. Fragmen
umumnya nonvesikuler sampai vesikuler buruk, tekstur gelas, bentuk meruncing. Lapili tumbuhan dan bom
gunung api berbentuk kerak roti (bread-crust) sampai dengan bentuk kubis/kol (cauli flower-shaped) juga
sering ditemukan (Tabel 5.1).
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 43
STROMBOLIAN
VULCANIAN
VULCANIAN
(<20 KM)
ULTRAPLINIAN PLINIAN
AND PLINIAN
(<55 KM) PELEAN
STROMBOLIAN
HAWAIIAN SUB PLINIAN
(<30 KM)
Gambar 4.14 Tipe-tipe erupsi gunung api di dunia (Holmes, dalam Simkin dan Siebert, 1994).
Gambar 4.15 Erupsi Tipe Hawaii, yang diawali dengan semburan lava (lava mancur atau lava fountain; gambar kiri) kemudian
b Sumber: Google Volcano, Wikipedia.
didominasi oleh aliran lava basal encer (gambar kanan).
a b
c d
G. Stromboli
Gambar 4.16 Erupsi Tipe Stromboli: a. Gunung Anak Krakatau, 1993. (Foto: I.S. Sutawidjaja), b. Gunung Etna, 2002,
c. Gunung Paricutin, 1946, dan d. Gunung Stromboli (Sumber foto: Google Volcano, Wikipedia).
Publikasi Khusus
44 Geologi Gunung Api Purba
Tabel 4.1 Ciri-ciri Letusan Tipe Vulkano atau Letusan Hidroklastika (Fisher dan Schmincke, 1984)
Penamaan Erupsi Tipe Plini berasal dari nama seseorang bernama Pliny the Younger yang memeri-
kan letusan sangat terkenal Gunung Vesuvius pada tahun 779 Masehi yang berlangsung selama tiga hari
secara terus-menerus (Macdonald, 1972). Letusan gunung api itu menyebabkan dua kota yaitu Pompeii
dan Herculanum terkubur atau tertimbun oleh bahan letusan yang kaya akan batuapung dan mempunyai
ketebalan sampai beberapa meter. Letusan gunung api yang lebih kuat disebut erupsi Tipe Ultra-Plini atau
Phreatoplinian karena merupakan proses interaksi yang sangat cepat antara bodi magma dengan tubuh air
dalam volume yang sangat besar sehingga menghasilkan tekanan gas yang sangat tinggi. Letusan Tipe Plini
dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut.
a. Endapan abu dan batuapung tersebar luas sebagai hasil letusan sangat kuat dengan kolom erupsi tinggi
dan banyak mengandung gas bertekanan tinggi.
b. Erupsi berlangsung beberapa jam - lk. 4 hari secara terus-menerus.
c. Volume endapan bahan letusan bervariasi dari sekitar 1 - 3000 km3.
d. Umumnya berasosiasi dengan letusan pembentukan kaldera gunung api yang mempunyai diameter sampai
dengan 20 km, diperkirakan sama dengan diameter dapur magma di bawahnya.
Selain tipe-tipe erupsi gunung api tersebut di atas, masih ada tipe erupsi lain sesuai dengan perilaku khas
suatu gunung api. Tipe khas itu adalah Tipe Merapi, Tipe Pelee, Tipe St. Vincent, dan Tipe St. Helens (Gambar
4.17). Erupsi Tipe Merapi diawali dengan erupsi lelehan membentuk kubah lava di puncak gunung. Karena
kedudukannya pada bidang miring sehingga tidak stabil dan kemudian longsor membentuk awan panas atau
aliran piroklastika guguran kubah lava. Erupsi Tipe Pelee diawali dengan pembentukan sumbat lava yang
sangat kuat di dalam kawah. Letusan berikutnya yang bertekanan gas sangat tinggi hanya mampu menerobos
di samping sumbat lava sehingga terjadi letusan terarah (directed blast), menghasilkan aliran piroklastika ke
satu arah yang disebut glowing avalanche dan glowing cloud (Macdonald, 1972). Hal serupa pernah terjadi
di Gunung Galunggung, Jawa Barat pada 8 Oktober 1822 (van Es, 1924). Erupsi Tipe St. Vincent (gunung
apinya sering disebut Montserrat's Soufriere Hills Volcano) adalah erupsi letusan dengan ciri kolom erupsi
runtuh yang kemudian membentuk aliran piroklastika ke berbagai arah (Gambar 4.18). Gunung Pelee dan
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 45
Kubah lava
c
Kawah terbuka
Sumbat lava
d
Gambar 4.17 Tipe erupsi gunung api khusus: a.Tipe Merapi, b.Tipe Pelee, c.Tipe St. Vincent, dan d.Tipe St. Helens.
Gambar 4.18 Gunung Api Mountserrat atau St. Vincent dilihat dari citra satelit menunjukkan sebaran endapan piroklastika ke
berbagai arah (anak panah) pada 7 Januari 2010. Sumber: the NASA Earth Observatory. Kolom erupsi mencapai ketinggian
10 km dpl.
St. Vincent terletak di Kepulauan India Barat (West Indies). Erupsi Tipe St. Helens, yang sudah disingung
pada Bab III, adalah letusan gunung api yang disertai dengan longsornya sebagian tubuh kerucut komposit
ke satu arah. Bersamaan dengan longsoran besar itu berbagai macam bahan piroklastika (aliran, seruakan,
dan jatuhan) juga menyembur dari lubang kawah atau kaldera.
Publikasi Khusus
46 Geologi Gunung Api Purba
Tabel 4.2 Kriteria Indeks Letusan Gunung Api atau Volcano Explosivity Index (VEI) menurut Newhall dan Self (1982). Untuk
VEI nilai 0 - 2, ketinggian kolom erupsi dihitung dari atas kawah, sedang yang bernilai 3 - 8 di atas muka air laut.
kolom erupsi itu akan mempengaruhi injeksi bahan letusan ke lapisan troposfer dan stratosfer di atas muka
bumi. Gunung Api di Indonesia yang meletus dalam sejarah dan mempunyai nilai Indeks Letusan Gunung
Api sangat besar adalah Gunung Tambora (1815, VEI: 7) dan Gunung Krakatau (1883, VEI; 6). Gambar 4.19
memperlihatkan besaran nilai VEI dan volume bahan erupsi untuk beberapa gunung api di dunia.
Gambar 4.19 Nilai Indeks Letusan Gunung Api (VEI) dan volume bahan erupsi pada beberapa contoh gunung api di dunia.
Sumber: Oppenheimer (2004).
Publikasi Khusus
Erupsi Gunung Api 47
Gambar 4.20 memperlihatkan data statistik hubungan antara eksplosivitas dengan interval waktu tenang
atau masa istirahat gunung api. Pada letusan lemah, VEI: 0 - 2, waktu istirahat umumnya berlangsung antara
1 - 10 tahun, sedangkan VEI 3 - 4, adalah masa tenang yang sebagian besar bervariasi antara 1 - 100 tahun.
Pada letusan sangat besar, VEI 5 - 6, periode istirahat berlangsung sangat panjang, yaitu lebih dari 100 tahun.
Kenyataan ini diyakini ada hubungannya dengan akumulasi dan tekanan gas gunung api. Apabila sering
terjadi erupsi atau letusan, maka hal itu tidak memungkinkan terjadinya akumulasi gas yang bertekanan
besar. Sebaliknya, jika gunung apinya sedang mengalami istirahat sangat panjang, maka magma di bawah
gunung api tetap aktif dan mengalami diferensiasi lanjut, menghasilkan gas gunung api yang semakin lama
semakin terakumulasi dalam jumlah besar dan tekanan sangat kuat sehingga pada akhirnya akan dapat
mengakibatkan letusan yang sangat dahsyat.
Gambar 4.20 Hubungan antara tingkat letusan dengan masa istirahat gunung api (Simkin, 1993). Semakin besar nilai indeks
letusan gunung api (VEI) pada umumnya masa istirahatnya juga berlangsung lama.
4.8 Ringkasan
Erupsi gunung api adalah proses keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan. Magma yang tidak
sampai ke permukaan membentuk tubuh batuan beku intrusi dangkal. Dipandang dari bahan padat yang
dikeluarkan ke permukaan bumi maka ada erupsi magmatis, erupsi freatik, dan erupsi freatomagmatis;
ditinjau dari sifat kegiatan berupa erupsi letusan dan erupsi lelehan; sedang berdasar lokasinya ada erupsi
pusat, erupsi lereng (terminal atau lateral), dan erupsi eksentris. Erupsi letusan disebabkan oleh adanya gas
gunung api yang bertekanan tinggi. Akumulasi gas magma dihasilkan oleh proses diferensiasi, atau percam-
puran magma basa dengan magma asam. Dalam beberapa hal magma menengah-asam hanya keluar secara
meleleh karena adanya proses kebocoran gas (degassing). Di dalam erupsi secara vertikal, besarnya letusan
gunung api ditentukan dengan Nilai Indeks Letusan Gunung api (VEI), mulai dari 0 - 8, dan erupsinya secara
berturut-turut diberi nama dari Erupsi Tipe Hawaii, Tipe Stromboli, Tipe Vulkano, Tipe Plini, dan Tipe Ultra-
Plini. Semakin panjang masa istirahat suatu gunung api, maka letusan mendatang akan mempunyai nilai
VEI lebih tinggi. Hal itu berhubungan dengan proses diferensiasi magma dari komposisi basa ke menengah
- asam dan akumulasi gas gunung api yang semakin lama semakin banyak serta bertekanan sangat tinggi.
Publikasi Khusus
48 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 49
BAB 5
BATUAN GUNUNG API
Secara umum, dalam pendeskripsian dan penamaan batuan, ahli geologi sudah membekali diri dengan
ilmu petrologi dan petrografi yang didukung pula oleh mineralogi dan geokimia. Untuk pendeskripsian dan
penamaan batuan gunung api, penguasaan ilmu pengetahuan itu perlu ditambah dengan dasar-dasar ilmu
gunung api atau vulkanologi. Dalam arti luas petrologi adalah ilmu yang mempelajari batuan, dimulai dari
pengamatan secara mata telanjang, pemeriksaan di bawah mikroskop, analisis geokimia, dan bahkan sampai
dengan radio isotop.
Penggunaan kata batuan di sini diartikan secara luas, yaitu bahan bentukan alam (gunung api), mulai
dari bahan lepas (loose material) sampai dengan yang sudah membatu (lithified material). Lebih lanjut,
batuan gunung api yang dibahas juga terbatas pada yang segar, dalam arti tidak dalam keadaan sudah lapuk,
teroksidasi lanjut, termalihkan (termetamorfose), ataupun terubah (teralterasi) secara hidrotermal.
Batuan gunung api tersebar melimpah di Indonesia, baik sebagai produk vulkanisme masa lalu maupun
hasil kegiatan gunung api masa kini. Namun demikian pembelajaran terhadap asal-usul batuan gunung api
selama ini masih sangat sedikit. Sebagian batuan dipelajari di dalam lingkup petrologi batuan beku, sebagai
kelompok batuan beku luar, dan hanya sebagian kecil saja disinggung di dalam pembelajaran batuan sedimen.
Uraian di dalam Bab V ini dimulai dari dasar-dasar penamaan batuan dan pengertian batuan gunung api,
dilanjutkan dengan penamaan secara pemerian dan genesis. Secara lebih rinci dibahas pula batuan klastika
gunung api. Pada akhir bahasan diutarakan mengenai permasalahan penamaan tuf dan breksi gunung api.
Publikasi Khusus
50 Geologi Gunung Api Purba
kopis dan mikroskopis. Untuk kelengkapan penelitian geologi pada umumnya dan pemerian serta penamaan
batuan gunung api secara khusus, ketiga pendekatan tersebut sebaiknya dilakukan secara bersama-sama.
Dalam penamaan batuan secara deskriptif, sebagai parameter umum pemerian adalah warna, tekstur,
struktur, dan komposisi. Tekstur mencakup antara lain bentuk dan ukuran butir/kristal, hubungan antar butir/
kristal, pemilahan dll. Dalam kaitannya dengan batuan gunung api, struktur yang terbentuk lebih mencer-
minkan proses pendinginan magma secara cepat menjadi batuan beku dan proses pengendapan. Komposisi
dapat secara mineralogi atau kimia. Secara mineralogi, komposisi batuan dapat tersusun oleh mineral/kristal,
fosil, fragmen batuan, dan matriks atau masa dasar. Untuk memberikan nama batuan secara deskriptif dapat
hanya menggunakan salah satu parameter deskriptif atau kombinasi di antara beberapa parameter; biasanya
dipilih yang paling mudah dikenali. Penamaan batuan hanya berdasar satu parameter (komposisi) misal-
nya, batuan gunung api yang mengandung lebih dari 50 % mineral karbonat (kalsit, dolomit, Fe-karbonat,
Na-Ca-K karbonat) dinamakan karbonatit (carbonatite; Streckeisen, 1980). Penamaan batuan berdasarkan
beberapa parameter contohnya, batuan gunung api berwarna abu-abu, bertekstur hipokristalin porfiri, ber-
struktur berlubang, serta berkomposisi fenokris felspar-plagioklas, piroksen dan masadasar gelas gunung api
dinamakan andesit. Nama tambahan dapat disebutkan bila ada parameter yang paling menonjol, misalnya
yang menonjol fenokris piroksen, sebarannya merata dan kelimpahannya mencapai lebih dari 10 %, maka
batuan tersebut dapat dinamakan andesit piroksen. Apabila yang menonjol adalah kenampakan tekstur porfiri
dapat dinamakan andesit porfiri. Jika yang menonjol kenampakan struktur, misalnya struktur masif, maka
dinamakan andesit masif. Ahli geologi dapat melatih diri dan berdiskusi dalam rangka menguasai penamaan
batuan secara deskriptif tersebut.
Dalam kaitannya dengan batuan teralterasi, McPhie dkk. (1993) memberikan nama batuan berdasarkan
grain size, components, lithofacies term dan alteration. Grain size atau ukuran butir merupakan bagian dari
tekstur, components sepadan dengan komposisi, lithofacies term digunakan untuk struktur, dan alteration
adalah kenampakan ubahan yang terjadi di dalam batuan itu. Sebagai contoh crystal-rich chloritic bedded tuff.
Penamaan batuan secara genesis mempunyai parameter analisis terhadap sumber/asal batuan, proses
pembentukan batuan, umur batuan, dan lingkungan pengendapan batuan. Untuk batuan gunung api masa
kini atau setidak-tidaknya berumur Kuarter, masalah sumber sudah sangat jelas sehingga biasanya tidak di-
persoalkan lagi, misalnya batuan gunung api di daerah Kaliurang dan Pakem, Kabupaten Sleman bersumber
dari kawah Gunung Merapi di sebelah utaranya. Namun untuk batuan gunung api yang lebih tua, misalnya
berumur Tersier di Pegunungan Selatan, Kabupaten Gunungkidul, masalah sumber masih memerlukan pene-
litian secara cermat. Proses pembentukan batuan gunung api, atau secara umum proses vulkanisme, dapat
diamati pada gunung api aktif masa kini atau yang pernah meletus dalam sejarah. Berdasar data geofisika
dan geokimia, pergerakan magma dari dalam bumi ke permukaan secara real time dapat diamati. Secara mata
kepala sendiri (visual observation) bentuk dan kegiatan magma pada saat keluar ke permukaan bumi yang
dikenal sebagai erupsi gunung api dapat dilihat. Demikian pula setelah bahan padat hasil erupsi gunung api
tersebut membeku atau mengendap, dapat didekati dan dideskripsi secara terperinci. Dengan demikian, dari
kegiatan gunung api aktif masa kini pertama-tama dapat diketahui genesisnya yang meliputi sumber, proses,
waktu kejadian, lingkungan asal, dan lingkungan pengendapan; kemudian dilakukan deskripsi terhadap batuan
yang terbentuk secara terperinci. Data deskripsi secara terperinci itulah yang digunakan sebagai dasar untuk
menganalisis batuan gunung api yang lebih tua dalam rangka memberi nama batuan secara genesis. Metode
ini sebenarnya merupakan penerapan salah satu prinsip geologi, yakni the present is the key to the past. Ber-
hubung proses erupsi gunung api, proses pembekuan, dan proses pengendapan bahan erupsi hampir selalu
dapat diamati; serta pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi kepentingan sosial masyarakat, maka dalam
menamakan endapan/batuan gunung api para ahli gunung api lebih menitik-beratkan pada penamaan secara
genesis daripada penamaan secara deskriptif. Sebagai contoh nama-nama aliran lava, awan panas, dan lahar.
Penentuan umur batuan dapat didasarkan pada pendekatan secara stratigrafis, paleontologis (bila mengan
dung fosil), dan atau metode radiometri. Pendekatan secara stratigrafis di lapangan bersifat relatif, misalnya
lebih muda daripada batuan yang di bawahnya dan lebih tua daripada batuan yang di atasnya. Pendekatan
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 51
paleontologi selain bersifat relatif juga mempunyai kisaran waktu yang panjang untuk ukuran kegiatan
vulkanisme. Penentuan umur secara radiometri mampu mendapatkan nilai umur dalam bentuk angka seka-
lipun ketepatannya masih memerlukan improvisasi secara berkelanjutan. Analisis umur dengan pendekatan
radiometri antara lain dengan metode Kalium-Argon (40K - 40Ar), Argon-Argon (40Ar/39Ar), Jejak Belah,
Carbon-14, Uranium-Thorium (U-Th), dan Uranium-Lead (U-Pb). Sejauh ini penamaan batuan gunung api
berdasarkan umur dan lingkungan pengendapan masih bersifat umum, misalnya batuan gunung api Paleo-
gen dan batuan gunung api darat, sehingga analisis genesis lebih dititik-beratkan pada proses dan kemudian
sumber. Dalam penamaan batuan gunung api yang secara genesis kejadiannya tidak tercatat dalam sejarah
atau yang berumur lebih tua, maka analisis proses dan sumber merupakan hal yang paling tidak mudah.
Penamaan batuan gunung api secara kombinasi deskriptif dan genesis bukan masalah yang berarti bila sudah
diketahui nama secara deskriptif dan genesis. Sebagai contoh, jika secara deskriptif bernama andesit, secara
genesis bersumber dari Gunung Api Merapi, proses dan bentuk erupsinya berupa kubah lava, maka nama kom-
binasinya dapat disebut Kubah lava andesit Gunung Merapi. Secara geologi, pada batuan gunung api tua yang
sumbernya belum diketahui secara pasti, maka penamaannya dapat menggunakan nama geografi atau tempat
batuan itu tersingkap sangat baik, misalnya aliran lava bantal basal piroksen Watuadeg. Ini mengandung arti
proses erupsinya secara mengalir (berupa aliran lava), berbentuk/berstruktur bantal (sekaligus mencerminkan
kejadiannya di dalam air), berkomposisi basal piroksen, dan tersingkap sangat baik di Dusun Watuadeg.
Publikasi Khusus
52 Geologi Gunung Api Purba
gunung api ini sebenarnya adalah mineral yang tidak berbentuk kristal (amorf), berasal dari magma, dan
merupakan bahan silikat. Pengertian bahan silikat ini adalah mineral yang mengandung unsur silika atau
oksida SiO2. Di dalam bahan silikat masih ada unsur atau oksida lain, seperti aluminium (Al2O3), mag-
nesium (MgO), besi (FeO dan Fe2O3), kalsium (CaO), titanium (TiO2), mangan (MnO), natrium (Na2O),
kalium (K2O), dan lain-lain. Hal ini agak sedikit berbeda dengan pengertian mineral silika yang hanya
tersusun oleh unsur Si atau oksida SiO2, seperti kuarsa dan opal/chert.
- mineral yang mengkristal pada umumnya mempunyai tekstur pendinginan sangat cepat (quenching/
supercooling textures) karena pertumbuhannya sangat terganggu oleh proses pendinginan. Hal ini diciri-
kan antara lain oleh struktur zoning, fibrous structures, skeletal crystals, embayment, corrosion, banded
microcystalline, rekahan pada kristal, dan di dalam kristal mengandung inklusi gelas gunung api.
- di bagian luar tubuh batuan gunung api biasanya terdapat lubang bekas keluarnya gas gunung api (ve-
sicular structures) dan perekahan yang terjadi selama proses pergerakan ke permukaan dan pendinginan
sangat cepat (super cooling fractures). Pada kondisi tertentu struktur lubang gas dapat terbentuk di bagian
tengah tubuh batuan beku terobosan dangkal.
- magma yang membeku di dekat permukaan (high level intrusives) atau sudah keluar ke permukaan secara
meleleh (effusive eruptions) membentuk lava koheren, dan pada akhirnya menjadi batuan beku yang pada
umumnya masif. Sebaliknya, magma yang keluar ke permukaan secara meletus (explosive eruptions)
menghasilkan batuan beku terfragmentasi yang disebut pyroclasts, berasal dari kara pyro artinya api dan
clast berarti butiran, fragmen, atau kepingan. Jadi pyroclast adalah butiran batuan pijar yang dilontarkan
keluar (ejected material) dari lubang kawah pada saat terjadi letusan gunung api. Pyroclasts atau istilah
lain ejecta ini mempunyai berbagai ukuran, mulai dari berbutir halus (abu/debu gunung api, 2 mm),
berbutir sedang (lapili, : 2 64 mm) sampai dengan berbutir kasar (blok/bom gunung api, > 64 mm).
Batuan itu secara khusus disebut batuan piroklastika dan secara umum membentuk batuan gunung api
bertekstur klastika (volcaniclastic rocks).
Dengan demikian secara deskriptif batuan gunung api mempunyai ciri-ciri khas di dalam tekstur dan
komposisi, sebagai berikut:
1. Tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren maupun sebagai komponen
bahan klastika.
2. Komposisi selalu mengandung gelas gunung api; kristal yang terbentuk pada umumnya menunjukkan
tekstur dan struktur pendinginan magma sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri atas
fragmen batuan beku (luar), seperti basal, andesit, dasit, atau riolit. Namun, tidak menutup kemungkinan
terdapat fragmen batuan gunung api yang lebih tua/batuan samping, serta batuan dasar non gunung api
yang ikut terlontar keluar sebagai bahan tambahan/aksesori (accessory material) dan bahan asing (ac-
cidental material).
Warna batuan gunung api sangat beragam, tergantung pada komposisi kimia dan mineral penyusunnya.
Batuan berwarna gelap pada umumnya berkomposisi basa, abu-abu untuk berkomposisi menengah, dan warna
terang untuk batuan berkomposisi asam. Khusus obsidian, sekalipun berkomposisi asam warnanya juga hitam.
Mengenai struktur batuan gunung api, untuk lava koheren dan fragmen batuan mengikuti hukum-hukum
yang berlaku di dalam batuan beku, seperti halnya struktur masif, berlubang/berongga (vesicles), segregasi,
konsentris, aliran, dan rekahan radier yang mencerminkan proses pendinginan dan pergerakan magma. Pem-
bentukan struktur di dalam endapan/batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih
mengikuti hukum batuan sedimen (proses pengendapan), misalnya struktur perlapisan/laminasi, silang-siur,
perlapisan pilihan, melensa, membaji, dunes, antidunes, dan lain-lain. Penjelasan tersebut mensiratkan agar
batuan gunung api sebaiknya tidak dipaksakan untuk masuk jenis batuan beku atau batuan sedimen, tetapi
lebih baik dipandang sebagai kelompok tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis batuan
utama tersebut. Hal itu sejalan dengan proses vulkanisme, yang berada di antara proses magmatisme, yang
lebih banyak membahas batuan beku intrusi dalam (pluton), dengan proses pengendapan yang titik beratnya
mempelajari batuan sedimen.
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 53
Nama
No Warna Tekstur Struktur Komposisi
Batuan
1 Basal Hitam porfiroafanit, afanit, masif - berlubang bentuk olivin, piroksen, plagioklas basa,
vitrofir, gelas melingkar - elip, skoria dan gelas (basa)
2 Andesit abu-abu gelap porfiroafanit, afanit, masif - berlubang bentuk piroksen, plagioklas, dan gelas
basal vitrofir, gelas agak melingkar - agak basa-menengah
menyudut
3 Andesit abu-abu porfiroafanit, afanit, masif - berlubang bentuk piroksen, amfibol (horenblenda),
vitrofir, gelas agak menyudut - plagioklas, dan gelas menengah
menyudut
4 Dasit abu-abu terang porfiroafanit, afanit, masif - berlubang bentuk amfibol, plagioklas dan gelas
vitrofir, gelas menyudut menengah - asam, alkali felspar,
dan kuarsa
5 Riolit putih - putih porfiroafanit, afanit, masif - berlubang bentuk amfibol, biotit, muskovit, plagio-
abu-abu vitrofir, gelas menyudut - menyudut klas & gelas asam, alkali felspar,
sangat runcing dan kuarsa
Publikasi Khusus
54 Geologi Gunung Api Purba
Berdasarkan komposisi kimia, dalam hal ini persentase berat oksida silika (SiO2) lava koheren dapat
diklasifikasikan menjadi basal, andesit basal (basaltic andesite), andesit, dasit, dan riolit (Tabel 5.2).
Berdasarkan persentase berat SiO2 versus K2O (Peccerillo & Taylor, 1976; Ewart, 1982), batuan terse-
but dibagi menjadi batuan toleiit (miskin/rendah kalium), batuan calc-alkaline (kalium menengah), dan
batuan alkalin (alkali tinggi). Untuk gunung api yang berhubungan dengan zona penunjaman kerak bumi,
batuan toleiit umumnya terdapat di busur magma bagian depan (dekat dengan zona penunjaman), batuan
calc-alkaline di bagian tengah, dan batuan alkalin atau shosonit di bagian belakang. Dalam mengklasifi-
kasikan nama batuan berdasarkan komposisi, sebagian ahli tidak hanya menggunakan persentase berat
kalium oksida tetapi menggunakan total persentase berat alkali (Na2O + K2O) versus SiO2 (Cox dkk.,
1981; Le Bas dkk., 1986). Untuk menamakan batuan berdasarkan komposisi kimia secara tepat diperlukan
beberapa persyaratan sebelumnya. Pertama batuan yang akan dianalisis secara kimia harus benar-benar
segar, dalam arti tidak lapuk, tidak teroksidasi, dan tidak teralterasi. Hal itu nantinya terlihat pada sedikit
atau banyaknya bahan habis dibakar serta bahan volatil yang terkandung, dan jumlah persentase total.
Semakin sedikit persentase bahan habis dibakar (loss on ignition) dan bahan volatil dengan jumlah total
mendekati 100 % ( 1,5 %) serta masing-masing
Tabel 5.2 Klasifikasi Penamaan Batuan Koheren Lava ber- persentase oksida utama secara geologi sudah wa-
dasar Persentase Berat SiO2 jar, maka hal itu menunjukkan percontoh batuan
cukup segar serta hasilnya dapat digunakan untuk
Nama batuan Persentase berat SiO2 analisis lebih lanjut (Tabel 5.3). Hasil analisis kimia
Basal 52 (45 52) tersebut kemudian dinormalisir ke 100 % tanpa
Andesit basal 53 57 mengikut-sertakan bahan habis dibakar dan volatil
Andesit 58 63 sebelum dimasukkan ke dalam klasifikasi (Tabel 5.4
dan 5.5). Di dalam batuan alkalin, mineral felspar
Dasit 64 68
digantikan oleh mineral felspatoid, misalnya, leusit,
Riolit 69 (69 75) nefelin, dan sodalit.
Tabel 5.3 Komposisi Kimia Oksida Utama Batuan Beku. LOI = loss on ignition (habis dibakar) Fe2O3* = total oksida besi
(FeO + Fe2O3).
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 55
Tabel 5.4 Komposisi Kimia Oksida Utama Batuan Beku setelah dinormalisir 100 % tanpa Volatil dan LOI
Tabel 5.5 Komposisi Kimia Oksida Utama Obsidian dan Pumis (Batuapung) setelah dinormalisisr 100 % tanpa Volatil dan LOI
Publikasi Khusus
56 Geologi Gunung Api Purba
siltstones), dan batulempung gunung api (volcanic claystones). Perlu ditegaskan di sini bahwa penggunaan
kata pasir, lanau, dan lempung hanyalah menunjukkan ukuran butir, tidak secara langsung mencerminkan
sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama-nama tersebut dapat ditambah dengan parameter kemas (fabric),
sortasi (pemilahan), sebagai bagian dari pemerian tekstur, warna, struktur, dan atau komposisi tergantung
aspek mana yang menonjol dan mudah dikenali. Sebagai contoh, apabila fragmen di dalam breksi gunung api
mempunyai kemas terbuka dapat dinamakan breksi gunung api kemas terbuka, kalau fragmennya didomi-
nasi oleh andesit dan tidak berstruktur (masif), batuan itu dapat saja dinamakan breksi andesit masif. Jika
di dalam batupasir gunung api yang sangat menonjol adalah struktur berlapis, batuan itu dapat dinamakan
batupasir gunung api berlapis (bedded volcanic sandstones).
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 57
kimia. Secara deskriptif di bawah ini dijelaskan beberapa bentuk tubuh intrusi dangkal sebagai bagian dari
lava koheren batuan gunung api.
Retas dicirikan, antara lain oleh:
1. Bentuk terobosan berupa bidang memanjang (tabular in shape) serta memotong perlapisan batuan yang
diterobosnya (Gambar 5.1 - 5.3).
2. Efek kontak di kedua sisi retas terhadap batuan yang diterobos mungkin mengalami efek bakar, atau
bagian tepi retas yang mengalami oksidasi, keduanya umumnya berwarna merah coklat atau merah bata,
sangat tergantung tingginya temperatur magma saat menerobos, jenis batuan yang diterobos dan oksigen
yang dikandungnya.
3. Dari bagian tengah menuju ke tepi retas secara berangsur semakin bertekstur gelas. Hal ini akan semakin
nyata pada tubuh retas yang cukup tebal. Pada kontak dapat pula terbentuk breksi sebagai akibat pen
dinginan sangat cepat sehingga menimbulkan perekahan yang kemudian terisi oleh cairan magma dari
bagian tengah retas, atau masuknya batuan samping ke dalam cairan magma retas.
4. Terdapat struktur paralel secara vertikal di bagian tepi tubuh retas sebagai akibat segregasi dan tingkat
kristalisasi yang berbeda selama pendinginan, karena bagian tepi/luar lebih cepat mendingin daripada
bagian dalam. Struktur kekar yang memotong tegak lurus retas biasanya juga dapat dijumpai. Bila magma
mengandung banyak gas, atau menerobos batuan karbonat, mungkin terbentuk struktur lubang berbentuk
elip yang menunjukkan aliran ke atas. Struktur aliran dapat pula ditunjukkan oleh penjajaran feokris atau
bentuk struktur aliran lainnya.
5. Komposisi retas bagian tengah lebih banyak kristal, sedang ke arah tepi semakin banyak gelas gunung
api. Alterasi dan mineralisasi mungkin dapat terjadi di bagian tepi retas tersebut.
6. Di bagian lebih dalam retas dapat berawal dari tubuh intrusi yang lebih besar, seperti tersingkap di Pulau
Sangiang (Gambar 5.4).
Gambar 5.1 Retas (dikes) pada dinding kawah Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat dan di Gunung Muria, Jawa
Tengah.
Publikasi Khusus
58 Geologi Gunung Api Purba
b a
Gambar 5.2 Retas pada dinding kaldera Tengger, Probolinggo, Gambar 5.3 Retas basal (B) dan andesit (A) di kaki utara Gunung
Jawa Timur. Rakata, Selat Sunda.
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 59
Gambar 5.5 Kubah lava bawah permukaan (gambar kiri, arah anak panah), retas, dan sill di bawah puncak Gunung Rakata,
Kompleks Krakatau, Selat Sunda.
a Sumbat lava b
c d
Gambar 5.6 Sumbat lava atau leher gunung api; a. di sebelah barat laut Gunung Karacak, Garut, Jawa Barat; b. di Selat Sunda,
antara Gunung Krakatau - Pulau Sumatra; c. di sebelah timur jalan tol Cipularang km 97, Jawa Barat; d. Gunung Sumbing
di Gunung Kelut, Jawa Timur.
Publikasi Khusus
60 Geologi Gunung Api Purba
3. Ke arah bagian tepi tubuh semakin bertekstur gelas atau membentuk breksi (autoklastika).
4. Struktur segregasi berarah paralel vertikal pada pandangan dari samping, tetapi menjadi konsentris pada
pandangan dari atas. Struktur lubang dijumpai, terutama di bagian atas tubuh intrusi.
5. Secara umum, komposisi banyak tersusun oleh gelas karena ukurannya yang relatif kecil.
6. Berhubung terjadi dekat di bawah atau bahkan di dalam kawah gunung api, biasanya batuan di sekitarnya
sudah mengalami alterasi hidrotermal.
Bentuk-bentuk lava koheren yang benar-benar keluar ke permukaan bumi dapat berupa kubah lava (lava
domes) atau aliran lava (lava flows). Kubah lava terbentuk bila lava relatif kental sehingga begitu keluar ke
permukaan segera membeku dan menumpuk langsung di atas lubang kepundan membentuk kubah. Kubah
lava ini ke bawahnya dapat berhubungan dengan leher gunung api atau retas. Perbedaan antara sumbat lava
dengan kubah lava hanya pada bentuk, yang pertama berbentuk sumbat sedangkan yang kedua berbentuk
kubah. Ukuran sumbat selalu lebih kecil daripada kubah lava.
Ciri-ciri kubah lava antara lain:
1. Bentuk ideal seperti kubah (setengah bola cembung ke atas), walau kenyataannya dapat tidak teratur,
tetapi yang penting menumpuk di dalam kawah gunung api (Gambar 5.7 dan 5.8)
2. Efek kontak hanya terjadi dengan batuan yang ditindih (di bawahnya) yang biasanya sudah teralterasi
karena berada di dalam kawah/kaldera gunung api.
3. Tekstur batuan semakin kristalin ke bagian tengah tubuh kubah. Pada bagian permukaan, tepi dan dasar
kubah dapat terjadi breksiasi karena pendinginan yang sangat cepat (breksi autoklastika).
4. Pada bagian permukaan kubah dijumpai struktur lubang dan rekahan yang berpola radier menjauhi pusat
kubah. Pada bagian tengah kubah terbentuk aliran dan struktur kelopak (kulit bawang).
5. Bila belum tererosi, pada permukaan kubah yang terbentuk di dasar laut (dalam) terbentuk kerak kaca
(glassy crust) dan atau hyaloclastite.
Hyaloclastite berasal dari kata hyaline (gelas) dan clast (butiran/fragmen). Mengacu pendapat McPhie
dkk. (1993), hyaloclastite (hialoklastit ?) berarti mempunyai pengertian: clastic aggregates formed by non-
explosive fracturing and disintegration of quenched lavas and intrusions that are extruded under (sea) water
(bahan klastika yang terbentuk oleh disintegrasi dan perekahan non letusan karena pendinginan yang sangat
cepat pada lava dan intrusi di dasar air laut). Istilah ini digunakan baik untuk bahan yang masih lepas-lepas
maupun sudah membatu. Dengan demikian hyaloclastite adalah batuan klastika gunung api yang seluruh
komponen penyusunnya terdiri atas butiran gelas. Secara genesis hyaloclastite terbentuk sebagai hasil erupsi
gunung api lelehan (non eksplosif) di dalam air (laut dalam), akibatnya terjadi pendinginan yang sangat
cepat dan fragmentasi sehingga mineral tidak sempat mengkristal. Secara tekstur hyaloclastites dapat berupa
breksi gunung api atau batupasir gunung api berkomposisi gelas.
Gambar 5.7 Kiri: Kubah lava Gunung Merapi, Jawa Tengah, hasil erupsi 1990. Kanan: Kubah lava Gunung Merapi, hasil
erupsi 1992.
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 61
Internal viscous
Flow zone
Conduit
Magma
Gambar 5.8 Kiri: Penampang skematik sebuah kubah lava, yang memperlihatkan leher gunung api di bawahnya serta zona
aliran internal dan zona lava bongkah di bagian luar. Kanan: Kubah lava di puncak Gunung Novarupta, Katmai, Alaska
(foto: T.P. Miller, Juni 1979). Sumber: Google Volcano, Wikipedia.
Aliran lava mempunyai tipe tekstur dan struktur beragam, yakni aliran lava bongkah (blocky lava flows),
aliran lava aa, aliran lava pahoe-hoe, dan aliran lava bantal. Aliran lava bongkah adalah yang paling umum
di Indonesia, dengan lava yang relatif kental berkomposisi basa, menengah sampai asam. Aliran lava aa dan
pahoe-hoe khas terdapat di Hawaii yang selalu berkomposisi basal dan encer. Aliran lava berstruktur bantal
mencirikan aliran lava yang terbentuk di lingkungan air (laut dalam) dan es, umumnya berkomposisi basal.
Aliran lava bongkah dicirikan antara lain oleh:
1. Berbentuk bahan aliran, memanjang atau seperti kipas, bergantung pada bentuk bentang alam awal yang
dilaluinya. Bentuk memanjang sempit biasanya terjadi bila lava mengalir di lembah sungai, sedang bentuk
kipas bila melalui bentang alam relatif datar. Dari bentuk geometri ini sering juga nampak struktur aliran.
2. Efek kontak hanya terjadi pada batuan yang ditindihnya, dapat berupa efek bakar atau oksidasi.
3. Tekstur permukaan sangat kasar, berbongkah-bongkah dengan diameter mencapai 3 - 5 m, ke bawah
membreksi sedang di bagian tengah tubuh lava berupa batuan beku masif. Mendekati dasar aliran,
batuan beku ini kembali membreksi dan berbongkah namun ukurannya lebih kecil daripada yang ada di
permukaan (Gambar 5.9).
4. Bagian atas membentuk struktur berlubang, semakin encer dan basa bentuk lubang menyerupai elip
yang berguna untuk menunjukkan arah aliran. Apabila aliran lava cukup tebal, di bagian tengah dapat
terbentuk kekar kolom, sedang di bagian bawah membentuk kekar lembar. Pada batuan gunung api tua
dengan bagian permukaan aliran lava sudah mengalami erosi, maka identifikasi efek kontak, tekstur, dan
struktur di bagian bawah menjadi sangat penting (Gambar 5.10).
Aliran lava berstruktur bantal dicirikan antara lain oleh:
1. Bentuk memanjang agak membulat, seperti bantal guling atau sosis, sekaligus menunjukkan struktur aliran.
2. Di bagian permukaan tubuh aliran terdapat kulit kaca (glassy skin), sedangkan ke arah tengah semakin
banyak kristal, atau paling tidak bertekstur afanitis. Dalam banyak hal, permukaan aliran lava bantal
terfragmentasi (Gambar 5.11), tetapi bagian dalamnya masif.
3. Struktur rekahan dan aliran (ropy wrinkle) terdapat di permukaan, sedangkan dari penampang terlihat
struktur konsentris dan rekahan radier.
4. Batuan umumnya berkomposisi basal, mungkin berasosiasi dengan hyaloclastites.
Publikasi Khusus
62 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 5.9 Aliran lava Gunung Guntur, Garut, Jawa Barat (kiri), Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda, Lampung (kanan atas)
dan Gunung Gamalama, Ternate, Maluku Utara (kanan bawah).
a b
c d
Gambar 5.10 Penampakan aliran lava di beberapa gunung api; a. Aliran lava andesit Gunung Merapi di Kali Bebeng - Gendol,
Dusun Kaliadem, Sleman-Yogyakarta; b. Perlapisan aliran lava basal Gunung Rakata, Kompleks Krakatau, Selat Sunda -
Lampung; c. Aliran lava basal vesikuler Gunung Slamet Tua di sebelah timur kota Kecamatan Ajibarang, Purwokerto - Jawa
Tengah; d. Aliran lava basal vesikuler Gunung Slamet Tua difoto dari jarak dekat.
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 63
Gambar 5.11 Singkapan aliran lava berstruktur bantal di daerah Citirem, Sukabumi Selatan.
Publikasi Khusus
64 Geologi Gunung Api Purba
Tabel 5.6 Ciri-ciri Endapan Jatuhan Piroklastika (Karakter ini sangat bergantung pada besarnya letusan, perubahan style
letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber.) Daftar pemerian di bawah ini umumnya dapat dipakai sekalipun ada yang
muncul hanya pada tipe erupsi tertentu.
Parameter Ciri-Ciri
Pola distribusi 1. Sebaran berbentuk lingkaran atau kipas (teratur/tidak teratur) yang berpusat di kawah atau kaldera.
dan ketebalan 2. Endapan menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya dengan tebal relatif sama, namun secara
umum menipis menjauhi sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran.
Struktur Sedimen 1. Endapan membentuk struktur perlapisan, dan masing-masing lapisan membentuk struktur perlapisan
pilihan yang umumnya normal.
2. Kemiringan orisinil terjadi bila bahan terendapkan pada bentang alam miring. Secara umum
kemiringan orisinil membesar mendekati puncak gunung api.
Asosiasi batuan 1. Di dekat kawah (proksimal/sentral) berasosiasi dengan aliran lava, aliran piroklastika dan kubah lava.
dan fasies 2. Di bagian tengah (medial) berasosiasi dengan tefra kasar, beberapa aliran lava, aliran piroklastika.
3. Jauh dari kawah (distal) berasosiasi dengan batuan sedimen.
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 65
Tabel 5.7 Ciri-ciri Endapan Aliran Piroklastika. (Karakter ini sangat bergantung pada besarnya letusan, perubahan mekanisme
(style) dari letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber.) Daftar pemerian di bawah ini umumnya dapat dipakai sekalipun
ada yang muncul hanya pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer dan Schmincke (1984), Cas dan Wright (1987) dan
pengalaman penulis
Parameter Ciri-Ciri
Pola distribusi 1. Sebaran menuju ke arah tertentu, kecuali hasil letusan besar pembentukan kaldera letusan yang sebaran
dan ketebalan endapan aliran piroklastikanya dapat berbentuk lingkaran berpusat di dalam kaldera itu. Apabila
aliran awan panas melalui tekuk lereng yang berbeda, dari terjal ke lereng yang lebih landai, serta
melewati celah atau lembah sempit, maka sebarannya dapat membentuk kipas endapan awan panas.
2. Sebagai aliran gravitasi, endapan sangat dikontrol oleh bentuk bentang alam, sehingga endapan sangat
tebal, mencapai puluhan meter, di dalam lembah atau aliran sungai, dan menipis di punggungan bukit.
Awan panas aliran yang mampu mencapai di atas/lereng bukit disebut overbank pyroclastic flow.
Struktur 1. Endapan tidak membentuk struktur dalam (no internal structure atau structureless). Hanya pada
Sedimen awan panas bersekala kecil kadang-kadang menampakan struktur perlapisan pilihan secara kasar.
2. Terdapat struktur pipa fumarol (fumarol pipes) sebagai bekas letusan gas pada saat pendinginan,
biasanya berasosiasi dengan endapan belerang.
Tekstur 1. Sortasi buruk atau tidak terpilah sama sekali sehingga terjadi percampuran antara butiran kasar (bom/
blok), menengah (lapili) dan halus (abu). Dalam banyak hal butiran halus sangat melimpah sehingga
membentuk kemas terbuka. Bentuk blok sangat meruncing - meruncing, sedang bom gunung api
dapat membulat tetapi tekstur permukaannya kasar terdiri dari kaca (glassy texture).
2. Di daerah distal atau ujung endapan dapat didominasi oleh endapan berbutir abu masif, atau dalam
beberapa hal hanya tersusun oleh blok gunung api.
3. Endapan over bank pyroclastic flow berbutir lebih halus daripada endapan awan panas di dalam
lembah sungai.
4. Butiran atau klastika dapat bertekstur pumis (pumiceous texture), skoria (scoriaceous texture), atau
masif tetapi bertekstur gelas (misal obsidian).
Asosiasi 1. Di lereng atas suatu gunung api (proximal area) endapan awan panas berasosiasi dengan aliran lava,
batuan dan piroklastika jatuhan dan seruakan.
fasies 2. Di lereng bawah, kaki dan dataran (medial - distal areas) umumnya dijumpai bersama-sama dengan
piroklastika jatuhan, endapan lahar dan endapan hasil pengerjaan kembali lainnya.
Publikasi Khusus
66 Geologi Gunung Api Purba
Tabel 5.8 Ciri-ciri Endapan Seruakan Piroklastika (Karakter ini sangat bergantung pada besarnya letusan, perubahan me-
kanisme (style) dari letusan pada suatu erupsi, dan jarak dari sumber.) Daftar pemerian di bawah ini umumnya dapat dipakai
sekalipun ada yang muncul hanya pada tipe erupsi tertentu. Disarikan dari Fischer dan Schmincke (1984), Cas dan Wright
(1987) dan pengalaman penulis
Parameter Ciri-Ciri
Pola distribusi 1. Menyebar ke segala arah atau mengiringi aliran piroklastika, biasanya lebih luas dan lebih jauh
dan ketebalan dari sebaran aliran piroklastika.
2. Pergerakan secara lateral mengikuti bentang alam yang ada, tidak terlalu dipengaruhi efek gaya
berat.
3. Ketebalan sangat tipis, umumnya hanya beberapa milimeter - sentimeter, kecuali hasil letusan
yang sangat dahsyat.
Struktur Sedimen 1. Di bagian proksi banyak lapisan silang siur, di bagian tengah berkembang struktur melensa,
membaji, dunes, antidunes dan dibagian distal berupa laminasi.
2. Banyak dijumpai lapili tumbuhan
Komposisi Andesit - riolit (menengah - asam), kadang-kadang mengandung arang kayu halus.
Asosiasi batuan Berasosiasi dengan aliran piroklastika dan jatuhan piroklastika, terdapat di lereng, kaki dan dataran
dan fasies di sekitar gunung api.
Gambar 5.14. Mekanisme pembentukan batuan piroklastika. Magma pijar dilontarkan dalam bentuk bahan hamburan atau
piroklastika berbagai ukuran kemudian secara gravitasi jatuh bebas. Bahan berbutir besar dan berat diendapkan di dekat kawah
sedangkan yang halus dapat terbawa angin atau arus air ke tempat yang lebih jauh.
5.16). Padanan katanya antara lain pyroclastic airfall deposits, fallout tephra deposits, atau pyroclastic
ashfall deposits (untuk bahan berbutir abu), dan pyroclastic free fall deposits. Cas dan Wright (1987)
mendefinisikan aliran piroklastika sebagai a hot, variably fluidised, gas-rich particle concentration
mass-flow of pyroclastic debris (aliran bahan piroklas yang panas, banyak mengandung gas dan seba-
gian mengalami pelelehan). Di Indonesia aliran piroklastika ini lebih dikenal dengan sebutan awan panas
(Gambar 5.17 dan 5.18).
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 67
Pyroclasts
in lapilli size
Gambar 5.15 Berbagai macam bom dan blok gunung api sebagai hasil erupsi letusan yang kemudian dijatuhkan di dekat
sumber/kawah gunung api.
Sebagai padanan katanya banyak sekali, misalnya block and ash flow deposits, ashflow deposits, glow-
ing avalanche deposits, pumice flow deposits, nuee ardante, dan ignimbrites. Gambar 5.18 memperlihatkan
berbagai penampakan endapan aliran piroklastika di berbagai gunung api. Berhubung temperatur aliran
piroklastika ini sangat tinggi (500 -700 oC) ada bagian yang mengalami pelelehan kembali yang setelah
membatu penampakannya seperti terlaskan, sangat keras dan batuannya sering disebut welded ignimbrite
atau welded tuff (tuf terlaskan; Gambar 5.19). Seruakan piroklastika adalah piroklas yang mekanisme trans-
portasinya berupa semburan, hembusan, gelombangan atau seruakan secara lateral (Gambar 5.20 da 21).
Cas dan Wright (1987) menyebutnya sebagai a surge transports pyroclast along the surface as expanded
turbulence, low particle concentration gas solid dispersion (suatu seruakan yang mengangkut piroklas
sepanjang permukaan sebagai kelanjutan dari sistem turbulen, mengandung partikel rendah dan merupakan
dispersi gas dengan bahan padat). Apabila ciri-ciri endapan piroklastika jatuhan, aliran, dan seruakan terdapat
bersama-sama di dalam sebuah singkapan; dan ketiganya tidak dapat dipisahkan secara tegas, Branney dkk.
(2002) menamakan sebagai pyroclastic density currents (piroklastika arus pekat).
Batuan kataklastika, yaitu batuan gunung api bertekstur klastika sebagai akibat terkena proses defor-
masi karena tersesarkan atau terlongsorkan (dalam jumlah yang sangat besar disebut mega landslides atau
gigantic landslides). Guguran kubah lava yang tidak membentuk aliran piroklastika dapat juga dikelompok-
kan sebagai batuan kataklastika sekalipun sekalanya lebih kecil. Batuan kataklastika sebagai akibat sesar
sering disebut breksi sesar (untuk fraksi kasar) atau milonit (untuk fraksi halus/lempung). Longsoran besar
Publikasi Khusus
68 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 69
Endapan awan panas Gunung Merapi 2006 Arang kayu di dalam Endapan aliran pumis Gunung Pinatubo,
di lokasi wisata Kaliadem Endapan awan panas Merapi erupsi 1991,Filipina
Publikasi Khusus
70 Geologi Gunung Api Purba
Ignimbrit terlaskan
Lava Krakatau
Gambar 5.19 Ignimbrit terlaskan dari Gunung Batur Bali dan Gunung Krakatau.
Gambar 5.20 Mekanisme pembentukan seruakan piroklastika (Cas dan Wright, 1987).
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 71
Gambar 5.22 Kiri: Gunung Galunggung dengan kawah berbentuk sepatu kuda membuka ke arah timur-tenggara. Tengah:
salah satu bukit sisa longsoran raksasa pada lk. 4200 tahun yang lalu (Bronto, 1989). Kanan: penampakan singkapan endapan
longsoran Gunung Galunggung berupa bongkah (block phases) di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.
1983; Ui dkk., 1986; Glicken, 1986). Bongkah endapan longsoran gunung api adalah fragmen berasal
dari tubuh gunung api yang longsor dengan ukuran sangat bervariasi dari < 1 m - 280 m (Ui dan Glicken,
1986). Penampakan matriks endapan longsoran gunung api adalah berupa percampuran fragmen-fragmen
yang berasal dari berbagai bagian dari tubuh gunung api. Endapan ini tidak terpilah dan tidak bestruk-
tur, berukuran lempung sampai bongkah. Sebuah bukit dapat tersusun oleh satu atau beberapa bongkah
endapan longsoran gunung api. Sebaran bongkah endapan longsoran gunung api terkonsentrasi di bagian
tengah, sedang ke tepi dan distal berubah menjadi matriks endapan longsoran gunung api. Satu bongkah
endapan longsoran gunung api dapat tersusun oleh satu jenis batuan (lava/batuan beku atau piroklastika)
tetapi juga dapat tersusun oleh stratifikasi aliran lava dan endapan piroklastika. Hal kedua itu menunjuk-
kan perlapisan asli (intact strata) dari tubuh gunung api strato pada mulanya. Batuan pejal dan keras di
dalam endapan longsoran mengalami retak-retak atau perekahan dengan intensitas yang berbeda-beda
atau bahkan mengalami pergeseran membentuk sesar geser, sesar naik dan sesar turun dalam sekala kecil.
Struktur ini terjadi pada saat melongsor, tetapi untuk sesar normal dapat pula terbentuk pada saat sedang
berhenti untuk menuju ke posisi yang mapan. Kekar dan sesar pada matriks sering tidak menerus menge-
nai fragmen atau membelok di samping fragmen. Kekar dan rekahan sering masih berpasang-pasangan
membentuk rekahan gergaji (jigsaw cracks or jigsaw fits) atau rekahan mosaik. Bentuk fragmen hampir
selalu meruncing. Orientasi paleomagnet untuk masing-masing fragmen di dalam satu bongkah endapan
Publikasi Khusus
72 Geologi Gunung Api Purba
longsoran gunung api hampir seragam, tetapi deklinasinya berbeda-beda (Mimura, 1985 vide Ui, 1995).
Hal ini menunjukkan material longsoran terpecah-pecah dalam gerakan paralel dengan permukaan tanah
namun mengalami tumbukan satu sama lain pada saat transportasi. Bahan plastis, seperti perlapisan tuf,
biasanya lebih terlipat dan tersesarkan daripada mengalami pengkekaran dan perekahan seperti pada batuan
keras dan pejal. Sedimen klastika dan lapisan tanah permukaan dapat terperangkap di dalam batuan yang
lebih keras pada saat aliran membentuk retas sedimen (sediment dikes). Kedudukan jurus dan kemiringan
perlapisan batuan di dalam bongkah maupun matriks endapan longsoran gunung api tidak menunjukkan
keteraturan dan tidak selalu dapat dikorelasikan.
Bronto dkk., (1998) telah melaporkan adanya batuan longsoran gunung api di Pegunungan Selatan, Ka-
bupaten Gunungkidul, dan beberapa gunung api aktif masa kini di Indonesia (Bronto, 2001), antara lain di
kawasan Gunung Gede, Gunung Guntur, Gunung Galunggung dan Gunung Ciremai di Jawa Barat, Gunung
Sundoro dan Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Raung di Jawa Timur.
Batuan epiklastika, adalah batuan gunung api bertekstur klastika sebagai hasil pengerjaan kembali
endapan/batuan gunung api yang sudah ada sebelumnya. Proses pengerjaan itu dapat mulai dari pelapukan,
erosi, transportasi dan redeposisi, atau mulai dari erosi dan transportasi jika endapannya masih lepas-lepas.
Pada hakekatnya batuan gunung api epiklastika yang terbentuk mulai dari proses pelapukan sudah termasuk
batuan sedimen silisiklastika. Sedangkan pengerjaan kembali yang tidak melalui proses pelapukan terlebih
dahulu biasanya terjadi pada saat atau segera setelah letusan gunung api berlangsung. Endapan piroklastika
di lereng gunung api karena masih lepas-lepas, maka pada saat hujan endapan tersebut langsung tererosi,
terangkut dan mengendap kembali, contohnya endapan lahar. McPhie dkk. (1993) menyebut jenis endapan
ini dengan nama resedimented syn-eruptive volcaniclastics. Sekalipun sudah mengalami pengerjaan ulang
namun endapan ini masih berhubungan erat dengan proses erupsi gunung api yang mendahuluinya dan secara
geologi keduanya terbentuk pada umur yang bersamaan.
Berdasar tekstur, struktur, komposisi dan asosiasinya endapan lahar mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Umumnya berbutir sedang (pasir) hingga kasar (kerakal-bongkah) (Gambar 5.23).
2. Bentuk butir kasar meruncing tanggung - membulat tanggung.
3. Dari daerah proksi (dekat sumber bahan) menuju daerah distal (jauh dari sumber) butiran kasar menghalus
dan bentuknya cenderung menumpul/membulat.
4. Sumbu terpanjang bongkah sejajar dengan arah aliran.
5. Pemilahan buruk, kemas terbuka, bongkah mengambang di dalam matriks.
6. Endapan masif/tidak membentuk struktur sedimen, kecuali kepekatannya sudah menurun sehingga
membentuk hyperconcentrated flow dan aliran sungai normal.
7. Endapan lahar dapat tersusun oleh monolitologi
atau heterolitologi jika tercampur dengan batuan
tua dari dasar/tebing sungai-sungai yang dilalu-
inya.
8. Endapan lahar dapat mengandung kayu atau
arang.
9. Endapan lahar biasanya berselang-seling dengan
endapan aliran piroklastika dan aliran lava di
daerah proksi, sedang di daerah distal berselang-
seling dengan endapan sungai biasa (fluvial
deposits).
10. Endapan lahar berasosiasi dengan gunung api
komposit, gunung api jamak dan kaldera letusan.
11. Dibanding dengan endapan aliran piroklastika,
endapan lahar lebih padu, basah, berlumpur dan
tekstur permukaan bom/blok gunung api di dalam- Gambar 5.23 Breksi lahar di tebing Ci Tanduy, di bawah
nya sudah menghalus, terabrasi atau menumpul. jembatan jalan raya Tasikmalaya - Ciamis, Jawa Barat
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 73
5.5.3 Permasalahan
Sandy tuffs, mempunyai pengertian:
1. tuf pasir, yaitu tuf tersusun oleh abu gunung api berukuran butir pasir (= tuf kasar atau batupasir tuf)
2. Tuf pasiran (?), yaitu:
- tuf (berkomposisi abu gunung api) dengan bahan penyusun tambahan (non gunung api) berukuran
butir pasir
- bahan penyusun tambahan itu hanya disebutkan ukuran butirnya tetapi tidak jelas komposisi dan asal
sumbernya, yang seharusnya adalah bahan non gunung api
- rancu dengan tuf sebagai bahan penyusun utama yang berukuran butir pasir
Publikasi Khusus
74 Geologi Gunung Api Purba
- bila ini dipandang secara genetik sebagai pengendapan abu gunung api yang tercampur dengan bahan
non gunung api atau minimal non piroklastika maka hal itu harus jelas/rinci pemeriannya
Tuffaceous sandstones, mempunyai pengertian:
1. Batupasir tuf
- batuan gunung api bertekstur klastika, berukuran butir pasir, tersusun oleh tuf atau abu gunung api
- sama dengan batupasir gunung api (volcanic sandstones)
2. Batupasir tufan (?)
- batupasir dengan bahan penyusun utama batuan sedimen (non gunung api) berbutir pasir dan bahan
tambahannya adalah tuf (sedikit mengandung tuf).
- komposisi bahan penyusun utamanya (yang non gunung api) tidak jelas
- rancu dengan bahan tambahan berupa tuf kasar
- bila secara genetik adalah pengendapan bahan non gunung api atau minimal non piroklastika yang
tercampur dengan abu gunung api, maka harus ditunjukkan secara rinci masing-masing komponen
tersebut.
Dalam penamaan sandy tuffs atau tuffaceous sandstones para ahli geologi/ sedimentologi kadang-kadang
hanya mempertimbangkan banyak atau sedikitnya bahan gelas gunung api, pada hal secara petrologi
tuf dapat saja secara dominan tersusun oleh gelas gunung api (vitric tuffs), tetapi juga dapat oleh kristal
(crystal tuffs) atau fragmen batuan (lithic tuffs). Penamaan sandy tuffs dan tuffaceous sandstones lebih
tepat diberikan setelah melalui analisis secara mikroskopis/petrografis, atau bahkan SEM (Scanning
Electron Microscope).
Publikasi Khusus
Batuan Gunung Api 75
lagi. Akan tetapi hasil kegiatan gunung api Tersier atau yang lebih tua yang bahannya sudah membatu dan
tubuh gunung apinya sudah tidak terlihat secara nyata, maka untuk menyatakan secara tegas bahwa tuf itu
secara primer adalah hasil langsung letusan gunung api yang mengendap dan membatu secara insitu, masih
diperlukan banyak pertimbangan sebagai pendukungnya. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut dan untuk
kepraktisan kerja terutama di lapangan maka disarankan penamaan tuf, tuf lapili, lapili tuf dan batulapili
didasarkan pada pemerian saja. Namun apabila data pemerian tersebut mendukung bahwa batuan gunung api
itu adalah bahan primer piroklastika maka penamaannya dapat ditingkatkan secara genesis atau kombinasi
antara deskriptif dan genesis.
Dengan demikian tuf lapili adalah batuan klastika gunung api yang bahan penyusun utamanya adalah
abu gunung api ( 2 mm) dan bahan penyusun tambahannya adalah lapili gunung api ( : 2 - 64 mm).
Sebaliknya, lapili tuf adalah apabila komponen berukuran lapili lebih banyak daripada abu gunung api, se-
dangkan batulapili jika bahan penyusun sangat didominasi oleh butiran lapili. Dalam banyak hal di lapangan
batulapili sama dengan breksi gunung api dimana fragmennya berukuran butir halus (2 - 64 mm).
Untuk istilah konglomerat gunung api (volcanic conglomerates) identifikasinya lebih mudah karena nama
itu dapat diberikan kepada batuan klastika gunung api yang fragmennya sudah berbentuk membulat karena
proses abrasi, transportasi atau proses-proses pengerjaan ulang lainnya. Dengan demikian konglomerat
gunung api secara jelas sudah merefleksikan sebagai bahan rombakan atau batuan epiklastika gunung api
atau secara sensu stricto sebagai batuan sedimen bertekstur klastika yang bahannya berasal dari kegiatan
gunung api. Sekalipun demikian diperlukan kehati-hatian untuk membedakannya dengan istilah aglomerat
(agglomerates), yaitu batuan gunung api yang secara dominan tersusun oleh bom gunung api dan secara
proses merupakan bahan lontaran dari lubang kawah sewaktu terjadi letusan gunung api. Sekalipun bentuk
umumnya membulat, bom gunung api mempunyai tekstur permukaan sangat kasar, membentuk struktur
pendinginan seperti rekahan radier dan atau konsentris serta tersusun secara dominan oleh gelas gunung api,
sebagai akibat pendinginan sangat cepat sewaktu dilontarkan dari lubang kepundan ke udara atau ke dalam air.
Publikasi Khusus
76 Geologi Gunung Api Purba
air panas (letusan hidroklastika atau letusan freatik). Sedangkan breksi freatomagmatik terbentuk sebagai
akibat letusan freatomagmatik. Berhubung pembagian breksi ini lebih digunakan dalam eksplorasi mineral
bijih, untuk lebih rincinya pembaca disarankan agar membaca banyak buku, antara lain yang ditulis oleh
Corbett dan Leach (1995).
5.7 Ringkasan
Batuan gunung api adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil kegiatan vulkanisme atau kegunungapian.
Secara umum batuan gunung api dibagi dua, yakni lava koheren (batuan beku) dan batuan klastika gunung
api, secara petrologi mempunyai susunan basal sampai dengan riolit. Lava koheren terdiri atas batuan beku
luar dan batuan semi gunung api. Batuan beku luar dapat berbentuk aliran lava, sumbat lava dan kubah lava,
sedangkan sebagai batuan semi gunung api retas, sill, leher gunung api, dan kubah lava bawah permukaan.
Berdasarkan tekstur, terutama ukuran butir, batuan klastika gunung api terdiri atas breksi gunung api, batupasir
gunung api, batulanau gunung api dan batulempung gunung api. Sedangkan secara genesis batuan klastika
gunung api dapat berupa batuan piroklastika, autoklastika, kataklastika, dan epiklastika. Batuan piroklastika
terdiri atas piroklastika jatuhan, aliran, dan seruakan. Campuran ketiganya dikenal dengan sebutan pirok-
lastika arus pekat (pyroclastic density currents). Berdasarkan bentuk dan ukuran butir batuan piroklastika
terdiri atas breksi piroklastika, aglomerat, batulapili, dan tuf. Termasuk breksi piroklastika adalah breksi
pumis, breksi skoria, ignimbrit dan breksi gunung api yang banyak mengandung bom dan blok gunung api.
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 77
BAB 6
KONSEP DASAR GUNUNG API PURBA
Mulai dari Bab 1 sampai dengan Bab 5 di atas sudah diuraikan proses dan produk vulkanisme masa kini,
yang dapat diamati secara langsung baik mekanisme pembentukannya maupun jenis batuan/endapan yang
dihasilkannya. Pengertian akan proses dan produk vulkanisme Kuarter atau masa kini tersebut sangat penting
dalam melangkah untuk mencoba menganalisis proses-proses vulkanisme pada masa lalu berdasarkan data
pemerian bentang alam, batuan, dan struktur, yang akan dimulai pada Bab 6 ini. Dengan kata lain penguasaan
pemerian batuan gunung api masa kini menjadi kunci pembanding terhadap pemerian batuan gunung api
purba sehingga proses, mekanisme, dan asal-usulnya (sumber) dapat diperkirakan. Hal ini mengacu kepada
salah satu prinsip geologi yang dikemukakan oleh James Hutton (1726-1797), yakni the present is the key
to the past.
Uraian Bab 6 ini dimulai dari pengertian gunung api purba, permasalahan Pandangan Geologi Sedimen
ter, dan Pandangan Geologi Gunung Api.
Publikasi Khusus
78 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 6.1 Pembelajaran gunung api purba dimulai dari gunung api aktif masa kini, sebagai contoh Gunung Semeru, ke-
mudian melangkah ke gunung api tua yang sudah tereosi pada tingkat dewasa (Gunung Muria) dan gunung api purba yang
sudah tererosi pada tingkat lanjut (misalnya Gunung Bongkok). Pembelajaran dilakukan secara terpadu mencakup inderaja
dan geomorfologi, stratigrafi dan fasies litologi, petrologi-geokimia dan struktur geologi, serta lebih lengkap lagi apabila
didukung dengan pendekatan geofisika dan pemboran penelitian. SF: fasies pusat gunung api, PF: fasies dekat, MF: fasies
tengah dan DF: fasies jauh.
api). Seluruh bahan batuan gunung api tersebut dipandang sebagai batuan sedimen yang berasal dari luar
cekungan dan tidak diketahui sumber serta proses vulkanismenya (Gambar 6.2). Setelah terangkut dan
mengendap di dalam cekungan, batuan sedimen tersebut diterobos oleh magma yang membentuk batuan
beku terobosan. Sebagai akibat pengangkatan secara tektonika, yang diikuti oleh pelapukan dan erosi maka
tersingkaplah dua kelompok batuan, yakni batuan sedimen dan batuan beku intrusi.
Kelemahan Pandangan Geologi Sedimenter ini, antara lain terhadap pemahaman asal mula dan mekanisme
pembentukan batuan gunung api, akibat proses geomorfologis, tataan tektonika batuan intrusi, karakteristik
petrologi-geokimia batuan gunung api dan intrusi, serta korelasi umur di antara keduanya. Dengan meman-
dang batuan gunung api sebagai batuan sedimen, maka kelemahan pertama adalah kurangnya pemahaman
terhadap pembentukan batuan gunung api, yang secara langsung atau primer terbentuk oleh erupsi gunung
api, dalam hal ini batuan beku luar dan batuan piroklastika. Batuan beku luar adalah magma yang keluar ke
permukaan bumi, sering disebut lava, yang bentuk geometrinya dapat berupa kubah lava, sumbat lava atau
leher gunung api, atau aliran lava. Bentuk-bentuk pertama berhubungan dengan batuan terobosan di dalam
tubuh gunung api yang disebut batuan semi gunung api atau subvolcanic intrusions, yang hampir selalu
Publikasi Khusus
Konsep Dasar Gunung Api Purba 79
Publikasi Khusus
80 Geologi Gunung Api Purba
lontaran balistik
jatuhan bom & blok gunung api
tefra (aglomerat)
PIROKLASTIKA
SEDIMENTASI
f) a
tu stik
kubah / sumbat lava EKTRUSI
i & kla
LAVA
ks o
re pir
(b an
aliran lava
lir
leher
A
gunung api
retas
lahar &
bahan rombakan INTRUSI
lainnya Sill SEMI-
GUNUNG API
kantong
magma
dapur
magma MAGMATISME
Gambar 6.3 Pandangan Geologi Gunung Api, yang menyatakan adanya proses berkelanjutan mulai dari magmatisme, vulka-
nisme dan sedimentasi. Penjelasan terperinci ada di dalam teks.
Keluarnya magma ke permukaan bumi dapat terjadi secara lelehan (effusive eruptions) atau secara letusan
(explosive eruptions). Erupsi lelehan membentuk kubah lava atau aliran lava, yang kemudian membentuk
batuan beku luar; sedangkan erupsi letusan melontarkan magma dalam bentuk bahan magma hamburan
yang dikenal sebagai piroklastika. Batuan semi gunung api dan batuan beku luar sering disebut sebagai lava
koheren. Pada batuan piroklastika ini sekalipun proses pendinginannya masih mengikuti hukum batuan beku,
tetapi sistem pengendapannya mengikuti hukum sedimentasi, sehingga wajar jika di dalamnya banyak ter-
bentuk struktur sedimen, tetapi tekstur dan terlebih-lebih komposisinya masih mencerminkan sebagai batuan
beku. Endapan piroklastika yang masih lepas-lepas itu bisa mengalami rombakan dan resedimentasi selama
periode atau segera setelah erupsi yang disebut resedimented syneruptive volcaniclastic deposits (McPhie
dkk., 1993). Secara pemerian, keduanya mempunyai kemiripan, tetapi dengan batuan sedimen epiklastika
atau silisiklastika, apalagi yang bersumber dari non gunung api, relatif mudah dibedakan.
Berdasarkan pembagian fasies gunung api komposit atau strato, batuan semi gunung api dan kubah lava
terdapat di dalam fasies pusat gunung api (central/vent facies), aliran lava dan piroklastika fraksi kasar ter-
dapat di fasies dekat sampai tengah (proksimal to medial facies); sedangkan bahan piroklastika fraksi halus
dan epiklastika terdapat di fasies tengah sampai jauh (medial to distal facies; Bronto, 2006).
Gunung api kaldera letusan dicirikan oleh melimpahnya batuan piroklastika berupa breksi pumis dan tuf,
yang berkomposisi menengah sampai asam (dasit - riolit). Sebagian batuan piroklastika itu dapat mengalami
pengelasan, yang dikenal dengan nama welded ignimbrites. Untuk mengidentifikasi fasies pusat dan dekat,
litologi yang sangat khas adalah breksi ko-ignimbrit (Gambar 6.4) penjelasan mengenai breksi ko-ignimbrit
dapat dibaca di Bab 7, sub bab 7.3.
Persoalan yang sering dihadapi oleh para ahli petrologi batuan beku adalah ciri petrografi transisi antara
batuan beku intrusi dengan batuan beku ekstrusi, yakni pada sill, retas, dan leher gunung api hingga sumbat
lava. Tekstur batuan dapat berubah secara berangsur mulai dari kristalin mikro (seluruhnya tersusun oleh kristal
halus) sampai hipokristalin (sebagian kristal sebagian gelas). Apabila data singkapan tidak ideal menerus,
kondisi itu sering menimbulkan perdebatan apakah termasuk batuan beku intrusi atau batuan beku ekstrusi.
Publikasi Khusus
Konsep Dasar Gunung Api Purba 81
Gambar 6.4 (a) Model letusan gunung api kaldera, yang menghasilkan breksi ko-ignimbrit dan (b) perubahan lateral endapan
letusan kaldera gunung api, mulai dari fasies dekat sumber berupa breksi ko-ignimbrit, di fasies tengah dikuasai ignimbrit
kaya akan pumis (breksi pumis), dan di bagian fasies jauh berupa endapan abu gunung api yang setelah membatu menjadi
tuf. Dimodifikasi dari Wright, 1981 (vide Cas dan Wright, 1987).
Sementara itu, ahli sedimentologi juga mendapatkan masalah dalam menghadapi batuan klastika gunung
api terutama fraksi halus, yang secara struktur sedimen memperlihatkan sebagai batuan rombakan (epiklastika)
tetapi secara tekstural dan komposisional kristal masih menunjukkan bentuk menyudut - sangat menyudut,
yang terdiri atas campuran mineral resisten dan non resisten, serta gelas gunung api (serat gelas/volcanic
glass shards). Batuan tersebut mungkin bahan piroklastika hasil letusan langsung gunung api yang masuk
ke tubuh air (laut) atau endapan piroklastika yang mengalami pengerjaan ulang segera setelah meletus tanpa
Publikasi Khusus
82 Geologi Gunung Api Purba
melalui proses pelapukan dan pembatuan terlebih dahulu. Pada literatur lama kadang disebut sebagai second-
ary pyroclastic deposits/rocks, tetapi McPhie dkk. (1993) menyebutnya sebagai resedimented syn-eruptive
volcaniclastic deposits. Batuan klastika gunung api ini belum benar-benar dapat disebut sebagai batuan
epiklastika dan masih berhubungan erat dengan kegiatan vulkanisme pada saat itu.
Ke depan, batuan gunung api secara umum, serta batuan piroklastika dan resedimented syneruptive vol-
caniclastic deposits menjadi tantangan apakah akan dimasukkan ke jenis batuan beku atau batuan sedimen
ataukah membentuk kelompok sendiri sebagai batuan gunung api, mengingat sebarannya yang sangat luas
baik secara lateral maupun vertikal dalam umur geologi.
Selanjutnya, berdasarkan prinsip The present is the key to the past, yang dikemukakan oleh James Hut-
ton pada abad ke 18, dapat dipelajari secara bertahap bagaimana kelakuan gunung api masa kini, bentuk
bentang alam, pola aliran, batuan penyusun, dan struktur geologi yang dihasilkan. Data tersebut kemudian
dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan genesis fakta geologi batuan gunung api yang lebih tua. Alur
pemikiran ini sebenarnya sudah dimulai oleh van Bemmelen (1949), yang mengamati kelakuan gunung api
aktif masa kini, seperti halnya Merapi, Kelut, dan Semeru, kemudian beranjak ke gunung api yang lebih tua,
yakni Muria. Fakta-fakta tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa di Pegunungan Kulon
Progo terdapat tiga gunung api Tersier, yaitu Gajah, Ijo, dan Menoreh. Sayangnya pemikiran ini tidak diikuti
oleh para ahli geologi generasi kemudian. Bahkan mereka lebih berpihak ke pandangan geologi sedimenter
yang berasal dari daerah geologi non-gunung api.
6.4 Ringkasan
Gunung api purba adalah gunung api yang pernah aktif pada masa lampau, tetapi sekarang ini sudah mati
dan bahkan sudah terkikis sangat lanjut sehingga penampakan fisis tubuhnya sudah tidak sejelas gunung
api aktif masa kini. Gunung api purba ini pada umumnya berumur Tersier atau lebih tua. Adanya gunung
api purba kurang mendapat perhatian karena pembelajaran geologi selama ini didasarkan pada pandangan
geologi sedimenter. Dengan mengacu pada prinsip the present is the key to the past dan setiap magma yang
keluar ke permukaan bumi adalah gunung api, maka dihasilkan olah fikir berupa pandangan geologi gunung
api. Berdasarkan pandangan geologi gunung api ini maka gunung api purba dapat diidentifikasi.
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 83
BAB 7
PENGENALAN GUNUNG API PURBA
Gunung api purba dapat dikenali dari berbagai macam pendekatan, yaitu pendekatan analisis penginderaan
jauh (inderaja) dan geomorfologi, pendekatan analisis peta geologi, penelitian stratigrafi dan litofasies gunung
api, sedimentologi, struktur geologi, petrologi dan geokimia, analisis data pemboran, dan pendekatan studi
geofisika. Masing-masing pendekatan tersebut diuraikan di bawah ini.
Gambar. 7.1 Fitur gunung api purba (Fgp), yang memperlihatkan relief sangat kasar di sebelah selatan deretan gunung api
Kuarter, di daerah Jawa bagian timur.
Publikasi Khusus
84 Geologi Gunung Api Purba
109 21 109 30
7 42
U
Topografi kars
batugamping
Skala
3 0 3 km
Gambar.7.2 Gunung api purba Karangbolong, di daerah Kebumen, Jawa Tengah, memperlihatkan relief kasar dan bentuk
sebaran lateral relatif melingkar.
Gambar 7.3 Fisiografi kerucut gunung api aktif masa kini (Gunung Sindoro, Gunung Pakuwojo, Danau maar Menjer, dan
Kompleks Dieng) serta perkembangannya ke gunung api tua (Gunung Prahu, Gunung Tlerep) hingga gunung api purba Beser
di daerah Jawa Tengah.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 85
a b
Gambar 7.5 Pola aliran sungai di kawasan gunung api purba, yang berkembang dari pola memancar menjadi pola mendaun
(a) atau semi melingkar (b).
Publikasi Khusus
86 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.6 Gunung Muria dilihat dari Waduk Gembong di bagian lereng memperlihatkan perlapisan yang melandai menjauhi
puncak yang tersusun oleh kubah lava.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 87
Gambar 7.8 Depresi atau cekungan Citorek, Ciparigi dan Cianten Herang di sekitar Gunung Halimun, Banten bagian selatan,
yang diduga sebagai bekas kaldera purba.
107 09 107 24
6 25
Sanggabuana
+ 0.15 Ma)
(5.35 - b
Jatiluhur
+ 0.10 Ma)
(2.0 -
6 42
Skala
3 0 3 km
Gambar 7.9 Citra satelit gunung api purba Sanggabuana (a) dan Waduk (Kaldera purba) Jatiluhur (c), di daerah Purwakarta,
Jawa Barat. Data umur dari Soeria-Atmadja dkk., 1994.
Publikasi Khusus
88 Geologi Gunung Api Purba
Di Kalimantan Gunung api purba Lapung (Gambar 7.10) diketahui membentuk satuan Batuan gunung
api Lapung yang diterobos oleh Batuan intrusi Sintang (Pieters dkk., 1993a), sedangkan Gunung api purba
Jelai merupakan Batuan gunung api Jelai (Gambar 7.11) yang diterobos oleh batuan intrusi andesit - basal
(Heryanto dkk., 1995).
Gambar 7.12 memperlihatkan Anggota Cikondang yang tersusun oleh batuan beku andesit piroksen dan
diterobos oleh andesit piroksen (Koesmono dkk., 1996). Kedua satuan batuan itu dilingkupi oleh Formasi
Beser yang tersusun oleh breksi gunung api. Selanjutnya Formasi Beser dilingkupi oleh Formasi Koleberes,
yang didominasi oleh batupasir gunung api. Seluruh satuan batuan tersebut mempunyai umur geologi kurang
lebih sama. Keberadaan Anggota Cikondang dan intrusi andesit piroksen diduga terdapat di bekas pusat
erupsi Gunung Api purba Cikondang. Interpretasi ini lebih diperkuat dengan adanya alterasi dan minerali
sasi emas di dalam Anggota Cikondang (Bronto, 2003). Sementara itu Formasi Beser, yang didominasi
oleh breksi gunung api terletak di lereng dan Formasi Koleberes berada pada kaki dan dataran di sekeliling
kerucut Gunung Api purba Cikondang.
Di Sukamantri, Ciamis Utara (Gambar 7.13) terdapat endapan aluvium dan aliran sungai di sekitarnya
berpola semi memancar atau paralel menjauhi lokasi endapan tersebut. Dari pola garis kontur diketahui
bahwa tempat terdapatnya endapan aluvium itu berada di daerah tinggian dan dikelilingi oleh tinggian
yang mempunyai relief lebih kasar. Berdasarkan data ini diperkirakan bahwa cekungan tempat terdapatnya
endapan aluvium itu, yang mempunyai lebar tidak kurang dari 2 km, merupakan bekas kaldera gunung api
purba yang sudah tertimbun oleh batuan gunung api lebih muda.
Gambar 7.10 Gunung Api purba Lapung, terdiri atas Batuan gunung api Lapung (Tml) dan Batuan terobosan Sintang (Toms).
Disederhanakan dari Peta Geologi Lembar Putussibau, Kalimantan (Pieters dkk., 1993a). Bekas titik pusat kegiatan adalah
yang ditempati oleh Batuan terobosan Sintang.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 89
Gambar 7.11 Gunung Api purba Jelai, tersusun oleh Batuan gunung api Jelai (Tomj) dan batuan terobosan andesit-basal (Tmb
& Tma). Disederhanakan dari Peta Geologi Lembar Malinau, Kalimantan (Heryanto dkk., 1995). Bekas titik pusat kegiatan
adalah yang ditempati oleh batuan terobosan andesit basal.
Publikasi Khusus
90 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.12 Gunung api purba Cikondang dianalisis dari peta geologi lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono
dkk, 1996). Pusat erupsi diduga di daerah sebaran Anggota Cikondang beserta intrusi andesit piroksen (atas); gunung api purba
Cikondang dianalisis dari peta geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk, 1996) (bawah).
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 91
Gambar 7.13 Kaldera purba Sukamantri, ditandai oleh adanya endapan aluvium (Qa) di daerah tinggian dan pola aliran sungai
yang menjauh, di antara Gunung Sawal dan Gunung Cijulang, dicuplik dari Peta Geologi Lembar Tasikmalaya (Budhitrisna, 1986).
Tabel 7.1 Pembagian Fasies Gunung Api dalam Hubungannya dengan Bentang Alam Kerucut Gunung Api dan Asosiasi
Batuan Penyusunnya
Publikasi Khusus
92 Geologi Gunung Api Purba
semi gunung api atau batuan intrusi dangkal, yang berupa leher gunung api, retas, sill, dan kubah lava
bawah permukaan.
Pada kerucut gunung api komposit yang sudah tererosi lanjut mungkin saja batuan beku intrusi dalam dan
batuan dasar pra-gunung api, baik berupa batuan metamorf maupun batuan metasedimen dapat tersingkap,
paling tidak menjadi xenolit atau fragmen batuan dasar yang masuk ke dalam cairan magma dan dibawa
naik ke atas. Erupsi gunung api komposit terjadi berkali-kali dan berlangsung sangat lama, berarti setiap
terjadi erupsi terjadi kenaikan magma ke permukaan, maka dimungkinkan batuan intrusi tua dipotong oleh
yang lebih muda dan melibatkan berbagai ragam komposisi batuan intrusi sehingga terjadi hubungan potong
memotong (cross-cutting relationships). Karena fasies pusat ini merupakan bekas tempat keluarnya magma
secara berkali-kali pada saat gunung api sedang erupsi atau meletus, maka interaksi magma dengan batuan
yang lebih tua serta air meteorik dapat menimbulkan ubahan hidrotermal dan mineralisasi.
Fasies dekat kerucut gunung api komposit dicirikan oleh perselingan antara aliran lava dengan batuan
piroklastika terutama fraksi kasar, yaitu aglomerat dan breksi piroklastika. Batuan piroklastika fraksi sedang
dan halus, seperti halnya batulapili dan tuf mungkin juga dijumpai tetapi lebih sedikit karena lebih ringan
dan sebagian besar terbawa angin sehingga lebih banyak diendapkan di fasies tengah sampai fasies jauh.
Mengacu kepada kegiatan gunung api masa kini di Indonesia, pada umumnya aliran lava penyusun kerucut
gunung api komposit bersusunan basal, serta andesit basal sampai andesit, yang mempunyai jarak alir antara
1 - 5 km dan maksimum 10 km dari kawah gunung api sebagai pusat erupsi (Gambar 3.11, 4.3, dan 5.7).
Aglomerat adalah batuan jatuhan piroklastika yang banyak mengandung bom gunung api dengan mekanisme
letusan dilontarkan secara tolak peluru atau balistik (ballistic projectiles). Pada umumnya bom gunung api
berdiameter lebih dari 30 cm hanya mampu dilontarkan kurang dari 5 km dari kawah gunung api. Semakin
dekat dengan kawah, diameter bom semakin besar, sehingga ukuran bom gunung api terbesar berada di
daerah pematang atau bibir kawah gunung api (Gambar 5.13). Untuk breksi piroklastika jenis aliran dapat
mengalir lebih jauh tetapi biasanya hanya mencapai daerah fasies tengah.
Pada fasies tengah litologi penyusun utama adalah breksi piroklastika, batulapili, dan tuf. Aliran lava
semakin jarang karena sudah agak jauh dari sumber erupsi. Aglomerat berbutir halus mungkin masih di-
jumpai. Sebaliknya bahan piroklastika tersebut sudah mulai mengalami erosi menjadi endapan lahar atau
bahan rombakan lainnya. Bahan rombakan ini semakin banyak pada fasies jauh, yang dikenal sebagai
resedimented syn-erupted volcaniclastics (McPhie dkk., 1993), termasuk endapan sungai, endapan alur/
parit bawah laut (submarin channels), dan lain-lain. Pada gunung api purba berumur Tersier atau yang lebih
tua, fasies tengah dan fasies jauh tidak selalu mudah diidentifikasi karena telah terjadi percampuran dengan
batuan non gunung api. Selain itu, karena merupakan daerah rendahan batuan gunung api sudah tertutup
oleh batuan sedimen yang lebih muda. Sebagai petunjuk umum dari fasies tengah ke fasies jauh, ukuran
butir bahan klastika gunung api semakin mengecil, misalnya membentuk batupasir hingga batulanau atau
bahkan batulempung gunung api.
Pembagian litofasies batuan gunung api hasil erupsi kerucut komposit itu tidak selalu berlaku terhadap
endapan longsoran besar gunung api. Batuan kataklastika itu terbentuk karena longsornya tubuh kerucut
gunung api (model Gunung St. Helens; Voight dkk., 1981), yang pelamparannya dapat dimulai dari fasies
tengah sampai dengan fasies jauh; sebagai contoh endapan longsoran gunung api dari Gunung Gede di
Cianjur, Gunung Galunggung di Tasikmalaya, dan Gunung Raung di Jember.
Untuk model gunung api kaldera letusan, pada fasies dekat dijumpai breksi ko-ignimbrit yang ke arah
fasies tengah dan jauh berangsur menjadi breksi pumis dan tuf asam (Gambar 6.4). Breksi ko-ignimbrit
adalah breksi aneka bahan atau breksi polimiktos, yang fragmennya tertanam di dalam massadasar tuf
sampai dengan batulapili pumis. Pada saat terjadi letusan gunung api sangat besar, bahan yang dierupsikan
tidak hanya magma tetapi juga membongkar batuan yang lebih tua di atasnya. Batuan primer yang mewakili
cairan magma pada waktu itu berupa pumis ringan (light pumice), pumis berat (dense pumice), serta bom
dan blok gunung api. Keempat bahan magma itu mempunyai komposisi relatif sama sebagai fragmen batuan
beku menengah-asam dan sering disebut juvenile material. Batuan tua dapat berupa batuan dasar (batuan
metamorf, batuan beku intrusi dalam, batuan sedimen meta, accidental rock fragments, dan batuan gunung
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 93
api yang sudah ada sebelumnya (accessory rock fragments), yang sebagian sudah terubah, teroksidasi atau
bahkan lapuk. Fragmen batuan tua dan blok gunung api hampir selalu berbentuk sangat menyudut - menyudut
tajam karena terfragmentasi akibat ledakan, diendapkan secara in situ atau belum mengalami pengerjaan
ulang melalui proses sedimentasi epiklastika. Pada letusan sangat merusak, kelimpahan fragmen batuan tua
bisa sangat tinggi, terutama yang diendapkan di dekat (pematang) kawah atau kaldera gunung api. Hal itu
karena batuan tua pada umumnya mempunyai berat jenis lebih besar daripada material gunung api berkom-
posisi asam, apalagi berupa fragmen pumis dan abu gunung api. Pada saat letusan dan terbentuk awan panas
atau aliran piroklastika besar (block and ash flows, pumice flows atau ignimbrites), fragmen batuan tua yang
berukuran bongkah (diameter > 64 mm) tertinggal di dekat kawah sedangkan sebagian pumis, lapili, dan abu
gunung api, mengalir menjauhi sumber erupsi. Wright dan Walker (1977), Wright (1981), serta Walker (1985)
menyebut endapan ekor aliran piroklastika kaya fragmen batuan tua ini dengan nama a co-ignimbrite lag-fall
deposit, sedangkan Cas dan Wright (1987) memberikan nama co-ignimbrite breccias (breksi ko-ignimbrit).
Batuan piroklastika yang banyak mengandung fragmen batuan tua ini secara pemerian umum dapat pula
disebut breksi polimik atau breksi aneka bahan, karena tersusun atas berbagai macam batuan, baik yang
berasal dari magma primer saat erupsi (pumis, bom dan blok gunung api), maupun fragmen batuan tua
(non gunung api dan gunung api); bentuk fragmen sangat menyudut - menyudut tajam, ukuran butir sangat
beragam mulai dari pasir, lapili/kerikil sampai blok/bongkah/bolder; pada umumnya tidak terpilah, masif,
dan tidak ada struktur sedimen. Ketebalan maksimum berada di pematang kaldera, tetapi menipis menjauhi
pusat erupsi. Dalam beberapa hal, karena efek pembebanan dan aliran, struktur pemipihan (flattening) dan
imbrikasi fragmen batuan dapat dijumpai. Secara bentang alam, breksi piroklastika polimik ini berasosiasi
dengan penampakan atau fitur cekungan bekas kawah/kaldera gunung api. Perbedaan utama dengan breksi
sedimen aneka bahan adalah pada tekstur fragmen (sangat menyudut - menyudut tajam), dan litologi penyusun
(pumis bercampur fragmen andesit dan batuan tua melimpah), serta berasosiasi dengan fitur/penampakan
bentang alam cekungan (bekas) kawah/kaldera gunung api.
Dengan demikian untuk mengidentifikasi bekas gunung api kaldera letusan, maka ciri yang sangat khas
terdapat di dalam atau pada pematang kaldera adalah terdapatnya breksi ko-ignimbrit. Ke arah fasies tengah
dan jauh, breksi ini berubah menjadi breksi pumis dan tuf berkomposisi asam (dasit-riolit), kaya akan batu-
apung, tersebar sangat luas dan tebal. Berhubung endapannya tebal dan mineral penyusunnya sangat resisten
(kaya akan kuarsa/silika, plagioklas asam, dan alkali felspar selain gelas dasit-riolit), batuan piroklastika
hasil letusan gunung api kaldera ini meninggalkan jejak berupa gawir, seperti halnya di Pegunungan Selatan
Yogyakarta - Jawa Tengah (Bronto, 2009c).
Publikasi Khusus
94 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.15 Struktur imbrikasi dan punggung katak yang menunjukkan arah aliran bongkah batuan dan sedimen.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 95
Publikasi Khusus
96 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.18 Jurus perlapisan batuan berpola konsentris/semi konsentris mengelilingi sumber erupsi dan kemiringannya
melandai menjauhi sumber erupsi. Struktur rekahan pada umumnya berpola memancar.
Pada saat magma naik ke atas terjadi inflasi, yaitu perubahan terungkitnya lereng gunung api sehingga
menjadi lebih curam, terutama di bagian atas. Kondisi ini menyebabkan proyeksi jarak datar antara titik yang
diamati dengan lokasi pengamatan menjadi lebih pendek. Dengan kata lain, lereng gunung api terungkit atau
meregang keluar. Sebaliknya, apabila gaya vertikal magma menurun, sebagai akibat magma sudah keluar ke
permukaan bumi atau membeku di dalam korok atau bahkan menurun kembali ke dapur magma, maka akan
terjadi deflasi, yakni terungkitnya lereng gunung api sehingga menjadi lebih panjang atau kembali sepeerti
sebelum terjadi inflasi. Hal ini menyebabkan proyeksi jarak datar antara titik yang diamati dengan lokasi
pengamatan menjadi lebih panjang atau kembali seperti sebelum terjadi inflasi. Jadi inflasi terjadi pada saat
magma sedang naik ke permukaan, sedang deflasi berlangsung setelah terjadi erupsi.
Pada waktu inflasi, diameter kawah gunung api dipaksa melebar sehingga bibir atau pematang kawah
robek dan membentuk kekar/rekahan berpola memancar menjauhi pusat erupsi. Karena perbedaan rapat
massa perlapisan batuan penyusun, efek gravitasi, dan gaya vertikal magma setiap naik ke permukaan,
apalagi terjadi berulang kali, maka akan terjadi ketidak seimbangan posisi batuan, sehingga secara gravitasi
dapat terbentuk sesar normal melalui bidang rekahan yang berpola memancar tersebut. Proses perulangan
naiknya magma ke permukaan ini memungkinkan sesar normal berkembang semakin panjang dan dalam,
mulai dari daerah puncak ke arah lereng bawah dan kaki gunung api, sehingga mampu memotong tubuh
batuan intrusi yang sudah ada. Hal tersebut dapat terlihat pada sesar normal berpola memancar di daerah
Gunung Ijo dan Gunung Kukusan, Pegunungan Kulon Progo (Gambar 7.20). Berhubung proses geologi
yang berlangsung sangat lama, baik berupa gerakan pengangkatan menjadi pegunungan daratan maupun
penurunan menjadi cekungan sedimentasi laut secara berulang-ulang, maka batuan yang lebih muda dan
semula tidak tersesarkan, bisa saja kemudian ikut tersesarkan sebagai akibat reaktivasi sesar-sesar tua di
bawahnya dalam mencapai kesetimbangan posisinya. Hal ini untuk menjelaskan mengapa batuan di dalam
Formasi Sentolo, yang berumur lebih muda, ikut tersesarkan pada pola memancar, mengikuti sesar-sesar
pada Formasi Andesit Tua (van Bemmelen, 1949) dan batuan intrusi andesit-dasit.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 97
Gambar 7.19a Mekanisme pembentukan struktur sesar dan lipatan oleh gunung api berdasar deformasi ungkitan. Gerakan
magma ke permukaan dipandang sebagai gaya vertikal yang menyebabkan terjadinya inflasi (terungkit ke atas) dan deflasi
(terungkit ke bawah); b. Pada waktu inflasi, diameter kawah melebar sehingga pematang kawah robek/membuka mem-
bentuk rekahan/kekar radier. Karena perbedaan rapat masa perlapisan batuan, efek gravitasi, alterasi hidrotermal, dan gaya
vertikal setiap magma naik ke permukaan, maka untuk kesetimbangan dapat terjadi sesar normal melalui bidang rekahan
tersebut; c. Karena bentuk kerucut gunung api dan resultan gaya vertikal & horizontal, sesar normal di daerah puncak/kawah
gunung api, gerakannya agak melengser ke samping sehingga dapat berubah menjadi sesar oblique atau bahkan sesar geser
di lereng dan sesar naik di kaki gunung api; d. Hubungan pusat erupsi gunung api dengan jenis dan pola struktur geologi yang
terbentuk sebagai akibat kegiatan vulkanisme.
Berhubung tubuh gunung api pada umumnya berbentuk kerucut dan adanya resultante gaya vertikal
dan gaya horisontal, maka sesar normal di daerah puncak dan lereng atas gunung api, ke arah lereng bawah
gerakannya agak melengser ke samping. Hal ini dapat menyebabkan sesar turun tersebut berubah menjadi
sesar miring (oblique) pada lereng bawah, atau bahkan menjadi sesar geser pada lereng bawah dan kaki
gunung api. Pada daerah kaki dan dataran di sekeliling gunung api, tegasan utama sudah berubah total ke
arah horiosontal sehingga selain sesar geser juga terbentuk sesar naik, sesar turun lagi, dan struktur lipatan.
Sesar turun terbentuk karena sesar geser yang berhenti dan kemudian untuk mencapai kesetimbangan massa
batuan maka terjadi efek gravitasi. Sebagai akibat dinamika vulkanisme Gunung Api Slamet, maka batuan
sedimen yang lebih tua di sekelilingnya juga ikut tersesarkan (Gambar 7.21). Dalam hal ini meskipun batuan
sedimen itu terbentuk pada Jaman Tersier, pembentukan sesarnya pada umur Kuarter-masa ini, yakni selama
kegiatan Gunung Api Slamet berlangsung. Sebagai salah satu implikasi dari proses geologi tersebut adalah
bahwa daerah di sebelah utara dan timur Gunung Api Slamet merupakan wilayah yang rawan gempa bumi
dan gerakan tanah.
Dengan demikian selain untuk menentukan sumber erupsi gunung api, analisis struktur geologi ini juga
untuk menjelaskan apakah struktur tersebut sebagai akibat proses vulkanisme atau kegiatan tektonika, atau
kombinasi keduanya.
Publikasi Khusus
98 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.20 Struktur sesar normal berpola memancar di Komplek Gunung Ijo, Pegunungan Kulon Progo, Yogyakarta. Peta
disitir dari Rahardjo dkk., 1977. U: naik; D: turun.
Gambar 7.21 Pola sesar geser semi memancar dan sesar naik serta lipatan semi konsentris di sebelah utara hingga timur pun-
cak Gunung Api Slamet, Jawa Tengah. Pola struktur sesar dan lipatan tersebut diyakini sebagai akibat kegiatan vulkanisme
Gunung Api Slamet. Peta geologi disitir dari Djuri dkk., 1996.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 99
Gambar 7.22 Pengeplotan data kimia batuan antara % berat K2O dengan SiO2 dari batuan intrusi granodiorit Cihara (segitiga
hitam) dan batuan gunung api Cikotok (diamon), yang memperlihatkan pola linier (garis lurus putus-putus) dan diinterpretasikan
keduanya co-magmatic serta berasal dari sumber yang sama (Hartono dkk., 2008). Perubahan komposisi dari basal (< 53 %
SiO2) menuju andesit basal (53 - 57 % SiO2), dan yang lebih asam (felsik) disebabkan oleh proses diferensiasi secara normal.
Publikasi Khusus
100 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 7.23 Kolom litologi Formasi Jatibarang, yang tersusun oleh perselingan lava basal dengan tuf dan sisipan dasit
(Martodjojo, 2003). Daerah ini diduga sebagai Fasies dekat gunung api purba setempat pada umur Kapur - Eosen dalam
lingkungan bawah laut.
gunung api, dan intrusi dangkal, mulai dari lava koheren dan batuan klastika gunung api, diharapkan pendekatan
ini dapat membantu memperkuat adanya gunung api purba, terutama yang sudah terkubur di bawah permukaan.
Berdasarkan sifat-sifat fisis batuan mulai dari Fasies Pusat sampai dengan Fasies Jauh, sekalipun sudah terkubur,
diharapkan pendekatan analisis geofisika dapat membantu mengetahui geologi gunung api bawah permukaan.
Metode geofisika dapat dilakukan secara kegempaan, gaya berat, kemagnitan, dan kelistrikan.
Publikasi Khusus
Pengenalan Gunung Api Purba 101
7.9 Ringkasan
Untuk mengenali adanya gunung api purba, maka diperlukan penelitian geologi secara terpadu mulai
dari pendekatan analisis inderaja dan geomorfologi, analisis peta geologi, penelitian stratigrafi dan litofasies
gunung api, sedimentologi batuan gunung api, struktur geologi, dan petrologi-geokimia. Studi tersebut akan
lebih baik lagi jika didukung dengan penelitian geofisika dan pemboran inti.
Publikasi Khusus
102 Geologi Gunung Api Purba
Publikasi Khusus
Geologi Gunung Api Purba 103
BAB 8
STUDI KASUS GUNUNG API PURBA
Gambar 8.1 Sebaran sumber erupsi gunung api purba di Pegunungan Selatan Yogyakarta - Jawa Tengah, dimulai dari Pe-
gunungan Kulon Progo di bagian barat sampai dengan Kabupaten Wonogiri di bagian timur (Bronto dkk., 2008; 2009a, b;
Bronto, 2009a, c; Hartono dan Bronto, 2009; Bronto, 2010a,b).
Publikasi Khusus
104 Geologi Gunung Api Purba
Di Pegunungan Selatan, mulai dari daerah Parangtritis, Kabupaten Bantul Yogyakarta di bagian barat sampai
dengan wilayah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur di bagian timur, keberadaan gunung api purba dapat dikelompok-
kan ke dalam empat bagian, yakni 1. Kelompok gunung api purba Parangtritis - Imogiri, 2. Kelompok gunung
api purba Bayat - Baturagung, 3. Kelompok gunung api purba Wonogiri - Wediombo, dan 4. Kelompok gunung
api purba Karangtengah-Pacitan (Gambar 8.1 dan Tabel 8.1). Berdasarkan pada komposisi batuan gunung api
di daerah Pegunungan Selatan ini, terdapat tiga tahapan pertumbuhan gunung api purba. Pertumbuhan tahap
pertama berupa pembentukan gunung api monogenesis, tahap kedua pembangunan kerucut gunung api kom-
posit, dan pada tahap ketiga adalah penghancuran kerucut gunung api komposit sehingga membentuk gunung
api kaldera letusan. Di bawah ini diuraikan masing-masing kelompok gunung api purba tersebut.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 105
Tabel 8.1 Daftar Fosil Gunung Api di Pegunungan Selatan, mulai dari dari sebelah barat di Wilayah Kabupaten Bantul, Gu-
nungkidul dan Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta; bagian tengah di Wilayah Kabupaten Klaten, Sukoharjo dan
Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah dan bagian timur termasuk Wilayah Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur
Nama
Gunung Api Lokasi Indikasi Bentang Alam dan Litologi
Purba (G.)
A. Kelompok Parangtritis - Imogiri
1. G. Parang- Di utara pantai Parangtritis, Kecamatan Tinggian tersusun oleh perlapisan aliran lava dan breksi
tritis Kretek, Kabupaten Bantul, 7o 59 30 - piroklastika yang diterobos retas, kesemuanya berkomposisi
8 o 1 30 LS - 110o 19 - 20 45 BT. andesit
2. G. Siluk Di selatan kota Kecamatan Imogiri, Dataran dilingkupi gawir setengah lingkaran, yang tersusun
timur jalan Raya Siluk - Panggang, oleh aliran lava dan breksi andesit
3. G. Sudimoro G. Sudimoro, Kecamatan Imogiri dan Cekungan, tersusun oleh batuan ubahan, pada dinding dan
Dlingo, Kabupaten Bantul, 7o 55- 59 puncak G. Sudimoro terdiri dari perlapisan aliran lava dan
LS - 110o 19 - 20 45 BT. breksi piroklastika berkomposisi andesit
4. G. Plencing Di baratlaut kota Kecamatan Imogiri, Perbukitan yang tersusun oleh intrusi andesit Plencing, breksi
- Sindet Desa Wukirsari - Trimulyo ko-ignimbrit dan breksi pumis Sindet
5. G. Deng- Dusun Dengkeng, Desa Wukirsari, Bukit terpisah, di tepi barat dusun + 144 m, di timur + 122
keng Kecamatan Imogiri, m, tersusun oleh retas, lava dan breksi piroklastika kaya bom
gunung api, komposisi basal
6. G. Wonolelo Dusun Guyangan, Desa Wonolelo, Ke- Bukit + 123 m tersusun oleh perlapisan lava dan breksi an-
camatan Pleret, 7o 52 58,0 LS - 110 o desit, sisipan konglomerat dan tuf
25 58,4 BT.
7. G. Gelap Desa Bawuran, Kecamatan Pleret Bukit + 131 m, tersusun oleh lava dan breksi piroklastika
basal - andesit basal
8. G. Banyakan Dusun Banyakan, Desa Srimulyo, Bukit + 96, tersusun oleh lava dan breksi piroklastika basal
Kecamatan Piyungan - andesit basal
9. G. Pilang Dusun Pilang, Desa Srimulyo, Piyun- Bukit + 136 m, tersusun oleh breksi piroklastika, batulapili
gan. (7o5031,3LS - 110o 2649,5BT) skoria, tuf dan klastika lava basal - andesit basal
10. G. Watu- Kali Opak, Dusun Sumberkidul, Desa Aliran lava basal piroksen berstruktur bantal, struktur aliran
adeg Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupa- berarah U70oT di bagian utara sampai dengan U150oT di bagi-
ten Sleman , 7o 4829,6 LS - 110 o 27 an selatan K. Opak; 200 m di sebelah baratnya terdapat bukit
34,0 BT kecil juga tersusun oleh basal piroksen, umur 56,3 3,8 Ma
11. G. Candi Dusun Candisari, Desa Wukirharjo, Perlapisan aliran lava dan breksi piroklastika berkomposisi
sari Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sle- andesit, juga dijumpai mega blok andesit, silisifikasi, argili-
man, 7o 495,1 LS - 110 o 31 5,8 BT tisasi (?) dan piritisasi
B. Kelompok Baturagung - Bayat
6. G. Tegalrejo Air terjun Kali Cermo, Desa Tegalrejo, Perlapisan aliran lava, tuf abu-abu hitam halus, retas dan sill
Kecamatan Gedangsari, Kabupaten berkomposisi basal piroksen
Gunungkidul, 7o 48 45 LS - 110 o38
30 BT.
7. G. Sepikul G. Sepikul, Desa Talun, Kecamatan Dua bukit tersusun oleh batupasir gunung api yang ditump-
Bayat, Kabupaten Klaten, 7o 47 40 angi aliran lava berstruktur bantal, mengandung barit
LS - 110 o39 BT.
8. G. Jiwo G. Pendul, Perbukitan Jiwo Timur, Intrusi dan aliran lava mikro gabro - basal piroksen. Aliran
Timur (G. Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, lava basal berstruktur bantal juga dijumpai di Dusun Kalin-
Pendul) 7o 45 30 - 46LS - 110o 40 - 40 15 ampu dan Desa Nampurejo
BT.
9. G. Jiwo Barat Perbukitan Jiwo Barat - Rowo Jombor, Intrusi diorit di Desa Gedangan, mikro gabro di G. Kebo
G. Kebo & Desa Gedangan, Kecamatan dan sekitarnya, cekungan bawah permukaan di sebelah barat
Bayat, 7o 45 - 46 LS - 110o 37 - 38 Rowo Jombor.
15 BT.
Publikasi Khusus
106 Geologi Gunung Api Purba
Nama Gunung
Lokasi Indikasi Bentang Alam dan Litologi
Api Purba (G.)
C. Kelompok Wonogiri - Wediombo
10. G. Solo Baru Kota Solo baru, Kabupaten Sukoharjo Penampakan melingkar dari citra satelit dan terdapat mata
(?) air panas di Desa Nglangenharjo, Kecamatan Grogol, Ka-
bupaten Sukohardjo
11. G. Tawang- Desa Tawangsari, Kecamatan Tawang- Tinggian gumuk/bukit kecil, tersusun oleh aliran lava basal
sari sari, Kabupaten Sukoharjo berstruktur bantal. 7o4434,9 LS dan 110o4513 BT
12. G. Gajah- Kecamatan Bulu, Kabupaten Wonogiri, Penampakan melingkar dari citra satelit, tersusun oleh lava
mungkur Tua 7o4637,2 LS dan 110o5222,8 BT dan breksi gunung api
13. G. Gajah- Kawasan Gunung Gajahmungkur, Penampakan cekungan tapal kuda berisi intrusi dan
mungkur Muda Kecamatan Selogiri dan Bulu, Kabu- mineralisasi, dikelilingi tinggian G. Gajahmungkur yang
paten Wonogiri, 7o4734,1 LS dan di bagian bawah tersusun oleh breksi gunung api, lava
110o5230,1 BT andesit dan sisispan tuf Formasi Mandalika, sedang diba-
gian atas dominan breksi dan batulapili pumis Formasi
Semilir
14. G. Manyaran Kecamatan Manyaran, Kabupaten Tinggian di baratdaya G. Gajahdangak Muda, fasies pro-
Wonogiri, 7o 50 - 54LS - 110 o45 ksi lereng timur cukup jelas, di tengah ada sumbat lava
- 48 30 BT. (?) berstruktur kekar tiang
15. G. Wuryan- Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Morfologi cekungan melingkar membuka ke timur, diisi
toro Wonogiri di sebelah barat Waduk oleh batuan epiklastika (konglomerat, batupasir, batula-
Gajahmungkur, 7o 54 30 - 57 30 LS nau, dan batugamping Formasi Wonosari)
- 110o 47 - 50BT.
16. G. Wonodadi Desa Wonodadi, Kecamatan Eromoko, Morfologi kerucut dengan pola aliran memancar, bagian
Kabupaten Wonogiri, di sebelah barat tengah cekung, diisi batugamping Formasi Wonosari.
Cekungan Eromoko, 7o 58 30 - 8o 2 Pada lereng timur dekat Waduk Song Putri berdasar data
50 LS - 110o 47 -50 BT. bor dan singkapan terdapat batuan beku
17. G. Panggung Kecamatan Semin dan Ponjong, Ka- Tinggian membundar, di bagian puncak relative datar,
bupaten Gunungkidul, 7o 56 16,6 LS tersusun oleh tuf lapili pumis, Formasi Semilir
- 110 o4250BT.
18. G. Wediombo Pantai Wediombo, Desa Jepitu, Keca- Morfologi teluk (circular depression), di dalamnya terdapat
matan Rongkop, Kabupaten Gunung- batuan ubahan hidrotermal, intrusi andesit G. Batur, per-
kidul, 8o 10 30 - 12 LS - 110 o40 40 lapisan aliran lava dan breksi andesit
- 43 BT.
D. Kelompok Karang tengah - Pacitan
19. G. Kompleks Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Penampakan melingkar citra satelit, alterasi dan mineralisasi
Tirtomoyo Wonogiri logam sulfid di batuan gunung api
20. G. Kompleks Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Penampakan melingkar dari citra satelit dan di lapangan, di
Karangtengah Wonogiri, 8o 00 - 03 30 LS - 111o 03 dalamnya terdapat alterasi dan mineralisasi, tingian yang
30 - 08 30 BT. mengelilingi tersusun oleh lava basal, sebagian berstruktur
bantal.
21. G. Nawangan Kecamatan Nawangan dan Arjosari, Penampakan melingkar dari citra satelit, intrusi dasit, alte-
- Arjosari Kabupaten Pacitan rasi dan mineralisasi logam sulfida
22. G. Giritontro Desa Giritontro, Kabupaten Wonogiri Penampakan kerucut tinggian yang tersusun oleh batuan gu-
nung api di antara sebaran batugamping Formasi Wonosari
23. G. Kompleks Sebelah barat kota Pacitan ke selatan Penampakan melingkar dan tersusun oleh batuan beku
Pacitan Barat sampai ke pantai andesit - andesit basal
24. G. Donorojo Pantai selatan Donorojo, Kabupaten Batuan gunung api Formasi Wuni di antara batugamping
Pacitan, batas Kabupaten Gunungkidul, Formasi Wonosari-Punung
8o 11 30,0 - 8o 13 30 LS - 110o
00,0 - 110 o 57 00,0 BT.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 107
Tabel 8.2 Kompilasi Data Umur Batuan Gunung Api di Pegunungan Selatan dan Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabu-
paten Klaten, Jawa Tengah
Formasi Kebo - Butak Kaki utara gawir Batura- 21,0 3,6 jtl (Miosen Smyth, 2005
gung Awal) Metoda: U-Pb SHRIMP
Anggota Kresek Batupasir Watuprahu 21,1 1,1 Ma Smyth, 2005
Formasi Wungkal (Miosen Awal) Metoda: U-Pb SHRIMP
By52, Basalt Tegalrejo, 3 km selatan 24,25 0,65 jtl Soeria-Atmadja dkk., 1994.Metoda: K-Ar
Bayat (Miosen Awal)
Lava bantal Anggota Desa Santren 24,7 1,0 jtl Smyth, 2005
Santren Formasi Kebo- (Miosen Awal) Metoda: U-Pb SHRIMP. Sama dengan
Butak Anggota Nampurejo (Samodra & Sutisna, 1997)
Retas andesit Parangtritis, Bantul 26,55 1,07 jtl Soeria-Atmadja dkk., 1994.Metoda: K-Ar
26,40 0,83 jtl
(Miosen Awal)
Kalinampu II, sisipan Kalinampu Oligosen Lab Paleontologi Teknik Geologi UGM
volkaniklastika halus (P19-N3)
karbonatan
Formasi Kebo - Butak Kaki utara gawir Batura- Oligosen Akhir - Mio- Harahap dkk., 2003
gung sen Awal
2004PK02, G. Bokol, Cermo, Bayat 30,04 4,62 jtl Surono dkk., 2006
Diabas S7 4837,6- E 110 (Oligosen Awal) Metoda: K-Ar
3832,3
BY47, Diabas Bayat 31,25 0,90 jtl Sutanto, 1993; Sutanto dkk., 1994; Soeria-Atmadja
(Oligosen Awal) dkk., 1994.Metoda: K-Ar
2004 PK07, Gabro G. Pendul, Bayat 32,852 6,57 jtl Surono dkk., 2006
mikro S7 4637,2- E 110 (Oligosen Awal) Metoda: K-Ar
3930,8
By48, Basalt Bayat 33,15 1,00 jtl Sutanto (1993); Sutanto dkk., 1994; Soeria-Atmadja
(Oligosen Awal) dkk., 1994.Metoda:K-Ar
By50, Diabas Bayat 39,82 1,49 Jtl Sutanto, 1993; Sutanto dkk., 1994; Soeria-Atmadja
(Eosen Tengah) dkk., 1994.Metoda: K-Ar
Kalinampu I, sisipan Kalinampu Oligosen awal (P19) W. Rahardjo, Lab Paleontologi Teknik Geologi
volkaniklastika halus UGM
karbonatan
Kalinampu II, sisipan Kalinampu Oligosen W. Rahardjo, Lab Paleontologi Teknik Geologi
volkaniklastika halus (P19-N3) UGM
karbonatan
Kalinampu III, sisipan Kalinampu Oligosen W. Rahardjo, Lab Paleontologi Teknik Geologi
volkaniklastika halus (P19 - N3) UGM
karbonatan
Lava basal berstruktur Kali Opak, Berbah 58, 58 3,24; 56,3 Hartono, 2000; Ngkoimani, 2005. Metoda: K-Ar
bantal Watuadeg & Sleman & Kali Ngalang 3,8 Jtl (Paleosen)
lava andesit basal Kali Gedangsari Gunung-
Ngalang kidul
Publikasi Khusus
108 Geologi Gunung Api Purba
a b c
Gambar 8.2 Perlapisan lava andesit (a) dan breksi piroklastika yang banyak mengandung bom dan blok gunung api (b & c),
sebagai indikasi fasies dekat kerucut gunung api purba komposit Sudimoro. Lokasi foto di Dusun Pucung, Desa Wukirsari,
Kecamatan Imogiri.
a b c
Gambar 8.4 Gunung Plencing (a), yang tersusun oleh batuan intrusi andesit, di lereng gunung sebagian besar batuan sudah
lapuk menjadi tanah merah coklat (b), sedangkan di puncak berupa bongkah-bongkah andesit (c). Lokasi: di belakang Kantor
Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 109
Gambar 8.5 Breksi ko-ignimbrit, yang tersusun oleh fragmen andesit dan pumis, tertanam di dalam matriks tuf - batulapili
pumis. Lokasi kaki barat laut Gunung Plencing, Dusun Nogosari 1, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri.
Gambar 8.6 Breksi pumis Sindet; a. Terjadi perubahan secara berangsur dari masif di bawah menjadi berlapis di bagian atas;
b. Di dalam breksi pumis masif terdapat fragmen sedimen; c. Breksi pumis masif; d. Di dalam bahan rombakan segera setelah
dierupsikan terdapat fosil kayu terarangkan. Lokasi: Perumahan Trimulyo, Dusun Sindet, Desa Trimulyo, Kecamatan Jetis,
Kabupaten Bantul.
Publikasi Khusus
110 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.7 Asosiasi retas, lava dan breksi piroklastika kaya akan bom gunung api berkomposisi basal sebagai petunjuk ada
nya gunung api purba di tepi timur Dusun Dengkeng, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul -Yogyakarta.
Gambar 8.8 Gunung api purba Dengkeng, di sebelah barat Dusun Dengkeng, Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul - Yogyakarta; a. Singkapan lava andesit basal Bukit Dengkeng (+144 m); b. Kolom batuan penyusun Bukit Dengkeng;
c. Model pulau gunung api purba Dengkeng
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 111
Publikasi Khusus
112 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.10 Fisiografi Bukit Guyangan (+ 123 m) dan singkapan batuan penyusun yang terdiri atas lava andesit basal,
konglomerat dan batupasir. Lokasi: Dusun Guyangan, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul - Yogyakarta.
a b
Gambar 8.11 Kolom litologi batuan penyusun gunung api purba Guyangan (a; Bukit + 123 m), dan model model kerucut gu-
nung api monogenesisnya (b). Lokasi: Dusun Guyangan, Desa Wonolelo, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul - Yogyakarta.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 113
a b c
Gambar 8.12 Bentang alam Gunung Api Purba Gelap (a), yang tersusun oleh lava andesit basal berstruktur bantal (b & c).
0,20m
Gambar 8.13 Singkapan batuan lava basal, breksi skoria basal, batulapili - tuf basal, dan breksi andesit basal, serta kolom
litologi di Bukit Pilang (+ 136 m). Lokasi Dusun Pilang, Desa Sitimulya, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul - Yogyakarta.
Selain Gunung Api purba Plencing-Sindet, yang menghasilkan breksi pumis Sindet, masih terdapat
gunung api purba kaldera letusan yang lebih muda di daerah bagian barat Pegunungan Selatan ini. Hal
tersebut dibuktikan dengan adanya breksi pumis Bawuran (Gambar 8.15) dan Breksi pumis Terong (Gambar
8.16), yang keduanya dibatasi oleh tahap pertumbuhan gunung api monogenesis (antara lain Guyangan)
dan endapan resedimented syn-eruptive volcaniclastics dari pembangunan kerucut gunung api pada waktu
itu (Bronto, 2009c).
Publikasi Khusus
114 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.14 Sumber erupsi dan arah aliran lava basal berstruktur bantal pada Gunung api purba monogenesis Watuadeg, di
sebelah timur Dusun Sumberkulon, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman - Yogyakarta (Bronto dkk., 2008).
Gambar 8.15 Singkapan breksi pumis Bawuran pada gawir (kiri) dan contoh setangan (kiri). Secara genesis breksi pumis
ini termasuk batuan piroklastika aliran, ignimbrit tak terlaskan atau aliran pumis. Hasil analisis laboratorium kimia batuan
menunjukkan bahwa fragmen pumis berkomposisi dasit, mengandung 67,93 % SiO2 dan 2,20 % K2O.
(Bronto dkk., 2005). Litologi penyusun utama adalah lava andesit dan breksi piroklastika yang banyak
mengandung bom gunung api sehingga lebih tepat dinamakan aglomerat (Gambar 8.17).
Lebih daripada itu di lokasi ini dan sekitarnya juga dijumpai alterasi berupa propilitisasi dan silisifikasi
serta mineralisasi sulfida (pirit dan kalkopirit). Ke arah timur, di Perbukitan Jiwo, Kecamatan Bayat, Kabu-
paten Klaten, Provinsi Jawa Tengah Gunung Api purba Pendul juga sudah dilaporkan oleh penulis (Bronto,
2010a; Gambar 8.18).
Ke arah selatan, yakni di kaki utara gawir Pegunungan Batur Agung, gunung api monogenesis ditemukan
di Dusun Kalinampu, Desa Banyuripan, Gunung Sepikul (+ 158 m) di Dusun Pundungrejo, Desa Jarum
Kecamatan Bayat, serta di air terjun Desa Tegalrejo, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul Yog
yakarta (Bronto, 2009a).
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 115
a a
A
b b
B
Publikasi Khusus
116 Geologi Gunung Api Purba
c
d
e
f
Gambar 8.18a dan b Singkapan lava bantal di kaki selatan Gunung Pendul, Desa Gunung Gajah, Bayat; c. Contoh stangan
basal; d dan e. Penampakan mikroskopik daripada sferulit; F. Kristal plagioklas yang sedang tumbuh.
Nglanggeran dan bersusunan andesit (Bronto dkk., 1999). Perlapisan aliran lava dan retas yang mewakili
vulkanisme andesit ini tersingkap sangat baik di Kali Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung-
kidul (Bronto, 2006; Gambar 8.24).
Keterdapatan aliran lava andesit itu sering berselang-seling dengan breksi piroklastika yang mengandung
bom gunung api. Data tersebut menjadi petunjuk bahwa daerah Pegunungan Selatan ini merupakan bagian
dari fasies dekat suatu kerucut gunung api komposit. Fasies pusat gunung api purba ini masih perlu diteliti
lebih lanjut. Namun dengan banyaknya bom gunung api di dalam aglomerat Gunung Nglanggeran (Gambar
8.25), maka dimungkinkan lokasi tersebut sangat dekat dengan sumber erupsi.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 117
Gambar 8.19 Tuf hitam, Kalinampu Bayat. 1. Singkapan di lapangan; 2. Inti struktur kulit bawang; 3. Penampakan mikroskopis,
tersusun oleh banyak serat gelas gunung api (Bronto dkk., 2002).
Gambar 8.20 Gunung api monogenesis Sepikul, tersusun oleh aliran lava basal struktur bantal (a), Inset, arah aliran (b), dan teks
tur breksi autoklastika (c). Lokasi: Gunung Sepikul, Dusun Pundungrejo, Desa Jarum, Kecamatan Bayat (Bronto dkk., 2004b).
Publikasi Khusus
118 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.21 Aliran lava, sill dan retas basal di air terjun, kaki
utara Pegunungan Baturagung, Desa Tegalrejo, Kecamatan
Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Di dalam
lingkaran: penulis sebagai pembanding
Gambar 8.22 Perlapisan aliran lava basal; (a) dan kontak
aliran lava dengan tuf secara teratur; (b) dan tidak teratur;
(c). Lokasi jeram Tegalrejo.
penampakan cekungan melingkar Solo Baru meru-
pakan bekas gunung api purba. Batuan penyusun
diperkirakan bersifat lunak (terubah hidrotermal?), setelah tergenang air kondisinya menjadi lebih lunak
dan akibat pembebanan oleh bangunan perkotaan terjadi amblasan. Untuk lebih meyakinkan kebenaran
adanya fosil Gunung Api Solo Baru ini diperlukan penelitian lanjutan bawah permukaan, karena daerah ini
berupa dataran dan pada saat ini sudah menjadi daerah perkotaan yang padat penduduk dan budidaya lanjut.
Kepanjangan deretan gunung api purba Wonogiri-Wediombo ke arah utara adalah dijumpainya Gunung Api
purba Grumbulpring di daerah Sangiran bagian selatan (Gambar 8.26; Bronto dkk., 2004c).
Di sebelah selatan Gunung Api purba Solo Baru terdapat tiga buah gunung api purba yang berjajar den-
gan arah barat barat laut - timur tenggara, yakni Tawangsari (Hartono dkk., 2007), Gajahmungkur Tua dan
Gajahmungkur Muda. Gunung api Tawangsari, yang terletak diujung barat laut jajaran gunung api purba
itu, tersusun oleh aliran lava basal berstruktur bantal, dan dapat disebandingkan dengan gunung api purba
Watuadeg, Gunung Sepikul, Tegalrejo, dan lava bantal Kalinampu serta Nampurejo di daerah Bayat (Bronto
dkk., 2004a). Bentang alam gunung api purba Tawangsari berupa bukit-bukit kecil dengan ketinggian kurang
dari 50 m dan di daerah puncaknya tersusun oleh lava basal yang sering memperlihatkan struktur bantal.
Salah satu bukit itu terletak di Dusun Puntuk (Gambar 8.27), Desa Pundungrejo, Kecamatan Tawangsari,
Kabupaten Sukoharjo pada koordinat 7 45 16,9 LS dan 110 47 29 BT, serta di Dusun Tengklik, Desa
Watubonang, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo pada koordinat 7 45 2,2 LS - 110 46 10,1
BT. Lokasi kedua itu terletak di lereng timur Gunung Taruwongso. Sebaran perbukitan gunung api purba
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 119
Gambar 8.24 Aliran lava andesit di Kali Ngalang (a) dan breksi piroklastika mengandung bom (1) dan blok (2) gunung api
di Kali Pentung, Pegunungan Selatan, Gunungkidul (b).
Publikasi Khusus
120 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.25 Fisiografi Gunung Nglanggeran (a), bom gunung api di dalam aglomerat (b & c), serta struktur buah salak (d)
yang diperkirakan sebagai bom gunung api jatuh secara vertical. Lokasi Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul - Yogyakarta.
Gambar 8.26 Gunung api purba Grumbulpring, Sangiran selatan, yang ditunjukkan oleh adanya bongkah besar andesit (kiri atas)
dan proses pembentukan uap bertekanan tinggi (1), letusan disusul freatomagmatik (2) dan ekstrusi lava basal (Bronto dkk., 2004b).
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 121
Gambar 8.28 Gunung Api purba Gajahmungkur di daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Lensa menghadap ke selatan.
Publikasi Khusus
122 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.29 Gunung api purba di Pejalan Panggung, selatan Gajahmungkur, Wonogiri, terdiri dari Panggung, Manyaran,
Wuryantoro dan Wonodadi.
Gunung Api purba Panggung terletak agak ke barat-barat laut lebih menjorok ke Cekungan Wonosari.
Bentang alam Gunung Panggung ini membentuk tinggian melingkar dengan diameter sekitar 7 km, mem-
perlihatkan relief lebih halus dibandingkan dengan morfologi gunung api purba lainnya. Sekalipun batuan
penutup adalah breksi dan batulapili pumis Formasi Semilir, di bagian puncak terdapat permukaan agak datar
berarah utara- selatan panjang 3 km, lebar 1 km. Keyakinan sebagai fosil gunung api di Gunung Panggung ini
masih perlu data pendukung yang lain, mengingat daerah ini ditutupi oleh Formasi Semilir yang cukup tebal
Di daerah Kecamatan Eromoko terdapat dua buah waduk yaitu Waduk Parangjoho dan Waduk Song Putri.
Di sekitar kedua waduk tersingkap breksi aneka bahan (co-ignimbrite breccias; Cas dan Wright, 1987; Gam-
bar 8.30), terdiri atas pumis, bom dan bongkah andesit sampai dasit, fragmen batuan terubah, serta sedimen
meta, yang tertanam di dalam matriks abu gunung api dan batulapili (kerikil) pumis. Butiran pumis mencapai
diameter 20 cm, sedangkan fragmen batuan 120 cm (Gambar 8.31). Data ini mengindikasikan bahwa kedua
waduk itu mungkin juga merupakan sumber erupsi alternatif dari Formasi Semilir (Bronto dkk., 2009b).
Jauh di pantai selatan dari deretan ini terdapat Gunung Api purba Wediombo yang sudah dilaporkan oleh
Hartono dan Bronto (2007). Penampakan bentang alam berupa teluk melingkar dikelilingi tinggian yang
tersusun oleh perlapisan aliran lava andesit dan breksi gunung api, yang merupakan fasies tengah fosil gu-
nung api kerucut komposit itu (Gambar 8.32). Di tengah teluk yang merupakan fasies pusat terdapat intrusi
diorit mikro Gunung Batur, yang membentuk suatu kubah, retas dan alterasi hidrotermal, serta mineralisasi
logam sulfida, antara lain pirit.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 123
a b
c d
Gambar 8.30 Singkapan breksi ko-ignimbrit di bawah batugamping di tepi tenggara Waduk Parangjoho, Wonogiri (a dan b),
Pandangan dekat terhadap breksi ko-ignimbrit, yang terdiri atas fragmen andesit (warna gelap) dan pumis (warna terang),
berbentuk menyudut, tertanam di dalam matriks batulapili pumis (c dan d).
b c
Gambar 8.31 Pengukuran fragmen terbesar rata-rata di dalam breksi ko-ignimbrit, yang ternyata berada di Waduk Parangjoho (a),
Dugaan asal-usul kejadian letusan pada Waduk Parangjoho yang menghasilkan breksi ko-ignimbrit (b dan c).
Publikasi Khusus
124 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.32 Gunung api purba Wediombo, di pantai selatan Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. (BUU: barat - barat laut;
TSS: timur - tenggara)
merupakan daerah Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Sebaran fosil gunung api tidak membentuk pola
yang jelas, mulai dari sebelah utara yaitu di Kecamatan Tirtomoyo, ke bagian tengah (daerah Kecamatan
Karangtengah) hingga pantai selatan di wilayah Giritontro dan ke timur hingga Donorojo serta daerah
Pacitan bagian barat.
Di daerah Tirtomoyo sebagian besar batuan klastika gunung api dan batuan beku sudah mengalami
ubahan hidrotermal dan termineralisasi. Hal yang sama juga terjadi di daerah Pacitan barat laut Kecamatan
Nawangan. Wilayah Karangtengah terutama tersusun oleh lava basal yang kadang-kadang membentuk struk-
tur bantal (Gambar 8.33), yang dimasukkan ke dalam Formasi Watupatok (Sampurno dan Samodra, 1992).
Di wilayah ini juga dijumpai alterasi hidrotermal dan mineralisasi khususnya di fasies pusat gunung api
purba Purwoharjo (Gambar 8.34; Abdissalam dkk., 2009). Berdasarkan data geokimia, batuan gunung api
purba ini mempunyai afinitas toleit-kalk-alkali, yang terletak pada area transisi antara toleit busur kepulauan
dengan basal kalk-alkali (Gambar 8.35). Di wilayah Giritontro, kerucut gunung api kecil juga ditemukan
di antara sebaran batugamping Formasi Wonosari. Di pantai selatan Donorojo tinggian batuan gunung api
juga dijumpai di sisi barat muara Kali Kladen. Batuan gunung api di kawasan ini disamakan dengan batuan
Gunung Api Wediombo sebagai bagian dari Formasi Wuni (Samodra dkk., 1992).
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 125
a b e
c d
Gambar 8.33 Batuan gunung api purba Purwoharjo, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten Wonogiri (Abdissalam dkk., 2009);
a. Singkapan batuan beku basal, di Dusun Saren, bagian utara daerah penelitian (8 030LS - 111 654BT); b. Foto jarak
dekat lava basal; c. Singkapan batuan beku basal berstruktur bantal di Ngumbul (8o117LS - 111o 732BT); d. Permukaan
tubuh lava tersusun oleh kulit kaca (glassy skin) dan di dalamnya terdapat urat kuarsa; e. Mikrofoto sayatan tipis batuan beku
basal (nikol bersilang) memperlihatkan tekstur hipokristalin porfiri; fenokris plagioklas (pl) dan piroksen (px) tertanam di
dalam massa dasar hipokristalin sangat halus.
Gambar 8.34 Peta geologi, alterasi dan mineralisasi daerah Purwoharjo dan sekitarnya, Kecamatan Karangtengah, Kabupaten
Wonogiri - Jawa Tengah (Abdissalam dkk., 2009).
Publikasi Khusus
126 Geologi Gunung Api Purba
a b
Gambar 8.35 Penentuan seri magma batuan gunung api purba Purwoharjo berdasarkan; a. Klasifikasi seri magma AFM yang
disebandingkan dengan data sekunder; b. Diagram segitiga TiO2 - MnOx10 - P2O5x10 (Wilson, 1989).
105 15 108 30
5 00
Dano
2
1 Bogor - Purwakarta
Cibaliung
Bandung
P. Panaitan
4
1
3
Ujungkulon
Bayah - Pongkor 5
6
7 50
Skala
15 0 15 km
Sukabumi - Peg. Selatan
Gambar 8.36 Sebaran gunung api purba di Jawa Barat dan Banten, yang dibagi menjadi enam kelompok kompleks gunung api,
yaitu 1. Panaitan-Cibaliung, 2. Dano, 3. Bayah-Pongkor, 4. Bogor-Purwakarta, 5. Bandung, 6. Sukabumi - Pegungan Selatan.
Selain itu, berdasarkan data pemboran, gunung api purba juga terdapat di bagian utara Jawa Barat, yang
batuannya dimasukkan ke dalam Formasi Jatibarang (misal Martodjojo, 2003; Gambar 7.23). Di sebelah
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 127
barat Kota Pamanukan, Rohandi dan Nainggolan (1990) melaporkan anomali Bouguer meninggi dari selatan
ke utara hingga mencapai 350 mgal, kemudian terjadi penurunan berbentuk elips di dekat muara Ci Asem.
Data geofisika ini mungkin juga mengindikasikan adanya gunung api purba yang sudah tertimbun di bawah
dataran pantai utara Jawa Barat.
Gunung api purba di daerah Panaitan dan Ujungkulon dapat diidentifikasi berdasarkan analisis peta geologi
Lembar Ujung Kulon (Atmawinata dan Abidin, 1991), yang secara topografi merupakan daerah tinggian.
Batuan gunung api Tersier di sini dinamakan Formasi Cikancana (Tmc), terdiri atas breksi gunung api, tuf,
dan lava andesit. Lava ada yang pejal, bertekstur autoklastika (breksi lava), dan berstruktur bantal. Batuan
klastika gunung api berbutir halus adalah tuf pasiran dan tuf gampingan. Di antara batuan gunung api tersebut
terdapat sisipan batugamping, yang menandakan bahwa gunung api itu berada di lingkungan marin. Khusus
di Pulau Panaitan, di atas Formasi Cikancana terdapat satuan Batuan Gunung Api Payung (QTv). Batuan ini
tersusun oleh lava andesit, lava basal, tuf berbatuapung, dan breksi lahar (?). Keberadaan lava dan breksi
gunung api baik di Formasi Cikancana maupun di Batuan Gunung Api Payung sangat mendukung sebagai
bagian dari fasies dekat gunung api purba di daerah itu. Bentuk teluk setengah lingkaran menghadap ke
selatan baik pada Pulau Panaitan maupun Ujung Kulon mungkin merupakan bekas fasies pusatnya.
Batuan Gunung Api purba Cibaliung juga membentuk tinggian dan disatukan ke dalam Formasi Honje
(Sudana dan Santosa, 1992), yang tersusun oleh breksi gunung api, tuf, lava andesit-basal, dan kayu terker-
sikkan, serta diterobos oleh andesit-basal. Harijoko dkk. (2004) melaporkan bahwa andesit tersebut berumur
Miosen (11,4 0,8 jtl.) yang ditindih oleh Tuf Cibaliung berumur Pliosen (4,9 0,6 jtl.). Asosiasi breksi
gunung api, lava andesit-basal, dan intrusi andesit-basal itu menunjukkan bahwa di Cibaliung terdapat gu-
nung api komposit purba sebelum terjadi letusan kaldera yang menghasilkan Tuf Cibaliung di daerah itu.
Di daerah Dano dan sekitarnya, Banten (Gambar 7.7) gunung api purba telah membentuk Kaldera
Dano, yang sering disebut Rawa Dano karena sudah menjadi rawa dan pada waktu pertama kali dinamakan
mungkin berupa danau. Tuf Banten yang tersebar sangat luas di daerah ini (Rusmana dkk., 1991; Santosa,
1991) menjadi bukti sangat kuat bahwa Rawa Dano adalah bekas kaldera letusan gunung api purba. Di tepi
Kaldera Dano dan daerah sekitarnya kemudian muncul gunung api Kuarter, bahkan ada yang tergolong aktif
seperti halnya Gunung api Karang dan Pulasari (Neumann van Padang, 1951; Simkin dan Siebert, 1994).
Agak terpisah di bagian utara terdapat Gunung api Gede-Merak, sedangkan di sebelah barat Gunung Api
purba Sangiang berada di tengah laut Selat Sunda. Di pulau itu terdapat teluk berbentuk setengah lingkaran
menghadap ke barat daya, yang diduga sebagai pusat erupsi Gunung Api purba Sangiang.
Di daerah Bayah, vulkanisme tertua (Paleogen) diwakili oleh Formasi Cikotok (batuan gunung api Eosen)
dan intrusi Granodiorit Cihara (21-23 jtl., Saefudin, 1987), kemudian diikuti vulkanisme Neogen (Tuf Citorek)
dan gunung api Kuarter seperti halnya Gunung Endut, Gunung Halimun dan Gunung Srandil (Sujatmiko
dan Santosa, 1992). Sebaran gunung api Kuarter itu membentuk pola melingkar melingkupi batuan gunung
api Paleogen dan Neogen (Gambar 8.37). Batuan itu juga diterobos oleh intrusi basal berumur Kuarter. Ber-
dasarkan data tersebut diperkirakan bahwa Bayah merupakan daerah gunung api sistem kaldera, dan telah
terjadi perulangan kegiatan sejak Paleogen, Neogen, dan Kuarter. Tuf Citorek sendiri berada di sekeliling
Depresi Citorek (Gambar 7.8), yang diduga merupakan sebuah kaldera purba di dalam Kaldera Bayah yang
jauh lebih besar. Sementara itu, di daerah Pongkor, vulkanisme juga menerus dari Tersier ke Kuarter hingga
Gunung Salak yang merupakan gunung api aktif masa kini (Effendi dkk., 1998). Di kawasan ini kegiatan
gunung api juga silih berganti dari tipe kerucut komposit ke tipe kaldera letusan.
Di daerah Bogor-Purwakarta, di dalam peta geologi Lembar Bogor (Effendi dkk., 1998) dan Jakarta
(Turkandi dkk., 1992) masing-masing terdapat Gunung Pancar dan Gunung Dago, yang diduga sebagai
gunung api purba berumur Mio-Pliosen. Ke arah timur terdapat Gunung api purba Sanggabuana (5,35
0,15, jtl.; Soeria-Atmadja dkk., 1994; Gambar 7.9). Di daerah Purwakarta, Kaldera Jatiluhur diidentifikasi
berupa bentang alam cekungan yang sekarang telah menjadi Waduk Jatiluhur yang di dalamnya terdapat
tubuh intrusi andesit (Gambar 8.38) berumur 2,0 0,10 jtl. (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Banyak intrusi
andesit di daerah ini juga dilaporkan oleh Sujatmiko (1972). Cekungan Waduk Cirata mungkin juga meru-
pakan bekas kaldera gunung api purba.
Publikasi Khusus
128 Geologi Gunung Api Purba
Kaldera
Gambar 8.37 Peta geologi daerah Bayah yang mencerminkan adanya tumpang tindih vulkanisme berumur Paleogen, Neogen,
dan Kuarter. Digambar kembali dari Sujatmiko dan Santosa (1992).
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 129
107 10 108 15
6 30
Sanggabuana
(5.35 0.15 Ma) Jatiluhur U
(2.0 0.10 Ma)
Tangkuban
Perahu Tampomas
Cupunagara
Cimahi
(4.08 Ma) Bukit Tunggul Kareumbi
Saguling BANDUNG
Soreang
Baleendah Cakrabuana
(2.62-3.24 Ma) Mandalawangi
Patuha
Kendeng Sedakeling
Malabar
Guntur
Kuda 4.36 Ma Kamojang Telagabodas
Karacak
Galunggung
Papandayan Cikurai
7 25
Skala
6.8 0 6.8 km
Gambar 8.39 Sebaran gunung api Tersier dan Kuarter di daerah Bandung dan sekitarnya, dilihat dari citra satelit. Data umur
dari Soeria-Atmadja dkk., 1994; Sunardi dan Kusumadinata, 1999).
107 30 107 50
6 25
Sumbat lava
G. Orem 1,4 jtl
Ci Leat
44,3 jtl
Skala
6 45
1.5 0 1.5 km
Gambar 8.40 Gunung api purba Cupunagara di sebelah timur Gunung Tangkubanparahu, Bandung Utara. Gunung api purba
ini mempunyai dua kaldera, yakni Kaldera Cupunagara dan Kaldera Cibitung (Bronto dkk., 2004d).
Publikasi Khusus
130 Geologi Gunung Api Purba
(Effendi dkk., 1998), Situ Cibinong di Krawang Barat, dan Gunung api purba Sanggabuana serta Kaldera
Jatiluhur di Purwakarta.
Dari Bandung ke arah timur, Cekungan Sumedang yang di dalamnya terdapat tubuh intrusi andesit
juga diperkirakan sebagai bekas kaldera tua sebelum muncul Gunung api Tampomas. Kaldera Kadipaten-
Majalengka ditunjukkan oleh adanya intrusi andesit yang menerobos Formasi Cinambo dan Formasi Halang
(Djuri, 1995). Di daerah Kuningan - Cirebon (Djuri, 1995; Silitonga dkk., 1996) vulkanisme diawali oleh
Gunung api purba Kromong sebelum muncul Gunung api Kuarter Ciremai.
Sebaran gunung api Tersier di Bandung Selatan, yang berhimpitan dengan gunung api purba di Pegunungan
Selatan (Bronto dkk., 2006), mempunyai umur beragam mulai 12,0 jtl. (Pertamina, 1988, vide Soeria-Atmadja
dkk., 1994), 4,0 - 2,8 jtl. (Sunardi dan Koesoemadinata, 1999), 0,23 jtl. di Gunung Malabar (Bogie dan
Mackenzie, 1998) hingga Gunung api Papandayan yang merupakan gunung api aktif masa kini yang terletak
di bagian paling selatan Jawa Barat. Pelamparan gunung api purba di daerah Bandung tersebut menerus ke
timur-tenggara hingga daerah Ciamis Utara (Budhitrisna, 1986), seperti halnya Gunung api Cijolang.
Di Sukabumi Selatan, vulkanisme bawah laut diidentifikasi dengan banyaknya aliran lava basal berstruk-
tur bantal (Gambar 5.9), yang oleh Sukamto (1975) dimasukkan ke dalam Formasi Citirem berumur Kapur.
Setelah beristirahat selama beberapa waktu, kegiatan gunung api bawah laut ini diikuti oleh vulkanisme
Tersier yang membentuk Formasi Jampang dan terobosan Dasit Ciemas serta Porfir Cilegok. Analisis ra-
diometri dengan metode K-Ar terhadap aliran lava di Pelabuhan Ratu memberikan umur 13,69 1,82 jtl,
tetapi ada yang jauh lebih muda, yakni 1,33 0,28 jtl dan 0,90 0,3 jtl. (Soeria-Atmadja dkk., 1994). Dari
peta geologi Lembar Cianjur (Sujatmiko, 1972) dan Lembar Sindang Barang dan Bandarwaru (Koesmono
dkk., 1996), gunung api tersebut membentuk kelurusan ke gunung api purba Kancana dan Cikondang. Di
sebelah tenggara Sukabumi, analisis radiometri terhadap intrusi andesit pasir Pogor memberikan umur 32,30
0,30 jtl. (Pertamina, 1988, vide Soeria-Atmadja dkk., 1994). Gunung api purba Cikondang diidentifikasi
oleh penulis (Bronto, 2003) berdasar pola sebaran dan jenis batuan gunung api (Gambar 7.12) yang dianalisis
dari dalam peta geologi Lembar Sindangbarang dan Bandarwaru (Koesmono dkk., 1996).
Di Pegunungan Selatan, fosil gunung api Tersier diidentifikasi berdasar bentang alam citra satelit dan
asosiasi batuan terobosan andesit dengan breksi gunung api yang berselang-seling dengan lava yang dike-
nal sebagai Formasi Jampang (Simanjuntak dan Surono, 1992; Supriatna dkk., 1992; Alzwar dkk., 1992;
Budhitrisna, 1986, Koesmono dkk., 1996). Dari sebelah timur, daerah ini dimulai dari Banjar-Pangandaran,
Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur hingga Sukabumi Selatan. Umur batuan deretan fosil gunung api di
Pegunungan Selatan ini juga beragam mulai dari 28 jtl. sampai dengan 5 jtl (Soeria-Atmadja dkk., 1994).
Ke arah timur fosil gunung api itu menerus ke daerah Majenang, yang dikenal dengan Formasi Kumbang
(Kastowo dan Suwarna, 1996).
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 131
1996), satuan batuan di daerah Gunung Kumbang - Waduk Malahayu di sebelah utara Majenang, terdiri
atas Formasi Kumbang (Tmpk), Formasi Halang (Tmph), dan Formasi Pemali (Tmp). Formasi Kumbang
tersusun oleh breksi gunung api, lava, retas dan tuf berkomposisi andesit-basal, batupasir tuf, konglomerat
serta sisipan lapisan tipis magnetit. Formasi Halang terdiri atas batupasir tufan, konglomerat, napal, dan
batulempung; di bagian bawah terdapat breksi andesit. Formasi batuan ini diduga berumur Miosen Tengah -
Pliosen Awal. Formasi Pemali tersusun oleh napal globigerina biru dan hijau keabuan, berlapis jelek - baik,
setempat sisipan batupasir tufan, dan batugamping pasiran biru keabuan. Struktur sedimen berupa perairan
sejajar, silang siur, perairan terpelintir dan gelembur gelombang. Umur formasi ini diperkirakan Miosen
Awal dengan tebal 900 m. Tuf merupakan batuan piroklastika berbutir halus, yang sumbernya dapat berasal
dari tempat sangat jauh. Sebaliknya, retas, lava, dan breksi gunung api berkomposisi andesit basal diyakini
sebagai hasil kegiatan gunung api setempat. Retas merupakan batuan intrusi semi gunung api, sedangkan
lava dan breksi sebagai batuan ekstrusinya. Di kawasan Gunung Hulucilemeh terdapat batuan gunung api
yang sudah teralterasi secara hidrotermal menjadi propilit.
Di antara Gunung Hulucilemeh dan Gunung Kumbang terdapat Cekungan Bentarsari. Cekungan itu ber-
bentuk melengkung seperti bulan sabit sejajar dengan lengkungan jajaran Gunung Kumbang menghadap ke
Gunung Hulucilemeh. Di dalam cekungan ini terdapat batuan sedimen yang dikelompokkan ke dalam Formasi
Tapak, Formasi Kalibiuk, Formasi Kaliglagah, Formasi Linggopodo, serta endapan aluvium. Formasi Tapak
terdiri atas batupasir dengan sisipan napal pasiran dan di bagian atas batugamping karang. Formasi Kalibiuk
bagian bawah tersusun oleh batulempung dan napal, sedang di bagian atas banyak sisipan batupasir. Formasi
Kaliglagah berupa batupasir kasar dan konglomerat. Di dalam Formasi Kalibiuk dan Formasi Kaliglagah
terdapat fosil moluska. Adanya batuan gunung api yang lebih muda (breksi dan tuf, Qpl) dimasukkan ke
dalam Formasi Linggopodo dan berasal dari Gunung Api Slamet.
Cekungan Waduk Malahayu yang sangat lebar (diameter lebih dari 4 km) diduga sebagai bekas kaldera,
yang tubuh gunung apinya sudah hilang dan bahan rombakannya membentuk Formasi Halang. Setelah fase
destruksi Kaldera Malahayu di sebelah selatan muncul kerucut Gunung api Kumbang sebagai kegiatan
konstruksi gunung api komposit atau strato. Di sebelah barat daya Gunung api Kumbang kemudian muncul
Gunung api Hulucilemeh yang juga membentuk kerucut komposit. Di antara kedua gunung api tersebut
terdapat Cekungan Bentarsari, yang diperkirakan sebagai bekas kaldera Kumbang, yang kemudian terisi
batuan sedimen silisiklastika hasil rombakan batuan gunung api yang lebih tua di sekitarnya bercampur de
ngan material karbonat. Cekungan ini semakin mendangkal sehingga menjadi darat dan diendapkan aluvium.
Disini perlu dicurigai adanya batuan gunung api muda yang dikelompokkan ke dalam Formasi Linggopodo,
apakah sebagai hasil rombakan batuan gunung api yang lebih tua atau hasil reaktivasi gunung api di daerah
ini. Batuan itu disangsikan berasal dari Gunung api Slamet, karena diendapkan di daerah tinggian Gunung
Kumbang serta letaknya cukup jauh.
Publikasi Khusus
132 Geologi Gunung Api Purba
retas-retas besar, leher gunung api, aliran lava, dan batuan beku terobosan dangkal. Informasi tersebut lebih
mendukung interpretasi adanya gunung api purba di wilayah ini. Boleh jadi, kerucut gunung api cukup
banyak dan sebagian ada yang kecil-kecil seperti halnya kerucut-kerucut sinder yang dijumpai di sebelah
baratnya (Bobotsari) di kaki timur Gunung api Slamet.
Formasi Kumbang menjemari dengan Formasi Halang yang tersusun oleh batupasir andesit, konglom-
erat tufan dan napal (Djuri dkk., 1996). Dari uraian tersebut diperkirakan sebagian besar batuan penyusun
Formasi Halang adalah bahan rombakan asal gunung api, mungkin Gunung api purba Cupu atau Formasi
Kumbang di dekatnya. Kedua formasi batuan asal gunung api tersebut menumpang di atas batuan sedimen
lunak yang dikelompokkan ke dalam Formasi Rambatan, yang berumur Miosen Tengah. Formasi Rambatan
bersusunan serpih, napal, dan batupasir gampingan. Formasi Kumbang dan Formasi Halang ditindih oleh
Formasi Tapak yang berumur Pliosen dan tersusun oleh batupasir, konglomerat, dan setempat breksi an-
desit. Kelompok batuan ini diduga juga merupakan bahan rombakan sebagai kelanjutan dari pembentukan
Formasi Halang. Seluruh batuan berumur Tersier itu kemudian ditindih oleh lava Gunung api Slamet dan
endapan aluvium.
Hal yang cukup menarik adalah terdapatnya endapan aluvium yang secara setempat berada di tengah-
tengah sebaran batuan sedimen Tersier dan batuan terobosan. Cekungan di lokasi terbentuknya endapan
aluvium itu apakah hanya dikontrol oleh faktor eksogen atau ada pengaruh endogen seperti halnya tektonika
dan atau bekas kawah gunung api. Hal terakhir itu bisa saja terjadi karena batuan di dalam kawah atau fasies
pusat gunung api sudah mengalami ubahan hidrotermal sehingga menjadi lunak dan mudah tererosi kemudian
terbentuk cekungan yang selanjutnya terisi oleh endapan aluvium.
Aliran sungai utama di daerah ini adalah Kali Keruh dan Kali Genteng yang ke hilir menyatu menjadi
Kali Comal bermuara di Ujung Pemalang, di timur laut Kota Pemalang. Aliran sungai ke selatan berpola
paralel menyatu ke Kali Klawing di daerah Purbalingga, kemudian bermuara di Kali Serayu, yang mengalir
di sebelah selatan kota itu.
Hasil analisis radiometri dengan menggunakan metode K-Ar terhadap batuan gunung api di daerah Ka-
rangkobar-Bobotsari memberikan kisaran umur 11,16 1,24 sampai dengan 3,01 0,17 jtl (Soeria-Atmadja
dkk., 1994). Diduga, kegiatan gunung api Tersier atas ini menerus ke aktivitas gunung api Rogojembangan
di sebelah timurlautnya.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 133
Selain gunung api purba di Jawa Tengah bagian utara tersebut, di bagian utara Jawa Barat juga dijumpai
gunung api monogenesis. Sebagai contoh Gunung api maar Setu Patok (Gambar 3.4) yang terletak lebih
kurang 7 km di sebelah selatan Kota Cirebon dan tergambar di dalam peta geologi Lembar Cirebon (Sili-
tonga dkk., 1996). Fenomena cekungan danau atau situ dan rawa yang diduga sebagai bekas gunung api
maar ternyata banyak dijumpai mulai dari daerah Banten sampai dengan Pamanukan-Subang. Di sebelah
timur-tenggara kota Serang, Banten, pada sebaran Tuf Banten (Rusmana dkk., 1991) antara lain terdapat
Situ Ciherang, Situ Cikonde, dan Situ Panebang. Di sebelah barat Kota Karawang terdapat Situ Cibinong,
Rawa Cibitung, Rawa Baru, Rawa Dukuh dan Rawa Santiora (Achdan dan Sudana, 1992). Di kaki barat
laut Gunung Sunda, wilayah Purwakarta terdapat Situ Wanayasa, sedangkan di selatan kota Subang dapat
dijumpai Situ Ranca Teja dan Ranca Bungur. Kemungkinan bekas gunung api maar itu nampaknya berderet
timur-barat pada batas antara jalur gunung api Kuarter di sebelah selatan dan batuan sedimen atau dataran
aluvium Jawa Barat di bagian utara. Lebih dari itu, di sebelah utara Kota Subang atau di selatan pusat Ke-
camatan Pagadenbaru dan Pamanukan terdapat dua buah danau bernama Situ Nagrok dan Situ Peundeuy
(Gambar 8.41). Daerah ini dilingkupi oleh anomali Bouguer cukup tinggi (20 mgal; Rohandi dan Naingolan,
1990). Kedua danau itu tidak terletak di kawasan gunung api sehingga perlu dicurigai sebagai bekas gunung
api lumpur (mud volcanoes) seperti halnya yang pernah terjadi di Jawa Tengah (Sangiran dan Bledug Kuwu)
serta Jawa Timur (Lumpur Sidoarjo).
o
o
107 48 BT 107 50 BT
o
6 29 LS
o
6 29 LS
Gambar 8.41 Situ Nagrok dan Situ Peundeuy, yang diduga sebagai bekas gunung api lumpur di sebelah utara kota Subang
dan di selatan pusat Kecamatan Pagaden.
Publikasi Khusus
134 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.42 Peta geomorfologi hasil analisis citra satelit terhadap sebaran gunung api di daerah Kalianda dan sekitarnya,
Kabupaten Lampung Selatan.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 135
semi memancar menjauhi gawir tersebut. Data ini ditafsirkan adanya Gunung Api (kerucut komposit?) Pra
Rajabasa, yang kemudian mengalami letusan hebat membentuk kaldera Pra-Rajabasa, yang sangat besar
dengan diameter 16,5 km. Di dalam kaldera tersebut kemudian muncul Gunung api Rajabasa, yang dimulai
dari Gunung Rajabasa Tua (R-4) di sebelah tenggara kemudian berkembang ke barat laut menjadi Gunung
Rajabasa sekarang, yang paling tidak terdiri atas tiga kerucut gunung api (R-1, R-2 dan R-3).
Kelompok Kalianda berada di sebelah utara kelompok pertama; sebagian besar batuan gunung apinya
tersebar ke arah barat. Kelompok Bakauheni berada di sebelah timur Gunung api Rajabasa, terdiri atas tujuh
kaldera kecil (B-1 sampai dengan B-7), lebih kurang berarah utara- selatan. Sebagian pematang kaldera sudah
tenggelam di dasar laut atau menyisakan pulau-pulau kecil di sebelah barat, selatan dan timur Pelabuhan
Bakauheni (B4, B6 dan B7).
Kelompok Gunung api purba Bakauheni membentuk perbukitan yang tersusun oleh lava andesit. Sebagian
pulau-pulau di sekitar Pelabuhan Bakauheni juga tersusun oleh andesit, kecuali Pulau Kandangbalak yang
tersusun oleh Tuf Lampung. Adanya batuan andesit sebagai penyusun pulau-pulau di sekitar Bakauheni
mendukung hasil analisis inderaja bahwa pulau-pulau tersebut merupakan bagian dari gunung api purba
Kelompok Bakauheni. Lava andesit itu dierupsikan pada tahap pembangunan kerucut gunung api komposit
di dalam Kelompok Bakauheni. Di antara lava andesit terdapat tuf terlaskan (welded tuff; Gambar 8.43)
yang sudah terlipat dan tersesarkan, sangat keras. Diyakini bahwa tuf terlaskan ini merupakan hasil erupsi
sangat eksplosif atau pembentukan kaldera letusan sebagai tahap penghancuran gunung api purba Kelompok
Bakauheni.
Secara umum, Tuf Lampung berwarna putih, berbutir halus sampai sedang, banyak mengandung batu-
apung dan bersusunan riolit-dasit. Di tepi jalan Lintas Sumatera tersingkap dua kelompok Tuf Lampung
(Gambar 8.44). Tuf Lampung kelompok bagian bawah berwarna putih masif atau tidak berlapis, dan sangat
tebal. Diyakini bahwa tuf itu merupakan aliran abu gunung api (ash flow deposits) bahan piroklastika hasil
letusan gunung api kaldera, sedangkan tuf kelompok bagian atas berwarna putih kuning kecoklatan, ber-
lapis bahkan membentuk perlapisan silang-siur. Di dalam tuf bagian atas itu sering dijumpai batang kayu
yang sudah roboh dan di dalamnya terisi oleh material tuf. Fosil kayu juga sering dijumpai dalam bentuk
potongan ranting atau dahan. Adanya perlapisan di dalam tuf ini serta batang pohon dan potongan kayu yang
tidak terarangkan diperkirakan bahwa tuf itu termasuk seruakan piroklastika (pyroclastic surges) di bagian
distal, yang jauh dari sumbernya. Pada awalnya energi hembusan abu cukup kuat sehingga mampu mema-
tahkan batang pohon sekaligus mendorongnya. Hembusan sangat kuat ini dicirikan dengan adanya struktur
perlapisan silang-siur. Namun kemudian semakin
jauh dari sumbernya energi tersebut menurun dan
bahan abu gunung api mengendap secara bertahap
dan perlahan-lahan sehingga membentuk struktur
Publikasi Khusus
136 Geologi Gunung Api Purba
perlapisan. Dorongan terhadap batang pohon ditunjukkan adanya bahan abu yang masuk ke bagian dalam
dari batang pohon itu. Warna kecoklatan pada tuf bagian atas disebabkan oleh proses oksidasi bahan organik
(kayu terarangkan) yang ada di dalamnya. Sebagian besar arang kayu sudah mengalami silisifikasi (Gambar
8.45., Bronto dkk., 2010b). Di kaki barat daya Gunung Rajabasa dijumpai breksi ko-ignimbrit seperti nampak
pada gambar 8.46. Arah robohnya fosil pohon dan ditemukannya breksi ko-ignimbrit memperkuat dugaan
pembentukkan kaldera Pra-Rajabasa di Lampung Selatan.
a
A b
B
Dd
c
C
Gambar. 8.45 Fosil kayu yang sudah terarangkan kemudian terkersikkan (tersilisifikasi) dan teroksidasi di dalam Tuf Lam-
pung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Koordinat 5o 50 04,5 LS 105o 44 03,7 BT; a. Batang pohon
yang masih terpendam miring; b. Bagian inti pohon dengan arah roboh U145oT; c. Inti pohon yang sudah digali dan sudah
mengalami silisifikasi (silicified wood); d.Fosil kayu yang mengalami oksidasi dan silisifikasi.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 137
Gambar 8.46 Breksi ko-ignimbrit, tersusun oleh bongkah basal, andesit basal dan basal skoria berbentuk sangat menyudut
tajam tertanam di dalam matriks abu gunung api dan lapili pumis. Lokasi Way Andeng, kaki barat daya Gunung Rajabasa,
Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, koordinat 5o 49 42,4 LS 105o 41 31,5 BT.
9500 9515
U
GLE. IBOIH
Qtvw
Qtvw
P. WE Qh Skala
GLE. KULAM
3 0 3 km
Qtvw
Keterangan
Umur Satuan Batuan
0 45
GE. GUASARANG Tlvb
GOH. MANCANG
2 K
U
Qh
A
Qh R
T
Tir
GOH. CUMA E Qvt
R
P. BRUEH
Tlvb
GOH. KEUMARANG
GOH. GLUMPANG
QTvw
Tlp
T
Tlvb E
Mulh Mug
Qh R Tlp
GE. UJONGBATEE S
Mug
P. BUNTA Tlvb GE. PISANG Qvt I
Tlp Qh P. PASI CT. JAJONG
E Tir
GOH. MONAME
R
GE. LAGEUEN GE. AYON
Tlp Tlvb
UTEUEN JALANG
P. BATEE Qh Qvtl
Tlp
2
SUKAMAKMUR U
0 30 Tlp Qh
Qtps
M
Mul Mug
Qh Murlr
MONTASIK
Gambar 8.47 Batuan gunung api Mesozoikum, Tersier, dan Tersier-Kuarter (Bennett dkk., 1981), yang menandai adanya
gunung api purba di NAD bagian utara.
Publikasi Khusus
138 Geologi Gunung Api Purba
Gambar 8.48 Gunung api purba di daerah NAD berdasarkan analisis citra satelit.
ini sudah berkembang menjadi kerucut gunung api yang muncul di atas muka laut sebagai pulau gunung api.
Di daerah Lhong ditemukan Gunung api purba Lhong, yang berjajar dengan Gunung api purba Lhong
di selatannya. Batuan hasil kegiatan keduanya disatukan ke dalam Formasi Gunung api Bentaro. Bentuk
fisik kerucut gunung api purba keduanya sudah tidak jelas, namun di lapangan batuan penyusunnya terdiri
atas batuan beku basal, aglomerat, retas mafik, dan pipa basal. Di sebelah barat tambang PT. Lhong Setia
Mining (N5o1553,0- E95o1501,2) batuan beku terubah membentuk kerucut bukit dan diduga sebagai
kubah lava bawah permukaan (Gambar 8.49a). Dengan adanya daerah pertambangan mineral logam serta
kubah lava tersebut, maka daerah ini diperkirakan sebagai fasies pusat Gunung api purba Lhong.
Sebaran Formasi batuan gunung api Bentaro ini dapat diikuti secara setempat-setempat di sepanjang
pantai barat NAD dari daerah Lhong, Kabupaten Aceh Besar hingga Lamno di Kabupaten Aceh Jaya. Hal
ini menunjukkan bahwa pada umur Mesozoikum di daerah itu sudah terdapat deretan gunung api. Di sebe-
lah selatan Lamno terdapat batuan gunung api yang lebih muda, berumur Tersier (Miosen Tengah), yakni
Formasi gunung api Calang (Tmvc; Bennet dkk., 1981). Batuan penyusun terdiri atas batuan gunung api
berkomposisi menengah (andesit), bertekstur porfiri, terepidotkan, serta batuan terobosan semi gunung api.
Data ini juga menunjukkan bahwa di daerah itu terdapat gunung api purba berumur Neogen.
Di daerah Indrapuri, batuan gunung api terdapat di dalam Komplek Indrapuri dan Formasi Meucampli.
Perlapisan aliran lava basal (Gambar 8.49b - c) di dalam Komplek Indrapuri sudah termalihkan, sebagian
menjadi serpentinit berwarna abu-abu gelap sampai hijau, juga epidot dan mika putih (?), bertekstur skis-
tose. Tekstur breksi autoklastika dan struktur lava bantal kadang masih dapat diamati. Hal ini menandakan
bahwa lava basal tersebut merupakan hasil erupsi gunung api bawah laut. Bagian permukaan lava basal ini
sudah teroksidasi berwarna merah coklat. Lava basal Komplek Indrapuri ini diduga sebagai hasil vulkanisme
Mesozoikum yang sudah mengalami pensesaran sangat kuat sehingga oleh Bennet dkk. (1981) dipandang
sebagai batuan bancuh tektonik. Sementara itu lava basal anggota Formasi Meucampli mengalami pelapu-
kan berstruktur kulit bawang, namun di bagian dalamnya masih segar dan keras. Lava basal ini mempunyai
warna lapuk coklat kemerahan, warna segar abu-abu kehijauan, bertekstur porfiri halus dengan fenokris
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 139
plagioklas dan piroksen yang tertanam di dalam masa dasar afanit. Sebagai akibat sesar, lava basal Formasi
Meucampli terdapat di antara lava basal Komplek Indrapuri, yang dijumpai pada koordinat N5o2041,2-
E95o2717,9 (Gambar 8.49d).
Dengan demikian di daerah Indrapuri ditemukan dua gunung api purba, yaitu gunung api purba berumur
Mesozoikum, dinamakan Gunung api purba Indrapuri Tua, dan gunung api purba Tersier, yang disebut Gu-
nung api purba Indrapuri Muda. Kegiatan Gunung api purba Indrapuri Tua itu diduga bersamaan waktunya
dengan Gunung api purba Lhong di pantai barat NAD, yang juga berumur Mesozoikum. Sementara itu
gunung api purba Indrapuri Muda dapat disetarakan dengan vulkanisme Gunung api purba Breueh di Pulau
Breueh dan Gunung api purba Calang di daerah Lamno.
a b
c d
Gambar 8.49 a. Daerah pertambangan bijih besi dan logam sulfida di dalam fasies pusat Gunung api purba Lhong (Bronto
dkk., 2010c); b. Perlapisan aliran lava basal di dalam Kompleks Indrapuri; c. Lava basal berstruktur bantal; d. Lava basal
Mesosoikum (1) diterobos oleh lava basal Tersier (2).
Publikasi Khusus
140 Geologi Gunung Api Purba
kerucut gunung api masih nampak jelas dan ditengahnya diterobos oleh batuan terobosan Sintang. Bentuk
kerucut gunung api Jelai juga masih terlihat jelas dan di tengah-tengahnya terdapat batun terobosan andesit -
basal. Hal yang masih perlu dicermati adalah apabila batuan terobosan sudah tidak berasosiasi dengan batuan
gunung api. Apakah hal itu dikarenakan batuan gunung apinya sudah habis tererosi atau berupa sumbat/
kubah lava atau memang benar-benar tubuh batuan beku terobosan di bawah permukaan.
Gambar 8.50 memperlihatkan satuan batuan gunung api Muller pada peta geologi Lembar Putussibau
(Pieters dkk., 1993a). Daerah ini sudah mengalami erosi lanjut ditunjukkan oleh pola aliran sungai yang
berkembang mendaun, yang masing-masing daerah aliran sungai berpola memancar. Bentuk sebaran satuan
batuan gunung api Muller kurang lebih melingkar, terdiri atas breksi gunung api, tuf, lava basal - andesit
serta kayu terkersikan, berumur Eosen (40,9 0,4 jtl.). Sekalipun belum dijumpai batuan semi gunung api,
keberadaan lava dan breksi gunung api sudah cukup membuktikan bahwa batuan gunung api Muller meru-
pakan produk kegiatan gunung api purba setempat.
Sebagian besar Pulau Sulawesi juga tersusun oleh batuan gunung api Tersier dan Kuarter. Salah satu gu-
nung api purba yang ada sudah dilaporkan oleh Sidarto dan Hartono (2009) adalah Gunung api purba Sapaya
di Sulawesi Selatan (Gambar 8.51). Pada awalnya tumbuh dan berkembang kerucut gunung api komposit
Sapaya, namun kemudian mengalami fase penghancuran sehingga terbentuk Kaldera Sapaya. Di dalam kaldera
itu kemudian muncul kerucut gunung api baru yang dinamakan Gunung api purba Bantoloe. Di Sulawesi
Utara, tambang logam sulfida sistem epitermal (Santos dkk., 1999), diduga juga terdapat di dalam fasies
pusat gunung api purba. Kiranya masih banyak diperlukan penelitian untuk menguak keberadaan gunung api
purba di Pulau Sulawesi ini. Demikian pula yang terdapat di Kepulauan Sangir-Talaud, Halmahera, Banda
dan Nusa Tenggara. Bahkan tidak menutup kemungkinan gunung api purba juga banyak terdapat di dasar
laut. Hal-hal tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan untuk melanjutkan penelitian geologi terhadap
gunung api purba di Indonesia.
Gambar 8.50 Sebaran Batuan Gunung api Muller (Temu), yang diduga sebagai gunung api purba setempat. Peta dicuplik dari
Pieters dkk., 1993a.
Publikasi Khusus
Studi Kasus Gunung Api Purba 141
Gambar 8.51 Citra satelit gunung api purba Sapaya di Sulawesi Selatan (Sidarto dan Hartono, 2009).
8.6 Ringkasan
Mengingat banyaknya sebaran batuan gunung api Tersier dan yang lebih tua di Indonesia, maka diyakini
bahwa batuan itu merupakan produk primer gunung api purba. Identifikasi gunung api purba yang agak rinci
baru dilakukan di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di daerah lain apalagi di luar Pulau Jawa, penelitian
geologi gunung api purba masih sangat sedikit. Hal ini menjadi tantangan sekaligus peluang ke depan bagi
para ahli geologi dalam rangka mengembangkan ilmu kebumian dan pencarian sumber daya geologi beserta
pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana geologi.
Publikasi Khusus
GEOLOGI GUNUNG API PURBA
Gunung api purba adalah gunung api yang pernah aktif pada masa lampau,
tetapi sekarang ini sudah mati dan bahkan sudah terkikis sangat lanjut sehingga
penampakan fisis tubuhnya sudah tidak sejelas gunung api aktif masa kini; bahkan
sebagian sisa tubuhnya sudah ditutupi oleh batuan yang lebih muda. Buku
Geologi Gunung Api Purba ini merupakan buku pertama yang membahas
keberadaan gunung api pada masa lalu di Indonesia. Bagi orang awam dan
sebagai akibat pembelajaran geologi selama ini adanya gunung api purba belum
banyak diketahui. Guna memahami adanya gunung api purba pembaca diajak
untuk mencermati proses kegunungapian masa kini. Selanjutnya, berdasarkan
letak dan proses gunung api aktif masa kini dan dengan didukung oleh berbagai
disiplin ilmu geologi maka penulis mampu mengemukakan adanya gunung api
purba. Untuk memudahkan pemahaman pembaca buku ini dilengkapi dengan
gambar dan foto yang menarik, baik hasil kumpulan dari berbagai literatur maupun
dari pengalaman penelitian penulis di Indonesia.
Berhubung Indonesia mempunyai banyak gunung api dan batuan hasil
kegiatannya tersebar melimpah, buku ini sangat bermanfaat bagi ahli geologi
serta mahasiswa kebumian untuk memahami geologi terutama yang
berhubungan erat dengan kegunungapian. Selanjutnya buku ini juga dapat
menjadi dasar acuan untuk geologi terapan dalam rangka penemuan sumber
daya energi dan mineral, serta pengelolaan lingkungan dan mitigasi bencana
geologi.
BADAN GEOLOGI
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL